• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label gorontalo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gorontalo. Tampilkan semua postingan

gorontalo

Kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di Gorontalo pada abad ke-18 masih 
dalam tatanan pemerintahan kerajaan. Seorang pemimpin yang dinobatkan sebagai raja sudah 
pasti seorang pemimpin yang memiliki karisma dalam kepemimpinan, bijaksana, dan ulet 
bekerja. Sehingga, sifat pemimpin yang demikian selalu mempunyai daya tarik dalam segala 
hal, inilah mengapa pada saat itu rakyat sangat tunduk kepada raja. Contoh karismatik 
seorang raja ialah saat raja tersebut memeluk agama Islam, saat rakyatnya mengetahui hal 
tersebut dengan berbondong-bondong mereka pun ikut meyakini dan memeluk agama yang 
sama dengan sang raja. Tidak heran, kepemimpinan seorang raja dalam suatu kerajaan yang 
dikuasainya sangat berpengaruh terhadap kejayaan dan perkembangan kerajaan, hingga 
akhirnya berhasil tercatat dalam sejarah yang selalu dikenang dan menjadi kebanggaan 
bangsa Indonesia.
Sebagaimana terdapat di daerah lain yang tersebar diberbagai pulau di Nusantara, 
Gorontalo adalah wilayah kerajaan-kerajaan tradisonal yang memiliki pertumbuhan besar 
baik secara ekonomi maupun politik. Kerajaan-kerajaannya juga berhasil membangun sebuah 
kerjasama dengan kerajaan-kerajaan tradisional yang ada di Timur Nusantara. Hasil dari 
keraja sama antar kerajaan tersebut berhasil membawa Gorontalo ke arah perubahan besar, 
dalam membentuk kultur lokal melalui nilai-nilai islam yang hingga kini menjadi identitas 
Gorontalo. Yang didasari dari perjalanan Raja Amai dalam menjalin kerjasama dengan 
kerajaan yang ada di Teluk Tomini, salah satunya kerajaan Palasa. Saat kunjungan ke 
kerajaan tersebut selain berhasil menjalin kerjasama, Raja Amai juga mempersunting putri dari sang Raja Palasa yang saat itu telah memeluk agama Islam, sehingga yang menjadi 
syarat diterimanya lamaran tersebut Raja Amai dan rakyatnya yang ada di kerajaan 
Gorontalo harus memeluk agama Islam, serta segala adat istiadat yang berlaku harus 
benafaskan nilai-nilai islam. 
Kerajaan-kerajaan tradisional yang ada di Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri 
sehingga berbeda dengan kerajaan lain yang ada di Nusantara. Dalam proses pengangkatan 
raja dilakukan dengan cara demokratis. Walaupun pada periode selanjutnya terdapat dua raja 
dalam system kerajaan, yaiu Olongia to Huliyliya (Raja Bawah/Raja Hilir) dan Olongia to 
Tilayo (Raja Atas/ Raja Hulu), namun uniknya karena hal itu tidak menyebabkan konflik di 
antara keduanya. Tapi dengan, munculnya institusi politik baru yang ditopang oleh 
pemerintahan kolonial Belanda yang menggantikan peran utama kerajaan- kerajaan 
tradisional di Gorontalo maka sejak itulah terjadi proses peminggiran otoritas tradisional 
yang dijalankan oleh kerajaan1
.
Keunikan lainnya pula dapat dilihat dari bahasa daerah, meskipun Gorontalo 
merupakan satu suku bangsa, orang Gorontalo mengakui bahwa mereka terdiri atas Sembilan 
sub kelompok etnik, yang masing-masing memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Atas dasar 
geografis dan perbedaan bahasa serta dialek, maka kesembilan golongan itu diantaranya 
adalah: bahasa Atinggola Gorontalo sebelah utara, bahasa Suwawa Gorontalo sebelah Timur, 
bahasa Jawa Tondano digunakan di kampung Kaliyoso, Reksonegoro, dan Yosonegoro. 
