nyebaran imperium-imperium
Eropa meningkatkan sangat besar kekuatan kolektif manusia,
dengan penyebaran ide-ide, teknologi, dan panen, serta membuka
jalan-jalan baru bagi perdagangan. Namun, ini nyaris bukan
berita bagus bagi jutaan orang Afrika, pribumi Amerika, dan
Aborigin Australia.
Kalau melihat kecenderungan manusia yang sudah terbukti
untuk menyalahgunakan kekuatannya, tampaknya naif untuk
percaya bahwa semakin besar pengaruh yang dimiliki manusia,
semakin bahagia mereka.
Sebagian penentang pandangan ini mengambil posisi yang
berlawanan secara diametris. Mereka mengemukakan korelasi
terbaik antara kapabilitas manusia dan kebahagiaan. Kekuasaan
itu korup, kata mereka, dan saat manusia mendapatkan semakin
banyak kekuasaan, hal itu menciptakan dunia mekanistik dingin
yang kurang cocok dengan kebutuhan-kebutuhan riil kita. Evolusi
membentuk pikiran dan tubuh kita untuk kehidupan pemburu-
penjelajah. Transisi pertama pada agrikultur dan kemudian pada
industri telah mengutuk kita untuk hidup secara tidak alamiah
yang tidak bisa memberi ruang penuh inklinasi inheren dan
naluri sehingga kita tidak bisa memuaskan kerinduan-kerinduan
yang paling dalam. Tidak ada dalam kehidupan yang nyaman
kelas menengah urban yang bisa mendekati kegembiraan
dan kesenangan lepas yang dialami satu kawanan penjelajah
saat berhasil memburu mamut. Setiap penemuan baru hanya
membentangkan satu mil jarak antara kita dan Surga Eden.
namun penekanan romantik ini untuk melihat bayangan
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
449
gelap di balik setiap penemuan yaitu sedogmatik keyakinan
pada tidak terelakkannya kemajuan. Mungkin kita kehilangan
rasa pada sisi dalam pemburu-penjelajah kita, namun itu tidak
buruk. Misalnya, selama dua abad terakhir, kedokteran modern
telah menurunkan angka kematian anak dari 33 persen menjadi
di bawah 5 persen. Bisakah orang meragukan bahwa ini memberi
kontribusi besar bagi kebahagiaan tidak hanya bagi anak-anak
itu yang jika tidak terjadi kamajuan sudah mati, namun juga pada
keluarga dan kerabat mereka?
Posisi yang lebih bernuansa mengambil jalan tengah. Hingga
masa Revolusi Saintifik tidak ada korelasi yang jelas antara
kekuasaan dan kebahagiaan. Para petani abad pertengahan
benar-benar lebih merana ketimbang pendahulu mereka, para
pemburu-penjelajah. Namun, dalam beberapa abad terakhir ini
manusia sudah tahu bagaimana memakai kapasitas mereka
secara lebih bijaksana. Kemenangan-kemenangan kedokteran
modern hanyalah salah satu contoh. Prestasi-prestasi lain yang
tanpa preseden mencakup menurunnya kekerasan secara drastis,
hilangnya perang-perang internasional, dan hampir punahnya
bencana kelaparan berskala besar.
namun ini pun sebuah penyederhanaan yang berlebihan.
Pertama-tama, pandangan itu mendasarkan penilaian optimistisnya
pada sampel tahun-tahun yang sangat sedikit. Mayoritas manusia
mulai menikmati buah dari kedokteran modern tidak lebih awal
dari tahun 1850, dan drastisnya penurunan angka kematian
anak yaitu fenomena abad ke-20. Kelaparan-kelaparan massal
terus melanda banyak manusia sampai pertengahan abad ke-20.
Selama Lompatan Besar Maju Komunis China tahun 1958–1961,
antara 10 sampai 50 juta manusia kelaparan sampai mati. Perang-
perang internasional menjadi jarang terjadi baru setelah 1945,
terutama berkat ancaman baru pemusnahan oleh nuklir. Oleh
sebab itu, meskipun beberapa dekade terakhir ini telah menjadi
masa keemasan yang belum ada presedennya bagi kemanusiaan,
terlalu dini untuk mengetahui apakah ini merepresentasi peralihan
fundamental arus sejarah atau hanya sebuah pusaran nasib baik
yang fana. saat menilai modernitas, terlalu menggoda untuk
mengambil sudut pandang kelas menengah abad ke-21 di kalangan
450
orang Barat. Kita tidak boleh melupakan sudut pandang dari
abad ke-19. Para penambang batubara Wales, pecandu opium
China, atau aborigin Tasmania. Truganini tidak kurang pentingnya
ketimbang Homer Simpson.
Kedua, bahkan masa keemasan singkat setengah abad
terakhir terbukti bisa menanam bibit-bibit bencana masa depan.
Selama beberapa dekade terakhir ini, kita telah mengganggu
keseimbangan ekologis planet kita dalam banyak sekali cara-
cara baru, yang tampaknya akan disertai akibat-akibat buruk.
Banyak bukti menunjukkan bahwa kita sedang menghancurkan
fondasi kesejahteraan manusia dalam sebuah pesta pora konsumsi
ceroboh.
Akhirnya, kita bisa membanggakan diri atas pencapaian-
pencapaian tanpa preseden Sapiens modern hanya jika kita benar-
benar mengabaikan nasib seluruh binatang lain. Banyak kekayaan
material membanggakan yang melindungi kita dari penyakit dan
kelaparan diakumulasi dengan mengorbankan monyet-monyet
laboratorium, sapi-sapi perah, dan ayam-ayam sabuk pengukur.
Puluhan juta binatang itu telah menjadi sasaran selama dua abad
terakhir ini bagi rezim eksploitasi industri, yang kejahatannya
tidak ada preseden dalam sejarah Planet Bumi. Jika kita menerima
hanya sepersepuluh saja dari apa yang diklaim oleh para aktivis
hak-hak binatang, maka agrikultur industri modern mungkin
menjadi kejahatan terbesar dalam sejarah. saat mengevaluasi
kebahagiaan global, maka salah kalau memperhitungkan
kebahagiaan hanya pada kelas atas, kebahagiaan orang Eropa,
atau kebahagiaan kaum laki-laki. Mungkin salah juga kalau hanya
mempertimbangkan kebahagiaan manusia.
Menghitung Kebahagiaan
Sejauh ini kita telah membahas kebahagiaan seakan-akan ia hanya
produk dari faktor-faktor material, seperti kesehatan, diet, dan
kekayaan. Jika orang yang lebih kaya dan lebih sehat, maka
mereka pasti juga lebih bahagia. Namun, apakah hal itu benar-
benar jelas? Para filsuf, pendeta, dan penyair telah merenungkan
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
451
sifat kebahagiaan selama beribu-ribu tahun, dan banyak yang
menyimpulkan bahwa faktor-faktor sosial, etik, dan spiritual
memiliki dampak yang sama besarnya pada kebahagiaan dengan
kondisi-kondisi material. Mungkin orang-orang di warga -
warga modern yang makmur sangat menderita akibat
keterasingan dan ketidakbermaknaan walaupun mereka makmur.
Dan, mungkin para leluhur yang kurang sejahtera menemukan
banyak kebahagiaan dalam warga , agama, dan keterikatan
pada alam.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, para psikolog dan
ahli biologi mengambil tantangan mempelajari secara saintifik
apa yang benar-benar membuat orang bahagia. Apakah uang,
keluarga, genetika, atau mungkin kebijaksanaan? Langkah pertama
yaitu mendefinisikan apa yang harus diukur. Definisi yang
diterima secara umum tentang kebahagiaan yaitu “kesejahteraan
subjektif ”. Kebahagiaan, menurut pandangan ini, yaitu sesuatu
yang saya rasakan di dalam diri saya sendiri, suatu perasaan
entah itu kesenangan sesaat atau kesenangan jangka panjang
dengan keadaan yang berlangsung dalam hidup saya. Jika itu
sesuatu yang dirasakan di dalam, bagaimana bisa diukur dari
luar? Mungkin saja, kita bisa melakukannya dengan meminta
orang mengatakan kepada kita bagaimana perasaan mereka.
Maka, para ahli psikologi dan biologi yang ingin menilai seberapa
orang merasa bahagia memberi mereka kuesioner untuk diisi
dan hasil-hasilnya dihitung.
Kuesioner tentang kesejahteraan subjektif biasanya meminta
responden untuk memberi nilai dengan rentang angka nol
sampai sepuluh sesuai dengan jawaban yang mereka pilih, seperti
“Saya merasa bahagia dengan keadaan saya”, “Saya merasa
kehidupan saya sangat membahagiakan”, “Saya optimistik tentang
masa depan” dan “Kehidupan ini baik”. Peneliti kemudian
menjumlahkan semua jawaban dan mengalkulasi tingkat umum
kesejahteraan subjektif responden.
Kuesioner-kuesioner semacam itu dipakai dalam rangka
mengorelasikan kebahagiaan dengan berbagai faktor objektif.
Satu studi mungkin membandingkan 1.000 orang yang
berpenghasilan $100.000 setahun dengan 1.000 orang yang
berpenghasilan $50.000. Jika studi menemukan bahwa kelompok
pertama memiliki rata-rata level kesejahteraan subjektif level
8,7, sedang kelompok kedua memiliki rata-rata hanya 7,3,
maka peneliti bisa menyimpulkan secara layak bahwa ada
korelasi positif antara kekayaan dan kesejahteraan subjektif.
Maka, dalam ungkapan bahasa Inggris sederhana bisa dikatakan,
uang membawa kebahagiaan. Metode yang sama bisa dipakai
untuk menguji apakah orang-orang yang hidup dalam negara
demokrasi lebih bahagia daripada orang-orang yang hidup dalam
kediktatoran, dan apakah orang yang menikah lebih bahagia
ketimbang orang yang masih lajang, duda, atau janda.
Ini memberi dasar bagi para sejarawan, yang bisa menguji
kekayaan, kebebasan politik, dan angka perceraian pada masa
lalu. Jika orang lebih bahagia dalam demokrasi, dan orang
menikah lebih bahagia daripada yang cerai, seorang sejarawan
punya basis untuk mengemukakan bahwa proses demokratisasi
dalam beberapa dekade terakhir berkontribusi pada kebahagiaan
manusia, sedang naiknya angka perceraian menunjukkan
kecenderungan sebaliknya. Cara berpikir seperti ini bukan tanpa
cacat, namun sebelum menunjuk lubang-lubang itu, ada baiknya
mempertimbangkan temuan-temuan itu.
Satu kesimpulan yang menarik yaitu bahwa uang memang
membawa kebahagiaan. Namun, hanya pada suatu titik dan
di luar titik itu signifikansinya kecil. Bagi orang-orang yang
terjebak di tangga ekonomi terbawah, semakin banyak berarti
semakin besar kebahagiaan. Jika Anda seorang ibu tunggal di
Amerika dengan pendapatan $12.000 setahun sebagai tukang
bersih-bersih rumah, dan Anda tiba-tiba menang lotre $500.000,
Anda mungkin mengalami sebuah lonjakan signifikan dan
jangka panjang dalam hal kesejahteraan subjektif. Anda akan
bisa memberi makan dan membeli pakaian untuk anak-anak
tanpa tenggelam lebih jauh ke dalam lilitan utang. Namun, jika
Anda seorang eksekutif kelas atas dengan pendapatan $250.000
setahun dan Anda menang lotre $1 juta, atau dewan komisaris
perusahaan Anda tiba-tiba memutuskan melipatgandakan gaji
Anda, lompatan Anda mungkin berlangsung hanya beberapa
pekan. Menurut temuan-temuan empiris, hampir pasti keadaan
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
seperti itu tidak akan mendatangkan perubahan besar perasaan
Anda dalam jangka panjang. Anda akan membeli mobil yang
lebih mentereng, pindah ke rumah megah, terbiasa minum
Chateau Pétrus dan tidak lagi California Cabernet, namun itu
segera terasa menjadi rutinitas dan tidak istimewa.
Temuan menarik lainnya yaitu bahwa sakit menurunkan
kebahagiaan dalam jangka panjang, namun menjadi sumber tekanan
jangka panjang hanya jika kondisi seseorang terus memburuk
atau jika penyakit itu melibatkan rasa nyeri terus-terusan dan
melemahkan. Orang-orang yang didiagnosis sakit kronis seperti
diabetes biasanya tertekan sejenak, namun jika sakitnya tidak
memburuk, mereka menyesuaikan diri ke kondisi baru dan tingkat
kebahagiaan mereka masih sama tingginya dengan orang sehat.
Bayangkan bahwa Lucy dan Luke yaitu kembar kelas menengah,
yang setuju ikut ambil bagian dalam sebuah studi kesejahteraan
subjektif. Dalam perjalanan pulang dari laboratorium psikologi,
mobil Lucy tertabrak bus, memicu sejumlah tulang Lucy
patah dan kaki lumpuh permanen. Tepat setelah regu penyelamat
mengangkat dia dari dalam rongsokan, telepon berdering dan
Luke berteriak bahwa dia menang jackpot $10.000.000. Dua
tahun kemudian Lucy jalan pincang dan Luke menjadi semakin
kaya raya, namun saat psikolog datang untuk lanjutan studi,
mereka berdua mungkin memberi jawaban yang sama saat
mereka menjawab pada pagi itu.
Keluarga dan komunitas tampaknya memiliki dampak lebih
besar pada kebahagiaan ketimbang uang dan kesehatan. Orang-
orang yang hidup dalam ikatan kuat keluarga dalam komunitas
yang erat dan suportif secara signifikan lebih bahagia ketimbang
orang-orang yang keluarganya mengalami disfungsi dan yang tidak
pernah menemukan (atau tidak pernah berusaha menjadi bagian
dari) komunitas. Pernikahan terutama sangat penting. Berulang-
ulang studi telah menemukan bahwa ada korelasi yang sangat
erat antara pernikahan yang baik dan kesejahteraan subjektif,
dan antara pernikahan yang buruk dan penderitaan. Ini berlaku
terlepas dari kondisi ekonomi atau bahkan fisik. Seorang cacat
melarat yang dikelilingi pasangan penuh cinta, sebuah keluarga
yang pengasih dan komunitas yang hangat bisa merasa lebih baik
454
ketimbang seorang miliuner terasing, asalkan kemiskinan orang
cacat itu tidak terlalu parah dan bahwa sakitnya tidak merusak
dan tidak menyakitkan.
