• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label lucu. 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lucu. 3. Tampilkan semua postingan

lucu 3

 Buta dan Lilin
Ada seorang buta yang sudah terbiasa membawa lilin menyala setiap kali bepergian pada malam hari. 
Pada suatu malam seorang laki-laki kebetulan berpapasan dengan si orang buta yang sedang berjalan tergesa-gesa. Karena herannya melihat pemandangan yang dirasanya aneh itu, dia bertanya. “Apa gunanya kau membawa lilin menyala begitu, pak tua buta? Kurasa itu kan mubazir saja.” 
Si laki-laki buta menjawab, “Kalau aku tidak membawa lampu kecil ini di tanganku, apakah tidak mungkin aku akan ditabrak orang yang seperti kau?”

 
Karena Sudah Terbiasa
Pada suatu ketika ada seorang tukang masak yang mempunyai kebiasaan membawa pulang sesuatu setiap kali dia berkerja mempersiapkan makanan untuk pesta orang lain. 
Pada suatu hari, ketika sedang memotong daging di rumahnya, dia memilih beberapa potong daging yang empuk-empuk lalu mengantungi daging itu di saku celananya. Melihat ini istrinya mendatangi dan berkata,”Hai daging ini kan milikmu sendiri, mengapa pula kau kantungi? Mau kau bawa ke mana rupanya,ha?”
Si tukang masak mendadak tersentak seperti orang yang baru sadar dari suatu mimpi, lalu dengan gugup berkata, “Kalau kau tidak mengingatkan aku, sedikit pun aku tidak menyadarinya. Sudah terbiasa, sih!”

 

Terlambat, Deh!
Dua bersaudara melihat seekor angsa liar terbang di langit di atas kepala mereka. Si sulung mengangkat busur dan panahnya siap untuk membidik angsa itu sambil berkata, “Enaknya nanti kita goreng saja.”
“Tidak, ah,” kata adiknya membantah, “Lebih enak kalau digodok dengan saus cokelat.”

Tak seorang pun yang mau mengalah, sehingga mereka terpaksa menemui orang yang paling tua di dalam keluarga mereka untuk menentukan sebaiknya diapakan angsa liar itu. Si laki-laki tertua di dalam keluarga mereka akhirnya berkata, “Sebaiknya angsa itu kalian belah dua saja. Sebelah digoreng dan sebelah lagi digodok dengan saus.”
Kedua bersaudara itu sama-sama menyetujui saran ini, maka berangkatlah mereka kembali untuk memanah angsa liar tadi. Akan tetapi, sialnya ternyata angsa besar itu sudah lenyap entah ke mana!

 
Bukan Milikku
Seorang laki-laki pada suatu ketika ikut menumpang di sebuah perahu penyeberang yang sedang penuh sesak. Di tengah pelayaran, perahu itu mendadak bocor. Mengetahui hal ini sudah tentu para penumpang jadi menjerit-jerit ketakutan. Akan tetapi laki-laki tadi tetap tenang-tenang saja duduk di tempatnya seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Seseorang yang duduk di dekatnya jadi bertanya, “Mengapa Tuan bisa tenang-tenang saja dan tidak peduli begitu?”
Si laki-laki menjawab, “Perahu ini bukan milikku. Mengapa pula aku harus repot-repot mengurusnya?”

 

Rakus
Seorang laki-laki memungut sepotong ampas tebu dari tanah lalu langsung dimasukkannya ke mulutnya. Setelah mengunyah-ngunyah ampas itu beberapa lama, dia merasa ampas itu sudah hambar rasanya. Dengan segera diludahkannya kembali sambil menggerutu, “Rakus sekali orang yang memakan tebu itu. Dikunyahnya habis-habisan sampai setetes pun rasa manisnya tidak ketinggalan!”

 
Lebih Penting Belajar Berenang
Karena salah memberikan obat, seorang pasien sampai menemui ajalnya. Karena merasa tidak puas, keluarga si pasien lalu menculik dukun yang merawat penyakit pasien itu. Akan tetapi pada malam harinya, si dukun berhasil melarikan diri lewat air. Sesampainya di rumah, dalam keadaan basah kuyup dan napas terngah-engah, dia melihat anak laki-lakinya sedang asyik membaca buku ramuan obat-obatan. Dengan segera si dukun berkata, “Kau tak perlu terlalu teliti membaca buku ramuan obat itu, Nak. Yang penting ialah kau harus belajar berenang dulu kalau nanti mau menjadi dukun juga seperti aku!”

