Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kerajaan di jawatimur 2. Tampilkan semua postingan
kerajaan di jawatimur 2
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
kerajaan di jawatimur 2
(bahan makanan) di daerah yang telah ditetapkan sebagai sima. Tersirat dari kutipan ini bahwa
para kerabat raja mempunyai rumah tangga dengan (kelompok) pelayanan sendiri.
Di kalangan teratas warga ini ada para pejabat pemerintahan yang terbagi ke
dalam golongan-golongan pula. Prasasti-prasasti umumnya menyebutkan para pejabat yang
menerima dan melaksanakan perintah raja secara berurut. Bahwa urutan itu dari atas ke bawah
terlihat dari rumusan yang umumnya berbunyi “ajna haji tumurun/uminsor i …. tinadah de ….”
(kehendak raja turun kepada … diterima oleh ….) pada prasasti-prasasti Kediri muncul suatu
unsur baru dalam penyebutan pejabat serta peranannya dalam pemberian anugerah raja. Peranan
ini adalah sebagai sopana (anak tangga, perantara) dari pemohon anugerah raja, peranan mana
dapat diambil oleh berbagai pejabat. Yang diberi anugerah itu umumnya dikatakan ―humatur
mampak-ampak manambah i lbu ni paduka sri maharaja‖ (berdatang sambah ke hadapan debu
kaki sri maharaja).
Dari prasasti-prasasti terlihat bahwa seorang pejabat yang bertindak sebagai sopana
dalam permohonan anugerah raja dapat merupakan seorang dari suatu kelompok pejabat yang
biasa dideretkan dalam urutan pelaksanaan kehendak raja, namun di samping itu dapat pula ia
merupakan pejabat yang tidak lazim disebut. Sebagai contoh dari golongan pertama adalah
samgat tirwan, rakryan apatih, rakryan kanuruhan dan dharmmadhyaksa ri kasewan. Adapun
pejabat-pejabat yang jarang disebut dalam prasasti, atau bahkan hanya sekali, adalah sang juru
pangjalu, pangajyan sri maharaja, senapati sarwwajala dan pangalasan. Namun dapat diduga
bahwa semua mereka yang dijadikan sopana itu adalah pejabat-pejabat yang dekat dengan raja.
Dalam urutan kelompok-kelompok pejabat yang disebutkan dalam prasasti-prasasti masa
Kediri terlihat bahwa di tempat paling atas disebutkan kelompok hino-sirikan-halu, kemudian di
bawah itu para tanda rakryan ring pakirakiran, sedang sekelompok pemuka agama sering
disebut pula di atas atau di bawah kelompok tanda rakryan ring pakira-kiran. Penyebutan
kelompok-kelompok pejabat ini tampak telah menjadi sistimatis dan terpola pada prasasti-
prasasti Kediri. Tampak kesan bahwa penyebutan mereka disesuaikan dengan kebutuhan khusus
dari masing-masing penulisan prasasti. Sebaliknya, pejabat-pejabat ‗daerah‘ yang menerima
anugerah raja ada disebut secara terperinci dalam prasasti-prasasti Kediri. Kenyataan ini sekali
lagi menunjukkan bahwa pada masa Kediri unsur ‗daerah‘ cukup ditonjolkan. Besarnya
wewenang pusat ini dapat mengakibatkan terjadinya penyeragaman di wilayah kekuasaannya
mengenai ketentuan-ketetuan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di pusat.
Mengenai pejabat-pejabat tertinggi kerajaan dapat disebutkan bahwa golongan yang
tertinggi daripadanya adalah yang bergelar rakryan mahamantri. Pada masa Kediri rakryan
mahamantri ini selalu disebutkan ada tiga dalam satu kelompok, dan mereka inilah yang selalu
disebutkan sebagai penerima langsung perintah raja. Kelompok tiga ini terdiri dari: rakryan
mahamantri hino, rakryan mahamantri sirikan dan rakryan mahamantri halu. Pada prasasti-
prasasti Kediri ketiga pejabat tertinggi itu tak pernah disebutkan bersama-sama. Kedua prasasti
dari raja Jayabhaya (Hantang, OJO LXVIII dan Talan, OJO, LXX) menyebutkan seorang saja,
yaitu rakryan mahamantri i halu yang disebutkan dari namanya adalah Mapanji Kambadaha,
sebagai penerima langsung perintah raja. Prasasti dari raja pendahulunya, Bameswara, ada yang
menyebutkan rakryan mahamantri kalih yaitu i halu dan i rangga yang berperan sebagai
pemberi restu (―makamanggalya‖ OJO LXIX, sisi depan baris-4). Di sini ada penyebutan
yang tak lazim, yaitu bahwa rangga digolongkan bersama halu sebagai rakryan mahamantri.
Pada kebanyakan prasasti Kediri, penerima langsung perintah raja adalah para tanda
rakryan ring pakira-kiran, atau salah seorang daripadanya. Yang paling sering disebutkan
sebagai yang utama dari kelompok ini adalah rakryan kanuruhan, sedang anggota-anggota
lainnya seringkali tak disebut sama sekali. Adapun penyebutan anggota-anggota lain dari
kelompok itu pada berbagai prasasti Kediri adalah: mpungku saiwasogata (OJO LXIX, 1120
Masehi), rakryan mapatih (OJO LXVIII, 1135 Masehi), serta mpungku sewasogata, samgat i
tirwan, samgat ranu kabayan dan lain-lain (aus, OJO LXVI, 1204 Masehi). Sebuah prasasti lain,
(OJO LXXII, 1185 Masehi) menyebut samgat tirwan di bagian akhir, bersama seorang samgat
lain (tak jelas) yang bernama Mapanji Talaluh. Sebuah prasasti lain lagi (OJO LXXI, 1181
Masehi) di bagian akhirnya menyebut juga seorang bernama Mapanji Talangluh dengan jabatan
samgat langka, yang telah bertugas menulis prasasti yang bersangkutan. Bersama dia disebutkan
pula pejabat-pejabat yang telah mendirikan prasasti ini , yaitu samgat manghuri mangilala
dan rakryan juru raga skar. Dengan demikian maka dapat kiranya disusun kembali
keanggotaannya kelompok para tanda rakryan ring pakira-kiran pada masa Kediri. Sekurang-
kurangnya kelompok ini beranggotakan: rakryan kanuruhan, rakryan mapatih, mpungku
saiwasogata, samgat tirwan, samgat ranu kabayan, samgat langka, samgat manghuri manilala
dan rakryan juru raga skar.
Adapun prasasti-prasasti masa Kediri memberikan susunan yang lebih terpola dari
kelompok para tanda rakryan ring pakira-kiran, yaitu sebagai berikut:
rakryan mapatih/apatih,
rakryan demung,
rakryan kanuruhan,
sang pamget i tirwan,
sang pamget ing kandamuhi,
sang pamget i manghuri,
sang pamget i jamba,
sang pamget in panjang jiwa,
mpungku dharmmadhyaksa ri kasewan,
dengan sang mantri, yang dikenal juga sebagai sang ramapati, sebagai yang diutamakan dalam
kelompok ini. Sang mantri ini juga diberi sebutan yang menunjukkan kemampuannya yaitu
―wagmimaya, paranitijna, nusantara-madhuranathanukula karana” (mahir dalam sastra,
mengetahui siasat orang lain penyebab tunduknya raja-raja Madhura dan pulau-pulau lain dan
juga ―nayawidinggitajna” (ahli politik dan bijaksana akan isyarat). Nama jabatan ramapati ini,
yang dapat diartikan keanggotaan kelompok para tanda rakryan ring pakiran pada masa Kediri.
Sekurang-kurangnya kelompok beranggotakan: rakryan kanuruhan, rakryan mapatih, mpu
saiwasogata, samgat tirwan, samgat ranu kabayan, samgat langka, samgat manghuri mangilala
dan rakryan juru raga skar.
Dua di antara tiga prasasti Jayabhaya yang memerinci tanda rakryan ring pakira-kiran
itu mengadakan pemisahan antara mereka yang rupanya mempunyai tugas keagamaan ataupun
pendidikan pada umumnya, terlihat dari sebutan dang acaryya yang mereka sandang, dengan
mereka yang tugasnya di bidang keduniawian. Mereka yang disebut terakhir ini terdiri dari sang
mantri/ramapati, rakryan mapatih, rakryan demung dan rakryan kanuruhan. Mereka disebut
terdahulu, sedang kelompok keagamaan yang terdiri dari sang pamgat i tirwan, ing kandamuhi, i
manghuri dan seterusnya disebutkan dengan antaran kata ―tan kawuntat” (tidak ketinggalan),
sesudah menyebutkan sang mantri dan lain-lain itu. Sebaliknya, pada sebuah prasasti Kediri
(OJO LXXIV, 1197 Masehi) tercantum bahwa penerima langsung perintah raja adalah sejumlah
tokoh bersebutan danghyang dan mpungku, jadi tentunya para pemuka agama, baru kemudian
perintah raja itu ―umingsor i” (turun kepada) para tanda rakryan ri pakira-kiran. Hal ini
memperlihatkan bahwa pada masa Kediri para pemuka agama tidak selalu didudukkan di
belakang para pemuka ‗politik‘, melainkan dapat didahulukan bila diperlukan. Dalam hal ini
pesasti Kediri ini di atas memang bersangkutan dengan pemujaan (atas nama) raja setiap
hari kepada bhatara i palah, jadi berhubungan langsung dengan kegiatan peribadatan.
