• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kerajaan banjar 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan banjar 3. Tampilkan semua postingan

kerajaan banjar 3

dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap
dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan
perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja
Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam
tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia
Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC
yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat
mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra
Mahkota dan Mangkubumi, yang memicu  rusaknya adat
kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu
penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji
Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan
1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga
ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh
para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan
politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah
Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian ini  Kesultanan Banjar
mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan
menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan
perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama
sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa
pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain yaitu : [67]
1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain
kecuali hanya dengan Belanda.
2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, sebab  beberapa
wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia
Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia Belanda seperti ini 
dalam Pasal 4 :
1. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
2. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di
Mantuil,
3. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau
Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar
dan kampung di seberang Pulau Tatas.
4. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru
sampai Sungai Lumbah.
5. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik
sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
6. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke
hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai
di Kuala Marabahan.
7. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan
mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan
yang takluk padanya.
8. Tanah Mandawai.
9. Sampit
10. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk
padanya
11. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
12. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan
dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke
Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang
Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai
perbatasan dengan Tanah Pagatan.
13. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin,
Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan
pemerintah Belanda.
4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan
terhadap musuh dari dalam negeri.
5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi
tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu
dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang
perburuan itu, meliputi :1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
2. Padang Bajingah
3. Padang Penggantihan
4. Padang Munggu Basung
5. Padang Taluk Batangang
6. Padang Atirak
7. Padang Pacakan
8. Padang Simupuran
9. Padang Ujung Karangan
6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari
harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan
intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga
pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa
hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan
sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan
internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap
berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun
1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan re￾gent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya
Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat
sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria
Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhir￾nya dihapuskan pada tahun 1884.Sistem Pemerintahan
1. Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2. Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3. Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir,
dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri
Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40
orang pengawal.
4. Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada masa
Hindia Belanda.
5. Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6. Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan
Benteng
7. Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
8. Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu
Singataka dan Singapati.
9. Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak,
ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
10.Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak,
dan berburu
11.Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan
pedalaman/istana12.Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai
Pembantu
13.Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan
lumbung padi, kesejahteraan
14.Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15.Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16.Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17.Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan agang
dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
18.Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah
ibadah
19.Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain
Billah), terdiri :
1. Mangkubumi
2. Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3. Mantri Jaksa
4. Tuan Panghulu
5. Tuan Khalifah
6. Khatib
7. Para Dipati
8. Para Pryai
· Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/
musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan,
dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa,
Khalifah dan Penghulu.
· Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang
memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja,
Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
· Masalah tata urusan kerajaan yaitu  pembicaraan antara raja,
Mangkubumi dan Dipati.
· Dalam hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah
Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negarayaitu Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan
kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu
dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari
Jaksa, sebab  Panghulu mengurusi masalah keagamaan,
sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
· Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan
membantu raja, tetapi mereka yaitu kedua setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa
pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi
jabatan :
1. Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2. Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu : hakim rendah
4. Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik)
dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala
Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5. Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak
kampung.
6. Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan
berjasa, diantaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah
yang sama dengan Lalawangan.
7. Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
8. Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala
macam pajak dan kewajiban.
· Sebutan Kehormatan
o Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
o Gubernur Jenderal VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur
Jenderal.
o Permaisuri disebut Ratu jika keturunan bangsawan atau Nyai Ratu
jika berasal dari kalangan biasa, sedangkan para selir disebut
Nyai.
o Anak laki-laki raja bergelar Gusti (= Raden/Raden Aria pada
zaman Hindu & awal Islam), dan jika anak permaisuri akan
mendapat gelar Pangeran dan jika menjabat Dipati mendapat gelarberganda menjadi Pangeran Dipati. Para Pangeran keturunan
Sultan yang memerintah menurunkan gelar “Gusti” ini kepada
keturunannya baik anak lelaki maupun wanita. Para Gusti (lelaki)
yang sudah jauh garis keturunannya dengan Sultan yang
memerintah hanya menurunkan gelar Gusti hanya kepada anak
lelaki.
o Anak perempuan raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada zaman
Hindu), jika anak permaisuri akan mendapat gelar Putri dan
setelah menikah mendapat gelar Ratu.
o Andin, menurut Tutur Candi gelar ini  untuk keturunan
kerajaan Negara Daha yang telah dikalahkan oleh Sultan
Suriansyah dan tidak diperkenankan lagi memakai gelar
Pangeran.
o Antung, gelar untuk putera/puteri dari wanita “Gusti” yang
menikah dengan orang kalangan biasa. Antung setara dengan
gelar Utin (wanita) di Kotawaringin.
o Seorang lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri
Sultan, akan mendapat gelar Raden. Raden juga yaitu  gelar
bagi pejabat birokrasi dari golongan Nanang/Anang misalnya
gelar Raden Tumenggung, yang selanjutnya meningkat menjadi
Raden Dipati. Menurut Hikayat Banjar, gelar Nanang diberikan
untuk kalangan keluarga Ampu Jatmika yang disebut Kadang
Haji (haji= raja), sedangkan keluarga isteri Ampu Jatmika tidak
mendapat gelar ini  atau juga diberikan kepada lelaki dari
kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan misalnya
Nanang Sarang (dipakai  pada abad ke-17). (Tulisan ini diambil
dari WIKI-Pedia, dan diakses pada tanggal 19 April 2015).


