• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label ciamis jawabarat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ciamis jawabarat. Tampilkan semua postingan

ciamis jawabarat




Nama yang sangat menyejarah wilayah ini adalah Galuh. Galuh merupakan nama 
kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh (baca: Kerajaan Sunda yang beribu kota di 
Galuh), kemudian menjadi nama Kabupaten. Melekat makna pada nama “galuh” 
sejumlah muatan filosofis, historis, dan emosional yang positif. Pada dekade 
pertama abad ke-20 nama Galuh diubah menjadi Ciamis. Menurut pendapat 
sebagian orang, makna yang terkandung pada kata “ciamis” sangat bertolak 
belakang secara diametris dengan makna “galuh”. Oleh karena itu muncul wacana 
mengubah kembali nama Ciamis menjadi Galuh. 
“Apa arti sebuah nama? Setangkai bunga ros, disebut apa pun tetap akan berbau 
harum”, demikian kata William Shakespeare. Tidak ada yang salah dengan 
pemikiran Shakespeare seperti itu, apalagi bila yang menjadi objek penamaan itu 
adalah sebuah benda mati, setangkai bunga, yang memiliki hukum alamiah tetap 
(sunnatullah)-nya sendiri.  
Ada sebagian orang yang menganalogikan persoalan nama “Galuh atau 
Ciamis” itu dengan kasus nama “bunga ros” itu sehingga bersikap apatis dan 
dengan enteng berkomentar “tidak peduli nama apa pun yang akan diberikan pada 
kabupaten paling selatan Jawa Barat ini”. 
                                                          
Yang menarik untuk didiskusikan adalah bukan sekedar mengapa akhir-
akhir ini muncul wacana penggantian nama kabupaten dari Ciamis ke Galuh tapi 
juga mengapa pada tahun tahun 1916, Bupati R.A.A. Sastrawinata (1914-1936) 
mengganti nama kabupaten menjadi Kabupaten Ciamis padahal nama Galuh 
sendiri sudah muncul sebagai nama kerajaan pada awal abad ke-7 dan menjadi 
nama kabupaten sejak awal abad ke-17? 
Dari sekian sumber yang diperoleh tidak ditemukan penjelasan mengapa 
atau apa yang menjadi alasan Bupati R.A.A. Sastrawinata mengganti nama Galuh 
menjadi Ciamis. Oleh karena itu muncul penafsiran negatif bahwa Bupati R.A.A. 
Sastrawinata ingin memutuskan matarantai kesinambungan (kontinuitas) sejarah. 
Mengapa? 
 
Toponimi Ciamis dan Galuh 
 
Munculnya gugatan terhadap penggantian nama Galuh menjadi Ciamis 
(1916) bisa jadi berawal dari pengkajian toponimi. Secara toponimis, tidak 
ditemukan makna yang membanggakan di balik kata “ciamis”.  
Kata Ciamis berasal dari ”ci” dan ”amis”. Kata “ci” singkatan dari cai 
yang berarti air. Kata “amis” punya dua arti. Pertama amis (bhs. Sunda) berarti 
manis (berkait dengan rasa). Kedua amis (bhs. Jawa) berarti anyir (berkait dengan 
aroma penciuman). Malah Danadibrata (2009: 19, 420) mengartikan kata “amis” 
sebagai “bau mabek, bau pisan” (bau sekali, sangat bau). Namun, Hardjasaputra 
(t.th.: 4) berpendapat bahwa kata ”amis” dalam Ciamis, bukan ”amis” dalam 
bahasa Sunda yang berarti rasa manis. Sumber tradisional yang memuat data 
Kerajaan Galuh menunjukkan bahwa ”amis” dalam nama Ciamis adalah ”amis” 
dalam bahasa Jawa yang berarti ”anyir” itu. 
Sebutan ”anyir” itu berkaitan dengan tragedi berdarah. Setidaknya ada tiga 
momentum peristiwa berdarah yang berkait dengan sejarah (Sunda) Galuh. 
Pertama adalah peristiwa Perang Bubat (1357). Kedua, pada akhir abad ke-16 M. 
Kerajaan Mataram berupaya menguasai Kerajaan Galuh. Terjadilah konflik antara 
 
