• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label prasasti jawa kuno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prasasti jawa kuno. Tampilkan semua postingan

prasasti jawa kuno









Masa Jawa Kuna adalah suatu masa ketika bahasa Jawa Kuna banyak dipakai  sebagai alat komunikasi
oleh masyarakat suku bangsa Jawa pada sekitar awal abad IX M sampai dengan abad XV M.1 Bahasa
Jawa Kuna termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan sub-
bagian dari kelompok linguistis Austronesia. Secara kasar bahasa-bahasa di Nusantara meliputi 250
macam bahasa, dan bahasa Jawa Kuna menduduki tempat istimewa karena karya-karya sastranya yang
menonjol, yang berasal dari abad IX M dan ke X M. Ada dua sifat yang nampak pada bahasa tersebut,
pertama, terdapat banyak kata-kata yang berasal dari bahasa Sansekerta; kedua, meskipun terdapat
pengaruh  bahasa Sansekerta, yang secara linguistis termasuk rumpun bahasa yang berbeda sama sekali,
namun bahasa Jawa Kuna dalam segala susunan dan ciri-ciri pokoknya tetap merupakan suatu bahasa
Nusantara z
Bahasa Sansekerta merupakan salah satu rumpun bahasa tertua di dunia. Dalam penggunaannya
hampir sama dengan struktur tata bahasa Arab yang mengenal jenis kelamin (feminine, maskulin,
neutrum); mengenal bentuk tunggal (singularis), bentuk jamak (pluralis), bentuk ganda (dualis); dan
1Prasasti tertua berbahasa Jawa Kuna adalah prasasti Sukabumi yang ditemukan berpenanggalan 25 Maret
tahun 804 M. 
  -- 
mengenal delapan kasus (nominatif, akusatif, instrumentalis, datif, ablatif, genetif, lokatif, dan vokatif)
secara linguistis pengaruh India terhadap daerah-daerah Indonesia
yang mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan semacam pembauran antara bahasa India sehari-
hari dan salah satu idiom bahasa Nusantara, melainkan suatu bahasa Nusantara yang diperkaya dengan
penambahan dan pencampuran kata-kata Sansekerta serta sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya yang lebih
muda. Pada kenyataannya, kata-kata pinjaman dari bahasa Sansekerta itu hampir semuanya bersifat kata-
kata benda dan kata-kata sifat dalam bentuknya yang tidak dapat dideklinasikan2 atau merupakan
perkataan dalam bentuk lingga.3 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur bahasa Sansekerta
itu dibaurkan ke dalam bahasa Jawa Kuna sedemikian rupa, sehingga susunan dan sifatnya sebagai suatu
bahasa Nusantara tetap utuh.
Pengetahuan mengenai masa Jawa Kuna dapat diketahui berdasarkan tinggalan-tinggalan prasasti
yang ditulis di atas batu atau lempengan logam (tembaga, perunggu, atau emas) maupun kitab-kitab
kesusastraan yang memakai  bahasa Jawa Kuna. Tulisan-tulisan itu biasanya menyebutkan tanggal
dikeluarkannya prasasti maupun kitab kesusastraan melalui sebuah sistem yang rumit yang berkaitan
dengan gejala-gejala astronomis ,
menyatakan bahwa kata prasasti merupakan bentuk “penjawaan” dari kata praśasti yang berasal dari
bahasa Sansekerta, dan mendefinisikannya sebagai ‘piagam’, ‘inskripsi’, atau ‘pengumuman pemerintah’.
Melihat pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa prasasti bukanlah sembarang tulisan yang tidak
mempunyai makna tertentu, akan tetapi, merupakan suatu keputusan atau ketetapan dari seorang
penguasa.  Permasalahan yang muncul adalah apa dan bagaimanakah sebenarnya prasasti pada masa Jawa
Kuna itu?  Siapa sajakah yang berhak mengeluarkan prasasti, dan apakah tujuan mereka mengeluarkan
prasasti?
Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data berupa prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna yang
berasal dari abad IX M sampai abad XV M yang sudah ditrasliterasi dalam bentuk huruf Latin dan sudah
diterbitkan menjadi buku kumpulan prasasti. Selanjutnya dipilih prasasti yang memiliki data yang utuh
dan terbaca semua informasi yang terdapat didalamnya. Setelah dilakukan pembacaan dan penerjemahan,
tahap selanjutnya adalah interpretasi data, yaitu menafsirkan dan mensintesakan data agar dapat dianalisis
dan ditarik suatu kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dari tahap ini
diharapkan dapat tergali fakta-fakta yang telah terjadi di masa lampau dalam sejarah bangsa Indonesia
untuk direkonstruksi dalam suatu penulisan ilmiah.
2Deklinasi adalah fleksi yang dilakukan pada kata benda, kata sifat, kata ganti, dan kata sifat-pronominal
3Lingga adalah kata dasar, misalnya: dewa, uttama, marga, dan sebagainya .