Sultan Suriansyah
Pendiri kerajaan Banjar Islam ini sewaktu muda dikenal dengan
nama Raden Samudera. Sejak usia 7 tahun ia sudah ditinggal kedua
orangtuanya. Raden Samudera kemudian dipelihara oleh kakeknya,
Maharaja Sukarama, penguasa Kerajaan Negara Daha. Raden Samudera
baik dari garis ibu maupun ayah, yaitu  keturunan Raden Sekar
Sungsang yang saat memerintah Negara Daha bergelar Maharaja Sari
Kaburangan.
Kerajaan Banjarmasin pada hakekatnya yaitu lanjutan dari
Kerajaan Negara Daha. Ramli Nawawi, dalam tulisannya berjudul
Mengungkap Sejarah Banjar: Mengapa Pangeran Sukarama menunjuk Raden Samudera Sebagai Penggantinya?, Banjarmasin Post, 20
Februari 1979, menyatakan Raden Samudera pembangun Kerajaan
Banjarmasin, seorang yang mempunyai hubungan darah dengan Raden
Sekar Sungsang, raja pertama di Negara Daha.
Ada dua versi silsilah asal usul Raden Samudera yang
menghubungkan ia dengan raja-raja yang berkuasa sebelumnya di
Negara Daha atau di Negara Dipa. Versi pertama berdasarkan cerita
tradisi tertulis, versi kedua berdasarkan cerita tradisi lisan. Peneliti
Belanda JJ Ras dalam Hikayat Banjar, menamakan kedua versi silsilah
itu dengan istilah Resensi I dan Resensi II.
Amir Hasan Kiai Bondan dalam Suluh Sejarah Kalimantan
menulis, Raden Samudera yaitu anak Raden Mantri Jaya anak Raden
Bangawan anak Maharaja Sari Kaburangan (Sekar Sungsang).
Sementara jika dari jalur ibu, Raden Samudera anak Putri Galuh anak
Maharaja Sukarama anak Sekar Sungsang. Selanjutnya, Sekar
Sungsang anak Maharaja Carang Lelean (Carang Lelana) anak
Pangeran Suryawangsa anak Pangeran Suryanata. Pangeran Suryanata
dengan istrinya Putri Junjung Buih yaitu pendiri dinasti Kerajaaan
Negara Dipa.
Silsilah versi Amir Hasan Kiai Bondan mengikuti Resensi I.
Perbedaannya cuma pada nama orangtua Raden Samudera yang
menurut Resensi I yaitu Raden Mantri Alu anak Raden Suryawangsa
anak Sekar Sungsang.
Sementara jika mengikuti Resensi II, Raden Samudera yaitu anak
Pangeran Tumenggung dan Ratu Intan Sari. Resensi II menyebutkan
Pangeran Tumenggung bersaudara dengan Pangeran Sukarama.
Keduanya anak dari Raden Mantri (Ratu Anom) anak Sekar Sungsang.
Selanjutnya Sekar Sungsang anak Pangeran Aria Dewangsa anak
Pangeran Suryanata. Menurut Resensi II, Sekar Sungsang beribu Putri
Kabu Waringin anak Patih Lambung Mangkurat. Sebaliknya menurut
Resensi I, Sekar Sungsang beribu Putri Kalungsu anak Maharaja Surya
Ganggawangsa anak Maharaja Suryanata (Pangeran Suryanata).
Berdasarkan Resensi I di atas, Raden Samudera dilahirkan dari
putri raja bernama Putri Galuh Baranakan dengan seorang laki-laki
kemenakan raja bernama Raden Mantri Alu. Hubungan Resensi I dan
II jika digabungkan, Putri Galuh Baranakan diperkirakan identik denganPutri Ratna Sari (Ratu Lamak). Ratu Lamak (Putri Ratna Sari) dalam
Resensi II menjadi penerus tahta kerajaan Negara Daha setelah Sekar
Sungsang mangkat.
Mengapa Maharaja Sukarama mewasiatkan penerus tahta
sepeninggal dia nanti yaitu Raden Samudera? Sukarama kemungkinan
tiada lain yaitu saudara Sekar Sungsang. Sukarama bukan anak Sekar
Sungsang (Resensi I), bukan pula cucu dari Sekar Sungsang (Resensi
II).
Menurut Ramli Nawawi, saat  Sekar Sungsang (Maharaja Sari
Kaburangan) memerintah yang menjadi mangkubumi yaitu Pangeran
Sukarama. Jatuhnya tahta dari Sekar Sungsang ke Sukarama dapat
diperkirakan bahwa pada waktu Sekar Sungsang meninggal anak￾anaknya belum dewasa. sebab  itu tahta dipegang oleh Sukarama yang
menjabat sebagai mangkubumi dan selanjutnya sebagai mertua dari
Putri Galuh Baranakan.
Sebagaimana disebut dalam Resensi II bahwa tahta kerajaan
setelah Sekar Sungsang wafat jatuh kepada Ratu Lamak (Putri Ratna
Sari), tetapi yang melaksanakan pemerintahan yaitu mangkubumi
yang menjadi mertuanya yaitu Pangeran Sukarama.
Silsilah asal usul Raden Samudera, menurut Ramli Nawawi, jika
disusun kembali maka Raden Samudera anak dari Pangeran Mantri
Alu anak Pangeran Sukarama. Sedang ibunya bernama Putri Galuh
Baranakan anak Sekar Sungsang. sebab  itu wajar jika di dalam Hikayat
Banjar disebutkan bahwa Pangeran Sukarama mewasiatkan kepada
Patih Aria Trenggana bahwa apabila ia mangkat maka yang diangkat
untuk menggantikannya yaitu cucunya yang bernama Raden
Samudera.
Seandainya Raden Mantri Alu waktu itu masih hidup, maka dialah
yang ditetapkan sebagai calon pengganti. Bukan Pangeran Mangkubumi
atau juga Pangeran Tumenggung, sebab  kedua orang ini sebenarnya
kemenakan dari Pangeran Sukarama.
Kemelut di istana Negara Daha sepeninggal Sukarama membuat
keselamatan Raden Samudera terancam. Pangeran Mangkubumi naik
tahta tapi kemudian terbunuh. Pangeran Tumengung merebut kekuasaan
dan mengangkat dirinya menjadi raja selanjutnya. Raden Samudera
kemudian menjadi putra mahkota terbuang dan menyembunyikan dirihidup sebagai paiwakan (penangkap ikan/n-elayan) di Muara Bahan,
Balandean, Sarapat dan Kuin. Pertemuannya dengan Patih Masih,
penguasa orang-orang Melayu di Banjar Muara Kuin Cerucuk berujung
dengan pengangkatan Raden Samudera sebagai raja. Ia kemudian
terkenal dengan nama Pangeran Samudera.
Setelah memenangkan pertempuran melawan Pangeran
Tumenggung, Pangeran Samudera resmi berdaulat menjadi raja Banjar
Islam pertama. Khatib Dayan utusan Demak mengislamkannya.
Kemenangan Pangeran Samudera diperoleh setelah mendapat bantuan
pasukan tentara prajurit Demak yang dikirimkan oleh penguasa Demak
waktu itu, Sultan Trenggono. Pangeran Samudera bergelar Sultan
Suriansyah atau Sultan Suryanullah. Ia mangkat diperkirakan sekitar
tahun 1546/1550. Setelah mangkat ia mendapat gelar baru sebagai
Penambahan Batu Habang. Peristiwa kemenangan pertempuran
terakhirnya pada 24 September 1526 diperingati sebagai Hari Jadi Kota
Banjarmasin. (Yudi Yusmili, http://kabarbanjarmasin.com/posting/sul￾tan-suriansyah-pendiri-dinasti-kerajaan-banjar-islam., diakses pada
tanggal 25 April 2015).
B. Pangeran Antasari
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 06/TK/Tahun 1968 tanggal 27
Maret 1968 menganugerahi Pangeran Antasari gelar Pahlawan
Kemerdekaan. Pangeran Antasari lahir dalam tahun ± 1809, ayahnya
bernama Pangeran Mas’ud dan ibunya bernama Gusti Hadijah puteri
Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai dua orang saudara
yaitu Pangeran Perbatasari dan Pangeran Mangkusari. Ia adalah
keluarga Kesultanan Banjar, tetapi hidup dan dibesarkan diluar
lingkungan istana, yakni Antasan Senor atau Sungai Batang, Martapura.
Sedangkan kakeknya bernama Pangeran Amiruddin bin Sultan
Aminullah. Kericuhan-kericuhan yang terjadi khususnya dalam
kalangan penguasa Kesultanan, menjadikan cicit dari Sultan Aminullah
ini tersisih, walaupun ia sebenarnya pewaris pula atas tahta Kesultanan
Banjar.
Kericuhan terjadi saat  Sultan Aminullah wafat dalam tahun 1761.
Ia meninggalkan tiga orang putera yang masih kecil, dan sebab  itu
saudara Sultan Aminullah, yang bernama Pangeran Natanegara diangkatmenjadi wali. Dua orang putera Sultan Aminullah meninggal, dan yang
seorang lagi yaitu Pangeran Amir pergi ke Pasir. Sesudah itu Pangeran
Natanegara menobatkan diri menjadi sultan dan bergelar Sultan
Sulaiman Saidullah.
Tahun 1787 Pangeran Amir melancarkan pemberontakan untuk
mengambil tahtanya kembali dengan kekuatan 3.000 orang Bugis.
Sultan Sulaiman Saidullah untuk mengatasinya meminta bantuan
Belanda. Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Christoffel
Hoffman berhasil mematahkan perlawanan Pangeran Amir. Dalam suatu
pertempuran pada tanggal 14 Mei 1787 Pangeran Amir tertangkap,
dan bulan Juni ia dikirim ke Batavia untuk selanjutnya dibuang ke
Ceylon (sekarang Srilangka). Salah seorang puteranya bernama
Pangeran Mas’ud, yaitu ayah dari Pangeran Antasari.
Belanda menarik keuntungan dari kericuhan itu. Sebagai imbalan
jasa memadamkan pemberontakan Pangeran Amir, maka
ditandatanganilah antara pihak Belanda dan penguasa Kesultanan
Banjar sebuah tractaat dan Acte van Afstand pada tanggal 13 Agustus