 
kedua belah pihak, sehingga di beberapa daerah Galuh terjadi tragedi “banjir 
darah”. Tahun 1595 Kerajaan Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Mataram. 
Ketiga, ketika Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni (mulai akhir tahun 
1705), terjadi lagi tragedi berdarah di Ciancang (Utama) tahun 1739 yang dikenal 
dengan sebutan ”Bedah Ciancang” (Hardjasaputra, t.th: 2). 
Dengan demikian, kata ”amis” dalam Ciamis lebih tertuju pada arti bau 
amis darah manusia, korban dalam tragedi. Katanya, sebutan ”amis” yang 
ditujukan pada darah manusia itu dilontarkan oleh utusan penguasa Mataram 
ketika mengontrol daerah Galuh tidak lama setelah di Galuh terjadi tragedi ”banjir 
darah”. Oleh karena itu, sebutan ”ciamis” pada awalnya lebih merupakan 
cemoohan dari pihak Mataram terhadap pihak Galuh. 
Adapun kata “galuh” secara bahasa mengandung tiga makna. Pertama, 
kata galuh  (bhs. Sanskerta; galu) berarti “permata yang paling baik”. Kedua, kata 
galuh (bhs. Sanskerta) berasal dari kata aga berarti “gunung” dan lwah berarti 
“bengawan, sungai, laut” (Danadibrata, 2009: 203). Ketiga, kata galuh sering 
dimaknai sebagai galeuh (bhs. Sunda) yang berarti “bagian di jero tangkal kai nu 
pang teuasna” (Danadibrata, 2009: 202). Arti-arti kata tersebut jelas sangat 
simbolis dan sarat muatan makna yang sangat dalam. 
Selanjutnya, nama galuh pun mengacu pada nama kerajaan dan nama 
kabupaten. Nama ”galuh” muncul dalam panggung sejarah sejak berdirinya 
Kerajaan Galuh. Kerajaan ini didirikan oleh seorang tokoh Sunda bernama 
Wretikandayun pada awal abad ke-7 M. Wretikandayun semula berkuasa di 
daerah Kendan (Kendan termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara). 
Sejak awal abad ke-7 pamor kerajaan itu makin memudar, terutama masa 
pemerintahan Raja Tarusbawa (raja Tarumanagara terakhir, 669-670 M.). Kondisi 
itu dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan Kendan dari kekuasaan 
Tarumanagara. Upaya Wretikandayun berhasil tanpa menimbulkan konflik 
dengan penguasa Tarumanagara. Oleh karena Kendan tidak memadai sebagai 
pusat pemerintahan, maka Wretikandayun memindahkan pusat pemerintahannya 
ke daerah Karangkamulyan sekarang. Daerah itu dibangun menjadi pusat 
 
