• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Tampilkan postingan dengan label hatta 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hatta 2. Tampilkan semua postingan

hatta 2





goresan tulisan tangan di situ, bunyinya antara lain: "Pemimpin 
berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya...." Nyaris tak ada 
yang istimewa kecuali jika pembaca melihat lebih teliti di bagian 
akhir deretan kalimat yang menunjukkan tanda tangan si penulis: 
Mohammad Hatta. Coretan tangan Hatta bertanggal 2 Juli 1949, dua 
hari sebelum dia meninggalkan rumah bersejarah itu. Rumah itu 
terletak di Gunung Menumbing, dekat Mentok, Pulau Bangka. Di 
atas ketinggian sekitar 433 meter dari permukaan air laut, 
pemandangan di situ sangat indah. Hawanya sejuk. Hutan di 
sekeliling kaki gunung tampak hijau perawan. Bahkan sampai 
sekarang kawasan itu menjadi salah satu tempat ideal untuk tetirah 
dan berlibur. Hatta tidak berlibur. Pada Desember 1948, Belanda 
menyerbu Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Pasukan 
Kompeni, yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 
Agustus 1945, menangkap Presiden Sukarno dan Wakil Presiden 
Hatta. Bersama sejumlah menteri, Hatta kemudian dibuang ke 
Bangka, sementara Sukarno dikirim ke Parapat, Sumatera Utara. 
Belakangan, Sukarno pun dikirim ke Bangka, bergabung bersama 
Hatta, dikurung dalam rumah yang sempat dikelilingi pagar kawat 
berduri. Enam bulan lamanya mereka berdiam di Bangka. Jejak-
jejaknya mudah ditemukan. Secara fisik, kehadiran mereka kasatmata 
dengan berdirinya monumen duet Proklamator di tengah Kota 
Mentok, sekitar 12 kilometer dari rumah di pucuk gunung itu. 
Namun, sayang, rumah itu sendiri justru telah kehilangan nilai 
sejarahnya. saat  dihuni Hatta dan kawan-kawan, rumah 
peristirahatan itu milik perusahaan timah, Bangka Tin Winning 
Bedrijf (BTW). Kini, bukannya dikelola sebagai peninggalan 
bersejarah milik negara, kompleks bangunan itu telah beralih rupa 
menjadi hotel dan restoran bernama Jati Menumbing. Karameta 
Group, perusahaan swasta lokal, mengantongi hak pengelolaan dari 
pemerintah daerah sejak dua tahun lalu. Pertimbangan komersial dan 
renovasi bangunan oleh pengelola inilah yang kemudian mengubur 
imaji warga setempat atau pengunjung Gunung Menumbing 
terhadap sosok Hatta. Padahal di lantai bawah gedung itu ada  
38 
 
ruang pertemuan seluas 5 x 6 meter. Di kamar inilah Hatta 
menghabiskan sepuluh hari pertamanya di Bangka sebagai tahanan. 
Tak jauh dari ruangan itu tergeletak bodi mobil Ford hitam bernomor 
polisi BN 10. Itulah tunggangan resmi Hatta selama menjalani 
pengasingannya di Bangka-sesudah  Belanda akhirnya meruntuhkan 
pagar berduri karena protes Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jangan 
bermimpi mencicipi keunggulan mesin mobil itu sekarang. Sedan itu 
tinggal kerangka saja. Di samping lembar kertas berbingkai itu 
memang masih dipajang foto-foto Hatta dan Sukarno. Mereka 
dijepret saat  tengah bercengkerama, membaca buku, atau asyik 
menikmati pemandangan pantai berpasir putih bersih yang terletak 
jauh di bawah kaki gunung. Pengunjung museum sederhana ini juga 
bisa menemukan ruang tamu. Di dalamnya ada  beberapa meja 
kayu. Beberapa lembar uang kuno senilai Rp 1 sen, Rp 2,5 hingga Rp 
100 menjadi pajangan penghias kamar. Yah, di dalam kamar ini pula 
tertempel berbagai foto Hatta dan Sukarno yang terpampang dalam 
tiga bingkai besar dari kayu berukuran sekitar 1,5 meter persegi. 
Berbagai kenangan terhadap Hatta itu umumnya ada  di lantai 
bawah. Lantai atas gedung kini telah disulap menjadi 30 kamar hotel. 
Tarif per malamnya mencapai Rp 150 ribu-Rp 250 ribu. 
Pemandangan lepas ke arah pantai, yang dulu biasa memanjakan 
mata Hatta dan rekan-rekannya, kini terasa kian langka karena 
terhalang oleh dinding restoran yang berdiri tegak di depannya. Tak 
hanya pemandangan langsung ke laut lepas yang langka. Upaya 
mencari para saksi mata untuk menceritakan kehadiran Hatta di 
Bangka juga bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Salah satu 
di antara mereka yang masih hidup, M. Isa Djamaluddin, 84 tahun, 
misalnya, ternyata sudah pikun sehingga susah untuk berkomunikasi 
dengan orang lain. Warga di Kampung Tandjung, Mentok, mengenal 
Isa sebagai asisten mendiang fotografer Raden Pandji. saat  Bung 
Hatta tinggal di Bangka, Raden Pandji dan mendiang juru potret, 
Zulkarnaen, kerap mengabadikan ke-giatan Hatta selama di Bangka. 
Banyak kisah hanya bisa ditelusuri lewat tangan kedua. Misalnya 
dari Affan Alwi, keponakan Zulkarnaen yang kini telah berusia 68 
tahun. saat  berusia 15 tahun, dia mendengar cerita bagaimana 
pamannya "berburu" Hatta. Pada 22 Desember 1948, menurut Affan, 
Zulkarnaen melihat Hatta dalam sebuah mobil Ford bernomor polisi 
BN 10 melaju dari arah Kota Pangkalpinang menuju Kota Mentok. 
"Tanda tanya bergayut di benaknya dan nalurinya sebagai fotografer 
39 
 
bekerja," kata Affan. Sebab, Zulkarnaen melihat Wakil Presiden dan 
sejumlah tokoh nasional lain berada dalam pengawalan pasukan 
khusus Belanda, Corps Speciale Troepen. Padahal Indonesia telah 
menyatakan merdeka tiga tahun sebelumnya. Rasa penasaran 
Zulkarnaen baru terjawab pada malam harinya. Bersama seorang 
wedana setempat, K.Z. Abidin, juru potret ini melaju ke puncak 
Gunung Menumbing dan bersua dengan Hatta untuk kemudian ikut 
berfoto bersama. "Paman sempat teriak merdeka dan Bung Hatta 
segera memeluknya," kenang Affan. Teriakan Zulkarnaen, 
barangkali, mewakili perasaan sejumlah warga Bangka yang pada 
malam itu juga berdatangan ke puncak gunung, ingin bertemu Hatta. 
Deliar Noer, penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, mencatat 
bagaimana rakyat setempat memberikan penghormatan besar kepada 
Hatta dan para tokoh yang ditahan di Bangka. "Sampai-sampai, 
dalam berbelanja di pasar, para penjual tidak mau menerima 
pembayarannya." Penilaian Deliar tidak salah alamat. Tak 
mengherankan apabila, dalam kacamata Hatta, warga Bangka, 
sebagaimana tertulis di Memoir-nya, "sudah menjadi rakyat Republik 
Indonesia." Walau jarang turun gunung, Hatta senantiasa bermurah 
hati menularkan pengetahuannya kepada warga setempat. Misalnya, 
dalam menekankan pentingnya pendirian koperasi bagi 
kesejahteraan warga. Ajakan ini tak bosan-bosannya Hatta 
sampaikan dalam berbagai kesempatan. Putra mendiang Wedana 
Bangka, K. Rusdi Abidin, mencatat kegigihan "Bapak Koperasi" ini 
mengajarkan semangat koperasi melalui ceramahnya di sekolah atau 
dalam peringatan-peringatan hari nasional di Mentok. Selain 
mengunjungi penduduk, aktivitas favorit Hatta di Gunung 
Menumbing tidak berbeda dengan di tempat-tempat lain: membaca 
buku. Tak jarang Hatta juga mengisi waktu luangnya di pengasingan 
dengan bermain catur atau bridge. Kegiatan ini umumnya berakhir 
menjelang pukul 21.00 karena Hatta akan menyudahi permainan dan 
meminta rekan-rekannya masuk ke ruang tidur. Kedisiplinan Hatta 
terhadap waktu dan aktivitas yang serba teratur membuat 
Zulkarnaen dan Raden Pandji tak habis pikir. Suatu saat  seorang 
wartawan asing datang untuk mewawancarainya. Hatta 
membukakan pintu dan hanya mempersilakan si tamu menunggu. 
Alasannya sederhana saja: si pemburu berita tiba pada pukul 12.30 
alias setengah jam lebih awal dari waktu yang mereka sepakati. Serba 
teratur, sederhana, dan tak segan memberikan teladan. Begitulah 
40 
 
sosok Hatta yang terekam dari cerita warga Bangka yang pernah 
bertemu dengannya. Walau menerima mobil dinas Ford, bekal 
sepuluh gulden per hari, dan bahan bakar gratis, Hatta tak serta-
merta mengisi hari-harinya dengan pergi ke berbagai tempat wisata 
atau pelesiran. Aktivitas turun gunung Hatta lebih meningkat saat  
Bung Karno dan K.H. Agus Salim turut dipindahkan dari Parapat ke 
Bangka pada 5 Februari 1949. Dua karib Hatta dalam perjuangan ini 
ditempatkan di Wisma Ranggam, yang terletak di kaki gunung. 
Sayang, hingga kini rumah yang pernah ditempati presiden pertama 
Indonesia itu tak terawat. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas 
1.000 meter persegi ini  nyaris ambruk. Semua daun pintu dan 
jendela dari 16 ruangan di situ telah lenyap. Sebaliknya, hanya bau 
kurang sedap dan sarang tikus yang tersisa di segala sudut 
bangunan. Dibanding bangunan itu, kompleks tempat Hatta dulu 
diasingkan memang lebih beruntung. Kendati begitu, akses menuju 
tempat ini  masih terbatas. Jalan tanah baru berubah menjadi 
aspal setahun silam. Belum ada kendaraan umum yang melayani 
jalur dari Kota Mentok hingga ke puncak. Jika ingin menengok 
"Hatta", orang mesti menyewa ojek atau mobil carteran. Toh, batasan 
ini tak menghalangi warga Bangka untuk menyusuri jejak-jejak 
Hatta. Bagi Affan, Alamsyah, ataupun Abidin, warisan semangat dan 
teladan Hatta yang terpatri di kampung halaman mereka sejak 
separuh abad lebih bakal terus bersinar dari puncak Gunung 
Menumbing. Bak gugusan bintang yang tidak kenal lelah menerangi 
malam. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
41 
 
