• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label kerajaan banjar 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan banjar 1. Tampilkan semua postingan

kerajaan banjar 1

Batamat Al-Qur’an

Batamat Al-Qur’an yaitu  budaya orang Banjar yang

dilakukan saat  seseorang menamatkan belajar al-Qur’an sebanyak

30 juz. Batamat Al-Qur’an juga selalu dilakukan oleh umat Islam Banjar

saat  bulan Ramadhan setiap tahun, setelah para jemaah masjid atau

lanngar mengadakan tadarusan membaca Al-Qur’an sebulan penuh dan

malam hari raya Idul Fitri diadakan batamat Al-Qur’an. Di samping

itu, batamat Al-Qur’an juga sering dilakukan saat  seseorang mau

melaksanakan perkawinan, baik mempelai laki-laki mapun perempuan.

Semenjak tahun 1990 an dengan adanya TK Al-Qur’an BKPRMI

budaya khataman Al-Qur’an (batamat Al-Qur’an) diadakan secara

meriah dengan gabungan wisuda santri/wati lulusan TKA dan TPA yang

di tempatkan di Masjid Jami’ atau Agung di setiap Kota atau Kabupaten

yang ada di Kalimantan Selatan.

Batamat Al Qur’an yaitu sebuah tradisi agamis yang telah lama

dipertahankan oleh warga  Banjar, Kalimantan Selatan. Suku

Banjar, terkenal dengan warga nya yang sangat agamis, sehingga

seluruh sendi kehidupan mereka selalu berlandaskan keagamaan.

Batamat Al Qur’an yaitu  salah satu tradisi agamis yang

dilaksanakan saat  seseorang telah mengkhatamkan membaca Al

Qur’an.

Setiap daerah di Kalimantan Selatan memiliki cara-cara tersendiri

dalam melaksanakan tradisi batamat Al Qur’an. ada  perbedaan

pada waktu pelaksanaan, perangkat yang dipakai  dan tata cara

pelaksanaan. Sebagian warga  melaksanakan batamat Al Qur’an pada saat acara pernikahan atau perkawinan. Biasanya mempelai

(pengantin) yang melakukan batamat Al Qur’an. Tapi ada juga

warga  yang melakukan pada bulan-bulan tertentu misalnyaBulan

Mulud (Rabiul Awal), Namun semuanya merujuk pada kegiatan utama

yaitu membaca Al Qur’an pada bagian akhir (Juz Amma).

Di Desa Simpang Mahar, Kecamatan Batu Benawa, Kabupaten

Hulu Sungai Tengah, tradisi batamat Al Qur’an biasanya dilaksanakan

pada saat merayakan Hari Raya Iedul Fitri atau Iedul Adha. Lazimnya

dilaksanakan pada hari raya tiga hari atau empat hari (hari ketiga atau

keempat lebaran) dengan tempat di Masjid Al Amin, Simpang Mahar.

Batamat Al Qur’an dapat diikuti oleh siapa pun baik anak-anak maupun

sudah dewasa. Tapi pada umumnya yang mengikuti yaitu anak-anak

yang telah mengkhatamkan membaca Al Qur’an yang mereka lakukan

setiap malam.

Pada saat lebaran kemaren, telah dilakukan acara Batamat Al

Qur’an di Simpang Mahar pada saat hari raya tiga hari (hari ketiga

lebaran). Sebanyak 15 anak mengikuti kegiatan ini, rata-rata berumur

10 – 12 tahun. Persiapan yang dilakukan yaitu kostum dan perangkat

yang mengikuti sang “pengkhatam”. Kostum bagi anak laki-laki adalah

baju gamis (jubah khas timur tengah) lengkap dengan sorban dan patah

kangkung yang dipakai di kepala. Sedangkan bagi anak perempuan

memakai baju sejenis jubah berenda dan bulang yang dipakai di kepala.

Kostum ini yaitu pakaian yang biasa dipakai jemaah haji saat  mereka

pulang ke kampung halaman.

Selain kostum, juga disiapkan payung yang dibuat dari pelepah

rumbia atau bambu. Payung diberi hiasan kertas warna-warni dan

adakalanya tiang payung yaitu bambu yang berisi telur rebus yang

telah matang. Selain itu juga disiapkan balai (miniatur masjid) yang

dibuat dari pelepah rumbia, yang diberi hiasan dengan kertas warna￾warni. Di dalam balai ditempatkan ketan putih dan ketan merah, telur,

dan makan-makanan kecil yang digantung. Untuk menambah semarak

balai, maka juga ditancapkan beberapa bendera dari kertas dan uang.

Balai disangga dengan dua potong pelepah rumbia agar dapat di usung

saat  prosesi arak-arakan.

Prosesi dimulai saat anak keluar dari rumah untuk menuju masjid.

saat  di muka pintu, sang anak akan disambut dengan shalawat yang diiringi dengan lemparan baras kuning(beras kuning) bercampur uang

koin ke halaman rumah. Anak-anak lain yang sudah menunggu di

halaman rumah, akan memperebutkan uang koin yang dilemparkan

ini . Selanjutnya sang anak akan diarak sambil dipayungi beserta

rombongan lain menuju masjid. Di bagian depan arak-arakan, sang

“pengkhatam” berjalan sambil dipayungi diiringi oleh balai yang

diusung di belakangnya masing-masing.

Kemeriahan akan terasa lagi saat  rombongan arak-arakan ini

tiba di masjid. Mereka akan disambut dengan shalawat dan hamburan

baras kuning. Acara batamat Al Qur’an dilaksanakan di dalam masjid,

sedangkan balai yang dibawa dari rumah di tempatkan di halaman

masjid. Hal yang unik dan ditunggu-tunggu para kerabat dan warga 

yang berhadir pada acara ini  yaitu saat-saat memperebutkan

semua makanan dan uang yang ditempatkan di dalam balai. Saking

berharapnya, setiap anak (tak terkecuali yang dewasa) sudah

mengelilingi balai saat  diturunkan di halaman masjid. Setiap orang

siap-siap menjulurkan tangannya ke arah makanan dan bendera uang

yang siap terlepas dari balai. Jika salah seorang sudah memulai

mencabut bendera uang dengan tiba-tiba, maka serentak anak-anak dan

orang tua berebut tanpa dapat dicegah lagi. Mereka akan

memperebutkan semua makanan, ketan, telur, makanan ringan, bendera

kertas, yang menjadi target utama biasanya yaitu bendera uang dalam

bentuk seribuan. Kadang-kadang saking ramainya, beberapa balai akan

hancur akibat terhimpit, bahkan bisa-bisa sampai tertindih.

Perebutan makanan dan bendera balai, biasanya terjadi pada saat

pembacaan Surah Al Fiil. Entah apa hubungannya dengan bunyi ayat

yang dibaca, namun pada bacaan “Alam tarakaii fafa ‘ala ...”, maka

sontak mereka yang telah siap dengan tangan menjulur akan menarik

dan mengambil semua makanan dan bendera yang ada pada balai. Kalau

dalam bahasa Banjar, “tarakai” artinya yaitu rusak atau hancur, maka

apakah ini terkait dengan rusaknya atau hancurnya balai akibat saling

berebut.

Pembacaan Al Qur’an diteruskan secara bergantian oleh

“pengkhatam”, dari Surah adh-Dhuha sampai pada Surah AN Naas,

kemudian dilanjutkan lagi dengan membaca Surah Al Fatihah di bagian

depan Al Qur’an. ini  dimaksudkan agar membaca Al Qur’an terus￾menerus dilakukan walaupun telah mengkhatamkan Al Qur’an.Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa khatam Al Qur’an, dan

selanjutnya warga  yang hadir dipersilakan untuk mendatangi

rumah yang memiliki hajat untuk menyantap hidangan yang disediakan,

tentunya hidangan khas Banjar, seperti soto Banjar, nasi sop, masak

habang, ataupun masakan lainnya. Tidak ketinggalan ketan putih dan

ketan merah.Inilah sekilas tradisi Batamat Al Qur’an yang setiap tahun

selalu diadakan warga  Simpang Mahar di Hulu Sungai Tengah.
Batumbang Apam

Masjid al-A’la yang terletak di kampung Jatuh kecamatan

Pandawan kabupaten Hulu Sungai Tengah, tercatat sebagai mesjid tertua

kedua, setelah masjid keramat Pelajau. Berdasarkan catatan dan

informasi yang didapat, masjid ini didirikan sekitar pertengahan abad

ke-17 M di sebidang tanah wakaf yang berasal dari keturunan Penghulu

Muda Yuda Lena, terletak di desa Benua Budi simpang tiga sungai

yang bernama Batang Banyu Jatuh yang mengalir menuju Hilir Banua

dan cabangnya bernama sungai Ringsang menuju Kampung Pematang

(Direktori Masjid Bersejarah di Kalimantan Selatan, 2009: 57).

