budaya jawa
By arwahx.blogspot. com at September 13, 2023
budaya jawa
Dur) pada era 1980-an2
. Tentu saja, istilah pribumisasi secara praksis jauh
lebih tua. Dakwah Walisongo di pulau Jawa, misalnya, telah menggunakan
kearifan-kearifan lokal dan tradisi sebagai metode. Walisongo tidak
seluruhnya menghapus tradisi-tradisi lokal dan menggantinya dengan Islam.
Walisongo mempertahankan segi-segi tradisi dan mencoba mengadaptasinya
dengan ajaran Islam tanpa merusak nilai substansialnya. Salah satu contoh,
bangunan masjid kuno masih mempertahankan model Hindu-Budha pada
aspek kubahnya yang bersusun tiga.
Pribumisasi Islam, karena itu, memiliki kaitan langsung dengan sejarah
perkembangan Islam di Nusantara dan telah terjadi dalam sejarah yang
panjang. Pribumisasi Islam sebagai suatu proses sosio-historis yaitu
sebuah keniscayaan. Hal ini demikian karena universalitas Islam
memerlukan penjabaran operasional sehingga eksistensinya lebih efektif.
Selanjutnya, universalitas tak akan efektif tanpa diikat oleh nilai-nilai lokal.
Agar universalitas Islam terasa hadir dan relevan dengan gemuruh kehidupan
sosial di bumi, ia perlu diturunkan ke tingkat abstraksi yang sederhana; yang mudah dimengerti oleh akal; dan agar menjadi pedoman hidup praksis bagi
manusia. Dari argumen inilah, pribumisasi Islam menemukan maknanya.
Persoalannya, apakah istilah pribumisasi Islam masih relevan dengan
tantangan-tantangan modern yang jauh lebih rumit? Bagaimanakah
pribumisasi Islam dilakukan tanpa merusak “tatakrama” atau kaidah baku
Islam? Dan bagaimana meletakkan Islam dalam cangkang budaya Jawa yang
eksistensinya dipenuhi peradaban silang antara Animisme-Hindu-Budha yang
jauh lebih tua dan lebih dulu ada? Bagaimana pula hubungan pribumisasi
Islam dan harmoni budaya bagi terciptanya integrasi bangsa? Pertanyaanpertanyaan di atas akan dicoba bahas dan diperdebatkan dalam perspektif
historis-antropologis.
Penting dicatat bahwa tiga topik utama, yakni: pribumisasi Islam,
budaya Jawa, dan integrasi bangsa memiliki kaitan erat. Pribumisasi yaitu
suatu proses atau transformasi unsur-unsur asing dengan unsur-unsur lokal.
Ada potensi konflik dalam hubungan antara ketiganya. Karena itu, menelisik
Islam dan budaya Jawa dalam konteks negara-bangsa menjadi sangat penting
guna menemukan potensi konflik dan konsensus. Selanjutnya, potensipotensi tersebut dapat dipakai sebagai instrumen integrasi bangsa melalui
kecakapan mengelola konflik menjadi konsensus. Jadi, pribumisasi Islam
dalam budaya Jawa bukan dipandang sebagai proses “meluruhnya” budaya
Jawa ke dalam Islam, tapi sebuah proses “beri dan terima” antara keduanya
dalam pengertian akulturasi menuju integrasi bangsa.
Pendekatan historis-antropologis akan digunakan untuk menelisik
hubungan antara pribumisasi Islam, budaya, dan integrasi bangsa. Sejak
meluasnya karya E.B. Tylor Primitive Culture3 dan J.G. Frazer The Golden
Bough4 ke warga , agama telah menjadi fokus utama teori antropologi.
Di antara masalah-masalah utama dalam diskusi antropologi mengenai
agama yaitutentang sifat, asal-usul kepercayaan keagamaan, hubunganhubungan logis dan historis antara mitos, kosmologis, dan ritual; serta antara agama dan ranah kebudayaan lain. Pribumisasi Islam yaitusoal cara agama
ini diadaptasi ke dalam lokalitas oleh para agen. Sementara budaya Jawa
yaitusuatu campuran antara animisme, Hindu, Budha, dan keperyaankepercayaan lain yang telah lama ada. Saling pengaruh antara agama-agama
itu lalu dilihat potensinya di dalam membangun integrasi bangsa.
Menegaskan Pribumisasi Islam
Mungkin istilah “pribumisasi” yaitu data baru dalam ensiklopedi,
jika ada. Dalam konteks Islam, pribumisasi mengacu pada proses terjadinya
nilai-nilai Islam pada suatu komunitas warga atau bangsa, tepatnya bangsa
non-Arab, misalnya, wong Jawa. Jika demikian, “pribumisasi” -menurut
saya- sama dengan transformasi unsur-unsur Islam pada unsur-unsur budaya
pribumi. Jika diperluas lagi, pribumisasi yaitukelanjutan dari proses
akulturasi budaya. Yakni, sebuah proses di mana unsur-unsur luar diterima
oleh unsur-unsur lokal atau sebaliknya.
Jika pribumisasi Islam diletakkan dalam konteks budaya Jawa, maka ia
dapat diartikan sebagai suatu proses pertemuan atau saling adopsi antara
unsur-unsur Islam dan unsur-unsur lokal Jawa. Dua entitas tidak saling
meniadakan, tetapi saling memperkaya. Di sini peran pembawa Islam ke
Nusantara, khususnya ke Jawa—para Walisongo—sangat penting. Mereka
telah memilih tafsir Islam yang memerhatikan lokalitas. Pemahaman Islam
dirujukkan pada konteks-konteks budaya Jawa.
Apa yang dilakukan para pembawa Islam ke Jawa bukanlah sebuah
anomali. Para penyebar Islam benar-benar menyadari bahwa Jawa dengan
kekayaan tradisi dan peradabannya yang panjang bukanlah blangko kosong.
