tentara belanda di indonesia 1
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
tentara belanda di indonesia 1
Serdadu Belanda di negara kita
yang pernah terlibat perang di negara kita pada tahun 1945-1949, yang secara
umum menunjukkan nuansa berbeda dengan narasi sejarah yang dipromosikan
oleh pemerintah Belanda selama setidaknya empat dekade terakhir. Meskipun
Belanda ‘berbagi’ sejarah kolonial yang panjang dengan negara kita , namun
periode 1945-1949 menjadi episode sejarah yang paling ‘panas dan emosional’
di Belanda (juga di negara kita ) dan hingga saat ini masih menjadi perdebatan
akademik maupun politis di sana. Pokok perdebatan terpusat pada pertanyaan
apakah memang telah terjadi kekerasan yang berlebihan atau kejahatan perang
yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap penduduk negara kita – utamanya
penduduk sipil, selama berlangsungnya operasi militer pada periode itu .
Selain itu, pertanyaan itu juga menjadi sangat politis sebab terkait gugatan
akan keabsahan perang itu yang secara langsung terkait posisi politik dan
pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan negara kita , dan hubungan bilateral
Belanda dan negara kita kemudian hari. Pertanyaan itu , kiranya belakangan
menjadi semakin kencang diajukan oleh publik Belanda setelah menguatnya
kesadaran mereka akan Hak Asasi Manusia (HAM), dan keinginan Belanda
untuk mencitrakan dirinya sebagai negara pelopor HAM di dunia.1
Pertama-tama harus ditekankan bahwa artikel ini yaitu sebuah karya
ilmiah yang dihasilkan melalui proses kerja sistematis dengan metodologi yang
jelas berlandaskan semangat akademis. Penulisnya, Prof. Gert Oostindie yaitu
direktur KITLV sekaligus profesor sejarah Belanda kolonial dan poskolonial
di Universitas Leiden. Sebagai karya akademik artikel ini memang terasa ‘berat’
meskipun menyajikan analisis yang cermat dan hati-hati, dengan bahasa tutur
yang mengalir. Sumber utamanya yaitu kesaksian para veteran perang yang
berusaha merekam dan mewariskan ingatannya melalui apa yang disebut penulis
artikel ini sebagai naskah ego (ego document), yaitu: artikel catatan harian,
surat menyurat dengan keluarga dan kolega, memoar, biografi, dan rekaman
wawancara. Sebagaimana dijelaskan penulis, mereka umumnya yaitu bekas
tentara wajib militer – bukan militer profesional, yang ‘terpaksa’ harus ikut
berperang sebab keinginan sendiri, terbujuk propaganda, perintah, atau bahkan
ancaman dari negaranya, sehingga memiliki ingatan dan penilaian yang berbeda
dengan kelompok tentara lainnya. Tercatat ada 659 judul korpus naskah yang
ditulis oleh/tentang 1.362 orang dipakai sebagai sumber utama penulisan
artikel ini; sebuah jumlah yang relatif ‘kecil’ dibandingkan jumlah total veteran
yang ikut perang di negara kita . Meskipun penulis mengakui sumber itu
tidak bisa mewakili pandangan para veteran Belanda secara keseluruhan, namun
viii
kesaksian dalam naskah ego itu bisa membantu memberi informasi
alternatif tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan selama periode yang
kompleks itu .
Sudah barang tentu penerbitan artikel ini dalam versi bahasa negara kita
patut disambut gembira. Pertama-tama, sebab artikel ini menceritakan secara
tidak langsung tentang realitas historis yang terjadi di negara kita melalui kaca
mata para veteran perang Belanda yang bisa jadi belum banyak tersaji dalam
historiografi negara kita . Selain itu, artikel ini juga memperkenalkan perkembangan
dan perdebatan mutakhir tentang historiografi perang tahun 1945-1949 di
Belanda. Memang harus diakui bahwa perkembangan historiografi dan perdebatan
akademik di Belanda dan di negara kita tentang periode ini, hampir bisa dikatakan
berjalan sendiri-sendiri dan relatif jarang sekali ‘bertemu’ atau ‘dipertemukan’.
Tidak seperti periode sejarah kolonial lainnya, yang mana perbincangan akademik
di antara para peneliti Belanda dan negara kita berjalan cukup intensif, dan karya-
karya akademik dari kedua belah pihak relatif cukup saling dikenali, terutama
karya-karya akademisi Belanda yang sudah banyak dialihbahasakan ke dalam
bahasa negara kita . Informasi tentang perdebatan historiografis di Belanda tentang
periode ini tidak banyak diikuti oleh banyak sejarawan dan masyarakat peminat
sejarah di negara kita , kecuali oleh segelintir orang melalui diskusi terbatas mereka
di surat kabar, blog, atau media sosial.
Dalam bab Pendahuluan, misalnya, penulis menguraikan posisi artikel ini
dalam perdebatan historiografis mutakhir di Belanda, sebagai upaya lebih lanjut
untuk merevisi Excessennota yang terbit pertama kali pada tahun 1969.2 artikel
terakhir dianggap oleh banyak pihak merupakan ‘artikel putih’ resmi Pemerintah
Kerajaan Belanda tentang dampak dari operasi militer Belanda di negara kita
pada periode 1945-1950. artikel itu menyebutkan 110 kasus kekerasan yang
dilakukan tentara Belanda terhadap para pejuang dan penduduk sipil negara kita .
Menurut artikel ini, kekerasan itu merupakan ‘ekses’ semata, sebagai kejadian
yang tidak disengaja, yang dilakukan oleh individu-individu tentara Belanda
(bukan sebab perintah atau strategi resmi atasan atau kesatuannya), dan terjadi
secara insidental. Selama lebih dari seperempat abad lamanya, versi sejarah resmi
ini relatif tidak mendapatkan ‘penentangan’ dari versi alternatif walaupun diskusi
publik dan polemik tentang perang itu terus berlangsung di berbagai media,
forum, dan dalam parlemen Belanda. artikel karya J.A.A. van Doorn dan W.J.
Hendrix, Ontsporing van Geweld3 yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1970
menjadi satu-satunya pengecualian sebab menawarkan penjelasan berbeda.
ix
Baru pada kurun lima tahun terakhir, Excessennota mendapatkan bantahan
serius oleh generasi baru sejarawan Belanda. Dua di antaranya yang terbaru
yaitu karya Louis Zweers dan Rémy Limpach. Louis Zweers dalam disertasinya
‘De Gecensureerde Oorlog’ yang dipertahankan pada akhir 2013 berpendapat
bahwa Pemerintah Belanda telah menutup-nutupi banyak hal, terutama tentang
aksi kekerasan dan ‘kejahatan perang’ yang dilakukan tentaranya terhadap
pejuang dan penduduk negara kita selama perang 1945-1949.4 Sementara itu,
Rémy Limpach dalam disertasinya ‘De Brandende Kampongs van Generaal
Spoor’ menegaskan bantahannya terhadap Excessennota bahwa kekerasan yang
dilakukan tentara Belanda itu pada dasarnya bersifat ‘struktural’ dan bukan
semata-mata ekses belaka.5 Entah kebetulan atau tidak karya-karya baru itu
muncul setelah kasus Rawagede dan Westerling berhasil dibawa ke pengadilan
Belanda pada tahun 2011 dan 2012, yang berhasil ‘memaksa’ Pemerintah
Belanda untuk mengeluarkan permohonan maaf dan memberi kompensasi
kepada keluarga korban kedua peristiwa kekerasan itu . artikel yang ada di
hadapan pembaca ini merupakan langkah progresif berikutnya dari ‘historiografi
revisionist’ itu , dengan menampilkan kesaksian dari para pelaku sejarah
periode itu .