Beberapa Jam di Tanah BuanganBeberapa Jam di Tanah BuanganBeberapa Jam di Tanah BuanganBeberapa Jam di Tanah Buangan    
 
 
Di dalam bilik Cessna, gadis remaja itu duduk tak tenang. Ia sedikit 
gentar, tapi rasa ingin tahunya membuncah. Sebentar kemudian 
pesawat kecil itu meliuk, lalu terbang rendah di atas sungai cokelat 
yang membelah hutan raya. Kali Digul! Tiba-tiba anak bungsu 
Mohammad Hatta, perempuan kecil di pesawat mungil itu, 
merasakan jantungnya berdetak makin cepat. Halida Nuriah Hatta 
tak pernah melupakan peristiwa itu. Ia masih 14 tahun waktu itu. 
Beberapa saat sesudah  menghadiri Penentuan Pendapat Rakyat 
(Pepera) di Irian Jaya, 1969, ayahnya mengajak menengok Digul alias 
Tanah Merah, tempat Bung Hatta dibuang Belanda 34 tahun 
sebelumnya. Hari itu bersama kakaknya, Meutia, ibu dan ayahnya, 
Halida mengunjungi "Gulag Indonesia" itu dalam sebuah lawatan 
singkat, hanya beberapa jam. Begitu kaki Halida menjejak tanah, 
udara terasa lembut dan manis-masih seperti 40 tahun yang lalu. 
Matahari bulan Agustus berkilau di atas sungai keruh. Alam Digul 
hampir tak berubah, seperti tak pernah tersentuh tangan. "Betapa 
tertinggalnya daerah ini, masih seperti saat  Ayah ditahan dulu," 
kata Halida, menirukan ucapan Bung Hatta. Kunjungan pendek itu, 
tak bisa tidak, mematrikan kenangan yang dalam bagi Halida. 
Mereka mendatangi rumah bekas tempat tinggal Hatta semasa 
pembuangan. Bangunan itu tak terpelihara. Hampir roboh. Halida 
terharu membayangkan ayahnya dulu mesti bertahan hidup di 
tengah alam yang ganas. "Tak mengherankan Ayah kena malaria," 
kenangnya. Selain Digul, Halida juga pernah mengunjungi Banda 
Neira, tempat "pembuangan" Hatta yang lain. Waktu itu, April 1973, 
Bung Hatta sekeluarga mendapat undangan dari Des Alwi. Turut 
dalam rombongan Nyonya Poppy Sjahrir, istri almarhum Sutan 
Sjahrir. Des, yang putra asli Banda, adalah anak angkat Sjahrir dan 
keponakan angkat Hatta. Dari Jakarta, mereka naik pesawat ke 
Ambon, dilanjutkan dengan menumpang kapal perang menuju 
Banda. Mereka melayari lautan Maluku selama 15 jam. Para te-tua, 
termasuk kakek Des Alwi, menyambut dengan haru begitu mereka 
tiba di tanah rempah itu. Warga pulau, yang tampak begitu 
mencintai Hatta, menyiapkan pelbagai pertunjukan seni untuk 
merayakan "kembalinya" si anak hilang. Selama 10 hari di pulau itu, 
Halida melihat ayahnya begitu bahagia. Mereka piknik ke tepi pantai. 
42 
 
Makan siang bersama tanpa sendok-garpu, menyuap hanya dengan 
tangan. Duduk beralas pasir dan memandang matahari tenggelam. 
Pose Hatta dalam suasana santai itu terekam fotograferSinar 
Harapan, Harry Kawilarang. Di mata Halida, paras dalam foto itu 
tampak begitu teduh. "Senyumnya tak ada orang yang punya, 
senyum genuine yang terpancar dari dalam," katanya. Tapi senyum 
yang genuine itu sesungguhnya menyimpan kekecewaan. Menurut 
Des Alwi, Bung Hatta masygul melihat Banda yang cepat berubah. 
Julukan "Eropa mini" untuk pulau pala itu sudah sirna. Bangunan-
bangunan besar yang dulu dimiliki para pengusaha perkebunan 
Belanda kini lapuk dimakan usia. Perkebunan pala yang dulu 
tumbuh rapi sekarang tak terawat. Janji Pemerintah Daerah Maluku 
(waktu itu di bawah Gubernur Sumitro) untuk memugar bangunan 
yang pernah dihuni para perintis kemerdekaan ternyata cuma 
pemanis bibir. Kenyataannya, di bangunan yang utuh pun daun 
pintu dan jendela habis dipereteli penduduk yang dibekingi oknum 
penguasa setempat. Mereka seolah tak menyadari arti sejarah. 
Melihat itu, Hatta, yang dikenal teguh memegang janji, hanya bisa 
mengurut dada. Untunglah ada pengobat duka. Menjelang kembali 
ke Jakarta, nama Hatta dan Sjahrir diabadikan pada dua pulau kecil 
dekat Banda Neira. Jadilah dua pulau kembar itu bernama Pulau 
Hatta dan Pulau Sjahrir. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
43 
 
Sebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak Bertepi    
 
 
PONDOK kayu beratap seng itu telah roboh, tiada bekasnya lagi. 
Dari reruntuhan batu fondasi kini tumbuh kampung kecil, agak 
minggir ke utara kota. Tak berbeda dengan kampung-kampung lain 
di Tanah Merah, kumpulan rumah di Sokanggo itu berkelompok 
bagai sarang lebah, dipisahkan belukar tak terurus atau lorong-
lorong ke arah kali. Sedikit di luar kampung, angin seperti mendesis, 
matahari berkilau pada sungai besar yang airnya kini kecokelatan. 
Udara terasa lembut dan segar. Mestinya semanis itu pula enam atau 
tujuh puluh tahun lalu saat  tempat ini menjadi salah satu pusat 
perhatian dunia. Agak di kejauhan, asap membubung dari atap 
rimba-gelap yang dibakar.... Di tempat itulah, dulu, setiap sore 
selepas asar, Mohammad Hatta menanam sayur atau belajar 
bertukang, ditemani es jeruk lemon kesukaannya. Di kampung itu 
pula, mungkin di sebuah pojok yang kini dijejali kandang ayam, 
tokoh pergerakan Indonesia ini menghabiskan waktunya dengan 
melahap buku-buku filsafat, menggali kembali pelajarannya sebagai 
mahasiswa di Belanda, sekaligus mengusir kebosanan yang 
mematikan. Inilah Digul atau Tanah Merah, nama yang pada 
zamannya menyebarkan horor yang menggentarkan. Dataran 
terpencil di udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda, 
Gubernur Jenderal De Graeff, pada awal 1927, sebagai tempat 
buangan tahanan politik, yang dikurung rimba dan paya-paya kaya 
nyamuk. "Dunia" terdekat yang bisa dijangkau dari Digul kala itu 
hanyalah Tual-kota pelabuhan kecil di Maluku-yang membutuhkan 
50 jam pelayaran dengan kapal motor. Kalau mau melarikan diri, 
pilihan terbaik yang lain adalah Kepulauan Thursday, Australia. Tapi 
untuk itu orang harus menghilir 455 kilometer sepanjang Sungai 
Digul yang penuh buaya, lalu melintasi Selat Torres yang terkenal 
buas. Kalaupun berhasil, besar kemungkinan mereka akan ditangkap 
polisi Australia untuk dikembalikan ke Digul. Guru sejarah 
Universitas Kyoto, peneliti pergerakan komunisme di Indonesia, 
Takashi Shiraishi, punya data, dari 17 percobaan pelarian, hanya satu 
yang lolos, kelompok yang dipimpin tokoh pergerakan dari Solo 
bernama Sanjoyo. Bagai Papillon yang kabur dari penjara Guyana, 
anak buah Dr. Tjipto Mangunkusumo di National Indische Partij itu 
kabarnya berhasil menjadi tukang cukur di Negeri Kanguru. Begitu 
44 
 
seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah 
jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti 
menandatangani kontrak kematian. "Persediaan pangan amat 
terbatas karena lokasinya sukar dicapai," begitu wartawan Van 
Blankenstein menulis sesudah  mengunjungi sumber horor tak 
berkesudahan itu. "Kami menemukan satu pondok kecil beratap seng 
tanpa dinding, dijejali 14 orang," ujarnya, "Di mana-mana genangan 
air. Tak dapat disangkal, tempat ini merupakan neraka." Ternyata 
bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang 
muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku 
hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia". 
Tokoh yang tak pernah mengeluh ini memang tak merinci bagaimana 
kerasnya neraka itu. Ia hanya selalu berpesan agar teman-teman 
sepembuangan tetap waras, baik pikiran maupun perasaan, agar bisa 
bertahan. Sesungguhnya, secara fisik Digul tak tampak sebagai kamp 
kerja paksa yang digerakkan oleh lecutan pecut atau letusan pistol. 
Tak ada penjaga yang mencangklong senapan mesin. Tidak ada 
anjing pelacak, tidak ada juga lampu sorot. Bahkan pagar tembok 
pun tak ada. Jika ada kawat berduri, tempatnya bukan di kamp, 
melainkan di tangsi militer tempat para penjaga tinggal. Pagar itu 
bukan untuk mencegah tawanan melarikan diri, tapi kata Shiraishi, 
"Untuk melindungi tentara dari 'godaan' tawanan." Jauh dari 
bayangan ruangan penjara yang terkungkung dan terjaga, Digul 
justru mirip "resor" terpencil untuk menyepi. Selain ada rumah sakit, 
masjid, gereja, dan sekolah, tanah buangan ini diramaikan toko Cina 
yang menyediakan kebutuhan hidup, gedung bioskop, klub-klub 
musik, bahkan "bar". Tempat minum itu terletak di pusat kota, dalam 
bangunan raksasa yang diberi nama Pesangrahan. Di wisma inilah 
kepala kamp dan para pejabat Belanda menjamu tamu-tamunya 
minum-minum atau menggelar pesta dansa. Hatta dan tokoh 
pergerakan Sjahrir yang keranjingan dansa itu kerap diundang ke 
tempat ini, hampir saban akhir pekan. Dalam hal perlakuan para 
sipir, Digul juga tidak mirip Kepulauan Gulag di Rusia. Di Tanah 
Merah tak ada borgol. Justru sebaliknya, begitu memasuki tempat 
buangan, para tawanan mendapat "kebebasan" bergerak dan 
mengambil keputusan, mirip orang merdeka. Mereka bahkan boleh 
membawa keluarga. Maskun dan Murwoto, yang ikut dibuang 
bersama Hatta, misalnya, berangkat ke pengasingan bersama istri 
dan anak. Boleh jadi, kalau ada orang seperti Bob Hasan (yang kini 
45 
 