Salah satu kegiatan yang rutin terlaksana di masjid al-A’la Jatuh

ini yaitu ‘Batumbang Apam” bagi anak-anak kecil yang diadakan

setiap hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Para penziarah berdatangan

dari berbagai pelosok daerah Banua Anam (Rantau, Kandangan,

Amuntai, Barabai, Tanjung dan Paringin) dengan memakai  mobil

pribadi atau mobil taksi secara perorangan maupun rombongan, dengan

membawa alat sesajian berupa wadai apam habang (merah) dan putih.

Kemudian, wadai apam ini  ditusuk dengan lidi setinggi anak yang

mau diupacarai batumbang apam ini . Setelah acara batumbang

apam selesai, kemudian kaum atau tokoh agama membaca do’a selamat,

agar anak yang diupacarai ini hidupnya berkah, panjang umur dan

menjadi anak shaleh.

Secara sosial dan kebaikan, banyak hal yang positif bisa diambil

bersama dari kegiatan batumbang apam ini. Paling tidak di hari yang

dilarang oleh Rasulullah SAW untuk kita bersedih dan diperintahkan

bersuka cita, maka di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha inilah kita

berbagi kecerian dengan makan bersama, shadaqah ke orang lain,

berdo’a bersama untuk kebaikan kita semua. Acara terakhir pembacaan

doa dan dilanjutkan dengan makan-makan.

Batumbang bisa diangap sebagai upacara pemberkatan, khususnya

bagi anak-anak, yang biasanya terjadi pada hari kedua atau ketiga hari

raya haji. Oleh sebab  itu, upacara ini dapat disamakan dengan upacara

ulang tahun bagi si anak, dan biasanya umur si anak memang dihitung

berdasarkan beraka kali ia melewati hari raya haji. Unsur-unsur dalam

kegiatan ini sangat bernuansa Islam sekali, yaitu pembacaan surah

Yasin, sering kali ada pembacaan shalawat, yang biasa dipakai  untuk
mengeluelukan keberangkatan mempelai pria dari rumahnya dan

kedatangannya di rumah pengantin wanita untuk disandingkan, dan

saat  menyambut anak yang akan batamat di rumah upacara. Unsur

lain dari batumbang ini ialah saji berupa apam atau cucur, biasanya

dua warna, yaitu berwarna merah (sebenarnya kecoklatan, sebab  warna

gula aren yang menjadi campurannya) dan berwarna putih.

Saji berupa apam mungkin berupa pokok, sehingga sering ada

ungkapan batumbang apam. Untuk menyangkut apam dan cucur,

sebuah pelepah kelapa dipotong daunnya dan disisakan lidi-lidinya

sepanjang kira-kira sejengkal, yang tingginya dibuat setinggi anak yang

diupacarakan. Si anat berdiri sambil memegang pelepah kelapa yang

telah diisi dengan apam dan cucur tadi, sementara orang alim membaca

shalawat, tepat seperti saat  menyambut mempelai untuk bersanding,

sambil menghamburkan beras kunyit disertai uang logam. Orang

dewasa dan anak-anak yang hadir menyahuti salawat beramai-ramai,

dan anak-anak sibuk memperebutkan uang logam yang dihamburkan.

Kegiatan diteruskan dengan membaca surah Yasin, dan saat 

pembacaan surah Yasin sampai pada akhir kalimat salamun qawlan

min rabbi al-rahim, yang diulang tiga kali, si anak mengambil apam

dan cucur dan melemparkannya ke arah teman-temannya yang segera

memperebutkannya pula. Pelepah kelapa yang berisi sisa apam dan

cucur diambil alih dan si anak duduk, dan membaca surah Yasin

diteruskan sampai selesai. Kegiatan ini diakhiri dengan pembacaan doa

selamat dan makan bersama, yang terakhir antara lain dengan

menghidangkan apam dan cucur, sering juga nasi ketan dan inti.

Di Martapura batumbang selalu yaitu  bagian ari upacara

bapalas bidan dan mandi upacara (pengantin atau wanita hamil), dan

selalu dilakukan guna memberkati anak yang baru disunat, baik laki￾laki maupun perempuan. Pada mandi upacara kawin dan hamil.

Kegiatan batumbang biasa dilakukan sesudah selesai mandi, tetapi

dalam suatu laporan yang disampaikan kepada saya, ada  kesan

bahwa kegiatan batumbang dilakukan sebelumnya, dan berfungsi

sekaligus menyiapkan banyu Yasin, yang akan dipakai  sebagai salah

satu air keramat untuk mandi. Pada kegiatan batumbang bagi orang

dewasa ini, pelepah kelapa tidak dipakai , melainkan apam dan cucur,

merah dan putih, diletakkan dalam piring dan dipamerkan saat 

upacara. Kegiatan membaca selawat dilakukan saat  si calon mempelaiatau wanita hamil itu turun dari rumah dan saat  naik kembali ke

rumah setelah selesai mandi. Menghamburkan beras kunyit dan uang

logam juga dilakukan dan anak-anak juga ramai memperebutkan uang

logam ini . Tetapi, setahu saya, melempar-lemparkan apam dan

cucur tidak ada. Dengan ditumbangi, seorang anak akan lebih kuat

semangatnya dan seorang wanita telah siap untuk menghadapi tahun

baru hidupnya. (Akh. Fauzi Aseri, dkk., 2009: 364-6).

Kata batumbang mungkin sudah tidak asing lagi orang Hulu

Sungai, pahuluan, batumbang yaitu  sebuah acara yang dilakukan

pada hari menjelang hari raya atau pada malam hari raya. Acara ini

yaitu  sebuah acara selamatan yang dilakukan oleh seseorang

saat  ingin menyambut hari raya atau saat  menjelang berakhirnya

bulan puasa ramadhan, acara ini pun hanya diakhiri oleh para tetangga

atau jiran sekampung saja tidak mengundang keluarga atau kerabat

yang jauh. Acara ini biasanya dilakukan pada saat selepas shalat tarawih

atau setelah shalat Id pada hari raya.

Batumbang ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap

tahun pada saat bulan puasa ramadhan, sebab  acara ini hanya ada

khusus pada bulan ramadhan dan itu terjadi hanya setahun sekali maka

makanan yang dihidangkan pada saat acara ini pun khusus berbeda

dari acara selamatan yang dilakukan pada hari biasa. makanannya

barupa makanan yang berbahan dasar dari tepung. Makanan ini sering

di sebut warga  sekitar dengan sebutan apam, makanan inilah yang

menjadi satu-satunya menu utama dalam acara batumbang, sebab 

dalam acara ini hampir tidak ada makanan lain yang disajikan selain

dari apam ini walaupun ada sesekali makanan lain yang disajikan tetapi

ini  biasanya jarang sekali terjadi.

Acara yang dilaksanakan pada saat batumbang ini berupa : pertama

yaitu pembacaan shalawat atas nabi Muhammad saw, kedua

pembacaan do’a dua selamat yang ketiga pembacaan do’a haul atas

permintaan tuan rumah sesuai dengan siapa yang ingin dihaulkan, dan

penutup atau yang terakhir yaitu makan. Jadi ini sebagai uraian dari

acara batumbang yang biasa dilakukan oleh warga  Hulu Sungai

pada sata bulan puasa ramadhan dan ini  akan terus diwariskan

kepada anak cucu orang-orang keturunan Hulu Sungai (Muslimedia

News, “Batumbang Apam Tradisi Islam Banjar”, diakses pada tanggal

20 April 2015).
C Baayun Maulid

warga  Banjar mempunyai tradisi unik setiap kali merayakan

Maulid Nabi Muhammad SAW yaitu perayaan adat baayun maulid. Baayun

berarti berayun sedangkan maulid yaitu hari lahir sehingga baayun maulid

dapat diartikan berayun di hari kelahiran nabi Muhammad SAW. Tetapi

bukan hanya sekedar berayun-ayun saja sebab  tradisi ini sarat akan nilai

sejarah dan budaya. Bagi warga  Banjar khususnya bagi mereka yang

tinggal di Rantau, Kabupaten Tapin, perayaan adat ini sangatlah penting

sebab  menunjukkan identitas mereka sebagai orang Banjar.

