perjanjian westphalia

 



perjanjian westphalia

Perjanjian Westphalia membawa banyak sekali perubahan khusunya dalam 

mengubah bentuk negara modern seperti tumbuhnya representative government, 

terjadinya revolusi industry, terjadinya perkembangan hukum internasional yang 

signifikan, terjadinya perkembangan metode-metode diplomasi, terjadinya saling

ketergantungan dan kolerasi antara Negara-bangsa baik di bidang; ekonomi, politik, 

budaya, dan sebagainya., dan serta timbulnya prosedur untuk menyelesaikan konflik 

secara damai. Yang mana perjanjian Westphalia ini telah mengubah struktur hirarki 

warga   yang pada awalnya mereka tunduk dan patuh terhadap segala jenis otonom 

dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kerajaan dan gereja, menuju warga   yang lebih 

berdaulat dan memahami makna the difine right dan asas kebijakan dan hak personal 

seseorang maupun negara dalam mengambil kebijakan.

Selain itu, Perjanjian Westphalia juga meletakkan dasar bagi susunan warga   

internasional yang baru. Baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara 

nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat negara 

itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari 

pengaruh gereja. Sejak saat itu mulai bermunculan negara yang berpemerintahan 

demokratis. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam 

Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional, karena 

menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional.

Perjanjian Westphalia yang ditandatangani pada tahun 1648 membuka sejarah 

baru bagi konstelasi politik di Benua Eropa dan bahkan dunia. berdasar  hasil 

kesepakatan Westphalia, konsep tentang kedaulatan negara-bangsa (nation-state) dan 

pelembagaan kekuatan militer dan diplomasi disepakati bersama oleh para penguasa di 

Eropa melalui sebuah konsensus. Sumbangan pemikiran dan hasil kesepakatan 

Westphalia bagi sistem pemerintahan modern negara-negara di dunia masih relevan dan 

terus berkembang hingga saat ini, yaitu bahwa para penguasa atau kedaulatan yang sah 

tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki kedudukan yang sama secara 

internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah sama yang mereka miliki.Berangkat dari terbentuknya legalitas kedaulatan Negara modern dan 

institusionalisasi perangkat sistemik negara modern itu, dalam perkembangannya negara 

(pemerintah) sebagai pemegang mandat dari kedaulatan rakyatnya dan satu kesatuan 

entitas politik memiliki hak-hak istimewa atas kodifikasi Undang-Undang dalam

negerinya, pemakaian  kekerasan untuk menegakkan hukum yang telah ditetapkannya, 

dan pemakaian  kekuatan militer untuk melindungi segenap tumpah darahnya, maupun 

untuk tujuan menjalankan politik luar negerinya. (Diah Ayu Pratiwi, Isu Global Warming 

dan Sikap Dunia Internasional, hal. 1-2)

Sejak kelahiran negara modern (modern state) pada abad keenam belas dan ke￾tujuh belas di Eropa, kedaulatan negara terus-menerus diperteguh. Perjanjian Westphalia 

pada 1648 menandai otonomi negara-negara atas “negara induk” Imperium Romawi. Saat 

itulah negara-negara modern yang berdaulat mulai terbentuk. Puncak dari narasi historis 

kedaulatan negara ini  yaitu    pada penyelenggaraan Konferensi Internasional 

Ketujuh Negara-negara Amerika di Montevideo, Uruguay. Dalam konferensi 

internasional yang digelar pada 26 Desember 1933 itu, negara-negara peserta 

merumuskan dokumen hukum yang masyhur sebagai Konvensi Montevideo (Convention 

on Rights and Duties of States, 1933). Konvensi ini  mengatur beberapa  unsur yang 

mesti dimiliki oleh negara berdaulat, yakni (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah yang 

berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara￾negara lain. (AP Edi Atmaja, Kedaulatan Negara Di Ruang Maya: Kritik UU ITE Dalam 

Pemikiran Satipto Rahardjo, hal. 49-50)

Setelah munculnya perjanjian Westphalia, susunan warga   internasional yang 

baru didasarkan atas negara-negara nasional dan tidak lagi berdasar  pada kerajaan￾kerajaan, imperium, dan gereja. Selain itu susunan warga   internasional juga 

didasarkan pada hakikat negara ini  bersama dengan pemerintahnya, yakni 

memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Pelbagai 

perubahan dalam system hubungan internasional pasca-Westphalia diantaranya 

tumbuhnya representative government, terjadinya revolusi industri, terjadinya 

perkembangan dalam hukum internasional, berkembangnya metode-metode diplomasi di 

samping strategi militer, tumbuhnya saling ketergantungan antar negara bangsa (nation 

state) di bidang ekonomi, dan lahirnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai. Singkatanya, perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar bagi bentuk dan 

hakikat ini  dalam susunan warga   internasional yang baru.

Tulisan ini bertujuan untuk menganilisa dan mengidentifikasi bagaimana 

pengaruh perjanjian Westphalia terhadap terbentuknya politik internasional saat ini dan 

model bernegara pasca perjanjian Westphalia.


A. Negara

Secara Teoretis, ada beberapa hal penting yang dapat disebutkan untuk 

menjelaskan batasan pengertian mengenai negara.dengan menggunakan pandangan Max 

Weber sebagai titik tolaknya. Penulis ingin menekankan bahwa negara bukan hanya 

sekedar pemerintah. Ia merupakan sebuah peraturan yang berkesinambungan, sistem 

hukum, birokrasi, dan juga punya kewenangan untuk memaksa (coercive) yang mencoba 

tidak hanya mengatur hubungan antara warga   dengan otoritas publik dalam suatu 

warga   politik, melainkan juga untuk mengelola hubungan yang rumit di dalam 

warga   itu sendiri. Dengan demikian, negara harus memiliki beberapa unsur berikut:

(Alfred Stepan dalam Quo Vadis Politik Indonesia, hal. 6)

