Tampilkan postingan dengan label hatta 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hatta 2. Tampilkan semua postingan
hatta 2
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
hatta 2
goresan tulisan tangan di situ, bunyinya antara lain: "Pemimpin
berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya...." Nyaris tak ada
yang istimewa kecuali jika pembaca melihat lebih teliti di bagian
akhir deretan kalimat yang menunjukkan tanda tangan si penulis:
Mohammad Hatta. Coretan tangan Hatta bertanggal 2 Juli 1949, dua
hari sebelum dia meninggalkan rumah bersejarah itu. Rumah itu
terletak di Gunung Menumbing, dekat Mentok, Pulau Bangka. Di
atas ketinggian sekitar 433 meter dari permukaan air laut,
pemandangan di situ sangat indah. Hawanya sejuk. Hutan di
sekeliling kaki gunung tampak hijau perawan. Bahkan sampai
sekarang kawasan itu menjadi salah satu tempat ideal untuk tetirah
dan berlibur. Hatta tidak berlibur. Pada Desember 1948, Belanda
menyerbu Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Pasukan
Kompeni, yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, menangkap Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Hatta. Bersama sejumlah menteri, Hatta kemudian dibuang ke
Bangka, sementara Sukarno dikirim ke Parapat, Sumatera Utara.
Belakangan, Sukarno pun dikirim ke Bangka, bergabung bersama
Hatta, dikurung dalam rumah yang sempat dikelilingi pagar kawat
berduri. Enam bulan lamanya mereka berdiam di Bangka. Jejak-
jejaknya mudah ditemukan. Secara fisik, kehadiran mereka kasatmata
dengan berdirinya monumen duet Proklamator di tengah Kota
Mentok, sekitar 12 kilometer dari rumah di pucuk gunung itu.
Namun, sayang, rumah itu sendiri justru telah kehilangan nilai
sejarahnya. saat dihuni Hatta dan kawan-kawan, rumah
peristirahatan itu milik perusahaan timah, Bangka Tin Winning
Bedrijf (BTW). Kini, bukannya dikelola sebagai peninggalan
bersejarah milik negara, kompleks bangunan itu telah beralih rupa
menjadi hotel dan restoran bernama Jati Menumbing. Karameta
Group, perusahaan swasta lokal, mengantongi hak pengelolaan dari
pemerintah daerah sejak dua tahun lalu. Pertimbangan komersial dan
renovasi bangunan oleh pengelola inilah yang kemudian mengubur
imaji warga setempat atau pengunjung Gunung Menumbing
terhadap sosok Hatta. Padahal di lantai bawah gedung itu ada
38
ruang pertemuan seluas 5 x 6 meter. Di kamar inilah Hatta
menghabiskan sepuluh hari pertamanya di Bangka sebagai tahanan.
Tak jauh dari ruangan itu tergeletak bodi mobil Ford hitam bernomor
polisi BN 10. Itulah tunggangan resmi Hatta selama menjalani
pengasingannya di Bangka-sesudah Belanda akhirnya meruntuhkan
pagar berduri karena protes Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jangan
bermimpi mencicipi keunggulan mesin mobil itu sekarang. Sedan itu
tinggal kerangka saja. Di samping lembar kertas berbingkai itu
memang masih dipajang foto-foto Hatta dan Sukarno. Mereka
dijepret saat tengah bercengkerama, membaca buku, atau asyik
menikmati pemandangan pantai berpasir putih bersih yang terletak
jauh di bawah kaki gunung. Pengunjung museum sederhana ini juga
bisa menemukan ruang tamu. Di dalamnya ada beberapa meja
kayu. Beberapa lembar uang kuno senilai Rp 1 sen, Rp 2,5 hingga Rp
100 menjadi pajangan penghias kamar. Yah, di dalam kamar ini pula
tertempel berbagai foto Hatta dan Sukarno yang terpampang dalam
tiga bingkai besar dari kayu berukuran sekitar 1,5 meter persegi.
Berbagai kenangan terhadap Hatta itu umumnya ada di lantai
bawah. Lantai atas gedung kini telah disulap menjadi 30 kamar hotel.
Tarif per malamnya mencapai Rp 150 ribu-Rp 250 ribu.
Pemandangan lepas ke arah pantai, yang dulu biasa memanjakan
mata Hatta dan rekan-rekannya, kini terasa kian langka karena
terhalang oleh dinding restoran yang berdiri tegak di depannya. Tak
hanya pemandangan langsung ke laut lepas yang langka. Upaya
mencari para saksi mata untuk menceritakan kehadiran Hatta di
Bangka juga bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Salah satu
di antara mereka yang masih hidup, M. Isa Djamaluddin, 84 tahun,
misalnya, ternyata sudah pikun sehingga susah untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Warga di Kampung Tandjung, Mentok, mengenal
Isa sebagai asisten mendiang fotografer Raden Pandji. saat Bung
Hatta tinggal di Bangka, Raden Pandji dan mendiang juru potret,
Zulkarnaen, kerap mengabadikan ke-giatan Hatta selama di Bangka.
Banyak kisah hanya bisa ditelusuri lewat tangan kedua. Misalnya
dari Affan Alwi, keponakan Zulkarnaen yang kini telah berusia 68
tahun. saat berusia 15 tahun, dia mendengar cerita bagaimana
pamannya "berburu" Hatta. Pada 22 Desember 1948, menurut Affan,
Zulkarnaen melihat Hatta dalam sebuah mobil Ford bernomor polisi
BN 10 melaju dari arah Kota Pangkalpinang menuju Kota Mentok.
"Tanda tanya bergayut di benaknya dan nalurinya sebagai fotografer
39
bekerja," kata Affan. Sebab, Zulkarnaen melihat Wakil Presiden dan
sejumlah tokoh nasional lain berada dalam pengawalan pasukan
khusus Belanda, Corps Speciale Troepen. Padahal Indonesia telah
menyatakan merdeka tiga tahun sebelumnya. Rasa penasaran
Zulkarnaen baru terjawab pada malam harinya. Bersama seorang
wedana setempat, K.Z. Abidin, juru potret ini melaju ke puncak
Gunung Menumbing dan bersua dengan Hatta untuk kemudian ikut
berfoto bersama. "Paman sempat teriak merdeka dan Bung Hatta
segera memeluknya," kenang Affan. Teriakan Zulkarnaen,
barangkali, mewakili perasaan sejumlah warga Bangka yang pada
malam itu juga berdatangan ke puncak gunung, ingin bertemu Hatta.
Deliar Noer, penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, mencatat
bagaimana rakyat setempat memberikan penghormatan besar kepada
Hatta dan para tokoh yang ditahan di Bangka. "Sampai-sampai,
dalam berbelanja di pasar, para penjual tidak mau menerima
pembayarannya." Penilaian Deliar tidak salah alamat. Tak
mengherankan apabila, dalam kacamata Hatta, warga Bangka,
sebagaimana tertulis di Memoir-nya, "sudah menjadi rakyat Republik
Indonesia." Walau jarang turun gunung, Hatta senantiasa bermurah
hati menularkan pengetahuannya kepada warga setempat. Misalnya,
dalam menekankan pentingnya pendirian koperasi bagi
kesejahteraan warga. Ajakan ini tak bosan-bosannya Hatta
sampaikan dalam berbagai kesempatan. Putra mendiang Wedana
Bangka, K. Rusdi Abidin, mencatat kegigihan "Bapak Koperasi" ini
mengajarkan semangat koperasi melalui ceramahnya di sekolah atau
dalam peringatan-peringatan hari nasional di Mentok. Selain
mengunjungi penduduk, aktivitas favorit Hatta di Gunung
Menumbing tidak berbeda dengan di tempat-tempat lain: membaca
buku. Tak jarang Hatta juga mengisi waktu luangnya di pengasingan
dengan bermain catur atau bridge. Kegiatan ini umumnya berakhir
menjelang pukul 21.00 karena Hatta akan menyudahi permainan dan
meminta rekan-rekannya masuk ke ruang tidur. Kedisiplinan Hatta
terhadap waktu dan aktivitas yang serba teratur membuat
Zulkarnaen dan Raden Pandji tak habis pikir. Suatu saat seorang
wartawan asing datang untuk mewawancarainya. Hatta
membukakan pintu dan hanya mempersilakan si tamu menunggu.
Alasannya sederhana saja: si pemburu berita tiba pada pukul 12.30
alias setengah jam lebih awal dari waktu yang mereka sepakati. Serba
teratur, sederhana, dan tak segan memberikan teladan. Begitulah
40
sosok Hatta yang terekam dari cerita warga Bangka yang pernah
bertemu dengannya. Walau menerima mobil dinas Ford, bekal
sepuluh gulden per hari, dan bahan bakar gratis, Hatta tak serta-
merta mengisi hari-harinya dengan pergi ke berbagai tempat wisata
atau pelesiran. Aktivitas turun gunung Hatta lebih meningkat saat
Bung Karno dan K.H. Agus Salim turut dipindahkan dari Parapat ke
Bangka pada 5 Februari 1949. Dua karib Hatta dalam perjuangan ini
ditempatkan di Wisma Ranggam, yang terletak di kaki gunung.
Sayang, hingga kini rumah yang pernah ditempati presiden pertama
Indonesia itu tak terawat. Bangunan yang berdiri di atas lahan seluas
1.000 meter persegi ini nyaris ambruk. Semua daun pintu dan
jendela dari 16 ruangan di situ telah lenyap. Sebaliknya, hanya bau
kurang sedap dan sarang tikus yang tersisa di segala sudut
bangunan. Dibanding bangunan itu, kompleks tempat Hatta dulu
diasingkan memang lebih beruntung. Kendati begitu, akses menuju
tempat ini masih terbatas. Jalan tanah baru berubah menjadi
aspal setahun silam. Belum ada kendaraan umum yang melayani
jalur dari Kota Mentok hingga ke puncak. Jika ingin menengok
"Hatta", orang mesti menyewa ojek atau mobil carteran. Toh, batasan
ini tak menghalangi warga Bangka untuk menyusuri jejak-jejak
Hatta. Bagi Affan, Alamsyah, ataupun Abidin, warisan semangat dan
teladan Hatta yang terpatri di kampung halaman mereka sejak
separuh abad lebih bakal terus bersinar dari puncak Gunung
Menumbing. Bak gugusan bintang yang tidak kenal lelah menerangi
malam.
