kerajaan banjar 1
By arwahx.blogspot. com at September 13, 2023
kerajaan banjar 1
Batamat Al-Qur’an
Batamat Al-Qur’an yaitu budaya orang Banjar yang
dilakukan saat seseorang menamatkan belajar al-Qur’an sebanyak
30 juz. Batamat Al-Qur’an juga selalu dilakukan oleh umat Islam Banjar
saat bulan Ramadhan setiap tahun, setelah para jemaah masjid atau
lanngar mengadakan tadarusan membaca Al-Qur’an sebulan penuh dan
malam hari raya Idul Fitri diadakan batamat Al-Qur’an. Di samping
itu, batamat Al-Qur’an juga sering dilakukan saat seseorang mau
melaksanakan perkawinan, baik mempelai laki-laki mapun perempuan.
Semenjak tahun 1990 an dengan adanya TK Al-Qur’an BKPRMI
budaya khataman Al-Qur’an (batamat Al-Qur’an) diadakan secara
meriah dengan gabungan wisuda santri/wati lulusan TKA dan TPA yang
di tempatkan di Masjid Jami’ atau Agung di setiap Kota atau Kabupaten
yang ada di Kalimantan Selatan.
Batamat Al Qur’an yaitu sebuah tradisi agamis yang telah lama
dipertahankan oleh warga Banjar, Kalimantan Selatan. Suku
Banjar, terkenal dengan warga nya yang sangat agamis, sehingga
seluruh sendi kehidupan mereka selalu berlandaskan keagamaan.
Batamat Al Qur’an yaitu salah satu tradisi agamis yang
dilaksanakan saat seseorang telah mengkhatamkan membaca Al
Qur’an.
Setiap daerah di Kalimantan Selatan memiliki cara-cara tersendiri
dalam melaksanakan tradisi batamat Al Qur’an. ada perbedaan
pada waktu pelaksanaan, perangkat yang dipakai dan tata cara
pelaksanaan. Sebagian warga melaksanakan batamat Al Qur’an pada saat acara pernikahan atau perkawinan. Biasanya mempelai
(pengantin) yang melakukan batamat Al Qur’an. Tapi ada juga
warga yang melakukan pada bulan-bulan tertentu misalnyaBulan
Mulud (Rabiul Awal), Namun semuanya merujuk pada kegiatan utama
yaitu membaca Al Qur’an pada bagian akhir (Juz Amma).
Di Desa Simpang Mahar, Kecamatan Batu Benawa, Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, tradisi batamat Al Qur’an biasanya dilaksanakan
pada saat merayakan Hari Raya Iedul Fitri atau Iedul Adha. Lazimnya
dilaksanakan pada hari raya tiga hari atau empat hari (hari ketiga atau
keempat lebaran) dengan tempat di Masjid Al Amin, Simpang Mahar.
Batamat Al Qur’an dapat diikuti oleh siapa pun baik anak-anak maupun
sudah dewasa. Tapi pada umumnya yang mengikuti yaitu anak-anak
yang telah mengkhatamkan membaca Al Qur’an yang mereka lakukan
setiap malam.
Pada saat lebaran kemaren, telah dilakukan acara Batamat Al
Qur’an di Simpang Mahar pada saat hari raya tiga hari (hari ketiga
lebaran). Sebanyak 15 anak mengikuti kegiatan ini, rata-rata berumur
10 – 12 tahun. Persiapan yang dilakukan yaitu kostum dan perangkat
yang mengikuti sang “pengkhatam”. Kostum bagi anak laki-laki adalah
baju gamis (jubah khas timur tengah) lengkap dengan sorban dan patah
kangkung yang dipakai di kepala. Sedangkan bagi anak perempuan
memakai baju sejenis jubah berenda dan bulang yang dipakai di kepala.
Kostum ini yaitu pakaian yang biasa dipakai jemaah haji saat mereka
pulang ke kampung halaman.
Selain kostum, juga disiapkan payung yang dibuat dari pelepah
rumbia atau bambu. Payung diberi hiasan kertas warna-warni dan
adakalanya tiang payung yaitu bambu yang berisi telur rebus yang
telah matang. Selain itu juga disiapkan balai (miniatur masjid) yang
dibuat dari pelepah rumbia, yang diberi hiasan dengan kertas warnawarni. Di dalam balai ditempatkan ketan putih dan ketan merah, telur,
dan makan-makanan kecil yang digantung. Untuk menambah semarak
balai, maka juga ditancapkan beberapa bendera dari kertas dan uang.
Balai disangga dengan dua potong pelepah rumbia agar dapat di usung
saat prosesi arak-arakan.
Prosesi dimulai saat anak keluar dari rumah untuk menuju masjid.
saat di muka pintu, sang anak akan disambut dengan shalawat yang diiringi dengan lemparan baras kuning(beras kuning) bercampur uang
koin ke halaman rumah. Anak-anak lain yang sudah menunggu di
halaman rumah, akan memperebutkan uang koin yang dilemparkan
ini . Selanjutnya sang anak akan diarak sambil dipayungi beserta
rombongan lain menuju masjid. Di bagian depan arak-arakan, sang
“pengkhatam” berjalan sambil dipayungi diiringi oleh balai yang
diusung di belakangnya masing-masing.
Kemeriahan akan terasa lagi saat rombongan arak-arakan ini
tiba di masjid. Mereka akan disambut dengan shalawat dan hamburan
baras kuning. Acara batamat Al Qur’an dilaksanakan di dalam masjid,
sedangkan balai yang dibawa dari rumah di tempatkan di halaman
masjid. Hal yang unik dan ditunggu-tunggu para kerabat dan warga
yang berhadir pada acara ini yaitu saat-saat memperebutkan
semua makanan dan uang yang ditempatkan di dalam balai. Saking
berharapnya, setiap anak (tak terkecuali yang dewasa) sudah
mengelilingi balai saat diturunkan di halaman masjid. Setiap orang
siap-siap menjulurkan tangannya ke arah makanan dan bendera uang
yang siap terlepas dari balai. Jika salah seorang sudah memulai
mencabut bendera uang dengan tiba-tiba, maka serentak anak-anak dan
orang tua berebut tanpa dapat dicegah lagi. Mereka akan
memperebutkan semua makanan, ketan, telur, makanan ringan, bendera
kertas, yang menjadi target utama biasanya yaitu bendera uang dalam
bentuk seribuan. Kadang-kadang saking ramainya, beberapa balai akan
hancur akibat terhimpit, bahkan bisa-bisa sampai tertindih.
Perebutan makanan dan bendera balai, biasanya terjadi pada saat
pembacaan Surah Al Fiil. Entah apa hubungannya dengan bunyi ayat
yang dibaca, namun pada bacaan “Alam tarakaii fafa ‘ala ...”, maka
sontak mereka yang telah siap dengan tangan menjulur akan menarik
dan mengambil semua makanan dan bendera yang ada pada balai. Kalau
dalam bahasa Banjar, “tarakai” artinya yaitu rusak atau hancur, maka
apakah ini terkait dengan rusaknya atau hancurnya balai akibat saling
berebut.
Pembacaan Al Qur’an diteruskan secara bergantian oleh
“pengkhatam”, dari Surah adh-Dhuha sampai pada Surah AN Naas,
kemudian dilanjutkan lagi dengan membaca Surah Al Fatihah di bagian
depan Al Qur’an. ini dimaksudkan agar membaca Al Qur’an terusmenerus dilakukan walaupun telah mengkhatamkan Al Qur’an.Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa khatam Al Qur’an, dan
selanjutnya warga yang hadir dipersilakan untuk mendatangi
rumah yang memiliki hajat untuk menyantap hidangan yang disediakan,
tentunya hidangan khas Banjar, seperti soto Banjar, nasi sop, masak
habang, ataupun masakan lainnya. Tidak ketinggalan ketan putih dan
ketan merah.Inilah sekilas tradisi Batamat Al Qur’an yang setiap tahun
selalu diadakan warga Simpang Mahar di Hulu Sungai Tengah.
Batumbang Apam
Masjid al-A’la yang terletak di kampung Jatuh kecamatan
Pandawan kabupaten Hulu Sungai Tengah, tercatat sebagai mesjid tertua
kedua, setelah masjid keramat Pelajau. Berdasarkan catatan dan
informasi yang didapat, masjid ini didirikan sekitar pertengahan abad
ke-17 M di sebidang tanah wakaf yang berasal dari keturunan Penghulu
Muda Yuda Lena, terletak di desa Benua Budi simpang tiga sungai
yang bernama Batang Banyu Jatuh yang mengalir menuju Hilir Banua
dan cabangnya bernama sungai Ringsang menuju Kampung Pematang
(Direktori Masjid Bersejarah di Kalimantan Selatan, 2009: 57).