A. Pengertian Prasasti
Prasasti adalah sumber tulisan sejarah yang berasal dari tinggalan masa lampau yang biasanya
tertulis di atas batu, lempengan logam (emas, perak, atau tembaga),4 gerabah, batu-bata, atau lontar.5 Pada
umumnya prasasti-prasasti itu merupakan semacam piagam untuk memperingati peristiwa penting pada
suatu kerajaan, misalnya yupa di Kutai memperingati kedermawanan Raja Mulawarman dalam
memberikan sumbangan untuk ritual -ritual  keagamaan di kerajaannya ,
Adapun prasasti-prasasti yang ditemukan di Kerajaan Mataram Hindu sebagian besar berisi tentang
penetapan sebidang tanah atau suatu daerah menjadi berstatus sīma, yaitu daerah bebas pajak sebagai
anugerah raja kepada seorang pejabat kerajaan; atau kepada rakyat yang telah berjasa kepada kerajaan;
atau sebagai anugerah raja untuk kepentingan pendirian bangunan suci. Penetapan sima baru pada
umumnya dianggap sebagai peristiwa yang penting sekali, karena yang terjadi adalah perubahan
kedudukan sebidang tanah yang dalam hubungan religio-magis di kalangan masyarakat Indonesia selalu
terkait dengan yang mendiami tanah itu 
Berikut ini contoh prasasti yang terbuat dari berbagai batu dan tembaga:

Sebagian kecil dari prasasti-prasasti yang ditemukan di Kerajaan Mataram Hindu berisi tentang
keputusan peradilan atau sering disebut sebagai jayapatra atau jayasong(Poesponegoro dan Notosusasto,
1993). Penyebutan itu didasarkan atas penyebutan kata jayapatra atau jayasong dalam beberapa prasasti
yang berhubungan dengan putusan peradilan, misalnya pada prasasti Guntur907 M ), prasasti Wurudu Kidul922 M dan prasasti Parung (tt; zaman
Majapahit).  Kata jayapatra berarti catatan kemenangan dalam perkara hukum yang diberikan kepada
pihak yang menang sedangkan jayasong berarti perlindungan kemenangan atas
keputusan hukum  Prasasti-prasasti itu dikeluarkan oleh raja, penguasa daerah
(raka), pejabat peradilan (samgat/pamgat), atau oleh pihak-pihak yang mempunyai wewenang dalam
suatu proses peradilan, serta memuat sebuah proses pengambilan keputusan peradilan Jawa Kuna. Dalam
proses pengambilan keputusan seperti yang tersurat pada prasasti peradilan itu selalu terlihat adanya
pihak-pihak yang bersengketa, pejabat-pejabat peradilan, saksi-saksi, dan putusan yang dibuat. Dengan
demikian, sebuah prasasti dapat disebut sebagai prasasti peradilan jika mempunyai dua atau lebih dari
unsur-unsur tersebut di atas ,
Prasasti-prasasti di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk hurufdanbahasa, di antaranya
adalah huruf Pallawa, Jawa Kuna, Pra-nagari, dan Dewanagari. Sedangkan bahasa yang dipakai  adalah
bahasa Sansekerta, Melayu Kuna, Jawa Kuna, dan Bali Kuna. Pada kenyataannya huruf Pallawa masih
dapat dibedakan menjadi Pallawa Awal atau Pallawa Kuna dan Pallawa Muda. Sebagai contoh prasasti
berhuruf Pallawa Kuna adalah prasasti-prasasti dari Kutai, prasasti-prasasti Purnavarmman dari
Tarumanegara, dan beberapa prasasti dari Kedah, Malaysia. Adapun contoh prasasti yang berhuruf
Pallawa Muda adalah prasasti Tuk Mas dari Grabag, Jawa Tengah, prasasti-prasasti dari Sriwijaya, dan
prasasti Canggal, Jawa Tengah. Prasasti-prasasti yang memakai  huruf Pallawa itu pada umumnya

  -- 
memakai  bahasa Sansekerta, kecuali prasasti dari Sriwijaya yang memakai  bahasa Melayu
Kuna.
Prasasti-prasasti yang memakai  huruf Jawa Kuna juga dapat dibedakan menjadi Jawa Kuna
Awal (antara tahun 750 M - 925 M), Jawa Kuna Akhir (antara tahun 925 M-1250 M), dan Jawa Kuna
periode Majapahit (antara tahun 1250 M – 1450 M). Prasasti berhuruf Jawa Kuna Awal dibedakan
menjadi dua, yaitu fase kuna (antara  tahun 750 M – 856 M), dan prasasti Jawa Kuna yang merupakan
bentuk standar (antara tahun 856 M – 925 M). Prasasti-prasasti yang berhuruf Jawa Kuna ini pada
umumnya memakai  bahasa Jawa Kuna. Akan tetapi, ada juga yang memakai  bahasa Melayu
Kuna seperti prasasti Bukateja, prasasti Gandasuli I (Sang Hyang Wintang) dan Gandasuli II (Dang
Puhawang Glis). Adapun prasasti berhuruf Pra-Nagari (Siddham) dan huruf Dewanagari pada umumnya
memakai  bahasa Sansekerta. Sebagai contoh adalah prasasti Kelurak, dan prasasti Kalasan. Tabel
berikut dapat menjelaskan pembagian perkembangan huruf dan bahasa di Jawa Kuna seperti tersebut di
atas:
No Huruf Periode Bahasa
Jenis Perkembangan
1. Pallawa Pallawa Awal/Kuna + Abad V-VII Sansekerta
Pallawa Akhir/Muda + Abad VII-VIII Sansekerta
Melayu Kuna,
Jawa Kuna Awal
2. Pra-nagari - Abad VIII M Sansekerta
3. Dewanagari - Abad VIII M Sansekerta
4. Jawa Kuna Jawa Kuna Awal 750 M - 950 M Sansekerta dan
Jawa Kuna Awal
Jawa Kuna Awal
fase kuna
750 M – 856 M Jawa Kuna Awal;
Melayu Kuna
Jawa Kuna
bentuk standar
856 M – 925 M Jawa Kuna standar;