Ini memunculkan kemungkinan bahwa perbaikan besar
kondisi material dalam dua abad terakhir ini terimbangi oleh
runtuhnya keluarga dan komunitas. Jika demikian, rata-rata
orang kini mungkin tidak lebih bahagia ketimbang tahun 1800.
Bahkan, kebebasan yang kita hargai begitu tinggi mungkin
justru merugikan kita. Kita bisa memilih pasangan, sahabat,
dan tetangga, namun mereka bisa memilih untuk meninggalkan
kita. Dengan pengerahan individual kekuatan yang tak pernah
ada sebelumnya bagi pasangan kita untuk memutuskan hidup
sendiri, kita tahu bahwa semakin sulit untuk membuat komitmen
lagi. Maka, kita hidup dalam dunia yang semakin sunyi akibat
bubarnya komunitas dan keluarga.
namun temuan yang paling penting yaitu bahwa
kebahagiaan tidak benar-benar bergantung pada kondisi-kondisi
objektif, entah kekayaan, kesehatan, atau bahkan komunitas.
Namun, ia tergantung pada korelasi antara kondisi-kondisi
objektif dan ekspektasi-ekspektasi subjektif. Jika Anda ingin
sebuah pedati lembu dan dapat pedati lembu, Anda bahagia.
Jika Anda ingin Ferrari terbaru dan hanya dapat Fiat bekas,
Anda merasa kecewa. Inilah kenapa menang lotre selalu memiliki
dampak yang sama pada kebahagiaan orang sebagaimana
kecelakaan mobil yang melumpuhkan. saat keadaan membaik,
ekspektasi-ekspektasi menggelembung, dan akibatnya bahkan
perbaikan-perbaikan dramatis dalam hal kondisi-kondisi objektif
membuat kita tetap tidak puas. saat keadaan memburuk,
ekspektasi-ekspektasi surut, dan akibatnya bahkan sakit parah
mungkin membuat Anda tetap bahagia sebagaimana sebelumnya.
Anda mungkin mengatakan kita tidak membutuhkan
segerombol psikolog dan kuesioner-kuensionernya untuk
menemukan ini. Para nabi, penyair, dan filsuf mengetahui ribuan
tahun lalu bahwa puas dengan apa yang sudah Anda dapatkan
jauh lebih penting ketimbang mendapatkan lebih banyak dari
yang Anda inginkan. Tetap saja bagus kalau riset modern—yang
didukung banyak angka dan bagan-bagan—mencapai kesimpulan
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
yang sama dengan orang-orang kuno.
Makna krusial dari ekspektasi-ekspektasi manusia memiliki
implikasi yang jauh dalam memahami sejarah kebahagiaan. Jika
kebahagiaan bergantung hanya pada kondisi-kondisi objektif
seperti kekayaan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial, mestinya
relatif mudah untuk menelusuri sejarahnya. Temuan bahwa ia
bergantung pada ekspektasi-ekspektasi subjektif membuat tugas
para sejarawan menjadi jauh lebih sulit. Kita orang-orang modern
memiliki segudang obat penenang dan pereda rasa sakit, namun
ekspektasi-ekspektasi kita akan kemudahan dan kesenangan,
dan intoleransi kita pada ketidakenakan dan ketidaknyamanan,
meningkat sampai ke titik yang bisa membuat kita sangat
menderita akibat sakit lebih dari yang dirasakan oleh para
leluhur kita.
Sulit untuk menerima garis pemikiran ini. Problemnya
yaitu kekeliruan nalar yang melekat nun di dasar sanubari
kita. saat kita berusaha menerka atau membayangkan betapa
bahagia orang lain saat ini, atau betapa bahagia orang pada
masa lampau, tak terelakkan kita pun membayangkan diri kita
dalam sepatu mereka. Namun, itu tidak akan berhasil sebab
kita menempatkan ekspektasi pada kondisi-kondisi material orang
lain. Dalam warga -warga makmur modern lazim mandi
dan berganti pakaian setiap hari. Para petani abad pertengahan
tidak mencuci baju berbulan-bulan, dan hampir tidak berganti
pakaian. Pemikiran tentang hidup seperti itu, kotor dan bau
sampai menusuk tulang, membuat kita merasa jijik. Namun,
para petani abad pertengahan tampaknya tidak hirau. Mereka
biasa merasakan dan mencium aroma baju yang tak dicuci.
Yang terjadi bukan mereka tidak ingin ganti baju, melainkan
tak punya—mereka bisa dapatkan apa yang mereka inginkan.
Jadi, sekurang-kurangnya dalam urusan berpakaian ini, mereka
senang-senang saja.
Itu tidak mengejutkan saat Anda memikirkannya. Lagi
pula, simpanse sepupu kita jarang mandi dan tidak pernah ganti
baju. Kita pun tidak jengkel dengan fakta bahwa piaraan kita,
anjing dan kucing, tidak mandi atau ganti jubah setiap hari. Kita
tepuk, peluk, dan cium mereka tidak apa-apa. Anak-anak kecil di
456
warga makmur sering tidak suka mandi, dan butuh waktu
bertahun-tahun pendidikan dan disiplin keorangtuaan untuk
mengadopsi ini sebagai kebiasaan yang dipandang menarik. Itu
semua hanya masalah ekspektasi.
Jika kebahagiaan ditentukan oleh ekspektasi-ekspektasi,
maka dua pilar warga kita—media massa dan industri
periklanan—mungkin secara tidak sadar menipiskan cadangan
kebahagiaan dunia. Jika Anda seorang pemuda berusia 18 tahun
di sebuah desa 5.000 tahun lalu, Anda mungkin berpikir Anda
berpenampilan menarik sebab hanya ada 50 pria di desa Anda
dan sebagian besar dari mereka kalau bukan tua, bergores dan
keriput, atau masih anak-anak kecil. Namun, jika Anda seorang
remaja masa kini, sangat mungkin Anda merasa tidak pantas.
Sekalipun pemuda-pemuda lain di sekolah lebih buruk, Anda
tidak mengukur diri dengan mereka, tapi dengan bintang film,
atlet, dan supermodel yang Anda lihat sepanjang hari di televisi,
Facebook, dan papan-papan iklan raksasa.
Maka, mungkin ketidakbahagiaan Dunia Ketiga tidak
disebabkan semata-mata oleh kemiskinan, penyakit, korupsi,
dan penindasan politik, namun juga oleh hanya paparan standar-
standar Dunia Kesatu. Rata-rata orang Mesir jauh lebih kecil
kemungkinan mati akibat kelaparan, wabah, atau kekerasan
di bawah Hosni Mubarak ketimbang di bawah Ramses II atau
Cleopatra. Belum pernah kondisi Mesir begitu bagus. Anda akan
berpikir mereka mestinya menari di jalan-jalan pada tahun 2011,
bersyukur kepada Allah atas nasib baik mereka. Namun, mereka
bangkit dengan marah untuk menggulingkan Mubarak. Mereka
tidak membandingkan diri mereka dengan para leluhur di bawah
Fir’aun, namun pada sesama di Amerikanya Obama. Jika demikian
halnya, bahkan imortalitas bisa mengarah pada ketidakbahagiaan.
Taruhlah sains datang dengan pengobatan untuk semua penyakit,
terapi-terapi antipenuaan yang efektif, dan perawatan-perawatan
regeneratif yang membuat orang tetap muda tanpa batas. Dalam
semua kemungkinan itu, hasil langsungnya yaitu epidemi
kemarahan dan kecemasan yang tak ada presedennya.
Mereka yang tak sanggup membeli perawatan-perawatan ajaib
itu—mayoritas orang—akan memendam kemarahan. Sepanjang
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
457
sejarah, orang miskin dan tertindas menghibur diri dengan
pikiran bahwa setidak-tidaknya kematian itu adil—bahwa orang
kaya dan kuat juga akan mati. Orang miskin tidak akan nyaman
dengan pikiran bahwa mereka akan mati, sementara orang kaya
akan tetap muda dan cantik selamanya.
namun minoritas mungil yang mampu menjangkau
perawatan-perawatan baru itu pun tidak akan euforia. Mereka
akan memiliki banyak hal untuk dicemaskan. Meskipun bisa
memperlama kehidupan dan masa muda, terapi-terapi baru tidak
menghidupkan mayat. Betapa mengerikannya berpikir bahwa
saya dan orang-orang tercinta bisa hidup selamanya, namun
hanya jika kita tidak ditabrak truk atau diledakkan menjadi
serpihan-serpihan oleh seorang teroris! Secara potensial orang-
orang a-mortal akan semakin takut mengambil risiko paling
kecil sekalipun, dan penderitaan kehilangan pasangan, anak,
atau teman dekat akan tak tertanggungkan.
46. Revolusi Mesir, 2011. Rakyat memberontak Melawan rezim
Mubarak sekalipun ia menyediakan kehidupan yang lebih aman
dan lebih langgeng ketimbang rezim sebelumnya yang mana pun
dalam sejarah Lembah Nil itu.
458
Kebahagiaan Kimiawi
Para ilmuwan sosial mendistribusikan kuesioner-kuesioner
kesejahteraan subjektif dan mengorelasikan hasil-hasilnya dengan
faktor-faktor sosio-ekonomi seperti kekayaan, kesehatan, dan
kebebasan politik. Para ahli biologi memakai kuesioner-
kuesioner yang sama, namun mengorelasikan jawaban yang
diberikan responden dengan faktor-faktor biokimia dan genetika.
Temuan-temuan mereka mengejutkan.
Para ahli Biologi berpendirian bahwa dunia mental dan
emosional kita diatur oleh mekanisme-mekanisme biokimiawi
yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi. Sebagaimana keadaan-
keadaan mental lainnya, kesejahteraan subjektif kita tidak
ditentukan oleh parameter-parameter eksternal seperti gaji, relasi-
relasi sosial, atau hak-hak politik. Namun, ia ditentukan oleh
suatu sistem yang kompleks seperti saraf, neuron, synapse, dan
berbagai zat biokimiawi seperti seretonin, dopamin, dan oxytocin.
Tak ada orang yang pernah dibuat bahagia oleh menang
lotre, membeli rumah, mendapatkan promosi, atau bahkan
menemukan cinta sejati. Orang-orang dibuat bahagia oleh satu
hal dan hanya satu hal—sensasi-sensasi kesenangan dalam tubuh
mereka. Seseorang yang baru saja menang lotre atau menemukan
cinta baru dan melompat kegirangan sesungguhnya tidak sedang
bereaksi pada uang atau cinta. Dia sedang bereaksi pada berbagai
hormon yang sedang pesta pora di sekujur aliran darahnya dan
ke badai sinyal elektrik yang memancar di antara bagian-bagian
yang berbeda dari otaknya.
Sayangnya, untuk semua harapan akan terciptanya surga
di Bumi, sistem biokimiawi internal kita tampaknya harus
diprogram untuk menjaga kebahagiaan agar berada pada level
yang relatif konstan. Tidak ada seleksi alam untuk kebahagiaan
seperti itu—garis genetika pendeta bahagia akan punah saat
gen-gen dari sepasang orangtua yang cemas diturunkan ke
generasi berikutnya. Kebahagiaan dan penderitaan memainkan
peran dalam evolusi hanya pada tingkat di mana keduanya
mendorong atau melemahkan daya tahan hidup dan reproduksi.
Oleh sebab itu, mungkin tidak mengejutkan bahwa evolusi
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
459
membentuk kita bukan untuk menjadi terlalu menderita atau
terlalu bahagia. Ia memungkinkan kita untuk menikmati serbuan
sensasi-sensasi kesenangan sementara, namun ini tidak pernah
berlangsung selamanya. Cepat atau lambat ia akan surut dan
memberi tempat bagi sensasi-sensasi tidak menyenangkan.
Misalnya, evolusi menyediakan perasaan-perasaan menyenang-
kan sebagai imbalan bagi pejantan yang menyebarkan gen-gen
mereka melalui hubungan seks dengan betina yang subur. Jika
seks tidak disertai kesenangan semacam itu, sedikit pejantan yang
mau peduli. Pada saat yang sama, evolusi memastikan bahwa
perasaan-perasaan kesenangan ini cepat surut. Jika orgasme
berlangsung selamanya, para pejantan yang sangat bahagia akan
mati kelaparan sebab kurang tertarik pada makanan, dan tidak
akan mau repot mencari betina-betina yang subur.
Sebagian ahli membandingkan biokimia manusia dengan
sistem pengatur suhu udara yang menjaga suhu menjadi konstan
walaupun ada gelombang panas atau badai salju. Peristiwa-
peristiwa bisa mengubah sementara suhu udara, namun sistem
pengatur suhu udara selalu mengembalikan suhu ke titik yang
sudah disetel.
Sebagian sistem pengatur suhu udara disetel pada angka 25
derajat Celsius. Yang lain disetel pada angka 20 derajat. Sistem
pengatur kebahagiaan manusia juga berbeda-beda antara satu
orang dengan orang lainnya. Pada skala dari satu sampai sepuluh,
sebagian orang dilahirkan dengan sistem biokimia yang ceria
sehingga memungkinkan suasana hati berkisar pada angka enam
sampai sepuluh, yang stabil seiring waktu pada angka delapan.
Orang seperti itu cukup bahagia sekalipun dia hidup dalam
sebuah kota besar yang terasing, kehilangan semua uangnya saat
bursa saham ambruk, dan didiagnosis mengidap diabetes. Orang
lain dikutuk dengan biokimia yang suram sehingga angkanya
berkisar antara tiga sampai tujuh dan stabil pada angka lima.