Salah satu kegiatan yang rutin terlaksana di masjid al-A’la Jatuh
ini yaitu ‘Batumbang Apam” bagi anak-anak kecil yang diadakan
setiap hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Para penziarah berdatangan
dari berbagai pelosok daerah Banua Anam (Rantau, Kandangan,
Amuntai, Barabai, Tanjung dan Paringin) dengan memakai mobil
pribadi atau mobil taksi secara perorangan maupun rombongan, dengan
membawa alat sesajian berupa wadai apam habang (merah) dan putih.
Kemudian, wadai apam ini ditusuk dengan lidi setinggi anak yang
mau diupacarai batumbang apam ini . Setelah acara batumbang
apam selesai, kemudian kaum atau tokoh agama membaca do’a selamat,
agar anak yang diupacarai ini hidupnya berkah, panjang umur dan
menjadi anak shaleh.
Secara sosial dan kebaikan, banyak hal yang positif bisa diambil
bersama dari kegiatan batumbang apam ini. Paling tidak di hari yang
dilarang oleh Rasulullah SAW untuk kita bersedih dan diperintahkan
bersuka cita, maka di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha inilah kita
berbagi kecerian dengan makan bersama, shadaqah ke orang lain,
berdo’a bersama untuk kebaikan kita semua. Acara terakhir pembacaan
doa dan dilanjutkan dengan makan-makan.
Batumbang bisa diangap sebagai upacara pemberkatan, khususnya
bagi anak-anak, yang biasanya terjadi pada hari kedua atau ketiga hari
raya haji. Oleh sebab itu, upacara ini dapat disamakan dengan upacara
ulang tahun bagi si anak, dan biasanya umur si anak memang dihitung
berdasarkan beraka kali ia melewati hari raya haji. Unsur-unsur dalam
kegiatan ini sangat bernuansa Islam sekali, yaitu pembacaan surah
Yasin, sering kali ada pembacaan shalawat, yang biasa dipakai untuk
mengeluelukan keberangkatan mempelai pria dari rumahnya dan
kedatangannya di rumah pengantin wanita untuk disandingkan, dan
saat menyambut anak yang akan batamat di rumah upacara. Unsur
lain dari batumbang ini ialah saji berupa apam atau cucur, biasanya
dua warna, yaitu berwarna merah (sebenarnya kecoklatan, sebab warna
gula aren yang menjadi campurannya) dan berwarna putih.
Saji berupa apam mungkin berupa pokok, sehingga sering ada
ungkapan batumbang apam. Untuk menyangkut apam dan cucur,
sebuah pelepah kelapa dipotong daunnya dan disisakan lidi-lidinya
sepanjang kira-kira sejengkal, yang tingginya dibuat setinggi anak yang
diupacarakan. Si anat berdiri sambil memegang pelepah kelapa yang
telah diisi dengan apam dan cucur tadi, sementara orang alim membaca
shalawat, tepat seperti saat menyambut mempelai untuk bersanding,
sambil menghamburkan beras kunyit disertai uang logam. Orang
dewasa dan anak-anak yang hadir menyahuti salawat beramai-ramai,
dan anak-anak sibuk memperebutkan uang logam yang dihamburkan.
Kegiatan diteruskan dengan membaca surah Yasin, dan saat
pembacaan surah Yasin sampai pada akhir kalimat salamun qawlan
min rabbi al-rahim, yang diulang tiga kali, si anak mengambil apam
dan cucur dan melemparkannya ke arah teman-temannya yang segera
memperebutkannya pula. Pelepah kelapa yang berisi sisa apam dan
cucur diambil alih dan si anak duduk, dan membaca surah Yasin
diteruskan sampai selesai. Kegiatan ini diakhiri dengan pembacaan doa
selamat dan makan bersama, yang terakhir antara lain dengan
menghidangkan apam dan cucur, sering juga nasi ketan dan inti.
Di Martapura batumbang selalu yaitu bagian ari upacara
bapalas bidan dan mandi upacara (pengantin atau wanita hamil), dan
selalu dilakukan guna memberkati anak yang baru disunat, baik lakilaki maupun perempuan. Pada mandi upacara kawin dan hamil.
Kegiatan batumbang biasa dilakukan sesudah selesai mandi, tetapi
dalam suatu laporan yang disampaikan kepada saya, ada kesan
bahwa kegiatan batumbang dilakukan sebelumnya, dan berfungsi
sekaligus menyiapkan banyu Yasin, yang akan dipakai sebagai salah
satu air keramat untuk mandi. Pada kegiatan batumbang bagi orang
dewasa ini, pelepah kelapa tidak dipakai , melainkan apam dan cucur,
merah dan putih, diletakkan dalam piring dan dipamerkan saat
upacara. Kegiatan membaca selawat dilakukan saat si calon mempelaiatau wanita hamil itu turun dari rumah dan saat naik kembali ke
rumah setelah selesai mandi. Menghamburkan beras kunyit dan uang
logam juga dilakukan dan anak-anak juga ramai memperebutkan uang
logam ini . Tetapi, setahu saya, melempar-lemparkan apam dan
cucur tidak ada. Dengan ditumbangi, seorang anak akan lebih kuat
semangatnya dan seorang wanita telah siap untuk menghadapi tahun
baru hidupnya. (Akh. Fauzi Aseri, dkk., 2009: 364-6).
Kata batumbang mungkin sudah tidak asing lagi orang Hulu
Sungai, pahuluan, batumbang yaitu sebuah acara yang dilakukan
pada hari menjelang hari raya atau pada malam hari raya. Acara ini
yaitu sebuah acara selamatan yang dilakukan oleh seseorang
saat ingin menyambut hari raya atau saat menjelang berakhirnya
bulan puasa ramadhan, acara ini pun hanya diakhiri oleh para tetangga
atau jiran sekampung saja tidak mengundang keluarga atau kerabat
yang jauh. Acara ini biasanya dilakukan pada saat selepas shalat tarawih
atau setelah shalat Id pada hari raya.
Batumbang ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap
tahun pada saat bulan puasa ramadhan, sebab acara ini hanya ada
khusus pada bulan ramadhan dan itu terjadi hanya setahun sekali maka
makanan yang dihidangkan pada saat acara ini pun khusus berbeda
dari acara selamatan yang dilakukan pada hari biasa. makanannya
barupa makanan yang berbahan dasar dari tepung. Makanan ini sering
di sebut warga sekitar dengan sebutan apam, makanan inilah yang
menjadi satu-satunya menu utama dalam acara batumbang, sebab
dalam acara ini hampir tidak ada makanan lain yang disajikan selain
dari apam ini walaupun ada sesekali makanan lain yang disajikan tetapi
ini biasanya jarang sekali terjadi.
Acara yang dilaksanakan pada saat batumbang ini berupa : pertama
yaitu pembacaan shalawat atas nabi Muhammad saw, kedua
pembacaan do’a dua selamat yang ketiga pembacaan do’a haul atas
permintaan tuan rumah sesuai dengan siapa yang ingin dihaulkan, dan
penutup atau yang terakhir yaitu makan. Jadi ini sebagai uraian dari
acara batumbang yang biasa dilakukan oleh warga Hulu Sungai
pada sata bulan puasa ramadhan dan ini akan terus diwariskan
kepada anak cucu orang-orang keturunan Hulu Sungai (Muslimedia
News, “Batumbang Apam Tradisi Islam Banjar”, diakses pada tanggal
20 April 2015).
C Baayun Maulid
warga Banjar mempunyai tradisi unik setiap kali merayakan
Maulid Nabi Muhammad SAW yaitu perayaan adat baayun maulid. Baayun
berarti berayun sedangkan maulid yaitu hari lahir sehingga baayun maulid
dapat diartikan berayun di hari kelahiran nabi Muhammad SAW. Tetapi
bukan hanya sekedar berayun-ayun saja sebab tradisi ini sarat akan nilai
sejarah dan budaya. Bagi warga Banjar khususnya bagi mereka yang
tinggal di Rantau, Kabupaten Tapin, perayaan adat ini sangatlah penting
sebab menunjukkan identitas mereka sebagai orang Banjar.