Jawa yaitukenyataan lain yang kekayaan tradisi dan norma-norma
hidupnya tidak lebih buruk dari tradisi-tradisi agama. Islamisasi yang terjadi
sejak masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-15, yaitumelalui proses damai
dan penuh kearifan. Tak ada perang; tak ada penaklukan; dan tak ada
pemaksaan agama di Jawa selama transformasi Islam berlangsung di siniApa artinya? Jawa yaitusebuah lokus yang menjadi atau panci lebur
bagi agama-agama dari luar selama ribuan tahun. Secara intrinsik, manusia
Jawa yaitusangat terbuka dan menonjolkan pada harmoni. Selama jutaan
tahun Jawa menganut agama animisme dan ribuan tahun menganut agama
Hindu-Budha, lalu Islam datang disusul Kristen. 6 Saling memberi dan
menerima bagi Jawa dan lainnya sudah terjadi begitu lama sehingga tumbuh
sebuah kultur terbuka. Sifat keterbukaan inilah yang menyebabkan budaya
Jawa masih terus berevolusi dan terus dimasuki unsur-unsur non-Jawa
termasuk nilai-nilai Islam.
Dilihat dari sejarah asal-usul, semua agama di Jawa yaituimpor.
Hindu berasal dari India, Budha dari India-China, Islam dan Kristen berasal
dari Timur Tengah (Arab).7 Agama asli dari Jawa yaitu“agama” Animisme
suatu kepercayaan pada roh-roh dan penguasa-penguasa di luar dirinya. Nah,
kenyataan sejarah ini memperkuat bahwa agama di Jawa yaituproduk
hibrida dari saling silang budaya agama-agama yang datang ke sini. Para
islamolog menyebutnya sebagai agama sinkretik. Walisongo menyadari ini sebagai kenyataan sehingga metode dakwahnya sangat toleran dan
menghargai tradisi-tradisi lokal.
Namun demikian, hal ini tidak sepenuhnya diterima sebagai
kenyataan. Di titik ini, hingga kini masih terjadi pertarungan antara Islam
nominal dan Islam maksimal -istilah untuk menyebut Islam sinkretik dan
kaum santri. Varian Islam tradisional dan Islam modernis pun muncul
sebagai akibat logis dari kategorisasi di atas. Clifford Geertz, di sisi lain,
mempertegas konsep santri, priyayi, dan abangan.8 Priyayi yaitukelompok
yang dikategorikan Geertz sebagai mewarisi tradisi Hindu-Budha dalam
praksis sehari-hari. Sementara abangan yaitukelompok yang kental dengan
animismenya yang masih mempercayai roh halus, lelembut, dan makhluk
gaib yang bisa memengaruhi nasib.9 Hanya kaum santri yang benar-benar
dianggap Muslim. Dalam pandangan Geertz, Islam bagi orang Jawa hanyalah
lapisan tipis yang membalut mereka.
Tentu saja, pandangan Geertz tidak sepi kritik. Menurut Harsya W.
Bahtiar, Geertz salah meletakkan kategori agama ke dalam kategori sosial,
terutama varian priyayi. Marshall G. Hogdson, di sisi lain, menganggap
pandangan Geertz sangat bias karena ia mendasarkan teorinya pada
perspektif kaum modernis. Secara faktual, praktik-praktik Islam dan
islamisasi di Jawa oleh Hogdson dianggap sebagai sangat sempurna sehingga
dengan sendirinya menutup pandangan-pandangan Geertz yang bias itu.
Dalam kata-kata Hodgson “...for one who knows`Islam, his comprehensive
data -despite his intention- show how very little has survived from the Hindu
past even in inner Java and raise the question why the triumph of Islam was
so complete.” Lebih jauh, Zamahsyari Dhofir menggambarkan praktik
Islam begitu dalam dilihat dari hubungan-hubungan yang sering di antara
varian-varian yang ada. Dhofir, misalnya, memberi contoh tentang seorang
priyayi atau abangan yang selalu minta tolong pada kaum santri untuk
mendoakan atau untuk menyembelihkan ayam.
Argumen-argumen itu menunjukkan bahwa pribumisasi Islam di Jawa
telah berurat berakar dan melahirkan banyak teori. Teori-teori itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun secara prinsip, pribumisasi Islam maupun
ide-ide besar dunia ke dalam lokalitas Jawa yaituproses alamiah yang tak
bisa dihentikan. `Proses semacam ini juga terjadi di wilayah lain. saat Islam
menyebar dan keluar dari cangkang jazirah Arabia, Islam berakulturasi
dengan wilayah-wilayah “pendudukan”. Afrika, India, Asia Selatan, Eropa,
Amerika, Asia Tenggara, dan Australia yaituwialyah-wilayah yang
memiliki peradabannya sendiri saat Islam datang. Artinya, interaksi
intelektual antara Islam dan budaya-budaya setempat melahirkan khazanah
Islam yang lebih berwawasan.
Perjumpaan Islam dengan wilayah-wilayah lain mencatat dengan
gemilang bagaimana tafsir tentang Islam makin kaya. Khazanah sastra, seni,
sains, filsafat, hermeneutika, pengobatan, dan teater memperkaya pandangan
Islam. Dalam perjumpaan dengan peradaban Helenisme (Yunani-Romawi)
di Abad Pertengahan, Islam mereguk banyak manfaat. Terjadi lompatan
peradaban Islam ke seluruh penjuru dunia. Ajaran Islam yang bersumber pada
Alquran dan Hadits diperkaya oleh pandangan-pandangan hibrida. Keduanya
diterjemahkan dan ditafsirkan ke berbagai bahasa. Dari perjumpaan inilah,
Islam oleh Bernard Lewis disebut menjadi “pengantar” bagi lahirnya
peradaban Barat modern.