Melayu Kuna
Jawa Kuna Akhir 925 M – 1250 M Jawa Kuna Akhir
Jawa Kuna periode
Majapahit
1250 M – 1450 M Jawa Kuna Akhir
(Sumber: diolah dari berbagai pola prasasti)
Penamaan prasasti dapat ditentukan oleh dua hal, yaitu pertama, berdasarkan tempat atau daerah
ditemukannya prasasti itu, misalnya prasasti Kalasan, prasasti Ratu Boko, prasasti Canggal, dan
sebagainya. Pada kasus penamaan seperti ini, berarti prasasti-prasasti itu ditemukan di daerah Kalasan,
daerah Ratu Boko, dan daerah Canggal (Muntilan); kedua, diambil dari nama tempat yang pertamakali
disebut pada prasasti itu, misalnya prasasti Cane, prasasti Telang, dan prasasti Kamalagyan. Pada kasus
ini dapat dijelaskan sebagai berikut, Cane adalah tempat yang tertulis di prasasti itu, daerah yang
menerima anugerah raja berupa ditetapkannya daerah itu menjadi daerah sima. Adapun Telang adalah
nama tempat yang pertamakali disebut pada prasasti itu, selain Mahe, dan Paparahuan. Prasasti yang
dikeluarkan pada abad X M itu mencatat tentang pembuatan tempat penyeberangan di ketiga desa itu
yang terletak di tepi Bengawan Solo oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Adapun prasasti Kamalagyan
mencatat adanya usaha dari Airlangga untuk menyejahterakan rakyatnya dengan jalan membuat
  -- 
bendungan pada sungai di wilayah Kamalagyan, agar tidak menyebabkan banjir di daerah sekitarnya
B. Struktur Prasasti
Prasasti-prasasti yang dikenal di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk struktur. Berdasarkan
jumlah kata dan kalimatnya dapat dibedakan menjadi prasasti pendek, sedang, dan panjang, bahkan ada
prasasti yang hanya memuat satu kata atau angka tahun saja. Panjang pendeknya jumlah kalimat itu
mempengaruhi bentuk struktur prasasti yang bersangkutan. Prasasti pendek pada umumnya terdiri dari
dua sampai empat atau kurang dari sepuluh kata. Prasasti ini biasanya menyebut nama tokoh, tanda
peringatan atau angka tahun dengan memakai  candra sengkala. Misalnya prasasti pendek yang
terdapat di kompleks Candi Plaosan Lor yang hanya berbunyi: “Dharmma Śrî Mahārāja.” Pada kasus ini
prasasti itu menunjukkan adanya dharmma atau kebaikan yang dilakukan oleh Śrî Mahārāja. Prasasti
sedang dan panjang pada umumnya berstruktur sama hanya perbedaannya terletak pada tujuan penulisan
prasasti yang mempengaruhi panjangnya kalimat, adapun isinya biasanya tentang penetapan sebidang
tanah menjadi berstatus sima. Ada juga beberapa prasasti yang berisi peringatan  pembuatan bendungan,
berisi putusan peradilan, atau berisi peringatan khusus lainnya.
Struktur prasasti yang terdapat pada prasasti panjang  dan prasasti sedang, biasanya terdiri dari:
1. Manggala.
Manggala adalah kalimat pembuka yang dituliskan oleh penulis prasasti pada setiap bagian awal prasasti.
Ucapan pembuka ini dimaksudkan sebagai kata-kata permohonan keselamatan dan kebahagiaan serta
sebagai ucapan pujian kepada para dewata. Manggala yang dimaksud sebagai kata-kata permohonan
keselamatan dan kebahagiaan biasanya dimulai dengan kata swasti (‘selamat berbahagia’) atau kata
awighnam astu (‘semoga tidak ada halangan’). Adapun manggala yang dipergunakan sebagai ucapan
pujian kepada para dewata sering ditandai dengan adanya kata om namaśśiwaya (‘sembah pujian kepada
Śiwa’) atau namostu sarwwabudhaya (‘sembah kepada segenap Buddha’).
2. Unsur penanggalan.
Penanggalan yang terdapat pada prasasti Jawa Kuna sangat lengkap, terdiri dari unsur angka tahun, bulan,
tanggal, hari, minggu, grahacãra, nakşatra, dewatã, maņdala, yoga, muhûrtta, parwweśa, karaņa, dan
raśi. Penulisan angka tahun dalam prasasti ditandai dengan adanya kata śakawarşãtîta diikuti dengan
angka tahun. Śakawarşãtîta dibentuk dari kata śaka, warşa (tahun), dan ãtîta (yang telah lewat), sehingga
kalimat itu berarti ‘tahun Śaka yang telah lewat’. Dalam penanggalan Jawa Kuna terdapat 12 bulan dalam
satu tahunnya, masing-masing bernama Caitra (Maret-April), Waiśakha (April-Mei), Jyeşţa (Mei-Juni),
Asada (Juni-Juli), Śrawana (Juli-Agustus), Bhadrawada (Agustus-September), Asuji (September-
Oktober), Karttika (Oktober-November), Mãrggaśira (November-Desember), Posya (Desember-Januari),
  -- 
Magha (Januari-Pebruari), dan Phalguna (Pebruari-Maret). Penulisan bulan pada prasasti biasanya diikuti
oleh kata mãsa (bulan), misalnya Caitramãsa
Penunjukan tanggal (tithi) dalam prasasti Jawa Kuna terdiri atas dua bagian. Bagian pertama
menunjukkan angka tanggal kemudian diikuti bagian kedua yang menunjukkan keadaan bulan yaitu
śuklapaksa (paruh terang), atau kŗşņapaksa (paruh gelap). Paruh terang  adalah tanggal permulaan
munculnya bulan hingga purnama, sedangkan paruh gelap adalah setelah purnama hingga habisnya bulan.
