i orang yang me-
miliki dendam karena ular sanca dianggap titisan dari makhluk alam
gaib. Pemahaman ini makin bergeser seiring dengan perkembangan
zaman. Buktinya, lambang kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
memilih simbol ular sebagai logo. Alasannya karena ular memiliki
kemampuan untuk berganti kulit. Kemampuan berganti kulit ini
Sanca Batik, Sang ... 223
memiliki filosofi dan dikaitkan dengan kesembuhan dan ”kehidupan
baru”.
Ada beberapa mitos yang berkembang di masyarakat terkait
dengan sanca batik, bab ini akan membahas beberapa mitos dan fakta
menarik tentang sanca batik antara lain, sebagai berikut.
1) Ular besar pasti berbisa
Masih banyak masyarakat yang salah kaprah dan keliru menganggap
ular sanca berbisa. Faktanya, berdasarkan Reptile Database Interna-
tional, dari 349 spesies ular yang berbisa hanya 77 jenis atau 20%
saja, sisanya tidak berbisa. Semua jenis sanca dan boa tidak berbisa.
Senjata sanca untuk membunuh mangsa adalah belitan yang sangat
kuat sehingga mampu meremukkan tulang. Jenis-jenis ular berbisa
di Indonesia adalah kobra (Naja sputatrix), king kobra (Ophiophagus
hannah), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), welang (Bungarus
fasciatus), weling (Bungarus candidus) dan picung (Rhabdophis
subminiatus). Rata-rata ular yang berbisa memiliki bentuk tubuh
langsing dan kecil.
2) Ular itu berlendir
Pada umumnya, jika kita melihat ular akan merasa jijik dan menga-
takan bahwa sisik ular itu berlendir, licin, dan basah. Faktanya, tidak
ada satu pun jenis ular yang berlendir, bahkan sisik ular benar-benar
ke-ring. Kulit ular sanca terasa halus dan mengilat, bahkan menim-
bulkan efek tiga dimensi akibat pantulan cahaya matahari sehingga
terlihat seperti berlendir dan basah.
3) Menabur garam untuk mengusir ular
Menabur garam di sekeliling rumah untuk mengusir ular merupakan
sebuah mitos. Tidak ada penjelasan ilmiah tentang kandungan garam
yang mampu mengusir kedatangan ular. Faktanya, garam hanya efektif
untuk mengusir hewan yang memiliki kelenjar keringat atau hewan
berlendir, seperti siput, pacet, dan lintah. Sanca batik tidak memiliki
kelenjar keringat dan tidak berlendir sehingga pemberian garam tidak
efektif untuk mengusir ular.
.224
4) Ular itu memiliki telepati
Banyak kepercayaan yang beredar di masyarakat bahwa jika kita
membunuh ular, baik disengaja atau tidak, segerombolan ular lainnya
akan datang untuk membalas dendam pada orang yang membunuh
ular tersebut. Mitosnya, pada saat ular dalam keadaan terdesak dan
menjelang kematian, ular akan melihat pembunuh dan mengirim-
kan sinyal kepada kawanan ular lain bahwa ada orang yang telah
membunuhnya. Faktanya, ular tidak memiliki telepati dan kecerdasan
untuk mengingat orang atau tempat di mana ia disakiti. Hingga saat
ini, tidak ada bukti dan laporan mengenai serangan sekelompok ular
sanca kepada manusia akibat membunuh ular lain. Seperti halnya
predator lain, ular sanca batik sejatinya adalah hewan yang soliter,
artinya bukan jenis hewan yang berkelompok. Saat mencari mangsa,
ular hanya melakukannya sendiri bahkan dimulai sejak ular baru
menetas. Inilah yang menyebabkan ular sanca batik disebut predator
karena sudah terlatih mencari mangsa sendiri sejak dari menetas.
5) Ular itu bisa mendengar
Faktanya, ular tidak memiliki daun telinga sehingga tidak ada cerita
yang mengatakan bahwa ular akan agresif dan menyerang karena
suasana bising. Ular hanya mampu merasakan getaran udara melalui
organ bagian dalam yang disebut membran typhani. Ular mendeteksi
segala sesuatu yang ada di sekitarnya dengan menggunakan lidahnya
yang bercabang. Itulah sebabnya mengapa ular sering menjulurkan
lidah untuk mengumpulkan informasi melalui partikel udara.
G. Bagaimana Sanca Batik bisa memangsa manusia?
Banyak kasus yang kita dengar tentang serangan sanca batik pada
hewan ternak, hewan liar lain, bahkan manusia. Namun, sanca batik
umumnya tidak memangsa manusia. Hewan yang menjadi mangsa
utama ular ini, antara lain kelompok hewan pengerat (rodentia),
seperti tikus, kelinci, dan marmot; burung atau bahkan rusa; kancil;
dan babi hutan. Pada dasarnya, ular besar seperti sanca ini mampu
memilih mangsa sesuai dengan kebutuhan kalorinya. Jadi, sanca
Sanca Batik, Sang ... 225
yang sudah memiliki panjang tubuh lebih dari 5 meter tidak akan
mengejar atau memakan tikus yang melintas. Mangsanya minimal
seukuran babi hutan karena ular sanca batik akan mengalkulasikan
massa tubuh mangsanya, apakah sesuai dengan kebutuhan kalorinya
sehingga ular ini akan cenderung memilih mangsa yang besar jika
berburu (Mattison, 2005). Berburu memerlukan usaha dan energi
yang besar sehingga pemilihan mangsa yang berukuran besar akan
dianggap lebih setimpal.
Potensi ular sanca batik untuk memangsa manusia akan makin
meningkat ketika habitat dan tempat hidup satwa liar makin ba-
nyak dirampas untuk dijadikan jalan, perkebunan, perumahan, dan
lahan pertanian oleh manusia. Selain alih fungsi tersebut, ancaman
perburuan terhadap satwa mangsa ular sanca batik, seperti babi
hutan, kancil, dan burung makin banyak terjadi. Sulitnya ular ini
bertahan dan mencari mangsa membuat perubahan perilaku makan
dan mencari mangsa sehingga manusia yang awalnya tidak masuk
kategori sebagai pakan akan berpotensi juga untuk dimangsa.
H. Tip jika bertemu ular sanca batik
Pada dasarnya ular, baik jenis yang berbisa atau ular besar seperti
sanca batik akan takut dengan keberadaan manusia dan tidak akan
menyerang manusia jika tidak terganggu. Jadi, yang harus dilakukan
saat bertemu satwa ini adalah jangan panik dan melakukan gerakan
secara tiba-tiba, bergeraklah secara perlahan ke arah yang berlawanan
dari keberadaan ular ini. Jika kita akan melintas di jalan yang tepat
melewati ular ini, disarankan membawa tongkat kayu yang agak
panjang sehingga kita dapat mengontrol jarak aman dari ular ini
untuk menghindari belitan.
Ular sanca batik memang tidak memiliki bisa, namun tetap
memiliki taring seperti kail yang runcing dan tajam sehingga mampu
merobek jaringan kulit hingga ke otot. Oleh sebab itu, jika kita tergigit
hindari untuk melepaskannya secara paksa karena gigitannya akan
makin dalam, lebar, dan berpotensi menyebabkan taring akan patah
dan tertinggal di dalam jaringan kulit. Langkah yang tepat dilakukan
.226
untuk melepaskan gigitan ular adalah dengan menahan mulut sanca
batik dan menggunakan air untuk disiram ke mulutnya sehingga
otomatis ular akan melepaskan gigitan dengan sendirinya.
Lalu apa yang harus dilakukan jika ular sanca sudah pada tahapan
membelit untuk membunuh? Pada dasarnya sanca batik akan makin
kencang membelit jika kita makin melawan dan banyak melakukan
gerakan. Oleh sebab itu, jika kita sudah terbelit, lemaskan saja badan,
dan hindari dibelit di bagian leher dengan memiringkan posisi kepala
ke bahu kanan/kiri agar ular tidak langsung membelit ke leher dan
membuat kita tercekik. Kemudian, kepala dan ekor ular digenggam
sekuat tenaga secara bersamaan dan belitan ular segera dilepaskan
secara cepat dengan bantuan orang lain. Perlu diketahui, jika ular
sanca sudah membelit di bagian leher, hanya butuh waktu sekitar 3
menit saja untuk membuat manusia meninggal karena tercekik dan
kehabisan oksigen. Sebagai perbandingan, jika tergigit ular king kobra
(O. hannah), akan membutuhkan waktu 40 menit sampai racun yang
menyerang sistem saraf dapat menghancurkan sel darah merah (neu-
rotoksik) dan menyebabkan kematian pada manusia dewasa. Oleh
karena itu, jika terbelit ular sanca, dibutuhkan sebanyak mungkin
orang untuk melepaskan belitannya dengan cepat agar terhindar dari
kehabisan napas dan cedera lain (patah tulang rusuk).
I. Penutup
Mangsa utama sanca batik bukan manusia, tetapi perubahan pola
pemangsaan ini disebabkan ekspansi pembangunan yang terus
menerus menekan habitat asli sanca batik. Akibat tekanan ini, sanca
batik, yang memiliki tingkat adaptif dan toleransi tinggi terhadap
keberadaan manusia, sering kali dinilai memasuki wilayah manusia,
dan bukan sebaliknya. Selain habitat aslinya terancam akibat ekspansi
pembangunan yang berakibat memutus rantai makanannya, ancaman
perburuan terhadap satwa mangsa sanca batik, seperti mamalia kecil
dan burung makin marak terjadi. Sulitnya bertahan dan mencari
mangsa membuat sanca batik mengubah perilaku makan dan men-
cari mangsa sehingga manusia yang awalnya tidak masuk kategori
sebagai makanan akan berpotensi juga untuk menjadi makanan demi
Sanca Batik, Sang ... 227
bertahan hidup. Oleh sebab itu, harmonisasi antara alam dan manusia
penting untuk dijaga. Pembangunan memang perlu dilakukan, namun
hendaknya tetap memperhatikan keseimbangan alam. Perlu diingat
bahwa manusia walaupun pada hakikatnya memiliki derajat tertinggi,
tetapi bukan penghuni tunggal di bumi.
