Tampilkan postingan dengan label ibukota 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ibukota 2. Tampilkan semua postingan
ibukota 2
By arwahx.blogspot. com at Mei 24, 2023
ibukota 2
ategi
agar interaksi antara ASN, pendatang lainnya, dan penduduk yang
telah ada di wilayah calon ibu kota negara berjalan harmonis.
Penerimaan masyarakat dan proses interaksi yang akan terjadi
dalam struktur sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang
heterogen sangat penting, tidak saja pada saat perencanaan, dan
proses pembangunan berlangsung, namun juga hingga
berfungsinya ibu kota negara yang baru. Proses pemindahan ibu
kota negara yang partisipatif dan inklusif menjadi dasar
terbentuknya kota dengan masyarakat kosmopolitan (majemuk)
namun tetap menghargai keberagaman budaya.
Lima Etnis Terbesar di Provinsi Kalimantan Timur
Etnis Jumlah %
Jawa 1,064,610 30.2
Bugis 725,420 20.6
Banjar 437,790 12.4
Dayak (berbagai grup) 330,090 9.3
Kutai 271,620 7.7
Sumber: Diolah dari Sensus 2010
Saat ini di Provinsi Kalimantan Timur ada lima etnis
besar, dengan jumlah pendatang yang cukup besar (73,2%). Porsi
terbesar berasal dari Jawa, yang pindah sebagai transmigran pada
periode 1970 – 1980an. Pembangunan di Kalimantan Timur juga
menarik kepindahan suku bangsa Bugis, Banjar, dan berbagai etnis
lainnya, yang banyak diantaranya telah berakulturasi melalui kawin
campur lintas suku, termasuk dengan suku bangsa asli seperti
Suku Paser, Kutai, dan berbagai kelompok Dayak lainnya. Karakter
dan adat istiadat Suku Dayak pada dasarnya sangat terbuka,
karena menganut trilogi peradaban, yaitu: hormat kepada leluhur,
patuh kepada orangtua, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Keterbukaan masyarakat asli, keberagaman sosial budaya yang
telah terjalin sejak lama, dan terbentuknya masyarakat yang
heterogen menjadi nilai tambah bagi kepindahan ibu kota negara ke
Kalimantan Timur.
Kehidupan ekonomi warga Kalimantan Timur juga beragam,
mulai dari industri kecil dan menengah, perikanan, pertanian,
- 92 -
perkebunan, pertambangan, dan jasa. Perkembangan industri
perkebunaan dan pertambangan telah mengubah pola
perekenomian masyarakat yang beradaptasi sesuai perkembangan
kondisi yang adaSalah satu persoalan utama yang dihadapi hingga
saat ini adalah konflik tenurial kehutanan dan wilayah adat Suku
Dayak. Bagi masyarakat suku Dayak, hutan adalah air susu
sumber penghidupan dan dianggap sebagai jantung Kalimantan
sehingga perlu dilestarikan. Karena keterikatan yang sangat erat
ini, masyarakat adat Dayak ingin menjaga dan mengamankan
hutan, namun dalam perkembangannya mereka termarjinalkan.
Kehadiran transmigran misalnya, merambah wilayah tanah adat
masyarakat Dayak. Desa-desa transmigrasi kemudian dimekarkan
menjadi desa definitif dan mendapatkan program sertifikasi tanah,
sarana prasarana dasar, dan Dana Desa. Sementara desa
masyarakat adat Dayak yang sering kali terpencil di tengah hutan
konservasi tidak mendapatkannya. Pada periode 1970an ada
program resettlement yang memindahkan masyarakat Dayak dari
kampung asal leluhurnya, dan kemudian diberikan status hutan
Negara. Dengan status ini, dilaksanakan berbagai peruntukan
seperti Kawasan konservasi, Hutan Tanaman Industri, atau
pertambangan. Kondisi ini menutup akses masyarakat Dayak
terhadap tanah leluhurnya, dan jika mereka mencari penghidupan
di hutan dianggap sebagai perambah hutan. Saat ini, masyarakat
Dayak bekerja di berbagai sektor, mulai dari peladang, bekerja di
perkebunan atau pertambangan, hingga menjadi pegawai negeri.
Terkait rencana pemindahan IKN, ada 2 potensi dampak
sosial ekonomi, yaitu hilangnya mata pencaharian dan tempat
tinggal, terutama bagi mereka yang bekerja dan tinggal di kawasan
hutan perkebunan. Agar kepindahan ASN dan unsur
pendukungnya serta pembangunan IKN menguatkan ketahanan
masyarakat Kalimantan, baik secara ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya, diperlukan beberapa strategi sebagai berikut:
- 93 -
1. Representasi identitas budaya dalam pembangunan IKN,
misalnya dipakai nya simbol/ornamen Dayak pada
bangunan, pengembangan zona kebudayaan, pelestarian
situs budaya melalui museum atau taman seperti contoh di
beberapa kota besar dunia.
2. Pemahaman terhadap keberagaman budaya dan kondisi
sosial ekonomi penduduk lokal perlu disiapkan untuk
menjadi bekal pengetahuan ASN yang akan dipindahkan,
agar terjadi integrasi kehidupan masyarakat yang berkeadilan
sehingga manfaat pembangunan IKN dirasakan oleh semua
masyarakat.
3. Untuk keberlanjutan penghidupan penduduk lokal,
diperlukan sinergi budaya dan kearifan lokal dengan
pemanfaatan teknologi dan inovasi, misalnya tempat usaha
beserta alat produksi, pengelolaan pangan yang dikelola oleh
masyarakat setempat, pengembangan smart farming,
platform penjualan hasil kerajinan, dan sebagainya. Yang
diinginkan adalah terwujudnya kegiatan ekonomi yang
memandirikan, terjaganya kebudayaan yang bermartabat,
tersedianya kesempatan usaha lintas generasi.
Contoh mengintegrasikan budaya dalam pembangunan IKN
Indian&Sacred&Ground&&di&Sungai&Missisipi,&
Albany,&Amerika,&diberikan penjelasan
artinya secara budaya.
Birarung Marr,&tempat penting Aborigine&di&
Kota&Melbourne.&Artis Aborigine&membuat
ukiran sebagai symbol2&budaya
4. Peningkatan sumber daya manusia perlu dilakukan sejak
awal perencanaan IKN. Mulai tahun anggaran 2020,
diharapkan berbagai sektor terkait pendidikan vokasi,
pendidikan tinggi, dan berbagai kegiatan penyiapan kerja
diarahkan untuk meningkatkan kapasitas siswa dan pemuda
di wilayah IKN dan penyangganya. Perlu dipertimbangkan
pemberian kuota untuk peningkatan keterampilan kelompok
marginal (antara lain: Suku Dayak, kelompok perempuan
muda, kelompok penyandang disabilitas dsb) agar dapat
berpartisipasi langsung dalam pembangunan IKN.
D.4. Sarana dan Prasarana yang Dibutuhkan
Sarana dan Prasarana yang disiapkan mencerminkan potensi
beban keuangan negara dan daerah. Salah satu agenda utama dari
pemindahan ibu kota adalah pemindahan lokasi pusat administrasi
pemerintahan. Dengan demikian, gedung pemerintahan sebagai
sarana operasional serta pusat aktivitas dari sebuah pusat
administrasi pemerintahan merupakan komponen utama dari
investasi fisik yang dibangun. Fasilitas utama yang perlu dibangun
di IKN meliputi istana kepresidenan dan gedung K/L (gedung
eksekutif), gedung kantor legislatif, gedung kantor yudikatif,
markas POLRI, dan markas TNI. Dengan jumlah K/L yang sangat
banyak, pemerintah dapat mempertimbangkan opsi
menggabungkan beberapa K/L ke dalam satu gedung, atau
membangun gedung-gedung K/L di dalam satu kawasan
sebagaimana diterapkan di Sejong, Korea Selatan (World Bank,
2017).
Untuk menunjang pusat pemerintahan yang akan dibangun
ini , ada sejumlah sarana dan prasarana yang perlu
disiapkan:
1. Sarana dan Prasarana umum dan pelayanan publik. Sarana
dan prasarana yang dibangun sebaiknya sudah bertaraf
internasional. Pembangunan sarana transportasi masal
seperti halte, terminal, stasiun dan kereta api diperlukan
untuk kelancaran dan kemudahan aktivitas masyarakat
sehari-hari, Pembangunan prasarana dan fasilitas umum
juga diperlukan untuk menunjang seluruh aktivitas, seperti
jaringan jalan, air limbah, persampahan, drainase, air
minum, listrik, telepon, gas, pemadam kebakaran, hingga
sarana penerangan jalan umum. Pembangunan sarana
seperti pendidikan, sarana kesehatan, peribadatan,
perniagaan, rekreasi dan olahraga tentunya juga diperlukan
untuk menunjang kesehatan dan kebutuhan pendidikan.
Sarana pendidikan yang dibangun harus mencakup seluruh
tingkat, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, dan Perguruan
Tinggi, sehingga kebutuhan warga yang dipindahkan dapat
terpenuhi. Sementara itu, pembangunan sarana kesehatan
mencakup rumah sakit dan puskesmas.
2. Perumahan dan Permukiman. Diperkirakan kebutuhan
hunian untuk pegawai negeri sipil sebesar 300.000 unit.
Untuk itu, perlu dibangun tempat tinggal sebanyak jumlah
ini untuk memenuhi kebutuhan pegawai negeri sipil
yang beraktivitas di kota ini maupun bagi para pelaku
ekonomi yang memerlukan tempat bermukim. Opsi hunian
yang akan dibangun terdiri atas dua jenis, yaitu rumah tapak
dan hunian bertingkat (rumah susun/ apartemen).
3. Taman dan Hutan Kota. Sebagai Ibu Kota baru yang
berkelanjutan dengan ekosistem bertaraf internasional,
dibutuhkan pembangunan sarana pertamanan dan RTH
seperti pedestrian, hutan kota, areal pertanian, hutan
konversi, daerah bantaran sungai, lahan perkebunan (RTH)
oleh sektor publik sebesar 20% dari total lahan terbangun.
