Tampilkan postingan dengan label gorontalo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gorontalo. Tampilkan semua postingan
gorontalo
By arwahx.blogspot. com at Juli 12, 2023
gorontalo
Kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di Gorontalo pada abad ke-18 masih
dalam tatanan pemerintahan kerajaan. Seorang pemimpin yang dinobatkan sebagai raja sudah
pasti seorang pemimpin yang memiliki karisma dalam kepemimpinan, bijaksana, dan ulet
bekerja. Sehingga, sifat pemimpin yang demikian selalu mempunyai daya tarik dalam segala
hal, inilah mengapa pada saat itu rakyat sangat tunduk kepada raja. Contoh karismatik
seorang raja ialah saat raja tersebut memeluk agama Islam, saat rakyatnya mengetahui hal
tersebut dengan berbondong-bondong mereka pun ikut meyakini dan memeluk agama yang
sama dengan sang raja. Tidak heran, kepemimpinan seorang raja dalam suatu kerajaan yang
dikuasainya sangat berpengaruh terhadap kejayaan dan perkembangan kerajaan, hingga
akhirnya berhasil tercatat dalam sejarah yang selalu dikenang dan menjadi kebanggaan
bangsa Indonesia.
Sebagaimana terdapat di daerah lain yang tersebar diberbagai pulau di Nusantara,
Gorontalo adalah wilayah kerajaan-kerajaan tradisonal yang memiliki pertumbuhan besar
baik secara ekonomi maupun politik. Kerajaan-kerajaannya juga berhasil membangun sebuah
kerjasama dengan kerajaan-kerajaan tradisional yang ada di Timur Nusantara. Hasil dari
keraja sama antar kerajaan tersebut berhasil membawa Gorontalo ke arah perubahan besar,
dalam membentuk kultur lokal melalui nilai-nilai islam yang hingga kini menjadi identitas
Gorontalo. Yang didasari dari perjalanan Raja Amai dalam menjalin kerjasama dengan
kerajaan yang ada di Teluk Tomini, salah satunya kerajaan Palasa. Saat kunjungan ke
kerajaan tersebut selain berhasil menjalin kerjasama, Raja Amai juga mempersunting putri dari sang Raja Palasa yang saat itu telah memeluk agama Islam, sehingga yang menjadi
syarat diterimanya lamaran tersebut Raja Amai dan rakyatnya yang ada di kerajaan
Gorontalo harus memeluk agama Islam, serta segala adat istiadat yang berlaku harus
benafaskan nilai-nilai islam.
Kerajaan-kerajaan tradisional yang ada di Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri
sehingga berbeda dengan kerajaan lain yang ada di Nusantara. Dalam proses pengangkatan
raja dilakukan dengan cara demokratis. Walaupun pada periode selanjutnya terdapat dua raja
dalam system kerajaan, yaiu Olongia to Huliyliya (Raja Bawah/Raja Hilir) dan Olongia to
Tilayo (Raja Atas/ Raja Hulu), namun uniknya karena hal itu tidak menyebabkan konflik di
antara keduanya. Tapi dengan, munculnya institusi politik baru yang ditopang oleh
pemerintahan kolonial Belanda yang menggantikan peran utama kerajaan- kerajaan
tradisional di Gorontalo maka sejak itulah terjadi proses peminggiran otoritas tradisional
yang dijalankan oleh kerajaan1
.
Keunikan lainnya pula dapat dilihat dari bahasa daerah, meskipun Gorontalo
merupakan satu suku bangsa, orang Gorontalo mengakui bahwa mereka terdiri atas Sembilan
sub kelompok etnik, yang masing-masing memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Atas dasar
geografis dan perbedaan bahasa serta dialek, maka kesembilan golongan itu diantaranya
adalah: bahasa Atinggola Gorontalo sebelah utara, bahasa Suwawa Gorontalo sebelah Timur,
bahasa Jawa Tondano digunakan di kampung Kaliyoso, Reksonegoro, dan Yosonegoro.
