• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label majapahit 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majapahit 5. Tampilkan semua postingan

majapahit 5




Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan 
Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang.) 
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai. 
Raden Patah. 
Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang? 
Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki seorang putra 
bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan 
Eng Kian dengan Arya Damar sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan 
nama muslim Raden Hussein. 
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh ayahnya Arya 
Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia 
berkeinginan untuk bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya. 
Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden 
Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik 
yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya 
kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik. 
Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan 
memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang 
melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang 
lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar. 
Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai 
tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk.Ada 
kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri. 
Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi khusus 
kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di 
pesisir Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara 
Jawa bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan 
Jawa Barat di Cirebon. 
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran 
Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif 
Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada 
bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka.) 
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel dengan 
diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, 
dia diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal 
masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah. 
Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah 
melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula hanya berniat untuk 
bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu. 
Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah tumbuh dewasa. 
Dan manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu 
Brawijaya mengabulkannya. Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia 
memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi. 
Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan 
untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong tenaga dan dana dari Majapahit, 
berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon 
Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten dibentuk, 
dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah, dikukuhkan oleh Sang Prabhu 
Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom Islam baru disana. 
Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara 
juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara 
barat dan timur pesisir utara Jawa. 
Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena 
itu tetap dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih 
mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara 
sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya 
telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam 
kedaulatan Majapahit. 
Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya Damar, menyusul 
ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak 
terpengaruh ide-ide pendirian ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah 
Terung ( Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha. 
Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak disertai 
kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai masalah dikemudian hari. Bibit-
bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah kepermukaan. 
Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya. 
 
Peperangan tak dapat lagi dielakkan. Dalam situasi yang sangat genting, mereka yang sadar-pun 
harus mengambil tindakan tegas dan masuk akal, yaitu MEMPERTAHANKAN DIRI. 
 
 
 
Mendekati detik-detik pemberontakan 
emak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan 
militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak 
Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan pertemuan. Jadilah Demak 
Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali. 
Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari 
Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah 
Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. ( 
Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. 
Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan Majapahit dan 
Pajajaran. : Damar Shashangka). 
Nama asli Syarifah Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama kakaknya 
Pangeran Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika berada di Makkah, Dewi Rara 
Santang dipinang oleh bangsawan Mesir, Syarif Abdullah. Menikahlah Dewi Rara Santang 
dengan bangsawan ini. Dan namanya berganti Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah 
Syarif Hidayatullah. 
Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir utara Jawa barat. 
Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas berubah menjadi Caruban. Berubah 
lagi menjadi Caruban Larang. Pada akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang. 
Pangeran Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana. 
Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar kehormatan Shri Manggana. 
Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama 
Sunan Gunung Jati. 
Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Pusat 
Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti 
Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha 
dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa, beliau 
tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat. Adapula yang menuduh sebagai 
antek-antek Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. ( Akan 
saya buat catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka). 
Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa 
menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. 
Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak 
saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari. 
Konsentrasi Dewan Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui 
serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi Islam sudah cukup 
siap untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih 
secara mutlak sebagai pemimpin gerakan. 
Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi semenjak Dewan Wali 
Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu 
Abangan kian meruncing. 
Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha 
merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut campur. 
Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan. Pasukan Telik 
Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus rencana ini. Prabhu Brawijaya mendapat laporan 
para pasukan Intelejen yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu 
mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri 
akan nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya tidak memahami betapa militant-nya orang 
yang sudah terdoktrin! 
Dan manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu pasukan orang-orang 
Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang ada di wilayah pesisir utara Jawa timur 
sampai Jawa barat mulai bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut. 
Mereka tidak menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya. 
Setiap daerah yang dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan 
mereka cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, 
tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah perdaerah yang dilewati, harus melawan 
sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba 
mendadak. Dan tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur. 
Gerakan pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera melarikan 
diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari 
orang-orang Islam itu. 
Dan dari mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu telah 
terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih. Berbendera 
tulisan asing! Berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat 
dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Negara 
Majapahit. 
Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya. Laporan pasukan Telik 
Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan.. Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa 
mengerti, mana mungkin Raden Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam 
berani dan tega mengadalan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan 
material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu Brawijaya seketika serasa sesak 
bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva berkali-kali. 
Seluruh pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu 
berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah apapun. Pergerakan pasukan sudah 
memasuki Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota 
Negara. Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan semua telah 
masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu. 
Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah 
ikut bergabung dengan pasukan ini. 
Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan khusus kepada Sang 
Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang! 
Sang Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati Kertosono 
melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah Sang Prabhu 
tersadar! Segera beliau memerintahkan seluruh pasukan Majapahit untuk mempersiapkan sebuah 
perang besar! 