Bahasa Sangihe digunakan di kampung Karangetan di Paguat, bahasa Tombulu digunakan di 
kampung Kaaruyan di Paguat. Bahasa Bajo digunakan di pesisir pantai Tilamuta dan 
Popayato. Bahasa Bolaang Mongondow, Jawa, Madura, dan Sunda digunakan oleh transmigran. Untuk bahasa Bugis dan Makassar yang digunakan sesame kelompok etniknya 
saja, begitupun bahasa Arab dan Cina, yang hanya digunakan untuk berkomunikasi sesama 
mereka2
Di Gorontalo memiliki lima kerajaan tradisional yang pada saat itu dari kelima 
kerajaan tersebut melakukan persekutuan (Limo lo pohala), yaitu Gorontalo (Hulantalo), 
Limboto (Limoetu), Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango (kemudian kedudukannya diganti oleh 
Boalemo), dan Atinggola (Andagile)
3
. Dari persekutuan Limo lo pohala tersebut yang paling 
mendominasi identitas politiknya adalah Gorntalo. Namun, dalam perjalanannya kerajaan 
Gorontalo dibawah pengaruh kesultanan Ternate, terutama pada periode pengaruh Sultan 
Baabullah Daud Syah (1570-1583). Adapun latarbelakang masuknya pengaruh dari 
kesultanan Ternate di Gorontalo adalah perselisihan yang terjadi antara kerajaan Gorontalo 
dan Limboto, kondisi ini melibatkan pihak luar, yaitu Kesultanan Ternate dan kesultanan 
Gowa. Perselisihan tersebut dapat terselesaikan melalui perjanjian yang disebut Janjia lou 
duluwo limo lo pohala (1672) dan akhirnya terjadilah persekutuan antar Gorontalo dan 
Lomboto4
. Sebelum akhirnya Belanda masuk dan berhasil menguasai Ternate, ditandai 
dengan penyerahan wilayah kekuasaan Ternate terhadap kolonial Belanda. Dengan demikian, 
atas pengaruh kesultanan Ternate terhadap Gorontalo, sehingga secara otomatis Gorontalo 
dapat dikuasai oleh Belanda pada 1705. 
Terlepas dari kejayaan sebuah perjalanan bangsa ataupun kerajaan, seperti yang telah 
dijelaskan pada paragraph diatas, tidak lepas dari peran seorang pemimpin. Raja Amai dapat 
mengislamisasi Gorontalo karena kekuasaannya sebagai Raja yang memiliki kedudukan dankarismaik seorang pemimpin sehingga dengan mudahnya dapat diikuti dan diterima oleh 
rakyatnya, Sultan Baabullah dari Ternate, mampu menjadikan kerajaan Gorontalo sebagai 
wilayah kekuasaannya, tak terkecuali bagi Belanda yang tidak kalah dalam melancarkan 
sebuah kekuasaan melalui kekuatan hegemoni yang telah mendarah daging pada jiwa orang￾orang Eropa, hingga berhasil menduduki seluruh wilayah kerajaan yang ada di Nusantara. 
Namun, perlu diketahui pula menganai devinisi kekuasaan dan kepemimpinan. Kekuasaan 
merupakan milik interaksi sosial bukan individu, karena sebuah kekuasaan ada apabila terjadi 
interaksi antar pemimpin dengan orang yang dipimpin, sedang kepemimpinan adalah proses 
interaksi pengaruh sosial yang terjadi antara pemimpin dan yang dipimpin tersebut. 
Singkatnya, kekuasaan terjadi atas kekuatan kepemimpinan, sedang suatu kepemimpinan 
belum tentu akan menuai kekuasaan yang diharapkan. 
Selanjutnya, dari kelima kerajaan tradisional yang ada di Gorontalo, yang menjadi 
perhatian khusus dalam penelitian adalah kerajaan Bolango. Sebagai salah satu kerajaan yang 
pernah melakukan persekutuan dengan empat kerajaan yang ada di Gorontalo, sebelum 
akhirnya digantikan oleh Boalemo dalam Limo lo pohala, kerajaan Bolango juga memiliki 
eksistensi yang sangat penting dalam perjalanannya. Meskipun kerajaan ini tidak sampai 
mendominasi sebagaimana kerajaan Gorontalo, namun pemimpin atau raja dari kerajaan 
Bolango dikenal sangat getol soal kepemimpinan.