Bahasa Sangihe digunakan di kampung Karangetan di Paguat, bahasa Tombulu digunakan di
kampung Kaaruyan di Paguat. Bahasa Bajo digunakan di pesisir pantai Tilamuta dan
Popayato. Bahasa Bolaang Mongondow, Jawa, Madura, dan Sunda digunakan oleh transmigran. Untuk bahasa Bugis dan Makassar yang digunakan sesame kelompok etniknya
saja, begitupun bahasa Arab dan Cina, yang hanya digunakan untuk berkomunikasi sesama
mereka2
.
Di Gorontalo memiliki lima kerajaan tradisional yang pada saat itu dari kelima
kerajaan tersebut melakukan persekutuan (Limo lo pohala), yaitu Gorontalo (Hulantalo),
Limboto (Limoetu), Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango (kemudian kedudukannya diganti oleh
Boalemo), dan Atinggola (Andagile)
3
. Dari persekutuan Limo lo pohala tersebut yang paling
mendominasi identitas politiknya adalah Gorntalo. Namun, dalam perjalanannya kerajaan
Gorontalo dibawah pengaruh kesultanan Ternate, terutama pada periode pengaruh Sultan
Baabullah Daud Syah (1570-1583). Adapun latarbelakang masuknya pengaruh dari
kesultanan Ternate di Gorontalo adalah perselisihan yang terjadi antara kerajaan Gorontalo
dan Limboto, kondisi ini melibatkan pihak luar, yaitu Kesultanan Ternate dan kesultanan
Gowa. Perselisihan tersebut dapat terselesaikan melalui perjanjian yang disebut Janjia lou
duluwo limo lo pohala (1672) dan akhirnya terjadilah persekutuan antar Gorontalo dan
Lomboto4
. Sebelum akhirnya Belanda masuk dan berhasil menguasai Ternate, ditandai
dengan penyerahan wilayah kekuasaan Ternate terhadap kolonial Belanda. Dengan demikian,
atas pengaruh kesultanan Ternate terhadap Gorontalo, sehingga secara otomatis Gorontalo
dapat dikuasai oleh Belanda pada 1705.
Terlepas dari kejayaan sebuah perjalanan bangsa ataupun kerajaan, seperti yang telah
dijelaskan pada paragraph diatas, tidak lepas dari peran seorang pemimpin. Raja Amai dapat
mengislamisasi Gorontalo karena kekuasaannya sebagai Raja yang memiliki kedudukan dankarismaik seorang pemimpin sehingga dengan mudahnya dapat diikuti dan diterima oleh
rakyatnya, Sultan Baabullah dari Ternate, mampu menjadikan kerajaan Gorontalo sebagai
wilayah kekuasaannya, tak terkecuali bagi Belanda yang tidak kalah dalam melancarkan
sebuah kekuasaan melalui kekuatan hegemoni yang telah mendarah daging pada jiwa orangorang Eropa, hingga berhasil menduduki seluruh wilayah kerajaan yang ada di Nusantara.
Namun, perlu diketahui pula menganai devinisi kekuasaan dan kepemimpinan. Kekuasaan
merupakan milik interaksi sosial bukan individu, karena sebuah kekuasaan ada apabila terjadi
interaksi antar pemimpin dengan orang yang dipimpin, sedang kepemimpinan adalah proses
interaksi pengaruh sosial yang terjadi antara pemimpin dan yang dipimpin tersebut.
Singkatnya, kekuasaan terjadi atas kekuatan kepemimpinan, sedang suatu kepemimpinan
belum tentu akan menuai kekuasaan yang diharapkan.
Selanjutnya, dari kelima kerajaan tradisional yang ada di Gorontalo, yang menjadi
perhatian khusus dalam penelitian adalah kerajaan Bolango. Sebagai salah satu kerajaan yang
pernah melakukan persekutuan dengan empat kerajaan yang ada di Gorontalo, sebelum
akhirnya digantikan oleh Boalemo dalam Limo lo pohala, kerajaan Bolango juga memiliki
eksistensi yang sangat penting dalam perjalanannya. Meskipun kerajaan ini tidak sampai
mendominasi sebagaimana kerajaan Gorontalo, namun pemimpin atau raja dari kerajaan
Bolango dikenal sangat getol soal kepemimpinan.
