• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label budaya jawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya jawa. Tampilkan semua postingan

budaya jawa

Istilah pribumisasi Islam dipopulerkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus 
Dur) pada era 1980-an2
. Tentu saja, istilah pribumisasi secara praksis jauh 
lebih tua. Dakwah Walisongo di pulau Jawa, misalnya, telah menggunakan 
kearifan-kearifan lokal dan tradisi sebagai metode. Walisongo tidak 
seluruhnya menghapus tradisi-tradisi lokal dan menggantinya dengan Islam. 
Walisongo mempertahankan segi-segi tradisi dan mencoba mengadaptasinya 
dengan ajaran Islam tanpa merusak nilai substansialnya. Salah satu contoh, 
bangunan masjid kuno masih mempertahankan model Hindu-Budha pada 
aspek kubahnya yang bersusun tiga.
Pribumisasi Islam, karena itu, memiliki kaitan langsung dengan sejarah 
perkembangan Islam di Nusantara dan telah terjadi dalam sejarah yang 
panjang. Pribumisasi Islam sebagai suatu proses sosio-historis yaitu 
sebuah keniscayaan. Hal ini demikian karena universalitas Islam 
memerlukan penjabaran operasional sehingga eksistensinya lebih efektif. 
Selanjutnya, universalitas tak akan efektif tanpa diikat oleh nilai-nilai lokal. 
Agar universalitas Islam terasa hadir dan relevan dengan gemuruh kehidupan 
sosial di bumi, ia perlu diturunkan ke tingkat abstraksi yang sederhana; yang mudah dimengerti oleh akal; dan agar menjadi pedoman hidup praksis bagi 
manusia. Dari argumen inilah, pribumisasi Islam menemukan maknanya.
Persoalannya, apakah istilah pribumisasi Islam masih relevan dengan 
tantangan-tantangan modern yang jauh lebih rumit? Bagaimanakah 
pribumisasi Islam dilakukan tanpa merusak “tatakrama” atau kaidah baku 
Islam? Dan bagaimana meletakkan Islam dalam cangkang budaya Jawa yang 
eksistensinya dipenuhi peradaban silang antara Animisme-Hindu-Budha yang 
jauh lebih tua dan lebih dulu ada? Bagaimana pula hubungan pribumisasi 
Islam dan harmoni budaya bagi terciptanya integrasi bangsa? Pertanyaan￾pertanyaan di atas akan dicoba bahas dan diperdebatkan dalam perspektif 
historis-antropologis.
Penting dicatat bahwa tiga topik utama, yakni: pribumisasi Islam, 
budaya Jawa, dan integrasi bangsa memiliki kaitan erat. Pribumisasi yaitu
suatu proses atau transformasi unsur-unsur asing dengan unsur-unsur lokal. 
Ada potensi konflik dalam hubungan antara ketiganya. Karena itu, menelisik 
Islam dan budaya Jawa dalam konteks negara-bangsa menjadi sangat penting
guna menemukan potensi konflik dan konsensus. Selanjutnya, potensi￾potensi tersebut dapat dipakai sebagai instrumen integrasi bangsa melalui 
kecakapan mengelola konflik menjadi konsensus. Jadi, pribumisasi Islam 
dalam budaya Jawa bukan dipandang sebagai proses “meluruhnya” budaya 
Jawa ke dalam Islam, tapi sebuah proses “beri dan terima” antara keduanya 
dalam pengertian akulturasi menuju integrasi bangsa.
Pendekatan historis-antropologis akan digunakan untuk menelisik 
hubungan antara pribumisasi Islam, budaya, dan integrasi bangsa. Sejak 
meluasnya karya E.B. Tylor Primitive Culture3 dan J.G. Frazer The Golden 
Bough4 ke warga , agama telah menjadi fokus utama teori antropologi. 
Di antara masalah-masalah utama dalam diskusi antropologi mengenai 
agama yaitutentang sifat, asal-usul kepercayaan keagamaan, hubungan￾hubungan logis dan historis antara mitos, kosmologis, dan ritual; serta antara agama dan ranah kebudayaan lain. Pribumisasi Islam yaitusoal cara agama 
ini diadaptasi ke dalam lokalitas oleh para agen. Sementara budaya Jawa 
yaitusuatu campuran antara animisme, Hindu, Budha, dan keperyaan￾kepercayaan lain yang telah lama ada. Saling pengaruh antara agama-agama 
itu lalu  dilihat potensinya di dalam membangun integrasi bangsa.
Menegaskan Pribumisasi Islam
Mungkin istilah “pribumisasi” yaitu data baru dalam ensiklopedi, 
jika ada. Dalam konteks Islam, pribumisasi mengacu pada proses terjadinya 
nilai-nilai Islam pada suatu komunitas warga atau bangsa, tepatnya bangsa 
non-Arab, misalnya, wong Jawa. Jika demikian, “pribumisasi” -menurut 
saya- sama dengan transformasi unsur-unsur Islam pada unsur-unsur budaya 
pribumi. Jika diperluas lagi, pribumisasi yaitukelanjutan dari proses 
akulturasi budaya. Yakni, sebuah proses di mana unsur-unsur luar diterima
oleh unsur-unsur lokal atau sebaliknya.
Jika pribumisasi Islam diletakkan dalam konteks budaya Jawa, maka ia 
dapat diartikan sebagai suatu proses pertemuan atau saling adopsi antara 
unsur-unsur Islam dan unsur-unsur lokal Jawa. Dua entitas tidak saling
meniadakan, tetapi saling memperkaya. Di sini peran pembawa Islam ke 
Nusantara, khususnya ke Jawa—para Walisongo—sangat penting. Mereka 
telah memilih tafsir Islam yang memerhatikan lokalitas. Pemahaman Islam 
dirujukkan pada konteks-konteks budaya Jawa.
Apa yang dilakukan para pembawa Islam ke Jawa bukanlah sebuah 
anomali. Para penyebar Islam benar-benar menyadari bahwa Jawa dengan 
kekayaan tradisi dan peradabannya yang panjang bukanlah blangko kosong. 