41
Beberapa Jam di Tanah BuanganBeberapa Jam di Tanah BuanganBeberapa Jam di Tanah BuanganBeberapa Jam di Tanah Buangan
Di dalam bilik Cessna, gadis remaja itu duduk tak tenang. Ia sedikit
gentar, tapi rasa ingin tahunya membuncah. Sebentar kemudian
pesawat kecil itu meliuk, lalu terbang rendah di atas sungai cokelat
yang membelah hutan raya. Kali Digul! Tiba-tiba anak bungsu
Mohammad Hatta, perempuan kecil di pesawat mungil itu,
merasakan jantungnya berdetak makin cepat. Halida Nuriah Hatta
tak pernah melupakan peristiwa itu. Ia masih 14 tahun waktu itu.
Beberapa saat sesudah menghadiri Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) di Irian Jaya, 1969, ayahnya mengajak menengok Digul alias
Tanah Merah, tempat Bung Hatta dibuang Belanda 34 tahun
sebelumnya. Hari itu bersama kakaknya, Meutia, ibu dan ayahnya,
Halida mengunjungi "Gulag Indonesia" itu dalam sebuah lawatan
singkat, hanya beberapa jam. Begitu kaki Halida menjejak tanah,
udara terasa lembut dan manis-masih seperti 40 tahun yang lalu.
Matahari bulan Agustus berkilau di atas sungai keruh. Alam Digul
hampir tak berubah, seperti tak pernah tersentuh tangan. "Betapa
tertinggalnya daerah ini, masih seperti saat Ayah ditahan dulu,"
kata Halida, menirukan ucapan Bung Hatta. Kunjungan pendek itu,
tak bisa tidak, mematrikan kenangan yang dalam bagi Halida.
Mereka mendatangi rumah bekas tempat tinggal Hatta semasa
pembuangan. Bangunan itu tak terpelihara. Hampir roboh. Halida
terharu membayangkan ayahnya dulu mesti bertahan hidup di
tengah alam yang ganas. "Tak mengherankan Ayah kena malaria,"
kenangnya. Selain Digul, Halida juga pernah mengunjungi Banda
Neira, tempat "pembuangan" Hatta yang lain. Waktu itu, April 1973,
Bung Hatta sekeluarga mendapat undangan dari Des Alwi. Turut
dalam rombongan Nyonya Poppy Sjahrir, istri almarhum Sutan
Sjahrir. Des, yang putra asli Banda, adalah anak angkat Sjahrir dan
keponakan angkat Hatta. Dari Jakarta, mereka naik pesawat ke
Ambon, dilanjutkan dengan menumpang kapal perang menuju
Banda. Mereka melayari lautan Maluku selama 15 jam. Para te-tua,
termasuk kakek Des Alwi, menyambut dengan haru begitu mereka
tiba di tanah rempah itu. Warga pulau, yang tampak begitu
mencintai Hatta, menyiapkan pelbagai pertunjukan seni untuk
merayakan "kembalinya" si anak hilang. Selama 10 hari di pulau itu,
Halida melihat ayahnya begitu bahagia. Mereka piknik ke tepi pantai.
42
Makan siang bersama tanpa sendok-garpu, menyuap hanya dengan
tangan. Duduk beralas pasir dan memandang matahari tenggelam.
Pose Hatta dalam suasana santai itu terekam fotograferSinar
Harapan, Harry Kawilarang. Di mata Halida, paras dalam foto itu
tampak begitu teduh. "Senyumnya tak ada orang yang punya,
senyum genuine yang terpancar dari dalam," katanya. Tapi senyum
yang genuine itu sesungguhnya menyimpan kekecewaan. Menurut
Des Alwi, Bung Hatta masygul melihat Banda yang cepat berubah.
Julukan "Eropa mini" untuk pulau pala itu sudah sirna. Bangunan-
bangunan besar yang dulu dimiliki para pengusaha perkebunan
Belanda kini lapuk dimakan usia. Perkebunan pala yang dulu
tumbuh rapi sekarang tak terawat. Janji Pemerintah Daerah Maluku
(waktu itu di bawah Gubernur Sumitro) untuk memugar bangunan
yang pernah dihuni para perintis kemerdekaan ternyata cuma
pemanis bibir. Kenyataannya, di bangunan yang utuh pun daun
pintu dan jendela habis dipereteli penduduk yang dibekingi oknum
penguasa setempat. Mereka seolah tak menyadari arti sejarah.
Melihat itu, Hatta, yang dikenal teguh memegang janji, hanya bisa
mengurut dada. Untunglah ada pengobat duka. Menjelang kembali
ke Jakarta, nama Hatta dan Sjahrir diabadikan pada dua pulau kecil
dekat Banda Neira. Jadilah dua pulau kembar itu bernama Pulau
Hatta dan Pulau Sjahrir.
43
Sebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak Bertepi
PONDOK kayu beratap seng itu telah roboh, tiada bekasnya lagi.
Dari reruntuhan batu fondasi kini tumbuh kampung kecil, agak
minggir ke utara kota. Tak berbeda dengan kampung-kampung lain
di Tanah Merah, kumpulan rumah di Sokanggo itu berkelompok
bagai sarang lebah, dipisahkan belukar tak terurus atau lorong-
lorong ke arah kali. Sedikit di luar kampung, angin seperti mendesis,
matahari berkilau pada sungai besar yang airnya kini kecokelatan.
Udara terasa lembut dan segar. Mestinya semanis itu pula enam atau
tujuh puluh tahun lalu saat tempat ini menjadi salah satu pusat
perhatian dunia. Agak di kejauhan, asap membubung dari atap
rimba-gelap yang dibakar.... Di tempat itulah, dulu, setiap sore
selepas asar, Mohammad Hatta menanam sayur atau belajar
bertukang, ditemani es jeruk lemon kesukaannya. Di kampung itu
pula, mungkin di sebuah pojok yang kini dijejali kandang ayam,
tokoh pergerakan Indonesia ini menghabiskan waktunya dengan
melahap buku-buku filsafat, menggali kembali pelajarannya sebagai
mahasiswa di Belanda, sekaligus mengusir kebosanan yang
mematikan. Inilah Digul atau Tanah Merah, nama yang pada
zamannya menyebarkan horor yang menggentarkan. Dataran
terpencil di udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda,
Gubernur Jenderal De Graeff, pada awal 1927, sebagai tempat
buangan tahanan politik, yang dikurung rimba dan paya-paya kaya
nyamuk. "Dunia" terdekat yang bisa dijangkau dari Digul kala itu
hanyalah Tual-kota pelabuhan kecil di Maluku-yang membutuhkan
50 jam pelayaran dengan kapal motor. Kalau mau melarikan diri,
pilihan terbaik yang lain adalah Kepulauan Thursday, Australia. Tapi
untuk itu orang harus menghilir 455 kilometer sepanjang Sungai
Digul yang penuh buaya, lalu melintasi Selat Torres yang terkenal
buas. Kalaupun berhasil, besar kemungkinan mereka akan ditangkap
polisi Australia untuk dikembalikan ke Digul. Guru sejarah
Universitas Kyoto, peneliti pergerakan komunisme di Indonesia,
Takashi Shiraishi, punya data, dari 17 percobaan pelarian, hanya satu
yang lolos, kelompok yang dipimpin tokoh pergerakan dari Solo
bernama Sanjoyo. Bagai Papillon yang kabur dari penjara Guyana,
anak buah Dr. Tjipto Mangunkusumo di National Indische Partij itu
kabarnya berhasil menjadi tukang cukur di Negeri Kanguru. Begitu
44
seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah
jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti
menandatangani kontrak kematian. "Persediaan pangan amat
terbatas karena lokasinya sukar dicapai," begitu wartawan Van
Blankenstein menulis sesudah mengunjungi sumber horor tak
berkesudahan itu. "Kami menemukan satu pondok kecil beratap seng
tanpa dinding, dijejali 14 orang," ujarnya, "Di mana-mana genangan
air. Tak dapat disangkal, tempat ini merupakan neraka." Ternyata
bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang
muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku
hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia".
Tokoh yang tak pernah mengeluh ini memang tak merinci bagaimana
kerasnya neraka itu. Ia hanya selalu berpesan agar teman-teman
sepembuangan tetap waras, baik pikiran maupun perasaan, agar bisa
bertahan. Sesungguhnya, secara fisik Digul tak tampak sebagai kamp
kerja paksa yang digerakkan oleh lecutan pecut atau letusan pistol.
Tak ada penjaga yang mencangklong senapan mesin. Tidak ada
anjing pelacak, tidak ada juga lampu sorot. Bahkan pagar tembok
pun tak ada. Jika ada kawat berduri, tempatnya bukan di kamp,
melainkan di tangsi militer tempat para penjaga tinggal. Pagar itu
bukan untuk mencegah tawanan melarikan diri, tapi kata Shiraishi,
"Untuk melindungi tentara dari 'godaan' tawanan." Jauh dari
bayangan ruangan penjara yang terkungkung dan terjaga, Digul
justru mirip "resor" terpencil untuk menyepi. Selain ada rumah sakit,
masjid, gereja, dan sekolah, tanah buangan ini diramaikan toko Cina
yang menyediakan kebutuhan hidup, gedung bioskop, klub-klub
musik, bahkan "bar". Tempat minum itu terletak di pusat kota, dalam
bangunan raksasa yang diberi nama Pesangrahan. Di wisma inilah
kepala kamp dan para pejabat Belanda menjamu tamu-tamunya
minum-minum atau menggelar pesta dansa. Hatta dan tokoh
pergerakan Sjahrir yang keranjingan dansa itu kerap diundang ke
tempat ini, hampir saban akhir pekan. Dalam hal perlakuan para
sipir, Digul juga tidak mirip Kepulauan Gulag di Rusia. Di Tanah
Merah tak ada borgol. Justru sebaliknya, begitu memasuki tempat
buangan, para tawanan mendapat "kebebasan" bergerak dan
mengambil keputusan, mirip orang merdeka. Mereka bahkan boleh
membawa keluarga. Maskun dan Murwoto, yang ikut dibuang
bersama Hatta, misalnya, berangkat ke pengasingan bersama istri
dan anak. Boleh jadi, kalau ada orang seperti Bob Hasan (yang kini
45
menjadi pengusaha di Penjara Nusakambangan) waktu itu, mungkin
Digul akan menjadi pusat industri pengolahan nanas dan jeruk peras,
yang memang cocok di dataran kaya hujan ini. Di Digul, para
tawanan juga bebas memilih, apakah mau sekadar hidup dari ransum
beras dan ikan asin yang dibagikan atau mencari tambahan dengan
bekerja pada proyek pemerintah: menggali parit, membantu
pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, atau kantor sentral listrik,
atau menjadi pegawai dermaga. Dengan keras Hatta tentu saja
menolak pilihan kerja sama ini. Tapi ia minta para tawanan tak
menjauhi Murwoto, yang menerima tawaran ini . Hatta juga
membela Sjahrir saat kawan karibnya ini terpaksa menerima
bantuan biaya pos 7,5 gulden sebulan, "Untuk korespondensi dengan
istrinya di Belanda." Beberapa tawanan me-nerima tawaran itu,
bukan cuma karena bisa menambah penghasilan, tapi juga sekadar
menghidupkan harapan agar bisa pulang. Dan betul, pada 1930-1931,
beberapa tahanan yang mau bekerja sama dibebaskan. Agaknya, di
situlah letak neraka Digul: kebosanan, ketidaktahuan, dan tiadanya
kepastian. Makanan dan kebutuhan hidup katanya dijamin, tapi
mirip dengan gambaran Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag
Archipelago, tak seorang pun tahu apa yang dibolehkan, apa yang
dibutuhkan, apakah bisa kembali pulang, dan kalaupun bisa,
kapankah itu. Di Digul, pertanyaan serupa tak berjawab. Masa depan
sama sekali gelap. Tak pernah tercatat dengan pasti berapa banyak
korban kubangan kebosanan ini. Tapi, kata Shiraishi, "Banyak yang
hancur mentalnya karena putus asa." Yang bisa dilakukan hanyalah
menjaga kesadaran agar tidak gila, agar tak terbunuh rasa bosan.