menjadi pengusaha di Penjara Nusakambangan) waktu itu, mungkin 
Digul akan menjadi pusat industri pengolahan nanas dan jeruk peras, 
yang memang cocok di dataran kaya hujan ini. Di Digul, para 
tawanan juga bebas memilih, apakah mau sekadar hidup dari ransum 
beras dan ikan asin yang dibagikan atau mencari tambahan dengan 
bekerja pada proyek pemerintah: menggali parit, membantu 
pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, atau kantor sentral listrik, 
atau menjadi pegawai dermaga. Dengan keras Hatta tentu saja 
menolak pilihan kerja sama ini. Tapi ia minta para tawanan tak 
menjauhi Murwoto, yang menerima tawaran ini . Hatta juga 
membela Sjahrir saat  kawan karibnya ini terpaksa menerima 
bantuan biaya pos 7,5 gulden sebulan, "Untuk korespondensi dengan 
istrinya di Belanda." Beberapa tawanan me-nerima tawaran itu, 
bukan cuma karena bisa menambah penghasilan, tapi juga sekadar 
menghidupkan harapan agar bisa pulang. Dan betul, pada 1930-1931, 
beberapa tahanan yang mau bekerja sama dibebaskan. Agaknya, di 
situlah letak neraka Digul: kebosanan, ketidaktahuan, dan tiadanya 
kepastian. Makanan dan kebutuhan hidup katanya dijamin, tapi 
mirip dengan gambaran Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag 
Archipelago, tak seorang pun tahu apa yang dibolehkan, apa yang 
dibutuhkan, apakah bisa kembali pulang, dan kalaupun bisa, 
kapankah itu. Di Digul, pertanyaan serupa tak berjawab. Masa depan 
sama sekali gelap. Tak pernah tercatat dengan pasti berapa banyak 
korban kubangan kebosanan ini. Tapi, kata Shiraishi, "Banyak yang 
hancur mentalnya karena putus asa." Yang bisa dilakukan hanyalah 
menjaga kesadaran agar tidak gila, agar tak terbunuh rasa bosan. 
Dalam Lima Belas Tahun Digul, tokoh komunis Chalid Salim 
menceritakan bagaimana ia mencoba mempertahankan kewarasan 
dengan mencari-cari kesibukan. Adik kandung tokoh pergerakan 
Agus Salim itu saban hari berkutat dengan hobinya memburu 
nyamuk. Kesenangan ini menyita pikiran dan kerinduannya pada 
gagasan yang semula selalu menggedor hatinya: pulang kampung. 
Akhirnya, Chalid termasuk satu dari sedikit orang yang selamat 
dievakuasi dari Digul saat  kamp ini ditutup sebelum serbuan 
Jepang, 1942. Hatta sendiri mencoba menghancurkan kebosanan 
dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat 
dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar 
Pemandangan sebulan sekali. Sjahrir, raja pesta yang periang itu, 
mengakalinya dengan gentayangan keliling kamp, menyambangi 
46 
 
rumah tawanan yang lain. Hatta memang menyiapkan dirinya hidup 
10 tahun di tanah buangan. Tapi untunglah, sesudah  10 bulan 
terbenam di Digul, keduanya dipindahkan ke tempat yang lebih 
layak yang memang disiapkan untuk tokoh-tokoh intelektual. Suatu 
pagi di bulan Desember 1935, di atas kapal putih Fomalhout, Bung 
Hatta dan Sjahrir melambaikan tangan kepada ratusan pengantarnya 
di Dermaga Digul. Lambaian itu membawa keduanya menuju Banda 
Neira dan meninggalkan penjara tanpa batas, Tanah Merah. Tujuh 
tahun kemudian, pada awal Perang Dunia Kedua, demi ambisi 
menjaga citra sebagai negara demokratis dan karena tekanan beban 
finansial, pemerintah Belanda menutup Digul dan mengungsikan 
tawanannya ke Australia. Kini penjara tanpa masa depan itu menjadi 
ibu kota Kecamatan Mondobo, Merauke. Beberapa bangunan penting 
di zaman Digul masih berdiri meskipun banyak berubah bentuk dan 
fungsinya. Pesangrahan tempat dansa kini telah menjadi markas 
Yonif Linud Masariku Pattimura. Toko Cina berubah fungsi menjadi 
Gudang Kecamatan Mondobo. Gereja dan alun-alun masih sama 
seperti dulu. Sedangkan rumah sakit yang berada di tepian kali kini 
tak terpakai lagi. "Tak lama lagi mungkin bakal hanyut," kata seorang 
pegawai kecamatan. Zaman berganti, dunia banyak berubah, begitu 
juga di Tanah Merah. Matahari memang masih berkilau di atas 
Sungai Digul, tapi pekikan kakaktua dari gelap rimba sudah jarang 
terdengar. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
47 
 
Sebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak Bertepi    
 
PONDOK kayu beratap seng itu telah roboh, tiada bekasnya lagi. 
Dari reruntuhan batu fondasi kini tumbuh kampung kecil, agak 
minggir ke utara kota. Tak berbeda dengan kampung-kampung lain 
di Tanah Merah, kumpulan rumah di Sokanggo itu berkelompok 
bagai sarang lebah, dipisahkan belukar tak terurus atau lorong-
lorong ke arah kali. Sedikit di luar kampung, angin seperti mendesis, 
matahari berkilau pada sungai besar yang airnya kini kecokelatan. 
Udara terasa lembut dan segar. Mestinya semanis itu pula enam atau 
tujuh puluh tahun lalu saat  tempat ini menjadi salah satu pusat 
perhatian dunia. Agak di kejauhan, asap membubung dari atap 
rimba-gelap yang dibakar.... Di tempat itulah, dulu, setiap sore 
selepas asar, Mohammad Hatta menanam sayur atau belajar 
bertukang, ditemani es jeruk lemon kesukaannya. Di kampung itu 
pula, mungkin di sebuah pojok yang kini dijejali kandang ayam, 
tokoh pergerakan Indonesia ini menghabiskan waktunya dengan 
melahap buku-buku filsafat, menggali kembali pelajarannya sebagai 
mahasiswa di Belanda, sekaligus mengusir kebosanan yang 
mematikan. Inilah Digul atau Tanah Merah, nama yang pada 
zamannya menyebarkan horor yang menggentarkan. Dataran 
terpencil di udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda, 
Gubernur Jenderal De Graeff, pada awal 1927, sebagai tempat 
buangan tahanan politik, yang dikurung rimba dan paya-paya kaya 
nyamuk. "Dunia" terdekat yang bisa dijangkau dari Digul kala itu 
hanyalah Tual-kota pelabuhan kecil di Maluku-yang membutuhkan 
50 jam pelayaran dengan kapal motor. Kalau mau melarikan diri, 
pilihan terbaik yang lain adalah Kepulauan Thursday, Australia. Tapi 
untuk itu orang harus menghilir 455 kilometer sepanjang Sungai 
Digul yang penuh buaya, lalu melintasi Selat Torres yang terkenal 
buas. Kalaupun berhasil, besar kemungkinan mereka akan ditangkap 
polisi Australia untuk dikembalikan ke Digul. Guru sejarah 
Universitas Kyoto, peneliti pergerakan komunisme di Indonesia, 
Takashi Shiraishi, punya data, dari 17 percobaan pelarian, hanya satu 
yang lolos, kelompok yang dipimpin tokoh pergerakan dari Solo 
bernama Sanjoyo. Bagai Papillon yang kabur dari penjara Guyana, 
anak buah Dr. Tjipto Mangunkusumo di National Indische Partij itu 
kabarnya berhasil menjadi tukang cukur di Negeri Kanguru. Begitu 
seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah 
48 
 
jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti 
menandatangani kontrak kematian. "Persediaan pangan amat 
terbatas karena lokasinya sukar dicapai," begitu wartawan Van 
Blankenstein menulis sesudah  mengunjungi sumber horor tak 
berkesudahan itu. "Kami menemukan satu pondok kecil beratap seng 
tanpa dinding, dijejali 14 orang," ujarnya, "Di mana-mana genangan 
air. Tak dapat disangkal, tempat ini merupakan neraka." Ternyata 
bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang 
muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku 
hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia". 
Tokoh yang tak pernah mengeluh ini memang tak merinci bagaimana 
kerasnya neraka itu. Ia hanya selalu berpesan agar teman-teman 
sepembuangan tetap waras, baik pikiran maupun perasaan, agar bisa 
bertahan. Sesungguhnya, secara fisik Digul tak tampak sebagai kamp 
kerja paksa yang digerakkan oleh lecutan pecut atau letusan pistol. 
Tak ada penjaga yang mencangklong senapan mesin. Tidak ada 
anjing pelacak, tidak ada juga lampu sorot. Bahkan pagar tembok 
pun tak ada. Jika ada kawat berduri, tempatnya bukan di kamp, 
melainkan di tangsi militer tempat para penjaga tinggal. Pagar itu 
bukan untuk mencegah tawanan melarikan diri, tapi kata Shiraishi, 
"Untuk melindungi tentara dari 'godaan' tawanan." Jauh dari bayangan 
ruangan penjara yang terkungkung dan terjaga, Digul justru mirip 
"resor" terpencil untuk menyepi. Selain ada rumah sakit, masjid, 
gereja, dan sekolah, tanah buangan ini diramaikan toko Cina yang 
menyediakan kebutuhan hidup, gedung bioskop, klub-klub musik, 
bahkan "bar". Tempat minum itu terletak di pusat kota, dalam 
bangunan raksasa yang diberi nama Pesangrahan. Di wisma inilah 
kepala kamp dan para pejabat Belanda menjamu tamu-tamunya 
minum-minum atau menggelar pesta dansa. Hatta dan tokoh 
pergerakan Sjahrir yang keranjingan dansa itu kerap diundang ke 
tempat ini, hampir saban akhir pekan. Dalam hal perlakuan para 
sipir, Digul juga tidak mirip Kepulauan Gulag di Rusia. Di Tanah 
Merah tak ada borgol. Justru sebaliknya, begitu memasuki tempat 
buangan, para tawanan mendapat "kebebasan" bergerak dan 
mengambil keputusan, mirip orang merdeka. Mereka bahkan boleh 
membawa keluarga. Maskun dan Murwoto, yang ikut dibuang 
bersama Hatta, misalnya, berangkat ke pengasingan bersama istri 
dan anak. Boleh jadi, kalau ada orang seperti Bob Hasan (yang kini 
menjadi pengusaha di Penjara Nusakambangan) waktu itu, mungkin 
49 
 
