• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satwa langka Indonesia 5. Tampilkan semua postingan

Satwa langka Indonesia 5


















 i orang yang me-

miliki dendam karena ular sanca dianggap titisan dari makhluk alam 

gaib. Pemahaman ini makin bergeser seiring dengan perkembangan 

zaman. Buktinya, lambang kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 

memilih simbol ular sebagai logo. Alasannya karena ular memiliki 

kemampuan untuk berganti kulit. Kemampuan berganti kulit ini 

Sanca Batik, Sang ... 223

memiliki filosofi dan dikaitkan dengan kesembuhan dan ”kehidupan 

baru”. 

Ada beberapa mitos yang berkembang di masyarakat terkait 

dengan sanca batik, bab ini akan membahas beberapa mitos dan fakta 

menarik tentang sanca batik antara lain, sebagai berikut.

1) Ular besar pasti berbisa

Masih banyak masyarakat yang salah kaprah dan keliru menganggap 

ular sanca berbisa. Faktanya, berdasarkan Reptile Database Interna-

tional, dari 349 spesies ular yang berbisa hanya 77 jenis atau 20% 

saja, sisanya tidak berbisa. Semua jenis sanca dan boa tidak berbisa. 

Senjata sanca untuk membunuh mangsa adalah belitan yang sangat 

kuat sehingga mampu meremukkan tulang. Jenis-jenis ular berbisa 

di Indonesia adalah kobra (Naja sputatrix), king kobra (Ophiophagus 

hannah), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), welang (Bungarus 

fasciatus), weling (Bungarus candidus) dan picung (Rhabdophis 

subminiatus). Rata-rata ular yang berbisa memiliki bentuk tubuh 

langsing dan kecil. 

2) Ular itu berlendir

Pada umumnya, jika kita melihat ular akan merasa jijik dan menga-

takan bahwa sisik ular itu berlendir, licin, dan basah. Faktanya, tidak 

ada satu pun jenis ular yang berlendir, bahkan sisik ular benar-benar 

ke-ring. Kulit ular sanca terasa halus dan mengilat, bahkan menim-

bulkan efek tiga dimensi akibat pantulan cahaya matahari sehingga 

terlihat seperti berlendir dan basah.

3) Menabur garam untuk mengusir ular

Menabur garam di sekeliling rumah untuk mengusir ular merupakan 

sebuah mitos. Tidak ada penjelasan ilmiah tentang kandungan garam 

yang mampu mengusir kedatangan ular. Faktanya, garam hanya efektif 

untuk mengusir hewan yang memiliki kelenjar keringat atau hewan 

berlendir, seperti siput, pacet, dan lintah. Sanca batik tidak memiliki 

kelenjar keringat dan tidak berlendir sehingga pemberian garam tidak 

efektif untuk mengusir ular. 

.224

4) Ular itu memiliki telepati

Banyak kepercayaan yang beredar di masyarakat bahwa jika kita 

membunuh ular, baik disengaja atau tidak, segerombolan ular lainnya 

akan datang untuk membalas dendam pada orang yang membunuh 

ular tersebut. Mitosnya, pada saat ular dalam keadaan terdesak dan 

menjelang kematian, ular akan melihat pembunuh dan mengirim-

kan sinyal kepada kawanan ular lain bahwa ada orang yang telah 

membunuhnya. Faktanya, ular tidak memiliki telepati dan kecerdasan 

untuk mengingat orang atau tempat di mana ia disakiti. Hingga saat 

ini, tidak ada bukti dan laporan mengenai serangan sekelompok ular 

sanca kepada manusia akibat membunuh ular lain. Seperti halnya 

predator lain, ular sanca batik sejatinya adalah hewan yang soliter, 

artinya bukan jenis hewan yang berkelompok. Saat mencari mangsa, 

ular hanya melakukannya sendiri bahkan dimulai sejak ular baru 

menetas. Inilah yang menyebabkan ular sanca batik disebut predator 

karena sudah terlatih mencari mangsa sendiri sejak dari menetas.

5) Ular itu bisa mendengar

Faktanya, ular tidak memiliki daun telinga sehingga tidak ada cerita 

yang mengatakan bahwa ular akan agresif dan menyerang karena 

suasana  bising. Ular hanya mampu merasakan getaran udara melalui 

organ bagian dalam yang disebut membran typhani. Ular  mendeteksi 

segala sesuatu yang ada di sekitarnya dengan menggunakan lidahnya 

yang bercabang. Itulah sebabnya mengapa ular sering menjulurkan 

lidah untuk mengumpulkan informasi melalui partikel udara.

G. Bagaimana Sanca Batik bisa memangsa manusia?

Banyak kasus yang kita dengar tentang serangan sanca batik pada 

hewan ternak, hewan liar lain, bahkan manusia. Namun, sanca batik 

umumnya tidak memangsa manusia. Hewan yang menjadi mangsa 

utama ular ini, antara lain kelompok hewan pengerat (rodentia), 

seperti tikus, kelinci, dan marmot; burung atau bahkan rusa; kancil; 

dan babi hutan. Pada dasarnya, ular besar seperti sanca ini mampu 

memilih mangsa sesuai dengan kebutuhan kalorinya. Jadi, sanca 

Sanca Batik, Sang ... 225

yang sudah memiliki panjang tubuh lebih dari 5 meter tidak akan 

mengejar atau memakan tikus yang melintas. Mangsanya minimal 

seukuran babi hutan karena ular sanca batik akan mengalkulasikan 

massa tubuh mangsanya, apakah sesuai dengan kebutuhan kalorinya 

sehingga ular ini akan cenderung memilih mangsa yang besar jika 

berburu (Mattison, 2005). Berburu memerlukan usaha dan energi 

yang besar sehingga pemilihan mangsa yang berukuran besar akan 

dianggap lebih setimpal. 

Potensi ular sanca batik untuk memangsa manusia akan makin 

meningkat ketika habitat dan tempat hidup satwa liar makin ba-

nyak dirampas untuk dijadikan jalan, perkebunan, perumahan, dan 

lahan pertanian oleh manusia. Selain alih fungsi tersebut, ancaman 

perburuan terhadap satwa mangsa ular sanca batik, seperti babi 

hutan, kancil, dan burung makin banyak terjadi. Sulitnya ular ini 

bertahan dan mencari mangsa membuat perubahan perilaku makan 

dan mencari mangsa sehingga manusia yang awalnya tidak masuk 

kategori sebagai pakan akan berpotensi juga untuk dimangsa. 

H. Tip jika bertemu ular sanca batik

Pada dasarnya ular, baik jenis yang berbisa atau ular besar seperti 

sanca batik akan takut dengan keberadaan manusia dan tidak akan 

menyerang manusia jika tidak terganggu. Jadi, yang harus dilakukan 

saat bertemu satwa ini adalah jangan panik dan melakukan gerakan 

secara tiba-tiba, bergeraklah secara perlahan ke arah yang berlawanan 

dari keberadaan ular ini. Jika kita akan melintas di jalan yang tepat 

melewati ular ini, disarankan membawa tongkat kayu yang agak 

panjang sehingga kita dapat mengontrol jarak aman dari ular ini 

untuk menghindari belitan.

Ular sanca batik memang tidak memiliki bisa, namun tetap 

memiliki taring seperti kail yang runcing dan tajam sehingga mampu 

merobek jaringan kulit hingga ke otot. Oleh sebab itu, jika kita tergigit 

hindari untuk melepaskannya secara paksa karena gigitannya akan 

makin dalam, lebar, dan berpotensi menyebabkan taring akan patah 

dan tertinggal di dalam jaringan kulit. Langkah yang tepat dilakukan 

.226

untuk melepaskan gigitan ular adalah dengan menahan mulut sanca 

batik dan menggunakan air untuk disiram ke mulutnya sehingga 

otomatis ular akan melepaskan gigitan dengan sendirinya.

Lalu apa yang harus dilakukan jika ular sanca sudah pada tahapan 

membelit untuk membunuh? Pada dasarnya sanca batik akan makin 

kencang membelit jika kita makin melawan dan banyak melakukan 

gerakan. Oleh sebab itu, jika kita sudah terbelit, lemaskan saja badan, 

dan hindari dibelit di bagian leher dengan memiringkan posisi kepala 

ke bahu kanan/kiri agar ular tidak langsung membelit ke leher dan 

membuat kita tercekik. Kemudian, kepala dan ekor ular digenggam 

sekuat tenaga secara bersamaan dan belitan ular segera dilepaskan 

secara cepat dengan bantuan orang lain. Perlu diketahui, jika ular 

sanca sudah membelit di bagian leher, hanya butuh waktu sekitar 3 

menit saja untuk membuat manusia meninggal karena tercekik dan 

kehabisan oksigen. Sebagai perbandingan, jika tergigit ular king kobra 

(O. hannah), akan membutuhkan waktu 40 menit sampai racun yang 

menyerang sistem saraf dapat menghancurkan sel darah merah (neu-

rotoksik) dan menyebabkan kematian pada manusia dewasa. Oleh 

karena itu, jika terbelit ular sanca, dibutuhkan sebanyak mungkin 

orang untuk melepaskan belitannya dengan cepat agar terhindar dari 

kehabisan napas dan cedera lain (patah tulang rusuk).

I. Penutup

Mangsa utama sanca batik bukan manusia, tetapi perubahan pola 

pemangsaan ini disebabkan ekspansi pembangunan yang terus 

menerus menekan habitat asli sanca batik. Akibat tekanan ini, sanca 

batik, yang memiliki tingkat adaptif dan toleransi tinggi terhadap 

keberadaan manusia, sering kali dinilai memasuki wilayah manusia, 

dan bukan sebaliknya. Selain habitat aslinya terancam akibat ekspansi 

pembangunan yang berakibat memutus rantai makanannya, ancaman 

perburuan terhadap satwa mangsa sanca batik, seperti mamalia kecil 

dan burung makin marak terjadi. Sulitnya bertahan dan mencari 

mangsa membuat sanca batik mengubah perilaku makan dan men-

cari mangsa sehingga manusia yang awalnya tidak masuk kategori 

sebagai makanan akan berpotensi juga untuk menjadi makanan demi 

Sanca Batik, Sang ... 227

bertahan hidup. Oleh sebab itu, harmonisasi antara alam dan manusia 

penting untuk dijaga. Pembangunan memang perlu dilakukan, namun 

hendaknya tetap memperhatikan keseimbangan alam. Perlu diingat 

bahwa manusia walaupun pada hakikatnya memiliki derajat tertinggi, 

tetapi bukan penghuni tunggal di bumi. 

