• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

imperialisme


 



Artikel ini ini menggambarkan globalisasi dengan cara pandangnya masing-masing. 
Globalisasi berkaitan erat dengan komunikasi dan komunikasi global melahirkan 
imperialisme Budaya Trend  atau imperialisme media. Kedua konsep itu datang dari banyak mazhab 
pemikiran (arus informasi  bebas yang senjang, dependensi, sistem dunia, dan kolonialisme 
elektronik) sebagai respons dan kritik terhadap dominasi Budaya Trend  dan media Barat. Dengan 
memakai metoda kepustakaan, digambarkan sejarah, pengertian dan asumsi-asumsi sekaligus 
kritikan terhadap konsep imperialisme Budaya Trend . Berikutnya, penulis menggambarkan 
pengaruh imperialisme Budaya Trend  di negara kita . Pada era Orla, imperialisme Budaya Trend  ada namun 
terkendali akibat politik Trend  rezim Soekarno yang “menasionalisasi Budaya Trend ”. 
Sementara pada era rezim Orde Baru , imperialisme Budaya Trend  lebih menonjol sebab  politik 
Trend  pintu terbuka (open sky policy) dan pada era reformasi, imperialisme Budaya Trend  
semakin nampak signifikan akibat liberalisasi semua bidang kehidupan, termasuk politik. 
Dan wajah imperialisme Budaya Trend  semakin beragam tidak hanya datang dari Barat, melainkan 
juga  dari non-Barat, termasuk Asia. Makin menguatnya imperialisme Budaya Trend  dewasa ini, 
telah menimbulkan kesadaran kaum elit sehingga dalam Pilpres 2014 gagasan nasionalisme, 
kemandirian dan doktrin Trisakti menjadi materi kampanye politik para capres dan cawapres. 
 

 
“Globalization” dipandang 
Tomlinson (1999:2), sebagai: 
“complex connectivity referring to the 
rapidly developing and ever more 
complex network of interconnections 
and interdependencies that 
characterize modern social life”. 
Interkoneksi dan interdependensi yang 
demikian cepat dalam globalisasi 
terjadi akibat perkembangan teknologi 
informasi yang dewasa ini semakin 
konvergen. sebab  globalisasi 
merupakan bagian dari concern semua 
negara, maka banyak peneliti tertarik 
dengannya. 
 Para analisis globalisasi 
menurut Held and McGrew (1999) 
terbagi ke dalam tiga mazhab 
pemikiran (school of thought): 
hyperglobalist, skeptics dan 
transformationalist. Pertama, 
kelompok yang melihat globalisasi 
sebagai ancaman bagi satu negara 
sebab  ia akan mengurangi kekuasaan 
negara dan digantikan kemudian oleh 
datangnya pasar global. Mazhab ini 
melihat faktor ekonomi sebagai 
determinan globalisasi yang akan 
mendenasionalisasi ekonomi satu 
negara dan akan menyebabkan 
hilangnya kedaulatan negara. Kedua, 
mazhab skeptic menyatakan bahwa 
globalisasi adalah sebuah mitos 
seberapa yang dimaksud dengan 
globalisasi dalam perspektif ekonomi 
sebagaimana dinyatakan kaum 
hyperglobalist bukanlah fakta yang 
universal. Interdependensi ekonomi 
hanyalah terbatas pada OECD. 
Ketiga, mazhab 
transformasionalis yang menganggap 
globalisasi punya konsekuensi 
struktural dan merupakan kekuatan 
pendorong perubahan warga  
lewat pengaruh ekonomi, politik dan 
sosial dengan jalan proses dialektis. 
Jadi globalisasi bukan sekedar 
homogeni atau heterogen, konvergen 
atau divergen melainkan sebuah proses 
dialektis yang  menimbulkan baik 
integrasi atau fragmentasi sekaligus. 
Dalam konteks mazhab inilah 
kemudian, komunikasi menjadi bagian 
yang tidak terpisahkan dari 
pembicaraan globalisasi. Bahkan 
McLuhan melihat globalisasi dan 
komunikasi sebagai konsep yang 
deeply interwined, saat  ia 
mengetengahkan “medium is the 
message” dan “global village”. 
Menurut Rentenan, 2005:4)  “Secara 
praktis tidak mungkin ada globalisasi 
tanpa media dan komunikasi”. 
Dengan menunjukkan eratnya 
kaitan komunikasi dengan globalisasi, 
maka Rentenan mendefinisikan 
globalisasi sebagai : ”process in which 
worldwide economic, political, cultural 
And social relations have become 
increasingly mediated across time and 
space”(p.8). Peranan media dan 
komunikasi dalam proses globalisasi 
menjadi sangat strategis dan penting. 
Pertama, berbagai perusahaan media 
mogul dewasa ini semakin beroperasi 
secara global. Kedua, banyak 
infrastruktur komunikasi global 
memfasilitasi arus informasi global. 
Ketiga, media global berperan penting 
dalam memandang berbagai peristiwa 
lintas dunia untuk  membangun sistem 
makna bersama. 
Tulisan ini ingin 
menggambarkan: (1) bagaimana 
imperialisme media memandang 
globalisasi dan relasi antarnegara 
dalam konteks posisi dan peran media; 
(2) dapatkah konsep imperialisme 
media menggambarkan dan 
membuktikan dampak media secara 
utuh dan menyeluruh atas terbentuknya 
homogenisasi Budaya Trend  di negara-negara 
berkembang, sehingga penjajahan 
Budaya Trend  dari Barat nyata terbukti; dan 
(3) bagaimana reaksi dan kritik yang 
selama ini berkembang dari para 
 
peneliti komunikasi terhadap konsep 
imperialisme media?; dan (4) adakah 
imperialisme media di negara kita ?.  
Tulisan ini akan diawali dengan 
mendeskripsikan konsep imperialime 
Budaya Trend  dan imperialisme media serta 
pengaruh tradisi intelektual di 
belakangnya. Kedua, akan 
menunjukkan berbagai teori yang 
melandasi munculnya konsep 
imperialisme media. Ketiga, 
menyajikan kritikan terhadap konsep 
imperialisme media. Dan keempat, 
mendiskusikan ada tidaknya 
imperialisme media di negara kita . 
Analisis didasarkan atas studi literatur 
(library research) dan analisis kritis 
terhadap gejala media dan Budaya Trend  
imperialisme yang berkembang di 
negara kita . Penggunaan konsep 
imperialisme media atau imperialisme 
Budaya Trend  disini tidak dimaksudkan 
sebagai dua konsep yang terpilah tegas 
(mutually exclusive), tetapi 
mengandung satu pengertian ibarat dua 
sisi dalam satu mata uang logam. 
 