Jawa yaitukenyataan lain yang kekayaan tradisi dan norma-norma 
hidupnya tidak lebih buruk dari tradisi-tradisi agama. Islamisasi yang terjadi 
sejak masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-15, yaitumelalui proses damai 
dan penuh kearifan. Tak ada perang; tak ada penaklukan; dan tak ada 
pemaksaan agama di Jawa selama transformasi Islam berlangsung di siniApa artinya? Jawa yaitusebuah lokus yang menjadi atau panci lebur 
bagi agama-agama dari luar selama ribuan tahun. Secara intrinsik, manusia 
Jawa yaitusangat terbuka dan menonjolkan pada harmoni. Selama jutaan 
tahun Jawa menganut agama animisme dan ribuan tahun menganut agama 
Hindu-Budha, lalu Islam datang disusul Kristen. 6 Saling memberi dan 
menerima bagi Jawa dan lainnya sudah terjadi begitu lama sehingga tumbuh 
sebuah kultur terbuka. Sifat keterbukaan inilah yang menyebabkan budaya 
Jawa masih terus berevolusi dan terus dimasuki unsur-unsur non-Jawa 
termasuk nilai-nilai Islam.
Dilihat dari sejarah asal-usul, semua agama di Jawa yaituimpor. 
Hindu berasal dari India, Budha dari India-China, Islam dan Kristen berasal 
dari Timur Tengah (Arab).7 Agama asli dari Jawa yaitu“agama” Animisme 
suatu kepercayaan pada roh-roh dan penguasa-penguasa di luar dirinya. Nah, 
kenyataan sejarah ini memperkuat bahwa agama di Jawa yaituproduk 
hibrida dari saling silang budaya agama-agama yang datang ke sini. Para 
islamolog menyebutnya sebagai agama sinkretik. Walisongo menyadari ini sebagai kenyataan sehingga metode dakwahnya sangat toleran dan 
menghargai tradisi-tradisi lokal.
Namun demikian, hal ini tidak sepenuhnya diterima sebagai 
kenyataan. Di titik ini, hingga kini masih terjadi pertarungan antara Islam 
nominal dan Islam maksimal -istilah untuk menyebut Islam sinkretik dan 
kaum santri. Varian Islam tradisional dan Islam modernis pun muncul 
sebagai akibat logis dari kategorisasi di atas. Clifford Geertz, di sisi lain, 
mempertegas konsep santri, priyayi, dan abangan.8 Priyayi yaitukelompok 
yang dikategorikan Geertz sebagai mewarisi tradisi Hindu-Budha dalam 
praksis sehari-hari. Sementara abangan yaitukelompok yang kental dengan 
animismenya yang masih mempercayai roh halus, lelembut, dan makhluk 
gaib yang bisa memengaruhi nasib.9 Hanya kaum santri yang benar-benar 
dianggap Muslim. Dalam pandangan Geertz, Islam bagi orang Jawa hanyalah 
lapisan tipis yang membalut mereka.
Tentu saja, pandangan Geertz tidak sepi kritik. Menurut Harsya W. 
Bahtiar, Geertz salah meletakkan kategori agama ke dalam kategori sosial, 
terutama varian priyayi. Marshall G. Hogdson, di sisi lain, menganggap 
pandangan Geertz sangat bias karena ia mendasarkan teorinya pada 
perspektif kaum modernis. Secara faktual, praktik-praktik Islam dan 
islamisasi di Jawa oleh Hogdson dianggap sebagai sangat sempurna sehingga 
dengan sendirinya menutup pandangan-pandangan Geertz yang bias itu. 
Dalam kata-kata Hodgson “...for one who knows`Islam, his comprehensive 
data -despite his intention- show how very little has survived from the Hindu 
past even in inner Java and raise the question why the triumph of Islam was 
so complete.”  Lebih jauh, Zamahsyari Dhofir menggambarkan praktik 
Islam begitu dalam dilihat dari hubungan-hubungan yang sering di antara 
varian-varian yang ada. Dhofir, misalnya, memberi contoh tentang seorang 
priyayi atau abangan yang selalu minta tolong pada kaum santri untuk 
mendoakan atau untuk menyembelihkan ayam.
Argumen-argumen itu menunjukkan bahwa pribumisasi Islam di Jawa 
telah berurat berakar dan melahirkan banyak teori. Teori-teori itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun secara prinsip, pribumisasi Islam maupun 
ide-ide besar dunia ke dalam lokalitas Jawa yaituproses alamiah yang tak 
bisa dihentikan. `Proses semacam ini juga terjadi di wilayah lain. saat Islam 
menyebar dan keluar dari cangkang jazirah Arabia, Islam berakulturasi 
dengan wilayah-wilayah “pendudukan”. Afrika, India, Asia Selatan, Eropa, 
Amerika, Asia Tenggara, dan Australia yaituwialyah-wilayah yang 
memiliki peradabannya sendiri saat Islam datang. Artinya, interaksi 
intelektual antara Islam dan budaya-budaya setempat melahirkan khazanah 
Islam yang lebih berwawasan.
Perjumpaan Islam dengan wilayah-wilayah lain mencatat dengan 
gemilang bagaimana tafsir tentang Islam makin kaya. Khazanah sastra, seni, 
sains, filsafat, hermeneutika, pengobatan, dan teater memperkaya pandangan 
Islam. Dalam perjumpaan dengan peradaban Helenisme (Yunani-Romawi) 
di Abad Pertengahan, Islam mereguk banyak manfaat. Terjadi lompatan 
peradaban Islam ke seluruh penjuru dunia. Ajaran Islam yang bersumber pada 
Alquran dan Hadits diperkaya oleh pandangan-pandangan hibrida. Keduanya 
diterjemahkan dan ditafsirkan ke berbagai bahasa. Dari perjumpaan inilah, 
Islam oleh Bernard Lewis disebut menjadi “pengantar” bagi lahirnya 
peradaban Barat modern.