Sumber yang mencatat mengenai perjalanan Kerjaan Bolango masih sangat minim, 
sehingga masih butuh proses penelitian lebih mendalam untuk mengungkap masa lalu dari 
kerajaan ini. Namun, ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa kerajaan Bolango pada 
tahun 1752 dipimpin oleh Raja Hubulo atau Ibrahim Duawulu5
. Pada masa kepemimpinanRaja Hubulo, Gorontalo telah dibawah kekuasaan Kolonial Belanda, selain itu Raja Hubulo 
juga dikenal sebagai Aulia6 Gorontalo. Namun, nama Ibrahim Duawulu tidak begitu akrab 
ditelinga masyarakat Gorontalo, khususnya masyarakat Tapa.
Masyarakat lebih mengenal beliau dengan sebutan Raja Hubulo, latar belakang 
Ibrahim Duawulu lebih dikenal sebagai Raja Hubulo adalah dalam keseharian beliau sangat 
senang memancing dan disampingnya selalu menyala lilitan tali ijuk yang dipergunakan 
untuk menyalakan rokoknya yang terbuat dari pucuk daun enau dan juga untuk mengusir 
nyamuk disekelilingnya. Zaman dahulu, api masih dibuat secara tradisional dan dibakar pada 
tali ijuk agar tidak mudah padam. Dengan alasan inilah, maka orang tua ini hanya 
menyimpan api di tali ijuk yang terbakar yang artinya api itu bisa mati bila tali ijuk itu habis. 
Selanjutnya api pada tali ijuk ini sering mengepulkan asapnya. Dalam bahasa daerah 
Gorontalo disebut wobuwobulo atau tihu-tihubulo, yang artinya sedang mengepulkan asap. 
Dari penggalang kata ini, diambillah kata Hubulo atau Ti Hubulo menjadi julukan atau nama 
baru dari orang tua tersebut7
.
Di kalangan para Kolonial Belanda Ibrahim Duawulu lebih dikenal dengan sebutan 
Gobel, karena pada saat itu lidah orang-orang Belanda kesulitan menyebutkan Hubulo, 
sehingga mereka menyebut dengan panggilan Gobel (baca Hobel). Saat Raja Hubulo 
memimpin kerajaan Bolango dari tahun 1752 sampai 1772. Dalam kurun waktu 10 tahun 
tersebut, akan dilihat bagaimana eksistensi kerajaan Bolango selama kepemimpinan Raja 
Hubulo. Raja Hubulo yang kerap kali lebih akrab di kalangan masyarakat dan Gobel yang 
menjadi nama panggilan beliau oleh orang-orang Belanda, menyebabkan nama Ibrahim Duawulu yang merupakan nama asli beliau tidak begitu dikenal di tengah masyarakat. 
Sampai dengan sekarang, Gobel telah menjadi marga paling besar yang ada di Gorontalo. 

Scope kajian disini menunjukan pada bidang historis atau yang akan dikaji 
dalam penulisan ini adalah Kerajaan Bolango Pada Masa Ibrahim Duawulu. 
Secara umum mencakup sistem pemerintahan kerajaan, sosial budaya masyarakat, 
masuknya agama Islam di kerajaan, masuknya kolonial Belanda, dan lebih 
khususnya pada saat kepemimpinan raja Ibrahim Duawulu berupa perannya 
dalam menyebarkan ajaran islam, perlawanan terhadap kolonial Belanda, serta 
peniggalan semasa raja Ibrahim Duawulu.Scope Spasial menunjuk pada tempat yang menjadi Objek penelitian yaitu 
di Gorontalo, tepatnya di Kabupaten Bone Bolango, kecamatan Tapa, desa 
Kramat. Dengan adanya batasan tempat ini maka akan lebih mudah untuk 
mengetahui gambaran, serta mendapatkan data-data penelitian yang sesuai, 
akurat, dan lebih dapat dipercaya kebenarannyaAspek Temporal (pembatasan waktu), dimana dalam penelitian ini 
berusaha untuk mendeskripsikan Kerajaan Bolango Pada Masa Ibrahim Duawulu 
pada tahun 1752 sampai 1772.Dalam penelitian ini menggunakan beberapa buku sebagai tinjauan pustaka yang 
relevan dengan judul penulisan ini, tentunya juga berkaitan erat dengan sejarah Gorontalo, 
serta dukungan teori yang dapat dijadikan referensi yang menunjang melalui pengkajian dan 
penelaan yang mendalam demi menghasilkan sebuah penulisan yang tidak asal-asalan. 
