• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label majapahit 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majapahit 1. Tampilkan semua postingan

majapahit 1









mengapa Prapanca menggubah Negarakertagama 
dalam bentuk puja sastra dan bagaimana puja sastra tersebut tersurat dalam Negarakertagama. 
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga akan mengikuti prosedur kerja sejarah yakni 
heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi. Data dikumpulkan mealui studi pustaka. Sumber data 
yang utama dalam penelitian ini adalah Negarakertagama yang telah diterjemahkan oleh Slamet 
Mulyana yang termuat dalam Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya ditambah dengan sumber sumber 
lain yang relevan. Data yang sudah terkumpul kemudian dikritik dengan kritik ekstern dan intern untuk 
mendapatkan fakta. Fakta kemudian diinterpretasikan, dihubung-hubungkan satu dengan yang lainnya 
yang kemudian dituangkan dalam bentuk cerita sejarah. Hasil analisis data menunjukan bahwa 
masyarakat Majapahit terstruktur dalam empat kasta atau sering juga disebut catur warna yakni 
brahmana, kesatria, wesya dan sudra. Prapanca masuk dalam golongan brahmana. Kaum brahmana 
bertugas dalam bidang keagamaan, pujangga yang juga masuk elite agama bertugas menyusun sastra 
yang ditujukan untuk menambah keagungan raja, kejayaan raja dan kerajaannya. Negarakertagama 
merupakan karya sastra dimana sastra merupakan sarana untuk memuja kebesaran seorang raja. Tidak 
mengherankan bila Prapanca dari awal gubahannya sudah menyampaikan bahwa ada dorongan rasa 
cinta bakti kepada raja, walaupun menurut Prapanca ia tidak semahir pujangga-pujangga lainnya dalam 
menggubah kekawin. Bait-bait yang digubah oleh Prapanca penuh dengan pujian di dalamnya tidak ada 
lagi tempat tanpa pujian akan keagungan, keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang ditunjukan oleh 
sifat-sifat para dewa, istananya, luas wilayah kekuasannya, asal usulnya dan kebaktian rakyat terhadap 
raja Hayam Wuruk. Bahkan pada bagian akhir Prapanca berharap barang siapa mendengar kisah raja, 
tak puas hatinya, bertambah baktinya, menjauhkan diri dari tindak durhaka. 

Fakta sejarah menunjukan bahwa Kerajaan 
Majapahit adalah salah satu kerajaan yang 
pernah berdiri di Indonesia yang pernah 
mengalami masa keemasan, menguasai 
seluruh wilayah Indonesia yang sekarang, 
bahkan sampai pada beberapa daerah yang 
sekarang bukan menjadi wilayah kekuasaan 
negara Republik Indonesia. Karena itu 
tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa 
kerajaan Majapahit disebut sebagai negara 
nasional ke dua setelah kerajaan Sriwijaya. 
Bukti-bukti kebesaran Majapahit 
yang berupa karya sastra merupakan 
warisan budaya dan bangsa yang sangat 
besar arti dan manfaatnya seperti kitab 
Negarakertagama yang digubah oleh 
Prapanca. Atas petunjuk Prapanca dengan 
Negarakertagamanya dapat diketahui 
beberapa nama pujangga besar yang hidup 
sezaman dengan Prapanca. Diantaranya 
adalah Uppapati Sudarma yang ahli dalam 
menggubah pujasastra dalam prasasti, 
dalam bentuk kakawin yang sangat indah 
yang hanya boleh diperdengarkan dalam 
lingkunagn istana. Bahkan ada beberapa 
pujangga asing yang menggubah 
pujasastranya untuk raja Hayam Wuruk, 
diantaranya pendeta Budaditya yang 
menggubah rangkaian seloka Bogawali. 
Pendeta ini berasal dari daerah Kancipuri, 
Sadwihara di Jambudwipa. Demikian juga 
Brahmana Sri Mutali Saherdaya yang 
menggubah pujian seloka yang sangat 
Indah (Negarakertagama pupuh XCIII). 
Lahirnya beberapa pujangga 
dengan karya sastranya tidak bisa 
dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat 
Majapahit yang sangat setabil. Terciptanya 
stabilitas kerajaan yang sangat mantap 
adalah berkat peran besar 
Tribhuwanatunggadewi yang memegang 
tampuk pemerintahan.  Kegoncangan 
politik mulai reda, dan ketentraman mulai 
pulih. Lebih-lebih setelah Gajah Mada 
mendampingi Tribhuwanatunggadewi 
tahun 1334, keadaan semakin mantap dan 
berhasil memperluas wilayah 
kekuasaannya sampai ke daerah seberang 
lautan. Keadaan ini sangat berbeda dengan 
situasi yang dialami poleh para 
pendahulunya. Berbagai bentuk kekacauan 
politik yang ditunjukan oleh adanya 
berbagai pembrontakan diantaranya 
pembrontakan Nambi, pembrontakan 
Rangga Lawe, pembront akan Rangga 
Lawe, Lembu Sora maupun pembrontakan 
yang dilakukan oleh Tanca. Kekacauan 
politik ini sebenarnya sudah mulai terjadi 
padamasa Ken Arok memerintah Singasari. 
Kiranya tepat jika zaman ini disebut 
sebagai zaman pancaroba dimana pelbagai 
nilai-nilai kehidupan sedang bergoncang 
sehingga pembangunan dan keagungan 
hanya merupakan impian. 
Prapanca sebagai sebagai 
penggubah Negarakertagama dt desa 
Kamalasana. Negara kertagama banyak 
memberi  informasi yang sangat 
berharga diantaranya kehidupan politik, 
sosial, keagamaan, kebudayaan maupun 
adat istiadat sehingga merupakan gudang 
pengetahuan tentang Majapahit. 