Baayun maulid yaitu perpaduan budaya antara budaya Banjar
dengan agama Islam. Menurut penuturan salah satu warga, perayaan ini
yaitu warisan dari nini bahari yang artinya warisan dari nenek
moyang dan sudah dilaksanakan sejak dulu kala bahkan jauh sebelum
agama Islam masuk di tengah-tengah warga Banjar. Pada mulanya
tradisi baayun maulid berawal dari tradisi baayun anak yaitu sebuah tradisi
pemberian nama dan mendoakan sang anak agar menjadi anak yang
berbakti kepada kedua orang tuanya. Kemudian tradisi ini dalam prakteknya
menjadi sarat akan nilai Islam saat agama ini masuk ke Kalimantan Selatan
dan menjadi agama resmi Kerajaan Banjar. Dalam perkembangannya tradisi
ini dilaksanakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah
sehingga sekarang dikenal dengan tradisi baayun maulid. Tradisi baayun
maulid dilaksanakan di Masjid Keramat, Desa Banua Halat, Kabupaten
Tapin yang mana dipercaya sebagai asal dari tradisi iniSaya beruntung dapat menjadi saksi hidup perayaan baayun maulid
edisi tahun ini yang diselenggarakan pada tanggal 24 Januari 2013.
Menjadi saksi ribuan orang yang tumpah ruah di lokasi pelaksanaan
acara ini yang mana diperkirakan 5000 peserta yang mendaftar,
belum lagi ditambah dengan keluarga yang menemani para peserta
sehingga acara baayun maulid benar-benar ramai dan meriah.
Berdasarkan pengumuman dari panitia, para peserta tidak hanya datang
dari Kalimantan Selatan saja namun juga berasal dari luar provinsi
seperti dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Riau.
Ayunan yang dipakai saat acara baayun maulid
Tampak ribuan ayunan dari sarung yang telah dihiasi janur dan
kain warna-warni mendominasi lokasi perayaan yang disediakan oleh
panitia. Panitia acara menyediakan beberapa lokasi untuk
menggantungkan ayunan yang posisinya tidak jauh dari Masjid
Keramat. Mereka memisahkan peserta balita dan anak-anak dengan
peserta orang tua agar mudah mengaturnya. Selain itu ditempel pula
nomer urut agar para peserta tidak kesulitan saat mencari ayunan
mereka.Peserta acara baayun maulid ini sebenarnya bebas. Semuanya bisa
mendaftar dan mengikutinya dengan membayar uang sebesar Rp.
60.000,- jika membawa sarung sendiri atau Rp. 100.000,- jika tidak
membawa sarung. Tetapi pada umumnya yang mengikuti tradisi ini
yaitu anak-anak baik yang masih bayi hingga balita dan para orang
tua dari bapak-bapak atau ibu-ibu sampai nenek-nenek atau kakekkakek. Bagi anak-anak yang mengikuti acara ini, diharapkan mereka
dapat menjadi anak yang berbakti dan meneladani sifat-sifat Rasulullah
SAW saat besar nanti. Sedangkan bagi para orang tua, umumnya yang
mengikuti acara ini yaitu mereka yang punya nazar. Contohnya adalah
“ada yang sakit kemudian dia bernazar jika sembuh akan baayun maulid
maka dia harus melaksanakannya nazarnya ini ,” jelas Nurul yang
yaitu warga setempat.
Salah satu kearifan lokal yang masih tampak di acara baayun
maulid yaitu adanya sesaji yang berisi telur, garam, kelapa, bunga,
dan benda-benda lainnya yang diletakkan di depan sebuah ayunan besar.
ada pula beberapa buah dupa yang telah dinyalakan ikut diletakkan
di tempat yang dengan sesaji sehingga di sekitar ayunan besar tercium
bau dupa.Banyak warga yang hadir antre untuk naik ke ayunan ini
sehingga di sekitar ayunan besar selalu padat dipenuhi warga yang
ingin duduk di sana. Mereka dapat meminta panitia untuk
mengabadikan momen berharga ini kemudian mengambil hasil
fotonya setelah membayar tarif foto yang sudah ditentukan atau
mengabadikannya sendiri dengan kamera mereka.
Salah satu hal yang menambah kemeriahan baayun maulid adalah
kehadiran para pedagang yang menjajakan barang dagangan mereka
masing-masing kapada para penggunjung. Banyak warga yang dudukduduk di warung sembari menikmati makanan dan minuman yang
mereka pesan. Kehadiran para pedagang ini bagaikan oase di
tengah padang pasir sebab para pengunjung dapat beristirahat sejenak
di tengah-tengah keramaian dan di bawah teriknya mentari. Sebagian
orang ada yang sekedar membeli kue khas Banjar yang akan dimakan
setelah acara pembacaan doa selesai atau membeli minuman untuk
membuang dahaga.Rangkaian acaranya sendiri sebenarnya sudah dilaksanakan sehari
sebelum maulid nabi. Berdasarkan informasi dari Nurul, sore sebelum
hari pelaksanaan, warga Desa Banua Halat menyiapkan sesajian
yang dipakai selama acara berlangsung dan malamnya diadakan
pengajian di Masjid Keramat. Keesokan harinya, warga yang
menjadi peserta sudah datang pagi-pagi hari sebab jam 07.00 Wita
acara baayun maulid sudah dimulai. Acara dimulai dengan pengajian
di dalam masjid. Bacaan ayat suci Al-Quran dan sholawat nabi
bergantian terdengar dari dalam masjid. Para peserta bersama
keluarganya menanti puncak acara dengan duduk-duduk di sekitar
ayunan mereka dengan beralaskan koran. Puncaknya yaitu saat
pembacaan doa selesai serentak para peserta mengayun-ayunkan
ayunan mereka masing-masing. Saat momen ini berlangsung, suka
cita tampak terlihat jelas di wajah semua orang yang mengikuti acara
baayun maulid. Sesaat kemudian ada yang melempar koin yang
langsung menjadi rebutan anak-anak begitu menyentuh tanah. Setelah
puncak acara selesai sebagian besar peserta langsung mencopot ayunan
yang mereka pakai sebelumnya. Ayunan yang dibawa pulang akan
dipasang kembali bagi yang anak-anak sedangkan bagi orang tua
ayunan ini akan disimpan.Walaupun banyak yang memilih untuk mencopot ayunan kemudian
langsung pulang ke rumah ada juga warga yang memilih bersantai
terlebih dahulu bersama keluarga mereka. Mereka menikmati wadai
atau jajanan bahkan ada sebuah keluarga yang membuat lingkaran
kemudian berdoa bersama dan begitu selesai berdoa mereka dengan
lahapnya menyantap makanan yang mereka bawa dari rumah. Beberapa
warga asik mengobrol dan bersenda gurau menikmati kebersamaan
sembari menanti lokasi acara menjadi tenang sebelum mereka pulang
Madihin
Kesenian madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut,
bedanya ada pada cara penyampaian syairnya. Dalam lamut syair
yang disampaikan berupa sebuah cerita atau dongeng yang sudah sering
didengar dan lebih mengarah pada seni teater dengan adanya pemain
dan tokoh cerita. Sedangkan lirik syair dalam madihin sering dibuat
secara spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar
yang menghibur dengan nasihat-nasihat yang bermanfaat.
Menurut berbagai keterangan asal kata madihin dari kata madah,
sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia sebab ia menyanyikan syairsyair yang berasal dari kalimat akhir bersamaan bunyi. Madah bisa
juga diartikan sebagai kalimat puji-pujian (bahasa Arab) ini bisa
dilihat dari kalimat dalam madihin yang kadangkala berupa puji-pujian.
Pendapat lain mengatakan kata madihin berasal dari bahasa Banjar
yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga
bisa dibenarkan sebab isi dari syairnya sering berisi nasihat.
Asal mula timbulnya kesenian madihin sulit ditegaskan. Ada yang
berpendapat dari kampung Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan.
Dari Kampun Tawia inilah kemudian tersebar keseluruh Kalimantan
Selatan bahkan Kalimantan Timur. Pemain madihin yang terkenal
umumnya berasal dari kampung Tawia. Ada juga yang mengatakan
kesenian ini berasal dari Malaka sebab madihin dipengaruhi oleh syair
dan gendang tradisional dari tanah semenanjung Malaka yang sering
dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.Cuma yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam
semua syairnya yang berarti orang yang memulainya yaitu dari suku
Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan
bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin
telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar lahirnya
dipengaruhi kasidah.
