sriwijaya

Awal berkembangnya kerajaan Sriwijaya terjadi di paruh ke-2 abad ke-7 M, masa itu kepulauan 
Nusantara semakin ramai dikunjungi oleh para musafir Cina dan India. Berdasarkan bukti￾bukti artefaktual, hubungan antara Nusantara, Asia Tenggara, India dan Cina sebenarnya telah 
terjadi sejak awal tarikh Masehi mulai dihitung. Masa itu kerapkali digolongkan dengan zaman 
protosejarah, yaitu suatu periode transisi antara masa prasejarah dan sejarah. 
Sriwijaya merupakan kerajaan yang bercorak kebudayaan India tertua ke-3 setelah dua kerajaan 
pendahulunya pernah berkembang sekitar abad ke-4 M, yaitu Kerajaan Tarumanagara di Jawa 
bag ian barat dan Kutai Kuno di Kalimantan Timur. Prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh kerajaan 
Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu Kuno, hal itu jelas menunjukkan adanya keeratan 
hubungan antara penguasa dan rakyat, sedangkan prasasti-prasasti Tarumanagara dan Kutai 
Kuno masih menggunakan bahasa Sansekerta, bahasa tingkat tinggi yang hanya dimiliki oleh 
kaum agamawan India Kuno. 
Tinggalan Sriwijaya tersebar tidak hanya di wilayah Sumatra Selatan, namun juga didapatkan 
di wilayah Jambi, Pulau Bangka, Lampung, di wilayah Semenanjung Melayu, di di daerah 
Thailand selatan . Berdasarkan temuannya yang tersebar meluas tersebut mudah untuk 
ditafsirkan bahwa Sriwijaya pada masanya sudah tentu mempunyai armada angkatan laut 
yang memadai. 
Prasasti Kedukan Bukit yang dapat dijuluki sebagai prasasti Proklamasi Kerajaan Sriwijaya 
menjadi tonggak pertama berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya resmi ditegakkan oleh 
Dapunta Hyang pada tanggal 16 Juni 682 M. 
Berdasarkan cakupan pengaruhnya yang luas memintas laut dan selat, maka dapat 
dipastikan bahwa Sriwijaya adalah salah satu kerajaan bahari pada masanya. Sriwijaya 
pernah mempersatukan Nusantara, setidaknya wilayah bagian barat Nusantara 
di awal sejarah, sebelum kerajaan-kerajaan besar lainnya berkembang
Perdagangan di Nusantara muncul karena adanya kebutuhan akan rempah-rempah 
(pala, lada, dan cengkeh). Melalui perdagangan ini terbentuklah jaringan pelayaran 
dan perdagangan antara Kanton, Sriwijaya, Jawa, dan Melayu . Dari Sriwijaya 
selanjutnya para pedagang menuju ke Nusantara bagian timur, India, Persia, dan 
Arab . 
Untuk menuju Sriwijaya, para pelaut harus melewati Pulau Bangka yang terkenal 
dengan Bukit Menumbing-nya . Bukit Menumbing dijadikan pedoman oleh para 
pelaut untuk memasuki Sungai Musi karena terletak di mulut Sungai Musi yang 
menjadi jalan masuk ke lbukota Sriwijaya. Dalam peta Mao K'un yang dibuat oleh 
Ma-huan pada sekitar awal abad ke-15, disebutkan nama Peng-chia Shan (shan 
= gunung). Nama ini diidentifikasikan dengan Bukit Menumbing yang letaknya di 
sebelah barat laut Pulau Bangka. 
Gambaran yang diberitakan oleh orang-orang asing yang pernah berkunjung ke 
Bangka dan Palembang (Sriwijaya) masih dapat disaksikan jika kita berlayar ke luar 
mulut Sungai Musi . Di selat Bangka akan tampak samar-samar pada arah timur laut 
sebuah bukit yang menonjol, itulah Bukit Menumbing.
lnfomasi mengenai keberadaan Sriwijaya dapat diketahui melalui beberapa bukti 
prasasti yang ditemukan di beberapa stus. 