1. Negara didukung oleh adanya tertib hukum dan administrasi yang perubahannya 

ditentukan oleh aturan perundangan (Legislasi), bukan kehendak pribadi sang 

pemimpin dan apa lagi para “pembisiknya”

2. Sistem yang dimaksud mempunya kemampuan mengikat (binding authority) 

bukan hanya terhadap anggota negara dan warga   umum yang memperoleh 

kewarganegaraannya atas dasar kelahiran, melainkan juga terhadap semua 

tindakan yang berlangsung di dalam wilayah hukumnya

3. Negara mempunyai keabsahan untuk menggunakan kekuatan di dalam 

wilayahnya. Artinya ia harus mampu melakukan dominasi dan pengawasan. Di 

satu pihak, tindakan negara mencerminkan kehendak warga  . Di pihak lain, 

tidak menutup kemungkinan pada saat tertentu, negara memaksakan kehendaknya 

terhadap warga  

4. Apa yang disebut sebagai negara sebenarnya bukanlah entitas yang tunggal 

(monolithic). Dalam negara terdapat berbagai macam unsur, yang terdiri dari eksekutif, pegawai pemerintah (birokrat), lembaga peradilan, dan aparat pemaksa 

(coercive apparathus)

B. Kedaulatan Negara

Kedaulatan negara merupakan kekuasaan mutlak atau kekuasaan tertinggi untuk 

penduduk dan wilayah negara ini . Kekuasaan penuh dan tertinggi untuk mengatur 

sistem pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan negara lain. Kedaulatan ini biasanya 

mempunyai ciri khusus suatu negara yang akan menjadi poin penting bagi suatu negara. 

Menurut Jean Bodin (1530-1595), Kedaulatan mempunya sifat-sifat pokok antara lain 

(Jean Bodin dalam Islam Moderat dan isu-isu Kontemporer. Hal. 38): 

1. Original, artinya kekuasaan negara tidak berasal dari negara lain

2. Permanen, artinya kekuasaan negara tetap berjalan selama negara ini  

masih berdiri

3. Tunggal, artinya kekuasaan negara menjadi satu-satunya yang tertinggi

4. Absolut, artinya kekuasaan negara tidak dibatasi oleh kekuasaan lain di negara 

ini 


A. Sejarah 30 Tahun Perang Eropa dan Penandatangan Perjanjian Westphalia

Eropa Pertengahan yaitu    benua dimana peperangan silih berganti pecah, baik itu 

di dalam maupun di luar negeri/kerajaan. Peperangan di abad ke-16 dan 17 ini diwarnai 

beragam isu dan motif perang. Masing-masing kerajaan memiliki motifnya sendiri: ada 

yang bermotifkan relijius, yaitu untuk memperjuangkan agamanya sembari 

menghancurkan agama lainnya; Beberapa berjuang demi otonomi politik kerajaannya; 

yang lain demi ekspansi teritori politik. Satu hal yang pasti, peperangan di abad ini 

merupakan peperangan bersejarah yang hasilnya akan mengubah politik Eropa ke depan, 

yaitu munculnya sistem internasional berbasis negara berdaulat. Setidaknya ada dua 

perjanjian yang menjadi poin penting untuk diperhatikan, yaitu Perjanjian Relijius 

Augsburg 1555 dan Perjanjian Westphalia 1648. Kedua perjanjian inilah yang 

mengakselerasi pelemahan Gereja dan Kekaisaran Agung Romawi, dan memberi jalan 

bagi gagasan negara-berdaulat modern. 

Perjanjian Augsburg mengakhiri peperangan ratusan tahun antara Penguasa dari 

dinasti Habsburg Austria dan dari dinasti Valois, Kerajaan Perancis. Perang ini  biasa 

disebut sebagai perang Habsburg-Valois. Perang ini berawal dari pernikahan Pangeran 

Maximilian I dari Habsburg, yang merupakan salah satu dinasti di Kekaisaran Agung 

Romawi, dengan Mary dari Burgundi, dinasti yang amat kaya dan kuat di Kerajaan 

Perancis. Merasa dilangkahi teritorinya, Raja Perancis Louis XI dari dinasti Valois, geram 

dan mendesak Maximilian untuk mengakui Burgundi sebagai teritorinya. Louis terus 

menyerang teritori Burgundi sampai Maximilian akhirnya terpaksa mengakui bahwa 

Burgundi yaitu    termasuk wilayah Perancis. Pengakuan ini termaktub dalam Perjanjian 

Arras (1482). 

Namun demikian, perjanjian ini bukanlah akhir dari pertikaian akibat ketidak￾jelasan otoritas kekuasaan atas Burgundi. Malahan, pernikahan Maximilian-Mary ini 

merupakan awal dari perang hebat di Eropa yang berlangsung selama kurang lebih dua 

abad kemudian. Philip, putra Maximilian dan Mary, dinikahkan dengan Joanna dari 

Castile, putri dari Ferdinand dan Isabela dari Spanyol. Keduanya dianugerahi anak yang dinamai Charles V. Charles menerima warisan teritori yang amat luas—Burgundi, 

Austria, dan daerah kekuasaan Spanyol di Amerika Tengah dan beberapa kerajaan di 

Italia. Dengan modal sebesar ini, Charles merasa mendapat panggilan untuk menyatukan 

kembali kejayaan Kristendom di bawah Kekaisaran Agung Romawi. 

Namun demikian hal ini tidak lantas berarti bahwa Charles akan dengan mudah 

menyatukan Kekaisaran. Perpecahan di dalam Kekaisaran diperparah dengan munculnya 

isu agama sebagai tema konflik, yaitu isu Protestanisme. Sebagaimana diketahui, Eropa 

Abad Pertengahan akhir ditandai oleh Reformasi Gereja dan munculnya Protestanisme. 

Kemunculan ini tidak mendapat sambutan di kalangan Katolik. Pandangan sama juga 

ditujukan pada Calvinis; kehadirannya dianggap merusak tatanan awal yang Katolik. 