Negarakertagama menduduki tempat yang 
pertama dalam kesusastraan Jawa karena 
isisnya bukan tentanng dewa-dewa atau 
cerita-cerita kepahlawanan yang berbau 
mitos sepeeti kebanyak karya pujangga 
lainnya. Karya Prapanca ini dalam 
beberapa bagiannya menguraikan tentang 
sejarah dari zaman Singasari-Majapahit 
pada abad XIV dengan focus utamanya 
perjalanan Hayam Wuruk ke berbagai 
daerah kekuasaannya.  Disamping itu 
pengetahuan penggubah Negarakertagama 
ini tentang situasi Majapahit sangat luas 
karena ia hidup pada zaman Hayam Wuruk 
dan bahkan pernah menjabat sebagai 
Dharmadyaksa Kasogatan, seorang hakim 
tinggi dari Agama Budha. 
Prapanca menggunakan latar 
belakang sejarah Majapahit pada dasarnya 
dimaksudkan untuk memuja keagungan 
Majapahit, keluhuran raja Hayam Wuruk 
yang sedang memegang tampuk 
pemerintahan. Ia mencurahkan segenap 
daya dan kemampuannya untuk 
menunjukan kebesaran dan keagungan 
Majapahit beserta rajayang memerintah. 
Konsekwensi logis dari watak 
kepujasastraannya  adalah uraian Prapanca 
serba sedap, menjauhi segala sesuatu yang 
dapat mengurangi keagungan negara atau 
keluhuran raja yang dipujanya. Apa yang 
dilakukan oleh Prapanca adalah bukan 
untuk menulis sejarah dalam pengertian 
sejarah ilmiah melainkan semata-mata 
menulis puja sastra dengan menggunakan 
latar belakang sejarah, keadaan negara  
serta masyarakat pada masanya. 
Berbeda dengan situasi sekarang, 
banyak karya sastra yang berisi kritik social 
terhadap keadaan masyarakat. Puisi karya 
Wiji Tukul dalam kumpulan puisinya yang 
berjudul “Aku Ingin Menjadi Peluru” yang 
diteliti oleh Hantisa Oksinata menemukan 
bahwa karya Wiji Tukul tersebut berisi 
kritik terhadap kesewenang-wenangan 
pemerintah yang berkuasa, kritik akan 
penderitaan orang miskin, kritik terhadap 
perlindungan hak kaum buruh juga 
menyoroti realitas social yang ada di 
masyarakat(file://C:/Users/ASUS/Downlo
ads/880.pdf). Kritik social juga dapat 
ditemukan dalam Novel Catatan Juang 
karya Fiersa Besari yang diteliti oleh Ria 
Rukiyanti menemukan bahwa karya 
tersebut berisi kritik terhadap kerusakan 
lingkungan, kritik terhadap kebijakan 
public dan birokrasi serta kebijakan 
pertanahan 
Berdasarkan paparan di atas maka 
dalam penelitian ini difokuskan pada dua 
permasalahan yakni mengapa Prapanca 
menggubah Negarakertagama sebagai puja 
sastra, dan bagaimana Prapanca 
menyampaikan gubahan yang berisi 
keagungan Majapahit. Untuk menganalisis 
permasalahan tersebut akan dikaji 
menggunakan pendekatan tiga wujud 
kebudayaan yakni system budaya, wujud 
ideal kebudayaan yang bersifat abstrak, 
system social merupakan aktifitas manusia 
dalam berhubungan, berinteraksi dan 
bergaul dalam masyarakat, dan budaya fisik 
yang berupa benda-benda budaya sebagai 
hasil budaya manusia (Koentjaraningrat, 
1992 : 2). Setiap tindakan manusia diwarnai 
oleh nilai yang hidup dimasyarakatnya. 
Benda budaya merupakan cermin dari nilai 
yang hidup dalam masyarakat serta prilaku 
social masyarakat. Singkatnya, analisa 
budaya merupakan suatu upaya untuk 
masuk ke dalam dunia konseptual 
kelompok manusia tertentu. Ia berusaha 
untuk memahami nilai-nilai, konsep-
konsep dan gagasan-gagasan melalui mana 
dan dengan cara apa sekelompok manusia 
itu hidup serta memahami baik 
pengalamannya sendiri maupun dunia 
dimana ia hidup Untuk memahami 
mengapa mereka bertingkah laku adalah 
tindak tanduk manusia sesungguhnya 
ditandai oleh suatu upaya pencarian makna 
terus menerus. 
Data dikumpulkan dengan 
menggunakan studi pustaka, data utama 
yang berkaitan dengan Negarakertagama 
diambil dari buku Selamat Mulyana, 
Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, 
yang diterbitkan  Bhratara Karya Aksara 
tahun 1979. Dilengkapi dengan Buku 
Perundang-undangan Majapahit yang juga 
dikeluarkan oleh Selamat Mulyana. Data 
yang sudah terkumpul kemudian dikritik 
dengan kritik sejarah, kritik ekstern dan 
intern untuk mendapatkan data yang benar 
dalam arti benar-benar diperlukan, benar-
benar asli serta benar-benar mengandung 
informasi yang relevan dengan cerita 
sejarah yang hendak disusun. Fakta sejarah 
yang telah terwujud Fakta-fakta yang telah 
dikritik perlu diinterpretasikan sehingga 
fakta yang satu dengan yang lainnya 
kelihatan sebagai suatu rangkaian yang 
masuk akal dalam arti menunjukan 
kesesuaian satu sama lainnya. Hasil 
interpretasi yang berupa sintesa, kemudian 
disusun dalam suatu bentuk urutan khusus 
yaitu dalam wujud historiografi.   