Seperti buku tulisan Farha Daulima dan Dr. Hi. Medi Botutihe, tetang Limo Pohala di 
Daerah Gorotalo yang diterbitkan LSM “Mbu’I Bungale” di Gorontalo pada tahun 2006.
Dikemukakan dalam buku tersebut bahwa sebagian suku Pidodotiya di Bangio Suwawa 
berindah ke Dumoga dan Bolaang Mongondow. Kelompok suku yang bermukim di 
Mongondow kemudian dikenal dengan sebutan Bolango. Kemudian, pada masa 
pemerintahan Raja Datau saat menjadi raja Kerajaan Bolango, wilayah kerajaan Bolango 
yang dihuni oleh bangsa Bolango di Gorontalo berada di wilayah Tapa. Kerajaan Bolango, 
khususnya bangsa Bolango memiliki hubungan erat dengan kerajaan Limboto serta kerajaan 
Gorontalo, yang akhirnya melahirkan sebuah kerajaan Bolango bagi bangsa Bolango di Tapa. 
Setelah dilakukan tinjauan, yang terdapat di dalam buku ini hanyalah nama-nama raja yang 
pernah berkuasa di kerajaan Bolango, proses masa pemerintahannya tidak disinggung, 
apalagi pada masa pemerintahan Ibrahim Duawulu. Sehingga, dari hasil penelitian terdahulu 
yang ada pada buku ini akan dijadikan bahan rujukan untuk melihat perkembangan kerajaan Bolango terdahulu, serta sebagai gambaran awal kerajaan Bolango sebelum akhirnya sampai 
pada pemerintahan Raja Ibrahim Duawulu.
Kemudian buku yang di tulis oleh Harto Juwono dan Yosephine Hutagalung, masih 
juga mengenai Limo Lo Pohala yang diterbitkan oleh Ombak, Yogyakarta pada tahun 2005. 
Warisan budaya Gorontalo tercermin dalam makna istilah kolektif Lipoe lo pohalaa (atau 
pahalaw, walau bersaudara, pada masa lalu di antara Limo lo pohalaa termasuk daerah 
Hulontalo dan Limoeto, Bone dan Suwawa, Bintauna dan Atinggola). Ketika Bone dan 
Suwawa digabung, mereka menyebut Boelemo sebagai Pohalaa, dan bahkan sejak abad ke-
18 daerah dua kerajaan itu terdiri dari Hulontalo, Limoeto, Bone, Boalemo, dan Atinggola 
atau Andagile. Limo lo pohalaa juga memiliki tingkatan-tingkatan dalam menduduki jabatan. 
Dari tulisan ini dapat ditinjau mengenai gambaran dan latarbelakang tentang Limo lo polahaa 
yang mana didalamnya juga terdapat kerajaan Bolango atau yang mereka sebut Bone. Dapat 
diketahui pula mengapa kerajaan Bolango digantikan oleh Boalemo dalam Limo lo pohala.
Berikut ini buku yang ditulis oleh Joni Apriyanto dengan judul Sejarah Gorontalo 
Modern (Dari Hegemoni kolonial ke provinsi), terbitan Ombak, Yogyakarta tahun 2012. 
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan mengambil kurun waktu dimulai dari 1677 
sampai dengan 2005. Daerah Gorontalo termasuk jarang penduduknya, dalam pertengahan 
abad ke-19 luas wilayahnya 12.000 km² dengan rata-rata tingkat kepadatan penduduk tidak 
lebih dari 10 orang atau mungkin hanya 6 orang per kilometer perseginya. Selain itu pada 
1845 sampai 1846 tingkat kematian cukup tinggi, hal serupa juga terjadi dalam tahun 1846 di 
daerah Teluk Tomini akibat iklim yang kurang menguntungkan seperti kekeringan yang 
berkepanjangan yang membawa sebagian masyarakat Gorontalo terkena penyakit akibat dari 
kekuarangan pangan selama beberapa bulan. Diuraikan pula beberapa perbedaan dialek yang ada di Gorontalo, yang terdiri dari bahasa Atinggola, bahasa Suawawa, dan bahasa Gorontalo 
pada umumnya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejak memantapkan hegemoninya 
dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-20, tampak bahwa pemerintahan Hindia Belanda 
membagi penduduk atas tiga kategori, yakni bangsa Eropa, Timur Asing dan Bumiputra. 