1787. Dengan demikian berarti Sultan Sulaiman Saidullah terpaksa
mengurangi kekuasaan, mengurangi kedaulatan Kesultanan Banjar. Ia
dan keturunannya masih berhak menyandang gelar-gelar sultan dan
memerintah wilayah kesulatanan, tetapi hanya sebagai pinjaman (vazal)
dari Belanda.
Kericuahan terjadi lagi dalam masa pemerintahan Sultan Adam
Alwasyiqubillah putera Sultan Sulaiman. Selagi masih bertahta, ia
mengangkat anaknya, Pangeran Abdurrahman, sebagai Sultan Muda
atau Putera Mahkota.
Pada tahun 1852 Sultan Muda Abdurrahman meninggal dunia,
yang meninggalkan dua orang anak, yaitu Pangeran Hidayatullah anak
dari perkawinan dengan Ratu Siti dan Pangeran Tamjidillah anak dari
perkawinan dengan Nyai Aminah. Keduanya merasa berhak atas tahta
kesultanan. Di samping itu ada lagi pihak ketiga yang juga merasa
berhak, yaitu Prabu Anom, putera Sultan Adam Alwasyiqubillah, adik
Pangeran Abdurrahman. Sebenarnya Pangeran Hidayatullah yang pal￾ing berhak atas tahta kesultanan.
Sekali lagi Belanda ikut campur tangan. Mereka harus
memakai  sebagai alasan campur tangannya, sebab  investasinyayang sudah ditanamkan dalam pertambangan batu bara “Oranje Nassau”
di Pengaron dan “Julia Hermina” di Banyu Irang. Kedua tambang ini
mendatangkan hasil yang cukup banyak. sebab  itu Belanda
memerlukan sultan yang dapat mereka kendalikan.
Sultan Adam Alwasiqubillah meninggal dunia dalam tahun 1857.
Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai penggantinya,
sedangkan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Para
Bangsawan, ulama dan rakyat tidak menyukai terhadap pengangkatan
Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan.
Keresahan rakyat tampak jelas dengan timbulnya perlawanan di
daerah pedalaman, yaitu :
1. Di Benua Lima (Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua)
dipimpin oleh Tumenggung Jalil;
2. Di Muning di bawah pimpinan Aling yang telah menobatkan dirinya
menjadi Sultan dengan nama Panembahan Muda. Anaknya yang
bernama Sambang diangkat dan bergelar Sultan Kuning. Anak
perempuannya Saranti diberi gelar Puteri Junjung Buih. Nama
kampungnya diganti menjadi Tambai Makkah;
3. Di daerah Batang Hamandit, Gunung Madang dipimpin Tu￾menggung Antaluddin;
4. Di Tanah Laut dan di Hulu Sungai dipimpin oleh Demang Lehman;
5. Di Kapuas Kahayan di bawah pimpinan Tumenggung Surapati.
Gerakan-gerakan rakyat itu pada hakekatnya menghendaki agar
yang bertahta di Kesultanan Banjar yaitu Pangeran
Hidayatullah.Sebenarnya Pangeran Hidayatullah yang berhak menjadi
Sultan, sesuai pula dengan harapan rakyat Banjar, yang diperkuat pula
dengan Surat Wasiat Sultan Adam Alwasiqulbillah. Isi Surat Wasiat
itu sebagai berikut :
1. Sultan Adam memberi kepada Pangeran Hidayat gelar Sultan
Hidayatullah Khalilullah;
2. Mengangkat menjadi penguasa agama serta mewariskan semua tanah
kesultanan, semua alat senjata kesultanan, alat pusaka dan padang￾padang perburuan;3. Apabila Sultan Adam wafat, maka penggantinya ialah Pangeran
Hidayat, dan hendaknya memerintah rakyat dengan penuh keadilan
dan mengikuti perintah agama;
4. Memerintahkan kepada seluruh rakyat Kesultanan Banjar supaya
mentaati ini  dan jika perlu mempertahankan dengan kekerasan;
5. Memerintahkan kepada semua pangeran, menteri, orang besar
kesultanan, ulama dan tatuha kampung supaya mematuhi ketentuan
ini, apabila dilanggar maka Sultan Adam menjatuhkan kutuknya.
Pada mulanya gerakan-gerakan itu berdiri sendiri-sendiri. Di
berbagai tempat, di kampung-kampung, mereka mempengaruhi rakyat
dan di sana-sini mengganggu ketenteraman. Baru kemudian gerakan￾gerakan itu dapat dipersatukan oleh Pangeran Antasari yang sudah
berusia kurang lebih 50 tahun.
Sampai saat itu nama Pangeran Antasari hampir-hampir tidak
dikenal. Ia tidak memiliki kekayaan yang memungkinkan untuk hidup
lebih layak sebagai seorang pangeran, sedang ia merasa prihatin
menyaksikan Kesultanan Banjar yang ricuh dan semakin besarnya
pengaruh Belanda di Banua Banjar. Terbuka kesempatan bagi Pangeran
Antasari saat  di pedalaman Banjar timbul gerakan-gerakan rakyat.
Pangeran Hidayatullah dalam kedudukannya sebagai mangkubumi
mengutus tiga orang untuk menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang
sedang bergolak. Salah seorang dari utusan itu yaitu pamanya sendiri,
yaitu Pangeran Antasari. Maka terbukalah kesempatan bagi Pangeran
Antasari untuk menghubungi pemimpin-pemimpin gerakan rakyat yang
siap mengadakan perlawanan, bahkan ia berhasil memperoleh
kepercayaan rakyat dan dipilih sebagai pimpinan perlawanan. Cita￾cita mereka memang sesuai dengan sikap dan pendirian Antasari. Oleh
sebab  itu ia dengan keluarganya diam-diam meninggalkan
kediamannya di Antasan Senor, Martapura dan menyatukan diri dengan
kaum perlawanan di pedalaman. Puteranya yang bernama Gusti
Panembahan Muhammad Said, dikawinkan dengan Saranti, puteri
Panembahan Aling, tokoh yang berpengaruh di kalangan mereka.
Pangeran Antasari berhasil mempersatukan gerakan rakyat yang
dipimpin oleh Panembahan Aling di Muning dengan gerakan rakyat
yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil di Banua Lima. Wilayah per￾lawanan bertambah luas, meliputi Tanah Dusun Atas, Tabanio dan KualaKapuas, serta Tanah Bumbu. Semua menjadi satu front di bawah
pimpinan Pangeran Antasari untuk menentang Belanda dan
kekuasaannya yang memakai  Sultan Tamjidillah.
Pengaruh Pangeran Antasari menjadi makin luas, juga di kalangan
alim ulama Banjar yang sebagian besar bersedia ikut menempuh jalan
kekerasan. Pada permulaannya ia berhasil menghimpun sebanyak 6.000
orang lasykar.
Serangan pertama dilakukan pada tanggal 28 April 1859. Dengan
serangan itu maka meletuslah Perang Banjar. Pagi-pagi buta 300 or￾ang lasykar yang dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari menyerang
tambang batu bara dan benteng Belanda di Pengaron. Pertempuran
berlangsung hingga pukul 14.00 siang. Baik pihak Pangeran Antasari
maupun pihak Belanda berjatuhan korban.
Pengaron dikepung rakyat, lasykar Antasari. Komandan Beeckman
sangat kuatir sebab  persediaan makanan sudah menipis. Ia segera
mengirim kurir, tetapi kurir itu dapat dibunuh oleh lasykar. Keadaan di
luar tambang dan benteng Belanda di Pengaron dapat dikuasai lasykar
Pangeran Antasari. Dua puluh orang bersenjata parang menyelinap ke
dalam pos dan benteng tambang batu bara Oranje Nassau Pengaron,
tetapi diketahui musuh, dan semuanya gugur terbunuh.
 Dokter Belanda di dalam lokasi itu diamuk dan dibunuh oleh or￾ang hukuman. Pangeran Antasari sebagai pimpinan lasykar perlawanan
mengirim surat kepada Beeckman agar ia menyerah.
Dalam keadaan semacam ini pemerintah Belanda menganggap
bahaya terhadap Pangeran Antasari sehingga dianggap pemberontak
yang dikenai premie atau harga kepala 10.000 gulden (sekarang sukar
dinilai harga bandingannya) untuk menangkapnya hidup atau mati.
Demikian pula terhadap Pangeran Hidayatullah sebelum diasingkan.
ini  dilakukan Belanda setelah dihapuskan Belanda Kesultanan
Banjar dengan Proklamasi 11 Juni 1860.
Di dalam bulan suci Ramadhan 1278 H. (Maret 1862) para alim
ulama dan pemimpin rakyat dari Barito, Murung, Sihong, Teweh dan
Kepala-kepala Dayak Kapuas Kahayan berkumpul di Dusun Hulu untuk
menobatkan Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin, pemimpin tertinggi agama. Dengan demikian,
dalam pengertian rakyat, kedaulatan Banjarmasin sekarang dipegangoleh Pangeran Antasari. Kekuasaan dan kedaulatan dilaksanakan sesuai
dengan keadaan perang yang masih berkobar.
Belanda masih berusaha untuk berdamai dengan Pangeran Antasari
dan bersedia memberi pengampunan. Tetapi Pangeran Antasari sadar
bahwa itu hanya tipu muslihat Belanda saja.
Pangeran Antasari menolak ajakan Belanda dengan mengirim surat
kepada gezaghebber (Kepala Daerah/Penguasa) di Marabahan
(Bakumpai). Isinya ialah penolakan pengampunan yang dijatuhkan
Belanda kepada Pangeran Antasari. Ia tidak percaya kepada janji-janji