Pada waktu dulu fungsi utama madihin untuk menghibur raja atau
pejabat istana, isi syair yang dibawakan berisi puji-pujian kepada
kerajaan. Selanjutnya madihin berkembang fungsi menjadi hiburan
rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen,
memeriahkan persandingan penganten dan memeriahkan hari besar
lainnya.
Kesenian madihin umumnya digelarkan pada malam hari, lama
pergelaran biasanya lebih kurang 1 sampai 2 jam sesuai permintaan
penyelenggara. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan
terbuka agar menampung penonton banyak, sekarang madihin lebih
sering digelarkan di dalam gedung tertutup.
Madihin bisa dibawakan oleh 2 sampai 4 pemain, apabila yang
bermain banyak maka mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan
syair, saling bertanya jawab, saling sindir, dan saling kalah mengalahkan melalui syair yang
mereka ciptakan. Duel
ini disebut baadu
kaharatan (adu
kehebatan), kelompok
atau pemadihinan yang
terlambat atau tidak bisa
membalas syair dari
lawannya akan
dinyatakan kalah. Jika
dimainkan hanya satu orang maka pemadihinan
ini harus bisa mengatur rampak gendang dan suara yang akan
ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair.
Pemadihinan secara tunggal seperti seorang orator, ia harus pandaimenarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang
yang memukau dengan irama yang cantik.
Dalam pergelaran madihin ada sebuah struktur yang sudah baku,
yaitu:
1. Pembukaan, dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang
diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun
ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang
akan dibawakan nantinya.
2. Memasang tabi, yakni membawakan syair atau pantun yang isinya
menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih
dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran
nantinya.
3. Menyampaikan isi (manguran), menyampaikan syair-syair yang
isinya selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan
rumah, sebelumnya disampaikan dulu sampiran pembukaan syair
(mamacah bunga).
4. Penutup, menyimpulkan apa maksud syair sambil menghormati
penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup.
Saat ini pemadihin yang terkenal di Kalimantan Selatan adalah
John Tralala dan anaknya Hendra. (Anak Sultan, diakses pada tanggal
20 Januari 2015).Madihin dimainkan dengan membacakan syair. Syairnya sendiri
yaitu pantun, yang berirama A-A-A-A. Hebatnya pemadihin,
syairnya jarang disiapkan, gak ada catatan, contekan, apalagi main
lipsync, tapi lebih ke spontanitas sesuai dengan kondisi dan situasi
saat madihin main, sehingga dalam madihin sangat tampak suasana
faktual, aktual dan komunikatif dengan penonton. Kadang
mengomentari kondisi penonton, yang konyol ada juga yang
mengomentari kumis salah satu pejabat yang nonton, atau malah
kemaren malam itu malah mengomentari panitia yang tidak
menyediakan kipas angin, sehingga pemadihinan kepanasan, yang
sontak memancing tawa penonton.
Walaupun penuh humor khas banjar, madihin selalu disisipkan
nasehat-nasehat. Contohnya bila ada kawinan, diselipkan nasehatnasehat perkawinan kepada kedua mempelai. Kalau memperingati hari
guru, isinya nasehat-nasehat tentang pendidikan. Kalau hari pahlawan,
isinya tentang perjuangan. Tapi tetap, selalu dengan ciri khas humor
yang membuat penonton tak akan bosan mendengar madihin.
Contohnya neh: Nasehat perkawinan
Laki bagawi iringi dua rastu / Suami bekerja, iringi
doa restu
supaya bagawi kada taganggu / supaya bekerja tidak
terganggu
bulik ka rumah kira-kira pukul satu / pulang ke rumah kirakira jam satu
jaga di pintu wan bari sanyum dahulu / jaga di pintu dan beri
senyum dahulu
Kalau yang ini nasehat buat anak sekolah
Amun balajar jangan angin-anginan / kalau belajar jangan
angin-anginan
bahanu rancak, bahanu kada mangaruwan / kadang sering,
kadang tidak karuanBuku mambuku pina bahilangan / buku-buku sering
kehilangan
bahimad balajar bila handak ulangan / rajin belajar jika
mau ulangan
pikiran kalut awak gagaringan / pikiran kalut,
badan sakit-sakitan
bulik ka rumah disariki kuitan / pulang ke rumah,
di marahi orang tua
B. Musik Panting
Beragam kesenian daerah yang dapat kita nikmati di Indonesia,
salah satunya yaitu kesenian daerah musik panting yang berasal dari
Kalimantan Selatan.Hasil dari googling,muter-muter cari bahan
posting,akhirnya dapat info ini icon biggrin Kesenian Musik Panting
Kesenian Musik Panting. Nama musik panting berasal dari alat musik
yang dipakai untuk memainkanya,yaitu alat musik panting.Panting
yaitu alat musik petik yang mempunyai bentuk seperti gabus Arab
dengan ukuran yang lebih kecil.Salah seorang tokoh yang mempunyai
peran penting dalam perkembangan musik panting adalah
A.Sarbani,yang juga yaitu orang yang pertama kali memberi nama
musik panting ini.Musik panting yaitu musik campuran (ansambel), sebab
disajikan bersamaan berbagai jenis alat musik.Biasanya, musik panting memakai 3 buah alat musik panting dan beberapa alat musik
lain seperti gong, biola, suling bambu, tamburin dan sebagainya. Syairsyair yang berupa pantun yaitu salah satu yang menarik dari musik
panting, isi dari pantun ini juga beraneka macam, ada pantun berisi
nasehat sampai pantun jenaka.
Pemain musik panting umunya memakai pakaian banjar, bagi laki-laki memakai peci dan yang perempuan memakai
kerudung.Pemain musik panting memainkan alat musiknya dengan
Posisi duduk, pemain laki-laki duduk bersila dan pemain perempuan
duduk bertelimpuh.
Sebagai kesenian tradisional, musik panting sering di gunakan pada
acara perkawinan dan beberapa acara lain seperti pertunjukan untuk
mempererat silaturahmi antar warga . Musik panting juga
mempunyai fungsi lain yang menarik, yaitu sebagai sarana pendidikan,
sebab syair-syair dalam musik panting banyak berisi tentang nasehat
dan petuah.Satu hal lagi yang menarik dari musik panting, yaitu lagu
yang dinyanyikan tanpa memakai reff, mungkin sebab syairsyairnya memakai pantun icon biggrin Kesenian Musik Panting
1. SEJARAH MUSIK PANTING
Pada awalnya musik panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan
Selatan. Panting yaitu alat musik yang dipetik yang berbentuk
seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik
panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. sebab
semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan lebih
menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka
musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti
babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri,
sebab pada musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang
sangat berperan yaitu panting, sehingga musik ini dinamai musik
panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting yaitu A. SARBAINI. Dan sampai sekarang ini musik panting
terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan
Selatan.
2. TOKOH-TOKOH MUSIK PANTING
Pada umumnya orang yang memainkan musik panting adalah
warga Banjar. Tokoh yang paling terkenal sebagai pemain panting yaitu A. SARBAINI. Dan ada juga group-group musik panting
yang lain. Tetapi sekarang ini seiring dengan adanya perkembangan
zaman group musik panting menjadi semakin sedikit bahkan jarang
ditemui.
3. ALAT-ALAT MUSIK PANTING
Alat-alat musik panting terdiri dari :
a. Panting, alat musik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi lebih
kecil dan memiliki senar. Panting dimainkan dengan cara dipetik.
b. Babun, alat musik yang terbuat dari kayu berbentuk bulat,
ditengahnya ada lubang, dan di sisi kanan dan kirinya dilapisi
dengan kulit yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan
dengan cara dipukul.
c. Gong, biasanya
terbuat dari aluminium
berbentuk bulat dan
ditengahnya ada
benjolan berbentuk
bulat. Gong dimainkan
dengan cara dipukul.
d. Biola, sejenis alat
gesek.
e. Suling bambu,
dimainkan dengan
cara ditiup.
f. Ketipak, bentuknya
mirip tarbang tetapi
ukurannya lebih kecil, dan kedua sisinya dilapisi dengan kulit.
g. Tamburin, alat musik pukul yang terbuat dari logam tipis dan biasanya
warga Banjar menyebut tamburin dengan nama guguncai.
4. CARA PENYAJIAN MUSIK PANTING
Menurut cara penyajiannya panting termasuk jenis musik ansambel
campuran. sebab terdiri dari berbagai jenis alat musik. Dalam
pertunjukan musik panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak 3
buah dan ditambah alat-alat musik lainnya. Musik panting disebut juga
dengan nama japin apabila penyajiannnya diiringi dengan tarian. Musik
panting disajikan dengan lagu-lagu yang biasanya bersyair pantun.
