masyarakat dapat melaksanakan
program pelestarian dan pemberdayaan.
Kepak Elang Flores ... 339
D. Melindungi Elang Flores
Upaya perlindungan elang flores telah dilakukan melalui beberapa
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara umum, semua
jenis elang masuk ke dalam jenis yang dilindungi berdasarkan PP
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
liar yang lampirannya telah diperbarui berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MenLHK/SETJEN/
KUM.1/12/2018. Selain itu, elang flores termasuk ke dalam daftar
25 jenis prioritas untuk dilakukan upaya konservasi berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.57/Menhut-II/2008 tentang
Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional tahun 2008–2018.
Foto: Oki Hidayat (2021)
Gambar 24.4 Pertemuan Kelompok Jatabara bersama Pihak
Balai Taman Nasional Kelimutu, Camat, dan Lurah dalam
Rangka Penyusunan Rencana Kerja
Secara hukum upaya perlindungan sudah sangat cukup. Meski-
pun demikian, masih dibutuhkan panduan yang lebih teknis terkait
langkah-langkah konservasi yang implementatif pada tingkat tapak.
Oleh karena itu, disusunlah dokumen Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi (SRAK) Elang Flores 2019–2029. Proses penyusunan
.340
dokumen ini diinisiasi oleh berbagai Lembaga, baik pemerintah
maupun lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap isi
konservasi. Penyusunan SRAK Elang Flores termasuk yang tercepat
dibandingkan penyusunan SRAK spesies prioritas lainnya (BKSDA
Nusa Tenggara Barat, 2019). Penyerahan draf finalisasi SRAK Elang
Flores telah dilakukan pada 21 Maret 2019 kepada Direktur Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).
Dokumen SRAK Elang Flores akan menjadi acuan bersama
bagi para stakeholder dalam program konservasi elang flores yang
terintegrasi sehingga berimplikasi nyata di lapangan. Hingga Juli 2020
dokumen ini masih dalam tahap penelaahan oleh Tim Dirjen KSDAE.
Dokumen tersebut diharapkan segera disahkan karena program kon-
servasi harus diimplementasikan secepatnya. Salah satunya adalah
untuk membuka peluang mekanisme pendanaan terkait program
pelestarian.
E. Program Pelestarian
Beberapa program pelestarian yang perlu dilakukan dalam upaya
menyelamatkan elang flores adalah sebagai berikut.
1) Program adopsi sarang
Salah satu contoh program pelestarian yang akan dijalankan serta
implementasi SRAK Elang Flores adalah program adopsi sarang
(Litbang KLHK, 2020). Program ini merupakan konsep pelesta-
rian melalui monitoring dan penjagaan intensif terhadap sarang
aktif elang flores yang dilakukan oleh Jatabara. Semangat pelestarian
yang dilakukan oleh Jatabara perlu mendapatkan apresiasi di awal.
Meskipun mereka baru memulai, perlu ada dukungan dari berbagai
pihak secara luas agar program pelestarian dapat berjalan dengan
baik. Pelibatan masyarakat dalam pelestarian menjadi salah satu kunci
keberhasilan program penyelamatan elang flores. Adopsi dilakukan
dengan mekanisme pendanaan CSR dari salah satu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), di mana masyarakat akan diberikan apresiasi atas
kepedulian dan aksi pelestarian yang telah dan akan dilakukan dalam
Kepak Elang Flores ... 341
bentuk pemberdayaan berupa hewan ternak. Langkah taktis seperti
ini sangatlah nyata berdampak di lapangan. Sarang elang flores terjaga
dari gangguan manusia sehingga peluang keberhasilannya menjadi
meningkat. Di sisi, masyarakat akan mendapatkan manfaat secara
langsung atas usaha yang dilakukan untuk melestarikan elang flores.
2) Penyadartahuan
Salah satu hal yang perlu ditingkatkan adalah usaha menyadartahuan
kepada masyarakat tentang elang flores sebagai salah satu aset biodi-
versitas utama yang harus dijaga. Hingga saat ini umumnya masyarakat
lokal belum mengenal elang flores. Kampanye konservasi harus gencar
dilakukan baik melalui media konvensional maupun media internet.
Salah satu langkah yang telah dilakukan untuk memasyarakatkan
elang flores, yaitu berupa penggunaan simbol elang flores sebagai
logo kesebelasan sepak bola Kecamatan Wolojita. Sementara itu, pada
tingkat nasional upaya kampanye pelestarian telah dilakukan melalui
penerbitan prangko elang flores (Lee, 2012) (Gambar 24.5).
3) Monitoring elang flores
Kegiatan ini secara intensif perlu dilakukan sebagai upaya pengumpul-
an data yang komprehensif. Namun demikian, usaha tersebut mem-
butuhkan sumber daya yang tidak sedikit baik dana maupun tenaga.
Oleh karena itu, salah satu strategi yang dapat dilakukan yaitu gerakan
citizen scientist. Menurut Winasis dkk. (2018), citizen scientist dapat
mengumpulkan data pengamatan burung secara efektif. Masyarakat
yang memiliki kepedulian dapat secara aktif melakukan pemantauan
elang flores dan melaporkannya kepada pihak terkait. Perlu dibuat
sarana pusat informasi elang flores sehingga memudahkan masyarakat
umum untuk menyampaikan hasil temuannya terkait keberadaan
elang flores di lapangan. Salah satu yang kini sudah berjalan adalah
pemantauan elang flores yang dilakukan oleh komunitas fotografer
wildlife Bima-Dompu, Sindikat. Kelompok ini secara sukarela dan
swadaya melakukan pemantauan elang flores dan mengumpulkan
data perjumpaan menggunakan dokumentasi foto yang baik. Hingga
kini belum ada gerakan serupa yang ada di Flores. Oleh karena itu,
.342
aksi yang serupa perlu diinisiasi oleh pihak-pihak yang berpotensi
untuk dapat melakukannya seperti komunitas fotografi atau kelompok
pecinta alam.
(a) (b)
Keterangan: a. Logo tim kesebelasan sepak bola Jatabara Wolojita FC (Oki
Hidayat, 2021), b. Prangko elang flores (Lee, 2012)
Gambar 24.5 Elang Flores sebagai Logo Kesebelasan Sepak dan
menjadi gambar pada Perangko
4) Fasilitas rehabilitasi
Jika dilihat dari keterdesakannya, langkah jangka pendek yang
perlu segera dilakukan adalah pembangunan sarana dan fasilitas
rehabilitasi elang flores di Pulau Flores. Mengapa di Flores? Alasan
utama yang mendasarinya yaitu tingginya tingkat perburuan dan
adanya kecenderungan peningkatan jumlah elang flores hasil sitaan
yang perlu ditangani secara serius dalam waktu yang cepat. Dalam
kurun waktu dua tahun (2018–2019) di Flores tercatat ada enam
ekor elang flores hasil sitaan maupun penyerahan secara sukarela
dari masyarakat. Sebanyak tiga ekor mati karena sakit dan kurang
mendapatkan perawatan yang memadai, sedangkan tiga lainnya masih
bertahan di kandang penampungan sementara yang masih jauh dari
layak dan sesuai standar. Dengan adanya fasilitas rehabilitasi maka
elang flores ataupun burung lainnya dari hasil sitaan atau penyerahan
Kepak Elang Flores ... 343
sukarela dapat tertangani dengan baik sehingga meningkatkan peluang
hidupnya. Dengan demikian, peluang satwa untuk direhabilitasi dan
dilepasliarkan ke habitat alaminya menjadi makin tinggi. Fasilitas ini
juga dapat menjadi sarana edukasi dan penelitian. Burung-burung
yang tidak memungkinkan untuk dilepasliarkan karena kondisi ter-
tentu (contoh: cacat) dapat dijadikan display spesimen hidup maupun
objek penelitian.