yang diberikan Belanda dan menganggapnya sebagai tipu muslihat
belaka.
Pangeran Antasari sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin hanya memberi satu jaminan untuk perdamaian, yaitu
diserahkannya Kesultanan Banjarmasin, sedangkan Belanda hanya
diizinkan untuk menarik pajak. Kalau syarat ini  tidak dipenuhi,
maka Pangeran Antasari memilih jalan meneruskan peperangan.
Ternyata Pangeran Antasari benar-benar menunjukkan jiwa
kepahlawanan. Beliau selalu berkata, “Haram Mayarah, Waja Sampi
Kaputing”! maksudnya haram hukumnya menyerah kepada musuh, tak
tergoyahkan, ulet, tabah sampai akhir. Perkataan ini diamanatkan pula
kepada keturunan beliau.
Waktu itu Pangeran Antasari sudah tidak muda lagi, usianya sudah
lebih lima puluh tahun. Dengan penuh kesadaran dan keyakinan ia
memimpin gerakan melawan pemerintah Belanda di Kalimantan
Selatan dan Tengah. Ia mempunyai kekuatan pribadi dan keluhuran
budi yang menjadi tenaga pendorong mengapa ia tetap mempertahankan
pendirinya tanpa pernah mundur setapak pun untuk berkompromi
dengan lawan sampai akhir hayatnya.
Pangeran Antasari telah membuktikan memiliki keahlian dalam
siasat perang gerilya serta mampu memimpin pasukan di daerah-daerah
yang luas lagi sukar didiami manusia. Ia yaitu pemimpin yang ulet,
tabah dan berwibawa, serta memiliki kekuatan batin untuk mengikat
para pengikutnya kepada tujuan yang mulia. Pangeran Antasari seorang
pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Pada saat para
bangsawan yang berkuasa dalam Kesultanan Banjarmasin secara
sistematik dikuasai dan dipecah belah Belanda dengan memanfaatkansituasi dan kondisi Kesultanan Banjar itu sendiri, maka Pangeran
Antasari mengangkat senjata dengan semboyannya: Haram manyarah,
waja sampai kaputing.
Sementara itu wabah penyakit melanda daerah pedalaman.
Pangeran Antasari jatuh sakit. Dalam keadaan sakit parah ia diangkut
ke pegunungan Dusun Hulu. Akhirnya wafat di Bayan Begok, Hulu
Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Kemudian di masa Indonesia
Merdeka, kerangka tulang belulang beliau dipindahkan dan
dimakamkan kembali di Kompleks Makam Pahlawan Perang Banjar,
jalan Mesjid Jami (yang sekarang : Makam Pahlawan Nasional
Pangeran Antasari) di Banjarmasin pada tanggal 11 Nopember 1958.
Menurut versi lain, bahwa kuburan Pangeran Antasari tidak hanya ada
di Bayan Begok dan Jalan Masjid Jami Banjarmasin, tetapi ada juga di
Kalampayan Martapura.
Pangeran Antasari mempunyai dua orang isteri yaitu Marjanah
dan Nurjannah. Dari perkawinan P. Antasari dengan Marjananah
melahirkan dua orang anak, yaitu Pangeran Matseman, yang
menggantikan kedudukan beliau setelah meninggal, dan Pangeran
Muhammad Said sebagai Mangkubumi pada saat Pangeran Matseman
berkuasa (keturunan Sultan Matseman dan P. M. Said masih ada di
Purukcahu). Sedangkan dari Perkawinannya dengan Nurjannah
melahirkan dua orang anak yaitu :(Pangeran) Ali Basyah dan (Pangeran)
Ali Juda (keturunannya masih ada di Sungai Madang dan Lok Baintan
Martapura).
Dengan wafatnya Pangeran Antasari rakyat kehilangan pemimpin
yang berani, tegas, tangguh, cerdik dan alim. Meskipun demikian
semangat perjuangan Antasari tetap berkobar-kobar. Rakyat Banjar
tidak tenggelam dalam kesedihannya dan segera kedudukan digantikan
oleh putera-putera beliau, yaitu Pangeran Muhammad Seman menjadi
sultan, yang dikenal sebagai Sultan Matseman, dan saudara Sultan
Matseman, yaitu Pangeran Panembahan Muhammad Said sebagai
Mangkubumi. Pusat pemerintahannya berpindah-pindah sebab 
senantiasa dikejar-kejar Belanda. Semula berpusat di Dusun Hulu
dengan kedudukan di Muara Teweh, kemudian di Kapuas Kahayan
dengan pertahanannya di dekat Sungai Patangan, paling akhir di Baras
Kuning di muara Sungai Manawing. Tidak hanya keturunan Pangeran
Antasari yang melanjutkan perlawanan itu tetapi juga rakyat Banjar,seperti Tumenggung Surapati, sampai meninggal tidak pernah
menyerahkan diri kepada Belanda; Demang Lehman yang tertangkap
melalui penghianatan tahun 1864 m, air mukanya tidak berubah dan
urat muka tak bergerak menaiki tiang gantungan, yang menunjukkan
ketabahan hati. Selesai digantung kepalanya dipotong Belanda; Jalil
gugur sebab  luka dalam pertempuran. Kuburnya ditemukan Belanda
dan dibongkar sedang kepalanya dipotong; Penghulu Rasyid dari Banua
Lawas, pemimpin golongan agama, sangat terkenal dengan gerakan
“baratib baamal”, bertempur dengan gagah berani. Pada tahun 1864
menderita luka-luka dalam pertempuran, lalu berusaha me￾nyembunyikan diri. Namun kaki tangan Belanda selalu membuntutinya.
Pengkhianat ini  dapat membunuhnya, kemudian memotong
lehernya dan menyerahkan kepala Penghulu Rasyid kepada Belanda
untuk mendapatkan hadiah. Nasib yang sama juga dialami oleh Haji
Buyasin, pejuang yang bersama-sama Demang Lehman melawan
penjajah Belanda di Tanah Laut. Pada tahun 1866 beliau dibunuh oleh
seorang kaki tangan Belanda, dan mayatnya diserahkan kepada Belanda
di Banjarmasin.
Demikian pula pejuang-pejuang lainnya seperti Tumenggung
Antaluddin, Tumenggung Cakrawati, Bukhari dan kawan-kawan.
Banyak sekali kalau dibeberkan satu persatu. Tumenggung Cakrawati
gugur, lalu digantikan oleh isterinya yang memakai namanya. Bukhari
dan kawan-kawan gugur melawan Belanda dalam Amuk Hantarukung,
di ujung abad ke-19.
Pangeran Antasari dan penggantinya melakukan taktik gerilya yang
bersifat prontal sehingga sangat merepotkan belanda. Biaya yang harus
dikeluarkan sangat besar, jauh lebih besar dari Perang Jawa (Perang
Diponegoro). Akhirnya pihak Belanda menerapkan strategi perang yang
ternyata sangat ampuh membatasi gerak pihak “brandaal”, demikian
para pemberontak itu dinamakan. Yaitu apa yang kemudian terkenal
dengan sebutan benteng stelsel dan, belakangan dilengkapi dengan
taktik “penglaparan” (uithongeren). Pada tempat-tempat tertentu
didirikan benteng, tempat tentara Belanda bertahan dan menangkis
serangan gerilya. Antara benteng yang satu dengan yang lainnya
dilakukan patroli secara berkala, dan untuk menunjang sistem jaringan
benteng ini  pada tempat-tempat didirikan gardu, suatu bangunan
tempat para serdadu Belanda melepaskan lelahnya saat  berpatroli.Dengan demikian gerak para gerilya menjadi sangat terbatas. ini lah
barangkali yang menyebabkan Pangeran Antasari membuat taktik lain,
yaitu menyebar luaskan berita tentang kematian dirinya, yang kebetulan
juga saat itu sedang terjadi wabah penyakit menular, dan berubah sisat
untuk hanya berada di belakang layar. Meskipun berita tentang
kematiannyasudah tersebar, namun agaknya perlawan terasa kuat, dan
sistem jaringan benteng ini disempurnakan dengan taktik yang di surat￾surat kabar Belanda dinamakan uithongeren.
Dalam melaksanakan siasat perang yang dianggap sangat tidak
berperi kemanusiaan ini, militer yang sedang berpatroli diperintahkan
untuk memusnahkan setiap tumpukan padi yang ditemuinya di tengah
hutan. Kaum gerilya yang masih setia pada komitment perjuangannya
akhirnya tidak tahan, lalu menyebar dan membangun pemukiman di
tempat-tempat yang jauh dari jangkauan Belanda. Saya menduga,
dengan memperhatikan ceritera penduduk tentang asal-usul mereka,
tempat pemukiman demikian itu antara lain ialah Kalampayan Hilir
dan Akar Bagantung dekat Martapura.
Pada tahun 1905 tanggal 1 Januari Sultan Muhammad Seman
gugur. Sesudah itu boleh dikatakan perlawanan secara fisik tidak begitu
memusingkan Belanda lagi. Perlawanan yang dilakukan oleh Ratu
Zaleha dan Gusti Muhammad Arsyad sebagai keturunan langsung
Pangeran Antasari tidak berhasil menguasai keadaan. Perang Banjar
yang apinya mulai dinyalakan Pangeran Antasari tanggal 28 April 1859
boleh dikatakan telah padam. Meskipun demikian semangat kejuangan
yang diwariskan Pangeran Antasari, beserta para pejuang lainnya terus
menyala, selalu mendorong langkah perjuangan hingga Indonesia
Merdeka, memelihara serta melestarikannya melalui pembangunan
nasional. 



Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Pada masa Sultan Tahlilullah berkuasa 1700 – 1745 M di Kerajaan
Banjar ada  sepasang suami istri yang bernama Abdullah dan Siti
Aminah yang bertempat tinggal di Lok Gabang Martapura. Pasangan
Abdullah dan Siti Aminah sangat berharap mendapatkan keturunan
sebab  bertahun-tahun lamanya belum juga mendapatkan anak dan
mereka selalu berdoa kepada Allah swt akhirnya lahirlah seorang anak
yang bernama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pada tanggal 19
Maret 1710 M atau 13 Safar 1122 H.
Muhammad Arsyad dipelihara oleh kedua orang tuanya dalam
lingkungan keluarga yang taat beragama, melihat kecerdasan dan
kemampuan yang dimilikinya, maka Sultan Tahlilullah tertarik untuk
meminta kepada orang tuanya agar menjadi anak angkat Sultan dan
dibawa ke lingkungan istana.
saat  berusia 30 tahun Muhammad Arsyad al-Banjari dikawinkan
oleh Sultan Tahlilullah dengan seorang wanita bangsawan yang terkenal
saleh dan taat beragama bernama Bajut. Pada saat isterinya Bajut sedang
hamil, Sultan Tahlilullah meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari pergi ke Tanah Suci Mekkah untuk menuntut ilmu agama
Islam.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menetap di Mekkah kurang
lebih 30 tahun dan di Madinah lima tahun untuk menuntut ilmu agama
Islam. Selama berada di tanah suci Mekkah sambil menuntut ilmu,
beliau juga mengajar murid-murid di Masjidil Haram (Zamzam; 6).Muhammad Arsyad al-Banjari bermusyawarah dengan teman￾temannya, yaitu al-Palimbani, Abdul Rahman al-Batawi dan Abdul
Wahab al-Bugisi, mereka meminta izin kepada gurunya, yaitu Atha’
Allah al-Masri, untuk menambah pengetahuan agama di Kairo. Meski
menghargai niat baik mereka, Atha’ Allah menyarankan jauh lebih baik
bagi mereka kembali ke Nusantara, sebab dia percaya kepada mereka
telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, dan mereka
memanfaatkan ilmunya untuk mengajar di tanah air. Namun mereka
tetap memutuskan pergi ke Kairo, tetapi hanya untuk berkunjung bukan
untuk belajar. (Khalidi; 11-12).
Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Rahman al-Batawi
al-Misri dan Abdul Wahab al-Bugisi kembali ke Nusantara pada tahun
1186 H/1773 M. sebelum dia kembali ke Banjarmasin, atas permintaan
al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan.
Meski dia tinggal di Batavia dalam waktu yang singkat, dia mampu
melancarkan pembaharuan yaitu membetulkan arah kiblat beberapa
masjid di Batavia. Menurut perhitungannya, kiblat masjid-masjid di
Jembatan Lima dan Pekojan, Batavia tidak diarahkan secara benar
menuju arah Ka’bah.
Guru-guru Muhammad Arsyad yaitu Syekh at-Thailah bin Ahmad
al-Azhari, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syekh Seman,
Iberahim al-Kurani, dan Ahmad al-Qusyasyi.
Karya-karya Muhammad Arsyad berjumlah 12 buah, yang
terklasifikasikan dalam tiga bidnag ilmu pengetahuan Islam, yaitu :
ilmu tauhid ada tiga; (1) Usuluddin, (2) Tuhafatu al-Raghibin fi Bayani
Haqiqati Imani al-Mu’mininwama Yufsiduhu min Riddhati al-Murtadin
dan (3) Al-Qaulu al-Muhtasar fi Alamati al-Mahdi al-Muntazar.
Dalam bidang Fikih ada tujuh buah, yaitu : (1) Parukunan Besar,
(2) Luqatul al-Nikah, (3) Sabilal al-Muhtadin li al Tafaquhi fi al Din,
(4) Kitabahu al-Nikah, (5) Kitab Al-Faraidh, (6) Syarah Fathi al-Jawad
dan (7) Fatwa Syekh at-Thailah.
Sedangkan dalam bidang tasawuf ada 2 buah, yaitu (1) Fathu al￾Rahman bi Syarhi Risalati al-Wali al-Ruslan dan (2) Tanju al-Ma’rifah.
Di samping itu ada sebuah Alquran yang berukuran besar yang ditulis
dengan tulisan tangan beliau sendiri. (Zamzam, 1974; 8).Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
a.Bidang Pendidikan
Semangat pembaharuan dalam kepribadian Muhammad
Arsyad al-Banjari untuk memperkenalkan gagasan-gagasan
dan lembaga-lembaga keagamaan terlihat setelah ia kembali
dari tanah suci Mekkah ke Martapura Kalimantan Selatan.
Salah satu yang dilakukannya setelah berada di Kalimantan
Selatan khusus di Martapura yaitu mendirikan lembaga
pendidikan Islam yang sangat penting untuk mendidik kaum
Muslimin guna meningkatkan pemahaman warga  atas
ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam. Di samping itu pula
menunjukkan di mana semakian hari semakin bertambah
banyak murid-murid datang dari berbagai penjuru, baik dari
kota maupun desa. Oleh sebab  itu, Muhammad Arsyad al￾Banjari meminta Sultan Tahmid Allah II (1167-1223/ 1773-1808)
memberinya sebidang tanah yang luas yang terletak di luar
kesultanan. Untuk mewujudkan ide gagasan beliau, maka
dibangunlah sebuah pusat pendidikan Islam, yang serupa
surau di Sumatera Barat atau Pesantren di Pulau Jawa. Pusat
pengetahuan Muhammad Arsyad al-Banjari terdiri atas
ruangan-ruangan untuk kuliah, pondokan para murid, rumah
para guru dan perpustakaan. Pusat ini secara ekonomis dapat
membiayai dirinya sendiri, sebab  Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari bersama dengan beberapa guru dan murid
mengubah tanah di lingkungan itu menjadi sawah produktif
dan kebun-kebun sayuran. Tak lama kemudian, pusat itu telah
menjadikan dirinya sebagai locus paling penting untuk
mlatihkan para murid yang di kemudian hari menjadi ulama
terkemuka di kawasan Kalimantan Selatan. (Azra; 1995; 254-
255).
Setelah dibangunnya pusat pendidikan ini , maka
menjadi mudah semua kegiatan yang dilaksanakan oleh
Muhammad Arsyad untuk menyebarkan agama Islam dan
mendidik murid-muridnya sebagai kader ulama. Lembaga
pendidikan non formal ini, pertama dalam warga  Banjar,
di sini telah diajarkan berbagai cabang ilmu pengetahuan
secara lebih luas dan mendalam. (Hasbullah; 1998; 64)Muhammad Arsyad dalam kegiatan belajar mengajar
dibantu oleh menantu dan sekaligus sahabat beliau Syekh
Abdul Wahab al-Bugisi. Pendidikan yang dikembangkan ada
yang memakai  sistem halaqah, yang bersifat umum yang
diikuti oleh warga . Sistem pendidikan ini para santri
duduk melingkar di sekeliling guru untuk menerima
pelajaran. Selain itu ada pula yang khusus atau sorogan
pelajaran hanya diberikan kepada keluarga dekat dan orang￾orang tertentu dengan memakai  kitab-kitab standar Arab
sebagai rujukan utama. Dalam sistem ini para santri secara
bergiliran menghadap gurunya dengan membaca kitab yang
akan dipelajari (Baderi, 1986 : 13).
 Sistem sorogan ini yaitu  bagian yang paling sulit
dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, sebab
menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi
dari murid. Setelah itu sistem ini terbukti sangat efektif, sebab 
memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan
membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid
menguasai pelajarannya (Dhofier; 29).
Pelajaran dasar yang diberikan oleh Muhammad Arsyad
yaitu Alquran dan baca tulis Arab Melayu, dan ibadah (fiqh)
dengan cara diimlakan, dilanjutkan dengan Nahwu dan Saraf
(Bahasa Arab), Tafsir, Hadis, Tauhid dan lain-lain. (Hasbullah;
1998; 66-67).
b.Bidang Hukum Islam
Muhammad Arsyad mengambil langkah penting lain
untuk menguatkan Islamisasi di wilayahnya dengan jalan
memperbaharui administrasi keadilan di Kesultanan Banjar.
Di samping menjadikan doktrin-doktrin hukum Islam untuk
dijadikan acuan terpenting dalam pengadilan kriminal,
Muhammad Arsyad, dengan dukungan Sultan, mendirikan
pengadilan Islam terpisah untuk mengurusi masalah-masalah
hukum sipil murni. Dia juga memprakarsai diperkenalkannya
jabatan Mufti, yang bertanggung jawab mengeluarkan fatwa￾fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan dan sosial(Khalidi; 18). Dengan prakarsa ini, Muhammad Arsyad
berusaha menjalankan hukum Islam di wilayah Kesultanan
Banjar. (Azra; 1995; 251-255).
Pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Arsyad
dalam bidang Hukum Islam (Fiqh) antara lain :
1. Pelaksanaan salat berjamaah tempat khsusu (langgar) untuk
keperluan dalam kegiatan beribadat dan kepentingan warga 
sekitarnya. Menurut Muhammad Arsyad yaitu  syiar Islam
sehingga bagi musafir dapat mengetahui bahwa daerah itu adalah
daerah komunitas muslim. Ia menetapkan hukum salat berjamaah