Ada pun dalam membangun ibu kota baru, Pemerintah tidak
harus selalu membangun seluruh sarana mulai dari awal. Pihak
Pemerintah dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang telah
ada (existing), terutama apabila biaya yang dibutuhkan tidak
sedikit. Sistem jaringan transportasi seperti pelabuhan dan
bandara merupakan contoh prasarana berbiaya tinggi yang
kebutuhannya perlu dipertimbangkan secara matang. Oleh karena
itu kedekatan dan akses terhadap sarana dan prasarana umum
yang telah ada sangat penting.
D.5. Desain Sistem Keuangan IKN dan Dampaknya terhadap
Beban Keuangan Negara
D.5.1. Gambaran Umum tentang Keuangan Negara
Uraian tentang sistem keuangan IKN berkaitan pada
perhitungan dan inventarisasi sumber-sumber pendapatan IKN dan
perhitungan tentang belanja IKN -- yang kesemuanya berkaitan
dengan hal-hal yang dapat membebani keuangan negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara mengatur bahwa pendapatan negara adalah semua
penerimaan yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan
negara bukan pajak serta penerimaan hibah dari dalam dan luar
negeri. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sumber
pendapatan negara berasal dari tiga sektor yaitu: pajak, non pajak
dan hibah. Tiga sumber ini yang jadi sumber penerimaan kas
negara secara umum. Besarnya penerimaan yang diterima negara
ditetapkan oleh Kementerian Keuangan atas persetujuan presiden
yang dibahas bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sumber pendapatan tadi, setelah melalui proses tertentu, akan
kembali lagi pada rakyat dalam bentuk program bantuan atau
pembangunan fasilitas umum.
Sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak
setidaknya mencakup yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, Pajak Ekspor, Pajak Perdagangan Internasional serta
Bea Masuk dan Cukai. Besaran tarif pajak ini sudah
ditentukan oleh undang–undang perpajakan yang berlaku.
Adapun sumber pendapatan negara dari sektor non-pajak
terdiri dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
pengelolaan sumber daya alam, pinjaman, barang sitaan,
percetakan uang atau sumbangan. Sumber pendapatan negara
yang ketiga adalah hibah. Hibah adalah pemberian yang diberikan
kepada pemerintah tetapi bukan bersifat pinjaman. Dana bantuan
yang didapat biasanya diperuntukkan bagi pembiayaan
pembangunan. Di samping itu, pendapatan yang berasal dari luar
negeri juga bisa berupa pinjaman program atau pinjaman proyek
dengan jangka waktu tertentu.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Peraturan perundang-undangan terkait Bentuk
Pemerintahan Ibu Kota Negara
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Bentuk
Pemerintahan Ibu Kota Negara antara lain:
a. Pasal 18 dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945 "UUD NRI Tahun
1945";
b. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
"UU tentang Pemerintahan Daerah";
UUD NRI Tahun 1945
Pasal 18
1. Negara Kesatuan Republik negara kita dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang.** )
2. Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**)
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.** )
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis.**)
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintahan Pusat.**)
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.** )
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang.** )
Pasal 18A
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.**)
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasar
undang-undang.** )
Pasal 18B
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang.**)
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan
masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik negara kita, yang diatur dalam undangundang.
**)
berdasar ketentuan yang termaktub pada Pasal-Pasal di
dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah UUD NRI Tahun
1945 ini dan berdasar pertimbangan strategis
kelembagaan, setidaknya ada 4 pilihan bentuk pemerintahan
yang dapat dipilih, yaitu 1) daerah otonom (baru) berbentuk
provinsi; 2) Kawasan Khusus di dalam Provinsi Kalimantan
Timur; 3) Kawasan Khusus di dalam daerah otonom (baru); 4)
Daerah Khusus Ibu Kota Negara.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 1:
Daerah Otonom (baru) berbentuk Provinsi
berdasar pasal 18 ayat (1), wilayah Negara Kesatuan
Republik negara kita telah terbagi habis ke dalam wilayah
Provinsi, Kabupaten, dan Kota dan kesemuanya dikelola oleh
Pemerintahan Daerah. Ayat (6) Pasal yang sama mengatur
bahwa ketiga bentuk pemerintahan ini disematkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Dengan berlandaskan Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan
(6), pilihan bentuk pemerintahan IKN adalah daerah otonom,
baik yang berbentuk provinsi maupun kota. Pasal 18 ayat (4)
mengatur bahwa provinsi dikepalai oleh Gubernur dan untuk
Kota dikepalai oleh Walikota. berdasar Pasal itu pula,
keduanya harus dipilih secara demokratis, baik melalui
pemilihan langsung maupun melalui pemilihan oleh DPRD.1
Selanjutnya, berdasar Pasal 18 ayat (3), pilihan bentuk
pemerintahan IKN berupa daerah otonom Provinsi atau Kota
mengharuskan adanya DPRD, yang mana harus dipilih dalam
pemilihan umum.
Dalam mewujudkan Pilihan ini, secara teknis tentunya harus
diadakan Pembentukan Daerah Baru melalui Pemekaran,
sebagai bagian dari Penataan Daerah, sebagaimana diatur
Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) jo. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2)
oleh UU tentang Pemerintahan Daerah.
Pemekaran daerah dapat dilakukan terhadap Provinsi
Kalimantan Timur yang di dalamnya berkaitan dengan
1 Mahkamah Konstitusi pernah menafsirkan Pasal ini melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 poin 3.12.3. Pendapat ini lengkapnya sebagai
berikut:
"Menurut Mahkamah, makna frasa “dipilih secara demokratis”, baik menurut original
intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik
pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD. Lahirnya kata demokratis
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 ada
adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu
pendapat menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat
maupun oleh DPRD sementara pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara
langsung oleh rakyat. Latar belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 saat itu adalah sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan
dengan perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan.
Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang dikehendaki oleh
masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga masyarakat mempunyai pilihan
apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang dilakukan oleh DPRD atau melalui
sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat. Tujuannya adalah agar menyesuaikan
dengan dinamika perkembangan bangsa untuk menentukan sistem demokrasi yang
dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan opened legal policy dari pembentuk Undang-
Undang dan juga terkait erat dengan penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap
keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda.
Ada daerah yang lebih cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung
oleh rakyat dan ada pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan
langsung oleh rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung)
maupun sistem pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama
masuk kategori sistem yang demokratis."
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser
Utara dengan prosedur teknis sebagaimana yang diatur oleh
Pasal 33 hingga Pasal 43 UU tentang Pemerintahan Daerah.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 2:
Kawasan Khusus di Dalam Provinsi Kalimantan Timur
Pasal 360 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah
mengatur bahwa Pemerintah Pusat dapat membentuk
Kawasan Khusus, yang dalam konteks Naskah Akademik ini,
Kawasan Khusus Ibu Kota Negara di dalam Provinsi exsiting,
Kalimantan Timur. Menurut Pasal 1 angka 42 Undang-
Undang a quo, Kawasan Khusus adalah bagian wilayah dalam
Daerah provinsi dan/atau Daerah kabupaten/kota yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus
bagi kepentingan nasional yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Adapun pembentukan Kawasan khusus ini harus didasarkan
pada urusan pemerintahan tertentu. berdasar Pasal 360
ayat (1) yang mengatur bahwa “Untuk menyelenggarakan
fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi
kepentingan nasional, Pemerintah Pusat dapat menetapkan
kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau
kabupaten/kota.”
Sementara itu, Kawasan Khusus yang dibentuk harus
meliputi beberapa macam Kawasan Khusus menurut Pasal
360 ayat (2), yaitu:
a. kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;
b. kawasan hutan lindung;
c. kawasan hutan konservasi;
d. kawasan taman laut;
e. kawasan buru;
f. kawasan ekonomi khusus;
g. kawasan berikat;
h. kawasan angkatan perang;
i. kawasan industri;
j. kawasan purbakala;
k. kawasan cagar alam;
l. kawasan cagar budaya;
m. kawasan otorita; dan
n. kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang
diatur dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam konteks RUU IKN ini, Kawasan Khusus yang akan
dibentuk diperuntukkan untuk kepentingan nasional lainnya
sebagaimana yang disebut pada huruf n. Dengan demikian,
maka Kawasan khusus ini, karena merupakan wilayah pusat,
maka menjadi wilayah administratif. Undang-Undang ini
mendefinisikan Wilayah Administratif sebagai “wilayah kerja
perangkat Pemerintah Pusat termasuk gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di
Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota
dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum di
Daerah.”
Sebagai wilayah administratif, maka Kawasan khusus IKN
dikelilingi daerah otonom, yaitu daerah otonom Kabupaten
Kutai Kartanegara dan daerah otonom Kabupaten Penajam
Paser Utara serta daerah otonom Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan kondisi ini , maka pilihan bentuk pemerintahan
berupa wilayah administratif berkonsekuensi pada harus
jelasnya pembagian urusan antara wilayah administratif pada
Kawasan khusus IKN dengan daerah-daerah otonom a quo.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 3:
Kombinasi antara Pembentukan Daerah Otonom Provinsi
(Baru) dan Kawasan Khusus
Pilihan ketiga adalah membentuk daerah otonom Provinsi
berdasar Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dan ditetapkan
menjadi IKN, lalu di dalam Provinsi IKN ini dibentuk
Kawasan Khusus Pusat Pemerintahan. Seluruh kegiatan dan
fungsi IKN dilaksanakan di Kawasan Khusus ini yang
diatur secara khusus di dalam RUU IKN.
Perbedaan dengan Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 3 adalah
dalam Pilihan ini, penataan ruang Kawasan Khusus tunduk
pada penataan ruang Provinsi IKN, bukan Provinsi
Kalimantan Timur. Dengan demikian, kegiatan perencanaan
dapat lebih mudah dilakukan karena segalanya dimulai dari
awal dan tanpa variabel-variabel yang berpotensi
menghambat pembangunan.