Kenyataan sejarah ini menjadi dasar bagi teori bahwa pribumisasi
Islam di Jawa, pada dasarnya, kelanjutan dari proses sejarah di atas. Proses
pribumisasi ini berlangsung secara halus dan terjadi dalam waktu yang
perlahan. Pribumisasi ini terjadi di level warga maupun di level pusatpusat kerajaan. Di level warga , pribumisasi berjalan lebih lambat.
Sementara di level kerajaan berjalan lebih cepat. Harus diingat bahwa
perubahan-perubahan sosial digerakkan oleh kaum elit. Karena itu, keraton di
mana raja dan strukturnya berkuasa dapat menentukan serangkaian aturan.
Islam di keratonlah yang sesungguhnya menafsirkan Islam dalam kerangka budaya Jawa. Tak heran jika tafsir-tafsir keraton tentang Islam sangat
dominan dan memengaruhi pandangan dunia warga nya.
Pandangan dunia Keraton tentang Islam ikut memengaruhi persepsi
dan kesadaran publik. Orang awam akan selalu menganggap bahwa itulah
tafsir yang benar tentang Islam. Meski di dalam keraton ada ulama yang
tugasnya menjadi penasehat raja, para ulama tidak secara langsung
menentukan garis-garis praksis kehidupan raja dan keluarganya. Raja dan
keraton melaksanakan secara selektif ajaran Islam. Meski mereka bergelar
sultan yang diperoleh melalui restu penguasa atau khalifah di Mekah dan
berkedudukan sebagai Sayidin Panatagama, mereka hanya melakukan zakat
dan puasa, tetapi tidak melakukan salat lima waktu serta tidak tertarik
menunaikan ibadah haji ke Mekah. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam
dalam tafsir keraton -sebagai pemegang hegemoni makna Islam- telah
diadaptasi dengan nilai-nilai Jawa. Tentu saja, praktik ini tidak berlaku pada
semua kerabat keraton.
Sejalan dengan nilai-nilai spesifik budaya Jawa sebagaimana
dicitrakan keraton, ada benarnya bila Islam di sini bersifat sinkretik meski
tidak dalam arti mutlak. Tapi sinkretisme ini tidak hanya terjadi pada agama
Islam, juga terjadi pada agama Hindu, Budha, dan Kristen. Warisan sejarah
selama berabad-abad tidak seluruhnya luruh. Ada “gagasan abadi” yang tetap
ada dalam aliran manusia Jawa meski mereka hidup serta berkembang
dengan berbagai anasir luar. Bahkan kalau diamati dengan cermat, agama
Hindu-Budha yang selama berabad-abad menjadi agama kerajaan Majapahit,
Sriwijaya, Kediri, dan lain-lain sebenarnya bersifat sinkretik. Atau setidaktidaknya hanya dipraktikkan oleh raja dan keluarganya sementara di hati
rakyat tetap bersemayam kepercayaan pada pengaruh para leluhur dan rohroh lainnya.
Seperti diketahui bahwa Islam sudah tersebar pada masa Majapahit,
terutama di pesisir pantai utara. Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Mahapatih Gadjah Mada (w. 1364 M) sebenarnya sudah bersentuhan dengan
Islam yang disebarkan melalui para pedagang di pelabuhan-pelabuhan.
Hanya saja, sebagai agama pendatang baru, Islam belum unjuk gigi. Islam
hidup berdampingan dengan agama Hindu, Budha, dan agama asli Jawa.
Dalam persentuhannya ini, tentu saja, Islam tidak langsung terang-terangan
mengajarkan pokok-pokok ajaran. Ada kompromi-kompromi antara Islam
dan budaya. Para pemeluk Islam baru yaitumereka yang tadinya beragama
Hindu, Budha, dan atau Animisme. Para muallaf itu, tentu saja, tidak
seluruhnya meninggalkan tradisi-tradisi lamanya. Adaptasi, akulturasi, dan
inkulturasi terus terjadi dan membentuk apa yang Islam di hari ini sebagian
besar dipraktikkan di Jawa.
Demikianlah, saat secara perlahan Islam makin kuat dan mendirikan
kerajaan Islam di Demak (1478-1549) yang lalu merebut Majapahit
pada 1478 M, Islam telah berpindah menjadi agama kerajaan. Raden Patah
yang lalu menjadi raja Demak yaituputra salah satu keturunan
Majapahit yang menikah dengan putri Champa. Bahkan menurut Slamet
Mulyana, kerajaan Majapahit yang terakhir sudah menganut agama Islam
sebelum akhirnya runtuh. Meskipun demikian, keruntuhan Majapahit
berlanjut pada Mataram Islam dengan praktik-praktik Islam sinkretis.
Jadi, pribumisasi Islam terjadi sejak Islam pertamakali diperkenalkan
kepada orang Jawa dan dianut sebagai agama kerajaan. Pribumisasi Islam
yaitutahapan pemahaman orang Jawa tentang Islam. Raja-raja Mataram
Islam sejak itu tidak lagi meminta legitimasi pada trah Hindu-Budha, tetapi
langsung kepada khalifah di Mekah. Simbol-simbol Islam mulai dibuat untuk
memperbesar keabsahan para raja di samping simbol-simbol Jawa. Dalam
cerita Babad Tanah Jawa, misalnya, para raja Mataram dikaitkan sebagai keturunan para Nabi. Ini bertujuan untuk memberi legitimasi, sehingga bisa
menambah kewibawaan.