Beberapa uraian diatas merupakan keadaan sosial dan cultural masyarakat Gorontalo pada 
awal masa Kolonial Belanda. Setelah ditinjau, penulisan pada penelitian yang dilakukan 
dalam buku ini dapat dihubungkan dengan penelitian yang nantinya akan dilakukan, yang 
mana membahas mengenai kedatangan bangsa Belanda di Gorontalo namun dalam ruang 
lingkup kerajaan Bolango, salah satu kerajaan tradisional yang ada di Gorontalo. Selain itu 
pula berdasarkan tinjauan yang dilakukan dalam buku ini terdapat pula keterangan tentang 
kondisi masyarakat, budaya, serta keadaan geografis Gorontalo pada pertengahan abad ke-
19, meskipun tidak menulis banyak hal tentang kerajaan Bolango, namun dari gambaran 
kondisi geografis serta masyarakat pada abad ke-19 tersebut sudah tergambar bagaimana 
kondisi Gorontalo, khususnya kerajaan Bolango pada abad ke-18.
Berikutnya hasil tinjauan pada buku M.C Ricklefs yang berjudul Sejarah Indonesia 
Modern, terbitan Gaja Mada University Press, Yogyakarta tahun 1995. Di dalam buku 
tersebut, tepatnya halaman 99, bahwa VOC sudah membangun sebuah benteng di Menado 
(ujung timur laut Sulawesi) pada tahun 1658 untuk menanggulangi pengaruh Spanyol dan 
Ternate disana. Setelah tahun 1677 VOC juga menancapkan kekuasaannya di Gorontalo, 
Limboto, dan Negara-negara kecil Minahasa lainnya, serta pulau Talaud dan Sangihe. 
Selebihnya, yang disinggung mengenai Gorontalo hanya pasca kemerdekaan yaitu pada 
masa Demokrasi Terpimpin tahun 1957-1965, dimana terjadinya pemberontakan PRRI 
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera, dan 
pemberontak Permesta yang berpusat di Sulawesi Utara. 
Hasil tinjauan dari buku tulisan Basri Amin dan Hasunuddin yang berjudul Gorontalo 
Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial, diterbitkan oleh Ombak pada tahun 2012, yang 
mana masih tetap menyinggung adanya Limo lo pohalaa di Gorontalo. Selain itu, dijelaskan 
pula kerajaan Bolango pada awalnya di bawah kekuasaan Gorontalo, tetapi selanjutnya 
mengalami kemajuan dan membentuk karajaan sendiri. Buku ini tidak hanya menyinggung 
mengenai eksistensi kerajaan-kerajaan tradisional di Gorontalo, tetapi juga mengemukakan 
mengenai penguatan agama Islam di wilayah Gorontalo, salah satu raja yang berperan aktif 
dalam penguatan agama Islam tersebut adalah raja Bolango, yaitu Ibrahim Duawulu 
(Hubulo). Kerajaan Bolango merupakan bagian dari persekutuan kerajaan-kerajaan 
Gorontalo yang dikenal dengan Limo lo poalaa artinya lima kerajaan yang secara bersama￾sama berpedoman pada agama dan adat istiadat yang sama, juga dalam kepentingan politik, 
sosial, ekonomi, kebudayaan, dan militernya. Dari uraian singkat mengenai kerajaan Bolango 
yang disinggung di dalam buku tersebut, dapat diketahui sedikit deskripsi eksistensi kerajaan 
Bolango pada masa lalunya. 