Jenis-jenis burung cica daun memiliki perpaduan yang sempurna
antara warna tubuh yang menawan dan suara nyanyian yang unik.
Suara burung ini secara alami pada umumnya adalah kombinasi
antara suara seolah mencicit, beberapa ledakan siulan yang jernih,
dan agak bergetar secara berulang. Sejak lama para peminat burung
kicau telah menjadikannya sebagai kelompok burung yang kerap
dipelihara dan dilombakan dalam berbagai kontes burung. Cica
daun menyimpan nilai ekonomi yang tinggi sekaligus ancaman yang
tinggi juga dari perburuan liar dan perdagangan ilegal. Pemanfaatan
cica daun sebagai aset keanekaragaman hayati yang dilindung perlu
dioptimalkan secara bijaksana.
A. Burung Kicau yang Terus Diburu
Cica daun (Chloropsis spp.) termasuk kelompok burung yang senang
bernyanyi dengan suara merdu dan nyaring. Jenis-jenis cica daun
termasuk ke dalam suku Chloropseidae yang lebih dikenal dengan
sebutan cucak ijo atau cucak hijau. Mereka dikenal pandai meniru-
kan suara burung-burung lainnya. Keunikan suaranya menjadikan
kelompok burung ini kerap diburu dari alam untuk dipelihara oleh
kalangan peminat burung kicau.
Salah satu sebaran penting jenis-jenis cica daun di Pulau
Kalimantan berada di Kalimantan Timur. Secara taksonomis di
Indonesia sendiri tercatat tujuh jenis cica daun, empat di antaranya
dijumpai di Pulau Kalimantan, yaitu cica-daun besar (Chloropsis
sonnerati), cica-daun kecil (C. cyanopogon), cica-daun sayap-biru
(C. cochinchinensis), serta cica-daun kalimantan (C. kinabaluensis)
(Moltesen dkk., 2012). Khusus untuk wilayah Kalimantan Timur
hanya ditemukan tiga jenis cica daun sebab jenis cica daun kalimantan
bersifat endemik di areal pegunungan Kalimantan bagian utara
(termasuk Malaysia).
Selain memiliki suara yang merdu, perawakan jenis-jenis cica
daun juga termasuk cantik. Sesuai dengan lamanya, ciri khas yang
paling melekat adalah tubuhnya didominasi warna hijau menyeru-
pai warna daun. Hal ini menyebabkan tubuhnya tersamar dan sulit
dikenali terutama saat sedang tidak bersuara di hutan. Burung jantan
memiliki ciri khas tenggorokan hitam menyerupai topeng dengan
gradasi kekuningan di sekitar tubuh bagian bawah atau bagian kepala
(Gambar 17.1). Secara umum seluruh jenis cica daun memiliki warna
tubuh yang serupa.
231
Foto: Mukhlisi (2018)
Gambar 17.1 Cica-Daun Sayap-Biru Jantan
Sebelum terbitnya Permen LHK No P.106 Tahun 2018 tentang
Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, jenis-jenis cica daun bukan
termasuk burung dilindungi di Indonesia. Tingkat ancaman terhadap
populasi dan habitat yang tinggi menjadikan jenis burung ini makin
langka. Menurut International Union for Conservation of Nature
(IUCN) Red List jenis-jenis burung cica daun yang tersebar di Kalim-
antan Timur memiliki kategori konservasi near threatened (cica-daun
kecil), sampai endangered (cica-daun besar dan cica-daun sayap-biru).
Secara global, seluruh jenis burung cica daun terus mengalami ke-
cenderungan penurunan populasi yang cukup tajam. Sebagai contoh,
populasi jenis cica-daun besar dan cica-daun sayap-biru diperkirakan
akan merosot hingga 50% di masa depan akibat perburuan ilegal
(Birdlife International, 2019a, 2019b).
B. Silent Forest Syndrome
Silent forest syndrome merupakan sebuah situasi di mana hutan
menjadi sepi dari suara berisik satwa karena satwa yang hidup di
dalamnya menghilang, baik itu disebabkan oleh manusia secara
langsung maupun tidak langsung. Kondisi hutan yang sepi dari suara
satwa adalah salah satu indikator ekologi yang kurang baik walaupun
kondisi vegetasi di sekitarnya sangat lebat. Keanekaragaman suara
.232
satwa memiliki peran penting untuk mengukur status kesehatan
hutan. Kecenderungan sindrom hutan yang sepi mayoritas disebabkan
oleh perburuan satwa liar untuk tujuan komersial, termasuk berbagai
jenis burung kicau. Perburuan terhadap burung cica daun dari alam
juga memiliki kontribusi nyata terhadap meningkatnya fenomena
hutan yang sepi. Sebagian areal hutan di Kalimantan Timur, seperti
areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK-HA) mengalami
penurunan populasi akibat perburuan terhadap jenis-jenis burung
cica daun sehingga burung cica daun sulit ditemukan dan hutan terasa
sepi.
C. Cica Daun dalam Rantai Perdagangan
Seluruh jenis burung cica daun mengalami ancaman pemanenan
dari alam secara ilegal untuk diperdagangkan. Selain diperdagangkan
secara lokal, jenis-jenis burung ini juga menjadi komoditas perda-
gangan antarpulau, seperti ke Pulau Jawa dan Sulawesi, bahkan lintas
negara. Menariknya, seiring perkembangan teknologi informasi saat
ini, perdagangan burung dilindungi juga dilakukan secara daring
sehingga dapat mencakup wilayah yang luas. Hasil observasi yang
dilakukan oleh Chng dkk. (2017) menyebutkan bahwa sebanyak 3.008
ekor burung jenis cica-daun besar telah diperdagangkan dari 515 toko
burung di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Barat,
dan Jawa Timur.
Sejak ditetapkan sebagai jenis dilindungi, dalam kurun waktu tiga
tahun terakhir, perdagangan ilegal burung cica daun yang berasal dari
Kalimantan Timur terindikasi makin meningkat. Hal ini dapat dike-
tahui dari upaya aparat penegak hukum yang berhasil membongkar
sindikat perdagangan satwa liar dilindungi. Berikut ini ditampilkan
jumlah sitaan burung cica daun yang berasal dari wilayah Kalimantan
Timur berdasarkan informasi yang dirilis pada beberapa media massa
(Tabel 17.1). Jumlah yang diekstraksi dari alam diperkirakan masih
di atas fakta yang sesungguhnya.
Masih cukup banyak fenomena penangkapan dan perdagangan
jenis-jenis burung cica daun yang berlangsung di tengah masyarakat.
Sebagai contoh, Chng dkk. (2017) melaporkan secara nasional pada
kurun waktu 2014–2016 tercatat perdagangan sebanyak 2.244 ekor
dari 13 kasus penyitaan. Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Suba
dkk. (2011) di Kabupaten Paser Kalimantan Timur menunjukkan jika
sebanyak 12 ekor burung cica daun ditangkap setiap bulan dari alam
untuk diperdagangkan.
Umumnya harga burung cica daun tangkapan alam dari
Kalimantan Timur secara lokal dijual dengan harga berkisar
Rp300.000–Rp 500.000. Harga tersebut diperkirakan akan terus me-
ningkat sebab permintaan yang makin tinggi dan sifat burung yang
eksklusif. Beberapa daerah tangkapan alam di Pulau Kalimantan,
terutama Kalimantan Barat, telah terindikasi mengalami kepunahan
secara lokal dan menjadi sulit untuk menemukan populasi burung
cica daun di alam (Chng dkk., 2017).
Kontes burung kicau turut mempunyai andil dalam meningkat-
kan volume perdagangan sekaligus potensi perburuan liar terhadap
jenis-jenis burung kicau dari alam. Selain itu, fenomena ini juga
berkaitan dengan fakta bahwa burung menjadi salah satu satwa liar
yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia untuk dipelihara.
Harga burung cica daun yang memenangkan sebuah kontes kicau
.234
sudah pasti akan melambung tinggi sehingga selain sekedar hobi,
juga terjadi perputaran ekonomi yang tinggi dari bisnis burung kicau.
D. Aspek Ekologi Burung Cica Daun
Populasi tiga jenis cica daun yang ada di Kalimantan Timur belum
diketahui secara pasti, tetapi jenis-jenis tersebut diyakini tersebar luas
baik di kawasan hutan konservasi maupun nonkonservasi. Berdasar-
kan pengamatan yang pernah dilakukan pada delapan areal hutan
yang berada di Kabupaten Kutai Timur dan Berau diketahui bahwa
cica-daun kecil berhasil teridentifikasi pada tujuh lokasi, cica-daun
besar pada enam lokasi, sedangkan cica-daun sayap-biru ditemukan
pada empat lokasi. Areal hutan yang tidak memiliki sebaran cica daun
mayoritas memiliki tanda-tanda bekas perburuan burung yang inten-
sif. Sebagian besar areal hutan yang masih terdapat populasi cica-daun
berada pada lokasi dengan akses yang sulit dicapai manusia. Kondisi
umum habitat tiga jenis cica hutan seperti tersaji pada Tabel 17.2.
Pengamatan secara langsung di lapangan dengan rata-rata durasi
waktu pengamatan delapan hari pada tiap kawasan hutan mendapat-
kan data jumlah individu yang cukup rendah. Setiap jenis burung
235
cica-daun umumnya hanya ditemukan dalam jumlah kurang dari tiga
individu pada setiap areal hutan yang diamati. Meskipun hal tersebut
dapat dipengaruhi oleh durasi waktu pengamatan dan luas wilayah
sampling, tetapi telah cukup menggambarkan secara sederhana
bagaimana kelimpahan jenis-jenis cica daun di alam. Catatan temuan
individu tertinggi berasal dari satu areal hutan produksi di Kabupaten
Berau dengan tipe hutan karst dekat pesisir dengan temuan sebanyak
9 individu untuk jenis cica-daun kecil (Gambar 17.2).