Orang yang tidak bahagia semacam itu tetap tertekan, bahkan
saat dia mendapat dukungan dari komunitas yang sangat
peduli, menang lotre jutaan dolar, dan kondisinya sesehat atlet
Olimpiade. Malah, sekalipun rekan suram kita itu menang lotre
$50.000.000 pada pagi hari, menemukan pengobatan untuk
460
AIDS dan kanker pada siang hari, menciptakan perdamaian
antara Israel dan Palestina sore harinya, dan kemudian pada
malam hari bersatu kembali dengan anaknya yang sudah hilang
bertahun-tahun lalu, dia tetap tidak mampu mengalami apa pun
di luar level tujuh kebahagiaan. Otaknya memang tidak dibangun
untuk kesenangan, apa pun yang didapatnya.
Renungkan sejenak tentang keluarga dan sahabat-sahabat
Anda. Anda tahu sebagian orang tetap relatif gembira, apa pun
yang menimpa mereka. Kemudian, ada yang selalu menggerutu
walau segala pemberian dunia berada di kakinya. Kita cenderung
percaya bahwa jika kita bisa mengubah tempat kerja, menikah,
merampungkan penulisan novel, membeli mobil baru, atau
melunasi hipotek, kita akan berada di puncak dunia. Namun,
saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan, ternyata tidak
lebih bahagia. Membeli mobil dan menulis novel tidak mengubah
biokimia kita. Semua itu memang bisa mengguncang sejenak,
namun segera kembali pada titik yang sudah disetel.
Bagaimana bisa ini disejajarkan dengan temuan-temuan
bidang psikologi dan sosiologi yang disebutkan di atas bahwa,
misalnya, orang yang menikah lebih bahagia secara rata-rata
ketimbang orang yang melajang? Pertama, temuan-temuan
ini yaitu korelasi-korelasi—arah hubungan sebab-akibatnya
mungkin berlawanan dengan apa yang sudah diasumsikan oleh
para peneliti. Memang benar bahwa orang yang menikah lebih
bahagia daripada orang yang melajang atau yang bercerai,
namun itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa pernikahan
menghasilkan kebahagiaan. Bisa jadi kebahagiaanlah yang
memicu pernikahan. Atau lebih tepatnya, bahwa seretonin,
dopamin, dan oxytocin melahirkan dan memelihara pernikahan.
Orang yang dilahirkan dengan biokimia ceria umumnya bahagia
dan gembira. Orang-orang seperti itu merupakan pasangan yang
lebih menarik sehingga mereka memiliki peluang lebih besar untuk
menikah. Mereka juga kecil kemungkinannya untuk bercerai
sebab jauh lebih mudah untuk hidup dengan pasangan yang
bahagia dan gembira ketimbang dengan orang yang tertekan
dan kecewa. Akibatnya, benar bahwa orang yang menikah lebih
bahagia secara rata-rata ketimbang bujangan, namun perempuan
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
461
lajang cenderung murung sebab biokimianya tidak dengan
sendirinya menjadi lebih bahagia jika dia berhubungan dengan
seorang suami.
Selain itu, sebagian besar ahli biologi tidaklah fanatik. Mereka
berpandangan bahwa kebahagiaan ditentukan terutama oleh
biokimia, namun mereka setuju bahwa faktor-faktor psikologis
dan sosiologis juga punya tempat. Sistem pengatur udara mental
kita memiliki keleluasaan bergerak dalam batas-batas yang sudah
ditentukan. Hampir mustahil untuk melampaui batas-batas
emosional atas dan bawah, namun pernikahan dan perceraian bisa
memiliki dampak pada area di antara keduanya. Seseorang yang
dilahirkan dengan rata-rata kebahagiaan level lima tidak akan
pernah menari liar di jalan-jalan. Namun, sebuah pernikahan
yang baik seharusnya memungkinkan dia untuk menikmati
level kebahagiaan tujuh dari waktu ke waktu, dan menghindari
kesedihan level tiga.
Jika kita menerima pendekatan biologis atas kebahagiaan,
maka sejarah ternyata kecil maknanya sebab sebagian besar
peristiwa-peristiwa sejarah tidak memiliki dampak pada biokimia
kita. Sejarah bisa mengubah stimulus eksternal yang memicu
serotonin dikeluarkan, namun ia tidak mengubah level serotonin
yang dihasilkan sehingga tidak bisa membuat orang menjadi
lebih bahagia.
Bandingkan seorang petani abad pertengahan Prancis dengan
bankir Paris modern. Petani itu hidup di sebuah gubuk tanah
liat yang tak dipanaskan menghadap kandang babi setempat,
sedang bankir pulang ke sebuah kamar di puncak apartemen
megah dengan semua gawai teknologi terbaru dan pemandangan
menghadap ke Champs-Elysées. Secara intuitif, kita akan berharap
bankir jauh lebih bahagia ketimbang petani. Namun, gubuk tanah
liat, apartemen mewah, dan Champs-Elysées sesungguhnya tidak
menentukan suasana hati kita. Serotonin-lah yang menentukan.
saat petani abad pertengahan merampungkan pembangunan
gubuk tanah liatnya, neuron-neuron di otaknya melepaskan
serotonin, membawanya ke level kesepuluh. saat pada 2013
bankir itu melakukan pembayaran cicilan terakhir apartemennya,
neuron-neuron dalam otaknya melepaskan serotonin dalam
462
jumlah yang sama, membawanya ke level kesepuluh juga. Maka,
tidak ada perbedaan pada otak yang membuat apartemen mewah
jauh lebih nyaman ketimbang gubuk tanah liat. Satu-satunya hal
yang berarti yaitu bahwa saat ini serotonin mencapai level
kesepuluh. Akibatnya bankir tidak akan lebih bahagia sedikit pun
ketimbang kakek moyangnya, si petani miskin abad pertengahan.
Ini berlaku tidak hanya pada kehidupan privat, namun juga
pada peristiwa-peristiwa kolektif besar. Ambil contoh, misalnya,
Revolusi Prancis. Kaum revolusioner sibuk: mereka mengeksekusi
raja, memberi lahan kepada para petani, mendeklarasikan
hak-hak asasi manusia, menanggalkan hak-hak istimewa kaum
bangsawan, dan melancarkan perang terhadap seluruh Eropa.
Namun, tak satu pun yang mengubah biokimia Prancis.
Akibatnya, terlepas dari gejolak-gejolak politik, sosial, ideologis,
dan ekonomis yang dihadirkan oleh revolusi, dampaknya pada
kebahagiaan Prancis kecil. Mereka yang mendapat biokimia
ceria dalam undian genetika sama bahagianya dengan sebelum
dan sesudah revolusi. Mereka yang memiliki biokimia suram
mengeluh tentang Robespierre dan Napoleon dengan kepahitan
yang sama dengan yang mereka alami sebelumnya terhadap Louis
XVI dan Marie Antoinette.
Jika demikian, apanya yang bagus dari Revolusi Prancis?
Jika orang-orang tidak menjadi lebih bahagia, lalu apa makna
dari semua kekacauan, ketakutan, darah, dan perang? Para
ahli biologi tidak akan pernah menyerbu Bastille. Orang-orang
berpikir bahwa revolusi politik atau reformasi sosial akan
membuat mereka bahagia, namun biokimia mereka memperdaya
mereka dari waktu ke waktu.
Hanya ada satu perkembangan historis yang memiliki
signifikansi riil. Kini, saat kita akhirnya menyadari bahwa
kunci kebahagiaan ada di tangan sistem biokimia, kita bisa
berhenti menyia-nyiakan waktu pada politik dan reformasi sosial,
pemberontakan-pemberontakan, dan ideologi-ideologi, dan fokus
saja pada satu-satunya hal yang bisa membuat kita benar-benar
bahagia: memanipulasi biokimia kita. Jika kita menginvestasikan
miliaran dolar dalam memahami kimia otak dan mengembangkan
penanganan-penanganan yang tepat, kita bisa membuat orang
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
463
jauh lebih bahagia ketimbang sebelumnya, tanpa memerlukan
revolusi-revolusi. Prozac, misalnya memang tidak mengubah
rezim, namun dengan menaikkan level serotonin, ia mengangkat
orang keluar dari depresi.
Tak ada yang bisa menangkap argumen biologis yang lebih
bagus ketimbang slogan terkenal Abad Baru: “Kebahagiaan
Dimulai dari Dalam”. Uang, status sosial, operasi plastik, rumah-
rumah indah, posisi-posisi kuat—tak satu pun dari semua ini
akan membawakan kebahagiaan kepada Anda. Bahagia yang awet
hanya datang dari serotonin, dopamin, dan oxytocin.1
Dalam novel distopia Aldous Huxley berjudul Brave New
World, yang diterbitkan pada 1932 di tengah memuncaknya
Depresi Besar, kebahagiaan yaitu nilai tertinggi dan obat
psikiatris menggantikan polisi dan pemungutan suara menjadi
fondasi politik. Setiap hari, setiap orang meminum satu dosis
“soma”, satu obat sintetis yang membuat orang bahagia tanpa
merusak produktivitas dan efisiensi mereka. Negara Dunia yang
memerintah seluruh Bumi tidak pernah terancam oleh perang,
revolusi, serangan, atau demonstrasi sebab semua rakyat sangat
bahagia dengan kondisi yang sedang mereka rasakan, apa pun
itu. Visi Huxley tentang masa depan jauh lebih mengganggu
ketimbang Nineteen Eighty-Four -nya George Orwell. Dunia
Huxley tampaknya mengerikan bagi sebagian besar pembaca,
namun sulit untuk menjelaskan alasannya. Setiap orang bahagia
sepanjang waktu—apanya yang salah dengan itu?
Makna Kehidupan
Dunia Huxley yang membingungkan didasarkan pada asumsi
biologis bahwa kebahagiaan sama dengan kesenangan. Untuk
menjadi bahagia tidak kurang dan tidak lebih yaitu mengalami
kesenangan sensasi-sensasi ragawi. sebab biokimia kita membatasi
volume dan durasi sensasi-sensasi ini, satu-saunya cara agar orang
mengalami kebahagiaan tingkat tinggi dalam rentang waktu yang
panjang yaitu memanipulasi sistem biokimia mereka.
namun definisi kebahagiaan itu ditentang oleh sebagian
464
ahli. Dalam satu studi yang terkenal, Daniel Kahneman, pemenang
Hadiah Nobel di bidang ekonomi, meminta orang untuk
menceritakan hari kerja biasa, menguraikannya episode demi
episode, dan mengevaluasi seberapa besar mereka menikmati atau
tidak menyukai setiap momen. Dia menemukan apa yang tampak
sebagai paradoks dalam sebagian besar pandangan orang tentang
kehidupan mereka. Ambil contoh pekerjaan yang mencakup
kegiatan mengasuh seorang anak. Kahneman menemukan bahwa
saat menghitung momen-momen kegembiraan dan momen-
momen membosankan, membesarkan anak ternyata merupakan
urusan yang agak kurang menyenangkan. Pekerjaan itu meliputi
terutama mengganti popok, mencuci alat-alat makan, dan
mengatasi gejolak tantrum, yang tak seorang pun menyukainya.
Namun, sebagian besar orangtua menyatakan anak-anak mereka
yaitu sumber utama kebahagiaan. Apakah itu berarti bahwa
sesungguhnya orang tidak tahu apa yang baik bagi mereka?
Itu satu opsi. Satunya lagi bahwa temuan-temuan ini
menunjukkan kebahagiaan bukanlah surplus momen kesenangan
atas momen tidak menyenangkan. Namun, kebahagiaan terdiri
dari pemandangan kehidupan secara menyeluruh sebagai hal yang
bermakna dan berharga. Ada satu komponen kognitif dan etik
yang penting pada kebahagiaan. Nilai-nilai kita merupakan hal
yang paling berarti dalam hal apakah kita memandang diri kita
“budak-budak yang menderita bagi bayi diktator” atau “pengasuh
penuh cinta bagi makhluk hidup baru”.2 Sebagaimana dijelaskan
Nietzsche, jika Anda punya jawaban untuk pertanyaan mengapa
harus hidup, Anda pasti mampu mengatasi hampir semua urusan
terkait pertanyaan “bagaimana”-nya. Sebuah kehidupan yang
bermakna bisa sangat memuaskan, bahkan saat berada di tengah
kesulitan, sedang kehidupan yang tidak bermakna yaitu
siksaan berat, betapa pun nyamannya.
Meskipun orang-orang di semua kultur dan era merasakan
jenis kesenangan dan sakit yang sama, makna yang mereka
pandang sebagai asal muasal dari pengalaman-pengalaman mereka
mungkin sangat beragam. Jika demikian, sejarah kebahagiaan
mungkin jauh lebih rumit ketimbang yang dibayangkan para
ahli biologi. Itu yaitu sebuah kesimpulan yang tidak dengan
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
465
sendirinya mendukung modernitas. Kalau kehidupan dinilai menit
demi menit, maka orang-orang abad pertengahan pasti berat.
Namun, jika mereka percaya janji kebahagiaan abadi di akhirat,
mereka tentu memandang kehidupan mereka jauh lebih bermakna
dan berharga ketimbang orang-orang sekuler modern, yang dalam
jangka panjang tidak bisa berharap apa pun kecuali kesunyian
yang sempurna dan tak bermakna. Kalau ditanya “Apakah kamu
puas dengan kehidupanmu secara keseluruhan?”, orang pada
abad pertengahan mungkin memberi angka kuesioner yang
sangat tinggi untuk kesejahteraan subjektif.