Kenyataan sejarah ini menjadi dasar bagi teori bahwa pribumisasi 
Islam di Jawa, pada dasarnya, kelanjutan dari proses sejarah di atas. Proses 
pribumisasi ini berlangsung secara halus dan terjadi dalam waktu yang 
perlahan. Pribumisasi ini terjadi di level warga  maupun di level pusat￾pusat kerajaan.  Di level warga , pribumisasi berjalan lebih lambat. 
Sementara di level kerajaan berjalan lebih cepat. Harus diingat bahwa 
perubahan-perubahan sosial digerakkan oleh kaum elit. Karena itu, keraton di 
mana raja dan strukturnya berkuasa dapat menentukan serangkaian aturan. 
Islam di keratonlah yang sesungguhnya menafsirkan Islam dalam kerangka budaya Jawa. Tak heran jika tafsir-tafsir keraton tentang Islam sangat 
dominan dan memengaruhi pandangan dunia warga nya.
Pandangan dunia Keraton tentang Islam ikut memengaruhi persepsi 
dan kesadaran publik. Orang awam akan selalu menganggap bahwa itulah 
tafsir yang benar tentang Islam. Meski di dalam keraton ada ulama yang 
tugasnya menjadi penasehat raja, para ulama tidak secara langsung 
menentukan garis-garis praksis kehidupan raja dan keluarganya. Raja dan 
keraton melaksanakan secara selektif ajaran Islam. Meski mereka bergelar 
sultan yang diperoleh melalui restu penguasa atau khalifah di Mekah dan 
berkedudukan sebagai Sayidin Panatagama, mereka hanya melakukan zakat 
dan puasa, tetapi tidak melakukan salat lima waktu serta tidak tertarik 
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam 
dalam tafsir keraton -sebagai pemegang hegemoni makna Islam- telah 
diadaptasi dengan nilai-nilai Jawa. Tentu saja, praktik ini tidak berlaku pada 
semua kerabat keraton.
Sejalan dengan nilai-nilai spesifik budaya Jawa sebagaimana 
dicitrakan keraton, ada benarnya bila Islam di sini bersifat sinkretik meski 
tidak dalam arti mutlak. Tapi sinkretisme ini tidak hanya terjadi pada agama 
Islam, juga terjadi pada agama Hindu, Budha, dan Kristen. Warisan sejarah 
selama berabad-abad tidak seluruhnya luruh. Ada “gagasan abadi” yang tetap 
ada dalam aliran manusia Jawa meski mereka hidup serta berkembang 
dengan berbagai anasir luar. Bahkan kalau diamati dengan cermat, agama 
Hindu-Budha yang selama berabad-abad menjadi agama kerajaan Majapahit, 
Sriwijaya, Kediri, dan lain-lain sebenarnya bersifat sinkretik. Atau setidak￾tidaknya hanya dipraktikkan oleh raja dan keluarganya sementara di hati 
rakyat tetap bersemayam kepercayaan pada pengaruh para leluhur dan roh￾roh lainnya.
Seperti diketahui bahwa Islam sudah tersebar pada masa Majapahit, 
terutama di pesisir pantai utara. Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Mahapatih Gadjah Mada (w. 1364 M) sebenarnya sudah bersentuhan dengan 
Islam yang disebarkan melalui para pedagang di pelabuhan-pelabuhan. 
Hanya saja, sebagai agama pendatang baru, Islam belum unjuk gigi. Islam 
hidup berdampingan dengan agama Hindu, Budha, dan agama asli Jawa.
Dalam persentuhannya ini, tentu saja, Islam tidak langsung terang-terangan 
mengajarkan pokok-pokok ajaran. Ada kompromi-kompromi antara Islam 
dan budaya. Para pemeluk Islam baru yaitumereka yang tadinya beragama 
Hindu, Budha, dan atau Animisme. Para muallaf itu, tentu saja, tidak 
seluruhnya meninggalkan tradisi-tradisi lamanya. Adaptasi, akulturasi, dan 
inkulturasi terus terjadi dan membentuk apa yang Islam di hari ini sebagian 
besar dipraktikkan di Jawa.
Demikianlah, saat secara perlahan Islam makin kuat dan mendirikan 
kerajaan Islam di Demak (1478-1549) yang lalu  merebut Majapahit 
pada 1478 M, Islam telah berpindah menjadi agama kerajaan. Raden Patah 
yang lalu  menjadi raja Demak yaituputra salah satu keturunan 
Majapahit yang menikah dengan putri Champa. Bahkan menurut Slamet 
Mulyana, kerajaan Majapahit yang terakhir sudah menganut agama Islam 
sebelum akhirnya runtuh.  Meskipun demikian, keruntuhan Majapahit 
berlanjut pada Mataram Islam dengan praktik-praktik Islam sinkretis.
Jadi, pribumisasi Islam terjadi sejak Islam pertamakali diperkenalkan 
kepada orang Jawa dan dianut sebagai agama kerajaan. Pribumisasi Islam 
yaitutahapan pemahaman orang Jawa tentang Islam. Raja-raja Mataram 
Islam sejak itu tidak lagi meminta legitimasi pada trah Hindu-Budha, tetapi 
langsung kepada khalifah di Mekah. Simbol-simbol Islam mulai dibuat untuk 
memperbesar keabsahan para raja di samping simbol-simbol Jawa. Dalam 
cerita Babad Tanah Jawa, misalnya, para raja Mataram dikaitkan sebagai keturunan para Nabi. Ini bertujuan untuk memberi legitimasi, sehingga bisa 
menambah kewibawaan. 