Berita Chau Ju-kua mengenai Jawa (Sho-p‘o) pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi
mengatakan sebagai berikut tentang pemerintahan kerajaan:
a. Tiga orang putra raja diangkat sebagai fu-wang, yaitu wakil-wakil raja.
b. Kemudian ada kelompok pegawai tinggi yang terdiri atas para sai-ma-kie dan lo-ki-lien.
c. Dan di bawah itu ada tiga ratus lebih pegawai yang lebih rendah.
Adapun kitab Sung-shi mengatakan bahwa ada empat lo-ki-lien yang bersama-sama mengatur
urusan Negara, sedang kitab T’ang-shu menyebutkan bahwa ada tigapuluh dua menteri negara
tertinggi di Jawa . Intinya, berita-berita Cina
ini mengemukakan mengenai adanya tiga eselon pejabat/pegawai, yaitu:
1) Tiga putra raja yang diberi wewenang tertentu.
2) Para pegawai tinggi yang berjumlah empat atau tiga puluh dua.
3) Para pegawai/petugas di bawah ini yang jumlahnya ratusan.
Deskripsi ini dapat dilihat kesesuaiannya dengan data masa Singhasari ini di atas,
yang dengan mengadakan rekonstruksi dapat digolongkan bersusun sebagai berikut:
1) yang tertinggi adalah ketiga rakryan mahamantri.
2) kemudian menyusul kelompok pejabat tinggi yang terdiri atas empat orang jika yang
dimaksud adalah rakryan apatih, rakryan demung, rakryan kanuruhan dan sang
mantri/ramapati, atau mungkin juga sampai berjumlah tigapuluh dua jika deretan
selanjutnya yang mulai dengan samgat i tirwan diteruskan selengkapnya.
3) kemudian yang dimaksud dengan tiga ratus lebih pegawai kerajaan itu mungkin adalah para
mangilala drewya haji yang memang tidak disebutkan dalam prasasti-prasasti masa
Singhasari yang sampai kini dikenal, namun tentulah bukan berarti tidak ada, sebab dalam
prasasti-prasasti masa Kediri dan Majapahit yang mengapitnya kelompok ini tetap disebut.
Dengan kesesuaian dua sumber data ini , maka dapat diajukan dugaan bahwa Chau Ju-kua
memberikan uraian mengenai kerajaan Kediri, dan dengan demikian juga bahwa ketiga rakryan
mahamantri adalah putra-putra raja.
Mengenai penggolongan para pejabat di bawah rakryan mahamantri perlu diperhatikan
pula data dari dua prasasti Kediri, masing-masing dari raja Jayabhaya dan Bameswara (OJO
LXVIII dan LXVIIII), yang mengurutkan kelompok pejabat yang ―hendaknya tidak mengganggu
sima” sebagai berikut:
a) kelompok yang terdiri atas pinghai, wahuta, rama, nayaka, pratyaya, akurug haji, wadihati
dan akudur.
b) Kelompok yang disamakan winawa atau sang mana katrini, terdiri atas pangkur, tawan dan
tirip.
c) Kelompok sang mangilala drawya haji, yang diberi penjelasan lebih lanjut ―wulu-wulu ring
dangu agong, admit makadi misra paramisra….” dan seterusnya disusul daftar panjang
yang banyak sekali menyebut nama profesi.
Mungkin ketiga kelompok itu bersama-sama yang dimaksudkan oleh berita Chau Ju-kua sebagai
‗pegawai yang berjumlah tiga ratus lebih‘ itu. Namun ada pula kemungkinan bahwa kelompok a
dan b tergolong kepada ―pejabat yang tiga puluh dua‖. sebab ketiga kelompok itu dikatakan
―hendaknya tidak mengganggu‖ sima yang ada di pihak thani, maka dapatlah dipastikan bahwa
ketiga kelompok ini adalah petugas-petugas kerajaan dari atau atas nama pusat.
Di samping para pejabat atau petugas pemerintahan di pihak ‗pusat‘ ini di atas,
kalangan thani atau ‗daerah‘ pun mempunyai pemerintahan sendiri. Istilah umum yang dikenal
di masa Singhasari (OJO LXXIX, lempeng 2b) untuk pemerintahan desa ini adalah mungkin
thani bala, yang arti katanya adalah ―kekuasaan thani‖. Mengenai pemerintahan ‗daerah‘ ini
ada sejumlah keterangan dari prasasti-prasasti Kediri. Di depan telah dijelaskan bahwa
pimpinan desa terdiri atas sejumlah pejabat yang barangkali membentuk semacam dewan.
Mereka itu secara umum diberi sebutan rama. Tugas mereka bermacam-macam. Di antara
mereka yang tugasnya rupa-rupanya bersangkutan dengan pengurusan wilayah, diberi sebutan
duwan, kabayan, buyut dan juru.
Di samping itu semua, pada masa Kediri ada suatu perkembangan dalam masyarkat,
yaitu berupa munculnya suatu peranan baru yang bersifat kemiliteran, peranan mana disandang
oleh para pemuka dari pihak thani. Berikut ini adalah ungkapan data mengenai golongan yang
menyandang peranan ini .
Sebuah prasasti Kediri dari tahun 1181 Masehi (OJO LXXI) menguraikan bahwa
sejumlah besar pejabat dari daerah Jaring datang beramai-ramai (ke ibukota) untuk menerima
anugerah raja (―datangnya mampak-ampak manarima ryy anugraha sri maharaja
makarahuhan”). Mereka itu yang disebutkan dengan jelas ada duapuluh tiga orang, sedang
sebenarnya daftar itu masih lebih panjang namun tidak lagi dapat terbaca dengan baik. Mereka itu
masing-masing disebut dengan rumusan:
jabatan - (nama) – makasirkasir – X,
misalnya:
arangkepi nama Sakati makasirkasir manjangan puguh;
angrangkepi nama Gorontol akakasir macan menun;
gusti sagenter akakasir lembu cokoh;
juru wereh akakasir minda kuning;
dan lain-lain
Sebuah prasasti Kediri yang lain (OJO LXXVII) menyebut nama di belakang, misalnya:
buyut kadyan makasikasir kbo kdu nama potra Bonang
Prasasti ini mengenai pemberian hadiah kepada par pejabat daerah Lawadan, namun tidak jelas
untuk jasa apa. Berbeda dengan itu, prasasti terdahulu jelas menyebutkan bahwa para pejabat di
Jaring itu diberi anugerah sebab jasanya membela raja dalam peperangan.
Sebuah prasasti Kediri yang lain, bertahun 1194 Masehi (OJO LXXIII), juga mengenai
pemberian anugerah berhubung dengan jasa dalam peperangan. Di sini anugerah raja diberikan
kepada samya haji katandan sakapat yang juga disebut sebagai wargga haji, atas jasa mereka
ketika raja “kentar sangke kadatwan ring Katangkatang” (terdesak keluar dari keratin
Katangkatang). Berbeda dari kedua prasasti terdahulu, di sini tak ada petunjuk sama sekali
bahwa yang diberi anugerah itu adalah pejabat daerah. Namun persamaannya adalah bahwa
sejumlah orang yang mendapat anugerah itu mempunyai sebutan makasikasir juga, yang kiranya
sama maksudnya dengan sebutan mkasirkasir atau akakasir pada prasasti terdahulu. Dalam
prasasti 1194 Masehi ini penerima anugerah itu adalah antara lain:
sakwan makasikasir minda rjasingha;
kapingpat makasikasir bumbu bingung;
kaping tiga makasikasir dada;
juru makasikasir kbo
Dua di antara ketiga prasasti ini di atas jelas berkenaan dengan jasa dalam
peperangan, sedang yang satu tidak jelas sebab prasastinya memang aus. Pejabat pusat yang
menjadi sopana (perantara) untuk penerimaan anugerah itu pun adalah penyandang tugas
kemiliteran. Pada prasasti 1181 Masehi sopana itu adalah senapati sarwwajala (panglima
perairan), sedang pada prasasti 1194 Masehi sopana itu adalah pangalasan yang mungkin
bertugas sebagai pengawal dari raja. Ketiga prasasti yang dibicarkan ini berkenaan dengan
pemberian anugerah berupa hak-hak tertentu, kepada sejumlah orang yang sebagian besar
mempunyai ―makasirkasir” sebagai bagian dari sebutannya. Maka dapatlah diajukan dugaan
bahwa ada hubungan erat antara sebutan ―makasirkasir” dengan urusan kemiliteran.