Jenis-jenis burung cica daun memiliki perpaduan yang sempurna 

antara warna tubuh yang menawan dan suara nyanyian yang unik. 

 Suara burung ini secara alami pada umumnya adalah kombinasi 

antara suara seolah mencicit, beberapa ledakan siulan yang jernih, 

dan agak bergetar secara berulang. Sejak lama para peminat burung 

kicau telah menjadikannya sebagai kelompok burung yang kerap 

dipelihara dan dilombakan dalam berbagai kontes burung. Cica 

daun menyimpan nilai ekonomi yang tinggi sekaligus ancaman yang 

tinggi juga dari perburuan liar dan perdagangan ilegal. Pemanfaatan 

cica daun sebagai aset keanekaragaman hayati yang dilindung perlu 

dioptimalkan secara bijaksana.


A. Burung Kicau yang Terus Diburu

Cica daun (Chloropsis spp.) termasuk kelompok burung yang senang 

bernyanyi dengan suara merdu dan nyaring. Jenis-jenis cica daun 

termasuk ke dalam suku Chloropseidae yang lebih dikenal dengan 

sebutan cucak ijo atau cucak hijau. Mereka dikenal pandai meniru-

kan suara burung-burung lainnya. Keunikan suaranya menjadikan 

kelompok burung ini kerap diburu dari alam untuk dipelihara oleh 

kalangan peminat burung kicau. 

Salah satu sebaran penting jenis-jenis cica daun di Pulau 

 Kalimantan berada di Kalimantan Timur. Secara taksonomis di 

Indonesia sendiri tercatat tujuh jenis cica daun, empat di antaranya 

dijumpai di Pulau Kalimantan, yaitu cica-daun besar (Chloropsis 

sonnerati), cica-daun kecil (C. cyanopogon), cica-daun sayap-biru 

(C. cochinchinensis), serta cica-daun kalimantan (C. kinabaluensis) 

(Moltesen dkk., 2012). Khusus untuk wilayah Kalimantan Timur 

hanya ditemukan tiga jenis cica daun sebab jenis cica daun  kalimantan 

bersifat endemik di areal pegunungan Kalimantan bagian utara 

(termasuk Malaysia). 

Selain memiliki suara yang merdu, perawakan jenis-jenis cica 

daun juga termasuk cantik. Sesuai dengan lamanya, ciri khas yang 

paling melekat adalah tubuhnya didominasi warna hijau menyeru-

pai warna daun. Hal ini menyebabkan tubuhnya tersamar dan sulit 

dikenali terutama saat sedang tidak bersuara di hutan. Burung jantan 

memiliki ciri khas tenggorokan hitam menyerupai topeng dengan 

gradasi kekuningan di sekitar tubuh bagian bawah atau bagian kepala 

(Gambar 17.1). Secara umum seluruh jenis cica daun memiliki warna 

tubuh yang serupa. 

231

Foto: Mukhlisi (2018)

Gambar 17.1 Cica-Daun Sayap-Biru Jantan

Sebelum terbitnya Permen LHK No P.106 Tahun 2018 tentang 

Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, jenis-jenis cica daun bukan 

termasuk burung dilindungi di Indonesia. Tingkat ancaman terhadap 

populasi dan habitat yang tinggi menjadikan jenis burung ini makin 

langka. Menurut International Union for Conservation of Nature 

(IUCN) Red List jenis-jenis burung cica daun yang tersebar di Kalim-

antan Timur memiliki kategori konservasi near threatened (cica-daun 

kecil), sampai endangered (cica-daun besar dan cica-daun sayap-biru). 

Secara global, seluruh jenis burung cica daun terus mengalami ke-

cenderungan penurunan populasi yang cukup tajam. Sebagai contoh, 

populasi jenis cica-daun besar dan cica-daun sayap-biru diperkirakan 

akan merosot hingga 50% di masa depan akibat perburuan ilegal 

(Birdlife International, 2019a, 2019b). 

B. Silent Forest Syndrome

Silent forest syndrome merupakan sebuah situasi di mana hutan 

menjadi sepi dari suara berisik satwa karena satwa yang hidup di 

dalamnya menghilang, baik itu disebabkan oleh manusia secara 

langsung maupun tidak langsung. Kondisi hutan yang sepi dari suara 

satwa adalah salah satu indikator ekologi yang kurang baik walaupun 

kondisi vegetasi di sekitarnya sangat lebat. Keanekaragaman suara 

.232

satwa memiliki peran penting untuk mengukur status kesehatan 

hutan. Kecenderungan sindrom hutan yang sepi mayoritas disebabkan 

oleh perburuan satwa liar untuk tujuan komersial, termasuk berbagai 

jenis burung kicau. Perburuan terhadap burung cica daun dari alam 

juga memiliki kontribusi nyata terhadap meningkatnya fenomena 

hutan yang sepi. Sebagian areal hutan di Kalimantan Timur, seperti 

areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK-HA) mengalami 

penurunan populasi akibat perburuan terhadap jenis-jenis burung 

cica daun sehingga burung cica daun sulit ditemukan dan hutan terasa 

sepi. 

C. Cica Daun dalam Rantai Perdagangan 

Seluruh jenis burung cica daun mengalami ancaman pemanenan 

dari alam secara ilegal untuk diperdagangkan. Selain diperdagangkan 

secara lokal, jenis-jenis burung ini juga menjadi komoditas perda-

gangan antarpulau, seperti ke Pulau Jawa dan Sulawesi, bahkan lintas 

negara. Menariknya, seiring perkembangan teknologi informasi saat 

ini, perdagangan burung dilindungi juga dilakukan secara daring 

sehingga dapat mencakup wilayah yang luas. Hasil observasi yang 

dilakukan oleh Chng dkk. (2017) menyebutkan bahwa sebanyak 3.008 

ekor burung jenis cica-daun besar telah diperdagangkan dari 515 toko 

burung di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, 

dan Jawa Timur. 

Sejak ditetapkan sebagai jenis dilindungi, dalam kurun waktu tiga 

tahun terakhir, perdagangan ilegal burung cica daun yang berasal dari 

Kalimantan Timur terindikasi makin meningkat. Hal ini dapat dike-

tahui dari upaya aparat penegak hukum yang berhasil membongkar 

sindikat perdagangan satwa liar dilindungi. Berikut ini ditampilkan 

jumlah sitaan burung cica daun yang berasal dari wilayah Kalimantan 

Timur berdasarkan informasi yang dirilis pada beberapa media massa 

(Tabel 17.1). Jumlah yang diekstraksi dari alam diperkirakan masih 

di atas fakta yang sesungguhnya.


Masih cukup banyak fenomena penangkapan dan perdagangan 

jenis-jenis burung cica daun yang berlangsung di tengah masyarakat. 

Sebagai contoh, Chng dkk. (2017) melaporkan secara nasional pada 

kurun waktu 2014–2016 tercatat perdagangan sebanyak 2.244 ekor 

dari 13 kasus penyitaan. Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Suba 

dkk. (2011) di Kabupaten Paser Kalimantan Timur menunjukkan jika 

sebanyak 12 ekor burung cica daun ditangkap setiap bulan dari alam 

untuk diperdagangkan. 

Umumnya harga burung cica daun tangkapan alam dari 

 Kalimantan Timur secara lokal dijual dengan harga berkisar 

Rp300.000–Rp 500.000. Harga tersebut diperkirakan akan terus me-

ningkat sebab permintaan yang makin tinggi dan sifat burung yang 

eksklusif. Beberapa daerah tangkapan alam di Pulau Kalimantan, 

terutama Kalimantan Barat, telah terindikasi mengalami kepunahan 

secara lokal dan menjadi sulit untuk menemukan populasi burung 

cica daun di alam (Chng dkk., 2017). 

Kontes burung kicau turut mempunyai andil dalam meningkat-

kan volume perdagangan sekaligus potensi perburuan liar terhadap 

jenis-jenis burung kicau dari alam. Selain itu, fenomena ini juga 

berkaitan dengan fakta bahwa burung menjadi salah satu satwa liar 

yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia untuk dipelihara. 

Harga burung cica daun yang memenangkan sebuah kontes kicau 

.234

sudah pasti akan melambung tinggi sehingga selain sekedar hobi, 

juga terjadi perputaran ekonomi yang tinggi dari bisnis burung kicau. 

D. Aspek Ekologi Burung Cica Daun

Populasi tiga jenis cica daun yang ada di Kalimantan Timur belum 

diketahui secara pasti, tetapi jenis-jenis tersebut diyakini tersebar luas 

baik di kawasan hutan konservasi maupun nonkonservasi. Berdasar-

kan pengamatan yang pernah dilakukan pada delapan areal hutan 

yang berada di Kabupaten Kutai Timur dan Berau diketahui bahwa 

cica-daun kecil berhasil teridentifikasi pada tujuh lokasi, cica-daun 

besar pada enam lokasi, sedangkan cica-daun sayap-biru ditemukan 

pada empat lokasi. Areal hutan yang tidak memiliki sebaran cica daun 

mayoritas memiliki tanda-tanda bekas perburuan burung yang inten-

sif. Sebagian besar areal hutan yang masih terdapat populasi cica-daun 

berada pada lokasi dengan akses yang sulit dicapai manusia. Kondisi 

umum habitat tiga jenis cica hutan seperti tersaji pada Tabel 17.2.


Pengamatan secara langsung di lapangan dengan rata-rata durasi 

waktu pengamatan delapan hari pada tiap kawasan hutan mendapat-

kan data jumlah individu yang cukup rendah. Setiap jenis burung 

235

cica-daun umumnya hanya ditemukan dalam jumlah kurang dari tiga 

individu pada setiap areal hutan yang diamati. Meskipun hal tersebut 

dapat dipengaruhi oleh durasi waktu pengamatan dan luas wilayah 

sampling, tetapi telah cukup menggambarkan secara sederhana 

bagaimana kelimpahan jenis-jenis cica daun di alam. Catatan temuan 

individu tertinggi berasal dari satu areal hutan produksi di Kabupaten 

Berau dengan tipe hutan karst dekat pesisir dengan temuan sebanyak 

9 individu untuk jenis cica-daun kecil (Gambar 17.2).  