sebagai fardu kifayah bagi suatu dusun kecil yang berpenduduk
sekitar 30 orang muslim laki-laki mukallaf. (Rasyidah; 1990; 128).
2. Mengenai pemakaman mayat, Muhammad Arsyad mewajibkan
penggunaan tabala atau peti mati. Hukum ini ditetapkannya erat
kaitannya dengan kondisi alam daerah Kalimantan Selatan yang
berair, rawa, dan tanah gambut. Di samping itu juga untuk
menghindari dari gangguan binatang buas pemakan bangkai
sehingga ia mewajibkan memakai tabala. (Rasyidah, 1990; 128).
3. Pelaksanaan zakat sebagai manifestasi dari keadilan sosial, telah
maju sesuai dengan perkembangan zamannya, bahkan masih relevan
dengan zaman sekarang. Menurutnya zakat harus diberikan kepada
orang yang mustahak (orang-orang yang berhak) dan mempunyai
ketrampilan kerja, sehingga zakat ini  dapat dijadikan sebagai
modal usaha yang produktif bukan untuk konsumtif dengan maksud
agar si penerima zakat sejak menerimanya sampai usia kebanyakan
orang (kurang lebih 60 tahun), tidak lagi termasuk fakir miskin yang
menerima zakat. Sikap ini perlu diangkat ke permukaan dalam
memerangi kemiskinan umat Islam. (Rasyidah, 1990; 129).
4. pendapat Muhammad Arsyad mengenai Kenduri (maarwah/haulan),
yaitu : (a) sunat bagi seisi kampung serta keluarganya membawa
makanan untuk keluarga yang kematian. (b) makruh lagi bid’ah bagi
yang kematian menyediakan makanan untuk dimakan oleh orang
banyak baik sebelum maupun sesudah mayat dikuburkan, seperti
yang berlaku di warga  Banjar. (c) makruh lagi bid’ah bagi yangmenghadiri undangan jamuan yang disediakan bagi kenduri oleh
keluarga mayit. (d) haram menyediakan makanan bagi keluarga
mayit yang menangis dengan manyawak (nyaring) sebab  dianggap
menolong yang bersangkutan berbuat maksiat. (Muhammad Arsyad,
Sabilal Muhtadin II; 87).
c. Bidang Tauhid
Pemikiran Muhammad Arsyad dalam bidang akidah meliputi :
1. Konsep Iman, Muhammad Arsyad berpendapat bahwa esensi
iman yaitu “tasdiq” (membenarkan sesuatu) dalam hati. Ia juga
menyetujui pendapat lain esensi iman yaitu tashdiq dihati dan
ikrar (mengakui) dengan lidah. Namun beliau menolak pendapat
Muktazillah bahwa amal termasuk dalam esensi iman. Meksipun
demikian, ia sangat mendambakan terwujudnya iman sempurna
pada diri seorang mukmin, yaitu menyatunya tasdiq di hati, iqrar
dengan lidah dan amal lewat anggota, sebagaimana konsep iman
di kalangan fukaha dan ahli sufi.
2. Fungsionalisasi Iman dalam kehidupan, Muhammad Arsyad
berpendapat bahwa iman harus dipelihara dan dikembangkan
dalam kehidupan sehari-hari agar jadi iman yang sempurna dan
mantap. Ia sangat menekankan agar iman itu berfungsi dalam
segala aspek kehidupan manusia. Yaitu agar segala tindakannya,
baik keyakinan dan perkataan maupun perbuatan harus hati-hati,
supaya segala tindakan itu tidak sampai merusak atau
membinasakan iman yang ada.
3. Pemurnian akidah, Muhamamd Arsyad berpendapat bahwa
banyak praktik adat kebiasaan warga  yang bertentangan
dengan akidah Islam dan membahayakan akidah yang benar. Ia
menyebutkan sebagai contoh upacara menyanggar banua dan
membuang pasilih, yang dianggapnya sebagai perbuatan bid’ah
dalalah yang diharamkan, perbuatan ini  dapat membawa
kemusyrikan menurut pandangan mazhab Syafi’I dan aliran
Asy’ariyah. Oleh sebab  itu, ia menganjurkan agar umat Islam
meninggalkan upacara-upacara seperti itu, dan mengharapkan
pihak penguasa (raja-raja) berusaha memberantasnya.
4. Ahlussunnah Wal Jamaah, Muhammad Arsyad berpendapat
bahwa paham Ahlussunnah Wal Jamaah di bidang akidah padadasarnya yaitu paham yang sesuai dengan tuntunan Rasul dan
para sahabatnya, ini  sesuai dengan hadis yang berbunyi: “Ma
ana ‘alaihi wa ashhabi”. Dasar paham seperti itulah yang
dipegangi oleh aliran Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah. (Hasil
Penelitian Tim IAIN Antasari, 1988; 7-25).
d. Bidang Dakwah
Secara global ada tiga klasifikasi dakwah yang dikembangkan
Muhamamd Arsyad yaitu dakwah bil hal, dakwah bil lisan dan
dakwah bil kalam (tulisan).
Dakwah bil hal yaitu aktivitas dakwah melalui perbuatan nyata
dengan berbagai bentuk kegiatan dan hasilnya bisa segera dirasakan.
Ada beberapa bentuk dakwah Muhammad Arsyad yang dapat
diklasifikasikan dakwah bil hal, antara lain kaderisasi ulama,
memurnikan ajaran Islam, melalui perkawinan, integrasi dan
bekerjasama antara penguasa dan warga .
1. Kaderisasi Ulama, yang dilakukan Muhammad Arsyad adalah
mendirikan pengajian di kampung dalam Pagar dan selanjutnya
pengajian ini  dijadikan lembaga pendidikan yang bernama
Pesantren Darussalam. Lembaga pendidikan telah menghasilkan
kader-kader ulama yang tangguh di kawasan Kalimantan.
2. Memurnikan ajaran Islam, dakwah Islam yang diarahkan oleh
Muhamamd Arsyad pada warga  Banjar yaitu untuk
memurnikan ajaran Islam dari pengaruh ajaran animisme,
dinamisme, dan adat tradisional yang masih berakar dalam
kehidupan warga . Ia juga telah membentengi umat Islam
dengan ajaran tasawuf Suni agar tidak terpengaruh dari tasawuf
Falsafi yang dikembangkan Abdul Hamid Ambulung.
3. Perkawinan, dakwah yang dilakukan melalui perkawinan ini,
Muhamamd Arsyad lakukan secara nyata dengan mengawini seorang
wanita keturunan Cina yang bernama Go Hwat Nio (Gowat). Dengan
istri ini beliau memperoleh enam orang anak, dari keturunan ini
tersebar ulama yang cukup kharismatik yang ada pada saat ini seperti
: Drs.H.M. Qasthalani dan Guru H. Zaini Gani (Guru Ijai).
Muhammad Arsyad selalu menekankan kepada para dai agar kawin
dengan warga  setempat, agar dakwahnya dapat diterima oleh
amsyarakat. (Zamzam, 1979; 58).4. Integrasi dengan penguasa dengan warga , Muhamamd Arsyad
berhasil menyatukan penguasa dengan rakyatnya atas dasar ikatan
ajaran Islam sehingga tidak ada jurang pemisah, baik antara penguasa
dengan rakyat maupun antara umara dan ulama. ini  dapat dicapai
lantaran sistem pendekatan yang dilakukannya dimulai dari rakyat
dan kemudian penguasa (Zamzam, 1979; 58). Di samping itu, ia
memanfaatkan kondisi hubungan baik dengan penguasa, yaitu
dengan menebarkan dasar-dasar keagmaan dalam lingkungan
kerajaan melalui pengajaran dan fatwa. sebab  semua Sultan Banjar
semasa dengannya selalu menerima dakwah dan fatwanya bahkan
tidak ada seorang penguasapun berani menyakiti hatinya. Oleh
sebab  itu, agama Islam tumbuh dengan subur di Kesultanan Banjar.
(Abdullah, 1980; 16).
Dakwah bil lisan yang dilakukan oleh Muhammad Arsyad
yaitu melalui ceramah-ceramah di pengajian, majelis-majelis
taklim dan termasuk di lingkungan istana sendiri. Dalam
dakwah lisan ini ia terkenal arif dan bijaksana dalam
memakai  metode dakwah dan memilih materi dakwah
yang akan disampaikan. Semua ini selalu ia kaitkan dengan
situasi dan kondisi, terutama sekali keadaan warga  yang
akan didakwahinya.
Bidang tulis menulis, Muhammad Arsyad yang
disibukkan oleh berbagai kegiatan keagamaan, tetapi ia masih
sempat menulis beberapa buah buku yang berkaitan dengan
ajaran agama Islam. Diantaranya karyanya yang terkenal :
Kitab Ushuluddin, Lughatul Ajlan, Kitabul Faraidh, Kitabul Nikah,
Tuhfatur Raghibin, Sabilal Muhtadin, Qaulul Mukhtasar, Kanzul
Ma’ridah, Hasyiatu Fathul Jawad dan Mushaf Alquran.
(Abdullah, 1980; 41-42).
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan ruang
lingkup dakwah Muhammad Arsyad memiliki enam
kerangka dasar yang diletakkannya, yaitu : (a) Dakwah harus
dilandasi kealiman atau ilmu yang mampuni dan cinta kepada
ilmu pengetahuan, (b) Dakwah harus punya orientasi dan
prioritas terutama dalam mencetak ulama sesuai dengan
tuntuan warga , (c) Dakwah harus mempunyai fokuswawasan yang luas di berbagai kehidupan guna memperoleh
kemandirian yang dituangkan melalui dakwah bil hal, (d)
Dakwah harus mampu merangkul dan mengayomi semua
lapisan warga , sehingga tidak ada lagi jurang pemisah
antara penguasa dan rakyat, kaya dan miskin dan seterusnya,
(e) Dakwah harus diwujudkan secara elastis dan totalitas yang
mencakup dakwah lisan, tulisan dan perbuatan; dan (f)
Dakwah harus dijiwai dengan keikhlasan dan loyalitas yang
tinggi tanpa pamrih sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