 

Keinginan Terakhir
Ada seorang laki-laki yang terkenal tamak sekali. Menjelang ajalnya, dia mengeluh terus-menerus di tempat tidurnya, menggumamkan sesuatu yang hampir-hampir tak terdengar orang lain. 
Anak laki-lakinya mendekatkan telinganya ke mulut ayahnya itu lalu bertanya,  “Ayah, apakah Ayah ingin menyampaikan pesan terakhir?”
“Tidak. Tetapi aku tak akan menutupkan mataku.”
“Kenapa, Ayah?”
“Ketika terakhir kali aku singgah di rumah nenekmu, aku tidak sempat memakan potongan daging babi yang terakhir.”
“Kenapa tidak Ayah ambil dengan supit?”
“Aku sudah mengambilnya dengan supitku.”
“Mengapa tidak langsung Ayah suap?”
“Sudah ada sepotong daging yang lain di mulutku.”
“Seharusnya kan bisa Ayah telan cepat-cepat!”
“Bagaimana bisa? Soalnya sudah ada sepotong yang lain di tenggorokanku!”

 

Bukti Langsung
Beberapa orang laki-laki sedang duduk-duduk mengobrol mengelilingi sebuah meja. Ketika salah seorang dari mereka menyebutkan sebuah nama, seorang yang lain berkata, “Dia sebenarnya orang baik, hanya saja dia suka bersikap kasar dan penaik darah.”
Secara kebetulan, laki-laki yang diceritakan itu lewat di depan pintu dan sempat mendengar apa yang diucapkan laki-laki tadi. Dia langsung saja menendang pintu sampai terbuka, menyeret laki-laki tadi dengan kasar lalu memukulinya berkali-kali, sambil berteriak-teriak dengan suara keras, “Kapan aku bersikap kasar, ha? Kapan aku naik darah, ha?”

 

Kalaulah Aku Tahu
Seorang laki-laki merasa lapar. Karena itu dia pergi ke sebuah restoran untuk membeli beberapa buah kue. Setelah memakan kue pertama, dia masih tetap merasa lapar, karena itu dia memakan kue kedua, ketiga dan seterusnya. 
... Setelah menghabiskan kue yang ketujuh barulah dia merasa kenyang. Akan tetapi tiba-tiba dia berkata menyesali diri, “Oh, kalaulah aku tahu bahwa kue ketujuh yang membuat aku kenyang, tidak akan kumakan enam yang lain.” 

 

Kalau Ada Yang Bertanya
Seorang laki-laki yang akan pergi meninggalkan rumahnya sebentar, meninggalkan pesan kepada anak laki-lakinya. 
“Kalau ada yang menanyakan aku, katakanlah kepadanya bahwa ayahmu sedang pergi untuk sesuatu urusan kecil dan jangan lupa menawari tamu itu minum teh.”

Takut kalau-kalau anaknya yang dungu melupakan pesannya, maka si ayah menulis pesan itu di secarik kertas lalu memberikan kertas itu kepada anaknya. Si anak menyimpan kertas itu di dalam lengan bajunya, tetapi kemudian sebentar-sebentar mengeluarkannya untuk membaca pesan ayahnya. 

Tiga hari telah berlalu tanpa seorang pun yang datang mencari ayahnya. Menduga tak ada gunanya lagi menyimpan kertas berisi pesan ayahnya itu, si bocah melemparkan kertas itu ke dalam tungku api. Akan tetapi pada hari keempat, mendadak saja muncul seorang tamu.
“Mana ayahmu?” tanya di tamu. 
Si anak laki-laki dengan gugup merogoh ke dalam lengan bajunya, lalu mondar-mandir ke sana-kemari mencari kertas pesan ayahnya. Karena tak juga berhasil menemukannya, dia berkata dengan tiba-tiba. “Sudah tidak ada.”
Dengan terheran-heran si tamu bertanya lagi. “Sudah tidak ada? Kapan terjadinya?” 
“Terbakar semalam.”