Baayun maulid yaitu  perpaduan budaya antara budaya Banjar

dengan agama Islam. Menurut penuturan salah satu warga, perayaan ini

yaitu  warisan dari nini bahari yang artinya warisan dari nenek

moyang dan sudah dilaksanakan sejak dulu kala bahkan jauh sebelum

agama Islam masuk di tengah-tengah warga  Banjar. Pada mulanya

tradisi baayun maulid berawal dari tradisi baayun anak yaitu sebuah tradisi

pemberian nama dan mendoakan sang anak agar menjadi anak yang

berbakti kepada kedua orang tuanya. Kemudian tradisi ini dalam prakteknya

menjadi sarat akan nilai Islam saat agama ini masuk ke Kalimantan Selatan

dan menjadi agama resmi Kerajaan Banjar. Dalam perkembangannya tradisi

ini dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah

sehingga sekarang dikenal dengan tradisi baayun maulid. Tradisi baayun

maulid dilaksanakan di Masjid Keramat, Desa Banua Halat, Kabupaten

Tapin yang mana dipercaya sebagai asal dari tradisi iniSaya beruntung dapat menjadi saksi hidup perayaan baayun maulid

edisi tahun ini yang diselenggarakan pada tanggal 24 Januari 2013.

Menjadi saksi ribuan orang yang tumpah ruah di lokasi pelaksanaan

acara ini  yang mana diperkirakan 5000 peserta yang mendaftar, 

belum lagi ditambah dengan keluarga yang menemani para peserta

sehingga acara baayun maulid benar-benar ramai dan meriah.

Berdasarkan pengumuman dari panitia, para peserta tidak hanya datang

dari Kalimantan Selatan saja namun juga berasal dari luar provinsi

seperti dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,

Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Riau.

Ayunan yang dipakai saat acara baayun maulid

Tampak ribuan ayunan dari sarung yang telah dihiasi janur dan

kain warna-warni mendominasi lokasi perayaan yang disediakan oleh

panitia. Panitia acara menyediakan beberapa lokasi untuk

menggantungkan ayunan yang posisinya tidak jauh dari Masjid

Keramat. Mereka memisahkan peserta balita dan anak-anak dengan

peserta orang tua agar mudah mengaturnya. Selain itu ditempel pula

nomer urut agar para peserta tidak kesulitan saat mencari ayunan

mereka.Peserta acara baayun maulid ini sebenarnya bebas. Semuanya bisa

mendaftar dan mengikutinya dengan membayar uang sebesar Rp.

60.000,- jika membawa sarung sendiri atau Rp. 100.000,- jika tidak

membawa sarung. Tetapi pada umumnya yang mengikuti tradisi ini

yaitu anak-anak baik yang masih bayi hingga balita dan para orang

tua dari bapak-bapak atau ibu-ibu sampai nenek-nenek atau kakek￾kakek. Bagi anak-anak yang mengikuti acara ini, diharapkan mereka

dapat menjadi anak yang berbakti dan meneladani sifat-sifat Rasulullah

SAW saat besar nanti. Sedangkan bagi para orang tua, umumnya yang

mengikuti acara ini yaitu mereka yang punya nazar. Contohnya adalah

“ada yang sakit kemudian dia bernazar jika sembuh akan baayun maulid

maka dia harus melaksanakannya nazarnya ini ,” jelas Nurul yang

yaitu  warga setempat.

Salah satu kearifan lokal yang masih tampak di acara baayun

maulid yaitu adanya sesaji yang berisi telur, garam, kelapa, bunga,

dan benda-benda lainnya yang diletakkan di depan sebuah ayunan besar.

ada  pula beberapa buah dupa yang telah dinyalakan ikut diletakkan

di tempat yang dengan sesaji sehingga di sekitar ayunan besar tercium

bau dupa.Banyak warga  yang hadir antre untuk naik ke ayunan ini 

sehingga di sekitar ayunan besar selalu padat dipenuhi warga  yang

ingin duduk di sana. Mereka dapat meminta panitia untuk

mengabadikan momen berharga ini  kemudian mengambil hasil

fotonya setelah membayar tarif foto yang sudah ditentukan atau

mengabadikannya sendiri dengan kamera mereka.

Salah satu hal yang menambah kemeriahan baayun maulid adalah

kehadiran para pedagang yang menjajakan barang dagangan mereka

masing-masing kapada para penggunjung. Banyak warga yang duduk￾duduk di warung sembari menikmati makanan dan minuman yang

mereka pesan. Kehadiran para pedagang ini  bagaikan oase di

tengah padang pasir sebab  para pengunjung dapat beristirahat sejenak

di tengah-tengah keramaian dan di bawah teriknya mentari. Sebagian

orang ada yang sekedar membeli kue khas Banjar yang akan dimakan

setelah acara pembacaan doa selesai atau membeli minuman untuk

membuang dahaga.Rangkaian acaranya sendiri sebenarnya sudah dilaksanakan sehari

sebelum maulid nabi. Berdasarkan informasi dari Nurul, sore sebelum

hari pelaksanaan, warga  Desa Banua Halat menyiapkan sesajian

yang dipakai  selama acara berlangsung dan malamnya diadakan

pengajian di Masjid Keramat. Keesokan harinya, warga  yang

menjadi peserta sudah datang pagi-pagi hari sebab  jam 07.00 Wita

acara baayun maulid sudah dimulai. Acara dimulai dengan pengajian

di dalam masjid. Bacaan ayat suci Al-Quran dan sholawat nabi

bergantian terdengar dari dalam masjid. Para peserta bersama

keluarganya menanti puncak acara dengan duduk-duduk di sekitar

ayunan mereka dengan beralaskan koran. Puncaknya yaitu saat

pembacaan doa selesai serentak para peserta mengayun-ayunkan

ayunan mereka masing-masing. Saat momen ini  berlangsung, suka

cita tampak terlihat jelas di wajah semua orang yang mengikuti acara

baayun maulid. Sesaat kemudian ada yang melempar koin yang

langsung menjadi rebutan anak-anak begitu menyentuh tanah. Setelah

puncak acara selesai sebagian besar peserta langsung mencopot ayunan

yang mereka pakai sebelumnya. Ayunan yang dibawa pulang akan

dipasang kembali bagi yang anak-anak sedangkan bagi orang tua

ayunan ini  akan disimpan.Walaupun banyak yang memilih untuk mencopot ayunan kemudian

langsung pulang ke rumah ada juga warga yang memilih bersantai

terlebih dahulu bersama keluarga mereka. Mereka menikmati wadai

atau jajanan bahkan ada sebuah keluarga yang membuat lingkaran

kemudian berdoa bersama dan begitu selesai berdoa mereka dengan

lahapnya menyantap makanan yang mereka bawa dari rumah. Beberapa

warga asik mengobrol dan bersenda gurau menikmati kebersamaan

sembari menanti lokasi acara menjadi tenang sebelum mereka pulang









Madihin

Kesenian madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut,

bedanya ada  pada cara penyampaian syairnya. Dalam lamut syair

yang disampaikan berupa sebuah cerita atau dongeng yang sudah sering

didengar dan lebih mengarah pada seni teater dengan adanya pemain

dan tokoh cerita. Sedangkan lirik syair dalam madihin sering dibuat

secara spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar

yang menghibur dengan nasihat-nasihat yang bermanfaat.

Menurut berbagai keterangan asal kata madihin dari kata madah,

sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia sebab  ia menyanyikan syair￾syair yang berasal dari kalimat akhir bersamaan bunyi. Madah bisa

juga diartikan sebagai kalimat puji-pujian (bahasa Arab) ini  bisa

dilihat dari kalimat dalam madihin yang kadangkala berupa puji-pujian.

Pendapat lain mengatakan kata madihin berasal dari bahasa Banjar

yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga

bisa dibenarkan sebab  isi dari syairnya sering berisi nasihat.

Asal mula timbulnya kesenian madihin sulit ditegaskan. Ada yang

berpendapat dari kampung Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan.

Dari Kampun Tawia inilah kemudian tersebar keseluruh Kalimantan

Selatan bahkan Kalimantan Timur. Pemain madihin yang terkenal

umumnya berasal dari kampung Tawia. Ada juga yang mengatakan

kesenian ini berasal dari Malaka sebab madihin dipengaruhi oleh syair

dan gendang tradisional dari tanah semenanjung Malaka yang sering

dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.Cuma yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam

semua syairnya yang berarti orang yang memulainya yaitu dari suku

Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan

bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin

telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar lahirnya

dipengaruhi kasidah.