 H. M. JAFERI

H. M. Japeri (1875-1932) yaitu putera dari ayah H. Umar dan

Ibu St. Hawa, ia lahir pada tahun 1292 H, kira-kira tahun 1875 M. Ia

berasal dari keluarga yang terkemuka dan terpandang di Alabio.

Kakeknya dari pihak bapaknya bernama H. Saefuddin terkenal sebagai

seorang yang kuat fisik dan berani. Dua saudara kakeknya itu, H.

Aminuddin dikenal sebab  kayanya dan H. Alimuddin sebab  alimnya.

Sejak umur 6 tahun sebagai biasa dilakukan oleh anak-anak

lainnya, M. Japeri mulai belajar membaca Alquran yang dapat

dikhatamkannya dalam waktu satu setengah tahun. Setelah itu

melanjutkan belajar membaca kitab agama. Mula-mula di Alabio,

kemudian ke Nagara (Kab. Hulu Sungai Selatan kini), setelah itu ke

Pamangkih (Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekarang) dan ke Kelua

(Kabupaten Tabalong sekarang).

Dalam usia 15 tahun, ia naik haji dan tinggal bermukim di Mekkah

untuk mengkaji agama selama 5 tahun. Dikenal sebagai seorang yang

sangat giat belajar, hingga sampai di waktu tidur malam hari

memakai  bantal dari buah kelapa, sebagai yang pernah sebelumnya

dilakukan oleh ulama besar Kalimantan alm. Syeikh Muhammad

Arsyad Al-Banjari yang kini bermakam di Kelampaian, Martapura.

Dalam usia lebih kurang 20 tahun H. M. Japeri kembali ke Alabio,

kawin dengan Hj. St. Safiah yang kemudian melahirkan 4 orang anak

lelaki, yaitu Abdul Karim Japeri (sudah meninggal, yang kemudian

kawin dengan St. Hadijah, mak cilik dari K.H. Zuchlah Kusumo dan

H. Djarnawi Kusumo), M. Hasan Japeri, M. Kasyful Anwar Japeri (kini

Naib dan Kepala Madrasah Mualimin Muhammadiyah di Alabio) dan

Achmad Tajuddin Japeri (kini pedagang di Banjarmasin).

Kegiatan yang dilakukannya ialah membangun sebuah balai, yaitu

untuk langgar/mushalla, yang di Alabio lazim dinamakan “madrasah”.

Selain untuk tempat shalat jamaah lima waktu, juga untuk tempat

memberikan pengajian agama sebelum dan sesudah shalat.

Bagi kaum pria diberikan pengajian agama secara khusus tiap hari

Ahad, hingga termashur dengan sebutan me-Ahad. Bagi kaum wanita

diberikan pada hari Senin yang mashur dengan sebutan “nyenayan”.

Tiap hari Selasa memberikan pelajaran ke luar Alabio, yaitu ke kampung

Jarang Kuantan (dekat Amuntai) dilakukan dengan naik kereta kuda,perahu atau mobil. Hari-hari Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu yaitu 

hari cadangan untuk memenuhi undangan ke tempat-tempat lain. Jadi

dalam satu minggu semua hari dipakai  dan disediakan untuk

kepentingan pengajian atau dakwah Islamiyah. Bagian bawah dari

madrasah dijadikan pondokan bagi santri (penuntut agama) yang datang

mengaji berasal dari Kelua, Tanjung, Tawia (Kandangan), Rantau,

Negara, dan lain-lain.

Hari-hari besar Islam terutama Idul Fitri dan Idul Adha disambut

dan dirayakan besar-besaran di antaranya dengan menyembelih kerbau

sampai 5 atau 6 ekor. Diskusi-diskusi agama selalu beliau adakan

dengan para ulama Alabio.

Dalam usia 32 tahun, pada tahun 1907 setelah 12 tahun mengajar,

beliau diangkat menjadi khatib Mesjid Jami’ Alabio yang dipegangnya

sampai wafatnya. Pada tahun 1908 diangkat menjadi anggota Road

Agama dan pernah diminta untuk menjadi mufti di Amuntai, tetapi

beliau tolak, sebab  merasa lebih suka menjadi orang swasta.