Adapun buku yang ditulis oleh Syahril Muhammad yang berjudul Kesultanan Ternate 
(Sejarah Sosial Ekonomi dan Politik), yang di terbitkan oleh Ombak pada tahun 2012 di 
Yogyakarta. Sebagaimana catatan sejarah yang menjelaskan tentang hubungan erat yang
terjalin antara Ternate dan Gorontalo, melalui buku ini akan ditinjau mengenai seluk beluk 
hubungan Gorontalo dan Ternate yang berhubungan dengan kerajaan Bolango, namun 
setelah ditinjau di dalam buku tersebut hanya menjelaskan Gorontalo pada kurun waktu 
1800-an. Yang mana pada tahun 1874 pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah 
Pengadilan Negeri (Landraad) di Ternate. Pengadilan ini juga bersaing secara berkala di ibu 
kota kesultanan Tidore, Bacan, dan Gorontalo dengan hakim yang berkedudukan di Ternate. 
Dibahas pula mengenai usaha dagang Eropa, pada tahun 1895 sultan Ternate melakukan 
penawaran kerjasama kepada sebuah usaha dagang Eropa di Gorontalo untuk menghapuskan 
hak dagang monopoli bagi penebangan dan pengangkutan kayu oleh pegusaha-pengusaha 
Eropa lain. Meskipun hal yang berhubungan dengan Gorontalo dalam buku tersebut tidak 
menyinggung mengenai eksistensi kerajaan Bolango, atau kurun waktu 1700-an, namun 
keberadaan buku ini menjadi sebuah pelengkap tentang khazana sejarah Gorontalo di abad 
ke-19. 
Grid berasumsi bahwa perilaku kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh 
dua dimensi utama yaitu: concern for people (memperhatikan orang) dan concern for 
production (memperhatikan produksi). Concern for people yaitu seberapa besar pemimpin 
memperhatikan dan membantu bawahannya atau rakyatnya dalam menyelesaikan 
pekerjaannya. Indikatornya antara lain derajat komitmen menyelesaikan suatu pekerjaan 
yang jadi tanggung jawabnya, serta pertanggungjawaban lebih berdasar kepada kepercayaan 
daripada kepatuhan. Sedangkan concern for production yatiu seberapa besar pemimpin memperhatikan pencapaian produk atau hasil. Indikator dari dimensi ini antara lain perhatian 
terhadap kuantitas dan kualitas produksi serta menyelesaikan target tepat waktu8
.
Fred E. Fiedler menyatakan bahwa kesuksesan seorang pemimpin kontinjen atau 
tergantung pada dua faktor: pertama cara tipikal pemimpin berinteraksi dengan anggota 
kelompok. Kedua kontrol situasi yaitu derajat pemimpin mempunyai kontrol atau situasi 
(misalnya, mengontrol kelompok, tugas, dan hasilnya)9
. Dari uraian teori kepemimpinan oleh 
Grid dan Fred E. Fiedler yang menekankan tentang sikap dan jiwa seorang pemimpin serta 
kecocokan seorang pemimpin kepada orang-orang yang dipimpin dapat dikaitkan dengan 
kepemimpinan seorang Raja, khususnya kepemimpinan Ibrahim Duawulu saat menjadi Raja 
di Kerajaan Bolango, nampaknya kepemimpinan beliau memiliki dua dimensi yang 
disebutkan dalam teori Grid, yakni memperhatikan mrang yang dipimpin dan memperhatikan 
produksi, jika ditarik kedalam kehidupan bermasyarakat suatu kerajaan maka dapat diartikan 
bahwa sosok Ibrahim Duawulu tidak hanya memperhatikan keseharian rakyatnya tapi juga 
memperhatikan apa yang akan dihasilkan masarakatnya dalam hal perilaku atau akhlak, 
melalui peran beliau sebagai Aulia. Hal ini terbukti dengan karya besar beliau dzikili 
(dibacakan saat isra’miraj) yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat 
Gorontalo.
Dalam kepemimpinan terdapat hubungan antar manusia, yaitu hubungan 
mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan-ketaatan para pengikut/bawahan 
karena di pengaruhi oleh kewibawaan pemimpin. Para pengikut terkena pengaruh dari 
kepemimpinannya, dan bangkitlah secara spontan rasa ketaatan pada pemimpin.G.R Tery mengemukakan sejumlah teori kepemimpinan diantaranya teori sosiologis 
yang berbicara mengenai kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan 
antar-relasi dalam organisasi, dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik 
organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerjasama yang baik. Pemimpin 
menetapkan tujuan-tujuan, dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan 
terakhir . selanjutnya juga mengidentifikasi tujuan, dan kerap kali memberikan petunjuk yang 
di perlukan bagi para pengikut untuk melakukan setiap tindakan yang berkaitan dengan 
kepentingan kelompoknya.