KERANGKA PEMIKIRAN 
Sejarah Imperialisme Media 
Sehabis Perang Dunia II, terjadi 
Perang Dingin (Cold War) antara Blok 
Barat yang dipimpin Amerika dengan 
Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. 
Perang ini berlangsung dari 1945 
hingga 1989 saat tembok Berlin 
runtuh. Amerika mewakili ideologi 
kapitalis dan Soviet mewakili ideologi 
sosialis. Dalam konteks pergulatan 
komunikasi internasional, Amerika 
memperjuangkan laissez-faire dan free 
flow of information sebagai bagian dari 
freedom of the press. Belakangan 
Unesco juga menuntut free flow across 
border to lead better world yang 
didukung para peneliti program riset 
komunikasi internasional (KI)yang 
tergabung dalam MIT Center for 
International Studies. MIT ini lalu 
membentuk Program Riset dalam 
Komunikasi Internasional  yang 
dipimpin  Lasswell, Ithiel de Sola 
Pool, Karl Dutsch, Daniel Lerner, 
Schramm, dan Lucian Pye. Riset 
mereka didanai Ford Foundation. 
 Keterlibatan Amerika dalam 
PD II dengan Soviet, membuat para 
peneliti terperangkap dalam bias Barat 
sebab  strategi KI  dirancang agar pro-
Barat dan anti-komunis. Paradigma KI 
yang menjual doktrin free flow dan the 
ideal to lead better world kemudian 
dilegitimasi oleh metoda riset 
komunikasi yang  berpusat pada efek 
empiris media yang diprakarsai 
Lasswell, Lazarsfeld dan Hovland. 
Lahirnya paradigma pembangunan 
modernisasi yang di dalamnya 
menempatkan media sebagai magic 
multiplyer effects pembangunan, telah 
dijadikan sarana untuk mencapai cita-
cita perubahan warga  dari 
tradisonal menuju modern. 
Namun sejalan dengan 
perkembangan teknologi komunikasi, 
agensi-agensi kantor berita  Barat 
seperti Reuters atau French Press 
Agency dan Associated Press (AP) 
telah mengonstruksi realitas dunia 
menurut persepsi Barat. Kala itu, Barat 
lebih banyak memberitakan berbagai 
peristiwa negatif negara-negara Dunia 
Ketiga seperti Amerika Latin, Afrika 
dan Asia. Mereka digambarkan sebagai 
negara yang penuh bencana, kudeta, 
revolusi dan berita-berita negatif 
lainnya. Di tengah kondisi demikian, 
datang tawaran pinjaman utang luar 
negeri, alih teknologi dan resep Budaya Trend  
agar negara-negara Dunia Ketiga 
mengikuti jalan modernisasi Barat dan 
sebagian negara Amerika Latin, Afrika 
dan Asia pun mengikuti jalan tersebut. 
Di tengah hiruk-pikuk 
modernisasi, pada 1960-an diam-diam 
muncul para sarjana komunikasi Eropa 
yang tergabung dalam 
InternationalAssociation 
Communication Research (IAMCR). 
 
Kelompok ini berasal dari Association 
for Education in Journalism and mass 
Communication (AEJMC) yng 
memiliki tradisi riset kritis. Dengan 
bantuan Unesco, mereka membentuk 
Education and Research in 
International Communication. Dalam 
riset-riset mereka, ditemukan betapa 
program-program berita dan hiburan 
Barat mendominasi media Amerika 
Latin, Afrika dan Asia. sebab  itu, 
mereka melihat adanya imperialisme 
baru yang  dilakukan bukan secara 
hard poweryakni penggunaan kekuatan 
militer untuk menguasai satu negara, 
melainkan melalui soft power 
(diplomasi) yang disebutnya sebagai 
imperialisme Budaya Trend  dan media. 
Wacana imperialisme media, 
semakin menggema pada 1970-an 
terutama di Amerika Latin lewat para 
pemikir seperti Antonio Pasquali 
(1963), Luis Ramiro Beltran (1976), 
Mario Kaplun (1973), F. Rayyes Matta 
(1977). Sementara dari Inggris, muncul 
mazhab Frankfurt yang membawa 
tradisi kritis terhadap ilmu sosial, 
termasuk bidang komunikasi.  
Munculnya Andre Gunnar Frank yang 
mengecam modernisasi lewat 
paradigma dependensia telah 
memperkaya analisis media terhadap 
dinamika global komunikasi.  
Philip Elliot dan Peter Golding 
lewat Center of Mass Communication 
Research pada Universitas Leicester, 
Inggris mempublikasikan sebuah studi 
yang mengambarkan dominasi Barat 
atas arus pemberitaan internasional, 
khususnya antara Inggris dengan 
negara-negara Afrika (Martin dan 
Heibert, 1990:288). Sarjana  Inggris 
yang lain Oliver Boyd Barret (1977), 
telah memperkenalkan konsep 
“imperialisme media” dan dianggap 
sebagai pemuka teori ini. Tampaknya 
tokoh yang paling menonjol adalah 
Herbert Schiller yang menulis Mass 
Commucation and American Empire 
(1969) dan Communication and 
Cultural Domination (1976). Tokoh-
tokoh lain yang menyumbang penting 
adalah Armand Mattelart, Cess J. 
Hamelink, McChasney, Nordenstreng, 
Noam Chomsky, dan banyak lagi. 
Dalam konteks tradisi 
keilmuan, teori komunikasi massa 
Amerika mewakili mazhab dominan 
positivisme. Paradigma ini  mengacu 
pada empirisme kuantitatif dan 
administratif dengan dukungan riset 
psikologi-sosial, sosiologi struktur-
fungsional yang percaya akan 
keteraturan (order) dan konsensus. 
Sementara itu, dari sudut riset 
komunikasi, positivisme dipengaruhi  
oleh persuasi dan propaganda dan 
determinisme teknologi informasi yang 
menempatkan komunikasi massa 
sebagai agen perubahan sosial. 
Sedangkan imperialisme media datang 
dengan sebuah tradisi riset baru yakni 
paradigma kritis yang banyak 
dipengaruhi ilmuwan Eropa. Tradisi ini 
dipengaruhi neo-Marxis yang 
memandang realitas sosial dalam poros 
konflik dan pengaruh teori ekonomi-
politik serta warga  massa yang 
memandang media sebagai alat 
kekuasaan kelompok hegemonik dan 
dominan di warga  sehingga 
media menimbulkan kesadaran palsu 
(false-conciousness) terhadap 
warga  (McQuail, 2005:96-133). 
 