Tahap demi tahap, tafsir Islam dari keraton mulai mengakumulasi 
menjadi seperangkat ajaran dan praksis Islam. Pribumisasi Islam, karena itu, 
terjadi sangat intens di level ini. Apalagi Islam yang dikembangkan di Jawa 
yaitudimensi tasawuf atau batin, sehingga pemujaan pada simbol-simbol 
lebih dominan. Dimensi tasawuf atau esoteris Islam lebih mementingkan 
harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Sementara dimensi eksoterik atau 
fikih mementingkan aspek-aspek hukum dan bersifat lebih ketat. Praktik 
Islam esoteris inilah yang lebih dominan dalam kehidupan keraton. 
Dengan demikian, membaca “pribumisasi Islam” hendaknya tidak dari 
sudut pandang fikih, contoh apakah secara fikih ini boleh atau tidak boleh. 
Tetapi memerhatikan pula aspek-aspek esoteris Islam dan simbol-simbol 
batin budaya Jawa. Sudut pandang ini, menurut saya, lebih adil dan 
menerobos cangkang kekakuan fikih. Dalam jangka panjang, sudut pandang 
Islam esoteris dapat menjadi pilar bagi tumbuhnya toleransi, harmoni, dan 
menciptakan titik-titik temu peradaban.
Pribumisasi Islam Melalui Budaya
Penyebaran Islam ke Jawa melalui tahap-tahap sosiologis, budaya, dan 
juga teologis. saat Islam masuk dan menyebar ke sini, karena itu, ia tidak 
berada di ruang kosong. Gugus-gugus nilai, norma-norma, dan tradisi-tradisi 
Jawa telah berurat berakar dalam jiwa orang-orang Jawa dan Islam 
menggenapi makna-makna secara lebih kaya. Dengan Keraton sebagai center 
of excellence dan juga center of social change, penyebaran, pemaknaan, dan 
pemahaman Islam ikut serta dalam proses yang saya sebut pribumisasi ini.
Keraton pada masanya, pernah menjadi satu-satunya agen perubahan 
sosial. Tak heran jika, islamisasi massif terjadi dari Keraton. Titik taut nilai￾nilai Jawa dengan Islam lebih terletak di aspek esoterisnya sehingga Islam 
tasawuf-lah yang paling kental memengaruhi pandangan-pandangan dunia 
orang Islam Jawa. Menarik untuk dicatat bahwa pendekatan tasawuf,
ternyata efektif bagi penerimaan bangsa Jawa untuk menerima Islam. Hal ini 
terjadi, menurut beberapa  pengamat, karena tasawuf lebih mudah berkompromi, luwes, dan lebih menekankan substansi ketimbang bentuk.
Nah, para ulama sebagai agen perubahan dan atau perantara budaya 
memainkan peran tepat di dalam mengawinkan tradisi-tradisi lokal dengan 
tradisi-tradisi Islam. Ini berbeda dengan dimensi fikih yang lebih formal dan 
legalistik sehingga ada beberapa benturan, meski hal ini lebih banyak 
“disembunyikan”. 
Sesungguhnya ada konflik antara pendekatan fikih dan tradisi Jawa. 
Namun bagi orang Jawa, keselarasan atau harmoni antara jagad gede 
(makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos) sangat menonjol sehingga 
diusaha kan untuk selalu dijaga dengan baik. usaha  ini menemukan 
bentuknya dalam ungkapan selamet. Orang Jawa memiliki konsep tentang 
“rasa” yang sangat baik dalam menghadapi benturan-benturan. 25 Dan 
nampaknya dalam konteks pribumisasi Islam cara ini sangat berhasil.
Kata selamet, menurut Geertz memiliki makna lengkap dan menjadi 
pokok nilai Jawa yang terpenting. Kata selamet mewadahi konsep sejahtera, 
aman, makmur, terlindung dari gangguan bahaya-bahaya alam maupun 
adikodrati.  Dalam pandangan orang Jawa, kata selamet mewakili 
keseluruhan cita-cita manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam 
semesta. Dari kata selamet inilah ritual-ritual Jawa muncul dalam wujud, 
misalnya, tingkeban (ritual hamil tujuh bulan anak pertama), Babaran, 
Pasaran, Pitonan, dan lain-lain. Juga upacara saat kematian, perkawinan, 
panen, dan lain-lain yang pada intinya untuk mencari keselamatan atau 
selamet.
Pandangan dunia orang Jawa dan Islam pada tahap sosiologis bertemu 
dalam wujud-wujud budaya. Wali Songo mengadopsi wayang, seni, dan
gamelan, dalam penyebaran Islam. Pada waktu itu, cara ini menjadi metode sangat efektif untuk mengislamkan Jawa. Upacara-upacara yang 
diselenggarakan Keraton juga terkait erat dengan Islam, contoh Garebeg.
Ada tiga upacara Garebeg yang dihubungkan dengan agama Islam di 
Keraton, yakni: Garebeg Mulud jatuh pada 12 Rabiul Awwal, Garebeg Puasa 
pada 1 Sawal, dan Garebeg Besar jatuh pada 10 Dzulhijjah untuk merayakan 
Hari Haji. Dalam upacara Garebeg ini simbol-simbol Islam ditampilkan dan 
menggambarkan suatu praksis Islam Jawa.
Selain itu, pribumisasi Islam di Jawa juga terjadi pada pemakaian 
kalender yang yaitu gabungan unsur-unsur Hindu dan Islam seperti 
Kalender Saka dengan sistem lunar (qamariyah). Nama-nama Arab untuk 12 
bulan juga ditampilkan dengan rasa Jawa seperti 1) Suro untuk Asyura 
(Muharram), 2) Sapar untuk Shafar, 3) Mulud (dikonversi dari bahasa Arab, 
Mauli>d), 4) Bakdo Mulud (dikonversi dari ba’dal mauli>d) untuk Rabi>’u al￾Tsa>ni, 5) Jumadil Awal untuk Juma>d al-È—la>, 6) Jumadalakhir untuk Juma>d al￾Tsa>niyah, 7) Rejeb untuk Raja>b, 8) Ruwah (diambil dari kata arwa>h, “ruh￾ruh” -karena kepercayaan bahwa ruh-ruh akan dibangkitkan menjelang 
Ramadhan), untuk bulan Syakban, 9) Poso, untuk Ramadan, 10) Sawal, 
untuk Syawwa>l, 11) Selo (kata Jawa yang berarti “di antara”, yakni di antara 
dua hari besar Islam I>d al-Fitri dan I>d al-Adha>), untuk DzÈ—l Qa’dah, dan 12) 
Besar (kata Jawa yang artinya “besar”, yakni bulan berlangsungnya perayaan 
hari besar I>d al-Adha>), untuk bulan Zulhijjah. Pribumisasi kalender Islam ke 
dalam kalender Jawa menunjukkan proses-proses budaya dan memberikan 
makna betapa Islam berenang dalam gelombang air Jawa tanpa tenggelam 
serta mengalami konflik.