Jadi, para leluhur abad pertengahan kita bahagia sebab
mereka menemukan makna kehidupan dalam delusi-delusi
kolektif tentang kehidupan akhirat? Ya. Sepanjang tidak ada
seorang pun yang mengusik fantasi-fantasi mereka, mengapa
tidak? Sejauh yang bisa kita ketahui, dari sudut pandang yang
murni saintifik, kehidupan manusia sama sekali tidak punya
makna. Manusia yaitu hasil dari proses buta evolusi yang
beroperasi tanpa tujuan dan sasaran. Tindakan-tindakan kita
bukanlah bagian dari rencana kosmis ilahiah, dan jika Planet
Bumi harus meledak besok pagi, alam semesta mungkin tetap
berjalan sebagaimana biasanya. Sejauh yang bisa kita ketahui pada
titik ini, subjektivitas manusia tidak akan terjawab. Oleh sebab
itu, setiap makna yang dipandang orang sebagai asal muasal
kehidupan mereka hanyalah delusi. Makna-makna duniawi lain
yang ditemukan warga abad pertengahan dalam kehidupan
mereka tidak lebih delusional ketimbang makna-makna yang
ditemukan humanis, nasionalis, dan kapitalis modern. Para
ilmuwan yang mengatakan kehidupannya bermakna sebab dia
meningkatkan tumpukan pengetahuan manusia, tentara yang
mendeklarasikan kehidupannya bermakna sebab dia berjuang
untuk membela tanah air, dan pengusaha menemukan makna
dalam membangun sebuah perusahaan baru tak kurang delusional
dibandingkan dengan timpalannya pada abad pertengahan,
menemukan makna dalam membaca kitab-kitab suci, berjuang
di Perang Salib, atau membangun katedral baru.
Jadi, mungkin kebahagiaan mensinkronkan delusi-delusi
personal seseorang akan makna dengan delusi-delusi yang bertakan
secara kolektif. Sepanjang narasi personal saya sejalan dengan
narasi orang-orang di sekitar saya, saya bisa meyakinkan diri
bahwa kehidupan saya bermakna, dan menemukan kebahagiaan
dalam keyakinan itu.
Ini kesimpulan yang sangat berat. Apakah kebahagiaan benar-
benar bergantung pada delusi-pribadi?
Kenali Dirimu Sendiri
Jika kebahagiaan didasakan pada perasaan sensasi-sensasi
kesenangan, maka untuk menjadi lebih bahagia kita perlu
merekayasa kembali sistem biokimia kita. Jika kebahagiaan
didasarkan pada perasaan bahwa kehidupan itu bermakna, maka
untuk menjadi lebih bahagia, kita perlu mendelusi diri secara
lebih efektif. Adakah alternatif ketiga?
Kedua pandangan di atas memiliki kesamaan asumsi bahwa
kebahagiaan yaitu sebentuk perasaan subjektif (entah itu
kesenangan atau makna), dan bahwa untuk menilai kebahagiaan
seseorang, yang kita butuhkan hanyalah bertanya bagaimana
perasaan mereka. Bagi banyak orang di antara kita, itu tampak
logis sebab agama dominan dalam masa kita yaitu liberalisme.
Liberalisme memuja perasaan subjektif individu-individu. Ia
memandang perasaan-perasaan ini sebagai sumber otoritas
tertinggi. Apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang indah
dan apa yang buruk, apa yang harus dan apa yang tidak boleh,
semuanya ditentukan oleh apa yang dirasakan setiap orang dari
kita.
Politik liberal didasarkan pada ide bahwa para pemberi
suaralah yang paling tahu, dan tidak dibutuhkan “Saudara Tua”
yang mengajari kita apa yang bagus buat kita. Ekonomi liberal
didasarkan pada ide bahwa pelanggan selalu benar. Seni liberal
mendeklarasikan bahwa keindahan ada di mata penonton. Para
pelajar di sekolah-sekolah dan universitas-universitas liberal
diajari untuk berpikir bagi diri mereka sendiri. Iklan-iklan
mendesak kita “Lakukan saja!” Film-film laga, drama-drama
panggung, opera-opera sabun, novel, dan lagu-lagu pop ringan
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
mengindoktrinasi kita terus menerus: “Jadilah diri sendiri”,
“Dengarlah dirimu sendiri”, “Ikuti kata hatimu”. Jean-Jacques
Rousseau menyatakan pandangan ini dengan cara yang paling
klasik: “Apa yang saya rasakan bagus yaitu bagus. Apa yang
saya rasakan jelek yaitu jelek”.
Orang yang dibesarkan sejak bayi dengan diet dari slogan-
slogan semacam itu cenderung percaya bahwa kebahagiaan yaitu
perasaan subjektif dan bahwa setiap individu yaitu yang paling
tahu apakah dia bahagia atau menderita. Namun, pandangan
ini unik pada liberalisme. Sebagian besar agama dan ideologi
sepanjang sejarah menyatakan bahwa ada garis pengukur objektif
untuk kebaikan dan keindahan, dan untuk masalah bagaimana
keadaan yang seharusnya. Mereka mencurigai perasaan dan
pilihan orang biasa. Di gerbang kuil Apollo di Delphi, para
peziarah disambut prasasti berbunyi: “Kenali dirimu sendiri!”
Implikasinya yaitu bahwa rata-rata orang tidak mengenal dirinya
yang sejati, dan sebab itu kemungkinan tidak tahu kebahagiaan
yang sejati. Freud mungkin akan setuju.*
Demikian pula para teolog Kristen. St. Paulus dan St.
Augustinus tahu sepenuhnya bahwa jika Anda bertanya kepada
orang-orang tentang ini, sebagian besar dari mereka akan memilih
untuk berhubungan seks ketimbang berdoa kepada Tuhan.
Apakah itu membuktikan bahwa berhubungan seks yaitu kunci
kebahagiaan? Tidak, menurut Paulus dan Augustinus. Itu hanya
membuktikan bahwa manusia memang berdosa secara alamiah,
dan bahwa orang dengan mudah tergoda oleh Setan. Dari sudut
pandang Kristen, mayoritas besar orang kurang lebih ada dalam
situasi yang sama seperti para pencandu heroin. Bayangkan
seorang psikolog memulai sebuah studi tentang kebahagiaan di
kalangan para pengguna obat bius. Dia meneliti mereka dan
menemukan mereka menyatakan, setiap orang dari mereka, bahwa
* Secara paradoks, sementara studi-studi psikologi tentang kesejahteraan subjektif
bergantung pada kemampuan orang untuk mendiagnosis kebahagiaan mereka
dengan benar, raison d’etre dasar dari psikoterapi yaitu bahwa orang sesungguhnya
tidak tahu diri mereka sendiri dan bahwa mereka terkadang membutuhkan bantuan
profesional untuk membebaskan diri mereka dari perilaku-perilaku yang merusak
diri.
468
mereka hanya bahagia saat dalam keadaan melayang. Apakah
para psikolog akan menerbitkan makalah yang menyatakan bahwa
heroin merupakan kunci kebahagiaan?
Ide bahwa perasaan-perasaan bukan untuk dipercaya tidak
hanya terbatas pada Kristen. Paling tidak saat berurusan dengan
nilai perasaan-perasaan, bahkan Darwin dan Dawkins mungkin
menemukan dasar yang sama dengan St. Paulus dan St. Augustinus.
Menurut teori Gen Egois, seleksi alam membuat orang, seperti
organisme-organisme lainnya, memilih apa yang baik untuk
reproduksi dari gen mereka, sekalipun buruk bagi mereka sendiri
sebagai individu. Sebagian besar pejantan menghabiskan hidup
mereka untuk bekerja keras, gelisah, bersaing, dan berkelahi,
bukan menikmati kesenangan yang damai sebab DNA mereka
memanipulasi untuk tujuan egoisnya sendiri. Seperti Setan, DNA
memakai kesenangan-kesenangan sekejap untuk menggoda
orang dan menempatkan mereka dalam kekuasaannya.
Sebagian besar agama dan filsafat sebagai akibatnya
telah mengambil pendekatan yang sangat berbeda ketimbang
liberalisme.3 Posisi Buddhis sangat menarik. Buddhisme
menempatkan masalah kebahagiaan lebih penting ketimbang
mungkin semua kredo lain manusia. Selama 2.500 tahun, umat
Buddha mempelajari secara sistematis esensi dan penyebab-
penyebab kebahagiaan, yang menjadi penyebab mengapa ada
minat yang tumbuh di kalangan komunitas saintifik pada filosofi
dan praktik-praktik meditasi mereka.
Buddhisme memiliki kesamaan pandangan dasar dengan
pendekatan biologis untuk masalah kebahagiaan, yakni bahwa
kebahagiaan merupakan hasil dari proses-proses yang terjadi
dalam tubuh seseorang, dan bukan dari peristiwa-peristiwa di
dunia luar. Meskipun demikian, dari kesamaan pandangan itu,
Buddhisme mencapai konklusi-konklusi yang sangat berbeda.
Menurut Buddhisme, sebagian besar orang mengidentifikasi
kebahagiaan dengan perasaan-perasaan gembira dan meng-
identifikasi penderitaan dengan perasaan-perasaan tidak senang.
Akibat nya, orang menganggap apa yang dirasakannya sebagai
sumber makna yang besar, dengan bernafsu untuk mengalami
terus-menerus kesenangan, seraya menghindari rasa sakit. Apa
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
469
pun yang kita lakukan dalam hidup, entah itu merentangkan
kaki, gelisah di atas kursi, atau berperang di perang dunia, kita
hanya berusaha mendapatkan perasaan senang.
Problemnya, menurut Buddhisme, yaitu perasaan-perasaan
kita tidak lebih dari getaran-getaran sementara, yang berubah
setiap saat, seperti gelombang samudra. Jika 5 menit lalu saya
merasakan kegembiraan membuncah, kini perasaan-perasaan itu
hilang, dan saya mungkin merasa sedih dan kesal. Jadi, jika saya
ingin mengalami perasaan-perasaan senang, saya harus terus-
menerus memburunya, sambil menyingkirkan perasaan-perasaan
yang tidak menyenangkan. Kalaupun berhasil, saya segera harus
memulai dari awal lagi, tanpa pernah mendapatkan imbalan yang
langgeng untuk kesulitan-kesulitan saya.
Apa yang membuat pengejaran imbalan kekal seperti itu
menjadi begitu penting? Mengapa berjuang begitu keras untuk
mencapai sesuatu yang hilang hampir sesaat saat diraih?
Menurut Buddhisme, akar penderitaan bukanlah perasaan sakit,
juga bukan kesedihan, bahkan ketidakbermaknaan. Namun,
akar sesungguhnya dari penderitaan yaitu pengejaran tanpa
akhir dan tanpa makna perasaan-perasaan kekekalan, yang
memicu kita terus berada dalam keadaan tegang, gelisah,
dan kecewa. sebab pengejaran ini, pikiran tidak pernah puas.
Bahkan, saat mengalami kesenangan, itu bukan kebahagiaan
sebab ada kekhawatiran perasaan ini akan segera hilang, dan
bernafsu agar perasaan ini terus ada dan membesar.
Orang-orang dibebaskan dari penderitaan bukan saat
mereka mengalami kesenangan ini-itu, namun lebih saat mereka
memahami sifat tidak permanen dari segala perasaan mereka,
dan berhenti bernafsu padanya. Inilah tujuan praktik-praktik
meditasi Buddha. Dalam meditasi, Anda diharuskan menelusuri
secara dekat pikiran dan tubuh Anda, menyaksikan pasang-
surut tiada henti semua perasaan Anda, dan menyadari betapa
tidak bermaknanya memburu itu semua. saat pengejaran
berhenti, pikiran menjadi sangat santai, jernih, dan puas. Semua
jenis perasaan terus pasang dan surut—kegembiraan, amarah,
kejemuan, berahi—namun begitu Anda berhenti bernafsu pada
perasaan-perasaan tertentu, Anda bisa menerimanya sesuai dengan
470
tujuannya yang hakiki. Anda hidup dalam masa sekarang, bukan
berfantasi tentang apa yang seharusnya terjadi.
Ketenangan yang dihasilkan begitu mendalam sehingga
mereka yang menghabiskan waktu hidup mereka dalam
pengejaran gila-gilaan perasaan-perasaan kesenangan nyaris tidak
mungkin mampu membayangkannya. Ini seperti seorang yang
berdiri selama beberapa dekade di pantai, memeluk ombak-ombak
tertentu yang “bagus” dan berusaha mencegahnya terpecah, sambil
secara simultan mendorong mundur ombak-ombak yang jelek
untuk mencegahnya kembali mendekatinya lagi. Hari demi hari
berlalu, orang itu berdiri di pantai, membuat dirinya gila dengan
upaya sia-sia. Akhirnya, dia duduk di atas pasir dan membiarkan
saja ombak datang dan pergi sesukanya. Alangkah damainya!
Ide ini begitu asing bagi kultur liberal modern sehingga
saat gerakan-gerakan New Age di Barat bertemu dengan
pandangan Buddha, mereka menerjemahkannya ke dalam
terminologi liberal, kemudian menyalakannya di kepala mereka.
Kultus-kultus New Age sering menyatakan: “Kebahagiaan tidak
bergantung pada kondisi-kondisi eksternal. Ia bergantung hanya
pada apa yang kita rasakan di dalam. Orang harus berhenti
mengejar pencapaian-pencapaian eksternal seperti kekayaan dan
status, dan menghubungkannya dengan perasaan di dalam hati”.
Atau ringkasnya, “Kebahagiaan Dimulai dari Dalam”. Inilah
tepatnya yang dikemukakan para ahli biologi, namun kurang lebih
bertentangan dengan apa yang dikatakan Buddha.
Buddha setuju dengan biologi modern dan gerakan-gerakan
New Age bahwa kebahagiaan independen dari kondisi-kondisi
eksternal. Namun, pandangannya yang lebih penting dan jauh
lebih mendalam yaitu bahwa kebahagiaan sejati juga independen
dari perasaan-perasaan hati kita. Sungguh, semakin besar kita
mementingkan perasaan kita, semakin besar kita bernafsu pada-
nya, dan semakin berat kita menderita.