Dengan demikian, keduanya bergantian setiap setengah bulan sekali, oleh karena itu, angka tanggal Jawa
Kuna  hanya mulai dari angka 1 sampai 15 yang masing-masing disebut sebagai pratipãda (1), dwitîyã
(2), tretîyã (3), caturthî (4), pañcamî  (5), şaşţî (6),saptamî (7), aşţamî (8), nawamî (9), daśamî (10),
ekãdasî (11), dwãdasî (12), trayodasî (13), caturdasî (14),dan pañcadasî (15) (Damais, 1951:13;
Casparis, 1978:50).
Penyebutan hari pada masyarakat Jawa Kuna dikenal ada tiga macam penamaan hari, masing-
masing berdasarkan atas lama siklus yang berbeda, yaitu 5 hari (pañcawãra), 6 hari (sadwãra), dan 7 hari
(saptawãra). Siklus 5 hari terdiri atas Pahing (disingkat Pa), Pon (Po), Wagai (Wa), Kaliwuan (Ka), dan
Umanis (U). Siklus 6 hari terdiri atas Tunglai (disingkat Tu/Tung), Haryang (Ha), Wurukung (Wu),
Paniruan (Pa), Was (Wa), dan Mawulu (Ma). Sedangkan siklus 7 hari adalah Ãditya (disingkat à =
Minggu), Soma (So = Senin), Anggãrã (Ang = Selasa), Buddha (Bu = Rabu), Bhrehaspati/Wrehaspati
(Bre/Wre = Kamis), Śukra (Śu = Jum’at), dan Śanaiscara (Śa = Sabtu). Urutan penulisan ketiga wãra
dalam prasasti adalah sadwãra, pañcawãra, dan saptawãra serta diikuti dengan kata wãra(Casparis,
1978:3).Sedangkan satu minggu disebut satu wuku, yang terdiri dari 7 hari (saptawãra). Pada masyarakat
Jawa Kuna dikenal 30 wuku yang masing-masing mempunyai nama tersendiri. Jadi, setahun terdiri dari
210 hari 
Grahacãra menunjukkan letak kedudukan planet-planet.  masih
meragukan apakah letak kedudukan itu dikaitkan dengan posisi zodiak. Letak kedudukan grahacãra
ditunjukkan dengan menyebut arah mata angin, yaitu purwwa (timur), dakşina (selatan), paśśima (barat),
uttara (utara), aiśanya (timur laut), agneya (tenggara), nairiti (barat daya), dan bayabya (barat laut).
Nakşatra artinya bintang atau gugusan bintang. Dengan demikian penyebutan nakşatra dalam
prasasti adalah bintang atau gugus bintang yang terlihat pada saat tertentu. Di dalam astronomi Jawa
Kuna terdapat 27 nama nakşatra, dan seluruhnya bersiklus 322 hari. Nama beserta konstelasinya dari
setiap nakşatra dapat dibaca dalam naskah Agastyaparwa (Gonda, 1933: 329-419). Sedangkan dewatã
adalah perhitungan penanggalan yang memakai  nama-nama dewa yang dipercayai menguasai dan
mengawasi dalam kurun waktu tertentu.
Maņdala adalah istilah astronomi yang dipergunakan untuk menyebut bagian-bagian tertentu dari
langit ketika konstelasi nakşatra berada pada waktu matahari terbit. Maņdala memakai  nama-nama
dewa pengawas dari setiap bagian langit tersebut. Misalnya mahendra- maņdala untuk bagian timur,
agneya- maņdala untuk bagian tenggara, dan sebagainya  Yoga menunjuk pada
“waktu selama matahari dan bulan bergerak untuk bertemu pada titik 13 20’.” Jumlah yoga ada 27, yang

  -- 
keseluruhannya bersiklus 25,420 hari. Nama-namanya antara lain Siddhi, Sobhama, Subha, Siwa,
Wyapati, Indra, Dhŗti, Waskambha, Ayusman, Parigha, Atiganda, Priti, Harsana, Brahma, Bajra, dan
Sukla,
Muhûrtta adalah suatu kesatuan waktu, satu muhûrtta lamanya 48 menit. Satu hari (24 jam)
terdiri atas 30 muhûrtta, masing-masing muhûrtta mempunyai nama tersendiri (Casparis, 1978:54).