Struktur Masyarakat Majapahit 
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang 
bercorak Hindu. Cirri khas kerajaan Hindu 
adalah struktur masyarakatnya dibagi 
menjadi empat golongan yang sering 
disebut dengan catur warna, teridiri dari 
brahmana, kesatria, wesya dan sudra. 
Karena dalam setia struktur sosial 
mempunayi system sikap yang 
menggariskan tata karma yang patut dan 
mengokohkan struktur struktur yang 
bersagkutan ( Hsu 1983 : 2 ), maka setiap 
warna memiliki  darmanya masing-
masing dan tugas kehidupannya adalah 
untuk melaksanakan darmanya. Ia 
menemukan darmanya dalam kewajiban-
kewajiban yang telah ditentukan, oleh 
kedudukannya dalam dunia dan dalam 
masyarakat. Setiap orang diharapakn 
memenuhi darmanya dengan setia demi 
pemeliharaan keselarasan kosmos. Dengan 
demikian, kita tidak bisa lepas dari norma-
norma yang berlaku dan telah diterima oleh 
masyarakatnya, karena norma dan nilai 
telah menggariskan dengan tegas apa yang 
boleh dan harus dilakukan oleh setiap 
golongan maupun orang dan apa yang tidak 
boleh dilakukan. Bahkan ada yang 
menggariskan bahwa kerjakanlah 
kewajibanmu walaupun tidak dengan 
sempurna dari pada mengerjakan 
kewajiban orang lain walaupun dengan 
sempurna. Tegasnya, setiap manusia sudah 
ditentukan kewajibannya dalam struktur 
masyarakat dimana individu itu hidup. 
Kewajiban masing-masing warna 
yang hidup dalam masyarakat Majapahit 
telah diatur secara tegas, tidak bisa ditawar-
tawar karena menurut kitab Undang-
undang Manawa, lebih baik menjalankan 
kerja dalam bidang kewajiban yang 
ditentukan menurut kastanya (walaupun) 
kurang sempurna dari pada mengerjakan 
dengan sempurna kewajiban kasta lain, 
barang siapa mengerjakan kewajiban kasta 
lain ia akan dikeluarkan dari kastanya 
sendiri .
Brahmana 
Seorang pendeta yang ingin mencapai 
kesempurnaan hidup dan akhirnya bersatu 
dengan Brahman harus menjalankan enam 
darma yaitu : mengajar, belajar, melakukan 
persajian untuk dirinya sendiri, melakukan 
persajian untuk orang lain, membagi dan 
memberi derma  (Mulyana 1979 : 200 ). 
Disamping itu, seorang brahmana 
memiliki  dua belas brata yaitu : 1) 
dharma menjalankan kewajiban 
berdasarkan kebenaran, 2) satya : jujur lahir 
batin, 3) satya : mengatasi indria, 4) dhama 
: menasehati diri, sabar, 5)  wimatsaritwa : 
tidak dengki, iri hati, 6) hrih : memiliki  
perasaan malu, 7) titiksa : dapat menguasai 
rasa marah, 8) anasuya : tidak berbuat dosa, 
9) yadnya : suka memuja dan memuji, 10) 
ahana : memberi  punia, 11) dhrti : 
menenangkan, menyucikan pikiran dan 
memuaskan apa yang ada atas dasar budi 
utama dan 12) ksama : uka member maaf 
ataupun ampun.
Seorang brahmana juga harus selalu 
minum air dari tempat yang suci bagi 
brahmana atau yang suci bagi Prajapati atau 
yang suci bagi dewa-dewa adan jangan 
sekali-kali yang suci bagi arwah yang 
meninggal. Brahmana yang tidak 
melakukan tapa dan mempelajari weda 
namun gembira bila menerima punia 
(sedekah) ia akan  tenggelam ke dalam 
neraka dibuat dari batu yang akhirnya ke 
dasar sungai. 
Brahmana akan lahir sebagai sudra 
bila ia berhubungan dengan orang-orang 
yang tidak baik atau orang yang rendah 
budinya. Betapa beratnya beban yang harus 
dipikul oleh seorang brahmana, ini 
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat 
yang menganggap brahmana adalah orang 
suci yang menurut Undang-undang 
Manawa golongan brahmana ini dilahirkan 
dari mulutnya Brahman. Tidaklah 
berlebihan bila golongan brahmana 
menempati kedudukan yang sangat penting 
yang berkaitan dengan masalah-masalah 
keagamaan. 
Dalam bidang keagamaan pendeta 
memiliki  wewenang sepenuhnya dan 
menjadi pemimpin masyarakat. Orang-
orang dari golongan lain bergantung 
sepenuhnya kepada para pendeta. Sebagian 
besar dari upacara agama yang dianggap 
penting sekali untuk   berlangsungnya 
kehidupan masyarakat seperti penyucian air 
(thirta ), penyucian tanah untuk mendirikan 
candi dan tempat pemujaan, upacara 
kelahiran, inisiasi dan kematia ( Sradha ), 
menghilangkan pengaruh lelembut, dan 
mengusir roh-roh halus yang bersikap jahat, 
melakukan persajian dan menyajikan 
pujian-pujian, semuanya itu  hanya boleh 
dilakukan kaum pendeta. Kaum awam 
hanya datang untuk menghadirinya dan 
memberi  sumbangan berupa kemenyan, 
bunga dan makanan saja .
Hanya pendeta yang dapat 
melakukan sesaji dengan upacara yang 
tepat. Keselamatan masyarakat sangat 
tergantung dari sesaji dan upacara yang 
tepat. Tidak sembarang orang bisa 
melakukan lebih-lebih dalam melakukan 
sesaji harus sesuai dengan ketentuan-
ketentuan seperti yang tercantum dalam 
kitab suci yang berbahasa Sansekerta. 