Foto: Mukhlisi (2020)

Gambar 17.2 Cica-Daun Kecil di Areal Hutan Karst Pesisir 

Kabupaten Berau

Perilaku mencari makan antara ketiga jenis cica daun terlihat 

serupa. Umumnya mereka menyukai tajuk pohon yang tinggi, namun 

kadang juga turun sampai ke lantai hutan dan sekitar semak belukar 

untuk berburu serangga. Jenis cica-daun besar lebih menyukai tajuk 

tinggi dan jarang turun sampai ke tanah dibandingkan cica-daun 

sayap-biru dan cica-daun kecil. Areal jalan membelah hutan yang 

jarang dilintasi manusia biasanya menjadi tempat yang sering dikun-

jungi karena banyak ditemukan tumbuhan yang sedang berbunga dan 

.236

berbuah (Gambar 17.3). Burung cica daun di alam selalu dijumpai 

secara berpasangan dalam kelompok kecil atau bercampur dengan 

jenis lainnya. 

Jenis-jenis tumbuhan yang kerap dikunjungi dan menjadi pa-

kan cica daun adalah buah dan nektar tumbuhan sekunder, seperti 

jenis-jenis mahang (Macaranga spp.), anggrung (Trema spp.), serta 

Acalypha caturus. Keberadaan pohon kersen (Muntingia calabura) 

yang banyak tersebar pada daerah pesisir karst di Kabupaten Berau 

juga kerap dikunjungi oleh kelompok cica-daun kecil. 

Foto: Mukhlisi (2020)

Gambar 17.3 Vegetasi Sekunder di Areal Tepi Hutan 

E. Konservasi dan Upaya Pemanfaatan Secara 

Berkelanjutan

Keberadaan jenis-jenis burung kicau termasuk cica daun yang hidup 

alami di berbagai kawasan hutan menunjukkan aset keanekaragaman 

hayati yang dimiliki bangsa Indonesia sangat tinggi. Di lain pihak, pe-

manfaatan satwa ini yang dilakukan secara kurang bijak menyebabkan 

penurunan populasinya di alam secara signifikan. Tingkat ancaman 

237

terhadap jenis-jenis cica daun makin meningkat seiring kerusakan 

habitat, seperti alih fungsi hutan dan penebangan ilegal.

Sebagai satwa liar yang dilindungi, pemanfaatan burung cica 

daun tidak dapat dilakukan dengan cara memanen langsung dari alam 

walaupun bukan berarti jual beli sama sekali tidak diperkenankan. 

Perdagangan tetap dapat berjalan jika individu burung tersebut 

berasal dari penangkaran resmi bersertifikat. Menurut PP. Nomor 

8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar 

menyebutkan bahwa satwa liar dilindungi yang dapat diperjualbelikan 

atau dipelihara masyarakat adalah keturunan F2 dan generasi beri-

kutnya. Hal ini juga diperkuat di penjelasan Pasal 36 UU No 5 Tahun 

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang 

mengatur kemungkinan untuk melakukan pemanfaatan satwa liar 

baik dalam bentuk penelitian, penangkaran, maupun perdagangannya. 

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 

tahun 2018 terdapat sebanyak 428 penangkar burung di Indonesia 

(Biro Humas KLHK, 2018). Sayangnya, masih sedikit penangkar 

burung di Kalimantan Timur yang fokus mengembangkan jenis-jenis 

cica daun asli Kalimantan. Padahal, penangkaran menjadi jalan tengah 

pemanfaatan secara lestari yang dapat dilakukan secara bersamaan 

untuk mendukung upaya konservasi jenis. Berdasarkan regulasi, para 

penangkar wajib melepasliarkan satwa kembali sebanyak 10% hasil 

tangkaran ke alam.

Pengembangan penangkaran burung kicau dalam skala bisnis 

sebetulnya juga sangat menjanjikan dari sisi ekonomi. Potensi perpu-

taran uang dari bisnis penangkaran burung diperkirakan mencapai 

dua triliun per tahun (Perputaran Bisnis Penangkaran, 2020). Nilai 

ini tentu cukup tinggi untuk menggerakkan roda perekonomian 

masyarakat. Minat pelaku usaha penangkaran resmi burung cica 

daun yang rendah di Kalimantan Timur selain disebabkan oleh fak-

tor perburuan ilegal yang masih marak dilakukan, juga minimnya 

pemahaman terhadap alur teknis perizinan penangkaran burung. 

Oleh sebab itu, langkah penyadartahuan dan sosialisasi perlu terus 

dilakukan kepada masyarakat dan para pelaku usaha. 

.238

Langkah konservasi terhadap jenis-jenis cica daun terutama di 

Kalimantan Timur juga perlu didukung melalui perbaikan populasi 

secara in situ. Kondisi habitat yang minim gangguan manusia sangat 

diperlukan untuk mengembalikan populasi cica daun yang rendah, 

terutama jenis prioritas cica-daun besar dan cica-daun sayap-biru. 

Secara bersamaan, penegakan hukum lingkungan perlu terus dilaku-

kan untuk membongkar sindikat perdagangan satwa liar dilindungi 

yang masih tinggi. 

F. Penutup

Pemanenan dan perdagangan secara tidak legal merupakan ancaman 

paling utama terhadap populasi jenis-jenis cica daun. Di antara tiga 

jenis cica daun yang teridentifikasi di Kalimantan Timur, cica-daun 

besar memiliki ancaman paling tinggi dari kegiatan perburuan liar 

karena permintaan pasar yang tinggi. Sebagai jenis burung yang 

cukup adaptif pada berbagai kondisi hutan, maka efek perburuan 

liar terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan efek kerusakan habitat. 

Upaya konservasi terhadap jenis-jenis cica daun di Kalimantan Timur 

perlu diarahkan kepada perbaikan populasi baik melalui mekanisme 

alami maupun penangkaran. Selain memiliki nilai potensi ekonomi 

yang tinggi, pengembangan penangkaran akan membantu burung 

cica daun untuk kembali bernyanyi lagi di alam. 

Tarsius merupakan primata endemik Sulawesi yang masih belum 

banyak dikenal, salah satunya jenisnya adalah Tarsius fuscus. Satwa 

berukuran kecil ini memiliki kemampuan berburu yang handal,  dito-

pang oleh adaptasi seluruh bagian tubuhnya sehingga dapat bergerak 

dengan lincah di antara pepohonan dalam kegelapan malam untuk 

menangkap mangsanya. Dengan kemampuan berburunya, tarsius 

merupakan satwa liar yang menguntungkan bagi manusia. Tarsius 

membantu petani dengan berperan sebagai pengendali populasi hama 

tanaman pertanian dan perkebunan. Tarsius juga berperan sebagai 

penjaga keseimbangan ekosistem, di samping memiliki potensi bagi 

pengembangan ekowisata. 


Tarsius. Mungkin kata tersebut masih tergolong asing di pendengaran 

sebagian masyarakat. Jika mendengar kata tarsius saja jarang, apalagi 

kata Tarsius fuscus, yang makin kurang familiar. Bahkan, kemungkin an 

orang yang pernah mendengar kata tarsius, tidak mengetahui bahwa 

tarsius adalah nama satwa endemik Sulawesi. Tarsius memang belum 

sepopuler beberapa jenis hewan yang akrab dengan kehidupan ma-

nusia, seperti kuda, sapi, dan kerbau. Juga tidak seterkenal beberapa 

jenis satwa yang telah diperkenalkan ke anak usia dini melalui lagu. 

Bahkan, dengan maraknya pemberitaan media akhir-akhir ini, tarsius 

belum bisa mengalahkan ketenaran harimau sumatra, yang beberapa 

kali menjadi fokus pemberitaan, terutama karena menyerang ternak 

dan manusia. Juga tidak seterkenal ular kobra, yang akhir-akhir ini 

gencar diberitakan karena telur dan anaknya dijumpai di sekitar 

perumahan warga. Tarsius tergolong satwa yang sering kali luput 

dari perhatian dan sangat jarang menjadi sorotan media, utamanya 

media nasional. 

Meskipun demikian, keberadaan tarsius dapat memberi kebang-

gaan bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sulawesi. 

Keberadaan tarsius memperlihatkan pada dunia, betapa kayanya 

alam Indonesia. Bagaimana tidak, Pulau Sulawesi dan pulau-pulau 

kecil di sekitarnya, ternyata memiliki kekayaan spesies dari familia 

Tarsiidae tertinggi di dunia, dengan 12 spesies tarsius (Shekelle & Lek-

sono, 2019). Jumlah ini jauh lebih banyak jika dibandingkan jumlah 

 spesies yang ada di Filipina (Philippine Tarsier) yang hanya memiliki 

satu spesies, yaitu Carlito syrichta, dengan tiga subspesies. Jumlah 

spesies tarsius yang dijumpai di Pulau Sulawesi juga lebih banyak 

jika dibandingkan jumlah spesies yang dijumpai di Pulau Sumatra, 

Jawa, dan Kalimantan yang juga hanya memiliki satu spesies, yaitu 

Cephalophachus bancanus (Western Tarsier), dengan empat subspesies 

(Roos dkk., 2013). Jumlah spesies tarsius di Pulau Sulawesi ternyata 

masih berpeluang bertambah karena Shekelle dan Leksono (2019) 

memperkirakan Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya 

menjadi habitat bagi setidaknya 16 spesies tarsius. Selain itu, Burton 

Tarsius, Pemburu Handal ... 247

dan Nietsch (2010) menyebutkan masih terdapat tiga taksa tarsius 

yang belum diberi nama.

Provinsi Sulawesi Selatan adalah habitat beberapa spesies tarsius. 

Salah satunya adalah Tarsius fuscus, yang dapat dijumpai di kawasan 

hutan di sekitar kota Makassar, seperti kawasan Taman Nasional 

Bantimurung Bulusaraung.

B. Sosok Si Pemburu Bermata Bola

Tarsius merupakan anggota kelompok primata dan masih berkerabat 

dengan monyet. Namun tidak seperti monyet yang berukuran cukup 

besar, tarsius hanya berukuran sekepalan tangan manusia. Panjang 

kepala hingga badan tarsius dewasa hanya sekitar 12–15 cm. Tarsius 

jantan dapat dibedakan dari yang betina dengan melihat postur 

tubuhnya. Jantan bertubuh sedikit lebih besar dan lebih tegap diban-

ding betina. Bobot badan jantan dewasa berkisar antara 107–120 gr, 

sedangkan betina berkisar antara 100–105 gr. Primata nokturnal ini 

melakukan semua aktivitasnya, seperti bergerak, makan, beristirahat, 

dan bersosialisasi, pada sore menjelang malam hingga pagi hari 

menjelang matahari terbit. 