Tahap demi tahap, tafsir Islam dari keraton mulai mengakumulasi
menjadi seperangkat ajaran dan praksis Islam. Pribumisasi Islam, karena itu,
terjadi sangat intens di level ini. Apalagi Islam yang dikembangkan di Jawa
yaitudimensi tasawuf atau batin, sehingga pemujaan pada simbol-simbol
lebih dominan. Dimensi tasawuf atau esoteris Islam lebih mementingkan
harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam. Sementara dimensi eksoterik atau
fikih mementingkan aspek-aspek hukum dan bersifat lebih ketat. Praktik
Islam esoteris inilah yang lebih dominan dalam kehidupan keraton.
Dengan demikian, membaca “pribumisasi Islam” hendaknya tidak dari
sudut pandang fikih, contoh apakah secara fikih ini boleh atau tidak boleh.
Tetapi memerhatikan pula aspek-aspek esoteris Islam dan simbol-simbol
batin budaya Jawa. Sudut pandang ini, menurut saya, lebih adil dan
menerobos cangkang kekakuan fikih. Dalam jangka panjang, sudut pandang
Islam esoteris dapat menjadi pilar bagi tumbuhnya toleransi, harmoni, dan
menciptakan titik-titik temu peradaban.
Pribumisasi Islam Melalui Budaya
Penyebaran Islam ke Jawa melalui tahap-tahap sosiologis, budaya, dan
juga teologis. saat Islam masuk dan menyebar ke sini, karena itu, ia tidak
berada di ruang kosong. Gugus-gugus nilai, norma-norma, dan tradisi-tradisi
Jawa telah berurat berakar dalam jiwa orang-orang Jawa dan Islam
menggenapi makna-makna secara lebih kaya. Dengan Keraton sebagai center
of excellence dan juga center of social change, penyebaran, pemaknaan, dan
pemahaman Islam ikut serta dalam proses yang saya sebut pribumisasi ini.
Keraton pada masanya, pernah menjadi satu-satunya agen perubahan
sosial. Tak heran jika, islamisasi massif terjadi dari Keraton. Titik taut nilainilai Jawa dengan Islam lebih terletak di aspek esoterisnya sehingga Islam
tasawuf-lah yang paling kental memengaruhi pandangan-pandangan dunia
orang Islam Jawa. Menarik untuk dicatat bahwa pendekatan tasawuf,
ternyata efektif bagi penerimaan bangsa Jawa untuk menerima Islam. Hal ini
terjadi, menurut beberapa pengamat, karena tasawuf lebih mudah berkompromi, luwes, dan lebih menekankan substansi ketimbang bentuk.
Nah, para ulama sebagai agen perubahan dan atau perantara budaya
memainkan peran tepat di dalam mengawinkan tradisi-tradisi lokal dengan
tradisi-tradisi Islam. Ini berbeda dengan dimensi fikih yang lebih formal dan
legalistik sehingga ada beberapa benturan, meski hal ini lebih banyak
“disembunyikan”.
Sesungguhnya ada konflik antara pendekatan fikih dan tradisi Jawa.
Namun bagi orang Jawa, keselarasan atau harmoni antara jagad gede
(makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos) sangat menonjol sehingga
diusaha kan untuk selalu dijaga dengan baik. usaha ini menemukan
bentuknya dalam ungkapan selamet. Orang Jawa memiliki konsep tentang
“rasa” yang sangat baik dalam menghadapi benturan-benturan. 25 Dan
nampaknya dalam konteks pribumisasi Islam cara ini sangat berhasil.
Kata selamet, menurut Geertz memiliki makna lengkap dan menjadi
pokok nilai Jawa yang terpenting. Kata selamet mewadahi konsep sejahtera,
aman, makmur, terlindung dari gangguan bahaya-bahaya alam maupun
adikodrati. Dalam pandangan orang Jawa, kata selamet mewakili
keseluruhan cita-cita manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam
semesta. Dari kata selamet inilah ritual-ritual Jawa muncul dalam wujud,
misalnya, tingkeban (ritual hamil tujuh bulan anak pertama), Babaran,
Pasaran, Pitonan, dan lain-lain. Juga upacara saat kematian, perkawinan,
panen, dan lain-lain yang pada intinya untuk mencari keselamatan atau
selamet.
Pandangan dunia orang Jawa dan Islam pada tahap sosiologis bertemu
dalam wujud-wujud budaya. Wali Songo mengadopsi wayang, seni, dan
gamelan, dalam penyebaran Islam. Pada waktu itu, cara ini menjadi metode sangat efektif untuk mengislamkan Jawa. Upacara-upacara yang
diselenggarakan Keraton juga terkait erat dengan Islam, contoh Garebeg.
Ada tiga upacara Garebeg yang dihubungkan dengan agama Islam di
Keraton, yakni: Garebeg Mulud jatuh pada 12 Rabiul Awwal, Garebeg Puasa
pada 1 Sawal, dan Garebeg Besar jatuh pada 10 Dzulhijjah untuk merayakan
Hari Haji. Dalam upacara Garebeg ini simbol-simbol Islam ditampilkan dan
menggambarkan suatu praksis Islam Jawa.
Selain itu, pribumisasi Islam di Jawa juga terjadi pada pemakaian
kalender yang yaitu gabungan unsur-unsur Hindu dan Islam seperti
Kalender Saka dengan sistem lunar (qamariyah). Nama-nama Arab untuk 12
bulan juga ditampilkan dengan rasa Jawa seperti 1) Suro untuk Asyura
(Muharram), 2) Sapar untuk Shafar, 3) Mulud (dikonversi dari bahasa Arab,
Mauli>d), 4) Bakdo Mulud (dikonversi dari ba’dal mauli>d) untuk Rabi>’u alTsa>ni, 5) Jumadil Awal untuk Juma>d al-È—la>, 6) Jumadalakhir untuk Juma>d alTsa>niyah, 7) Rejeb untuk Raja>b, 8) Ruwah (diambil dari kata arwa>h, “ruhruh” -karena kepercayaan bahwa ruh-ruh akan dibangkitkan menjelang
Ramadhan), untuk bulan Syakban, 9) Poso, untuk Ramadan, 10) Sawal,
untuk Syawwa>l, 11) Selo (kata Jawa yang berarti “di antara”, yakni di antara
dua hari besar Islam I>d al-Fitri dan I>d al-Adha>), untuk DzÈ—l Qa’dah, dan 12)
Besar (kata Jawa yang artinya “besar”, yakni bulan berlangsungnya perayaan
hari besar I>d al-Adha>), untuk bulan Zulhijjah. Pribumisasi kalender Islam ke
dalam kalender Jawa menunjukkan proses-proses budaya dan memberikan
makna betapa Islam berenang dalam gelombang air Jawa tanpa tenggelam
serta mengalami konflik.