Para Panglima yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita! 
Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh kekuatan Majapahit 
segera dipersiapkan. 
Pasukan Majapahit telah siap sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan 
sekali lagi, mereka tinggal menunggu perintah untuk MENYERANG! 
Dan komando terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan Majapahit resah. Para 
Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris depan terus mendesak kepada Para 
Panglima masing-masing agar segera mengeluarkan perintah penyerangan! 
Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung, meminta kepada Prabhu Brawijaya 
untuk segera memberikan komando terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang 
memperkuat barisan Majapahit adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah. 
Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya sehingga mengadakan 
gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak melihat ada yang salah dengan 
pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang 
muslim-pun, bisa bebas menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat 
sebagai seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main. 
Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya. 
Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang sudah bersiap 
sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar biasa! 
Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo Palon dan Naya Genggong 
meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? 
Beliau masih tidak yakin pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. 
Sabdo Palon dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para pasukan ini 
sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan satu-satunya sekarang adalah, 
menghadapi mereka secara frontal. Pada saat ini, tidak ada cara lain. 
Dan manakala kabar terdengar pasukan Demak telah merangsak maju dan memasuki 
pinggiran ibu kota Majapahit, dan disana mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat 
terpaksa, Sang Prabhu mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu sebenarnya telah 
terlambat! 
Begitu keluar perintah penyerangan, ada hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan 
beberapa daerah yang lain membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari 
daerah-daerah yang sudah muslim. 
Dan, peperangan pecah sudah! 
Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin oleh Sunan 
Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya Lembu Pangarsa. Prajurid 
Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid yang sudah berpengalaman tempur ini dan 
disegani diseluruh Nusantara, sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden 
Bondhan Kejawen yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut 
mengamuk dimedan laga! 
Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit yang berasal dari daerah muslim, 
membelot. Namun, pada hari pertama, pasukan Demak Bintara terpukul mundur! 
Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung 
tewas! (Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang.) Pasukan Demak 
mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan 
Kudus. Pertempuran kembali pecah! 
Namun bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan 
Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara. Kehebatan pasukan Majapahit 
yang terkenal itu, ternyata terbukti! 
Pasukan Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang 
bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat suntikan darah segar. 
Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-
orang Demak. 
Pasukan Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan 
tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan pangan ludes! ( 
Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib milik Adipati Arya Damar dari Palembang 
yang apabila dibuka, mampu mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan 
bahan pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka). 
Majapahit kebobolan luar dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan 
hal itu. Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun pasti, pasukan 
Majapahit terpukul mundur! 
Mendengar pasukan Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan 
Khusus Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah sedemikian 
genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan 
secepatnya, karena untuk menyatukan kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu 
Brawijaya, masih dibutuhkan! 
Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya segera keluar dari Istana. 
Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau 
yang kondusif untuk saat ini. 
Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh pasukan Islam ke 
Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang masih kecil, diselamatkan oleh 
pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten Ponorogo. 
Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana dirusak dan dibakar!. 
Perusakan terjadi dimana-mana. ( Maka jangan heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit 
yang terkenal di Nusantara itu, musnah tak berbekas. : Damar Shashangka ) 
Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang ‘ditutupi’. 
Perang yang semula melibatkan dua kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini merembet 
menjadi perang sipil. Mereka yang merasa diatas angin, kini menjadi sosok malaikat maut. 
Pertumpahan darah terjadi. Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan lama, 
berhadapan secara frontal dengan mereka yang telah berpindah keyakinan. 
Dimana-mana, situasi anarkhis terjadi. Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-
mana kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu pertiwi menangis. Ibu pertiwi terluka. 
Putra-putranya kini tengah saling menumpahkan darah hanya karena disalah satu pihak tengah 
dilanda ‘ketidak sadaran’. 
Akibat tragedi yang mencerabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit ini, bangunan-
bangunan indah dari Kerajaan Agung Majapahit, musnah tak berbekas! Majapahit yang terkenal 
sebagai Macan Asia, ludes dibabat habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah 
mitos belaka, karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini, hancur karena 
kepicikan. 
Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga 
sekarang. 
Eksodus besar-besaran terjadi. Para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat yang tetap 
memegang teguh keyakinannya, menyingkir ketempat-tempat yang dirasa aman. Kebanyakan 
menyeberang ke Bali, Kalimantan dan Lombok. 
Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya yang melarikan diri bersama sisa-sisa prajurid 
Majapahit dan beberapa penduduk. Dia bernama Dewi Rara Anteng. Bersama suaminya Raden 
Jaka Seger, dia menyingkir ke pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih 
ada disana, dikenal dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan 
Raden Jaka Se-GER. Diwilayah pegunungan Bromo, pasukan Demak memang tidak bisa 
menjangkau. Medannya cukup sulit dan terisolir. ( Suku Tengger baru membuka diri pada jaman 
pemerintahan Presiden Soekarno. Ketika disensus dan ditanyakan apa agama mereka, mereka 
menyatakan beragama Budo. Padahal ritual yang mereka jalankan lebih dekat ke agama 
Hindhu dari pada agama Buddha. Para petugas sensus tidak tahu, istilah Hindhu memang tidak 
dikenal pada jaman Majapahit. Yang terkenal adalah agomo Siwo Budo atau hanya disebut 
wong Budo saja. : Damar Shashangka). 
Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, 
Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah timur. Dan untuk sementara, beliau tinggal di 
Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para 
penduduk Blambangan-pun dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar 
melindungi Prabhu Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan darurat 
diberlakukan. 
Selama ada di Blambangan, Prabhu Brawijaya terus terusik batinnya. Raden Patah, yang 
biasa beliau banggil dengan nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan 
beliau selama ini dibalas dengan racun. Sabdo Palon dan Naya Genggong menabahkan hati Sang 
Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut disesali lagi. 
Kini, saatnya untuk menata kembali yang tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya 
harus menyeberang ke Pulau Bali. 
Sandhya Kalaning Majapahit. Majapahit hancur sudah. Sinar Kejayaan Nusantara kini telah 
meredup, bagai matahari yang tenggelam diufuk barat. 
Sirna Ilang Kerthaning Bhumi 
tas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui 
Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak 
Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan. Adipati 
Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan 'menyerah' kepada Demak Bintara. 
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung 
kemenangan pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. 
Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Pasukan Bhayangkara 
Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan 
mereka. Tak ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan 
Bhayangkara bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa 
Sang Prabhu pergi. 
Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata untuk melacak keberadaan Sang 
Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren 
Ampel di Surabaya. Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel. 
Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar 
laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan Raden Patah 
adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan 
Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta 
Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang sah, seorang 
Umaro' tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah 
telah berani durhaka kepada ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan 
bagi dirinya serta orang-orang Islam. 
Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan 
air mata. Didepan Nyi Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali 
perbuatannya. 
Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan 
Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu 
Brawijaya. Dan apabila sudah diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali 
sebagai seorang Raja. 
Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah berniat mencari ayahandanya 
sendiri bersama beberapa orang prajurid Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam 
situasi anarkhis seperti ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. 
Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya, dirinya 
dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya 
lagi. 
Jalan keluar yang terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar 
untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon 
kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit. Sudah bukan rahasia lagi dikalangan 
Istana, dua ulama besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit. 
Karena Syeh Siti Jenar, baru saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan 
hubungan beliau dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak 
mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan 
Kalijaga. 
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng 
Ampel dan Raden Patah. 
Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di 
Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan Masjid Demak. 
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. 
Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu. 
Beberapa hari kemudian, laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden 
Patah. Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan. Diketahui 
pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak menyeberang 
ke pulau Bali. 
Mendapati informasi yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa 
santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal 
terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang tidak mencolok mata, demi untuk 
menghindari kesalah pahaman, dia berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga 
beserta rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana. 
Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah 
mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan. 
Rombongan ini harus pandai-pandai memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa 
perlu. Mereka sengaja menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan 
belantara demi menjaga keamanan. 
Dan, manakala mereka sudah tiba di Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan 
statusnya. Dengan mengibarkan bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota 
Blambangan yang mencekam. 
Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan kecil orang-orang muslim 
memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka 
tidak bersenjata. Serta merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka 
tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur. 
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid 
agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan 
Kalijaga, datang sebagai duta dan memohon menghadap. 
Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. 
Namun mereka yakin, prajurid Majapahit bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan 
mana musuh dalam status duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta. 
Ketegangan sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan 
permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana 
menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi 
(Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan 
ke Majapahit. 
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu 
Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan 
lengkap dan siap digunakan, para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. 
Mereka mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh 
menunggu diluar. 
Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita 
Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu 
kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan 
hormat. 
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga 
mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga 
menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi 
Majapahit. Prabhu Brawijaya meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus 
meregang nyawa karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi 
hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah. 
Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu. 
 
Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi duta, yaitu agar 
Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika 
ssemua yang hadir memincingkan mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna. 
Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan 
agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, 
bisa kembali berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, 
wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang 
diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang rendah pemimpin 
mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini, Raja-Raja Majapahit, tidak pernah 
melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang 
Prabhu akan berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. 
Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh dimusim penghujan. Dan lagi, 
apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri? 
Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu. 