Digul akan menjadi pusat industri pengolahan nanas dan jeruk peras, 
yang memang cocok di dataran kaya hujan ini. Di Digul, para 
tawanan juga bebas memilih, apakah mau sekadar hidup dari ransum 
beras dan ikan asin yang dibagikan atau mencari tambahan dengan 
bekerja pada proyek pemerintah: menggali parit, membantu 
pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, atau kantor sentral listrik, 
atau menjadi pegawai dermaga. Dengan keras Hatta tentu saja 
menolak pilihan kerja sama ini. Tapi ia minta para tawanan tak 
menjauhi Murwoto, yang menerima tawaran ini . Hatta juga 
membela Sjahrir saat  kawan karibnya ini terpaksa menerima 
bantuan biaya pos 7,5 gulden sebulan, "Untuk korespondensi dengan 
istrinya di Belanda." Beberapa tawanan me-nerima tawaran itu, 
bukan cuma karena bisa menambah penghasilan, tapi juga sekadar 
menghidupkan harapan agar bisa pulang. Dan betul, pada 1930-1931, 
beberapa tahanan yang mau bekerja sama dibebaskan. Agaknya, di 
situlah letak neraka Digul: kebosanan, ketidaktahuan, dan tiadanya 
kepastian. Makanan dan kebutuhan hidup katanya dijamin, tapi 
mirip dengan gambaran Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag 
Archipelago, tak seorang pun tahu apa yang dibolehkan, apa yang 
dibutuhkan, apakah bisa kembali pulang, dan kalaupun bisa, 
kapankah itu. Di Digul, pertanyaan serupa tak berjawab. Masa depan 
sama sekali gelap. Tak pernah tercatat dengan pasti berapa banyak 
korban kubangan kebosanan ini. Tapi, kata Shiraishi, "Banyak yang 
hancur mentalnya karena putus asa." Yang bisa dilakukan hanyalah 
menjaga kesadaran agar tidak gila, agar tak terbunuh rasa bosan. 
Dalam Lima Belas Tahun Digul, tokoh komunis Chalid Salim 
menceritakan bagaimana ia mencoba mempertahankan kewarasan 
dengan mencari-cari kesibukan. Adik kandung tokoh pergerakan 
Agus Salim itu saban hari berkutat dengan hobinya memburu 
nyamuk. Kesenangan ini menyita pikiran dan kerinduannya pada 
gagasan yang semula selalu menggedor hatinya: pulang kampung. 
Akhirnya, Chalid termasuk satu dari sedikit orang yang selamat 
dievakuasi dari Digul saat  kamp ini ditutup sebelum serbuan 
Jepang, 1942. Hatta sendiri mencoba menghancurkan kebosanan 
dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat 
dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar 
Pemandangan sebulan sekali. Sjahrir, raja pesta yang periang itu, 
mengakalinya dengan gentayangan keliling kamp, menyambangi 
rumah tawanan yang lain. Hatta memang menyiapkan dirinya hidup 
50 
 
10 tahun di tanah buangan. Tapi untunglah, sesudah  10 bulan 
terbenam di Digul, keduanya dipindahkan ke tempat yang lebih 
layak yang memang disiapkan untuk tokoh-tokoh intelektual. Suatu 
pagi di bulan Desember 1935, di atas kapal putih Fomalhout, Bung 
Hatta dan Sjahrir melambaikan tangan kepada ratusan pengantarnya 
di Dermaga Digul. Lambaian itu membawa keduanya menuju Banda 
Neira dan meninggalkan penjara tanpa batas, Tanah Merah. Tujuh 
tahun kemudian, pada awal Perang Dunia Kedua, demi ambisi 
menjaga citra sebagai negara demokratis dan karena tekanan beban 
finansial, pemerintah Belanda menutup Digul dan mengungsikan 
tawanannya ke Australia. Kini penjara tanpa masa depan itu menjadi 
ibu kota Kecamatan Mondobo, Merauke. Beberapa bangunan penting 
di zaman Digul masih berdiri meskipun banyak berubah bentuk dan 
fungsinya. Pesangrahan tempat dansa kini telah menjadi markas 
Yonif Linud Masariku Pattimura. Toko Cina berubah fungsi menjadi 
Gudang Kecamatan Mondobo. Gereja dan alun-alun masih sama 
seperti dulu. Sedangkan rumah sakit yang berada di tepian kali kini 
tak terpakai lagi. "Tak lama lagi mungkin bakal hanyut," kata seorang 
pegawai kecamatan. Zaman berganti, dunia banyak berubah, begitu 
juga di Tanah Merah. Matahari memang masih berkilau di atas 
Sungai Digul, tapi pekikan kakaktua dari gelap rimba sudah jarang 
terdengar. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
51 
 
Kisah Foto yang Menyimpan MagmaKisah Foto yang Menyimpan MagmaKisah Foto yang Menyimpan MagmaKisah Foto yang Menyimpan Magma    
 
 
Seorang pemuda belia berpose di sebuah rumah bersama enam orang 
perempuan berkebaya. Sang wanita tua dalam posisi duduk, dan 
para perempuan muda berdiri. Sang pemuda-proklamator 
Mohammad Hatta-dengan pantalon dan jas warna terang, terlihat 
sehat meski wajahnya kelihatan capek. Sepintas, tak ada yang 
istimewa pada foto itu. Tak banyak keterangan kecuali secuil catatan 
tangan, "Kebun Djeruk '37, Djakarta. Sebelum ke Digul tahun 1935." 
Tetapi inilah sebuah lembaran sejarah yang berkisah begitu banyak 
tentang pendiri negeri ini. Jaap Erkelens, pemimpin KITLV 
(Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) perwakilan 
Jakarta-lembaga bahasa dan kebudayaan Belanda yang akan 
menerbitkan buku tentang foto Hatta akhir Agustus ini-menyebutkan 
betapa pentingnya foto ini. Ia melakukan riset serius untuk 
menemukan konteks sejarah foto itu. saat  itu, September 1934, 
adalah bulan ketujuh Hatta ditahan di Penjara Glodok, Jakarta. Ia 
dianggap telah melakukan makar terhadap pemerintah kolonial. 
sesudah  meletus pemberontakan di Banten, Jawa Barat, pemerintah 
kolonial menganggap tokoh semacam Hatta harus dibuang ke luar 
Jawa. Melalui kepala penjara bernama Baudisch, Hatta disodori 
formulir. Lazimnya selepas mengisi formulir itu, sang pesakitan 
segera dikirim ke luar Jawa. Hatta menolak mengisi daftar ini . 
Ia tahu nasib jelek itu sudah sampai. Tanpa pengadilan, dalam usia 
32 tahun, ia harus menghadapi kehidupan yang baru sebagai orang 
buangan. Ia segera diasingkan ke Buven Digul. Baudisch, seorang 
psikolog asal Austria, tampaknya memahami derita Hatta. Ia 
memberi kesempatan kepada Hatta untuk pulang selama tiga hari. 
"Silakan temui ibu dan saudaramu. Juga bereskan buku-buku yang 
ingin kau bawa," katanya. Hatta pulang. Pada salah satu hari ia pun 
berpose bersama keluarga. Sang ibu, Siti Saleha, tampak murung dan 
tua. Lima saudara perempuan Hatta menunjukkan kesedihan yang 
sama. Foto-foto Hatta selalu membutuhkan penjelasan historis 
semacam itu. Tak hanya satu, tapi sebagian besar-seperti yang 
dikoleksi keluarga, agen foto IPPHOS, atau yang dimuat dalam 
Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa, buku yang segera diterbitkan 
KILTV. Hatta selalu tampil dengan pose yang sama: lelaki dengan 
senyum yang ikhlas, wajah yang teduh, rambut yang disisir rapi, 
52 
 
tubuh yang berdiri lurus dengan pakaian bersih dan disetrika rapi. 
Hatta adalah orang yang dingin, praktis tanpa ledakan. "Ayah tidak 
pernah emosional, meski tetap menampakkan perasaannya," kata 
Halida Hatta, putri bungsu Almarhum. Di foto paling bersejarah pun, 
Hatta tetap kalem. Pada Februari 1927 ia mewakili Indonesia 
menghadiri konferensi menentang imperialisme dan penjajahan yang 
diadakan di Brussel, Belgia. Dalam usia 25 tahun ia memimpin 
sidang. Peserta yang dipimpinnya antara lain Jawaharlal Nehru dari 
India dan Chen Kuen, aktivis pergerakan Cina. Di foto itu Hatta 
muda menoleh tetap dengan senyum dan ketenangan yang sama. 
Bahkan hubungannya yang bergolak dengan Sukarno tak pernah 
membuat Hatta tampil ekspresif. Pernah suatu saat , pada 
September 1957, sejumlah orang berusaha mempertemukan kembali 
dwitunggal itu melalui sebuah musyawarah nasional di Jakarta. 
Hatta bergeming: ia memilih jalan sunyi keluar dari pemerintahan 
ketimbang mendampingi Sukarno yang mulai menampakkan sikap 
kediktatoran. Dalam pertemuan itu keduanya berjabat tangan. 
Sukarno mengangkat tongkat komandonya dengan tangan kiri. Hatta 
menyambut jabatan itu dengan senyum yang biasa, sementara tangan 
lainnya mengapit buku. Hatta memang bukan Sukarno. "Hatta 
praktis tak pernah berbicara tentang dirinya secara pribadi. Ia terlalu 
rasional untuk mengungkapkan perasaannya secara terbuka," kata 
sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Mohamad Hatta 
Hati Nurani Bangsa. Perasaan itu juga tak mudah ditangkap kamera 
juru foto-baik profesional maupun sekadar fotografer keluarga. 
Sukarno membiarkan wilayah pribadinya dirangsek para juru foto. Ia 
bercukur, makan bersama keluarga, berdansa, bahkan membiarkan 
kamar tidurnya difoto untuk publikasi luas. Ia sadar bahwa setiap 
inci hidupnya harus memberikan citra yang memukau. Begitu 
besarnya kesadaran Sukarno akan pentingnya citra dalam fotografi, 
ia bahkan mampu "menyutradarai" adegan agar sebuah peristiwa 
bisa menampilkan citra yang dahsyat. saat  bertemu Jenderal 
Sudirman pada Juli 1947, si Bung pernah mengulang adegan pelukan 
dengan Sudirman hanya karena sebelumnya tak ada fotografer yang 
siap merekam peristiwa itu (baca Bung Karno dan Fotografi, oleh 
Yudhi Soerjoatmodjo, dalam Edisi Khusus TEMPO "Sukarno Berbisik 
Kembali", 4-10 Juni 2001) Hatta memang bukan Sukarno. Ia 
barangkali tak peduli dengan citra. Bisa jadi ia tak bersemangat 
difoto-meski ia bukan tak peduli dokumentasi. Masa hidupnya 
53 
 
sebagai pemimpin gerakan mahasiswa di Belanda 
didokumentasikannya dengan berfoto bersama dengan aktivis 
Perhimpoenan Indonesia-organisasi pelajar Indonesia di Nederland. 
Tak lebih. Pertemuan Hatta dengan Semaun atau Tan Malaka di 
Eropa, dua tokoh sosialis penting dalam sejarah Indonesia, nyaris tak 
terdokumentasi dalam bentuk foto. Hatta bukan Sukarno, karenanya 
terlalu berlebihan mengharapkan Hatta menampilkan gesture yang 
memikat secara fotografis. "Foto Hatta justru bagus dalam hal isi dan 
bukan dari segi estetika," kata Yudhi Soerjoatmodjo, kurator galeri 
foto I See. Meski jarang, menurut Yudhi, foto Hatta yang 
"bergemuruh" bukan tak ada. "Foto Hatta sedang dikerumuni massa 
di Stasiun Jatinegara sangat bagus," katanya. Yang lain hampir 
seragam: foto-foto Hatta selalu membutuhkan teks penjelas. Tapi di 
sinilah justru kekuatannya. Seperti Hatta yang "dalam" dan 
menyimpan magma, foto-foto Hatta menjadi istimewa saat kita 
menelusuri sejarah di balik sebuah potret. Seperti sosok Hatta, foto-
foto itu bukan sesuatu yang bisa dilihat sepintas lalu. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
54 
 