 

Pencuri-pencuri yang Cerdik
Ada orang yang mengatakan, “Pencuri memang orang yang berkedudukan rendah, tetapi pencuri juga bisa mengecoh orang yang mulia.”
Di Kuil Shuifu di kampungku, ada sebuah lonceng yang tergantung di sebuah menara. Pada suatu ketika beberapa orang penduduk Baling menyusuri sungai dan menambatkan perahu mereka di tempat yang sepi. Mereka bermaksud mencuri lonceng yang kalau dilebur bisa dibuat alat-alat pertanian. Beramai-ramai mereka melepaskan lonceng itu dari menara gantungannya lalu beramai-ramai pula menurunkannya ke tanah. Setelah melumurinya dengan lumpur tebal, mereka memecahkan lonceng itu sampai berkeping-keping, kemudian menggotong kepingan-kepingan itu dengan kayu. Tak satu kali pun suara yang mencurigakan terdengar oleh penduduk desa yang tinggal tak jauh dari sana. 

Pernah pula aku mendengar cerita tentang seorang pencuri yang membongkar sebuah rumah pada siang bolong dan mencuri sepasang genta terbuat dari batu yang digunakan oleh ummat Budha untuk beribadat. Ketika pencuri itu akan ke luar, dia kepergok dengan tuan rumah yang kebetulan baru pulang berpergian. 
“Kakek,” kata si pencuri menegurnya duluan, lalu bertanya, “apakah Kakek mau membeli lonceng batu?”
“Tidak, terima kasih,”jawab si laki-laki tua, “aku sudah punya.”
Dengan tenang di pencuri pergi membawa hasil kejahatannya. Ketika pada malam hari si pemilik rumah tak berhasil menemukan genta batunya, barulah dia menyadari apa yang telah terjadi. 
Cerita lain mengisahkan tentang seorang laki-laki yang sudah membawa sebuah ceret menyusuri jalanan, tiba-tiba merasa perutnya mulas. Buru-buru dia meletakkan ceret itu di tanah untuk membuang hajat. Kebetulan kejadian itu dilihat oleh seorang pencuri. Dengan diam-diam dia mengambil ceret itu dan setelah meletakkan ceret itu di kepalanya, dia buang air juga tak jauh dari sana. Ketika si pemilik ceret selesai buang air, dia jadi kaget karena ternyata ceretnya sudah hilang. 
“Itulah, kau kurang hati-hati sih,”kata si pencuri menyalahkan laki-laki itu. “Tidak kaulihat aku menjunjung ceretku? Ini kulakukan supaya jangan sampai dicuri orang. Sedangkan kau, kau letakkan dengan begitu saja di tanah. Pantaslah dicuri orang.” 
Ketiga kejadian di atas membuktikan bahwa pencuri adalah orang-orang yang cerdas juga sehingga sering mampu mengecoh orang yang merasa lebih cerdik dan lebih terhormat daripada mereka. 

*Humourous Stories from Snow Pavilion
 


Nasib Pejabat yang Takut Istri
Ada seorang pejabat yang takut kepada istrinya, pada suatu hari sampai luka-luka karena dicakar teman hidupnya itu. Keesokan harinya ketika dia memasuki Yamen*, Pejabat Tinggi yang menjadi atasannya melihat luka cakar di mukanya itu, sehingga bertanya apa gerangan yang terjadi pada dirinya. Si pejabat terpaksa menjawab dengan berdusta. “Saya sedang menikmati kesejukan udara malam di bawah penyangga pohon anggur ketika dengan mendadak penyangga itu ambruk sehingga saya terluka begini.”

Si Pejabat Tinggi yang mengetahui bahwa bawahannya itu berdusta, dengan wajah digalak-galakkan, segera berkata, “Aku tahu, kau pasti dicakar istrimu. Perintahkan pesuruh untuk memanggilnya kemari!”
Si Pejabat Tinggi tidak tahu bahwa istrinya sendiri rupanya sedang berada di luar Yamen dan sempat mendengar apa yang diucapkan suaminya. Dengan wajah merah padam menahan amarah, dia langsung masuk mendatangi kedua pejabat itu. Begitu melihat istrinya, dengan suara menggeletar ketakutan Pejabat Tinggi itu berbisik. “Nanti saja kemari lagi. Penyangga anggurku pun mau ambruk juga.” 