Van der Tuuk (BKNW II:186, kasir) memberikan arti ―makasir-kasir” sebagai
―dinamakan‖ (periksa pula Zoetmulder, 1982:815-6), atau suatu arti lain dalam hubungan dengan
jenggot. Arti yang terakhir itulah yang hendak diberi tekanan dalam pembahasan ini, dengan
mengambil perbandingan dari penuturan kakawin Smaradahana. Dalam suatu bagian kakawin
ini yang bercerita tentang barisan tentara raksasa, dikatakan antara lain: lambang yang mereka
pakai dalam perang itu berupa raja hutan (harimau) yang galak dengan misai yang diratakan ke
belakang, sedang pasukan yang bersenjata cakram beribu-ribu, membawa bulu-bulu merak dan
segala rumbai-rumbai yang berjurai-jurai dengan penuh gelora (pupuh XXX bait 7 dan 9).
Keterangan terakhir ini dalam bahasa Jawa Kuna dicantumkan: ―wijah akasirkasir wulu mayura
sagala rinawis”. Ungkapan-ungkapan dalam Smardahana itu menunjukkan bahwa: pertama,
kata makasir-kasir dipakai juga berkenaan dengan panji-panji ketenteraan, dan kedua, panji-panji
yang bergambar binatang dipandang sebagai suatu kelaziman. Pada bagian lain dari kakawin ini
(pupuh XXXII bait 6-14) dilukiskan pula tentang dewa-dewa lokapala yang bersiap untuk
perang, masing-masing membawa panji-panji yang bergambar khas sesuai dengan sifat
kedewataan mereka.
Dengan perbandingan Smaradahana itu, dengan ini diajukan pendapat bahwa kata
makasirkasir dalam prasasti-prasasti Kediri ini berarti ―yang (mempunyai panji/tanda) berjurai-
jurai‖, dan bukan hanya berarti ―yang bernama‖. Dengan demikian maka:
buyut hadyan nama Daya Sengsengan makasirkasir kbo salawah,
arangkepi nama Sakati makasirkasir manjangan puguh,
kabayan nama Winuruk akakasir gajah kuning
dan lain-lain (OJO LXXI)
berarti
pejabat X bernama Y berpanji / tanda Z.
Rumusan itu kiranya sesuai dengan gaya penyebutan nama yang umum ada pada masa
Kediri, di mana ada pula kata-kata mapanji dan lancana yang juga berarti ―berpanji-
panji/bertanda pengenal X‖. Kata-kata ini , yaitu maksirkasir, mapanji dan lancana,
menunjuk pada panji-panji yang dihubungkan dengan masing-masing tokoh. Hubungan tokoh
dengan panjinya demikian erat, sehingga seorang tokoh pada tahapan arti yang kedua
dipersatukan dengan panjinya dan nama panjinya hampir dipandang sebagai nama dirinya. Hal
ini terjadi pada raja Jayabhaya dan Srengga, yang sebutan lengkap untuk diri mereka masing-
masing adalah:
Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawatarnindita Suhertsingha Parakrama
Digjayottunggdewanama Jayabhaya – lanchana;
Paduka Sri Maharaja Sri Sarwweswara Triwikrmwataranindita Srengga-lanchana
Digjayottunggadewanama.
Kedua raja ini , yang nama pokoknya adalah Warmmeswara dan Sarwweswaraa, sangat
dikenal juga dengan nama lancana-nya. Ada suatu pengutaraan dalam prasasti Hantang, bahwa
anugerah diberikan kepada mereka yang ―ri kala ni panuwal kewalapageh paksa Jayabhaya”
(ketika peristiwa perlawanan/pemberontakan tetap teguh berada pada pihak Jayabhaya; periksa
pula suwal dalam KBNW III:221). Ungkapan itu mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan
paksa Jayabhaya adalah pihak atau golongan yang bernaung di bawah panji-panji jayabhaya.
Jika benar bahwa mereka yang bersebutan makasirkasir itu mempunyai tugas
ketentaraan, dengan kemungkinan pula bahwa mereka mempunyai sejumlah anak buah yang
seluruhnya bernaung di bawh panji-panji, maka ternyatalah bahwa di masa Kediri itu terlihat
tanda-tanda pertama akan adanya organisasi ketentaraaan. Yang di daerah, misalnya di Jaring
dan Lawadan seperti yang disebut dalam dua prasasti di atas, mungkin masih berupa pengerahan
bala bantuan pada waktu diperlukan, dan belum merupakan bala tentera yang dilatih secara
khusus. Pimpinannya pun dalam tata ketentaraan menyandang kedudukan ex-officio, sambil
mereka tetap memegang jabatannya yang pokok seperti kabayan, juru wereh, buyut hadyan,
angrangkepi dan lain-lain.
Keadaan di ‗daerah‘ ini rupanya berbeda dengan di pusat kerajaan, di mana rupanya
sudah dilatih tenaga-tenaga khusus untuk urusan perang itu. Prasasti Hantang (OJO LXVIII)
menyebutkan bahwa di antara para mangilala drewya haji ada sejumlah nama jenis pekerja
yang rupanya berhubungan dengan tugas ketentaraan. Nama-nama jenis petugas ini adalah ―
mamanah (ahli mempergunakan panah/mereka yang bersenjatakan panah), magalah (ahli atau
yang bersenjatakan tombak/tongkat panjang), magandi (ahli atau yang bersenjatakan kapak),
maliman (ahli gajah/anggota pasukan gajah), makuda (ahli kuda/anggota pasukan kuda) dan
pakarapan (ahli sapi pacu). Mereka itu dikatakan dilarang ‗masuk‘ daerah thani; dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa mereka tergolong petugas di pihak rajya. Mungkin di pusat
kerajaan itu petugas-petugas yang dapat mempunyai fungsi ketentaraan ini pada masa
Kediri telah dilatih dan dibina secara khusus dan professional.
Dari sejumlah data yang telah dipaparkan di atas itu terlihat bahwa masa Kediri ditandai
antara lain oleh pembentukan dan pembinaan golongan-golongan warga yang menyandang
tugas ketentaraan, baik di kalangan thani maupun di kalangan rajya. Hal ini mungkin ada
hubungannya dengan situasi politik pada masa ini : persaingan antara kerajaan Panjalu
(Kediri) dengan Janggala ataupun kekuatan-kekuatan lain rupanya menuntut tindakan-tindakan
nyata. Salah satu dari tindakan itu adalah pembinaan fungsi ketentaraan seperti yang telah
diuraikan di atas. Tindakan lain yang mungkin dilakukan juga dalam rangka itu adalah upaya
raja-raja Kediri untuk menerbitkan karya-karya susastra yang bertema perang. Sebagai contoh
dari karya-karya susastra itu dapat disebutkan kakawin Bharatayuddha dan Smaradahana: yang
pertama mengisahkan perang saudara dan yang kedua mengisahkan kepahlawanan Ganesa, yaitu
dewa sebagai pemimpinnya pasukan Siwa dapat pula dipandang sebagai dewa lambang
kesenapatian.
Demikianlah telah diuraikan mengenai golongan-golongan dalam warga Kediri baik
yang dari kalangan nagara maupun yang dari kalangan thani. Di antara golongan-golongan itu
ada mereka yang mempunyai peranan tertentu dalam pemerintahan, baik di tingkat ‗pusat‘
maupun ‗daerah‘. Di samping itu ada pula golongan-golongan dalam warga yang tidak
mengambil bagian dalam pemerintahan. Mereka ini secara garis besar mungkin dapat
dikelompokkan atas: 1) para petani dan peternak, 2) mereka yang menguasai teknik untuk
menghasilkan jenis-jenis barang tertentu, 3) mereka yang mempelajari agama dan sastra, 4)
pedagang dan pengamen. Dapat diduga bahwa kelompok pertama hanya hidup di lingkungan
thani; kelompok kedua dan ketiga bisa ada di masing-masing lingkungan, yaitu rajya dan thani;
sedang kelompok keempat dapat bergerak dari atau tempat ke tempat lain.
hidup, berkenaan dengan tata cara protokoler yang menyangkut tata tempat, penggunaan bahasa,
tata busana, tata boga, serta juga berkenaan dengan berbagai bentuk ekspresi seni. Institusi raja
beserta keluarga dan perangkat pejabatnya merupakan titik sentral dalam menjalankan suatu
sistem pendorongan dan penghargaan, serta sistem sanksi, yang semuanya menuju kepada
tercapainya mutu yang optimal dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam hal kesenian.
Fungsi ini mengharuskan seorang raja berkualifikasi juga sebagai sekurang-kurangnya
apresiator seni yang baik. Tidak jarang ada contoh bahwa seorang raja juga aktif dalam
kegiatan seni.
Yang membuat kesenian yang dibina di dalam lingkungan istana raja seringkali menjadi
bernilai ―tinggi‖ adalah pergaulannya dengan para cerdik cendekia yang terhimpun di sekitar
raja. Dalam pergaulan semacam itu seni tidak hanya tumbuh sebagai sarana bersenang-senang
saja, melainkan juga sebagai sarana pencapaian kepuasan mental-spiritual. Pemikiran
kefilsafatan ataupun tasawuf dapat mengilhami penyusunan kaidah estetikumum dan yang terkait
dengan pelaksanaan teknis dalam berbagai bidang seni. Lingkungan yang mengutamakan
keunggulan itu pun tidak jarang mendorong perkembangan seni ke arah peningkatan pencapaian-
pencapaian teknik berungkap seni, baik dari segi variasi maupun dari tingkat kesulitannya.