Dalam Lima Belas Tahun Digul, tokoh komunis Chalid Salim
menceritakan bagaimana ia mencoba mempertahankan kewarasan
dengan mencari-cari kesibukan. Adik kandung tokoh pergerakan
Agus Salim itu saban hari berkutat dengan hobinya memburu
nyamuk. Kesenangan ini menyita pikiran dan kerinduannya pada
gagasan yang semula selalu menggedor hatinya: pulang kampung.
Akhirnya, Chalid termasuk satu dari sedikit orang yang selamat
dievakuasi dari Digul saat kamp ini ditutup sebelum serbuan
Jepang, 1942. Hatta sendiri mencoba menghancurkan kebosanan
dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat
dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar
Pemandangan sebulan sekali. Sjahrir, raja pesta yang periang itu,
mengakalinya dengan gentayangan keliling kamp, menyambangi
46
rumah tawanan yang lain. Hatta memang menyiapkan dirinya hidup
10 tahun di tanah buangan. Tapi untunglah, sesudah 10 bulan
terbenam di Digul, keduanya dipindahkan ke tempat yang lebih
layak yang memang disiapkan untuk tokoh-tokoh intelektual. Suatu
pagi di bulan Desember 1935, di atas kapal putih Fomalhout, Bung
Hatta dan Sjahrir melambaikan tangan kepada ratusan pengantarnya
di Dermaga Digul. Lambaian itu membawa keduanya menuju Banda
Neira dan meninggalkan penjara tanpa batas, Tanah Merah. Tujuh
tahun kemudian, pada awal Perang Dunia Kedua, demi ambisi
menjaga citra sebagai negara demokratis dan karena tekanan beban
finansial, pemerintah Belanda menutup Digul dan mengungsikan
tawanannya ke Australia. Kini penjara tanpa masa depan itu menjadi
ibu kota Kecamatan Mondobo, Merauke. Beberapa bangunan penting
di zaman Digul masih berdiri meskipun banyak berubah bentuk dan
fungsinya. Pesangrahan tempat dansa kini telah menjadi markas
Yonif Linud Masariku Pattimura. Toko Cina berubah fungsi menjadi
Gudang Kecamatan Mondobo. Gereja dan alun-alun masih sama
seperti dulu. Sedangkan rumah sakit yang berada di tepian kali kini
tak terpakai lagi. "Tak lama lagi mungkin bakal hanyut," kata seorang
pegawai kecamatan. Zaman berganti, dunia banyak berubah, begitu
juga di Tanah Merah. Matahari memang masih berkilau di atas
Sungai Digul, tapi pekikan kakaktua dari gelap rimba sudah jarang
terdengar.
47
Sebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak BertepiSebuah Penjara Tak Bertepi
PONDOK kayu beratap seng itu telah roboh, tiada bekasnya lagi.
Dari reruntuhan batu fondasi kini tumbuh kampung kecil, agak
minggir ke utara kota. Tak berbeda dengan kampung-kampung lain
di Tanah Merah, kumpulan rumah di Sokanggo itu berkelompok
bagai sarang lebah, dipisahkan belukar tak terurus atau lorong-
lorong ke arah kali. Sedikit di luar kampung, angin seperti mendesis,
matahari berkilau pada sungai besar yang airnya kini kecokelatan.
Udara terasa lembut dan segar. Mestinya semanis itu pula enam atau
tujuh puluh tahun lalu saat tempat ini menjadi salah satu pusat
perhatian dunia. Agak di kejauhan, asap membubung dari atap
rimba-gelap yang dibakar.... Di tempat itulah, dulu, setiap sore
selepas asar, Mohammad Hatta menanam sayur atau belajar
bertukang, ditemani es jeruk lemon kesukaannya. Di kampung itu
pula, mungkin di sebuah pojok yang kini dijejali kandang ayam,
tokoh pergerakan Indonesia ini menghabiskan waktunya dengan
melahap buku-buku filsafat, menggali kembali pelajarannya sebagai
mahasiswa di Belanda, sekaligus mengusir kebosanan yang
mematikan. Inilah Digul atau Tanah Merah, nama yang pada
zamannya menyebarkan horor yang menggentarkan. Dataran
terpencil di udik Papua itu dibangun penguasa Hindia Belanda,
Gubernur Jenderal De Graeff, pada awal 1927, sebagai tempat
buangan tahanan politik, yang dikurung rimba dan paya-paya kaya
nyamuk. "Dunia" terdekat yang bisa dijangkau dari Digul kala itu
hanyalah Tual-kota pelabuhan kecil di Maluku-yang membutuhkan
50 jam pelayaran dengan kapal motor. Kalau mau melarikan diri,
pilihan terbaik yang lain adalah Kepulauan Thursday, Australia. Tapi
untuk itu orang harus menghilir 455 kilometer sepanjang Sungai
Digul yang penuh buaya, lalu melintasi Selat Torres yang terkenal
buas. Kalaupun berhasil, besar kemungkinan mereka akan ditangkap
polisi Australia untuk dikembalikan ke Digul. Guru sejarah
Universitas Kyoto, peneliti pergerakan komunisme di Indonesia,
Takashi Shiraishi, punya data, dari 17 percobaan pelarian, hanya satu
yang lolos, kelompok yang dipimpin tokoh pergerakan dari Solo
bernama Sanjoyo. Bagai Papillon yang kabur dari penjara Guyana,
anak buah Dr. Tjipto Mangunkusumo di National Indische Partij itu
kabarnya berhasil menjadi tukang cukur di Negeri Kanguru. Begitu
seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah
48
jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti
menandatangani kontrak kematian. "Persediaan pangan amat
terbatas karena lokasinya sukar dicapai," begitu wartawan Van
Blankenstein menulis sesudah mengunjungi sumber horor tak
berkesudahan itu. "Kami menemukan satu pondok kecil beratap seng
tanpa dinding, dijejali 14 orang," ujarnya, "Di mana-mana genangan
air. Tak dapat disangkal, tempat ini merupakan neraka." Ternyata
bukan cuma Van Blankenstein, tapi juga bahkan Hatta, seorang
muslim taat yang berpendirian "di atas segala lapangan tanah air, aku
hidup, aku gembira" itu, menyebut Digul sebagai "neraka dunia".
Tokoh yang tak pernah mengeluh ini memang tak merinci bagaimana
kerasnya neraka itu. Ia hanya selalu berpesan agar teman-teman
sepembuangan tetap waras, baik pikiran maupun perasaan, agar bisa
bertahan. Sesungguhnya, secara fisik Digul tak tampak sebagai kamp
kerja paksa yang digerakkan oleh lecutan pecut atau letusan pistol.
Tak ada penjaga yang mencangklong senapan mesin. Tidak ada
anjing pelacak, tidak ada juga lampu sorot. Bahkan pagar tembok
pun tak ada. Jika ada kawat berduri, tempatnya bukan di kamp,
melainkan di tangsi militer tempat para penjaga tinggal. Pagar itu
bukan untuk mencegah tawanan melarikan diri, tapi kata Shiraishi,
"Untuk melindungi tentara dari 'godaan' tawanan." Jauh dari bayangan
ruangan penjara yang terkungkung dan terjaga, Digul justru mirip
"resor" terpencil untuk menyepi. Selain ada rumah sakit, masjid,
gereja, dan sekolah, tanah buangan ini diramaikan toko Cina yang
menyediakan kebutuhan hidup, gedung bioskop, klub-klub musik,
bahkan "bar". Tempat minum itu terletak di pusat kota, dalam
bangunan raksasa yang diberi nama Pesangrahan. Di wisma inilah
kepala kamp dan para pejabat Belanda menjamu tamu-tamunya
minum-minum atau menggelar pesta dansa. Hatta dan tokoh
pergerakan Sjahrir yang keranjingan dansa itu kerap diundang ke
tempat ini, hampir saban akhir pekan. Dalam hal perlakuan para
sipir, Digul juga tidak mirip Kepulauan Gulag di Rusia. Di Tanah
Merah tak ada borgol. Justru sebaliknya, begitu memasuki tempat
buangan, para tawanan mendapat "kebebasan" bergerak dan
mengambil keputusan, mirip orang merdeka. Mereka bahkan boleh
membawa keluarga. Maskun dan Murwoto, yang ikut dibuang
bersama Hatta, misalnya, berangkat ke pengasingan bersama istri
dan anak. Boleh jadi, kalau ada orang seperti Bob Hasan (yang kini
menjadi pengusaha di Penjara Nusakambangan) waktu itu, mungkin
49
Digul akan menjadi pusat industri pengolahan nanas dan jeruk peras,
yang memang cocok di dataran kaya hujan ini. Di Digul, para
tawanan juga bebas memilih, apakah mau sekadar hidup dari ransum
beras dan ikan asin yang dibagikan atau mencari tambahan dengan
bekerja pada proyek pemerintah: menggali parit, membantu
pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, atau kantor sentral listrik,
atau menjadi pegawai dermaga. Dengan keras Hatta tentu saja
menolak pilihan kerja sama ini. Tapi ia minta para tawanan tak
menjauhi Murwoto, yang menerima tawaran ini . Hatta juga
membela Sjahrir saat kawan karibnya ini terpaksa menerima
bantuan biaya pos 7,5 gulden sebulan, "Untuk korespondensi dengan
istrinya di Belanda." Beberapa tawanan me-nerima tawaran itu,
bukan cuma karena bisa menambah penghasilan, tapi juga sekadar
menghidupkan harapan agar bisa pulang. Dan betul, pada 1930-1931,
beberapa tahanan yang mau bekerja sama dibebaskan. Agaknya, di
situlah letak neraka Digul: kebosanan, ketidaktahuan, dan tiadanya
kepastian. Makanan dan kebutuhan hidup katanya dijamin, tapi
mirip dengan gambaran Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag
Archipelago, tak seorang pun tahu apa yang dibolehkan, apa yang
dibutuhkan, apakah bisa kembali pulang, dan kalaupun bisa,
kapankah itu. Di Digul, pertanyaan serupa tak berjawab. Masa depan
sama sekali gelap. Tak pernah tercatat dengan pasti berapa banyak
korban kubangan kebosanan ini. Tapi, kata Shiraishi, "Banyak yang
hancur mentalnya karena putus asa." Yang bisa dilakukan hanyalah
menjaga kesadaran agar tidak gila, agar tak terbunuh rasa bosan.