Hanya pendeta yang bisa mempelajarinya 
Berkaitan dengan masalah 
keagamaan adalah pembinaan dan 
pengawasan candi-candi sebagai tempat 
pemujaan yang juga dilakukan oleh kaum 
pendeta. Negarakertagama pupuh 
LXXIV/2 memberitakan bahwa dua puluh 
tujuh candi makam raja dijaga oleh petugas 
atas perintah raja dan diawasi oleh pendeta 
ahli sastra. Ini menunjukan bahwa 
kekuasaan kaum pendeta yang berupa tanah 
dan bangunan suci di kerajaan Majapahit 
tidak berbeda dengan kekuasaan kaum 
pendeta Kristen di Eropa pada abad 
pertengahan. 
Beberapa orang pendeta juga 
diserahi tugas dalam bidang pemerintahan. 
Banyak diantara mereka yng menjadi 
anggota badan peradilan baik di tingkat 
pusat maupun di tingkat daerah. Kepala 
agama Siwa dan Buda diangkat sebagai 
Dharmadyaksa ( hakim tinggi ) dan diberi 
gelar Dang Acarya. Mereka adalah 
pembantu raja dalam proses peradilan. 
Pengangkatan seorang pendeta ke dalam 
lembaga peradilan sangat penting artinya, 
mengingat Kutara Manawa telah 
menggariskan bahwa semoga Sang 
Amurwabhmi teguh hatinya dalam 
menerapkan besar kecilnya denda, jangan 
sampai salah terap. Jangan sampai orang 
yang bertingkah salah luput dari tindakan  ). Atau dengan 
rumusan yang lain, hukuman hanya dapat 
ditetapkan oleh orang-orang suci, jujur, 
yang bertindak menurut dharma yang 
bijaksana ( Anandakusuma tt : 26 ). 
Satu golongan lagi yang juga 
termasuk ahli agama adalah pujangga. Kata 
pujangga berasal dari bahasa Sansekerta 
yaitu bhujangga yang berarti ular. Binatang 
ular oleh banyak bangsa dianggap sebagai 
lambang kebijaksanaan yang istimewa. 
Untuk menjadi pujangga yang baik 
bukanlah ditentukan oleh semabarang 
orang. Seseorang dapat disebut sebagai 
pujangga apabila ia memiliki delapan 
keahlian sekaligus yaitu ahli dalam bidang 
kesusastraan ( pramengsastra ), ahli dalam 
bidang tulis menulis atau mendongeng 
(awisastra ), ahli dalam bidang 
menyanyikan tembang atau gending 
(madarwalagu ), ahli dalam bidang olah 
raga atau memiliki perasaan yang sangat 
halus dan peka ( nawungsidha ) dan hidup 
dalam keutamaan atau bersih lahir dan batin 
dalam perjalanan hidupnya ( sambagana ), 
(lihat Herusatoto : 1987 : 62-63 ). 
Seorang pujangga ( kawi ) kraton 
yang berkewajiban menulis puja sastra, 
sebelum menulis puja sastra mereka 
terlebih dahulu melakukan tapa untuk 
menyucikan diri dan mendapatkan 
kekuatan gaib agar indrianya menjadi peka 
untuk menangkap keindahan. Bagi seorang 
pujangga ia berusaha untuk menyatukan 
keindahan dalam dirinya. Perlu juga 
dikemukakan bahwa bagi seorang pujangga 
penulisan kakawin merupakan usaha untuk 
menyatukan dirinya dengan yang dipujanya 
atau dengan kata lain, penulisan kakawin 
adalah suatu yoga sastra dan karya yang 
dihasilkan adalah yantra yaitu alat yang 
dapat digunakan untuk mencapai tujuan 
yoga yang akan menyertai perjalanannya 
yang terakhir yang akan memberi kekuatan 
untuk mencapai moksa atau kelepasan ( 
Supomo : 1985 : 388 ). Yantra adalah alat 
untuk memfokuskan pikiran dan peasaan 
dan sekaligus reseptakulum untuk dewa 
yang dituju dengan konsentrasi pikirannya. 
Menurur C.C. Berg, sebuah hasil 
karya sastra ditujukan untuk memuja raja 
harus disampaikan kepada kalangan kraton 
dan dengan resmi karya tersebut dibaca 
oleh Sudharmopapati, menteri agama. 
Kalau mutu karya sastra tersebut tidak 
dianggap terlalu rendah kemungkinan dapat 
dipahatkan pada prasasti yang disebut 
stutinarpati. Tapi rupanya tidak semua 
karya pujangga sastra yang walaupun telah 
diterima atau lolos sensor dari pejabat 
keraton akan dapat diterima oleh 
Sudharmopapati, karena merekapun dapat 
menolak membacanya.
Negarakertagama  dan Keagungan 
Majapahit 
Di dalam istana kerajan terdapat sejumlah 
pujangga dan penyair yang disebut para 
kawi. Fungsinya dapat diumpamakan 
semacam lembaga-lembaga sastra dan 
kebudayan ( Hartoko 1984 : 76 ). Mereka 
adalah golongan professional dalam bidang 
sastra. Raja bertindak sebagai pelindung 
dan sekaligus sebagai sumber inspirasi. 
Sebagai konsekuensinya adalah kisahnya 
akan berjalan dari istana ke istana dari putri   
ke pahlawan, dari kemegahan demi 
kemegahan, keluarga dan anak cucunya, 
sampai ke soal-soal yang kecil diterangkan. 
Timbul tenggelamnya raja dan kerajaan, 
peperangan, kepahlawanan, kejatuhan raja, 
roman putri dan pangeran serta asal-
usulnya merupakan pengetahuan masa lalu 
yang diwariskan sebagai sejarah 
Kenyataan ini dapat dipahami 
karena salah satu fungsi sastra adalah 
sebagai sarana untuk memuliakan raja. 