Dalam perkembangan kesenian dalam lingkup masing-masing kebudayaan, tidak jarang pula
terjadi saling pengaruh antarbudaya. Dalam bidang kesenian, pengaruh kebudayaan India cukup
bermakna sebagai pendorong ke arah kemantapan teknik dan pembentukan konsep.
Kesenian Keraton dan Luar Keraton pada Masa Kediri
Tata kenegaraan yang berbentuk kerajaan muncul pertama kali di negara kita bersamaan
dalam satu perangkat dengan unsur-unsur budaya lain dari India, seperti bahasa, aksara, seni, dan
tata warga pada umumnya. Konsep Hindu mengenai raja dan kasta ksatria yang didukung
oleh kearifan purohita-nya dari kasta brahmana telah berkembang lebih lanjut di Asia Tenggara
khususnya di Kamboja, Campa, dan Jawa (sekitar awal abad VIII M) menjadi konsep mengenai
dewaraja, yaitu kekuatan atau esensi kedewataan yang masuk ke dalam diri raja, sehingga
dengan demikian dianggap bahwa di dalam diri raja ada suatu aspek tertentu dari
kewibawaan dewa.
Konsep mengenai pemimpin negara yang demikian ini membawa kepada pemusatan
kekuasaan kenegaraan di dalam tokoh raja. Konsep dewaraja ini untuk sebagian boleh
ditafsirkan pula sebagai pelanjutan dari konsep kepemimpinan masa prasejarah (―kepala
suku‖/‖kepala desa‖ seperti masih dapat dijumpai sisa-sisanya pada beberapa warga etnik
tertentu), yaitu sang pemimpin dengan karismanya sekaligus menjadi pemimpin dunia dan
pemimpin spiritual. Perbedaannya terletak dalam implikasi kosmologis, yang dimiliki oleh
konsep ―maharaja‖ Hindu, dan turunannya, yaitu ―dewaraja‖ ataupun ―ratu binathara‖ Jawa,
namun mungkin belum ada dalam konsep ―kepala suku‖. Konsep mengenai Yang Tertinggi atau
Yang Terbenar dalam pemikiran keagamaan Hindu selalu terkait dengan pemikiran mengenai
hakikat kosmos: baik itu Brahman yang dirumuskan sebagai ―jiwa semesta‖ yang tak
dipersonifikasikan, ataupun kemutlakan keduaan ―purusa dan prakerti‖ dalam segala
perwujudan di dalam alam semesta, maupun ―Iswara‖ yang dirumuskan sebagai personifikasi
mahapencipta yang menentukan penggelaran kosmos. Konsep yang disebut terakhir itulah yang
dikembangkan ke dalam konsep dewaraja. Paparan selanjutnya terpusat pada perkembangan di
Jawa, semata-mata sebab data mengenai itu tersedia meliputi rentang waktu yang panjang dan
berkelanjutan.
Tata kenegaraan yang berbentuk kerajaan dibentuk pada masa Hindu-Buddha di atas tata
pemerintahan awal pra-Hindu-Buddha, yang tersusun dalam satuan-satuan desa dan federasi
antardesa. Istilah ―kadalwan‖ atau ―kedhaton‖ yang asli negara kita digunakan untuk menamakan
tempat sang pemimpin berada, yang disebut dengan istilah asli negara kita juga, yaitu ―haji” atau
―aji”. Data dari prasasti-prasasti masa Kediri menyiratkan bahwa di dasar warga jawa di
masa lalu ada satuan-satuan organisasi desa dan antardesa yang cukup kuat, ―pemerintahan‖
dijalankan dengan asas musyawarah, yang antara lain terlihat pada adanya kelompok pemimpin
suatu satuan permukiman yang disebut para rama, yang didampingi oleh para juru atau tuha
yang masing-masing terkait dengan jenis-jenis pekerjaan atau tanggung jawab tertentu.
warga desa inilah yang sepanjang perjalanan perkembangan kewarga an Kediri
selanjutnya tetap ada dan hidup, walau senantiasa mengalami perubahan dalam hubungannya
dengan struktur pemerintahan di atasnya yang berkembang semakin berlapis. Walaupun
senantiasa terdesak ke bawah, desa dalam tradisi dianggap tetap dapat memiliki cara (baca: adat)
sendiri (terlihat pada ungkapan ―desa mawa cara, negara mawa tata‖). Pada masa Kediri (abad
XI-XII M) kesatuan wilayah adat adalah wisaya, yaitu kesatuan wilayah yang terdiri dari
sejumlah desa, dan ―ibukota‖-nya merupakan sumber referensi bagi seluruh wisaya. Warisan
budaya pedesaan itulah yang pada dasarnya senantiasa memberikan kekuatan untuk tumbuh dan
menghasilkan kesenian yang memang berasal dari warga pedesaan sendiri .
Sementara itu, di pusat kerajaan, yang juga merupakan titik kontak pertama dengan orang
dan budaya mancanegara, dikembangkan kecanggihan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti
tata kewarga an yang menyangkut tata perilaku, tata politik, dan tata ekonomi, serta juga
bidang seni yang meliputi antara lain tata busana, seni sastra, seni pertunjukan, senirupa, dan
arsitektur, yang semua itu memerlukan teknologi masing-masing. Sejumlah hasil pengolahan
budaya yang canggih di pusat kerajaan itu ―dikodifikasi‖ menjadi atribut khusus bagi raja atau
pihak-pihak tertentu yang diberi anugerah oleh raja untuk melakukan, memiliki atau
mengkonsumsinya. Hak-hak istimewa itu antara lain meliputi:
(a) yang dilakukan: me-nanggap tontonan pengamen; memperhamba dayang, pujut, nambi
hunjman, wungkuk, bulai, dan lain-lain; mengenakan busana yang tergolong kolah-olahan;
(b) yang dimiliki: komponen-komponen rumah, seperti tirai, rumbai-rumbai ataupun alas lantai
yang terbuat dari kain bananten (yang halus), ruang terbuka (waruga) di bagian depan,
tengah ataupun belakang rumah, bubungan yang terbuat dari terakota, sepasang payung yang
ditegakkan di depan rumah, tiang rumah yang berjumlah delapan, bangku yang dibubut;
(c) yang dimakan: apa yang disebut rajamangsa (=makanan raja-raja) yang antara lain adalah
penyu/kura-kura, babi hutan aduan, anjing kebiri, dan kambing muda.
Anugerah hak-hak istimewa itu kadang-kadang juga diberikan kepada seseorang kepala
daerah yang telah mempunyai jasa atau prestasi khusus. Dengan cara itu sebagian atribut
keutamaan yang pembinaannya hanya boleh ada di pusat kerajaan, dalam situasi tertentu dapat
―diturunkan‖ dan dibagi ke bawah. Pemberian anugerah yang legal-formal itu (dinyatakan dalam
prasasti) tidak pernah menyebut kewenangan untuk memiliki atau membina bentuk-bentuk
kesenian tertentu. Seperti diketahui, dalam kerajaan-kerajaan Jawa yang lebih muda (setidak-
tidaknya setelah ada Surakarta dan Yogyakarta), sebelum zaman Kemerdekaan Republik
negara kita , ada bentuk-bentuk kesenian tertentu yang dinyatakan sebagai ―pusaka kerajaan‖ atau
kagungan dalam ‗milik baginda raja‘, dan dengan demikian hanya boleh dibina dan
dipergelarkan di dalam keraton, seperti bedhaya-srimpi, lawung, wiring, dan lain-lain
Pada masa Hindu-Buddha pun rupanya ada hak-hak istimewa raja dalam pembinaan
kesenian, meskipun tidak disebut dalam prasasti-prasasti. Dari awal masa itu sampai dengan
masa Majapahit awal kesusasteraan yang berbentuk kakawin yang rumit itu hanya dihasilkan
oleh istana-istana raja. Contoh kakawin masa itu yang terkenal adalah Ramayana,
Arjunawiwaha, Smaradahana, Bharatayuddha, Krsnayana, Ghatotkacasraya, Sutasoma, dan
Arjunawijaya. Karya-karya kakawin yang agaknya dibuat di luar istana raja baru muncul pada
masa Majapahit akhir, dengan contoh kakawin Kunjarakarna. Keterkaitan raja dengan karya-
karya susastra ini dapat diketahui dari ada tidaknya ungkapan penghormatan dan
penghargaan kepada raja yang tertulis di dalam karya-karya itu sendiri. Peran istana raja dalam
pembinaan seni suara dari tari pun tersirat dari kutipan karya-karya sastra sezaman yang men-
ceritakan betapa penyanyi atau penari yang baik diberi hadiah-hadiah berupa kain, cincin, atau
gelang oleh raja. Keunggulan putra-putri raja, dan bahkan raja sendiri (contoh: Hayam Wuruk
dalam Nagarakertagama), dalam berolah seni diceritakan dalam beberapa karya sastra masa
Hindu-Buddha, baik yang berupa kakawin berbahasa Jawa Kuna maupun yang berupa sastra
kidung berbahasa Jawa Pertengahan.