F. Penutup
Fakta bahwa populasi elang flores yang tersisa sangat kecil, sedangkan
ancaman dan tingkat gangguannya sangat tinggi maka elang flores
harus mendapatkan perhatian dan langkah konservasi yang konkret.
Integrasi program dan kebijakan diperlukan dalam usaha pelestarian
dan penyelamatan jenis paling terancam di Nusa Tenggara ini. Semua
elemen harus berperan aktif dan berkomitmen menjalankan langkah
pelestarian yang telah dan akan dilaksanakan. Masyarakat lokal yang
terlibat aktif dalam pelestarian elang flores merupakan ujung tombak
program tersebut. Mereka harus terus didukung dan diapresiasi oleh
pemerintah maupun pihak terkait lainnya baik dalam pemberdayaan
dan pendampingan.
Kura-kura leher ular rote merupakan satwa endemik Pulau Rote Nusa
Tenggara Timur, pulau paling selatan Indonesia. Bentuk leher dan
kepalanya yang menyerupai ular merupakan keunikan dari satwa ini.
Keunikan dan kelangkaannya merupakan daya tarik yang bisa dijadi-
kan sebagai objek ekowisata. Sayangnya, populasinya yang tinggal
sedikit dan sebaran habitatnya yang terbatas menjadikan spesies ini
terancam kepunahan kalau tidak ada upaya untuk mengonservasinya.
A. Kura-Kura Leher Ular Rote
Masyarakat Nusa Tenggara Timur atau bahkan yang ada di Pulau
Rote mungkin tidak semuanya mengetahui wujud kura-kura leher
ular rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994), apalagi anak-anak yang
lahir setelah tahun 2000-an. Padahal kura-kura jenis ini endemik
Pulau Rote, dan habitatnya hanya ada di lahan-lahan basah di Pulau
Rote Nusa Tenggara Timur, tidak ditemukan di belahan bumi lainnya.
Kura-kura leher ular rote dideskripsikan tahun 1994 oleh Anders G.J.
Rhodin sebagai spesies endemik Pulau Rote Indonesia (Shepherd &
Ibarrondo, 2005). Pulau Rote terletak kira-kira 20 km ke arah barat
daya, tepatnya di ujung Pulau Timor.
Pada tahun 1970-an satwa ini banyak sekali ditemukan di Pulau
Rote, namun tahun 1997 sampai 2001 kuota ekspor ditetapkan untuk
spesies ini, dan dalam kurun waktu tersebut 259 ekor kura-kura leher
ular rote secara legal diekspor dari Indonesia. Akibat dari banyaknya
kegiatan eksploitasi ilegal yang mencapai ribuan ekor maka sejak
tahun 2002 kuota tangkap untuk kura-kura leher ular rote dikurangi
hingga mencapai 0 (nol) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan untuk menghindarkan spesies endemik ini dari kepunahan.
Salah satu penangkar di Jakarta, yaitu PT Alam Nusantara Jayatama
berhasil menangkarkan kura-kura leher ular ini. Pada tanggal 16 Juli
2009 dilakukan pelepasliaran kura-kura leher ular rote oleh Menteri
Kehutanan sebanyak 40 ekor di Pulau Rote dan 4 ekor (2 pasang)
ditangkarkan di Stasiun Penelitian Oelsonbai Kupang (Kayat dkk.,
2010).
B. Status Perlindungan
Berdasarkan kriteria generik pada Peraturan Menteri Kehutanan No-
mor P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies
Nasional 2008–2018, kriteria yang diterapkan secara umum kepada
semua kelompok taksa flora dan fauna meliputi 5 kriteria, yaitu 1)
endemisitas, 2) status populasi, 3) kondisi habitat, 4) keterancaman,
dan 5) status pengelolaan spesies. Hasil penilaian terhadap 5 kriteria
tersebut menunjukkan bahwa kura-kura leher ular rote memiliki
bobot spesies prioritas paling tinggi pada kelompok herpetofauna/
reptil, yaitu 100 (Permen Kehutanan No. P.57, 2008). Hal ini berarti
kura-kura leher ular rote termasuk spesies dengan daerah penyebaran
sangat terbatas; status populasi di alam memiliki jumlah individu yang
kecil; habitat yang sesuai hampir habis (habitat khusus); termasuk
Kura-kura Leher ... 349
spesies yang banyak ditangkap/diburu secara besar-besaran untuk
diperdagangkan; dan termasuk spesies yang belum memperoleh
perhatian cukup dari sisi pengelolaan.
Pemerintah Indonesia cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan juga telah melindungi spesies ini sejak tahun 2018 dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Sementara itu, International Union for Conservation of Nature (IUCN)
telah memasukkan kura-kura leher ular rote dalam Red List dengan
kategori Critically Endangered–CR (IUCN, 2000). Satwa ini juga sudah
terdaftar sebagai Apendiks II Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), artinya peman-
faatan hanya dapat dilakukan melalui mekanisme penetapan kuota.
C. Penyebab Kelangkaan
Berdasarkan red list IUCN kura-kura leher ular rote termasuk spesies
yang kritis mengalami kepunahan. Beberapa faktor yang menyebab-
kan kura-kura jenis ini langka atau terancam punah, di antaranya
eksploitasi/perburuan yang berlebihan, pencemaran, penggembalaan
ternak lepas, dan konversi lahan.