Selain menyajikan diskusi historiografis, artikel ini juga menawarkan
sejumlah fakta dan penjelasan menarik tentang kompleksitas latar belakang dan
kondisi tentara Belanda sebelum, selama, dan sesudah dikirim ke negara kita , yang
mungkin belum banyak diketahui masyarakat negara kita . Dari segi komposisi
misalnya, ternyata dari total 220.000 tentara yang dikerahkan Pemerintah
Belanda selama perang, 160.000 di antaranya yaitu orang Belanda dan 60.000
sisanya yaitu tentara KNIL rekrutan lokal dari berbagai etnis, utamanya
Ambon, Minahasa, Jawa, dan sebagainya. Dari 160.000 tentara Belanda itu ,
sekitar 100.000 orang merupakan tentara wajib militer, 50.000 sukarelawan
perang, dan hanya 1.000 orang tentara profesional. Dari sisi usia, para tentara
wajib militer dan sukarelawan itu rata-rata yaitu anak-anak muda
berusia 20 tahunan, yang sebagian besar bahkan belum pernah memperoleh
pelatihan militer dan pengalaman bepergian jauh dari tempat kelahirannya.
Mereka memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang negara kita , tentang
masyarakat dan budayanya, dan tentang kondisi sebenarnya di negara kita saat
itu; sementara pembekalan militer yang mereka peroleh sebelum berangkat
sangat jauh dari mencukupi. Mereka sebagian besar memiliki motivasi dan misi
yang ‘naif ’ – sebagian sebab propaganda pemerintahnya: bahwa tujuan utama
x
mereka ke ‘Hindia Belanda’ yaitu untuk membebaskannya dari Fasisme Jepang
dan kemudian menegakkan keamanan dan ketertiban, melindungi penduduknya
dari ‘para pengacau’. Mereka tidak memiliki bayangan bahwa mereka akan
menghadapi resistensi sengit dari pemuda, pejuang, dan tentara negara kita .
Kondisi ini tentu berpengaruh besar terhadap apa yang terjadi dan apa yang
mereka lakukan di medan pertempuran nantinya.
Bagian terpenting dari artikel ini tentunya yaitu diskusi tentang kekerasan
eksesif atau kejahatan perang yang terjadi pada periode konflik itu . Sebagai
karya ilmiah, artikel ini tentu saja tidak lagi ingin terjebak pada pertanyaan lama
yang memperdebatkan secara emosional ada dan tidaknya perbuatan itu .
Penulis secara tegas, mengakui adanya berbagai kekerasan eksesif yang dilakukan
tentara Belanda itu , namun ia ingin menjawab pertanyaan yang lebih
lanjut ‘mengapa dan dalam kondisi apa perbuatan dan aksi itu bisa terjadi’.
Tujuannya bukanlah untuk mencari apologi atau pembenaran, namun lebih pada
upaya untuk memahami dan mencari penjelasan yang lebih baik tentang proses
historis yang melatari terjadinya rangkaian kekerasan eksesif itu . Untuk
tujuan itulah, maka artikel ini menampilkan kutipan langsung dari korpus-korpus
naskah ego yang berisi kesaksian ‘para pelaku’ itu . Tentu saja, isinya
sangat subyektif dan sepenuhnya menunjukkan sudut pandang mereka, dan
barangkali bagi sebagian besar pembaca dan masyarakat negara kita akan sedikit
mengguncangkan. Tapi justru di situlah daya tarik artikel ini, sebab berusaha
menunjukan secara ‘jujur’ perasaan, emosi, dan refleksi (sebagian) tentara
Belanda, terhadap peristiwa-peristiwa buruk yang mereka alami. Bisa dikatakan
sangat jarang sekali ditemukan, terlebih untuk konteks negara kita sendiri,
sumber-sumber sejarah yang mengungkapkan perspektif dari ‘pelaku peristiwa
kekerasan’.
Tentang kekerasan eksesif atau kejahatan perang yang terjadi, melalui
sumber itu , penulis menemukan adanya 779 laporan kekerasan – jauh di atas
laporan Excessennota. Menurut penulis kekerasan itu bisa dikelompokkan
menjadi enam kategori, yaitu 1. kejahatan individual di luar konteks militer, 2.
kekerasan menggunakan senjata mesin, artileri, dan serangan udara, 3. kekerasan
selama patroli dan pengawasan, 4. kekerasan yang terkait pekerjaan intelijen,
5. Kekerasan akibat operasi khusus, dan 6. kekerasan jenis lainnya, meliputi
kelalaian, intimidasi, vandalisme, dan pemakaian amunisi ilegal. Menurut
pengakuan penyusun naskah ego itu , kekerasan itu seringkali terjadi
sebab mereka terjebak pada situasi mendesak, pada lingkaran kekerasan atau
xi
‘perangkap kekerasan’ sehingga prinsip better safe than sorry, kill or to be killed,
menjadi pilihan satu-satunya. Selain itu, seringkali juga aksi kekerasan eksesif
dilakukan sebagian mereka, sebagai balas dendam atas apa yang dilakukan para
pejuang, pemuda milisi atau tentara TNI (sebelumnya BKR, lalu TRI) kepada
penduduk sipil Belanda selama periode Bersiap6 (akhir 1945 hingga akhir
1946) dan kepada teman-teman mereka sesama militer. Di sini, sebagaimana
ditekankan penulis artikel ini, kesaksian yang disampaikan para veteran itu
ingin menunjukkan bahwa mereka berada dalam posisi defensif, bukan ofensif,
sehingga apa yang dilakukan yaitu keterpaksaan (yang tentu saja belum tentu
benar adanya).
Dari sudut pandang militer, sejumlah sejarawan menilai bahwa konflik
bersenjata antara Belanda dan negara kita pada tahun 1945-1949 yaitu perang
asimetris (asymetric warfare), sebuah perang yang tidak berimbang, terutama
dari sisi persenjataan. Belanda menggunakan persenjataan modern, sementara
pihak negara kita lebih banyak menggunakan senjata tradisional ditambah sedikit
senjata modern hasil rampasan dari Jepang. Dalam keadaan timpang itu ,
bisa dipahami jika pejuang dan tentara negara kita menggunakan strategi perang
gerilya yang membingungkan dan menyulitkan tentara Belanda. Akibatnya, aksi
kekerasan terhadap penduduk sipil seringkali tidak terhindarkan, sebab pihak
Belanda kebingungan untuk menentukan siapa ‘musuh’ sebenarnya. Pada sisi yang
lain, di kubu negara kita sendiri ada beragam kelompok milisi dan organisasi
semi-militer yang tidak jarang saling berselisih satu dengan lainnya (sebab faktor
ideologis tapi juga pragmatis) dan seringkali melakukan inisiatif sendiri tanpa
berkonsultasi dengan tentara profesional negara kita , yang saat itu jumlahnya
masih terbatas. Kondisi itu pada akhirnya menciptakan lingkaran kekerasan
berlapis, tidak hanya kekerasan antara tentara Belanda (Inggris dan sekutu)
dengan pejuang dan tentara negara kita , namun juga kekerasan antar kelompok di
negara kita , seperti dalam kasus Peristiwa Madiun 1948 dan sejumlah ‘revolusi
sosial’ lainnya.7
Dalam konteks kekerasan eksesif tentara Belanda, penulis menggarisbawahi
adanya kebencian rasial dan etnosentrisme yang ikut bermain dalam setiap
peristiwa kekerasan. Kebencian rasial tergambar dalam ungkapan kemarahan,
dendam, ketakutan, dan frustrasi mereka yang terbaca secara gamblang dan vulgar
dalam kutipan-kutipan yang tersaji. Mereka menganggap pihak negara kita sering
menyalahi kesepakatan damai, dan mereka melakukan berbagai bentuk kekerasan
yang tidak dikenal dalam budaya Barat mereka. Dalam kaitan itu, pandangan
xii
etnosentrisme terbaca dengan kuat dalam pandangan mereka bahwa pelaku
kekerasan eksesif seringkali dilakukan oleh tentara KNIL rekrutan lokal, bukan
oleh tentara wajib militer Belanda, sebab mereka pada dasarnya sudah terbiasa
dengan ‘kondisi dan cara lokal’. Meskipun tidak sepenuhnya bisa dipercaya,
demikian menurut penulis, namun banyak naskah ego menyebutkan bahwa
tentara-tentara KNIL yaitu pelaku utama kekerasan eksesif. Mereka selalu
berada di front paling depan untuk menghadapi gerilya tentara negara kita , dan
mereka sering dipakai dalam interogasi, penyiksaan dan eksekusi, termasuk
dalam kejahatan perang skala besar yang dilakukan pasukan khusus pimpinan
Kapten Westerling di Sulawesi Selatan.