Namun juga, ada siratan dari karya-karya sastra itu bahwa para pekerja yang
mengabdi di istana raja bisa direkrut dari pedesaan juga, dan membawa serta kepercayaan-
kepercayaan kerakyatannya. Suatu contoh yang menyiratkan hal ini adalah sebuah kutipan dari
kakawin Bharatayuddha (VI.2-3) tentang wanita-wanita di dalam istana Hastina yang mencuri-
curi mengambil bunga sajian bagi Ganesa, dimasukkan ke dalam sanggulnya sebagai semacam
azimat cinta. Kepercayaan mengenai daya magis dari hal-hal yang terkait dengan Ganesa lebih
tegas dipaparkan dalam kitab-kitab prosa produk luar-keraton, seperti Tantu Panggelaran dan
Korawasrama yang diciptakan sekitar akhir kerajaan Majapahit. Benda-benda lambang Ganesa,
yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan harum tertentu ataupun dari logam dan baru, merupakan
tempat mujarab untuk meminta sesuatu. Kitab-kitab itu juga memaparkan kemampuan-
kemampuan khas dewa Gana (nama lain untuk Ganesa) untuk menebak dan mengutarakan
kenyataan (yang tersembunyi). Ia, yang dipuja juga sebagai ulun desa (cikal bakal desa) pada
bagian lain dikatakan mempunyai kelebihan berupa mandiswara, sawuwusnira tuhu (bersuara
manjur, segala yang dikatakan benar). Dalam sastraluar-keraton itu ia diceritakan juga
mempunyai kemampuan gaib untuk meruwat atau me-lukat (= mengentas, mengakhiri
penderitan) orang/dewa (contoh: Durga) yang terkena tulah. Penggambaran sifat yang demikian
dari dewa berkepala gajah itu amat berbeda dengan yang ada dalam kakawin-kakawin
produk keraton. Kakawin Smaradahana, misalnya, yang memang memberikan cerita panjang
lebar mengenai kelahiran dan peperangan dewa berkepala gajah itu melawan musuh dewa-dewa,
menggambarkan Ganesa sebagai tokoh yang bersifat wira, gagah berani dan menggemparkan.
Demikianlah dalam kasus pengarcaan Ganesa ini terlihat bahwa citra mengenai dewa
ini yang dikembangkan di kalangan keraton berbeda dengan yang di luar keraton. Kasus itu
juga menunjukkan bahwa pengembangan seni di dalam lingkungan keraton lebih dipandu oleh
arahan untuk mengembangkan kaidah-kaidah, baik spiritual, moral, maupun estetik, sedangkan
seni di lingkungan luar-keraton lebih diarahkan oleh kemanfaatan melalui jalur spiritual dan
magis.
Kasus seni pertunjukan pada masa Hindu-Buddha itu pun menunjukkan adanya
perbedaan antara seni di kalangan atas (bangsawan dan orang kaya) dan seni di kalangan rakyat
kebanyakan. Tarian yang dipergelarkan bagi kalangan atas jelas sekali mengacu pada kaidah tari
klasik Hindu seperti yang dipaparkan dalam kitab petunjuk seperti Natyasastra. Sikap-sikap
tungkai, lengan, torso, serta tangan, kaki, dan kepala, dapat dikembalikan semua kepada kanon
Hindu ini . Berbeda dengan itu, tarian di kalangan atau oleh rakyat kebanyakan
memperlihatkan posisi/gerak yang menyimpang dari ketentuan kanon tertulis itu. Contoh-contoh
tarian dapat disimak pada relief di candi-candi, khususnya yang ada di Jawa Timur. Pada relief
candi Tigawangi ada pula contoh suatu tontonan rakyat yang sebagian terbesar penarinya
(pria) menunjukkan gerak-gerak non-kanonik, namun di tengah-tengah mereka ada seorang
penari wanita dengan pose yang amat sesuai dengan kaidah Natyasastra. Contoh ini
menunjukkan adaya tetesan ―petunjuk‖ dari atas ke bawah, dari kalangan bangsawan, yang
tentunya lebih menguasai sumber-sumber referensi, ke kalangan rakyat kebanyakan yang
mungkin jauh dan sumber-sumber ini .
Gerak tari dapat juga dijumpai pada relief yang dipahatkan pada pipi tangga candi
Tigawangi sisi utara dan selatan, yaitu berupa seorang wanita yang sedang memainkan gendrang
silendris sambil menari. Penabuh gendrang ini berdiri dengan sikap prontal. Kedua kakinya
dibuka ke samping dengan tekukan pada lutut, kedua telapak kaki menapak tanah menghadap ke
samping. Di depannya ada pragmen relief kaki kanan seorang tokoh. Relief ini bersambung
ke panil sisi depan, dimana ada pahatan kaki kiri tokoh ini yang secara keseluruhan
menggambarkan adegan tari tertentu. Di depan ada pahatan kaki kiri dari seorang tokoh
dengan sikap lurus. Telapak kakinya menapak tanah menghadap ke arah dalam kain panjangnya
tersingkap hingga lutut kaki kanan dipahatkan pada pipi tangga di sisi muka dengan posisi lurus,
hanya telapak kaki bagian depan yang menapak pada tanah, tumitnya diangkat menghadap ke
dalam. Kain panjang terurai hingga menutupi mata kaki. bila menilik posisi kainnya,
diperkirakan gerakan tarinya cukup lincah, namun masih terkesan beraturan.
Relief pada pipi tangga sisi utara menggambarkan seorang wanita sedang menari dengan
gerakan yang agak berbeda jika dibandingkan dengan gerak tari tokoh di atas. Tokoh ini berdiri
lurus dengan kedua telapak kakinya menapak tanah menghadap ke kiri. Mereka berjajar tiga
orang, gerak kaki mereka digerakan secara bersamaan, sehingga mereka tampaknya sedang
menari bersama dengan gerak tari yang serempak.
Deskripsi mengenai gerak tari dijumpai pula dalam kitab Calon Arang. Kitab ini
merupakan salah satu sumber gerak tari yang sangat penting. Calon Arang bersama dengan enam
orang muridnya menari-nari (ngigel) ketika menghadap Bhatari Bhagawati (Durga). Bhatari
Durga dan pengiringnya menampakkan diri lalu turut menari. Pada waktu tengah malam mereka
berpindah dan menari di perempatan jalan.
Gerak tari murid-murid Calon Arang adalah sebagai berikut. Guyang menari dengan
tangan terbuka dan bertepuk tangan, berputar-putar sambil memegang kainnya. Larung menari
bagaikan harimau yang hendak menerkam, Gandi menari dengan meloncat-loncat dengan rambut
terurai ke muka dan matanya merah. Lenda menari berjingkrak-jingkrak, Waksirsa menari
dengan posisi membungkuk-bungkuk dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, dan Mahisawadana
menari dengan berdiri pada sebelah kaki serta lidahnya terjulur ke luar .
Menarik pula untuk dikemukakan bahwa tari topeng dengan cerita Panji disebutkan pula
dalam kakawin Kresnayana (XXXI:9). Disebutkan bahwa salah satu wanita menari topeng untuk
menghibur Rukmini menjelang perkawinannya dengan raja. Tarian ini sangat mengagumkan,
gerakan tangannya begitu manis menyerupai bunga bakung yang ditiup angin .
Dalam cerita-cerita Panji disebutkan para pangeran sering tampil dalam berbagai cabang
seni pertunjukkan. Ketika gong berbunyi para bangsawan mulai menari, memainkan wayang,
menari topeng serta piawai memainkan gerakan . Para dayang-dayang
yang senantiasa mendampingi sang ratu dan putri-putrinya disebutkan sebagian besar pandai
menari, menyanyikan kidung, dan menabuh gamelan.