Secara fisik, pribumisasi Islam muncul dalam bentuk bangunan seperti 
Masjid dengan kubah susun tiga, ornamen batik, dan modifikasi-modifikasi 
lain yang berbeda dengan Timur Tengah dan atau Islam. Masjid Demak yang 
yaitu bangunan Masjid dari masa kerajaan Islam pertama di Jawa 
dengan kubah susun tiga dan juga masjid-masjid kuno lain di Jawa dapat 
disebut sebagai pribumisasi Islam fisikal. Hal ini penting untuk dicatat 
karena suatu bangunan fisik tidak muncul tanpa konsep filosofis 
pendukungnya. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ada tiga tahapan suatu 
“benda” muncul. Pertama, mentifact yaitu suatu wujud ide, keyakinan, filsafat yang mendasari. Kedua, sociofact yaitu sistem sosial dan aktivitas 
manusia yang dilakukan dalam kehidupan, dan artifact, yaitu wujud benda 
atau bangunan yang yaitu hasil dari dua tahap sebelumnya.31 Dari sudut 
teori antropologi ini, bangunan-bangunan Masjid dengan meminjam struktur 
bukan Islam bukanlah dibuat tanpa sadar, tetapi didasarkan pada 
pertimbangan-pertimbangan matang. Dan ini menegaskan terjadinya 
pribumisasi Islam dalam wujud artefak. Bahkan bila dicermati lebih dalam, 
kubah bersusun tiga sebenarnya adopsi dari tradisi Hindu. Kubah bersusun 
tiga di Jawa hampir mirip dengan bangunan masjid di Kerala, India Selatan.
Dan bangunan susun tiga yaitutradisi Hindu sebagaimana dijumpai dalam 
bangunan candi baik di India maupun di Nusantara. 
Selain itu, makam-makam di Jawa yang memakai kaligrafi Arab; 
bedug dan kentungan yang terdapat di masjid-mushala; dan bangunan 
pondok pesantren yang berhiasi Jawa menggambarkan perpaduan antara 
Islam-Jawa. Bahkan pondok pesantren dengan ruang-ruang belajar dan kamar 
tidur santri yang dibimbing seorang kyai disebut sebagai pengambilalihan 
dari padepokan-padepokan Hindu-Budha di masa lalu. Di zaman peradaban 
Hindu-Budha, Nusantara dikenal sebagai pusat belajar agama. Sriwijaya 
pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Budha yang dikunjungi 
pengembara dari negeri China, Champa, dan sekitarnya. Pendeta China yang 
sangat terkenal, I-Tsing pernah tinggal bertahun-tahun untuk belajar agama 
di sana. Setelah era Islam yang dikembangkan dari kerajaan Malaka, 
padepokan-padepokan itu ditiru oleh sistem pesantren.
Selanjutnya, pengajaran Alquran dan cabang ilmu Islam lainnya di 
pesantren diajarkan dengan bahasa Jawa dan kode-kode tertentu yang 
diilhami oleh konsep-konsep Jawa. Misalnya, pengajian kitab kuning -
sebutan untuk buku berbahasa Arab tanpa haraka>t- melalui sorogan.
Kaidah-kaidah bahasa Arab seperti mubtada’ dipakai kata “utawi” dan 
khaba>r dipakai kata “iku”, dan lain-lainnya. Peminjaman kode-kode 
pembelajaran bahasa Jawa untuk memahami Alquran dan ilmu turunannya menunjukkan daya cipta para kyai di dalam memudahkan pengajaran Islam 
kepada orang Jawa.
Pribumisasi Islam melalui budaya, dengan demikian, tidak mengalami 
hambatan berarti di sepanjang sejarahnya. Meskipun demikian, sebuah kredit 
harus diberikan kepada para Wali Songo dan para ulama yang tidak 
mempertentangkan secara tajam antara Islam dan budaya Jawa. Prestasi
mereka terletak pada bagaimana Islam diterjemahkan dengan idiom-idiom
Jawa. Dari fakta-fakta sejarah ini, dapat ditegaskan bahwa ternyata ada akar￾akar toleransi dan keterbukaan antara keduanya: Islam dan budaya Jawa. 
Kita sulit membayangkan jika sejak awal Islam disebarkan di Nusantara 
dengan pendekatan Wahabi, pasti akan terjadi benturan-benturan dan ini 
akan mencitrakan sebuah kekakuan.
Itulah sebabnya, ada hikmah yang dapat dipetik dari pelajaran sejarah 
perkembangan Islam yang disebarkan dengan pendekatan tasawuf. Inti dari 
tasawuf yaituakhlak, dan akhlak itu lebih mementingkan substansi 
daripada kulit. Karena di Jawa telah ada tradisi-tradisi agama sangat panjang 
dengan karakter harmoni dan keselarasan, maka ajaran Islam tasawuf mudah 
diterima. Bahkan diterima dengan tangan terbuka. Islam tasawuf ini juga 
yang banyak menarik para islamolog untuk memberikan kredit karena 
perannya dalam memoderasi Islam radikal.
