mataram kuno


Kerajaan Mataram Kuno 
  Wangsa Sailendra 
1. Asal usul Wangsa Sailendra. 
     Istilah Sailendrawangsa dijumpai pertama kali di dalam prasasti 
Kalasan tahun 700 Saka(778M).  1  Kemudian istilah itu muncul pula di 
dalam prasasti dari desa Kelurak tahun 704 Saka (782 M).   di dalam 
prasasti Abhayagiriwihara dari bukit Ratu Baka tahun 714 Saka (792 M), 
  dan di dalam prasasti Kayumwungan tahun 746 Saka (824 M),    Yang 
amat menarik perhatian ialah bahwa istilah Sailendrawangsa itu muncul 
pula di luar Jawa, yaitu di dalam prasasti Ligor B  5 , Nalanda, dan Leiden. 
     Prasasti – prasasti ini semuanya memakai bahasa 
Sanskerta, dan tiga diantaranya – kecuali prasasti Kayumwungan – 
memakai huruf siddham, bukan huruf Pallawa atau huruf Jawa Kuno 
sebagaimana umumnya prasasti – prasasti di Jawa. Kenyataan ini 
ditambah dengan  kenyataan bahwa ada beberapa nama wangsa di India 
dan daratan Asia Tenggara yang sama artinya dengan Sailendra, yaitu 
raja gunung, menimbulkan pelbagai teori tentang asal usul wangsa 
Sailendra di Jawa itu. R.C. Majumdar beranggapan bahwa wangsa 
Sailendra di Indonesia, baik yang di Jawa maupun yang di Sriwijaya, 
berasal dari Kalingga di India Selatan.    G. Coedes lebih condong 
kepada anggapan bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari Fu-nan atau 
Kamboja. Menurut pendapatnya ejaan Fu-nan dalam berita Cina itu 
berasal dari kata Khmer kuno vnam atau bnam yang berarti gunung; 
dalam bahasa Khmer sekarang phnom. Raja – raja Fu-nan disebut 
parwatabhupala, yang berarti raja gunung sama dengan kata Sailendra. 
     Setelah kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, ada anggota 
wangsa raja – raja Fu-nan itu yang menyingkir ke Jawa, dan muncul 
sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad VIII M, dengan 
memakai nama wangsa Sailendra.   
     J. Przyluski menunjukkan bahwa argumentasi Coedes itu didasarkan 
atas tafsiran yang meragukan dari data bait di dalam prasasti Kuk Prah 
Kot, yang menurut Coedes merupakan petunjuk bahwa raja – raja 
Sailendra di Jawa menganggap dirinya keturunan wangsa Sailendra Fu-
nan. Menurut Przyluski istilah wangsa Sailendra itu menunjukkan bahwa 
raja – raja itu menganggap dirinya berasal dari Sailendra yang berarti raja 
gunung, dan merupakan sebutan bagi Siwa = Girisa. Dengan perkataan 
lain, raja – raja wangsa Sailendra di Jawa itu tentu menganggap 
leluhurnya ada di atas gunung. Hal ini merupakan petunjuk baginya 
bahwa istilah Sailendra itu asli Indonesia.    
     Pendapat – pendapat ini di atas telah dibahas oleh Nilakanta 
Sastri, dan ia sendiri mengajukan pendapat bahwa wangsa Sailendra di 
Jawa itu berasal dari daerah Pandya di India Selatan.  9  Akhirnya, J.L. 
Moens, dalam salah satu karangannya yang menarik perhatian, 
mengemukakan pendapat bahwa wangsa Sailendra itu dari India Selatan, 
yang semula berkuasa di sekitar Palembang, tetapi pada tahun 683 M 
melarikan diri ke Jawa karena serangan dari Sriwijaya dari Semenanjung 
Tanah Melayu.   . 
     Di antara pendapat – pendapat diatas yang kemudian banyak dianut 
ialah pendapat G. Coedes, lebih – lebih setelah J.G. de Carparis dapat 
menemukan istilah Waranaradhirajaraja di dalam prasasti candi Plaosan 
Lor, juga prasasti Kelurak, dan ia mengidentifikasikan Waranara itu 
dengan Narawaranagara atau Na-fu-na di dalam berita – berita Cina, yaitu 
pusat kerajaan Fu-nan setelah berpindah dari Wyadhapura atau T’e-mu 
  setelah mendapat serangan dari Chen-la dibawah pimpinan 
Bhawawarman dan Citrasena pada pertengahan kedua abad VI M.    
Selanjutnya de Casparis mengatakan bahwa setelah pindah ke Na-fu-na 
yang biasa dilokasikan di dekat Angkor Borei ada di antara raja – raja itu 
yang pergi ke Jawa dan keturunan – keturunannya. Jadi, menurut de 
Casparis, di Jawa mula – mula berkuasa wangsa raja – raja yang 
beragama Siwa, tetapi setelah kedatangan raja dari Na-fu-na itu yang 
berhasil menaklukannya, di Jawa Tengah terdapat dua wangsa raja – 
raja, yaitu raja – raja dari wangsa   yang beragama Siwa, dan para 
pendatang baru itu, yang kemudian menamakan dirinya wangsa 
Sailendra, yang beragama Buddha. Pendapat de Casparis ini diilhami 
oleh F.H. van Naerssen, yang melihat bahwa di dalam prasasti Kalasan 
tahun 778 M, yang berbahasa Sanskerta ada dua pihak, yaitu pihak raja 
wangsa Sailendra, yang hanya disebut sebagai Permata wangsa 
Sailendra tanpa nama, dan Rakai Panangkaran, raja bawahannya dari 
wangsa Sanjaya.    
     Selanjutnya de Casparis mencoba mengadakan rekonstruksi jalannya 
sejarah kerajaan Mataram sampai dengan pertengahan abad IX M 
dengan landasan anggapan bahwa sejak pertengahan abad VIII M ada 
dua wangsa raja – raja yang berkuasa, yaitu wangsa Sailendra yang 
berasal dari Fu-nan, dan penganut agama Buddha Mahayana, yang 
berhasil menaklukkan raja – raja dari wangsa Sanjaya yang beragama 
Siwa. Raja – raja wangsa Sanjaya itu, sejak Rakai Panangkaran hanya 
berkuasa sebagai raja bawahan, dan dalam beberapa kesempatan 
pembangunan candi – candi membantu raja wangsa Sailendra dengan 
memberikan tanah – tanah sebagai sima bagi candi – candi itu.    
Pendapat de Casparis ini dikembangkan lagi oleh F.D.K. Bosch, dengan 
perubahan – perubahan di sana – sini.    
     Pendapat bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari luar Indonesia 
(India atau Kamboja) ditentang oleh R.Ng. Poerbatjaraka. Ia merasa amat 
tersinggung membaca teori – teori ini, seolah – olah bangsa                                                
Indonesia ini sejak dahulu kala hanyalah mampu untuk diperintah oleh 
bangsa asing.  
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan – keturunannya itu ialah 
raja – raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut 
agama Siwa, tetapi sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi 
penganut agama Buddha Mahayana. Sebagai salah satu alasan ia 
menunjuk kepada kitab Carita Parahyangan, yang antara lain memuat 
keterangan bahwa Rahyang Sanjaya telah menganjurkan anaknya 
Rahyangta Panaraban, untuk meninggalkan agama yang dianutnya, 
karena ia ditakuti oleh semua orang. nama Rahyangta Panaraban 
diidentifikasikannya dengan Rakai Panangkaran.    
     Penemuan prasasti batu berbahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, 
Kabupaten Pekalongan, dan sebuah prasasti batu berbahasa Sanskerta 
yang tidak diketahui dengan jelas asalnya  16  dan kini tersimpan di 
Museum Adam Malik, mungkin sekali memperkuat anggapan 
Poerbatjaraka. Prasasti dari Sojomerto itu menyebutkan Dapunta 
Selendra, nama ayah dan ibunya, yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan 
istrinya yang bernama Sampula. Masih ada tokoh lagi yang disebut di 
dalam prasasti yang sayang sekali namanya tidak terbaca seluruhnya. 
Demikian pula istilah yang menunjukkan hubungan antara tokoh ini 
dengan Dapunta Selendra tidak terbaca seluruhnya. Tokoh ini diberi 
predikat Hyang, jadi mungkin sekali tokoh yang telah diperdewakan, dan 
dianggap sebagai leluhur Dapunta Selendra.   
     Sebagaimana Isanawangsa berpangkal kepada Pu Sindok yang 
bergelar Sri Isanawikramadharmmottunggadewa dan Rajasawangsa 
berpangkal kepada Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa    tentunya                                                 
 Sailendra wangsa berpangkal kepada seorang leluhur yang gelarnya 
mengandung unsur Sailendra. Di dalam prasasti Sojomerto itu dijumpai 
nama Dapunta Selendra, yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata 
Sanskerta Sailendra. Sesuai dengan asal usul nama – nama wangsa 
yang lain itu dapatlah disini disimpulkan bahwa wangsa Sailendra itu 
berpangkal kepada Dapunta Selendra. Kenyataan bahwa ia 
memakai bahasa Melayu Kuno di dalam prasastinya menunjukkan 
bahwa ia seorang Indonesia asli, mungkin sekali berasal dari Sumatra. 
karena di Sumatralah dijumpai lebih banyak prasasti berbahasa Melayu kuno.     
     Dari prasasti Sojomerto itu jelas bahwa Dapunta Selendra ialah 
penganut agama Siwa. Kapan dan apa sebabnya raja – raja wangsa 
Sailendra itu mulai menganut agama Buddha mungkin dapat diketahui 
dari prasasti milik Bapak Adam Malik, yang untuk sementara disebut 
dengan nama Sangkhara. Prasasti ini berbahasa Sanskerta, tetapi 
sayang yang diketemukan kembali hanya bagian akhirnya. Rupa – 
rupanya prasasti ini dituliskan di atas dua batu, tetapi batu yang pertama 
yang memuat permulaan prasasti tidak ada. Dengan demikian, tidak 
diketahui kapan prasasti ini dikeluarkan kalaupun ada angka tahunnya. 
Melihat bagian belakang prasasti yang tidak rata, dan ada bagian yang 
merupakan tonjolan, rupa – rupanya prasasti ini dahulu ditempatkan 
dalam suatu bangunan. 
     Bagian yang tersisa berisi keterangan bahwa pada suatu ketika ayah 
raja Sangkhara jatuh sakit, dan selama delapan hari ia sangat menderita 
karena panas yang membakar. Akhirnya ia meninggal tanpa dapat 
disembuhkan oleh pendeta gurunya. Oleh karena itu, raja Sangkhara 
merasa takut kepada sang guru yang dianggapnya tidak benar, dan ia lalu 
meninggalkan kebaktian kepada Sangkhara (Dewa Siwa). Bagian 
penutup prasasti memang membayangkan bahwa raja Sangkhara itu 
                                              
kemudian menjadi penganut agama Buddha, karena antara lain dikatakan 
bahwa ia telah memberikam anugerah kepada bhiksusnggha.    
     Kalau tafsiran itu benar, di sini dijumpai suatu sumber prasasti yang 
memberikan keterangan tentang perpindahan agama dari agama Siwa ke 
agama Buddha, dan raja yang berpindah agama itu ialah raja Sangkhara 
yang hingga kini belum pernah ditemui namanya di dalam sumber – 
sumber yang telah dikenal sebelumnya. 
     Prasasti ini tidak lengkap hingga tidak diketahui angka tahunnya. Akan 
tetapi, dari segi paleografi dapat diperkirakan bahwa prasasti ini berasal 
dari pertengahan abad VIII M. Mungkin sekali ini merupakan bukti 
epigrafis dari teori Poerbatjaraka yang didasarkan atas keterangan di 
dalam kitab Carita Parahyangan. Dengan perkataan lain, mungkin sekali 
pendapat Poerbatjaraka mengenai asal usul wangsa Sailendra benar, 
yaitu bahwa mereka itu orang Indonesia asli, dan bahwa hanya ada satu 
wangsa, wangsa Sailendra, yang anggota – anggotanya semula 
menganut agama Siwa. Akan tetapi, sejak pemerintahan Rakai 
Panangkaran    menjadi penganut agama Buddha Mahayana, untuk 
kemudian pindah lagi menjadi penganut agama Siwa sejak pemerintahan 
Rakai Pikatan. 
2. Ho-ling dan Kanjuruhan 
     Munculnya wangsa Sailendra itu bersamaan dengan perubahan 
dalam penyebutan Jawa didalam berita – berita Cina. Kalau sebelumnya, 
yaitu dalam abad V M, berita – berita Cina dari zaman dinasti Sung Awal 
(420 – 470 M) menyebut Jawa dengan She-p’o, berita – berita Cina dari 
                