Foto: Mukhlisi (2020)
Gambar 17.2 Cica-Daun Kecil di Areal Hutan Karst Pesisir
Kabupaten Berau
Perilaku mencari makan antara ketiga jenis cica daun terlihat
serupa. Umumnya mereka menyukai tajuk pohon yang tinggi, namun
kadang juga turun sampai ke lantai hutan dan sekitar semak belukar
untuk berburu serangga. Jenis cica-daun besar lebih menyukai tajuk
tinggi dan jarang turun sampai ke tanah dibandingkan cica-daun
sayap-biru dan cica-daun kecil. Areal jalan membelah hutan yang
jarang dilintasi manusia biasanya menjadi tempat yang sering dikun-
jungi karena banyak ditemukan tumbuhan yang sedang berbunga dan
.236
berbuah (Gambar 17.3). Burung cica daun di alam selalu dijumpai
secara berpasangan dalam kelompok kecil atau bercampur dengan
jenis lainnya.
Jenis-jenis tumbuhan yang kerap dikunjungi dan menjadi pa-
kan cica daun adalah buah dan nektar tumbuhan sekunder, seperti
jenis-jenis mahang (Macaranga spp.), anggrung (Trema spp.), serta
Acalypha caturus. Keberadaan pohon kersen (Muntingia calabura)
yang banyak tersebar pada daerah pesisir karst di Kabupaten Berau
juga kerap dikunjungi oleh kelompok cica-daun kecil.
Foto: Mukhlisi (2020)
Gambar 17.3 Vegetasi Sekunder di Areal Tepi Hutan
E. Konservasi dan Upaya Pemanfaatan Secara
Berkelanjutan
Keberadaan jenis-jenis burung kicau termasuk cica daun yang hidup
alami di berbagai kawasan hutan menunjukkan aset keanekaragaman
hayati yang dimiliki bangsa Indonesia sangat tinggi. Di lain pihak, pe-
manfaatan satwa ini yang dilakukan secara kurang bijak menyebabkan
penurunan populasinya di alam secara signifikan. Tingkat ancaman
237
terhadap jenis-jenis cica daun makin meningkat seiring kerusakan
habitat, seperti alih fungsi hutan dan penebangan ilegal.
Sebagai satwa liar yang dilindungi, pemanfaatan burung cica
daun tidak dapat dilakukan dengan cara memanen langsung dari alam
walaupun bukan berarti jual beli sama sekali tidak diperkenankan.
Perdagangan tetap dapat berjalan jika individu burung tersebut
berasal dari penangkaran resmi bersertifikat. Menurut PP. Nomor
8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
menyebutkan bahwa satwa liar dilindungi yang dapat diperjualbelikan
atau dipelihara masyarakat adalah keturunan F2 dan generasi beri-
kutnya. Hal ini juga diperkuat di penjelasan Pasal 36 UU No 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang
mengatur kemungkinan untuk melakukan pemanfaatan satwa liar
baik dalam bentuk penelitian, penangkaran, maupun perdagangannya.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tahun 2018 terdapat sebanyak 428 penangkar burung di Indonesia
(Biro Humas KLHK, 2018). Sayangnya, masih sedikit penangkar
burung di Kalimantan Timur yang fokus mengembangkan jenis-jenis
cica daun asli Kalimantan. Padahal, penangkaran menjadi jalan tengah
pemanfaatan secara lestari yang dapat dilakukan secara bersamaan
untuk mendukung upaya konservasi jenis. Berdasarkan regulasi, para
penangkar wajib melepasliarkan satwa kembali sebanyak 10% hasil
tangkaran ke alam.
Pengembangan penangkaran burung kicau dalam skala bisnis
sebetulnya juga sangat menjanjikan dari sisi ekonomi. Potensi perpu-
taran uang dari bisnis penangkaran burung diperkirakan mencapai
dua triliun per tahun (Perputaran Bisnis Penangkaran, 2020). Nilai
ini tentu cukup tinggi untuk menggerakkan roda perekonomian
masyarakat. Minat pelaku usaha penangkaran resmi burung cica
daun yang rendah di Kalimantan Timur selain disebabkan oleh fak-
tor perburuan ilegal yang masih marak dilakukan, juga minimnya
pemahaman terhadap alur teknis perizinan penangkaran burung.
Oleh sebab itu, langkah penyadartahuan dan sosialisasi perlu terus
dilakukan kepada masyarakat dan para pelaku usaha.
.238
Langkah konservasi terhadap jenis-jenis cica daun terutama di
Kalimantan Timur juga perlu didukung melalui perbaikan populasi
secara in situ. Kondisi habitat yang minim gangguan manusia sangat
diperlukan untuk mengembalikan populasi cica daun yang rendah,
terutama jenis prioritas cica-daun besar dan cica-daun sayap-biru.
Secara bersamaan, penegakan hukum lingkungan perlu terus dilaku-
kan untuk membongkar sindikat perdagangan satwa liar dilindungi
yang masih tinggi.
F. Penutup
Pemanenan dan perdagangan secara tidak legal merupakan ancaman
paling utama terhadap populasi jenis-jenis cica daun. Di antara tiga
jenis cica daun yang teridentifikasi di Kalimantan Timur, cica-daun
besar memiliki ancaman paling tinggi dari kegiatan perburuan liar
karena permintaan pasar yang tinggi. Sebagai jenis burung yang
cukup adaptif pada berbagai kondisi hutan, maka efek perburuan
liar terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan efek kerusakan habitat.
Upaya konservasi terhadap jenis-jenis cica daun di Kalimantan Timur
perlu diarahkan kepada perbaikan populasi baik melalui mekanisme
alami maupun penangkaran. Selain memiliki nilai potensi ekonomi
yang tinggi, pengembangan penangkaran akan membantu burung
cica daun untuk kembali bernyanyi lagi di alam.
Tarsius merupakan primata endemik Sulawesi yang masih belum
banyak dikenal, salah satunya jenisnya adalah Tarsius fuscus. Satwa
berukuran kecil ini memiliki kemampuan berburu yang handal, dito-
pang oleh adaptasi seluruh bagian tubuhnya sehingga dapat bergerak
dengan lincah di antara pepohonan dalam kegelapan malam untuk
menangkap mangsanya. Dengan kemampuan berburunya, tarsius
merupakan satwa liar yang menguntungkan bagi manusia. Tarsius
membantu petani dengan berperan sebagai pengendali populasi hama
tanaman pertanian dan perkebunan. Tarsius juga berperan sebagai
penjaga keseimbangan ekosistem, di samping memiliki potensi bagi
pengembangan ekowisata.
Tarsius. Mungkin kata tersebut masih tergolong asing di pendengaran
sebagian masyarakat. Jika mendengar kata tarsius saja jarang, apalagi
kata Tarsius fuscus, yang makin kurang familiar. Bahkan, kemungkin an
orang yang pernah mendengar kata tarsius, tidak mengetahui bahwa
tarsius adalah nama satwa endemik Sulawesi. Tarsius memang belum
sepopuler beberapa jenis hewan yang akrab dengan kehidupan ma-
nusia, seperti kuda, sapi, dan kerbau. Juga tidak seterkenal beberapa
jenis satwa yang telah diperkenalkan ke anak usia dini melalui lagu.
Bahkan, dengan maraknya pemberitaan media akhir-akhir ini, tarsius
belum bisa mengalahkan ketenaran harimau sumatra, yang beberapa
kali menjadi fokus pemberitaan, terutama karena menyerang ternak
dan manusia. Juga tidak seterkenal ular kobra, yang akhir-akhir ini
gencar diberitakan karena telur dan anaknya dijumpai di sekitar
perumahan warga. Tarsius tergolong satwa yang sering kali luput
dari perhatian dan sangat jarang menjadi sorotan media, utamanya
media nasional.
Meskipun demikian, keberadaan tarsius dapat memberi kebang-
gaan bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sulawesi.
Keberadaan tarsius memperlihatkan pada dunia, betapa kayanya
alam Indonesia. Bagaimana tidak, Pulau Sulawesi dan pulau-pulau
kecil di sekitarnya, ternyata memiliki kekayaan spesies dari familia
Tarsiidae tertinggi di dunia, dengan 12 spesies tarsius (Shekelle & Lek-
sono, 2019). Jumlah ini jauh lebih banyak jika dibandingkan jumlah
spesies yang ada di Filipina (Philippine Tarsier) yang hanya memiliki
satu spesies, yaitu Carlito syrichta, dengan tiga subspesies. Jumlah
spesies tarsius yang dijumpai di Pulau Sulawesi juga lebih banyak
jika dibandingkan jumlah spesies yang dijumpai di Pulau Sumatra,
Jawa, dan Kalimantan yang juga hanya memiliki satu spesies, yaitu
Cephalophachus bancanus (Western Tarsier), dengan empat subspesies
(Roos dkk., 2013). Jumlah spesies tarsius di Pulau Sulawesi ternyata
masih berpeluang bertambah karena Shekelle dan Leksono (2019)
memperkirakan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya
menjadi habitat bagi setidaknya 16 spesies tarsius. Selain itu, Burton
Tarsius, Pemburu Handal ... 247
dan Nietsch (2010) menyebutkan masih terdapat tiga taksa tarsius
yang belum diberi nama.
Provinsi Sulawesi Selatan adalah habitat beberapa spesies tarsius.
Salah satunya adalah Tarsius fuscus, yang dapat dijumpai di kawasan
hutan di sekitar kota Makassar, seperti kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung.
B. Sosok Si Pemburu Bermata Bola
Tarsius merupakan anggota kelompok primata dan masih berkerabat
dengan monyet. Namun tidak seperti monyet yang berukuran cukup
besar, tarsius hanya berukuran sekepalan tangan manusia. Panjang
kepala hingga badan tarsius dewasa hanya sekitar 12–15 cm. Tarsius
jantan dapat dibedakan dari yang betina dengan melihat postur
tubuhnya. Jantan bertubuh sedikit lebih besar dan lebih tegap diban-
ding betina. Bobot badan jantan dewasa berkisar antara 107–120 gr,
sedangkan betina berkisar antara 100–105 gr. Primata nokturnal ini
melakukan semua aktivitasnya, seperti bergerak, makan, beristirahat,
dan bersosialisasi, pada sore menjelang malam hingga pagi hari
menjelang matahari terbit.