Dalam Lima Belas Tahun Digul, tokoh komunis Chalid Salim
menceritakan bagaimana ia mencoba mempertahankan kewarasan
dengan mencari-cari kesibukan. Adik kandung tokoh pergerakan
Agus Salim itu saban hari berkutat dengan hobinya memburu
nyamuk. Kesenangan ini menyita pikiran dan kerinduannya pada
gagasan yang semula selalu menggedor hatinya: pulang kampung.
Akhirnya, Chalid termasuk satu dari sedikit orang yang selamat
dievakuasi dari Digul saat kamp ini ditutup sebelum serbuan
Jepang, 1942. Hatta sendiri mencoba menghancurkan kebosanan
dengan membaca saban sore, mengajarkan ilmu ekonomi dan filsafat
dua kali sepekan, serta menulis kolom untuk surat kabar
Pemandangan sebulan sekali. Sjahrir, raja pesta yang periang itu,
mengakalinya dengan gentayangan keliling kamp, menyambangi
rumah tawanan yang lain. Hatta memang menyiapkan dirinya hidup
50
10 tahun di tanah buangan. Tapi untunglah, sesudah 10 bulan
terbenam di Digul, keduanya dipindahkan ke tempat yang lebih
layak yang memang disiapkan untuk tokoh-tokoh intelektual. Suatu
pagi di bulan Desember 1935, di atas kapal putih Fomalhout, Bung
Hatta dan Sjahrir melambaikan tangan kepada ratusan pengantarnya
di Dermaga Digul. Lambaian itu membawa keduanya menuju Banda
Neira dan meninggalkan penjara tanpa batas, Tanah Merah. Tujuh
tahun kemudian, pada awal Perang Dunia Kedua, demi ambisi
menjaga citra sebagai negara demokratis dan karena tekanan beban
finansial, pemerintah Belanda menutup Digul dan mengungsikan
tawanannya ke Australia. Kini penjara tanpa masa depan itu menjadi
ibu kota Kecamatan Mondobo, Merauke. Beberapa bangunan penting
di zaman Digul masih berdiri meskipun banyak berubah bentuk dan
fungsinya. Pesangrahan tempat dansa kini telah menjadi markas
Yonif Linud Masariku Pattimura. Toko Cina berubah fungsi menjadi
Gudang Kecamatan Mondobo. Gereja dan alun-alun masih sama
seperti dulu. Sedangkan rumah sakit yang berada di tepian kali kini
tak terpakai lagi. "Tak lama lagi mungkin bakal hanyut," kata seorang
pegawai kecamatan. Zaman berganti, dunia banyak berubah, begitu
juga di Tanah Merah. Matahari memang masih berkilau di atas
Sungai Digul, tapi pekikan kakaktua dari gelap rimba sudah jarang
terdengar.
51
Kisah Foto yang Menyimpan MagmaKisah Foto yang Menyimpan MagmaKisah Foto yang Menyimpan MagmaKisah Foto yang Menyimpan Magma
Seorang pemuda belia berpose di sebuah rumah bersama enam orang
perempuan berkebaya. Sang wanita tua dalam posisi duduk, dan
para perempuan muda berdiri. Sang pemuda-proklamator
Mohammad Hatta-dengan pantalon dan jas warna terang, terlihat
sehat meski wajahnya kelihatan capek. Sepintas, tak ada yang
istimewa pada foto itu. Tak banyak keterangan kecuali secuil catatan
tangan, "Kebun Djeruk '37, Djakarta. Sebelum ke Digul tahun 1935."
Tetapi inilah sebuah lembaran sejarah yang berkisah begitu banyak
tentang pendiri negeri ini. Jaap Erkelens, pemimpin KITLV
(Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde) perwakilan
Jakarta-lembaga bahasa dan kebudayaan Belanda yang akan
menerbitkan buku tentang foto Hatta akhir Agustus ini-menyebutkan
betapa pentingnya foto ini. Ia melakukan riset serius untuk
menemukan konteks sejarah foto itu. saat itu, September 1934,
adalah bulan ketujuh Hatta ditahan di Penjara Glodok, Jakarta. Ia
dianggap telah melakukan makar terhadap pemerintah kolonial.
sesudah meletus pemberontakan di Banten, Jawa Barat, pemerintah
kolonial menganggap tokoh semacam Hatta harus dibuang ke luar
Jawa. Melalui kepala penjara bernama Baudisch, Hatta disodori
formulir. Lazimnya selepas mengisi formulir itu, sang pesakitan
segera dikirim ke luar Jawa. Hatta menolak mengisi daftar ini .
Ia tahu nasib jelek itu sudah sampai. Tanpa pengadilan, dalam usia
32 tahun, ia harus menghadapi kehidupan yang baru sebagai orang
buangan. Ia segera diasingkan ke Buven Digul. Baudisch, seorang
psikolog asal Austria, tampaknya memahami derita Hatta. Ia
memberi kesempatan kepada Hatta untuk pulang selama tiga hari.
"Silakan temui ibu dan saudaramu. Juga bereskan buku-buku yang
ingin kau bawa," katanya. Hatta pulang. Pada salah satu hari ia pun
berpose bersama keluarga. Sang ibu, Siti Saleha, tampak murung dan
tua. Lima saudara perempuan Hatta menunjukkan kesedihan yang
sama. Foto-foto Hatta selalu membutuhkan penjelasan historis
semacam itu. Tak hanya satu, tapi sebagian besar-seperti yang
dikoleksi keluarga, agen foto IPPHOS, atau yang dimuat dalam
Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa, buku yang segera diterbitkan
KILTV. Hatta selalu tampil dengan pose yang sama: lelaki dengan
senyum yang ikhlas, wajah yang teduh, rambut yang disisir rapi,
52
tubuh yang berdiri lurus dengan pakaian bersih dan disetrika rapi.
Hatta adalah orang yang dingin, praktis tanpa ledakan. "Ayah tidak
pernah emosional, meski tetap menampakkan perasaannya," kata
Halida Hatta, putri bungsu Almarhum. Di foto paling bersejarah pun,
Hatta tetap kalem. Pada Februari 1927 ia mewakili Indonesia
menghadiri konferensi menentang imperialisme dan penjajahan yang
diadakan di Brussel, Belgia. Dalam usia 25 tahun ia memimpin
sidang. Peserta yang dipimpinnya antara lain Jawaharlal Nehru dari
India dan Chen Kuen, aktivis pergerakan Cina. Di foto itu Hatta
muda menoleh tetap dengan senyum dan ketenangan yang sama.
Bahkan hubungannya yang bergolak dengan Sukarno tak pernah
membuat Hatta tampil ekspresif. Pernah suatu saat , pada
September 1957, sejumlah orang berusaha mempertemukan kembali
dwitunggal itu melalui sebuah musyawarah nasional di Jakarta.
Hatta bergeming: ia memilih jalan sunyi keluar dari pemerintahan
ketimbang mendampingi Sukarno yang mulai menampakkan sikap
kediktatoran. Dalam pertemuan itu keduanya berjabat tangan.
Sukarno mengangkat tongkat komandonya dengan tangan kiri. Hatta
menyambut jabatan itu dengan senyum yang biasa, sementara tangan
lainnya mengapit buku. Hatta memang bukan Sukarno. "Hatta
praktis tak pernah berbicara tentang dirinya secara pribadi. Ia terlalu
rasional untuk mengungkapkan perasaannya secara terbuka," kata
sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Mohamad Hatta
Hati Nurani Bangsa. Perasaan itu juga tak mudah ditangkap kamera
juru foto-baik profesional maupun sekadar fotografer keluarga.
Sukarno membiarkan wilayah pribadinya dirangsek para juru foto. Ia
bercukur, makan bersama keluarga, berdansa, bahkan membiarkan
kamar tidurnya difoto untuk publikasi luas. Ia sadar bahwa setiap
inci hidupnya harus memberikan citra yang memukau. Begitu
besarnya kesadaran Sukarno akan pentingnya citra dalam fotografi,
ia bahkan mampu "menyutradarai" adegan agar sebuah peristiwa
bisa menampilkan citra yang dahsyat. saat bertemu Jenderal
Sudirman pada Juli 1947, si Bung pernah mengulang adegan pelukan
dengan Sudirman hanya karena sebelumnya tak ada fotografer yang
siap merekam peristiwa itu (baca Bung Karno dan Fotografi, oleh
Yudhi Soerjoatmodjo, dalam Edisi Khusus TEMPO "Sukarno Berbisik
Kembali", 4-10 Juni 2001) Hatta memang bukan Sukarno. Ia
barangkali tak peduli dengan citra. Bisa jadi ia tak bersemangat
difoto-meski ia bukan tak peduli dokumentasi. Masa hidupnya
53
sebagai pemimpin gerakan mahasiswa di Belanda
didokumentasikannya dengan berfoto bersama dengan aktivis
Perhimpoenan Indonesia-organisasi pelajar Indonesia di Nederland.