zaman dinasti Tang (618 – 906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-
ling sampai tahun 818 M. untuk kemudian berubah lagi menjadi She-p’o 
mulai tahun 820 M sampai tahun 856 M.   Seperti telah dikatakan, 
prasasti Sojomerto itu mungkin sekali berasal dari pertengahan abad VII 
M, dan berita Cina yang pertama menyebut Ho-ling berasal dari tahun 640 
M. Berita – berita dari zaman dinasti Tang ada dua versi, yaitu Ch’iu-T’ang 
shu dan Hsin T’ang shu (618 – 906 M). Berita tentang Ho-ling antara lain 
sebagai berikut : Ho-ling yang juga disebut She-p’o. terletak di laut 
selatan. Di sebelah timurnya terletak P’o-li dan di sebelah baratnya 
terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya adalah lautan, sedang di 
sebelah utaranya terletak Chen-la,    Tembok kota dibuat dari tonggak – 
tonggak kayu. Raja tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat, 
beratapkan daun palem (?), dan duduk di atas bangku yang terbuat dari 
gading. Dipergunakan pula tikar yang terbuat dari kulit bambu. Kalau 
makan, orang tidak memakai sendok atau sumpit, tetapi dengan 
tangan saja. Penduduknya mengenal tulisan dan sedikit tentang ilmu 
perbintangan. 
     Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak, dan 
gading. Kerajaan ini amat makmur; ada sebuah gua (?) yang selalu 
mengeluarkan air garam (bledug, Jw.). Penduduk membuat minuman 
keras dari bunga kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya 
dapat mencapai tiga kaki, dan besarnya sama dengan tangan orang. 
Bunga ini dipotong, dan airnya ditampung dijadikan minuman keras; 
rasanya amat manis, tetapi orang cepat sekali mabuk dibuatnya. Di Ho-
ling banyak perempuan yang berbisa; apabila orang mengadakan 
hubungan kelamin dengan perempuan – perempuan itu, ia akan luka – 
luka bernanah dan akan mati, tetapi mayatnya tidak membusuk. 
     Di daerah pegunungan ada sebuah daerah yang bernama Lang-pi-
ya; raja sering pergi kesana untuk menikmati pemandangan ke laut. 
Apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon 
                                                setinggi  8 kaki, bayangannya akan jatuh ke sebelah selatannya, dan 
panjangnya dua kaki empat inci. 
     Dalam masa Chen-kuan (627 – 649 M), raja Ho-ling, bersama dengan 
raja To-ho-lo dan To-p’o-teng, mengirimkan utusan ke Cina menyerahkan 
upeti. kaisar memberikan surat jawaban dengan dibubuhi cap kekaisaran, 
dan ketika utusan dari To-ho-lo meminta kuda – kuda yang baik, 
permintaan itu dikabulkan oleh Kaisar. Utusan dari Ho-ling datang lagi 
pada tahun – tahun 666, 767, dan 768 M. Utusan yang datang pada tahun 
813 M (atau 815 M) mempersembahkan empat budak sheng-chih 
(jenggi), burung kakatua yang bermacam – macam warnanya, burung 
p’in-chia (?), dan benda – benda yang lain. Kaisar amat berkenan hatinya, 
dan memberikan anugerah gelar kehormatan kepada utusan itu. Utusan 
itu mohon agar gelar itu diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat 
terkesan akan sikap itu, dan memberi anugerah gelar kehormatan kepada 
keduanya. 
     Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang 
perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hsi-mo. Pemerintahannya meskipun 
sangat keras akan tetapi adil. Barang – barang yang terjatuh di jalan tidak 
ada yang berani menyentuhnya. Pada waktu raja orang – orang Ta-shih 
mendengar berita semacam itu, ia mengirim pundi – pundi berisi emas 
untuk diletakkan di jalan di negeri ratu Hsi-mo. Setiap orang yang 
melewatinya menyingkir, sampai tiga tahun pundi – pundi itu tak ada yang 
menyentuhnya. Pada suatu hari putra mahkota yang lewat disitu tanpa 
sengaja telah menginjaknya. Ratu sangat marah, dan akan 
memerintahkan hukuman mati terhadap putra mahkota. Para menteri 
mohon pengampunan baginya. Akan tetapi, ratu mengatakan bahwa 
karena yang bersalah adalah kakinya, kaki itu harus dipotong. Sekali lagi 
para menteri mohon pengampunan; akhirnya ratu memerintahkan agar 
jari – jari kaki putra mahkota itu yang dipotong, sebagai peringatan bagi 
penduduk seluruh kerajaan. Mendengar hal itu raja Ta-shih takut dan 
mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan ratu Hsi-mo. 
     Raja tinggal di kota She-p’o (She-p’o-tch’eng), tetapi leluhurnya yang 
bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota 
P’olu-chia-ssu. Di sekeliling She-p’o ada 28 kerajaan kecil, dan tidak ada 
diantaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, dan yang 
terutama diantara mereka ialah ta-tso-kan-hsiung.  24  Menurut berita 
dalam Ying-huan-tschelio perpindahan itu terjadi dalam masa T’ien-pao 
(742 – 755 M).  25   
    Berdasarkan keterangan mengenai panjangnya bayangan gnomon 
ditengah musim panas itu orang harus menetapkan letak Ho-ling ada 
pada 6o8’ LU, jadi tidak mungkin ada di Jawa. Akan tetapi, ada 
kemungkinan juga bahwa penulis Hsin-T’ang shu itu telah membuat dua 
kali kekeliruan, yaitu bahwa mestinya waktunya ditengah musim dingin, 
dan bahwa bayangan gnomon itu jatuh disebelah utaranya. Kalau 
pembetulan ini diterima, Ho-ling terletak pada 6o8’ LS,  26  jadi di pantai 
utara Jawa. Pemecahan semacam ini sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-
ya di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem.  27} L-C Damais 
mengindentifikasikan Ho-ling dengan Walaing.  28  Identifikasi itu mungkin 
secara fonetis memang dapat dipertanggung jawabkan,  tetapi sepanjang 
yang dapat disimpulkan dari sumber epigrafi, Walaing yang memang 
sering disebut sebagai nama tempat didalam pelbagai prasasti,    tidak 
merupakan pusat kerajaan. Dari prasasti –prasasti diketahui bahwa 
kerajaan wangsa Sailendra itu disebut Mataram, dan ibu kotanya disebut 
Medang, sampai ke zaman pemerintahan Pu Sindok. Letak ibu kota 
Medang memang berpindah – pindah, tetapi tidak pernah ada Medang i 
Walaing. Desa Medang memang dijumpai mulai dari daerah Bagelen di 
Jawa Tengah sampai didekat Madiun Jawa Timur, tetapi yang terbanyak 
ialah antara Purwodadi – Grobogan dan Blora. Lokasi di daerah ini sesuai 
pula dengan keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan 
air garam, dan memang di Desa Kuwu di daerah Purwodadi – Grobogan 
itulah hingga kini masih dijumpai apa yang dalam bahasa daerah disebut 
bledug, dan orang disitu membuat garam dari bledug itu.    Ratu Hsi-mo atau Sima dalam bahasa Indonesia, mungkin pengganti 
atau salah seorang pengganti Dapunta Selendra. Perlu dicatat disini 
bahwa pada masa pemerintahan Sima itu Ho-ling telah ada seorang 
pendeta agama Buddha yang termasyur bernama Yoh-na-p’o-to-lo atau 
Jnabhadra.    ia telah membantu seorang pendeta Vina, Hwi-ning (664 
– 666 M), dalam menerjemahkan kitab suci agama Buddha dari bahasa 
Sanskerta ke dalam bahasa Cina. ini berarti bahwa setidak – tidaknya 
kedua pendeta itu dapat berdiskusi dalam satu bahasa yang mereka 
kuasai bersama, disamping bahasa Sanskerta, bahasa Cina atau bahasa 
daerah, yang didalam berita – berita Cina disebut bahasa K’un-lun. 
        Yang mereka terjemahkan ialah Nie-p’an (Nirwana) dari Sang 
Buddha dan pembakaran jenazahnya. Menurut keterangan I-tsing 
ternyata naskah ini berbeda dengan naskah Nirwana dari  aliran 
Hinayana. Ini juga ternyata dari keterangan I-tsing yang mengatakan 
bahwa naskah yang diterjemahkan itu termasuk dalam Ngo-ki-muo 
(Agama),yang tergolong dalam kitab – kitab sutra yang pertama dari aliran 
Hinayana. Dari keterangan I-tsing diketahui pula bahwa di pulau – pulau 
di Laut Selatan, termasuk di Ho-ling, hampir semua penduduknya 
menganut agama Buddha Hinayana terutama dari Mulasarwastiwada.   
     Keterangan I-tsing itu bertentangan dengan kenyataan bahwa 
Dapunta Selendra adalah penganut agama Siwa; dan demikian pula 
tentunya pengganti – penggantinya sampai dengan Rakai Mataram Sang 
Ratu Sanjaya. 
Akan tetapi, mengingat bahwa di Jawa ini tidak selalu rakyat mengikuti 
agama yang dianut oleh rajanya, sebagaimana antara lain ternyata dari 
banyaknya peninggalan – peninggalan candi kecil yang berlandaskan 
agama Siwa disekitar candi Borobudur,    masalah agama itu tidak perlu                                                 
. merupakan keberatan terhadap anggapan bahwa sampai pemerintahan 
Sanjaya raja – raja wangsa Sailendra adalah penganut Siwa. 
     Dalam masa pemerintahan ratu Sima itu ada ancaman dari raja T-shih, 
Istilah Ta-shih merupakan transkripsi dari tajika, yang biasa digunakan 
untuk menyebut orang – orang Arab di India, Timbul pertanyaan apakah 
yang dimaksudkan dengan raja Ta-shih yang hendak menyerang Ho-ling 
itu. Mungkinkah di kepulauan Indonesia pada abad VII M itu sudah ada 
orang – orang Arab (atau yang oleh orang Cina dianggap sebagai orang 
Arab) yang menetap dan merupakan suatu kelompok masyarakat 
tersendiri? 
     Prasasti Hampran dan prasasti Sangkhara itu berasal dari suatu masa 
yang bersamaan dengan terjadinya perpindahan ibu kota kerajaan Ho-
ling dari She-p;o-tch’eng ke P’o-lu-chia-sse, seperti yang tertera dari 
berita Cina dari zaman rajakula T’ang. Seperti telah disebutkan, berita 
Cina itu mengatakan bahwa raja Ho-ling tinggal di kota She-p’o, tetapi 
nenek moyangnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan ibu kotanya 
ke timur, ke P’o-lu-chia-sse. Karena selanjutnya disebut – sebut ta-tso-
kan-hiung,  yang oleh Boechari ditafsirkan sebagai “Daksa, saudara / raja 
/ yang gagah berani,    maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud 
disini ialah Rakai Watukura Dyah Balitung, yang memerintah antara tahun 
899 – 911 M. 
     Masalahnya sekarang siapakah Ki-yen itu, dan apa sebabnya ia 
memindahkan pusat kerajaannya. Seperti telah dikatakan pemindahan 
pusat kerajaan itu biasanya terjadi apabila kota itu telah diserbu oleh 
musuh. Akan tetapi, antara tahun 742 – 755 M itu tidak ada satu sumber-
pun yang memberitakan adanya serangan. Apa yang kira – kira terjadi 
antara tahun itu adalah pergantian pemerintahan Sanjaya ke Rakai 
Panangkaran. 
                                               