Tubuh tarsius ditutupi oleh dua macam rambut. Keberadaan dua
lapis rambut tersebut menopang pola hidup tarsius yang aktif di malam
hari saat suhunya lebih rendah dibandingkan siang hari. Rambut pada
bagian terluar terlihat lebih panjang, kasar, dan jarang. Sementara
itu, rambut pada lapisan bawah berupa rambut yang rapat, lebat, dan
halus. Rambut berwarna abu-abu dengan nuansa coklat kemerahan
menutupi seluruh tubuh, kecuali hidung, telapak tangan, dan telapak
kaki. Rambut yang menutupi bagian dada dan perut berwarna lebih
terang dibanding rambut yang menutupi punggungnya. Selain itu,
warna rambut yang menutupi tubuh tarsius betina dewasa dan anak,
sedikit lebih terang dibanding warna rambut pada tarsius jantan.
Tarsius memiliki sepasang telinga berwarna salem serta terlihat
sedikit transparan dengan spot rambut berwarna putih pada bagian
belakangnya. Telinga tarsius tergolong unik dibanding telinga primata
lainnya. Telinga yang berbentuk agak bulat serta berukuran cukup
.248
besar jika dibanding dengan ukuran kepalanya tersebut ternyata
tergolong sensitif terhadap suara. Tingginya tingkat sensitivitas telinga
tarsius terlihat dari kemampuannya mendeteksi suara yang dihasilkan
oleh gerakan kecil serangga, yang sebenarnya tidak terlihat, di balik
rimbun dedaunan.
Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2018)
Gambar 18.1 Si Mata Bola Berekor Panjang
Tarsius terlihat selalu menggerakkan daun telinganya. Bahkan,
pada saat sedang beristirahat dalam kondisi duduk atau berteng-
ger santai sekalipun, daun telinga tarsius terlihat tetap bergerak.
Pergerakan tersebut kadang membuat daun telinga tarsius terlihat
seperti tertekuk ke belakang. Saking tertekuknya, terkesan seolah-olah
daun telinga tersebut terlipat hampir menempel pada sisi belakang
kepalanya. Intensitas pergerakan daun telinga biasanya akan makin
bertambah saat tarsius dalam kondisi wawas, misalnya saat mendeteksi
adanya kehadiran mangsa atau saat ada gangguan. Tampaknya, tarsius
baru berhenti menggerakkan daun telinganya hanya pada saat tidur.
Dibandingkan wajahnya, tarsius memiliki bibir dan mulut yang
lebih lebar. Jablonski dan Crompton (1994) menyatakan bahwa
Tarsius, Pemburu Handal ... 249
T. bancanus dapat membuka mulutnya hingga membentuk sudut
60–70°. Sama seperti T. bancanus, T. fuscus juga memiliki mulut
yang dapat membuka dengan lebar. Dengan mulut yang dapat
membuka lebar seperti itu, tarsius akan dengan mudah memasukkan
makanan ke dalam mulutnya yang memiliki gigi-gigi kecil dan tajam.
Ketajaman gigi tarsius memungkinkan satwa ini mencengkeram dan
mencabik-cabik mangsanya, walaupun mangsanya memiliki tubuh
yang dilindungi oleh lapisan kulit atau kitin yang cukup keras.
C. Tatapan Mata Bola yang Tajam
Mata tarsius merupakan hal yang paling unik yang dimiliki oleh
satwa ini. Para ahli bahkan mengategorikan mata tarsius sebagai
hal yang aneh. Hal ini disebabkan tarsius memiliki sepasang mata
yang berbentuk bulat seperti bola dan berukuran besar. Dilihat dari
arah depan, sepasang mata tersebut tampak seperti dua buah piring
besar yang mendominasi wajahnya. Bahkan, proporsi ukuran mata
tarsius masih tetap lebih besar dibandingkan proporsi bagian tubuh
yang lain. Polyak (1957) bahkan menyatakan bahwa jika dilakukan
perban-dingan antara proporsi mata dan tubuh yang dimiliki tarsius
dengan berbagai jenis vertebrata lain, nilai perbandingan proporsi
mata dari tubuh tarsius adalah yang terbesar.
Tarsius dapat mengamati mangsanya dengan baik walau berada
di kegelapan. Hal itu disebabkan karena tarsius memiliki pupil mata
yang dapat membuka dengan lebar. Kemampuan melihat dengan baik
yang dimiliki oleh mata tarsius juga ditopang oleh anatomi kepala
yang istimewa karena dapat berputar 180° ke kiri dan ke kanan. Ke-
mampuan memutar kepala ini memungkinkan tarsius untuk menoleh
ke arah manapun yang diinginkan tanpa perlu repot membalikkan
badan. Kemampuan memutar kepala juga sangat membantu tarsius
yang tidak dapat menggerakkan bola matanya. Setelah mendeteksi
keberadaan mangsanya, tarsius bisa segera mengamati mangsanya
dengan lebih saksama dengan menoleh atau memutar kepalanya ke
arah tempat keberadaan mangsa. Ketajaman penglihatan akan me-
ningkat dengan mengarahkan kepala ke arah target karena membantu
mata tarsius untuk lebih fokus.
.250
D. Alat Gerak yang Lincah
Pada tubuh tarsius terdapat anggota gerak berupa sepasang tangan
yang tergolong pendek. Meskipun demikian, satwa ini memiliki lima
buah jari yang panjang dan ramping. Bagian sisi atas setiap jari tarsius
memiliki kuku berukuran kecil dan berbentuk segitiga, sedangkan
pada bagian ujung sisi bawah jari tangannya terdapat bantalan kecil.
Anggota gerak unik lainnya yang dimiliki oleh tarsius adalah
kaki panjang yang melebihi panjang badannya. Crompton dkk.
(2010) menyebutkan bahwa tarsius memiliki bentuk kaki yang khas
dan terspesialisasi, yaitu dengan adanya tulang tibia dan fibula yang
menyatu serta tulang tarsal yang panjang, untuk mendukung aktivitas
lokomosinya. Bentuk kaki yang seperti ini memungkinkan tarsius
memiliki kemampuan melompat yang menakjubkan. Kemampuan ini
terlihat dari jauhnya jarak lompatan beberapa ekor tarsius yang hidup
di blok hutan Pampang, Pute dan Parang Tembok, Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung. Tarsius mampu melompat dari ujung atas
salah satu batang bambu ke rumpun bambu yang lain sejauh 7–10
meter.
Setiap kaki tarsius juga memiliki lima buah jari kaki yang ben-
tuknya ramping dan panjang. Sama seperti jari tangannya, pada setiap
ujung sisi bawah jari kaki dilengkapi dengan bantalan berbentuk bulat.
Ukuran bantalan yang terdapat pada jari kaki lebih besar dibanding
bantalan yang terdapat di tangan. Jari kaki tarsius juga ditutupi dengan
kuku kecil yang berbentuk segitiga. Pada jari kaki kedua dan ketiga
terdapat kuku yang ukurannya cukup panjang dan berbentuk seperti
taji ayam jantan. Kuku tersebut berperan sebagai sisir saat tarsius
sedang merawat badan (Gambar 18.2).
Bentuk kaki, tangan, serta jari-jarinya yang khas sangat mem-
bantu pergerakan tarsius saat sedang berburu mangsa. Bentuk kaki
yang khusus dan sangat mendukung kemampuan melompat jauh
menyebabkan tarsius dapat mendekati mangsanya hanya dalam satu
atau dua kali lompatan saja. Tarsius juga memiliki ukuran jari tangan
dan kaki yang panjang sehingga mampu berpegangan dengan baik
pada ranting dan cabang pohon. Jari tangan dan kaki yang panjang
Tarsius, Pemburu Handal ... 251
tersebut juga menyebabkan tarsius dapat bergerak dengan baik tanpa
terpeleset saat sedang bergerak untuk berpindah tempat atau sedang
melompat menangkap mangsa. Kemampuan bergerak tarsius makin
bertambah baik dengan adanya bantalan pada ujung jari tangan dan
kaki, yang berfungsi sebagai peredam tekanan saat tarsius mendarat
di substrat tertentu. Selain itu, bantalan tersebut juga dapat mem-
perkuat pelekatan jari saat sedang berpegangan pada substrat tertentu.
Manfaat lain dari adanya tangan dengan jari-jari yang panjang adalah
selain meningkatkan kemampuan tarsius menangkap mangsa, juga
meningkatkan kemampuannya untuk memegang mangsa yang telah
berhasil ditangkap.
Tarsius memiliki ekor yang berperan untuk membantu ke-
seimbangan saat sedang bergerak. Ekor tarsius sangat khas, ditutupi
rambut dengan kelebatan dan panjang rambut yang berbeda. Pada
bagian pangkalnya, ekor sepanjang 25–27 cm tersebut hanya ditutupi
oleh rambut halus, pendek dan jarang, dengan panjang rambut sekitar
1–3 mm. Sementara itu, mulai dari bagian pertengahan hingga ujung
Keterangan: a. Pengukuran kaki tarsius b. Taji pada ke dua jari c. Bantalan kaki
Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2017)
Gambar 18.2 Kaki tarsius (Tarsius fuscus)
(a) (b) (c)
.252
ekor ditutupi oleh rambut kasar, dengan panjang rambut berkisar
0,5–1 cm.
E. Teknik Perburuan
Meskipun hanya memiliki tubuh yang kecil, namun tarsius merupa-
kan pemburu yang handal. Kemampuan itu didukung oleh adaptasi
seluruh bagian tubuhnya sehingga memungkinkan tarsius bergerak
lincah menjelajah dalam kegelapan malam di antara rimbun pepohon-
an. Adaptasi yang baik juga memungkinkan satwa ini dapat dengan
mudah mendeteksi keberadaan dan menangkap mangsanya.