Pandangan ini yaitu    pandangan Charles V sang Kaisar saat ia meredam perlawanan raja￾raja Jermannya yang beragama Protestan. 

Serial perang saudara ini berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Augsburg 

1555 yang mendeklarasikan hukum cuius regio euius religio (whose the region, his the 

religion) yang mengizinkan setiap raja menentukan agama apa yang akan dianut oleh 

kerajaannya, tanpa campur tangan dari Kekaisaran. Akibatnya, banyak raja-raja di bagian 

Utara dan Tengah Jerman menjadi Lutheran, sementara mayoritas raja-raja di Selatan 

tetap memeluk Katolik.Namun demikian, perjanjian ini  tidak menjamin Kekaisaran 

bebas dari konflik relijius berikutnya. Perjanjian Augsburg hanya mengakui dua agama—

Katolik dan Protestan Lutheran—sementara perkembangan Calvinis Reformed di 

Kekaisaran semakin meningkat. Mulai marak Calvinis yang dengan semangat militannya 

mengkonversi raja-raja di Jerman, dan dengan demikian tidak mengindahkan perjanjian 

Augsburg. Menanggapi hal ini, Kaisar Romawi Agung yang baru, Rudolf II 

memberlakukan kembali pembatasan kehidupan beragama. Perjanjian Augsburg 

diabaikan. Sampai sekitar awal abad ke-17, telah terbentuk dua blok relijius dalam 

Kekaisaran: Uni Evangelis (Evangelical Union) yang merupakan aliansi kaum Protestan 

pada 1608, dan Liga Katolik (Catholic League) yang merupakan aliansi kaum Katolik 

pada 1609; masing-masing memperlengkapi dirinya dengan persenjataan untuk berjaga￾jaga akan perang yang mungkin timbul. 

Persiapan kedua blok ternyata tidak sia-sia. Kali ini peperangan dipicu kembali 

oleh dinasti Habsburg. Saat Charles V melepaskan jabatan Kekaisarannya, ia membagi 

wilayah kekuasaanya di Spanyol dan di Eropa Tengah kepada kedua anaknya: Philip Imendapat Spanyol, dan Ferdinand I mendapat wilayah di Eropa Tengah (mencakup 

Austria, Bohemia dan Hungaria). yaitu    cucu dari Ferdinand I, yang juga bernama 

Ferdinand (dari Styria), yang saat terpilih sebagai raja Bohemia menjalankan kebijakan 

diskriminasi agama. Ferdinand bahkan menutup beberapa gereja Protestan. Hal ini tentu 

membuat para bangsawan Protestan di Bohemia mengamuk. Pada 23 Mei 1618, peristiwa 

bersejarah terjadi. Dua orang Protestan mendatangi istana Ferdinand, dan melempar dua 

orang pegawai kerajaan ke luar jendela istana. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai 

“pelemparan di Praha” (the defenestration of Prague), sekaligus menandai dimulainya 

Perang Tiga Puluh Tahun.

B. Perang Tiga Puluh Tahun 

Secara umum, perang ini terdiri dari empat fase. Fase pertama yaitu    fase 

Bohemia (1618-1625) yang ditandai dengan perang saudara di wilayah Bohemia. Perang 

ini membenturkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand melawan Uni Evangelis 

yang dipimpin Pangeran Frederick dari Palatine. Ferdinand diberhentikan dari jabatan 

rajanya oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai gantinya, Frederick diangkat 

menjadi Raja Bohemia pada 1618. Naiknya Ferdinand sebagai Kaisar Romawi Agung 

pada 1620, menambah kekuatan Ferdinand untuk benar-benar menghapuskan 

protestanisme dari Bohemia. Fase kedua yaitu    fase Denmark (1625-1629), yaitu saat 

Raja Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum protestan. Sayang, jenderal 

perang Katolik Albert dari Wallenstein terlalu kuat bagi Christian sehingga Bohemia 

harus menyaksikan kekalahan protestan kembali. Selama dua fase ini, sekitar 10 tahun, 

Bohemia berhasil sepenuhnya dikatolikkan oleh Ferdinand. 

Fase-fase berikutnya, angin bertiup ke arah Protestan. Kedatangan Raja Swedia 

Gustavus Adolphus di tanah Jerman menandai fase ketiga, fase Swedia. Dengan 

membawa Denmark (lagi), Polandia, Finlandia dan beberapa negara kecil di Baltik, Raja 

Gustavus datang untuk membantu Protestan, atau lebih khususnya saudaranya, yaitu 

Duke Mecklenburg yang sedang diasingkan. Fase ini juga menyaksikan keterlibatan 

Perancis, melalui perdana menteri Cardinal Richelieu, dalam membantu Swedia secara 

finansial. Gustavus berhasil memukul Katolik di Breitenfield dan Lützen masing-masing 

pada 1631 dan 1632. Namun Gustavus ternyata harus tewas pada pertempuran di Nördlingen pada 1634, yang akhirnya membuat Perancis tidak tahan untuk segera campur

tangan untuk membela Protestan—atau lebih tepatnya melawan Habsburg. 

Masuknya Perancis ini menandai fase keempat Perang ini (1635-1648). Masuknya 

Perancis ini sekaligus juga menandai “internasionalisasi” Perang Tiga Puluh Tahun, yaitu 

dengan bergabungnya Belanda (sebagai balas budi saat berperang melawan Spanyol, 

1622), Skotlandia, dan beberapa  tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja Potestan 

Jerman. Perang pada fase ini berlangsung lama, bahkan bisa dibilang stalemate dimana 

tidak ada pihak yang memenangkan peperangan. Keterbatasan logistik dari kedua belah 

pihak yaitu    penyebabnya. Situasi stalemate (imbang) membuat para raja/ratu tidak 

memiliki pilihan lain selain duduk bersama dan memikirkan perjanjian damai untuk 

menghentikan perang. Perang telah menghancurkan perekonomian masing-masing pihak, 

sehingga perdamaian menjadi kepentingan bersama yang mendesak untuk dipenuhi 

(setidaknya untuk sementara waktu). Perang ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian 

Damai Westphalia, dengan dua traktat utamanya: Traktat Münster yang mendamaikan 

antara Perancis (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Romawi Agung, dan Traktat 

Osnabrück yang mendamaikan Swedia (dan sekutunya) dengan Kekaisaran Romawi 

Agung.