Tak lebih. Pertemuan Hatta dengan Semaun atau Tan Malaka di
Eropa, dua tokoh sosialis penting dalam sejarah Indonesia, nyaris tak
terdokumentasi dalam bentuk foto. Hatta bukan Sukarno, karenanya
terlalu berlebihan mengharapkan Hatta menampilkan gesture yang
memikat secara fotografis. "Foto Hatta justru bagus dalam hal isi dan
bukan dari segi estetika," kata Yudhi Soerjoatmodjo, kurator galeri
foto I See. Meski jarang, menurut Yudhi, foto Hatta yang
"bergemuruh" bukan tak ada. "Foto Hatta sedang dikerumuni massa
di Stasiun Jatinegara sangat bagus," katanya. Yang lain hampir
seragam: foto-foto Hatta selalu membutuhkan teks penjelas. Tapi di
sinilah justru kekuatannya. Seperti Hatta yang "dalam" dan
menyimpan magma, foto-foto Hatta menjadi istimewa saat kita
menelusuri sejarah di balik sebuah potret. Seperti sosok Hatta, foto-
foto itu bukan sesuatu yang bisa dilihat sepintas lalu.
54
Berburu PotretBerburu PotretBerburu PotretBerburu Potret
DI manakah foto-foto Bung Hatta tersimpan? Bagaimana kondisinya
sekarang? Begitulah sederet pertanyaan yang terlintas di benak Jaap
Erkelens saat pertama kali menyatakan bersedia ikut terlibat dalam
pembuatan buku Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Buku ini,
selain berisi sekilas tentang sejarah salah satu proklamator Indonesia
itu, juga akan dihiasi foto-foto Hatta. Jaap adalah direktur perwakilan
Indonesia untuk Koniklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde
(KITLV), sebuah lembaga kajian bahasa dan antropologi milik
Kerajaan Belanda. Dia sadar betul, mengumpulkan foto dokumentasi
seorang tokoh bukanlah perkara mudah, apalagi di negara yang
sistem arsipnya tak terlalu bagus seperti Indonesia. Lebih dari itu, tak
banyak orang atau lembaga yang menyimpan koleksi foto Hatta.
Selain keluarganya sendiri tentunya, cuma agen foto Indonesia Press
Photo Service (Ipphos), Yayasan Idayu, dan segelintir orang yang
masih memiliki rekaman gambar semasa Hatta hidup. Itu pun
dengan kualitas koleksi yang beraneka ragam. Ada foto yang masih
terawat baik, tapi lebih banyak yang sudah mengelupas di sana-sini.
Di Ipphos, misalnya, nasib koleksi foto Hatta boleh dikata merana.
saat wartawan TEMPO datang ke sana, dua karyawannya, Ilna dan
Jaja, hanya menyodorkan 15 lembar koleksi foto hitam-putih, tanpa
album ataupun amplop. Foto-foto karya para fotografer Ipphos itu
sudah kumal dimakan jamur. "Ini koleksi tahun 1945 sampai 1980,
saat Bung Hatta meninggal," kata Ilna. Kondisi segepok film negatif
yang disodorkan Jaja sama saja. Selain tak mencantumkan judul
subyek, karena sudah lepas, bundelan yang cuma diikat karet gelang
itu juga sudah lusuh dan berdebu. Jamur-jamur putih kekuningan
memenuhi seluruh permukaan amplop cokelat dan film negatif yang
ada di dalamnya. Gambar di film sudah nyaris tak terlihat lagi.
"Kalau dipaksakan sih masih bisa dicetak," kata Jaja sambil tertawa.
Menurut Jaja dan Ilna, koleksi foto Hatta milik Ipphos tersebar di
berbagai tempat. Statusnya dipinjam atau tidak jelas. "Setiap pegawai
di sini bisa mengeluarkannya dan tak pernah lapor," kata Ilna.
Sebagian koleksi, misalnya, masih dipinjam Kedutaan Polandia
untuk dipamerkan di Bentara Budaya. Sebagian lagi juga masih
"dibon" oleh panitia pameran foto Peringatan 100 Tahun Bung Karno
di Gedung Pola tahun lalu. Nasib koleksi foto Hatta di Yayasan Idayu
sedikit lebih baik. Total ada sepuluh album foto Hatta yang
55
direproduksi dan dikoleksi Idayu. Setiap album berisi sekitar 40 foto.
Semua foto itu dicetak rangkap dua: satu asli, satu cadangan. "Kami
masih punya foto-foto lepas yang jumlahnya ribuan eksemplar," kata
Sakino, 59 tahun, Kepala Bagian Dokumentasi Foto dan Umum di
Idayu, yang juga pernah bekerja di Ipphos selama 15 tahun. Namun,
jangan tanya soal perawatan dan perlakuan terhadap koleksi foto
Hatta pada Sakino. Pria yang sudah 25 tahun berkutat dengan
dokumentasi di Idayu itu butuh waktu beberapa menit sebelum
akhirnya menjawab, "Apa yang bisa kami lakukan selain hanya
menumpuknya di lemari?" Sakino mengaku, Yayasan tak punya
cukup uang untuk merawat koleksi dengan lebih layak. Seluruh
koleksi buku, dokumen, dan foto-foto yang jumlahnya ribuan itu
memang masih tertata rapi. Tapi kesan lusuh, berdebu, dan nyaris
tak terawat jelas terlihat. Begitu pula yang terjadi dengan koleksi foto
Bung Hatta. Amril, pegawai Idayu, menyodorkan sebundel album
bersampul hijau yang sudah kumal. Tali warna kuning pengikatnya
terlihat longgar karena terlalu lama tidak diganti. Ada lebih dari 50
koleksi foto hitam-putih dalam album itu. Beberapa di antaranya
masih terlihat rapi dan terang. Tapi sebagian besar tampak mulai
pudar warnanya atau kekuning-kuningan dimakan usia. Sebagian
lain bahkan tak terhindar dari jamur yang menggerogotinya. Setiap
foto ditempel ke selembar kertas album yang tebal, dan halaman
yang satu dengan halaman berikutnya dipisahkan oleh kertas minyak
putih yang sudah mulai menguning. Sementara foto positifnya
banyak yang rusak, begitu pula koleksi negatifnya. Satu-satunya cara
perawatan yang dilakukan hanyalah memasukkan negatif foto ke
dalam amplop dan menaruhnya di dalam kotak katalog atau lemari.
Puluhan album koleksi foto Hatta itu diletakkan di rak dalam lemari
besi setinggi dua meter dan selebar satu meter lebih. Dua rak di
atasnya berisi deretan koleksi album foto Presiden RI pertama,
Sukarno. Foto-foto Bung Karno, selain lebih banyak, tampak lebih
terawat dan dimasukkan dalam album yang lebih baik kondisinya.
Walhasil, Jaap pun harus kerja keras. Untunglah, kata lelaki berdarah
Belanda yang lahir di Pulau Sumbawa pada 1939 ini, Meutia dan
Halida, dua di antara tiga putri Hatta, sangat ringan tangan
membantu proses pengumpulan kembali foto-foto ayahnya. Mereka
bahkan mau repot-repot menghubungi kerabat, kenalan, dan sumber
lain untuk melengkapi koleksi. "Merekalah yang menghubungi
anggota keluarga besar Hatta seperti keponakan, cucu, dan lain-lain,"
56
kata Jaap. Dalam waktu singkat, sekitar 10 hari, kepingan
dokumentasi yang berserakan itu pun terkumpul lumayan banyak.
Jaap juga memperoleh sumbangan foto dari keluarga Hadi Thayeb,
Ipphos, Yayasan Idayu, juga koleksi KITLV Belanda sendiri. Kondisi
sebagian besar foto itu masih bagus. Ada, memang, sebagian foto
yang sudah berubah warna, lapuk dimakan usia dan terkena sinar
matahari. Tapi, dengan bantuan teknologi, cacat ini bisa diperbaiki.
Jaap bercerita, ia banyak mendapat foto-foto unik yang belum pernah
dipublikasikan siapa pun. Ada satu foto yang menarik. Jaap pertama
kali melihatnya di salah satu ruang di bekas gedung Departemen
Penerangan. saat dia menceritakan tentang foto itu kepada
keluarga Hatta, Meutia pun lantas bergerak. Selidik punya selidik,
rupanya foto itu milik keluarga Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal
TNI Ryamizard Ryacudu. Foto itu diambil saat Hatta berkunjung
ke Aceh dan bertemu dengan Ryacudu (ayah Ryamizard), seorang
tentara yang sedang berdinas di sana. Di dalam foto tampak Hatta
sedang bermain tarik tambang bersama beberapa orang. Sayang,
siapa saja orang-orang yang ada di dalam foto dan di mana lokasinya
tak dikenali. Padahal foto itu penting untuk menjelaskan bahwa
Hatta ternyata tergolong homo ludens, makhluk yang gemar
bermain. Dia tidak seserius yang orang kira. Jaap bercerita, ia juga
pernah mendapat koleksi foto dalam bentuk album dari sebuah pasar
loak di Yogyakarta, tujuh tahun silam. Foto-foto itu menggambarkan
situasi sebuah musyawarah nasional pada 1957. Foto ini menarik
karena, menurut Jaap, dibuat saat hubungan antara Sukarno dan
Hatta sedang tegang-tegangnya. Nah, musyawarah itu digelar untuk
mencairkan ketegangan di antara kedua proklamator itu. "Album
yang menjadi koleksi KITLV itu saya beli sekitar Rp 75 ribu," kata
Jaap. Memilih foto-foto yang layak untuk dimuat dalam buku, kata
Jaap, bukan pekerjaan mudah. Banyak foto yang tak mencantumkan
keterangan menyangkut, misalnya, lokasi pemotretan, siapa saja
yang berpose di sekeliling Hatta, atau tanggal pengambilan.
Kebanyakan foto-foto itu hanya gambar mati tanpa secuil keterangan
apa pun di baliknya. Lebih dari semuanya, Jaap merasa tak puas
dengan hasil kerjanya. Jika saja diberi kesempatan mengerjakannya
sejak awal dulu, Jaap memastikan punya cukup waktu untuk
berkeliling ke sumber-sumber lain, juga lebih banyak foto yang
diperoleh.