 
Kerajaan Galuh. Sementara itu, Tarusbawa mendirikan Kerajaan Sunda sebagai 
kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara. 
 Kemudian terjadi perundingan antara Wretikandayun dengan Tarusbawa 
mengenai wilayah kekuasaan masing-masing. Perundingan sampai pada 
kesepakatan bahwa sungai Citarum menjadi batas wilayah kedua kerajaan. Daerah 
sebelah barat Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda, dan daerah 
sebelah timur Citarum menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh. 
 Ketika Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723-732 M.), sang raja 
menjadi menantu Raja Sunda Tarusbawa. Hal itu menyebabkan terjadinya 
penggabungan kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh, sehingga Kerajaan 
Galuh makin berkembang. Pada abad ke-13, Kerajaan Galuh berpusat di Kawali. 
Kerajaan Galuh mencapai kejayaan terutama pada masa pemerintahan Maharaja 
Niskala Wastu Kancana (1371-1475 M.). 
 Pada akhir abad ke-16 M. Kerajaan Mataram berupaya untuk menguasai 
Kerajaan Galuh. Tahun 1595 Kerajaan Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan 
Mataram. Pada awal pemerintahan Sultan Agung sebagai raja Mataram (1613), 
status Kerajaan Galuh diubah menjadi setingkat dengan kabupaten. Hal itu 
ditandai oleh pengangkatan Adipati Panaekan menjadi Wedana Mataram di 
Galuh.  
Pada zaman penjajahan Belanda pangkat wedana setingkat dengan bupati. 
Dengan demikian, sejak awal abad ke-17 itulah, Galuh menjadi kabupaten, 
Kabupaten Galuh, dengan bupati pertama Adipati Panaekan. 
 Kabupaten Galuh pernah mengalami perpindahan ibukota beberapa kali, 
yaitu dari Panaekan ke Gara Tengah (Cineam), kemudian pindah lagi ke Barunay 
(Imbanagara). Pemindahan ibukota Kabupaten Galuh dari Gara Tengah ke 
Barunay terjadi tanggal 12 Juni 1642 M. (14 Mulud tahun Hé).  
Pada awal abad ke-19 ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan lagi ke 
Cibatu, kemudian ke Burung Diuk. Setelah kota Ciamis berdiri, ibu kota 
Kabupaten Galuh dipindahkan ke kota Ciamis (masa pemerintahan Bupati 
Wiradikusumah, 1815-1819). 
 
 
Respons Masayarat 
 
Wacana kembalinya nama Kabupaten Ciamis ke Kabupten Galuh terus mendapat 
respons dari berbagai kalangan seperti politisi, LSM, sastrawan, dan sejarawan. 
Mereka banyak yang sepakat inilah saatnya mengubah sejarah yang akan 
dikenang oleh masyarakat.  
Sastrawan Godi Suarna menegaskan “sudah saatnya nama Kabupaten 
Ciamis dikembalikan ke Kabupaten Ciamis. Karena perasaan orang Ciamis 
sebagai orang Galuh sangat kuat. ‘Nasionalisme’ kegaluhannya orang Ciamis 
sangat kuat.” Mengenai ketakutan cost pengembalian nama kabupaten terlalu 
besar, menurut Godi, “itu hanya bagi orang-orang yang berpikiran kerdil. 
Mengubah nama itu tidah mudah, namun bagi orang-orang ‘besar’ itu bisa 
dilakukan”. “Hanya orang-orang besar yang akan mampu mengubah sejarah, 
termasuk mengembalikan nama Ciamis ke Galuh. Perlu diingat, nama Galuh itu 
hasil bertapa susah payah para pendahulu kita, kok seenaknya diubah menjadi 
Ciamis tanpa asal usul” (“Kabupaten Ciamis Jadi..., 2010). 
Prof. Nina Herlina Lubis, sejarawan, berpendapat bahwa “penggantian 
nama Kabupaten Galuh menjadi Ciamis oleh Bupati R.A. Sastrawinta (1914-
1936) kental muatan politik. R.A. Sastrawinta yang ditunjuk Belanda menjadi 
Bupati Ciamis itu berasal dari Karawang yang tidak memahami dan mengenal 
lebih dalam sejarah Galuh. Perubahan nama Galuh ke Ciamis yang mengandung 
arti anyir berarti menghina masyarakat galuh”. Ditambahkan Nina, “Kerajaan 
Galuh sudah berdirisejak abad VIII Masehi sesuai Prasasti Canggal (732 M). 
Sementara Kerajaan Galuh di Kawali dengan Rajanya Prabu Maharaja tercatat 
pada 1350, dan menjadi kabupaten dengan ibukotanya Ciamis terjadi pada 15 
Januari 1915 dengan bupatinya R. Wiradikusumah. Banyak peninggalan Kerajaan 
Galuh yang masih terawat di Ciamis, di antaranya situs Astana Gede Kawali, situs 
Susuru Kertabumi, situs Karangkamulyan, dan banyak lagi. Kalau kita sudah tahu 
sejarah Galuh pasti menginginkan penggantian nama Ciamis ke Galuh” 
(“Kabupaten Ciamis Jadi..., 2010). 
Sekretaris Lapkesdam NU Ciamis, Maulana Sidik, berharap “Pemkab dan 
DPRD Ciamis secepatnya memulai proses pergantian nama kabupaten tersebut 
dengan membuat tim. Menurutnya, wacana perubahan nama itu sudah lama, 
namun karena dianggap pemborosan APBD sehingga terkesan diacuhkan.  
Padahal kata Sidik, dalam tradisi masyarakat kita, nama menjadi sebuah 
pengharapan (tafa'ul) atas seluruh kebaikan. Perubahan nama Ciamis menjadi 
Kabupaten Galuh harus dianggap sebagai sebuah harapan yang memberikan 
dampak psikologis terhadap kesejahteraan dan keadilan masyarakatnya. Tidak 
boleh dilupakan bahwa citra diri dalam cerminan jati diri lebih mahal dari apa 
pun”   
Ketua Komisi IV DPRD Ciamis, Hendra S. Marcusi mengatakan, “secara 
pribadi sepakat dengan pengembalian nama Kabupaten Ciamis ke Galuh. Nama 
Kabupaten Galuh akan mempertegas identitas dan memberikan spririt besar bagi 
masyarakat kabupaten Ciamis” 
Respons berbeda disampaikan oleh Ketua DPRD Ciamis, Asep Roni yang 
disampaikan pada Rabu, 21 Juli 2010. Dia mengatakan: 
“saya tidak setuju (perubahan nama Ciamis menjadi Galuh) karena biayanya 
mahal. Selain itu juga tidak ada jaminan dengan berubahnya nama rakyat 
akan semakin sejahtera. Akan lebih baik biayanya dimanfaatkan untuk 
meningkatkan kesejahteraan masyarakat” 
 