Penulisan puja sastra pada hakikatnya 
adalah melakukan pekerjaan sastra, dalam 
pengertian bahwa sang pujangga 
memberi  suatu kekuatan gaib kepada 
raja yang dilukiskan yang selanjutnya 
melalui diri sang raja kekuatan gaib itu akan 
bermanfaat bagi rakyat. Suatu puja sastra 
baik dengan kata-kata yang diucapkan 
maupun dengan huruf yang dituliskan akan 
membawa akibat yang nyata bagi raja. 
Berdasarkan pemikiran ini dapatlah 
dikatakan bahwa pemujaan terhadap 
seorang raja, penguraian tentang 
kekuasaannya, kebijaksanaannya, 
kemurahan hatinya akan membawa akibat 
raja itupun akan benar-benar berkuasa dan 
tidak terkalahkan. Singkatnya, sastra dapat 
meningkatkan kesaktian seorang raja 
dengan menciptakan suasana sakral.  
 Negarakertagama yang oleh 
Prapanca sendiri disebut dengan 
Dasawarna, digubah untuk memuja raja 
Hayam Wuruk, karena didorong rasa cinta 
bakti kepada raja, walaupun menurut 
Prapanca ia tidak semahir pujangga-
pujangga lainnya dalam menggubah 
kekawin, dan apa boleh buat harus 
berkorban rasa, pasti akan ditertawakan 
(Pupuh XCIV/4). Pernyataan Prapanca ini 
bukan berarti meragukan kemampuannya 
dalam menggubah kekawin. Ungkapan itu 
hanyalah sebagai sarana untuk 
memperkenalkan diri, menyampaikan 
potret diri atau dengan meminjam istilah 
Supomo (1985 : 391) adalah sebagai 
ungkapan “ Andhap Asor” yang pada 
umumnya dapat digolongkan kedalam dua 
kelompok yaitu ungkapan yang berkaitan 
dengan pribadi kawi itu sendiri dan 
ungkapan yang berkaitan dengan hasil 
karyanya. 
Pada masyarakat yang percaya pada 
kultus dewa raja, maka raja adalah seorang 
pelindung dan sumber berkat bagi 
pujangga. Sehingga pada awal gubahannya 
sudah ada permohonan terhadap raja yang 
sedang berkuasa agar berkenan menerima 
serta memberi  restunya serta gembira 
bila mendengar gubahannya. Juga 
diungkapkan agar gubahannya itu dapat 
menambah kejayaan raja dan kemakmuran 
kerajaannya. Tugasnya sebagai imam 
dalam literer. Hal semacam ini dapat dilihat 
dalam Negarakertagama Pupuh I, dimana 
Prapanca memulai gubahannya dengan : 
1. Om sembah pujiku orang hina 
kebawah telapak kaki pelindung 
jagat Siwa Buda janma Batara, 
senantiasa tenang tenggelam 
dalam samadi Sang Sri 
Prawatanata, pelindung para 
miskin, rajaadiraja dunia Dewa 
Batara lebih khayal dari yang 
khayal tapi tampak diatas dunia. 
2. Merata serta merestui segala 
makhluk, nirguna bagi kaum 
Wismana Iswara bagi yogi, 
purusa bagi Kapila, hartawan 
bagi Jembala, Wagindra dalam 
segala ilmu, Dewa asmara 
dalam cinta birahi, Dewa Yama 
di dalam menghilangkan 
penghalang dan menjamin 
damai dunia. 
Uraian Prapanca yang menyebut 
beberapa nama dewa untuk menunjukkan 
Raja Rajasanegara telah mengamalkan 
ajaran serta asta brata yaitu suatu etika 
kepemimpinan dengan mengikuti sifat-
sifat para dewa yang ada dalam agama 
Hindu. Asta Brata ini merupakan 
wejangan Sri Rama kepada Wibisanapada 
saat beliau dilantik menjadi Raja Alengka. 
Disamping itu juga dapat diartikan sebagai 
usaha Prapanca untuk memohon berkah 
dari para dewa agar mau melindungi raja 
dan kerajaannya. Dengan menyebut nama-
nama dewa adalah untuk meningkatkan 
kekuatan magis seseorang raja yang 
sedang dipuja. Bagi Prapanca sendiri 
merupakan seruan kepada para dewa agar 
mau memberi  berkahnya dan mau 
menjelma dalam gubahannya. Sastra 
ibaratkan sebuah candi, sebagai tempat 
bersemayamnya para dewa. Sastra adalah 
sebagai sarana untuk melakukan semadi, 
untuk mendekatkan diri dengan sang 
pencipta. Untuk menambah wawasan 
terhadap pandangan ini, kiranya perlu 
dikemukakan pengakuan Mpu Prapanca 
yang berkaitan dengan pekerjaannya .
Seruan kepada dewa agar diberkati 
merupakan suatu tata karma  dan telah 
menjadi ciri utama dalam sebuah karya 
sastra. Mereka meyakini bahwa hanya 
batin manusia yang mendapat 
perlindungan dari para dewa dan raja  akan 
merasakan ketenangan batin dalam 
menjalankan tugas-tugasnya serta tidak 
akan mendapat berbagai rintangan. Ini 
merupakan pengakuan hakiki dan 
keterikatan manusia yang dalam hal ini 
para pujangga  terhadap para dewa dan raja 
sebagai wakil dewa di atas bumi. Tanpa 
pengayoman dari para dewa (raja) 
pekerjaan tidak akan berjalan dengan 
lancar dan dapat diselesaikan sesuai 
dengan yang diharapkan. Pujian dan 
permohonan kehadapan para dewa sama 
bobotnya dengan pujian terhadap raja. 
Bagi Prapanca, keluhuran Raja 
Rajasa Dyah Hayam Wuruk sudah 
Nampak ketika ia berada dalam kandung. 