• Prasasti Kota Kapur 
Prasasti Kota Kapur ditemukan di situs Kota Kapur, Keeamatan Mendo Barat, 
Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan BangkaBelitung. Prasasti berbentuk tugu yang 
ditemukan pada tahun 1892 ini kadatuan (=kerajaan) bernama Sriwijaya. Prasasti 
Kota Kapur berisi tentang kutukan bagi orang-orang yang hendak memberontak 
atau tidak takluk kepada Sriwijaya. Pada bagian akhir prasasti disebutkan bahwa 
prasasti tersebut ditulis pada tahun Saka 608 hari pertama paruh terang bulan 
Waisakha (28 Februari 686 Masehi) ketika akan menyerang Jawa yang tidak takluk 
kepada Sriwijaya. 
Pada situs tersebut juga ditemukan area Wisnu yang diduga berasal dari sekitar a bad 
ke-6-7 Masehi. Gaya seninya dipengaruhi oleh gaya seni area pre-Angkor (Kamboja) 
yang berkembang pada sekitar abad ke-6 Masehi . 
• Prasasti Kedukan Bukit 
Dalam prasasti yang ditulis pada 604 S?ka (16 Juni 682 Masehi), dijelaskan mengenai 
Dapunta Hiyang yang menaiki perahu 'mengambil siddhayantra' dan menyebutkan 
kemenangan Sriwijaya . 
• Prasasti Talang Tuo 
Prasasti Talang Tuo menyebutkan bahwa pada tanggal 23 maret 648 M didirikan 
sebuah taman yang dinamakan Sriksetra di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. 
Selanjutnya disebutkan harapan-harapan terhadap tempat tersebut. 
• Prasasti Telaga Batu 
Dalam prasasti ini disebutkan berbagai maeam kutukan apabila melakukan perbuatan 
jahat serta pujian untuk orang yang melakukan perbuatan baik terhadap Sriwijaya.
Agama Buddha masuk ke Nusantara dibawa oleh para pendeta yang ikut dalam 
kapal dagang . Bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan keberadaan agama Buddha 
di Nusantara ditemukan di situs-situs Batujaya (Karawang, Jawa Barat), Batu Pait 
(Sanggau, Kalimantan Barat), Kota Bangun (Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur), 
Sempaga (Sulawesi Barat), dan Wadu Pa'a (Bima, Nusatenggara Barat). Di Sriwijaya 
(Sumatera) dan Medang (Jawa) agama Buddha mulai berkembang pada abad ke-7 
sampai 9 M. Berdasarkan temuan votive tablet dari Batujaya yang mirip dengan 
yang ditemukan di Thailand, diduga agama Buddha pada awalnya adalah Buddha 
Hinayana (Therawada). 
Sriwijaya pada masa lalu menjadi tempat belajarnya para bhiksu sebelum 
melanjutkan ke Nalanda (India). Seperti yang dikatakan 1-tsing yang datang ke 
Sriwijaya pada abad ke-7, di Sriwijaya tinggal lebih dari 1000 bhiksu dan juga 
bhiksu-bhiksu ternama, seperti Sakyakirti. 
Pengaruh Sriwijaya dalam bidang agama Buddha ini tampak dari penyebaran gaya 
seni pada area-area gaya Sailendra yang berkembang pada abad abad ke 8-9. 
Area-area tersebut banyak ditemukan di Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu. 
Diduga gaya seni ini mulanya berkembang di Jawa. Sumatra, Thailand, dan 
Malaysia . 
Sriwijaya sebagai sebuah kota yang bernuansa Buddhis banyak ditemukan 
area Buddha, Bodhisattwa, dan perlengkapan para penziarah yaitu berupa 
stupika dan votive tablet dari tanah liat.
• Arkeologi Lahan Basah 
Peninggalan sebelum masa Sriwijaya terdapat di 
beberapa lokasi yang berupa rawa-rawa, yaitu Situs 
Karangagung Tengah dan Situs air Sugihan. Selanjutnya 
ketika Sriwijaya diserang Cola tahun 1025, ibukota 
Sriwijaya pindah ke Jambi. Sisa-sisa tinggalan Sriwijaya 
abad ke-9 sampai 13 M ditemukan pada lahan basah, 
tepatnya Daerah Aliran Sungai Batanghari. 
• Wanua Sriwijaya, Rekonstruksi Kota Sriwijaya 
Rekonstruksi kota Sriwijaya berdasarkan tinggalan 
budaya yang menunjukkan identitas peruntukannya. 