Parwweśa merupakan penyebutan untuk menandai pengawas suatu konstelasi bintang. Nama parwweśa
dalam prasasti antara lain Brahma-parwweśa, Saśi-parwweśa, dan Baruna-parwweśa(Zoetmulder,
2000:1309). Karaņa untuk menyebut suatu periode waktu yang lamanya 0,492 hari atau kira-kira
setengah hari. Masyarakat Jawa Kuna mengenal 7 karaņa, yaitu Visti, Bava, Valava, Kaulava, Taitala,
Gara, dan Vanija(Casparis, 1978:23 dan 51). Raśi atau zodiak yang dikenal masyarakat Jawa Kuna
berjumlah 12, yaitu Mîna (Pisces), Meşa (Aries), Vŗşabha (Taurus), Mithuna (Gemini), Karka (Cancer),
Simha (Leo), Kanyã (Virgo), Tulã (Libra), Vŗścika (Scorpio), Dhanu (Sagitarius), Makara (Capricornus),
dan Kumbha (Aquarius) .
Contoh penulisan penanggalan yang lengkap seperti di atas tertulis pada prasasti Tuhañaru 1323
M yang berbunyi sebagai berikut:
“//o// swasti śrîśakawarşãtîta. 1245. mãrggaśiramãsa. Tithi pañcadasî śuklapaksa. tung. u. ang.
wãra. krulwut.   pũrwwastha grahacãra. adra nakşatra. rudradewatã. bãrunamaņdala.
brahmayoga. wĩjayamuhũrrta. yama parwweśa. wawakaraņa. mithuna raśi….”
(“//o// Selamat berbahagia, tahun Śaka telah melewati  tahun 1245, pada bulan Mãrggaśira,
tanggal 15 paruh terang, hari Tunglai, Umanis, Anggara (Selasa), wuku krulwut, kedudukan
planet berada di sebelah timur, gugusan bintang yang terlihat adalah adra, di bawah pengaruh
Dewa Rudra, diawasi oleh Dewa Bãruna sebagai penjaga mata angin sebelah barat, brahma yoga,
wĩjaya muhũrrta, diawasi oleh Dewa Yama, wawa karaņa, pada naungan bintang Gemini…”)
Urutan tahun, bulan, tanggal, dan hari untuk setiap prasasti selalu sama, tetapi untuk penyebutan
astronomi tidak selalu sama urutannya. Bahkan ada beberapa prasasti yang unsur astronominya tidak
lengkap. Prasasti-prasasti yang berasal dari sebelum abad XI M jarang menuliskan unsur astronominya,
biasanya penyebutan penanggalannya hanya sampai pada hari atau nama minggunya 
3. Kejadian yang diperingati
Kejadian yang diperingati pada prasasti bermacam-macam. Seperti yang telah dikemukakan di atas, yupa
di Kutai memperingati kedermawanan Mulawarman dalam memberikan sedekah pada ritual 
keagamaan yang diselenggarakan oleh para brahmana. Sedangkan sebagian besar prasasti dari Kerajaan
Mataram Hindu, memperingati ditetapkannya suatu daerah menjadi berstatus sima. Meskipun demikian,
ada juga prasasti-prasasti yang memperingati tentang ketetapan hukum. Bahkan dari prasasti-prasasti itu,
dapat diketahui proses peradilan hukum dari warga yang mempunyai masalah hingga pejabat-pejabat
yang berwenang untuk memutuskan perkara itu. Contohnya prasasti Wurudu Kidul 922 M yang memuat
persengketaan mengenai status kewarganegaraan seseorang yang bernama Sang Dhanadi yang tinggal di
  -- 
Wurudu Kidul. Ia dituduh sebagai wka kilalan6dari daerah Manghuri oleh Sang Pamgat di Manghuri yang
bernama Pu Wukajana. Karena ia merasa bukan wka kilalan, maka ia mengajukan persoalan ini kepada
Sang Tuhan (penguasa wilayah) di Padang yang terletak di daerah Pakaranan, setelah sebelumnya
menghadap Pamgat (pejabat kehakiman) di Padang. Setelah diadakan penyelidikan terhadap leluhur Sang
Danadi, berikut dihadirkan juga saksi-saksi dari penduduk asli di Wurudu Kidul, ternyata memang benar
bahwa Sang Danadi adalah penduduk asli dan bukan wka kilalan. Kasus-kasus hukum yang terjadi pada
masyarakat Jawa Kuna ternyata bermacam-macam tidak hanya masalah kewarganegaraan saja. Misalnya,
prasasti Luitan 901 M dan prasasti Palêpangan 906 M, yang berisikan persengketaan terhadap luas tanah
milik para warga desa yang dikatakan melebihi ukuran yang sesungguhnya. Hal ini mengakibatkan
pembayaran pajak yang berlebih, sehingga memberatkan warga yang harus membayarnya. Ada juga
prasasti yang memperingati dibuatnya bendungan untuk menyejahterakan pertanian rakyat seperti yang
tertuang pada prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanãgara, prasasti Hariñjing A 787 M, dan prasasti
Kamalagyan pada masa pemerintahan Airlangga. Selain itu masih terdapat banyak kasus-kasus lain yang
dapat diperoleh dari data prasasti.
4. Sambandha
Khusus untuk prasasti yang berisi tentang sima, terdapat istilah sambandha, yaitualasan ditetapkannya
suatu daerah menjadi berstatus sima. Alasan-alasan itu dapat terjadi karena (1) merupakan balas jasa dari
seorang penguasa kepada seseorang atau beberapa orang pejabat, atau bahkan kepada penduduk suatu
daerah yang telah berjasa kepada raja atau kerajaan; (2) karena daerah itu diperintahkan untuk
memelihara bangunan suci atau yayasan keagamaan; (3) karena permohonan rakyat; atau (4) karena
karena perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang sehingga dapat dijadikan teladan bagi orang lain.