Selain memori kelam yang penuh emosi tentang ‘perang jahanam itu ’,
artikel ini juga menampilkan aspek dan sisi lain dari ingatan perang para veteran
itu yang lebih ‘manusiawi’. Selain perasaan dan pandangan negatif tentang
lawannya, sebagian dari mereka juga menunjukkan kenangan yang positif tentang
negara kita : kekaguman akan keindahan alamnya, keramahan penduduknya,
kelezatan makanannya, dan bahkan penghormatan akan kegigihan semangat
juang tentara negara kita dalam mempertahankan kemerdekaan negerinya. Bab
9 tentang kehidupan tentara, bahkan menunjukkan adanya hubungan pribadi
sejumlah tentara dengan para perempuan negara kita – meskipun banyak pula
yang bernuansa negatif. Pertemanan tidak jarang ditunjukan oleh sebagian
mereka dengan tentara negara kita , terutama setelah gencatan senjata. Mereka
sadar bahwa perang tidak dinginkan oleh kedua belah pihak, dan mereka
menyalahkan para politisi di belakang meja, yang seringkali memutuskan sesuatu
tanpa mempedulikan perasaan dan kondisi mereka di medan pertempuran.
Kekecewaan itu semakin kuat terutama setelah kembali ke tanah airnya,
setelah sedikit basa-basi penyambutan, mereka dihujani dengan kritik dan bahkan
tuduhan bahwa mereka telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam perang
yang seharusnya tidak terjadi, dan tidak akan pernah dimenangkannya. Kondisi
itulah yang menyebabkan mereka merasa ‘berada di sisi sejarah yang salah’.
Lalu kira-kira apa makna kehadiran artikel ini bagi masyarakat negara kita ?
Tentu sebagamana disinggung di awal, pertama-tama artikel ini merupakan
pengantar yang baik untuk memperkenalkan perkembangan historiografis di
Belanda dan perdebatan mereka tentang sejarah dekolonisasinya di negara kita .
Pada sisi yang lain, barangkali artikel ini juga bisa menimbulkan kesan yang
menegaskan kebenaran narasi nasionalistik historiografi negara kita selama ini
bahwa tentara Belanda memang telah melakukan kejahatan perang di negara kita .
xiii
Namun menurut hemat kami, kesan seperti itu sebaiknya disimpan saja. Akan
lebih produktif untuk memandang kehadiran artikel ini, terutama bagi para
sejarawan negara kita , sebagai undangan – jika bukan tantangan – untuk meneliti
kembali periode perang kemerdekaan tahun 1945-1949 yang belakangan
minatnya cenderung menurun. artikel ini bisa menjadi contoh bagaimana realitas-
realitas kekerasan di masa lampau coba difahami secara ‘dingin’ dan kritis. artikel
ini hanya menampilkan satu sisi persepsi saja, hanya dari pihak tentara wajib
militer Belanda, tentu akan sangat dibutuhkan perspektif tentara negara kita untuk
mengimbangi atau melengkapinya. Oleh sebab itu, sejarawan negara kita juga
perlu segera melakukan pengumpulan dan kemudian penilaian naskah ego
dari para veteran negara kita sebagaimana yang dilakukan penulis artikel ini. Kita
juga punya cukup banyak biografi, memoar, dan hasil wawancara sejarah lisan
tentang periode itu dan tentunya arsip yang kaya di sejumlah lokasi dan
lembaga kearsipan. Kiranya, usaha seperti itu harus segera dilakukan sehubungan
dengan semakin berkurangnya jumlah pelaku sejarah dari periode ini yang masih
bisa ditemui dalam masyarakat kita.
Selain itu, artikel ini juga bisa menjadi cermin untuk melihat ‘celah’ dan
‘ruang kosong’ yang ada dalam historiografi perang kemerdekaan kita selama
ini. Kami bayangkan, pembaca negara kita dan khususnya sejarawan dan peminat
sejarah, akan menemukan banyak poin yang mengejutkan atas ‘tuduhan’ yang
disampaikan dalam naskah ego itu , terutama menyangkut aksi-aksi
kekerasan yang katanya juga dilakukan pejuang, pemuda, dan tentara negara kita .
Tentunya ini perlu diklarifikasi lebih lanjut, apakah memang itu cuma ekspresi
emosional dan tuduhan ‘ngawur’ mereka semata ataukah memang historis adanya.
Tak kalah penting yaitu aspek-aspek humanis yang secara langsung maupun
tidak langsung dimunculkan oleh artikel ini, kiranya bisa diteliti lebih lanjut.
Bagaimana, misalnya, masyarakat negara kita pada waktu itu menjalani hidupnya
sehari-hari, bekerja mencari sesuap nasi di tengah suasana perang, bagaimana
relasi sebagian di antara mereka dengan para tentara Belanda termasuk di lokalisasi
pelacuran, dan seterusnya. Pendek kata, artikel ini bisa mengingatkan kita semua
bahwa periode perang kemerdekaan masih menyisakan banyak agenda riset bagi
penelitian lanjutan. Secara teoretik, artikel ini juga menunjukkan bahwa sejarah
bukanlah sebuah titik, ia yaitu sebuah koma dalam kalimat panjang yang belum
selesai, dan memang sebaiknya jangan pernah dianggap selesai. Pengkajian ulang,
penelitian kembali, dan pemaknaan baru harus selalu dilakukan sebab itu
xiv
merupakan kebutuhan kita pada masa sekarang, sebagai salah satu cara untuk
mempersiapkan masa depan kita semua yang lebih baik.
Selamat membaca.
Yogyakarta, Agustus 2016
Catatan
1 Stef Scagliola, ‘Cleo’s “unfinished business”: Coming to terms with dutch war crimes in
negara kita ’s war of independence’, Journal of Genocide Research, 14 (3-4) (2012), hlm. 419-439.
2 Jan Bank, et al., Excessennota: Nota betre#ende het archiefonderzoek naar de gegevens omtrent
excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950 (Den Haag:
Sdu Uitgeverij Koninginnegracht, 1995).
3 J.A.A. van Doorn & W.J. Hendrix, Ontsporing van geweld: het Nederlands-Indonesisch con%ict,
(Zutphen: Walburg, 2012.)
4 Louis Zweers, De gecensureerde oorlog. Militairen versus media in Nederlands-Indië, 1945-1949
(Zutphen: Walburg, 2013).
5 Rémy Limpach, De brandende kampongs van Generaal Spoor (Amsterdam: Boom Uitgevers,
2016).
6 ‘Periode Bersiap’ (Bersiap periode) mengacu pada masa sesudah Jepang menyerah dan saat tentara
Sekutu ditugaskan menjaga keamanan sebelum kedatangan tentara Belanda. Pada saat itu ribuan
penduduk sipil Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, dan Ambon menjadi korban beragam aksi
kekerasan yang dilakukan pemuda dan milisi negara kita . Istilah Bersiap, dimunculkan oleh para
penyintas dan sangat dikenal dalam historiografi Belanda, namun hampir tidak dikenal dalam
historiografi negara kita . Tentang kekerasan Bersiap ini lihat misalnya Herman Bussemaker,
Bersiap! Opstand in Het Paradijs: De Bersiap-Periode op Java en Madura (Zutphen: Walburg,
2013); Robert Cribb, ‘#e Brief Genocide of the Eurasians in negara kita , 1945/1946’ dalam A.
Dirk Moses (ed.), Empire, Colony, Genocide: Conquest, Occupation, and Subaltern Resistance in
World History (New York: Berghahn Books, 2008), hlm. 424-439.