Kota ini dibagi menjadi tiga, yaitu lokasi pemukiman, 
lokasi upacara keagamaan, dan Taman Sriksetra yang 
pernah dibangun oleh Dapunta Hiyang Srijayanasa. 
Permukiman penduduk kota Sriwijaya diperkirakan 
berdasarkan temuan pecahan keramik dan tembikar, 
tiang-tiang kayu, sisa industri, dan sisa barang-barang 
keperluan sehari-hari. Sisa permukiman ini ditemukan 
di daerah yang rendah di sepanjang tepian sisi utara 
Musi. Lokasi kegiatan upaeara keagamaan ditentukan 
berdasarkan temuan sisa bangunan bata, area batu 
dan logam, manik manik kaca dan batu, dan barang￾barang upacara keagamaan. Sisa bangunan-bangunan 
tampak mengelompok di beberapa tempat agak jauh 
dari tepian sungai Musi . 
• Situs Karanganyar 
Di sebelah selatan Bukit Siguntang, di wi layah 
Kelurahan Karanganyar dan Kelurahan 36 llir, 
Kecamatan \lir Barat I terdapat sebuah dataran rendah 
yang berupa rawa . Berdasarkan penelitian arkeologi, 
pada wilayah tersebut ditemukan sisa-sisa bangunan 
air, yaitu kanal-kanal, kolam buatan, dan parit-parit 
kuno.
• Situs Tingkip 
Situs Candi Tingkip terletak di Desa Tingkip, Keeamatan 
Surulangun, Kabupaten Musi Rawas, Propinsi Sumatra Selatan. 
Pada tahun 1980 di sebidang tanah yang merupakan kebun 
karet ditemukan sebuah area Buddha dan runtuhan bangunan 
bangunan bata. 
Area Buddha ini digambarkan berdiri pada sebuah padmasana 
(teratai) dengan sikap tangannya witarkamudra, dan memakai 
jubah yang digambarkan transparan menutup kedua bahunya. 
Tinggi area keseluruhan 172 em. Jika dilihat dari sikap 
tangannya, tampak area ini termasuk dalam kelompok area￾area pre-Angkor yang berkembang pada abad ke-6-7 Masehi 
atau langgam Dwarawati yang berkembang di Thailand pada 
abad ke-6-9 Masehi. 
• Situs Bingin Jungut 
Situs Bingin Jungut atau Situs Bingin 
seeara terletak di D~sa Bingin ungut, 
Keeamatan Muara Kelingi, Kabupaten 
Musi Rawas, Sumatra Selatan, 
tepatnya di sisi sebelah timur Sungai 
Musi di Kabupaten Musi Rawas. 
Pada situs ini ditemukan sebuah area 
Awalokiteswara yang bertangan 
empat(disimpan di Museum Nasional) 
dan sebuah area Buddha yang 
belum selesai (disimpan di Museum 
Balaputradewa, Palembang). Selain 
itu juga ditemukan struktur fondasi 
bangunan bata.
• Batanghari dan Kerajaan Malayu 
Daerah Aliran Sungai Batanghari diperkirakan dahulu menjadi pusat Kerajaan Malayu 
yang sudah berkembang sebelum masa Sriwijaya. Berdasarkan Prasasti Karangberahi, 
pada sekitar tahun 660 Kerajaan Malayu menjadi bagian dari Sriwijaya. Setelah 
Sriwijaya melemah, sejak a bad ke-9 hingga a bad ke-1 0 kerajaan Malayu "merdeka" 
dan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Adityawarman dengan 
pusatnya di wilayah Sumatera Barat. Pada waktu itu agama Buddha berkembang 
menurut aliran Tantrayana . Tinggalan budaya dari masa ini yang banyak dikenal 
adalah sebuah area Bhairawa yang ditemukan bersama runtuhan bangunan candi di 
situs Padangroco. 
Di wilayah DAS Batanghari terdapat Kompleks Percandian Muara Jambi yang 
merupakan satu kompleks percandian yang dibangun dalam beberapa periode mulai 
dari sekitar abad ke-1 0 hingga abad ke-11 Masehi . 