*Kantor pemerintahan pada zaman Cina feodal.
 



Tak Tahan Panas
Pada suatu hari di musim panas, seorang kaya menyelenggarakan pesta makan malam, dan di antara yang diundang termasuk salah seorang kerabatnya yang miskin. Karena tidak mempunyai mantel tebal, maka si laki-laki miskin ini terpaksa menghadiri acara makan malam itu dengan hanya mengenakan pakaian yang tipis saja. Takut kalau-kalau tamu-tamu lain menertawakannya, dia membawa sebuah kipas yang terus menerus dikipas-kipaskannya ke mukanya. 
“Aku tak tahan panas,” katanya. “Tetap kepanasan walaupun sedang musim dingin.”
Tuan rumah tahu bahwa kerabatnya ini hanya berpura-pura, dan ingin memberi pengajaran kepadanya, dia mengundang tamunya itu untuk menginap saja. Kerabatnya itu kemudian dipersilakan tidur di sebuah pondok terbuka di dekat sebuah kolam dengan hanya diberi selembar selimut tipis dan sebuah bantal yang terbuat dari anyaman bilah bambu. 

Tengah malam, si kerabat tidak kuat lagi menahan dingin. Karena itu dia terpaksa bangun, sambil berkerubung selimut, berjalan mondar-mandir supaya tubuhnya terasa panas. Akan tetapi ketika itulah dia terpeleset dan langsung tercebur ke dalam kolam. Mendengar suara ceburan itu tuan rumah buru-buru ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Dan dengan terheran-heran bertanya apa yang dilakukan kerabatnya itu di dalam air. 
“Inilah,”jawab si kerabat miskin, “Kan sudah kubilang tadi, aku ini tak tahan panas. Jadi walaupun tidur di pondok terbuka di musim dingin begini aku masih juga harus mandi air dingin.”

 


Pokoknya Cukup, Deh!
Seorang tuan rumah yang kikir ketika sedang menjamu tamu-tamu berisik kepada pelayannya. “Hemat-hematkan anggurku. Kau hanya boleh menyuguhkannya kalau mendengar aku mengetuk meja.”
Akan tetapi rupanya bisikan ini terdengar juga oleh salah seorang tamu. Ketika mereka sedang minum-minum, tamu ini dengan sengaja bertanya kepada tuan rumah. “Oh ya, ngomong-ngomong ibumu sekarang sudah berapa usianya, ya?”
“Tujuh puluh tiga,” jawab si tuan rumah. 
“Luar biasa!” balas si tamu sambil mengetuk meja. 
Mendengar ketukan itu, pelayan buru-buru ke ruang tamu untuk mengisi gelas masing-masing tamu dengan anggur. Beberapa saat kemudian, si tamu bertanya lagi. “Lalu, kalau ayahmu, berapa usianya?”
“Delapan puluh empat,” jawab tuan rumah.
“Lebih luar biasa lagi!” kata tamu sambil kembali mengetuk meja. 
Mendengar ketukan ini, pelayan kembali muncul menambah anggur untuk para tamu. Sampai di sini, sadarlah tuan rumah apa yang terjadi. Dengan gusar ia berkata kepada tamunya itu. “Tidak jadi soal tujuh puluh tiga atau delapan puluh empat. Pokoknya cukup deh!”

 

Gara-gara Utang
Seorang laki-laki yang tidak mau membayar utangnya, berdusta kepada pemilik uang yang dijaminnya. “Aku akan menikah dengan seorang janda kaya. Sayangnya aku tidak mempunyai uang untuk emas kawinnya. Tolonglah aku mengatasi persolaan ini. Kalau nanti sudah kawin, aku tidak saja akan melunasi semua utangku tetapi juga akan meminjamimu uang berapa saja yang kau perlukan.”
Percaya dengan kata-kata ini, si pemilik uang meminjaminya sejumlah uang lagi. Dengan itu si laki-laki peminjam uang memperbaharui rumahnya sehingga si pemilik uang bertambah percaya kepada apa yang pernah dikatatakan laki-laki itu. 