Tubuh tarsius ditutupi oleh dua macam rambut. Keberadaan dua 

lapis rambut tersebut menopang pola hidup tarsius yang aktif di malam 

hari saat suhunya lebih rendah dibandingkan siang hari. Rambut pada 

bagian terluar terlihat lebih panjang, kasar, dan jarang. Sementara 

itu, rambut pada lapisan bawah berupa rambut yang rapat, lebat, dan 

halus. Rambut berwarna abu-abu dengan nuansa coklat kemerahan 

menutupi seluruh tubuh, kecuali hidung, telapak tangan, dan telapak 

kaki. Rambut yang menutupi bagian dada dan perut berwarna lebih 

terang dibanding rambut yang menutupi punggungnya. Selain itu, 

warna rambut yang menutupi tubuh tarsius betina dewasa dan anak, 

sedikit lebih terang dibanding warna rambut pada tarsius jantan. 

Tarsius memiliki sepasang telinga berwarna salem serta terlihat 

sedikit transparan dengan spot rambut berwarna putih pada bagian 

belakangnya. Telinga tarsius tergolong unik dibanding telinga primata 

lainnya. Telinga yang berbentuk agak bulat serta berukuran cukup 

.248

besar jika dibanding dengan ukuran kepalanya tersebut ternyata 

tergolong sensitif terhadap suara. Tingginya tingkat sensitivitas telinga 

tarsius terlihat dari kemampuannya mendeteksi suara yang dihasilkan 

oleh gerakan kecil serangga, yang sebenarnya tidak terlihat, di balik 

rimbun dedaunan. 

           

 

 

 

Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2018)

Gambar 18.1 Si Mata Bola Berekor Panjang

Tarsius terlihat selalu menggerakkan daun telinganya. Bahkan, 

pada saat sedang beristirahat dalam kondisi duduk atau berteng-

ger santai sekalipun, daun telinga tarsius terlihat tetap bergerak. 

Pergerakan tersebut kadang membuat daun telinga tarsius terlihat 

seperti tertekuk ke belakang. Saking tertekuknya, terkesan seolah-olah 

daun telinga tersebut terlipat hampir menempel pada sisi belakang 

kepalanya. Intensitas pergerakan daun telinga biasanya akan makin 

bertambah saat tarsius dalam kondisi wawas, misalnya saat mendeteksi 

adanya kehadiran mangsa atau saat ada gangguan. Tampaknya, tarsius 

baru berhenti menggerakkan daun telinganya hanya pada saat tidur. 

Dibandingkan wajahnya, tarsius memiliki bibir dan mulut yang 

lebih lebar. Jablonski dan Crompton (1994) menyatakan bahwa             

Tarsius, Pemburu Handal ... 249

T. bancanus dapat membuka mulutnya hingga membentuk sudut 

60–70°. Sama seperti T. bancanus, T. fuscus juga memiliki mulut 

yang dapat membuka dengan lebar. Dengan mulut yang dapat 

membuka lebar seperti itu, tarsius akan dengan mudah memasukkan 

makanan ke dalam mulutnya yang memiliki gigi-gigi kecil dan tajam. 

Ketajaman gigi tarsius memungkinkan satwa ini mencengkeram dan 

mencabik-cabik mangsanya, walaupun mangsanya memiliki tubuh 

yang dilindungi oleh lapisan kulit atau kitin yang cukup keras.

C. Tatapan Mata Bola yang Tajam

Mata tarsius merupakan hal yang paling unik yang dimiliki oleh 

satwa ini. Para ahli bahkan mengategorikan mata tarsius sebagai 

hal yang aneh. Hal ini disebabkan tarsius memiliki sepasang mata 

yang berbentuk bulat seperti bola dan berukuran besar. Dilihat dari 

arah depan, sepasang mata tersebut tampak seperti dua buah piring 

besar yang mendominasi wajahnya. Bahkan, proporsi ukuran mata 

tarsius masih tetap lebih besar dibandingkan proporsi bagian tubuh 

yang lain. Polyak (1957) bahkan menyatakan bahwa jika dilakukan 

perban-dingan antara proporsi mata dan tubuh yang dimiliki tarsius 

dengan berbagai jenis vertebrata lain, nilai perbandingan proporsi 

mata dari tubuh tarsius adalah yang terbesar. 

Tarsius dapat mengamati mangsanya dengan baik walau berada 

di kegelapan. Hal itu disebabkan karena tarsius memiliki pupil mata 

yang dapat membuka dengan lebar. Kemampuan melihat dengan baik 

yang dimiliki oleh mata tarsius juga ditopang oleh anatomi kepala 

yang istimewa karena dapat berputar 180° ke kiri dan ke kanan. Ke-

mampuan memutar kepala ini memungkinkan tarsius untuk menoleh 

ke arah manapun yang diinginkan tanpa perlu repot membalikkan 

badan. Kemampuan memutar kepala juga sangat membantu tarsius 

yang tidak dapat menggerakkan bola matanya. Setelah mendeteksi 

keberadaan mangsanya, tarsius bisa segera mengamati mangsanya 

dengan lebih saksama dengan menoleh atau memutar kepalanya ke 

arah tempat keberadaan mangsa. Ketajaman penglihatan akan me-

ningkat dengan mengarahkan kepala ke arah target karena membantu 

mata tarsius untuk lebih fokus. 

.250

D. Alat Gerak yang Lincah

Pada tubuh tarsius terdapat anggota gerak berupa sepasang tangan 

yang tergolong pendek. Meskipun demikian, satwa ini memiliki lima 

buah jari yang panjang dan ramping. Bagian sisi atas setiap jari tarsius 

memiliki kuku berukuran kecil dan berbentuk segitiga, sedangkan 

pada bagian ujung sisi bawah jari tangannya terdapat bantalan kecil. 

Anggota gerak unik lainnya yang dimiliki oleh tarsius adalah 

kaki panjang yang melebihi panjang badannya. Crompton dkk. 

(2010) menyebutkan bahwa tarsius memiliki bentuk kaki yang khas 

dan terspesialisasi, yaitu dengan adanya tulang tibia dan fibula yang 

menyatu serta tulang tarsal yang panjang, untuk mendukung aktivitas 

lokomosinya. Bentuk kaki yang seperti ini memungkinkan tarsius 

memiliki kemampuan melompat yang menakjubkan. Kemampuan ini 

terlihat dari jauhnya jarak lompatan beberapa ekor tarsius yang hidup 

di blok hutan Pampang, Pute dan Parang Tembok, Taman Nasional 

Bantimurung Bulusaraung. Tarsius mampu melompat dari ujung atas 

salah satu batang bambu ke rumpun bambu yang lain sejauh 7–10 

meter. 

Setiap kaki tarsius juga memiliki lima buah jari kaki yang ben-

tuknya ramping dan panjang. Sama seperti jari tangannya, pada setiap 

ujung sisi bawah jari kaki dilengkapi dengan bantalan berbentuk bulat. 

Ukuran bantalan yang terdapat pada jari kaki lebih besar dibanding 

bantalan yang terdapat di tangan. Jari kaki tarsius juga ditutupi dengan 

kuku kecil yang berbentuk segitiga. Pada jari kaki kedua dan ketiga 

terdapat kuku yang ukurannya cukup panjang dan berbentuk seperti 

taji ayam jantan. Kuku tersebut berperan sebagai sisir saat tarsius 

sedang merawat badan (Gambar 18.2). 

Bentuk kaki, tangan, serta jari-jarinya yang khas sangat mem-

bantu pergerakan tarsius saat sedang berburu mangsa. Bentuk kaki 

yang khusus dan sangat mendukung kemampuan melompat jauh 

menyebabkan tarsius dapat mendekati mangsanya hanya dalam satu 

atau dua kali lompatan saja. Tarsius juga memiliki ukuran jari tangan 

dan kaki yang panjang sehingga mampu berpegangan dengan baik 

pada ranting dan cabang pohon. Jari tangan dan kaki yang panjang 

Tarsius, Pemburu Handal ... 251

tersebut juga menyebabkan tarsius dapat bergerak dengan baik tanpa 

terpeleset saat sedang bergerak untuk berpindah tempat atau sedang 

melompat menangkap mangsa. Kemampuan bergerak tarsius makin 

bertambah baik dengan adanya bantalan pada ujung jari tangan dan 

kaki, yang berfungsi sebagai peredam tekanan saat tarsius mendarat 

di substrat tertentu. Selain itu, bantalan tersebut juga dapat mem-

perkuat pelekatan jari saat sedang berpegangan pada substrat tertentu. 

Manfaat lain dari adanya tangan dengan jari-jari yang panjang adalah 

selain meningkatkan kemampuan tarsius menangkap mangsa, juga 

meningkatkan kemampuannya untuk memegang mangsa yang telah 

berhasil ditangkap. 

Tarsius memiliki ekor yang berperan untuk membantu ke-

seimbangan saat sedang bergerak. Ekor tarsius sangat khas, ditutupi 

rambut dengan kelebatan dan panjang rambut yang berbeda. Pada 

bagian pangkalnya, ekor sepanjang 25–27 cm tersebut hanya ditutupi 

oleh rambut halus, pendek dan jarang, dengan panjang rambut sekitar 

1–3 mm. Sementara itu, mulai dari bagian pertengahan hingga ujung 

Keterangan: a. Pengukuran kaki tarsius b. Taji pada ke dua jari c. Bantalan kaki

Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2017)

Gambar 18.2 Kaki tarsius (Tarsius fuscus) 

 (a)   (b)            (c)

.252

ekor ditutupi oleh rambut kasar, dengan panjang rambut berkisar 

0,5–1 cm. 

E. Teknik Perburuan

Meskipun hanya memiliki tubuh yang kecil, namun tarsius merupa-

kan pemburu yang handal. Kemampuan itu didukung oleh adaptasi 

seluruh bagian tubuhnya sehingga memungkinkan tarsius bergerak 

lincah menjelajah dalam kegelapan malam di antara rimbun pepohon-

an. Adaptasi yang baik juga memungkinkan satwa ini dapat dengan 

mudah mendeteksi keberadaan dan menangkap mangsanya.