Bukan hanya sekedar mendamaikan pihak-pihak yang berperang pada perang tiga 

puluh tahun, perjanjian Westphalia juga memiliki arti yang sangat penting khususnya 

dalam sejarah eropa dan hingga akhirnya pada konstelasi dunia global. Arti penting nya 

ialah perjanjian ini menandai berakhirnya proyek-proyek ideal kas atau bercirikan abad 

pertengahan.. Dimana proyek ini  dapat diakatakn sebagai suatu proyek untuk 

menyatukan Eropa di bawah seorang penguasa tunggal, yaitu Kaisar Romawi Agung di 

satu sisi, dan Gereja Katolik di sisi lainnya. Sejarah menyaksikan bagaimana jatuh bangun 

kaisar-kaisar Romawi Agung semenjak Charlemagne, Frederick Barbarossa sampai 

Ferdinand berusaha menyatukan Eropa di bawah kekuasaan tunggalnya. Bahkan Gereja 

pun ingin dikuasainya. (Hiskia Yosias Simon Polimpung, Psikogeneologi Negara 

Berdaulat Modern-Objek Sublim Kedaulatan, h. 135-139)

Dapat dikatakan, Reformasi Protestan yang menentang otoritas Katolik dapat 

dilihat hal ini  menimbulkan konflik yang sangat serius, yakni hingga pecahnya 

perang Tiga Puluh Tahun (Thirty Years War) 1618-1648 yang terjadi di Eropa Tengah, 

yang dikenal sebagai perang terlama dan konflik paling destruktif dalam sejarah Eropa. Secara singkatnya perang ini dipicu oleh pertentangan antara negara- negara katolik dan 

protestan, namun secara bertahap berkembang menjadi konflik yang melibatkan sebagian 

besar kekuatan besar di Eropa. Perang yang semula bermotif agama akhirnya meluas 

menjadi persaingan kekuatan besar di eropa (khususnya Prancis dan Habsburg) untuk 

menjadi hegemoni di kawasan ini . Namun yang lebih penting dari itu, thirty years 

war telah mengilhami lahirnya negara modern dan system hubungan internasional 

kontemporer yang masih berlangsung dan digunakan hingga saat ini.

C. Isi Perjanjian Westphalia

Perjanjian Damai Westphalia terdiri dari dua perjanjian yang ditandatangani di 

dua kota di wilayah Westphalia, yaitu di Osnabrück (15 Mei 1648) dan di Münster (24 

Oktober 1648). Kedua perjanjian ini mengakhiri Perang 30 Tahun (1618-1648) yang 

berlangsung di Kekaisaran Romawi Suci dan Perang 80 Tahun (1568-1648) antara 

Spanyol dan Belanda. Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam 

sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa Hukum 

Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Sebabnya yaitu   : 

1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan 

perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa; 

2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi 

yang suci; 

3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan 

dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing; dan 

4. Kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui 

dalam Perjanjian Westphalia.

Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan warga   Internasional 

yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas Negara-negara nasional (tidak 

lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat negara itu dan 

pemerintahannya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh 

gereja. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam 

Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik Internasional, karena 

menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional. Rumusan 

perjanjian Westphalia yang terpenting yaitu    pengakuan atas wilayah-wilayah yang semula dalam bentuk kerajaan menjadi negara nasional yang modern dan memiliki 

kedaulatan serta garis perbatasan yang jelas. Menurut ketentuan perjanjian damai 

ini , beberapa  negara dikonfirmasi kedaulatan mereka atas wilayah. Mereka 

diberdayakan untuk boleh membuat kontrak perjanjian dengan negra satu sama lain dan 

dengan kekuatan asing. Perjanjian damai yaitu    titik balik dalam saling pengakuan hak￾hak kedaulatan. Ini mengakhiri otoritas kekaisaran Katolik dan digantikan oleh 

kedaulatan negara nasional. Konsekuensi yang muncul dikemudian hari yaitu    perubahan 

sistem dunia yang menciptakan tatanan global berdasar  pada ”Sistem Negara” ( Ismail 

Suardi Wekke dan Suyatno, Perdebatan dalam wacana Agama dan Negara: 

Pemerintahan Islam di Malaysia, hal.5)

Adapun karakter dari warga   Internasional yaitu   :

1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat;

2. Hubungan nasional didasarkan atas kemerdekaan dan persamaan derajat; 

3. warga   negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti 

seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai Kepala Gereja;

4. Hubungan antar negara berdasar  atas hukum yang banyak mengambil alih 

pengertian lembaga Hukum Perdata, Hukum Romawi; 

5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur 

hubungan antar negara namun  menekankan peranan yang besar yang dimainkan 

negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini; 

6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk 

memaksakan ditaatinya ketentuan hukum Internasional; dan 

7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih 

dari anggapan mengenai doktrin bellum justum (ajaran perang suci) ke arah ajaran 

yang menganggap perang sebagai salah satu cara pemakaian  kekerasan. (Syahrul 

Salam, Adi Rio Arianto, Rizky Hikmawan, Pemikiran Bela Negara dan 

Hubungan Internasional: Pergeseran Peran Negara dan Implikasinya Terhadap 

Perkembangan Sudut Pandang Studi Ilmu Hubungan Internasional, hal 151-152)

D. Pengaruh Perjanjian Westphalia Terhadap Model warga   Modern, dari 

otoritas Gereja ke Negara BerdaulatMenurut Robert M. Maclver, negara yaitu    asosiasi yang menyelenggarakan 

penertiban warga   dalam suatu wilayah dengan berdasar  sistem hukum yang 

diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud ini  diberi kekuasaan 

memaksa (The State is an association which, acting through law as pormulgated by a 

goverment endowed to this end with ceorcive power, mantain within a community 

territorially demarcated the universal external conditions of social order) (R.M. Maclver

dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 49)

Masalah utama dalam mempelajari asal-usul kedaulatan yaitu    penguasa mana 

pun cenderung mengklaim otoritas tunggal untuk membuat keputusan di wilayahnya, 

mereka tidak mau memberikan otoritas yang sama kepada negara tetangganya di

sekitarnya. Kesulitannya bukanlah menemukan penguasa yang menganggap dirinya 

berdaulat, namun  sekelompok penguasa yang saling mengakui kedaulatan. Ini 

diilustrasikan dengan konsep kedaulatan yang dipahami pada Abad Pertengahan.