Menerima Benih Muhammadiyah

H. M. Japeri seorang ulama yang giat mengajar dan berdakwah,

juga giat belajar. Kitab-kitab yang memenuhi almari kitabnya,

kebanyakan berbahasa Arab dan tidak hanya menjadi pameran atau

pajangan. Tetapi dibaca, terbukti dari adanya catatan-catatan dengan

potlot atau dawat yang ada  dipinggir halaman kitab-kitab itu. Dan

untuk lebih menambah pengetahun, beliau berlangganan majalah “Al￾Munir” yang diterbitkan di Sumatera Barat.

saat  Serikat Islam berkembang di Kalimantan, maka di Alabio

juga berdiri cabangnya pada tanggal 22 Desember 1914. pemimpin SI

dari Jawa, alm. H. O. Tjokroaminoto pernah datang ke Kalimantan,

termasuk ke Alabio. H. M. Japeri termasuk anggota SI di Alabio.

Di Surabaya, saat  itu bertempat tinggal seorang berasal dari

Alabio, yaitu alm. H. Usman Amin, seorang pedagang dan terkemuka

di kalangan warga  Banjar (Kalimantan) dan penduduk Surabaya

di Surabaya, dengan H. Usman Amin yang menjadi sahabatnya, H. M.

Japeri sering mengadakan hubungan surat menyurat. Dari H. Usman

Amin, H. M. Japeri mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah

gerakan Islam di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan,yang bermaksud menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber

Alquran dan Sunnah Rasul, dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah,

balai-balai kesehatan, panti-panti asuhan dan memelihara mesjid￾mesjid, gerakan itu ialah Muhammadiyah.

H. M. Japeri sejak dari masa mengajinya di Mekkah kemudian

dengan hasil bacaannya dari majalah-majalah, memang sudah selalu

mengikuti perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam, baik di

Indonesia sendiri, terutama di Jawa dan Sumatera, maupun di luar negeri

seperti Mesir, Arabia, India, dan lain-lain. Semuanya itu menimbulkan

rasa serasi dengan apa yang diterangkan oleh H. Usman Amin tentang

Muhammadiyah kepadanya.

Sebelum secara resmi menerima dan menabur benih

Muhammadiyah di Alabio, H. M. Japeri sudah mulai berusaha dengan

lebih sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan memajukan umat Is￾lam di Alabio dan sekitarnya, yakni dengan jalan mengajak persatuan,

memberikan pengajaran dan tabligh sepanjang kemauan ajaran agama

Islam, berdasarkan Alquran dan Sunnah. Bersungguh-sungguh beliau

merubah ke arah sikap yang baru. Menggantikan yang kolot dengan

cara yang modern, yang tidak lepas dari rel agama.

Sejak itu sudah mulai beliau dapati tantangan dan reaksi dari ulama

lainnya dan juga dari warga  yang tidak dapat menerima perubahan￾perubahan itu. Sejak itu sudah beliau terima pahit getir dan kesukaran

dalam usahanya mencari keridhaan Allah.

Dalam bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta. Sengaja

pergi sendiri mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS met

de Quran yang didirikan oleh Muhammadiyah. Ditemani oleh H. Usman

Amin dari Surabaya. Kunjungan ke Yogyakarta itu sekaligus untuk

melihat dan menyaksikan sendiri amalan-amalan usaha

Muhammadiyah. Sayang sekali beliau tidak sempat bersua dengan KH.

Ahmad Dahlan, sebab  sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari

1923. Yang beliau tengok ialah makam kubur K.H. A. Dahlan di

Karangkajen, Yogyakarta.

Yang menarik kunjungan beliau dalam kunjungan di kota

Yogyakarta dengan diantar oleh seorang anggota HB Muhammadiyah

ialah bangunan-bangunan dan gedung-gedung amalan usaha

Muhammadiyah, yaitu sekolah-sekolah sejak SR sampai Wustha,Kweekschool dan lain-lain. Rumah-rumah pemeliharaan orang-orang

miskin, orang-orang jompo, buta, anak-anak yatim. Melihat poliklinik

rumah sakit dan apotiknya. Meninjau langgar, surau, mushalla dan

mesjid dan percetakan “Persatuan” yang menerbitkan majalah-majalah

termasuk SM Suara Muhammadiyah atau buku-buku pelajaran.

Mengunjungi pula internaat (asrama) pelajar Muhammadiyah di

Ngapilan yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, di mana tamu￾tamu dari Kalimantan itu dihibur dengan berbagai atraksi.

Sekembalinya dari Yogyakarta dan setibanya di Alabio dalam bulan

April 1923, H. M. Japeri langsung mengadakan musyawarah dengan

teman-teman beliau sendiri dari ulama, hartawan, dermawan dan

budiman, yang berhasil kemudian secara resmi mendirikan organisasi

Muhammadiyah di Alabio. Teman-teman beliau yang menjadi orang￾orang pertama bersama beliau mendirikan Muhammadiyah di Alabio,

ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H. Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah,

H. Bastami, H. Achmad (penghulu), H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H.

Hasbullah, H. Japeri Hambuku, Abdullah Maseri, H. Tahir (penghulu),

Bastami Jantera dan lain-lain.

H. M. Japeri menjadi Anggota Muhammadiyah pertama untuk

Kalimantan. Kartu anggota (bewys van Jidmaatschap) Muhammadiyah

beliau bernomor I/12.541. No. 1 menunjukkan angka anggota

Muhammadiyah dan No. 12.541 menyatakan jumlah anggota

Muhammadiyah seluruh Indonesia dewasa ini. Yang segera beliau dan

kawan-kawan usahakan ialah mendirikan sekolah Muhammadiyah.

sebab  belum ada gedung sendiri, maka pertama kali sekolah itu

bertempat di rumah seorang dermawan yaitu Mas Ridwan bersama

isterinya.

Di tengah berbagai macam halangan dan rintangan, dengan

mengatasi beraneka kesulitan, kemudian berhasil dibangun gedung

untuk sekolah itu. Dengan beliau sendiri yang lebih dulu memberikan

contoh memberikan dana berupa uang kontan dan bahan bangunan,

maka dalam suatu pertemuan antara anggota-anggota Muhammadiyah,

berhasil dikumpulkan dana yang kemudian dapat dipakai  untuk

membangun sebuah gedung besar dengan fondamen batu di atas tanah

di batas dua kampung yaitu kampung Teluk Betung dan Pandulangan,

dengan biaya ± 30.000 golden (f) pada tanggal 13 Juli 1926.Dan setelah gedung itu disertai dengan peralatannya selesai, maka

sekolah Muhammadiyah pindah dari rumah H. Matseman ke gedung

sendiri, yang mendapat sambutan hangat dan kesyukuran dari warga

Muhammadiyah, khususnya H. M. Japeri sebab  merasa usaha dan

cita-citanya yang nyata dan pertama telah terwujud. Berturut-turut

setelah itu dengan dipelopori beliau, dibangun gedung-gedung

keperluan Muhammadiyah lainnya, yaitu: Kantor Pengurus

Muhammadiyah lengkap dengan bibliotiknya, Rumah Panti Asuhan

Yatim, Sekolah Wustha/Mualimin yang menjadi tempat mendidik guru

dan kader penyebar Muhammadiyah di Kalimantan. Sekolah Aisyiyah

khusus untuk tempat belajar kaum puteri/wanita. Koperasi untuk

mendidik usaha bersama dan memajukan kegiatan Muhammadiyah.

Penerbitan majalah bersama “Seruan Muhammadiyah” dipimpin

Bastami Jantera. Dan merawat dan memelihara mesjid Jami’ Alabio.

Untuk memajukan sekolah-sekolah Muhammadiyah, didatangkan

guru-guru dari Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang telah terlatih dan

terdidik di Yogyakarta. Antaranya selain yang pertama kali Mas Ridwan

dan isteri, ialah H.M. Junus Anis dan Moh. Muammal (alm) (dari

Yogyakarta). Ahmad Hasan dan Siti Zaman Lembang Alam (dari

Sumatera), M. Kasim (dari Manado, Sulu). Guru puterinya selain yang

bersama suami seperti ibu Mas Ridwan dan St. Murah bersama suami

Asad Alkalali (orang Arab dari Cirebon), St. Hadijah (Kauman,

Yogyakarta) bersama suami Abdul Karim Japeri dan St. Muhaiyah

(Ngabean, Yogyakarta) bersama suami Mahjub.

Keluarga Muhammadiyah Alabio sendiri yang menjadi guru tidak

sedikit. Selain H. M. Japeri, sendiri ialah H. Bastami, Ardi Lait dahlan