7 Remco Raben, ‘On genocide and mass violence in colonial negara kita ’, Journal of Genocide
Research, 14 (3-4) (2012), hlm. 485-502; William Frederick, ‘Shadows of an Unseen Hand:
Some Patterns of Violence in the negara kita n Revolution’, dalam Freek Colombijn dan J.
#omas Lindblad (ed.), Roots of Violence in negara kita : Contemporary Violence in Historical
Perspective (Leiden: KITLV Press, 2002), hlm. 143-173.
xv
Kata pengantar edisi negara kita
Apakah suka atau tidak, negara kita dan Belanda telah berbagi sejarah selama
beberapa abad. ‘Berbagi’ sejarah, sejarah ‘bersama’: sebutan yang ramah untuk
sejarah kolonial, dan kata-kata itu kedengaran lebih indah daripada apa yang
kebanyakan terjadi di masa lalu. Namun demikian: lebih dari tujuh puluh tahun
setelah negara kita menyatakan kemerdekaannya, dengan besar hati diusulkan agar
tidak mengungkit-ungkit masa lalu yang sarat beban itu dan justru sebaiknya
bersama-sama melihat ke depan. Beberapa hari yang lalu, pada malam menjelang
kunjungan kilatnya ke Belanda, Presiden Joko Widodo juga mengatakan bahwa
melihat ke depan yaitu semboyan utamanya. Bagi beliau, penelitian tentang
perang dekolonisasi 1945-1949 tidak memiliki prioritas. Demikianlah, reaksi
beliau atas ungkapan Menteri Luar Negeri Belanda Belanda Bert Koenders, yang
beberapa minggu sebelumnya – pada waktu melakukan kunjungan kerja ke
negara kita – justru menganjurkan untuk mengadakan penyelidikan menyeluruh
terhadap periode itu, termasuk juga penyelidikan terhadap pokok pembicaraan
yang menyakitkan, yaitu: kejahatan perang Belanda.
Di negara kita , sejarah tahun 1945-1949 diceritakan dari perspektif yang
sama sekali berbeda daripada di Belanda. Paparan cerita yang dominan di
negara kita yaitu tentang lahirnya Republik negara kita sebagai buah perjuangan
heroik sekelompok suku bangsa yang bersatu untuk kemerdekaan mereka. Suatu
perjuangan yang dipimpin oleh Sukarno dan juga oleh TNI. Di negara saya,
paparan ceritanya di satu sisi tentang penderitaan orang-orang Belanda selama
pendudukan Jepang (1942-1945) dan periode Bersiap (akhir 1945 - awal 1946),
di sisi lainnya tentang usaha yang memakan waktu lama dan sia-sia untuk
melakukan dekolonisasi sesuai dengan cara yang diinginkan Belanda. Kesamaan
kedua paparan itu yaitu kecenderungan untuk hanya berbicara tentang konflik
dekolonisasi bilateral dan dengan demikian menyembunyikan kompleksitas
Revolusi negara kita , dengan semua konflik internalnya.
Sebagai seorang sejarawan Belanda, saya yaitu orang yang paling tidak
berhak untuk memberitahu rekan-rekan negara kita saya, atau orang negara kita
xvi
yang manapun, apa yang seharusnya terutama mereka cari, atau tidak cari,
tentang sejarah negara kita yang masih muda. Sebagai seorang sejarawan dan
direktur KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) –
lembaga yang sejak tahun 1851 di bawah perlindungan keluarga kerajaan Belanda
berkembang menjadi gudang pengetahuan tentang negara kita – bagaimanapun
juga saya merasa bertanggung jawab untuk menyumbangkan suatu pemahaman
yang baik di negara saya sendiri tentang apa arti kolonialisme bagi rakyat di
Nusantara, dan bagaimana kolonialisme ini dulu diakhiri. Dengan keyakinan
ini, saya sebelumnya juga telah menulis artikel -artikel tentang sejarah kolonial dan
pascakolonial Belanda.
Serdadu Belanda di negara kita , 1945-1950: Kesaksian perang pada sisi sejarah
yang salah merupakan karya yang layak dalam rangka ini. Edisi Belandanya telah
diterbitkan tahun lalu dan juga dalam pandangan politik memiliki sejarah awal
yang menarik; Anda dapat membacanya di halaman pertanggungjawaban di
bagian belakang artikel ini. artikel ini merupakan bagian dari perdebatan Belanda
yang dalam beberapa dasawarsa terakhir menjadi semakin kritis saja, tidak hanya
dalam hal legitimasi aksi politik dan militer Belanda, namun juga tentang praktik
aksi itu, dan khususnya dalam masalah kejahatan perang. Kesimpulan yang
saya tarik dalam artikel ini yaitu bahwa tindakan-tindakan kejahatan itu
merupakan unsur yang bersifat struktural dalam pelaksanaan perang kami.
Penting bagi negara saya untuk membuka mata terhadap hal itu , lengkap
dengan semua nuansa yang ada. Belanda senang menampilkan dirinya sebagai
penjaga hak asasi manusia internasional, suatu usaha yang mulia. Namun, saya
yakin bahwa justru suatu negara dengan sejarah kolonialnya yang berjangka
panjang hanya bisa memainkan perannya secara meyakinkan, kalau negara itu
benar-benar berani secara terbuka berbicara tentang kegagalan sendiri yang
pernah terjadi sebelumnya untuk memenuhi standar moral yang tinggi. Dan
sayangnya, hal itu juga berlaku untuk banyak peristiwa sejarah kami di negara kita
antara tahun 1945 dan 1949.
Berdasarkan keyakinan itu, artikel Serdadu Belanda di negara kita ditulis. artikel
ini yaitu artikel dengan banyak ruang untuk nuansa, dengan memperhatikan
kompleksitas dan kontradiksi dari masa itu. artikel ini tidak memiliki pesan moral,
namun mengajak pembaca untuk memikirkan tentang politik dan moralitas.
Paling tidak, saya berharap bahwa pembaca Belanda merasakan maksud saya
itu. Yang pasti, bahwa perhatian publik yang besar terhadap artikel ini di negara
xvii
saya mencerminkan adanya kemauan yang berkembang untuk membuka mata
terhadap masa lalu itu .
Saya tidak bisa memprediksi apa arti edisi negara kita ini. Saya berterima
kasih kepada penerbit Yayasan Pustaka Obor negara kita atas inisiatifnya untuk
menerbitkan terjemahan ini, dan saya berharap artikel ini akan dibaca dan akan
didiskusikan, termasuk juga pada unsur-unsur yang terasa kurang sesuai dengan
wacana yang umum dalam perang di negara kita . Saya ingin mengucapkan terima
kasih khususnya kepada Susi Moeimam, Maya Liem, Nurhayu Santoso atas
terjemahan mereka yang berkualitas, kepada Abdul Wahid (UGM) atas kata
pengantarnya yang indah, kepada Andreas Haryono (Obor) atas koordinasi dan
bimbingannya yang baik dan cermat, kepada Marrik Bellen (KITLV-Jakarta)
atas bantuan dan perantaraannya, kepada Ireen Hoogenboom dan Harry Poeze
(KITLV) atas bantuan mereka yang terus-menerus dan juga terima kasih kepada
Dutch Foundation for Literature, Erasmushuis, Kedutaan Besar Belanda,
KITLV-Jakarta dan Prometheus. Harapannya artikel ini akan dapat merangsang
sejarawan negara kita untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dari perspektif
mereka sendiri. Bukanlah peran saya untuk merumuskan agenda negara kita untuk
penelitian sejarah. Saya sangat yakin bahwa bersama-sama melihat kembali ke
belakang dapat membantu kedua negara kita untuk bersama-sama tetap terus
melihat ke depan.