Jadi, penerimaan Islam oleh sebagian besar orang Jawa hanyalah 
menunggu waktu saja. Kearifan warga  Jawa telah siap sejak lama untuk 
dimasuki agama yang mementingkan keselarasan antara Tuhan, manusia, dan 
alam. Ini hampir sama miripnya dengan penerimaan warga  Madinah 
atas Islam yang dibawa Muhammad saw. Hal ini terjadi karena warga  
Madinah sudah biasa dengan tradisi agama (di Madinah ada warga  
Yahudi dan Nasrani) dibandingkan Mekkah. 
Membandingkan dua peristiwa di atas, dapat ditegaskan bahwa 
keberhasilan pribumisasi Islam melalui budaya sangat tergantung pada 
bagaimana elit-elit intelektual Islam menerjemahkannya ke dalam idiom￾idiom lokal. Ini memerlukan kecerdasan di dalam memilih suatu pendekatan. 
Sekali pendekatan itu keliru dipilih maka akan menjadi boomerang dan 
lalu akan mengalami banyak hambatan. Sejarah telah membuktikan 
bahwa pendekatan-pendekatan yang kaku dan tidak memerhatikan lokalitas 
apalagi bertentangan dengan akal sehat akan tergerus dan ditelan sejarah. Di Jawa perkembangan Islam pernah mengalami interupsi dengan 
kasus hukuman mati pada Syekh Siti Jenar oleh pembela ortodoksi. Hal ini 
juga dialami kaum abangan yang dikecam Muslim ortodoks akibat 
mempraktikkan sinkretisme Islam. Puncak konflik antara santri dan abangan 
terjadi pada tragedi G 30 S tahun 1965 di mana pembunuhan kaum abangan 
oleh kaum santri yang berafiliasi pada organisasi-organisasi Islam dilakukan 
di beberapa  daerah di Jawa. Dalam konteks sejarah peradaban Islam, juga 
terdapat contoh bagaimana sekte-sekte radikal seperti khawarij, misalnya, 
tak dapat berkembang dalam sejarah dan mati muda. Ini pelajaran penting 
yang telah menjadi bukti. Para ulama di masa lalu, nampaknya, telah 
mempelajari hukum besi ini sehingga mereka tidak memaksakan ajaran Islam 
dengan pendekatan legal-formal.
Pribumisasi Islam dan Integrasi Bangsa
saat Islam sudah mengalami pribumisasi, ia tidak lagi dikerangkeng 
dalam hegemoni tafsir tunggal contoh tafsir Arabo-centris yang 
berkarakter budaya Arab.  Sebuah kitab suci, tentu saja, pemaknaannya 
seringkali dipengaruhi oleh para penafsirnya dan para penafsir itu 
dipengaruhi oleh lingkungan serta kecenderungan budayanya. Islam yang 
terpribumisasi, dengan demikian, sangat relevan dengan konteks-konteks 
budaya Jawa khususnya dan budaya Nusantara pada umumnya. 
Sebagai agama mayoritas bangsa, Islam telah menjadi kenyataan hidup 
dan telah memainkan peran penting dalam perjuangan bangsa. Ini terjadi 
karena Islam telah ditafsirkan sesuai dengan konteks-konteks kebudayaan bangsa oleh para ulama dan kaum intelektual. Pribumisasi Islam yang 
berjalan baik dalam sejarahnya di Nusantara menunjukkan bahwa ia tak lagi 
asing dan dapat diterima sebagai bagian organik dari kebudayaan. Islam 
yaitunilai dan kearifan bangsa. Ia menjadi identitas nasional, meskipun ia 
tumbuh merayap melalui penafsiran lokal Jawa, Sunda, Melayu, dan Bugis.
Ada banyak contoh bagaimana kata-kata Arab-Islam terserap dalam bahasa 
Nusantara. Juga adat-istiadat terkait, misalnya, perayaan Maulid Nabi 
Muhammad di Jawa, Sumatra, Bugis, dan lain-lain. Contoh-contoh akulturasi 
itu harus diterima sebagai pengayaan dan bukan sebagai bidah. 
Lagi-lagi peran kaum intelektual sangat penting dalam transformasi 
nilai Islam ke nilai lokal atau dari Islam universal ke Islam partikular suku￾suku di Nusantara. Dalam konteks ini, Ali bin Abi Thalib pernah berujar, 
“innama> yunthiquh al-rija>l” (sesungguhnya Alquran berbicara melalui 
manusia). Artinya, para pembaca teks Alquran sangat berpengaruh di dalam 
menerjemahkan makna Alquran. Makin luas dan berintegritas para pembaca 
Alquran, maka maknanya akan luas dan penuh moral. Sebaliknya, makin 
sempit dan bodoh pembaca Alquran, maknanya akan sempit dan kaku. Jadi, 
para ulama dan kaum intelektual Muslim perlu terus-menerus mengusahakan 
tafsir-tafsir Alquran yang kontekstual, lokal, dan mendorong pada integrasi 
bangsa. Usaha-usaha semacam ini, menurut saya, layak disebut sebagai 
pribumisasi Islam Nusantara yang, pada gilirannya, akan menopang integrasi 
bangsa.
Harus diakui bahwa integrasi bangsa tidak semata-mata soal hubungan
Islam dan negara, tetapi soal yang lebih kompleks meliputi aspek politik, 
ekonomi, sosial, dan budaya. Irwan Abdullah menyebut empat aspek yang 
menyebabkan disintegrasi sosial, yakni: pertama, kondisi sosial yang bersifat 
akut yang menggambarkan persoalan penting yang harus ditanggapi, seperti 
kebodohan dan kemiskinan. Kedua, penyimpangan perilaku yang melawan 
hukum seperti korupsi, ketidakadilan, kejahatan, dan obat-obatan terlarang. 
Ketiga, persoalan yang menyangkut disorganisasi yang memperlihatkan 
rendahnya ketaatan publik terhadap berbagai peraturan dan terhadap sesuatuyang bernilai komunal. Keempat, persoalan disfungsi sosial yang 
menunjukkan tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial dan jaringan￾jaringan sosial secara meluas.