Selanjutnya dia menyatakan:   
Mengenang kejayaan masa lampau merupakan hal yang baik, tetapi tidak 
harus terbawa pada romantisme sejarah. Spirit Galuh tidak hanya dari nama, 
tetapi bagaimana berbuat yang lebih baik untuk masyarakat. Tidak ada artinya 
apabila nama berubah, tetapi tidak ada dampak positifnya bagi rakyat Ciamis. 
... Perubahan tersebut bukan persoalan yang mudah, sebab harus melalui 
proses dan mekanisme panjang. Termasuk melakukan perubahan terhadap 
undang-undang tentang pembentukan Kabupaten Ciamis. Belum lagi harus 
dilakukan penyesuaian dalam semua bidang pemerintahan dan 
kemasyarakatan.Perubahan stempel, kop surat Ciamis, papan nama dan 
lainnya butuh biaya sangat besar 
Tentu saja pendapat-pendapat di atas belum merepresentasikan kehendak 
masyarakat Ciamis. Akan tetapi, sebagai tahap awal hal tersebut cukup 
bermanfaat dan sangat ilustratif untuk memetakan respons masyarakat yang lebih 
luas pada masa mendatang. 
 
 
 
Perubahan nama sesungguhnya bukan hal yang tabu. Bagi kita, nama tidak lepas 
dari idealisasi simbol yang sarat kandungan makna-makna kebaikan, harapan, 
doa, dan harus sangat referensial. Bila dikaitkan dengan pilihan nama “Ciamis” 
atau “Galuh”, tentu saja nama Galuh lebih mendekati idealisasi itu.  
Namun demikian, harus menjadi pemikiran bersama bagaimana caranya 
supaya “caina herang laukna beunang”. Penetapan mekanisme yang disepakati 
untuk pengambilan keputusan perlu didahulukan mendiskusikannya. 
Musyawarah-mufakat tampaknya warisan nilai yang masih tetap aktual untuk 
diamalkan menghadapi persoalan ini. Pertimbangan perimbangan antara besaran 
manfaat dan madarat pun perlu untuk jadi bahan pertimbangan.