Sebagai hewan sosial yang hidup berkelompok, setiap senja
seluruh anggota kelompok akan bergerak meninggalkan sarang
dan mulai menjelajah hutan untuk menemukan menu makan senja
dan malam hari. Saat menjelajah hutan, biasanya seluruh anggota
kelompok akan bergerak pada jarak yang tidak berjauhan. Sambil
melompat di antara ranting dan cabang pohon, biasanya satwa ini
akan mengeluarkan suara mencicit kecil dan halus. Bagi T. fuscus,
perburuan mangsa sebenarnya sudah dimulai sejak saat keluar dari
sarang. Hal ini ditunjukkan oleh gerak tubuh yang selain ditujukan
untuk mengamati kondisi sekitar, juga untuk mendeteksi keberadaan
mangsa. Upaya mendeteksi keberadaan mangsa terlihat dari gerakan
menoleh ke kiri dan ke kanan sambil menggerak-gerakkan telinganya.
Saat telah berhasil mendeteksi keberadaan mangsa, sosok kecil ini
akan lebih memusatkan perhatian ke arah mangsa berada. Tarsius
selanjutnya bergerak cepat, merayap, atau melompat tanpa suara,
ke posisi mangsa berada. Dalam hitungan detik, tarsius langsung
menerkam dan menangkap mangsa dengan menggunakan tangannya.
Mangsa yang berhasil ditangkap selanjutnya dilumpuhkan dengan
gigitan. Dengan menggunakan tangan, mangsa kemudian didorong
ke mulut, untuk dicabik dan dikunyah, sambil menimbulkan bunyi
kunyahan khas….kresss….. kresss….kress.
Berburu di malam hari memberi keuntungan tersendiri bagi
tarsius karena beberapa jenis mangsa merupakan hewan diurnal atau
hewan yang aktif di siang hari. Mangsa yang berupa hewan diurnal
Tarsius, Pemburu Handal ... 253
ini umumnya dapat ditangkap tanpa terlalu mengeluarkan banyak
energi karena sedang beristirahat atau tidur pada malam hari sehingga
tingkat kewaspadaannya berkurang (Gambar 18.3).
Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2020)
Gambar 18.3 Tarsius Si Pemburu Malam
Meskipun demikian, cukup banyak mangsa tarsius yang meru-
pakan hewan nokturnal dan ditangkap dalam keadaan sedang aktif
bergerak. Namun, untuk dapat menangkap hewan nokturnal sebagai
menu makan malamnya, tarsius harus lebih banyak mengeluarkan
tenaga. Oleh karena mengonsumsi berbagai jenis hewan lain dan
perburuan dilakukan saat malam hari maka julukan sebagai pemburu
malam sangat tepat disematkan pada si mata bola ini.
Saat menjelajah hutan dan memburu mangsanya si pemburu
malam akan selalu menjaga jarak agar tidak terlalu berjauhan dengan
anggota kelompok yang lain, tetapi tarsius tidak melakukan perburuan
mangsa secara berkelompok. Setiap individu akan bergerak sendirian
saat mengejar, menangkap, serta memakan mangsanya. Tarsius yang
.254
telah berhasil menangkap mangsa akan segera bergerak sedikit men-
jauh dari anggota kelompok lainnya, untuk mencari lokasi yang dirasa
aman. Hal ini sepertinya dilakukan untuk menghindari terjadinya
perebutan mangsa yang ditangkap oleh anggota kelompok lainnya.
F. Menu Perburuan
Jika mendengar kata insektivor dan memahami maknanya, mungkin
yang terbayang di benak adalah hewan yang baik, imut-imut, lucu,
dan ramah. Namun, begitu mendengar kata karnivor dan mengetahui
maknanya maka yang terbayang adalah hewan yang ukurannya besar,
buas, dan menakutkan. Tarsius tergolong hewan insektivor maupun
karnivor karena selain mengonsumsi berbagai jenis serangga juga
mengonsumsi berbagai jenis vertebrata lain yang berukuran kecil. Pola
makan seperti ini menyebabkan, secara umum, tarsius dikelompok-
kan sebagai faunivorous atau hewan yang mengonsumsi berbagai
jenis hewan lain (Gursky, 2000; Fleagle, 2013; Williams dkk., 2015)
dan merupakan satu-satunya satwa primata yang 100% dikategorikan
sebagai faunivorous (Nijman & Nekaris, 2010; Kappeler, 2012).
Mangsa tarsius dapat berupa hewan diurnal, seperti burung-bu-
rung berukuran kecil, seperti burung cabai panggul-kelabu (Dicaeum
celebicum), burung madu (Nectarinia sp.), burung kacamata (Zosterops
sp.), dan burung bondol (Lonchura sp.). Selain hewan vertebrata,
hewan avertebrata yang aktif pada siang hari juga menjadi pakan
kesukaan tarsius, seperti beberapa jenis belalang. Selain memangsa
hewan diurnal, sebenarnya cukup banyak mangsa tarsius merupakan
hewan yang aktif pada malam hari, misalnya jenis-jenis ngengat dan
jangkrik.
G. Pemangsa yang Lahap
Tarsius tergolong pemburu handal yang makan dengan lahap. Farida
dkk. (2008) menyatakan bahwa T. bancanus betina yang dipelihara di
penangkaran mampu mengonsumsi 23 ekor jangkrik dan 2–3 ekor
belalang per hari, sedangkan Hadiatry (2003) menyatakan bahwa T.
spectrum mampu mengonsumsi 6,5 ekor jangkrik lokal dan 26,3 ekor
jangkrik jerman per hari. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
mulai dari senja hingga malam hari, sekitar pukul 20.00, di areal
tebing karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, T. fuscus
membutuhkan waktu sekitar 4–7 menit untuk menghabiskan seekor
belalang berukuran besar yang memiliki panjang tubuh sekitar 6 cm.
Dalam jangka waktu beberapa jam tersebut, seekor tarsius betina de-
wasa terlihat dapat mengonsumsi hingga 3–5 ekor belalang daun yang
berukuran besar sebelum terlihat kenyang, menghentikan perburuan,
dan mulai beristirahat sejenak. Sebenarnya, jumlah konsumsi dan
jangka waktu yang dibutuhkan oleh tarsius untuk menghabiskan
mangsanya bergantung pada ukuran mangsa yang berhasil ditangkap.
Makin kecil ukuran mangsa yang berhasil ditangkap maka jumlah
yang dikonsumsi akan makin banyak. Pada pengamatan yang dilaku-
kan selama sekitar dua jam saja, tarsius terlihat dapat mengonsumsi
7–12 ekor belalang hijau berukuran kecil. Setiap ekor belalang kecil
dengan panjang sekitar 2 cm tersebut akan segera habis ditelan dalam
waktu 1–2 menit saja.
.256
H. Makan Malam yang Berdampak pada Ekosistem
T. fuscus tergolong satwa yang menguntungkan manusia karena
bukan termasuk hama pertanian maupun perkebunan. Si mata bola
ini tidak mengonsumsi bagian tumbuhan (buah, umbi, biji) seperti
beberapa jenis primata lain. Sebaliknya, tarsius memiliki peran se-
bagai penolong para petani dan pekebun karena menjadi predator
banyak jenis hama yang merugikan. Salah satu hama pertanian yang
dikonsumsi oleh tarsius adalah burung bondol yang merupakan salah
satu jenis burung yang menjadi hama tanaman padi. Berbagai jenis
belalang dan banyak jenis ngengat yang merupakan serangga hama
bagi tanaman perkebunan, juga menjadi makanan lezat bagi tarsius.
Dapat dikatakan bahwa si mata bola ini memiliki peran penting dalam
menjaga keseimbangan ekosistem. Kemampuannya mengonsumsi
hama dalam jumlah yang cukup banyak nampaknya membuat si mata
bola ini mampu membantu menjaga keseimbangan populasi serangga
hama yang merugikan manusia.
I. Penutup
Si mata bola berwajah aneh ini sebenarnya memiliki banyak man-
faat bagi kehidupan manusia. Meskipun demikian, keberadaannya
masih terabaikan. Masih sedikit masyarakat yang menyadari dan
memperhatikan keberadaan satwa ini. Padahal, dengan mayoritas pro-
fesi masyarakat sebagai petani dan pekebun, masyarakat seharusnya
menyadari bahwa satwa ini bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Masyarakat seharusnya juga mulai menyadari bahwa si mata bola
yang berburu mangsanya di keremangan senja hingga menjelang pagi
hari ini, dapat membantu pengendalian berbagai jenis serangga hama
secara alami.
Selain itu, sepertinya tidak banyak orang yang menyadari bahwa
dengan bentuknya yang unik, wajah yang aneh, dan pola hidup yang
aktif di malam hari, si mata bola berpotensi menjadi objek atau daya
tarik wisata. Sebagai hewan nokturnal, tarsius akan memberi warna
tersendiri bagi wisata malam. Pengelolaan satwa ini dalam bentuk
ekowisata kreatif, yaitu bentuk wisata yang secara aktif melibatkan
Tarsius, Pemburu Handal ... 257
seluruh pihak, mulai dari pengelola, masyarakat, wisatawan hingga
berbagai pihak terkait lainnya, diharapkan mampu membangkitkan
kesadaran akan pentingnya keberadaan dan menumbuhkan kecintaan
terhadap satwa ini.
Margaretta Christita & Diah Irawati Dwi Arini
Anoa atau dalam bahasa lokal disebut kerbau kerdil atau sapi hutan
merupakan salah satu satwa dilindungi di Indonesia. Anoa termasuk
satwa endemik yang hanya dapat ditemukan di hutan-hutan daratan
Pulau Sulawesi dan Buton. Populasi anoa di alam makin langka
akibat aktivitas manusia, yaitu perburuan dan perusakan habitat.