Sumber yang mencatat mengenai perjalanan Kerjaan Bolango masih sangat minim,
sehingga masih butuh proses penelitian lebih mendalam untuk mengungkap masa lalu dari
kerajaan ini. Namun, ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa kerajaan Bolango pada
tahun 1752 dipimpin oleh Raja Hubulo atau Ibrahim Duawulu5
. Pada masa kepemimpinanRaja Hubulo, Gorontalo telah dibawah kekuasaan Kolonial Belanda, selain itu Raja Hubulo
juga dikenal sebagai Aulia6 Gorontalo. Namun, nama Ibrahim Duawulu tidak begitu akrab
ditelinga masyarakat Gorontalo, khususnya masyarakat Tapa.
Masyarakat lebih mengenal beliau dengan sebutan Raja Hubulo, latar belakang
Ibrahim Duawulu lebih dikenal sebagai Raja Hubulo adalah dalam keseharian beliau sangat
senang memancing dan disampingnya selalu menyala lilitan tali ijuk yang dipergunakan
untuk menyalakan rokoknya yang terbuat dari pucuk daun enau dan juga untuk mengusir
nyamuk disekelilingnya. Zaman dahulu, api masih dibuat secara tradisional dan dibakar pada
tali ijuk agar tidak mudah padam. Dengan alasan inilah, maka orang tua ini hanya
menyimpan api di tali ijuk yang terbakar yang artinya api itu bisa mati bila tali ijuk itu habis.
Selanjutnya api pada tali ijuk ini sering mengepulkan asapnya. Dalam bahasa daerah
Gorontalo disebut wobuwobulo atau tihu-tihubulo, yang artinya sedang mengepulkan asap.
Dari penggalang kata ini, diambillah kata Hubulo atau Ti Hubulo menjadi julukan atau nama
baru dari orang tua tersebut7
.
Di kalangan para Kolonial Belanda Ibrahim Duawulu lebih dikenal dengan sebutan
Gobel, karena pada saat itu lidah orang-orang Belanda kesulitan menyebutkan Hubulo,
sehingga mereka menyebut dengan panggilan Gobel (baca Hobel). Saat Raja Hubulo
memimpin kerajaan Bolango dari tahun 1752 sampai 1772. Dalam kurun waktu 10 tahun
tersebut, akan dilihat bagaimana eksistensi kerajaan Bolango selama kepemimpinan Raja
Hubulo. Raja Hubulo yang kerap kali lebih akrab di kalangan masyarakat dan Gobel yang
menjadi nama panggilan beliau oleh orang-orang Belanda, menyebabkan nama Ibrahim Duawulu yang merupakan nama asli beliau tidak begitu dikenal di tengah masyarakat.
Sampai dengan sekarang, Gobel telah menjadi marga paling besar yang ada di Gorontalo.
Scope kajian disini menunjukan pada bidang historis atau yang akan dikaji
dalam penulisan ini adalah Kerajaan Bolango Pada Masa Ibrahim Duawulu.
Secara umum mencakup sistem pemerintahan kerajaan, sosial budaya masyarakat,
masuknya agama Islam di kerajaan, masuknya kolonial Belanda, dan lebih
khususnya pada saat kepemimpinan raja Ibrahim Duawulu berupa perannya
dalam menyebarkan ajaran islam, perlawanan terhadap kolonial Belanda, serta
peniggalan semasa raja Ibrahim Duawulu.Scope Spasial menunjuk pada tempat yang menjadi Objek penelitian yaitu
di Gorontalo, tepatnya di Kabupaten Bone Bolango, kecamatan Tapa, desa
Kramat. Dengan adanya batasan tempat ini maka akan lebih mudah untuk
mengetahui gambaran, serta mendapatkan data-data penelitian yang sesuai,
akurat, dan lebih dapat dipercaya kebenarannyaAspek Temporal (pembatasan waktu), dimana dalam penelitian ini
berusaha untuk mendeskripsikan Kerajaan Bolango Pada Masa Ibrahim Duawulu
pada tahun 1752 sampai 1772.Dalam penelitian ini menggunakan beberapa buku sebagai tinjauan pustaka yang
relevan dengan judul penulisan ini, tentunya juga berkaitan erat dengan sejarah Gorontalo,
serta dukungan teori yang dapat dijadikan referensi yang menunjang melalui pengkajian dan
penelaan yang mendalam demi menghasilkan sebuah penulisan yang tidak asal-asalan.