57
Yang Berumah di Tepi AirYang Berumah di Tepi AirYang Berumah di Tepi AirYang Berumah di Tepi Air
Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs, Jakarta
GENERASI pendiri republik ini, yaitu para bapak bangsa, dikenal
sebagai orang yang sangat terdidik dan terpelajar. Mereka bisa
disejajarkan dengan kaum terpelajar di negeri lain mana pun pada
masa itu, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Tapi
pembawaan tiap orang telah membuat mereka masing-masing
menghayati keterpelajarannya dengan cara yang khas, yang sedikit
berbeda satu dan yang lainnya. Bung Karno, misalnya, boleh dikata
salah satu orang yang paling banyak dan luas bacaannya pada masa
itu, yang mengikuti perkembangan politik dunia dengan penuh
perhatian dan gairah. Namun yang mencolok pada dirinya adalah
perhatian seorang politisi sejati tanpa minat khusus pada the state of
the art dari perkembangan ilmu pengetahuan masa itu. Sjahrir adalah
tipe intelektual dengan kecenderungan cendekiawan yang barangkali
paling kuat di antara rekan seangkatannya. Seorang intelektual tidak
mencari dan mengumpulkan pengetahuan sebagai tujuan utamanya,
tapi menerjemahkan pengetahuan dan erudisinya menjadi sikap
moral atau visi kebudayaan. Haji Agus Salim, sang poliglot,
mempergunakan pengetahuannya untuk mengajari kader-kader
politiknya di samping memanfaatkan kemahiran bahasa asingnya
yang luar biasa itu untuk keperluan diplomasi. Tan Malaka
barangkali orang yang mengambil peranan sadar sebagai ideolog dan
memakai semua informasi ilmiah untuk memberikan pendasaran
pada ideologinya. Di antara politisi masa itu mungkin dialah seorang
ideolog dengan kemampuan foundationalist yang paling solid. Pada
hemat saya, Hatta tampil secara mengesankan dengan sikap seorang
sarjana, seorang scholar, yang di samping berjuang dan terlibat aktif
secara politik, selalu memberikan perhatian pada perkembangan
ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut
tata cara yang jamak dalam dunia akademis. Di antara para bapak
bangsa itu barangkali hanya dia seorang (dan Tan Malaka, sampai
tingkat tertentu) yang tekun menuliskan buku-buku teks, baik dalam
bidang ekonomi (Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi), sejarah
filsafat (Alam Pikiran Yunani,), maupun filsafat ilmu pengetahuan
(Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan). Selain itu, dia selalu teliti
memberikan sumber dan rujukan untuk gagasan yang
58
diumumkannya dalam tulisan lepas di media massa. Maka seseorang
yang tertarik pada sejarah ilmu pengetahuan akan segera melihat ke
mana Hatta berorientasi pada waktu itu untuk bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang digelutinya. Dalam ilmu ekonomi, dia tidak
banyak terpukau pada ekonomi klasik, tapi pada aliran historis dan
ekonomi politik. Hatta selalu membedakan dengan tegas teori
ekonomi, politik ekonomi, dan orde ekonomi. Gagasan-gagasan
ekonominya lebih berorientasi pada Gustav Schmoller, Werner
Sombart, dan Karl Marx daripada Adam Smith. Ilmu ekonomi dalam
pandangannya bukanlah ilmu yang ahistoris seperti matematika,
melainkan ilmu sosial yang hidup menurut perkembangan zaman,
sehingga buku teksnya memakai judul "ekonomi sosiologi". Dalam
sejarah filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan, orientasi utamanya
adalah pada paham neokantianisme. Nama seperti H. Rickert dan W.
Windelband, tokoh neokantian dari mazhab Heidelberg yang
memberikan perhatian khusus pada sejarah filsafat dan filsafat
sejarah, dan sering menjadi referensi Hatta, dengan mudah menandai
kecenderungan itu. Seterusnya, dalam sosiologi, dia banyak memakai
Max Weber, yang pada waktu itu menegaskan perbedaan hakiki
antara ilmu sosial sebagai ilmu empiris dan sosial-politik sebagai
praktek yang mengutarakan ideal-ideal kewarga an yang harus
dicapai. Ilmu sosial bukanlah alat ideologi, melainkan suatu disiplin
ilmiah yang bertugas melukiskan dan menjelaskan kenyataan
warga . Sjahrir memang pernah menulis bahwa Hatta hampir
tidak punya perhatian pada sastra: "Dalam seluruh perpustakaan H,
misalnya, ada hanya sebuah roman saja, dan tentang itu pun ia
memberikan penjelasan (...) bahwa buku itu dihadiahkan orang
kepadanya. Padahal tak bisa disangkal bahwa ia termasuk puncak
golongan intelektual kita yang dididik di Eropa." Ada kesan di sini
seakan-akan Sjahrir menyesali bahwa Hatta hanya membaca
kepustakaan yang berhubungan dengan bidang studinya, atau surat
kabar, dan paling banter sedikit buku hiburan untuk menghilangkan
ketegangan saraf. Kritik seperti ini mungkin harus dilihat dalam
konteks yang lebih luas. Sebab, Hatta ternyata fasih sekali mengutip
sastrawan dunia seperti Goethe, Schiller, dan Victor Hugo, dan
pastilah tidak hanya membaca di waktu senggang zijn krant en soms
nog wat ontspanningslectuur, sebagaimana dicemaskan Sjahrir.
Kecenderungan kepada ilmu pengetahuan ini menonjol juga pada
diri Sutan Sjahrir, yang dalam sepucuk suratnya menyatakan bahwa
59
dia sebetulnya ingin mendalami studi kebudayaan tapi harus
menjalankan tugas-tugas politik. Namun Sjahrir belum sempat
mewujudkan niatnya itu (misalnya menuliskan sebuah buku yang
utuh tentang kebudayaan) meskipun Indonesische Overpeinzingen
atau Renungan dan Perjuangan merupakan refleksi filsafat
kebudayaan yang amat mendalam dan kritis serta masih terlalu
sedikit dipelajari sampai hari ini. Hatta tidak hanya menyatakan
keinginannya, tapi juga mewujudkannya. Yang menarik dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya (dan juga dalam tulisan politik dan
jurnalistiknya) ialah usaha Hatta untuk membahasakan hampir
semua gagasan ilmiah dan filosofis itu dengan padanan dalam
bahasa Indonesia tanpa menimbulkan kesan kaku atau artifisial.
Dengan tidak ada referensi sebelumnya dalam bahasa ini, dapatlah
dibayangkan betapa sulitnya menjelaskan gagasan filsafat dan ilmu
pengetahuan dengan kosakata bahasa Indonesia. Sampai sekarang
pun tidak banyak ilmuwan yang dapat mengindonesiakan secara
memuaskan konsep ceteris paribus dalam bahasa Latin atau other
things being equal dalam bahasa Inggris. Konsep itu mengatakan
bahwa suatu gejala yang dijelaskan akan muncul lagi kalau syarat-
syarat kemunculannya itu tidak berubah. Tapi pada awal 1950-an
Hatta sudah menulis, "Sebab itu ilmu dalam segala keterangannya
senantiasa mengemukakan syarat: 'kalau yang selainnya tidak
berubah.' Syarat ini biasa disebut dengan perkataan Latin 'ceteris
paribus'. Pendeknya keterangan ilmu sebenarnya begini duduknya
kalau begini jadinya, begitu kelanjutan (akibatnya), asal saja yang
selainnya tidak berubah." Dengan mudah dan ringan dia menjelaskan
metode induksi sebagai "jalan (yang) bermula dengan
mengumpulkan bukti dan daripada bukti-bukti itu dicari
kebulatannya." Sebaliknya, pada metode deduksi "orang bermula
dengan menerima kebenarannya. Kemudian baru diuji kebenarannya
dengan memeriksa keadaannya dalam satu-satunya." Pada titik inilah
kelihatan bagaimana pribadi Hatta sebagai orang yang
mengutamakan disiplin, menghayati ilmu pengetahuan juga
pertama-tama sebagai disiplin, seperti juga dia menghayati organisasi
politik, administrasi, agama, dan tata negara sebagai disiplin.
Seterusnya, disiplin ilmiah baginya menjadi suatu alat atau perkakas
untuk bekerja. Keyakinannya ini sedemikian kuatnya sehingga dapat
memberikan kesan seolah-olah dia seorang penganut
instrumentalisme epistemologis. Dalam paham instrumentalis
60
diandaikan bahwa pengetahuan tidak punya substansi kebenaran,
tapi hanya menjadi "jembatan keledai" yang dapat membawa kita
kepada pengetahuan yang benar. Menurut istilah-istilah Hatta, teori
ilmu pengetahuan tidak lain dari suatu "stenogram (yang) terambil dari
suatu pengalaman" dan "alat untuk mencari kebenaran, bukan kebenaran
itu sendiri." Dalam pandangan saya, pernyataan itu adalah ungkapan
seorang guru yang ingin mencegah sikap dogmatis dalam diri para
muridnya, agar tidak memandang teori ilmu pengetahuan sebagai
doktrin yang harus dipegang teguh tanpa kritik. Teori haruslah
dipandang sebagai peralatan yang dapat dipakai dan harus
diperbaiki terus-menerus. Seandainya benar bahwa Hatta punya
keyakinan instrumentalis yang konsekuen, niscaya dia tidak akan
sibuk mengajarkan teori-teori ekonomi, yang dalam pandangannya
bertugas "memberi keterangan tentang tabiat manusia yang umum
dilakukannya dalam tindakannya menuju kemakmuran." Definisi itu
memang mirip suatu stenogram tentang pengalaman kita mengamati
tingkah laku ekonomi dan jelas mengungkapkan suatu substansi
pengetahuan dan bukan sekadar "jembatan keledai" yang tidak
mengandung suatu pengertian dalam dirinya sendiri tapi hanya
menjadi pengantar ke suatu pengertian lain. Dalam istilah
epistemologi modern, ilmu pada dasarnya bukan hanya merupakan
context of discovery, melainkan sekaligus context of justification. Ilmu
bukan hanya jalan atau cara untuk menemukan, melainkan juga jalan
dan cara untuk memeriksa dan menguji apa yang telah ditemukan.