• Kompleks Stupa di Muara Takus 
Pada kompleks percandian Muara Takus terdapat lima bangunan, yaitu Stupa Mahligai, 
Tua, Bungsu, Palangka, dan sebuah bangunan yang tersisa sisa fondasinya. Tinggalan 
lainnya adalah tanggul (benteng) tanah yang panjangnya lebih dari 4 km . 
Beberapa ahli menyatakan bahwa situs ini berasal dari sekitar abad ke-7 dan dikaitkan 
dengan kedatangan 1-tsing ke Sriwijaya. Kemudian ada juga yang mengatakan berasal 
dari sekitar abad ke-12 Masehi setelah perluasan dari bangunan asli yang dibangun 
pada abad ke-11 Masehi.
Batanghari and Malay Kingdom 
Batang Hari River Basin was initially the center of Malay Kingdom which had developed 
before Sriwijaya period. Based on Karangberahi inscription, around 660 AD, Malay 
kingdom was part of Sriwijaya. After Sriwijaya collapsed, since the 9th-1Oth century, Malay 
kingdom became independent and reached its peak during the reign of Adityawarman with 
headquarters in West Sumatra. At the time, Buddhism developed based on Tantrayana￾ism. One of the outstanding cultural heritage from this period is Bhairawa statue that was 
discovered along with the collapse of the temple on Padangroco site. 
Muara Jambi complex, which is an enshrinement complex built in a period ranging from 
about the 1Oth - 11th century AD, lies in Batanghari basin. 
Stupa Complex in Muara Takus 
There are five buildings in Muaratakus complex, namely Mahligai Stupa, Tua, Bungsu, 
Palangka, and remains of a building. Other haritages are dykes (fortress) of land in a length 
of more than 4 km. 
Some experts claim that the site was derived from the 7th century and was associated with 
the arrival of 1-tsing to Sriwijaya. Some also predicted it was from around the 12th century 
AD after t he expansion of the original building 
that was built in the 11th centu ry AD
• Raksasa Menari Di Padang Lawas 
Di daerah Padang Lawas pada areal seluas 1500 km persegi, 
tepatnya di Sungai Barumun, Batang Pane, dan Sirunambe 
ditemukan sekitar 26 runtuhan biaro yang terbuat dari bata. Di tepian Sungai 
Batang Pane terdapat Biaro Gunung Tua, Si Topayan, Hayuara, Haloban, Ronda man, 
Bara, Pulo, Bahal I, Bahal II, dan Bahal Ill; di tepian Sungai Sirunambe, yaitu Batu 
Gana, Si Soldop, Padangbujur, Nagasaribu, dan Mangaledang; dan tepian Suangai 
Barumun, yaitu, Pageranbira, Pordak Dolok, Si Sangkilon, Si Joreng Belangah 
(Tandihet 1), Tandihet 11, dan Si Pamutung . Tidak semua lokasi yang disebutkan itu 
terdapat runtuhan bangunan, melainkan hanya terdapat artefak seperti prasasti, 
area, dan stambha (tiang batu). 
Runtuhan bangunan candi di Padanglawas disebut biaro (=vihara dalam bahasa 
Sanskerta), sebutan yang biasa dipakai masyarakat untuk menyebut bangunan 
candi Buddha atau Hindu di Sumatera, Tetapi di India, vihara adalah biara yang 
merupakan tempat tinggal para pendeta atau biksu . 
Beberapa peneliti menduga bahwa tinggalar:Hinggalan budaya di Padanglawas 
dikaitkan dengan Kerajaan Pane sebagaimana disebutkan dalam Prasasti 
Rajendracola dari Tanjore. Menurut prasasti ini, Pane adalah salah satu kerajaan 
yang diserbu oleh Kerajaan Cola
• Percandian Bumiayu 
Sebagian besar tinggalan Sriwijaya bersifat agama Buddha, namun juga terdapat situs yang 
memiliki latar keagamaan Hindu . Situs Pereandian Bumiayu memiliki luas sekitar 15 hektar 
dan ditemukan 11 gundukan yang di bawahnya terdapat struktur bangunan bata yang 
bersifat sakral maupun profan . Empat buah bangunan di antaranya sudah selesai dipugar. 