Gert Oostindie, April 2016
xviii
Kata pengantar edisi Belanda
Perang kami di negara kita tetap saja membangkitkan emosi yang tinggi pada
generasi kemudian di Belanda. Itu tidaklah aneh. Di waktu itu Belanda
mengerahkan 220.000 serdadunya untuk suatu perang yang tidak dimenangkan
dan yang sesudahnya semakin sering dicap salah. Pada dasawarsa pertama
setelah kegagalan total itu, isu perang itu dipendam hilang dalam ingatan
kolektif. Sejak soal perang itu diungkap kembali, maka debat umum itu terutama
membahas pertanyaan apakah para serdadu Belanda telah bersalah melakukan
tindak kejahatan perang. Itu baru satu sudut pandang saja, ada sejumlah
pertanyaan lebih luas yang diajukan mengenai episode yang secara bersamaan
merupakan perang dekolonisasi dan perang sipil yang kacau, dan yang melahirkan
Republik negara kita yang berangkatan senjata kuat. Namun, pertanyaan tentang
kejahatan perang tetap sangat penting, meskipun hanya sebab Belanda banyak
berpatokan pada nilai-nilai agenda internasional tentang hak asasi manusia,
dalam perdamaian dan peperangan. Termasuk dalam pertanyaan itu yaitu
refleksi masa lalu angkatan bersenjatanya sendiri.
Sejak penyerahan kedaulatan negara kita pada Desember 1949 pemerintah
Belanda membuat tiga pernyataan yang mengundang perhatian tentang perang
di negara kita . Di tahun 1969 Perdana Menteri Piet de Jong menyatakan bahwa
serdadu Belanda mungkin saja telah melakukan kesalahan terhadap apa yang
disebut spesifik dengan ‘ekses-ekses’– eufemisme untuk tindakan kejahatan
perang – namun ‘bahwa angkatan bersenjata itu secara keseluruhan telah
melakukan tindakan yang tepat dan benar’. Di tahun 2005 Kabinet Balkenende
melalui ucapan Menteri Luar Negeri Ben Bot menyampaikan penyesalan atas
penderitaan yang diakibatkan, dan menyatakan bahwa Belanda telah melakukan
perang ‘dengan berpijak pada sisi sejarah yang salah’. Jadi, suatu perang, yang
setelah ditinjau di kemudian hari, dianggap seharusnya tidak dilakukan (begitu).
Pada akhirnya di tahun 2011 Kabinet Rutte meminta maaf kepada janda-
janda dari para lelaki negara kita yang ditembak mati tanpa pengadilan di Desa
xix
Rawagede di Jawa. Kemudian lagi-lagi menyusul permintaan maaf, yang setiap
kali dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa khusus seperti di Sulawesi, namun tidak
untuk tindakan serdadu Belanda dalam pengertian lebih luas.
Bahwa tindak kejahatan perang dilakukan oleh pihak Belanda yaitu
jelas. Sementara ini sudah muncul pelbagai penelitian yang mennaskah tasikan
kejahatan-kejahatan itu. Juga dalam media peristiwa-peristiwa yang baru
dikemukakan, atau peristiwa yang sudah diketahui mendapat perhatian lagi.
Namun, dalam skala mana dan di bawah kondisi apa ‘tindakan-tindakan di luar
batas semacam itu’ betul terjadi – dan apakah istilah itu cukup mencakup –
tetaplah tidak jelas dan menjadi perdebatan.
Para veteran memperdengarkan suara mereka dalam perdebatan ini.
Itu masuk akal: mereka ada di sana waktu itu, mereka mengalami realita yang
sebenarnya, mereka tahu apa yang dibicarakan. Namun, mereka sama sekali tidak
bersuara sama, dan pastilah tidak jika menyangkut tindak kejahatan perang.
Ada, dalam jumlah yang terbatas, yang sekarang juga masih memperdengarkan
suaranya di media, dan dalam jumlah lebih banyak, mempublikasikan
pengalaman-pengalaman mereka, atau menugaskan orang menerbitkannya.
Setiap naskah ego (egodocumenten) atau catatan pribadi itu masing-masing
hanyalah kesaksian individual namun analisis yang sistematis dan tanpa prasangka
dari korpus keseluruhan dapat memberi gambaran yang lebih seimbang, dan
dengan begitu juga gambaran yang lebih jelas dalam perang itu sendiri.
Itu merupakan titik tolak dari artikel ini, didasarkan pada semua publikasi
naskah ego dari para serdadu yang bertugas dalam angkatan bersenjata Belanda
di negara kita antara 1945 dan 1950.1 Korpus ini merupakan sumber yang unik –
659 artikel harian, korespondensi, artikel kenangan, memoar, sketsa biografis, teks
dalam 100.000 halaman dengan isi kata-kata dari 1.362 tentara dan veteran. Itu
yaitu sumber yang perlu ditangani secara hati-hati – tentang hal itu akan lebih
banyak ditemukan kemudian dalam artikel ini – namun walaupun begitu sumber
itu menyediakan cukup bahan sebagai sumbangan kuat bagi perdebatan tentang
perang.
1 Secara resmi KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger ‘Tentara Kerajaan Hindia-Belanda’)
tidak termasuk dalam angkatan bersenjata Belanda (Nederlandse Koninklijke Landmacht/
KL ‘Angkatan Darat Kerajaan Belanda’ dan Nederlandse Koninklijke Marine/KM ‘Angkatan
Laut Kerajaan Belanda’), namun angkatan bersenjata Hindia-Belanda. Namun, dalam situasi
setelah perang, pembedaan resmi ini tidak ada lagi. Oleh sebab itu, dalam artikel ini, misalnya
juga dalam reaksi pemerintah atas Excessennota (Nota Ekses), disebutkan tentang ‘angkatan
bersenjata Belanda’ dengan KNIL tercakup di dalamnya.
Apa yang dihasilkan oleh penelitian ini? Pertama-tama yaitu sebuah artikel
yang berisi pernyataan-pernyataan langsung dari para laki-laki itu, dan satu-dua
perempuan, yang seringkali sangat memberi kesan mendalam, dalam formulasi-
formulasi yang mereka pilih sendiri atau kuasakan pada orang lain. Dalam makna
itu, artikel ini merupakan bunga rampai. Cerita itu seolah-olah merupakan cerita
yang utuh namun itu semu. Ada tema-tema yang dipilih atas dasar pemikiran
bahwa tema-tema ini dapat membantu memahami perang dan cara pikir serta
tindakan dari para serdadu itu. Dari sejumlah pasase yang melimpah ruah
diseleksi kutipan-kutipan yang representatif dan memiliki kekuatan isi kata.
Memang mungkin saja menambah lagi dengan ratusan halaman berisi kutipan-
kutipan dengan nada dan isi yang serupa.
Penelitian ini memberi gambaran tentang keragaman yang sangat
besar, suatu ragam yang luas tentang kenangan, pengamatan, visi, dan perasaan.
Di dalamnya dapat diuraikan pola-pola. Pertama-tama tentang pertanyaan
bagaimana para serdadu yang dikirim itu berpikir tentang misi yang harus mereka
penuhi di suatu negeri yang sama sekali asing bagi mereka. Arah kecenderungannya
jelas. Di awal misi itu dipikirkan dari sudut pembebasannya dan selanjutnya
dipikirkan pelaksanaan penertiban dan pengamanannya, dan masih di waktu
perang itu sendiri tumbuh sikap skeptis dan sinis. Terutama di tahun terakhir
perang, ketika pelbagai perspektif dengan cepat memburuk, terjadi demoralisasi;
ini dapat mengakibatkan tindak-tindak kekerasan yang di luar jalur. Setelah
perang, semakin banyak veteran yang meragukan arti dan manfaat perang.