Pada waktu dulu fungsi utama madihin untuk menghibur raja atau

pejabat istana, isi syair yang dibawakan berisi puji-pujian kepada

kerajaan. Selanjutnya madihin berkembang fungsi menjadi hiburan

rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen,

memeriahkan persandingan penganten dan memeriahkan hari besar

lainnya.

Kesenian madihin umumnya digelarkan pada malam hari, lama

pergelaran biasanya lebih kurang 1 sampai 2 jam sesuai permintaan

penyelenggara. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan

terbuka agar menampung penonton banyak, sekarang madihin lebih

sering digelarkan di dalam gedung tertutup.

Madihin bisa dibawakan oleh 2 sampai 4 pemain, apabila yang

bermain banyak maka mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan

syair, saling bertanya jawab, saling sindir, dan saling kalah mengalah￾kan melalui syair yang

mereka ciptakan. Duel

ini disebut baadu

kaharatan (adu

kehebatan), kelompok

atau pemadihinan yang

terlambat atau tidak bisa

membalas syair dari

lawannya akan

dinyatakan kalah. Jika

dimainkan hanya satu or￾ang maka pemadihinan

ini  harus bisa mengatur rampak gendang dan suara yang akan

ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair.

Pemadihinan secara tunggal seperti seorang orator, ia harus pandaimenarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang

yang memukau dengan irama yang cantik.

Dalam pergelaran madihin ada sebuah struktur yang sudah baku,

yaitu:

1. Pembukaan, dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang

diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun

ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang

akan dibawakan nantinya.

2. Memasang tabi, yakni membawakan syair atau pantun yang isinya

menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih

dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran

nantinya.

3. Menyampaikan isi (manguran), menyampaikan syair-syair yang

isinya selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan

rumah, sebelumnya disampaikan dulu sampiran pembukaan syair

(mamacah bunga).

4. Penutup, menyimpulkan apa maksud syair sambil menghormati

penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup.

Saat ini pemadihin yang terkenal di Kalimantan Selatan adalah

John Tralala dan anaknya Hendra. (Anak Sultan, diakses pada tanggal

20 Januari 2015).Madihin dimainkan dengan membacakan syair. Syairnya sendiri

yaitu  pantun, yang berirama A-A-A-A. Hebatnya pemadihin,

syairnya jarang disiapkan, gak ada catatan, contekan, apalagi main

lipsync, tapi lebih ke spontanitas sesuai dengan kondisi dan situasi

saat madihin main, sehingga dalam madihin sangat tampak suasana

faktual, aktual dan komunikatif dengan penonton. Kadang

mengomentari kondisi penonton, yang konyol ada juga yang

mengomentari kumis salah satu pejabat yang nonton, atau malah

kemaren malam itu malah mengomentari panitia yang tidak

menyediakan kipas angin, sehingga pemadihinan kepanasan, yang

sontak memancing tawa penonton.

Walaupun penuh humor khas banjar, madihin selalu disisipkan

nasehat-nasehat. Contohnya bila ada kawinan, diselipkan nasehat￾nasehat perkawinan kepada kedua mempelai. Kalau memperingati hari

guru, isinya nasehat-nasehat tentang pendidikan. Kalau hari pahlawan,

isinya tentang perjuangan. Tapi tetap, selalu dengan ciri khas humor

yang membuat penonton tak akan bosan mendengar madihin.

Contohnya neh: Nasehat perkawinan

Laki bagawi iringi dua rastu / Suami bekerja, iringi

doa restu

supaya bagawi kada taganggu / supaya bekerja tidak

terganggu

bulik ka rumah kira-kira pukul satu / pulang ke rumah kira￾kira jam satu 

jaga di pintu wan bari sanyum dahulu / jaga di pintu dan beri

senyum dahulu

Kalau yang ini nasehat buat anak sekolah

Amun balajar jangan angin-anginan / kalau belajar jangan

angin-anginan

bahanu rancak, bahanu kada mangaruwan / kadang sering,

kadang tidak karuanBuku mambuku pina bahilangan / buku-buku sering

kehilangan

bahimad balajar bila handak ulangan / rajin belajar jika

mau ulangan

pikiran kalut awak gagaringan / pikiran kalut,

badan sakit-sakitan

bulik ka rumah disariki kuitan / pulang ke rumah,

di marahi orang tua

B. Musik Panting

Beragam kesenian daerah yang dapat kita nikmati di Indonesia,

salah satunya yaitu kesenian daerah musik panting yang berasal dari

Kalimantan Selatan.Hasil dari googling,muter-muter cari bahan

posting,akhirnya dapat info ini icon biggrin Kesenian Musik Panting

Kesenian Musik Panting. Nama musik panting berasal dari alat musik

yang dipakai  untuk memainkanya,yaitu alat musik panting.Panting

yaitu alat musik petik yang mempunyai bentuk seperti gabus Arab

dengan ukuran yang lebih kecil.Salah seorang tokoh yang mempunyai

peran penting dalam perkembangan musik panting adalah

A.Sarbani,yang juga yaitu  orang yang pertama kali memberi nama

musik panting ini.Musik panting yaitu  musik campuran (ansambel), sebab 

disajikan bersamaan berbagai jenis alat musik.Biasanya, musik pant￾ing memakai  3 buah alat musik panting dan beberapa alat musik

lain seperti gong, biola, suling bambu, tamburin dan sebagainya. Syair￾syair yang berupa pantun yaitu  salah satu yang menarik dari musik

panting, isi dari pantun ini  juga beraneka macam, ada pantun berisi

nasehat sampai pantun jenaka.

Pemain musik panting umunya memakai  pakaian banjar, ba￾gi laki-laki memakai  peci dan yang perempuan memakai 

kerudung.Pemain musik panting memainkan alat musiknya dengan

Posisi duduk, pemain laki-laki duduk bersila dan pemain perempuan

duduk bertelimpuh.

Sebagai kesenian tradisional, musik panting sering di gunakan pada

acara perkawinan dan beberapa acara lain seperti pertunjukan untuk

mempererat silaturahmi antar warga . Musik panting juga

mempunyai fungsi lain yang menarik, yaitu sebagai sarana pendidikan,

sebab  syair-syair dalam musik panting banyak berisi tentang nasehat

dan petuah.Satu hal lagi yang menarik dari musik panting, yaitu lagu

yang dinyanyikan tanpa memakai  reff, mungkin sebab  syair￾syairnya memakai  pantun icon biggrin Kesenian Musik Panting

1. SEJARAH MUSIK PANTING

Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan

Selatan. Panting yaitu  alat musik yang dipetik yang berbentuk

seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik

panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. sebab 

semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih

menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka

musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti

babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa or￾ang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri,

sebab  pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang 

sangat berperan yaitu panting, sehingga musik ini  dinamai musik

panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik pant￾ing yaitu A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting

terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan

Selatan.
 2. TOKOH-TOKOH MUSIK PANTING

Pada umumnya orang yang memainkan musik panting adalah

warga  Banjar. Tokoh yang paling terkenal sebagai pemain pant￾ing yaitu A. SARBAINI. Dan ada juga group-group musik panting

yang lain. Tetapi sekarang ini seiring dengan adanya perkembangan

zaman group musik panting menjadi semakin sedikit bahkan jarang

ditemui.

 3. ALAT-ALAT MUSIK PANTING

Alat-alat musik panting terdiri dari :

a. Panting, alat musik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi lebih

kecil dan memiliki senar. Panting dimainkan dengan cara dipetik.

b. Babun, alat musik yang terbuat dari kayu berbentuk bulat,

ditengahnya ada  lubang, dan di sisi kanan dan kirinya dilapisi

dengan kulit yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan

dengan cara dipukul.

c. Gong, biasanya

terbuat dari aluminium

berbentuk bulat dan

ditengahnya ada 

benjolan berbentuk

bulat. Gong dimainkan

dengan cara dipukul.

d. Biola, sejenis alat

gesek.

e. Suling bambu,

dimainkan dengan

cara ditiup.

f. Ketipak, bentuknya

mirip tarbang tetapi

ukurannya lebih kecil, dan kedua sisinya dilapisi dengan kulit.

g. Tamburin, alat musik pukul yang terbuat dari logam tipis dan biasanya

warga  Banjar menyebut tamburin dengan nama guguncai.
 4. CARA PENYAJIAN MUSIK PANTING

Menurut cara penyajiannya panting termasuk jenis musik ansambel

campuran. sebab  terdiri dari berbagai jenis alat musik. Dalam

pertunjukan musik panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak 3

buah dan ditambah alat-alat musik lainnya. Musik panting disebut juga

dengan nama japin apabila penyajiannnya diiringi dengan tarian. Musik

panting disajikan dengan lagu-lagu yang biasanya bersyair pantun.