Kura-kura leher ular rote termasuk satwa liar yang bernilai
ekonomi tinggi sehingga terus-menerus ditangkap dan menyebabkan
populasinya menurun drastis. Padahal pada tahun 1980-an satwa ini
banyak sekali ditemukan di Pulau Rote, terutama di habitatnya yang
berupa lahan-lahan basah, seperti danau, sawah, sungai, dan lahan ba-
sah lainnya. Sebagai ilustrasi, hasil wawancara yang dilakukan dengan
seorang pengumpul kura-kura leher ular rote di Ba’a pada tahun 2010
lalu, diperoleh informasi bahwa usahanya dimulai dari tahun 1988
dengan menjual kura-kura yang dewasa dengan harga Rp1.500. Dalam
seminggu bisa dilakukan dua kali pengiriman ke Kupang, dengan
jumlah 100 ekor per minggu. Pada tahun 1988–1990-an merupakan
masa puncak perdagangan kura-kura leher ular rote karena pada masa
itu hewan ini masih sangat mudah dijumpai sehingga banyak orang
yang menangkap dan menjualnya. Pada tahun 2004 para pengumpul
.350
melakukan transaksi terakhir dengan menjual 7 ekor induk kura-kura
tersebut dengan harga Rp1.500.000/ekor. Eksploitasi yang berlebihan
semacam inilah yang telah menyebabkan kura-kura leher ular rote
hampir punah (Kayat dkk., 2010).
(a) (b)
Keterangan: a. Pertanian padi sawah b. Pertanian sayuran
Foto: Kayat (2015)
Gambar 25.1 Beberapa Jenis Konversi Habitat Alami Kura-kura Leher Ular
Rote Menjadi Lahan Pertanian
Faktor lain yang menjadi penyebab terancamnya kura-kura leher
ular rote adalah konversi lahan (Gambar 25.1). Perubahan fungsi ka-
wasan danau menjadi sawah atau kebun pertanian ini secara langsung
akan mempersempit daerah berair yang menjadi habitat kura-kura
leher ular rote. Beberapa danau yang mengalami perubahan fungsi
kawasan menjadi sawah atau kebun pertanian adalah Danau Holoama,
Seda, Naluk, Feo, dan Lenggu.
Faktor selanjutnya yang menjadi penyebab keterancaman pu-
nahnya kura-kura leher ular rote adalah pencemaran. Pencemaran air
danau berasal dari aktivitas masyarakat yang menggunakan herbisida
untuk memberantas gulma dan insektisida untuk memberantas hama
pertanian. Masyarakat tidak menyadari bahwa tidak hanya hama yang
akan mati, namun pakan alami kura-kura leher ular rote, seperti
cacing, anak katak, ikan-ikan kecil, dan serangga air juga akan mati
sehingga berkurang jumlahnya. Pencemaran air danau oleh pestisida
dan insektisida terjadi pada danau-danau yang berbatasan langsung
Kura-kura Leher ... 351
dengan sawah atau lahan pertanian lainnya. Beberapa danau yang
berbatasan dengan sawah, kebun atau lahan pertanian lainnya adalah
Danau Peto, Holoama, Seda, Naluk, Feo, dan Lenggu. Banyaknya
botol bekas pestisida dan insektisida yang terapung dan berserakan di
sekitar danau membuktikan bahwa penggunaan bahan kimia tersebut
sering dilakukan oleh masyarakat (Gambar 25.2).
Foto: Kayat (2015)
Gambar 25.2 Pencemaran Danau dari Lahan Pertanian
Di sisi lain, kegiatan penggembalaan ternak yang dilepas marak
terjadi ketika memasuki musim kemarau. Ternak yang dilepas, antara
lain kerbau, sapi, kuda, kambing, domba, dan babi (Gambar 25.3).
Hewan ternak tersebut bisa saja menginjak anakan kura-kura. Selain
itu, ternak tersebut akan memakan tumbuhan air yang ada di danau.
Habisnya tumbuhan air akan memotong mata rantai kehidupan yang
ada di danau tersebut yang secara langsung akan berpengaruh terha-
dap berkurangnya pakan dari kura-kura leher ular rote. Sementara
itu, ternak babi bisa memakan telur atau anakan kura-kura. Beberapa
danau yang dimasuki hewan ternak, yaitu Danau Oendui, Ina, Tua,
Seda, Naluk, Feo, dan Lenggu.
.352
(a) (b)
Keterangan: a. Kerbau b. Babi
Foto: Kayat (2010)
Gambar 25.3 Beberapa Jenis Ternak Lepas yang Mengganggu Keberadaan
Kura-kura Leher Ular Rote
D. Habitat Tersisa dan Upaya Konservasinya
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang pada
tahun 2010, 2012, dan 2015 menunjukkan bahwa dari 33 danau atau
lahan basah yang diobservasi hanya tinggal 3 danau yang masih
layak sebagai habitat kura-kura leher ular rote, yaitu Danau Ledulu,
Lendeoen, dan Peto (Kayat dkk., 2010, 2012, 2015). Berdasarkan hasil
observasi tersebut, ada beberapa indikator bahwa danau tersebut
masih layak untuk habitat kura-kura leher ular rote, di antaranya 1)
masih ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan mulai tingkat semai
sampai pohon; 2) banyak jenis tumbuhan air di dalam maupun di
permukaan danau; 3) masih ada hewan air sebagai pakan alami
kura-kura leher ular rote, seperti ikan, anak katak, dan hewan air
lainnya; 4) akses dari rumah atau perkampungan masyarakat cukup
jauh sehingga interaksi masyarakat dengan danau sangat minimimal;
dan 5) ada aturan/hukum adat (bahasa rote: papadak) yang mengatur
berbagai aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan danau, seperti
hukuman/denda apabila melakukan aktivitas memanen ikan di luar
waktu yang diperbolehkan, mengambil kayu, dan aktivitas lainnya
yang mengganggu kelestarian lingkungan danau.
Kura-kura Leher ... 353
Untuk menghindari kepunahan kura-kura leher ular rote pada
masa mendatang, ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan. Pertama
adalah konservasi ex situ (di luar habitat alaminya). Sejak tahun 2009
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehu-
tanan Kupang sudah mulai melakukan konservasi ex situ spesies ini
sebanyak 4 ekor (2 pasang). Saat itu kura-kura leher ular rote yang
ditangkarkan masih berumur 3 tahun sehingga baru mulai bertelur
pada tahun 2012. Umur dewasa kelamin kura-kura leher ular rote
untuk bisa bereproduksi adalah sekitar 6 tahun. Pada tahun 2014
telur-telurnya tersebut baru bisa berhasil ditetaskan. Produksi dan
daya tetas telur, serta sintasan (survival rate) anakan kura-kura leher
ular rote masih berfluktuasi sehingga penelitian masih terus dilakukan
untuk meningkatkannya. Sampai dengan saat ini, jumlah kura-kura
leher ular rote yang ada sebanyak 25 ekor yang terdiri dari 2 ekor
indukan berumur 13 tahun, 7 ekor anakan berumur 3 tahun 10 bulan,
3 ekor berumur 1 tahun 11 bulan, dan 10 ekor berumur 7 bulan pada
lokasi konservasi ex situ, serta 3 ekor berumur 4 tahun 8 bulan di
masyarakat. Diharapkan apabila konservasi ex situ sudah berhasil
memperbanyak kura-kura leher ular rote, sebagian bisa dikembalikan
ke habitat alaminya (restocking) atau dikembangkan penangkarannya
di masyarakat dengan mengadopsi teknik penangkaran kura-kura
leher ular rote yang sudah diteliti. Dengan demikian, masyarakat bisa
berpartisipasi melestarikannya dan menambah mata pencaharian dan
pendapatan karena berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar,
generasi F2 dari satwa yang ditangkarkan bisa dimanfatkan.