Sebagai hewan sosial yang hidup berkelompok, setiap senja 

seluruh anggota kelompok akan bergerak meninggalkan sarang 

dan mulai menjelajah hutan untuk menemukan menu makan senja 

dan malam hari. Saat menjelajah hutan, biasanya seluruh anggota 

kelompok akan bergerak pada jarak yang tidak berjauhan. Sambil 

melompat di antara ranting dan cabang pohon, biasanya satwa ini 

akan mengeluarkan suara mencicit kecil dan halus. Bagi T. fuscus, 

perburuan mangsa sebenarnya sudah dimulai sejak saat keluar dari 

sarang. Hal ini ditunjukkan oleh gerak tubuh yang selain ditujukan 

untuk mengamati kondisi sekitar, juga untuk mendeteksi keberadaan 

mangsa. Upaya mendeteksi keberadaan mangsa terlihat dari gerakan 

menoleh ke kiri dan ke kanan sambil menggerak-gerakkan telinganya. 

Saat telah berhasil mendeteksi keberadaan mangsa, sosok kecil ini 

akan lebih memusatkan perhatian ke arah mangsa berada. Tarsius 

selanjutnya bergerak cepat, merayap, atau melompat tanpa suara, 

ke posisi mangsa berada. Dalam hitungan detik, tarsius langsung 

menerkam dan menangkap mangsa dengan menggunakan tangannya. 

Mangsa yang berhasil ditangkap selanjutnya dilumpuhkan dengan 

gigitan. Dengan menggunakan tangan, mangsa kemudian didorong 

ke mulut, untuk dicabik dan dikunyah, sambil menimbulkan bunyi 

kunyahan khas….kresss….. kresss….kress. 

Berburu di malam hari memberi keuntungan tersendiri bagi 

tarsius karena beberapa jenis mangsa merupakan hewan diurnal atau 

hewan yang aktif di siang hari. Mangsa yang berupa hewan diurnal 

Tarsius, Pemburu Handal ... 253

ini umumnya dapat ditangkap tanpa terlalu mengeluarkan banyak 

energi karena sedang beristirahat atau tidur pada malam hari sehingga 

tingkat kewaspadaannya berkurang (Gambar 18.3).  

        

  

   

  

   

   

   

   

  

  

    

 

      

Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2020)

Gambar 18.3 Tarsius Si Pemburu Malam

Meskipun demikian, cukup banyak mangsa tarsius yang meru-

pakan hewan nokturnal dan ditangkap dalam keadaan sedang aktif 

bergerak. Namun, untuk dapat menangkap hewan nokturnal sebagai 

menu makan malamnya, tarsius harus lebih banyak mengeluarkan 

tenaga. Oleh karena mengonsumsi berbagai jenis hewan lain dan 

perburuan dilakukan saat malam hari maka julukan sebagai pemburu 

malam sangat tepat disematkan pada si mata bola ini. 

Saat menjelajah hutan dan memburu mangsanya si pemburu 

malam akan selalu menjaga jarak agar tidak terlalu berjauhan dengan 

anggota kelompok yang lain, tetapi tarsius tidak melakukan perburuan 

mangsa secara berkelompok. Setiap individu akan bergerak sendirian 

saat mengejar, menangkap, serta memakan mangsanya. Tarsius yang 

.254

telah berhasil menangkap mangsa akan segera bergerak sedikit men-

jauh dari anggota kelompok lainnya, untuk mencari lokasi yang dirasa 

aman. Hal ini sepertinya dilakukan untuk menghindari terjadinya 

perebutan mangsa yang ditangkap oleh anggota kelompok lainnya.  

F. Menu Perburuan

Jika mendengar kata insektivor dan memahami maknanya, mungkin 

yang terbayang di benak adalah hewan yang baik, imut-imut, lucu, 

dan ramah. Namun, begitu mendengar kata karnivor dan mengetahui 

maknanya maka yang terbayang adalah hewan yang ukurannya besar, 

buas, dan menakutkan. Tarsius tergolong hewan insektivor maupun 

karnivor karena selain mengonsumsi berbagai jenis serangga juga 

mengonsumsi berbagai jenis vertebrata lain yang berukuran kecil. Pola 

makan seperti ini menyebabkan, secara umum, tarsius dikelompok-

kan sebagai faunivorous atau hewan yang mengonsumsi berbagai 

jenis hewan lain (Gursky, 2000; Fleagle, 2013; Williams dkk., 2015) 

dan merupakan satu-satunya satwa primata yang 100% dikategorikan 

sebagai faunivorous (Nijman & Nekaris, 2010; Kappeler, 2012).    

 

Mangsa tarsius dapat berupa hewan diurnal, seperti burung-bu-

rung berukuran kecil, seperti burung cabai panggul-kelabu (Dicaeum 

celebicum), burung madu (Nectarinia sp.), burung kacamata (Zosterops 

sp.), dan burung bondol (Lonchura sp.). Selain hewan vertebrata, 

hewan avertebrata yang aktif pada siang hari juga menjadi pakan 

kesukaan tarsius, seperti beberapa jenis belalang. Selain memangsa 

hewan diurnal, sebenarnya cukup banyak mangsa tarsius merupakan 

hewan yang aktif pada malam hari, misalnya jenis-jenis ngengat dan 

jangkrik. 

G. Pemangsa yang Lahap

Tarsius tergolong pemburu handal yang makan dengan lahap. Farida 

dkk. (2008) menyatakan bahwa T. bancanus betina yang dipelihara di 

penangkaran mampu mengonsumsi 23 ekor jangkrik dan 2–3 ekor 

belalang per hari, sedangkan Hadiatry (2003) menyatakan bahwa T. 

spectrum mampu mengonsumsi 6,5 ekor jangkrik lokal dan 26,3 ekor 

jangkrik jerman per hari. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan 

mulai dari senja hingga malam hari, sekitar pukul 20.00, di areal 

tebing karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, T. fuscus 

membutuhkan waktu sekitar 4–7 menit untuk menghabiskan seekor 

belalang berukuran besar yang memiliki panjang tubuh sekitar 6 cm. 

Dalam jangka waktu beberapa jam tersebut, seekor tarsius betina de-

wasa terlihat dapat mengonsumsi hingga 3–5 ekor belalang daun yang 

berukuran besar sebelum terlihat kenyang, menghentikan perburuan, 

dan mulai beristirahat sejenak. Sebenarnya, jumlah konsumsi dan 

jangka waktu yang dibutuhkan oleh tarsius untuk menghabiskan 

mangsanya bergantung pada ukuran mangsa yang berhasil ditangkap. 

Makin kecil ukuran mangsa yang berhasil ditangkap maka jumlah 

yang dikonsumsi akan makin banyak. Pada pengamatan yang dilaku-

kan selama sekitar dua jam saja, tarsius terlihat dapat mengonsumsi 

7–12 ekor belalang hijau berukuran kecil. Setiap ekor belalang kecil 

dengan panjang sekitar 2 cm tersebut akan segera habis ditelan dalam 

waktu 1–2 menit saja. 

.256

H. Makan Malam yang Berdampak pada Ekosistem

T. fuscus tergolong satwa yang menguntungkan manusia karena 

bukan termasuk hama pertanian maupun perkebunan. Si mata bola 

ini tidak mengonsumsi bagian tumbuhan (buah, umbi, biji) seperti 

beberapa jenis primata lain. Sebaliknya, tarsius memiliki peran se-

bagai penolong para petani dan pekebun karena menjadi predator 

banyak jenis hama yang merugikan. Salah satu hama pertanian yang 

dikonsumsi oleh tarsius adalah burung bondol yang merupakan salah 

satu jenis burung yang menjadi hama tanaman padi. Berbagai jenis 

belalang dan banyak jenis ngengat yang merupakan serangga hama 

bagi tanaman perkebunan, juga menjadi makanan lezat bagi tarsius. 

Dapat dikatakan bahwa si mata bola ini memiliki peran penting dalam 

menjaga keseimbangan ekosistem. Kemampuannya mengonsumsi 

hama dalam jumlah yang cukup banyak nampaknya membuat si mata 

bola ini mampu membantu menjaga keseimbangan populasi serangga 

hama yang merugikan manusia. 

I. Penutup

Si mata bola berwajah aneh ini sebenarnya memiliki banyak man-

faat bagi kehidupan manusia. Meskipun demikian, keberadaannya 

masih terabaikan. Masih sedikit masyarakat yang menyadari dan 

memperhatikan keberadaan satwa ini. Padahal, dengan mayoritas pro-

fesi masyarakat sebagai petani dan pekebun, masyarakat seharusnya 

menyadari bahwa satwa ini bermanfaat bagi kehidupan mereka. 

Masyarakat seharusnya juga mulai menyadari bahwa si mata bola 

yang berburu mangsanya di keremangan senja hingga menjelang pagi 

hari ini, dapat membantu pengendalian berbagai jenis serangga hama 

secara alami. 

Selain itu, sepertinya tidak banyak orang yang menyadari bahwa 

dengan bentuknya yang unik, wajah yang aneh, dan pola hidup yang 

aktif di malam hari, si mata bola berpotensi menjadi objek atau daya 

tarik wisata. Sebagai hewan nokturnal, tarsius akan memberi warna 

tersendiri bagi wisata malam. Pengelolaan satwa ini dalam bentuk 

ekowisata kreatif, yaitu bentuk wisata yang secara aktif melibatkan 

Tarsius, Pemburu Handal ... 257

seluruh pihak, mulai dari pengelola, masyarakat, wisatawan hingga 

berbagai pihak terkait lainnya, diharapkan mampu membangkitkan 

kesadaran akan pentingnya keberadaan dan menumbuhkan kecintaan 

terhadap satwa ini.

Margaretta Christita & Diah Irawati Dwi Arini

Anoa atau dalam bahasa lokal disebut kerbau kerdil atau sapi hutan 

merupakan salah satu satwa dilindungi di Indonesia. Anoa termasuk 

satwa endemik yang hanya dapat ditemukan di hutan-hutan daratan 

Pulau Sulawesi dan Buton. Populasi anoa di alam makin langka 

akibat aktivitas manusia, yaitu perburuan dan perusakan habitat. 

Anoa  Breeding Center (ABC) merupakan program konservasi ex situ 

anoa yang diinisiasi sejak tahun 2011 antara Balai Konservasi Sumber 

daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara bersama dengan Balai Penerapan 

Strandar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPSILHK) 

Manado, yang dulunya bernama Balai Penelitian Kehutanan (BPK) 

Manado. ABC mengambil peran dalam bidang penelitian mengenai 

cara pemeliharaan serta peningkatan populasi anoa di Sulawesi. 