kalau Sangkhara itu dapat diidentifikasikan dengan Rakai Panangkaran – 
sehingga nama lengkap raja ini ialah Rakai Panangkaran Dyah 
Sangkhara Sri Sanggramadhananjaya – maka pergantian itu disertai pula 
dengan perubahan agama yang dianut oleh raja; dan ini mungkin dapat 
menimbulkan pergolakan.  35  Mungkin masih ada anggota keluarga raja 
yang lain yang masih taat kepada agama leluhurnya, yaitu agama Siwa, 
dengan mungkin masih mempertahankan guru mereka. Mungkin juga 
Bhanu di dalam prasasti Hampran itu salah seorang anggota wangsa 
Sailendra yang diserahi sebagai penguasa daerah, yang masih tetap 
menganut agama Siwa. 
     Apakah Rakai Panangkaran yang memindahkan pusat kerajaannya 
lebih ke timur dari daerah Kedu, yaitu lembah di lereng gunung Merapi? 
Kesulitannya ialah bahwa pertama – tama harus tahu dahulu letak She-
p’o-tch’eng (Yawapura), pusat kerajaan Rakai Watukura Dyah Balitung. 
Apakah di daerah Kedu, ataukah di daerah sekitar Prambanan, ataukah 
di daerah Purwodadi – Grobogan (?), yang terang sudah tidak lagi di 
daerah Pekalongan / Banyumas. Andaikata dapat ditunjukkan bahwa 
Rakai Watukura berpusat kerajaan di daerah Kedu mengingat gelar 
rakainya yang menunjukkan bahwa ia mempunyai daerah lungguh di 
daerah Kedu Selatan,    – mungkin sekali Rakai Panangkaran telah 
memindahkan pusat kerajaannya ke sekitar Prambanan, atau di daerah 
Purwodadi – Grobogan. Seperti yang akan dikemukakan dalam uraian 
selanjutnya, Rakai Panangkaran telah membangun pelbagai candi, 
antaranya candi Sewu yang mestinya berfungsi sebagai candi kerajaan, 
khusus untuk pemujaan dewa tertinggi, yaitu manjusri, dan candi Kalasan.  
  
     Dengan uraian ini seolah – olah Ki-yen sudah diidentifikasikan 
dengan Rakai Panangkaran. Seperti telah ditunjukkan oleh L-C Damais 
mungkin sekali Ki-yen itu tidak lengkap, mestinya Lo-ki-li-yen, yang 
                                                
merupakan transkripsi dari gelar Rakarayan, atau lo-ki-yen yang 
merupakan transkripsi dari Rakryan.    jadi, Ki-yen bukan nama, 
melainkan hanya gelar; maka dapat diidentifikasikan dengan siapa saja 
yang bergelar Rakarayan.  Mengenai lokasi P’o-li-chia-sse memang 
belum dapat didapat penyelesaian yang memuaskan. yang dapat 
dikatakan disini barulah bahwa p’o-lu itu dapat merupakan transkripsi dari 
waru. Nama tempat Waru atau yang mengandung unsur Waru memang 
banyak sekali, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Akan tetapi, 
mungkin Waru harus dicari di sekitar Rembang, karena memenuhi syarat 
dekat dengan Krapyak, suatu tempat yang sering dikunjungi raja untuk 
menikmati pemandangan laut.    
     Bagaimana kalau ternyata Rakai Watukura Dyah Balitung bertakhta di 
daerah Prambanan atau Purwodadi – Grobogan (?) Tentulah harus 
dibayangkan bahwa nenek moyangnya telah memindahkan pusat 
kerajaan lebih ke timur lagi, mungkin sampai ke Jawa Timur. Dalam 
hubungan ini perlu dikemukakan bahwa hingga kini para sarjana 
cenderung untuk menghubungkan berita perpindahan pusat kerajaan Ho-
ling ke timur itu dengan munculnya prasasti Dinoyo di daerah Malang 
yang berangka tahun 682 Saka (21 Nopember 760 M).    
     Di dalam prasasti Dinoyo itu diperingati  pembuatan arca Agastya dari 
batu hitam dengan bangunan candinya oleh raja Gajayana, sebagai 
pengganti arca Agastya yang telah dibuat dari kayu cendana oleh nenek 
moyangnya. 
Gajayana adalah anak raja Dewa singha yang telah memerintah kerajaan 
dibawah naungan api Putikeswara, Setelah Dewasingha mangkat 
anaknya yang semula bernama Limwa, menggantikan duduk diatas 
takhta kerajaan Kanjuruhan, dengan nama Gajayana. Ia beranak 
perempuan yang bernama Uttejana, yang kawin dengan Jananiya. 
Gajayana memang pemuja Agastya, dan setelah ia melihat arca Sang 
Maharesi yang dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu cendana, ia 
memerintahkan kepada para pemahat untuk membuat arca batu hitam 
yang indah dan bersama para pembesar dan rakyat ia memerintahkan 
pembangunan sebuah candi yang indah untuk para pertapa, para 
sthapaka, dan rakyat. Pada kesempatan itu raja menganugerahkan 
sebidang tanah, sapi yang gemuk – gemuk dan sejumlah kerbau, serta 
budak laki – laki dan perempuan sebagai penjaganya. Demikian pula raja 
menganugerahkan segala sesuatu untuk keperluan para pendeta, seperti 
untuk keperluan pemujaan api dan untuk persembahan caru bagi Sang 
Maharesi, dan untuk keperluan penyucian diri dan sebuah bangunan yang 
besar dan permai untuk tempat beristirahat para pengunjung, lengkap 
dengan persediaan padi jelai, tempat tidur, dan pakaian. Dua bait terakhir 
prasasti ini berisi kutukan bagi mereka yang tidak menjunjung tinggi 
amanat raja, dan sebaliknya mengharapkan kesejahteraan bagi mereka 
yang ikut memperbesar jasa dengan memelihara bangunan suci itu 
beserta segenap kelengkapannya.    
     Isi prasasti ini mungkin berkaitan dengan nama sebuah kerajaan 
di Jawa Timur yang bernama Kanjuruhan. Nama ini rupa – rupanya 
hingga sekarang masih ada dalam nama sebuah desa tidak jauh dari 
Dinoyo, tempat penemuan prasasti, yaitu des Kejuron ditepi Kali Merto. 
Disebelah utara Desa Kejuron itu masih ada peninggalan candi yang 
memiliki ciri – ciri arsitekturnya termasuk bangunan candi yang tua, yaitu 
candi Badut. Apakah memang candi Badut itu yang disebutkan didalam 
prasasti ini sebagai candi untuk pemujaan Agastya belumlah dapat 
dipastikan, karena disekitarnya, yaitu didesa Merjosari, Besuki, dan 
Ketawang Gede juga ditemukan sisa – sisa bangunan kuno yang 
menunjukkan ciri – ciri arsitektur yang sama.  
 Poerbatjaraka mengidentifikasikan Gajayana dengan Ki-yen didalam 
berita Cina yang memindahkan kerajaan Ho-ling ke Timur. Fonetis 
identifikasi ini kurang dapat diterima.    Lagi pula ada keberatan yang 
lebih mendasar, yaitu kenyataan bahwa didalam prasasti ini disebut – 
sebut arca Agastya dari kayu cendana yang telah dibuat oleh nenek 
moyang raja Gajayana. Selain itu, dari kata – kata didalam prasasti 
terbayang bahwa sebelumnya raja Dewasingha, ayahnya, telah 
memerintah dengan tenang di kerajaan Kanjuruhan. Jadi, tidak 
mungkinlah kiranya Gajayana diidentifikasikan dengan Ki-yen. Bahkan 
mungkin harus disimpulkan bahwa kerajaan Kanjuruhan itu tidak ada 
hubungannya sama sekali dengan kerajaan Ho-ling atau Mataram di 
Jawa Tengah. Apabila yang dimaksud dengan arca Agastya dari kayu 
cendana yang telah dibuat oleh nenek moyang raja Gajayana itu tidak lain 
dari sebuah patung pemujaan nenek moyang yang biasa dibuat oleh 
kesatuan masyarakat yang belum menganut agama Hindu / Buddha, jadi 
semacam mulabera, yang kemudian, setelah kelompok itu menganut 
kebudayaan India dan berkembang menjadi suatu kerajaan, ditingkatkan 
menjadi semacam patung dewaraja.    Kalau demikian halnya, 
Dewasingha dan Gajayana itu ialah keturunan kepala daerah yang 
menguasai Kejuron dan sekitarnya, yang telah mengangkat dirinya 
menjadi raja dalam gaya India, lengkap dengan upacara pentahbisannya. 
     Kerajaan Kanjuruhan itu tidak lama berkembangnya. Mungkin 
kemudian kerajaan itu ditaklukkan oleh Mataram, dan penguasa – 
penguasanya dianggap sebagai raja bawahan dengan gelar Rakryan 
Kanuruhan. Gelar ini mulai muncul didalam prasasti raja Watukura Dyah 
Balitung, dan kedudukannya menjadi amat penting dalam zaman 
Dharmawangsa Airlangga dan zaman Kadiri.    Mungkin sekali memang 
Rakai Watukura yang menaklukkan Kanjuruhan itu, karena dari raja ini                                               
didapatkan prasasti Kubu – Kubu tahun 827 Saka (17 Oktober 905 M), 
yang menyebut bahwa pada zaman pemerintahannya telah terjadi 
penyerangan ke Banten, dan Banten dapat dikalahkan.    Berdasarkan 
nama – nama tempat yang lain didalam prasasti ini mungkin Banten itu 
harus dicari didaerah Jawa Timur. 
3. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya 
     Sebelum membicarakan masalah perpindahan pusat kerajaan itu 
baiklah terlebih dahulu disebutkan disini beberapa sumber prasasti dari 
masa sebelum perpindahan itu. Pertama – tama disebutkan disini prasasti 
di desa Lebak, Kecamatan Grabag (Magelamg), di lereng Gunung 
Merbabu, yang lebih dikenal dengan nama prasasti Tuk Mas.    Prasasti 
ini dipahatkan pada sebuah batu alam yang besar yang berdiri didekat 
suatu mata air. Hurufnya Pallawa yang tergolong muda, dan bahasanya 
Sanskerta. Menurut analisis paleografis dari Krom prasasti ini berasal dari 
pertengahan abad VII M.  48  Isinya pujian kepada suatu mata air yang 
keluar dari gunung, menjadi sebuah sungai yang mengalirkan airnya yang 
dingin dan bersih melalui pasir dan batu – batu, bagaikan Sungai Gangga.     
     Diatas tulisan itu dipahatkan bermacam – macam laksana dan alat – 
alat upacara antara lain cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, 
kudi, pisau, tongkat, dan empat bunga padma. laksana – laksana itu jelas 
menunjuk kepada agama Siwa. Dapat dibayangkan bahwa mata air itu 
dianggap sebagai sumber air yang suci, dan bahwa didekatnya tentu ada 
asrama pendeta – pendeta yang mengelola sumber air ini.     
     Prasasti yang kedua adalah prasasti Canggal, yang berasal dari 
halaman percandian diatas Gunung Wukir di Kecamatan Salam, 
Magelang. Prasasti ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta, dan 
berangka tahun 654 Saka (6 Oktober 732 M). Dalam bait pertama        
dikatakan bahwa raja Sanjaya telah mendirikan lingga diatas bukit pada 
tanggal 6 Oktober tahun 732 M. Lima bait berikutnya berisi puji – pujian 
kepada Siwa, Brahma, dan Wisnu, dengan catatan bahwa untuk Siwa 
sendiri tersedia tiga bait. Bait ke-7 memuji – muji Pulau Jawa yang subur 
dan banyak menghasilkan gandum (atau padi) dan kaya akan tambang 
emas. Di Pulau Jawa itu ada sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa 
yang amat indah, untuk kesejahteraan dunia, yang dikelilingi oleh sungai 
– sungai yang suci, antara lain Sungai Gangga. Bangunan suci itu terletak 
diwilayah Kunjarakunja. Dua bait berikutnya ditujukan kepada raja Sanna, 
yang memerintah dengan lemah lembut bagaikan seorang ayah yang 
mengasuh anaknya sejak kecil dengan penuh kasih sayang, dan dengan 
demikian ia menjadi termashur dimana – mana. Setelah ia dapat 
menaklukkan musuh – musuhnya, ia memerintah untuk waktu yang lama 
dengan menjunjung tinggi keadilan bagaikan Manu. Akan tetapi, setelah 
ia kembali ke surga untuk menikmati jasa – jasanya yang amat banyak, 
dunia ini terpecah dan kebingungan karena sedih kehilangan 
pelindungnya. Tiga bait terakhir ditujukan kepada pengganti Sanna, yaitu 
Raja Sanjaya, anak Sannaha, saudara perempuan Raja Sanna. Ia 
seorang raja yang gagah berani, yang telah menaklukkan raja – raja 
disekelilingnya, bagaikan Raghu ia juga dihormati oleh para pujangga 
karena dipandang sebagai raja yang paham akan isi kitab – kitab suci. Ia 
bagaikan Meru yang menjulang tinggi, dan meletakkan kakinya jauh 
diatas kepala raja – raja yang lain. Selama ia memerintah dunia ini yang 
berikat pinggangkan samudra dan berdada gunung – gunung, rakyatnya 
dapat tidur ditepi jalan tanpa merasa takut akan penyamun dan bahaya 
yang lain. Dewi Kali hanya dapat menangis – nangis karena tidak dapat 
berbuat apa – apa.     
     Dari prasasti itu diketahui bahwa pada tahun 732 M Raja Sanjaya yang 
jelas beragama Siwa telah mendirikan sebuah lingga diatas bukit. 
Mungkin bangunan lingga itu adalah candi yang hingga kini masih ada 
sisa – sisanya diatas Gunung Wukir, mengingat bahwa prasastinya 
memang berasal dari halaman percandian itu.    Pendirian lingga mungkin sekali memperingati kenyataan bahwa ia telah dapat 
membangun kembali kerajaan dan bertakhta dengan aman tenteram 
setelah menaklukkan musuh – musuhnya. Seperti yang dapat 
disimpulkan dari kata – kata pada baik ke-9 yang menerangkan 
mangkatnya raja Sanna, Sanna itu gugur dalam peperangan karena 
diserang oleh musuh.    Mungkin sekali kembalinya Sanjaya diatas 
takhta kerajaan itu terjadi pada tahun 717 M, yaitu tahun permulaan tarikh 
Sanjaya, yang hanya digunakan oleh Daksa didalam tiga prasastinya.     
     Sanna, Sannaha, dan Sanjaya mungkin sekali keturunan – keturunan 
Dapunta Selendra, sehingga mereka-pun masuk anggota wangsa 
Sailendra. Hal ini antara lain dapat disimpulkan dari daftar raja – raja yang 
disebutkan didalam prasasti Mantyasih. 
     Disitu Sanjaya disebut sebagai raja yang pertama yang bertakhta di 
Medang. Ia kemudian disusul oleh Rakai Panangkaran, yang jelas 
menamakan dirinya Permata wangsa Sailendra. mungkin diantara 
Dapunta Selendra dan Sima, atau Sima dan Sanna, masih ada seorang 
raja lagi yang hingga kini belum diketemukan didalam sumber sejarah.  56   
     Dapat dipahami mengapa raja Sanjaya disebut sebagai raja pertama 
yang bertakhta di Medang. Seperti telah dikatakan pendahulunya, yaitu 
raja Sanna, telah diserang oleh musuh, dan rupa – rupanya gugur dalam 
pertempuran, Mungkin sekali ibu kota kerajaan juga telah diserbu dan 
dijarah. Oleh karena itu, setelah Sanjaya dinobatkan menjadi raja, perlu 
dibangun ibu kota yang baru, dengan istana yang baru disertai dengan 
              