Sebelum proses restocking, ada satu tahapan yang dilakukan, yaitu
proses rehabilitasi (Gambar 25.4). Tahapan rehabilitasi yang pertama
dan utama dilakukan adalah dengan memberi pakan alami, seperti
jentik nyamuk, ikan-ikan kecil, dan cacing kepada anakan kura-
kura leher ular rote yang baru menetas sehingga sifat liarnya dilatih
sedini mungkin. Anakan kura-kura akan mengejar dan menangkap
pakan hidup tersebut. Jika sudah agak besar sekitar berumur 4–5
bulan pakan alami ditambah anak katak, ikan, dan cacing yang lebih
.354
Keterangan:
a. umur satu minggu setelah tetas (pakan jentik nyamuk dan anak ikan kecil)
b. umur 3–12 bulan (pakan ikan kecil, berudu, dan cacing kecil)
c. umur > 12 bulan (pakan ikan cere, beunteur, cacing, anak katak)
Foto: Kayat (2018)
Gambar 25.4 Proses Rehabilitasi Kura-kura Leher Ular Rote
(a) (b)
(c)
besar lagi. Dengan demikian, satwa ini diharapkan bisa survive jika
direintroduksikan di habitat alaminya. Selain usaha konservasi ex
situ tersebut, perlu juga usaha konservasi kura-kura leher ular rote
secara in situ. Pihak terkait baik pemerintah (pemerintah pusat dan
pemerintah daerah), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun
masyarakat harus bekerja sama melindungi tiga danau sebagai habi-
tat alami kura-kura leher ular rote, yaitu Danau Ledulu, Lendeoen,
dan Peto (Gambar 25.5). Penetapan ketiga danau tersebut menjadi
kawasan yang dilindungi dan memberlakukan hukum adat yang ketat
merupakan alternatif solusi konservasi kura-kura endemik tersebut.
Kura-kura Leher ... 355
Untuk mendukung program konservasi in situ kura-kura leher
ular rote, saat ini sudah ada penetapan ketiga danau sebagai habitat
kura-kura leher ular rote berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Nusa Tenggara Timur Nomor 204/KEP/HK/2019 tentang Kawasan
Ekosistem Esensial Lahan Basah Sebagai Habitat kura-kura leher ular
rote (C. mccordi) di Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Selain itu, sudah terbentuk forum kolaborasi dari berbagai
stakeholder berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara
Timur Nomor 311/KEP/HK/2019 tentang Forum Kolaborasi Pengelola
Kawasan Ekosistem Esensial Lahan Basah Sebagai Habitat kura-kura
leher ular rote (C. mccordi) di Kabupaten Rote Ndao Provinsi Nusa
Keterangan: a. Danau Ledulu b. Danau Peto c. Danau Lendeoen
Foto: Kayat (2015)
Gambar 25.5 Beberapa Danau yang Masih Baik Sebagai Habitat Alami Kura-
Kura Leher Ular Rote
(a)
(b) (c)
.356
Tenggara Timur. Forum kolaborasi ini terdiri dari berbagai stakeholder
yang peduli terhadap kelestarian kura-kura leher ular rote, yaitu
Pemerintah Daerah Provinsi NTT, Pemerintah Daerah Kabupaten
Rote Ndao (dari tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa), Pemerintah
Pusat (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara
Timur dan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Kupang), Universitas Nusa Cendana (Undana),
Wildlife Conservation Society (WCS), tokoh masyarakat/adat, dan
masyarakat pemilik danau.
E. Penutup
Kura-kura leher ular rote memerlukan campur tangan manusia untuk
mencegahnya dari kepunahan. Jumlah individu kura-kura leher
ular rote yang menurun akibat dari perburuan dan konversi habitat
alaminya menjadi lahan pertanian, perlu dipulihkan kembali. Habitat
alaminya yang tersisa perlu dijaga agar suatu saat kura-kura leher ular
rote bisa kembali lagi melalui proses reintroduksi.
Kura-kura moncong babi. Kura-kura apakah ini? Banyak orang belum
mengetahui seperti apa itu kura-kura moncong babi. Namanya ter-
dengar aneh sekaligus unik dan lucu. Penamaan kura-kura moncong
babi diambil dari ciri khasnya, yaitu penampakan hidungnya yang
memanjang ke depan seperti layaknya hidung babi. Penamaan ini
secara harfiah tidaklah tepat karena yang menjadi ciri khasnya
adalah hidung dan bukanlah moncong. Moncong sendiri dalam Ba-
hasa Indonesia diartikan sebagai mulut. Dalam bahasa internasional,
kura-kura moncong babi disebut dengan nama pig-nosed turtle, atau
kura-kura berhidung babi.
A. Kura-kura Moncong Babi, Satwa Purba yang Tersisa
Kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan salah
satu satwa purba yang masih hidup di dunia (Gambar 26.1). Satwa
ini berasal dari keluarga Carettochelyidae dan menjadi satu-satunya
yang masih tersisa di dunia. Penyebaran populasi kura-kura moncong
babi ditemukan terbatas hanya pada tiga negara yaitu Australia di
bagian utara, Papua Nugini di bagian selatan, dan Indonesia dibagian
selatan Pulau Papua (Van Dijk dkk., 2014). Sebarannya di Pulau Papua
terbentang secara administratif dari Kabupaten Kaimana sampai ke
Kabupaten Boven Digoel. Menjadi satu-satunya fosil hidup dari
keluarganya dan dengan wilayah sebaran yang terbatas menjadikan
kura-kura moncong babi sebagai satwa langka.
Foto: Richard Gatot Nugroho Triantoro (2009)
Gambar 26.1 Individu Dewasa Kura-kura Moncong Babi
B. Habitat dan Populasi
Tempat beraktivitas kura-kura moncong babi, seperti mencari makan,
kawin, dan berlindung dilakukan seluruhnya di dalam air (aquatic),
tetapi tempat bertelur dilakukan di darat yaitu pada sekumpulan pasir
yang terdapat di tepi sungai atau rawa (Gambar 26.2). Tipe habitat
hidupnya, meliputi sungai (termasuk estuari dan delta sungai), laguna
Kura-kura Moncong ... 365
rumput, rawa, dan cekungan berair di dataran rendah bagian selatan
Papua New Guinea (Georges dkk., 2006).