Berburu PotretBerburu PotretBerburu PotretBerburu Potret    
 
DI manakah foto-foto Bung Hatta tersimpan? Bagaimana kondisinya 
sekarang? Begitulah sederet pertanyaan yang terlintas di benak Jaap 
Erkelens saat  pertama kali menyatakan bersedia ikut terlibat dalam 
pembuatan buku Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Buku ini, 
selain berisi sekilas tentang sejarah salah satu proklamator Indonesia 
itu, juga akan dihiasi foto-foto Hatta. Jaap adalah direktur perwakilan 
Indonesia untuk Koniklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde 
(KITLV), sebuah lembaga kajian bahasa dan antropologi milik 
Kerajaan Belanda. Dia sadar betul, mengumpulkan foto dokumentasi 
seorang tokoh bukanlah perkara mudah, apalagi di negara yang 
sistem arsipnya tak terlalu bagus seperti Indonesia. Lebih dari itu, tak 
banyak orang atau lembaga yang menyimpan koleksi foto Hatta. 
Selain keluarganya sendiri tentunya, cuma agen foto Indonesia Press 
Photo Service (Ipphos), Yayasan Idayu, dan segelintir orang yang 
masih memiliki rekaman gambar semasa Hatta hidup. Itu pun 
dengan kualitas koleksi yang beraneka ragam. Ada foto yang masih 
terawat baik, tapi lebih banyak yang sudah mengelupas di sana-sini. 
Di Ipphos, misalnya, nasib koleksi foto Hatta boleh dikata merana. 
saat  wartawan TEMPO datang ke sana, dua karyawannya, Ilna dan 
Jaja, hanya menyodorkan 15 lembar koleksi foto hitam-putih, tanpa 
album ataupun amplop. Foto-foto karya para fotografer Ipphos itu 
sudah kumal dimakan jamur. "Ini koleksi tahun 1945 sampai 1980, 
saat  Bung Hatta meninggal," kata Ilna. Kondisi segepok film negatif 
yang disodorkan Jaja sama saja. Selain tak mencantumkan judul 
subyek, karena sudah lepas, bundelan yang cuma diikat karet gelang 
itu juga sudah lusuh dan berdebu. Jamur-jamur putih kekuningan 
memenuhi seluruh permukaan amplop cokelat dan film negatif yang 
ada di dalamnya. Gambar di film sudah nyaris tak terlihat lagi. 
"Kalau dipaksakan sih masih bisa dicetak," kata Jaja sambil tertawa. 
Menurut Jaja dan Ilna, koleksi foto Hatta milik Ipphos tersebar di 
berbagai tempat. Statusnya dipinjam atau tidak jelas. "Setiap pegawai 
di sini bisa mengeluarkannya dan tak pernah lapor," kata Ilna. 
Sebagian koleksi, misalnya, masih dipinjam Kedutaan Polandia 
untuk dipamerkan di Bentara Budaya. Sebagian lagi juga masih 
"dibon" oleh panitia pameran foto Peringatan 100 Tahun Bung Karno 
di Gedung Pola tahun lalu. Nasib koleksi foto Hatta di Yayasan Idayu 
sedikit lebih baik. Total ada sepuluh album foto Hatta yang 
55 
 
direproduksi dan dikoleksi Idayu. Setiap album berisi sekitar 40 foto. 
Semua foto itu dicetak rangkap dua: satu asli, satu cadangan. "Kami 
masih punya foto-foto lepas yang jumlahnya ribuan eksemplar," kata 
Sakino, 59 tahun, Kepala Bagian Dokumentasi Foto dan Umum di 
Idayu, yang juga pernah bekerja di Ipphos selama 15 tahun. Namun, 
jangan tanya soal perawatan dan perlakuan terhadap koleksi foto 
Hatta pada Sakino. Pria yang sudah 25 tahun berkutat dengan 
dokumentasi di Idayu itu butuh waktu beberapa menit sebelum 
akhirnya menjawab, "Apa yang bisa kami lakukan selain hanya 
menumpuknya di lemari?" Sakino mengaku, Yayasan tak punya 
cukup uang untuk merawat koleksi dengan lebih layak. Seluruh 
koleksi buku, dokumen, dan foto-foto yang jumlahnya ribuan itu 
memang masih tertata rapi. Tapi kesan lusuh, berdebu, dan nyaris 
tak terawat jelas terlihat. Begitu pula yang terjadi dengan koleksi foto 
Bung Hatta. Amril, pegawai Idayu, menyodorkan sebundel album 
bersampul hijau yang sudah kumal. Tali warna kuning pengikatnya 
terlihat longgar karena terlalu lama tidak diganti. Ada lebih dari 50 
koleksi foto hitam-putih dalam album itu. Beberapa di antaranya 
masih terlihat rapi dan terang. Tapi sebagian besar tampak mulai 
pudar warnanya atau kekuning-kuningan dimakan usia. Sebagian 
lain bahkan tak terhindar dari jamur yang menggerogotinya. Setiap 
foto ditempel ke selembar kertas album yang tebal, dan halaman 
yang satu dengan halaman berikutnya dipisahkan oleh kertas minyak 
putih yang sudah mulai menguning. Sementara foto positifnya 
banyak yang rusak, begitu pula koleksi negatifnya. Satu-satunya cara 
perawatan yang dilakukan hanyalah memasukkan negatif foto ke 
dalam amplop dan menaruhnya di dalam kotak katalog atau lemari. 
Puluhan album koleksi foto Hatta itu diletakkan di rak dalam lemari 
besi setinggi dua meter dan selebar satu meter lebih. Dua rak di 
atasnya berisi deretan koleksi album foto Presiden RI pertama, 
Sukarno. Foto-foto Bung Karno, selain lebih banyak, tampak lebih 
terawat dan dimasukkan dalam album yang lebih baik kondisinya. 
Walhasil, Jaap pun harus kerja keras. Untunglah, kata lelaki berdarah 
Belanda yang lahir di Pulau Sumbawa pada 1939 ini, Meutia dan 
Halida, dua di antara tiga putri Hatta, sangat ringan tangan 
membantu proses pengumpulan kembali foto-foto ayahnya. Mereka 
bahkan mau repot-repot menghubungi kerabat, kenalan, dan sumber 
lain untuk melengkapi koleksi. "Merekalah yang menghubungi 
anggota keluarga besar Hatta seperti keponakan, cucu, dan lain-lain," 
56 
 
kata Jaap. Dalam waktu singkat, sekitar 10 hari, kepingan 
dokumentasi yang berserakan itu pun terkumpul lumayan banyak. 
Jaap juga memperoleh sumbangan foto dari keluarga Hadi Thayeb, 
Ipphos, Yayasan Idayu, juga koleksi KITLV Belanda sendiri. Kondisi 
sebagian besar foto itu masih bagus. Ada, memang, sebagian foto 
yang sudah berubah warna, lapuk dimakan usia dan terkena sinar 
matahari. Tapi, dengan bantuan teknologi, cacat ini bisa diperbaiki. 
Jaap bercerita, ia banyak mendapat foto-foto unik yang belum pernah 
dipublikasikan siapa pun. Ada satu foto yang menarik. Jaap pertama 
kali melihatnya di salah satu ruang di bekas gedung Departemen 
Penerangan. saat  dia menceritakan tentang foto itu kepada 
keluarga Hatta, Meutia pun lantas bergerak. Selidik punya selidik, 
rupanya foto itu milik keluarga Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal 
TNI Ryamizard Ryacudu. Foto itu diambil saat  Hatta berkunjung 
ke Aceh dan bertemu dengan Ryacudu (ayah Ryamizard), seorang 
tentara yang sedang berdinas di sana. Di dalam foto tampak Hatta 
sedang bermain tarik tambang bersama beberapa orang. Sayang, 
siapa saja orang-orang yang ada di dalam foto dan di mana lokasinya 
tak dikenali. Padahal foto itu penting untuk menjelaskan bahwa 
Hatta ternyata tergolong homo ludens, makhluk yang gemar 
bermain. Dia tidak seserius yang orang kira. Jaap bercerita, ia juga 
pernah mendapat koleksi foto dalam bentuk album dari sebuah pasar 
loak di Yogyakarta, tujuh tahun silam. Foto-foto itu menggambarkan 
situasi sebuah musyawarah nasional pada 1957. Foto ini menarik 
karena, menurut Jaap, dibuat saat  hubungan antara Sukarno dan 
Hatta sedang tegang-tegangnya. Nah, musyawarah itu digelar untuk 
mencairkan ketegangan di antara kedua proklamator itu. "Album 
yang menjadi koleksi KITLV itu saya beli sekitar Rp 75 ribu," kata 
Jaap. Memilih foto-foto yang layak untuk dimuat dalam buku, kata 
Jaap, bukan pekerjaan mudah. Banyak foto yang tak mencantumkan 
keterangan menyangkut, misalnya, lokasi pemotretan, siapa saja 
yang berpose di sekeliling Hatta, atau tanggal pengambilan. 
Kebanyakan foto-foto itu hanya gambar mati tanpa secuil keterangan 
apa pun di baliknya. Lebih dari semuanya, Jaap merasa tak puas 
dengan hasil kerjanya. Jika saja diberi kesempatan mengerjakannya 
sejak awal dulu, Jaap memastikan punya cukup waktu untuk 
berkeliling ke sumber-sumber lain, juga lebih banyak foto yang 
diperoleh. 
 