Ketika dilakukan pemugaran, di antara runtuhan bangunan Candi 1 ditemukan area￾area Agastya, Siwa Mahaguru, dewa, dan area stambha yang diuga merupakan angka 
tahun dalam bentuk sangkala memet (=angka tahun yang digambarkan seperti area). 
Sementara itu di antara runtuhan Candi 3 diteumkan area-area dari bahan tanah liat yang 
menggambarkan raksasa dan bhairawi.

 ..... bulan Jyestha Dapunta Hiyang bertolak dari Minanga sambil 
membawa dua laksa tentara dengan perbekalan sebanyak dua ratus 
(peti) berjalan dengan perahu dan yang berjalan kaki sebanyak seribu 
tiga ratus dua belas datang di Mukha Upang ... " 
lni lah cuplikan dari isi prasasti Kedukan Bukit yang ·mengindikasikan bahwa Sriwijaya adalah 
sebuah kerajaan bahari . Tentara Sriwijaya yang naik perahu jauh lebih banyak daripada yang 
berjalan kaki . Dikatakan berangkat dari sebuah tempat yang bernama Minanga dan tiba di 
suatu tempat yang bernama Mukha Upang . 
Bukti-bukti kuat Sriwijaya sebagai kerajaan bahari dengan ditemukannya runtuhan perahu 
yang berasal dari sekitar abad ke-6-7 Masehi, yaitu di Kolam Pinisi, Samirejo, Tulung Selapan, 
Karang Agung, dan Kota Kapur. Runtuhan kapal yang ditemukan tersebut pada papan￾papannya mempunyai kesamaan, yaitu ditemukannya tambuko, tonjolan segiempat panjang 
pada salah satu permukaan papan . Tonjolan ini mempunyai lubang pada bagian samping 
yang tembus pada bagian atas. Pada lubang lubang ini biasanya ditemukan sisa dari tali ijuk. 
Perahu-perahu Sriwijaya dibuat menurut tradisi budaya Asia Tenggara, yaitu dengan 
menggunakan '"teknik papan-ikat dan kupingan pengikat" (sewn-plank and lashed-lug 
tech nique). Dalam membangun perahu yang menggunakan teknik ini, untuk membentuk 
bagian lambung caranya dengan menyatukan antara satu papan dengan papan lain 
menggunakan pasak kayu/bambu yang diperkuat dengan ikatan tali ijuk pada bagian 
tambuko. Bentuk perahu yang dibangun menurut tradisi budaya Asia Tenggara dapat dilihat 
pada relief perahu pada Candi Borobudur.
Bukti prasasti cukup meyakinkan kepada kita bahwa Palembang merupakan pusat awal kerajaan SrTwijaya. 
Namun, bukti tersebut perlu didukung bukti arkeologis lain untuk menguatkan kesimpulan tersebut. 
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di belahan utara Palembang , dapat diduga 
bahwa seluruh Palembang sisi utara Sungai Musi merupakan kota awal SrTwijaya abad ke-7-13 
Masehi. Pemukiman kota SrTwijaya terus bersinambung hingga kini dengan penduduk yang terus 
bertambah. 
Sebagai langkah awal pelestarian situs pusat kota Sriwijaya, muncullah gagasan pembangunan 
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di Kota Palembang . Selanjutnya dipilihlah Situs 
Karanganyar sebagai lokasi taman dengan alasan antara lain merupakan bangunan yang 
"monumental" dan mencirikan kota SrTwijaya sebagai kota dengan permukiman di lahan basah. 
Hingga pada tanggal 22 Desember 1994 Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya diresmikan pada 
oleh Presiden Soeharto. 
Tujuan utama pembangunan TPKS ini adalah untuk melestarikan sekaligus memanfaatkan 
peninggalan masa SrTwijaya di wilayah Sumatra Selatan pada umumnya dan di Palembang 
khususnya. Upaya pelestarian ini dimaksudkan juga untuk memamerkan peninggalan peninggalan 
dari masa SrTwijaya, sehingga akan tampak peran Kerajaan SrTwijaya dalam perkembangan 
sejarah kuno Indonesia. Diharapkan melalui penghayatan akan kebesaran SrTwijaya ini akan dapat 
tertanam rasa cinta kepada warisan budaya nenek moyang di kalangan masyarakat Indonesia dan 
khususnya masyarakat Sumatra Selatan.