Sarang peneluran umumnya dibangun pada pasir yang bersih,
tidak tertutup vegetasi, dan dekat air (Georges dkk., 2008), tetapi
ada juga yang dibangun di bawah vegetasi. Sarang peneluran pada
pasir bervegetasi juga ikut memberikan hasil kepadatan sarang yang
tinggi (Triantoro, 2012). Pasir yang bersih dicirikan dengan tidak
ada atau minimnya tumpukan sampah alami dari kayu-kayu yang
hanyut, lapisan lumpur, tutupan vegetasi yang rapat, dan tutupan
batu-batu. Penutupan vegetasi dengan kerapatan yang tinggi dan
menyebar cepat berpotensi mengganggu proses peneluran dan bisa
menghilangkan pasir peneluran tersebut. Beberapa vegetasi penutup
pasir peneluran yang mengganggu, yaitu putri malu (Mimosa pudica),
rumput mantangan (Merremia peltata) (Triantoro & Yuliana, 2017),
dan rumput pisau (Phragmintes karka) (Triantoro, 2012).
(a) (b)
Keterangan: a. Rawa Permanen b. Sungai dan Pasir Peneluran
Foto: Richard Gatot Nugroho Triantoro (2012)
Gambar 26.2 Habitat Tempat Beraktivitas Kura-Kura Moncong Babi
Populasi kura-kura moncong babi di habitat alaminya secara
keseluruhan masih cukup bagus. Bagusnya populasi itu terlihat dari
jumlah sarang yang dapat mencapai lebih dari 100 sarang dalam satu
malam pada satu pasir peneluran di Sungai Vriendschap (Triantoro,
2012). Ditinjau dari kondisi habitatnya, perkembangan populasi
kura-kura moncong babi di wilayah Asmat dapat berjalan dengan
baik karena belum ditemukan adanya aktivitas pemanfaatan lahan.
.366
Sedikit berbeda dengan di Kaimana, habitatnya berbatasan/bersing-
gungan dengan hak konsesi hutan. Perlu kepedulian dan kehati-hatian
pengelola konsesi hutan dalam mengeksploitasi hasil hutan kayu yang
dapat memberikan dampak secara tidak langsung terhadap habitat
dan populasi kura-kura moncong babi. Pergerakan individu antara
populasi satu dan populasi lainnya lebih memungkinkan terjadi di
wilayah Asmat dibandingkan di wilayah Kaimana karena tipikal
habitat di wilayah Asmat mendukung kemudahan koneksi antara
sungai yang satu dan yang lainnya.
C. Aksesibilitas Menuju Habitat
Lokasi habitat kura-kura moncong babi di Papua berada jauh di
pedalaman (sangat jauh dari pesisir pantai). Aksesibilitas ke lokasi
habitat membutuhkan perjuangan tersendiri karena tidak adanya sara-
na transportasi reguler menuju dan selama berada di lokasi habitatnya.
Triantoro (2018) mengungkapkan perjalanan dari Manokwari ke
lokasi habitat kura-kura moncong babi di wilayah Kabupaten Kaimana
membutuhkan waktu normal 3,5–4 hari, sedangkan perjalanan ke
habitat di wilayah Kabupaten Asmat membutuhkan waktu 4–5 hari
untuk sekali jalan. Rentang waktu tersebut tanpa memperhitungkan
waktu yang digunakan untuk melakukan koordinasi dan persiapan
perbekalan tim ke lokasi yang membutuhkan waktu sekitar 1–2 hari.
Terdapat beberapa alternatif alat transportasi menuju habitat
kura-kura moncong babi, dapat menggunakan salah satu di antara
speedboat, longboat, atau perahu klotok/ketinting, atau menggunakan
kombinasi antara speedboat atau longboat dan perahu klotok/ketin ting.
Saat debit sungai tinggi maka penggunaan speedboat atau longboat
sudah cukup mencapai lokasi, tetapi saat debit sungai rendah maka
harus menggunakan kombinasi tersebut. Namun, untuk mengakses
sarang-sarang peneluran perahu klotok/ketinting lebih baik diban ding
dengan menggunakan speedboat atau longboat. Alasannya, proses
peneluran terjadi saat tidak ada hujan dan debit air sungai sudah
jauh menurun yang mengakibatkan alur sungai sempit dan dangkal.
Kura-kura Moncong ... 367
Dalam kondisi seperti itu, penggunaan perahu klotok/ketinting akan
lebih mudah untuk mengakses lokasi peneluran.
D. Perburuan Telur
Kelangkaan kura-kura moncong babi menjadikan banyak pehobi
satwa ingin memeliharanya sebagai hewan peliharaan. Permintaan
tinggi dari pasar perdagangan meningkatkan nilai ekonomi individu
kura-kura moncong babi, serta memicu perburuan dan perdagangan
secara berkesinambungan dari tahun ke tahun dalam jumlah besar.
Eisemberg dkk., (2018) memberikan catatan bahwa perdagangan
satwa ini masih dilakukan secara besar-besaran dari selatan Papua
(Indonesia) dan dalam rentang 2010–2015 menduduki urutan ter-
banyak kedua dari kelompok kura-kura yang diperdagangkan secara
hidup. Tentu saja aktivitas perburuan dan perdagangan kura-kura
moncong babi bersifat ilegal karena statusnya dilindungi berdasar-
kan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.106/Menlhk/ Setjen/Kum.1/12/2018 tentang perubahan kedua atas
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/
Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa
yang Dilindungi.
Perburuan kura-kura moncong babi terutama dilakukan terhadap
telurnya selama musim peneluran. Musim peneluran di Papua sudah
dimulai pada bulan Agustus dan berakhir di bulan Januari, tetapi
perburuan telur biasanya dilakukan mulai bulan September sampai
Desember. Indikasi ini memberikan gambaran waktu puncak musim
peneluran. Wilayah Asmat saat ini menjadi sentra perburuan dan
perdagangan telur maupun tukik (anakan), bahkan perburuan telur
dalam semusim mencapai lebih dari 100.000 butir.
Proses pengambilan telur dilakukan menjelang pagi hari sebelum
matahari terbit berbekal senter, perahu, tugal, dan ember penampung.
Semua sarang yang ditemukan digali dan kemudian seluruh telur
diambil tanpa menyisakan telur satu pun dalam sarang. Perburuan
telur kura-kura moncong babi di wilayah Asmat mencapai intensitas
100% dengan mengambil kasus di sungai Vriendschap (Triantoro dkk.,
.368
2017). Pengamatan pada beberapa sungai lainnya di Kabupaten Asmat,
seperti sungai Catarina di Distrik Ujin dan Sungai Mamats di Distrik
Sawa Erma, juga mempunyai pola perburuan telur dengan intensitas
yang sama dengan yang terdapat di sungai Vriendschap. Sementara
itu, pada wilayah Kaimana, perburuan telur tidak dilakukan secara
khusus oleh masyarakat tradisional karena masih dimanfaatkan
sebatas sebagai sumber makanan dan belum dimanfaatkan sebagai
sumber ekonomi. Georges dkk. (2008) menyampaikan telah terjadi
penurunan kualitas telur kura-kura moncong babi di sungai Kikori
selama tiga tahun akibat intensitas eksploitasi telur yang sangat tinggi
(2003–2006). Hal senada disampaikan Eisemberg dkk. (2011) bahwa
telah terjadi penurunan kualitas dan jumlah telur serta ukuran induk
yang dikonsumsi dalam waktu 30 tahun (1980–2009).