Secara fisik, pribumisasi Islam muncul dalam bentuk bangunan seperti
Masjid dengan kubah susun tiga, ornamen batik, dan modifikasi-modifikasi
lain yang berbeda dengan Timur Tengah dan atau Islam. Masjid Demak yang
yaitu bangunan Masjid dari masa kerajaan Islam pertama di Jawa
dengan kubah susun tiga dan juga masjid-masjid kuno lain di Jawa dapat
disebut sebagai pribumisasi Islam fisikal. Hal ini penting untuk dicatat
karena suatu bangunan fisik tidak muncul tanpa konsep filosofis
pendukungnya. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ada tiga tahapan suatu
“benda” muncul. Pertama, mentifact yaitu suatu wujud ide, keyakinan, filsafat yang mendasari. Kedua, sociofact yaitu sistem sosial dan aktivitas
manusia yang dilakukan dalam kehidupan, dan artifact, yaitu wujud benda
atau bangunan yang yaitu hasil dari dua tahap sebelumnya.31 Dari sudut
teori antropologi ini, bangunan-bangunan Masjid dengan meminjam struktur
bukan Islam bukanlah dibuat tanpa sadar, tetapi didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan matang. Dan ini menegaskan terjadinya
pribumisasi Islam dalam wujud artefak. Bahkan bila dicermati lebih dalam,
kubah bersusun tiga sebenarnya adopsi dari tradisi Hindu. Kubah bersusun
tiga di Jawa hampir mirip dengan bangunan masjid di Kerala, India Selatan.
Dan bangunan susun tiga yaitutradisi Hindu sebagaimana dijumpai dalam
bangunan candi baik di India maupun di Nusantara.
Selain itu, makam-makam di Jawa yang memakai kaligrafi Arab;
bedug dan kentungan yang terdapat di masjid-mushala; dan bangunan
pondok pesantren yang berhiasi Jawa menggambarkan perpaduan antara
Islam-Jawa. Bahkan pondok pesantren dengan ruang-ruang belajar dan kamar
tidur santri yang dibimbing seorang kyai disebut sebagai pengambilalihan
dari padepokan-padepokan Hindu-Budha di masa lalu. Di zaman peradaban
Hindu-Budha, Nusantara dikenal sebagai pusat belajar agama. Sriwijaya
pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Budha yang dikunjungi
pengembara dari negeri China, Champa, dan sekitarnya. Pendeta China yang
sangat terkenal, I-Tsing pernah tinggal bertahun-tahun untuk belajar agama
di sana. Setelah era Islam yang dikembangkan dari kerajaan Malaka,
padepokan-padepokan itu ditiru oleh sistem pesantren.
Selanjutnya, pengajaran Alquran dan cabang ilmu Islam lainnya di
pesantren diajarkan dengan bahasa Jawa dan kode-kode tertentu yang
diilhami oleh konsep-konsep Jawa. Misalnya, pengajian kitab kuning -
sebutan untuk buku berbahasa Arab tanpa haraka>t- melalui sorogan.
Kaidah-kaidah bahasa Arab seperti mubtada’ dipakai kata “utawi” dan
khaba>r dipakai kata “iku”, dan lain-lainnya. Peminjaman kode-kode
pembelajaran bahasa Jawa untuk memahami Alquran dan ilmu turunannya menunjukkan daya cipta para kyai di dalam memudahkan pengajaran Islam
kepada orang Jawa.
Pribumisasi Islam melalui budaya, dengan demikian, tidak mengalami
hambatan berarti di sepanjang sejarahnya. Meskipun demikian, sebuah kredit
harus diberikan kepada para Wali Songo dan para ulama yang tidak
mempertentangkan secara tajam antara Islam dan budaya Jawa. Prestasi
mereka terletak pada bagaimana Islam diterjemahkan dengan idiom-idiom
Jawa. Dari fakta-fakta sejarah ini, dapat ditegaskan bahwa ternyata ada akarakar toleransi dan keterbukaan antara keduanya: Islam dan budaya Jawa.
Kita sulit membayangkan jika sejak awal Islam disebarkan di Nusantara
dengan pendekatan Wahabi, pasti akan terjadi benturan-benturan dan ini
akan mencitrakan sebuah kekakuan.
Itulah sebabnya, ada hikmah yang dapat dipetik dari pelajaran sejarah
perkembangan Islam yang disebarkan dengan pendekatan tasawuf. Inti dari
tasawuf yaituakhlak, dan akhlak itu lebih mementingkan substansi
daripada kulit. Karena di Jawa telah ada tradisi-tradisi agama sangat panjang
dengan karakter harmoni dan keselarasan, maka ajaran Islam tasawuf mudah
diterima. Bahkan diterima dengan tangan terbuka. Islam tasawuf ini juga
yang banyak menarik para islamolog untuk memberikan kredit karena
perannya dalam memoderasi Islam radikal.