Hal ini semakin jelas kalau kita melihat sikap Hatta dalam politik.
Bagi dia, politik bukan sekadar cara, strategi, dan taktik, tapi juga
mengandung sesuatu yang harus dapat dibenarkan secara rasional.
Dalam polemik tentang pencalonannya sebagai anggota Tweede
Kamer di Den Haag, Desember 1932, muncul kritik keras dari
Sukarno yang menganggap tindakan itu telah menafikan sikap
nonkoperasi dalam politik Hatta. Menghadapi kritik itu, Hatta
mengemukakan bahwa kata-kata Sukarno memang ibarat magnet
yang dengan mudah menarik siapa pun yang membacanya. Dia
mengakui pula bahwa bakat istimewa Sukarno itu sesuatu yang
berguna dan amat diperlukan dalam menggerakkan orang ke suatu
tujuan politik. Tapi, kalau orang hendak memberikan penerangan
kepada warga , gaya yang menarik itu harus dihadapi dengan
tenang dan diperiksa dengan teliti isinya. saat Sukarno
mengatakan bahwa nonkoperator yang prinsipiil harus menolak
61
bekerja sama dengan semua lembaga yang didirikan oleh pemerintah
kolonial, Hatta menjawab bahwa Tweede Kamer tidak didirikan oleh
pemerintah kolonial, tapi oleh pemerintah Belanda untuk rakyat
Belanda. Siapa yang duduk dalam Tweede Kamer dapat
menjatuhkan pemerintahan yang sah di Belanda, suatu hal yang amat
berlainan dengan Volksraad di Hindia Belanda yang mustahil
menjatuhkan gubernur jenderal. Ilustrasi ini hendak menunjukkan
bahwa Hatta bukanlah seorang instrumentalis, melainkan seseorang
yang percaya kepada sesuatu yang substansial. Pendiriannya tentang
ilmu pengetahuan, keagamaan, dan ketatanegaraan penuh dengan
gagasan substansif yang siap dipertahankannya. Barangkali saja
posisi seperti inilah yang tidak memungkinkannya bertahan lama
dalam pemerintahan, tatkala dia melihat bahwa politik semakin
menjadi taktik dan siasat tapi tidak lagi mempertahankan tujuan
tempat segala siasat harus dikerahkan. "Siapa yang takut dilamun
ombak, jangan berumah di tepi air," begitu dia menulis suatu waktu
tentang orang yang hendak berpolitik tanpa risiko. Sayang bahwa
suatu saat air telah menjadi banjir bandang, sehingga Hatta dengan
perhitungan yang dingin dan hati yang getir mengundurkan diri dari
sana karena yakin tak ada rumah yang dapat tegak di bibir banjir.
62
Dwitunggal dan DwitanggalDwitunggal dan DwitanggalDwitunggal dan DwitanggalDwitunggal dan Dwitanggal
KABAR itu menyengat Hatta dan membuatnya marah besar: Sukarno
memutuskan menikahi Hartini. Ia tak dapat menerima sikap
sahabatnya menduakan Fatmawati dan membuatnya "digantung
tidak bertali". Hatta, kata penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik,
Deliar Noer, memang amat menghormati Fatmawati, tak hanya
sebagai istri Sukarno tapi juga sebagai ibu negara. Begitu marahnya
Hatta kepada Hartini sehingga untuk waktu yang lama Hatta
menolak menemui istri kedua Sukarno itu. Jika pada suatu acara
Hartini hadir, Hatta buru-buru menghindar. Kalau Hartini ada di
ruang VIP, Hatta beralih ke bilik lain. Bertahun-tahun mereka tak
bercakap-cakap, hingga kematian Bung Karno kembali mencairkan
hubungan keduanya. Begitulah Hatta. Berbeda dengan sahabatnya,
yang bak Casanova, Hatta seperti kata Deliar adalah seorang
puritein. Di kalangan teman-temannya, Hatta dikenal tak pernah
menunjukkan ketertarikan pada perempuan. Suatu saat para
sahabatnya di Belanda yang penasaran menjebaknya: mereka
mengatur kencan dengan seorang gadis Polandia yang
"menggetarkan lelaki mana pun". Tentu saja, si gadis telah telah
dipesan agar menggoda Hatta dengan segala cara. Apa yang terjadi?
Malam itu di kafe yang romantis mereka cuma makan malam, lalu
berpisah. saat ditanya kenapa rayuannya gagal total, si gadis
berkata putus asa, "Sama sekali tak mempan. Dia ini pendeta, bukan
laki-laki." Tak cuma soal wanita, dalam banyak hal perbedaan dua
tokoh yang dikenal sebagai Dwitunggal ini memang sejauh bumi dan
langit. Keduanya sering tak sejalur dalam pandangan politik ataupun
cara perjuangan. Menurut sejarawan Ong Hok Ham, ini karena
mereka dibentuk oleh pengalaman yang berbeda. Tak seperti Hatta,
Sukarno tak pernah tinggal lama di luar negeri. Sukarno tumbuh,
beraksi sendiri, tak pernah dikelilingi orang-orang setara. Sedangkan
Hatta, seperti juga Sjahrir, lama mendalami struktur kepartaian di
Belanda dan dikelilingi kawan seperjuangan yang sama inteleknya.
Perbedaan itu, menurut Mavis Rose dalam bukunya Indonesia
Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, telah tampak pada
periode 1920-an. Sukarno dan kelompok studi umum kerap
berseberangan pendapat dengan kelompok eks Perhimpunan
Indonesia Belanda, tempat Hatta terhimpun di dalamnya, terutama
soal konsep pembentukan partai dan keanggotaannya. Sukarno lebih
63
suka cara-cara penggalangan kekuatan massa, sedangkan Hatta-
Sjahrir percaya pendidikan dan kaderisasilah yang harus
diutamakan. Bagaimana mereka memandang persatuan, menurut
John Ingleson (Jalan ke Pengasingan), juga kontras. Hatta tak dapat
menerima pendirian Sukarno bahwa semua pokok pertengkaran
partai harus disingkirkan. Hatta yakin partai-partai nasionalis justru
akan menjadi kuat dengan saling bersaing dalam ide dan program.
Yang diperlukan menurut Hatta bukanlah persatuan organisasi
sebagaimana dikehendaki Sukarno, melainkan persatuan seluruh
kaum nasionalis dalam tekad memaksakan kemerdekaan dari
Belanda. Melalui tulisannya, Persatuan Ditjari, Per-sate-an Jang Ada,
di harian Daulat Ra'jat pada 1932, Hatta mengkritik persatuan model
Sukarno, "Apa yang dikatakan persatuan sebenarnya tak lain dari
per-sate-an. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing disate
jadi satu. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan
mengorbankan asas masing-masing." Kian lama, pertentangan
keduanya kian sulit terjembatani. Dan perpecahan Dwitunggal pun
menjadi kenyataan saat Sukarno menolak mengesahkan Maklumat
X. Ini dekrit yang diteken Hatta pada November 1945 untuk
meletakkan sistem multipartai dan demokrasi parlementer. Ide ini
tak pernah disukai Sukarno, yang berpandangan jumlah partai perlu
dibatasi agar mudah dikendalikan. Pada 1950-an, saat perkelahian
antarpartai mulai menjengkelkan publik, Sukarno mulai menyerang
Hatta secara terbuka, "Terima kasih, Tuhan, bukan Sukarno yang
menandatangani dekrit itu." Puncaknya terjadi pada 1956, saat
Sukarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dan berseru, "Marilah
sekarang kita kubur semua partai." Hatta, yang kecewa, menyerang
balik. Dalam tulisannya, Demokrasi Kita, ia mengecam bahwa
konsepsi Sukarno tak lain sebagai kediktatoran. Perpecahan pun tak
dapat dielakkan. Dwitunggal telah menjadi "Dwitanggal", kata
wartawan Mochtar Lubis. Pada 20 Juli 1956, Hatta melayangkan
sepucuk surat ke Dewan Perwakilan Rakyat. Isinya, "... sesudah DPR
yang dipilih rakyat mulai bekerja dan Konstituante menurut pilihan
rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk
mengundurkan diri sebagai wakil presiden." Tak lagi di orbit
pemerintahan tak menyurutkan kritik Hatta terhadap Sukarno.
Melihat banyak yang kian tak beres dalam pengelolaan negara, Hatta
menggugatnya di forum-forum publik dan lewat tulisannya di koran-
koran. Beberapa di antaranya bahkan sedemikian kerasnya seperti
64
yang berikut ini: "Dalam jangka waktu lama, Indonesia hidup dalam
bayangan feodalisme. Tetapi neofeodalisme Sukarno lebih jahat dan lebih
ganas." Sukarno rupanya tak tahan dikecam. Pada 1960 sejumlah surat
kabar dibredel. Pikiran Rakjat, koran yang konsisten memublikasikan
artikel Hatta, dipaksa tak lagi memuatnya. Majalah Islam Pandji
warga , yang pertama kali memuat Demokrasi Kita, juga
dilarang terbit. Redaksinya bahkan dibui. Khawatir kritiknya di
muka umum menyusahkan orang lain, Hatta mencari jalan lain: ia
menyampaikan pandangannya melalui surat pribadi. Dengan kalimat
lugas, seperti dicatat Mochtar Lubis, Hatta melontarkan kritiknya
langsung menuju pokok sasaran. Ini dilakukan pada kurun 1957-
1965, sebuah masa saat Sukarno telah memusatkan semua
kekuasaan ke tangannya sendiri sebagai presiden seumur hidup:
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Petani Agung, Nelayan Agung,
dan banyak lainnya. Salah satunya, dalam surat tanggal 12 September
1957, dengan tegas Hatta mengingatkan Sukarno akan niatnya
memakai tangan besi mengatasi pergolakan di daerah: "Bung
Karno, ... seterusnya terpikir oleh saya, apakah Saudara ingin
mengadakan suatu diktatur militer ... Dan yakinkah Saudara bahwa
diktatur semacam itu dapat meliputi seluruh Indonesia yang terbagi-
bagi atas sekian banyak pulau? Berhubung dengan itu saya sebagai
seorang saudara memperingatkan bahwa Saudara dengan cita-cita
semacam itu berada dalam jalan yang berbahaya yang akhirnya
merugikan kepada Saudara sendiri." Sukarno jelas menyimpan segan
terhadap Hatta. Dalam tanggapannya terhadap surat Hatta, ia
hampir tak pernah membantah. Paling banter, Bung Karno
mengucapkan terima kasih atau sesekali menanyakan kapan mereka
bisa bertemu untuk membahasnya. Di luar segala perbedaan tajam
itu, Rose mencatat Hatta dan Sukarno sebagai sahabat tak
terpisahkan. Suatu hari di tahun 1970, putra sulung Sukarno, Guntur,
kebingungan mencari wali nikah karena sang ayah tak dapat
menghadiri perkawinannya. Tanpa ragu Bung Karno menyebut
nama Hatta. Kaget mendengarnya, Guntur bertanya, "Bapak yakin Pak
Hatta mau?" Hatta, kata Sukarno, bisa mencaci-maki dirinya tentang
pelbagai kebijakan politik, tapi dalam kehidupan pribadi mereka
terikat persaudaraan selama perjuangan kemerdekaan. Mereka
seperti saudara kandung. Sukarno benar. Begitu diminta, Hatta
langsung menyatakan kesediaannya. Pertemanan keduanya bahkan
langgeng sampai ajal menjemput Sukarno. Bulan Juni 1970, Bung
65
Karno yang sakit parah diopname di rumah sakit tentara. Merasa
sahabatnya tak tertolong lagi, Hatta minta izin membesuk. Dan itulah
pertemuan terakhir mereka. Jumat, 19 Juni 1970, tiba-tiba mata di
wajah Sukarno yang bengkak dan pucat terbuka. "Hatta, kamu di
sini," katanya terkejut. Meutia, anak Hatta, ingat bahwa ayahnya lalu
menyalami orang yang selalu dikritiknya itu dengan hangat, "Ah, apa
kabarmu, No?" Hatta duduk diam, menggenggam tangan sahabatnya.