Telur-telur untuk kepentingan ekonomi diambil langsung dari
sarang alami dan dimasukkan dalam wadah penampungan sementara
(ember) yang sudah dialasi dengan pasir peneluran. Telur-telur itu
kemudian dibersihkan dan dipindahkan dalam bak pasir sementara.
Proses terakhir dari perburuan telur adalah memindahkan telur-telur
hasil pengumpulan ke kampung tempat asal para pemburu telur.
Telur-telur tersebut kemudian diletakkan dan di atur dalam bak-bak
pasir yang sudah dibuat untuk proses penetasan (Gambar 26.3).
Keterangan: a. Telur kura-kura moncong babi yang di eksploitasi dari alam b. Sarana
Transportasi dalam perburuan telur
Perburuan telur dilakukan sendiri oleh masyarakat tradisional (adat)
atau oleh masyarakat pendatang yang telah diberikan “kaveling” oleh
masyarakat adat untuk mengumpulkan telur. Pemberian kaveling
kepada masyarakat pendatang ini tidak ditemukan di seluruh sungai
peneluran kura-kura moncong babi, tergantung kepada kebijakan
masyarakat adatnya. Kaveling ini berupa pasir peneluran yang dibarter
dengan barang kebutuhan untuk kemudian dapat diambil telurnya.
Pembayaran atau barter kaveling ini biasa digunakan dalam proses
pengumpulan telur selama musim peneluran. Di antara barang kebu-
tuhan yang dijadikan pembayaran atau barter adalah perahu lengkap
dengan mesin dan dayung sampai bahan makanan selama di lokasi.
Nilai barter tahun 2011 sudah mencapai lebih dari 10 juta rupiah,
khusus untuk satu set perahu. Pemilihan perahu sebagai barang
yang dijadikan barter dengan lokasi pasir peneluran atau sejumlah
telur disebabkan oleh beberapa hal, yaitu 1) perahu merupakan alat
transportasi utama; 2) kondisi wilayah yang didominasi oleh air; 3)
tidak terdapatnya sarana angkutan air regular; dan 4) memudahkan
perburuan (Triantoro dkk., 2017). Barang kebutuhan ini dibayarkan
atau dibarter sebelum proses pengambilan telur terjadi. Apabila dalam
pasir kaveling tadi tidak ditemukan telur atau hanya sedikit telur yang
didapat, semua barang kebutuhan yang sudah dibayarkan tidak dapat
diambil atau diperhitungkan kembali.
F. Perburuan Induk
Selain perburuan telur, perburuan induk juga dilakukan oleh
masyarakat tradisional sebagai dampak ikutannya. Sebagai salah satu
sumber makanan bagi masyarakat tradisional yang hidup di daerah
lahan basah, sudah tentu mengonsumsi daging kura-kura moncong
babi bukan merupakan hal yang baru. Mengonsumsi daging kura-kura
moncong babi sudah dilakukan sebelum telurnya bernilai ekonomi
dan berlanjut sampai saat ini. Kekhawatiran meningkat terkait popu-
lasinya di masa depan, di mana telurnya saat ini bernilai ekonomi dan
juga menjadi objek perburuan. Sebelum telurnya memberikan nilai
.370
ekonomi, masyarakat tradisional menangkap induknya hanya untuk
keperluan konsumsi terbatas dan keperluan adat, seperti hantaran
mas kawin. Saat telurnya sudah bernilai ekonomi, perburuan induk
diperkirakan lebih banyak dilakukan, namun tidak lagi menggunakan
kura-kura moncong babi sebagai hantaran mas kawin. Penangkapan
induk dilakukan lebih intensif terutama di saat musim peneluran,
sebelum atau sesudah induk bertelur, dengan cara membalikkan
punggungnya (Georges dkk., 2008).
Peningkatan penangkapan induk sebagai sumber makanan
disebabkan masyarakat tradisional keluar dari kampungnya dan mem-
buat pondok di sekitar habitat peneluran kura-kura moncong babi.
Letak kampung yang jauh dan sulitnya mendapatkan bahan bakar
minyak (bensin) untuk keperluan transportasi ke kampung membuat
masyarakat tradisional memilih berdiam selama musim peneluran
(sekitar 3–4 bulan) di lokasi perburuan telur. Ketersediaan sumber
makanan alami seperti daging kura-kura moncong babi menjadi salah
satu penopang hidup selama di lokasi perburuan (Gambar 26.4).
Sebenarnya beberapa alternatif makanan lainnya di sekitar tempat
perburuan telur dapat dimanfaatkan untuk mengurangi perburuan
induk, di antaranya sagu (Metroxylon sagu) dan pucuk rotan (Calamus
sp.) dari kelompok tumbuhan. Sementara itu, dari kelompok satwa,
antara lain kura-kura (Pelochelys bibroni, Emydura subglobosa),
buaya (Crocodylus cf novaeguineae), babi hutan (Sus scrofa), kasuari
(Casuarius sp), ular karung (Acrochordus arafurae), ikan gurame
(Osphronemus goramy), dan ulat sagu (Rhynchophorus ferrugineus) liar
(Triantoro, 2016). Akan tetapi, Georges dkk. (2008) menyampaikan
bahwa kura-kura moncong babi disukai karena mempunyai daging
yang banyak dan ukuran telur yang besar. Triantoro dkk. (2017) juga
mengidentifikasi beberapa alasan masyarakat lebih memilih daging
kura-kura moncong babi, yaitu 1) jenis kura-kura besar; 2) ingin
mengkonsumsi daging; 3) persediaan bahan makanan selama proses
perburuan telur terbatas; 4) mudah dijumpai saat bertelur di musim
peneluran; dan 5) wilayah didominasi oleh sungai dan rawa yang
memungkinkan sumber makanan alami berasal dari satwa perairan.
Kura-kura Moncong ... 371
Meskipun, daging kura-kura moncong babi lebih disukai dan
mudah ditangkap sebelum atau sesudah bertelur, namun induk tidak
selalu dapat naik ke pasir untuk bertelur karena kondisi cuaca. Kondisi
hari hujan memengaruhi induk ke pasir untuk bersarang. Makin
lama dan makin berdekatan jarak antar hari hujannya maka makin
lama waktu yang dibutuhkan induk untuk bersarang. Perbedaan
hari hujan yang makin dekat jaraknya menjadikan debit sungai tetap
tinggi dan menutupi pasir peneluran atau basah sehingga tidak ada
induk yang bertelur. Begitu pula saat debit air menyusut, tetapi pasir
masih basah maka tidak ada induk yang ke pasir untuk bertelur juga.