Rekomendasi Buddha yaitu menghentikan tidak hanya
pengejaran pencapaian-pencapaian eksternal, namun juga
pengejaran perasaan-perasaan dalam hati. Untuk meringkasnya,
kuesioner-kuesioner kesejahteraan subjektif mengidentifikasi
Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya
471
kesejahteraan kita dengan perasaan-perasaan subjektif kita, dan
mengidentifikasi pengejaran kebahagiaan dengan pengejaran
keadaan-keadaan emosional tertentu. Sebaliknya, bagi banyak
filosofi dan agama tradisional seperti Buddhisme, kunci
kebahagiaan yaitu mengetahui kebenaran tentang diri sendiri—
untuk memahami siapa, atau apa, sesungguhnya Anda. Sebagian
besar orang salah mengidentifikasi diri dengan perasaan-perasaan
mereka, pikiran-pikiran mereka, kesukaan dan ketidaksukaan
mereka. saat mereka merasakan amarah, mereka pikir, “Saya
marah. Ini marah saya”. Akibatnya, mereka menghabiskan hidup
untuk menghindari jenis-jenis perasaan tertentu, dan pengejaran
tiada henti itu memerangkap mereka dalam penderitaan.
Jika memang demikian, maka seluruh pemahaman kita
tentang sejarah kebahagiaan mungkin tersesat. Mungkin tidak
begitu penting apakah ekspektasi orang-orang terpenuhi dan
apakah mereka menikmati perasaan-perasaan senang. Pertanyaan
utamanya yaitu apakah orang tahu kebenaran tentang diri
mereka sendiri. Apa bukti yang kita punyai bahwa orang saat ini
memahami kebenaran ini lebih baik daripada para pengembara
kuno atau petani abad pertengahan?
Para ahli baru mulai mempelajari sejarah kebahagiaan
beberapa tahun lalu, dan kita masih merumuskan hipotesis-
hipotesis awal dan mencari metode riset yang tepat. Terlalu dini
untuk mengadopsi kesimpulan-kesimpulan kaku dan mengakhiri
perdebatan yang sesungguhnya bahkan belum dimulai. Yang
penting yaitu untuk mengetahui sebanyak mungkin pendekatan
yang berbeda dan menanyakan pertanyaan yang tepat.
Sebagian besar Artikel sejarah fokus pada ide-ide para pemikir
besar, para jagoan perang pemberani, para santa dermawan, dan
kreativitas para seniman. Mereka memang sudah menceritakan
banyak tentang terjalinnya dan bubarnya struktur-struktur
sosial, tentang bangkut dan runtuhnya imperium-imperium,
tentang penemuan dan penyebaran teknologi-teknologi. Namun,
mereka tidak menceritakan apa-apa tentang bagaimana semua
ini memengaruhi kebahagiaan dan penderitaan individu. Inilah
kekosongan terbesar dalam pemahaman kita tentang sejarah.
Kita sebaikn ya mulai mengisi kekosongan itu.
Artikel ini dimulai dengan menyajikan sejarah sebagai tahap
selanjutnya dalam kontinuum fisika ke kimia dan ke biologi.
Sapiens yaitu subjek kekuatan fisik yang sama, reaksi-reaksi
kimia yang sama dan proses-proses seleksi alam yang sama yang
mengatur semua makhluk hidup. Seleksi alam mungkin telah
memberi Homo sapiens ladang permainan yang jauh lebih besar
ketimbang yang diberikan kepada organisme-organisme lain
mana pun, namun ladang permainan itu masih memiliki batas-
batasnya sendiri. Implikasinya yaitu bahwa, tak peduli apa
pun upaya dan pencapaian-pencapaian mereka, Sapiens tidak
mampu menerobos untuk bebas dari batasan-batasan biologis
mereka yang sudah ditentukan.
namun pada awal abad ke-21, ini tidak lagi benar:
Homo sapiens sedang menembus batas-batas itu. Ia kini sedang
mulai menerobos hukum seleksi alam, menggantinya dengan
hukum desain inteligen.
Selama hampir 4 miliar tahun, setiap organisme tunggal di
muka Bumi berevolusi sesuai kehendak seleksi alam. Bahkan, tak
satu pun yang dirancang oleh satu pencipta inteligen. Jerapah,
misalnya, mendapatkan leher panjang berkat kompetisi di antara
jerapah-jerapah kuno, bukan kehendak makhluk super-inteligen.
Proto-jerapah yang punya leher-leher lebih panjang punya akses
pada makanan lebih banyak sehingga menghasilkan lebih banyak
keturunan ketimbang jerapah yang berleher pendek. Tidak ada
satu pun, tentu saja jerapah juga tidak, yang berkata, “Leher
jenjang memungkinkan jerapah menjangkau daun-daun di puncak
pohon. Ayo panjangkan lehernya.” Keindahan teori Darwin
yaitu bahwa teori itu tidak membutuhkan asumsi suatu desainer
pintar untuk menjelaskan bagaimana jerapah akhirnya memiliki
leher-leher jenjang.
Selama miliaran tahun, desain inteligen bahkan tidak menjadi
opsi sebab memang tidak ada inteligensia yang bisa mendesain
sesuatu. Mikroorganisme, yang hingga masa mutakhir yaitu
satu-satunya makhluk hidup yang mampu mencapai prestasi-
prestasi luar biasa. Satu mikroorganisme dalam satu spesies
bisa memasukkan kode-kode genetika dari satu spesies yang
berbeda sama sekali ke dalam selnya dan sebab itu mendapatkan
kapabilitas baru, seperti resistensi pada antibiotik. Meskipun
demikian, sejauh yang bisa kita ketahui, mikroorganisme tidak
punya kesadaran, tidak punya tujuan hidup, dan tidak punya
kemampuan untuk merencanakan ke depan.
Pada tahap tertentu, organisme seperti jerapah, lumba-lumba,
simpanse, dan Neanderthal berevolusi dalam hal kesadaran dan
kemampuan untuk merencanakan ke depan. Namun, kalaupun
Neanderthal berfantasi tentang unggas yang sangat gemuk dan
bergerak lambat sehingga dia bisa langsung mencaplok kapan
pun dia lapar, dia tidak punya cara untuk mengubah fantasi
itu menjadi realitas. Dia harus memburu burung yang sudah
diseleksi secara alamiah.
Rekahan pertama dalam rezim lama muncul sekitar 10.000
tahun lalu, saat Revolusi Agrikultur. Sapiens yang mengimpikan
ayam gemuk bergerak lambat menemukan bahwa jika mereka
mampu mengawinkan ayam jantan paling gemuk dengan ayam
betina paling lamban, sebagian dari keturunannya akan gemuk
dan lamban. Jika Anda mengawinkan sesama keturunannya,
Anda bisa menghasilkan satu garis keturunan unggas yang gemuk
dan lamban. Itu yaitu ras ayam yang tak dikenal alam, yang
diproduksi dengan desain inteligen bukan dari Tuhan, melainkan
dari manusia.
Tetap saja, dibandingkan dengan semua dewa yang superkuat,
Homo sapiens memiliki keterampilan rancang terbatas. Sapiens
bisa memakai pembiakan selektif untuk mengambil jalan
memutar dan mengakselerasi proses-proses seleksi alam yang
secara normal memengaruhi ayam, namun mereka tidak bisa
memunculkan secara sempurna sifat -sifat baru
yang absen dari lubuk genetik ayam liar. Dalam satu hal,
hubungan antara Homo sapiens dan ayam serupa dengan banyak
hubungan simbiosis lain yang begitu sering muncul sendiri di
alam. Sapiens memakai tekanan-tekanan selektif pada ayam
sehingga memicu ayam yang gemuk dan lamban berbiak,
sebagaimana lebah-lebah penyerbuk memilih bunga sehingga
memicu bunga-bunga berwarna cerah yang berbiak.
Kini, rezim 4 miliar tahun seleksi alam menghadapi tantangan
yang sama sekali berbeda. Dalam laboratorium-laboratorium
di seluruh dunia, para ilmuwan sedang merekayasa makhluk
hidup. Mereka menabrak hukum-hukum seleksi alam dengan
kekebalan, yang bahkan tak bisa dikendalikan oleh sifat
asli organisme. Eduardo Kac, seorang seniman biologi Brasil,
memutuskan pada tahun 2000 untuk menciptakan satu karya
seni baru: seekor kelinci hijau berpijar. Kac mengontak
sebuah laboratorium Prancis dan menawarkannya upah untuk
merekayasa kelinci yang gemerlap sesuai spesifikasi-spesifikasi
yang ditentukannya. Para ilmuwan Prancis mengambil embrio
kelinci putih biasa-biasa saja, menanam ke dalam DNA-nya
satu gen yang diambil dari ubur-ubur hijau gemerlap, dan
voilà ! Seekor kelinci hijau gemerlap untuk le monsieur. Kac
menamainya kelinci Alba.
Mustahil untuk menjelaskan eksistensi Alba dalam hukum
seleksi alam. Ia yaitu produk desain inteligen. Ia juga pelopor
binatang-binatang yang akan muncul. Jika potensi yang
ditunjukkan Alba terwujud sepenuhnya—dan jika manusia tidak
melenyapkan dirinya—Revolusi Saintifik mungkin membuktikan
diri jauh lebih hebat dari sekadar revolusi historis. Ia mungkin
akan muncul sebagai revolusi biologis paling penting sejak
munculnya kehidupan di Bumi. Setelah 4 miliar tahun seleksi
alam, Alba berdiri di ambang sebuah era kosmis baru, yang di
dalamnya kehidupan akan diatur oleh desain inteligen. Jika ini
terjadi, seluruh sejarah manusia sampai titik itu bisa jadi, dengan
melihat kembali ke belakang, akan direinterpretasi sebagai
proses eksperimentasi dan magang yang merevolusi permainan
kehidupan. Proses semacam itu harus dipahami dari perspektif
kosmis miliaran tahun, bukan dari perspektif milenium manusia.
Para ahli biologi di seluruh dunia terkunci dalam pertempuran
dengan gerakan desain inteligen, yang menentang ajaran evolusi
Darwinian di sekolah-sekolah dan mengklaim bahwa kompleksitas
biologi membuktikan pasti ada satu pencipta yang memikirkan
seluruh detail biologis sebelumnya. Para ahli biologi benar
tentang masa lalu, namun para pendukung desain inteligen bisa
jadi, ironisnya, benar tentang masa depan.
Pada saat penulisan ini, penggantian seleksi alam oleh desain
inteligen bisa terjadi dalam satu di antara tiga cara ini: melalui
rekayasa biologi, rekayasa cyborg (makhluk yang menggabungkan
bagian-bagian organik dan non-organik) atau rekayasa kehidupan
in-organik.
Tentang Tikus dan Manusia
Rekayasa biol ogi yaitu intervensi secara sengaja oleh manusia
pada level biologis (misalnya penanaman suatu gen) yang
ditujukan untuk memodifikasi bentuk organisme, kemampuannya,
kebutuhan-kebutuhan atau hasratnya, dalam rangka mewujudkan
suatu ide kultural yang diprakonsepsi, sebagaimana keinginan
Eduardo Kac.
Tidak ada yang baru tentang rekayasa biologi, yang ada di
dalamnya. Orang-orang sudah memakai nya selama ribuan
tahun dalam rangka membentuk ulang diri mereka dan organisme
lain. Satu contoh sederhana yaitu pengebirian. Manusia sudah
mengebiri banteng-banteng mungkin selama 10.000 tahun dalam
rangka menciptakan sapi. Sapi yaitu binatang yang kurang
agresif sehingga lebih mudah dilatih menarik bajak. Manusia
juga mengebiri laki-laki muda mereka sendiri untuk menciptakan
penyanyi-penyanyi soprano dengan suara-suara memesona dan
orang kasim yang bisa dengan aman dipercaya mengawasi harem
sultan.
namun kemajuan-kemajuan belakangan ini dalam
memahami bagaimana organisme-organisme bekerja, sampai ke
level sel dan nuklir, telah membuka kemungkinan-kemungkinan
yang sebelumnya tak terbayangkan. Misalnya, kita kini bisa tidak
hanya mengebiri pria, namun juga mengubah jenis kelaminnya
melalui operasi dan perawatan hormon. Namun, tidak hanya
sampai di situ. Lihat kejutan, sesuatu yang menjijikkan dan
mencemaskan yang terjadi saat , pada 1996, foto ini muncul
di koran-koran dan televisi:
Tidak ada keterlibatan Photoshop. Itu foto tanpa sentuhan
apa pun dari tikus nyata yang pada punggungnya ditanami
sel-sel tulang rawan sapi oleh para ilmuwan. Para ilmuwan
mampu mengendalikan pertumbuhan jaringan daging baru itu,
membentuknya dalam hal ini untuk sesuatu yang tampak seperti
telinga manusia. Proses ini mungkin segera memungkinkan para
ilmuwan memproduksi telinga artifisial, yang kemudian bisa
ditanam di manusia.1
Bahkan, keajaiban yang lebih nyata bisa dilakukan dengan
rekayasa genetika, yang memancing munculnya banyak isu etis,
47. Seekor tikus yang punggungnya ditanami “telinga” oleh para
ilmuwan, terbuat dari sel tulang rawan sapi. Ini benar-benar
sebuah gema yang mengerikan patung singa-manusia dari Gua
Stadel. Tiga puluh ribu tahun lalu, manusia sudah berfantasi
tentang menggabungkan beberapa spesies. Kini, mereka benar-
benar mewujudkan gagasan tak masuk akal semacam itu.