Setelah diketahui alasan penetapan sima, maka dapat diketahui pula penerimanya sesuai dengan alasan
penetapannya, yaitu (1) seorang pejabat atau beberapa orang pejabat; (2) penduduk desa; (3) bangunan
suci atau yayasan keagamaan .
5. Keterangan luas tanah dan batas-batas wilayah
Pada prasasti-prasasti tentang sima, keterangan luas tanah dan batas-batas wilayah sangat penting artinya.
Karena kedua hal tersebut menentukan luas daerah yang dikelola serta jumlah pemasukan daerah
setempat. Oleh karena itu, diperlukan batas-batas yang jelas terhadap wilayah yang menjadi hak penerima
sima. Daerah yang ditetapkan menjadi sima dapat berupa sawah, kebun, desa atau beberapa desa, atau
bahkan sebuah hutan karena adanya alasan tertentu.
6.  Daftar nama pejabat penerima pasak-pasak (persembahan)
6Wka kilalan menunjuk pada suatu kelompok masyarakat Jawa Kuna yang wajib membayar pajak, termasuk
di dalamnya adalah warga asing yang menetap di Jawa.
Pada ritual  penetapan suatu daerah menjadi berstatus sima, selalu dibagikan persembahan kepada para
penguasa kerajaan, dimulai dari raja kemudian pejabat-pejabat dibawahnya hingga pejabat desa yang
bersangkutan serta pejabat desa tetangga yang mengikuti ritual  itu. Persembahan yang diberikan itu
bervariasi dalam jenis maupun jumlahnya. Misalnya logam mulia berupa emas, perak, perunggu, dan besi
dalam berbagai bentuk cincin atau gelang, berbagai jenis kain (ganjar patra, raʼnga, aʼnsit, dan lain-lain),
binatang ternak (kerbau, kambing, atau celeng), serta sejumlah uang. Pejabat tertinggi mendapat jenis
yang paling baik serta jumlah yang paling banyak, sedangkan tingkat jabatan dibawahnya menyesuaikan
sesuai dengan tingkat jabatan masing-masing. Dengan demikian, melalui urutan penyebutan pejabat yang
menerima persembahan ini berikut besar-kecilnya persembahan yang diterima dapat diketahui kedudukan
para pejabat dalam suatu hierarki pemerintahan pada kerajaan itu. Biaya yang ditimbulkan pada ritual 
itu ternyata banyak sekali. Meskipun demikian, tidak semua tempat memberikan jumlah dan jenis yang
sama. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan ekonomi masing-masing daerah tidak sama. Sedangkan dari
jumlah undangan yang menerima hadiah dapat diketahui luas wilayah daerah sima tersebut (Brandes,
1913; Boechari dan Wibowo, 1986; Wurjantoro, 2011;2012).
7. Daftar saji-sajian
Saji-sajian pada ritual  penetapan sima sangat beragam, dari berbagai jenis bunga, daun, makanan, dan
sebagainya. Dari penyebutan saji-sajian ini dapat diketahui berbagai jenis tumbuhan dan jenis makanan
serta minuman yang dipakai  sebagai pelengkap ritual . Ada dua jenis saji-sajian, yaitu saji-sajian
untuk perlengkapan ritual  tersebut (sesajen) dan saji-sajian atau hidangan untuk dinikmati oleh semua
peserta ritual . Misalnya seperti yang terdapat pada prasasti Lintakan 919 M sesajennya berupa 5 ekor
ayam hitam, telur, tepung berwarna putih dan kuning, bunga-bungaan, dupa, lampu, dan jenu (semacam
boreh untuk mendapatkan kekuatan magis) 
Adapun hidangan untuk para peserta ritual  penetapan sima itu antara lain disebutkan oleh
prasasti Rukam 907 M II.7-10 ,berupa nasi tumpeng, makanan yang ditim
bertumpuk-tumpuk, makanan yang dibakar di atas arang, dendeng kakap, ikan kaḍiwas, ikan duri,
dendengtawar, ikan kawan, kerang, keong, hala-hala (semacam lauk), udang, ikan gabus, ikan deleg
goreng, telur, dan kepiting. Adapun sayurnya terbuat dari daging kerbau, daging sapi, dan daging babi.
Ada pula lalapan mentah, kasya-kasyan, makanan yang disangrai, sayur, daging babi cincang, urap,
dhudhutan (sebangsa nama masakan), dan petis. Minumannya meliputi tuak, siddhu (minuman keras
yang dibuat dari tebu), dan cinca (air gula).
8. Upacara penetapan sima
Rangkaian ritual  penetapan sima dilakukan oleh seluruh undangan yang terdiri dari para pejabat
kerajaan, kepala desa–kepala desa tetangga, pejabat daerah setempat beserta seluruh rakyat di daerah itu.
Selain pesta makan bersama, pada saat itu seringkali juga diselenggarakan acara kesenian seperti
pertunjukan wayang (awayang), tari-tarian (kicaka), tembang (namwang), dan tak lupa tampil pula badut-
badut maupun pelawak (abañol) untuk menghibur para peserta ritual .