Langkah pertama adalah pembentukan Provinsi baru
sebagaimana yang sudah diuraikan secara teknis dalam
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 1 di atas. Langkah kedua
adalah menetapkan Provinsi baru ini sebagai IKN
melalui RUU IKN. Setelah itu, Ketiga, Pemerintah Pusat
membentuk Kawasan Khusus Pusat Pemerintahan di dalam
wilayah Provinsi IKN ini yang diatur khusus di dalam
RUU IKN. Kawasan Khusus ini menjadi inti dari IKN dan
pusat segala kegiatan penyelenggaraan negara di IKN.
Langkah pertama dan kedua dapat digabungkan ke dalam
satu RUU, yaitu RUU IKN, mengingat efisiensi penyusunan
Undang-Undang dan Pasal 43 ayat (3) UU tentang
Pemerintahan Daerah tidak menyebut secara spesifik bahwa
UU Pembentukan Daerah baru harus berdiri sendiri.
Pilihan Bentuk Pemerintahan IKN 4:
Daerah Khusus Ibu Kota Negara
Pasal 18B di atas memberi peluang untuk mengatur bentuk
dan susunan pemerintahan IKN menjadi lebih eksklusif dan
dapat diatur secara leluasa berdasar Undang-Undang,
berdasar kekhususan dan keistimewaan daerah ini .
Pasal 18B ini menjadi dasar untuk mengatur daerah di luar
dari yang diatur Pasal 18 sebagaimana diuraikan di atas,
contohnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
RUU IKN dapat mengatur Daerah Khusus Ibu Kota Negara
secara leluasa perihal 1) pemilihan kepala daerah yang tidak
harus melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui
pemilihan oleh DPRD, melainkan dapat diatur bahwa kepala
daerah ditunjuk oleh Presiden; 2) keberadaan DPRD yang bisa
diatur untuk ditiadakan; hingga pengaturan pemerintahan
daerah lain yang dikecualikan dari berbagai peraturan
perundang-undangan.
Bentuk pemerintahan seperti ini memang leluasa, tetapi
memerlukan pengaturan yang detail karena membuat
sistem baru. Di tambah lagi, perlu penelaahan lebih lanjut
mengenai "kekhususan" yang dimaksud pasal 18B
mengingat, berdasar diskusi di kalangan ahli hukum dan
pemerintahan selama penyusunan Naskah Akademik ini,
masih ada perbedaan penafsiran tentang hal itu untuk bisa
dijadikan dasar pembentukan daerah khusus IKN.
Sejarah pasal 18B ayat (1) ini muncul dalam Panitia Ad Hoc
III perubahan UUD 1945 pada tahun 2000. Di dalam risalah
rapat perubahan UUD 1945 ini (Tim Penyusun Naskah
Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, 2008),
di dapati bahwa istilah daerah istimewa dan daerah khusus
muncul dalam perdebatan mengenai perubahan pasal 18
yang saat ini menjadi pasal 18 ayat (1) hingga ayat (7),
khususnya yang terkait dengan penetapan kepala daerah
tanpa melalui pemilihan secara demokratis (sebagai
pengecualian untuk keistimewaan Yogyakarta).
Selanjutnya Pasal 18B ayat (1) ini juga membahas tentang
kekhususan Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan Papua.
Dengan status khusus ini , maka bentuk dan susunan
pemerintahan daerah dari "satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus" dapat mengatur tersendiri di
luar dari ketentuan Pasal 18 (hasil perubahan). Yang menjadi
contoh untuk perdebatan di dalam PAH III adalah
ditiadakannya pemerintahan daerah otonom kota dan
kabupaten di dalam Provinsi DKI Jakarta.
Dengan demikian, berdasar original intent dari perumus
Pasal 18 B ayat (1), perumusan bentuk dan susunan
pemerintahan di IKN ke depan dapat berlandaskan pada
Pasal 18B ayat (1) sebagai sebuah "satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus" sehingga dalam RUU IKN dapat
mengatur beberapa hal secara distingtif dan eksklusif, seperti
ketiadaan DPRD, Kepala Daerah Khusus IKN yang ditunjuk
oleh Presiden (tidak ada pemilihan DPRD maupun langsung),
dan seterusnya.
RUU IKN akan mengadopsi pilihan ke 4 ini sebagai pilihan
yang diharapkan dapat membuka ruang gerak inovasi
pemerintahan IKN sekaligus tetap konstitusional.
Sehubungan dengan konstitusionalitas pilihan bentuk
pemerintahan ke 4 ini berdasar Pasal 18B ayat (1),
sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menjadi
rujukan.
MK menafsirkan bahwa ada kriteria berbeda dalam
menentukan keistimewaan dan kekhususan suatu daerah.
Keistimewaan suatu daerah ditentukan oleh sejauh mana
daerah ini memiliki hak asal usul dan kesejarahan
tertentu sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik
negara kita. Di sisi lain, kekhususan suatu daerah ditentukan
oleh sejauh mana daerah ini memiliki “kenyataan dan
kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya
mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang
tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.” Pendapat MK
ini secara gamblang menjelaskan bahwa status khusus dapat
diberikan kepada suatu daerah tanpa ada latar belakang
kesejarahan tertentu. Kata kuncinya adalah “kenyataan dan
kebutuhan politik” dan posisi/keadaannya pada masa
sekarang. Hal sebagaimana yang dikemukakan MK pada
halaman 39 Putusan MK No. 81/2010:
Menurut Mahkamah, penetapan nama suatu daerah menjadi daerah
istimewa atau daerah khusus haruslah dengan kriteria yang berbeda.
Suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan
daerah ini terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah
ini sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik negara kita,
sedangkan suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika
kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang
karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan
status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.
Lebih lanjut, MK menafsirkan bahwa jenis dan ruang lingkup
kekhususan harus didasarkan pada “latar belakang
pembentukan kebutuhan nyata.” berdasar latar belakang
dan kebutuhan ini , oleh karenanya suatu daerah dapat
diberi kekhususan yang sifatnya “fleksibel sesuai dengan
kebutuhan nyata.” Putusan MK ini jelas memberi ruang
pengaturan yang luas bagi Undang-Undang yang mengatur
tentang daerah khusus di negara kita. Terlebih lagi jika daerah
khusus itu berstatus sebagai Ibu Kota Negara karena latar
belakang munculnya kata khusus pada Pasal 18B UUD 1945
tidak lain adalah karena pembahasan tentang Daerah
Khusus Ibukota (Lihat Risalah Rapat Perumusan Perubahan
Pasal 18 UUD 1945 pada Naskah Komprehensif Perubahan
UUD 1945 Buku IV Jilid 2, halaman 1184, 1368, 1377).
Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jenis dan ruang lingkup
kekhususan dan keistimewaan daerah khusus serta daerah istimewa
yang ditetapkan dengan Undang-Undang sangat terkait dengan: a) hak
asal usul yang melekat pada daerah yang telah diakui dan tetap hidup;
dan b) latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata diperlukannya
kekhususan atau keistimewaan dari daerah yang bersangkutan sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik negara kita. Dengan memperhatikan
dua kriteria ini , menurut Mahkamah hak asal usul dan sejarah
adalah hak yang harus tetap diakui, dijamin dan tidak dapat diabaikan
dalam menetapkan jenis dan ruang lingkup keistimewaan suatu daerah
dalam Undang-Undang. Adapun jenis dan ruang lingkup kekhususan
yang didasarkan pada latar belakang pembentukan dan kebutuhan nyata
yang mengharuskan diberikan kekhususan kepada suatu daerah adalah
bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata diberikannya
kekhususan bagi daerah yang bersangkutan.
Kalimat “bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan nyata” di
dalam halaman 39 Putusan MK No. 81/2010 di atas
mengindikasikan bahwa bahwa pada prinsipnya pengaturan
tentang daerah khusus di dalam Undang-Undang diberi
keleluasaan untuk menentukan materi muatan sepanjang
dapat dibuktikan bahwa kebutuhannya nyata.
Bagaimana hubungannya dengan Pasal 18 UUD 1945? Pada
halaman 93 Putusan MK 11/2008, MK mengemukakan:
Bahwa di samping itu, Mahkamah penting juga menegaskan hubungan
antara Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, apakah
hubungan antara norma pokok dan norma tambahan atau hubungan
antara lex generalis dan lex specialis atau hubungan antara dua norma
konstitusi yang setara. Alternatif pertama adalah Pasal 18 ayat (1) berisi
norma pokok yang berlaku umum, sedangkan Pasal 18B ayat (1) berisi
norma tambahan yang tidak boleh menyimpangi dan menyampingkan
norma pokok. Artinya, penerapan Pasal 18B ayat (1) sebagaimana
tercermin dalam UU 32/2004 dan UU 29/2007 tidak boleh menyimpangi
dan menyampingkan berlakunya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 dalam
susunan pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai provinsi.