Seperti buku tulisan Farha Daulima dan Dr. Hi. Medi Botutihe, tetang Limo Pohala di
Daerah Gorotalo yang diterbitkan LSM “Mbu’I Bungale” di Gorontalo pada tahun 2006.
Dikemukakan dalam buku tersebut bahwa sebagian suku Pidodotiya di Bangio Suwawa
berindah ke Dumoga dan Bolaang Mongondow. Kelompok suku yang bermukim di
Mongondow kemudian dikenal dengan sebutan Bolango. Kemudian, pada masa
pemerintahan Raja Datau saat menjadi raja Kerajaan Bolango, wilayah kerajaan Bolango
yang dihuni oleh bangsa Bolango di Gorontalo berada di wilayah Tapa. Kerajaan Bolango,
khususnya bangsa Bolango memiliki hubungan erat dengan kerajaan Limboto serta kerajaan
Gorontalo, yang akhirnya melahirkan sebuah kerajaan Bolango bagi bangsa Bolango di Tapa.
Setelah dilakukan tinjauan, yang terdapat di dalam buku ini hanyalah nama-nama raja yang
pernah berkuasa di kerajaan Bolango, proses masa pemerintahannya tidak disinggung,
apalagi pada masa pemerintahan Ibrahim Duawulu. Sehingga, dari hasil penelitian terdahulu
yang ada pada buku ini akan dijadikan bahan rujukan untuk melihat perkembangan kerajaan Bolango terdahulu, serta sebagai gambaran awal kerajaan Bolango sebelum akhirnya sampai
pada pemerintahan Raja Ibrahim Duawulu.
Kemudian buku yang di tulis oleh Harto Juwono dan Yosephine Hutagalung, masih
juga mengenai Limo Lo Pohala yang diterbitkan oleh Ombak, Yogyakarta pada tahun 2005.
Warisan budaya Gorontalo tercermin dalam makna istilah kolektif Lipoe lo pohalaa (atau
pahalaw, walau bersaudara, pada masa lalu di antara Limo lo pohalaa termasuk daerah
Hulontalo dan Limoeto, Bone dan Suwawa, Bintauna dan Atinggola). Ketika Bone dan
Suwawa digabung, mereka menyebut Boelemo sebagai Pohalaa, dan bahkan sejak abad ke-
18 daerah dua kerajaan itu terdiri dari Hulontalo, Limoeto, Bone, Boalemo, dan Atinggola
atau Andagile. Limo lo pohalaa juga memiliki tingkatan-tingkatan dalam menduduki jabatan.
Dari tulisan ini dapat ditinjau mengenai gambaran dan latarbelakang tentang Limo lo polahaa
yang mana didalamnya juga terdapat kerajaan Bolango atau yang mereka sebut Bone. Dapat
diketahui pula mengapa kerajaan Bolango digantikan oleh Boalemo dalam Limo lo pohala.
Berikut ini buku yang ditulis oleh Joni Apriyanto dengan judul Sejarah Gorontalo
Modern (Dari Hegemoni kolonial ke provinsi), terbitan Ombak, Yogyakarta tahun 2012.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan mengambil kurun waktu dimulai dari 1677
sampai dengan 2005. Daerah Gorontalo termasuk jarang penduduknya, dalam pertengahan
abad ke-19 luas wilayahnya 12.000 km² dengan rata-rata tingkat kepadatan penduduk tidak
lebih dari 10 orang atau mungkin hanya 6 orang per kilometer perseginya. Selain itu pada
1845 sampai 1846 tingkat kematian cukup tinggi, hal serupa juga terjadi dalam tahun 1846 di
daerah Teluk Tomini akibat iklim yang kurang menguntungkan seperti kekeringan yang
berkepanjangan yang membawa sebagian masyarakat Gorontalo terkena penyakit akibat dari
kekuarangan pangan selama beberapa bulan. Diuraikan pula beberapa perbedaan dialek yang ada di Gorontalo, yang terdiri dari bahasa Atinggola, bahasa Suawawa, dan bahasa Gorontalo
pada umumnya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejak memantapkan hegemoninya
dari abad ke-17 sampai dengan abad ke-20, tampak bahwa pemerintahan Hindia Belanda
membagi penduduk atas tiga kategori, yakni bangsa Eropa, Timur Asing dan Bumiputra.