477
politis, dan ideologis. Bukan hanya kaum monotheis taat yang
menolak, bahwa tidak boleh merebut peran Tuhan. Banyak
atheis yang sudah pasti menyatakan terguncang oleh ide bahwa
para ilmuwan sedang menuju sepatu alam. Para aktivis hak-
hak binatang meneriakkan penderitaan yang ditimbulkan pada
binatang-binatang lab dalam eksperimen-eksperimen rekayasa
genetik, dan pada binatang-binatang peternakan yang direkayasa
dalam pengabaian total kebutuhan dan hasrat mereka. Para
aktivis hak asasi manusia takut rekayasa genetika bisa dipakai
untuk menciptakan manusia super yang akan menjadikan kita
semua, manusia yang lain, sebagai budak. Jeremiah menawarkan
visi apokaliptik kediktatoran biologi yang akan mengklon
tentara tanpa rasa takut dan pekerja yang patuh. Perasaan yang
berkembang yaitu bahwa terlalu banyak peluang terbuka terlalu
cepat dan bahwa kemampuan kita untuk memodifikasi gen
melampaui kapasitas kita memanfaatkan kemampuan itu secara
bijaksana dan berpandangan jauh.
Hasilnya yaitu bahwa kita saat ini hanya memakai satu
fraksi dari potensi rekayasa genetika. Sebagian besar organisme
yang kini sedang direkayasa yaitu organisme dengan lobi
politik paling rendah—tumbuhan, jamur, bakteri, dan serangga.
Misalnya, galur-galur E. Coli, satu bakteri yang hidup secara
simbiosis dalam usus manusia (dan yang menjadi judul berita
saat keluar dari usus dan memicu infeksi mematikan),
telah direkayasa secara genetik untuk menghasilkan biofuel.2
E. Coli dan beberapa spesies jamur juga telah direkayasa untuk
memproduksi insulin sehingga menurunkan biaya perawatan
diabetes.3 Satu gen yang diekstrak dari ikan Arktik sudah
dimasukkan ke dalam kentang, menjadikannya tumbuhan yang
lebih tahan beku.4
Beberapa mamalia juga sudah menjadi sasaran rekayasa
genetika. Setiap tahun industri susu menderita kerugian miliaran
dolar akibat mastitis, sebuah penyakit yang menyerang ambing sapi
perah. Para ilmuwan kini sedang bereksperiman dengan sapi-sapi
yang sudah direkayasa yang susunya mengandung lysoptaphin,
satu zat biokimia dengan kemampuan menyerang bakteri yang
memicu penyakit.5 Industri babi, yang menderita akibat
turunnya penjualan sebab konsumen waspada dengan lemak tak
sehat dalam daging babi, memiliki harapan galur babi yang masih
dieksperimen dicangkoki dengan material genetik dari cacing.
Gen-gen baru itu memicu babi mengubah asam lemak
omega 6 yang buruk menjadi sepupunya yang sehat, omega 3.6
Generasi berikutnya rekayasa genetika akan menjadikan babi
yang memiliki lemak bagus tampak seperti mainan anak-anak.
Para ahli genetika telah berhasil tidak hanya memperbesar 6
kali lipat rata-rata harapan hidup cacing, namun juga merekayasa
tikus genius yang menunjukkan memori yang jauh lebih bagus
dan kemampuan belajar.7 Vole yaitu binatang kecil dalam ordo
rodentia menyerupai tikus, dan sebagian varietasnya campur
aduk. Namun, ada satu spesies yang di dalamnya pejantan dan
betinanya membentuk hubungan monogami dan awet. Para ahli
genetika mengklaim telah mengisolasi gen-gen yang bertanggung
jawab atas monogami vole. Jika penambahan satu gen bisa
mengubah seekor vole Don Juan menjadi suami yang loyal dan
pencinta, apakah kita masih jauh dari kemampuan merekayasa
secara genetika tidak hanya kemampuan individual binatang
pengerat (dan manusia), namun juga struktur-struktur sosialnya?8
Kembalinya Neanderthal
namun para ahli genetika tidak hanya ingin mentransformasi
garis keturunan makhluk hidup. Mereka bermaksud menghidupkan
kembali makhluk yang sudah punah juga. Dan, bukan hanya
dinosaurus, seperti dalam Jurassic Park. Satu tim ilmuwan Rusia,
Jepang, dan Korea belum lama ini telah memetakan genom
mamut kuno, yang ditemukan membeku di es Siberia. Mereka
kini berencana mengambil satu sel telur yang sudah difertilisasi
dari gajah masa kini, menggantikan DNA gajah dengan DNA
mamut yang sudah direkonstruksi, dan menanam sel telur itu
dalam rahim seekor gajah. Setelah sekitar 22 bulan, mereka
berharap mamut pertama setelah 5.000 tahun akan lahir.9
namun kenapa harus berhenti pada mamut? Profesor
George Church dari Universitas Harvard baru-baru ini me-
nge muka kan bahwa, dengan rampungnya Proyek Genom
Neanderthal, kita kini bisa menanam DNA Neanderthal yang
sudah direkonstruksi ke dalam sel telur Sapiens sehingga mem-
produksi anak Neanderthal pertama dalam 30.000 tahun. Church
mengklaim bahwa dia bisa melakukan pekerjaan itu untuk recehan
$30 juta. Beberapa perempuan sudah siap menjadi relawati
sebagai ibu pengganti.10
Untuk apa kita butuh Neanderthal? Sebagian berpendapat
bahwa jika kita bisa mempelajari kehidupan Neanderthal, kita
bisa menjawab sebagian pertanyaan paling menggelitik tentang
asal-usul dan keunikan Homo sapiens.
Dengan membandingkan Neanderthal dengan otak manusia,
dan memetakan di mana perbedaan strukturnya, mungkin kita
bisa mengidentifikasi perubahan biologis apa yang menghasilkan
kesadaran sebagaimana yang kita alami. Ada alasan etis juga—
sebagian berpandangan bahwa, jika Homo sapiens bertanggung
jawab atas punahnya Neanderthal, maka Sapiens juga punya
tugas moral untuk membangkitkannya kembali. Dan, keberadaan
Neanderthal di sekeliling kita mungkin berguna juga. Banyak
kalangan industri yang akan dengan senang hati membayar satu
Neanderthal untuk melakukan pekerjaan kasar Sapiens.
namun mengapa berhenti pada Neanderthal? Mengapa
tidak kembali pada papan tulis dan Tuhan dan mendesain
Sapiens yang lebih bagus? Kemampuan, kebutuhan, dan hasrat
Homo sapiens memiliki basis genetika, dan genom Sapiens tidak
lebih rumit ketimbang vole* dan tikus. (Genom tikus terdiri
dari sekitar 2,5 miliar basis nukleo, genom Sapiens sekitar 2,9
miliar basis—berarti yang kedua hanya 14 persen lebih besar.)11
Dalam jangka menengah—mungkin beberapa dekade—rekayasa
genetika dan bentuk-bentuk lain rekayasa biologi bisa jadi akan
memungkinkan kita untuk membuat perubahan-perubahan yang
berdampak jauh tidak hanya pada psikologi, sistem kekebalan,
dan harapan hidup, namun juga pada kapasitas intelektual dan
emosional. Jika rekayasa genetika bisa menciptakan tikus genius,
* Hewan pengerat kecil menyerupai tikus, namun memiliki tubuh lebih gemuk,
ekor lebih pendek, kepala lebih bundar, serta mata dan telinga lebih kecil. Kadang
disebut tikus ladang atau tikus padang rumput.—peny.
mengapa tidak manusia genius? Jika kita bisa menciptakan vole
monogami, mengapa tidak manusia yang terprogram untuk tetap
setia pada pasangan mereka?
Revolusi Kognitif yang mengubah Homo sapiens dari kera
yang tidak signifikan menjadi penguasa dunia tidak mengharuskan
perubahan apa pun yang berarti dalam psikologi, atau bahkan
dalam ukuran dan bentuk eksternal otak Sapiens. Tampaknya
yang dibutuhkan tak lebih dari beberapa perubahan kecil pada
struktur otak internal. Mungkin perubahan kecil lainnya sudah
cukup untuk memantik Revolusi Kognitif Kedua, menciptakan
satu jenis kesadaran yang sama sekali baru, dan mentransformasi
Homo sapiens menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali.
Benar, kita masih belum punya kecerdasan untuk mencapai
ini, namun tampaknya tidak ada hambatan teknis yang tak teratasi,
yang mencegah kita menghasilkan manusia super. Hambatan
utamanya yaitu penolakan etis dan politis yang memperlambat
riset pada manusia. Dan tak peduli betapa meyakinkan argumen-
argumen etis itu, sulit untuk melihat bagaimana mereka bisa
bertahan lebih lama lagi untuk tidak maju ke langkah berikutnya,
terutama jika taruhannya yaitu kemungkinan memperpanjang
kehidupan manusia tanpa batas, menaklukkan penyakit-penyakit
yang tak bisa disembuhkan, dan menaikkan tingkat kemampuan
kognitif dan emosional kita.
Apa yang terjadi, misalnya, jika kita mengembangkan suatu
pengobatan penyakit Alzheimer yang, sebagai keuntungan
sampingannya, bisa secara dramatis memperbaiki memori
orang-orang yang sehat? Apakah ada orang yang akan mampu
menghentikan riset yang relevan? Dan, saat pengobatan itu
dikembangkan, bisakah institusi penegakan hukum mana pun
membatasi ini pada pasien Alzheimer dan mencegah orang sehat
memakai nya untuk memperoleh memori super?
Belum jelas apakah rekayasa biologi bisa benar-benar
membangkitkan kembali Neanderthal, namun itu akan sangat
mungkin menyibak tabir pada Homo sapiens. Bermain-main
dengan gen kita tidak dengan sendirinya membunuh kita. Namun,
kita mungkin menggesek biola bersama Homo sapiens sampai
ke tingkat bahwa kita tidak akan lagi menjadi Homo sapiens.
Kehidupan Bionic
Ada teknologi baru lain yang bisa mengubah hukum kehidupan:
rekayasa cyborg. Cyborg yaitu makhluk yang menggabungkan
bagian-bagian organik dan in-organik, seperti satu manusia
dengan tangan besi. Dalam satu pengertian, hampir semua kita
yaitu bionic masa sekarang sebab indra dan fungsi-fungsi
alamiah kita diperkuat oleh alat-alat seperti kacamata, alat pacu
jantung, ortotik, dan bahkan komputer dan telepon mobile (yang
membebaskan otak kita dari penyimpanan dan pemrosesan data).
Kita sudah berdiri di ambang menjadi cyborg yang sesungguhnya,
memiliki fitur-fitur in-organik yang tak terpisahkan dari tubuh
kita, fitur-fitur yang memodifikasi kemampuan kita, hasrat-hasrat,
personalitas, dan identitas kita.
The Defence Advanced Research Projects Agency (DARPA),
sebuah badan riset militer Amerika Serikat sedang mengembangkan
cyborg dari serangga. Idenya yaitu menanam chip, detektor,
dan prosesor elektronik dalam tubuh lalat atau kecoak, yang
akan mamungkinkan seorang manusia atau operator otomatis
mengendalikan gerakan serangga itu dari jauh dan menyerap
serta mentransmisi informasi. Lalat semacam itu bisa hinggap
di tembok markas besar musuh, menguping rahasia percakapan
yang paling rahasia, dan jika tidak tertangkap oleh laba-laba, lalat
itu bisa menginformasikan secara tepat apa yang direncanakan
oleh musuh.12 Pada 2006, Pusat Pertempuran Bawah Laut
Angkatan Laut Amerika Serikat (NUWC) melaporkan niatnya
untuk mengembangkan cyborg hiu, dengan mendeklarasikan,
“NUWC sedang mengembangkan suatu penanda ikan dengan
tujuan mengontrol perilaku binatang yang ditandai via penanaman
neuron”. Para pengembang berharap bisa mengidentifikasi ladang-
ladang elektromagnetik yang ditimbulkan oleh kapal selam
dan ranjau, yang mengeksploitasi kapabilitas deteksi magnetik
alamiah atas hiu-hiu, yang unggul di atas semua detektor buatan
manusia mana pun.13
Sapiens juga sedang diubah menjadi cyborg. Generasi
terbaru alat bantu dengar terkadang disebut sebagai “telinga
bionic”. Alat itu terdiri dari satu cangkokan yang menyerap
suara melalui mikrofon yang ditempatkan di bagian luar telinga.
Cangkokan itu menyaring suara, mengidentifikasi suara manusia,
dan menerjemahkannya ke dalam sinyal elektrik yang dikirim
langsung ke saraf auditori pusat dan dari sana ke otak.14
Cangkokan retina, sebuah perusahaan Jerman yang disponsori
pemerintah, sedang mengembangkan retina buatan yang bakal
memungkinkan orang buta mendapatkan penglihatan parsial.
Prosesnya mencakup pencangkokan sebuah microchip dalam mata
pasien. Sel-sel foto menangkap cahaya yang jatuh di mata dan
mentransformasikan ke energi listrik, yang menstimulasi sel-sel
saraf dalam retina yang masih utuh. Impuls-impuls saraf dari sel-
sel ini menstimulasi otak, di sana impuls-impuls itu diterjemahkan
menjadi pandangan. Saat ini teknologi ini memungkinkan
pasien mengorientasi diri dalam ruang, mengidentifikasi huruf,
dan bahkan mengenali wajah.15 Jesse Sullivan, seorang tukang
listrik Amerika, kehilangan kedua tangannya sampai bahu dalam
kecelakaan pada 2001. Kini, dia memakai dua tangan bionic,
hadiah dari Institut Rehabilitasi Chicago. Fitur istimewa tangan
baru Jesse yaitu bahwa keduanya dioperasikan dengan pikiran
saja. Sinyal-sinyal neuron yang tiba dari otak Jesse diterjemahkan
dengan mikro-komputer menjadi perintah elektrik, dan tangan
bergerak. saat Jesse ingin mengangkat tangan, dia melakukan
apa yang dilakukan tanpa sadar oleh orang normal—tangan naik.