Alternatif kedua adalah Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dianggap
merupakan lex specialis, sehingga penerapan Pasal 18B ayat (1) ini
dalam hal-hal tertentu dapat menyimpangi dan menyampingkan Pasal 18
ayat (1). Artinya, pengaturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta boleh
berbeda dari otonomi daerah provinsi lain. Sedangkan alternatif ketiga
adalah keduanya dianggap setara, dalam arti sama-sama berlaku secara
mandiri, sehingga penerapan Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1)
masing-masing dapat berlaku secara mandiri dan tidak berada dalam
posisi yang dapat dipertentangkan. Artinya, pengaturan mengenai Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dapat sepenuhnya didasarkan pada Pasal 18B
ayat (1) tanpa mengurangi berlakunya Pasal 18 ayat (1) untuk provinsi
lain yang tidak berstatus khusus atau istimewa. Dari ketiga alternatif
hubungan norma konstitusi dalam Pasal 18 dengan norma konstitusi
dalam Pasal 18B UUD 1945, menurut Mahkamah, keduanya berada
dalam hubungan yang setara dan tidak saling membawahi. Pilihan
terhadap alternatif ketiga ini, menurut Mahkamah, dipandang lebih tepat
setidaknya karena dua hal. Pertama, dilihat dari perspektif original intent
dalam pengertian ketika rumusan Pasal 18B UUD 1945 diperdebatkan
dalam sidang-sidang Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat, kekhususan yang dimaksud dalam Pasal 18B
ayat (1) memang merujuk pada status Jakarta sebagai daerah khusus
karena kedudukannya sebagai ibukota negara, sehingga dapat diberi
status provinsi. Kedua, pemberian status provinsi oleh undang-undang
kepada Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menyebabkannya seolah-
olah harus tunduk pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945,
sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein seperti
tercermin dalam alternatif kedua di atas, meskipun benar secara historis
berdasar praktik pengertian daerah (gewest) di masa lalu, namun
kekhususan yang ada dalam pasal ini dimaksudkan pula untuk
menampung dinamika perkembangan kebutuhan di masa depan yang
memerlukan penentuan status khusus bagi daerah-daerah tertentu. Lagi
pula, kedudukan kedua pasal ini [Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 18B
ayat (1) UUD 1945] dari perspektif teori Verfassungsbegriff Carl Schmitt,
dalam makna absolut (absolute sense of the constitution, absoluut begriff
der verfassung), undang-undang dasar merupakan suatu sistem tertutup
(closed system of higher and ultimate norms), sehingga setiap pasal
undang-undang dasar bersifat otonom sebagai norma-normarum (norm
of norms) [vide Carl Schmitt, Verfassungslehre, 1928/Constitutional
Theory, 2008:62].
berdasar uraian Putusan MK ini , MK berpandangan
bahwa Pasal 18B (termasuk pula Pasal 18A) bukan
merupakan pengecualian dari Pasal 18. Artinya, norma yang
diatur pada Pasal 18B ayat (1) bersifat independen dan tidak
berkaitan dengan Pasal 18. Dengan demikian, pengaturan
suatu daerah khusus di dalam Undang-Undang yang
mendasarkan pada Pasal 18B ayat (1), tidak perlu terikat
pada Pasal 18.
Bagaimana peluang uji materi terkait Pasal 18 ayat (1)?
Halaman 26 Putusan MK No. 37 Tahun 2016 menjawab
pertanyaan ini sebagai berikut:
Sementara itu, berkenaan dengan Pasal 18B ayat (1), persoalan
konstitusional yang mungkin timbul dalam konteks pengujian Undang-
Undang adalah jika suatu daerah sebagai satuan pemerintahan
menganggap suatu Undang-Undang tidak mengakui dan menghormati
kekhususan atau keistimewaan daerahnya, sehingga yang memiliki
kedudukan hukum untuk menguji Undang-Undang demikian adalah
suatu pemerintahan atau satuan pemerintahan daerah, bukan
perseorangan warga negara.
berdasar uraian sebelumnya, bentuk pemerintahan yang
paling tepat untuk IKN adalah Daerah Khusus Ibu Kota
Negara dengan pertimbangan bahwa Pasal 18B ayat (1)
memberi ruang fleksibilitas untuk membentuk satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus sehingga dapat
menampung visi dan misi kelembagaan IKN yang sesuai
dengan cost and benefit analysis atas format kelembagaan
sebagaimana diuraikan pada Bab II. Dengan demikian bentuk
pemerintahan IKN tidak hanya tepat hitung-hitungannya,
tetapi juga konstitusional.
B. Peraturan perundang-undangan terkait Tata Ruang,
Infrastruktur, dan Lingkungan Hidup Ibu Kota Negara
Peraturan perundang-undangan yang dianalisis pada bagian
ini yaitu UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang ini adalah undang-undang pokok yang
mengatur tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang selanjutnya diterjemahkan sebagai rencana tata ruang
pada level Provinsi, kabupaten, dan Kota.
Pasal 5 ayat 5 Undang-Undang ini berkaitan dengan dasar
perencanaan Ibu Kota Negara yang terintegrasi sebagai
Kawasan Strategis Naisonal. Pasal ini mengatur bahwa
“Penataan ruang berdasar nilai strategis kawasan terdiri
atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan
ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang
kawasan strategis kabupaten/kota.”
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang ini juga mengatur bahwa
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis nasional meliputi:
a. Penetapan kawasan strategis nasional;
b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
nasional.
Dengan demikian, seiring dengan perencanaan
pembangunan IKN, perlu disusun dasar hukum bagi
penentuan Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara,
karena dalam Pasal 8 ayat (4) membuka kemungkinan bagi
pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional dan
pengendalian pemanfaatan kawasan strategis nasional
melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan, yang
mana dekonsentrasi dapat diberikan kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sedangkan tugas
pembantuan dapat diberikan kepada gubernur dan
bupati/walikota untuk penyelenggaraan pemanfaatan dan
pengendalian aspek nilai yang tidak strategis yang menjadi
dasar penetapan Kawasan strategis nasional, sehingga
pengaturan yang disasar dalam rancangan undang-undang
tentang IKN adalah bersifat khusus dari ketentuan Pasal 8
ayat 4 ini.
Pengaturan mengenai penetapan kawasan strategis nasional
lebih lanjut diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang diubah terakhir oleh Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 2017. Pasal 75 mengatur bahwa penetapan kawasan
strategis nasional dilakukan berdasar kepentingan:
a. Pertahanan dan keamanan;
b. Pertubuhan ekonomi;
c. Sosial dan budaya;
d. Pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi; dan/atau
e. Fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
Untuk penetapan, Pasal 82 ayat (2) jo. Ayat (3) memberikan
keleluasan kepada pemerintah pusat untuk menetapkan
kawasan strategis nasional selain yang sudah ditetapkan
berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
dengan instrumen hukum Peraturan Presiden. Jadi,
pemerintah memiliki kecepatan yang lebih baik dalam hal
penetapan kawasan strategis nasional yang hanya dalam
bentuk instrumen Peraturan Presiden.
Dalam konteks pengaturan tata ruang, berdasar
argumentasi-argumentasi di atas, maka wewenang
pemerintah pusat dalam pelaksanaan tata ruang dilakukan
dengan pemberian wewenang kepada Otorita Ibu Kota Negara
sebagai lembaga setingkat kementerian yang secara hukum
berada di bawah pemerintah pusat dengan dasar hukum
bahwa Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik negara kita Tahun 1945 yang mana negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang, yang mana saat ini dengan dibentuknya
rancangan-undang-undang mengenai Ibu Kota Negara maka
Otorita Ibu Kota Negara memiliki wewenang untuk mengatur
perencanaan pengaturan mengenai tata ruang di wilayah Ibu
Kota Negara.
PP No.68 Tahun 2014 tentang Penataan Wilayah
Petahanan Negara.
Pengaturan tata ruang yang sifatnya holistik dan menjadi
acuan utama dalam pelaksanaan kegiatan dalam sebuah
negara membuat aspek-aspek lainnya yang bersifat vital juga
perlu diperhatikan untuk memastikan obyek-obyek penting
dari negara tetap betahan dan tidak musnah dari faktor-
faktor serangan dari negara lain. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara bahwa wilayah Negara Kesatuan
Republik negara kita dapat dimanfaatkan untuk pembinaan
kemampuan pertahanan dengan mempertahikan hak
masyarakat dan peraturan perundang-undangan serta
wilayah yang dipakai sebagai instalasi militer dan latihan
militer yang strategis dan permanan ditetapkan dengan
instrumen hukum peraturan pemerintah, maka penataan
ruang wilayah pertahanan perlu diatur untuk menetapkan
arah pelaksanaan penataan ruang wilayah pertahanan.
Penetapan wilayah pertahanan mutlak merupakan wewenang
pemerintah pusat dengan tercemin di Pasal 7 yang
mengatakan bahwa wilayah pertahanan yang tercakup pada
pangkalan militer atau kesatrian, daerah latihan militer, dan
instalasi militer merupakan lampiran yang tidak terpisah dari
peraturan pemerintah, sementara unutk wilayah pertahanan
yang mencakup:
a. Daerah uji coba peralatan dan persenjataan militer;
b. Daerah penyimpanan barang eksplosif dan berbahaya
lainnya;
c. Daerah disposal amunisi dan peralatan pertahanan
berbahaya lainnya;
d. Obyek vital nasional yang bersifat strategis; dan/atau
e. Kepentingan pertahanan udara.
Ditetapkan dengan keputusan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pertahanan.
Harmonisasi rencanan penetapan wilayah pertahanan
dengan instrumen perencanaan tata ruang lainnya juga
sangat penting, hal ini diatur juga pada Pasal 10 ayat (1)
huruf d yang menyatakan bahwa dalam penyusunan
rencana tata ruang kawasan strategis nasional dari sudut
kepentingan pertahanan dan keamanan wajib:
a. Mengacu pada:
i. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
ii. Rencana Wilayah Pertahanan (RWP);
iii. Kebijakan umum pertahanan negara;
iv. Kebijakan penyelenggaraan pertahanan
negara; dan
v. Pedoman dan petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang dan
pertahanan.
b. Memperhatikan:
i. Rencana Tata Ruang Pulau datau
Kepulauan;
ii. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah
Kebupaten/Kota setempat;
iii. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional; dan
iv. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang ini harus dijadikan acuan dalam
penyusunan Rencana Induk Penataan Ruang dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi dasar bagi
keseluruhan pengelolaan lingkungan hidup di IKN. Hal ini
terakomodasi dalam Pasal 14 yang mengatur bahwa
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup salah satunya adalah tata ruang. Di
samping itu, pada Psal 15 ayat (2) jo. Pasal 19 mengatur
bahwa dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS), pemerintah pusat dan pemerintah daerah
wajib mengintegrasikan KLHS ke dalam rencana tata ruang
wilayah beserta rencana rincinya.