Proses peneluran menunggu kondisi pasir kering. Induk naik ke pasir
untuk bersarang saat empat hari panas tanpa hujan terus menerus di
wilayah peneluran atau di wilayah pegunungan yang aliran sungainya
terkoneksi dengan sungai di mana habitat kura-kura moncong babi
berada. Adanya hujan di satu sisi meniadakan terjadinya proses
peneluran, namun di sisi lain secara tidak langsung menghambat
perburuan induk maupun telur.
Selain menangkap induk saat musim bertelur, masyarakat
tradisional dapat berburu induk tanpa harus menunggu induk ke
pasir untuk bertelur, yaitu dengan menombak mereka saat induknya
ditemukan bermain di perairan tepi pasir peneluran. Proses ini
membutuhkan kesabaran dalam mencari induk dengan mengguna-
kan perahu tanpa mesin (mendayung). Melawan arus sungai dengan
mendayung terus-menerus tanpa ada kepastian mendapatkan induk
yang hendak diburu, menjadikan perburuan ini hampir sudah tidak
pernah dilakukan lagi.
.372
G. Perdagangan kura-kura moncong babi
Sampai saat ini perdagangan telur maupun tukik kura-kura moncong
babi terjadi pada wilayah Boven Digul, Merauke, Asmat, Yahukimo,
dan Timika, sementara di wilayah Kaimana masih sebatas untuk kon-
sumsi. Perdagangan di wilayah sebaran populasi kura-kura moncong
babi dilakukan terhadap telur dan tukik, sementara perdagangan
keluar wilayah pulau Papua hanya dilakukan untuk tukik. Proses
perdagangan yang dilakukan secara ilegal ini sangat merugikan karena
negara tidak mendapatkan pemasukan dari kekayaan sumber daya
alam yang tersedia. Keuntungan hanya dinikmati oleh oknum-oknum
pedagang ilegal tanpa memikirkan bagaimana nasib kura-kura mon-
cong babi ke depannya di alam. Pedagang ilegal ini biasanya adalah
oknum berstatus pengumpul kayu gaharu dan pedagang kelontong.
Harga jual telur berkisar Rp15.000–Rp20.000 per butir, sedang-
kan harga tukik mencapai Rp50.000 per ekor. Untuk tukik dengan ciri
khusus seperti albino bermata hitam dijual dengan harga 7 juta per
ekor, sementara albino bermata merah dijual dengan harga minimal
30 juta per ekor. Harga jual diketahui cukup stabil bahkan dapat terus
meningkat apabila kondisi lingkaran perdagangan ilegal berjalan
normal mulai dari lokasi penetasan sampai ke tangan pembeli di
luar Papua. Apabila ada hal yang mengganggu kestabilan peredaran
perdagangannya maka dapat memberikan efek kenaikan harga jual
(a) (b)
Keterangan: a. Induk kura-kura moncong babi hasil tangkapan b. Sisa karapas induk
yang dikonsumsi
Foto: Richard Gatot Nugroho Triantoro (2010)
Gambar 26.4 Kura-Kura Moncong Babi Sebagai Sumber Pangan
Kura-kura Moncong ... 373
atau bahkan turun. Pada kasus pengungkapan perdagangan tukik
kura-kura moncong babi disertai penangkapan oknum pedagangnya
oleh petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya alam (BBKSDA)
Papua tahun 2019, membuat harga jual telur dan tukik jatuh karena
pasar perdagangan tidak berani mengambil resiko terkena dampak.
H. Penutup
Perburuan telur dan perdagangan tukik kura-kura moncong babi telah
berlangsung secara intensif lebih dari satu dekade. Setiap tahun lebih
dari 100.000 telur diambil dari sarang alaminya di wilayah Asmat.
Pada masa telur kura-kura belum menjadi komoditi bernilai ekonomi,
jumlah konsumsi daging kura-kura induk lebih tinggi. Perburuan
telur yang tidak memperhatikan prinsip kelestarian dan konsumsi
induk yang terus menerus dari tahun ketahun, sangat berpotensi
menurunkan populasi kura-kura moncong babi secara cepat pada
masa mendatang.
Menjaga kelestarian satwa liar yang ada bukan hanya memberikan
mereka hak untuk hidup sebagai ciptaan Tuhan, tetapi juga menjadi
aset kekayaan hayati yang menjadi kebanggaan kita bersama dan
dapat dikembangkan sebagai sumber ketahanan pangan dan medis
ke depannya.
Indonesia memiliki 93,5 juta hektar areal berhutan, baik yang berada
di dalam kawasan hutan dan yang berada di areal penggunaan lain
(APL) (Dirjen PKTL, 2019). Hutan, tanpa perdebatan, adalah rumah
terbaik bagi satwa liar. Keberadaan hutan yang lestari akan mampu
menyediakan berbagai kebutuhan hidup bagi satwa liar, mulai dari
sumber pakan, tempat berlindung, dan tempat beraktivitas. Hutan
juga berfungsi sebagai tempat untuk saling berinteraksi intra dan
antar spesies serta interaksi dengan lingkungannya.
Sayangnya, berbagai aktivitas manusia telah mengintervensi
kondisi hutan yang ada. Fragmentasi habitat, kerusakan habitat,
dan hilangnya habitat menjadi tiga hal yang sangat berpengaruh
terhadap kualitas habitat dan mempengaruhi peri kehidupan satwa
liar. Perubahan tersebut akan memberikan konsekuensi terjadinya
T.
perubahan ritme kehidupan satwa liar. Rusak dan menyempitnya
habitat, kekurangan sumber pakan, terputusnya aliran genetik, dan
berbagai aktivitas antropogenik akan mengancam kelestarian satwa
liar, serta memicu terjadinya konflik dengan manusia. Berbagai satwa
liar yang sudah tidak memperoleh sumber daya yang cukup di dalam
wilayah jelajahnya akan memperluas wilayah jelajahnya hingga keluar
dari dalam hutan dan masuk ke permukiman masyarakat, kondisi
inilah yang berpotensi konflik. Berbagai upaya dan langkah taktis
perlu dilakukan dalam upaya untuk melindungi dan melestarikan
satwa liar di habitatnya.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dan dilakukan dalam
upaya untuk melestarikan satwa liar dan habitatnya adalah sebagai
berikut.
1) Karakteristik satwa habitat tiga dimensi
Mengenal bioekologi satwa sangat penting sebagai dasar untuk
merumuskan strategi pelestariannya. Jenis-jenis satwa mamalia, se-
perti primata orang utan, siamang, bekantan, dan tarsius merupakan
satwa yang segala aktivitasnya memerlukan habitat tiga dimensi.
Satwa tersebut tidak hanya memerlukan ruang secara dua dimensi
(horizontal) saja namun juga memerlukan ruang secara vertikal.
Kondisi tersebut menjadikan hutan luas yang memiliki tajuk tinggi
dengan stratifikasi beragam akan memberikan habitat yang ideal bagi
satwa liar (Deere dkk., 2020). Beberapa satwa primata bisa hidup
secara simpatrik, namun masing-masing menempati ruang hidup
yang berbeda sesuai dengan relungnya (niche).