Pantun ini  berisi nasehat ataupun pantun petuah, dan pantun

jenaka. Lagu yang dinyanyikan monotor, yang artinya musik ini 

dinyanyikan tanpa ada reff. Pemain musik panting memainkan musik

ini  dengan cara duduk, para pemain laki-laki duduk dengan bersila,

sedangkan pemain perempuan duduk dengan bertelimpuh. Para pemain

musik panting pada umumnya mengenakan pakaian Banjar. Yang laki￾laki mengenakan peci sebagai tutup kepala sedangkan pemain

perempuan memakai  kerudung.

5. FUNGSI MUSIK PANTING

Musik panting mempunyai fungsi sebagai :

1. Sebagai hiburan, sebab  musiknya dan syair-syairnya yang terkadang

jenaka dan dapat menghibur orang banyak. Oleh sebab  itu, musik

panting sering dipakai  pada acara perkawinan.

2. Sebagai sarana pendidikan, sebab  didalam musik panting syainya

berisi tentang nasehat-nasehat dan petuah.

3. Sebagai musik yang memiliki nilai-nilai agama, sebab  musik￾musiknya mengandung unsur-unsur agama.

4. Untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama warga warga .

5. Sebagai kesenian musik tradisional yang berasal dari Kalimantan

Selatan. (www. Google, diakses pada tanggal 20 Januari 2015).







Orang Banjar saat ini tidak bisa menghindar dari pengaruh glo￾bal, di mana segala macam informasi dari berbagai penjuru dunia saling

berpapasan dan berebut menuntut perhatian dan telah masuk ke ruang

kehidupan mereka. Identitas orang Banjar yaitu sebagai pemeluk Is￾lam yang taat dalam beragama dan perantau ulung, apakah budaya

merantau (madam) masih bisa bertahan di era global atau bahkan mulai

terkikis dari akarnya?

Etnis Banjar ialah penduduk sebagian besar wilayah Propinsi

Kalimantan Selatan dan beragama Islam. Etnis Banjar terdiri atas dua

sub etnis, yaitu: etnis Banjar Kuala dan etnis Banjar Pahuluan.

Sedangakan Alfani Daud membagi etnis Banjar menjadi tiga sub etnis,

yaitu: etnis Banjar Kuala, etnis Banjar Batang Banyu dan etnis Banjar

Pahuluan. Etnis Banjar juga tersebar di berbagai daerah Nusantara,

terutama di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,

Riau, Jambi, Malaysia, Surakarta, dan lain-lain.

Orang Banjar memang beragama Islam, dan Islam sejak lama

menjadi ciri warga  Banjar, sehingga kasus orang-orang Dayak

masuk Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar” (Daud, 1997:

5).

Pada abad ke-16 Pangeran Samudera membangun Kesultanan

Banjar dan memindahakan pusat kekuasaan lebih ke hilir lagi, yaitu

kota Banjarmasin sekarang ini. Sultan Islam yang pertama ini membawa

serta sebagian penduduk Negara Daha (kelompok Batang Banyu) keibu kota yang baru (Ras, 1968: 439), dan juga dengan sendirinya ada

di antara kelompok Batang Banyu lainnya atau dari kelompok Pahuluan

yang menyusul, meskipun mungkin mula-mula tidak untuk menetap.

Mereka ini dan penduduk yang sudah ada sebelumnya yaitu  cikal￾bekal orang Banjar.

Kesultanan Banjarmasin terletak di tepi Sungai Kuin yang

bermuara ke sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Sungai Martapura.

Kesultanan Banjarmasin pada masa sekarang letaknya di Banjarmasin,

Kalimantan Selatan. Tanah di daerah ini berpaya-paya (rawa-rawa) dan

ada  banyak sungai yang mengitari wilayah kesultanan pada

Kesultanan Banjarmasin masih berdiri. Kesultanan ini meliputi Tanah

laut di sebelah Selatan, di sebelah timur daerah Gunung Pamaton, ke

utara daerah Sungai Paminggir; serta di sebelah barat meliputi daerah

sekitar aliran sepanjang Sungai Barito.

Pusat pemerintahan Kesultanan Banjarmasin terletak di

Banjarmasin, yang pada abad ke-17 meliputi daerah-daerah Sungai

Barito, Sungai Negara dan Sungai Martapura. Kemudian, kesultanan

ini bertambah luas sehingga pada akhir abad ke-18 meliputi seluruh

selatan dan timur Borneo, yaitu Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai,

Sampit, Kuala Pembuang dan Kotawaringin (Ahyat, 2012: 15-16).

Menurut Andresen seperti yang dikutip Helius Sjamsuddin, tidak

ada satu negeri pun di kepulauanan Indonesia ini yang mempunyai

jumlah haji sebesar Kesultanan Banjarmasin. Hampir setiap desa

ada  haji-haji dan mereka yaitu  elite agama yang sangat

berpengaruh di kalangan rakyat. Mereka sangat aktif dalam pendidikan

agama…. (Sjamsuddin, 2001: 128).

Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di

sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman

massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudra yang kemudian

dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti oleh warga

kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini di-ikuti oleh elite

ibukota, masing-masing diikuti kelompok bubuhannya, dan

demikianlah seterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat

paling bawah.Dengan masuk Islamnya para bubuhan1

, kelompok demi

kelompok, maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah

menjadi identitas orang Banjar dan yaitu  cirinya yang pokok,

meski pun pada mulanya ketaatan menjalankan ajaran Islam tidak

merata. Dapat dikatakan pada tahun-tahun permulaan perkembangan

Islam ini , kebudayaan Banjar telah memberikan bingkai dan Is￾lam telah terintegrasikan ke dalamnya. Dengan masuk Islamnya

bubuhan secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai

bagian dari kepercayaan bubuhan. Tidak heran bila saat  itu ungkapan

keislaman secara berkelompok lebih dominan bila dibandingkan

iba-dah perseorangan umpamanya. Namun orang Banjar berusaha

belajar mendalami agamanya serentak ada kesempatan untuk itu

sehingga akhirnya orang Banjar secara relatif dapat digolongkan or￾ang yang taat menjalankan agamanya seperti halnya sekarang (Aseri,

2009: 36). Dan sampai saat ini etnis Banjar yaitu  penduduk

mayoritas Kalimantan Selatan dan terkenal sebagai umat Islam yang

agamis.

B. Strata Komunitas Banjar

Dalam sosiologi dikatakan bahwa komunitas yaitu sebagai

“warga  setempat”, istilah ini menujukkan pada suatu sistem

kekerabatan warga warga  dalam satu kesatuan yang saling

berhubungan pada suatu wilayah georafis tertentu dengan batas-batas

tertentu pula. Interaksi sangat luas dan intens yaitu  unsure utama

yang menjadi kekerabatan, dibandingkan dengan penduduk atau

warga  yang berada di luar wilayahnya.

Komunitas warga  pada pembicaraan ini mempuyai lokalitas

tertentu atau memiliki asal-usul keturunan (juriyat) ataupun asal-usul

wilayah tempat tinggal. Walaupun mereka madam (merantau) ke

wilayah lain, akan tetapi pada waktu tertentu mereka akan berkumpul

kembali, misalnya saat mengadakan upacara-upacara tradisional seperti

upacara ritual, upacara perkawinan, upacara haulan, upacaramenyanggar banua (selamatan kampung), atau hari-hari besar

keagamaan yang diharuskan hadir dalam memperingati hari ini .

Kekuatan solidaritas dalam komunitas warga  ini terletak pada

warga  setempat yang mempunyai tempat tinggal tetap dan

permanen di kampung halaman dengan kebiasaan-kebiasaan dan

perilaku tertentu secara khas, misalnya pada logat bahasa, cara

berpakaian dan sebagainya.

Mengungkap strata sosial warga  Banjar dapat dimulai dengan

melihat struktur warga  tradisional pada masa kerajaan Banjar. Pada

waktu itu lapisan warga  terdiri dari: Raja dan keluarganya, kaum

bangsawan, kaum ulama, pegawai tinggi kerajaan, pedagang (orang

kaya), warga  biasa dan orang yang terlibat utang (Maman, 2013;

25-26).

Menurut Ita Syamtasiyah, bahwa susunan warga  di

Kasultanan Banjar pada abad ke-19 terbagi atas 4 lapisan. Pertama,

golongan bangsawan, yang yaitu  golongan yang berkuasa.