Anoa Breeding Center (ABC) merupakan program konservasi ex situ
anoa yang diinisiasi sejak tahun 2011 antara Balai Konservasi Sumber
daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara bersama dengan Balai Penerapan
Strandar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPSILHK)
Manado, yang dulunya bernama Balai Penelitian Kehutanan (BPK)
Manado. ABC mengambil peran dalam bidang penelitian mengenai
cara pemeliharaan serta peningkatan populasi anoa di Sulawesi.
Peresmian ABC dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Siti Nurbaya, pada tanggal 5 Februari 2015. Sampai
saat ini populasi anoa yang ada di ABC berjumlah sembilan ekor di
mana tiga ekor adalah anakan hasil perkawinan secara alami induk
anoa dataran rendah di ABC. Keberhasilan ABC, selain merupakan
pionir bagi konservasi ex situ di Sulawesi, juga diharapkan mampu
menghasilkan inovasi dan teknologi dalam mendukung pelestarian
anoa di Sulawesi.
A. Herbivor Terbesar di Sulawesi
Sulawesi dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Sebagai bagian dari
peralihan bioregion Indomalaya dan Australasia, yang dikenal dengan
garis khayal Wallacea, wilayah ini memiliki keanekaragaman hayati
flora, fauna, maupun mikroorganisme. Sulawesi memiliki beberapa
fauna khas yang tidak ditemukan secara alami di luar pulau Sulawesi
(fauna endemik), di antaranya adalah anoa (Bubalus depressicornis
dan Bubalus quarlesi) (Burton dkk., 2005).
Anoa termasuk satwa liar herbivor terbesar di Sulawesi. Pera-
wakannya mirip dengan kerbau atau sapi namun ukurannya lebih
kecil sehingga oleh masyarakat lokal disebut sebagai kerbau kerdil
atau sapi hutan (Mustari, 2019). Namun, sebenarnya anoa berkerabat
dekat dengan kerbau dan dikelompokkan ke dalam famili Bovidae,
genus Bubalus. Anoa merupakan satwa kebanggaan masyarakat
Sulawesi, satwa yang kharismatik namun juga ditakuti oleh sebagian
orang karena perilakunya yang agresif. Gambar kepala anoa diguna-
kan menjadi lambang dari provinsi Sulawesi Tenggara yang dikenal
sebagai bumi anoa, lambang ini memiliki makna hewan yang berciri
khas ulet, gesit, dan militan.
B. Anoa Dataran Rendah dan Anoa Dataran Tinggi
Terdapat dua jenis anoa di Sulawesi, yaitu anoa dataran rendah (B.
depressicornis) dan anoa dataran tinggi (B.s quarlesi) (Gambar 19.1).
Secara umum, tinggi tubuh anoa mencapai 70–100 cm, sedangkan
panjangnya mencapai 170–188 cm. Secara lebih spesifik, anoa
dataran rendah memiliki beberapa karakter khusus, di antaranya
Anoa Breeding Center ... 261
rambut berwarna hitam, gelap, dan tampak jarang. Panjang tanduk
pada individu jantan antara 27–37 cm dan betina 18–26, berbentuk
triangular pipih dan semacam alur cincin pada pangkalnya. Selain
itu, terdapat bercak putih seperti kalung pada lehernya. Sementara
itu, spesies anoa dataran tinggi berkarakteristik khusus pada rambut
yang berwarna coklat kehitaman dan coklat kemerahan, tampak lebih
tebal dan agak keriting. Tanduk berbentuk bulat (conical) berukuran
14,6–19,9 cm dengan permukaan yang halus tanpa alur cincin di
bagian pangkal. Anoa dataran tinggi memiliki ukuran tubuh lebih
kecil daripada anoa dataran rendah pada umur yang sama.
(a) (b)
Keterangan: a. Anoa betina dataran rendah umur 2 tahun b. Anoa betina dataran tinggi
umur 3 tahun
Foto: D.I.D Arini (2015)
Gambar 19.1 Perbedaan Karakter Fisik Dua Jenis Anoa di Sulawesi
C. Status dan Penyebaran Anoa
Anoa menjadi salah satu satwa dilindungi di Indonesia berdasarkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106
tahun 2018 tentang jenis dan tumbuhan satwa yang dilindungi dan
masuk dalam satwa prioritas. Perlindungan anoa pada skala global
telah dilakukan dengan penentuan status anoa dalam kategori En-
dangered species (satwa terancam punah) oleh International Union
for Conservation of Nature (IUCN) Red List, dan masuk Apendiks 1
Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) se-
.262
bagai satwa liar yang tidak boleh diperdagangkan secara internasional
apabila dari tangkapan alam.
Berdasarkan hasil kajian habitat dan kepadatan populasi Anoa
menggunakan metode jejak yang dilakukan di Sulawesi Utara dan
Gorontalo, diketahui bahwa populasi anoa di habitat alam masih dapat
dijumpai di kawasan-kawasan konservasi, seperti Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone dan Suaka Margasatwa Nantu. Hutan primer
merupakan habitat yang paling ideal untuk menunjang kehidupan
anoa. Selain menyediakan kebutuhan pakan anoa, hutan primer
juga layak sebagai tempat berlindung dan mencari keamanan dari
gangguan manusia dan satwa predator. Dalam sebuah penelitian
dijelaskan terdapat sedikitnya empat sub populasi anoa di Sulawesi
yang memiliki genetik yang berbeda, masing-masing di bagian utara,
tengah, tenggara Sulawesi, dan Pulau Buton (Burton dkk., 2005).
D. Anoa Breeding Center Manado
Jumlah populasi anoa diperkirakan terus mengalami penurunan
di habitat alaminya. Meskipun, belum pernah ada data pasti yang
menunjukkan adanya jumlah penurunan populasi di habitat alam,
namun berdasarkan wawancara baik dengan petugas di lapangan
maupun penduduk setempat di sekitar kawasan konservasi di Sulawesi
keberadaan anoa saat ini mulai sulit untuk dijumpai. Tentunya hal
tersebut menimbulkan keprihatinan berbagai pihak terutama para
penggiat konservasi. Konservasi anoa secara ex situ telah dilakukan
di beberapa kebun binatang baik di dalam maupun luar Indonesia.
Sebagai upaya untuk menekan laju penurunan populasi anoa, Anoa
Breeding Center (ABC) merupakan program konservasi ex situ
Anoa di Sulawesi yang pertama dan berlokasi di lingkungan Kan-
tor BP2LHK Manado, Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas,
Kecamatan Mapanget, Manado.
Gagasan mengenai pembentukan ABC ini telah diawali pada
tahun 2010 dengan membiasakan diri mempelajari dan memelihara
anoa di habitat alaminya maupun pada kondisi di penangkaran.
Salah satu alasan yang mendasari ABC berperan serta dalam upaya
Anoa Breeding Center ... 263
konservasi anoa adalah lokasinya yang berada di Sulawesi Utara
sehingga dekat dengan habitat alaminya. Hal ini menguntungkan
karena akan lebih mudah untuk mendapatkan indukan yang baik,
selain itu mudah pula untuk mendapatkan informasi lain terkait
mengenai konservasi anoa. ABC diresmikan oleh Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya pada 5 Februari 2015 dan saat ini
memiliki sembilan ekor anoa (tiga jantan dan enam betina). Tujuan
utama pembentukan ABC adalah meningkatkan populasi anoa secara
ex situ yang nantinya diharapkan dapat menjadi back up dan restock-
ing populasinya di alam, pelepasliaran anoa di habitat alam (release),
pertukaran dengan kebun binatang di dalam maupun luar negeri,
serta menjajaki kemungkinan domestikasi satwa tersebut.
E. Kegiatan Anoa Breeding Center
Kegiatan di ABC utamanya adalah pemeliharaan anoa dan penelitian,
namun di samping itu juga mengupayakan peningkatan pengetahuan
serta kesadaran masyarakat untuk melestarikan anoa. Kegiatan yang
dilakukan di antaranya pengelolaan harian anoa, penelitian, wisata
edukasi, pendidikan konservasi, volunteering, serta pelatihan dan
pendampingan pembangunan sanctuary.
Pengelolaan harian anoa
Pengelolaan dan perawatan anoa sehari-hari menjadi tanggung jawab
perawat satwa atau biasa dikenal dengan sebutan keeper dan dokter
hewan. Perawatan anoa terdiri dari pemberian pakan, pembersihan
kandang, perawatan kesehatan, dan pengobatan. Pemberian pakan
pada anoa dilakukan dua kali sehari dengan pakan utama adalah
jenis rumput australia (Brachiaria mutica) dan beberapa tambahan
pakan lainnya, seperti buah-buahan, umbi-umbian, dan sayur-sayuran
(Arini & Kafiar, 2014). Pembersihan kandang dilakukan setiap hari
termasuk pembersihan sisa-sisa makanan, bak kubangan, serta
kotoran/feses anoa. Perawatan kesehatan dilaksanakan oleh dokter
hewan termasuk pemantauan, pengobatan, pemeriksaan kebuntingan,
dan perawatan induk dan anak pasca kelahiran. Sarana dan prasarana
.264
di ABC terdiri atas kandang pemeliharaan, kandang kelahiran, kantor,
dan klinik ABC.
1) Penelitian
Penelitian mengenai anoa telah dimulai sejak tahun 2010 sampai
saat ini. Berbagai aspek telah dipelajari mulai dari preferensi habitat
anoa di alam, khususnya di kawasan konservasi, jenis-jenis sumber
pakan anoa dan nutrisinya, baik di habitat alam maupun sekitar
penangkaran, sosial dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan
yang menjadi habitat anoa, perilaku anoa, reproduksi, dan kesehatan.
Penelitian tidak hanya dilaksanakan oleh BPSILHK Manado namun
juga menggandeng berbagai universitas, seperti Universitas Sam
Ratulangi yang melakukan penelitian berkaitan dengan periode estrus
pada anoa betina dan pengamatan perilaku harian, Universitas Hasa-
nuddin yang meneliti karakteristik darah dan urine serta keragaman
endo dan ektoparasit pada anoa. Selain itu, keragaman genetik pada
anoa, khususnya yang dipelihara secara ex situ, di wilayah Sulawesi
telah diketahui melalui kegiatan penelitian dengan Institut Pertanian
Bogor di tahun 2016. Hasil kegiatan penelitian ini telah menghasilkan
berbagai publikasi baik dalam bentuk jurnal dan buku.