Isyarat keluhuran tersebut berupa 
peristiwa-peristiwa alamiah seperti Gempa 
bumi, kepul asap, hujan abu, guruh 
halilintar menyambar-nyambar, Gunung 
Kempud gemuruh membunuh durjana, 
penjahat musnah dari negara. Isyarat 
keluhuran dapat berupa sinar, cahaya biru 
bundar yang melayang-layang di langit 
dan jatuh pada orang yang telah 
ditakdirkan untuk menjadi penguasa.  
Orang yang memilki wahyu ini akan 
memiliki kekuatn adikodrati. Bagi rakyat, 
itu merupakan suatu tanda akan 
munculnya seorang pemimpin baru ,
Kesejatian kekuasan seseorang 
akan nampak dalam akibat-akibat yang 
ditimbulkan oleh kekuasaan itu sendiri, 
misalnya tidak aka nada musuh dari luar, 
tidak aka nada kekacauan yang dapat 
menggangu petani pada pekerjaannya di 
sawah, kesuburan tanah tetap terjamin dan 
memberi  panen yang berlimpah dan 
masyarakatnya hidup teratur. Singkatnya, 
tercipta suasana tata tentram kertta raharja, 
gemah lipah loh jinawi. Keterangan 
Prapanca yang mengatakan bahwa wipra, 
satria, waisyaa dan sudra sempurna dalam 
pengabdian, dari semua desa di wilayah 
negara, pajak mengalir bagaikan air, 
semua pulau laksana daerah pedusunan 
tempat menimbun bahan makanan, jelas 
menunjukan sikap Prapanca yang ingin 
membuktikan akan keluhuran dan 
kesejatian kekuasaan Raja Hayam Wuruk 
( pupuh LXXXI). 
Berita yang diberikan Prapanca 
ini juga memberi  pemahaman bahwa 
keajegan suatu kekuasaan sangat 
ditentukan oleh cara pelaksanaannya. 
Sebagai makna kekuasaan yang 
merupakan hasil pemusatan kekuatan-
kekuatan kosmis oleh seorang raja, begitu 
pula raja akan kehilangan kemampuan 
untuk memusatkan kekuatan kosmis 
tersebut. Seorang penguasa yang 
menyalahgunakan kekuasaannya untuk 
menuruti hawa nafsunya, mulai menindas 
bawahan dan rakyatnya, berarti ia telah 
mempersiapkan keruntuhannya sendiri. Ia 
telah memboroskan energinya sendiri 
sehingga ia menjadi kasar dan semakin 
tergantung dari luar. Sebaliknya seorang 
raja haruslah bersikap alus (halus) karena 
alus merupakan inti kemanusiaan yang 
beradab dan sekaligus menunjukkan 
kekuatan batin. Alus pertama-tama berarti 
suatu permukaan halus dalam arti fisik, 
tetapi lalu berarti juga lembut, luwes, 
sopan, beradab, peka dan sebagainya. 
Sikap halus bukan berarti kelemahan tetapi 
dalam kenyataannya halus adalah 
kebalikannya. Orang yang halus berarti ia 
dapat mengontrol dirinya sendiri secara 
sempurna dan dengan demikian memiliki 
kekuatan batin. 
Orang yang benar-benar berkuasa tidak 
perlu berbicara keras-keras agar didengar, 
memukul meja dan marah-marah agar 
diperhatikan, cukuplah apabila ia 
memberi  perintah-perintah secara tidak 
langsung, baik dalam bentuk anjuran, 
senyuman maupun dengan sindiran yang 
dapat membangkitkan gairah kerja. 
Sesuai dengan wawasan 
masyarakat terutama sekali pujangga, 
bahwa kekuasaan adalah hasil dari 
pemusatan kekuatan-kekuatan kosmis, 
maka sudah sewajarnya bila raja ingin 
memperbesar kekuasaannya. Untuk 
mencapai tujuan itu, ia akan 
mengumpulkan semua potensi-potensi 
magis yang terdapat dalam wilayah 
kekuasaannya seperti benda-benda 
keramat terutama pusaka-pusaka seperti 
keris, tombak dan gamelan. Ia ingin 
dikelilingi oleh manusia-manusia yang 
dianggap keramat, menarik dukun-dukun 
dan resi-resi termasyur ke dalam 
keratonnya.
Perjalanan raja baik perjalanan keliling 
kota maupun perjalanan ke berbagai 
daerah, dengan menggunakan kereta atau 
ditandu dengan kereta kencana, selalu 
didampingi oleh para pujangga atau para 
pendeta serta diiringi oleh gaung gong 
beserta atribut-atribut religious lainnya. 
Bagi rakyat, kereta yanag dipakai oleh raja 
merupakan benda keramat yang dapat 
memberi  keselamatan. Dari 
Negarakertagama dapat diketetahui bahwa 
raja Majapahit menghabiskan sebagian 
besar waktunnya untuk melakukan siarah 
ke candi-candi makam yang dibuat oleh 
leluhurnya. Negarakertagama pupuh 
LXVII yang menceritakan perjalanan 
keliing raja Hayam Wuruk yang sekaligus 
merupakan inti dari isi Negarakertagama, 
di dalamnya banyak menceritakan tentang 
tempat-tempat suci yang dikunjungi oleh 
raja Hayam Wuruk. Misalnya candi 
makam Pancasara, candi makam di Kalayu 
dimana ia mengadakan upacara 
penyekaran yang disebut dengan upacara 
memegat gigi. Candi makam di Singasari, 
Kagenengan, candi Jago, candi Kidal, 
maupun candi-candi yang lainnya. 