Mereka terdiri atas sultan dan anak keluarganya dengan bergelar

pangeran, putri, ratu, raden, gusti dan andin. Pangeran dan putri

yaitu gelar untuk anak-anak dari pihak ayah dan ibu keturunan raja,

yang pria disebut pangeran dan yang wanita disebut putrid. Bila sudah

menikah, bergelar ratu. Raden yaitu gelar untuk anak seorang

pangeran dengan isteri orang biasa, gusti yaitu gelar yang biasanya

dipakai  oleh anak-anak raja yang berasal deri selir, dan andin adalah

gelar untuk anak-anak dari seorang gusti atau raden dengan isteri

keturunan biasa. Golongan ini yaitu  golongan yang dihormati

sebab  mereka berkuasa.

Kedua, golongan agama, termasuk golongan elite, terutama

mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin agama. Mereka tidak

memiliki kekuasaan politik, tetapi pengaruhnya dalam warga 

sangat besar. Di antara mereka ada yang bergabung dalam pemerintahan

kesultanan sehingga mempunyai kekuasaan yang sah dalam kesultanan,

tetapi jumlahnya tidak banyak. Sebagian besar besar golongan agama

tersebar di pedesaan. Mereka hidup di antara rakyat sebagai elite

pedesaan, antara lain, sebagai guru agama, wiraswastawan (seperti

membuat anyam-anyaman tikar dan alat rumah tangga, membuat

perahu), dan pedagang sehingga mereka memiliki kekayaan yang akan

menambah penghormatan dan kepercayaan rakyat kepada diri mereka.Ketiga, golongan penduduk biasa, yang hidup dari perdagangan,

bertani, menangkap ikan, kerajinan tangan, dan sebagainya. Golongan

pedagang sangat besar jumlahnya, di mana sebagian besar memiliki

kekayaan yang cukup. Golongan ini disebut “orang Jaba”, yang terdiri

atas petani, pedagang dan nelayan yang wajib membayar pajak pada

penguasa, baik berupa barang kebutuhan hidup sehari-hari maupun

barang dagangan. Yang juga termasuk “orang Jaba” yaitu orang-or￾ang pendatang yang menetap di beberapa daerah Banjarmasin. Mereka

mendapat kebebasan untuk mencari mata pencaharian dengan ketentuan

bahwa mereka harus membayar pajak dan menyatakan kesetiaannya

pada sultan.

Lapisan warga  terakhir, keempat, yaitu golongan pa￾ndeling, yaitu mereka yang kehilangan kemerdekaan akibat utang-utang

yang tidak bisa mereka bayar. Biasanya, merekalah yang menjalankan

perdagangan dari golongan saudagar. Bila utang lunas, mereka menjadi

orang-orang yang merdeka, atau disebut mardika. Selain itu, ada 

pula golongan budak yang berasal dari nasibnya dan sebagai tawanan

perang, termasuk dalam kategori ini yaitu beberapa orang Dayak di

tanah Dusun yang dijadikan budak oleh orang-orang Banjar sebab 

kalah perang. Orang-orang ini juga diperlukan oleh golongan

bangsawan sebagai tenaga kerja di perkebunan-perkebunan, antara lain,

diperkebunan lada (Ahyat, 2012: 56-58 dan Ras, 1968: 620-622).

Namun saat ini lapisan warga  Banjar tidak seperti abad ke-

19 ini  sudah jauh berbeda. Menurut hemat penulis, bahwa lapisan

orang Banjar saat ini terdiri dari: Pertama, para pejabat pemerintah,

baik sebagai eksekutif, yudikatif dan legislative. Mereka orang-orang

yang berkuasa sebab  karir dan dipilih oleh rakyat Banjar melalui

pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.

Kedua, golongan agama, termasuk golongan elite, terutama

mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin agama. Mereka tidak

memiliki kekuasaan politik, tetapi pengaruhnya dalam warga 

cukup besar. Golongan agama ini terdiri para ulama, para ustadz yang

mengajar di Pondok Pesantren yang tersebar di Kalimantan Selatan,

guru agama baik yang berstatus pegawai negeri ataupun honor yang

mengajar di Madrasah-Madrasah dari Madrasah Ibtidaiyah (MI),

Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), para dosenagama yang mengajar di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, para

da’i dan da’iyah, para guru Ngaji Al-Qur’an dan penghulu.

Ketiga, orang biasa atau warga  secara umum. Mereka ini

terdiri dari pedagang, pegawai negeri, karyawan, petani, buruh, nelayan,

TNI, polisi, dan lain-lain. Juga, termasuk orang-orang pendatang dari

berbagai etnis seperti etnis Jawa, Sunda, Madura, Minang, Cina, Arab,

dan sebagainya yang telah menetap di beberapa daerah di Kalimantan

Selatan.

C. Pengertian Tradisi

Secara elementer, tradisi merujuk kepada segala sesuatu yang

ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang. Dalam

ungkapan yang lebih jelas, Al-Jabiri menyatakan, tradisi atau turats

yaitu sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian suatu warga 

tertentu yang berasal dari masa lalu, baik masa lalu warga  itu

sendiri atau warga  lain, dan baik masa lalu itu yaitu  masa

yang sangat jauh maupun yang masih dekat (al-Jabiri, 2000: 24). Dalam

pengertian semacam itu, tradisi menyangkut keseluruhan aspek yang

berasal dari masa lalu; yang bersifat maknawi, material, dan mencakup

aspek dalam skala yang bersifat universal, regional, dan lokal.

Definisi yang ditawarkan al-Jabiri, tokoh intelektual kontemporer

dari Maroko itu, cukup menarik untuk diangkat. Sebab, tawaran itu

mengandung netralitas pengertian, dimana pada satu sisi batasan itu

mencakup aspek-aspek yang cukup holistik yang selalu hadir dalam

kehidupan manusia dari satu generasi ke generasi yang lain. Sedang

pada sisi yang lain, sebab  keberadaannya yang selalu menyertai

kehidupan, tradisi dapat memiliki nilai yang cukup signifikan (dalam

pengertian obyektif dan subyektif) bagi kehidupan umat manusia

dimana dan kapan saja.

Lahir dan berkembangnya tradisi sangat terkait dengan upaya

manusia untuk menghadapi realitas kehidupan; menyelesaikan segala

persoalan yang dihadapinya. Setiap manusia, komunitas, atau

warga  tidak lahir dalam dunia yang hampa budaya, nilai, dan

semacamnya. Mereka lahir dalam dunia yang diwariskan dari generasi

sebelumnya. Dalam kondisi ini, setiap generasi yang lahir (pada

hakikatnya) selalu melanjutkan kegelisahan intelektual generasi

sebelumnya sehingga wawasan pengetahuan dan pengalaman manusiaselalu melebar dan meluas dari zaman ke zaman. Maka tradisi ini

menjadi semacam baru pijakan bagi manusia untuk melangkah ke masa

depan yang lebih jauh. Melalui tradisi, manusia membentuk dan

mengembangkan kehidupan dalam berbagai dimensinya; sosial,

budaya, politik dan sebagainya sehingga kehidupan tidak berhenti pada

suatu titik, tetapi harus berkembang sesuai atau bahkan melampaui

zamannya.

Tradisi dalam arti seperti itu yang telah membentuk dan mewarnai

Islam sepanjang sejarahnya. Keterkaitan tradisi dalam Islam ini 

yaitu  implikasi logis dari keberadaan Islam sebagai agama yang

memiliki concern yang sangat tinggi terhadap sejarah dan kehidupan

di dunia ini. Sebagaimana kata Fazlur Rahman, Islam yaitu 

gerakan aktual pertama yang dikenal dalam sejarah yang memandang

warga  secara serius dan menganggap sejarah (tentunya, kehidupan,

pen.) dengan penuh arti. Pandangannya ini didasarkan pada satu

kenyataan bahwa Islam yaitu agama yang memahami pembangunan

atau pemakmuran dunia ini bukan sebagai usaha yang sia-sia atau hanya

sekedar keterpaksaan (pis aller). Namun justu hal itu yaitu  tugas

yang “ melibatkan” Tuhan dan manusia secara bersama-sama. Dengan

demikian, Islam memandang kehidupan di dunia ini sebagai sesuatu

kenyataan yang harus dijalani umat manusia secara serius sesuai dengan

nature kehidupan itu sendiri yang pada prinsipnya yaitu 

sunnatulah. Mereka tidak dapat lari dari kehidupan, tetapi harus

menghadapinya dan mengembangkannya (Abd. A’la, 2002: 122-123).