Gambaran apa yang dimiliki oleh para serdadu Belanda itu tentang
negara kita ? Kebanyakan dari para serdadu itu jelas-jelas hanya memiliki
gambaran yang sangat samar tentang negeri dan masyarakatnya. Komentar
tentang masyarakatnya beragam dari mulai adanya simpati melalui paternalisme
dan eksotisme sampai rasisme yang blak-blakan. Secara positif dapat dikatakan:
mereka ingin melindungi ‘pribumi’ terhadap musuh militer (TNI) yang biasanya
digambarkan sangat negatif. Walaupun begitu, timbul juga sikap pengertian
terhadap para perintis kemerdekaan. Sikap pengertian itu sudah dimiliki oleh
sejumlah orang di tahun-tahun terakhir perang, sesudah perang lebih menguat
lagi. Namun, cara lawan, atau lebih tepat lawan-lawan, melakukan perang terus
saja dinilai negatif. Argumen bahwa musuh berperang secara tak diduga dan
kejam juga di kemudian hari di kalangan sendiri dipakai sebagai pernyataan dan
pembenaran untuk tindakan keras.
xxi
Mengenai angkatan bersenjata sendiri ada garis pemisah antara
Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) dan Angkatan Laut Kerajaan Belanda
(KM) di satu pihak, Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) di lain pihak. Para
serdadu Belanda menilai secara ambivalen baik metode keras dari para tentara
KNIL maupun kolega-kolega mereka yang rekrutan lokal itu, yang dikatakan
bahwa mereka itu berani, efektif, dan dengan begitu dibutuhkan, namun mereka
itu seringkali juga melakukan tindak kekerasan. Politik Belanda banyak sekali
dinilai negatif: pemerintah di Den Haag yang jauh tidak mengerti apapun tentang
kenyataan di tempat, lemah dan tidak berprinsip, melenyapkan kesuksesan
militernya di meja perundingan sebab khawatir akan opini internasional.
Sebagian besar, antara 75 dan 80 persen dari semua tentara dan veteran
tidak melaporkan tindak kejahatan perang, menyatakan secara eksplisit mereka
bukanlah pelaku atau saksinya, dan/atau membantah tegas bahwa kejahatan-
kejahatan itu memang terjadi. Hanyalah sebagian kecil saja yang menyebutkan
tentang tindakan-tindakan kekerasan di luar jalur. Walaupun demikian, dalam
korpus 659 naskah ego teridentifikasi hampir 800 tindakan kejahatan perang,
dari pembakaran dan perampokan dengan penganiayaan dan penyiksaan sampai
pemberondongan atau penembakan individual dan kolektif. Separuh dari berita
ini menyangkut korban mati, seperti eksekusi tanpa pengadilan dan penembakan
tawanan ‘yang melarikan diri’; kategori berikutnya, seperempatnya, menyangkut
penganiayaan-penganiayaan. Ini merupakan data yang mengejutkan.
Pertanyaan-pertanyaan seputar laporan yang kurang lengkap dan
representativitasnya dibicarakan secara rinci dalam artikel ini. Merupakan
ilusi berpikir bahwa waktu dapat dibuat suatu penetapan yang kuat tentang
jumlah tindakan kejahatan perang yang dilakukan oleh para tentara angkatan
bersenjata Belanda. Masuk akallah kalau segala acuan ke kejahatan-kejahatan
yang ditemukan dalam korpus ini – yang disinyalir hanya oleh sekelompok kecil
saja dari keseluruhan angkatan bersenjata – hanya merupakan bagian kecil dari
hal yang besar yang bisa diketahui. Penghitungan dasar memberi gambaran
bahwa jumlah kejahatan perang haruslah ditaksir cenderung ke puluhan ribu
daripada ribuan. Secara kolektif dan dalam konteks kontragerilya, angkatan
bersenjata Belanda telah bersalah melakukan tindak kejahatan perang dalam
skala yang signifikan; tindakan kekerasan yang melampaui batas ini terjadi secara
struktural, bukan fenomena insidental saja, demikian seharusnya disimpulkan.
Gambaran itu sangat berbeda dengan yang disampaikan oleh Kabinet De Jong
pada tahun 1969, dan suatu kesimpulan yang hanya sesuai dengan citra diri
xxii
nasional negeri Belanda yang apik di mana tindakan kekerasan semacam itu
hanyalah diasosiasikan dengan negara-negara lain.
Dengan ini sama sekali tidak boleh disimpulkan bahwa semua tentara
terlibat dalam hal tindak kejahatan perang. Juga jangan pula mengartikan bahwa
pimpinan militer secara sistematis mendorong tindakan kejahatan perang,
sebagai praktik yang diperbolehkan. Tindakan seperti itu justru dilarang secara
eksplisit. Mengenai pertanggungjawaban militer dan politik atas kejahatan
berdasarkan korpus ini hanyalah bisa diberikan pernyataan-pernyataan secara
hati-hati: tentang rantai komando tidak cukup ditemukan dalam naskah
ego, dan apalagi yang ada yaitu pernyataan-pernyataan yang bertentangan.
Boleh dikatakan bahwa para perwira (bawahan) yang lebih rendah diberikan
sangat banyak keleluasaan. Sedikitnya nampak seolah-olah tindak preventif dan
penghukuman atas kejahatan perang tidak mendapat prioritas utama, khususnya
ketika konflik itu meruncing dan kemungkinan menang perang berbalik. Itu
yaitu kesimpulan yang memprihatinkan yang juga didapatkan oleh peneliti-
peneliti lain, berdasarkan sumber-sumber yang sama sekali berbeda.
Di saat-saat tindakan kekerasan digambarkan, tindakan itu juga
dipikirkan, baik di tempat maupun (jauh) di kemudian hari. Refleksi-refleksi
itu beragam. Pernyataan-pernyataan dikemukakan yang kadang-kadang juga
bersifat menuntut pembenaran: tantangan-tantangan yang tidak dapat diduga
dari kontragerilya; keharusan mengambil keputusan cepat, better safe than
sorry, tindak balas dendam terhadap perbuatan keji musuh. Ada juga keraguan,
kadang-kadang penyesalan tentang perilaku sendiri atau tentang keterlibatan ikut
bersalah yang dialami – dengan berjalannya tahun, jadi terutama dalam memoar
dan catatan biografi, hal itu diungkapkan lebih sering dan lebih tegas.
Dua bab terakhir yang berdasarkan tema terutama dipusatkan untuk
membahas tentang kehidupan serdadu dan juga periode kepulangan mereka dan
khususnya saat sesudahnya. Sebanyak mungkin melalui naskah -naskah ego
itu didapatkan informasi yang selama perang tidak, hanya sepintas atau sembunyi-
sembunyi ditulis oleh para serdadu, seperti stres dan seks. Di mana sejumlah
besar (mantan) tentara menempatkan tindak kekerasan eksesif itu dalam konteks
better safe than sorry, maka wajarlah kalau ketakutan dan stres dapat dikaitkan
dengan perilaku semacam itu. Praktik seks bayaran yang kebanyakan tidak
diungkapkan, namun ternyata sudah meluas – pemerkosaan jarang sekali disebut
– memberi kesan telah terjadi suatu penyimpangan dari norma-norma di rumah.
Tidak tertutup kemungkinan adanya paralel di sini. Di mana keadaan perang
xxiii
menyebabkan lepas kendali, dan penurunan batas normatif seks, maka ini juga
bisa berlaku untuk pemakaian kekerasan yang melampaui batas.
Di dalam cerita-cerita dari para veteran yang lama sesudah kepulangannya
(memberi kuasa untuk) menuliskan pengalaman dan perasaannya, kelihatan
sekali adanya sikap telah diperlakukan secara tidak adil: tentang banyaknya
penempatan paksa dalam perang yang sesudahnya dianggap sebagai suatu
kesalahan, tentang tahun-tahun yang hilang sebagai warga sipil, tentang
kurangnya penghargaan dari politik dan masyarakat, tentang ketidakmengertian,
bahkan di lingkungan dekat mereka sendiri. Dalam konteks itu naskah -
naskah ego itu seringkali lebih mengungkapkan – yang bisa dimengerti –
keluh kesah diri daripada pencelaan diri. Lama-kelamaan trauma menjadi tema.