Peresmian ABC dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan 

Kehutanan, Siti Nurbaya, pada tanggal 5 Februari 2015. Sampai

saat ini populasi anoa yang ada di ABC berjumlah sembilan ekor di 

mana tiga ekor adalah anakan hasil perkawinan secara alami induk 

anoa dataran rendah di ABC. Keberhasilan ABC, selain merupakan 

pionir bagi konservasi ex situ di Sulawesi, juga diharapkan mampu 

menghasilkan inovasi dan teknologi dalam mendukung pelestarian 

anoa di Sulawesi. 

A. Herbivor Terbesar di Sulawesi

Sulawesi dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat 

keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Sebagai bagian dari 

peralihan bioregion Indomalaya dan Australasia, yang dikenal dengan 

garis khayal Wallacea, wilayah ini memiliki keanekaragaman hayati 

flora, fauna, maupun mikroorganisme. Sulawesi memiliki beberapa 

fauna khas yang tidak ditemukan secara alami di luar pulau Sulawesi 

(fauna endemik), di antaranya adalah anoa (Bubalus depressicornis 

dan Bubalus quarlesi) (Burton dkk., 2005). 

Anoa termasuk satwa liar herbivor terbesar di Sulawesi. Pera-

wakannya mirip dengan kerbau atau sapi namun ukurannya lebih 

kecil sehingga oleh masyarakat lokal disebut sebagai kerbau kerdil 

atau sapi hutan (Mustari, 2019). Namun, sebenarnya anoa berkerabat 

dekat dengan kerbau dan dikelompokkan ke dalam famili Bovidae, 

genus Bubalus. Anoa merupakan satwa kebanggaan masyarakat 

Sulawesi, satwa yang kharismatik namun juga ditakuti oleh sebagian 

orang karena perilakunya yang agresif. Gambar kepala anoa diguna-

kan menjadi lambang dari provinsi Sulawesi Tenggara yang dikenal 

sebagai bumi anoa, lambang ini memiliki makna hewan yang berciri 

khas ulet, gesit, dan militan. 

B. Anoa Dataran Rendah dan Anoa Dataran Tinggi

Terdapat dua jenis anoa di Sulawesi, yaitu anoa dataran rendah (B. 

depressicornis) dan anoa dataran tinggi (B.s quarlesi) (Gambar 19.1). 

Secara umum, tinggi tubuh anoa mencapai 70–100 cm, sedangkan 

panjangnya mencapai 170–188 cm. Secara lebih spesifik, anoa 

dataran rendah memiliki beberapa karakter khusus, di antaranya 

Anoa Breeding Center ... 261

rambut berwarna hitam, gelap, dan tampak jarang. Panjang tanduk 

pada individu jantan antara 27–37 cm dan betina 18–26, berbentuk 

triangular pipih dan semacam alur cincin pada pangkalnya. Selain 

itu, terdapat bercak putih seperti kalung pada lehernya. Sementara 

itu, spesies anoa dataran tinggi berkarakteristik khusus pada rambut 

yang berwarna coklat kehitaman dan coklat kemerahan, tampak lebih 

tebal dan agak keriting. Tanduk berbentuk bulat (conical) berukuran 

14,6–19,9 cm dengan permukaan yang halus tanpa alur cincin di 

bagian pangkal. Anoa dataran tinggi memiliki ukuran tubuh lebih 

kecil daripada anoa dataran rendah pada umur yang sama.

     

                                

                                                                   

                                                           

         

     (a)    (b)

Keterangan: a. Anoa betina dataran rendah umur 2 tahun b. Anoa betina dataran tinggi 

umur 3 tahun

Foto: D.I.D Arini (2015)

Gambar 19.1 Perbedaan Karakter Fisik Dua Jenis Anoa di Sulawesi

C. Status dan Penyebaran Anoa 

Anoa menjadi salah satu satwa dilindungi di Indonesia berdasarkan 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 

tahun 2018 tentang jenis dan tumbuhan satwa yang dilindungi dan 

masuk dalam satwa prioritas. Perlindungan anoa pada skala global 

telah dilakukan dengan penentuan status anoa dalam kategori En-

dangered species (satwa terancam punah) oleh International Union 

for Conservation of Nature (IUCN) Red List, dan masuk Apendiks 1 

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) se-

.262

bagai satwa liar yang tidak boleh diperdagangkan secara internasional 

apabila dari tangkapan alam.  

Berdasarkan hasil kajian habitat dan kepadatan populasi Anoa 

menggunakan metode jejak yang dilakukan di Sulawesi Utara dan 

Gorontalo, diketahui bahwa populasi anoa di habitat alam masih dapat 

dijumpai di kawasan-kawasan konservasi, seperti Taman Nasional 

Bogani Nani Wartabone dan Suaka Margasatwa Nantu. Hutan primer 

merupakan habitat yang paling ideal untuk menunjang kehidupan 

anoa. Selain menyediakan kebutuhan pakan anoa, hutan primer 

juga layak sebagai tempat berlindung dan mencari keamanan dari 

gangguan manusia dan satwa predator. Dalam sebuah penelitian 

dijelaskan terdapat sedikitnya empat sub populasi anoa di Sulawesi 

yang memiliki genetik yang berbeda, masing-masing di bagian utara, 

tengah, tenggara Sulawesi, dan Pulau Buton (Burton dkk., 2005).

D. Anoa Breeding Center Manado

Jumlah populasi anoa diperkirakan terus mengalami penurunan 

di habitat alaminya. Meskipun, belum pernah ada data pasti yang 

menunjukkan adanya jumlah penurunan populasi di habitat alam, 

namun berdasarkan wawancara baik dengan petugas di lapangan 

maupun penduduk setempat di sekitar kawasan konservasi di Sulawesi 

keberadaan anoa saat ini mulai sulit untuk dijumpai. Tentunya hal 

tersebut menimbulkan keprihatinan berbagai pihak terutama para 

penggiat konservasi. Konservasi anoa secara ex situ telah dilakukan 

di beberapa kebun binatang baik di dalam maupun luar Indonesia. 

Sebagai upaya untuk menekan laju penurunan populasi anoa, Anoa 

Breeding Center (ABC) merupakan program konservasi ex situ 

Anoa di Sulawesi yang pertama dan berlokasi di lingkungan Kan-

tor BP2LHK Manado, Jalan Raya Adipura, Kelurahan Kima Atas, 

Kecamatan Mapanget, Manado. 

Gagasan mengenai pembentukan ABC ini telah diawali pada 

tahun 2010 dengan membiasakan diri mempelajari dan memelihara 

anoa di habitat alaminya maupun pada kondisi di penangkaran. 

Salah satu alasan yang mendasari ABC berperan serta dalam upaya 

Anoa Breeding Center ... 263

konservasi anoa adalah lokasinya yang berada di Sulawesi Utara 

sehingga dekat dengan habitat alaminya. Hal ini menguntungkan 

karena akan lebih mudah untuk mendapatkan indukan yang baik, 

selain itu mudah pula untuk mendapatkan informasi lain terkait 

mengenai konservasi anoa. ABC diresmikan oleh Menteri Lingkungan 

Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya pada 5 Februari 2015 dan saat ini 

memiliki sembilan ekor anoa (tiga jantan dan enam betina). Tujuan 

utama pembentukan ABC adalah meningkatkan populasi anoa secara 

ex situ yang nantinya diharapkan dapat menjadi back up dan restock-

ing populasinya di alam, pelepasliaran anoa di habitat alam (release), 

pertukaran dengan kebun binatang di dalam maupun luar negeri, 

serta menjajaki kemungkinan domestikasi satwa tersebut. 

E. Kegiatan Anoa Breeding Center

Kegiatan di ABC utamanya adalah pemeliharaan anoa dan penelitian, 

namun di samping itu juga mengupayakan peningkatan pengetahuan 

serta kesadaran masyarakat untuk melestarikan anoa. Kegiatan yang 

dilakukan di antaranya pengelolaan harian anoa, penelitian, wisata 

edukasi, pendidikan konservasi, volunteering, serta pelatihan dan 

pendampingan pembangunan sanctuary. 

Pengelolaan harian anoa

Pengelolaan dan perawatan anoa sehari-hari menjadi tanggung jawab 

perawat satwa atau biasa dikenal dengan sebutan keeper dan dokter 

hewan. Perawatan anoa terdiri dari pemberian pakan, pembersihan 

kandang, perawatan kesehatan, dan pengobatan. Pemberian pakan 

pada anoa dilakukan dua kali sehari dengan pakan utama adalah 

jenis rumput australia (Brachiaria mutica) dan beberapa tambahan 

pakan lainnya, seperti buah-buahan, umbi-umbian, dan sayur-sayuran 

(Arini & Kafiar, 2014). Pembersihan kandang dilakukan setiap hari 

termasuk pembersihan sisa-sisa makanan, bak kubangan, serta 

kotoran/feses anoa. Perawatan kesehatan dilaksanakan oleh dokter 

hewan termasuk pemantauan, pengobatan, pemeriksaan kebuntingan, 

dan perawatan induk dan anak pasca kelahiran. Sarana dan prasarana 

.264

di ABC terdiri atas kandang pemeliharaan, kandang kelahiran, kantor, 

dan klinik ABC.  

1) Penelitian

Penelitian mengenai anoa telah dimulai sejak tahun 2010 sampai 

saat ini. Berbagai aspek telah dipelajari mulai dari preferensi habitat 

anoa di alam, khususnya di kawasan konservasi, jenis-jenis sumber 

pakan anoa dan nutrisinya, baik di habitat alam maupun sekitar 

penangkaran, sosial dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan 

yang menjadi habitat anoa, perilaku anoa, reproduksi, dan kesehatan. 

Penelitian tidak hanya dilaksanakan oleh BPSILHK Manado namun 

juga menggandeng berbagai universitas, seperti Universitas Sam 

Ratulangi yang melakukan penelitian berkaitan dengan periode estrus 

pada anoa betina dan pengamatan perilaku harian, Universitas Hasa-

nuddin yang meneliti karakteristik darah dan urine serta keragaman 

endo dan ektoparasit pada anoa. Selain itu, keragaman genetik pada 

anoa, khususnya yang dipelihara secara ex situ, di wilayah Sulawesi 

telah diketahui melalui kegiatan penelitian dengan Institut Pertanian 

Bogor di tahun 2016. Hasil kegiatan penelitian ini telah menghasilkan 

berbagai publikasi baik dalam bentuk jurnal dan buku. 