Beberapa uraian diatas merupakan keadaan sosial dan cultural masyarakat Gorontalo pada
awal masa Kolonial Belanda. Setelah ditinjau, penulisan pada penelitian yang dilakukan
dalam buku ini dapat dihubungkan dengan penelitian yang nantinya akan dilakukan, yang
mana membahas mengenai kedatangan bangsa Belanda di Gorontalo namun dalam ruang
lingkup kerajaan Bolango, salah satu kerajaan tradisional yang ada di Gorontalo. Selain itu
pula berdasarkan tinjauan yang dilakukan dalam buku ini terdapat pula keterangan tentang
kondisi masyarakat, budaya, serta keadaan geografis Gorontalo pada pertengahan abad ke-
19, meskipun tidak menulis banyak hal tentang kerajaan Bolango, namun dari gambaran
kondisi geografis serta masyarakat pada abad ke-19 tersebut sudah tergambar bagaimana
kondisi Gorontalo, khususnya kerajaan Bolango pada abad ke-18.
Berikutnya hasil tinjauan pada buku M.C Ricklefs yang berjudul Sejarah Indonesia
Modern, terbitan Gaja Mada University Press, Yogyakarta tahun 1995. Di dalam buku
tersebut, tepatnya halaman 99, bahwa VOC sudah membangun sebuah benteng di Menado
(ujung timur laut Sulawesi) pada tahun 1658 untuk menanggulangi pengaruh Spanyol dan
Ternate disana. Setelah tahun 1677 VOC juga menancapkan kekuasaannya di Gorontalo,
Limboto, dan Negara-negara kecil Minahasa lainnya, serta pulau Talaud dan Sangihe.
Selebihnya, yang disinggung mengenai Gorontalo hanya pasca kemerdekaan yaitu pada
masa Demokrasi Terpimpin tahun 1957-1965, dimana terjadinya pemberontakan PRRI
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera, dan
pemberontak Permesta yang berpusat di Sulawesi Utara.
Hasil tinjauan dari buku tulisan Basri Amin dan Hasunuddin yang berjudul Gorontalo
Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial, diterbitkan oleh Ombak pada tahun 2012, yang
mana masih tetap menyinggung adanya Limo lo pohalaa di Gorontalo. Selain itu, dijelaskan
pula kerajaan Bolango pada awalnya di bawah kekuasaan Gorontalo, tetapi selanjutnya
mengalami kemajuan dan membentuk karajaan sendiri. Buku ini tidak hanya menyinggung
mengenai eksistensi kerajaan-kerajaan tradisional di Gorontalo, tetapi juga mengemukakan
mengenai penguatan agama Islam di wilayah Gorontalo, salah satu raja yang berperan aktif
dalam penguatan agama Islam tersebut adalah raja Bolango, yaitu Ibrahim Duawulu
(Hubulo). Kerajaan Bolango merupakan bagian dari persekutuan kerajaan-kerajaan
Gorontalo yang dikenal dengan Limo lo poalaa artinya lima kerajaan yang secara bersamasama berpedoman pada agama dan adat istiadat yang sama, juga dalam kepentingan politik,
sosial, ekonomi, kebudayaan, dan militernya. Dari uraian singkat mengenai kerajaan Bolango
yang disinggung di dalam buku tersebut, dapat diketahui sedikit deskripsi eksistensi kerajaan
Bolango pada masa lalunya.