Dalam ketentuan peraturan ini, salah satu instrument
perwujudan pencegahan yang berkaitan erat dengan tata
ruang adalah Analisis Mengenail Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL). Pasal 1 mendefinisikan AMDAL sebagai:
“kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Pasal 22 ayat (2) menjabarkan dampak penting berdasar
kriteria:
a. Bsearnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. Sifat kumulatif dampak;
f. Berbalik atau tidak berbalik dampak; dan/atau
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
- Pasal 31 lenjut lanjut menegaskan bahwa penyusunan
AMDAL ini menjadi acuan bagi pemerintah untuk
menentukan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup, dalam hal ini diperlukan pengaturan
khusus bahwa Otorita Ibu Kota Negara, dalam rangka
perlindungan lingkungan hidup, mendasarkan keputusan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup atas
AMDAL yang sudah disusun oleh pemrakarsa dan Rencana
Induk Pembangunan Ibu Kota Negara yang disusun.
PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan
yang telah diubah terakhir oleh PP No. 3 Tahun 2008
Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa konsep tata
hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan
hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang
lebih optimal dan lestari serta tata hutan secara lebih rinci
diatur dengan peraturan pemerintah, serta Pasal 66 yang
menyatakan bahwa pemerintah pusat dapat menyerahkan
sebagian kewenangan yang bersifat operasional kepada
pemerintah daerah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah, maka perlu untuk dilihat bagaimana konsep tata
hutan dalam tingkatan peraturan pemerintah yang
berhubungan dengan konsep perlindungan lingkungan
hidup.
Pasal 3 ayat (1) menjabarkan mengenai wewenang
pemerintah pusat terhadap tata hutan dan penyusunan
pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh
kawasan hutan. Hal ini jelas behubungan dengan
perlindungan hutan sebagai kawasan penunjang lingkungan
hidup. Ayat (2) menjelaskan 3 (tiga) fungsi pokok hutan,
yakni:
a. Hutan konservasi;
b. Hutan lindung; dan
c. Hutan produksi.
Ayat (3) menjelaskan bahwa hutan-hutan di atas dibagi dalam
Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari
penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah
provisni dan pemerintah kabupaten/kota.
Di samping pemerintah pusat, Pasal 4 ayat (1) menjelaskan
bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang
kehutanan dapat pula melakukan penyelenggaraan
pengelolaan hutan berdasar pelimpahan dari pemerintah
pusat. Pelimpahan ini memampukan direksi BUMN
untuk membentuk organisasi KPH dan menujuk kepala KPH,
namun pada ayat (3) memberikan pembatasan kepada BUMN
untuk tidak melakukan penyelenggaraan pengelolaan hutan
yang merupakan kewenangan publik, yakni:
a. Penunjukan dan penetapan kawasan hutan;
b. Pengukuhan kawasan hutan;
c. Pinjam pakai kawasan hutan;
d. Tukar menukar kawasan hutan;
e. Perubahan status dan fungsi kawasan hutan;
f. Proses dan pembuatan berita acara tukar
menukar, pinjam pakai kawasan hutan;
g. Pemberian izin pemanfaatan hutan kepada pihak
ketiga atas pengelolaan hutan yang ada di
wilayah kerjanya;
h. Kegiatan yang berkaitan dengan penyidik
pegawai negeri sipil kehutanan.
Hal ini penting untuk dibatasi untuk menegakkan wewenang
pemerintah pusat sebagai otoritas utama dalam perlindungan
fungsi hutan bagi lingkungan hidup, termasuk dalam setiap
keputusan-keputusan penting yang dapat mempengaruhi
fungsi hutan itu sendiri bagi lingkungan hidup sebagaimana
disebutkan pada poin (a) sampai dengan poin (h) di atas.
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan
Peraturan ini adalah penjabaran lebih sepsifik mengenai
penataan ruang Pulau Kalimantan secara holistik yang
didasarkan pada Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berbunyi:
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas:
h. Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata
ruang Kawasan strategis nasional;
i. Rencana tata ruang Kawasan strategis provinsi; dan
j. Rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan trencana
tata ruang Kawasan strategis kabupaten/kota.
Pemerintah pusat sendiri sudah merencanakan bahwa Pulau
Kalimantan memiliki visi penataan ruang yang berorientasi
kepada kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal itu
tercermin pada Pasal 6 ayat (1) yang mecanangkan
pelestarian Kawasan berfungsi lindung dan bervegetasi hutan
tropis basah paling sedikit 45% (empat puluh lima persen)
dari luas Pulau Kalimantan sebagai paru-pari dunia.
Di samping itu, perencanaan Pulau Kalimantan sendiri juga
berorientasi pada:
a. Perwujudan kemandirian energi dan lumbung energi
ketenaglistrikan yang berorientasi pada pengembangan
energi baru dan terbarukan serta interkoneksi
jariangan transmisi listrik (Pasal 7 ayat (1)).
b. Perwujudan pusat pertambangan mineral, batubara,
serta minyak dan gas bumi dengan pengembangan
Kawasan perkotaan nasional sebagai pusat industri
pengolahan dan industri jasa hasil pertambangan
mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi dan
pengembangan Kawasan pertambangan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tamping
lingkungan hidup (Pasal 8 ayat (1)).
c. Perwujudan pusat perkebunan kelapa sawit, karet, dan
hasil hutan berkelanjutan denga memperhatikan
prinsip pembangunan berkelanjutan dan
pengembangan Kawasan perkotaan nasional sebagai
pusat industri pengolahan dan industri jasa hasil
pekebunan kelapa sawit, karet, dan hasil hutan (Pasal
9 ayat (1)).
d. Perwujudan Kawasan perbatasan negara dengan
mempehatikan keharmonisan aspek kedaulatan,
pertahanan dan keamanan negara, kesejahteraan
masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup (Pasal
10 ayat (1)).
Orientasi-orientasi kebijakan Pulau Kalimantan yang terkait
dengan unsur-unsur yang tidak terlepas dari fungsi dan
tujuan dari IKN sebagai pusat pemerintahan dan demi
mencapai pemerataan ekonomi pembangunan dapat
didukung dengan pengaturan kebijakan penataan ruang dan
secara umum diatur dalam rancangan undang-undang
tentang IKN dan penetapannya sebagai Kawasan strategis
nasional dengan instrument peraturan presiden.
C. Peraturan perundang-undangan terkait Keuangan IKN dan
Kerjasama
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara mengatur tentang sumber-sumber penerimaan untuk
pendanaan pembangunan bagi Pemerintah Pusat. Pendanaan
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(“APBN”) proses dan ketentuan pelaksanaannya didasarkan
pada peraturan ini. Pasal 11 menguraikan bahwa APBN
merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang
ditetapkan tiap tahun dengan dasar undang-undang,
sehingga dengan demikian untuk dapat dilakukannya
pendanaan terhadap suatu pembangunan berdasar APBN
harus ditetapkannya instrumen undang-undang.
Pasal 12 menjelaskan bahwa APBN disusun dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara dengan
berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Sehingga
diperlukan justifikasi yang kuat bahwa pendanaan
pemindahan ibukota oleh APBN mendukung kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan rencana kerja
pemerintah.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara mengatur dengan jelas proses penyusunan dan
penetapan APBN. Prosesnya dimulai, berdasar Pasal 13
sampai dengan Pasal 15, dengan Pemerintah Pusat
menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (“DPR”) paling lambat pertengahan bulan
Mei pada tahun berjalan. Lalu Pemerintah Pusat dan DPR
membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok
kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam
pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran
berikutnya yang mana berdasar kerangka ekonomi makro
dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama
DPR membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran
untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian
negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran. Dalam
hal penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan
lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang
menyusun rencana kerja dan anggaran
kementerian/lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan
anggaran ini disampaikan kepada DPR untuk dibahas
dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN yang hasil
pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan
kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan
rancangan undang-undang tetang APBN tahun berikutnya.
Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-Undang
tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-
dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus
tahun sebelumnya. DPR dapat mengajukan usul yang
memicu perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Undang-Undang tentang
APBN, sepanjang perubahan ini tidak memicu
peningkatan defisit anggaran. Pengambilan keputusan oleh
DPR mengenai Rancangan Undang-Undang tentang APBN
dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. berdasar
Pasal 26, apabila Rancangan Undang-Undang tentang APBN
sudah disetujui dan ditetapkan dengan undang-undang,
maka pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara
Pengelolaan Barang Milik Negara menjadi salah satu satu
sumber pembiayaan dari pemindahan IKN. Pasal 1 angka 10
mendefisiniskan barang milik negara sebagai Barang Milik
Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
berdasar Pasal 42 Menteri Keuangan mengatur
pengelolaan barang milik negara. Pasal 45 mengatur
pemindahtanganan barang milik negara. Barang milik negara
yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara tidak dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan
barang milik negara dilakukan dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal
Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.
berdasar Pasal 46, persetujuan DPR dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan
yang:
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau
penataan kota;
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan
pengganti sudah disediakan dalam dokumen
pelaksanaan anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai negara berdasar keputusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau
berdasar ketentuan perundang-undangan, yang
jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak
secara ekonomis.
c. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah
dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Sementara pemindahtanganan barang milik negara selain
tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan
Rp100.000.000.000,00 dilakukan setelah mendapat
persetujuan Presiden.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 3 ayat (2) mengatur Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah meliputi:
a. Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
b. pengadaan;
c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan;
e. pengamanan dan pemeliharaan;
f. Penilaian;
g. Pemindahtanganan;
h. Pemusnahan;
i. Penghapusan;
j. Penatausahaan; dan
k. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Konsep pengaturan BMN dalam peraturan ini dari sudut
pandang subyek atas BMN dibagi menjadi:
a. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan
betanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman
serta melakukan pengelolaan BMN/Barang Milik Daerah.
b. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan BMN/Barang Milik Daerah.