Beberapa hari kemudian si pemilik uang mendatangi rumah laki-laki itu. Dia mengetuk pintu dan dari dalam terdengar suara seorang wanita. “Suamiku tidak ada,” katanya. 

Kejadian seperti ini terulang sampai berapa kali, sehingga lama-kelamaan si pemilik uang menjadi curiga. Pada suatu kali ia melubangi kertas penutup jendela dan mengintip ke dalam. Tak ada seorang wanita pun di rumah itu. Yang terlihat tak lain adalah si laki-laki peminjam uangnya yang meniru suara wanita dengan cara menjepit hidungnya dengan jari. Dengan marah si pemilik uang menerobos masuk lewat jendela lalu menghajar laki-laki itu habis-habisan. Sambil masih tetap menjepit hidungnya dengan jari, laki-laki itu menjerit-jerit. “Yang meminjam uang kan suamiku. Mengapa aku yang kau pukuli?”

 

Bau Surga
Seorang laki-laki kaya yang sedang menjamu tamu-tamunya, dengan tidak sengaja telah buang angin. Kebetulan pada saat itu ada dua orang tamu yang duduk di kiri-kanannya. Salah seorang tamu itu berkata, “Walau ada suaranya, tetapi tidak ada baunya.”
Tamu yang seorang lagi menambahkan. “Bukannya tidak berbau, tetapi malah harum sekali aromanya.”
Mendengar ini orang kaya itu mengerutkan dahinya dan berkata. “Aku tahu bahwa kalau kentut sudah tidak berbau busuk, itu tandanya lima organ bagian dalam tubuh* orang itu sudah tidak sehat lagi dan hari kematiannya sudah menjelang tiba. Apakah aku juga sudah akan mati?”
Tamu pertama mendengar ini, langsung mengipas-ngipaskan jari ke hidungnya sambil berkata. “Ah, ini baru tercium bau busuknya.”
Tamu yang seorang lagi, sambil mengerut-ngerutkan hidungnya, mulai menarik napas panjang berkali-kali. Lalu, sambil memegang hidungnya, dia berkata. “Dimana aku ini, baunya seperti surga.”

*Istilah yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu pengobatan Cina mengenai jantung, hati, limpa, paru-paru dan ginjal. 
 


Tambah Pengetahuan
Ada seorang pemuda yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan bermalas-malasan, sama sekali tidak mau membaca buku apapun. Hal ini menimbulkan kemarahan ayahnya, yang akhirnya menghukum anaknya itu dengan mengurungnya di dalam kamar dan mengiriminya makanan tiga kali sehari. Dengan begini ayahnya berharap anaknya akan mau membaca buku-bukunya dan mengasah otaknya. Andaikata anaknya itu mau mengikuti sarannya ini, dia pasti akan mendapat banyak ilmu. 

Tiga hari kemudian, si ayah memasuki kamar itu untuk mencari tahu apa yang sudah dilakukan anaknya selama berkurung dengan buku-buku itu. 
“Ayah,” kata si pemuda, “Perintah terakhir Ayah kepadaku sungguh membawa hasil yang luar biasa. Membaca buku-buku ternyata membawa hasil yang banyak pada diriku. Aku memang baru tiga hari membaca, tetapi sudah cukup banyak hal baru yang kuketahui!”
“Betul begitu?” tanya ayahnya dengan gembira. “Coba katakan apa yang sudah kau ketahui.”
“Ya,”jawab anaknya dengan bangga, “Selama ini kukira buku-buku itu ditulis dengan kuas. Akan tetapi setelah selama tiga hari ini kuperhatikan dengan teliti, sekarang tahulah aku bahwa ternyata tiap halaman buku-buku itu dicetak di mesin cetak.”