Pengertian Imperialisme Media 
 Menurut Livingston A. White, 
imperialisme Budaya Trend  punya ragam 
istilah yang banyak. Boyd-Barret 
(1977) menyebutnya “imperialisme 
media”, Link 1984 dan Muhammadi, 
(1995) menyebutnya, “dominasi dan 
dependensi Budaya Trend ”, McPhail (1987) 
menyebutnya,”kolonialisme 
elektronik”, Hamelink (1983) 
menyebutnya, “sinkronisasi Budaya Trend ”, 
Galtung (1979) menyebutnya, 
“imperialisme struktural”, Mattelart 
 
(1994) menyebutnya, “imperialisme 
ideologis” dan imperialisme ekonomi. 
Namun istilah yang paling populer 
dipakai adalah “imperialisme Budaya Trend ” 
atau “imperialisme media”. 
Asumsinya, lanjut A. White, sebab  
media menempati posisi sentral dalam 
penciptaan Budaya Trend . sebab  itu, dua 
istilah ini sering saling bertukar 
(interchangeble), ibarat dua anak 
kembar. 
“Imperialisme Budaya Trend ”, kata 
Salwen (1991:30) adalah istilah yang 
bermuatan ideologis yang sering 
berkaitan dengan penggambaran efek 
atau pengaruh media massa Barat 
terhadap khalayak luar negeri. Para 
peneliti imperialism Budaya Trend  (IM) 
sepakat sebagaimana digambarkan 
Berltran, (1978b:184) bahwa : 
”cultural imperialism is a verifiable 
process of social influence by which a 
nation imposes on other countries its 
set of beliefs, values, knowledge, and 
behavioral norms as well as  its 
overall style of life”. Sementara 
Schiller (1979) mendefinisikan 
imperialisme Budaya Trend :…”Sum of the 
processes by which a society is 
brought into the modern world system 
and how its dominating stratum is 
attracted, pressured, forced, and 
sometimes bribed into shaping social 
institution to correspond to, or even 
promote, the value and structures of 
the dominating center of the system”. 
Cess Hamelink (1983:2-3) 
secara deskriptif menggambarkan 
hilangnya identitas lokal berupa adat-
istiadat, pakaian, musik, cita rasa dan 
gaya hidup setempat yang digantikan 
oleh semua yang serba Amerika akibat 
serbuan media mereka. Konsep lain 
dari imperialisme Budaya Trend  adalah,apa 
yang disebut imperialisme media 
(media imperialism). Menurut Boyd-
Barrett, “media imperialism refers to 
the process whereby, the ownership, 
structure, distribution or content of the 
media in any one country are, single or 
together, subject to substantial 
external pressures from the media 
interests of any other country or 
countries, without proportionate 
reciprocation of influences by the 
country so effected”. Dalam konteks 
bingkai imperialisme media, media 
sering diidentikkan sebagai 
“ideological state apparatuses” yang 
membawa kepentingan negara maju, 
khususnya Amerika. 
Dengan merujuk pada definisi 
imperialisme Budaya Trend  dan media 
sebagaimana dikemukakan di atas, 
dapatlah tergambarkan, bagaimana 
globalisasi dipahami oleh kelompok 
ini. Bagi mereka, globalisasi 
ditafsirkan, sebagaimana yang 
didefinisikan Anthony Gidden 
yakni:”Globalization as the spread of 
modernity, which he defines as the 
extention of the nation-state system, 
the world capitalist economy, the 
world military order and the 
international devision of 
labor”(Giddens dalam Thussu, 
2006:63). Dari perspektif teori 
globalisasi, kaum imperialis media, 
dapat dimasukkan ke dalam kubu 
hyperglobalist yang memandang 
globalisasi sebagai ancaman ekonomi 
global dan militer dari negara-negara 
maju terhadap negara-negara 
berkembang dan belum berkembang 
(Tomlinson dalam Muhammadi, 
1997:74). 
Menurut Barret, teori 
imperialisme Budaya Trend  terbagi ke dalam 
dua model. Pertama, model Schiller 
yang lebih ideologis dan yang kedua 
adalah model yang generik atau 
bersifat umum. Masing-masing 
kelompok ini membangun tradisi 
program riset dengan jalan yang 
berbeda. Model pertama dibangun oleh 
kelompok pendekatan ekonomi-politik 
yang didasarkan pada tradisi neo-
Marxis. Paradigma dependensia 
 
misalnya, banyak mewarnai 
pendekatan awal program riset 
imperialisme Budaya Trend .Sedangkan 
kelompok yang kedua, datang dari para 
ilmuwan mazhab behavioristik yang 
menyodorkan program riset 
komunikasi dengan penekanan pada 
efek media ,studi analisis isi dan studi 
arus berita. 
 
METODE PENELITIAN 
 
Tulisan ini akan diawali dengan 
mendeskripsikan konsep imperialime 
Budaya Trend  dan imperialisme media serta 
pengaruh tradisi intelektual di 
belakangnya. Kedua, akan menunjukkan 
berbagai teori yang melandasi munculnya 
konsep imperialisme media. Ketiga, 
menyajikan kritikan terhadap konsep 
imperialisme media. Dan keempat, 
mendiskusikan ada tidaknya imperialisme 
media di negara kita .  
Pendekatan metodologis yang 
dipakai dalam kajian ini, menggunakan 
pendekatan kualitatif. Sedangkan metoda 
pengumpulan data  didasarkan atas studi 
literatur (library research) atau analisis 
dokumen dan analisis kritis terhadap gejala 
media dan Budaya Trend  imperialisme yang 
berkembang di negara kita . Riset 
kepustakaan atau analisis dokumen adalah 
sebuah cara untuk menggali data dari 
sumber yang berbentuk buku, jurnal, 
majalah, surat kabar, undang-undang, 
website dan data tertulis lainnya yang 
relevan dengan topik bahasan.  
 Penggunaan konsep imperialisme 
media atau imperialisme Budaya Trend  disini 
tidak dimaksudkan sebagai dua konsep 
yang terpilah tegas (mutually exclusive), 
tetapi mengandung satu pengertian ibarat 
dua sisi dalam satu mata uang logam. 
Namun, apabila harus dikonstruksi melalui 
polarisasi mazhab pemikiran (school of 
thought), penulis condong memilih konsep 
imperialisme Budaya Trend  (cultural 
imperialism), sebuah konsep yang yang 
sering digunakan oleh mazhab neo-
Marxist.  
Dalam usaha menunjukkan hasil 
survei tentang ada tidaknya gejala 
imperialisme Budaya Trend  di negara kita , penulis 
menggunakan metoda kronologis ysitu 
dengan memetakan penggambaran gejala 
imperialisme Budaya Trend  pada masa rezim 
Orde Lama, rezim Orde Baru dan rezim 
Orde Reformasi.  
 