57 
 
Yang Berumah di Tepi AirYang Berumah di Tepi AirYang Berumah di Tepi AirYang Berumah di Tepi Air    
 
Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs, Jakarta  
 
GENERASI pendiri republik ini, yaitu para bapak bangsa, dikenal 
sebagai orang yang sangat terdidik dan terpelajar. Mereka bisa 
disejajarkan dengan kaum terpelajar di negeri lain mana pun pada 
masa itu, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Tapi 
pembawaan tiap orang telah membuat mereka masing-masing 
menghayati keterpelajarannya dengan cara yang khas, yang sedikit 
berbeda satu dan yang lainnya. Bung Karno, misalnya, boleh dikata 
salah satu orang yang paling banyak dan luas bacaannya pada masa 
itu, yang mengikuti perkembangan politik dunia dengan penuh 
perhatian dan gairah. Namun yang mencolok pada dirinya adalah 
perhatian seorang politisi sejati tanpa minat khusus pada the state of 
the art dari perkembangan ilmu pengetahuan masa itu. Sjahrir adalah 
tipe intelektual dengan kecenderungan cendekiawan yang barangkali 
paling kuat di antara rekan seangkatannya. Seorang intelektual tidak 
mencari dan mengumpulkan pengetahuan sebagai tujuan utamanya, 
tapi menerjemahkan pengetahuan dan erudisinya menjadi sikap 
moral atau visi kebudayaan. Haji Agus Salim, sang poliglot, 
mempergunakan pengetahuannya untuk mengajari kader-kader 
politiknya di samping memanfaatkan kemahiran bahasa asingnya 
yang luar biasa itu untuk keperluan diplomasi. Tan Malaka 
barangkali orang yang mengambil peranan sadar sebagai ideolog dan 
memakai semua informasi ilmiah untuk memberikan pendasaran 
pada ideologinya. Di antara politisi masa itu mungkin dialah seorang 
ideolog dengan kemampuan foundationalist yang paling solid. Pada 
hemat saya, Hatta tampil secara mengesankan dengan sikap seorang 
sarjana, seorang scholar, yang di samping berjuang dan terlibat aktif 
secara politik, selalu memberikan perhatian pada perkembangan 
ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut 
tata cara yang jamak dalam dunia akademis. Di antara para bapak 
bangsa itu barangkali hanya dia seorang (dan Tan Malaka, sampai 
tingkat tertentu) yang tekun menuliskan buku-buku teks, baik dalam 
bidang ekonomi (Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi), sejarah 
filsafat (Alam Pikiran Yunani,), maupun filsafat ilmu pengetahuan 
(Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan). Selain itu, dia selalu teliti 
memberikan sumber dan rujukan untuk gagasan yang 
58 
 
diumumkannya dalam tulisan lepas di media massa. Maka seseorang 
yang tertarik pada sejarah ilmu pengetahuan akan segera melihat ke 
mana Hatta berorientasi pada waktu itu untuk bidang-bidang ilmu 
pengetahuan yang digelutinya. Dalam ilmu ekonomi, dia tidak 
banyak terpukau pada ekonomi klasik, tapi pada aliran historis dan 
ekonomi politik. Hatta selalu membedakan dengan tegas teori 
ekonomi, politik ekonomi, dan orde ekonomi. Gagasan-gagasan 
ekonominya lebih berorientasi pada Gustav Schmoller, Werner 
Sombart, dan Karl Marx daripada Adam Smith. Ilmu ekonomi dalam 
pandangannya bukanlah ilmu yang ahistoris seperti matematika, 
melainkan ilmu sosial yang hidup menurut perkembangan zaman, 
sehingga buku teksnya memakai judul "ekonomi sosiologi". Dalam 
sejarah filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan, orientasi utamanya 
adalah pada paham neokantianisme. Nama seperti H. Rickert dan W. 
Windelband, tokoh neokantian dari mazhab Heidelberg yang 
memberikan perhatian khusus pada sejarah filsafat dan filsafat 
sejarah, dan sering menjadi referensi Hatta, dengan mudah menandai 
kecenderungan itu. Seterusnya, dalam sosiologi, dia banyak memakai 
Max Weber, yang pada waktu itu menegaskan perbedaan hakiki 
antara ilmu sosial sebagai ilmu empiris dan sosial-politik sebagai 
praktek yang mengutarakan ideal-ideal kewarga an yang harus 
dicapai. Ilmu sosial bukanlah alat ideologi, melainkan suatu disiplin 
ilmiah yang bertugas melukiskan dan menjelaskan kenyataan 
warga . Sjahrir memang pernah menulis bahwa Hatta hampir 
tidak punya perhatian pada sastra: "Dalam seluruh perpustakaan H, 
misalnya, ada  hanya sebuah roman saja, dan tentang itu pun ia 
memberikan penjelasan (...) bahwa buku itu dihadiahkan orang 
kepadanya. Padahal tak bisa disangkal bahwa ia termasuk puncak 
golongan intelektual kita yang dididik di Eropa." Ada kesan di sini 
seakan-akan Sjahrir menyesali bahwa Hatta hanya membaca 
kepustakaan yang berhubungan dengan bidang studinya, atau surat 
kabar, dan paling banter sedikit buku hiburan untuk menghilangkan 
ketegangan saraf. Kritik seperti ini mungkin harus dilihat dalam 
konteks yang lebih luas. Sebab, Hatta ternyata fasih sekali mengutip 
sastrawan dunia seperti Goethe, Schiller, dan Victor Hugo, dan 
pastilah tidak hanya membaca di waktu senggang zijn krant en soms 
nog wat ontspanningslectuur, sebagaimana dicemaskan Sjahrir. 
Kecenderungan kepada ilmu pengetahuan ini menonjol juga pada 
diri Sutan Sjahrir, yang dalam sepucuk suratnya menyatakan bahwa 
59 
 
dia sebetulnya ingin mendalami studi kebudayaan tapi harus 
menjalankan tugas-tugas politik. Namun Sjahrir belum sempat 
mewujudkan niatnya itu (misalnya menuliskan sebuah buku yang 
utuh tentang kebudayaan) meskipun Indonesische Overpeinzingen 
atau Renungan dan Perjuangan merupakan refleksi filsafat 
kebudayaan yang amat mendalam dan kritis serta masih terlalu 
sedikit dipelajari sampai hari ini. Hatta tidak hanya menyatakan 
keinginannya, tapi juga mewujudkannya. Yang menarik dalam 
tulisan-tulisan ilmiahnya (dan juga dalam tulisan politik dan 
jurnalistiknya) ialah usaha Hatta untuk membahasakan hampir 
semua gagasan ilmiah dan filosofis itu dengan padanan dalam 
bahasa Indonesia tanpa menimbulkan kesan kaku atau artifisial. 
Dengan tidak ada referensi sebelumnya dalam bahasa ini, dapatlah 
dibayangkan betapa sulitnya menjelaskan gagasan filsafat dan ilmu 
pengetahuan dengan kosakata bahasa Indonesia. Sampai sekarang 
pun tidak banyak ilmuwan yang dapat mengindonesiakan secara 
memuaskan konsep ceteris paribus dalam bahasa Latin atau other 
things being equal dalam bahasa Inggris. Konsep itu mengatakan 
bahwa suatu gejala yang dijelaskan akan muncul lagi kalau syarat-
syarat kemunculannya itu tidak berubah. Tapi pada awal 1950-an 
Hatta sudah menulis, "Sebab itu ilmu dalam segala keterangannya 
senantiasa mengemukakan syarat: 'kalau yang selainnya tidak 
berubah.' Syarat ini biasa disebut dengan perkataan Latin 'ceteris 
paribus'. Pendeknya keterangan ilmu sebenarnya begini duduknya 
kalau begini jadinya, begitu kelanjutan (akibatnya), asal saja yang 
selainnya tidak berubah." Dengan mudah dan ringan dia menjelaskan 
metode induksi sebagai "jalan (yang) bermula dengan 
mengumpulkan bukti dan daripada bukti-bukti itu dicari 
kebulatannya." Sebaliknya, pada metode deduksi "orang bermula 
dengan menerima kebenarannya. Kemudian baru diuji kebenarannya 
dengan memeriksa keadaannya dalam satu-satunya." Pada titik inilah 
kelihatan bagaimana pribadi Hatta sebagai orang yang 
mengutamakan disiplin, menghayati ilmu pengetahuan juga 
pertama-tama sebagai disiplin, seperti juga dia menghayati organisasi 
politik, administrasi, agama, dan tata negara sebagai disiplin. 
Seterusnya, disiplin ilmiah baginya menjadi suatu alat atau perkakas 
untuk bekerja. Keyakinannya ini sedemikian kuatnya sehingga dapat 
memberikan kesan seolah-olah dia seorang penganut 
instrumentalisme epistemologis. Dalam paham instrumentalis 
60 
 
diandaikan bahwa pengetahuan tidak punya substansi kebenaran, 
tapi hanya menjadi "jembatan keledai" yang dapat membawa kita 
kepada pengetahuan yang benar. Menurut istilah-istilah Hatta, teori 
ilmu pengetahuan tidak lain dari suatu "stenogram (yang) terambil dari 
suatu pengalaman" dan "alat untuk mencari kebenaran, bukan kebenaran 
itu sendiri." Dalam pandangan saya, pernyataan itu adalah ungkapan 
seorang guru yang ingin mencegah sikap dogmatis dalam diri para 
muridnya, agar tidak memandang teori ilmu pengetahuan sebagai 
doktrin yang harus dipegang teguh tanpa kritik. Teori haruslah 
dipandang sebagai peralatan yang dapat dipakai  dan harus 
diperbaiki terus-menerus. Seandainya benar bahwa Hatta punya 
keyakinan instrumentalis yang konsekuen, niscaya dia tidak akan 
sibuk mengajarkan teori-teori ekonomi, yang dalam pandangannya 
bertugas "memberi keterangan tentang tabiat manusia yang umum 
dilakukannya dalam tindakannya menuju kemakmuran." Definisi itu 
memang mirip suatu stenogram tentang pengalaman kita mengamati 
tingkah laku ekonomi dan jelas mengungkapkan suatu substansi 
pengetahuan dan bukan sekadar "jembatan keledai" yang tidak 
mengandung suatu pengertian dalam dirinya sendiri tapi hanya 
menjadi pengantar ke suatu pengertian lain. Dalam istilah 
epistemologi modern, ilmu pada dasarnya bukan hanya merupakan 
context of discovery, melainkan sekaligus context of justification. Ilmu 
bukan hanya jalan atau cara untuk menemukan, melainkan juga jalan 
dan cara untuk memeriksa dan menguji apa yang telah ditemukan. 
Hal ini semakin jelas kalau kita melihat sikap Hatta dalam politik. 
Bagi dia, politik bukan sekadar cara, strategi, dan taktik, tapi juga 
mengandung sesuatu yang harus dapat dibenarkan secara rasional. 
Dalam polemik tentang pencalonannya sebagai anggota Tweede 
Kamer di Den Haag, Desember 1932, muncul kritik keras dari 
Sukarno yang menganggap tindakan itu telah menafikan sikap 
nonkoperasi dalam politik Hatta. Menghadapi kritik itu, Hatta 
mengemukakan bahwa kata-kata Sukarno memang ibarat magnet 
yang dengan mudah menarik siapa pun yang membacanya. Dia 
mengakui pula bahwa bakat istimewa Sukarno itu sesuatu yang 
berguna dan amat diperlukan dalam menggerakkan orang ke suatu 
tujuan politik. Tapi, kalau orang hendak memberikan penerangan 
kepada warga , gaya yang menarik itu harus dihadapi dengan 
tenang dan diperiksa dengan teliti isinya. saat  Sukarno 
mengatakan bahwa nonkoperator yang prinsipiil harus menolak 
61 
 