pembangunan candi untuk pemujaan lingga kerajaan.    Mungkin ini 
berhubungan dengan kepercayaan bahwa istana yang telah diserbu oleh 
musuh itu sudah kehilangan tuahnya. Hal itu dapat dilihat berkali – kali 
dalam sejarah Nusantara sampai ke zaman Surakarta.  58  Istana yang 
dibangun oleh Sanjaya itu terletak di Poh Pitu. Akan tetapi, dimana letak 
Poh Pitu itu hingga sekarang belum dapat ditemukan.  
     Yang menarik perhatian adalah keterangan bahwa di Pulau Jawa ada 
sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa didaerah Kunjarakunja yang 
dikelilingi oleh sungai – sungai suci, yang terutama diantaranya adalah 
Sungai Gangga. Candi manakah yang dimaksuf itu? Adakah candi itu 
sama dengan candi untuk lingga yang dibangun Sanjaya di Gunung 
Wukir? Ataukah sebuah candi yang lain yang belum dapat 
diidentifikasikan? yang terang bukanlah candi Prambanan, karena candi 
Prambanan itu baru diresmikan tahun 856 M, seperti yang dapat 
disimpulkan dari prasasti Siwagerha    Tentunya harus dicari adalah 
candi Siwa yang dibangun oleh raja sebelum Sanjaya. Mungkinkah yang 
dimaksudkan dengan candi Siwa didalam prasasti Canggal itu candi 
Banon dekat Mendut, yang hanya tinggal arca – arcanya saja yang besar 
dan bercorak “klasik”? Letak candi itu memang disuatu daerah diantara 
Sungai Progo dan Sungai Elo, jadi sesuai dengan pemerian didalam 
prasasti, dengan menduga bahwa yang dimaksud dengan Sungai 
Gangga itu adalah Kali Progo, sebagai sungai yang terbesar didaerah ini. 
Mengingat besarnya arca – arcanya memang pantas untuk suatu candi 
kerajaan.     
     Tentang nama Kunjarakunja, Poerbatjaraka pernah mengemukakan 
pendapat bahwa  yang dimaksudkan adalah daerah Sleman sekarang 
berdasarkan arti Kunjarakunja, yaitu hutan gajah, dan adanya daerah 
wanua ing alas i saliman didalam tiga prasasti pada batu sima.    
Pendapat itu sekarang harus diragukan kebenarannya, karena nama 
                                               
daerah didalam ketiga prasasti ini – sekarang ditambah dengan tiga 
batu lagi yang memuat nama daerah itu – harus dibaca wanua ing i alas i 
salimar.    Lagi pula kata Kunjarakunja dapat juga berarti hutan Ficus 
Religiosa atau hutan pohon bodhi dan sejenisnya, karena kata kunjara 
tidak hanya berarti gajah, tetapi nama beberapa jenis pohon, antara lain 
pohon bodhi (Ficusreligiosa).     
     Bahwa Sanjaya dikatakan telah menaklukkan raja – raja 
disekelilingnya memang dapat dipahami. Peristiwa yang serupa juga 
dapat dilihat nanti pada raja Dharmmawangsa Airlangga, yang juga harus 
menaklukkan kembali raja – raja bawahan yang sebelumnya mengakui 
kemaharajaan Dharmmawangsa Teguh. Tentu demikian pula halnya 
dengan raja Sanjaya. Setelah Sanna diserang oleh musuh dan pusat 
kerajaannya dihancurkan, tentu ada diantara raja – raja kecil yang semula 
mengakui kemaharajaannya yang lalu menganggap dirinya tidak terikat 
hubungan sebagai raja bawahan lagi dari maharaja Ho-ling,    karena itu 
setelah Sanjaya berhasil menduduki takhta kerajaan kembali dengan 
membangun pusat kerajaan baru, ia harus menaklukkan raja – raja yang 
tidak mau lagi mengakui kemaha rajaannya.     
     Prasasti berikut ialah prasasti Hampran tahun 672 Saka (24 Juli 750 
M).    Prasasti ini ditulis diatas batu alam yang besar di Desa 
Plumpungan dekat Salatiga. Bahasanya Sanskerta, dan hurufnya bukan 
lagi huruf Pallawa, tetapi huruf Jawa Kuno. Jadi, inilah huruf Jawa Kuno 
yang tertua didalam prasasti yang berangka tahun. Isinya memperingati 
pemberian tanah di Desa Hampra n  yang terletak diwilayah Trgramwya,  
    oleh orang yang bernama Bhanu demi kebaktian terhadap Isa, dengan 
persetujuan dari sang Siddhadewi.     
     Menurut de Casparis, Bhanu itu seorang raja dari wangsa Sailendra, 
mengingat bahwa didalam prasasti Ligor B ada nama raja Wisnu, dan 
didalam prasasti Kelurak ada nama raja Indra.    Ia berpendapat bahwa 
Bhanu itu tentu penganut agama Buddha, karena Isa merupakan nama 
lain dari sang Buddha. Akan tetapi, pendapat itu kurang meyakinkan 
karena didalam prasasti Hampran itu Bhanu tidak memakai gelar 
kerajaan. Bahwa Isa merupakan nama lain dari Buddha tidak dapat 
dibuktikan; istilah itu biasanya dipakai untuk menyebut Siwa.     
     Ditinjau dari segi palaeografi mungkin prasasti Sangkhara harus 
diletakkan antara prasasti Canggal dan prasasti Hampran, atau segera 
sesudah prasasti Hampran. Seperti telah disinggung sebelumnya, 
prasasti ini berisi keterangan bahwa raja Sangkhara telah meninggalkan 
kebaktian yang lain – lain, juga terhadap Siwa, setelah ia merasa takut 
kepada gurunya yang tidak benar (anrtagurubhayas) yang rupa – rupanya 
dianggap telah membuat ayahnya sakit dan wafat. Didalam bait 
sebelumnya dikatakan bahwa ayahnya itu telah berjanji untuk 
melaksanakan apa yang dikatakan oleh sang guru, karena ia memang 
mau taat kepadanya. Raja Sangkhara kemudian membangun sebuah 
prasada yang indah, karena ingat akan janjinya sendiri. Dalam bait 
terakhir ada pujian terhadap bhiksusanggha. Pujian inilah yang memberi 
bayangan bahwa raja Sangkhara itu lalu menjadi penganut agama 
Buddha. Lebih – lebih mengingat keterangan dari seorang kolektor di Solo 
yang mengatakan bahwa prasasti itu berasal dari suatu tempat yang 
                                                
masih ada sisa – sisa bangunannya yang berlandaskan agama Buddha, 
sekalipun mungkin bangunan itu tidak terlalu besar, dan terbuat dari bata. 
   