2) Edukasi

Wisata edukasi dilaksanakan dalam bentuk pelayanan pengunjung 

yang datang secara langsung ke ABC. Pengunjung tidak hanya berasal 

dari instansi-instansi pemerintah namun juga dari sekolah, universi-

tas, kelompok masyarakat, wisatawan domestik dan mancanegara, dan 

media massa. Pelayanan pengunjung diberikan secara gratis pada hari 

kerja, yaitu Senin sampai dengan Jumat. Para calon pengunjung hanya 

perlu mengisi surat permohonan yang tersedia di halaman website 

BP2LHK Manado. Setiap pengunjung yang datang akan ditemani 

oleh peneliti, teknisi, dokter hewan maupun keeper yang ditugaskan. 

Pada kegiatan ini pengunjung akan memperoleh banyak informasi 

yang berkaitan dengan satwa anoa baik informasi anoa di habitat 

alamnya maupun yang ada di pemeliharaan ex situ. Sebagian besar 

pengunjung mendatangi ABC karena merasa penasaran untuk melihat 

Anoa Breeding Center ... 265

satwa anoa karena satwa ini sejatinya sangat sulit dijumpai di habitat 

alaminya melalui perjumpaan langsung. 

Sejak tahun 2016 hingga 2018 tercatat sebanyak 114 pengunjung. 

Jika dikelompokkan berdasarkan asal daerah didominasi oleh pen-

gunjung dari Sulawesi Utara (45,61%), selebihnya berasal dari luar 

Sulawesi Utara. Banyaknya pengunjung yang berasal dari luar Sulawesi 

Utara menunjukkan bahwa keberadaan ABC tidak hanya diketahui 

dan dikenal oleh masyarakat sekitar Manado dan Sulawesi Utara, 

tetapi juga telah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, 

keberadaan ABC telah diketahui hingga ke luar negeri. Negara asal 

pengunjung ABC dari luar negeri adalah Jerman, Inggris, Belgia, 

Australia, dan Amerika Serikat (Suryaningsih dkk., 2018).

  

  

   

      

                                                        

  (a)    (b)

        

  (c)    (d)

Keterangan: a–c. Kunjungan anak-anak sekolah, d. Kunjungan masyarakat umum

Foto: Anoa Breeding Center (2016)

Gambar 19.2 Wisata Edukasi di Anoa Breeding Center

.266

3) Pendidikan konservasi di sekitar kawasan konservasi

Pendidikan konservasi merupakan suatu usaha penyadartahuan yang 

dilakukan secara berulang-ulang atau terus-menerus yang bertujuan 

agar masyarakat memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap kon-

servasi sumber daya alam dan segala permasalahannya serta memiliki 

pengetahuan, sikap, keahlian, motivasi, dan komitmen untuk ikut 

memecahkan masalah konservasi (PJWLA, 2007). Ditambahkan oleh 

Rachman (2012) pendidikan konservasi merupakan salah satu bentuk 

usaha menjaga dan melindungi nilai-nilai luhur, keanekaragaman 

hayati, dan peninggalan bangunan bersejarah yang ada. Pendidikan 

konservasi bertujuan memperkenalkan alam kepada masyarakat dan 

meningkatkan kesadaran akan nilai penting sumber daya alam yang 

beraneka dalam sebuah ekosistem kehidupan. Pendidikan konservasi 

anoa yang dilaksanakan oleh ABC, yaitu dengan aktif berkunjung 

ke sekolah-sekolah, baik yang ada di sekitar ABC maupun sekitar 

kawasan konservasi yang menjadi habitat anoa (Gambar 19.3). Pen-

didikan konservasi yang diberikan sedini mungkin kepada anak-anak 

akan lebih tertanam di dalam hati sanubari mereka sehingga mereka 

kelak saat dewasa akan makin bijak dalam berinteraksi dengan ling-

kungan alam (Rachman, 2012). 

Materi pendidikan diberikan secara visual, seperti pemutaran 

film maupun dalam bentuk cerita. Pendidikan konservasi ini bertu-

juan agar masyarakat lebih peduli terhadap kelestarian anoa sebagai 

satwa langka khas pulau Sulawesi dan memperkenalkan satwa-satwa 

endemik di Sulawesi kepada generasi muda dalam rangka menekan 

laju perburuan liar satwa-satwa langka khususnya anoa di Sulawesi 

dan degradasi habitatnya. Sampai dengan tahun 2019, diperkirakan 

sebanyak lebih dari 10 sekolah baik tingkat Sekolah Dasar (SD), Se-

kolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 

yang telah dikunjungi, yaitu di seputaran Kota Manado dan sekitar 

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Bolaang Mongondow.

Anoa Breeding Center ... 267

      

  (a)    (b)

      

  (c)    (d)

Keterangan: a-c. Kegiatan outreach ke sekolah-sekolah, d. Kegiatan outreach dan 

perkemahan pramuka 

Foto: Anoa Breeding Center (2017)

Gambar 19.3 Kegiatan Pendidikan Konservasi untuk Pelajar di Sekolah-sekolah 

sekitar ABC

4) Volunteering

Kegiatan volunteering adalah bentuk kegiatan sukarela dalam mem-

bantu pengelolaan anoa di ABC. Volunteering sendiri bertujuan 

memperkenalkan bagaimana pengelolaan ABC kepada masyarakat 

dan menyebarluaskan informasi tentang kegiatan-kegiatan maupun 

informasi tentang ABC ketika mereka sudah kembali ke daerah atau 

negara asalnya. Kegiatan ini banyak mendapat dukungan volunteer 

baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Gambar 19.4). 

Tujuan mereka mengikuti program volunteering adalah selain mencari 

pengalaman, juga sebagai sarana belajar tentang bagaimana pengelo-

laan anoa secara langsung di pusat konservasi. Di ABC sendiri tercatat 

ada enam volunteer yang berasal dari Indonesia, Kanada, Jerman, dan 

.268

Inggris. Kegiatan volunteering tidak hanya dilakukan secara individu, 

namun pada tahun 2017 program volunteering juga mampu menarik 

minat sebuah perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan 

minuman untuk membantu pengelolaan ABC melalui program CSR 

nya. Sekitar 40 orang hadir untuk memberikan bantuan dalam bentuk 

pengelolaan kandang, pakan, dan limbah anoa. 

5) Pendampingan dan pelatihan

Selain mengikuti program pelatihan, ABC juga membuka peluang 

pelatihan dan pendampingan, sharing informasi, teknologi, dan 

ilmu pengetahuan dalam bidang pengelolaan ex situ anoa. Beberapa 

lembaga konservasi swasta dan pemerintah telah berupaya turut 

  

     

       (a)    (b)

         

  (c)    (d)

Keterangan: a. Program volunteering group bersama sebuah perusahaan, b. Kegiatan 

volunteering individu pemberian pakan, c. Pembersihan kendang, d. pengkayaan 

tumbuhan pakan anoa

Foto: Anoa Breeding Center (2017)

Gambar 19.4 Kegiatan Volunteering Baik secara Grup maupun Individu

Anoa Breeding Center ... 269

membantu dalam pelestarian anoa melalui pembangunan sanctuary. 

Sebagai pionir konservasi ex situ anoa di Sulawesi, ABC memiliki 

cukup pengalaman dalam manajemen pengelolaan yaitu manajemen 

pakan, kesehatan, reproduksi, dan kandang anoa. 

F. Tantangan Konservasi Anoa

Melakukan upaya konservasi anoa tidak semudah membalikkan 

telapak tangan. Kehilangan habitat, kerusakan ekosistem, perbu-

ruan, serta permintaan pasar akan anoa sebagai produk konsumsi 

merupakan beberapa faktor penyebab cepatnya laju penurunan 

populasi anoa di habitat alaminya. Berkurangnya populasi anoa serta 

terdesaknya habitat tidak menutup kemungkinan terjadinya kawin 

kerabat (inbreeding) pada populasi di alam liar di mana peristiwa 

ini akan lebih memicu punahnya anoa secara perlahan. Selain itu, 

sifat anoa yang agresif, soliter, dan monogami turut menjadi pemicu 

laju penurunan populasinya. Secara biologis, masa reproduksi anoa 

(kawin dan memiliki anak) yaitu pada umur dua hingga tiga tahun, 

sementara periode kebuntingan cukup lama, yaitu berkisar 9 hingga 

10 bulan, dan di setiap fase kebuntingannya, anoa hanya melahirkan 

satu ekor anak. 

Tidak mudah untuk mewujudkan ABC sebagai salah satu upaya 

konservasi anoa yang ideal. Hal ini harus didukung oleh sarana, 

prasarana, dan staf pendukung yang memadai. Saat ini ABC telah 

dilengkapi dengan kandang, tempat makan dan minum, saluran air, 

pagar, serta areal pengembangan pakan. Staf pendukung terdiri atas 

dua orang, yaitu satu keeper dan satu orang dokter hewan, dan juga 

melibatkan peneliti dan teknisi dari Balai Penelitian dan Pengem-

bangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado. Idealnya, dalam 

sebuah kegiatan breeding center perlu dilengkapi dengan sarana 

penunjang kesehatan, kandang reproduksi, klinik, dan dokter hewan 

yang bertanggung jawab untuk kesehatan hewan. 

Keberhasilan konservasi anoa memerlukan dukungan dari 

berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat 

terutama yang berfokus pada pelestarian lingkungan, pihak swasta, 

.270

serta masyarakat. Penyadartahuan dan pendidikan lingkungan kepada 

masyarakat terutama yang bermukim di sekitar habitat anoa mutlak 

diperlukan. Tidak sebatas memperkenalkan anoa sebagai satwa yang 

dilindungi beserta ciri morfologinya, tetapi lebih jauh menyadarkan 

sejak awal bahwa rusaknya habitat merupakan awal hilangnya satu 

spesies satwa dan hal ini menyebabkan ketidakseimbangan alam.    

 

   

 

 

 

 

  

 

       

Foto: D.I.D. Arini (2020)

Gambar 19.5 Induk dan Anak Anoa Dataran Rendah di Anoa Breeding 

Center

Keberhasilan ABC ditunjukkan dengan lahirnya anak-anak anoa 

di ABC yang memiliki ketahanan hidup tinggi melalui manajemen 

pengelolaan yang baik (Gambar 19.5). Keberhasilan reproduksi 

anoa di ABC tentu akan diiringi dengan upaya pelepasliaran. Na-

mun, masih banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam upaya 

pelepasliaran anoa di habitat alaminya. Tingkat keamanan wilayah 

dari tindak perburuan, ketersediaan pakan anoa, dan status konservasi 

lokasi adalah hal yang perlu diteliti dan dikaji sebelum dilakukan 

pelepasliaran. Tampaknya, jalan panjang masih perlu dilalui oleh ABC 

untuk menuju pelepasliaran dan melibatkan instansi-instansi terkait, 

seperti BKSDA dan taman nasional.