bekerja sama dengan semua lembaga yang didirikan oleh pemerintah 
kolonial, Hatta menjawab bahwa Tweede Kamer tidak didirikan oleh 
pemerintah kolonial, tapi oleh pemerintah Belanda untuk rakyat 
Belanda. Siapa yang duduk dalam Tweede Kamer dapat 
menjatuhkan pemerintahan yang sah di Belanda, suatu hal yang amat 
berlainan dengan Volksraad di Hindia Belanda yang mustahil 
menjatuhkan gubernur jenderal. Ilustrasi ini hendak menunjukkan 
bahwa Hatta bukanlah seorang instrumentalis, melainkan seseorang 
yang percaya kepada sesuatu yang substansial. Pendiriannya tentang 
ilmu pengetahuan, keagamaan, dan ketatanegaraan penuh dengan 
gagasan substansif yang siap dipertahankannya. Barangkali saja 
posisi seperti inilah yang tidak memungkinkannya bertahan lama 
dalam pemerintahan, tatkala dia melihat bahwa politik semakin 
menjadi taktik dan siasat tapi tidak lagi mempertahankan tujuan 
tempat segala siasat harus dikerahkan. "Siapa yang takut dilamun 
ombak, jangan berumah di tepi air," begitu dia menulis suatu waktu 
tentang orang yang hendak berpolitik tanpa risiko. Sayang bahwa 
suatu saat  air telah menjadi banjir bandang, sehingga Hatta dengan 
perhitungan yang dingin dan hati yang getir mengundurkan diri dari 
sana karena yakin tak ada rumah yang dapat tegak di bibir banjir. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
62 
 
Dwitunggal dan DwitanggalDwitunggal dan DwitanggalDwitunggal dan DwitanggalDwitunggal dan Dwitanggal    
 
KABAR itu menyengat Hatta dan membuatnya marah besar: Sukarno 
memutuskan menikahi Hartini. Ia tak dapat menerima sikap 
sahabatnya menduakan Fatmawati dan membuatnya "digantung 
tidak bertali". Hatta, kata penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, 
Deliar Noer, memang amat menghormati Fatmawati, tak hanya 
sebagai istri Sukarno tapi juga sebagai ibu negara. Begitu marahnya 
Hatta kepada Hartini sehingga untuk waktu yang lama Hatta 
menolak menemui istri kedua Sukarno itu. Jika pada suatu acara 
Hartini hadir, Hatta buru-buru menghindar. Kalau Hartini ada di 
ruang VIP, Hatta beralih ke bilik lain. Bertahun-tahun mereka tak 
bercakap-cakap, hingga kematian Bung Karno kembali mencairkan 
hubungan keduanya. Begitulah Hatta. Berbeda dengan sahabatnya, 
yang bak Casanova, Hatta seperti kata Deliar adalah seorang 
puritein. Di kalangan teman-temannya, Hatta dikenal tak pernah 
menunjukkan ketertarikan pada perempuan. Suatu saat  para 
sahabatnya di Belanda yang penasaran menjebaknya: mereka 
mengatur kencan dengan seorang gadis Polandia yang 
"menggetarkan lelaki mana pun". Tentu saja, si gadis telah telah 
dipesan agar menggoda Hatta dengan segala cara. Apa yang terjadi? 
Malam itu di kafe yang romantis mereka cuma makan malam, lalu 
berpisah. saat  ditanya kenapa rayuannya gagal total, si gadis 
berkata putus asa, "Sama sekali tak mempan. Dia ini pendeta, bukan 
laki-laki." Tak cuma soal wanita, dalam banyak hal perbedaan dua 
tokoh yang dikenal sebagai Dwitunggal ini memang sejauh bumi dan 
langit. Keduanya sering tak sejalur dalam pandangan politik ataupun 
cara perjuangan. Menurut sejarawan Ong Hok Ham, ini karena 
mereka dibentuk oleh pengalaman yang berbeda. Tak seperti Hatta, 
Sukarno tak pernah tinggal lama di luar negeri. Sukarno tumbuh, 
beraksi sendiri, tak pernah dikelilingi orang-orang setara. Sedangkan 
Hatta, seperti juga Sjahrir, lama mendalami struktur kepartaian di 
Belanda dan dikelilingi kawan seperjuangan yang sama inteleknya. 
Perbedaan itu, menurut Mavis Rose dalam bukunya Indonesia 
Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, telah tampak pada 
periode 1920-an. Sukarno dan kelompok studi umum kerap 
berseberangan pendapat dengan kelompok eks Perhimpunan 
Indonesia Belanda, tempat Hatta terhimpun di dalamnya, terutama 
soal konsep pembentukan partai dan keanggotaannya. Sukarno lebih 
63 
 
suka cara-cara penggalangan kekuatan massa, sedangkan Hatta-
Sjahrir percaya pendidikan dan kaderisasilah yang harus 
diutamakan. Bagaimana mereka memandang persatuan, menurut 
John Ingleson (Jalan ke Pengasingan), juga kontras. Hatta tak dapat 
menerima pendirian Sukarno bahwa semua pokok pertengkaran 
partai harus disingkirkan. Hatta yakin partai-partai nasionalis justru 
akan menjadi kuat dengan saling bersaing dalam ide dan program. 
Yang diperlukan menurut Hatta bukanlah persatuan organisasi 
sebagaimana dikehendaki Sukarno, melainkan persatuan seluruh 
kaum nasionalis dalam tekad memaksakan kemerdekaan dari 
Belanda. Melalui tulisannya, Persatuan Ditjari, Per-sate-an Jang Ada, 
di harian Daulat Ra'jat pada 1932, Hatta mengkritik persatuan model 
Sukarno, "Apa yang dikatakan persatuan sebenarnya tak lain dari 
per-sate-an. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing disate 
jadi satu. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan 
mengorbankan asas masing-masing." Kian lama, pertentangan 
keduanya kian sulit terjembatani. Dan perpecahan Dwitunggal pun 
menjadi kenyataan saat  Sukarno menolak mengesahkan Maklumat 
X. Ini dekrit yang diteken Hatta pada November 1945 untuk 
meletakkan sistem multipartai dan demokrasi parlementer. Ide ini 
tak pernah disukai Sukarno, yang berpandangan jumlah partai perlu 
dibatasi agar mudah dikendalikan. Pada 1950-an, saat  perkelahian 
antarpartai mulai menjengkelkan publik, Sukarno mulai menyerang 
Hatta secara terbuka, "Terima kasih, Tuhan, bukan Sukarno yang 
menandatangani dekrit itu." Puncaknya terjadi pada 1956, saat  
Sukarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan berseru, "Marilah 
sekarang kita kubur semua partai." Hatta, yang kecewa, menyerang 
balik. Dalam tulisannya, Demokrasi Kita, ia mengecam bahwa 
konsepsi Sukarno tak lain sebagai kediktatoran. Perpecahan pun tak 
dapat dielakkan. Dwitunggal telah menjadi "Dwitanggal", kata 
wartawan Mochtar Lubis. Pada 20 Juli 1956, Hatta melayangkan 
sepucuk surat ke Dewan Perwakilan Rakyat. Isinya, "... sesudah  DPR 
yang dipilih rakyat mulai bekerja dan Konstituante menurut pilihan 
rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk 
mengundurkan diri sebagai wakil presiden." Tak lagi di orbit 
pemerintahan tak menyurutkan kritik Hatta terhadap Sukarno. 
Melihat banyak yang kian tak beres dalam pengelolaan negara, Hatta 
menggugatnya di forum-forum publik dan lewat tulisannya di koran-
koran. Beberapa di antaranya bahkan sedemikian kerasnya seperti 
64 
 
yang berikut ini: "Dalam jangka waktu lama, Indonesia hidup dalam 
bayangan feodalisme. Tetapi neofeodalisme Sukarno lebih jahat dan lebih 
ganas." Sukarno rupanya tak tahan dikecam. Pada 1960 sejumlah surat 
kabar dibredel. Pikiran Rakjat, koran yang konsisten memublikasikan 
artikel Hatta, dipaksa tak lagi memuatnya. Majalah Islam Pandji 
warga , yang pertama kali memuat Demokrasi Kita, juga 
dilarang terbit. Redaksinya bahkan dibui. Khawatir kritiknya di 
muka umum menyusahkan orang lain, Hatta mencari jalan lain: ia 
menyampaikan pandangannya melalui surat pribadi. Dengan kalimat 
lugas, seperti dicatat Mochtar Lubis, Hatta melontarkan kritiknya 
langsung menuju pokok sasaran. Ini dilakukan pada kurun 1957-
1965, sebuah masa saat  Sukarno telah memusatkan semua 
kekuasaan ke tangannya sendiri sebagai presiden seumur hidup: 
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Petani Agung, Nelayan Agung, 
dan banyak lainnya. Salah satunya, dalam surat tanggal 12 September 
1957, dengan tegas Hatta mengingatkan Sukarno akan niatnya 
memakai  tangan besi mengatasi pergolakan di daerah: "Bung 
Karno, ... seterusnya terpikir oleh saya, apakah Saudara ingin 
mengadakan suatu diktatur militer ... Dan yakinkah Saudara bahwa 
diktatur semacam itu dapat meliputi seluruh Indonesia yang terbagi-
bagi atas sekian banyak pulau? Berhubung dengan itu saya sebagai 
seorang saudara memperingatkan bahwa Saudara dengan cita-cita 
semacam itu berada dalam jalan yang berbahaya yang akhirnya 
merugikan kepada Saudara sendiri." Sukarno jelas menyimpan segan 
terhadap Hatta. Dalam tanggapannya terhadap surat Hatta, ia 
hampir tak pernah membantah. Paling banter, Bung Karno 
mengucapkan terima kasih atau sesekali menanyakan kapan mereka 
bisa bertemu untuk membahasnya. Di luar segala perbedaan tajam 
itu, Rose mencatat Hatta dan Sukarno sebagai sahabat tak 
terpisahkan. Suatu hari di tahun 1970, putra sulung Sukarno, Guntur, 
kebingungan mencari wali nikah karena sang ayah tak dapat 
menghadiri perkawinannya. Tanpa ragu Bung Karno menyebut 
nama Hatta. Kaget mendengarnya, Guntur bertanya, "Bapak yakin Pak 
Hatta mau?" Hatta, kata Sukarno, bisa mencaci-maki dirinya tentang 
pelbagai kebijakan politik, tapi dalam kehidupan pribadi mereka 
terikat persaudaraan selama perjuangan kemerdekaan. Mereka 
seperti saudara kandung. Sukarno benar. Begitu diminta, Hatta 
langsung menyatakan kesediaannya. Pertemanan keduanya bahkan 
langgeng sampai ajal menjemput Sukarno. Bulan Juni 1970, Bung 
65 
 