Kalau dalam contoh-contoh yang telah disebutkan di atas diperlihatkan betapa pusat
menjadi pengembang kesenian yang membangun kaidah dan kecanggihan, dan ini pada
gilirannya dapat menetes ke bawah, maka arus yang sebaliknya perlu juga disimak. Dalam hal ini
rakyat di kalangan bawah, baik sebagai sumber kekuatan ekspresif maupun juga sumber ide,
mungkin pula merupakan, pencipta awal dari suatu bentuk kesenian, untuk kemungkinan
diambil-alih oleh pihak pusat dan selanjutnya dibina menjadi lebih canggih. Contoh hipotetis
yang dapat disodorkan adalah pergelaran wayang. Ada petunjuk bahwa jenis pertunjukan dengan
boneka wayang itu semula lahir di lingkungan pedesaan dan dikaitkan dengan pemujaan atau
penghormatan kepada arwah nenek moyang. Kemudian, melalui peran kalangan istana, yang
kemudian ikut ―memelihara‖nya, dalam pada itu wiracarita Hindu dimasukkan sebagai sumber
cerita wayang, sedangkan teknik permainannya sendiri ditingkatkan, baik dalam aspek gerak,
suara, maupun visualnya. Maka kaidah keindahannya pun berkembang, antara lain yang
berkenaan dengan karakterisasi tokoh-tokoh cerita. Relief cerita pada candi-candi di Jawa Timur
menunjukkan perkembangan itu: candi Jago memperlihatkan semakin tegasnya pembedaan
karakter seperti diperlihatkan oleh tokoh-tokoh Pandawa yang digambarkan dengan model
gelung khas sebagai tanda pengenal mereka masing-masing; candi Kidal menunjukkan adanya
konvensi gawang (posisi ruang untuk penempatan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan peranannya
masing-masing); candi Panataran dan beberapa yang lain menerapkan penggunaan
penggambaran pohon sebagai penyekat adegan (seperti halnya gunungan dalam pertunjukan
wayang kulit yang kini dikenal).
Adanya sebutan bhandagina-men-men, yaitu pertunjukan mengamen berkeliling,
menyatakan bahwa pertunjukan yang lahir di kalangan rakyat kebanyakan memang hidup.
Dalam perjalanan waktu yang panjang di masa Hindu-Buddha, yaitu dari abad VII hingga abad
XVI, kiranya dari waktu ke waktu ada hubungan saling melihat antara pihak keraton dan
pihak luar-keraton, untuk kemudian saling mengambil. Peran raja sebagai pemimpin kerajaan
tentunya cukup besar untuk membuahkan mutu seni yang meningkat dan perangkat kaidah yang
semakin kuat.
AGAMA HINDU BUDHA MASA KEDIRI
5.1 Agama Hindu
Bali penganut Hindu tujuan manusia adalah untuk kembali menyatu kepada sumber dari
segala apa yang ada, yakni Brahmana Hidup manusia menurut kepercayaan ini ibarat perjalanan
suci, sejak lahir hingga mati. Dalam perjalanan ini ada sejumlah tempat perhentian dan mati
merupakan perhentian pula, namun bukan merupakan ritik akhir. Mati lebih merupakan
permulaan dari suatu perjalanan hidup yang baru. Penghentian terakhir sebagai penutup dari
perjalanan yang panjang itu adalah tercapainya moksa, yakni keadaan terbebas dari kelahiran
kembali.
Moksa ini dapat dicapai bila orang telah menguasai brahmawidya, yakni pengetahuan
tentang kebenaran tertinggi. sebab telah mencapai kesempurnaan mutlak ia kembali menyatu
dengan Brahman, sumber dari segala yang ada. Brahman tidak dapat dipahami oleh siapapun
sebab semua yang ada hanyalah pancaran kecil dari Brahman. Hanya melalui dewa-dewa
sebagai pancaran Brahman, seorang manusia dapat rnendekatinya. Bagi orang awam,
pengetahuan tentang kebenaran tertinggi itu tidak dapat dicapai dalam masa kehidupan kini.
Jalan untuk mencapainya harus ditempuh tahap demi tahap. Dalam agama Hindu, Iswara
merupakan pancaran atau personifikasi dari Brahman dan dalam wujud yang lebih kongkret
dinyatakan dalam bentuk arca, misalnya Siwa atau bentuk-bentuk lain yang mewakili tokoh
ini . Oleh sebab itu kehadirannya juga merupakan perlambangan kebenaran tertinggi dan
sekaligus dianggap sebagai penguasa dan pencipta alam semesta ,
Pokok-pokok gagasan di atas terutama dinyatakan dalam sumber-sumber India. Seberapa
jauh gagasan ini dinyatakan dalam sumber-sumber di Jawa Kuno merupakan hal yang tidak
selalu dapat ditangkap dengan jelas. Salah satu sebabnya adalah kurangnya data tertulis yang
secara khusus mengemukakan permasalahan ini , hal ini terutama dirasakan bila hendak
memahami periode Jawa Timur. Sumber utama yang tersedia adalah arca-arca dan prasasti-
prasasti yang hanya sedikit memberikan keterangan sehingga tidak memungkinkan diperoleh
keterangan yang lengkap sebagaimana di jumpai di India. Arca-arca Siwa atau lingga yang
dijumpai di wilayah ini kiranya merupakan petunjuk paling jelas bahwa perwujudan dari konsep
tentang kebenaran tertinggi itu memang dikenal. Di Jawa Timur kehadiran arca Siwa atau lingga
tidak selalu dijumpai dalam kesendirian, namun sering pula bersama-sama dengan dewa-dewa
utama lain, yakni Wisnu dan Brahma, dalam rangkaian Trimurti. Trio Wisnu-Siwa-Brahma itu
sendiri merupakan perwujudan yang lebih kongkret dari konsep Brahman.
Petunjuk lainnya adalah arca-arca kecil yang diduga berasal dari candi. Dari sudut
ikonografi diketahui bahwa arca-arca ini menggambarkan ‗sembilan perwujudan Siwa‘
yang dikenal dengan sebulan nawadewata atau nawasanga. Dalam susunan ini, Paramasiwa
merupakan tokoh utama yang dikelilingi oleh delapan wujud lain, yang masing-masing mewakili
delapan mata angin. Komposisinya adalah sebagai berikut
Wisnu
(Utara)
Sangkara Sambhu
(barat laut) (timur laut)
Mahadewa Paramasiwa Iswara
(barat) (zenith) (timur)
Rudra Maheswara
(barat daya) (tenggara)
Brahma
(selatan)
Pada masa Jawa Timur ada keterangan, terutama yang diperoleh dari sumber-sumber
sastra, prasasti, dan arca-arca dewa. Dari masa Tamwlang Kahuripan hingga Janggala Kadiri
karya sastra, di samping prasasti, menjadi sumber utama; sedang periode sesudahnya, kecuali
dari karya sastra dan prasasti, juga dari seni arca. Dari jenis-jenis sumber ini dapat
dikemukakan adanya beberapa kecenderungan dalam perkembangan Hinduisme pada periode
Jawa Timur sebagai berikut.
Pertama, tokoh-tokoh dewa yang ditonjolkan lebih bervariasi ketimbang periode
sebelumnya. Sejumlah data prasasti menyebutkan bahwa kecuali dewa Siwa, diseru juga nama
dewa-dewa Hindu lain, yakni Brahma (Lawan/Lamongan tt, dan Gandhakuti 1042-tunulad,
keduanya dari masa akhir Airlangga), Wisnu (Lawan/Lamongan tt, Gandhakuti 1042, dan Sirah
Keting/Sri Sastraprabhu 1204), Ganapati (Ganesa) (Gulung-gulung/Singasari 929, Waharu
II/Jenggala 929-tinulad, dan Geweg/Tengaran 933), Sri Sarasoti/Saraswati (Palemaran/Merbabu
1449/50), dan Rsi (Gandhakuti 1042-tunulad)
Penonjolan dewa-dewa Hindu di luar Siwa juga tercermin dalam karya-karya sastra dari
periode ini, khususnya peranan dewa Wisnu sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab dari
periode Janggala-Kadiri, yakni Hariwangsa, Bharatayudha, Bhomakawya. Dalam karya-karya
sastra, dewa Siwa maupun Wisnu ditampilkan dalam berbagai kemungkinan perwujudan, baik
yang bersifat tenang maupun yang bersifat ganas. Wujud-wujud Siwa antara lain adalah Bherawa
(bhatara bherawa atau krurabhairawa) sebagaimana dikisahkan dalam Bharatayudha dan
Smaradahana, dalam bentuk pasangan dengan saktinya (Uma) sebagai Arddhanariswara dalam
Arjunawiwaha, dan sebagai Hyang Trinaya (bermata tiga) dalam kitab Lubhdaka. Kecuali itu,
Siwa juga diwujudkan dalam bentuk lingga dalam Bhomakawya dan Lubdhaka.
Bentuk-bentuk Wisnu antara lain adalah sebagai babi hutan (warahawatara) dalam
Bhomakawya, juga dalam bentuk Triwikrama sebagaimana dikisahkan dalam Bharatayudha.
Dalam kitab Hariwangsa Wisnu digambarkan sebagai dewa yang sempurna. Dalam fungsinya
sebagai pelindung dunia digambarkan sebagai Janardana. Dalam kitab Bhomakawya Wisnu
digambarkan sebagai Kresna. Dalam Bhararayuddha digambarkan sebagai Arjuna
Selain kedua dewa ini , peranan istimewa juga diberikan kepada Ganesa
sebagaimana dikisahkan dalam kitab Smaradahana (periode Janggala-Kadiri), Durga dalam
Gatotkacasraya (periode Janggala-Kadiri), dan Saraswati dalam Wrttasancaya (periode
Majapahit). Masih ada lagi dewa-dewa yang juga ditampilkan, yakni mereka yang tergolong
alam kelompok dewa-dewa lokapala sebagaimana dikisahkan dalam kitab dari periode
Kahuripan (Arjunawiwaha) dan dari periode Janggala-Kadiri (Bhomakawya, dan Hariwangsa). Pada periode Jawa Timur ini penggambaran
arca-arca dewa Hindu juga memperlihatkan variasi yang lebih banyak daripada periode
sebelumnva.