9. Pengucapan sumpah atau sapatha
Puncak ritual  penetapan sima adalah pengucapan sumpah atau sapatha yang dilakukan oleh seorang
makudur.7 Inti pengucapan sumpah itu ditujukan kepada para pelanggar atau pengganggu sima. Mereka
yang mengganggu atau melanggar ketentuan di daerah itu akan dikenai sanksi oleh para dewata melalui
permohonan makudur pada waktu itu. Oleh karena itu, pada bagian akhir dari sumpah selalu dikatakan
bahwa ketetapan sima di daerah itu berlaku untuk selama-lamanya (dlaha ning dlaha). Pengucapan
sumpah yang didahului oleh pemanggilan dewa-dewa oleh sang makudur agar bersedia menyaksikan
ritual  itu, disertai dengan menghantamkan ayam maupun telur pada sang hyang watu sima hingga ayam
dan telur itu hancur, untuk menunjukkan demikianlah balasan dewa-dewa jika seseorang mengganggu
kedamaian penduduk dan wilayah sima itu seperti hancurnya ayam dan telur yang dihantamkan pada sang
hyang watu sima,
10. Citralekha
Arti sebenarnya citralekha adalah penulis, yaitu penulis keputusan atau perintah raja. Keputusan itu
biasanya dituliskan di atas ripta (lontar) terlebih dahulu, kemudian barulah digoreskan di atas batu atau
pada lempengan logam. Dari berbagai temuan prasasti dapat diketahui bahwa tulisan dari para citralekha
itu umumnya bagus-bagus. Nama penulis prasasti atau citralekha sering kali terdapat pada bagian akhir
sebuah prasasti ,
C. Prasasti dan Kekuasaan
1. Pejabat yang Berhak Mengeluarkan Prasasti
Berdasarkan penelitian pada prasasti-prasasti, ternyata pejabat yang berhak mengeluarkan prasasti sangat
terbatas, karena tidak semua orang dapat mengeluarkan maklumat penting itu, hanya orang-orang yang
mempunyai kekuasaan saja yang berhak mengeluarkannya. Mereka adalah raja, putra raja,
rakai,8samgat,9 atau para brahmana. Dengan demikian dapat diketahui adanya hubungan antara hak
mengeluarkan prasasti dengan kekuasaan pada masa Jawa Kuna. Oleh karena itu, perlu diketahui struktur
7Makudur adalah pejabat yang bertindak dalam mendirikan sima, dengan memanggil dewa-dewa dan
mengucapkan kutuk terhadap para pelanggar,
8Rakai atau rāka adalah penguasa wilayah watak.
9Samgat merupakan singkatan dari kata sang pamgat, artinya yang dapat memutuskan perkara. Jabatan ini
diberikan kepada orang-orang yang menguasai masalah agama atau hukum, sehingga dapat memutuskan perkara
yang terjadi pada masyarakatnya.
birokrasi di kerajaan pada masa Jawa Kuna itu, untuk mengetahui kedudukan pejabat-pejabat yang berhak
mengeluarkan prasasti tersebut.
Wilayah Kerajaan Mataran Kuna terbagi atas wilayah kerajaan, wilayah kerakaian, dan wanua.
Wilayah kerajaan adalah wilayah seluruh kerajaan, wilayah yang terdiri atas beberapa kerakaian, yang
mempunyai ibu kota pusat pemerintahan dan di situlah birokrasi pusat pemerintahan dijalankan. Wilayah
kerakaian atau daerah watak, adalah suatu wilayah yang terdiri atas beberapa wanua, yang dikuasai oleh
seorang rakaiatau seorangsamgat. Adapun wanua adalah wilayah terkecil dalam suatu kerajaan, daerah
ini dapat hanya terdiri atas satu desa saja atau merupakan kesatuan dari beberapa desa (Christie, 1986:70).
Wanua dikuasai oleh seorang rãma. Sedangkan penduduknya disebut sebagaianak wanua. Kondisi
pembagian wilayah itu dapat digambarkan dengan bagan alir sebagai berikut:
Gambar 3. Pembagian Wilayah Kerajaan Pada Masa Jawa Kuna
diketahui bahwa yang berhak mengeluarkan prasasti
hanyalah raja dan penguasa wilayah watak atau watĕk yang merupakan bawahan langsung dari kerajaan.
Perlu diperhatikan bahwa keputusan-keputusan raja di dalam prasasti itu selalu dituliskan dengan
tulisan yang indah dan rapi oleh seorang citralekha pilihan, sedangkan pada prasasti yang bukan
merupakan keputusan raja tulisannya kurang indah dan rapi. Bahkan ada prasasti yang tulisannya jelek,
keadaan ini dapat ditafsirkan bahwa penulisnya bukan citralekha profesional. Hal ini dapat dibuktikan
pada bentuk tulisan prasasti Sang Hyang Wintang dan prasasti Wayuku yang dikeluarkan oleh seorang
Rakai, dengan bentuk tulisan prasasti Tĕlang yang dikeluarkan oleh raja. Sepintas lalu saja sudah
kelihatan bahwa prasasti Tĕlang ditulis oleh seorang citralekha yang mahir, sedang kedua prasasti yang
lain citralekhanya kurang baik. Oleh karena itu, ada prasasti yang disebut sebagai Sang Hyang Haji
Prasasti, yang menandakan bahwa prasasti itu dikeluarkan oleh seorang raja (haji).