Untuk memaksimalkan pemanfaatan BMN, maka dikenalkan
konsep-konsep berikut (Pasal 27): Sewa; Pinjam Pakai; Kerja
Sama Pemanfaatan; Bangun Guna Serah atau Bangun Serah
Guna atau Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
a. Sewa
Sewa atas BMN dilaksanakan terhadap (Pasal 28 ayat (1)):
1) BMN yang berada pada Pengelola Barang, yang mana
berdasar Pasal 4 ayat (1) yang dimaksud dengan
Pengelola Barang adalah Menkeu.
2) BMN yang berada pada Pengguna Barang, yang mana
berdasar Pasal 6 ayat (1) yang dimaksud dengan
Pengguna Barang adalah Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku pimpinan Kementerian/Lembaga.
Pasal 29 mengatur bahwa BMN dapat disewakan kepada
pihak lain dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang untuk:
1) Kerja sama infrastruktur;
2) Kegiatan dengan karkteristik usaha yang memerlukan
waktu lebih dari 5 (lima) tahun; atau
3) Ditentukan lain dalam Undang-undang.
Sewa dikenakan formula tarif/besaran sewa, yang
ditentukan oleh pengelola barang datau pengguna barang.
Hasil sewa BMN merupakan penerimaan negara sehingga
seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum
negara.
b. Kerja Sama Pemanfaatan
Pasal 31 mengatur bahwa kerja sama pemanfaatan BMN
dilaksanakan dalam rangka:
a. Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna
BMN/Barang Milik Daerah; dan/atau
b. Meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.
Pasal 33 membatasi pelaksanaan kerja sama pemanfaatan
atas BMN yang hasur dilaksanakn dengan ketentuan:
1) Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam
APBN untuk memenuhi biaya operasional,
pemeliharaan, dan/atau perbaikan yang diperlukan
terhadap BMN ini ;
2) Mitra kerja sama pemanfaatan ditetapkan melalui
tender, kecuali untuk BMN yang bersifat khusus dapat
dilakukan penunjukan langsung;
3) Penunjukan langsung mitra kerja sama pemanfaatan
atas BMN yang bersifat khusus sebagaimana
dimaksud di atas dilakukan oleh Pengguna Barang
terhadap Badan Usaha Milik Negara yang memiliki
bidang dan/atau wilayah kerja tertentu sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
4) Mitra kerja sama pemanfaatan harus membayar
kontribusi tetap setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian
keuntungan hasil kerja sama pemanfaatan ke
renening kas umum negara;
5) Besaran pembayaran kontribusi teatap da pembagian
keuntungan hasil kerja sama pemanfaatan ditetapkan
dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh:
a) Pengelola Barang, untuk BMN pada Pengelola
Barang dan BMN berupa tanah dan/atau
bangunan serta sebagian tanah dan/atau
bangunan yang berada pada Pengguna Barang;
b) Pengguna Barang dan dapat melibatkan
Pengelola Barang, untuk BMN selain tanah
dan/atau bangunan yang berada pada Pengguna
Barang.
6) Besaran pembayaran kontribusi tetap dan
pembagian/keuntungan hasil kerja sama
pemnafaatan harus mendapat persetujuan Pengelola
Barang;
7) Dalam kerja sama pemanfaatan BMN berupa tanah
dan/atau bangunan, sebagian kontribusi tetap dan
pembagian keuntungannya dapat berupa bangunan
beserta fasilitasnya yang dibangun dalam satu
kesatuan perencanaan tetapi tidak termasuk sebagai
objek kerja sama pemanfaatan;
8) Besaran nilai bangunan beserta fasilitasnya sebagai
bagian dari kontribusi tetap dan kontribusi pembagian
keuntungan sebagaimana dimaksud di atas paling
banya 10% (sepuluh persen) dari total penerimaan
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan selama
masa kerja sama pemanfaatan, namun dalam hal
mitra kerja sama pemanfaatan atas BMN untuk
penyediaan infrastruktur berbentuk Badan Usaha
Milik Negara/Daerah, kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi 70% (tujuh
puluh persen) dari hasil perhitiungan tim yang
besarannya ditetapkan oleh Menkau atau pejabat yang
ditunjuk oleh Menkeu (ayat (5) j.o. ayat (6));
9) Bangunan yang dibangun dengan biaya sebagian
kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dari awal
pengadaannya merupakan BMN;
10) Selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerja sama
pemanfaatan dilarang menjaminkan atau
menggadaikan BMN yang menjadi objek kerja sama
pemanfaatan; dan
11) Jangka waktu kerja sama pemanfaatan paling lama
30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani
dan dapat diperpanjang, kecuali untuk kerja sama
pemanfaatan atas BMN untuk penyediaan
infrastruktur adalah paling lama 50 (lima puluh)
tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat
diperpanjang.
c. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
Model kerja sama ini dilakukan dengan pertimbangan
(Pasal 34 ayat (1)):
a. Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas
bagi penyelenggaraan pemerintahan negara untuk
kepentingan pelayanan umum dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan
b. Tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam
APBN untuk penyediaan bangunan dan fasilitas
ini .
Jangka waktu Bangun Guna Serah atau Bangun Serah
Guna paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian
ditandatangani (Pasal 36 ayat (1)) yang mana
penetapannya dilakukan dengan tender. (Pasal 36 ayat
(2)).
Mitra Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna yang
telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian
(Pasal 36 ayat (3):
1) Wajib membayar kontribusi ke rekening kas umum
negara setiap tahun, yang besarannya ditetapkan
berdasar hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh
pejabat yang berwenang;
2) Wajib memelihara objek Bangun Guna Serah atau
Bangun Serah Guna, dan
3) Dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau
memindahtangankan:
a) Tanah yang menjadi objek Bangun Guna Serah atau
Bangun Serah Guna;
b) Hasil Bangun Guna Serah yang dipakai langsung
untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
pemerintah pusat; dan/atau
c) Hasil Bangun Serah Guna.
d. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur
Pasal 38 mengatur bahwa kerja sama penyediaan
infrastruktur dilaksanakan terhadap:
a. BMN berupa tanah dan/atau bangunan pada Pengelola
Barang/Pengguna Barang;
b. BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang
masih dipakai oleh Pengguna Barang; atau
c. BMN selain tanah dan/atau bangunan.
Kerja sama penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan
oleh Pengelola Barang atau Pengguna Barang dengan
persetujuan Pengelola Barang.
Kerja sama penyediaan infrastruktur dilakukan oleh
pemerintah dan badan usaha yang mana badan usaha ini
dapat berbentuk (Pasal 39 ayat (1) dan (2):
a. Perseroan terbatas;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
d. Koperasi.
Jangka waktu kerja sama penyediaan infrastruktur adalah
untuk paling lama 50 (lima puluh) tahun dan dapat
diperpanjang (Pasal 39 ayat (3)).
Selama masa jangka waktu kerja sama penyediaan
infrastruktur, mitra kerja sama:
1) Dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau
memindahkan BMN yang menjadi objek kerja sama;
2) Wajib memelihara objek kerja sama dan barang hasil
kerja sama; dan
3) Dapat dibebankan pembagian kelebihan keuntungan
sepanjang ada kelebihan keuntungan yang
diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian
dimulai (clawback).
berdasar Pasal 54, BMN/Barang Milik Daerah yang tidak
diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara/daerah dapat dipindahtangankan.
Pemindahtanganan BMN/Barang Milik Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. Penjualan;
b. Tukar Menukar;
c. Hibah; atau
d. Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah.
Pasal 55 ayat (1) mengatur juga persyaratan persetujuan DPR
untuk Pemindahtanganan BMN untuk:
a. tanah dan/atau bangunan; atau
b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
D. Peraturan Perundang-undangan yang Terkait Pemindahan
dan Pembangunan IKN
Walaupun RUU IKN tidak mengatur tentang teknis
pemindahan dan pembangunan IKN, tetapi ketentuan-
ketentuan pokoknya akan diatur. Karenanya, RUU IKN akan
bersinggungan dengan beberapa Peraturan Perundang-
undangan, mulai dari UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum dan Kerangka Pengaturan seputar Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha, seperti Perpres 38 Tahun 2015
dan peraturan pelaksana di bawahnya.
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 6 jo. Pasal 7 menetapkan kerangka dasar
penyelenggaraan tanah untuk kepentingan umum berada
pada wewenang pemerintah pusat yang harus sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis; dan
d. Rencana Kerja setiap instansi (lembaga negara,
kementerian dan lembaga nonkementerian, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan
Hukum Milik Negara (BHMN)/BUMN yang mendapat
penugasan khusus pemerintah pusat) yang
memerlukan tanah.
Maka dapat dilihat bahwa pengadaan tanah dilakukan
dengan sistem perencanaan yang harmonis dengan rencana-
rencana lainnya untuk memastikan arah pengadaan tanah
tetap berada pada jalur perencanaan yang sudah ditetapkan
sebelumnya.
Pasal 10 menjabarkan pengadaan tanah dipakai untuk
pembangunan:
a. Pertahanan dan keamanan nasional;
b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api,
stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. Waduk, bedungan, bendung, irigasi, saluran air
minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan
bangunan pengairan lainnya;
d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi
listrik;
g. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah
pusat;
h. Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah;
i. Rumah sakit pemerintah pusat/pemerintah daerah;
j. Fasilitas keselamatan umum;
k. Tempat pemakaman umum pemerintah
pusat/pemerintah daerah;
l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka
hijau publik;
m. Cagar alam dan cagar budaya;
n. Kantor pemerintah pusat/pemerinta daerah/desa;
o. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau
konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah
pusat/pemerintah daerah;
q. Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah;
dan
r. Pasar umum dan lapangan parkir umrum.
Pasal 10 ayat (1) mewajibkan pemerintah pusat untuk
melaksanakan pengadaan dari jenis-jenis peruntukan di
atas yang tanahnya selanjutnya dimiliki oleh pemerintah
pusat atau pemerintah daerah. ayat (20 menjelaskan juga
bahwa bila instansi yang memerlukan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum adalah BUMN, maka tanahnya
menjadi milik BUMN ini .