Kecenderungan kedua adalah bahwa agama Siwa semakin menunjukkan sifat Tantris di
mana praktik yoga menduduki tempat yang istimewa. Istilah ‗yoga‘ di sini mengacu kepada
upaya spiritual untuk menyatukan jiwa individu dengan jiwa alam semesta atau kebenaran
tertinggi. Dalam jnana-yoga (unsur yoga yang memusatkan aktivitas internal atau mental melalui
meditasi), praktik yoga biasanya dilakukan dengan menggunakan sarana-sarana tertentu yang
dapat dirasakan melalui pancaindera, misalnya dalam bentuk pengucapan mantra-mantra, benda-
benda material tertentu, nyanyian suci, dan sikap-sikap tangan yang mempunyai arti tertentu
(mudra). Dengan cara konsentrasi melalui semadi, sang dewa diharapkan untuk hadir sehingga
dapat dicapai kemanunggalan yang sempurna (moksa)
Keterangan mengenai praktik yoga ini telah disebut dalam karya-karya sastra dari periode
Tamwlang-Kahuripan, khususnya yang dilakukan oleh tokoh yang diceritakan, misalnya
Baladewa dan Kresna, dalam Mosalaparwa, dan keluarga Pandawa bersama istrinya dalam
Prasihanikaparwa. Namun, yoga ini dilakukan dalam kaitannya dengan, suatu siklus kematian.
Praktik yoga yang terutama menggambarkan upaya pemanggilan kepada dewa tertinggi mulai
tampak pada kitab Arjunawijaya, khususnya dalam episode pertapaan Arjuna di Indrakila agar
sang dewa (Siwa) berkenan turun untuk memenuhi keinginannya. Sesudah itu, sepanjang abad
ke-12 hingga abad ke-15, praktik yoga, dilakukan sendiri oleh para pujangganya sebagaimana
tercermin dalam bagian manggala (pembuka) dari karya-karya sastra yang digubahnya
Dalam periode ini praktik yoga semakin bersifat Tantris, sebagaimana; tampak dalam
tujuan yang hendak dicapainya, yakni untuk mencapai moksa pada saat ini juga, jadi pada saat
manusia masih hidup. Hal. ini berbeda dengan anggapan umum yang berlaku sebelumnya bahwa
moksa itu hanya dapat dicapai melalui siklus kelahiran dan kematian (samsara).
Dalam perkembangan selanjutnya, sifat Tantris menjadi semakin ekstrem sebagaimana
tampak dalam kriya yoga (unsur yoga yang menekankan aktivitas eksternal, misalnya berbuat
baik, berlaku sebagai petapa), di mana praktik-praktik yang sebelumnya dianjurkan, justru
dilanggar. Dalam pemikiran Tantra sebelumnya, aktivitas yang diarahkan untuk memuaskan
kebutuhan organ tubuh ditekan, suatu cara untuk melatih agar seorang individu terbebas dari
semua ilusi. Dalam perkembangan selanjutnya, anggapan yang muncul justru sebaliknya, yakni
bahwa badai atau pancaindera justru diberi kebebasan untuk menyentuh semua hal, suatu upaya
yang dilakukan agar manusia memiliki pengalaman bahwa semua itu bersifat sementara dan
untuk selanjutnya ia dapat mengatasi dan menguasainya Kecenderungan terakhir
itu dalam periode Jawa Timur terutama tercermin dalam ritual -ritual yang dilakukan oleh
raja terakhir Singhasari, yakni Kertanegara
Kecenderungan lain yang tampak pada periode ini adalah munculnya penyamaan antara
gagasan tentang kebenaran tertinggi dalam agama Hindu dengan gagasan kebenaran tertinggi
dalam agama Buddha. Sebab-musababnya tidak banyak diketahui, namun tanda-tanda awal dari
periode ini telah tampak pada masa Tamwlang-Kahuripan, khususnya masa Sindok. Raja ini
menggunakan nama abhiseka Sri Isana, nama lain Siwa, yang tentunya mencerminkan agama
yang dianutnya. Tapi, putri mahkotanya yang kawin dengan Lokapala diketahui beragama
Buddha (sogara paksa) ,Pada masa Sindok pula,
yang diketahui sebagian besar prasastinya bercorak Siwais, dijumpai prasasti yang memuat
pujian kepada Buddha, yakni Sobhamerta/Betra (939) dengan formulasi ‗namostu
sanvwabuddhaya’. Dari masa kemudian muncul lagi seruan pembuka yang menggambarkan
pujian kepada Buddha, yakni prasasti Harahara (966). Bahkan dari masa akhir Tamwlang-
Kahuripan dijumpai seruan penutup dalam prasasti Gandhakuti (1042) yang memuat pujian
kepada Buddha, Siwa, Rsi, dan Brahma secara bersama-sama (om namo buddhaya,
namassiwaya, namarsaya, namo brahmanaya)
Dalam kitab tutur ini digunakan konsep-konsep keagamaan yang bersifat Buddhis untuk
menjelaskan konsep Siwais, khususnya mengenai konsep kebenaran tertinggi, misalnya sunya,
nirwana/nirbana dan nairatmiya . Gejala
penggunan konsep-kosep abstrak dari agama Buddha juga masih dijumpai pada kitab yang
disusun lebih kemudian, yakni Korawasrama, misalnya penyebutan istilah sunyaloka sebagai
kahyangan Bhagawan Druwa yang juga keponakan bhagawan Nirbana Pada periode Singhasari dan Majapahit dijumpai nama-nama raja yang ketika meninggal
di-dharma-kan baik sebagai Siwa dan Buddha ataupun sebagai Siwa-Buddha, misalnya adalah
Ranggah Rajasa, Wisnuwarddhana, Kertanegara, dan Kertarajasa Jayawardhana.
Agama Buddha
Mirip dengan penganut kepercayaan Hindu, bagi penganut Buddha tujuan hidup di dunia
adalah menghentikan kelahiran kembali atau menghentikan samsara, juga berarti moksa. Bagi
penganut Buddhisme, kelahiran manusia di dunia dipandang sebagai suatu penderitaan dan
bersifat sementara oleh sebab itu tindakan keagamaan diarahkan agar manusia terbebas dari
lingkaran kehidupan yang berulang-ulang. Penderitaan ini disebabkan sebab ketidaktahuan
(awidya) mengenai Kebenaran Tertinggi dan belum tahu bagaimana penderitaan itu ditiadakan.
Agama Buddha mengajarkan adanya empat kebenaran tertinggi: (1) hidup adalah menderita, (2)
penderitaan itu ada sebabnya, (3) penderitaan itu dapat dilenyapkan, (4) ada jalan untuk
melenyapkannya. Adapun caranya penderitaan itu dilenyapkan terdiri dari delapan jalan:
pemandangan yang benar, niat yang benar, ucapan yang benar, tindakan yang benar,
penghidupan yang benar, usaha yang benar, berfikir yang benar, dan bersemedi yang benar.
Empat jalan pertama dilakukan oleh seluruh penganut Buddha dan empat yang terakhir
dilakukan oleh para pendeta
Sebagaimana dalam agama Hindu, demikian pula dalam agama Buddha, kebenaran
tertinggi dinyatakan dalam suatu konsep abstrak, salah satunya adalah nirwana. Menurut
hakikatnya konsep ini sesungguhnya tidak dapat dirumuskan sebab berada di luar
kerangka pemikiran manusia, namun kemudian ada upaya untuk menjelaskannya dalam
rumusan yang memungkinkan manusia dapat memahaminya. Jika semula ia dirumuskan sebagai
ketiadaan atau sunya, maka kemudian ia dinyatakan sebagai suatu ketiadaan namun nyata, oleh
sebab itu disebut juga dengan istilah sunyara. Dalam hubungannya dengan usaha manusia untuk
mencapai kebebasan (moksa), nirwana dapat dipahami sebagai tujuan akhir yang dapat dicapai
manusia. Ketika seseorang mencapai nirwana, itu dibayangkan bahwa dirinya telah terbebas dari
ketidaktahuan, dari penderitaan, dan dari sikap yang mementingkan diri sendiri. Nirwana juga
dipahami sebagai keadaan ketika kebijaksanaan (prajna) dan kasih sayang (karuna) telah dapat
dicapai (Radakrishnan dan Moore 1971:272). Istilah lain yang biasanya digunakan untuk
menjelaskan situasi serupa adalah kebuddhaan (buddhatwa).