Pantun ini berisi nasehat ataupun pantun petuah, dan pantun
jenaka. Lagu yang dinyanyikan monotor, yang artinya musik ini
dinyanyikan tanpa ada reff. Pemain musik panting memainkan musik
ini dengan cara duduk, para pemain laki-laki duduk dengan bersila,
sedangkan pemain perempuan duduk dengan bertelimpuh. Para pemain
musik panting pada umumnya mengenakan pakaian Banjar. Yang lakilaki mengenakan peci sebagai tutup kepala sedangkan pemain
perempuan memakai kerudung.
5. FUNGSI MUSIK PANTING
Musik panting mempunyai fungsi sebagai :
1. Sebagai hiburan, sebab musiknya dan syair-syairnya yang terkadang
jenaka dan dapat menghibur orang banyak. Oleh sebab itu, musik
panting sering dipakai pada acara perkawinan.
2. Sebagai sarana pendidikan, sebab didalam musik panting syainya
berisi tentang nasehat-nasehat dan petuah.
3. Sebagai musik yang memiliki nilai-nilai agama, sebab musikmusiknya mengandung unsur-unsur agama.
4. Untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama warga warga .
5. Sebagai kesenian musik tradisional yang berasal dari Kalimantan
Selatan. (www. Google, diakses pada tanggal 20 Januari 2015).
Orang Banjar saat ini tidak bisa menghindar dari pengaruh global, di mana segala macam informasi dari berbagai penjuru dunia saling
berpapasan dan berebut menuntut perhatian dan telah masuk ke ruang
kehidupan mereka. Identitas orang Banjar yaitu sebagai pemeluk Islam yang taat dalam beragama dan perantau ulung, apakah budaya
merantau (madam) masih bisa bertahan di era global atau bahkan mulai
terkikis dari akarnya?
Etnis Banjar ialah penduduk sebagian besar wilayah Propinsi
Kalimantan Selatan dan beragama Islam. Etnis Banjar terdiri atas dua
sub etnis, yaitu: etnis Banjar Kuala dan etnis Banjar Pahuluan.
Sedangakan Alfani Daud membagi etnis Banjar menjadi tiga sub etnis,
yaitu: etnis Banjar Kuala, etnis Banjar Batang Banyu dan etnis Banjar
Pahuluan. Etnis Banjar juga tersebar di berbagai daerah Nusantara,
terutama di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,
Riau, Jambi, Malaysia, Surakarta, dan lain-lain.
Orang Banjar memang beragama Islam, dan Islam sejak lama
menjadi ciri warga Banjar, sehingga kasus orang-orang Dayak
masuk Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar” (Daud, 1997:
5).
Pada abad ke-16 Pangeran Samudera membangun Kesultanan
Banjar dan memindahakan pusat kekuasaan lebih ke hilir lagi, yaitu
kota Banjarmasin sekarang ini. Sultan Islam yang pertama ini membawa
serta sebagian penduduk Negara Daha (kelompok Batang Banyu) keibu kota yang baru (Ras, 1968: 439), dan juga dengan sendirinya ada
di antara kelompok Batang Banyu lainnya atau dari kelompok Pahuluan
yang menyusul, meskipun mungkin mula-mula tidak untuk menetap.
Mereka ini dan penduduk yang sudah ada sebelumnya yaitu cikalbekal orang Banjar.
Kesultanan Banjarmasin terletak di tepi Sungai Kuin yang
bermuara ke sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Sungai Martapura.
Kesultanan Banjarmasin pada masa sekarang letaknya di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Tanah di daerah ini berpaya-paya (rawa-rawa) dan
ada banyak sungai yang mengitari wilayah kesultanan pada
Kesultanan Banjarmasin masih berdiri. Kesultanan ini meliputi Tanah
laut di sebelah Selatan, di sebelah timur daerah Gunung Pamaton, ke
utara daerah Sungai Paminggir; serta di sebelah barat meliputi daerah
sekitar aliran sepanjang Sungai Barito.
Pusat pemerintahan Kesultanan Banjarmasin terletak di
Banjarmasin, yang pada abad ke-17 meliputi daerah-daerah Sungai
Barito, Sungai Negara dan Sungai Martapura. Kemudian, kesultanan
ini bertambah luas sehingga pada akhir abad ke-18 meliputi seluruh
selatan dan timur Borneo, yaitu Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai,
Sampit, Kuala Pembuang dan Kotawaringin (Ahyat, 2012: 15-16).
Menurut Andresen seperti yang dikutip Helius Sjamsuddin, tidak
ada satu negeri pun di kepulauanan Indonesia ini yang mempunyai
jumlah haji sebesar Kesultanan Banjarmasin. Hampir setiap desa
ada haji-haji dan mereka yaitu elite agama yang sangat
berpengaruh di kalangan rakyat. Mereka sangat aktif dalam pendidikan
agama…. (Sjamsuddin, 2001: 128).
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di
sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman
massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudra yang kemudian
dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti oleh warga
kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini di-ikuti oleh elite
ibukota, masing-masing diikuti kelompok bubuhannya, dan
demikianlah seterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat
paling bawah.Dengan masuk Islamnya para bubuhan1
, kelompok demi
kelompok, maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah
menjadi identitas orang Banjar dan yaitu cirinya yang pokok,
meski pun pada mulanya ketaatan menjalankan ajaran Islam tidak
merata. Dapat dikatakan pada tahun-tahun permulaan perkembangan
Islam ini , kebudayaan Banjar telah memberikan bingkai dan Islam telah terintegrasikan ke dalamnya. Dengan masuk Islamnya
bubuhan secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai
bagian dari kepercayaan bubuhan. Tidak heran bila saat itu ungkapan
keislaman secara berkelompok lebih dominan bila dibandingkan
iba-dah perseorangan umpamanya. Namun orang Banjar berusaha
belajar mendalami agamanya serentak ada kesempatan untuk itu
sehingga akhirnya orang Banjar secara relatif dapat digolongkan orang yang taat menjalankan agamanya seperti halnya sekarang (Aseri,
2009: 36). Dan sampai saat ini etnis Banjar yaitu penduduk
mayoritas Kalimantan Selatan dan terkenal sebagai umat Islam yang
agamis.
B. Strata Komunitas Banjar
Dalam sosiologi dikatakan bahwa komunitas yaitu sebagai
“warga setempat”, istilah ini menujukkan pada suatu sistem
kekerabatan warga warga dalam satu kesatuan yang saling
berhubungan pada suatu wilayah georafis tertentu dengan batas-batas
tertentu pula. Interaksi sangat luas dan intens yaitu unsure utama
yang menjadi kekerabatan, dibandingkan dengan penduduk atau
warga yang berada di luar wilayahnya.
Komunitas warga pada pembicaraan ini mempuyai lokalitas
tertentu atau memiliki asal-usul keturunan (juriyat) ataupun asal-usul
wilayah tempat tinggal. Walaupun mereka madam (merantau) ke
wilayah lain, akan tetapi pada waktu tertentu mereka akan berkumpul
kembali, misalnya saat mengadakan upacara-upacara tradisional seperti
upacara ritual, upacara perkawinan, upacara haulan, upacaramenyanggar banua (selamatan kampung), atau hari-hari besar
keagamaan yang diharuskan hadir dalam memperingati hari ini .
Kekuatan solidaritas dalam komunitas warga ini terletak pada
warga setempat yang mempunyai tempat tinggal tetap dan
permanen di kampung halaman dengan kebiasaan-kebiasaan dan
perilaku tertentu secara khas, misalnya pada logat bahasa, cara
berpakaian dan sebagainya.
Mengungkap strata sosial warga Banjar dapat dimulai dengan
melihat struktur warga tradisional pada masa kerajaan Banjar. Pada
waktu itu lapisan warga terdiri dari: Raja dan keluarganya, kaum
bangsawan, kaum ulama, pegawai tinggi kerajaan, pedagang (orang
kaya), warga biasa dan orang yang terlibat utang (Maman, 2013;
25-26).
Menurut Ita Syamtasiyah, bahwa susunan warga di
Kasultanan Banjar pada abad ke-19 terbagi atas 4 lapisan. Pertama,
golongan bangsawan, yang yaitu golongan yang berkuasa.