Jadi, penerimaan Islam oleh sebagian besar orang Jawa hanyalah
menunggu waktu saja. Kearifan warga Jawa telah siap sejak lama untuk
dimasuki agama yang mementingkan keselarasan antara Tuhan, manusia, dan
alam. Ini hampir sama miripnya dengan penerimaan warga Madinah
atas Islam yang dibawa Muhammad saw. Hal ini terjadi karena warga
Madinah sudah biasa dengan tradisi agama (di Madinah ada warga
Yahudi dan Nasrani) dibandingkan Mekkah.
Membandingkan dua peristiwa di atas, dapat ditegaskan bahwa
keberhasilan pribumisasi Islam melalui budaya sangat tergantung pada
bagaimana elit-elit intelektual Islam menerjemahkannya ke dalam idiomidiom lokal. Ini memerlukan kecerdasan di dalam memilih suatu pendekatan.
Sekali pendekatan itu keliru dipilih maka akan menjadi boomerang dan
lalu akan mengalami banyak hambatan. Sejarah telah membuktikan
bahwa pendekatan-pendekatan yang kaku dan tidak memerhatikan lokalitas
apalagi bertentangan dengan akal sehat akan tergerus dan ditelan sejarah. Di Jawa perkembangan Islam pernah mengalami interupsi dengan
kasus hukuman mati pada Syekh Siti Jenar oleh pembela ortodoksi. Hal ini
juga dialami kaum abangan yang dikecam Muslim ortodoks akibat
mempraktikkan sinkretisme Islam. Puncak konflik antara santri dan abangan
terjadi pada tragedi G 30 S tahun 1965 di mana pembunuhan kaum abangan
oleh kaum santri yang berafiliasi pada organisasi-organisasi Islam dilakukan
di beberapa daerah di Jawa. Dalam konteks sejarah peradaban Islam, juga
terdapat contoh bagaimana sekte-sekte radikal seperti khawarij, misalnya,
tak dapat berkembang dalam sejarah dan mati muda. Ini pelajaran penting
yang telah menjadi bukti. Para ulama di masa lalu, nampaknya, telah
mempelajari hukum besi ini sehingga mereka tidak memaksakan ajaran Islam
dengan pendekatan legal-formal.
Pribumisasi Islam dan Integrasi Bangsa
saat Islam sudah mengalami pribumisasi, ia tidak lagi dikerangkeng
dalam hegemoni tafsir tunggal contoh tafsir Arabo-centris yang
berkarakter budaya Arab. Sebuah kitab suci, tentu saja, pemaknaannya
seringkali dipengaruhi oleh para penafsirnya dan para penafsir itu
dipengaruhi oleh lingkungan serta kecenderungan budayanya. Islam yang
terpribumisasi, dengan demikian, sangat relevan dengan konteks-konteks
budaya Jawa khususnya dan budaya Nusantara pada umumnya.
Sebagai agama mayoritas bangsa, Islam telah menjadi kenyataan hidup
dan telah memainkan peran penting dalam perjuangan bangsa. Ini terjadi
karena Islam telah ditafsirkan sesuai dengan konteks-konteks kebudayaan bangsa oleh para ulama dan kaum intelektual. Pribumisasi Islam yang
berjalan baik dalam sejarahnya di Nusantara menunjukkan bahwa ia tak lagi
asing dan dapat diterima sebagai bagian organik dari kebudayaan. Islam
yaitunilai dan kearifan bangsa. Ia menjadi identitas nasional, meskipun ia
tumbuh merayap melalui penafsiran lokal Jawa, Sunda, Melayu, dan Bugis.
Ada banyak contoh bagaimana kata-kata Arab-Islam terserap dalam bahasa
Nusantara. Juga adat-istiadat terkait, misalnya, perayaan Maulid Nabi
Muhammad di Jawa, Sumatra, Bugis, dan lain-lain. Contoh-contoh akulturasi
itu harus diterima sebagai pengayaan dan bukan sebagai bidah.
Lagi-lagi peran kaum intelektual sangat penting dalam transformasi
nilai Islam ke nilai lokal atau dari Islam universal ke Islam partikular sukusuku di Nusantara. Dalam konteks ini, Ali bin Abi Thalib pernah berujar,
“innama> yunthiquh al-rija>l” (sesungguhnya Alquran berbicara melalui
manusia). Artinya, para pembaca teks Alquran sangat berpengaruh di dalam
menerjemahkan makna Alquran. Makin luas dan berintegritas para pembaca
Alquran, maka maknanya akan luas dan penuh moral. Sebaliknya, makin
sempit dan bodoh pembaca Alquran, maknanya akan sempit dan kaku. Jadi,
para ulama dan kaum intelektual Muslim perlu terus-menerus mengusahakan
tafsir-tafsir Alquran yang kontekstual, lokal, dan mendorong pada integrasi
bangsa. Usaha-usaha semacam ini, menurut saya, layak disebut sebagai
pribumisasi Islam Nusantara yang, pada gilirannya, akan menopang integrasi
bangsa.
Harus diakui bahwa integrasi bangsa tidak semata-mata soal hubungan
Islam dan negara, tetapi soal yang lebih kompleks meliputi aspek politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Irwan Abdullah menyebut empat aspek yang
menyebabkan disintegrasi sosial, yakni: pertama, kondisi sosial yang bersifat
akut yang menggambarkan persoalan penting yang harus ditanggapi, seperti
kebodohan dan kemiskinan. Kedua, penyimpangan perilaku yang melawan
hukum seperti korupsi, ketidakadilan, kejahatan, dan obat-obatan terlarang.
Ketiga, persoalan yang menyangkut disorganisasi yang memperlihatkan
rendahnya ketaatan publik terhadap berbagai peraturan dan terhadap sesuatuyang bernilai komunal. Keempat, persoalan disfungsi sosial yang
menunjukkan tidak berfungsinya lembaga-lembaga sosial dan jaringanjaringan sosial secara meluas.