Gagasan tentang otoritas akhir yaitu    wajar untuk mengorbankan diri untuk Gereja, 

sebagaimana Tuhan yaitu    otoritas: statusnya diekspresikan di bumi melalui klaim Paus 

dan Kaisar Romawi Suci untuk mewakilinya. Pertanyaannya ada pada masalah antara ide 

awal tentang hal ini bukanlah pada apakah ada penguasa duniawi, namun  siapa yang 

melayani fungsi kehidupan ukhrawi. Belakangan, ketika paus dan Kaisar kehilangan 

kekuasaan, otoritas raja-raja tua seperti raja-raja Inggris dan Prancis meningkat ke titik 

diat, setelah kekalahan Henry VI. Tawaran untuk penguasaan, sistem multi-negara ada.

Keberadaannya tidak menantang, namun, teori bahwa otoritas mengalir dari Tuhan 

melalui sebuah perwakilan duniawi tunggal; sebenarnya, paus mengemukakan yang 

paling dimuliakan klaim pada abad keempat belas saat kekuatannya memudar. Jadi, 

meskipun negara berdaulat ada, mereka tidak mengakui satu sama lain. (Derek Croxton, 

The Peace of Westphalia of 1648 and the Origins of Sovereignty, 571)

Dengan demikian, negara-negara Eropa modern muncul dari kehancuran perang 

tiga puluh tahun, dimana sekitar dua pertiga dari total penduduk telah hilang dan lima 

perenam dari perkampungan telah dihancurkan. Bencana yang mengerikan ini 

menegaskan bahwa komunitas Kristen abad pertengahan (khususnya di Eropa) sangat 

rapuh dan sebab itu mendesak dibutuhkan system pengganti. Akhirnya lahirlah konsep 

negara berdaulat (sovereign state) dari perdamaian Westphalia yang ditandatangani 1648. 

Perdamaian Westphalia secara luas diakui sebagai garis pemisah antara Eropa abad pertengahan yang didominasi unit-unit politik local di bawah otoritas yang komprehesif 

dari Tahta Suci Romawi (Paus) serta Eropa Modern dimana negara-negara diakui sebagai 

entitas yang berdaulat. Tahta Suci Romawi dan Paus tetap eksis, namun semua kekuasaan 

politik mereka telah dihancurkan. Dalam hal urusan masalah politik dan kenegaraan, para 

penguasa unit-unit politik tidak lagi subordinat terhadap paus. 

Sekitar 60 tahun sebelum perdamaian Westphalia, sebenarnya telah lahir 

pemikiran mengenai konsep kedaulatan. Seorang sarjana hukum Prancis bernama Jean 

Bodin dalm bukunya berjudul six box on the state (1586), secara sistematis mengulas 

tentang konsep kedaulatan. Karya bodin ini sebenarnya merupakan pembenaran adanya 

“hak ilahi” pada raja Prancis untuk memerintah secara mutlak, tapi dalam hal konsep 

kedaulatan Bodin tidak secara tersirat membenarkan hak untuk memerintah secara 

sewenang-wenang atau di atas hukum. Bodin juga tidak menyiratkan bahwa sebuah 

negara boleh mengekalkan kewajiban superior dalam hubungan dengan negara-negara 

lain dalam menjalankan kekuasaan ini .

Pasca perdamaian Westphalia, gagasan kedaulatan dari bodin ini  

mendapatkan sambutan luas dari negara-negara Eropa. Meskipun perdamaian Westphalia 

tidak serta merta mengubah Eropa dari sekumpulan entitas lokal kecil di bawah satu 

otoritas universal (paus) menjadi beberapa  negara kecil yang berdaulat secara pararel, 

namun  gagasan negara sebagai unit yang tak dapat diintervensi berkembang relatif cepat 

setelah 1648. Memang sesaat sebelum 1648 sempat berkembang pemikiran dari para 

sarjana hukum internasional bahwa suatu negara dibenarkan untuk mengintervensi 

masalah negara lain dengan alasan untuk melindungi warga negara lain ini  dari 

penindasan. Namun 50 tahun kemudian, belajar dari pengalaman Perang Tiga Puluh 

Tahun dan perdamaian Westphalia, para sarjana hukum menyimpulkan bahwa intervensi 

suatu negara terhadap masalah negara lain merupakan pelanggaran kedaulatan. 

Menjelang abad ke 18, konsep kedaulatan atau negara berdaulat menjadi prinsip hukum

yang dominan untuk mengatur hubungan antara negara besar di Eropa. Sistem hubungan 

internasional baru model Westphalia ini, bukan hanya meruupakan hasil dari 

perkembangan keagamaan, namun perubahan-perubahan ekonomi dan teknologi juga 

bekerja untuk memperkuat negara berdaulat.

Selain berakhirnya perang Tiga Puluh Tahun antara kaum Katolik dan Protestan, 

perjanjian Westphalia juga secara resmi mengakui kedaulatan Belanda dan Konfederasi Swiss. Perjanjian Westphalia melibatkan kaisar romawi suci Ferdinand 1 beserta kerajaan 

dari spanyol, Prancis, Swedia, Belanda, dan beberapa  penguasa wilayah lain di Eropa. 

Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun, perjajian Westphalia juga meneguhkan 

perubahan dalam peta politik dunia khususnya di benua Eropa. Selain itu, perjanjian ini 

juga mengakhiri upaya untuk menegakkan tahta suci Romawi yang selain beberapa abad 

memiliki pengaruh kuat atas negara-negara di dunia terutama di Eropa. Hubungan antara 

negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas 

kepentingan nasional negara itu masing-masing. Sebelumnya gereja memiliki kekuatan 

atas hubungan antar negara, dan perjanjian Westphalia mengakhiri itu semua 

kemerdekaan negara Belanda, Swiss, dan negara-negara kecil di jerman juga diakui 

dalam perjanjian Westphalia. 

Setelah munculnya perjanjian Westphalia, sususnan warga   internasional 

yang baru didasarkan atas negara-negara nasional dan tidak lagi berdasar  pada 

kerajaan-kerajaan, imperium, dan gereja. Selain itu susunan warga   internasional 

juga didasarkan pada hakikat negara ini  bersama dengan pemerintahnya, yakni 

memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Pelbagai 

perubahan dalam sistem hubungan internasional pasca-Westphalia diantaranya 

tumbuhnya representative government, terjadinya revolusi industry, terjadinya 

perkembangan dalam hukum internasional, berkembangnya metode-metode diplomasi di 

samping strategi militer, tumbuhnya saling ketergantungan antar negara bangsa (nation 

state) di bidang ekonomi, dan lahirnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik 

secara damai. Singkatnya, perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar bagi bentuk dan 

hakikat ini  dalam susunan warga   internasional yang baru.

Dilain pihak, perdamaian Westphalia juga telah mendorong tumbuhnya semangat 

nasionalisme dan keinginan untuk membangun sebuah negara-bangsa yang kuat. 

Terjadinya revolusi Prancis 1789 merupakan salah satu contoh dari ekspresi semangat 

nasionalisme dan kehendak membentuk negara bangsa yang kuat ini . Tujuan awal 

dari revolusi prancis yaitu    kebebaan, kesetaraan, dan persaudaraan (liberty, equality, 

and fraternity). Tujuan ini menyiratkan berakhirnya aturan aristokratik di prancis, namun 

yang lebih penting dari itu suatu penegasan bahwa negara yaitu    milik rakyat. Raja tidak 

lagi bias mengatakan “ negara yaitu    saya” (l etat, c’est moi). Tindakan pemerintah harus 

mencermikan tindakan warga negara. Konstitusi prancis yang telah diratifikasi pada 1793 secara eksplisit menegaskan bahwa pemerintah prancis hanya merupakan pimpinan 

warga   nasional yang harus selalu merepresentasikan kehendak rakyat prancis. 

Legalitas dan legitimasi pemerintah bukan karena otoritas keagamaan atau karena 

keturunan keluarga monarki, melainkan karena mewakili rakyat dan bangsa prancis.

Revolusi dan nasionalisme prancis ternyata berkembang menjadi semangat 

ekspansionis. Bangsa prancis berkeyakinan bahwa revolusi dan nasionalisme merupakan 

nilai-nilai dasar yang sangat baik dan penting, hingga perlu ditularkan ke negara-negara 

lain. Akhirnya, di bawah kepemimpinan napoleon boneparte, bangsa prancis mulai 

menyebarkan ide–ide revolusi dan nasionalisme ke seluruh daratan eropa. Untuk 

mendukung keinginan itu, napoleon menyiapkan kekuatan militer yang besar 

(diantaranya melalui program wajib militer). Ia berhasil menggelorakan semangat seluruh 

tentara dan rakyat bahwa apa yang dilakukan itu yaitu    untuk “kemulian” bangsa prancis. 

Dalam waktu singkat Prancis hampir dapat menaklukkan seluruh daratan eropa, seperti 

Belanda, Spanyol, Swedia, Autralia, Italia, dan Polandia. 

beberapa  negara di eropa tidak mau menyerah begitu saja terhadap 

ekspansionisme prancis. Dengan berbagai upaya mereka terus memberikan perlawanan 

untuk mengembalikan kedaulatannya dari penduduk tentara Prancis. Akhirnya dalam

suatu pertempuran di dekat kota waterloo (belgia) pasukan koalisi Ingris-Belanda-Jerman 

dipimpin jendral wellington (dibantu juga Prusia) berhasil mengalahkan tentara prancis 

sekaligus mengakhiri petualangan militer napoleon di daratan eropa. Pertempuran

waterloo terjadi pada 18 juni 1815.

Meskipun ekspansionisme Prancis akhirnya dapat dipatahkan, namun  revolusi 

Prancis itu sendiri mewariskan nilai-nilai dasar sistem negara yang masih abadi hingga 

saat ini. Pertama, yaitu    konsep kedaulatan rakyat (popular sovereignty), yang pada 

prinsipnya menegaskan bahwa legitimasi pemerintah berasal dari rakyat yang mereka 

perintah, prinsip “hak ilahi” (the define right) yang melekat pada raja dan diterima 

berabad-abad oleh hampir semua negara eropa, tidak berlaku lagi. Kedua, konsep 

nasionalisme. Walaupun proses globalisasi telah membuat dunia ini menjadi satu 

warga   global, namun  hampir semua negara di dunia hingga kini masih memelihara 

semangat nasionalisme untuk mengahadapi berbagai ancaman eksternal. Konsep 

nasionalisme dan kedaulatan rakyat terbukti telah mewarnai berbagai bentuk hubungan 

internasional hingga saat ini.Segera setelah ekspansionisme prancis berakhir, negara-negara pemenang perang 

berusaha untuk membangun kembali system hubungan internasional di eropa. Para 

pemimpin negara besar bertemu dalam kongres Wina (congress of vine) dan 

menandatangani kesepakatan untuk memulihkan stabilitas serta menguatkan kembali 

gagasan tentang kedaulatan. Melalui kongres Wina batas-batas (Boundaries) dan ukuran 

(size) negara–negara eropa juga ditata ulang, sehingga lebih mencerminkan perimbangan 

kekuatan (balance of power). Dengan adanya perimbangan kekuatan di eropa, diharapkan 

adanya peritiwa ekspansionisme seperti yang dilakukan prancis tidak terulang sehingga 

perdamain di eropa dapat lebih terpelihara.