Mereka terdiri atas sultan dan anak keluarganya dengan bergelar
pangeran, putri, ratu, raden, gusti dan andin. Pangeran dan putri
yaitu gelar untuk anak-anak dari pihak ayah dan ibu keturunan raja,
yang pria disebut pangeran dan yang wanita disebut putrid. Bila sudah
menikah, bergelar ratu. Raden yaitu gelar untuk anak seorang
pangeran dengan isteri orang biasa, gusti yaitu gelar yang biasanya
dipakai oleh anak-anak raja yang berasal deri selir, dan andin adalah
gelar untuk anak-anak dari seorang gusti atau raden dengan isteri
keturunan biasa. Golongan ini yaitu golongan yang dihormati
sebab mereka berkuasa.
Kedua, golongan agama, termasuk golongan elite, terutama
mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin agama. Mereka tidak
memiliki kekuasaan politik, tetapi pengaruhnya dalam warga
sangat besar. Di antara mereka ada yang bergabung dalam pemerintahan
kesultanan sehingga mempunyai kekuasaan yang sah dalam kesultanan,
tetapi jumlahnya tidak banyak. Sebagian besar besar golongan agama
tersebar di pedesaan. Mereka hidup di antara rakyat sebagai elite
pedesaan, antara lain, sebagai guru agama, wiraswastawan (seperti
membuat anyam-anyaman tikar dan alat rumah tangga, membuat
perahu), dan pedagang sehingga mereka memiliki kekayaan yang akan
menambah penghormatan dan kepercayaan rakyat kepada diri mereka.Ketiga, golongan penduduk biasa, yang hidup dari perdagangan,
bertani, menangkap ikan, kerajinan tangan, dan sebagainya. Golongan
pedagang sangat besar jumlahnya, di mana sebagian besar memiliki
kekayaan yang cukup. Golongan ini disebut “orang Jaba”, yang terdiri
atas petani, pedagang dan nelayan yang wajib membayar pajak pada
penguasa, baik berupa barang kebutuhan hidup sehari-hari maupun
barang dagangan. Yang juga termasuk “orang Jaba” yaitu orang-orang pendatang yang menetap di beberapa daerah Banjarmasin. Mereka
mendapat kebebasan untuk mencari mata pencaharian dengan ketentuan
bahwa mereka harus membayar pajak dan menyatakan kesetiaannya
pada sultan.
Lapisan warga terakhir, keempat, yaitu golongan pandeling, yaitu mereka yang kehilangan kemerdekaan akibat utang-utang
yang tidak bisa mereka bayar. Biasanya, merekalah yang menjalankan
perdagangan dari golongan saudagar. Bila utang lunas, mereka menjadi
orang-orang yang merdeka, atau disebut mardika. Selain itu, ada
pula golongan budak yang berasal dari nasibnya dan sebagai tawanan
perang, termasuk dalam kategori ini yaitu beberapa orang Dayak di
tanah Dusun yang dijadikan budak oleh orang-orang Banjar sebab
kalah perang. Orang-orang ini juga diperlukan oleh golongan
bangsawan sebagai tenaga kerja di perkebunan-perkebunan, antara lain,
diperkebunan lada (Ahyat, 2012: 56-58 dan Ras, 1968: 620-622).
Namun saat ini lapisan warga Banjar tidak seperti abad ke-
19 ini sudah jauh berbeda. Menurut hemat penulis, bahwa lapisan
orang Banjar saat ini terdiri dari: Pertama, para pejabat pemerintah,
baik sebagai eksekutif, yudikatif dan legislative. Mereka orang-orang
yang berkuasa sebab karir dan dipilih oleh rakyat Banjar melalui
pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.
Kedua, golongan agama, termasuk golongan elite, terutama
mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin agama. Mereka tidak
memiliki kekuasaan politik, tetapi pengaruhnya dalam warga
cukup besar. Golongan agama ini terdiri para ulama, para ustadz yang
mengajar di Pondok Pesantren yang tersebar di Kalimantan Selatan,
guru agama baik yang berstatus pegawai negeri ataupun honor yang
mengajar di Madrasah-Madrasah dari Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), para dosenagama yang mengajar di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, para
da’i dan da’iyah, para guru Ngaji Al-Qur’an dan penghulu.
Ketiga, orang biasa atau warga secara umum. Mereka ini
terdiri dari pedagang, pegawai negeri, karyawan, petani, buruh, nelayan,
TNI, polisi, dan lain-lain. Juga, termasuk orang-orang pendatang dari
berbagai etnis seperti etnis Jawa, Sunda, Madura, Minang, Cina, Arab,
dan sebagainya yang telah menetap di beberapa daerah di Kalimantan
Selatan.
C. Pengertian Tradisi
Secara elementer, tradisi merujuk kepada segala sesuatu yang
ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang. Dalam
ungkapan yang lebih jelas, Al-Jabiri menyatakan, tradisi atau turats
yaitu sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian suatu warga
tertentu yang berasal dari masa lalu, baik masa lalu warga itu
sendiri atau warga lain, dan baik masa lalu itu yaitu masa
yang sangat jauh maupun yang masih dekat (al-Jabiri, 2000: 24). Dalam
pengertian semacam itu, tradisi menyangkut keseluruhan aspek yang
berasal dari masa lalu; yang bersifat maknawi, material, dan mencakup
aspek dalam skala yang bersifat universal, regional, dan lokal.
Definisi yang ditawarkan al-Jabiri, tokoh intelektual kontemporer
dari Maroko itu, cukup menarik untuk diangkat. Sebab, tawaran itu
mengandung netralitas pengertian, dimana pada satu sisi batasan itu
mencakup aspek-aspek yang cukup holistik yang selalu hadir dalam
kehidupan manusia dari satu generasi ke generasi yang lain. Sedang
pada sisi yang lain, sebab keberadaannya yang selalu menyertai
kehidupan, tradisi dapat memiliki nilai yang cukup signifikan (dalam
pengertian obyektif dan subyektif) bagi kehidupan umat manusia
dimana dan kapan saja.
Lahir dan berkembangnya tradisi sangat terkait dengan upaya
manusia untuk menghadapi realitas kehidupan; menyelesaikan segala
persoalan yang dihadapinya. Setiap manusia, komunitas, atau
warga tidak lahir dalam dunia yang hampa budaya, nilai, dan
semacamnya. Mereka lahir dalam dunia yang diwariskan dari generasi
sebelumnya. Dalam kondisi ini, setiap generasi yang lahir (pada
hakikatnya) selalu melanjutkan kegelisahan intelektual generasi
sebelumnya sehingga wawasan pengetahuan dan pengalaman manusiaselalu melebar dan meluas dari zaman ke zaman. Maka tradisi ini
menjadi semacam baru pijakan bagi manusia untuk melangkah ke masa
depan yang lebih jauh. Melalui tradisi, manusia membentuk dan
mengembangkan kehidupan dalam berbagai dimensinya; sosial,
budaya, politik dan sebagainya sehingga kehidupan tidak berhenti pada
suatu titik, tetapi harus berkembang sesuai atau bahkan melampaui
zamannya.
Tradisi dalam arti seperti itu yang telah membentuk dan mewarnai
Islam sepanjang sejarahnya. Keterkaitan tradisi dalam Islam ini
yaitu implikasi logis dari keberadaan Islam sebagai agama yang
memiliki concern yang sangat tinggi terhadap sejarah dan kehidupan
di dunia ini. Sebagaimana kata Fazlur Rahman, Islam yaitu
gerakan aktual pertama yang dikenal dalam sejarah yang memandang
warga secara serius dan menganggap sejarah (tentunya, kehidupan,
pen.) dengan penuh arti. Pandangannya ini didasarkan pada satu
kenyataan bahwa Islam yaitu agama yang memahami pembangunan
atau pemakmuran dunia ini bukan sebagai usaha yang sia-sia atau hanya
sekedar keterpaksaan (pis aller). Namun justu hal itu yaitu tugas
yang “ melibatkan” Tuhan dan manusia secara bersama-sama. Dengan
demikian, Islam memandang kehidupan di dunia ini sebagai sesuatu
kenyataan yang harus dijalani umat manusia secara serius sesuai dengan
nature kehidupan itu sendiri yang pada prinsipnya yaitu
sunnatulah. Mereka tidak dapat lari dari kehidupan, tetapi harus
menghadapinya dan mengembangkannya (Abd. A’la, 2002: 122-123).