HASIL PENELITIAN 
Teori dan Asumsi Imperialisme Media 
Imperialisme media 
dikonstruksikan oleh empat teori: 
ketimpangan arus informasi (flow of 
information gap) dependensia, world 
system theory (WST), dan  electronic 
colonialism (ECT). Dunia mengalami 
kesenjangan informasi antara negara 
Pusat(core) dengan negara Pinggiran 
(periphery). Kaum dependenista 
menganggap bahwa pembangunan 
telah melahirkan keterbelakangan 
negara-negara dunia ketiga. Sementara 
itgu, teori sistem dunia melihat 
terjadinya eksploitasi dan hubungan 
asimetris antara “negara pusat” kepada 
“negara pinggiran” dan “semi 
pinggiran”. Kolonialisme elektronik 
memandang relasi sepihak yang 
dibentuk oleh importasi hardware dan 
sofware beserta unsur pendukungnya 
untuk mengubah warga  setempat. 
 Teori kolonialisme elektronik 
(Electronic Colonialism Theory) 
merupakan bagian dari teori makro 
(Phail,2010:16) yang tradisi risetnya 
datang dari Innis, McLuhan, Mattelart, 
Ellul, Bagdikian, dan Barnett. Teori 
ECTini kata Phail, menekankan 
pada:”posits that foreign produced, 
created, or manufactured cultural 
products have the ability to influence, 
or possible displace, indigenous 
cultural productions, artifacts, and 
media to the detriment of recieving 
nations (hal.320). Informasi dari luar 
menurut teori ini bisa menyebabkan 
 
penolakan, perubahan, pengasingan 
terhadap kebiasaan otentik setempat, 
pesan-pesan domestik dan sejarah 
kulturalnya. Sementara kultur 
konsumerisme akan merajalela 
mendominasi realitas media sebab  
makin berkuasanya perusahaan-
perusahaan multinasional yang datang 
ke negara-negara berkembang. 
Kedua, teori sistem dunia 
(WST) yang dikembangkan oleh 
Immanuel Wellernstein. Menurut teori 
ini, relasi negara-bangsa (nation-state) 
terbagi ke dalam tiga zona: core, semi 
peripheral dan peripheral zone. 
Diasumsikan bahwa relasi satu wilayah 
dengan wilayah lain menunjukkan 
ketidaksamaan dan ketidakmerataan 
dalam hubungan ekonomi. Wilayah 
pusat (core zona) mendominasi dan 
mengontrol dua wilayah lainnya yakni 
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah 
pusat berusaha mengontrol dan 
merumuskan sifat dan lingkup 
interaksinya dengan kedua wilayah 
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah 
pusat juga menyediakan teknologi 
peringkat keras, lunak, modal, 
pengetahuan, barang dan jasa kepada 
dua wilayah yang berfungsi sebagai 
pasar dan konsumen sekaligus. 
Ketiga, teori dependensi. 
Program riset imperialisme Budaya Trend  
kaum dependenista menganggap 
bahwa realitas dunia terbagi kedalam 
dua kategori: Negara maju (core) dan 
Negara pinggiran (periphery). Negara-
negara pinggiran sangat bergantung 
pada media yang dimiliki Negara 
maju. Dalam konteks ini imperialisme 
Budaya Trend  dilihat sebagai alat Negara 
maju untuk memelihara dominasi 
setelah mereka meninggalkan 
penjajahannya dalam bentuk 
penguasaan militer. Pandangan 
ekonomi-politik kaum dipendenista 
melihat imperialisme Budaya Trend  sebagai 
produk ekonomi-politik kaum 
imperialis. 
Keempat, ketidakseimbangan 
informasi (imbalance flow of 
information). Hampir 80% informasi 
dunia dikuasai oleh Utara. Sedangkan 
Selatan hanya menguasai kurang lebih 
20% informasi. Studi Tapio Varis pada 
1980-an tentang arus pesan televisi 
dunia yang didukung Unesco 
menyimpulkan  seriusnya pertukaran 
informasi yang tidak seimbang antara 
Utara dan Selatan. “Most countries”, 
kata Varis, “are passive recipients of 
information disseminated by a view 
other countries” (Roach,1997:47). Hal 
ini terjadi sebab  teknologi informasi 
dan komunikasi - hard-ware maupun 
software-  konglomerasi media, dan 
kekuatan ekonomi dan politik dikuasai 
negara-negara Utara. “Dominasi 
Barat”, kata Stevenson, “mencakup 
seluruh aspek komunikasi global, 
berita, Budaya Trend  pop, bahasa Inggris 
sebagai bahasa global, dan teknologi 
komunikasi” (Stevenson dalam Salwen 
and Stacks, 1996:188). Kegiatan 
negara-negara superpower kala itu 
dalam melakukan propaganda, 
melibatkan organisasi-organisasi 
intelegens-nya seperti CIA, KGB, 
Mossad, MI-5, dan RAW, telah 
menimbulkan dominasi komunikasi 
dan informasi negara-negara maju 
terhadap negara-negara berkembang. 
Para sarjana Amerika Latin 
misalnya, memakai kacamata teori 
dependensia untuk mengkaji 
perusahaan media massa yang 
berkembang di negeri itu pada1970 
dan 1980-an. Empatdari lima 
perusahaan jaringan televisi swasta 
besar yang ada Amerika Latin 
(sepertiGlobo TV di Brasil dan 
Televisa di Mexico), ternyata tidak 
menunjukkan watak kepemilikan 
sebagaimana yang lazim ada di Negara 
Ketiga (Third World).  Menurut kaum 
dependista, media dan rakyat Amerika 
Latin terus bergantung pada negara-
negara maju, terkait dengan berita dan 
 
kebutuhan kulturalnya. Herbert 
Schiller (1969) dalam Mass 
Communication and American Empire 
mampu menunjukkan keterlibatan 
pemerintahan Amerika dan 
perusahaan-perusahaan bisnisnya yang 
mencengkram sistem media Dunia 
Ketiga. Dorfman dan Matterlart (1975) 
dalam How to Read Donald Duck, 
misalnya, mampu melacak jejak-jejak 
ideologis kaum imperialis dalam 
komik Walt Disney yang 
didistribusikan secara luas ke Amerika 
Latin. 
Dari berbagai studi yang 
dilakukan kaum imperialis media, 
paradigma dominan Barat mengenai 
komunikasi dan teknologi informasi, 
menurut Gudykunst dan Mody 
(2002:9),  dikritik tajam sebagai 
berikut:  
1. Teknologi komunikasi dan 
informasi yang disebarluaskan  
Barat, dianggap sebagai nilai yang 
mengandung muatan paternalistik 
dan etnosentrisBarat. 
2. Metodologi riset komunikasi 
internasional Barat yang berpusat 
pada efek media telah 
mengabaikan konteks ideologi, 
ekonomi, politik, dan Budaya Trend  
negara-negara Dunia Ketiga. 
3. Model Lasswell yang mengacu 
pada: who, say what, in which 
channel and with what effect harus 
digantikan dengan pertanyaan riset 
yang baru:  “who owns and 
controls the distribution of 
communication and for what 
purpose and intents? 
4. Media merupakan bagian integral 
dari “ideological state 
apparatuses” yakni bagian dari alat 
negara yang menanamkan nilai-
nilai  ideologis kepada publik. 
 