Prapanca yang ikut serta dalam perjalanan 
safari keliling tersebut sangat terkesan 
dengan candi Kagenengan yang bukan saja 
karena sebagai temapat Ken Arok 
dicandikan, melainkan juga karena 
keindahannya. Terhadap candi 
Kagenengan ini, diperuntukan bagi Ken 
Arok sebagai cikal bakal kerajaan 
Singasari Majapahit. Prapanca 
menyampaikan kekagumannnya (lihat  
Negarakertagama pupuh XXXVII ). 
Selain dengan melakukan siarah 
ke candi-candi makam, seorang raja juga 
dapat mewarisi kekuatan gaib yang 
dimiliki oeh leluhurnya dengan cara 
melakukan selamatan srada. 
Negarakertagama pupuh LXII-LXIX 
menguraikan bahwa upacara srada yang 
dilakukan di istana pada tahun saka 
bersirah empat bulan badrapada ( Agustus 
1362 M ) adalah untuk memperingati hari 
wafatnya Sri Rajapatni ibu dari 
Tribhuwanatunggadewi 
Jayawisnuwardani atau nenek Hayam 
Wuruk sendiri.  
Prapanca lewat 
negarakertagamanya memberi  pujian 
akan kemegahan istana Majapaiht. Bagi 
para pujangga maupun rakyat biasa istana 
bukan saja sebagai pusat aktifitas politik 
dan budaya melainkan juga sebagai pusat 
keramat kerajaan yang menjadi lambang 
makrokosmos. Keagungan seorang raja 
akan kentara dari keindahan dan 
kemegahan istananya. Atribut-atribut 
keduniawian yang dimiliki oleh seorang  
akan mencerminkan setatus sosialnya. 
Prapanca yang menyaksikan dengan mata 
kepala sendiri keadaan Majapahit pada 
abad XIV memberi  keterangan 
terperinci tentang kompossi keratin 
Majapahit, keindahannya sampai pada para 
punggawa dan pegawai kerajaan. Pada 
bagian dalam, di sebelah selatan balai 
menguntur adalah paseban, tempat berdiri 
para pembesar negara yang ingin 
menghadap kepada raja. Di sebelah selatan 
menguntur, ada lagi paseban memanjang ke 
selatan kea rah pintu keluar ke dua, terbagi 
atas beberapa ruangan. Semuanya bertulang 
kuat, bertiang kokoh tiada tercela. Masuk 
pintu kedua dari selatan, di sebelah kanan 
jalan adalah halaman istana. Di sebelah 
utara halaman istana Kertawardana dan 
permaisurinya. Di sebelah selatan halaman 
adalah istana raja Paguhan Singawardana 
dan permaisurinya. Istana sang prabu 
berada di sebelah timur. Keadaan di luar 
benteng. Di bagian sebelah timur adalah 
tempat tinggal Dhrmadyaksa Kasiwan 
Hyang Brahmaraja dan para pendeta Siwa 
lainnya. Pada bagian selatan tempat tinggal 
Dharmadyaksa Kasogatan dan para pendeta 
Buda. Di bagian barat, tempat tinggal para 
arya, menteri dan sanak kadang raja. Di 
sebelah timur yang dipisah oleh jalan 
aadalah pasanggrahan Wijayarajasa. Di 
seblah selatan, pasanggrahan raja Wengker, 
ini adalah pasanggrahan Rajasawardana. 
Kedua pasanggrahan ini tidak jauh dari 
istana sang prabu. Di bagian utara ada pasar 
dengan pasanggrahan Narpati di 
belakangnya. Di sebelah timur laut kraton 
adalah rumah kediaman Gajah Mada. Di 
sebelah selatan kraton ada gedung 
kejaksaan yang diapit oleh rumah upapati 
dan pendeta. Di sebelah timur gedung 
kejaksaan ini adalah perumahan pendeta 
siwa dan pendeta buda di sebelah baratnya. 
Semua rumah bertiang kuat berukir indah. 
Kakinya dari batu merah pating berujul. 
genting atapnya termasuk serba 
meresapkan pandangan, menarik perhatian. 
Bunga tanjung kesara, cempaka dan lain-
lainnya berpancar di halaman. Begitulah 
Prapanca memuji keindahan kraton 
Majapahit. 
Pujian Prapanca akan 
keagungan Majapahit dan Raja hayam 
Wuruk juga disampaikan dalam pupuh 
XIII – XIV yang menceritakan luas 
wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit, 
karena luas wilayah kekuasaan juga 
merupakan indicator kabesaran sebuah 
kerajaan. Berdasarkan pupuh-pupuh di 
atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar 
wilayah Indonesia yang sekarang dan 
beberapa wilayah yang sekarang menjadi 
wilayah negara tetangga seperti Melayu, 
Sulu menjadi wilayah kekuasaan 
Majapahit.  
Luasnya wilayah kekuasaan 
Majapahit ini tidak bisa dilepaskan dari 
peranan Gajah Mada. Gajah Mada yang 
diangkat sebagai patih Amangkubhumi, 
pada saat peresmiannya ia telah 
mengucapkan sumpah yang sekarang 
dikenal dengan Sumpah Palapa. Katanya, 
huwus kalah nusantara, isun amukti palapa, 
huwus kalah Gurun, Seram, Tanjungpura, 
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, 
Palembang, Tumasik, isun amukti palapa,
Prapanca sebagai pujangga kerajaan 
yang menulis sastra untuk muja raja dan 
kerajaannya lazimnya akan menyampaikan 
garis keturunan raja atau nenek moyang 
raja yang sedang berkuasa. Demikian juga 
dengan Negarakertagama yang oleh 
Prapanca diberi nama Dasawarnana, 
silsilah raja Hayam Wuruk termuat dalam 
pupuh II – VII yang antara lain mengatakan 
bahwa Sri Rajapatni yang bagaikan titisan 
Parama Bagawati adalah nenek 
Rajasanegara ( Hayam Wuru ) yang wafat 
tahun saka dresti saptaruna ( 1272 saka ) 
yang kemudian digantikan oleh 
Tribhuwanatunggadewi, ibu dari raja 
Hayam Wuruk, yang kawin dengan 
Kertanegara yang bersemayam di 
Singasari. Sedangkan putrid Rajadewi 
Maharajasa adalah bibinya, yang bertahta 
di Daha yang kawin dengan Wijay Rajasa 
dari Wengker. Beliau memiliki  dua 
orang saudara  perempuan, yang tertua 
bernama Bre Lasem, yang kawin dengan 
Bre Matahum. Yang muda bergelar Bre 
Pajang yang kawin dengan Singhawardana 
dari Paguhan. 