Pasca kongres wina 1815, stabilitas hubungan antar kekuatan besar di Eropa 

relatif terjaga dan sistem politik internasional juga menjadi lebih damai dibandingkan 

masa-masa sebelumnya. Sistem hubungan internasional pasca kongres wina hingga 1914 

dikenal dengan istilah Congress of Europa. Dalam periode congress of Europe ini tidak 

ada konflik berarti dimana lima kekuatan besar di eropa (Australia, Ingris, Prancis, Prusia, 

dan Rusia) terlibat bersama. Memang sempat terjadi perang crimea 1854 dan perang 

Prancis-Prusia 1870, namun negara-negara lain mengambil sikap netral sehingga perang 

ini  tidak berlangsung lama dan meluas.

Salah satu faktor yang membuat stabilitas di eropa dapat terjaga dalam kurun

waktu yang relatif lama yaitu    karena inggris dapat memainkan perang penting secara 

konsisten. Status inggris sebagai negara yang kuat, baik dari segi ekonomi maupun 

militer, memungkinkanmya dapat memainkan perang sebagai penyeimbang (balance)

yang snagat baik di daratan eropa. Selain itu, karena kondisi geografisnya yang terpisah 

dari daratan, juga memberi keuntungan tersendiri dari inggris dalam kontelasi hubungan 

internasional dibenua eropa. (Umar Suryadi Bakry, Dasar- Dasar Hubungan 

Internasional, hal. 21-26.)

Westphalia Treaty atau Perjanjian Westphalia merupakan akar dari hubungan 

Internasional modern. Adapun dengan terbentuknya perjanjian Westphalia menandai 

berakhirnya Perang Tiga Puluh Tahun di tahun 1618-1648 antara kaum katolik dan kaum 

protestan di Eropa. Pada saat itu perang di Eropa lebih didasarkan pada permasalahan 

mengenai keagamaan yang dalam kasus ini, aktor-aktornya termasuk dalam 

nonlegitimate Nonstate Actors Movements atau gerakan religious. Pada dasarnya perjajian Westphalia membawa perubahan yang sangat besar 

khusunya di Eropa pada saat itu. Keadaan Eropa yang pada saat itu dipenuhi berbagai 

konflik melibatkan banyak kekuatan- kekuatan besar dari berbagai kerajaan besar di 

Eropa. Adapun tiap kerajaan ini memiliki powernya masing-masing untuk melakukan 

tindakan militer sehingga terdapat banyak kemungkinan untuk terlibat dalam konflik 

dengan kerajaan lain. Konflik yang mengawali diputuskannya perjanjian Westphalia ini 

awalnya dipicu oleh upaya pembunuhan atas raja bohemia pada tahun 1618 yang 

kemudian menjadi kaisar romawi suci, Ferdiinand ll. Semenjak menjadi dan menjabat

sebagai kaisar romawi suci, Ia mulai menerapkan ajaran Katolik kepada semua rakyat 

yang berada dibawah naungan kerajaannya sendiri. Tindakan ini membuat mereka yang 

berbeda keyakinan, yakni kaum protestan melakukan pemberontakan. Seiring dengan 

konflik dan permasalahan yang semakin lama semakin meruncing, yang kemudian 

membawa hampir seluruh penjuru eropa menuju pergolakan perang yang menglobal 

hingga saat ini. 

Perang yang berlangsung dalam priode yang lama ini mempropogandakan hampir 

seluruh wilayah Eropa, khusunya wilayah jerman. Organisasi-organisasi yang memiliki 

otoritas politik di Eropa pada abad pertengahan didasarkan pada tatanan Hierarki yang 

tidak jelas. Maka dari itulah Perjanjian Westphalia membentuk konsep legal tentang 

kedaulatan, yang mana dalam artian fundamentalnya menandakan para penguasa atau 

kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak-pihak lain yang memiliki 

kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. 

Perjajian Westphalia inilah yang menjadi titik awal dari semua pengembangan system 

negara modern yang kita kenal saat ini.

Setelah munculnya perjanjian Westphalia, susunan warga   internasional yang 

baru didasarkan atas negara-negara nasional dan tidak lagi berdasar  pada kerajaan￾kerajaan. Selain itu susunan warga   internasional juga didasarkan pada hakekat 

negara ini  bersama dengan pemerintahannya, yakni memisahkan kekuasaan negara 

dan pemerintahannya, yakni memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahannya dari 

pengaruh gereja. Perjanjian Westphalia yang meletakkan dasar bagi bentuk dan hakekat 

ini  dalam susunan warga   internasional yang baru.

Sebagai konsekuensi atas kemunculan Perjajian Westphalia, Kekaisaran Romawi 

Suci mengalami perpecahan. Swedia mengambil kendali wilayah Baltik, Kemerdekaan

belanda dari Spanyol di akui secara penuh, dan Prancis muncul sebagai kekuatan baru. 

Perjanjian Westphalia tidak lantas membuat Eropa berhenti berperang. Prancis dan 

Spanyol tetap berkonflik selama sebelas tahun berikut hingga muncull Traktak Pyrenees 

pada 1659.

Perjanjian Westphalia dalam Hubungan Internasional

Sebagai pemicu perpecahan kekaisaran Romawi Suci dan hadirnya negara- negara 

berdaulat yang baru di Eropa, Perjanjian Westphalia secara sarat menghadirkan konsep 

negara-bangsa (nation-state). Selain itu muncul juga istilah negara modern. Perjanjian 

Westphalia membuat banyak perubahan dalam bentuk negara modern yang meliputi: 1) 

Tumbuhnya “Representative Government, 2) Terjadinya Revolusi Industri, 3) Terjadinya 

Perkembangan Hukum Internasional, 4) Terjadinya Perkembangan Metode-metode 

Diplomasi, 5) Timbulnya Prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai.