Anoa Breeding Center ... 271

G. Kerja sama Konservasi Anoa

Upaya konservasi anoa nyaris nihil hasilnya apabila tidak ada 

kolaborasi dengan berbagai pihak. Menyadari hal tersebut, ABC 

telah membuka kerja sama dengan berbagai pihak, antara lain Biotrop 

(2013), GIZ-FORCLIME, Cargill, Zoo Leipzig-Germany, Tasikoki 

Rescue Centre, PT Cargill, dan BKSDA Sulawesi Selatan. Bentuk 

kerja sama yang telah dilakukan berupa pembangunan kandang 

baru, pengiriman dokter hewan, serta training untuk peningkatan 

kapasitas dan keahlian staff dan keeper anoa. Saat ini ABC telah mulai 

banyak mendapatkan kunjungan dari berbagai pihak baik dalam dan 

luar negeri dengan berbagai kepentingan, seperti tinjauan, akademis, 

maupun penelitian. Kegiatan kerja sama yang pernah dilakukan 

adalah pelatihan keeper anoa bekerja sama dengan kebun Binatang 

Leipzig di Jerman, menerima kunjungan IUCN, Association of Zoos 

and Aquarium (AZA) Amerika, European Association of Zoos and 

Aquaria (EAZA) dan Taman Safari Indonesia (TSI) sebagai tindak 

lanjut dari kegiatan Global Species Management Plan (GSMP) yang 

dilaksanakan di Cisarua pada 25–30 Januari 2016. Pada masa men-

datang, diharapkan kerja sama yang lebih baik dan lebih luas dapat 

terjalin dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama, yaitu 

menjaga pelestarian anoa.

H. Penutup

Anoa Breeding Center merupakan salah satu bentuk konservasi ex 

situ anoa yang lahir dari kegiatan-kegiatan penelitian. Sejalan dengan 

waktu, ABC tidak hanya memiliki kegiatan dalam bidang penelitian 

namun juga kegiatan-kegiatan yang lain, seperti wisata edukasi, 

pendidikan konservasi, volunteering, pelatihan, dan pendampingan. 

Adanya kegiatan lain diluar penelitian merupakan upaya ABC dalam 

meningkatkan pengetahuan serta kepedulian masyarakat terhadap 

anoa. Upaya, dukungan, dan kerja sama dari semua pihak diperlukan 

dalam menjaga kelestarian anoa. 

Burung maleo merupakan burung endemik Pulau Sulawesi dan Pulau 

Buton yang memiliki keunikan. Burung tersebut tidak mengerami 

telurnya, melainkan meletakkannya di dalam tanah untuk menetas 

sendiri dengan bantuan panas matahari atau panas bumi. Anak bu-

rung maleo yang baru menetas dapat langsung terbang dan mencari 

makan sendiri. Kepalanya memiliki tonjolan, seperti helm, warna 

bulunya hitam dengan dada putih dan semburat merah jambu. Per-

ilakunya setia dan kompak bekerja sama dengan pasangan menggali 

lubang untuk mengeramkan telurnya. Atraksi ini sangat unik bagi 

kegiatan ekowisata dan dapat dikembangkan untuk mendukung 

upaya konservasi. Selain itu, juga dapat meningkatkan perekonomian 

masyarakat sekitar kawasan konservasi habitat burung maleo.

H. 

Burung yang memiliki nama daerah senkawor (Minahasa), panua 

(Gorontalo), dan molo (Sulawesi Tenggara) ini termasuk ordo 

Galiformes bersama dengan kalkun, merak, kuau, ayam hutan, dan 

puyuh (Gambar 20.1). Burung maleo merupakan anggota famili 

Megapodidae bersama dengan burung gosong. Megapodidae artinya 

memiliki kaki besar. Kaki besar ini yang berguna untuk menggali 

tanah atau pasir untuk bertelur. Burung maleo memiliki nama marga 

Macrocephalon yang berarti berkepala besar. Burung maleo per-

tama kali dideskripsikan secara taksonomis oleh seorang naturalis 

berkebangsaan Jerman yang bernama Salomon Müller pada tahun 

1846 yang namanya diabadikan sebagai author di belakang nama 

Macrocephalon maleo. 

 

 

 

 

 

Foto: Hendra Gunawan (2000)

Gambar 20.1 Sepasang Burung Maleo di Tambun, Taman Nasional 

Bogani Nani Wartabone 

Burung maleo (Macrocephalon maleo Müller, 1846) adalah satwa 

endemik  Pulau Sulawesi dan Pulau Buton (Dekker dkk., 2000) yang 

statusnya dilindungi sejak Pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan 

Undang-Undang Tahun 1931 tentang Binatang Liar dan Peraturan Per-

 275

lindungan Binatang Liar. Pemerintah Indonesia kembali menetapkan 

burung maleo sebagai satwa dilindungi pada tahun 1970 berdasarkan 

Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970 dan 

dikuatkan lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 

tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar (Gunawan, 2000) 

dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 

P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/

Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa 

yang Dilindungi. Berdasarkan asesmen tahun 2016, International 

Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapan burung maleo 

dalam Red List dengan kategori endangered (BirdLife International, 

2016). Sementara itu, Convention on International Trade in Endangered 

Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan burung maleo 

dalam Apendiks 1 yang berarti dilarang untuk diperdagangkan apabila 

diambil langsung dari alam. 

B. Maleo, Identitas Daerah dan Kebanggaan 

Masyarakat Sulawesi

Burung maleo menjadi identitas daerah karena keberadaannya yang 

hanya tersebar di Pulau Sulawesi. Burung ini juga menjadi kebang-

gaan masyarakat, khususnya masyarakat Sulawesi. Hal ini tercermin 

pada penggunaan burung maleo sebagai lembaga atau logo lembaga 

dan kabupaten (Gambar 20.2 a–d). Sebagai contoh, Taman Nasional 

Bogani Nani Warta Bone, yang dideklarasikan pada Kongres Taman 

Nasional sedunia ke-2 di Bali tahun 1982 oleh Menteri Pertanian 

sebagai Taman Nasional Dumoga Bone berdasarkan SK Nomor 736/

Mentan/X/1982 tanggal 15 Oktober 1982 (Taman Nasional Bogani, 

t.t) menggunakan burung maleo sebagai logo. Taman nasional ini 

merupakan salah satu pusat habitat maleo terbesar di Sulawesi, dengan 

luas kawasannya yang mencapai 282.008,76 hektare (Kementerian 

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2018). 

Burung maleo juga menjadi bagian dari logo Kabupaten Tojo 

Una-Una dan Kabupaten Banggai di Provinsi Sulawesi Tengah 

.276

dan Kabupaten Boalemo di Provinsi Gorontalo. Kabupaten Tojo 

Una-Una menggunakan burung maleo untuk melambangkan sifat 

mandiri, cerdik, dan energik (Perda Kabupaten Tojo Una-Una, 2005). 

Kabupaten Boalemo menempatkan burung maleo dalam logo untuk 

melambangkan hewan langka yang terdapat di kabupaten Boalemo 

(Pemerintah Kabupaten Boalemo, t.t.). Sementara itu, Kabupaten 

Banggai mendeskripsikan salah satu bagian lambang daerahnya 

“Burung maleo yang berwarna coklat dan hitam dalam keadaan 

terbang adalah jenis margasatwa yang spesifik terdapat di daerah 

Kabupaten Banggai dan mempunyai hubungan dengan adat istiadat di 

daerah Kabupaten Banggai serta melambangkan tenaga membangun 

dari rakyat di daerah Kabupaten Banggai” (Pemerintah Kabupaten 

Banggai, t.t.). 

Burung maleo juga diabadikan dalam bentuk prangko yang 

di-launching pada peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 

(HCPSN) tahun 1995 (Gambar 20.2 e). Oleh filatelis Indonesia, 

burung maleo dideskripsikan sebagai satwa yang sudah melekat 

dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah. Telur burung ini 

dijadikan sebagai sumber protein hewani dan digunakan dalam adat 

istiadat untuk diserahkan kepada orang yang dihormati. Akibatnya, 

banyak perburuan yang mengancam populasi burung ini. Dengan 

menetapkan burung maleo sebagai identitas provinsi, diharapkan 

keberadaannya di Sulawesi Tengah dapat dipertahankan (Filatelis 

Indonesia, 2012). 

Burung maleo ditetapkan sebagai maskot atau fauna identitas 

Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 1990 berdasarkan Keputusan 

Gubernur Sulawesi Tengah Nomor Kep. 188.44/1067/RO/BKLH 

tanggal 24 Februari 1990 (Alamendah, 2009). Hal ini karena burung 

maleo merupakan kebanggaan bagi masyarakat Sulawesi Tengah 

dan beberapa kawasan konservasi di Sulawesi Tengah merupakan 

tempat hidup maleo, yaitu Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten 

Banggai, yang merupakan salah satu habitat tempat bertelur terbesar 

di sulawesi tengah (Gambar 20.3), SM Pinjan/Tanjung Matop di 

Kabupaten Buol, Cagar Alam Morowali di Kabupaten Morowali, 

 277

  

                

      (a)      (b)             (c)

 

   

              (c)                                   (d)

Keterangan: a. Logo TN. Boganani Wartabone (TN Bogani, t.t.), b. Lambang Kabupaten 

Tojo Una-Una (Perda Kabupaten Tojo Una-Una, 2005), c. Lambang Kabupaten Banggai 

(Pemerintah Kabupaten Banggai, t.t.), d. Lambang Kabupaten Boalemo (Pemerintah 

Kabupaten Boalemo, t.t.), e. Prangko edisi maleo (Filatelis Indonesia, 2012)

Gambar 20.2 Penggunaan Burung Maleo Sebagai Logo atau Lambang Lembaga 

dan Kabupaten 

Foto: Hendra Gunawan (2000)

Gambar 20.3 Sekelompok burung maleo turun di lapangan tempat 

bertelur di Suaka Margasatwa Bakiriang, Kabupaten Banggai.

.278

dan Taman Nasio