Silsilah keluarga raja-raja 
Majapahit ini dilanjutkan oleh Prapanca 
dalam Negarakertagama pupuh XL – XLIX 
yang dimulai dari Ken Arok sebagai cikal 
bakal kerajaan Singasari-Majapahit. Ken 
Arok yang oleh Negarakertagama disebut 
Ranggahrajasa, lahir tahun saka lautan desa 
bulan (1104)  tanpa ibu di sebelah timur 
Guung Kawi dengan ibu kotanya Kuta 
Raja. Tahun saka lautan dadu siwa (1144) 
ia berhasil mengalahkan Kertajaya dari 
Kediri sehingga Jeggala dan Kediri bersatu 
di bawah kekuasannya. Dialah yang 
menjadi cikal bakal raja-raja agung yang 
memerintah pulau Jawa. 
Menurut Negarakertagama, setelah 
Kertanegara wafat terjadi pembrontakan 
yang  dilakukan oleh Jayakatwang, orang 
yang berwatak jahat karena ingin berkuasa 
di Kediri. Tetapi akhirnya Jayakatwang 
dapat ditundukan oleh Dyah Wijaya. Hasil 
perkawinan antara  Raden Wijaya dengan 
Rajapatni melahirkan dua orang putrid, 
yang sulung menjadi rani di Jiwana dan 
yang bungsu menjadi rani di Daha. 
Raden Wijaya kemudian digantikan 
oleh putranya Jayanegara. Pada masa 
pemerintahannya ia berhasil memadamkan 
pembrontakan Nambi di Pejarakan, 
Lumajang. Tahun saka bulan memanah 
surya ( 1250 ) ia meninggal yang kemudian 
digantikan oleh rani di Jiwana yakni 
Wijayatunggadewi atau 
Tribhuwanatunggadewi. Pada masa 
pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ia 
berhasil mengalahkan Sadeng dan Keta. 
Selama bertahta semuanya terserah kepada 
menteri bijak yakni Gajah Mada. 
Konsekwensi logis dari peran 
Prapanca sebagai pujangga kraton 
Majapahit adalah ia akan mengungkapkan 
keberhasilan raja-raja Majapahit dan 
terhadap raja yang tidak mau tunduk ia 
bisa memberi  cap sebagai orang yang 
nista atau jahat. Kecendrungan kearah ini 
jelas namapak dalam Negarakertagama 
pupuh XLIX/4 yang mengatakan bahwa 
raja Bali yang alpa dan rendah budi gugur 
bersama tentaranya sehingga kejahatan 
menjauh dan ketentraman tercipta. Tetapi 
bila dilihat prasasti Langgaran, terdapat 
informasi tentang jati diri raja Bali yang 
terakhir , raja Asta Asura Ratna Bumi 
Banten adalah raja yang baik dan 
memikirkan nasib rakyatnya ,
Apa yang disampaikan oleh 
Prapanca dapat dipahami karena peran 
yang harus dilakoni. Sebagai pujangga 
yang menggubah puja sastra tidak ada lagi 
tempat tanpa pujian akan keagungan, 
keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang 
ditunjukan oleh sifat-sifat para dewa, 
istananya, luas wilayah kekuasannya, asal 
usulnya dan kebaktian rakyat terhadap raja 
Hayam Wuruk. Selain itu Prapanca  adalah 
putra seorang dharmadyaksa, sehinga 
norma-norma bagi seorang brahmana 
sudah melembaga dalam dirinya.  
Berdasarkan analisis data di atas dapat 
disimpulkan bahwa mengapa prapanca 
menggubah Negarakertagama sebagai puja 
sastra tidak lepas dari struktur masyarakat 
majapahit. Masyarakat Majapahit yang 
bercorak Hindu, struktur masyarakatnya 
terbagi menjadi emapt golongan yang 
disebut catur warna. Masing-masing 
golongan sudah memiliki  tugas yang 
diatur secara tegas. Kaum brahmana 
bertugas dalam bidang keagamaan, dan 
pujangga yang juga masuk elite agama 
bertugas menyusun sastra yang ditujukan 
untuk menambah keagungan raja, kejayaan 
raja dan kerajaannya. 
Bagi seorang pujangga, tidak ada 
tempat tanpa pujian kepada raja yang 
menjadi pelindung sekaligus sumber 
inspiraasi. Mulai dari tnda-tanda keluhuran 
seorang raja yang sudah nampak sejak 
berada dalam kandungan, sifat-sifatnya 
yang sama dengan para dewa, wujud 
fisiknya yang halus, kesaktiannya, 
keindahan istana sebagai lambang 
kemakmuran dan ketertiban kosmos, luas 
wilayah kekuasaannya sebagai bukti 
kesejatian kekuasannya maupun asal 
usulnya yang berasal dari para dewa yang 
memang ditakdirkan untuk memerintah 
dunia. Semuanya ini dilakukan oleh para 
pujangga untuk memberi mantra kekuatan 
magis kepada raja serta untuk 
memantapkan nilai dan tata karena 
kewajaran dan keseimbangan kosmos 
adalah tujuan yang utama.