 Dari sebagian besar teori dan 
riset imperialisme media, terdapat 
beberapa asumsi pemikiran yang 
melandasinya. Pertama, bahwa 
imperialisme media berasumsi bahwa 
dominasi dan hegemoni Budaya Trend  dan  
media terjadi disebabkan sebab  faktor 
eksternal, seperti faktor ekonomi dan 
politik yang mempengaruhi operasi 
media. Sementara itu, paradigma 
modernisasi melihat keterbelakangan 
warga  terjadi sebab  “cacat 
mental” yang dialami oleh warga  
yang belum maju. Kedua, studi dan 
riset media menekankan pada efek 
media dengan menggunakan teori 
hypodermic needle (teori jarum 
hipodermik) yang mengandaikan 
bahwa media memiliki pengaruh 
langsung terhadap khalayaknya. 
Ketiga,relasi antarnegara dalam 
komunikasi internasional dan 
globalisasi telah melahirkan 
homogenisasi Budaya Trend  dan media di 
negara-negara berkembang. Keempat, 
khalayak dianggap sebagai entitas 
yang pasif dalam menerima informasi 
dan komunikasi dari luar. Kelima, 
teori-teori imperiliasme media pada 
umumnya menggunakan teori-teori 
makro komunikasi yang menekankan 
pada arus informasi satu arah (one way 
flow of information) atau “top down 
transmission system from dominant 
country to dominated 
country”.Keenam, imperialisme 
Budaya Trend  percaya bahwa media 
memainkan peran penting dalam 
pembentukan Trend . 
Dari perspektif paradigmatik, 
teori kritis imperialisme Budaya Trend  atau 
dependensi dapat dibedakan dari teori 
free flow dan free market yang 
berparadigma positivisme-modernisasi. 
Menurut Daniel Biltereyst, kedua 
mazhab ini menunjukan perbedaan 
signifikan dalam memandang realitas 
dunia komunikasi. Pertama, paradigma 
dependensi berada pada posisi 
paradigma kritis, penganut kaum kiri-
progresif dan bermazhab imperialisme 
Budaya Trend . Sedangkan paradigma free 
 
market menganut paradigma 
administratif, berposisi sebagai kaum 
konservatif dan penganut mazhab free 
flow of information. Kedua, kaum 
dependensi melihat dominasi Amerika 
sebagai wujud konspirasi hukum pasar 
kapitalis yang tertanam dalam nilai-
nilai, norma dan ideologi kapitalis 
Amerika dengan nilai yang sudah 
distandarisasi.  
Sedangkan pada free market, 
merujuk pada hukum free market yang 
percaya pada seleksi alamiah yang 
bebas di ruang publik dan memandang 
Budaya Trend  sebagai nilai universal yang 
bisa diterima siapapun. Ketiga, pada 
dependensi konsep khalayak dilihat 
sebagai entitas yang pasif dan 
dianggap sebagai komoditas. 
Sedangkan pada free market, khalayak 
dipandang sebagai entitas yang terbuka 
dan menunjukan kebutuhan dan 
permintaan yang kooperatif. Keempat, 
dari sudut pengaruh Budaya Trend , kaum 
dependensi melihat pengaruh media 
Barat menimbulkan ketergantungan 
bangsa-bangsa bukan-Barat, 
menciptakan homogenisasi dan 
sinkronisasi Budaya Trend  serta menciptakan 
kesadaran dan kebutuhan palsu (false 
needs and consciousness). Dan bisa 
ditambahkan disini sebagai faktor 
kelima bahwa teori dependensi 
menggunakan teori-teori makro. 
Sedangkan free market menggunakan 
teori-teori mikro. 
 
PEMBAHASAN  
Kritik terhadap Teori Imperialisme 
Media 
Menurut para pengeritik 
imperialisme media, Sriberny-
Muhammadi (2001) misalnya, 
imperialisme media mengandung 
problematik baik secara teoretis 
maupun secara empiris. Media, 
tambahnya, bukanlah faktor tunggal 
dan menentukan yang mempengaruhi 
khalayak. Terdapat determinan-
determinan lain yang juga 
mempengaruhi khalayak seperti faktor 
industri (fesyen, turisme, arsitek dll) 
dan warisan pendidikan kolonial. Lagi 
pula, kata yang lain, konsep 
imperialisme media kurang memiliki 
ketepatan definisi yang jelas. Hampir 
semua pengagas teori ini, memiliki  
defenisi yang sangat beragam.  
Sui Nam Lee (1988) misalnya, 
mengeritik konsep ini sebagai istilah 
yang tidak spesifik. Namun, saat  ia 
menawarkan imperialisme media 
digantikan dengan istilah 
”imperialisme komunikasi”, juga 
menimbulkan perdebatan. Selain itu, 
data ekonomi dari imperialisme media 
mungkin dapat diukur lewat statistik, 
tapi mengukur data Budaya Trend , lebih sulit 
untuk diukur. Di sini kata Golding dan 
Harris (1997:5) media imperialisme 
telah mencampuradukkan efek 
ekonomi dan Budaya Trend  secara arbitrer 
(semena-mena). 
Kritikus  lain menyatakan 
bahwa konseptualisasi tentang 
polarisasi kekuatan dunia ke dalam tiga 
kategori: firsth world, second world, 
dan third world, dewasa ini sudah tidak 
relevan lagi mengingat jatuhnya 
benteng Jerman Timur sebagai babak 
baru dalam sejarah dunia yang ditandai 
dengan makin banyak dan 
kompfleksnya realitas komunikasi 
internasional dewasa ini. “US is not the 
only dominant player in term of media 
production”, kata Thussu (2007: 11-28 
). Dalam Media on the Move, Thussu 
menunjukkan gejala industri baru di 
sebelah Selatan yang mulai melakukan 
counter-cultureterhadap produksi 
Hollywood. Tumbuhnya industri 
hiburan Bollywood, telenovela di 
Amerika Latin, Cina, Korea dan 
sejumlah negara Timur Tengah seperti 
Iran, Mesir dan Turki yang selalu 
mendapat perhatian di festival 
perfilman dunia. sebab  itu, ia 
kemudian membagi arus informasi 
10 
 