Adapun buku yang ditulis oleh Syahril Muhammad yang berjudul Kesultanan Ternate
(Sejarah Sosial Ekonomi dan Politik), yang di terbitkan oleh Ombak pada tahun 2012 di
Yogyakarta. Sebagaimana catatan sejarah yang menjelaskan tentang hubungan erat yang
terjalin antara Ternate dan Gorontalo, melalui buku ini akan ditinjau mengenai seluk beluk
hubungan Gorontalo dan Ternate yang berhubungan dengan kerajaan Bolango, namun
setelah ditinjau di dalam buku tersebut hanya menjelaskan Gorontalo pada kurun waktu
1800-an. Yang mana pada tahun 1874 pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah
Pengadilan Negeri (Landraad) di Ternate. Pengadilan ini juga bersaing secara berkala di ibu
kota kesultanan Tidore, Bacan, dan Gorontalo dengan hakim yang berkedudukan di Ternate.
Dibahas pula mengenai usaha dagang Eropa, pada tahun 1895 sultan Ternate melakukan
penawaran kerjasama kepada sebuah usaha dagang Eropa di Gorontalo untuk menghapuskan
hak dagang monopoli bagi penebangan dan pengangkutan kayu oleh pegusaha-pengusaha
Eropa lain. Meskipun hal yang berhubungan dengan Gorontalo dalam buku tersebut tidak
menyinggung mengenai eksistensi kerajaan Bolango, atau kurun waktu 1700-an, namun
keberadaan buku ini menjadi sebuah pelengkap tentang khazana sejarah Gorontalo di abad
ke-19.
Grid berasumsi bahwa perilaku kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan oleh
dua dimensi utama yaitu: concern for people (memperhatikan orang) dan concern for
production (memperhatikan produksi). Concern for people yaitu seberapa besar pemimpin
memperhatikan dan membantu bawahannya atau rakyatnya dalam menyelesaikan
pekerjaannya. Indikatornya antara lain derajat komitmen menyelesaikan suatu pekerjaan
yang jadi tanggung jawabnya, serta pertanggungjawaban lebih berdasar kepada kepercayaan
daripada kepatuhan. Sedangkan concern for production yatiu seberapa besar pemimpin memperhatikan pencapaian produk atau hasil. Indikator dari dimensi ini antara lain perhatian
terhadap kuantitas dan kualitas produksi serta menyelesaikan target tepat waktu8
.
Fred E. Fiedler menyatakan bahwa kesuksesan seorang pemimpin kontinjen atau
tergantung pada dua faktor: pertama cara tipikal pemimpin berinteraksi dengan anggota
kelompok. Kedua kontrol situasi yaitu derajat pemimpin mempunyai kontrol atau situasi
(misalnya, mengontrol kelompok, tugas, dan hasilnya)9
. Dari uraian teori kepemimpinan oleh
Grid dan Fred E. Fiedler yang menekankan tentang sikap dan jiwa seorang pemimpin serta
kecocokan seorang pemimpin kepada orang-orang yang dipimpin dapat dikaitkan dengan
kepemimpinan seorang Raja, khususnya kepemimpinan Ibrahim Duawulu saat menjadi Raja
di Kerajaan Bolango, nampaknya kepemimpinan beliau memiliki dua dimensi yang
disebutkan dalam teori Grid, yakni memperhatikan mrang yang dipimpin dan memperhatikan
produksi, jika ditarik kedalam kehidupan bermasyarakat suatu kerajaan maka dapat diartikan
bahwa sosok Ibrahim Duawulu tidak hanya memperhatikan keseharian rakyatnya tapi juga
memperhatikan apa yang akan dihasilkan masarakatnya dalam hal perilaku atau akhlak,
melalui peran beliau sebagai Aulia. Hal ini terbukti dengan karya besar beliau dzikili
(dibacakan saat isra’miraj) yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat
Gorontalo.
Dalam kepemimpinan terdapat hubungan antar manusia, yaitu hubungan
mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan-ketaatan para pengikut/bawahan
karena di pengaruhi oleh kewibawaan pemimpin. Para pengikut terkena pengaruh dari
kepemimpinannya, dan bangkitlah secara spontan rasa ketaatan pada pemimpin.G.R Tery mengemukakan sejumlah teori kepemimpinan diantaranya teori sosiologis
yang berbicara mengenai kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan
antar-relasi dalam organisasi, dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik
organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerjasama yang baik. Pemimpin
menetapkan tujuan-tujuan, dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan
terakhir . selanjutnya juga mengidentifikasi tujuan, dan kerap kali memberikan petunjuk yang
di perlukan bagi para pengikut untuk melakukan setiap tindakan yang berkaitan dengan
kepentingan kelompoknya.