Meski analisis Irwan Abdullah terkait disintegrasi sosial, namun ini
bisa dipakai dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan. Faktor-faktor
kemiskinan, kebodohan, pelanggaran hukum, salah urus tata kelola
pemerintahan, dan lain-lain yaitujuga terkait dengan tugas profetik agama
Islam. Pribumisasi Islam mengandaikan bahwa ajaran-ajaran Islam itu sampai
ke penjabaran operasional sehingga memandu jalannya perilaku-perilaku
sosial. Islam harus hadir dalam nilai-nilainya sehingga menciptakan integrasi
sosial dan lalu memantapkan integrasi bangsa.
Selanjutnya, integrasi bangsa menuntut pula integrasi antar dan intra
umat beragama. Tafsir-tafsir agama sangat menentukan wujud nyata
integrasi baik dalam bentuk kerukunan, harmoni sosial, maupun hilangnya
pendakuan kebenaran berlebihan para pemeluk agama, utamanya Islam.
Tampilnya -meminjam istilah MB. Hooker- “manusia-manusia transisi”
semacam Agus Salim, Hatta, Natsir, Harun Nasution, Nurcholish Madjid,
Abdurrahman Wahid, dan lain-lain sangat menentukan arah baru Islam
dengan sistem teologinya yang lebih terbuka. Gerakan-gerakan terbuka dari
para kaum elit tersebut memungkinkan Islam mengalami pribumisasi
berkelanjutan sejak ia masuk ke Nusantara. Islam tampil membumi dan
bersenyawa dengan budaya-budaya tempatan berkat peran kaum elit
intelektual Islam tanpa pertikaian berarti. Bahkan kaum elit Islam -pada
masa gerakan kemerdekaan itu- berusaha melakukan usaha-usaha teologispolitis agar Islam tidak berhadap-hadapan dengan kepentingan negara.
Hasilnya yaitukesepakatan dan perjanjian luhur berupa Pancasila sebagai
dasar negara. Tentu saja, pencapaian ini sangat sulit dan memerlukan sikap
terbuka dengan wawasan-wawasan kebangsaan serta kenegaraan. Wawasan
keislaman tidaklah memadai tanpa ditopang oleh wawasan-wawasan
kemodernan dengan gagasan besar dunia.Nah, kaum elit yaitusekelompok manusia yang dengan kecerdasan
dan kearifannya menanggapi tantangan-tantangan masa depan melalui
penyusunan konsep-konsep utama. KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan
Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan NU, M. Hatta dan Syafrudin
Prawiranegara dengan pemikiran ekonomi Islam, Agus Salim dengan
pemikiran sosial budaya, Hazairin dengan pemikiran hukum, dan lainlainnya.
Di era yang lebih lalu , datang eksponen, seperti Mukti Ali,
Harun Nasution, HM. Rasyidi, Nurcholish Madjid, Syafii Maarif,
Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, dan lain-lain.
Mereka yaituelit-elit intelektual Islam yang dengan ketajaman analisisnya
menjawab tantangan-tantangan zaman dengan bahasa kaumnya dan dengan
istilah-istilah modern melalui berbagai karya. Karya-karya mereka pada
dasarnya yaitutafsir Islam dalam kerangka relevantisasi dengan kontekskonteks zamannya. Konteks-konteks zaman dalam arti ini yaituisu-isu
keadilan, pemberdayaan, demokrasi, hak asasi manusia, toleransi, integrasi
bangsa, dan lain-lain. Islam tidak lagi dikurung dalam kerangka pemihakan
pada kepentingan mazhab dan kelompoknya. Tafsir Islam telah keluar dari
cangkang mazhab dan sektarianisme menerobos sekat-sekat. Tema-tema
yang diusung pun lebih berkelas, misalnya, tentang nilai-nilai universal yang
dimiliki setiap suku dan atau bangsa. Para pemikir Islam itu telah menyadari
bahwa kita tak perlu takut dengan perpecahan hanya karena isu-isu
pembaharuan. Tapi, pada saat sama, kaum elit itu bekerja keras mendidik
umatnya dengan ajaran-ajaran Islam yang lebih cair dan terbuka melalui
strategi kebudayaan, yakni pendidikan.
Penting dicatat bahwa ada garis kebersinambungan antara pribumisasi
Islam model Wali Songo di zaman-zaman lampau dengan pribumisasi Islam
di masa kini. Tujuan pribumisasi Islam yang disebut pertama yaitu
membangun integrasi Islam dan budaya lokal dalam kerangka kesatuan umat. Sementara di masa kini, pribumisasi Islam bertujuan menciptakan Islam
sebagai perekat kesatuan bangsa. Di masa kini, pribumisasi Islam lebih
diperlukan untuk merawat hubungan Islam dan negara secara protagonis
dengan tafsir-tafsir yang inklusif. Pasang-surut hubungan Islam dan negara di
masa Orla dan Orba yang pernah mengancam disintegrasi bangsa harus
menjadi pelajaran.
Harus diakui bahwa jasa kaum elit intelektual Islam sangat penting
dalam mencairkan hubungan Islam-negara sepanjang masa-masa
pembentukannya. Salah satu yang menonjol yaitumasalah dasar negara, ide
tentang konstitusi, dan hubungan antara agama dan negara. Pancasila sebagai
dasar negara dan tafsir atas sila-silanya pernah menjadi perdebatan sengit
pada tahun 1950-an sampai akhirnya kembali kepada Dekrit Presiden. Fakta
sejarah ini menunjukkan bahwa mempertahankan integrasi bangsa dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik negara kita bukanlah pekerjaan ringan.
Dibutuhkan keterlibatan kaum elit Islam, elit penguasa, dan elit-elit politik
dari beragam latar belakang untuk merumuskan konsensus-konsensus baru
yang bersifat integratif.