dunia ke dalam tiga kategori: global, 
transnasional dan geo-cultural. 
Imperialisme media pun 
mengabaikan peranan khalayak yang, 
menurut banyak penelitian, 
menunjukkan resistensi terhadap 
kepemilikan dan isi pesan dari 
berbagai media asing. Straubhaar 
(2000) misalnya,  meperkenalkan 
konsep cultural proximity yang 
menunjukkan bahwa khalayak lebih 
memilih program siaran yang lebih 
dekat dengan ikatan kulturnya daripada 
siaran Budaya Trend  asing. Dalam keseharian 
kita misalnya, meskipun Indovision 
banyak menawarkan seperti stasiun 
berita CNN, al-Jazeera atau berbagai 
sumber hiburan lainnya, ternyata yang 
lebih banyak ditonton adalah berita-
berita dan hiburan dari stasiun televisi 
nasional sendiri. Selain hambatan 
bahasa, faktor lainnya adalah sebab  
alasan cultural proximity itu.  
Dari temuan-temuan riset 
tentang  khalayak yang menggunakan 
teori reception misalnya, menunjukkan 
bahwa pesan yang diterima khalayak 
ternyata menimbulkan pesan polisemic 
yakni pesan yang tidak tunggal tetapi 
beragam dan mengundang banyak 
tafsir dari tiap khalayak. Ternyata, 
menurut riset reception, khalayak itu 
bersifat aktif saat  mendapat pesan 
dari luar. Menurut Fiske dan de 
Certeau, khalayak dinilai sebagai 
“active producers of meaning, not 
consumers of media meaning”. Studi-
studi kualitatif dan etnografik oleh Ien 
Ang dalam Watching Dallas (1985), 
Janice Radway (1987) tentang Reading 
the Romance, David Morley (1986) 
tentang Family Television, 
membuktikan bahwa khalayak punya 
persepsi yang berbeda-beda atas isi 
pesan yang diterimanya. 
 Kritik lainnya yang tertuju 
pada imperialisme media misalnya, 
selain sebab  peta politik dunia yang 
sudah berubah, penemuan teknologi 
informasi pun sudah demikian drastis 
berubah. Munculnya media baru telah 
telah mengeliminasi struktur dan 
sebaran isi pesan  asimetrik yang 
kemudian digantikan oleh pesan yang 
bersifat interaktik dan  simetrik. Pola 
hubungan subyek-obyek sudah 
ditengarai oleh konsep yang disebut 
Computer-mediated communication 
(CMC) sehingga melahirkan pola 
hubungan yang intersubyektivitas 
dalam ruang maya network society 
yang bersifat egaliter dan demokratis. 
 Efek kultural dari media global 
pun tidak lah dengan sederhana 
menimbulkan homogenisasi Budaya Trend , 
tetapi globalisasi Budaya Trend  telah 
melahirkan cultural hybridization 
yakni saling bercampur, berfusi, 
berbaur dan saling menyatu antara satu 
Trend  dengan Trend  
lainnya. Bahkan yang lain menyatakan 
bahwa efek globalisasi dalam 
Trend  telah melahirkan 
glocalization yakni hasil sintesis antara 
homogenisasi Budaya Trend  dengan 
heterogenisasi Budaya Trend , sehingga 
menimbulkan jalan tengah glokalisasi. 
Sementara menurut yang lain efek 
globalisasi dalam Trend  telah 
melahirkan heterogenisasi Budaya Trend  
sehingga realitas warga  semakin 
plural. Kasus jilbab kaum muslimat di 
berbagai negara Eropa misalnya, 
bukannya “jiwa Eropa” menghilangkan 
identitas khas mereka, justru 
sebaliknya yang terlihat adalah 
menguatkan penegakan dan perluasan 
hak-hak mereka di tengah dominasi 
warga  yang menafikannya. 
Selain itu, teori imperialisme 
media tidak bisa diterapkan dalam 
semua situasi, terutama terhadap 
situasi kekinian yang telah 
menunjukkan berbagai pergeseran 
aktor negara (state-actors), non-state 
actors, konvergensi teknologi 
informasi dan komunikasi, ideologi 
dan sistem politik dunia yang semakin 
11 
 