Dan kekerasan dibicarakan berangsur-angsur dengan lebih terbuka dan kritis,
walaupun juga mayoritas menyatakan bahwa mereka bukan saksi, apalagi pelaku
kejahatan perang. Pernyataan yang terakhir itu menjelaskan adanya nada sengit
dari para veteran dalam debat-debat kemudian yang membela diri terhadap apa
yang mereka pandang sebagai tuduhan yang tidak beralasan.
Bagaimana hubungan antara titik-titik tera 1969-2005-2011 dan temuan-
temuan itu dalam artikel ini? Bahkan suatu kesimpulan yang disusun sangat hati-
hati pun menguburkan titik tolak pemerintah tahun 1969 yang menyatakan
bahwa kekerasan eksesif hampir tidak pernah terjadi. Kesimpulan dari tahun
2005, bahwa setelah ditinjau kemudian Belanda seharusnya tidak menjalankan
perang itu (begitu), yaitu pada dasarnya suatu kesimpulan politik, dari perspektif
ilmiah yang paling-paling dapat didukung dengan pernyataan bahwa semua
perang dekolonisasi yang dilakukan oleh negeri-negeri induknya pada akhirnya
mencerminkan pandangan dunia yang kuno dan seluruh perang itu gagal. Dari
sudut pandang inilah anak judul artikel ini dipilih dan dalam judul disebutkan
‘negara kita ’, bukan ‘Hindia’.
Permintaan maaf yang disampaikan oleh pemerintah Belanda di tahun
2011 untuk tindakan kejahatan perang yang spesifik kembali menjadi tanda
isyarat politik, lagipula dipaksa dalam ruang pengadilan. Para veteran Belanda
mengecam permintaan maaf dari pemerintahnya dengan mengacu ke tindakan
kejahatan perang yang dilakukan oleh pihak lawan. Bahwa pihak(-pihak) lawan
telah bersalah melakukan kejahatan perang dalam skala yang besar dipandang
jelas. Apakah sebab itu semua pihak harus meminta maaf yaitu pertanyaan
yang lain, yang berkaitan dengan soal legitimasi perang itu sendiri dan dengan
demikian pertanyaan siapakah agresor yang memancing tindak kekerasan balik –
xxiv
tentang hal itu pada waktu itu ada perbedaan pendapat, namun juga setelah
di belakang hari perbedaan itu masih ada. Pertimbangan itu, dan pertanyaan
apakah permintaan maaf dan ganti rugi uang memang benar dan diinginkan,
yaitu suatu perkara politik dan bukanlah topik artikel ini. artikel Serdadu Belanda
di negara kita ini memang memberi kesan bahwa jika ada kemungkinan niat
pemerintah selanjutnya memberi ganti rugi, maka itu akan menyangkut suatu
jumlah tindak kejahatan perang yang lebih besar daripada yang selama ini
disangka di Belanda.
artikel Serdadu Belanda di negara kita tidak memberi penilaian moral.
Maksud penelitian ini yaitu untuk merekonstruksi tanpa prasangka aspek-
aspek perang yang hakiki dan cara mengatasinya dan dengan demikian
memperlakukan dengan adil orang-orang yang memartikel kan segala pengalaman
dan kenangannya atau yang menguasakan ke orang lain untuk menyusunnya
dalam artikel . Dalam makna itu, Serdadu Belanda di negara kita juga merupakan
bukti penghargaan bagi para lelaki itu. Secara bersamaan diajukan pertanyaan-
pertanyaan yang sulit berdasarkan cerita-cerita mereka dan kadang-kadang ditarik
kesimpulan-kesimpulan yang menyakitkan, terutama tentang pemakaian dan
pernyataan tentang tindak kekerasan ekstrem. Dari perspektif masa kini tidaklah
bisa dihindari, bahkan diharuskan, bahwa pertanyaan-pertanyaan ini dibawa ke
meja diskusi. Namun, Serdadu Belanda di negara kita juga menjelaskan bahwa
kebanyakan yang bersangkutan sudah selama perang, dan yang pasti sesudahnya,
bergelut dengan segala pertanyaan ini. Tidak hanya pertanyaan tentang arti dan
pembenaran perang itu namun juga tentang pemakaian tindak kekerasan: di
mana letak batasnya, untuk kolektif dan untuk diri sendiri?
xxv
Catatan untuk pembaca
Dalam artikel asli
Kutipan-kutipan dialihkan dari naskah -naskah ego asli tanpa perubahan,
kecuali perubahan-perubahan kecil pada tanda baca, pemakaian huruf besar dan
kesalahan pengetikan yang penting. Dalam teks-teks lain untuk nama geografis
dan orang dipakai ejaan bahasa negara kita yang modern. Pada kutipan dari
naskah ego dicantumkan tanggal publikasi dan/atau catatan asli. Jenis sumber
juga diberikan, seperti berikut:
anders: and
artikel: art
biografie: bio
brieven: brv
bundel: bdl
dagboek: dgb
gedenkboek: ged
interview: int
memoires: mem
roman: rom
Dalam artikel terjemahan ini
Dalam artikel terjemahan teks kutipan dari naskah ego di artikel asli dialihkan
ke bahasa negara kita dengan susunan kalimat separalel mungkin aslinya, dengan
mengikuti kaidah bahasa negara kita . Pemakaian tanda baca dalam teks terjemahan
didasarkan atas kelaziman dalam bahasa negara kita . Ejaan lama pada nama
geografis dan orang dalam kutipan dari naskah ego dipertahankan seperti
dalam artikel aslinya. Keterangan pada kutipan tentang tanggal publikasi dan/atau
xxvi
catatan asli serta jenis sumber juga dicantumkan dalam singkatan negara kita nya,
seperti berikut:
artikel: art
biografi: bio
artikel harian: bh
artikel kenangan: bk
interviu: int
kumpulan: kpln
lainnya: ln
memoar: mem
roman: rom
surat: srt
Di dalam teks terjemahan, dalam setiap bab pada penyebutan pertama dari
istilah Belanda, disebutkan pertama istilah Belanda itu dan kemudian
diikuti dengan terjemahan negara kita nya, misal: Genieveldcompagnie (Kompi
Zeni), Oorlogsvrijwilliger (OVW, sukarelawan perang). Pada penyebutan kedua
dan selanjutnya dalam bab itu dipakai terjemahan negara kita nya saja,
kecuali pada Excessennota yang tetap dipakai istilah Belandanya dan ditulis
miring sebab istilah ini yaitu judul artikel . Demikian juga untuk penyebutan
pertama pada nama resmi kesatuan militer Belanda, dipakai lebih dahulu
istilah Belandanya dengan diikuti oleh singkatannya. Terjemahan negara kita nya
diberikan sesudahnya dalam kurung, misal: Nederlandse Koninklijke Landmacht
(KL, Angkatan Darat Belanda), Korps Speciale Troepen (KST, Korps Pasukan
Khusus). Pada penyebutan selanjutnya dalam bab itu dipakai terjemahan
negara kita nya dan kadang, jika dirasa lebih memperjelas, dalam kombinasinya
dengan singkatan Belanda, misal: Angkatan Darat (Kerajaan) Belanda (KL), Korps
Pasukan Khusus (KST). Dalam konteks terjemahan yang sudah jelas mengacu ke
nama kesatuan Belanda, pada umumnya pada naskah ego, seringkali cukup
dipakai dalam kombinasi dengan singkatan Belandanya saja, misal: tentara
KL, anggota KST.
11
Pendahuluan
Tujuh puluh tahun yang lalu, perang dekolonisasi Belanda-negara kita berawal.
Kini, di kedua negara hanya tinggal sedikit militer dari generasi terakhir, yang
pada masa mereka direkrut masih merupakan pemuda hijau. Semua politikus
dan pejabat tinggi militer dari masa itu – yang memang lebih tua usianya –
sudah meninggal. Kadang-kadang ada veteran yang mau diwawancarai, dan ada
beberapa dari mereka yang masih dalam proses menulis memoar, namun yang
pasti semua kegiatan itu semakin berkurang saja. Rupanya, waktu tidak pernah
berhenti menjalankan tugasnya. Kadang-kadang, keluarga mereka menemukan
surat-surat atau artikel harian dan bertanya-tanya apa yang harus dilakukan
dengan itu semua. Mereka mungkin jadi menyalahkan diri sendiri sebab dulu
tidak lebih banyak bertanya kepada ayah atau kakek mereka tentang masa itu,
tentang apa yang mereka alami di sana dan apakah masa itu membekas dalam
hidup mereka, atau tidak.