Orang Banjar mengenal beberapa tradisi yang senantiasa mereka

jalani terkait dengan usaha menuntut ilmu, menyebarkan agama Is￾lam, maupun usaha dagang. Di antaranya yaitu tradisi madam, yaitu

merantau atau imigrasi ke perbagai daerah Nusantara maupun luar

negeri untuk menuntut ilmu, dakwah Islam, berdagang; atau di era

sekarang kebanyakan orang Banjar merantau ke luar negeri, seperti

Arab Saudi, Malaysia dalam rangka menjadi tenaga kerja.

D. Tradisi Madam

Madam atau merantau yaitu  budaya warga  yang tinggal

di pingiran sungai atau laut. ini  bisa dilihat dari berbagai ras yang

ada di Indonesia, seperti orang Minang, Aceh, Bugis, Jawa, Madura,

Banjar yaitu suku-suku yang terkenal sebagai pelaut, pedagang, dan perantau ulung. Mobilitas kehidupan orang pesisir sangat tinggi, sebab 

sikap hidup yang dinamis dan terbuka untuk menerima perubahan.

Menurut catatan sejarah, bahwa orang pesisir yaitu  agen

perubahan dari agama Hindu atau Budha ke agama Islam, bahkan

keberagamaan Islam orang pesisir lebih murni dari orang pedalaman.

Kontribusi para pedagang/perantau muslim dalam menyiarkan Islam

di Indonesia sangat dominan.

Ada beberapa cara penyebaran Islam di Indonesia, yaitu: Pertama,

melalui perdagangan oleh pedagang muslim yang berasal dari Arab,

Persia, India, Melayu; kedua, melalui perkawinan, para pedagang

muslim yang sudah menetap di kota-kota, seperti Banda Aceh, Padang,

Medan, Demak, Gersik, Tuban, Makasar, dan lain-lain melakukan

perkawinan dengan penduduk setempat, sehingga terjadi Islamisasi

yang damai; ketiga, melalui ajaran tasawuf atau tarikat, para guru

tasawuf yang berasal dari Persia dan India sangat intens mendakwahkan

ajaran Islam di kalangan penduduk Indonesia, bahkan agama Islam

bisa diterima secara sukarela oleh warga  Indonesia, yang nota

benenya beragama Hindu. sebab  ajaran tasawuf ada kemiripan dengan

ajaran agama Hindu, seperti uzlah hampir mirip dengan semedi/bertapa,

zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia yang materialis untuk

mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga agama Islam mudah diterima.

Di samping itu, para Wali Songo di tanah Jawa dalam menyebarkan

Islam tidak merubah budaya lama, tetapi hanya memberikan muatan

ajaran Islam terhadap tradisi yang berkembang, seperti seni wayang,

haulan, sekatenan, dan lain-lain; keempat, melalui sarana pendidikan.

Para ulama dalam menyebarkan Islam mendirikan lembaga pendidikan

Islam, di Jawa Wali Songo mendirikan pondok pesantren dalam rangka

mendidik kader-kader da’i untuk menyebarkan Islam, bahkan pesantren

yaitu  satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap

pengaruh gelombang modernisasi. Kebanyakannya lembaga pendidikan

lenyap tergusur oleh ekspansi system pendidikan umum atau sekuler.

Pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan system

pendidikan modern ; di Aceh para ulama mendirikan lembaga

pendidikan Islam seperti dayah/meunasah, di Minang Sumatera Barat

para imam/ulama mendirikan surau sebagai wadah mendidik anak-anak

muslim.Tradisi madam/merantau bagi orang Banjar, dipengaruh beberapa

faktor, yaitu: Pertama, dipicu perang Banjar melawan tentara

Belanda yang berkepanjangan dan orang Banjar menderita kalah;

kedua, akibat pajak individual yang tinggi dikenakan oleh penjajah

Belanda terhadap orang Banjar, sehingga mereka menjadi miskin;

ketiga, sebab  factor undangan Sultan Kutai Kartanegara Kalimantan

Timur dan Kesultan Siak Riau; Keempat, sebab  factor ekonomi/

dagang sehingga orang Banjar mencari daerah tertentu sebagai tujuan

madam/berdagang untuk mempertahan hidup, seperti Surabaya,

Surakarta, Riau, Tembilahan, Malaysia, dan lain-lain; Kelima, madam

dalam rangka menuntut ilmu, seperti yang dilakukan M. Arsyad Al￾Banjari merantau Ke Mekkah dan Madinah selama 35 tahun; Keenam,

madam dalam rangka dakwah atau menyiarkan agama Islam. ini 

dilakukan jaringan geneologis Tuan Guru al-Banjari.

Penulis mencoba mengkaji satu persatu faktor yang mempengaruhi

orang Banjar madam atau merantau meninggalkan tanah leluhur

Kesultanan Banjar, yaitu:

Pertama, dipicu perang Banjar melawan tentara Belanda

yang berkepanjangan dan orang Banjar menderita kalah. Dalam De

Banjdermasinsche krijg van 1859-1863, W.A. van Rees menekankan

peranan orang-orang Banjar di baris depan dalam melawan Belanda,

sementara orang-orang Dayak sebagai pejuang-pejuang pembantu

berada di latar belakang. Sebaliknya, dalam buku Ethnographische

Beschrijving der Dajaks, M.T.H. Perelaer (1868) menonjolkan peranan

orang-orang Dayak, sementara orang-orang Banjar diberikan peranan

yang relative tidak begitu penting (Sjamsuddin, 2001: 8).

Namun, menurut Helius Sjamsuddin (2001: 248), perang Orang

Banjar yang diwakili Pangeran Antasari dan orang Dayak yang diwakili

oleh Temanggung Surapati yaitu sama-sama penting dan saling

ketergantungan, untuk melawan penjajah Belanda. Hubungan antara

keluarga Antasari dan keluarga Surapati Saling bergantung. Di satu

pihak keluarga Antasari memandang keluarga Surapati sebagai

pelindung-pelindung dan wakil-wakil mereka dalam memperjuangkan

hak-hak dan tujuan cita-cita perjuangan mereka melawan Belanda. Di

lasin pihak keluarga Surapati memandang keluarga Antasari sebagai

penguasa legitimit dan tradisional yang akan mendukung dan

memberikan hak-hak dan keistimewaan untuk memungut pajak diantaraperlawanan orang Banjar. Selama hampir setengah abad, kedua

bubuhan, keluarga Pangeran Antasari dan keluarga Temanggung

Surapati –dengan segala pasar surut hubungan mereka- erat bersatu

melawan kekuasaan Belanda. Sejarah Kalimantan Selatan dan

Kalimantan Tengah jelas-jelas didominasi oleh sejarah kedua keluarga

besar ini (Sjamsuddin, 2001: 460). Bahkan akibat dihapuskan Kesultan

Banjar tahun 1860 oleh penjajah Belanda dan Perang Banjar, orang

Banjar mulai menyebar ke berbagai daerah Nusantara, seperti ke Kutai,

Pontianak, Riau, Surabaya, Surakarta, Sulawesi, NTB, dan lain-lain.

Kedua, akibat pajak individual yang tinggi dikenakan oleh

penjajah Belanda terhadap orang Banjar, sehingga mereka menjadi

miskin. Bahkan di zaman penjajahan Jepang selam 3,5 tahun orang

Banjar benar-benar menderita secara fisik dan spiritual. Kakek saya

pernah menceritakan sebagian besar hasil panen padi diambil oleh

tentara Jepang, sehingga rakyat benar-benar miskin, bahkan baju dan

celana yang dipakai terbuat dari kain tepung tarigu, itupun sangat sulit

mencarinya. Dalam hal keyakinan orang Banjar sungguh tersiksa secara

batin, yaitu setiap pagi harus menghormati Dewa Matahari menurut

kepercayaan orang Jepang, dan ini bertentangan dengan keyakinan

orang Banjar, bahwa yang wajib mendominasi dan disembah hanya

Allah swt. Di kecamatan Batumandi kabupaten Balangan ada sebuah

kampung yang bernama Timbun Tulang, konon menurut cerita kenapa

dinamai Timbun Tulang, sebab  kampung itu yaitu  tempat

pembuangan jenazah wanita-wanita Banjar yang telah diperkosa oleh

tentara Jepang. sebab  kekajaman tentara Belanda dan Jepang terhadap

orang Banjar, sehingga mereka berusaha madam, yaitu keluar dari

kampung halaman menuju daerah baru yang lebih aman untuk

mempertahan hidup.