Seorang pemimpin sangat identik dengan wewenang penuh yang dimilikinya. Max
Weber membagi wewenang menjadi tiga kategori, yaitu wewenang tradisional, karismatik,
dan rasional legal.11 Wewenang tradisional adalah wewenang berdasarkan kepercayaan di
antara anggota masyarakat pada tradisi lama dan menganggap bahwa kekuasaan yang
dilandasi oleh tradisi itu wajar dan patut dihormati. Wewenang karismatik adalah wewenang
berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau
religiusitas seorang pemimpin. Sementara itu, wewenang rasional-legal adalah wewenang
berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang
pemimpin. Dari teori wewenang diatas, bila disesuaikan dengan kepemimpinan di zaman
kerajaan khususnya pada kerajaan Bolango, wewenang yang dimiliki seoarang raja adalah
wewenang Karismatik, yang memang sudah melekat pada tradisi masyarakat pada saat itu.
sejarah kerajaan Bolango, sebagai salah satu kerajaan tradiisional di Gorontalo, serta dapat
mengetahui seluk-beluk peranan seorang Raja Hubulo atau Ibrahim Duawulu yang juga salah
satu pembesar dalam penyebarkan ajaran Islam di bumi Gorontalo. Selain itu, melalui
kesempatan ini juga akan melihat bagaimana pengruh Ibrahim Duawulu terhadap para
imperialisme Belanda yang pada saat itu sudah mendirikan dan menanamkan kekuasaannya
di Gorontalo, dengan memanfaatkan kekuasaan Sultan Ternate yang menundukkan Raja dan
Rakyat Gorontalo.
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah menuliskan segala fakta dan peristiwa yang
terjadi di masa lampau yang berkaitan erat dengan kerajaan Bolango dan juga peran Ibrahim
Duawulu sebagai Raja Bolango. Seorang pembesar yang sangat berjasah bagi rakyat
Gorontalo, tentunya hal ini sangat penting untuk diangkat ke dalam sebuah penulisan agar
dapat diketahui oleh publik. Sehingga segala tujuan yang penjadi landasan penulisan ini akan
disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah dituliskan diatas, tujuan pokok penulisan ini
adalah menuliskan sejarah Kerajaan Bolango pada Masa Ibrahim Duawulu (1752-1772).
Dari beberapa sumber yang telah ditemukan, terdapat hubungan yang berkaitan
satu sama lain, apabila dilihat dari tinjauan kronologis masing-masing menjelaskan
tentang perjalanan panjang masa lalu Gorontalo yang tak luput dari pengaruh-pengaruh
bangsa lain seperti saat masuknya kolonial Belanda, dan mendirikan kongsi dagang
hingga menimbulkan monopoly perdagangan dan berujung pada perlawanan
masyarakat Gorontalo. Kemudian untuk bahasan kerajaan Bolango sendiri, juga sangat
berkaitan mengenai kronologi yang menjelaskan tentang hubunngan kerajaaan Bolango
dengan kerajaan-kerajaan lainya yang ada di Gorontalo, seperti kerajaan Limboto,
kerajaan Gorontalo, kerajaan Suwawa, dan Kerajaan Atinggola, sebelum akhirnya
kerajaan Boalemo bergabung kedalam persekutuan yang disebut Limo lo Pohalaa.
