Tampilkan postingan dengan label majapahit 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majapahit 4. Tampilkan semua postingan
majapahit 4
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
majapahit 4
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya
membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka
yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan
Majapahit.
Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas
setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi
Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh
Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar,
Tiongkok dan Majapahit.
Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih.
Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati.
Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah
menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat
pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan
iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik, Ujung Galuh (Tanjung Perak sekarang) dan
Kambang Putih (pelabuhan Tuban sekarang).
Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini
dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva
Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara
Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja,
dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva,
dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam
bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon
Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal
Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto).
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu
Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan
pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-
nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan
seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal
dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten
Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh
Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang
membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa
dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan,
Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka,
Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo
Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak =
Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan
Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)
M
Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan
kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat
pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang
berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara
diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu
Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan.
Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.)
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1468 Masehi, tahta Majapahit dipegang
oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya).
Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan
Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke
pulau Jawa
Dan kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Vietnam selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil. Kerajaan Champa namanya.
Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu.
Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. ( Sekarang
didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah
agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu
Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan
yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi
Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid
‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa (
Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. ( Nama Champa
dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum
mengetahuinya : Damar Shashangka).
Kerajaan Champa adalah negara tetangga Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di
Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya
semenjak tahun 1456 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai
Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan
sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada
tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa
didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu
Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak
bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Menurut versi lain, setelah Rani Suhita mangkat dan tidak meninggalkan putra, maka
para tetua Kerajaan bermusyawarah dan akhirnya mengambil kesepakatan untuk mengisi
kekosongan tahta dengan mengangkat adik tiri Rani Suhita, Raden Kertawijaya sebagai
penggantinya (1447-1451 M). Namun tahta itu bukanlah hak Raden Kertawijaya, jadi setelah
Raden Kertawijaya mangkat maka harus diserahkan kepada adiknya Bre Pamotan Sang Sinagara
(1451-1453 M). Selanjutnya tahta harus dilimpahkan secara bergilir antara keturunan Raden
Kertawijaya dan Bhre Pamotan Sang Sinagara. Saat Bhre Pamotan meninggal, terjadilah
ketegangan antara keturunan Raden Kertawijaya dan Bhre Pamotan Sang Sinagara, sehingga
tahta kosong selama tiga tahun. Kesepakatan dicapai dan yang menduduki tahta sementara
adalah keturunan dari Raden Kertawijaya, yaitu Purwasisesa (1456-1466 M), lantas Bhre Pandan
salas putra Purwasisesa (14661468 M), namun Pandhan Salas meninggalkan keraton, tahta lantas
dipegang oleh Singawardhana, putra Pandhan Salas (1468-1474 M). Semua keturunan dari
Raden Kertawijaya. Begitu Singawardhana mangkat, maka giliran keturunan Bhre Pamotan yaitu
Raden Kertabhumi yang harus menggantikan (1474-1478 M).
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta (menurut versi pertama yang
kebanyakan ditulis dalam Babad), Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang
sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan
sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng
Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi
putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. ( Prabhu Brawijaya
banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan
lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka ).
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang
menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut
juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda
takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu
Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu,
seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi
Anarawati.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian
disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri
China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri.
Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu
Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429
Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang
janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim.
Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut
Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah,
Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak
Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia
menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu
Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim,
dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah!
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra.
Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan
nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu
Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan
pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-
saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah
Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva
dan para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun
yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya
padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi
Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim
As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang
hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat
gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu
berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.
Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu
Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah.
Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya
beliau dengarkan
Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan
Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok.
Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar.
Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu
Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat
daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku
para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah
harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati
Wengker (Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini
masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan
piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala
harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini
dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah
seperti banci. (Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama
Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh,
sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari
suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa
sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan
Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang
indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati.
Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan
Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang
dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan
sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan
banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat
kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-
terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-
orang Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu,
bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau
mamaklumatkan perang dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin
pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! ( Akan saya ceritakan pada bagian kedua
: Damar Shashangka.)
Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah
otonom. Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah
Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang
Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi
kaum muslim.
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara,
mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di
Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi
peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-
Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali
Rahmad
Sesampainya di Tuban, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh
masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Erlangga Raja Kahuripan
berkuasa. Masyarakat muslim ini semakin banyak mendiami pesisir utara Jawa semenjak
kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim di Gresik, yang pada waktu itu memohon menghadap
kehadapan Prabhu Wikramawardhana hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’
memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Wikramawardhanapada
waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman.
Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali
pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena
wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Dan Syeh Maulana Malik
Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan
nama Sunan Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada
yang dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha
diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha,
Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang
artinya Wali Sembilan.: Damar Shashangka)
Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Tuban sebelum meneruskan
perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Tuban, Syeh Ibrahim As-
Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama
Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Tuban sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati
bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul
Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari
sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan
Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan
Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi
‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama
kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik
sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam
pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan
Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya
dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden
Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel
Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua,
ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah
memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini
adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi
Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan
pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya
Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak
mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah
kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
Berdirinya Giri Kedhaton
lambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1440 Masehi terkena wabah
penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu
menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati Menak
Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.
Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi
Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari
Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih putra Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama
Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia
serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang
putri berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu
menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai
saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan,
Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan.
Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk
menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati
karena melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah
menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak
infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu
kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka.
Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama
Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu.
Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi
ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat
terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari
Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut
(meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang
tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan
peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang
bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah
berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka
hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-
tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten?
Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan
itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang
muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang
bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah
menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng
Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1442 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka,
Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi
keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang
disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu.
Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar
dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia
tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi Ageng Pinatih,
Jaka Samudera adalah kemenakan Sunan Ampel sendiri. Oleh karenanya sosok anak ini sangat
dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan putri kakak Adipati Tuban Wilwatikta,
memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama
Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama
pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang ). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian
dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan
Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera,
yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri
bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng
Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh
Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia
adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai
penggantinya kelak bila sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari
Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia
mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan
Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan.
Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya
sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran
kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja
Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton.
Darah tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan
Islam bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan
Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. ( Sembilan tahun setelah
Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi ).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan
Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau
penanya. Kalam miliknya ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga
membuat puyeng atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa
membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama
‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya
yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang sempat
‘memusingkan’ Majapahit.
Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan
Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik
Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan
bara api kecil yang sebenarnya bisa membahayakan.
Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus
mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang
Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili
siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu
ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya,
VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya
bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang
bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu
menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu
menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu memberikan tempat yang aman
bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau
menampung semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan
keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan
kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya
dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari
kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu
memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan,
kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin
dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut
ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu
Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa,
Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah
Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai
mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi
dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang
tidak menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan
Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk
melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah
tertentu.
Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Sunan
Kalijaga, putra Adipati Tuban Wilwatikta, keponakan Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri
mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka
pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan
Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).
Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya
bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil
dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat
pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban,
sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa
tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya
Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka
Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan.
Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).
Berdirinya Ponorogo.
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit.
Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama
Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden
Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi
Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir
Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa
daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.
Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang
kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan
mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong,
putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para
prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan
yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara,
konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus
ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu.
Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia
mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran
berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden
Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia
sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah,
menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya
peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses
langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong
memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu
memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan
menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.
Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura
meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon
perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu
pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya.
Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk
mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status
Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut
gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu
menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik
kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara
Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan
tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan
atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan
Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya.
Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken
Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura
Handaka. ( Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan
masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka).
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong,
sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari
Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki
Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian
diserahkan kepada Raden Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe
berarti Tegak ( Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari
seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong
atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui
semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan
kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara
Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera
memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.
Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak
ketiga bermain disana! Ironis sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan
marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi
Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu,
Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden
Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak
hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati
habis-habisan! Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan
gagh berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur
dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid
Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol.
Wengker berhasil dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria sejati yang
benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!
Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung
mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh
Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan
itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling
menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak
ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah
satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan
Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!
Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah
diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo.
Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam
Situasi perpolitikan Majapahit semakin memanas, dan mulai terbakar. Tinggal menunggu waktu
untuk meledak!
seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat
dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian
membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali mengingatkan,
bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban,Wilwatikta. Adipati Wilwatikta adalah
keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil
memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak
menguasai Jawa ( Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya,
pendiri Kerajaan Majapahit.). Adipati Wilwatikta yang lantas menikahi putri Adipati Tuban
Arya Teja, Dewi Retna Dumilah. Dan lantas menggantikan kedudukan mertuanya sebagai
Adipati Tuban.
Adipati Wilwatikta berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan putri keponakan
beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan keponakan Adipati
Wlwatikta, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (
seperti yang telah saya tulis pada bagian pertama : Damar Shashangka ).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga,
sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung,
seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan
Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan
Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama
murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih
yang merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari Dewan
Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak
mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.
Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti
digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi
Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten.
Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu
Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan dengan
diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang sangat luar biasa ini menuai
protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa
dilihat jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah
pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan,
Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari
dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal
merebut Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa
dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa berjalan.
Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil
perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang putri,
dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging ( sekitar daerah
Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura,
dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah
yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu,
yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang : Damar Shashangka.)
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk
Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.
Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV,
lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik
memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi
seorang pertapa di Gunung Merapi ( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan
bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati
Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara,
yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit!
Inilah pewaris sah tahta Majapahit.
Keno Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama
Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni.
Mereka berdua seringkali berdiskusi tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada
perbedaan diantara Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih
melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging
untuk mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid
Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng
Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah
yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh
Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti
Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh
mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang
spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang
sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng
Pengging gugur karena korban kepicikan.
Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai sekarang, nama
keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun
bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi
masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-
terangan. Ironis.
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat
atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan
Adiwijaya.
Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar ( dalam Babad Tanah Jawa), suatu ketika Prabhu Brawijaya
terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha
menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel. (Menurut Babad Tanah Jawa
Demakan/Pasisiran, Prabhu Brawijaya menderita sakit dikakinya : Damar Shashangka).
Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon
kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau
memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan.
Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”
(Ini diceritakan dalam BabadTanah Jawa)
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan
beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan (
Bandha Niera, didaerah Sulawesi ).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau
memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit
Cemara, sangat cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara
dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning.
Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa
kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.Namun Sang Prabhu merasa
perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini
terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab
Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah
mengambil seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki,
putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana
memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen ( Bondhan perubahan dari kata
Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa.)
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur
dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng
Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi,
Jawa Tengah sekarang.)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah
dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan dan lantas ditinggal
oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang
menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah
simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas : Damar
Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa,
Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub.
Dan kelak Raden Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden
Getas Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman
dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa
memegang petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak ( simbolisasi lagi, kapan-
kapan saya ulas : Damar Shashangka).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng
Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan
Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng
Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela,
lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati
Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. ( Panembahan
Senopati