4. Rakai Panangkaran dan pengganti – penggantinya. 
     Dari uraian diatas dapatlah digambarkan bahwa Rakai Mataram Sang 
Ratu Sanjaya telah membangun kembali kerajaan setelah raja Sanna 
gugur dalam pertempuran karena serangan musuh, dan pusat 
kerajaannya dihancurkan. Pada tahun 717 M Sanjaya dinobatkan menjadi 
raja di Medang yang mungkin terletak di Poh Pitu. Pada tahun 732 M, ia 
mendirikan bangunan suci untuk pemujaan lingga diatas Gunung Wukir, 
sebagai lambang telah ditaklukkannya lagi raja – raja kecil disekitarnya 
yang dahulu mengakui kemaharajaan raja Sanna. 
     Akan tetapi, pada suatu ketika ia jatuh sakit dan meninggal dalam 
penderitaan yang amat sangat, selama delapan hari karena ingin 
mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya. Anaknya yang bernama 
Sangkhara, atau mungkin lengkapnya Rakai Panangkaran Dyah 
Sangkhara Sri Sanggramadhananjaya, karena takut akan Sang Guru 
yang tidak benar lalu meninggalkan agama Siwa, menjadi penganut 
agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke 
timur, mungkin disekitar Sragen disebelah timur Bengawan Solo, atau ke 
daerah Purwodadi – Grobogan. Ia lalu membangun serangkaian candi – 
candi kerajaan, antara lain candi Sewu untuk pemujaan Manjusri, 
sebagaimana dapat diketahui dari prasasti Kelurak tahun 704 Saka (26 
September 782 M), candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan 
kerajaan,    dan candi Borobudur untuk pemujaan pendiri rajakula 
Sailendra    Ia juga membangun candi Kalasan pada tahun 700 Saka 
  778 M) dan mungkin sebuah bangunan lagi di Bukit Ratu Baka, karena 
ada prasasti berbahasa Sanskerta dibukit ini tahun 700 Saka (778 M) 
yang memperingati pembangunan Abhayagiriwihara.    Masih ada sisa 
– sisa bangunan candi Buddha yang besar, seperti arca – arca Buddha 
dan Boddhisatwa di Bogem dan di desa Boyolali. Arca – arca Bogem amat 
besar, pantas diletakkan dalam candi kerajaan,  
     Prasasti – prasasti yang disebutkan diatas, yaitu prasasti Kalasan 
tahun 778 / 779 M, prasasti Kelurak tahun 782 M, prasasti 
Abhayagiriwihara dari Bukit Ratu Baka tahun 792 M, dan prasasti dari 
candi Plaosan Lor semuanya memakai huruf siddham dan 
berbahasa Sanskerta. Ini pun merupakan suatu hal yang baru. 
Sebagaimana diketahui huruf siddham itu banyak dipakai di India Utara 
dan Sri Lanka. Kemungkinan besar bahwa Rakai Panangkaran, setelah 
meninggalkan gurunya yang lama, lalu berpindah agama dan mengambil 
seorang guru baru yang menganut agama Buddha, dan berasal dari India 
Utara atau Sri Lanka. Didalam prasasti Kelurak memang disebutkan 
adanya seorang guru di Gaudidwipa yang telah memimpin upacara 
pentahbisan arca Manjusri (di candi Sewu). Gaudi atau Gauda ada di 
Benggala.  75  Didalam prasasti Abhayaguruwihara disebutkan adanya 
hubungan dengan Sri Lanka.    Penggunaan huruf siddham itu hingga 
kini diketahui hanya terbatas pada keempat prasasti itu, dan kemudian 
didapatkan pula meterai – meterai tanah liat yang berisi mantra – mantra 
agama Buddha (formula ye-te), baik di Jawa Timur (Banyuwangi), Bali 
(Pejeng, Tampaksiring, Buleleng), dan Sumatra (Palembang).    Ada 
juga prasasti di Bali yang memakai huruf siddham, tetapi berbahasa 
Bali Kuno, yaitu prasasti dari Sanur dari tahun 835 Saka (914 M). 
Anehnya bagian prasasti ini yang berbahasa Sanskerta memakai                                                 
huruf Kawi atau Jawa Kuno.    Di Jawa Timur huruf siddham muncul 
dalam abad XIII M pada bagian belakang arca Amoghapasa dari 
perunggu yang merupakan replika dari arca Amoghapasa dari Padang 
Roco dekat Sungai Langsat, dan pada sandaran arca – arca dari candi 
Jago dan candi Singasari.     
     Didalam prasasti Kelurak itu Sang Permata wangsa Sailendra juga 
disebut Sri Warawiramardana, yang berarti pembunuh musuh – musuh 
yang gagah perwira. Gelar ini juga dijumpai didalam prasasti Ligor B yang 
terdapat dipantai barat Semenanjung Tanah Melayu dipahatkan pada 
bagian belakang prasasti raja Sriwijaya yang tidak disebut namanya, yang 
biasanya disebut prasasti Ligor A, dan berangka tahun 775 M. Prasasti 
Ligor B, sekalipun mulai dengan kata swasti, yang didalam prasasti – 
prasasti Jawa Kuno biasanya mengawali angka tahun, ternyata tidak 
bertarikh. Prasasti ini ternyata juga hanya berisi 4 baris tulisan yang 
merupakan bait prasasti berbahasa Sanskerta, dan setengah baris yang 
merupakan permulaan bait kedua. Disini disebut nama raja Wisnu, 
pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, dan karena ia 
keturunan wangsa Sailendra, ia bergelar Sri Maharaja.    Mungkin bait 
kedua dan selanjutnya akan menyebut anak cucunya sampai raja yang 
menulis prasasti ini.    Juga didalam prasasti Nalanda dari raja 
Dewapaladewa, yang berasal dari kira – kira pertengahan abad IX M, 
dijumpai nama ini. Didalam prasasti ini ia disebut sebagai kakek raja 
Balaputradewa, dengan sebutan Raja Jawa, permata wangsa Sailendra, 
Sri Wirawairimathana. Ia mempunyai anak bernama Samaragrawira yang 
kawin dengan Tara, anak raja Dharmasetu dari Somawangsa. Dari 
perkawinan ini lahirlah raja Balaputradewa, raja Sriwijaya, penganut 
agama Buddha, yang telah mendirikan biara di Nalanda, dan minta  kepada raja Dewa Paladewa untuk memberikan tanah – tanahnya 
sebagai sima bagi biara ini.    
     Tentulah disini dihadapkan dengan satu tokoh yang sama yang 
disebut Permata wangsa Sailendra. Pembunuh musuh – musuh yang 
sombong, atau pembunuh musuh – musuh yang gagah perwira. 
Berdasarkan prasasti Kelurak, tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan 
Rakai Panangkaran yang disebut didalam prasasti Kalasan dan Ratu 
Baka dengan sebutan Tejahpurnnapanna Panamkarana.    Menurut 
prasasti Nalanda, Rakai Panangkaran beranak Samaragrawira, yang 
dapat kiranya disamakan dengan Samaratungga didalam prasasti 
Kayumwungan yang berangka tahun  746 Saka (26 Mei 824 M).     
     Prasasti Kayumwungan itu ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa 
Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bagian yang berbahasa Sanskerta 
berisi keterangan tentang raja Samaratungga, Permata wangsa 
Sailendra, dan anaknya perempuan yang bernama Pramodawarddhani. 
Putri ini telah mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha dengan 
nama Srimad Wenuwana dan mentahbiskan arca Sri Ghananatha 
didalamnya, pada hari Kamis Legi, paringkelan Tunglai, tanggal 26 Mei 
tahun 824 M. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno menyebutkan 
Rakarayan Patapan pu Palar suami istri, yang pada hari bulan yang sama 
memberikan tanah sawah di Waluang, di Babadan, yang masuk wilayah 
/.../    di Kisir yang masuk wilayah Kayumwungan, di santwi Karung yang 
masuk wilayah Petir, di Kaliru /nga/ n dan Kuling yang masuk Tri Haji, 
seluruh sawah yang memerlukan benih sebanyak 16,5 amet padi, 
sebagai sima bagi bangunan suci ini. Penetapan sima itu terdapat 
di daerah Parakan – Temanggung. 
     Menurut J.G. de Casparis prasasti ini memperingati pembangunan 
candi Borobudur, Pawon, dan Mendut oleh Samaratungga dan 
    Pramodawarddhani.   Akan tetapi, pendapat ini kurang meyakinkan, 
dan memang berdasarkan suatu salah pengertian. Menurut de Casparis 
Wenuwana ialah tempat Sang Buddha pertama kali memberikan 
ajarannya, dan ia melihat adegan ajaran pertama itu dipahatkan dibawah 
arca induk candi Mendut berupa dharmmacakra yang diapit oleh dua ekor 
kijang. Dari lukisan ini saja semestinya ia ingat bahwa tempat Sang 
Buddha pertama kali membeberkan ajarannya itu ialah Mrgadawa atau 
Taman Kijang, dan bukan Wenuwana. Poerbatjaraka, dalam kesempatan 
menyanggah disertasi de Casparis itu, mengemukakan pendapat bahwa 
Wenuwana itu harus diidentifikasikan dengan candi Ngawen, 
berdasarkan alasan bahwa kata ngawen itu berasal dari kata ka-awian, 
yang berarti tempat bambu, atau tempat yang banyak bambunya, yang 
lebih sesuai dengan pengertian Wenuwana.    Memang candi ini cukup 
jauh letaknya dari Parakan – Temanggung, tetapi pada prinsipnya tidak 
perlu keberatan, karena tanah sima dapat saja jauh letaknya dari 
candinya; sima yang demikian itu biasa disebut angsa. Akan tetapi, kalau 
prasasti Kayumwungan itu dibaca dengan seksama, Srimad Wenuwana 
itu harus dicari didaerah Parakan – Temanggung juga, karena disitu 
dikatakan bahwa candi itu dibangun didesa ini (iha grame). Sayang 
hingga sekarang tidak ditemukan sisa – sisa bangunan agama Buddha 
yang pantas diidentifikasikan dengan candi dalam prasasti itu didaerah ini 
     Yang menarik perhatian ialah bahwa prasasti ini terdiri atas dua bagian 
dan ditulis dalam dua bahasa. Bagaimana hubungan antara 
Samaratungga dengan Rakarayan Patapan pu Palar? Mungkinkah 
Rakarayan Patapan pu Palar itu seorang anggota wangsa Sailendra yang 
tetap menganut agama Siwa, dan berfungsi sebagai kepala daerah 
dengan memperoleh daerah Patapan sebagai lungguhnya? pada waktu 
kerabatnya yang berkuasa sebagai maharaja membangun candi Buddha 
didaerahnya, ia menyumbangkan tanah – tanah untuk dijadikan sima bagi  
bangunan suci itu. Inilah kiranya jawaban yang paling dapat diterima atas 
pertanyaan ini. 
     Rakai Patapan sendiri ada juga membangun bangunan suci diwilayah 
kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari prasasti Sang Hyang Wintang 
(Gondosuli I), yang berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini ditulis diatas 
 batu alam yang besar, terdapat di Desa Gondosuli, didekat sisa – sisa 
bangunan candi beragama Siwa. Sayang sekali tidak ada angka 
tahunnya. Didalam prasasti itu diperingati pembangunan candi yang 
disebut dengan istilah sang hyang haji disebelah utara prasada yang 
bernama Sang Hyang Wintang. Memang sekitar dua kilometer dari desa 
Gondosuli itu ada sisa – sisa bangunan lagi dari batu yang berlandaskan 
agama Siwa. 
     Pentahbisan bangunan suci itu dipimpin oleh seorang Sthapaka yang 
putus dalam ilmunya, bernama Dang Karayan Siwarjita. Untuk bangunan 
itu disediakan pula tanah – tanah sima-nya, yaitu di Tanah Bunga, di 
Pragaluh, di Pamandyan, di Tiru Ayun, di Wunut, di Pawijahhan, di Kayu 
Ara Mandir, di Wangun Waharu, di Mundu, di Kakalyan, dan di Tarukan, 
seluruhnya memerlukan benih sebanyak 41 lattir(?).     
     Yang menarik perhatian disini adalah bahwa prasasti ini mulai dengan 
menyebut ibu dari Rakrayan Partapan dan istrinya, saudara – 
saudaranya, dan yang teramat menarik adalah nama paman Dang 
Karatan Partapan, yaitu Wisnurata. Mungkinkah Wisnu ini sama dengan 
Wisnu dalam prasasti Ligor B, permata wangsa Sailendra yang juga 
disebut pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, alias 
Rakai Panangkaran? Kalau tambahan rata ditafsirkan sebagai kata 
Sanskerta, mungkin sekali ia kependekan dari kata uparata yang dapat 
berari telah meninggal. Dengan perkataan lain, pada waktu Rakai 
Patapan pu Palar mengeluarkan prasasti Gondosuli itu pamannya, Wisnu  
atau Rakai Panangkaran – dalam hal ini mungkin ibunya adalah adik 
Rakai Panangkaran – yang masih setia kepada agama Siwa. Jadi, ia 
saudara sepupu Samaratungga.     
     Ada lagi seorang Rakai Patapan dengan nama Pu Manuku, yaitu 
didalam prasasti Munduan tahun 728 Saka (21 Januari 807 M) dan 
didalam prasasti Tulang Air tahun Saka (15 Juni 850 M). Didalam prasasti 
Munduan itu Rakai Patapan pu Manuku membatasi tanah – tanah di                                                 
Munduan dan Haji Huma, untuk dianugerahkan kepada hambanya yang 
bernama Sang Patoran, dengan diberi kewajiban untuk menggembalakan 
kambing bernama sang Madmak. Ia lalu membuat perumahan ditempat 
ketinggian di tanah – tanah ini. Oleh karena itu, perumahan itu 
dinamakan Walawindu. Selanjutnya daerah itu dibebaskan dari kewajiban 
membayar pajak jual beli, dan semua denda – denda atas semua 
pelanggaran hukum  didaerah itu tidak perlu dibayarkan kepada Rakai 
Parapan. Ketentuan itu berlaku bagi Sang Patoran dan mereka yang 
tinggal di Walawindu (sebagai gembala kambing). Penetapan sima itu 
disaksikan oleh semua patih diwilayah Patapan, yaitu dari Kayumwungan 
dan Mantyasih, dan pejabat – pejabat dari Air Warungan, Petir, 
Pandakyan, dan pejabat Desa Munduan dan Haji Huma.     
     Prasasti Tulang air yang didapatkan kembali sebanyak dua prasasti 
diatas batu yang cukup besar, berasal dari dekat candi perot, didaerah 
Temanggung. Kedua batu berisi naskah yang sama; sayang sekali yang 
satu keadaannya cukup parah karena aus. Prasasti kedua cukup baik, 
hanya ada bagian – bagian yang aus ditengah bawahnya.    Isinya 
keterangan tentang penetapan Sima didesa Tulang Air oleh Rakai 
Patapan pu Manuku pada hari Minggu Pahing, paringkelan Tunglai, hari 
bulan 15 Juni 850 M. Pada waktu itu yang menjadi raja adalah Rakai 
Pikatan. Disusul kemudian dengan daftar para pejabat tinggi kerajaan, 
para pembantu mereka yang hadir pada penetapan sima, para pejabat 
daerah dan pejabat desa yang bertindak sebagai saksi. Struktur prasasti 
semacam itu dijumpai pada prasasti Wanua Tengah tahun 785 Saka (10 
Juni 863 M), yang menetapkan sima ialah Rakai Pikatan pu Manuku, 
sedang yang menjadi raja ialah Rakarayan Kayuwangi pu Lokapala. 
Mengingat persamaan struktur itu, dan kenyataan bahwa didalam daftar 
raja = raja Mataram yang terdapat didalam prasasti Mantyasih, Rakai 
Kayuwangi disebut setelah Rakai Pikatan, dan Rakai Pikatan sesudah 
Rakai Garung, de Casparis mengidentifikasikan Rakai Patapan pu Palar 
dengan Rakai Garung.                                                    
 Memang ini merupakan kesimpulan yang logis. Akan 
tetapi, harus dicari contoh – contoh perubahan gelar rakai yang dapat cukup meyakinkan. Selama ini 
perubahan gelar rakai itu terbatas pada para pejabat tinggi kerajaan dan para pangeran, misalnya rakai 
wka naik menjadi rakai halu atau sekali dijumpai dalam zaman Dharmmawangsa Airlangga seorang 
Rakai Pangkaja naik menjadi Rakai Halu, tetapi ini memang anugerah raja kepada adiknya, yang 
memang ada hak untuk menyandang gelar halu, Selama ini perubahan gelar rakai yang menyangkut  
     Identifikasi ini memang sulit dibuktikan secara meyakinkan, kecuali 
kalau pada suatu ketika dijumpai nama Rakai Garung pu Palar sezaman 
dengan Rakai Patapan pu Palar. Bahwa nama Rakai Patapan itu berubah 
lebih mudah menerangkannya. De Casparis mengemukakan pendapat 
bahwa nama Pu Manuku itu dipakai oleh orang – orang yang telah 
mengundurkan diri dari pemerintahan, seperti Rakai Patapan dan Rakai 
Pikatan. Masih dapat ditambah lagi dengan Rakarayan Kalangbungkal 
Dyah Manuku didalam prasasti Kasugihan tahun 829 Saka (8 Nopember 
907 M), yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Rakai 
Watuhumalang yang sudah mengundurkan diri dari pemerintahan.    
Akan tetapi, dengan munculnya Rakai Patapan pu Manuku didalam 
prasasti Munduan tahun 807 M, keterangan itu menjadi kurang 
meyakinkan.     
     Rakarayan i Garung sendiri pernah juga mengeluarkan prasasti, yaitu 
prasasti Garung tahun 741 Saka (21 Maret 819 M). Didalam prasasti ini 
ia tidak memakai gelar sri maharaja. Akan tetapi, disitu dikatakan bahwa 
perintahnya diturunkan kepada Sang Pamgat Amrati pu Mananggungi, 
agar daerah Mamrati dibebaskan dari beberapa jenis pungutan.    Jadi, 
kalaupun dia bukan seorang raja, sekurang – kurangnya ia seorang 
penguasa daerah yang otonom. Dengan dimuatnya nama Rakai Garung 
dalam deretan nama raja – raja yang pernah memerintah di Mataram, 
dapatlah disimpulkan bahwa ia adalah anggota wangsa Sailendra yang             
tetap menganut agama Siwa, dan menjabat penguasa daerah dengan 
kekuasaan swatantra, pada waktu Samaratungga berkuasa.  
     Tinggal sekarang masalah Rakai Panunggalan dan Rakai Warak. 
Mengenai dua tokoh ini tidak ada sumber lain yang dapat memberi 
keterangan, kecuali dari prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III yang 
berangka tahun 830 Saka (908 M).    Prasasti Wanua Tengah yang juga 
dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung seperti halnya prasasti 
Mantyasih memuat daftar nama – nama raja Mataram Kuno. Nama – 
nama raja yang disebutkan dalam kedua prasasti tidak sama. Jika dalam 
prasasti Mantyasih, daftar ini hanya menyebutkan urutan nama – 
nama raja yang memerintah di Medang (rahyang ta rumuhun ri mdang ri 
poh pitu) dan gelar mereka saja, dalam prasasti Wanua Tengah III selain 
nama – nama mereka juga memuat kapan raja – raja ini naik takhta. 
Selain itu, nama – nama raja yang disebut lebih banyak jumlahnya dari 
yang disebut dalam prasasti Mantyasih, juga ada nama raja yang berbeda 
seperti Rakai Panunggalan yang disebut dalam prasasti Mantyasih 
setelah Rakai Panangkaran dan sebelum Rakai Warak, dalam prasasti 
Wanua Tengah III nama itu tidak ada dan sebagai gantinya ada tokoh 
yang disebut Rake Panaraban (784 – 803 M). Dengan demikian, dapat 
disimpulkan bahwa Rakai Panunggalan sama dengan Rakai Panaraban. 
Sri Maharaja Watuhumalang dalam prasasti Mantyasih disebut sebagai 
Rake Wungkalhumalang dyah jbang dalam prasasti Wanua Tengah III. 
Mengingat kata watu sinonim dengan wungkal, dipastikan bahwa Rake 
Wungkalhumalang dyah Jbang adalah Watuhumalang (894 – 898 M). 
Sementara itu, Sri Maharaja Rakai Warak dalam prasasti Mantyasih, 
dalam prasasti Wanua Tengah III disebut Rake Warak Dyah Manara. 
Setelah meninggal ia dipusarakan di Kelasa (san lumah i kelasa). 
     Ada empat raja yang tidak disebutkan dalam prasasti Mantyasih, yaitu 
Dyah Gula (5 Agustus 827 – 24 Januari 828 M), Dyah Tagwas (5 Pebruari 
– 27 September 885 M), Rake Panumwangan Dyah Dawendra (27 
September 885 – 27 Januari 887 M), dan Rakai Gurunwangi Dyah Badra 
yang hanya menjadi raja selama 28 hari sebelum melarikan diri dari 
keratonnya. Menurut Kusen perbedaan daftar nama – nama raja dalam 
prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III disebabkan oleh perbedaan 
latar belakang dikeluarkannya prasasti. Prasasti Mantyasih diterbitkan 
dalam rangka melegitimasikan dirinya sebagai pewaris takhta yang sah, 
sehingga yang disebutkan hanya raja – raja yang berdaulat penuh atas 
seluruh wilayah kerajaan. Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewandra, 
dan Dyah Badra tidak dimasukkan dalam daftar karena mereka tidak 
pernah berdaulat penuh diwilayah kerajaan Mataram Kuno. Hal ini terlihat 
dari singkatnya masa pemerintahan mereka karena digulingkan dari 
takhta. Prasasti Wanua Tengah III dikeluarkan sehubungan dengan 
perubahan – perubahan status sawah sebagai sima di Wanua Tengah, 
sehingga semua penguasa yang mempunyai sangkut paut dengan 
perubahan status sawah disebutkan. Nama Sanjaya sebagai cikal bakal 
kerajaan Mataram Kuno pun tidak disebutkan karena status sawah di 
Wanua Tengah III sebagai sima baru dimulai pada masa pemerintahan 
Rake Panangkaran.    
     Kembali kepada prasasti Mantyasih, mungkin gelar sri maharaja yang 
diberikan kepada Rakai Panunggalan dan Rakai Warak itu agak 
berlebihan; sebab dalam kenyataannya yang mengeluarkan prasasti 
dengan gelar maharaja adalah anggota wangsa Sailendra yang 
beragama Buddha. Dapatlah diperkirakan bahwa sejak Rakai 
Panangkaran berpindah agama ke agama Buddha Mahayana dengan 
mendatangkan guru dari India atau Sri Lanka, ia berkuasa sebagai 
maharaja dengan mendirikan bangunan – bangunan suci kerajaan, 
seperti candi Plaosan, Sewu, dan Borobudur. Sementara itu, anggota 
wangsa Sailendra yang lain yang tetap menganut agama Siwa berkuasa 
sebagai kepala – kepala daerah atau raja – raja kecil dengan daerah 
kekuasaan masing – masing secara otonom. Seperti dalam prasasti Sang 
Hyang Wintang, Rakai Patapan pu Palar menyebut daerah kekuasaannya 
dengan yang rajya diraksa iya sabanakna yang desa itas tatah purwwa 
daksina pascima uttara itas tatah, tetapi nama – nama desa didalam 
prasasti itu dan didalam prasasti Kayumwungan, wilayah kekuasaan 
Rakai Patapan itu memang terbatas. Demikian pula halnya dengan Rakai 
Panunggalan dan Rakai Warak.    Jadi, dalam sejarah kerajaan Mataram                                                
tidak pernah ada dua wangsa, yang satu asli Indonesia beragama Siwa, 
yang selama ini disebut Sanjayawangsa, yang lain berasal dari luar 
Indonesia dan beragama Buddha, yang selama ini disebut 
Sailendrawangsa, melainkan hanya satu wangsa, yaitu wangsa 
Sailendra, yang anggota – anggotanya ada yang beragama Siwa dan ada 
yang beragama Buddha Mahayana. Dapunta Selendra, pendiri wangsa 
ini, sampai kepada raja Sankhara menganut agama Siwa, lalu Rakai 
Panangkaran berpindah ke agama Buddha Mahayana karena takut akan 
guru ayahnya yang dianggapnya tidak benar (anrta). Disinilah lalu timbul 
dua cabang dari wangsa ini. Sebagian masih tetap menganut agama 
Siwa, seperti Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung, dan 
mungkin dalam deretan anggota wangsa Sailendra yang tetap menganut 
agama Siwa ini dapat dimasukkan Bhanu dan Rakai Patapan. 
     Rakai Panangkaran yang berpindah agama ke Buddha Mahayana 
memerintah sebagai Maharaja cukup lama, sekurang – kurangnya sejak 
kira – kira tahun 750 sampai sekitar tahun 792 M. Ia digantikan oleh 
Samaratungga, yang mempunyai anak sekurang – kurangnya dua orang. 
Yang kedua, mungkin dari permaisuri, ialah Balaputradewa. Mungkin 
Rakai Patapan pu Palar, sekalipun ia membantu memberikan tanah – 
tanah sebagai sima bagi pembangunan candi oleh Samaratungga dan 
anaknya, berambisi untuk menjadi maharaja. Dalam hal ini rupa – 
rupanya lalu diadakan perkawinan antar keluarga, yaitu 
Pramodawarddhani, putri mahkota, dikawinkan dengan Rakai Pikatan, 
anak Rakai Patapan pu Palar, yang tetap menganut agama Siwa. 
     Setelah Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari 
pemerintahan, Rakai Pikatan menggantikannya sebagai maharaja di 
Medang. Karena ia menganut agama Siwa, ia memerintahkan 
membangun candi kerajaan yang lain yang berlandaskan agama Siwa, 
yaitu Loro Jonggrang di Prambanan. Ini diketahui dari prasasti Siwagerha 
tahun 778 Saka (12 Nopember 856 M).    Kemudian untuk menunjukkan 
bahwa ia tidak ingin sama sekali mengabaikan candi kerajaan yang 
dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu candi Plaosan Lor, dan mungkin 
juga untuk menjaga perasaan permaisurinya, yaitu Pramodawarddhani 
yang beragama Buddha, ia menambahkan sekurang – kurangnya dua 
candi perwara berupa bangunan stupa dikanan kiri jalan masuk ke candi 
induk sebelah utara, yang bertulisan astupa sri maharaja rakai pikatan, 
dan anumoda rakai gunungwangi dyah saladu.  Bahwa bangunan atau 
tulisan diatas bangunan stupa itu merupakan tambahan pada waktu 
kemudian dari waktu pembangunan percandian itu dapat dilihat dari 
perbedaan tulisannya dengan tulisan pada candi perwara yang lain. 
Kenyataan ini tidak dibicarakan oleh J.G. de Casparis.
 Sebelum membicarakan prasasti Siwagerha lebih mendalam, lebih 
baik menyebutkan sumber – sumber prasasti yang lain dari masa 
sebelumnya. Pertama – tama adalah prasasti berbahasa Melayu Kuno 
dari Gondosuli yang berangka tahun 749 Saka (17 Mei 827 M). Prasasti 
ini memperingati nya