Agama Buddha Mahayana itu sendiri mengalami perkembangan ke arah Tantrayana
(disebut juga Wajrayana atau Mantrayana). Perbedaan yang khas di ancara Mahayana dari
Tantrayana adalah bahwa yang pertama menganggap tingkat keboddhisattwaan (selanjutnya
dapat mengantar ke tingkat kebuddhaan) baru dapat dicapai pada masa depan yang jauh dan
pencapaian itu diperoleh melalui jalan yang berliku-liku. Yang kedua menganggap bahwa
pencapaian kebuddhaan itu dapat diperoleh pada kehidupan saat kini dengan cara menjalankan
yoga, pemujaan kepada Buddha, dan dengan kepatuhan pada bimbingan seorang guru. Ciri
utama dari Tantrayana adalah upaya mempersatukan jiwa individu dengan jiwa semesta.
Penyatuan itu dapat dicapai melalui jalan yoga. Dengan demikian, dalam Tantrayana ajaran yoga
menduduki peranan yang sangat penting. Meskipun demikian, tetap perlu diingat bahwa praktik
yoga itu sendiri bukanlah yang membedakan antara Mahayana dan Tantrayana, sebab dalam
Mahayana praktik yoga telah lama dikenal
Berkaitan dengan ciri-ciri agama Buddha di Jawa, ada anggapan yang pada
umumnya diakui kebenarannya, yakni bahwa sifat Tantrayana menjadi penanda umum dari
periode Jawa Timur dengan puncaknya terjadi pada akhir abad ke-13 hingga abad ke-15.
Dari beberapa hasil penetitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Tantrayana telah
muncul sejak masa Jawa Tengah, namun pada periode ini unsur Mahayana masih menonjol.
Berbeda dengan itu, pada masa Jawa Timur unsur Tantrayana yang lebih menonjol sebagaimana
ditunjukkan oleh sumber-surnber tertulis yang terutama berasal dari abad ke-15, jadi sezaman
dengan periode Majapahit. Hal lain yang kiranya khas dijumpai pada masa Jawa Timur adalah
bahwa Tantrisme semakin cenderung bersifat demonis. Petunjuk ini tidak hanya dapat diketahui
dari sumber-sumber tertulis sezaman, namun juga pada penggambaran arca-arcanya yang
ditampilkan dalam wujud-wujud yang menyeramkan, baik pada arca-arca Buddha yang dijumpai
di candi Jago maupun arca-arca Siwa yang dijumpai di Singasari. Ciri lain dari tantrisme Jawa
Timur adalah munculnya penonjolan peranan pada tokoh dewa perempuan yang dikenal dengan
istilah sakti. Dalam agama Siwa diwujudkan dalam bentuk arca gabungan Ardhanareswara,
sedangkan dalam agama Buddha dalam bentuk arca gabungan Wairocana-Locana
Kecenderungan lain dalam agama Buddha di Jawa Timur adalah munculnya upaya untuk
menyamakan gagasan tentang kebenaran tertinggi atau prinsip tertinggi dalam agama Buddha
dengan gagasan serupa yang dikenal dalam ajaran agama Siwa. Hal ini menunjukkan bahwa apa
yang terjadi dalam agama Siwa juga terjadi dalam agama Buddha. Petunjuk mengenai hal ini
tercermin dalam karya-karya sastra .yang bersirat Buddha. Di antaranya adalah Sutasoma yang
ditulis oleh Mpu Tantular pada masa Majapahit, khususnya masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Di dalam kitab ini antara lain disebutkan bahwa jalan yang ditempuh menurut ajaran Siwa dan
Buddha sebenarnya sama, yakni menuju pelepasan terakhir untuk meleburkan diri dalam Yang
Mutlak berupa kekosongan atau kehampaan (sunyampa). Praktik-praktik yang berfungsi sebagai
persiapan untuk mencapai tujuan itu dapat berbeda-beda namun tujuannya sama. Ditegaskan juga
bahwa pada hakikatnya Buddha dan Siwa adalah satu dan sama (Mangka ng jinatwa kalawan
iwatattwa tunggal. Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa). Meskipun demikian, perlu
diingatkan bahwa bagi penganut Siwa maupun & Buddha tetap dianggap salah bila tidak tahu
bahwa jalan menuju Yang Mutlak berbeda-beda untuk masing-masing ,
Kitab Buddhis lain yang juga menunjukkan tanda-tanda serupa adalah kakawin
Kunjarakarna, juga dan dari masa Majapahit. Dalam Kunjarakarna, dapat dijumpai bahwa
kelima Tataghata dalam agama Buddha disamakan dengan kelima manifestasi Siwa atau dewa-
dewa pancakusika dalam agama Hindu. Di dalam kitab agama Buddha ini, antara lain
dikemukakan bahwa Wairocana dan Siwa adalah sama-sama ‗guru semesra (Wairocana
buddhamurti siwamurti pinaka guru ning jagad kabeh). Keempat Tataghata lainnya juga
disejajarkan dengan perwujudan-perwujudan Siwa lainnya seperti berikut
aksobhya iswara
ratnasambhawa brahma
amitabha mahadewa
amoghasidhi madhusudhana/wisnu
wairocanamurti siwamurti
Meskipun kitab-kitab ini ditulis pada masa Majapahit, namun penyamaan prinsip
dalam agama Hindu dan Buddha pada masa Jawa Timur agaknya telah terjadi sejak awal masa
Singhasari, yakni pada masa pemerintahan Ranggah Rajasa. Memang tidak dijumpai karya sastra
dari zaman ini yang menjelaskan hal ini , namun tanda-tanda itu tercermin dari munculnya
kecenderungan menonjol dari sejumlah raja yang di-dharma-kan baik dalam bentuk patung Siwa
maupun Buddha . Data arkeologi yang menggambarkan adanya
penggabungan unsur Buddha dan Siwa adalah relief yang dipahatkan di candi Jago. Pada dinding
candi yang bersifat Buddha itu, disamping dipahatkan sebuah relief yang bersirat Buddhis, yakni
Kunjarakarna, juga dipahat relief yang bersifat siwais, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak,
yakni Arjunawiwaha, Parthayajna, dan Kresnayana.
Kepercayaan Setempat
Bagaimana dengan sistem kepercayaan asli? Untuk mengatahuinya perlu dijelaskan lebih
dahulu pengertian kepercayaan asli ini, selanjutnya dikemukakan bagaimana posisi kepercayaan
ini di dalam sistem kepercayaan Hindu dan Buddha. Pada umumnya disepakati bahwa yang
dimaksud dengan kepercayaan asli adalah kepercayaan kepada arwah nenek moyang . Bagaimana kemunculan kepercayaan ini sepanjang
periode Hindu-Buddha tidak banyak dikaji sehingga pengetahuan kita mengenai hal ini tidak
banyak. Pemahaman mengenai masalah ini biasanya dikaitkan dengan gelombang-gelombang
masuknya pengaruh agama Hindu dan Buddha di Jawa. Dipercaya bahwa unsur-unsur lokal
cenderung tenggelam ketika pengaruh India datang secara menonjol dan kembali muncul ketika
pengaruh asing itu semakin menipis. Masa Jawa Timur ditandai oleh dominasi kuat dari
pengaruh India sehingga unsur-unsur lokal itu tenggelam atau hanya muncul di daerah-daerah
pinggiran.
Dalam kajiannya yang mendalam rentang fungsi dan makna candi-candi di Jawa,
Soekmono sampai pada kesimpulan bahwa candi bukanlah tempat pemakaman, melainkan
sebuah kuil yang berfungsi sebagai tempat memuja para dewa. Melalui arca-arca dewa itulah
arwah nenek moyang dihadirkan dalam ritual -ritual keagamaan. Selanjutnya dikemukakan
bahwa landasan yang menjadi sumbernya adalah kepercayaan zaman prasejarah.
Bagaimana kepercayaan kepada arwah nenek moyang yang tidak dikodifikasikan itu
ditempatkan di antara sistem kepercayaan Hindu atau Buddha yang sudah baku, tidak banyak
diketahui. Petunjuk yang hanya sedikit itu tercermin dalam sumber-sumber prasasti, terutama
yang dijumpai pada masa Jawa Timur. Dari sumber-sumber prasasti itu disebutkan kekuatan-
kekuatan kosmos-besar yang diberi nama sebagai pribadi-pribadi, baik yang dikenal sebagai
nama-nama dewa Hindu maupun kekuatan-kekuatan semesta lain yang tampaknya mengacu
kepada kepercayaan setempat, baik mengenai makhluk halus tertentu maupun arwah nenek
moyang. Keterangan mengenai hal ini biasanya disebut sebagai saksi dalam ritual penetapan
sima dan sekaligus diharapkan akan memberi kutukan atau hukuman kepada siapa saja yang
melanggar ketentuan sima.
Dewata-dewata yang disebutkan itu di antaranya adalah kelompok dewa Hindu (Agastya,
Brahma, Wisnu, Mahadewa, Durga, Winayaka), unsur-unsur mata angin (purwa-daksina-
pascimottara/lor-kidul-kulwanwetan, ing madhya i sor i ruhur), dewa-dewa Lokapala (Yama,
Baruna, Kuwera, Basawa), unsur-unsur waktu (rahina-wengi, sandhyadwaya), dewa-dewa
Pancakusika yang merupakan murid Siwa (Kusika, Garga, Metri, Kurusya, Patanjala), mahluk-
makhluk ‗setengah d