 


Karena Tak Ada Yang Mau Mengalah
Kerang sedang tenang-tenang membuka kulitnya untuk menikmati kehangatan sinar matahari di tepi pantai. Tiba-tiba muncul seekor burung yang langsung mencatok kerang itu untuk memakannya. Akan tetapi kerang dengan cepat menutupkan kulitnya sehingga menjepit paruh burung itu. Burung kaget sekali lalu menyentak-nyentakkan kerang itu agar lepas dari paruhnya, namun segala usahanya ini sia-sia. Sedangkan kerang, yang tak mau melepaskan paruh yang dijepitnya, semakin lama semalin jauh diseret si burung menjauhi pantai. Lalu keduanya mulai bertengkar. 
“Kalau hujan tidak turun-turun dalam satu dua hari, kau tidak akan mendapat air, dan karena kau tidak akan bisa kembali ke pantai, kau pasti akan mati!” kata burung dengan suara yang rendah bergumam karena dia tak bisa membuka paruhnya. 
“Kalau aku tidak melepaskan kau dalam beberapa hari, dan kau sendiri tak bisa melepaskan paruhmu, kau juga akan mati!” balas kerang, juga dengan suara rendah menggumam. 
Kerang dan burung itu terus bertarik-tarikan, sama-sama tak mau mengalah. Ketika itulah datang seorang nelayan, yang segera menangkap dan membawa pulang kedua binatang ini. 

 


Kisah Padi dan Itik
Seorang penduduk desa mengungkapkan keinginan hatinya, “Aku akan senang sekali kalau memiliki seratus Mu* ladang padi.”
Mendengar ini, tetangganya yang isi berkata. “Aku akan memelihara sepuluh ribu ekor itik untuk melahap seluruh padimu.”

Kata-kata ini menimbulkan pertengkaran di antara mereka dengan tak ada pihak yang mau mengalah. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk membawa persoalan itu kepada hakim. Karena tidak tahu dimana letaknya gedung pengadilan, mereka hanya terus saja berjalan menyusuri jalanan sampai mereka tiba di sebuah sekolah yang bangunannya masih model lama. Melihat kekokohan dindingnya serta bentuk pintu gerbangnya mereka mengira itu adalah gedung pengadilan, maka kedua penduduk desa tadi masuk ke dalam dengan masih terus bertengkar. 

Di dalam, mereka melihat seorang pelajar sedang berjalan mondar-mandir di dalam kelasnya. Menduga pelajar itu adalah hakim, kedua penduduk desa tadi saling dahulu-mendahului menceritakan persoalan mereka, yang satu menuduh yang lain, yang seorang menyalahkan yang seorang lagi. Setelah mendengarkan semua kata-kata mereka, si pelajar berkata, “Kau boleh pergi membeli ladang padimu, dan dia biarkan saja memelihara itiknya. Kalau nanti aku sudah menjadi hakim, barulah persoalan kalian ini kuadili.”

 


Baru Terbuka Rahasianya
Seorang laki-laki baru saja menikah dengan seorang wanita yang tidak muda lagi. Duduk di ranjang pengantin, si laki-laki diam-diam memperhatikan bahwa wajah istrinya ternyata sudah banyak kerut-merutnya. 
“Berapa sih usiamu?” tanya si laki-laki kepada pengantinnya. 
“Kira-kira empat lima empat enam,”jawab si wanita. 
“Tetapi di dalam surat kawin tertulis tiga puluh delapan. Kalau menurut perhitunganku, usiamu pasti lebih dari empat lima atau empat enam. Katakanlah yang sebenarnya.” 
“Yah, yang sebenarnya lima puluh empat.”
Walaupun suaminya masih terus mendesak, namun si istri tetap berkeras mengatakan bahwa usianya tidak lebih dari lima puluh empat tahun. Disiksa keragu-raguan, sang suami sudah bermaksud tidur ketika tiba-tiba terlintas suatu akal di benaknya. 
“Aku mau ke dapur dulu untuk menutupi pasu. Kalau tidak nanti garam yang ada di dalamnya akan dimakan tikus.”
“Jangan main-main, ah!” sergah istrinya. 
“Sudah enam puluh delapan tahun aku hidup di dunia ini, belum pernah kudengar ada tikus yang suka makan garam.”