Meski seakan-akan terpisah, namun Pasal 12 ayat (1)
mengatur bahwa pemerintah pusat dapat bekerja sama
dengan BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau
badan usaha swata, sehingga memungkinkan fleksibilitas
opsi pelaksanaan pengadaan tanah menggunakan skema
kerjasama untuk membantu pelaksanaan pembangunan
infrastruktur yang dibangun di atas tanah yang
direncanakan ini .
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
Penyelenggaraan pemberian hak atas tanah diatur
berdasar ketentuan Pasal 2 yang mana negara
memiliki hak menguasai yang diwujudkan dengan
pemberian wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan
ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Hak menguasai ini dapat dikuasakan kepada daerah
dan masyarakat-masyarakat hukum adat yang
peruntukannya tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional. Dengan demikian pada hakikatnya hak
menguasai negara adalah nafas dari hak yang nantinya
akan diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-
undangan selanjutnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tenntang
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
atas Tanah
Hak pengelolaan dikenal melalui peraturan ini yang
didefinisikan sebagai:
“hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegangnya.”
Jadi hak pengelolaan bila dikatikan dengan Pasal 2 ayat
(4) Undang-Undang Nomo. 5 Tahun 1960 adalah
penitikberatan pada tujuan hak menguasai negara dan
melindungi kepentingan nasional, sehingga pengaturan
mengenai hak pengelolaan perlu untuk dirinci.
Wewenang pemegang hak pengelolaan dalam pengaturan
ini antara lain:
a. pemberian usul kepada Menteri yang
menyelenggarakan urusan di bidang agrarian atau
pejabat yang ditunjuk atas Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai yang dimohonkan atas tanah hak
pengelolaan (Pasal 22 ayat (2), Pasal 42 ayat (2));
b. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan
Pasal 26 ayat (3)) dan pemberian usul atas
perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai (Pasal 46
ayat (2));
c. Pembatalan Hak Guna Banguna dan Hak Pakai (Pasal
35 ayat (1) huruf b, Pasal 55 ayat (1) huruf b); dan
d. Peralihan Hak Guna Banguna karena pewarian (Pasal
34 ayat (6)) dan peralihan Hak Pakai (Pasal 54 ayat (9)).
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah dan
Hak Pengelolaan
Peraturan ini menjelaskan bahwa pada dasarnya hak
pengelolaan dapat dibangun untuk:
e. Hak Guna Bangunan (Pasal 21); dan
f. Hak Pakai (Pasal 41);
Pasal 67 mengatur bahwa pihak-pihak yang dapat
menerima hak pengelolaan antara lain:
a. Instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah;
d. PT. Persero;
e. Badan Otorita;
f. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang
ditunjuk pemerintah.
Yang mana pemberian hak pengelolaan ini dilakukan
sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
berkaitan dengan pengelolaan tanah.
Yang mana dalam aturan ini disebutkan bahwa
permohonan hak pengelolaan diajukan kepada Menteri
yang menyelenggarakan urusan di bidang agrarian melalui
kepala kantor pertanahan yang daerah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan (Pasal 70), dengan ini
pengaturan di rancangan undang-undang perlu untuk
menjelaskan hak pengelolaan yang diberikan kepada
Otorita Ibu Kota Negara sehingga adanya kepastian adanya
perwujudan perlindungan kepentingan nasional yang
secara akarnya sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur
Pasal 5 mengatur mengenai jenis infrastruktur ekonomi
dan infrastruktur sosial dapat dilakukan dengan skema
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU),
antara lain:
a. Infrastruktu transportasi;
b. Infrastruktur jalan;
c. Infrastuktur sumber daya air dan irigasi;
d. Infrastruktur air minum;
e. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat;
f. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat;
g. Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan;
h. Infrastruktur telekomunikasi dan informatika;
i. Infrastruktur ketenagalistrikan;
j. Infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi
terbarukan;
k. Infrastruktur konservasi energi;
l. Infrastruktur fasilitas perkotaan;
m. Infrastruktur fasilitas pendidikan;
n. Infrastruktur fasilitas sarana dan prasarana olahraga,
serta kesenian;
o. Infrastruktur kawasan;
p. Infrastruktur pariwisata;
q. Infrastruktur kesehatan;
r. Infrastruktur lembaga permasyarakatan; dan
s. Infrastruktur perumahan rakyat.
Pasal 6 mengatur bahwa menteri/kepala lembaga/kepala
daerah bertindak selaku Penanggung Jawab Proyek
Kerjasama (PJPK), serta Pasal 8 memungkinan BUMN
bertindak sebagai PJPK, dengan demikian dalam konteks
ini dapat dikatakan bahwa KPBU berdasar prakarsa
pemerintah/pemerintah daerah/BUMN dapat
dilaksanakan dengan pengaturan dan batasan jenis
infrastruktur yang ditetapkan dalam peraturan ini dan
wewenang bertindak sebagai PJPK melekat secara mutlak
kepada menteri/kepala lembaga/kepala daerah/BUMN,
yang dalam peraturan ini BUMN bertindak sebagai badan
usaha yang sesuai dengan ketetapan berdasar
peraturan perundang-undangan mengenai BUMN dan
anggaran dasar dalam hal kuasa teknis pelaksanaan
tahapan KPBU. Namun perlu dilihat bahwa ada
pengecualian secara teknis dalam hal KPBU diajukan atas
prakarsa badan usaha, meski tetap pengajuannya kepada
menteri/kepala lembaga/kepala daerah sebagai PJPK
berdasar peraturan ini. Peraturan Mengenai
Kedudukan Lembaga Negara, Tentara Nasional
negara kita, Kepolisian Republik negara kita, Kedutaan
Besar/Perwakilan Diplomatik, dan Organisasi
Internasional
Di samping kedudukan-kedudukan lembaga negara yang
disebutkan di atas yang secara tegas disebutkan
berkedudukan di Ibu Kota Negara, lembaga-lembaga
pemerintah non kementerian juga perlu ditegaskan
mengenai kedudukannya sehingga pengaturan di
rancangan undang-undang menjadi signifikan.
Kejelasan yang sama juga diatur kedudukannya terhadap
kedutaan besar/perwakilan diplomatik serta organisasi
internasional. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik negara kita menyatakan bahwa Provinsi DKI
Jakarta memiliki peran yang salah satunya sebagai
tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta
pusat/perwakilan lembaga internasional, sehingga
dengan demikian apabila keduataan besar/perwakilan
diplomatik dan organisasi internasional memiliki opsi
untuk memindahkan kedudukan yang dapat dikecualikan
apabila diatur secara tegas agar juga ikut pindah dalam
rancangan undang-undang.
E. Undang-Undang yang Terdampak RUU IKN dalam
Kaitannya dengan Omnibus Law
Bagian ini menganalisis Peraturan Perundang-undangan
yang terdampak dari diundangkannya RUU IKN, yakni
sejauh apa materi muatan yang akan diatur oleh RUU IKN
berdampak terhadap materi muatan peraturan
perundang-undangan lain. Dampak itu berkaitan
dengan penyebutan istilah Ibu Kota Negara yang disematkan
pada Jakarta dan juga dampak pengaturan dari RUU IKN
terhadap Peraturan perundang-undangan lain. Hal ini
nantinya akan berkaitan konsep "Omnibus Law" yang akan
dipakai di dalam RUU IKN.
1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 399 Undang-Undang ini menyebut "Provinsi Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta" sehingga dengan
diundangkannya RUU IKN dan ditetapkannya
pemindahan IKN berdasar RUU a quo, maka perlu ada
perubahan terhadap Pasal ini.
2. UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI
Jakarta sebagai Ibukota NKRI. Sebagai Undang-Undang
yang mengatur Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, tentu
akan ada banyak dampak dari dari diundangkannya RUU
IKN terhadap Undang-Undang ini. Setidaknya ada 27
pasal yang berhubungan dengan Jakarta sebagai IKN.
Harus diadakan perubahan menyeluruh terhadap
Undang-Undang ini dengan diundangkannya RUU IKN;
3. UU No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-
Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Dengan
diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini harus
diubah karena sebagian wilayah Provinsi Kalimantan
Timur dijadikan wilayah IKN.
4. UU No. 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-
Undang Darurat No. 3 Tahun 1953 tentang
Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di
Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 9) sebagai
Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Kutai
Kartanegara; Dengan diundangkannya RUU IKN, Undang-
Undang ini harus diubah karena sebagian wilayah
Kabupaten Kutai Kartanegara dijadikan wilayah IKN.
5. UU No. 7 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten
Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini
harus diubah karena sebagian Kabupaten Penajam Paser
Utara dijadikan wilayah IKN.
6. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank negara kita. Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur bahwa Bank
negara kita berkedudukan di Ibukota negara Republik
negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat rencana
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di
Jakarta.
7. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur
bahwa LPS berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat rencana
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di
Jakarta.
8. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
keuangan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang ini mengatur
bahwa OJK berkedudukan di Ibu Kota Negara Kesatuan
Republik negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat
rencana bahwa Lembaga negara/Kementerian
Negara/Lembaga Pemerintah di bidang ekonomi dan
keuangan tetap di Jakarta.
9. UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Pasal 2 Undang-Undang ini mengatur bahwa Kementerian
Negara berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
negara kita. Pasal ini harus diubah mengingat rencana
bahwa Lembaga negara/Kementerian Negara/Lembaga
Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan tetap di
Jakarta
10. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun
2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan
Peraturan Zonasi. RUU IKN mengatur pengelolaan aset
Pemerintah Pusat yang ada di Jakarta sebagai sumber
pembiayaan pembangunan IKN dan dikerjasamakan
dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengelolaan
aset ini akan mengubah kondisi zonasi di DKI
Jakarta pada tempat di mana adanya aset Pemerintah
Pusat sehingga peraturan perundang-undangan tentang
detail tata ruang dan zonasi di Provinsi DKI Jakarta harus
disesuaikan.
11. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 1
Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2016-2036. Dengan
diundangkannya RUU IKN, Undang-Undang ini harus
diubah karena sebagian wilayah Provinsi Kalimantan
Timur dijadikan wilayah IKN. Dengan demikian, seluruh
peraturan-perundang-undangan di Kalimantan Timur
tentang tara ruang harus disesuaikan, karena baik batas
wilayah dan peruntukannya berubah.
A. Landasan Filosofis
berdasar Lampiran Angka 2 UU No. 12/2011, landasan
filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa negara kita yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945.
Dengan demikian, pada bagian ini, yang penting untuk diuji
adalah sejauh mana Rancangan Undang-Undang tentang Ibu
Kota Negara telah sesuai atau setidak-tidaknya tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945. Jelas, tidak ada satu pun dari uraian-uraian
dari Naskah Akademik ini pada bagian sebelumnya yang
melanggar Pancasila, yang ada justru upaya perwujudan sila-
sila Pancasila. Tidak ada satu pun uraian yang melanggar
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak ada satu pun uraian
yang melanggar prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
tidak ada satu pun uraian yang melanggar prinsip Persatuan
negara kita, tidak ada satu pun uraian yang melanggar prinsip
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan, dan akhirnya tidak ada satu
pun uraian yang melanggar prinsip Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat negara kita.
Justru, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu
Kota Negara ini adalah upaya untuk mewujudkan 2 dari 4
tujuan nasional sebagaimana yang termaktub di dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa negara kita dan seluruh tumpah darah negara kita dan
untuk memajukan kesejahteraan umum.
Rancangan Undang-Undang ini akan mengatur tentang tata
kelola pemerintahan Ibu kota Negara yang lebih baik, baik
dari segi pemerintahan maupun dimensi penataaan ruang
dan lingkungan hidup. Dari situ tentu akan dapat melindungi
warga negara negara kita di wilayah Ibu Kota Negara dari
ancaman bencana ekologis, tindak kejahatan, korupsi
sekaligus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
akhirnya dapat memajukan kesejahteraan umum.
B. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada,
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan
yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa
persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang
tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-
Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya
sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang
sama sekali belum ada.
berdasar uraian-uraian yang disampaikan pada bagian
sebelumnya, sudah cukup jelas diuraikan bahwa Rancangan
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara ini akan mengisi
kekosongan hukum karena hingga 75 tahun negara kita
merdeka, negara kita belum memiliki satu pun Undang-
Undang pokok yang mengatur tentang Ibu Kota Negara.
Jakarta ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara Republik
negara kita berdasar Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961
jo. UU PNPS No. 2 Tahun 1961. Setelah itu, berturut-turut,
berbagai Undang-Undang kembali menetapkan Jakarta
sebagai Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), mulai dari UU No. 11
Tahun 1990, UU No. 34 Tahun 1999, hingga terakhir, yang
masih berlaku hingga saat ini, diatur melalui UU No. No. 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik
negara kita.
Undang-Undang yang disahkan sejak 1961 hingga 2007 itu
sesungguhnya adalah Undang-Undang yang menetapkan
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, yang kemudian di dalamnya
diatur tentang berbagai hal mengenai tata kelola, bentuk, dan
susunan pemerintahan di Jakarta menyesuaikan penetapan
ini . Materi muatan RUU yang akan disusun
berdasar Naskah Akademik ini akan menyusun kerangkat
utuh normatif tentang pengelolaan Ibu Kota Negara.
Di samping itu, Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota
Negara ini akan mengatasi persoalan hukum berupa otonomi
khusus yang melekat pada pemerintahan Ibu Kota Negara.
Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sedang menyusun Naskah Akademik untuk
Perubahan UU No. 29 Tahun 2007 dalam rangka
mengadakan harmonisasi dan penyesuaian mengenai
beberapa hal terkait urusan pemerintahan yang dalam
praktiknya menemui keruwetan akibat posisi Jakarta yang
berperan ganda, yakni sebagai daerah otonom khusus Ibu
Kota dan juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah
pusat. Dengan demikian, RUU yang disusun berdasar
Naskah Akademik ini akan mengatasi persoalan hukum
ini .
C. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Uraian pada BAB II telah menguraikan dengan rinci
bagaimana penerapan teori-teori, asas/prinsip, dan gagasan-
gagasan mengenai tata kelola pemerintahan akan
menyelesaikan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan
ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan yang bersih dari
korupsi, lingkungan hidup yang lebih baik, ketahanan
terhadap bencana yang mumpuni, dan pencegahan kejahatan
yang lebih mantap.
Dari sisi negara, tentu tata kelola Ibu kota Negara yang akan
dituangkan di dalam RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi
kebutuhan yang mendesak agar seluruh administrasi
pemerintahan IKN dapat terlaksana dengan baik, efektif, dan
efisien.
saran
Seluruh materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang
Ibu Kota Negara sebagai satu kesatuan akan menyasar
tujuan-tujuan (objectives) dari kehidupan bernegara
sebagaimana yang termaktub di dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa negara kita dan
memajukan kesejahteraan umum.
Rancangan Undang-Undang ini akan mengatur tentang tata
kelola pemerintahan Ibu kota Negara yang lebih baik, baik
dari segi pemerintahan maupun dimensi penataaan ruang
dan lingkungan hidup. Dari situ tentu akan dapat melindungi
warga negara negara kita di wilayah Ibu Kota Negara dari
ancaman bencana ekologis, tindak kejahatan, korupsi
sekaligus dapat memajukan kesejahteraan umum.
Rancangan Undang-Undang ini akan menata kembali
berbagai benang kusut penataan perkotaan holistik dan
modern, tata kelola lingkungan hidup, penanggulangan
bencana, dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik,
tangkas, dan berorientasi pada pemecahan masalah publik
serta pelayanan publik yang baik. Ibu Kota Negara
diharapkan dapat menjadi contoh baik untuk kota yang
modern, berteknologi tinggi, dengan tata kelola pemerintahan
sangat baik, dan berwawasan pembangunan berkelanjutan
baik di negara kita maupun di dunia.
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Beberapa pokok-pokok yang akan diatur di dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara antara lain
meliputi: ketentuan tentang kedudukan, pembentukan,
fungsi, prinsip, dan cakupan wilayah, ketentuan tentang
pembagian wilayah, ketentuan tentang Kegiatan Pemindahan
Ibu Kota Negara; ketentuan tentang Bentuk, Susunan, dan
Urusan Pemerintahan Ibu Kota Negara; ketentuan tentang
kedudukan lembaga negara, perwakilan negara asing, dan
perwakilan organisasi internasional, ketentuan tentang Tata
Ruang, Pertanahan, Lingkungan Hidup, dan Penanggulangan
Bencana; dan ketentuan terkait Pendanaan dan pengelolaan
anggaran pendapatan dan belanja.
Sebagai Undang-Undang yang mengatur sesuatu secara
umum dan abstrak, maka nantinya diperlukan beberapa
peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana
dari Undang-Undang ini . Hal itu dikarenakan tidak
semua hal teknis akan dapat ditampung dan diatur secara
komprehensif di dalam materi-materi muatan pasal Undang-
Undang. Jenis peraturan perundang-undangan yang akan
menjadi peraturan pelaksana adalah peraturan presiden.
Di samping itu, kegiatan pemindahan Ibu Kota Negara
dilakukan dengan mempertimbangkan kerja sama dengan
Pemerintah Daerah Ibu Kota Negara sebelumnya, yaitu
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
C. Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang
Materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota
Negara akan mencakup tiga hal, yaitu Ketentuan Umum,
Materi yang Akan Diatur, dan Ketentuan Peralihan. Ada pun
ruang lingkup dari materi muatan Undang-Undang Ibu Kota
Negara yaitu:
Bab I: Ketentuan Umum
Beberapa hal yang diatur di dalam Bab ini antara lain
pembatasan definisi terhadap beberapa istilah yang
dipakai di dalam Undang-Undang ini:
1. Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan
Republik negara kita.
2. Lembaga Negara adalah lembaga yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif di tingkat pusat
serta lembaga lain sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan.
3. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik negara kita
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik negara kita yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945.
4. Presiden adalah Presiden Republik negara kita
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik negara kita Tahun 1945.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Republik negara kita yang
selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945.
6. Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara yang
selanjutnya disingkat KSN IKN adalah kawasan khusus
yang akan dan menyelenggarakan fungsi sebagai Ibu
Kota Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan
Undang-Undang ini.
7. Ibu Kota Negara […] yang selanjutnya disebut sebagai
IKN […] adalah suatu wilayah di dalam Negara Kesatuan
Republik negara kita yang menjadi tempat kedudukan Ibu
Kota Negara dan menjalankan fungsi sebagai Ibu Kota
Negara sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan
Undang-Undang ini.
8. Pemerintahan Khusus Ibu Kota Negara […]yang
selanjutnya disebut sebagai Pemerintahan Khusus IKN
[…] adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus di
IKN […] yang diatur dengan Undang-Undang ini.
9. Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya disebut
sebagai Otorita IKN adalah lembaga pemerintah
setingkat kementerian yang dibentuk untuk
melaksanakan persiapan, pembangunan, dan
pemindahan Ibu Kota Negara yang baru, serta
penyelenggaraan Pemerintahan Khusus IKN […].
10. Kepala Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya disebut
sebagai Kepala Otorita IKN adalah pimpinan Otorita IKN
yang berkedudukan setingkat menteri yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN
dalam pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan
pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan
Pemerintahan Khusus IKN […].
11. Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Negara yang selanjutnya
disebut sebagai Wakil Kepala Otorita IKN adalah wakil
pimpinan yang bertugas membantu Kepala Otorita IKN
atas pelaksanaan tugas dan fungsi Otorita IKN dalam
pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan
pemindahan IKN, serta penyelenggaraan Pemerintahan
Khusus IKN […].
12. Rencana Induk Pembangunan Ibu Kota Negara adalah
dokumen perencanaan terpadu untuk melaksanakan
pembangunan, pemindahan dan pengelolaan Ibu Kota
Negara […] yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
13. Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan Belanja
Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.