Gambar-gambar berikut ini menunjukkan jenis tulisan citralekha:
2. Fungsi Prasasti Pada Kekuasaan
Di dalam naskah Rāmāyana Kakawin antara lain berisi uraian tentang rājadharmma (tugas kewajiban
seorang raja), yaitu bagian yang merupakan ajaran Rãma kepada adiknya Bhãrata dan kepada Wibhīsana.
Pada bagian ini dijumpai ajaran astabrata, perilaku yang delapan. Ajaran itu menyatakan bahwa di dalam
diri seorang raja berpadu 8 dewa, yaitu Indra, Yama, Sûrrya, Soma, Wãyu, Kuwera, Waruna, dan Agni.
Sebagai Indra, yang di dalam kitab ini masih dianggap sebagai dewa hujan, raja hendaknya selalu
menghujankan anugerah kepada rakyatnya. Sebagai dewa Yama (dewa kematian) ia harus menghukum
para pencuri dan semua penjahat. Sebagai dewa Sūrrya (dewa matahari) yang senantiasa menghisap air
secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga tidak
memberatkan. Sebagai dewa Soma (dewa Bulan), ia harus membuat bahagia seluruh dunia dengan
senyumnya yang bagaikan amĕrta. Sebagai dewa Wāyu (dewa Angin), ia dapat menyelusup ke tempat-
tempat yang tersembunyi, raja harus selalu mengetahui hal ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di

  -- 
kalangan berbagai lapisan masyarakat. Sebagai Kuwera (dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati
kekayaan duniawi. Sebagai Waruna (dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua
penjahat. Dan sebagai Agni (dewa Api), ia harus membasmi semua musuhnya dengan segera. Dengan
singkat dapat dikatakan bahwa seorang raja harus berpegang teguh kepada dharmma, bersikap adil,
menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada yang berjasa, bijaksana, tidak boleh
sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak-gejolak di kalangan rakyatnya, berusaha agar rakyat
senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan
kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya (Poesponegoro dan Notosusasto, ed., 1993:192-193).
Berdasarkan penelitian terhadap isi prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para penguasa pada
masa Jawa Kuna, dapat diketahui bahwa isi prasasti-prasasti itu menunjukkan adanya pengamalan ajaran
astabrata oleh para penguasa pada waktu itu. Unsur anugerah menduduki tempat terbanyak, kemudian
menyusul masalah-masalah keputusan hukum, pajak, dan legitimasi kekuasaan seperti contoh prasasti-
prasasti yang telah disebutkan di atas.
Anugerah adalah hak istimewa yang dimiliki oleh seorang raja untuk menunjukkan kekuasan
tertingginya. Dengan adanya anugerah dari raja, rakyat akan merasa berhutang budi kepada raja, sehingga
rakyat tidak akan memberontak atau berkhianat kepada raja. Dengan adanya anugerah ini seorang raja
dapat memaksakan secara halus loyalitas rakyatnya kepada raja, karena pada hakekatnya raja adalah rāka
(penguasa wilayah watak) yang harus selalu bersaing dengan rāka-rāka lain untuk menduduki tahta
tertinggi di kerajaan Dengan adanya loyalitas yang bersifat sukarela dari
rakyat, maka kedudukan seorang raja menjadi semakin kukuh.
Banyaknya jumlah prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja dapat menunjukkan kebesaran dan
kekuasaan seorang raja. Sebagai contoh, Mulawarman, Raja Kerajaan Kutai, mengeluarkan 7 buah yupa
yang semuanya bercerita tentang kedermawanannya dalam menyumbang untuk ritual  keagamaan yang
dilakukan oleh para brahmana. Adapun Balitung, salah satu raja Kerajaan Mataram Hindu, mengeluarkan
prasasti sejumlah 28 buah yang tersebar di daerah Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Di dalam salah satu
prasastinya diceritakan bahwa Balitung telah berusaha meluaskan wilayah kekuasaannya ke  arah timur.
Semakin banyak prasasti ditemukan, semakin banyak informasi di dapat. Dan semakin banyak prasasti
ditemukan juga mengindikasikan bahwa pemerintahan dalam kondisi stabil. Pernyataan ini dapat
dijelaskan pada kasus yang terjadi pada Kerajaan Janggala dan Kerajaan Kadiri yang sangat minim
ditemukan prasasti karena terlalu sering terjadi perang saudara.
D. Kesimpulan
Bersadarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa prasasti adalah maklumat resmi
pemerintah yang dikeluarkan oleh raja atau penguasa tinggi kerajaan yang lain yang berisi
keputusan-keputusan penting kerajaan. Keputusan-keputusan yang tertulis di dalam prasasti itu
sifatnya abadi. Anugerah menduduki tempat terbanyak dalam isi prasasti, kemudian menyusul
  -- 
masalah-masalah keputusan hukum, pajak, dan legitimasi kekuasaan yang semuanya
menunjukkan kekuasaan seorang raja dalam pemerintahan sekaligus kekuasaan seorang raja
untuk “memaksakan” loyalitas rakyat terhadap dirinya. Jumlah prasasti yang dikeluarkan
oleh seorang raja dapat menunjukkan kebesaran kekuasaannya dan dapat mengindikasikan
stabilitas pemerintahannya.