Ketiga, sebab  faktor undangan Sultan Kutai Kartanegara

Kalimantan Timur dan Kesultan Siak Riau. Menurut informasi, orang

Banjar madam ke Kesultanan Kutai sebab  adanya undangan dari Sul￾tan Kutai untuk menangani soal perikanan sebab  orang Banjar

dianggap ahlinya dalam perikanan sungai, danau dan rawa luas dan

membantu menyelesaikan konflik perdagangan antara orang Dayak

dan orang Bugis. Dalam konteks ini orang Banjar dalam posisi

berhadapandengan orang Bugis sehingga tidak jarang trjadi konflikantara etnis ini dan menimbulkan pemukiman baru tersendiri dengan

berseberangan sungai (Arbain, 2013: 18-19).

Di samping undangan Sultan Kutai, orang Banjar juga mendapat

undangan dari Kesultanan Siak Riau untuk menetap dan berdomisili

di sana, kebanyakan orang Banjar di Kesultanan Siak Riau bekerja

sebagai petani, nelayan, dan guru agama Islam atau guru ngaji Al￾Qur’an. saat  saya kuliah tahun 1985-1991 di Universitas

Muhammadiyah Surakarta, saya punya teman dari Tembilahan yang

bernama Suhaimi, dia yaitu  keturunan orang Banjar yang sudah

lama menetap di sana, dan menurut ceritanya nenek moyangnya berasal

dari daerah Tariwin kecamatan Batumandi Balangan.

Keempat, sebab  faktor ekonomi/dagang sehingga orang Banjar

mencari daerah tertentu sebagai tujuan madam/berdagang untuk

mempertahan hidup. Adapun tujuan madam orang Banjar, seperti

Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jawa,

Sumatera, Malaysia, dan lain-lain, yaitu bermotif ekonomi.

Gerakan migrasi lanjutan setelah perang Banjar sebenarnya

hanyalah motif ekonomi saja sebab  keberhasilan para imigrant

terdahulu yang show of force sebagai “Haji” yaitu symbol keberhasilan

ekonomi pulang kampung untuk mengajak kerabat yang lain. Kelompok

yang melakukan madam/migrasi ini yaitu para prajurit perang, para

bangsawan Banjar, para haji-haji, dan sebagian para guru agama yang

secara realitas terlibat sebagai bagian pimpinan pemberontakan pada

Belanda (Arabain, 2013: 30). Sebagai contoh H. Usman Amin adalah

pedagang orang Alabio yang sukses di Surabaya, dan tidak lupa dengan

daerah asalnya, bahkan beliau bersama K. H. Jaferi pada tahun 1925

mendirikan Muhammadiyah cabang Alabio.

Dalam warga  Banjar, perjalanan yaitu penting untuk

mendapatkan penghasilan (Tsing, 1998: 261). Mereka tidak segan-segan

melakukan perjalanan ke daerah pedalaman maupun ke luar daerah

untuk mencari kemungkinan penghasilan yang lebih baik. Orang Banjar

biasa melakukan perjalanan ke pedalaman dengan memakai  perahu

menyusuri sungai-sungai untuk mendapatkan barang yang dapat

diperdagangkan. Mereka biasanya akan batunggu (berdiam menunggu)

di persimpangan-persimpangan sungai atau jalan desa untuk menjajakan

barang dagangan. Selain menjajakan barang mereka juga membelibarang-barang produksi yang dibawa atau ditawarkan oleh penduduk

pedalaman untuk kemudian dijual ke kota (Alfisah, 2013: 99).

Sejak dibukanya jalur perdagangan yang melewati Banjarmasin

pada kurun niaga serta dijadikannya Banjarmasin sebagai tempat

persinggahan bagi pedagang-pedagang asing, orang Banjar mulai

memiliki orientasi kosmoplit. Perjalanan ke luar daerah banyak

dilakukan baik untuk kepentingan ekenomi perdagangan maupun untuk

menunaikan ibadah haji. Banjar kemudian juga dikenal sebagai

warga  dengan tradisi madam (merantau) (Potter, 2000: 370).

Tradisi madam orang Banjar ini menurut Salim (1996: 239) juga

yaitu  suatu bukti lemahnya ikatan warga  Banjar pada tanah

dan keluarga. Tercatat dalam sejarah migrasi, orang Banjar pernah

menjadi salah satu dari empat suku dengan intensitas migrasi paling

tinggi, setelah Minangkabau, Bugis dan Batak (Basri, 1988: 47).

Dalam sejarah Banjar, terjadi beberapa kali gelombang migrasi

yang dilakukan oleh orang-orang Banjar. Baik migrasi lokal, regional

maupun lintas Negara di Semananjung Melayu. Pada masa penjajahan

Belanda, para pedagang Banjar mengalami proses penurunan sebab 

kebijakan politik dan ekonomi Belanda tidak memihak dan me￾nguntungkan pedagang muslim Banjar. Monopoli serta diskriminasi

ekonomi yang dilakukan penguasa belanda telah menyebabkan

pedangang Banjar semakin terdesak oleh para pedagang asing

khususnya Cina yang mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah

Belanda. Keadaan ini diperparah dengan adanya kebijakan rodi serta

pajak yang ditetapkan pemerintah Belanda yang menyebabkan ekonomi

penduduk terpuruk. Sebagian di antara mereka memutuskan untuk

migrasi ke luar daerah, diantaranya ke Semenanjung Tanah Melayu.

Banyak penduduk khususnya dari Hulu sungai melakukan eksodus ke

pesisir timur Sumetera seperti Jambi, Tembilahan dan Sapat. Di

wilayah-wilayah baru, mereka biasanya membuat komunitas Banjar

yang baru seperti Nyamplungan di Surabaya. Jayengan di Solo,

Tambilahan di Riau, Tungkal di Jambi, Gorontalo, Sapat, Batu Pahat

dan Pulau Pinang di Malaysia (Abdussami, 1996: 115).

Kelima, madam dalam rangka menuntut ilmu, seperti yang

dilakukan M. Arsyad Al-Banjari merantau ke Mekkah dan Madinah

selama 35 tahun, bahkan, saat  pulang ke Banjarmasin, beliau singgah

di Jakarta dan meluruskan arah kiblat mesjid yang ada di Jakarta.Menurut Azyumardi Azra, Islamiasi keberagamaan orang Banjar sangat

dipengaruhi oleh M. Arsyad al-Banjari. Peranan penting M. Arsyad al￾Banjari terletak bukan hanya pada keterlibatannya dalam jaringan

ulama, melainkan juga pada kenyataan bahwa dia yaitu  ulama

pertama yang mendirikan lembaga pendidikan Islam (pondok

pesantren) serta memperkenalkan gagasan keagamaan baru ke

Kalimantan Selatan (Azra, 1995: 251).

Di samping M. Arsyad al-Banjari ada tokoh lain yang mirip

perannya, yaitu K. H. Jaferi pendiri Muhammadiyah Alabio

(Kalimantan Selatan) yaitu madam ke Mekkah untuk menuntut ilmu.

Setelah pulang ke tanah kelahirannya di Alabio, dia menjadi ulama

modernis sehingga pada tahun 1925 dia mendirikan Muhammadiyah.

Sejak itulah H. Japeri, guru Ridwan dan Pimpinan Muhammadiyah

Alabio berusaha keras untuk mencetak kader Muhammadiyah yang

handal dengan mendirikan sekolah Muhammadiyah. Sekolah

Muhammadiyah yang pertama berdiri di Alabio pada tahun 1926 dengan

muridnya kurang lebih 350 orang yang bertempat di rumah H. Saman,

H. Matarif, H. Saaluddin, H. Masdar dan H. Dachlan Abdullah di

Kampung Teluk Betung (Azhari, 1977: 27 dan Sahriansyah, 2007: 2).

Keenam, madam dalam rangka dakwah atau menyiarkan agama

Islam. ini  dilakukan jaringan geneologis Tuan Guru al-Banjari.

Jaringan ini dimaksudkan yaitu jaringan Tuan Guru Banjar di tanah

rantau dengan Tuan Guru di Banjar yang intens dilakukan pada periode￾periode berikutnya, khususnya Kalimantan dan luar Kalimantan, baik

oleh murid-murid Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari maupun

keturunannya. Fakta ini memberikan informasi bahwa jaringan ini tidak

semata melakukan kontak dan interaksi dengan saudara yang merantau

tetapi diikuti dengan mencar pekerjaan hingga menikahi perempuan

tempatan. Situasi ini sangat jelas jaringan geonolgis Tuan Guru Banjar

membentuk gurita gerakan dakwah Islam yang berpijak pada ajaran

Sabilal Muhtadin karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari hingga

terlihat ada pengaruh pada tradisi Islam warga  tempatan.

Jaringan geneologis