Air mata berlelehan di pipi Sukarno. Tangannya mencari-cari
kacamata agar bisa melihat Hatta lebih jelas. Meutia mengenang,
"Meskipun tak ada pembicaraan lebih lanjut, seolah-olah keduanya
saling berbicara melalui hati masing-masing, seakan-akan keduanya
mengingat jatuh-bangun mereka dalam perjuangan bersama di masa
lampau. Mungkin saling meminta maaf." saat tiba saatnya
berpisah, Hatta sulit melepaskan tangan Bung Karno. Dua hari
kemudian, Sukarno meninggal dunia.
66
Perhelatan Perhelatan Perhelatan Perhelatan Sederhana untuk Si BungSederhana untuk Si BungSederhana untuk Si BungSederhana untuk Si Bung
RUMAH panggung berlantai dua di jantung Kota Bukit Tinggi itu tak
mengenal hari libur. Tiap hari, sejak pintu kayunya dibuka hingga jarum
jam menunjuk ke angka empat di sore hari, saat Susilo, penjaganya,
merapatkan pintu, ada saja pengunjung yang ingin menjenguk isinya.
Tak banyak memang. "Sekitar 500 orang tiap bulannya," ujar Nyonya
Susilo. Jumlah tamu tak pernah beranjak jauh dari angka itu, sejak
replika rumah ini dibangun tujuh tahun silam, hingga sekarang,
saat bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya penghuni rumah
ini , negarawan Mohammad Hatta. Mungkin karena lokasinya yang
tenggelam di antara deretan bangunan toko baru yang kukuh dan
mentereng? Atau barangkali disebabkan oleh tak adanya riasan untuk
mempercantik rumah yang dinding sampingnya terbuat dari anyaman
bambu itu? Bisa jadi. Tapi, bila Hatta masih hidup, ia tentu amat setuju
dengan tindakan panitia peringatan satu abad Bung Hatta yang
membiarkan rumah itu polos tanpa diberi gincu. Peringatan satu abad
Bung Hatta yang mengambil tema "Santun, Jujur, Hemat" ini amat selaras
dengan sifat tokoh ini . Tidak ada hura-hura. Sayangnya, begitu
"patuh"-nya panitia pada aspek hemat tadi, acara besar itu jadi kurang
tersosialisasi. saat memutar mata di kota sejuk Bukit Tinggi awal Juli
lalu, misalnya, wartawan TEMPO tak menangkap kegairahan penduduk
untuk berpartisipasi dalam perhelatan besar guna memper-ingati
seorang warganya yang dilahirkan 12 Agustus seabad lalu. Kehidupan
berjalan seperti biasa. Hanya ada beberapa helai spanduk putih di
kantor-kantor pemerintahan yang mencoba mengingatkannya. Tulisan
di dalamnya tak memberikan informasi apa-apa: "Seabad Bung Hatta:
Arif, Hemat, Santun, dan Sederhana." Namun Nurhayati Natsir, panitia
lokal di Bukit Tinggi, menjamin keadaan kota ini akan semarak
menjelang puncak acara, 10 Agustus. Beberapa ke-giatan sudah
dirancang akan dilakukan di kota ini. Salah satunya napak tilas ke
makam ayahanda Bung Hatta di Batu Hampar, 90 kilometer di luar Kota
Bukit Tinggi-suatu kegiatan yang kerap dilakukan Hatta kecil untuk
mengenang ayahnya, yang hanya dikenalnya selama 8 bulan.
Rencananya, Wakil Presiden Hamzah Haz akan hadir dalam acara ini.
Puncaknya adalah peringatan seabad Bung Hatta yang dipusatkan di
Istana Bung Hatta dengan menggelar opera tentang perjalanan hidup
sang proklamator. Acara di Bukit Tinggi dan di Jakarta, tanggal 12
Agustus, adalah puncak dari rangkaian kegiatan Peringatan Seabad
67
Bung Hatta yang telah dicanangkan oleh Panitia Pelaksana Peringatan
Seabad Bung Hatta setahun lalu. Rangkaian kegiatan lainnya cukup
beragam. Seminar, misalnya, dibuat berseri setiap tanggal 12 sejak April
lalu di tujuh perguruan tinggi. Selain itu, menurut koordinator harian
panitia, Indra Abidin, ada sarasehan, pameran, penayangan iklan
layanan warga , konferensi nasional, pembuatan situs Bung Hatta,
lomba karya tulis, penerbitan kartu telepon, pemilihan perusahaan
teladan, dan festival budaya. Kegiatan lainnya adalah penerbitan buku
yang berisi pemikiran Bung Hatta di era sebelum kemerdekaan yang
dianggap masih relevan di masa kini. Salah satunya pengumpulan
tulisan Bung Hatta dalam majalah Daulah Rakjat selama tahun 1931-
1934 dan penerbitan buku agenda yang berisi kata-kata bijak Bung
Hatta. Kelihatannya ini sebuah perhelatan raksasa. Dana yang
dibutuhkan, menurut salah seorang panitia pelaksana, Dradjat
Natanagara, mencapai sekitar Rp 7 miliar, yang sebagian besar berasal
dari dana sponsor beberapa perusahaan, BUMN, dan sedikit donatur.
Namun, hingga akhir Juli lalu, dana yang terkumpul baru sekitar Rp 1,2
miliar. Apa boleh buat, the show must go on. Alhasil, untuk beberapa
kegiatan, panitia harus rela merogoh kantong sendiri, misalnya dalam
penerbitan agenda, buku, spanduk, dan umbul-umbul. "Memang
jadinya tidak gegap-gempita, tapi yang penting kan pesan kami sampai
ke warga ," ujar Dradjat. Menurut Meutia Farida Swasono, anak
sulung Bung Hatta, perhelatan seabad ayahnya ini memang lebih
ditujukan untuk memperkenalkan kembali sosok dan pemikiran Bung
Hatta yang selama ini sudah banyak dilupakan orang. Padahal, menurut
dia, pemikiran Bung Hatta dipenuhi ide yang telah jauh me-lewati
waktu. "Enam puluh tahun yang lalu dia sudah berbicara soal
lingkungan, globalisasi, dan kemerdekaan negara-negara di Asia
Pasifik," katanya. Upaya memperkenalkan kembali sosok Bung Hatta itu
juga dilakukan PT Pos Indonesia. Seperti saat peringatan seabad Bung
Karno tahun lalu, tahun ini mereka menerbitkan prangko edisi seabad
Bung Hatta. Persiapannya lumayan matang karena telah dilakukan sejak
dua tahun lalu. Kata Dadan Rusdiana, Asisten Manajer Divisi Bisnis
Filateli PT Pos Indonesia, tepat pada tanggal 12 Agustus pihaknya
meluncurkan empat macam prangko serial Bung Hatta yang dicetak
masing-masing sebanyak 1 juta lembar, ditambah lagi satu souvenir
sheet yang berbentuk prangko plus foto Bung Hatta. Keempat macam
prangko itu, ujarnya, mengisahkan kembali perjalanan hidup Bung
Hatta, yaitu saat dia remaja, kuliah, di masa perjuangan kolonial, dan
masa kemerdekaan. "Sebenarnya kami ingin menampilkan masa kanak-
68
kanaknya, tapi kami kesulitan mendapatkan fotonya," ujar Dadan
kepada E.K. Dewanto dari Tempo News Room. Bank Indonesia
melakukan aktivitas serupa. Sebanyak 2.000 keping uang emas dan
perak bertajuk "Peringatan Satu Abad Bung Hatta" akan diluncurkan.
Sayang, koin khusus ini tak punya corak yang khas. Desainnya hampir
tak berbeda dengan uang koin kebanyakan. Gambar Garuda Pancasila
ada di bagian muka dan di bagian belakang diletakkan gambar Bung
Hatta plus tulisan "Satu Abad Bung Hatta (1902-2002)". Menurut Deputi
Direktur Pengedaran Uang Bank Indonesia, Lucky Fathul A.H., koin
khusus ini akan diluncurkan bertepatan dengan hari seratus tahun Bung
Hatta dan akan dijual ke warga dengan harga yang berbeda. Koin
emas, yang terbuat dari bahan emas 24 karat dengan kadar 0,99 persen,
dijual seharga Rp 3 juta, sedangkan yang terbuat dari perak dibanderoli
harga Rp 750 ribu-sebuah harga yang mahal untuk memperkenalkan
sosok tokoh yang sederhana ini. Upaya pengenalan Bung Hatta yang
lebih efisien dan terjangkau warga adalah yang dilakukan dua
stasiun televisi nasional, Metro TV dan SCTV. Kedua stasiun ini tengah
m