terbuka, plural, dan saling 
mempengaruhi satu sama lain. Dari 
sudut worldviews teori, temuan riset 
empiris dan peta dunia, relevan untuk 
mengkonstruksi relasi  negara dalam 
dinamika komunikasi internasional 
pada 1970-an. Belakangan, setelah 
banyak kritik dan tanggapan serta riset 
baru, pandangan dunia (worldviews) 
imperialisme media perlu mendapat 
berbagai revisi. 
Hal lain yang juga membuat 
bias teori imperialisme media, 
memakai pendekatan ekonomi-politik 
dengan menganalisis hubungan media 
dengan kebijakan luar negeri Amerika. 
Imperialisme media juga kurang 
memperhatikan elit nasional di negara 
berkembang yang didukung elit 
dominan dalam komunikasi 
internasional untuk memelihara dan 
menjaga struktur ekonomi-politik elit 
nasional atau lokal sendiri. 
Konsentrasinya pada dampak bisnis 
transnasional dan peran kekuatan 
eksternal  terhadap perkembangan 
ekonomi dan sosial, namun 
imperialisme media mengabaikan kelas 
di tingkat nasional dan lokal, gender, 
etnik dan relasi keuasaan antarpara 
aktor 
Imperialisme Budaya Trend  di negara kita 
Adakah imperialisme Budaya Trend  di 
negara kita ? Jawabannya, secara 
hipotetis ada. Masalahnya seberapa 
jauh derajat kualitas dan kuantitasnya, 
membutuhkan satu riset. Faktor waktu, 
faktor politik Trend  yang dianut 
rezim, dan dinamika warga , 
merupakan beberapa variabel yang 
penting diperhatikan. Bila mengacu 
pada kurun waktu zaman Orde Lama 
misalnya, gejala imperialisme Budaya Trend  
Barat melalui Budaya Trend  pop seperti 
musik rock and roll atau Beatless 
misalnya, cukup digemari publik. 
Demikian juga gejala pornografis 
dalam poster, iklan, dan ilustrasi 
media, sudah cukup marak. Waktu itu, 
Perang Dingin antara Amerika dengan 
Uni Soviet demikian kuat sehingga 
negara kita berada di antara dua 
pengaruh negara adikuasa tersebut. 
Namun politik Trend  era 
Soekarno pada saat itu lebih condong 
pada semangat anti-imperialisme. 
sebab  itu, melalui ajaran Trisaksinya: 
(yakni daulat politik, daulat ekonomi 
dan daulat Trend ), rezim Orla 
melarang segala  bentuk Trend  
pop dari Barat.  
Para personil Koes Ploes 
misalnya, yang  terpengaruh Beatless 
dan Rock and Roll, sempat 
dipenjarakan. Para seniman Lekra yang 
“dekat” dengan PKI, dan pengaruh 
politiknya cukup besar pada waktu itu, 
“segera menjadi pelopor bagi gerakan 
Budaya Trend  yang ikut dalam arus 
penentangan terhadap imperialisme 
Trend ”
Mereka demikian rajin mengeritik 
pemerintah agar lebih tegas menolak 
Trend  Nekolim. Zaman 
Demokrasi Terpimpin model 
Soekarno, ingin membangun politik 
keBudaya Trend n dengan cara melakukan 
“nasionalisasi Trend ” Caranya, dengan 
menghidupkan kembali seni-seni 
tradisi rakyat yang tumbuh di kalangan 
komunitas dan etnis yang ada di 
negara kita . 
Berbeda dengan Orde Baru, 
rezim Orde Baru  menganut politik 
Trend  sebaliknya. Ia lebih 
terbuka bahkan sangat lunak dengan 
“imperialisme Budaya Trend ” Barat. Orde Baru  
melakukan politik Trend  dengan 
cara: “internationalization of 
culture”, Semua bentuk Trend  
Barat: ilmu, teknologi dan Budaya Trend  pop 
dibuka dengan massif. Strategi 
pembangunan ekonomi misalnya, 
sangat dipengaruhi oleh ekonomi 
model kapitalis. “Mafia Berkeley” 
misalnya, adalah para perancang 
strategi pembangunan di era Orde Baru  
yang “dekat” dengan mazhab ekonomi 
liberal Barat. Dalam komunitas 
keilmuan saat itu, hanya ISEI yang 
cukup menonjol sebab  para 
anggotanya banyak yang saat itu 
tengah menjadi birokrat. Sementara 
peran ilmu-ilmu sosial lain,  Ilmu-ilmu  sosial waktu itu 
diperankan sebagai bagian dari narasi 
besar paradigma positivisme yang 
mendasari gerak modernisasi di 
negara kita , sehingga  strategi 
pembangunan meniru (copy paste)  
model strategi pembangunan 
modernisasi Barat.  
Keterikatan rezim Orba dengan 
Bank Dunia, IMF dan WTO adalah 
bagian dari ekonomi global yang sulit 
dihindari untuk tidak dikatakan sebagai 
bagian dari wujud imperialisme 
Budaya Trend  Barat. Di berbagai universitas 
mulai dibuka jurusan studi 
pembangunan. Adanya mata kuliah 
“wiraswasta” misalnya di Fekon atau 
jurnalistik pembangunan di Fikom 
misalnya, adalah kasus-kasus yang 
menunjukkan jejak-jejak imperialisme 
Budaya Trend  yang dibawa “ideologi” 
modernisasi, merembes dan 
“mensubversi”  komunitas ilmuwan 
kita. Deregulasi, privatisasi, dan 
liberalisasi  ekonomi model neoliberal, 
telah menumpulkan peran ilmu sosial 
di sudut “pinggiran”. 
         Demikian juga dengan 
Trend  pop Barat. saat  rezim 
Orba meluncurkan Satelit Palapa 
sebagai bagian dari “open sky policy”, 
industri televisi demikian pesat 
berkembang. Di samping TVRI, 
muncul pula banyak stasiun TV Swasta 
yang menyuguhkan musik, iklan,  film, 
variety shows dan sinetron yang 
banyak berasal dari impor Barat. Pada 
1990-an misalnya, ANTV bermitra 
dengan MTV yang memiliki jaringan 
dengan berbagai televisi dunia. Global 
TV bermitra dengan MTV yang porsi 
hiburannya lebih mengangkat 
Trend  pop Korea. SCTV 
bermitra dengan Entertaiment and 
Sport Programme Network (ESPN). 
Sementara Indosiar bermitra dengan 
Home Box Office (HBO) yang banyak 
menayangkan film-film laga layar 
lebar. Dominasi iklan, sinetron, dan 
film-film asing di berbagai televisi 
nasional, demikian massif terutama 
sebelum terjadinya krisis ekonomi 
1998. Namun gejalanya mulai 
berkurang setelah rezim Orba 
mengalami krisis ekonomi yang 
berakibat kemudian pada pergantian 
rezim berikutnya.          
         Dalam hal iklan misalnmya, studi 
Ginting menyimpulkan bahwa : ”Dari 
20 yang diamati terdapat nilai-nilai 
Budaya Trend  asing yang menonjol yaitu 
perubahan pola interaksi personal 
individu, seksualitas (personal 
intimacy), kecantikan (beauty), pola 
hidup konsumtif, dan tingginya 
penggunaan istilah asing pada iklan” 
(hal.2, tanpa tahun). Demikian juga 
dalam hal mode, media massa sangat 
menonjol dalam menyosialisasikan 
gaya hidup dan mode Barat. Hasil studi 
Yohana (2009:98) pada Majalah 
Gogirl misalnya, menunjukkan bahwa 
rubrik fashen Hollitrend banyak 
mengangkat produk Barat seperti: 
harem, jumpsuit, vintage dress, bubbly 
skirt, legging, ripped jeans, vest dan 
bomber jacket.    
         Yang menarik dicatat dalam 
kaitannya dengan politik keBudaya Trend n 
pada rezim Orba, kebijakannya, 
bersifat “dual policy”  satu pihak, 
membuka pintu lebar-lebar bagi 
Trend  Barat, namun di pihak 
lain, melakukan “tekanan” terhadap 
kaum intelektual dan politisi atau 
kekuatan civil yang akan berpotensi 
menggangu stabilitas nasional. 
Demokrasi politik yang dibangun 
bersifat “semu” dalam pengertian, 
meskipun media massa sebagai bagian 
dari “pilar keempat” demokrasi, namun 
fungsi pengawasannya (watchdog 
function) , hampir tidak diberi ruang 
gerak yang leluasa. Demikian juga 