Seorang pemimpin sangat identik dengan wewenang penuh yang dimilikinya. Max 
Weber membagi wewenang menjadi tiga kategori, yaitu wewenang tradisional, karismatik, 
dan rasional legal.11 Wewenang tradisional adalah wewenang berdasarkan kepercayaan di 
antara anggota masyarakat pada tradisi lama dan menganggap bahwa kekuasaan yang 
dilandasi oleh tradisi itu wajar dan patut dihormati. Wewenang karismatik adalah wewenang 
berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau 
religiusitas seorang pemimpin. Sementara itu, wewenang rasional-legal adalah wewenang 
berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang 
pemimpin. Dari teori wewenang diatas, bila disesuaikan dengan kepemimpinan di zaman 
kerajaan khususnya pada kerajaan Bolango, wewenang yang dimiliki seoarang raja adalah 
wewenang Karismatik, yang memang sudah melekat pada tradisi masyarakat pada saat itu. 
sejarah kerajaan Bolango, sebagai salah satu kerajaan tradiisional di Gorontalo, serta dapat 
mengetahui seluk-beluk peranan seorang Raja Hubulo atau Ibrahim Duawulu yang juga salah 
satu pembesar dalam penyebarkan ajaran Islam di bumi Gorontalo. Selain itu, melalui 
kesempatan ini juga akan melihat bagaimana pengruh Ibrahim Duawulu terhadap para 
imperialisme Belanda yang pada saat itu sudah mendirikan dan menanamkan kekuasaannya 
di Gorontalo, dengan memanfaatkan kekuasaan Sultan Ternate yang menundukkan Raja dan 
Rakyat Gorontalo.
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah menuliskan segala fakta dan peristiwa yang 
terjadi di masa lampau yang berkaitan erat dengan kerajaan Bolango dan juga peran Ibrahim 
Duawulu sebagai Raja Bolango. Seorang pembesar yang sangat berjasah bagi rakyat 
Gorontalo, tentunya hal ini sangat penting untuk diangkat ke dalam sebuah penulisan agar 
dapat diketahui oleh publik. Sehingga segala tujuan yang penjadi landasan penulisan ini akan 
disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah dituliskan diatas, tujuan pokok penulisan ini 
adalah menuliskan sejarah Kerajaan Bolango pada Masa Ibrahim Duawulu (1752-1772).
Dari beberapa sumber yang telah ditemukan, terdapat hubungan yang berkaitan 
satu sama lain, apabila dilihat dari tinjauan kronologis masing-masing menjelaskan 
tentang perjalanan panjang masa lalu Gorontalo yang tak luput dari pengaruh-pengaruh 
bangsa lain seperti saat masuknya kolonial Belanda, dan mendirikan kongsi dagang 
hingga menimbulkan monopoly perdagangan dan berujung pada perlawanan 
masyarakat Gorontalo. Kemudian untuk bahasan kerajaan Bolango sendiri, juga sangat 
berkaitan mengenai kronologi yang menjelaskan tentang hubunngan kerajaaan Bolango 
dengan kerajaan-kerajaan lainya yang ada di Gorontalo, seperti kerajaan Limboto, 
kerajaan Gorontalo, kerajaan Suwawa, dan Kerajaan Atinggola, sebelum akhirnya 
kerajaan Boalemo bergabung kedalam persekutuan yang disebut Limo lo Pohalaa. 