2) Edukasi
Wisata edukasi dilaksanakan dalam bentuk pelayanan pengunjung
yang datang secara langsung ke ABC. Pengunjung tidak hanya berasal
dari instansi-instansi pemerintah namun juga dari sekolah, universi-
tas, kelompok masyarakat, wisatawan domestik dan mancanegara, dan
media massa. Pelayanan pengunjung diberikan secara gratis pada hari
kerja, yaitu Senin sampai dengan Jumat. Para calon pengunjung hanya
perlu mengisi surat permohonan yang tersedia di halaman website
BP2LHK Manado. Setiap pengunjung yang datang akan ditemani
oleh peneliti, teknisi, dokter hewan maupun keeper yang ditugaskan.
Pada kegiatan ini pengunjung akan memperoleh banyak informasi
yang berkaitan dengan satwa anoa baik informasi anoa di habitat
alamnya maupun yang ada di pemeliharaan ex situ. Sebagian besar
pengunjung mendatangi ABC karena merasa penasaran untuk melihat
Anoa Breeding Center ... 265
satwa anoa karena satwa ini sejatinya sangat sulit dijumpai di habitat
alaminya melalui perjumpaan langsung.
Sejak tahun 2016 hingga 2018 tercatat sebanyak 114 pengunjung.
Jika dikelompokkan berdasarkan asal daerah didominasi oleh pen-
gunjung dari Sulawesi Utara (45,61%), selebihnya berasal dari luar
Sulawesi Utara. Banyaknya pengunjung yang berasal dari luar Sulawesi
Utara menunjukkan bahwa keberadaan ABC tidak hanya diketahui
dan dikenal oleh masyarakat sekitar Manado dan Sulawesi Utara,
tetapi juga telah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia. Bahkan,
keberadaan ABC telah diketahui hingga ke luar negeri. Negara asal
pengunjung ABC dari luar negeri adalah Jerman, Inggris, Belgia,
Australia, dan Amerika Serikat (Suryaningsih dkk., 2018).
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan: a–c. Kunjungan anak-anak sekolah, d. Kunjungan masyarakat umum
Foto: Anoa Breeding Center (2016)
Gambar 19.2 Wisata Edukasi di Anoa Breeding Center
.266
3) Pendidikan konservasi di sekitar kawasan konservasi
Pendidikan konservasi merupakan suatu usaha penyadartahuan yang
dilakukan secara berulang-ulang atau terus-menerus yang bertujuan
agar masyarakat memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap kon-
servasi sumber daya alam dan segala permasalahannya serta memiliki
pengetahuan, sikap, keahlian, motivasi, dan komitmen untuk ikut
memecahkan masalah konservasi (PJWLA, 2007). Ditambahkan oleh
Rachman (2012) pendidikan konservasi merupakan salah satu bentuk
usaha menjaga dan melindungi nilai-nilai luhur, keanekaragaman
hayati, dan peninggalan bangunan bersejarah yang ada. Pendidikan
konservasi bertujuan memperkenalkan alam kepada masyarakat dan
meningkatkan kesadaran akan nilai penting sumber daya alam yang
beraneka dalam sebuah ekosistem kehidupan. Pendidikan konservasi
anoa yang dilaksanakan oleh ABC, yaitu dengan aktif berkunjung
ke sekolah-sekolah, baik yang ada di sekitar ABC maupun sekitar
kawasan konservasi yang menjadi habitat anoa (Gambar 19.3). Pen-
didikan konservasi yang diberikan sedini mungkin kepada anak-anak
akan lebih tertanam di dalam hati sanubari mereka sehingga mereka
kelak saat dewasa akan makin bijak dalam berinteraksi dengan ling-
kungan alam (Rachman, 2012).
Materi pendidikan diberikan secara visual, seperti pemutaran
film maupun dalam bentuk cerita. Pendidikan konservasi ini bertu-
juan agar masyarakat lebih peduli terhadap kelestarian anoa sebagai
satwa langka khas pulau Sulawesi dan memperkenalkan satwa-satwa
endemik di Sulawesi kepada generasi muda dalam rangka menekan
laju perburuan liar satwa-satwa langka khususnya anoa di Sulawesi
dan degradasi habitatnya. Sampai dengan tahun 2019, diperkirakan
sebanyak lebih dari 10 sekolah baik tingkat Sekolah Dasar (SD), Se-
kolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
yang telah dikunjungi, yaitu di seputaran Kota Manado dan sekitar
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Bolaang Mongondow.
Anoa Breeding Center ... 267
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan: a-c. Kegiatan outreach ke sekolah-sekolah, d. Kegiatan outreach dan
perkemahan pramuka
Foto: Anoa Breeding Center (2017)
Gambar 19.3 Kegiatan Pendidikan Konservasi untuk Pelajar di Sekolah-sekolah
sekitar ABC
4) Volunteering
Kegiatan volunteering adalah bentuk kegiatan sukarela dalam mem-
bantu pengelolaan anoa di ABC. Volunteering sendiri bertujuan
memperkenalkan bagaimana pengelolaan ABC kepada masyarakat
dan menyebarluaskan informasi tentang kegiatan-kegiatan maupun
informasi tentang ABC ketika mereka sudah kembali ke daerah atau
negara asalnya. Kegiatan ini banyak mendapat dukungan volunteer
baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Gambar 19.4).
Tujuan mereka mengikuti program volunteering adalah selain mencari
pengalaman, juga sebagai sarana belajar tentang bagaimana pengelo-
laan anoa secara langsung di pusat konservasi. Di ABC sendiri tercatat
ada enam volunteer yang berasal dari Indonesia, Kanada, Jerman, dan
.268
Inggris. Kegiatan volunteering tidak hanya dilakukan secara individu,
namun pada tahun 2017 program volunteering juga mampu menarik
minat sebuah perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan
minuman untuk membantu pengelolaan ABC melalui program CSR
nya. Sekitar 40 orang hadir untuk memberikan bantuan dalam bentuk
pengelolaan kandang, pakan, dan limbah anoa.
5) Pendampingan dan pelatihan
Selain mengikuti program pelatihan, ABC juga membuka peluang
pelatihan dan pendampingan, sharing informasi, teknologi, dan
ilmu pengetahuan dalam bidang pengelolaan ex situ anoa. Beberapa
lembaga konservasi swasta dan pemerintah telah berupaya turut
(a) (b)
(c) (d)
Keterangan: a. Program volunteering group bersama sebuah perusahaan, b. Kegiatan
volunteering individu pemberian pakan, c. Pembersihan kendang, d. pengkayaan
tumbuhan pakan anoa
Foto: Anoa Breeding Center (2017)
Gambar 19.4 Kegiatan Volunteering Baik secara Grup maupun Individu
Anoa Breeding Center ... 269
membantu dalam pelestarian anoa melalui pembangunan sanctuary.
Sebagai pionir konservasi ex situ anoa di Sulawesi, ABC memiliki
cukup pengalaman dalam manajemen pengelolaan yaitu manajemen
pakan, kesehatan, reproduksi, dan kandang anoa.
F. Tantangan Konservasi Anoa
Melakukan upaya konservasi anoa tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Kehilangan habitat, kerusakan ekosistem, perbu-
ruan, serta permintaan pasar akan anoa sebagai produk konsumsi
merupakan beberapa faktor penyebab cepatnya laju penurunan
populasi anoa di habitat alaminya. Berkurangnya populasi anoa serta
terdesaknya habitat tidak menutup kemungkinan terjadinya kawin
kerabat (inbreeding) pada populasi di alam liar di mana peristiwa
ini akan lebih memicu punahnya anoa secara perlahan. Selain itu,
sifat anoa yang agresif, soliter, dan monogami turut menjadi pemicu
laju penurunan populasinya. Secara biologis, masa reproduksi anoa
(kawin dan memiliki anak) yaitu pada umur dua hingga tiga tahun,
sementara periode kebuntingan cukup lama, yaitu berkisar 9 hingga
10 bulan, dan di setiap fase kebuntingannya, anoa hanya melahirkan
satu ekor anak.
Tidak mudah untuk mewujudkan ABC sebagai salah satu upaya
konservasi anoa yang ideal. Hal ini harus didukung oleh sarana,
prasarana, dan staf pendukung yang memadai. Saat ini ABC telah
dilengkapi dengan kandang, tempat makan dan minum, saluran air,
pagar, serta areal pengembangan pakan. Staf pendukung terdiri atas
dua orang, yaitu satu keeper dan satu orang dokter hewan, dan juga
melibatkan peneliti dan teknisi dari Balai Penelitian dan Pengem-
bangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado. Idealnya, dalam
sebuah kegiatan breeding center perlu dilengkapi dengan sarana
penunjang kesehatan, kandang reproduksi, klinik, dan dokter hewan
yang bertanggung jawab untuk kesehatan hewan.
Keberhasilan konservasi anoa memerlukan dukungan dari
berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
terutama yang berfokus pada pelestarian lingkungan, pihak swasta,
.270
serta masyarakat. Penyadartahuan dan pendidikan lingkungan kepada
masyarakat terutama yang bermukim di sekitar habitat anoa mutlak
diperlukan. Tidak sebatas memperkenalkan anoa sebagai satwa yang
dilindungi beserta ciri morfologinya, tetapi lebih jauh menyadarkan
sejak awal bahwa rusaknya habitat merupakan awal hilangnya satu
spesies satwa dan hal ini menyebabkan ketidakseimbangan alam.