Orang Banjar mengenal beberapa tradisi yang senantiasa mereka
jalani terkait dengan usaha menuntut ilmu, menyebarkan agama Islam, maupun usaha dagang. Di antaranya yaitu tradisi madam, yaitu
merantau atau imigrasi ke perbagai daerah Nusantara maupun luar
negeri untuk menuntut ilmu, dakwah Islam, berdagang; atau di era
sekarang kebanyakan orang Banjar merantau ke luar negeri, seperti
Arab Saudi, Malaysia dalam rangka menjadi tenaga kerja.
D. Tradisi Madam
Madam atau merantau yaitu budaya warga yang tinggal
di pingiran sungai atau laut. ini bisa dilihat dari berbagai ras yang
ada di Indonesia, seperti orang Minang, Aceh, Bugis, Jawa, Madura,
Banjar yaitu suku-suku yang terkenal sebagai pelaut, pedagang, dan perantau ulung. Mobilitas kehidupan orang pesisir sangat tinggi, sebab
sikap hidup yang dinamis dan terbuka untuk menerima perubahan.
Menurut catatan sejarah, bahwa orang pesisir yaitu agen
perubahan dari agama Hindu atau Budha ke agama Islam, bahkan
keberagamaan Islam orang pesisir lebih murni dari orang pedalaman.
Kontribusi para pedagang/perantau muslim dalam menyiarkan Islam
di Indonesia sangat dominan.
Ada beberapa cara penyebaran Islam di Indonesia, yaitu: Pertama,
melalui perdagangan oleh pedagang muslim yang berasal dari Arab,
Persia, India, Melayu; kedua, melalui perkawinan, para pedagang
muslim yang sudah menetap di kota-kota, seperti Banda Aceh, Padang,
Medan, Demak, Gersik, Tuban, Makasar, dan lain-lain melakukan
perkawinan dengan penduduk setempat, sehingga terjadi Islamisasi
yang damai; ketiga, melalui ajaran tasawuf atau tarikat, para guru
tasawuf yang berasal dari Persia dan India sangat intens mendakwahkan
ajaran Islam di kalangan penduduk Indonesia, bahkan agama Islam
bisa diterima secara sukarela oleh warga Indonesia, yang nota
benenya beragama Hindu. sebab ajaran tasawuf ada kemiripan dengan
ajaran agama Hindu, seperti uzlah hampir mirip dengan semedi/bertapa,
zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia yang materialis untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga agama Islam mudah diterima.
Di samping itu, para Wali Songo di tanah Jawa dalam menyebarkan
Islam tidak merubah budaya lama, tetapi hanya memberikan muatan
ajaran Islam terhadap tradisi yang berkembang, seperti seni wayang,
haulan, sekatenan, dan lain-lain; keempat, melalui sarana pendidikan.
Para ulama dalam menyebarkan Islam mendirikan lembaga pendidikan
Islam, di Jawa Wali Songo mendirikan pondok pesantren dalam rangka
mendidik kader-kader da’i untuk menyebarkan Islam, bahkan pesantren
yaitu satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap
pengaruh gelombang modernisasi. Kebanyakannya lembaga pendidikan
lenyap tergusur oleh ekspansi system pendidikan umum atau sekuler.
Pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan system
pendidikan modern ; di Aceh para ulama mendirikan lembaga
pendidikan Islam seperti dayah/meunasah, di Minang Sumatera Barat
para imam/ulama mendirikan surau sebagai wadah mendidik anak-anak
muslim.Tradisi madam/merantau bagi orang Banjar, dipengaruh beberapa
faktor, yaitu: Pertama, dipicu perang Banjar melawan tentara
Belanda yang berkepanjangan dan orang Banjar menderita kalah;
kedua, akibat pajak individual yang tinggi dikenakan oleh penjajah
Belanda terhadap orang Banjar, sehingga mereka menjadi miskin;
ketiga, sebab factor undangan Sultan Kutai Kartanegara Kalimantan
Timur dan Kesultan Siak Riau; Keempat, sebab factor ekonomi/
dagang sehingga orang Banjar mencari daerah tertentu sebagai tujuan
madam/berdagang untuk mempertahan hidup, seperti Surabaya,
Surakarta, Riau, Tembilahan, Malaysia, dan lain-lain; Kelima, madam
dalam rangka menuntut ilmu, seperti yang dilakukan M. Arsyad AlBanjari merantau Ke Mekkah dan Madinah selama 35 tahun; Keenam,
madam dalam rangka dakwah atau menyiarkan agama Islam. ini
dilakukan jaringan geneologis Tuan Guru al-Banjari.
Penulis mencoba mengkaji satu persatu faktor yang mempengaruhi
orang Banjar madam atau merantau meninggalkan tanah leluhur
Kesultanan Banjar, yaitu:
Pertama, dipicu perang Banjar melawan tentara Belanda
yang berkepanjangan dan orang Banjar menderita kalah. Dalam De
Banjdermasinsche krijg van 1859-1863, W.A. van Rees menekankan
peranan orang-orang Banjar di baris depan dalam melawan Belanda,
sementara orang-orang Dayak sebagai pejuang-pejuang pembantu
berada di latar belakang. Sebaliknya, dalam buku Ethnographische
Beschrijving der Dajaks, M.T.H. Perelaer (1868) menonjolkan peranan
orang-orang Dayak, sementara orang-orang Banjar diberikan peranan
yang relative tidak begitu penting (Sjamsuddin, 2001: 8).
Namun, menurut Helius Sjamsuddin (2001: 248), perang Orang
Banjar yang diwakili Pangeran Antasari dan orang Dayak yang diwakili
oleh Temanggung Surapati yaitu sama-sama penting dan saling
ketergantungan, untuk melawan penjajah Belanda. Hubungan antara
keluarga Antasari dan keluarga Surapati Saling bergantung. Di satu
pihak keluarga Antasari memandang keluarga Surapati sebagai
pelindung-pelindung dan wakil-wakil mereka dalam memperjuangkan
hak-hak dan tujuan cita-cita perjuangan mereka melawan Belanda. Di
lasin pihak keluarga Surapati memandang keluarga Antasari sebagai
penguasa legitimit dan tradisional yang akan mendukung dan
memberikan hak-hak dan keistimewaan untuk memungut pajak diantaraperlawanan orang Banjar. Selama hampir setengah abad, kedua
bubuhan, keluarga Pangeran Antasari dan keluarga Temanggung
Surapati –dengan segala pasar surut hubungan mereka- erat bersatu
melawan kekuasaan Belanda. Sejarah Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah jelas-jelas didominasi oleh sejarah kedua keluarga
besar ini (Sjamsuddin, 2001: 460). Bahkan akibat dihapuskan Kesultan
Banjar tahun 1860 oleh penjajah Belanda dan Perang Banjar, orang
Banjar mulai menyebar ke berbagai daerah Nusantara, seperti ke Kutai,
Pontianak, Riau, Surabaya, Surakarta, Sulawesi, NTB, dan lain-lain.
Kedua, akibat pajak individual yang tinggi dikenakan oleh
penjajah Belanda terhadap orang Banjar, sehingga mereka menjadi
miskin. Bahkan di zaman penjajahan Jepang selam 3,5 tahun orang
Banjar benar-benar menderita secara fisik dan spiritual. Kakek saya
pernah menceritakan sebagian besar hasil panen padi diambil oleh
tentara Jepang, sehingga rakyat benar-benar miskin, bahkan baju dan
celana yang dipakai terbuat dari kain tepung tarigu, itupun sangat sulit
mencarinya. Dalam hal keyakinan orang Banjar sungguh tersiksa secara
batin, yaitu setiap pagi harus menghormati Dewa Matahari menurut
kepercayaan orang Jepang, dan ini bertentangan dengan keyakinan
orang Banjar, bahwa yang wajib mendominasi dan disembah hanya
Allah swt. Di kecamatan Batumandi kabupaten Balangan ada sebuah
kampung yang bernama Timbun Tulang, konon menurut cerita kenapa
dinamai Timbun Tulang, sebab kampung itu yaitu tempat
pembuangan jenazah wanita-wanita Banjar yang telah diperkosa oleh
tentara Jepang. sebab kekajaman tentara Belanda dan Jepang terhadap
orang Banjar, sehingga mereka berusaha madam, yaitu keluar dari
kampung halaman menuju daerah baru yang lebih aman untuk
mempertahan hidup.