Kedua tangan ini bisa melakukan gerakan yang jauh lebih terbatas
ketimbang tangan organik, namun memungkinkan Jesse untuk
melakukan fungsi-fungsi harian yang sederhana. Tangan bionic
serupa belum lama ini sudah dipasang untuk Claudia Mitchell,
tentara Amerika yang kehilangan tangan dalam kecelakaan
sepeda motor. Para ilmuwan percaya bahwa kita akan segera
memiliki tangan bionic yang tidak hanya akan bergerak kalau
diperintahkan untuk bergerak, namun juga akan mampu mengirim
sinyal kembali ke otak sehingga memungkinkan orang yang
diamputasi mendapatkan kembali sensasi sentuhan!16
Saat ini tangan-tangan bionic yaitu pengganti buruk untuk
tangan orisinal organik, namun ada potensi untuk pengembangan
tak terbatas. Tangan-tangan bionic, misalnya, bisa dibuat jauh
lebih kuat ketimbang tangan organik sehingga membuat bahkan
seorang juara tinju merasa seperti seorang yang lemah. Lebih dari
itu, tangan-tangan bionic memiliki keunggulan bahwa tangan-
tangan itu bisa diganti setiap beberapa tahun, atau dilepas dari
tubuh dan dioperasikan dari jauh.
Para ilmuwan dari Universitas Duke di North Carolina belum
lama ini mendemonstrasikan ini dengan kera rhesus yang otaknya
sudah dicangkoki sejumlah elektroda. Elektroda-elektroda itu
mengumpulkan sinyal dari otak dan mentransmisinya ke alat-alat
eksternal. Monyet itu sudah dilatih untuk mengontrol tangan
dan kaki bionic lepas melalui pikiran saja. Satu kera bernama
Aurora, belajar untuk mengontrol dengan pikiran satu tangan
bionic lepas sambil secara simultan menggerakkan kedua tangan
organiknya. Seperti dewi Hindu, Aurora kini memiliki tiga
tangan, dan semua tangannya bisa diletakkan di ruang-ruang
berbeda—atau bahkan di kota yang berbeda. Dia bisa duduk di
lab North Carolina, menggaruk punggung dengan satu tangan,
menggaruk kepala dengan tangan kedua, dan secara simultan
mencuri sebuah pisang di New York (meskipun kemampuan untuk
8. Jesse Sullivan dan Claudia Mitchell berpegangan tangan. Hal
yang mengagumkan dari tangan bionic mereka yaitu bahwa
tangan-tangan itu bisa dioperasikan dengan pikiran.
makan buah curian dari jarak jauh masih mimpi). Kera rhesus
lainnya, Idoya, meraih ketenaran di seluruh dunia pada tahun
2008 saat dia mengontrol dengan pikirannya sepasang dua
kaki bionic di Kyoto, Jepang, dari kursinya di North Carolina.
Kedua kaki itu memiliki berat 20 kali berat Idoya.17
Sindrom terkunci-di-dalam yaitu kondisi saat seseorang
kehilangan semua atau hampir semua kemampuannya untuk
menggerakkan bagian mana pun tubuhnya, sedang
kemampuan kognisinya tetap utuh. Para pasien yang menderita
sindrom ini sampai sekarang mampu berkomunikasi dengan
dunia luar hanya melalui gerakan kecil mata. Namun, beberapa
pasien sudah memiliki elektroda-elektroda pengumpul sinyal otak
yang dicangkokkan dalam otak mereka. Upaya-upaya sedang
dilakukan untuk menerjemahkan sinyal-sinyal ini tidak
semata-mata menjadi gerakan, namun juga menjadi kata-kata.
Jika eksperimen-eksperimen ini sukses, pasien terkunci-di-dalam
pada akhirnya akan bisa berbicara langsung dengan dunia luar,
dan kita mungkin pada akhirnya akan mampu memakai
teknologi itu untuk membaca pikiran orang lain.18
Meskipun demikian, dari semua proyek yang sedang
dikembangkan, yang paling revolusioner yaitu upaya untuk
merancang antarmuka komputer-otak dua arah yang akan
memungkinkan komputer membaca sinyal-sinyal elektrik otak
manusia, dengan mentransmisi secara simultan sinyal-sinyal
yang bisa dibaca otak. Bagaimana jika antarmuka semacam itu
dipakai untuk menghubungkan secara langsung satu otak
dengan internet, atau untuk menghubungkan secara langsung
beberapa otak sehingga menciptakan suatu bentuk inter-
brain-net? Apa yang mungkin terjadi pada memori manusia,
kesadaran manusia, dan identitas manusia jika otak memiliki
akses langsung ke memori kolektif bank? Dalam situasi seperti
itu, satu cyborg bisa, misalnya, menarik memori dari cyborg
lain—tidak mendengar tentang mereka, tidak membaca tentang
mereka dalam sebuah otobiografi, tidak membayangkan mereka,
namun langsung mengingatnya seakan-akan memori itu yaitu
memorinya sendiri. Apa yang terjadi dengan konsep-konsep
seperti diri dan identitas gender saat pikiran menjadi kolektif?
Bagaimana Anda bisa tahu diri Anda sendiri atau mengikuti
impian Anda jika impian tidak dalam pikiran Anda, namun dalam
suatu penampungan aspirasi kolektif?
Cyborg seperti itu tidak lagi menjadi manusia, atau bahkan
organik. Ia akan menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda. Ia
akan menjadi suatu jenis makhluk yang begitu berbeda secara
fundamental sehingga kita tidak bisa membayangkan dampak
filosofis, psikologis, atau politisnya.
Kehidupan Lain
Cara ketiga untuk mengubah hukum-hukum kehidupan yaitu
merekayasa makhluk-makhluk in-organik sepenuhnya. Contoh-
contoh yang paling jelas yaitu program-program komputer dan
virus-virus komputer yang bisa menjalani evolusi independen.
Bidang pemrograman genetika kini menjadi salah satu titik yang
paling menarik dalam dunia sains komputer. Bidang ini mencoba
meniru metode-metode evolusi genetika. Banyak pemrogram
mengimpikan penciptaan sebuah program yang dapat belajar dan
berevolusi secara sempurna independen dari penciptanya. Dalam
hal ini, pemrogram akan menjadi primum mobile, penggerak
pertama, namun ciptaannya akan menjadi bebas berevolusi ke
arah yang tidak dirancang oleh pembuatnya maupun oleh siapa
pun manusia lain.
Sebuah prototipe program semacam itu sudah ada—ia disebut
virus komputer. Saat menyebar di internet, virus mereplikasi
diri berjuta-juta kali, sementara sedang diburu oleh program-
program predator antivirus dan bersaing dengan virus-virus
lain untuk mendapatkan tempat di ruang cyber. Suatu hari
saat virus mereplikasi diri sebuah kesalahan terjadi—sebuah
mutasi terkomputerisasi. Mungkin mutasi terjadi sebab insinyur
manusianya memprogram virus itu untuk sesekali melakukan
kesalahan replikasi acak. Mungkin mutasi itu disebabkan oleh
kesalahan acak. Jika, secara kebetulan, virus hasil modifikasi
lebih ahli dalam menginvasi komputer lain, ia akan menyebar ke
seluruh ruang cyber. Jika demikian, mutan-mutan akan bertahan
dan bereproduksi. Seiring waktu berjalan, ruang cyber akan
penuh dengan virus baru yang tidak dirancang oleh siapa pun,
dan yang mengalami evolusi non-organik.
Apakah semua ini makhluk hidup? Tergantung pada apa
yang Anda maksud “makhluk hidup”. Virus-virus itu sudah
pasti diproduksi oleh satu proses evolusi baru, yang sepenuhnya
independen dari hukum dan batasan evolusi organik.
Bayangkan kemungkinan lain—anggaplah Anda bisa mem-
back-up otak Anda ke satu hard-drive portabel dan kemudian
menjalankannya pada laptop. Apakah laptop Anda mampu
berpikir dan merasa seperti Sapiens? Jika demikian, apakah
itu akan menjadi Anda atau orang lain? Bagaimana jika para
pemrogram bisa menciptakan pikiran yang sepenuhnya baru
namun digital, yang terdiri atas kode komputer, dilengkapi
dengan perasaan akan diri, kesadaran, dan memori? Jika Anda
menjalankan program itu di komputer Anda, apakah ia menjadi
person? Jika Anda menghapusnya, bisakah Anda dituduh
membunuh?
Kita mungkin akan segera mendapat jawaban atas pertanyaan
semacam itu. Human Brain Project, yang didirikan pada 2005,
berharap menciptakan kembali satu otak manusia lengkap dalam
sebuah komputer, dengan sirkuit elektronik dalam komputer
meniru jaringan sel saraf di dalam otak. Direktur proyek itu
mengklaim bahwa, jika didanai secara memadai, dalam satu atau
dua dekade, kita bisa memiliki satu otak manusia artifisial dalam
sebuah komputer yang bisa berbicara dan berperilaku sangat mirip
dengan manusia. Jika berhasil, itu akan bermakna bahwa setelah 4
miliar tahun berkeliaran di dalam dunia kecil lingkungan organik,
kehidupan akan tiba-tiba menyeruak ke alam in-organik yang
sangat besar, siap untuk mengambil bentuk-bentuk di luar impian
kita yang paling liar. Tak semua ahli setuju, memang, bahwa
pikiran bekerja dalam cara analog dengan komputer-komputer
digital masa kini—dan jika memang tidak, komputer-komputer
masa kini tidak akan mampu menstimulasinya. Namun, bodoh
kalau kita menolak secara kategoris kemungkinan itu sebelum
membiarkannya untuk dicoba. Pada 2013 proyek itu menerima
bantuan €1 miliar dari Uni Eropa.
Singularitas
Saat ini, memang baru fraksi mungil dari peluang-peluang baru
ini yang sudah terealisasi. Namun, dunia 2013 sudah menjadi
sebuah dunia yang di dalamnya kultur melepaskan diri dari
belenggu-belenggu biologi. Kemampuan kita untuk merekayasa
tidak semata-mata dunia di sekitar kita, namun yang paling penting
dunia di dalam tubuh dan pikiran kita, sedang berkembang dalam
kecepatan yang mencengangkan. Semakin banyak dan semakin
banyak bidang aktivitas sedang diguncang dengan cara-cara di luar
kewajaran. Para pengacara perlu memikirkan ulang isu-isu privasi
dan identitas; pemerintah-pemerintah menghadapi persoalan-
persoalan pemikiran ulang perawatan kesehatan dan kesetaraan;
asosiasi-asosiasi olahraga dan institusi-institusi pendidikan perlu
mendefinisi ulang permainan adil dan prestasi; lembaga-lembaga
dana pensiun dan pasar buru harus menyesuaikan ulang dengan
sebuah dunia yang di dalamnya 60 mungkin menjadi 30 yang
baru. Mereka semua harus berurusan dengan teka-teki rekayasa
biologi, cyborg, dan kehidupan in-organik.
Pemetaan pertama genom manusia membutuhkan waktu 15
tahun dan $ 3 miliar. Kini Anda bisa memetakan DNA satu orang
dalam beberapa pekan dan dengan biaya beberapa ratus dolar.20
Era personalisasi kedokteran—kedokteran yang mencocokkan
perawatan dengan DNA—sudah dimulai. Dokter keluarga bisa
segera memberi tahu Anda dengan kepastian yang lebih besar
bahwa Anda menghadapi risiko kanker hati, sementara Anda
tidak perlu khawatir terlalu banyak tentang serangan jantung.
Dokter bisa memastikan bahwa sebuah medikasi populer yang
membantu 92 persen orang tidak berguna bagi Anda, dan Anda
harus mengambil pil lain, yang fatal bagi banyak orang lain namun
tepat untuk Anda. Jalan menuju kedokteran nyaris-sempurna
sudah berada di depan kita.
Meskipun demikian, bersama perbaikan-perbaikan dalam
pengetahuan medis akan datang juga teka-teki etik baru. Para
ahli etika dan hukum sudah bergulat dengan isu pelik privasi
berkaitan dengan DNA. Apakah perusahaan-perusahaan asuransi
akan berhak meminta pindai DNA kita dan menaikkan preminya
jika mereka menemukan kecenderungan genetika pada perilaku
sembrono? Apakah kita akan diharuskan mengirim melalui faks
DNA kita, bukan biodata kita, ke para calon majikan? Bisakah
seorang majikan memilih kandidat sebab DNA-nya terlihat
lebih bagus? Atau, bisakah kita menggugat dalam kasus-kasus
semacam itu atas tuduhan “diskriminasi genetika”? Bisakah
sebuah perusahaan yang mengembangkan makhluk baru atau
organ baru mendaftarkan paten atas deretan DNA-nya? Jelas
bahwa orang bisa memiliki ayam khas, namun bisakah memiliki
spesies secara keseluruhan?
Dilema semacam itu tidak ada apa-apanya dengan implikasi-
implikasi etis, sosial, dan politis dari Project Gilgamesh dan
potensi kemampuan-kemampuan baru kita untuk menciptakan
manusia super. Deklarasi Hak Asasi Manusia, program medis
pemerintah di seluruh dunia, program-program asuransi kesehatan
nasional, dan konstitusi nasional di seluruh dunia mengakui
bahwa satu warga manusia harus memberi semua anggotanya
perawatan medis yang adil dan menjaga mereka dalam kondisi
kesehatan yang relatif baik. Itu semua baik-baik saja sepanjang
kedokteran berurusan terutama pada pencegahan dan pengobatan
sakit. Apa yang mungkin terjadi saat kedokteran menjadi
sibuk dengan penguatan kemampuan manusia? Akankah semua
manusia berhak mendapatkan kemampuan-kemampuan yang
sudah diperkuat semacam itu, atau akankan ada suatu elite baru
manusia super?
Dunia modern akhir kita membanggakan diri pada peng-
akuan, untuk kali pertama dalam sejarah, kesetaraan dasar
semua manusia, namun ia mungkin terdorong untuk menciptakan
warga yang paling tidak setara di antara semua warga .
Sepanjang sejarah, kelas-kelas atas selalu mengklaim sebagai lebih
pintar, lebih kuat, dan umumnya lebih baik ketimbang kelas
bawah. Mereka biasanya mendelusi diri. Seorang bayi yang lahir
dalam keluarga petani miskin berkemungkinan menjadi sama
pintarnya dengan putra mahkota. Dengan bantuan kapabilitas
baru kedokteran, kehendak kelas-kelas atas mungkin segera
menjadi realitas objektif.