dengan partai politik. Meskipun 
terdapat tiga partai politik dengan  
Golkar sebagai “the rulling party”, dan 
PPP dengan PDI sebagai “oposisi”, 
setidak-tidaknya “bukan partai 
pemerintah”, namun kedua partai 
tersebut dapat “dikendalikan” rezim 
Orba. Demikian halnya dengan 
kekuatan “civil society”, kelompok 
Islam yang sering “mengganggu” 
pemerintah, kemudian diwadahi dalam 
ICMI, meskipun sebagaian elit Islam 
seperti Gus Dur misalnya, sempat 
mendirikan “forum demokrasi” sebagai 
upaya membangun proses 
demokratisasi dari bawah. Kala itu, 
semua gagasan ekonomi, Budaya Trend  dan 
sosial diperbolehkan “bebas tanpa 
syarat”, kecuali liberalisasi dan 
demokrasi politik. 
           Dibandingkan dengan rezim 
Orla, gejala imperialisme Budaya Trend  Barat 
pada masa Orba, tampak jauh lebih 
menonjol.  Cara pandang neo-liberal 
dalam ekonomi yang dianut para elite 
atau, cara berpakaian dan penggunaan 
merk yang  “branded” dari Barat, 
perilaku pejabat publik dan 
keluarganya yang sering berbelanja ke 
luar negeri, semakin tingginya anggota 
warga  mengonsumsi  jenis 
makanan KFC, McDonald, AW dan 
minuman Cola Cola misalnya,  sudah 
lumrah menjadi kebiasaan santapan 
warga  kita. Sementara itu di 
bidang industri film dan musik 
misalnya, hampir setiap hari televisi 
yang ada di negara kita , menyuguhkan 
banyak film kekerasan produk 
Amerika. Jaringan bioskop seperti 
Blitz  dan XXI di tiap pusat kota 
misalnya,  dikuasai oleh film impor 
Amerika. Artis-artis Hollywood sudah 
cukup dikenal warga  kita. 
Demikian pula dalam industri musik, 
lagu-lagu Barat sudah menjadi bagian 
dari “makanan” keseharian anak-anak 
dan remaja kita. 
         Era Reformasi, politik 
Trend  semakin terbuka lebar. 
Negara seakan mengalami “stateless” 
dalam kaitannya dengan gerak 
imperialisme Budaya Trend . Globalisasi yang 
semakin intensif dan mendatangkan  
perkembangan teknologi informasi 
yang bersifat interaktif, maka sumber 
pengetahuan tidak saja datang dari 
media konvensional, tetapi juga dari 
inkonvensional saat  warga  
semakin gandrung memanfaatkan 
media sosial yang di era reformasi ini 
semakin massif. Dalam pada itu, rezim 
reformasi bukan saja akrab dan terbuka 
dengan imperialisme Budaya Trend  Barat dan 
non-Barat, melainkan telah membuka 
“kotak pendora” bagi liberalisasi 
politik yang selama ini “disandra” 
rezim Orba sehingga melahirkan 
kembali sistem multipartai dan  
pemilihan langsung presiden, gubernur 
dan walikota-bupati. Di era multimedia 
sekarang, para pejabat publik dan 
politisi, ibarat selebriti yang main 
sinetron penuh  “dramatik” di televisi 
dan media sosial yang kemudian 
menjadi bgagian dari Trend  pop. 
Baju kota-kotak ala Jokowi misalnya, 
telah menjadi bagian dari Trend  
pop warga . 
         Pemanfaatan media sosial, bukan 
saja telah meningkatkan partisipasi 
politik warga dalam pilkada atau 
pilpres, melainkan juga hak untuk 
memilih produk Trend  pop yang 
datang dari tiap penjuru dunia. 
Kegandrungan remaja kota terhadap 
K-Pop yang membuat boyband dan 
girlband asal Korea menjadi 
trendsetter,  menurut hasil riset S2 
komunikasi UI,  itu akibat akses 
internet , Demikian 
juga dengan Trend  pop dari 
Jepang, Peranc is, Inggris, Spanyol, 
Timur Tengah  seperti musik nasyid 
misalnya, dengan mudah diakes 
melalui internet. Jadi, media massa 
maupun media sosial dewasa ini telah 
menjadi sumber utama bagi akselerasi 
dan sosialisdasi Budaya Trend  pop dunia. 
Akibatnya, imperialisme Budaya Trend  Barat 
dan non-Barat semakin deras merasuki 
kalangan warga  negara kita .  
        Imperialisme Budaya Trend  di era 
reformasi, tampak semakin menonjol 
dibandingkan era rezim Orba. Sebab 
kualitas dan intensitasnya, frekuensi 
dan bobotnya, semakin lebar, luas dan 
merasuk segala sendi-sendi kehidupan 
ekonomi, politik dan Budaya Trend . 
Imperialisme yang datang sekarang, 
bukan hanya dari Barat melainkan juga 
dari non-Barat. Sudah lama orang kita 
juga mengenal dan mengapresiasi film 
dan musik India,  Cina, Jepang dan 
sekarang yang cukup digandrungi 
adalah musik Korea. Musik dan film 
dari Timur Tengah pun dewasa ini 
sudah mulai diapresiasi. Festival-
festival film di Barat misalnya, banyak 
juga dimenangkan oleh Iran, termasuk 
negara kita . Makanan Cina, Jepang 
termasuk makanan Timur Tengah 
seperti kebab dan nasi kebuli, bukanlah 
makanan asing  lagi bagi warga 
negara kita . 
Hal yang menarik, akibat 
“desakan” imperialisme Budaya Trend  yang 
datang dari segala arah, muncul juga 
gerakan counter-culture (perlawanan) 
Budaya Trend  untuk menguatkan indigeneous 
culture (Budaya Trend  asli) kita. Pemerintah 
daerah di sebagian kota dan propinsi, 
telah mewajibkan penggunaan bahasa 
daerah dan pakaian khas subkulturnya 
masing-masing. Busana batik pun 
sudah lama dijadikan pakaian nasional 
kita, termasuk beberapa jenis musik 
seperti angklung dan tarian daerah  
yang dipakai  untuk menyambut para 
tamu negara dan dijadikan “alat” 
diplomasi publik dalam pertemuan 
antarBudaya Trend  di mancanegara. Gejala 
busana muslimah yang tradisinya 
sudah mendunia dan semakin menjadi 
“trendi” sekarang, merupakan bagian 
dari counter-culture dari kaum 
muslimat dunia terhadap cara 
berbusana Barat. 
Menonjolnya imperialisme 
Budaya Trend  di semua sektor kerhidupan 
dewasa ini, telah melahirkan kesadaran 
politik dari elite politik sehingga 
muncul wacana baru tentang 
pentingnya kedaulatan ekonomi, 
politik dan Budaya Trend  sebagai materi 
utama kampanye politik pada kedua 
calon Capres dan Cawapres Prabowo-
Hatta dan Jokowi-JK saat Pilpres 2014 
kemarin.  Apalagi saat  pilres 
dimenangkan pasangan Jokowi-JK, 
maka semangat menghadirkan kembali 
semangat Trisakti, akan menjadi basis 
legitimasi yang kokoh bagi perjalanan 
pemerintahan atau rezim baru 
mendatang. Sayangnya, dukungan 
partai-partai koalisi pemerintah di 
parlemen hasil Pemilu 2014 lalu, tidak 
memberi topangan cukup kuat 
dibandingkan koalisi partai yang kalah 
bertarung pada pilpres lalu, membuat 
efektivitas kabinet Jokowi-JK, berada 
dalam situasi yang spekulatif. 
Kemenangan partai non-
pemerintah dalam mengembalikan 
pilkada langsung menjadi tidak 
langsung, MD3 dan pemilihan 
pimpinan DPR, apakah merupakan 
isyarat sebagai langkah taktis untuk 
menopang strategi menguatkan 
identitas politik keBudaya Trend n nasional, 
atau sekedar “balas dendam” jangka 
pendek agar rezim Jokowi-JK menjadi 
tidak efektif dan akhirnya tidak 
memberi kontribusi bagi ikhtiar 
melemahkan imperialisme Budaya Trend 
yang dewasa ini semakin menggurita?. 
Di atas permaianan politik jangka 
pendek dan situasional ini, yakin 
bahwa dil ubuk hati terdalam para 
elite, sudah terbentuk kesadaran 
bersama akan mimpi sebuah bangsa 
yang “dibayangkan”: kuat dalam 
ekonomi, politik dan Trend !.