                                                
dahulu di Medang di Poh Pitu; dengan perkataan lain Rakai Panunggalan itu berkuasa dan meninggal  
serta kemungkinan – kemungkinan yang lain. Mungkin saja seorang rakai yang lain diluar yang disebut 
didalam daftar raja – raja dalam prasasti Mantyasih yang berpetualang ke Komboja dan berhasil 
menjadi raja disana. Kalau keterangan dalam Cerita Parahyangan  mengenai serangan Sanjaya ke 
Khmer itu dianggap mengandung kebenaran, mungkin ada seorang pangeran Khmer yang ikut 
pasukan Sanjaya kembali ke Jawa, mendapat pendidikan dosini, lalu pada suatu ketika ia kembali ke 
Kamboja. Ingat misalnya kasus Adityawarman, yang setelah mengabdi di Majapahit lalu kembali ke 
Malayu menjadi Maharaja dinegeri leluhurnya sendiri itu. 
unsur Girindra, dan mengingat pula pernyataan bahwa di dalam Nagarakertagama Ken Angrok disebut 
anak Girindra (Nag, 40, 2), Girindrawangsa itu tentulah menunjukkan wangsa raja – raja Majapahit, 
mungkin merupakan cabang keturunan – keturunan Rajasa / Ken Angrok. 
 Dalam hal ini masih ditunggu penelitian dari para ahli linguistik historis untuk menentukan daerah 
asal bahasa Melayu Kuno itu, sebab di Jawa Tengah juga dijumpai beberapa prasasti lain yang 
berbahasa Melayu Kuno. 