Karno yang sakit parah diopname di rumah sakit tentara. Merasa 
sahabatnya tak tertolong lagi, Hatta minta izin membesuk. Dan itulah 
pertemuan terakhir mereka. Jumat, 19 Juni 1970, tiba-tiba mata di 
wajah Sukarno yang bengkak dan pucat terbuka. "Hatta, kamu di 
sini," katanya terkejut. Meutia, anak Hatta, ingat bahwa ayahnya lalu 
menyalami orang yang selalu dikritiknya itu dengan hangat, "Ah, apa 
kabarmu, No?" Hatta duduk diam, menggenggam tangan sahabatnya. 
Air mata berlelehan di pipi Sukarno. Tangannya mencari-cari 
kacamata agar bisa melihat Hatta lebih jelas. Meutia mengenang, 
"Meskipun tak ada pembicaraan lebih lanjut, seolah-olah keduanya 
saling berbicara melalui hati masing-masing, seakan-akan keduanya 
mengingat jatuh-bangun mereka dalam perjuangan bersama di masa 
lampau. Mungkin saling meminta maaf." saat  tiba saatnya 
berpisah, Hatta sulit melepaskan tangan Bung Karno. Dua hari 
kemudian, Sukarno meninggal dunia. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
66 
 
Perhelatan Perhelatan Perhelatan Perhelatan Sederhana untuk Si BungSederhana untuk Si BungSederhana untuk Si BungSederhana untuk Si Bung    
 
 
RUMAH panggung berlantai dua di jantung Kota Bukit Tinggi itu tak 
mengenal hari libur. Tiap hari, sejak pintu kayunya dibuka hingga jarum 
jam menunjuk ke angka empat di sore hari, saat Susilo, penjaganya, 
merapatkan pintu, ada saja pengunjung yang ingin menjenguk isinya. 
Tak banyak memang. "Sekitar 500 orang tiap bulannya," ujar Nyonya 
Susilo. Jumlah tamu tak pernah beranjak jauh dari angka itu, sejak 
replika rumah ini  dibangun tujuh tahun silam, hingga sekarang, 
saat bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya penghuni rumah 
ini , negarawan Mohammad Hatta. Mungkin karena lokasinya yang 
tenggelam di antara deretan bangunan toko baru yang kukuh dan 
mentereng? Atau barangkali disebabkan oleh tak adanya riasan untuk 
mempercantik rumah yang dinding sampingnya terbuat dari anyaman 
bambu itu? Bisa jadi. Tapi, bila Hatta masih hidup, ia tentu amat setuju 
dengan tindakan panitia peringatan satu abad Bung Hatta yang 
membiarkan rumah itu polos tanpa diberi gincu. Peringatan satu abad 
Bung Hatta yang mengambil tema "Santun, Jujur, Hemat" ini amat selaras 
dengan sifat tokoh ini . Tidak ada hura-hura. Sayangnya, begitu 
"patuh"-nya panitia pada aspek hemat tadi, acara besar itu jadi kurang 
tersosialisasi. saat  memutar mata di kota sejuk Bukit Tinggi awal Juli 
lalu, misalnya, wartawan TEMPO tak menangkap kegairahan penduduk 
untuk berpartisipasi dalam perhelatan besar guna memper-ingati 
seorang warganya yang dilahirkan 12 Agustus seabad lalu. Kehidupan 
berjalan seperti biasa. Hanya ada beberapa helai spanduk putih di 
kantor-kantor pemerintahan yang mencoba mengingatkannya. Tulisan 
di dalamnya tak memberikan informasi apa-apa: "Seabad Bung Hatta: 
Arif, Hemat, Santun, dan Sederhana." Namun Nurhayati Natsir, panitia 
lokal di Bukit Tinggi, menjamin keadaan kota ini akan semarak 
menjelang puncak acara, 10 Agustus. Beberapa ke-giatan sudah 
dirancang akan dilakukan di kota ini. Salah satunya napak tilas ke 
makam ayahanda Bung Hatta di Batu Hampar, 90 kilometer di luar Kota 
Bukit Tinggi-suatu kegiatan yang kerap dilakukan Hatta kecil untuk 
mengenang ayahnya, yang hanya dikenalnya selama 8 bulan. 
Rencananya, Wakil Presiden Hamzah Haz akan hadir dalam acara ini. 
Puncaknya adalah peringatan seabad Bung Hatta yang dipusatkan di 
Istana Bung Hatta dengan menggelar opera tentang perjalanan hidup 
sang proklamator. Acara di Bukit Tinggi dan di Jakarta, tanggal 12 
Agustus, adalah puncak dari rangkaian kegiatan Peringatan Seabad 
67 
 
Bung Hatta yang telah dicanangkan oleh Panitia Pelaksana Peringatan 
Seabad Bung Hatta setahun lalu. Rangkaian kegiatan lainnya cukup 
beragam. Seminar, misalnya, dibuat berseri setiap tanggal 12 sejak April 
lalu di tujuh perguruan tinggi. Selain itu, menurut koordinator harian 
panitia, Indra Abidin, ada sarasehan, pameran, penayangan iklan 
layanan warga , konferensi nasional, pembuatan situs Bung Hatta, 
lomba karya tulis, penerbitan kartu telepon, pemilihan perusahaan 
teladan, dan festival budaya. Kegiatan lainnya adalah penerbitan buku 
yang berisi pemikiran Bung Hatta di era sebelum kemerdekaan yang 
dianggap masih relevan di masa kini. Salah satunya pengumpulan 
tulisan Bung Hatta dalam majalah Daulah Rakjat selama tahun 1931-
1934 dan penerbitan buku agenda yang berisi kata-kata bijak Bung 
Hatta. Kelihatannya ini sebuah perhelatan raksasa. Dana yang 
dibutuhkan, menurut salah seorang panitia pelaksana, Dradjat 
Natanagara, mencapai sekitar Rp 7 miliar, yang sebagian besar berasal 
dari dana sponsor beberapa perusahaan, BUMN, dan sedikit donatur. 
Namun, hingga akhir Juli lalu, dana yang terkumpul baru sekitar Rp 1,2 
miliar. Apa boleh buat, the show must go on. Alhasil, untuk beberapa 
kegiatan, panitia harus rela merogoh kantong sendiri, misalnya dalam 
penerbitan agenda, buku, spanduk, dan umbul-umbul. "Memang 
jadinya tidak gegap-gempita, tapi yang penting kan pesan kami sampai 
ke warga ," ujar Dradjat. Menurut Meutia Farida Swasono, anak 
sulung Bung Hatta, perhelatan seabad ayahnya ini memang lebih 
ditujukan untuk memperkenalkan kembali sosok dan pemikiran Bung 
Hatta yang selama ini sudah banyak dilupakan orang. Padahal, menurut 
dia, pemikiran Bung Hatta dipenuhi ide yang telah jauh me-lewati 
waktu. "Enam puluh tahun yang lalu dia sudah berbicara soal 
lingkungan, globalisasi, dan kemerdekaan negara-negara di Asia 
Pasifik," katanya. Upaya memperkenalkan kembali sosok Bung Hatta itu 
juga dilakukan PT Pos Indonesia. Seperti saat peringatan seabad Bung 
Karno tahun lalu, tahun ini mereka menerbitkan prangko edisi seabad 
Bung Hatta. Persiapannya lumayan matang karena telah dilakukan sejak 
dua tahun lalu. Kata Dadan Rusdiana, Asisten Manajer Divisi Bisnis 
Filateli PT Pos Indonesia, tepat pada tanggal 12 Agustus pihaknya 
meluncurkan empat macam prangko serial Bung Hatta yang dicetak 
masing-masing sebanyak 1 juta lembar, ditambah lagi satu souvenir 
sheet yang berbentuk prangko plus foto Bung Hatta. Keempat macam 
prangko itu, ujarnya, mengisahkan kembali perjalanan hidup Bung 
Hatta, yaitu saat  dia remaja, kuliah, di masa perjuangan kolonial, dan 
masa kemerdekaan. "Sebenarnya kami ingin menampilkan masa kanak-
68 
 
kanaknya, tapi kami kesulitan mendapatkan fotonya," ujar Dadan 
kepada E.K. Dewanto dari Tempo News Room. Bank Indonesia 
melakukan aktivitas serupa. Sebanyak 2.000 keping uang emas dan 
perak bertajuk "Peringatan Satu Abad Bung Hatta" akan diluncurkan. 
Sayang, koin khusus ini tak punya corak yang khas. Desainnya hampir 
tak berbeda dengan uang koin kebanyakan. Gambar Garuda Pancasila 
ada di bagian muka dan di bagian belakang diletakkan gambar Bung 
Hatta plus tulisan "Satu Abad Bung Hatta (1902-2002)". Menurut Deputi 
Direktur Pengedaran Uang Bank Indonesia, Lucky Fathul A.H., koin 
khusus ini akan diluncurkan bertepatan dengan hari seratus tahun Bung 
Hatta dan akan dijual ke warga  dengan harga yang berbeda. Koin 
emas, yang terbuat dari bahan emas 24 karat dengan kadar 0,99 persen, 
dijual seharga Rp 3 juta, sedangkan yang terbuat dari perak dibanderoli 
harga Rp 750 ribu-sebuah harga yang mahal untuk memperkenalkan 
sosok tokoh yang sederhana ini. Upaya pengenalan Bung Hatta yang 
lebih efisien dan terjangkau warga  adalah yang dilakukan dua 
stasiun televisi nasional, Metro TV dan SCTV. Kedua stasiun ini tengah 
m