Sang Prabhu menghela nafas. 
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta 
Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali 
jika hendak mendapatkannya dengan jalan merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa 
dibayangkan, tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan 
datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi. Jawa akan 
semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan 
mengerikan akan terjadi. 
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan 
pun mati. 
Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli 
hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak 
merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga 
diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan 
tempat bermalam, dengan pengawalan ketat. 
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya 
memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan 
mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya. 
Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau 
merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah 
selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh 
putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan 
kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau 
di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang berhak 
mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging. 
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan 
Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para 
penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara 
sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang 
diluar keyakinan mereka adalah musuh? 
Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga betjanji 
akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai 
saat ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta 
Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami 
adiknya Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka). 
Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan 
Kalijaga ini. 
Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak 
usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, 
para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga 
seluruh pendukung beliau akan merasa tenang. 
Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau 
memeberikan jawaban. 
Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan 
dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga 
banyak yang belum bisa menerima pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada 
komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. 
Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin, tanpa komando 
beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau 
tidak perlu pulang ke Trowulan. 
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan 
berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, 
Prabhu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak. 
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga 
akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa 
mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak 
ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap 
meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil 
jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka 
harus lebih diutamakan. 
Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang 
Prabhu tetap hendak ke Bali 
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan 
Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan 
untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu. 
Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh 
siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon dan Naya Genggong. 
Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya. 
Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong berterus terang, 
Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, 
Sabdo Palon dan Naya Genggong 'menampakkan wujudnya yang asli' kepada Prabhu Brawijaya.  
Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, 
malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih 
rahasia : Damar Shashangka). 
Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di 
Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, 'kesadaran' masyarakat Nusantara akan jatuh 
ketitik yang paling rendah. 'Kulit' lebih diagung-agungkan dari pada 'Isi'. 'Kebenaran Yang 
Mutlak' dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah 
seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam 
akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya. 
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, 
ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-
gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah 
melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang 'berkesadaran tinggi'. 
Yang 'kesadarannya masih rendah', untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan 
dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan 
Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon dan Naya 
Genggong akan 'merawat tumbuhan kesadaran' dari mereka-mereka yang terpilih. Sabdo 
Palon dan Naya Genggong akan menjaga 'tumbuhan Buddhi' yang mulai bersemi itu. 
Itulah saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. 
Dan Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali. 
Memang sudah menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka 
saat ini berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva 
Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa. 
Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut 
menyaksikan berseminya agama Buddhi. 
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan 
Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong. 
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, 
beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau 
menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara. 
Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. 
Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. 
Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. 
Situasi tegang, sedih, bingung... 
Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan 
Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus 
tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA 
SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Baca catatan 
saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar Shashangka). 
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium 
tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik : 
"Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang 
sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda." 
Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang 
pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada 
beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang 
Prabhu untuk undur diri. 
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa 
orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia 
mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana. 
Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan 
keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. 
Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.  
Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas 
menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta 
pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika 
sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( 
Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut 
beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.) 
Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri 
dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. 
Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan 
mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua 
pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang 
memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah 
perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara 
waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, 
sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru 
kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong 
bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu 
sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu 
adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah 
yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang 
berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara.: Damar 
Shashangka). 
Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat 
dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden 
Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak 
ketinggalan Raden Patah sendiri. 
Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang 
Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak 
Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini. 
Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk 
mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan 
beliau yang ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya 
telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, 
akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan 
bertahan lama. 
Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya 
akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, 
cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir 
dari keturunan dari Tarub 
(Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden 
Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu 
Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah 
keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, 
yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil 
kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan 
Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan 
Paku Alaman :Damar Shashangka.) 
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir 
hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu 
Brawijaya berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan 
nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar 
dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah 
akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam 
dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau 
diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya 
sendiri. 
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-
pun dijalankan. 
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung. 
Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat 
Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya 
Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti angka '0'. ILANG 
berarti angka '0'. KERTA berarti angka '4' dan BHUMI berarti angka '1'. Dan apabila dibalik, 
akan terbaca 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama 
asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat 
indah dalam mengenang sebuah kejadian penting. 
Dan Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan 
oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan Syah 'Alam Akbar Jim-Bun-
ningrat. 
Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam 
pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan 
Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara 
hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari 
Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti. 
Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta perpolitikan dunia.  
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin 
menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya 
menjadi mimpi belaka. 
Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Macan lagi? 
Menangislah membaca sejarah bangsa kita. Menangislah kalian karena kalian sendiri yang telah 
lalai terlalu bangga membawa masuk ideologi bangsa lain yang tidak sesuai dengan tanah 
Nusantara.