Menurut keterangan Bapak Adam Malik, penjual prasasti itu mengatakan batu itu berasal dari Jawa 
Barat. Akan tetapi, ada seorang kolektor di Solo yang mengatakan kepada Boechari bahwa batu itu 
berasal dari dekat Sragen, di sebelah timur Solo, dan ditempat itu masih dijumpai sisa – sisa bangunan 
bangunan dari bata. Kolektor itu masih menyimpan sebuah kepala arca Buddha yang indah buatannya, 
terbuat dari terakota. Mengingat kebiasaan penjual barang purbakala yang tidak pernah mau menyebut 
tempat asal barang yang dijualnya, dan mengingat isi prasasti itu, mungkin sekali keterangan kolektor 
di Solo itu yang benar. 
Sebetulnya masih ada satu nama wangsa lagi yang dijumpai di dalam Sejarah Kuno Indonesia, yaitu 
Girindrawangsa. Istilah ini ditemukan di dalam kitab Lubdhaka karangan Pu Tan Akung, yang semula 
dikira berasal dari zaman Kadiri. Akan tetapi, karena ada raja – raja Majapahit yang bergelar dengan 
bahwa ia tidak ingin sama sekali mengabaikan candi kerajaan yang 
dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu candi Plaosan Lor, dan mungkin 
juga untuk menjaga perasaan permaisurinya, yaitu Pramodawarddhani 
yang beragama Buddha, ia menambahkan sekurang – kurangnya dua 
candi perwara berupa bangunan stupa dikanan kiri jalan masuk ke candi 
induk sebelah utara, yang bertulisan astupa sri maharaja rakai pikatan, 
dan anumoda rakai gunungwangi dyah saladu. 100  Bahwa bangunan atau 
tulisan diatas bangunan stupa itu merupakan tambahan pada waktu 
kemudian dari waktu pembangunan percandian itu dapat dilihat dari 
perbedaan tulisannya dengan tulisan pada candi perwara yang lain. 
Kenyataan ini tidak dibicarakan oleh J.G. de Casparis. 
     Sebelum membicarakan prasasti Siwagerha lebih mendalam, lebih 
baik menyebutkan sumber – sumber prasasti yang lain dari masa 
sebelumnya. Pertama – tama adalah prasasti berbahasa Melayu Kuno 
dari Gondosuli yang berangka tahun 749 Saka (17 Mei 827 M). Prasasti 
ini memperingati  
 
 Prasati ligor ini bertulisan 
pada dua sisinya. Pada sisi A terdapat prasasti dari raja Sriwijaya yang tidak disebut namanya, 
berangka tahun 697 Saka (775 M). Pada sisi B terdapat prasasti yang hanya terdiri atas 4 baris, ternyata 
tidak diselesaikan. Pada sisi B inilah terdapat nama raja yang mengaku dirinya terlahir dari wangsa 
Sailendra. Masalah yang timbul ialah mengenai angka tahunnya. Adakah prasasti Ligor B ini berasal 
dari tahun yang sama dengan prasasti Ligor A, atau lebih muda? Boechari pernah mengemukakan 
dugaan bahwa prasasti Ligor B dikeluarkan oleh raja Balaputradewa, raja Sriwijaya yang mengaku 
sebagai cucu raja Jawa dari wangsa Sailendra yang bergelar Sri Wirawairimathana; jadi kira – kira tige 
perempat abad lebih muda dari prasasti Ligor A. (Boechari: “Report on research on Sriwijaya”, Country 
Report SPAFA Workshop on Sriwijaya, 
 pergantian daerah lungguh sebagai penguasa daerah biasa (bukan pejabat tinggi kerajaan di pusat) 
belum pernah dijumpai. Dalam hal ini alasan de Casparis adalah bahwa disalah satu prasasti pernah 
disebutkan wihara i garung, dan mungkin karena amat terkenalnya biara di Garung itu, daerah Garung 
juga disebut Patapan (=pertapaan)  Sampai sekarang ada kota 
kecamatan yang bernama Garung di lereng barat Gunung Sindoro, disebelah utara Wonosobo. Dari 
nama – nama tempat di pelbagai prasasti diperoleh kesan bahwa Patapan harus dicari di sebelah timur 
Gunung Sindoro dan Sumbing. 
 Boechari pernah menyokong pendapat itu dengan mengatakan bahwa mungkin kata manuku, yang 
didalam kamus Jawa Kuno diartikan menyerang dapat juga dianggap mengandung arti yang sama 
dengan manungku (puja) atau manekung dalam bahasa Jawa sekarang, yang berarti mengheningkan 
cipta, bersemedi, dan lain – lain Meskipun demikian, untuk sementara identifikasi Rakai Patapan pu Palar dengan Rakai Patapan pu 
Manuku dapat diterima. Bagian nama itu, yaitu garbhajanmanama, dapat berubah – ubah sesuai 
dengan perubahan kegiatan dari orang yang memakainya. Dapat saja Rakai Patapan pada tahun 807 
M memakai nama Pu Palar karena sedang . baru menyerang musuh, sedang pada tingkat terakhir 
hidupnya ia memakai nama Pu Manuku dalam pengertian bersemedi, yaitu setelah ia mengundurkan 
diri dari segala kegiatan keduniawian. 
                                                
 Prasasti ini belum diterbitkanl tetapi telah dibaca oleh Boechari, Sebenarnya tafsiran ini masih agak 
meragukan, Hal ini terletak pada penafsiran kalimat yang berbunyi : so yan tyaktanyabhaktir 
jagadasiwiharac chankarac chankarakhyah. Terutama kasus ablatif jagadsiwaharac chankarac itu, 
Mungkin kalimat ini dapat diterjemahkan dengan ia, yang bernama Sangkhara, yang melenyapkan 
ketidak tenteraman dunia? Memang kedengarannya agak janggal, tetapi mengingat bagian akhir 
prasasti membayangkan bahwa raja Sangkhara itu menjadi penganut agama Buddha dengan memberi 
anugerah kepada bhiksusanggha, mungkin sekali kejanggalan itu bersumber kepada kekurang 
pahaman penulis prasasti, yang mungkin sekali seorang pendeta pribumi, akan tata bahasa Sanskerta. 
Karena raja meninggalkan kebaktian kepada Siwa, kalimatnya dinyatakan dengan kasus ablatif, yang 
pada umumnya menunjukkan gerakan suatu arah yang lain (dari Siwa ke Buddha). Menurut tata 
bahasa Sanskerta yang benar, mungkin kalimat di atas harus diterjemahkan dengan ia yang bernama 
Sangkhara, yang meninggalkan kebaktian kepada yang lain – lain kecuali kepada Siwa. Dengan 
terjemahan semacam itu harus ditafsirkan bahwa raja Sangkhara lalu menjadi penganut agama Siwa, 
yang kurang sesuai dengan keterangan pada akhir prasasti yang membayangkan bahwa ia menjadi 
penganut agama Buddha. Yang menarik perhatian lagi ialah keterangan bahwa raja Sangkhara 
menyebut gurunya sebagai “guru yang tidak benar (anrtaguru)” 
 Disini perlu dikemukakan pendapat bahwa mungkin sekali gelar lengkap dari Rakai Panangkaran 
ialah Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara Sri Sanggaramadhananjaya. 
 L-C Damais menyebutkan bahwa berita 
perpindahan itu termuat dalam Yuan-che-lei-pin yang ditulis pada tahun 1669 M, dan bahwa 
perpindahan itu terjadi dalam masa T’ien-pao, antara tahun 742 dan 775 M atau tahun 664 dan 667 
Saka . Rupa – rupanya disini terdapat beberapa 
salah cetak. Bandingkan karangannya sebelumnya Bibliographie Indonesienne, Didalam prasasti mana saja nama Walaing itu ditemukan dapat dilihat dalam karya Damais, 
“Repertoire Onomastique de l’Epigraphie Javanaise (jyusqu’a Pu Sindok Sri Isanawikrama 
Dharmmotunggadewa)”, sampai kepada kesimpulan bahwa sampai dengan abad VI M orang – orang Arab tidak 
berlayar lebih ke timur dari pantai barat India. Akan tetapi, dalam abad – abad berikutnya memang ada 
pedagang – pedagang Arab (Ta-shih) dan Persia (Po-pase) yang sampai ke Cina. 
 Kitab Carita Parahyangan memberi keterangan bahwa Rahiyang Sanjaya telah menyuruh anaknya, 
Rahiyangta Panaraban, untuk tidak menganut agama yang dianutnya. ini juga membayangkan adanya 
pergantian agama. Keterangan Poerbatjaraka yang mengatakan bahwa Rakai Panangkaran itu 
berganti agama setelah ayahnya Sanjaya menempatkannya di Sriwijaya, (Riwayat Indonesia, I, 1952) 
tidak perlu rasanya dibahas disini. 
yang menyebutkan bahwa Desa Watukura masih ada hingga sekarang, di 
Kecamatan Bubutan, Kabupaten Purworejo, disebelah barat Kali Bogowonto, dekat pantai selatan.   Mungkin candi Plaosan Lor dan candi Borobudur juga dibangun pada masa pemerintahan Rakai 
Panangkaran, sebagai candi – candi kerajaan yang berlandaskan agama Buddha Mahayana. 