Eksistensi kerajaan Bolango pula menjadi satu bahasan yang jarang ditemukan
pada sumber-sumber yang ada, melainkan hanya sebagian kecil saja. Bila dilihat dari
latarbelakang kerajaan Bolango, kerajaan ini terbentuk pertama kali di daerah Bolaang
Mongondow oleh suku Pidodotiya yang sebelumnya berada di Suwawa, kemudian suku
tersebut dikenal dengan sebutan Bolango. Namun, kemudian kerajaan Bolango
terbentuk pula di Gorontalo tepatnya di Tapa untuk bangsa Bolango yang ada di
Gorontalo, yang menjadi raja pertamanya adalah Raja Datau, cucu dari raja Pangidato
yang menjadi raja kerajaan Bolango di Bolaang Mongondow. Jadi, dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa kerajaan Bolango atau suku Bolango ini merupakan peranakan
Gorontalo yang berada di tanah Bolaang Mongondow, kemudian membentuk satu
kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan sendiri. Kehadiran kerajaan ini pula
menambah kekuatan politik di Gorontalo dengan tergabungnya kerajaan Bolango
kedalam persekutuan lima kerajaan besar di Gorontalo yang disebut dengan Limo lo
pohalaa.
Sebagaimana devinisi dari Interpretasi adalah pengelompokkan dan penafsiran
fakta-fakta sejarah yang saling berhubungan yang diperoleh dalam bentuk penjelasan
terhadap fakta tersebut dengan sesubyektif mungkin.
1.6.4 Historiografi
Selama proses pengumpulan data dan sumber, serta melakukan tinjauan dari
beberapa referensi dapat diuraikan suatu peristiwa yang telah dihimpun melalui proses
metode penelitian yang terdiri dari heuristik, kritik, dan interpretasi, kedalam satu
penulisan sejarah yang runtut dan relevan.
Gorontalo adalah wilayah yang memiliki beberapa kerajaan tradisional. Bila
melihat kilas balik perjalanan kerajaan-kerajaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kerajaan-kerajaan tersebut tidak kalah dengan eksistensi kerajaan-kerajaan besar di
wilayah lainnya yang ada di Indonesia. Salah satu kerajaan yang memiliki eksistensi itu
serta sangat diperhitungkan keberadaannya bagi perpolitikan serta kebudayaan
Gorontalo adalah kerajaan Bolango, yang ada di Tapa. Walau pada awalnya, kerajaan
Bolango tidak langsung berdiri di tanah Gorontalo, melainkan di wilayah Bolaang
Mongondow, yang memiliki asal-usul sebagai suku Pidodotiya yang berasal dari
Suwawa dan tinggal di Bolaang Mongondow, dan dikenal dengan sebutan bangsa
Bolango.
Berdirinya kerajaan Bolango di Gorontalo berawal dari cucu raja Pangidato, yang
bernama Datau. Pada tahun 1482 utusan dari kerajaan Limboto datang menemui raja
Pangidato, yang berkuasa saat itu di kerajaan Bolango yang ada di Bolaang
Mongondow, untuk menjemput tiga cucu sang raja. Salah satunya bernama Datau, yang
kemudian menikah dengan adik Ntihedu raja Gorontalo. Setelah pernikahan tersebut,
raja Ntihedu memberikan wilayah Tapa untuk Datau, sehingga dibangunlah sebuah
kerajaan untuk bangsa Bolango di Gorontalo dan Datau menjadi raja Pertamanya.
Sehingga yang menjadi pembahasan total dalam penulisan ini hanyalah kerajaan
Bolango yang ada di Gorontalo. Adapun latarbelakang kerajaan Bolango sebelum
berada di Gorontalo, referensinya mengenai hal tersebut sangan minim, dan sangat
sedikit disinggung pada setiap sumber atau data yang telah ditemukan. Sehingga,
pembahasan mengenai kerajaaan Bolango yang ada di Bolaang Mongondow hanya
akan dibahas sedikitnya saja demi melengkapi kesempurnaan tulisan ini, serta sebagai
pendukung dalam perjalanan sejarah kearajaan Bolango.
Didasari makna dari Historiografi atau penulisan sejarah adalah tahap akhir dari
seluruh penelitian sejarah yaitu heuristic, kritik, interpretasi, dan disatukan menjadi
sebuah historiografi yang telah melalui analisis kritis sehingga menjadi suatu penulisan
yang utuh. Demikianlah langkah demi langkah yang akan dilakukan demi
kesempurnaan dan kelayakan dari penelitian sejarah ini untuk ditulis dan bahkan untuk
dipublikasikan.