Ketiga, sebab faktor undangan Sultan Kutai Kartanegara
Kalimantan Timur dan Kesultan Siak Riau. Menurut informasi, orang
Banjar madam ke Kesultanan Kutai sebab adanya undangan dari Sultan Kutai untuk menangani soal perikanan sebab orang Banjar
dianggap ahlinya dalam perikanan sungai, danau dan rawa luas dan
membantu menyelesaikan konflik perdagangan antara orang Dayak
dan orang Bugis. Dalam konteks ini orang Banjar dalam posisi
berhadapandengan orang Bugis sehingga tidak jarang trjadi konflikantara etnis ini dan menimbulkan pemukiman baru tersendiri dengan
berseberangan sungai (Arbain, 2013: 18-19).
Di samping undangan Sultan Kutai, orang Banjar juga mendapat
undangan dari Kesultanan Siak Riau untuk menetap dan berdomisili
di sana, kebanyakan orang Banjar di Kesultanan Siak Riau bekerja
sebagai petani, nelayan, dan guru agama Islam atau guru ngaji AlQur’an. saat saya kuliah tahun 1985-1991 di Universitas
Muhammadiyah Surakarta, saya punya teman dari Tembilahan yang
bernama Suhaimi, dia yaitu keturunan orang Banjar yang sudah
lama menetap di sana, dan menurut ceritanya nenek moyangnya berasal
dari daerah Tariwin kecamatan Batumandi Balangan.
Keempat, sebab faktor ekonomi/dagang sehingga orang Banjar
mencari daerah tertentu sebagai tujuan madam/berdagang untuk
mempertahan hidup. Adapun tujuan madam orang Banjar, seperti
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jawa,
Sumatera, Malaysia, dan lain-lain, yaitu bermotif ekonomi.
Gerakan migrasi lanjutan setelah perang Banjar sebenarnya
hanyalah motif ekonomi saja sebab keberhasilan para imigrant
terdahulu yang show of force sebagai “Haji” yaitu symbol keberhasilan
ekonomi pulang kampung untuk mengajak kerabat yang lain. Kelompok
yang melakukan madam/migrasi ini yaitu para prajurit perang, para
bangsawan Banjar, para haji-haji, dan sebagian para guru agama yang
secara realitas terlibat sebagai bagian pimpinan pemberontakan pada
Belanda (Arabain, 2013: 30). Sebagai contoh H. Usman Amin adalah
pedagang orang Alabio yang sukses di Surabaya, dan tidak lupa dengan
daerah asalnya, bahkan beliau bersama K. H. Jaferi pada tahun 1925
mendirikan Muhammadiyah cabang Alabio.
Dalam warga Banjar, perjalanan yaitu penting untuk
mendapatkan penghasilan (Tsing, 1998: 261). Mereka tidak segan-segan
melakukan perjalanan ke daerah pedalaman maupun ke luar daerah
untuk mencari kemungkinan penghasilan yang lebih baik. Orang Banjar
biasa melakukan perjalanan ke pedalaman dengan memakai perahu
menyusuri sungai-sungai untuk mendapatkan barang yang dapat
diperdagangkan. Mereka biasanya akan batunggu (berdiam menunggu)
di persimpangan-persimpangan sungai atau jalan desa untuk menjajakan
barang dagangan. Selain menjajakan barang mereka juga membelibarang-barang produksi yang dibawa atau ditawarkan oleh penduduk
pedalaman untuk kemudian dijual ke kota (Alfisah, 2013: 99).
Sejak dibukanya jalur perdagangan yang melewati Banjarmasin
pada kurun niaga serta dijadikannya Banjarmasin sebagai tempat
persinggahan bagi pedagang-pedagang asing, orang Banjar mulai
memiliki orientasi kosmoplit. Perjalanan ke luar daerah banyak
dilakukan baik untuk kepentingan ekenomi perdagangan maupun untuk
menunaikan ibadah haji. Banjar kemudian juga dikenal sebagai
warga dengan tradisi madam (merantau) (Potter, 2000: 370).
Tradisi madam orang Banjar ini menurut Salim (1996: 239) juga
yaitu suatu bukti lemahnya ikatan warga Banjar pada tanah
dan keluarga. Tercatat dalam sejarah migrasi, orang Banjar pernah
menjadi salah satu dari empat suku dengan intensitas migrasi paling
tinggi, setelah Minangkabau, Bugis dan Batak (Basri, 1988: 47).
Dalam sejarah Banjar, terjadi beberapa kali gelombang migrasi
yang dilakukan oleh orang-orang Banjar. Baik migrasi lokal, regional
maupun lintas Negara di Semananjung Melayu. Pada masa penjajahan
Belanda, para pedagang Banjar mengalami proses penurunan sebab
kebijakan politik dan ekonomi Belanda tidak memihak dan menguntungkan pedagang muslim Banjar. Monopoli serta diskriminasi
ekonomi yang dilakukan penguasa belanda telah menyebabkan
pedangang Banjar semakin terdesak oleh para pedagang asing
khususnya Cina yang mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah
Belanda. Keadaan ini diperparah dengan adanya kebijakan rodi serta
pajak yang ditetapkan pemerintah Belanda yang menyebabkan ekonomi
penduduk terpuruk. Sebagian di antara mereka memutuskan untuk
migrasi ke luar daerah, diantaranya ke Semenanjung Tanah Melayu.
Banyak penduduk khususnya dari Hulu sungai melakukan eksodus ke
pesisir timur Sumetera seperti Jambi, Tembilahan dan Sapat. Di
wilayah-wilayah baru, mereka biasanya membuat komunitas Banjar
yang baru seperti Nyamplungan di Surabaya. Jayengan di Solo,
Tambilahan di Riau, Tungkal di Jambi, Gorontalo, Sapat, Batu Pahat
dan Pulau Pinang di Malaysia (Abdussami, 1996: 115).
Kelima, madam dalam rangka menuntut ilmu, seperti yang
dilakukan M. Arsyad Al-Banjari merantau ke Mekkah dan Madinah
selama 35 tahun, bahkan, saat pulang ke Banjarmasin, beliau singgah
di Jakarta dan meluruskan arah kiblat mesjid yang ada di Jakarta.Menurut Azyumardi Azra, Islamiasi keberagamaan orang Banjar sangat
dipengaruhi oleh M. Arsyad al-Banjari. Peranan penting M. Arsyad alBanjari terletak bukan hanya pada keterlibatannya dalam jaringan
ulama, melainkan juga pada kenyataan bahwa dia yaitu ulama
pertama yang mendirikan lembaga pendidikan Islam (pondok
pesantren) serta memperkenalkan gagasan keagamaan baru ke
Kalimantan Selatan (Azra, 1995: 251).
Di samping M. Arsyad al-Banjari ada tokoh lain yang mirip
perannya, yaitu K. H. Jaferi pendiri Muhammadiyah Alabio
(Kalimantan Selatan) yaitu madam ke Mekkah untuk menuntut ilmu.
Setelah pulang ke tanah kelahirannya di Alabio, dia menjadi ulama
modernis sehingga pada tahun 1925 dia mendirikan Muhammadiyah.
Sejak itulah H. Japeri, guru Ridwan dan Pimpinan Muhammadiyah
Alabio berusaha keras untuk mencetak kader Muhammadiyah yang
handal dengan mendirikan sekolah Muhammadiyah. Sekolah
Muhammadiyah yang pertama berdiri di Alabio pada tahun 1926 dengan
muridnya kurang lebih 350 orang yang bertempat di rumah H. Saman,
H. Matarif, H. Saaluddin, H. Masdar dan H. Dachlan Abdullah di
Kampung Teluk Betung (Azhari, 1977: 27 dan Sahriansyah, 2007: 2).
Keenam, madam dalam rangka dakwah atau menyiarkan agama
Islam. ini dilakukan jaringan geneologis Tuan Guru al-Banjari.
Jaringan ini dimaksudkan yaitu jaringan Tuan Guru Banjar di tanah
rantau dengan Tuan Guru di Banjar yang intens dilakukan pada periodeperiode berikutnya, khususnya Kalimantan dan luar Kalimantan, baik
oleh murid-murid Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari maupun
keturunannya. Fakta ini memberikan informasi bahwa jaringan ini tidak
semata melakukan kontak dan interaksi dengan saudara yang merantau
tetapi diikuti dengan mencar pekerjaan hingga menikahi perempuan
tempatan. Situasi ini sangat jelas jaringan geonolgis Tuan Guru Banjar
membentuk gurita gerakan dakwah Islam yang berpijak pada ajaran
Sabilal Muhtadin karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari hingga
terlihat ada pengaruh pada tradisi Islam warga tempatan.
Jaringan geneologis