Itulah sebabnya respons-respons yang tepat dari pemerintah sangat
dibutuhkan. Menurut Christine Drake ada tiga kebijakan pemerintah Orde
Baru dalam merespon tantangan-tantangan integrasi. Pertama yaitu
tanggapan melalui kebijakan pemerintah yang berdimensi budaya melalui
pengembangan bahasa negara kita sebagai bahasa persatuan. Ia dijadikan
sebagai bahasa pengantar wajib dalam pendidikan dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Selain pengembangan bahasa, juga dikembangkan sistem
pendidikan yang mewajibkan pengajaran Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan ke dalam pendidikan nasional. Ini dimaksudkan untuk
menanamkan nilai-nilai Pancasila dan kebudayaan nasional kepada anak-anak
didik.Terkait kebijakan terhadap umat Islam sebagai pemeluk mayoritas,
pemerintah tidak memperlakukan secara tertutup tetapi secara tepat dan
proporsional melakukan komunikasi politik melalui elit-elit Islam.
Kebijakan kedua yaitudari dimensi hubungan.
Sejak tahun 1967 -
saat Soeharto menduduki Pejabat Presiden Sementara- memulaipembangunan infrastruktur besar-besaran dan bertahap untuk
menghubungkan wilayah Nusantara yang luas. Jalan-jalan, televisi, listrik,
dan jembatan-jembatan yang strategis dibangun dalam usaha memperbaiki
interaksi antara daerah satu dengan daerah lainnya dan dengan pemerintah.
Ketiga, kebijakan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi
dilakukan dengan Repelita (rencana pembangunan lima tahun) dan
dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara daerah dan pusat. Secara
relatif, selama Orba pembangunan ekonomi berhasil meningkatkan
pendapatan negara, tetapi dari sisi pembagian masih menyisakan
kesenjangan. Namun begitu, tanggapan pemerintah cukup efektif meredam
disintegrasi bangsa untuk kurun waktu yang lama.
Analisis Christine Drake sebenarnya kurang sempurna. Dia tidak
banyak mengulas hubungan agama dan negara dari perspektif kaum elit
Islam. Menurut saya, perspektif yang disebut terakhir cukup membantu
dalam mencairkan ketegangan hubungan Islam dan negara yang dalam
sejarahnya mengalami pasang-surut. Doktrin-doktrin Islam tidak lagi dilihat
dari perspektif dogmatik, tetapi dilihat dari perspektif kemodernan dan
global. Perspektif yang telah keluar dari cangkang teologi ini mendorong
perubahan wawasan umat Islam ke arah yang lebih terbuka. Munculnya
lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dan mobilitas kaum santri makin
mempercepat perubahan itu. Hasilnya yaitutumbuhnya kelas-kelas
warga egaliter, demokratis, inklusif, dan sikap intelektual. Tentu saja,
keadaan-keadaan ini memudahkan terjadinya transformasi-transformasi
sosio-kultural secara lebih mudah di dalam tubuh umat Islam. Dan umat
Islam negara kita memasuki dunia baru, sebuah dunia yang tidak lagi hidup
dalam cangkangnya, tetapi telah berdialog dengan peradaban lain yang lebih
kaya.
Namun terburu-buru harus disebutkan bahwa perubahan ini berawal
dari lokal, yakni penerimaan Islam oleh pribumi. Lalu beranjak ke komunitas
yang lebih luas, yakni Nusantara yang lalu setelah negara kita merdeka
menjadi Negara-bangsa negara kita. Dari argumen itu dapat ditegaskan bahwa
tak ada integrasi bangsa tanpa integrasi suku-suku bangsa. Tak ada harmoni
Islam dan negara tanpa harmoni pemahaman ajaran agama. Juga tak ada
moderasi sosial tanpa moderasi ajaran Islam. Dengan hubungan akrab antara
Jawa, Islam, dan negara negara kita maka terjadi keakraban antara hubunganketiganya-meskipun untuk itu diperlukan usaha terus-menerus semua potensi
bangsa untuk merawatnya dengan penuh dedikasi serta komitmen keislaman
dan kenegara kitaan.
Islam dan budaya Jawa yaitu tema utama yang menjadi wacana dalam
kehidupan Nusantara. Selama berabad-abad lalu saat Islam datang ke
Nusantara, keduanya berdialog dengan kepercayaan lain seperti Hindu,
Budhha dan agama lokal lainnya. Kebudayaan Jawa, di sisi lain, yaitu
warisan warga Jawa selama ribuan tahun dan terus memperkaya
khazanah budaya dunia. Hubungan antara Islam dan Jawa, oleh karenanya,
menarik perhatian para peneliti dan telah menghasilkan banyak karya ilmiah.
Sepanjang sejarah, hubungan antara Islam dan budaya Jawa tidak selalu
berjalan mulus. Ketegangan dan konsensus terjadi di antara keduanya, baik
secara jelas terlihat ataupun tidak. Ketegangan tersebut merujuk kepada
pribumisasi Islam di Jawa. Pribumisasi Islam di Jawa yaitu proses
transformasi saling pinjam antara unsur-unsur luar ke dalam lokalitas Jawa
atau sebaliknya. Pribumisasi Islam, oleh karenanya, yaitu artikulasi
interaksi sosial budaya Islam dan Jawa. Dalam konteks negara-bangsa,
pribumisasi Islam harus naik ke level yang lebih tinggi, untuk mencapai
integrasi nasional. Artikel ini membahas pribumisasi Islam dalam konteks
budaya Jawa, yang bertujuan untuk membangun integrasi nasional. Diskusi
ini berangkat dari gagasan bahwa tidak ada integrasi tanpa integrasi sukusuku, dan tidak ada integrasi bangsa tanpa integrasi pemeluk agama