Eksistensi kerajaan Bolango pula menjadi satu bahasan yang jarang ditemukan 
pada sumber-sumber yang ada, melainkan hanya sebagian kecil saja. Bila dilihat dari 
latarbelakang kerajaan Bolango, kerajaan ini terbentuk pertama kali di daerah Bolaang 
Mongondow oleh suku Pidodotiya yang sebelumnya berada di Suwawa, kemudian suku 
tersebut dikenal dengan sebutan Bolango. Namun, kemudian kerajaan Bolango 
terbentuk pula di Gorontalo tepatnya di Tapa untuk bangsa Bolango yang ada di 
Gorontalo, yang menjadi raja pertamanya adalah Raja Datau, cucu dari raja Pangidato 
yang menjadi raja kerajaan Bolango di Bolaang Mongondow. Jadi, dapat ditarik sebuah 
kesimpulan bahwa kerajaan Bolango atau suku Bolango ini merupakan peranakan 
Gorontalo yang berada di tanah Bolaang Mongondow, kemudian membentuk satu 
kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan sendiri. Kehadiran kerajaan ini pula 
menambah kekuatan politik di Gorontalo dengan tergabungnya kerajaan Bolango 
kedalam persekutuan lima kerajaan besar di Gorontalo yang disebut dengan Limo lo 
pohalaa.
Sebagaimana devinisi dari Interpretasi adalah pengelompokkan dan penafsiran 
fakta-fakta sejarah yang saling berhubungan yang diperoleh dalam bentuk penjelasan 
terhadap fakta tersebut dengan sesubyektif mungkin. 
1.6.4 Historiografi
Selama proses pengumpulan data dan sumber, serta melakukan tinjauan dari 
beberapa referensi dapat diuraikan suatu peristiwa yang telah dihimpun melalui proses 
metode penelitian yang terdiri dari heuristik, kritik, dan interpretasi, kedalam satu 
penulisan sejarah yang runtut dan relevan.
Gorontalo adalah wilayah yang memiliki beberapa kerajaan tradisional. Bila 
melihat kilas balik perjalanan kerajaan-kerajaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa 
kerajaan-kerajaan tersebut tidak kalah dengan eksistensi kerajaan-kerajaan besar di 
wilayah lainnya yang ada di Indonesia. Salah satu kerajaan yang memiliki eksistensi itu 
serta sangat diperhitungkan keberadaannya bagi perpolitikan serta kebudayaan 
Gorontalo adalah kerajaan Bolango, yang ada di Tapa. Walau pada awalnya, kerajaan 
Bolango tidak langsung berdiri di tanah Gorontalo, melainkan di wilayah Bolaang 
Mongondow, yang memiliki asal-usul sebagai suku Pidodotiya yang berasal dari 
Suwawa dan tinggal di Bolaang Mongondow, dan dikenal dengan sebutan bangsa 
Bolango.
Berdirinya kerajaan Bolango di Gorontalo berawal dari cucu raja Pangidato, yang 
bernama Datau. Pada tahun 1482 utusan dari kerajaan Limboto datang menemui raja 
Pangidato, yang berkuasa saat itu di kerajaan Bolango yang ada di Bolaang 
Mongondow, untuk menjemput tiga cucu sang raja. Salah satunya bernama Datau, yang 
kemudian menikah dengan adik Ntihedu raja Gorontalo. Setelah pernikahan tersebut, 
raja Ntihedu memberikan wilayah Tapa untuk Datau, sehingga dibangunlah sebuah 
kerajaan untuk bangsa Bolango di Gorontalo dan Datau menjadi raja Pertamanya. 
Sehingga yang menjadi pembahasan total dalam penulisan ini hanyalah kerajaan 
Bolango yang ada di Gorontalo. Adapun latarbelakang kerajaan Bolango sebelum 
berada di Gorontalo, referensinya mengenai hal tersebut sangan minim, dan sangat 
sedikit disinggung pada setiap sumber atau data yang telah ditemukan. Sehingga, 
pembahasan mengenai kerajaaan Bolango yang ada di Bolaang Mongondow hanya 
akan dibahas sedikitnya saja demi melengkapi kesempurnaan tulisan ini, serta sebagai 
pendukung dalam perjalanan sejarah kearajaan Bolango.
Didasari makna dari Historiografi atau penulisan sejarah adalah tahap akhir dari 
seluruh penelitian sejarah yaitu heuristic, kritik, interpretasi, dan disatukan menjadi 
sebuah historiografi yang telah melalui analisis kritis sehingga menjadi suatu penulisan 
yang utuh. Demikianlah langkah demi langkah yang akan dilakukan demi 
kesempurnaan dan kelayakan dari penelitian sejarah ini untuk ditulis dan bahkan untuk 
dipublikasikan.