Meski analisis Irwan Abdullah terkait disintegrasi sosial, namun ini 
bisa dipakai dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan. Faktor-faktor 
kemiskinan, kebodohan, pelanggaran hukum, salah urus tata kelola 
pemerintahan, dan lain-lain yaitujuga terkait dengan tugas profetik agama 
Islam. Pribumisasi Islam mengandaikan bahwa ajaran-ajaran Islam itu sampai 
ke penjabaran operasional sehingga memandu jalannya perilaku-perilaku 
sosial. Islam harus hadir dalam nilai-nilainya sehingga menciptakan integrasi 
sosial dan lalu memantapkan integrasi bangsa.
Selanjutnya, integrasi bangsa menuntut pula integrasi antar dan intra 
umat beragama. Tafsir-tafsir agama sangat menentukan wujud nyata 
integrasi baik dalam bentuk kerukunan, harmoni sosial, maupun hilangnya 
pendakuan kebenaran berlebihan para pemeluk agama, utamanya Islam. 
Tampilnya -meminjam istilah MB. Hooker- “manusia-manusia transisi”
semacam Agus Salim, Hatta, Natsir, Harun Nasution, Nurcholish Madjid, 
Abdurrahman Wahid, dan lain-lain sangat menentukan arah baru Islam 
dengan sistem teologinya yang lebih terbuka. Gerakan-gerakan terbuka dari 
para kaum elit tersebut memungkinkan Islam mengalami pribumisasi 
berkelanjutan sejak ia masuk ke Nusantara. Islam tampil membumi dan 
bersenyawa dengan budaya-budaya tempatan berkat peran kaum elit 
intelektual Islam tanpa pertikaian berarti. Bahkan kaum elit Islam -pada 
masa gerakan kemerdekaan itu- berusaha melakukan usaha-usaha teologis￾politis agar Islam tidak berhadap-hadapan dengan kepentingan negara. 
Hasilnya yaitukesepakatan dan perjanjian luhur berupa Pancasila sebagai 
dasar negara. Tentu saja, pencapaian ini sangat sulit dan memerlukan sikap 
terbuka dengan wawasan-wawasan kebangsaan serta kenegaraan. Wawasan 
keislaman tidaklah memadai tanpa ditopang oleh wawasan-wawasan 
kemodernan dengan gagasan besar dunia.Nah, kaum elit yaitusekelompok manusia yang dengan kecerdasan 
dan kearifannya menanggapi tantangan-tantangan masa depan melalui 
penyusunan konsep-konsep utama.  KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan 
Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan NU, M. Hatta dan Syafrudin 
Prawiranegara dengan pemikiran ekonomi Islam, Agus Salim dengan 
pemikiran sosial budaya, Hazairin dengan pemikiran hukum, dan lain￾lainnya.
Di era yang lebih lalu , datang eksponen, seperti Mukti Ali, 
Harun Nasution, HM. Rasyidi, Nurcholish Madjid, Syafii Maarif, 
Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, dan lain-lain. 
Mereka yaituelit-elit intelektual Islam yang dengan ketajaman analisisnya 
menjawab tantangan-tantangan zaman dengan bahasa kaumnya dan dengan 
istilah-istilah modern melalui berbagai karya. Karya-karya mereka pada 
dasarnya yaitutafsir Islam dalam kerangka relevantisasi dengan konteks￾konteks zamannya. Konteks-konteks zaman dalam arti ini yaituisu-isu 
keadilan, pemberdayaan, demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, integrasi 
bangsa, dan lain-lain. Islam tidak lagi dikurung dalam kerangka pemihakan 
pada kepentingan mazhab dan kelompoknya. Tafsir Islam telah keluar dari 
cangkang mazhab dan sektarianisme menerobos sekat-sekat. Tema-tema 
yang diusung pun lebih berkelas, misalnya, tentang nilai-nilai universal yang 
dimiliki setiap suku dan atau bangsa. Para pemikir Islam itu telah menyadari 
bahwa kita tak perlu takut dengan perpecahan hanya karena isu-isu 
pembaharuan. Tapi, pada saat sama, kaum elit itu bekerja keras mendidik 
umatnya dengan ajaran-ajaran Islam yang lebih cair dan terbuka melalui 
strategi kebudayaan, yakni pendidikan.
Penting dicatat bahwa ada garis kebersinambungan antara pribumisasi 
Islam model Wali Songo di zaman-zaman lampau dengan pribumisasi Islam 
di masa kini. Tujuan pribumisasi Islam yang disebut pertama yaitu
membangun integrasi Islam dan budaya lokal dalam kerangka kesatuan umat. Sementara di masa kini, pribumisasi Islam bertujuan menciptakan Islam 
sebagai perekat kesatuan bangsa. Di masa kini, pribumisasi Islam lebih 
diperlukan untuk merawat hubungan Islam dan negara secara protagonis 
dengan tafsir-tafsir yang inklusif. Pasang-surut hubungan Islam dan negara di 
masa Orla dan Orba yang pernah mengancam disintegrasi bangsa harus 
menjadi pelajaran.
Harus diakui bahwa jasa kaum elit intelektual Islam sangat penting 
dalam mencairkan hubungan Islam-negara sepanjang masa-masa 
pembentukannya. Salah satu yang menonjol yaitumasalah dasar negara, ide 
tentang konstitusi, dan hubungan antara agama dan negara. Pancasila sebagai 
dasar negara dan tafsir atas sila-silanya pernah menjadi perdebatan sengit 
pada tahun 1950-an sampai akhirnya kembali kepada Dekrit Presiden. Fakta 
sejarah ini menunjukkan bahwa mempertahankan integrasi bangsa dalam 
kerangka Negara Kesatuan Republik negara kita bukanlah pekerjaan ringan. 
Dibutuhkan keterlibatan kaum elit Islam, elit penguasa, dan elit-elit politik 
dari beragam latar belakang untuk merumuskan konsensus-konsensus baru 
yang bersifat integratif.