Ferrand pernah mengemukakan pendapat bahwa Pó-lu-chia-sse itu merupakan transkripsi dari 
Baruyasik, dan mengidentifikasikannya dengan Warus Gresik, yang sekarang masih tertinggal pada 
nama Gresik di Jawa Timur ,melokasikan Pó-lu-chia-sse di Barus, disebelah selatan Kedah. 
Kern menyangsikan apakah Ki-yen daoat disamakan dengan raja yang 
mengeluarkan prasasti Dinoyo, karena ia berpendapat bahwa Ki-yenitu bukan raja, hanya seorang 
pangeran. Prasasti Dinoyo itu ditemukan terputus menjadi tiga bagian. Bagian yang tengah ditemukan di desa 
Dinoyo, sedang bagian atas dan bagian bawah ditemukan di Desa Merjosari, kira – kira 2 Km disebelah 
barat Dinoyo. Mengingat kasus di Gunung Wukir dan prasasti Canggal, mungkin sekali prasasti Dinoyo 
ini asalnya justru dari Merjosari, yang memang ternyata menghasilkan sisa – sisa bangunan. De 
Casparis menduga bahwa batu prasasti itu berasal dari Desa Kejuron, pendapat ini mungkin kurang 
dapat diterima karena Kejuron mungkin justru merupakan pusat kerajaan, sedang prasasti itu tentulah 
tidak didirikan di pusat kerajaan, tetapi didekat candinya. 

Yen 
memang  dapat merupakan transkripsi yana, tetapi ki tidak mungkin sama dengan gaja. Huruf yang 
berbunyi ki itu, selain merupakan transkripsi dari ka juga dapat menggantikan kata Sri, untuk gaja biasa 
dipakai bunyi ngo-yo. 
Kesimpulan ini dihasilkan dalam pembicaraan pribadi 
antara Hermann Kulke dan Boechari di Borobudur pada tanggal 9 Juli 1979. 
Sebetulnya rakryan kanuruhan sudah muncul dalam prasasti Kancana tahun 782 Saka 
(860 M), jadi dalam masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Akan tetapi, prasasti ini adalah prasasti 
tinulad, yang ditulis kembali pada zaman Majapahit. Nama kanuruhan juga terdapat diantara tulisan – 
tulisan singkat pada candi – candi perwara percandian Loro Jonggrang yang diperkirakan candi 
induknya ditahbiskan pada tahun 856 M. Percandian ini ternyata belum selesai seluruhnya, sehingga 
nama kanuruhan dapat saja tertera disitu pada masa pemerintahan Rakai Watukura. 

Prasasti Canggal ini ditemukan kembali di dua tempat. Bagian yang terbesar ditemukan di Desa 
Canggal dibawah bukit, tetapi ada potongan kecil dari bagian bawah prasasti yang ditemukan di 
halaman percandian candi Gunung Wukir. Karena itu disimpulkan bahwa tempat asal prasasti ini 
adalah di halaman percandian diatas bukit. 
Musuh ini mungkin sekali 
berasal dari Galuh seperti yang termuat dalam kitab Carita Parahyangan. Didalam kitab ini dikatakan 
bahwa Sanna kemudian melarikan diri ke Gunung Merapi, tetapi kemudian Sanjaya dapat kembali 
menduduki takhta kerajaan. 
 baru dua prasasti yang ditemukan yang 
memakai tahun Sanjaya, yaitu prasasti Taji Gunung yang berangka tahun 194 Sanjaya (910 M) dan 
prasasti Timbanan Wungkal yang berangka tahun 196 Sanjaya (913 M). Sekarang ditambah lagi 
dengan prasasti Tihang yang berangka tahun 198 Sanjaya (914 M).  
 Mengenai prasasti Mantyasih dan daftar raja – raja yang termuat didalamnya akan dibicarakan dalam 
uraian selanjutnya. 
 Ini tidak lebih dari suatu dugaan, tetapi didasarkan kenyataan didalam sejarah kuno bahwa raja yang 
keempat setelah pendiri wangsa akan mengalami musibah. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa 
raja Kertanegara yang  merupakan raja keempat dari Rajasawangsa, dan Dharmmawangsa Teguh 
yang merupakan raja keempat dari Isanawangsa juga mengalami musibah. Dalam hal ini mungkin 
Sanna ialah raja yang keempat sesudah Dapunta Sailendra. Memang sampai sekarang tidak diketahui apa nama kerajaan di Jawa Tengah ini sebelum masa 
pemerintahan Sanjaya. Nama Mataram mungkin baru dipakai sejak Sanjaya, ia bergelar Rakai 
Mataram, demikian pula nama Medang sebagai pusat kerajaan. Carita Parahyangan menyebut nama 
kerajaan Sanna dan Sanjaya itu Galuh. Memang dari prasasti Sojomerto dan beberapa prasasti lain 
yang hingga kini belum dapat dibaca, tetapi jelas memakai huruf Pallawa, yang ditemukan 
didaerah Pekalongan, mungkin sekali pusat kerajaan wangsa Sailendra itu mula – mula didaerah 
Pekalongan sekarang. 
 Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Sanjaya bahkan menaklukkan Malayu, Khmer, dan Cina. 
Mengingat bahwa sampai sekarang belum dapat dipastikan nilai sejarah dari kitab Carita Parahyangan 
itu, keterangan ini tidak dipermasalahkan disini. 

Poerbatjaraka mengusulkan pembetulan pembacaan nama Trigosti (trigramuryamahitam diganti 
dengan trigostyasahitam), dan mengidentifikasikan tempat ini dengan Salatiga, berdasarkan tafsiran 
bahwa sinonim trigosti isalah trisala. Trisala ini dalam kaidah bahasa Indonesia menjadi Salatiga. Aksan 
tetapi, menurut pengamatan Boechari atas cetakan kertas maupun pada batu aslinya pembacaan 
trigramuryamahitam itu tidak perlu diragukan. 
 J.G. de Casparis menafsirkan Siddhadewi itu dengan de volmaakte vorstin; dalam pikirannya 
terbayang seorang ratu, meskipun ia tidak berani berspekulasi lebih jauh mengenai tokoh itu. 
Mengingat kata anumatan yang berhubungan dengan Siddhadewi ini mungkin sekali yang 
dimaksudkan dengan kata itu bukanlah seorang ratu melainkan seorang dewa perempuan. Atau, 
barangkali seorang ratu yang telah meninggal? Mengingat bahwa ada juga istilah sang siddha dewata 
untuk menyebut seorang yang telah meninggal dan telah diperdewakan. 
 Mengenai nama Indra didalam prasasti Kelurak itu kemudian de Casparis meralatnya. Berdasarkan 
pengamatan lebih lanjut, pembacaan dharanindranamma harus dibetulkan menjadi dharanindarena 
 Bahwa bangunan terbuat dari bata tidak harus perlu ditafsirkan sebagai bangunan yang tidak 
dibangun oleh raja. Candi Banon yang juga terbuat dari bata, tetapi arca – arcanya terbuat dari batu 
dalam ukuran yang besar, dan pahatannya memang indah, sehingga tidak mungkin kiranya candi 
Banon itu dibangun oleh raja bawahan. 
 Fragmen yang ada di Museum Nasional telah diterbitkan oleh J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia, 
II, 1956, hlm. 175 – 206. Kemudian bagian sebelah kiri prasasti ini ditemukan di sawah didepan candi 
Plaosan, dan ternyata dahulu prasasti ini dibuatkan sebuah bangunan khusus, yang ditempatkan tepat 
ditengah – tengah diantara dua dwarapala diluar tembok keliling candi. Diharapakan angka tahun 
prasasti ini dapat terbaca pada fragmen yang ditemukan didepan candi Plaosan itu. 
 J. Dumarcay sampai kepada kesimpulan bahwa candi Borobudur mulai dibangun pada pertengahan 
kedua abad VIII M berdasarkanpenelitian atas tahap – tahap pembangunan candi itu (J.Dumarcay, 
“Histoire architecture du Borobudur””, Memories Archeologiques, no. XII, EFEO, 1977), Sebelumnya 
didalam karangan singkat ia menunjukkan adanya 5 tahap pembangunan candi Borobudur, dan tahap 
terakhir dimulai pada permulaan abad X M 
Boechari, Dumarcay dapat menyetujui anggapan Boechari bahwa Borobudur mulai dibangun pada 
pertengahan kedua abad VIII M. 
 Transkripsi fragmen yang telah ditemukan pada pertengahan abad yang lalu terdapat dalam 
karangan F.D.k. Bosch, “De inscriptie van Kelurak”, TBG, LXIII 1928, hlm. 1 – 64. Prasasti ini 
dibicarakan oleh J.G. de Casparis dalam desertasinya (Prasasti Indonesia, I, 1950, hlm. 11 – 24). Pada 
tahun 1960 ditemukan lagi beberapa potong prasasti ini di pendopo teras di bukit Ratu Baka (Prasasti 
Indonesia, II, hlm. 341 – 343), dan de Casparis membicarakan beberapa bait yang memuat keterangan 
tentang hubungan antara Sri Lanka dan Indonesia (“New evidence ...”, hlm. 241 – 248). Disini 
disebutkan bahwa prasasti ini berangka tahun 714 Saka (792 M), dan menyebut Tejahpurnnapanna 
Panamkarana, atau Rakai Panangkaran. 
Mengenai isi mantra – mantra yang tertera pada materiai – materiai di Bali itu 

Transkripsi dan terjemahan prasasti dimuat juga didalam K.A. Nilakanta Sastri, History of Sriwijaya, 
hlm. 125; G. Coerdes, “Le Sailendra, tueur des heros ennemies”, Bingkisan Budi, 1950, hlm. 58 – 70. 
81 Boechari pernah mengemukakan dugaan bahwa prasasti Ligor B itu ditulis oleh Balaputradewa, Raja 
Sriwijaya keturunan Sailendra, yang memerintah Sriwijaya pada pertengahan abag IX M 
Dibelakang nama Wisnurata itu terdapat keterangan sarabhara di nayaka watak wunut, yang oleh de 
Casparis diterjemahkan dengan hij is belast met de functie van nayaka over het ressort Bunut. 
Terjemahan ini tidak mengikuti kaidah; untuk memperoleh terjemahan semacam itu diharapkan kalimat 
Melayu Kunonya berbunyi sarabhara/ ... / nayaka di watak wunut. Kata sarabhara dapat berarti penuh 
kekuatan, tetapi juga “minta bantuan”. Karena ada bagian kalimat yang berbunyi di nayaka watak 
wunut, rasanya lebih tepat kalimat itu diterjemahkan dengan: (Pada suatu ketika ia) meminta bantuan 
kepada nayaka di wilayah Wunut. Pada peristiwa apa Wisnurata itu minta bantuan kepada nayaka di 
wilayah Wunut itu tidak ada sumber yang menerangkan


Raja raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung, sebuah rekonstruksi 
berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”, Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus 1994, hlm. 92. 
98 Suwadji Syafei pernah mengemukakan pendapat bahwa mungkin sekali Jayawarman II dari Kamboja 
dapat diidentifikasikan dengan Rakai Panunggalan (Suwadji Syafei, “What historical relay=tions were 
there between Cambodia and Indonesia from the eight to the ninth century”, Majalah Aekeologi, Th. I 
no. 1, 1977, hlm. 31 – 41). Pendapat ini kurang meyakinkan karena Rakai Panunggalan didalam 
prasasti Mantyasih disebut diantara rahyang ta rumuhun ri mdang ri poh pitu = yang diperdewakan