Tatanan pasca sistem Westphalia yang cenderung mengabaikan batas negara atau 

de-bordering ini mendobrak pengertian ’hubungan internasional’ kovensional menjadi 

’hubungan transnasional’ yang lebih kompleks, dan dalam batas-batas tertentu lebih 

partisipatif, sekaligus mengandung potensi konflik. Pemaknaan istilah ’international 

relations’ yang berarti hubungan ’antar bangsa’ (inter-nation), menjadi kurang mewadahi 

aktor-aktor ’non-negara’ (non-nation/state). Sama halnya dengan pandangan Robert C. 

Keohane, Keohane memberikan kontribusi terbesar dalam pengembangan teoritis 

transnasionalisme sejak tahun 1970-an. Dia secara kreatif tidak terjebak dengan issu 

dunia yang mainstream saat itu yakni Perang Dingin, namun pemikirannya merambah 

dunia lain yang lebih luas dan dan lebih realistis untuk membangun sebuah fondasi 

kompleks perdamaian dunia. Keohane memfokuskan karyanya pada issu-issu baru 

tentang ekonomi politik dunia yang menggeser masalah keamanan internasional, issu 

tentang aktor-aktor baru dalam hubungan antar bangsa yang tidak lagi ’state centric’, tapi 

berbagai aktor transnasional, issu tentang bentuk-bentuk interaksi internasional baru yang 

tidak lagi “interstate relations”, melainkan transnasional dan “transgovernmental

relations”, issue tentang hasil-hasil baru dari kerjasama internasional yang tidak hanya 

berbicara tentang konflik antar bangsa, issu tentang struktur institusi internasional baru 

yang tidak sepenuhnya anarkhis, yang dia hipothesiskan secara provokatif bahwa struktur 

internasional baru itu akan kokoh setelah menurunnya hegemoni Amerika Serikat.

Pemikiran Keohane ini  merupakan kritikan terhadap pendekatan realisme 

politik internasional yang sangat dominan pada waktu itu, dimana hubungan internasional 

digambarkan penuh dengan anarkhisme dan kecenderungan untuk ber-konflik. Keohane 

menemukan celah untuk membangun fondasi teoritik tentang struktur intitusi dan 

hubungan internasional yang lebih memberi peluang untuk berkembangnya hubungan 

damai antar bangsa. (Takdir Ali Mukti, Sistem Pasca Westphalia, Interaksi Transnasional 

dan Paradiplomac, hal. 177-178.)

Jadi perjanjian Westphalia membawa banyak sekali perubahan khusunya dalam 

mengubah bentuk negara modern seperti tumbuhnya representative government, 

terjadinya revolusi industry, terjadinya perkembangan hukum internasional yang 

signifikan, terjadinya perkembangan metode-metode diplomasi, terjadinya saling

ketergantungan dan kolerasi antara negara bangsa baik di bidang; ekonomi, politik, 

budaya, dan sebagainya, dan serta timbulnya prosedur untuk menyelesaikan konflik 

secara damai. Yang mana perjanjian Westphalia ini telah mengubah struktur hirarki 

warga   yang pada awalnya mereka tunduk dan patuh terhadap segala jenis otonom 

dan kebijakan yang dikeluarkan oleh kerajaan dan gereja, menuju warga   yang lebih 

berdaulat dan memahami makna the difine right dan asas kebijakan dan hak personal 

seseorang maupun negara dalam mengambil kebijakan.

Hubungan transnasional yang mewarnai sistem interaksi warga   dunia pasca 

regim Westphalia memiliki karakter yang lebih partisipatif bagi semua aktor 

internasional, baik pada tingkat negara, maupun lokal, institusional atau pun individual. 

Spirit positive sum dan pure colaboration, yang diajukan sebagai transnational values, 

akan lebih memberikan pengharapan bagi terciptanya dunia yang lebih beradab.

Perjanjian Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam 

sejarah hubungan internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu peristiwa hukum 

internasional modern yang didasarkan atas negara- negara nasional. Hal ini  

disebabkan oleh hal-hal berikut. 

1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan 

perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di 

Eropa.

2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar 

Romawi yang suci. 3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan 

kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional masing-masing. 

4. Kemerdekaan negara Nederland, Swiss, dan negara-negara kecil di Jerman 

diakui dalam Perjanjian Westphalia.

Selain itu, Perjanjian Westphalia juga meletakkan dasar bagi susunan warga   

internasional yang baru. Baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara 

nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan) maupun mengenai hakikat negara 

itu dan pemerintahannya yaitu pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari 

pengaruh gereja. Sejak saat itu mulai bermunculan negara yang berpemerintahan 

demokratis. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh dalam 

Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional, karena 

menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas politik internasional. 

Berikut ciri-ciri pokok warga   internasional yang membedakan dengan 

susunan warga   Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan. 

1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat.

2. Hubungan nasional yang satu dengan yang lainnya didasarkan atas 

kemerdekaan dan persamaan derajat. 

3. warga   negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti 

seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala gereja. 

4. Hubungan antara negara-negara berdasar  atas hukum yang banyak 

mengambil pengertian lembaga hukum perdata, hukum Romawi. 

5. Negara mengakui adanya Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur 

hubungan antarnegara namun  menekankan peranan yang besar yang dimainkan 

negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini. 

6. Tidak adanya Mahkamah (Internasional) dan kekuatan polisi internasional 

untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional. 

7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan beralih 

dari anggapan mengenai doktrin bellum sustum (ajaran perang suci) ke arah 

ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara pemakaian  

kekerasan. (Heliarta, Mengenal Hukum Internasional, hal. 4-6.)