2) Habitat bagi satwa interior
Satwa interior adalah satwa yang tidak toleran dengan kondisi
pengaruh tepi hutan (edge effect). Aktivitasnya hampir selalu berada
pada core areal hutan, di mana kondisi iklim mikro di dalam hutan
terbentuk dengan sempurna. Satwa interior umumnya adalah jenis
mamalia yang sensitif terhadap gangguan (Mardiastuti, 2018). Ter-
jadinya fragmentasi menyebabkan berkurangnya petak hutan akan
meningkatkan luasan daerah tepi dan menurunkan luas hutan interior.
Melestarikan Hutan, Melestarikan ... 379
3) Hutan yang kompak dan koridor satwa
Mempertahankan hutan yang kompak sangat penting dilakukan sebab
akan menjadi habitat satwa liar dan keanekaragaman hayati yang ada
di dalamnya. Setiap petak hutan harus selalu terhubung satu dengan
lainnya sehingga dapat menjadi jalur lintasan satwa (Atmoko dkk.,
2021). Keberadaan koridor akan memberikan kesempatan satwa
untuk berpindah dari petak hutan yang satu menuju petak hutan
lain yang lebih kaya sumber daya pakannya. Koridor satwa juga ber-
peran penting dalam menjaga aliran genetik antar populasi satwa dan
mencegah terjadinya kawin dalam (inbreeding) akibat isolasi habitat.
4) Pengelolaan bentang alam
Pengelolaan habitat satwa perlu dilakukan dalam skala bentang alam.
Pengelolaan secara integratif terhadap beberapa tipe habitat dalam
sekala bentang alam akan mampu mempertahankan keanekaragaman
hayati lebih baik dibandingkan hanya melindungi dan memperta-
hankan hanya satu tipe ekosistem (Atmoko dkk., 2021). Beberapa
satwa liar, seperti babi hutan, bekantan, monyet ekor panjang, monyet
beruk, beberapa jenis burung merupakan jenis multi-habitat used,
yaitu menggunakan beberapa tipe habitat sekaligus dalam kehidupan-
nya mulai dari daerah hutan pantai, mangrove, hutan riparian, dan
hutan di daratan.
Daerah ecotone yang merupakan wilayah peralihan antar ekosis-
tem umumnya dihuni oleh berbagai jenis satwa dari dua habitat yang
berbeda. Bahkan sering kali habitat ini dihuni oleh satwa yang spesifik,
seperti berbagai jenis amphibi dan reptil yang hidup di daerah perali-
han antara hutan riparian dengan hutan daratan. Mempertahankan
beberapa ekosistem beserta daerah ecotone-nya akan meningkatkan
keanekaragaman jenis satwa yang ada dalam sekala bentang alam.
5) Menjaga hutan dan dinamika populasi satwa
Kehidupan satwa liar di alam tidak lepas dari siklus energi di
dalamnya. Rantai makanan dan jaring-jaring makanan adalah proses
alami yang harus tetap dijaga. Keseimbangan populasi satwa liar di
.380
alam sangat penting untuk tetap menjaga keseimbangan ekologi
dan menghindari konflik dengan manusia. Contoh umum adalah
penurunan produktivitas sumber daya hutan dan perburuan liar
akan menekan pertumbuhan satwa herbivor yang merupakan satwa
mangsa penting bagi berbagai jenis satwa pemangsa (karnivor). Satwa
karnivor dengan keterbatasan pakan akan berusaha memenuhi kebu-
tuhannya dengan memperluas wilayah jelajah hingga permukiman
penduduk dan memangsa satwa ternak yang ada. Akibatnya, konflik
manusia-satwa liar mulai terjadi. Perlu dikembangkan koeksistensi
untuk mengendalikan konflik manusia-satwa (König dkk., 2020).
Koeksistensi adalah hidup damai berdampingan antara manusia
dengan satwa di habitat alaminya.
6) Ekowisata
Ekowisata satwa liar adalah salah satu titik tengah solusi untuk
mengakomodasi kebutuhan masyarakat local (human needs) dengan
kelangsungan hidup satwa liar di sekitarnya. Pemanfaatan satwa liar
sebagai objek daya tarik ekowisata akan memberikan pendapatan
tambahan bagi masyarakat lokal sebagai apresiasi dalam menjaga
dan mempertahankan satwa liar serta habitatnya (Tisdell, 2003).
Peran serta masyarakat sebagai operator ekowisata perlu ditingkatkan
melalui pelatihan dalam rangka peningkatan SDM sebagai pemandu,
penggalian, dan pemanfaatan potensi sumber daya lokal dalam men-
dukung ekowisata.
7) Penangkaran
Penangkaran adalah salah satu cara untuk mengurangi ketergantun-
gan dan eksploitasi langsung dari alam. Berbagai satwa potensial,
seperti ular sanca, trenggiling, rusa, anoa, burung berkicau (cucak
ijo, perkici dora) masih mendapat tekanan perburuan liar yang
tinggi di alam, meskipun beberapa di antaranya berstatus sebagai
satwa dilindungi. Kegiatan penangkaran perlu terus didukung dan
ditingkatkan. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
yang secara teknis dijelaskan pada Peraturan Menteri Kehutanan (Per-
Melestarikan Hutan, Melestarikan ... 381
menhut) Nomor P.19/Menhut-II/2005 dan perubahannya Permenhut
Nomor P.69/Menhut-II/2013. Peraturan tersebut menyatakan bahwa
keturunan kedua (F2) dan seterusnya dari hasil penangkaran jenis
satwa dilindungi dapat dimanfaatkan dan sebagian dapat menjadi
restocking untuk menjaga keletarian di alam.
Upaya pelestarian satwa di Indonesia perlu didukung oleh data
dan informasi terkait bio-ekologi dengan baik. Upaya yang dilakukan
tidak hanya pada individu satwanya saja, namun yang tidak kalah
penting adalah upaya melindungi dan menjaga habitatnya, yaitu hu-
tan. Upaya melestarikan hutan bukan pekerjaan yang mudah, namun
dengan kemauan dan kerja sama yang baik hal tersebut tidak mustahil
untuk diwujudkan. Diperlukan kolaborasi dan sinergi dari berbagai
stakeholder, mulai dari instansi pemerintah, akademisi, lembaga
penelitian, pihak swasta, dan LSM/KSM. Banyak satwa liar yang
sudah diketahui manfaatnya dan sudah dimanfaatkan, baik sebagai
sumber protein, estetika, dan obat-obatan, namun lebih banyak lagi
yang belum diketahui manfaatnya. Jangan sampai kekayaan satwa
liar kita terlanjur punah sebelum termanfaatkan atau bahkan sudah
punah sebelum teridentifikasi. Upaya pelestarian satwa liar tidak
hanya untuk mempertahankan satwa yang bermanfaat di saat ini,
namun juga usaha untuk menjaga satwa yang mungkin bermanfaat
di masa depan.