Ini bukan fiksi sains. Sebagian besar plot fiksi sains meng-
gambarkan suatu dunia yang di dalamnya Sapiens—yang identik
dengan kita—menikmati teknologi superior seperti pesawat
ruang angkasa berkecepatan cahaya dan senjata-senjata laser.
Dilema etik dan politik yang pokok pada plot-plot ini diambil
dari dunia kita sendiri, dan semata-mata hanya menciptakan
ketegangan emosional dan sosial terhadap latar futuristik. Namun,
potensi riil teknologi-teknologi masa depan yaitu mengubah
Homo sapiens itu sendiri, termasuk emosi dan hasrat kita, dan
bukan semata-mata kendaraan-kendaraan dan senjata-senjata
kita. Apalah artinya pesawat ruang angkasa kalau dibandingkan
dengan cyborg yang muda selamanya, yang tidak berbiak dan
tidak punya seksualitas, yang bisa membagi pikiran langsung
kepada makhluk lain, yang kemampuan-kemampuannya untuk
fokus dan mengingat ribuan kali lebih besar daripada kemampuan
kita, dan yang tidak pernah marah atau sedih, namun memiliki
emosi dan hasrat yang belum bisa kita bayangkan?
Fiksi sains jarang menggambarkan masa depan semacam itu
sebab sebuah deskripsi akurat per definisi tak bisa dipahami.
Menghasilkan sebuah film tentang kehidupan super-cyborg
mirip dengan memproduksi Hamlet untuk audiens Neanderthal.
Sungguh, para penguasa masa depan dunia mungkin semakin
berbeda dari kita ketimbang Neanderthal. Sementara kita dan
Neanderthal kurang lebih yaitu manusia, sedang para pewaris
kita akan seperti dewa.
Para ahli fisika mendefinisikan Big Bang sebagai sebuah
singularitas. Itu yaitu sebuah titik yang padanya semua hukum
alam yang sudah diketahui tidak ada. Waktu juga tidak ada. Jadi,
tak bermakna mengatakan ada sesuatu “sebelum” Big Bang. Kita
mungkin cepat mendekati sebuah singularitas baru, saat semua
konsep yang memberi makna pada dunia kita—saya, Anda, laki-
laki, perempuan, cinta dan benci—akan segera tidak relevan.
Segala yang terjadi di luar titik itu tidak punya makna bagi kita.
Nubuat Frankenstein
Pada 1818, Mary Shelley menerbitkan Frankenstein, kisah
tentang seorang ilmuwan yang menciptakan makhluk artifisial
yang tak terkendali dan membuat kekacauan. Dalam 2 abad
terakhir, cerita yang sama telah diceritakan berulang-ulang
dalam versi-versi yang tak terhitung jumlahnya. Ia telah menjadi
pilar utama mitologi saintifik baru kita. Pada mulanya, cerita
Frankenstein tampaknya mengingatkan kepada kita bahwa jika
kita mencoba bermain menjadi Tuhan dan insinyur kehidupan,
kita akan menerima hukuman yang sangat hebat. Namun, kisah
itu memiliki makna yang lebih dalam.
Mitos Frankenstein menghadapkan Homo sapiens pada
fakta bahwa hari-hari akhir sedang mendekat. Jika tidak ada
intervensi nuklir atau bencana ekologis, demikian menurut cerita
itu, kecepatan perkembangan teknologi akan segera menuju
penggantian Homo sapiens dengan makhluk yang sama sekali
berbeda, yang memiliki tidak hanya jiwa yang berbeda, namun juga
sesuatu yang bakal membingungkan sebagian besar Sapiens. Kita
suka memercayai bahwa pada masa depan orang-orang seperti
kita akan bepergian dari planet ke planet dengan pesawat ruang
angkasa. Kita tidak suka berkontemplasi tentang kemungkinan
bahwa pada masa depan, makhluk-makhluk dengan emosi-emosi
dan identitas-identitas seperti kita tidak akan ada lagi, dan tempat
kita akan digantikan oleh bentuk-bentuk kehidupan alien, yang
kemampuannya membuat kemampuan kita tidak ada apa-apanya.
Bisa saja kita menemukan kenyamanan dengan ide bahwa
Dr. Frankenstein menciptakan sebuah monster mengerikan, yang
harus kita hancurkan dalam rangka menyelamatkan diri. Kita suka
mengisahkan cerita dengan cara itu sebab itu mengimplikasikan
bahwa kita yaitu yang terbaik di antara semua makhluk,
bahwa tidak pernah dan tidak akan pernah ada sesuatu yang
lebih baik dari kita. Setiap upaya untuk memperbaiki kita akan
gagal dengan sendirinya sebab sekalipun tubuh kita mungkin
membaik, Anda tidak bisa menyentuh jiwa manusia.
Kita akan kesulitan menelan fakta bahwa para ilmuwan bisa
merekayasa jiwa sebagaimana tubuh sehingga Dr. Frankenstein
masa depan bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar superior
di atas kita, sesuatu yang akan memandang rendah kita
sebagaimana kita memandang rendah Neanderthal.
Kita tidak bisa yakin apakah Frankenstein masa kini benar-
benar akan mengisi nubuat ini. Masa depan tidak diketahui, dan
akan mengejutkan jika ramalan-ramalan dari beberapa halaman
terakhir terwujud sepenuhnya. Sejarah mengajarkan kepada kita
apa yang tampak hanya berada di sudut terpencil mungkin tidak
pernah terwujud sebab hambatan-hambatan yang tak terlihat,
dan bahwa skenario lain yang tak terbayangkan akan benar-
benar datang. saat abad nuklir meletus pada 1940-an, banyak
ramalan yang dibuat tentang masa depan dunia nuklir pada
2000. saat Sputnik dan Apollo 11 menembakkan imajinasi
dunia, semua orang mulai meramal bahwa pada akhir abad,
orang akan hidup di koloni-koloni ruang angkasa di Mars dan
Pluto. Beberapa dari ramalan-ramalan ini terwujud. Di sisi lain,
tak seorang pun meramalkan Internet.
Maka, jangan hanya berpkir membeli asuransi liabilitas
untuk mengganti rugi Anda melawan gugatan-gugatan yang
diajukan makhluk-makhluk digital. Fantasi di atas—atau mimpi
buruk—barulah stimulan untuk imajinasi Anda. Yang harus kita
pikirkan dengan serius yaitu ide bahwa tahap selanjutnya dari
sejarah akan mencakup tidak hanya transformasi teknologis
dan organisasional, namun juga transformasi fundamental dalam
kesadaran dan identitas manusia. Dan, ini semua bisa berupa
transformasi-transformasi yang begitu fundamental sehingga
membuat istilah “manusia” itu sendiri dipertanyakan. Berapa
lama waktu yang kita punya? Tak seorang pun benar-benar
tahu. Sebagaimana sudah disebutkan, sebagian orang mengatakan
bahwa pada tahun 2050 beberapa manusia sudah akan a-mortal.
Ramalan-ramalan yang agak kurang radikal berbicara tentang abad
berikutnya atau milenium berikutnya. Namun, dari perspektif
70.000 tahun sejarah Sapiens, apalah arti beberapa milenium?
Jika tabir itu benar-bener segera tersibak pada sejarah Sapiens,
kita para anggota salah satu generasi terakhir harus mencurahkan
waktu untuk menjawab salah satu pertanyaan terakhir: kita ingin
menjadi apa? Pertanyaan ini, terkadang dikenal sebagai pertanyaan
Penguatan Manusia, mengerdilkan perdebatan-perdebatan yang
kini menyibukkan para politisi, filsuf, sarjana, dan warga
biasa. Lagi pula, perdebatan masa kini antara agama, ideologi,
negara, dan kelas-kelas masa kini dalam semua skenario akan
lenyap bersama Homo sapiens. Jika para pengganti kita benar-
benar berfungsi pada level kesadaran yang berbeda (atau mungkin
memiliki sesuatu di luar kesadaran yang bahkan tidak bisa kita
bayangkan), tampaknya meragukan bahwa Kristen atau Islam
akan menarik minat mereka, bahwa organisasi sosial mereka
bisa menjadi Komunis atau Kapitalis, atau bahwa gender-gender
mereka mungkin laki-laki atau perempuan.
Dan lagi, perdebatan-perdebatan besar tentang sejarah penting
sebab sekurang-kurangnya generasi pertama tuhan-tuhan ini akan
dibentuk oleh ide-ide kultural para perancang manusia mereka.
Akankah mereka diciptakan dalam gambaran kapitalisme, Islam,
atau feminisme? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan
melenceng ke arah-arah yang sama sekali berbeda.
Sebagian besar orang lebih suka tidak memikirkannya.
Bahkan, bidang biotetik lebih suka membahas masalah lain,
“Apa yang terlarang untuk dilakukan?” Apakah bisa diterima
menciptakan eksperimen genetika pada makhluk manusia yang
hidup? Pada janin yang diaborsi? Pada sel induk? Apakah etis
untuk mengklon domba? Dan, simpanse? Lalu, bagaimana dengan
manusia? Semua ini memang pertanyaan-pertanyaan penting,
namun naif untuk membayangkan bahwa kita bisa begitu saja
menginjak rem dan menghentikan proyek-proyek saintifik yang
sedang meng-upgrade Homo sapiens menjadi jenis makhluk yang
berbeda. Sebab, proyek-proyek ini tak terpisahkan, menyatu
dengan Proyek Gilgamesh. Tanyalah para ilmuwan mengapa
mereka mempelajari genom, atau berusaha menghubungkan
otak dengan komputer, atau berusaha menciptakan pikiran
dalam sebuah komputer. Sembilan dari sepuluh kali Anda akan
mendapat jawaban standar yang sama: kami sedang melakukannya
untuk mengobati penyakit dan menyelamatkan kehidupan
manusia. Sekalipun implikasi-implikasi dari penciptaan pikiran
dalam komputer jauh lebih dramatis dari pengobatan penyakit
psikiatris, ini yaitu justifikasi standar yang diberikan sebab tak
seorang pun bisa melawannya. Itulah kenapa Proyek Gilgamesh
yaitu andalan sains. Ia berfungsi menjustifikasi segala hal yang
dilakukan sains. Punggung babi Dr. Frankenstein di atas pundak
Gilgamesh. sebab mustahil untuk menghentikan Gilgamesh,
tidak mungkin pula menghentikan Dr. Frankenstein.
Satu-satunya hal yang bisa kita coba lakukan yaitu me-
mengaruhi arah yang sedang mereka tempuh. sebab kita
mungkin akan segera mampu merekayasa hasrat-hasrat kita juga,
mungkin pertanyaan riilnya yang kita hadapi bukanlah “Kita
ingin menjadi apa?”, namun “Kita menginginkan apa?” Mereka
yang tidak tergugah oleh pertanyaan ini mungkin memang belum
pernah cukup memikirkannya.
Sesudah itu
Binatang yang Menjadi Tuhan
Tujuh puluh ribu tahun lalu, Homo sapiens yaitu binatang yang
tak signifikan, yang mengurusi urusannya sendiri di satu sudut
Afrika. Dalam milenium-milenium berikutnya, ia bertransformasi
menjadi penguasa segenap planet dan meneror ekosistem. Kini ia
berdiri di ambang menjadi Tuhan, tergerak untuk meraih tidak
hanya kemudaan abadi, namun juga kemampuan ketuhanan untuk
menciptakan dan menghancurkan.
Sayang sekali, rezim Sapiens di Bumi sejauh ini menghasilkan
sedikit yang bisa kita banggakan. Kita telah menguasai alam se-
kitar, meningkatkan produksi makanan, membangun kota-kota,
mendirikan imperium-imperium, dan menciptakan jaringan-
jaringan perdagangan yang jauh. Namun, apakah kita menurun-
kan jumlah penderitaan di dunia? Dari waktu ke waktu,
peningkatan masif kekuatan manusia tidak dengan sendirinya
memperbaiki kesejahteraan individual Sapiens, dan biasanya
malah memicu penderitaan besar bagi binatang-binatang
lain.
Dalam beberapa dekade terakhir, kita akhirnya membuat
sejumlah kemajuan riil dalam hal kondisi manusia, dengan
pengurangan kelaparan, wabah, dan perang. Namun, situasi
binatang-binatang lain memburuk lebih cepat ketimbang sebelum-
sebelumnya, dan perbaikan di banyak kemanusiaan juga terlalu
baru dan ringkih untuk dipastikan.
Lebih dari itu, terlepas dari hal-hal yang mencengangkan
yang mampu dilakukan oleh manusia, kita tetap tidak pasti
tentang tujuan-tujuan kita dan kita tampak tetap tidak bahagia
sebagaimana yang sudah-sudah. Kita sudah maju dari kano ke
perahu sampai kapal uap, bahkan sampai pesawat ulang-alik—
namun tak seorang pun tahu ke mana kita akan menuju. Kita lebih
kuat dari sebelum-sebelumnya, namun sangat sedikit yang kita
tahu tentang apa yang seharusnya kita lakukan dengan semua
kekuatan itu. Lebih parah lagi, manusia tampaknya menjadi
semakin tidak bertanggung jawab dari sebelum-sebelumnya.
Tuhan-tuhan buatan sendiri dengan hanya hukum-hukum fisika
yang menemani, kita tidak bertanggung jawab atas satu pun.
Akibatnya kita membuat kekacauan pada sesama makhluk,
yakni binatang-binatang, dan pada ekosistem di sekeliling kita,
berusaha memburu lebih dari kenyamanan dan kesenangan kita,
namun tidak pernah menemukan kepuasan.
Apakah ada sesuatu yang lebih berbahaya ketimbang tuhan-
tuhan yang tidak puas dan tidak bertanggung jawab yang tidak
tahu apa yang mereka inginkan?