Foto: D.I.D. Arini (2020)
Gambar 19.5 Induk dan Anak Anoa Dataran Rendah di Anoa Breeding
Center
Keberhasilan ABC ditunjukkan dengan lahirnya anak-anak anoa
di ABC yang memiliki ketahanan hidup tinggi melalui manajemen
pengelolaan yang baik (Gambar 19.5). Keberhasilan reproduksi
anoa di ABC tentu akan diiringi dengan upaya pelepasliaran. Na-
mun, masih banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam upaya
pelepasliaran anoa di habitat alaminya. Tingkat keamanan wilayah
dari tindak perburuan, ketersediaan pakan anoa, dan status konservasi
lokasi adalah hal yang perlu diteliti dan dikaji sebelum dilakukan
pelepasliaran. Tampaknya, jalan panjang masih perlu dilalui oleh ABC
untuk menuju pelepasliaran dan melibatkan instansi-instansi terkait,
seperti BKSDA dan taman nasional.
Anoa Breeding Center ... 271
G. Kerja sama Konservasi Anoa
Upaya konservasi anoa nyaris nihil hasilnya apabila tidak ada
kolaborasi dengan berbagai pihak. Menyadari hal tersebut, ABC
telah membuka kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain Biotrop
(2013), GIZ-FORCLIME, Cargill, Zoo Leipzig-Germany, Tasikoki
Rescue Centre, PT Cargill, dan BKSDA Sulawesi Selatan. Bentuk
kerja sama yang telah dilakukan berupa pembangunan kandang
baru, pengiriman dokter hewan, serta training untuk peningkatan
kapasitas dan keahlian staff dan keeper anoa. Saat ini ABC telah mulai
banyak mendapatkan kunjungan dari berbagai pihak baik dalam dan
luar negeri dengan berbagai kepentingan, seperti tinjauan, akademis,
maupun penelitian. Kegiatan kerja sama yang pernah dilakukan
adalah pelatihan keeper anoa bekerja sama dengan kebun Binatang
Leipzig di Jerman, menerima kunjungan IUCN, Association of Zoos
and Aquarium (AZA) Amerika, European Association of Zoos and
Aquaria (EAZA) dan Taman Safari Indonesia (TSI) sebagai tindak
lanjut dari kegiatan Global Species Management Plan (GSMP) yang
dilaksanakan di Cisarua pada 25–30 Januari 2016. Pada masa men-
datang, diharapkan kerja sama yang lebih baik dan lebih luas dapat
terjalin dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama, yaitu
menjaga pelestarian anoa.
H. Penutup
Anoa Breeding Center merupakan salah satu bentuk konservasi ex
situ anoa yang lahir dari kegiatan-kegiatan penelitian. Sejalan dengan
waktu, ABC tidak hanya memiliki kegiatan dalam bidang penelitian
namun juga kegiatan-kegiatan yang lain, seperti wisata edukasi,
pendidikan konservasi, volunteering, pelatihan, dan pendampingan.
Adanya kegiatan lain diluar penelitian merupakan upaya ABC dalam
meningkatkan pengetahuan serta kepedulian masyarakat terhadap
anoa. Upaya, dukungan, dan kerja sama dari semua pihak diperlukan
dalam menjaga kelestarian anoa.
Burung maleo merupakan burung endemik Pulau Sulawesi dan Pulau
Buton yang memiliki keunikan. Burung tersebut tidak mengerami
telurnya, melainkan meletakkannya di dalam tanah untuk menetas
sendiri dengan bantuan panas matahari atau panas bumi. Anak bu-
rung maleo yang baru menetas dapat langsung terbang dan mencari
makan sendiri. Kepalanya memiliki tonjolan, seperti helm, warna
bulunya hitam dengan dada putih dan semburat merah jambu. Per-
ilakunya setia dan kompak bekerja sama dengan pasangan menggali
lubang untuk mengeramkan telurnya. Atraksi ini sangat unik bagi
kegiatan ekowisata dan dapat dikembangkan untuk mendukung
upaya konservasi. Selain itu, juga dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat sekitar kawasan konservasi habitat burung maleo.
H.
Burung yang memiliki nama daerah senkawor (Minahasa), panua
(Gorontalo), dan molo (Sulawesi Tenggara) ini termasuk ordo
Galiformes bersama dengan kalkun, merak, kuau, ayam hutan, dan
puyuh (Gambar 20.1). Burung maleo merupakan anggota famili
Megapodidae bersama dengan burung gosong. Megapodidae artinya
memiliki kaki besar. Kaki besar ini yang berguna untuk menggali
tanah atau pasir untuk bertelur. Burung maleo memiliki nama marga
Macrocephalon yang berarti berkepala besar. Burung maleo per-
tama kali dideskripsikan secara taksonomis oleh seorang naturalis
berkebangsaan Jerman yang bernama Salomon Müller pada tahun
1846 yang namanya diabadikan sebagai author di belakang nama
Macrocephalon maleo.
Foto: Hendra Gunawan (2000)
Gambar 20.1 Sepasang Burung Maleo di Tambun, Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone
Burung maleo (Macrocephalon maleo Müller, 1846) adalah satwa
endemik Pulau Sulawesi dan Pulau Buton (Dekker dkk., 2000) yang
statusnya dilindungi sejak Pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan
Undang-Undang Tahun 1931 tentang Binatang Liar dan Peraturan Per-
275
lindungan Binatang Liar. Pemerintah Indonesia kembali menetapkan
burung maleo sebagai satwa dilindungi pada tahun 1970 berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970 dan
dikuatkan lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar (Gunawan, 2000)
dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/
Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa
yang Dilindungi. Berdasarkan asesmen tahun 2016, International
Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapan burung maleo
dalam Red List dengan kategori endangered (BirdLife International,
2016). Sementara itu, Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan burung maleo
dalam Apendiks 1 yang berarti dilarang untuk diperdagangkan apabila
diambil langsung dari alam.
B. Maleo, Identitas Daerah dan Kebanggaan
Masyarakat Sulawesi
Burung maleo menjadi identitas daerah karena keberadaannya yang
hanya tersebar di Pulau Sulawesi. Burung ini juga menjadi kebang-
gaan masyarakat, khususnya masyarakat Sulawesi. Hal ini tercermin
pada penggunaan burung maleo sebagai lembaga atau logo lembaga
dan kabupaten (Gambar 20.2 a–d). Sebagai contoh, Taman Nasional
Bogani Nani Warta Bone, yang dideklarasikan pada Kongres Taman
Nasional sedunia ke-2 di Bali tahun 1982 oleh Menteri Pertanian
sebagai Taman Nasional Dumoga Bone berdasarkan SK Nomor 736/
Mentan/X/1982 tanggal 15 Oktober 1982 (Taman Nasional Bogani,
t.t) menggunakan burung maleo sebagai logo. Taman nasional ini
merupakan salah satu pusat habitat maleo terbesar di Sulawesi, dengan
luas kawasannya yang mencapai 282.008,76 hektare (Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018).
Burung maleo juga menjadi bagian dari logo Kabupaten Tojo
Una-Una dan Kabupaten Banggai di Provinsi Sulawesi Tengah
.276
dan Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo. Kabupaten Tojo
Una-Una menggunakan burung maleo untuk melambangkan sifat
mandiri, cerdik, dan energik (Perda Kabupaten Tojo Una-Una, 2005).
Kabupaten Boalemo menempatkan burung maleo dalam logo untuk
melambangkan hewan langka yang terdapat di kabupaten Boalemo
(Pemerintah Kabupaten Boalemo, t.t.). Sementara itu, Kabupaten
Banggai mendeskripsikan salah satu bagian lambang daerahnya
“Burung maleo yang berwarna coklat dan hitam dalam keadaan
terbang adalah jenis margasatwa yang spesifik terdapat di daerah
Kabupaten Banggai dan mempunyai hubungan dengan adat istiadat di
daerah Kabupaten Banggai serta melambangkan tenaga membangun
dari rakyat di daerah Kabupaten Banggai” (Pemerintah Kabupaten
Banggai, t.t.).
Burung maleo juga diabadikan dalam bentuk prangko yang
di-launching pada peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
(HCPSN) tahun 1995 (Gambar 20.2 e). Oleh filatelis Indonesia,
burung maleo dideskripsikan sebagai satwa yang sudah melekat
dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah. Telur burung ini
dijadikan sebagai sumber protein hewani dan digunakan dalam adat
istiadat untuk diserahkan kepada orang yang dihormati. Akibatnya,
banyak perburuan yang mengancam populasi burung ini. Dengan
menetapkan burung maleo sebagai identitas provinsi, diharapkan
keberadaannya di Sulawesi Tengah dapat dipertahankan (Filatelis
Indonesia, 2012).
Burung maleo ditetapkan sebagai maskot atau fauna identitas
Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 1990 berdasarkan Keputusan
Gubernur Sulawesi Tengah Nomor Kep. 188.44/1067/RO/BKLH
tanggal 24 Februari 1990 (Alamendah, 2009). Hal ini karena burung
maleo merupakan kebanggaan bagi masyarakat Sulawesi Tengah
dan beberapa kawasan konservasi di Sulawesi Tengah merupakan
tempat hidup maleo, yaitu Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten
Banggai, yang merupakan salah satu habitat tempat bertelur terbesar
di sulawesi tengah (Gambar 20.3), SM Pinjan/Tanjung Matop di
Kabupaten Buol, Cagar Alam Morowali di Kabupaten Morowali,
277
(a) (b) (c)
(c) (d)
Keterangan: a. Logo TN. Boganani Wartabone (TN Bogani, t.t.), b. Lambang Kabupaten
Tojo Una-Una (Perda Kabupaten Tojo Una-Una, 2005), c. Lambang Kabupaten Banggai
(Pemerintah Kabupaten Banggai, t.t.), d. Lambang Kabupaten Boalemo (Pemerintah
Kabupaten Boalemo, t.t.), e. Prangko edisi maleo (Filatelis Indonesia, 2012)
Gambar 20.2 Penggunaan Burung Maleo Sebagai Logo atau Lambang Lembaga
dan Kabupaten
Foto: Hendra Gunawan (2000)
Gambar 20.3 Sekelompok burung maleo turun di lapangan tempat
bertelur di Suaka Margasatwa Bakiriang, Kabupaten Banggai.
.278
dan Taman Nasio