 

Taktik Dagang
Pada zaman dahulu ada raja yang menyediakan seribu ons emas untuk membeli seekor kuda yang mampu berlari sejauh seribu li. Akan tetapi walau sudah tiga tahun mencari, dia belum juga berhasil mendapatkannya. “Perkenankanlah hamba mencarinya,” kata salah seorang sida-sidanya, dan raja mengabulkan permintaan pembantunya ini. 
Setelah mencari selama tiga bulan, sida-sida ini akhirnya mendengar kabar ada seekor kuda seperti yang sedang dicari rajanya. Akan tetapi ketika dia tiba di tempat itu, ternyata kuda yang dimaksud sudah mati. Sida-sida mempertimbangkan beberapa lama dan akhirnya membeli bangkai kuda yang bisa berlari sejauh seribu li itu dengan harga lima ratus ons emas. Dia pulang ke ibu kota krajaan dengan membawa kepala bangkai kuda itu. 

Begitu raja mengetahui bahwa sida-sidanya telah mengeluarkan lima ratus ons emas untuk membeli kepala bangkai kuda, dia langsung membentak. “Yang mau kubeli kuda hidup! Untuk apa bagiku kepala bangkai kuda begitu? Kau telah membuang-buang uang emasku dengan percuma!”

Dengan tenang sida-sida itu menjawab. “Hamba membeli kepala kuda ini dengan satu tujuan: untuk membuat seluruh dunia mengetahui bahwa Yang Mulia benar-benar mencintai kuda yang mampu berpacu sejauh seribu li. 
Kalau berita tentang hal ini sudah tersebar luas, maka semua orang yang memiliki kuda yang mampu berpacu sejauh seribu li pasti akan memenuhi pintu gerbang kerajaan Yang Mulia.”

Apa yang dikatakan sida-sida itu ternyata menjadi kenyataan. Dalam waktu satu tahun saja raja telah berhasil membeli beberapa ekor kuda yang mampu berpacu sejauh tiga ribu li. 

 

Kalau Datang Cepat Bisa Dapat Kursi

Seorang peminjam didatangi oleh banyak sekali pemilik uang yang menagih piutang sehingga semua kursi dan bangku yang ada di rumahnya terisi, dan salah seorang penagih piutang malah terpaksa duduk di sandaran tangga. Kepada yang belakang ini, si tukang pinjam berisik. “Datanglah besuk saja, Pak, sebaiknya pagi-pagi sesekali.”

Menduga orang yang meminjam  uang kepadanya itu ingin menyelesaikan utang kepadanya terlebih dahulu, si laki-laki pemilik uang sangat gembira. Dia menceritakan kepada penagih-penagih piutang yang lain apa yang menurut dugaannya akan dilakukan si peminjam uang, karena itu mereka semua segera berpulangan. 

Keesokan harinya, si pemilik uang datang lagi pada saat matahari baru mulai terbit dan bertanya kepada si peminjam uang apa sebabnya dia disuruh datang pagi-pagi sekali. 
“Saya merasa kurang enak hati,”jawab si peminjam uang, “Melihat Bapak kemarin duduk kurang nyaman di sandaran tangga. Dengan datang pagi-pagi sekali seperti ini maka Bapak akan mendapat kursi.”

 


Bercanda Dengan Hantu
Tetangga sedesaku, Chen Tsai-heng, adalah seorang laki-laki tua baik hati yang gemar berkelakar di usianya yang sudah enampuluhan. Pada suatu malam, dia sedang berjalan-jalan menikmati udara segar ketika dia melihat di depannya ada dua orang laki-laki yang membawa lentara. Chen meminta api dari lentera salah seorang dari mereka untuk menyalakan pipanya, tetapi sengaja tidak segera menyalakan pipanya itu. 
Salah seorang dari laki-laki itu lalu bertanya. “Apakah kau sudah melewati tujuh hari pertama?”*

Heran mendengar pertanyaan ini, Chen menjawab ragu-ragu. “Belum.” 
“Kalau begitu tidak heran,” kata yang lain. 
“Kekuatan aslimu belum pulih kembali. Itulah sebabnya kau belum bisa memakai api gaib.”
Menyadari bahwa kedua makhluk berbentuk laki-laki itu ternyata adalah hantu, Chen bertanya kepada mereka. “Apakah memang bentul, kata orang, bahwa manusia takut kepada hantu?”
Yang satu menjawab. “Ah, tidak. Malah sebaliknya hantulah yang takut kepada manusia.” 
“Apa yang ditakutkan hantu pada manusia? “tanya Chen. 
“Kami takut diludahi manusia.” 