Itulah sebabnya respons-respons yang tepat dari pemerintah sangat 
dibutuhkan. Menurut Christine Drake ada tiga kebijakan pemerintah Orde 
Baru dalam merespon tantangan-tantangan integrasi.  Pertama yaitu
tanggapan melalui kebijakan pemerintah yang berdimensi budaya melalui 
pengembangan bahasa negara kita sebagai bahasa persatuan. Ia dijadikan 
sebagai bahasa pengantar wajib dalam pendidikan dari sekolah dasar hingga 
perguruan tinggi. Selain pengembangan bahasa, juga dikembangkan sistem 
pendidikan yang mewajibkan pengajaran Pancasila dan Pendidikan 
Kewarganegaraan ke dalam pendidikan nasional. Ini dimaksudkan untuk 
menanamkan nilai-nilai Pancasila dan kebudayaan nasional kepada anak-anak 
didik.Terkait kebijakan terhadap umat Islam sebagai pemeluk mayoritas, 
pemerintah tidak memperlakukan secara tertutup tetapi secara tepat dan 
proporsional melakukan komunikasi politik melalui elit-elit Islam.
Kebijakan kedua yaitudari dimensi hubungan.
Sejak tahun 1967 -
saat Soeharto menduduki Pejabat Presiden Sementara- memulaipembangunan infrastruktur besar-besaran dan bertahap untuk 
menghubungkan wilayah Nusantara yang luas. Jalan-jalan, televisi, listrik, 
dan jembatan-jembatan yang strategis dibangun dalam usaha  memperbaiki 
interaksi antara daerah satu dengan daerah lainnya dan dengan pemerintah. 
Ketiga, kebijakan pembangunan ekonomi.  Pembangunan ekonomi 
dilakukan dengan Repelita (rencana pembangunan lima tahun) dan 
dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara daerah dan pusat. Secara 
relatif, selama Orba pembangunan ekonomi berhasil meningkatkan 
pendapatan negara, tetapi dari sisi pembagian masih menyisakan 
kesenjangan. Namun begitu, tanggapan pemerintah cukup efektif meredam 
disintegrasi bangsa untuk kurun waktu yang lama.
Analisis Christine Drake sebenarnya kurang sempurna. Dia tidak 
banyak mengulas hubungan agama dan negara dari perspektif kaum elit 
Islam. Menurut saya, perspektif yang disebut terakhir cukup membantu 
dalam mencairkan ketegangan hubungan Islam dan negara yang dalam 
sejarahnya mengalami pasang-surut. Doktrin-doktrin Islam tidak lagi dilihat 
dari perspektif dogmatik, tetapi dilihat dari perspektif kemodernan dan 
global. Perspektif yang telah keluar dari cangkang teologi ini mendorong 
perubahan wawasan umat Islam ke arah yang lebih terbuka. Munculnya 
lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan mobilitas kaum santri makin 
mempercepat perubahan itu. Hasilnya yaitutumbuhnya kelas-kelas 
warga  egaliter, demokratis, inklusif, dan sikap intelektual. Tentu saja, 
keadaan-keadaan ini memudahkan terjadinya transformasi-transformasi 
sosio-kultural secara lebih mudah di dalam tubuh umat Islam. Dan umat 
Islam negara kita memasuki dunia baru, sebuah dunia yang tidak lagi hidup 
dalam cangkangnya, tetapi telah berdialog dengan peradaban lain yang lebih 
kaya.
Namun terburu-buru harus disebutkan bahwa perubahan ini berawal 
dari lokal, yakni penerimaan Islam oleh pribumi. Lalu beranjak ke komunitas 
yang lebih luas, yakni Nusantara yang lalu  setelah negara kita merdeka 
menjadi Negara-bangsa negara kita. Dari argumen itu dapat ditegaskan bahwa 
tak ada integrasi bangsa tanpa integrasi suku-suku bangsa. Tak ada harmoni 
Islam dan negara tanpa harmoni pemahaman ajaran agama. Juga tak ada 
moderasi sosial tanpa moderasi ajaran Islam. Dengan hubungan akrab antara 
Jawa, Islam, dan negara negara kita maka terjadi keakraban antara hubunganketiganya-meskipun untuk itu diperlukan usaha terus-menerus semua potensi 
bangsa untuk merawatnya dengan penuh dedikasi serta komitmen keislaman 
dan kenegara kitaan.

Islam dan budaya Jawa yaitu tema utama yang menjadi wacana dalam 
kehidupan Nusantara. Selama berabad-abad lalu saat Islam datang ke 
Nusantara, keduanya berdialog dengan kepercayaan lain seperti Hindu, 
Budhha dan agama lokal lainnya. Kebudayaan Jawa, di sisi lain, yaitu 
warisan warga  Jawa selama ribuan tahun dan terus memperkaya 
khazanah budaya dunia. Hubungan antara Islam dan Jawa, oleh karenanya, 
menarik perhatian para peneliti dan telah menghasilkan banyak karya ilmiah. 
Sepanjang sejarah, hubungan antara Islam dan budaya Jawa tidak selalu 
berjalan mulus. Ketegangan dan konsensus terjadi di antara keduanya, baik 
secara jelas terlihat ataupun tidak. Ketegangan tersebut merujuk kepada 
pribumisasi Islam di Jawa. Pribumisasi Islam di Jawa yaitu proses 
transformasi saling pinjam antara unsur-unsur luar ke dalam lokalitas Jawa 
atau sebaliknya. Pribumisasi Islam, oleh karenanya, yaitu artikulasi 
interaksi sosial budaya Islam dan Jawa. Dalam konteks negara-bangsa, 
pribumisasi Islam harus naik ke level yang lebih tinggi, untuk mencapai 
integrasi nasional. Artikel ini membahas pribumisasi Islam dalam konteks 
budaya Jawa, yang bertujuan untuk membangun integrasi nasional. Diskusi 
ini berangkat dari gagasan bahwa tidak ada integrasi tanpa integrasi suku￾suku, dan tidak ada integrasi bangsa tanpa integrasi pemeluk agama