Begitu mendengar ini Chen buru-buru menarik napas panjang dan langsung meludahi mereka. Kedua hantu itu terjengkang tiga langkah ke belakang dan sambil terbelalak marah kepada Chen, mereka berkata, “Jadi kau bukan hantu?”
Sambil tertawa, Chen menjawab. “Supaya kalian tahu, aku adalah manusia yang sebelah kakinya sudah di lubang kuburan.”

Dia meludahi mereka lagi, sehingga hantu-hantu itu menciut menjadi kecil. Setelah dia meludahi hantu-hantu itu tiga kali, hantu-hantu itu pun segera menghilang.

 

Si Dungu Membeli Sepatu
Ada seorang laki-laki dungu yang pergi ke kota untuk membeli sepasang sepatu baru. Sebelum pergi, dia mengukur kakinya dengan sebatang jerami. Akan tetapi karena terlalu terburu-buru, dia berangkat dengan tidak membawa jerami ukuran kakinya itu tiba di kota dia langsung menuju ke toko sepatu, namun jadi gugup sendiri setelah merogoh-rogoh sakunya tak berhasil menemukan batang jerami ukuran kakinya. “Aku lupa membawa ukuran kakiku jadi aku tidak tahu sepatu ukuran berapa yang harus kubeli,” katanya kepada pelayan toko. 
“Aku akan lari untuk mengambilnya.” Belum sempat pelayan toko berkata apa-apa, si laki-laki dungu sudah lari meninggalkan tempat itu. 

Dengan bergegas dia pulang untuk mengambil jerami ukuran kakinya, kemudian lari kembali ke kota. Cukup lama juga dia lari pergi- balik itu, sehingga pada saat dia tiba kembali di kota, malam sudah larut dan toko sepatu itu sudah tutup. Dia jadi kesal sendiri sudah bersusah-payah pergi-balik, namun gagal juga membeli sepasang sepatu yang diidam-idamkannya. 

Kebetulan ada yang memperhatikan tingkah-lakunya itu dan bertanya ingin lebih tahu. 
“Kau mau membeli sepatu untuk dirimu sendiri atau untuk orang lain?”
“Untuk diriku sendiri, kok,”jawab si dungu. 
“Lha, apakah kau tidak membawa kakimu? Kalau untuk diri sendiri, untuk apa pakai alat pengukur sengala?”

 
Pukul Artinya Cinta
Pada suatu hari Qiu Jun* mengunjungi seorang tukang ramal. Melihat yang datang bukan pejabat tinggi, si tukang ramal acuh tak acuh saja malah bersikap agak kasar. Tak lama kemudian putra seorang pejabat tinggi tiba, dengan penampilan seorang pemuda yang kaya raya. Si tukang ramal langsung berubah sikap, dengan tersenyum-senyum segera melayani anak pejabat tinggi itu. Qin Jun sebal sekali melihat tingkah-laku tukang ramal itu. Sehingga begitu si anak pejabat pergi, dengan marah dia bertanya kepadanya. 
“Tadi sikapmu begitu kasar kepadaku. Tetapi kenapa kemudian kau begitu sopan-santun kepadanya?”
Si tukang ramal ini memang terkenal pandai memutar lidah. “Jangan salah mengerti! Tak kenalkah kau kepadaku? Kalau aku bersikap sopan-santun, itu artinya hatiku benci kepada orang itu. Sebaliknya kalau hatiku sebenarnya menyukai seseorang maka aku merasa tak perlu memperlihatkan perasaanku itu kepadanya!” 
Qiu Jun kebetulan membawa sebatang tongkat bambu, dan tongkat itu langsung dipukulkannya ke kepala si tukang ramal sampai beberapa kali. 
“Kalau begitu, aku memukulmu karena sebenarnya aku mencintaimu. Kalau aku tidak memukulmu, itu artinya aku sama sekali tidak mencintaimu. Jadi aku tak punya jalan lain kecuali memukulmu. Maafkan aku!” 

*Qin Jun, 1418-1495, seorang pejabat dan pelajar yang hidup pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644).