Kanon sejarah negara kita tidak dapat ditafsirkan secara lain: suatu
revolusi yang sah di mana melalui suatu perjuangan heroik sekelompok suku
bangsa bersatu memaksa penjajah bertekuk lutut dan berjuang bersama demi
kemerdekaan mereka. Dalam kisah-kisah yang disajikan di museum nasional dan
artikel pelajaran sekolah masih sedikit ruang untuk nuansa itu. Hampir tidak ada
refleksi tentang pertentangan-pertentangan internal yang mendalam dari Revolusi
negara kita di mana orang negara kita bukan hanya berperang melawan kekuasaan
kolonial namun juga berperang melawan sesama mereka sendiri, atau juga tentang
orang negara kita yang berpihak pada Belanda dan kadang-kadang berjuang untuk
mereka. Kurang ada perhatian untuk proses perundingan dan dukungan yang
krusial bagi para pejuang Republik dalam masyarakat internasional di bawah
pimpinan AS. Cerita yang mendominasi salah satunya tentang kepahlawanan
2
para militer. Memoar mereka, yang sebagian besar ditulis semasa rezim jenderal
Suharto, dipenuhi dengan rasa kebanggaan. Bisa dimaklumi, sebab mereka
berbicara tentang peran mereka sebagai pemenang perjuangan yang sejalan dan
setujuan. Tidak perlu diragukan lagi pasti juga ada kenangan-kenangan dan
cerita-cerita lain, namun jumlahnya masih belum banyak dan cerita-cerita itu
belum bisa tercakup dalam kanon sejarah negara kita .
Tidak dapat dikatakan ada kanon sejarah Belanda yang jelas; ingatan
Belanda tentang masa perang terpecah-pecah dan penuh dengan pertentangan-
pertentangan. Perang ini tentu saja tidak dituliskan dengan rasa bangga dalam
artikel tahunan sejarah nasional Belanda. Wajar, sebab perang itu berakhir dengan
kegagalan total. Angkatan pertama militer mendaftarkan diri secara sukarela
untuk mengusir si ‘musuh Jepang’ dari ‘negeri Hindia kami’, tapi rupanya di
sana tidak ada pertempuran melawan Jepang. Orang Jepang sudah berkapitulasi
sebelum pasukan pertama Belanda menjejakkan kaki di bumi Hindia. Setelah itu,
pemulihan ‘Orde en Vrede’ (Ketertiban dan Perdamaian) dijadikan moto, tapi hal
itu tidak berhasil dicapai, setidaknya tidak di setiap tempat dan yang pasti tidak
permanen. Yang pada awalnya diperkenalkan sebagai aksi militer terbatas terhadap
para pemberontak yang memiliki sedikit dukungan dari penduduk negara kita ,
akhirnya menjadi perang betulan, suatu gerilya dan kontragerilya dengan ukuran
besar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Belanda. Perang
yang pada awalnya juga didukung secara luas dalam politik Belanda, namun yang
makna dan legitimasinya dalam dasawarsa berikutnya semakin dipertanyakan –
berpuncak pada deklarasi pemerintah Belanda tahun 2005, yang menyatakan
bahwa setelah ditinjau kembali ternyata negara kami berada ‘pada sisi sejarah
yang salah’. ‘Kami’ pada waktu itu belum mengerti bahwa zaman telah berubah
selamanya, bahwa peran kami di negara kita sudah berakhir.
Tapi kenangan dan penilaian tetap sangat terpecah dan perdebatan tentang
tahun-tahun 1945-1950 terus membangkitkan emosi yang kuat, setidaknya di
antara kelompok terakhir yang mengalami sendiri periode itu dan kerabat
keluarga mereka: bukan hanya para veteran dan anak-anak mereka, namun juga
keluarga dari ‘para repatrian’ yang telah kehilangan negeri Hindia mereka dan
harus menukar Republik negara kita yang baru dengan Belanda. Mereka terus-
menerus dihadapkan dengan pendapat-pendapat bahwa kolonialisme Belanda
di Hindia bukan tindakan yang benar, dan sebab itu orang-orang yang ada
di sana pada masa sebelum perang juga menjadi tersangka dan dituduh ‘salah’,
3
seperti juga mereka yang setelah masa perang membela orde kolonial melawan
nasionalisme.
Tuduhan salah itu menimpa baik para repatrian maupun para
veteran, yang oleh sebab itu merasa diri mereka bersama-sama didudukkan di
kursi tersangka – beberapa dari mereka tetap merasakan perasaan itu hingga saat
ini. Banyak dari mereka, dengan atau tanpa perasaan pahit, hanya mengangkat
bahu dalam menanggapi banyaknya kesalahpahaman, beberapa dari mereka
menentang mati-matian melawan apa yang mereka anggap sebagai prasangka
dan kurangnya pengetahuan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu.
Dan dalam hal itu mereka sering benar: cara banyak orang yang di belakang hari
memberi penilaian yang menghakimi tentang suatu periode yang sebenarnya
hanya sedikit mereka ketahui yaitu sangat mudah. Memang boleh dikatakan
memalukan, tapi tidak mengherankan. Sebenarnya seperti halnya semua sejarah
kolonial Belanda, perang ini juga hanya sedikit menjadi bagian dari kesadaran
nasional. Baru-baru ini sajalah hal itu mendapat lebih banyak perhatian dalam
dunia pendidikan, media, dan kehidupan budaya.
Perang kolonial
Militer dilatih untuk berperang. Perang-perang yang sering dipandang perlu
untuk membela negara sendiri, sekutu, atau untuk membuat dunia lebih aman.
Dahulu keadaannya berbeda, namun kini tidak ada negara yang secara eksplisit
memberi tugas agresif kepada bala tentaranya sendiri – ‘pertahanan’ yaitu
semboyan masa kini. ini tentu berlaku untuk angkatan bersenjata Belanda,
yang sebagai anggota NATO pada pascaperang terutama mendapatkan tugas-
tugas pertahanan. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, angkatan bersenjata
Belanda semakin sering terlibat dalam misi perdamaian internasional. Operasi
itu, selalu dalam konteks internasional, sering berkarakter misi pembangunan:
suatu kombinasi dari penjagaan perdamaian dan peningkatan pembangunan
lokal. Dengan begitu para militer bukan hanya dilatih untuk bertempur secara
militer, namun juga untuk melakukan pekerjaan pembangunan.
Berdasarkan keyakinan dan kepentingan pribadi yang bisa dimengerti,
sejak abad kesembilan belas sampai pada masa pendudukan Jerman pada
tahun 1940, Belanda menggolongkan dirinya sebagai negara netral dengan
ambisi militer utama untuk melindungi perbatasan negara sendiri. Pada masa
antarperang, Belanda tidak memiliki budaya militer yang kuat; juga tidak
4
setelah tahun 1945, walaupun pada masa itu status netralnya sudah ditinggalkan.
Meskipun begitu, pada tahun-tahun pertama setelah Perang Dunia II, Kerajaan
Belanda melancarkan operasi militer terbesar dalam sejarahnya, bukan di Eropa
tapi di tanah jajahan Hindia-Belanda. Misi yang diperintahkan kepada para
militer memang bersifat kolonial dan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan
geopolitik Belanda yang tidak dapat dianggap sepele, namun kalau dilihat dari
konteks kehidupan sekarang, sifat misi itu lebih biasa dan kontemporer
daripada yang mungkin dapat diduga. Moto yang dipakai yaitu pemulihan
ketenangan dan keamanan, menciptakan tuntutan-tuntutan yang dibutuhkan
untuk pembangunan kembali setelah adanya pendudukan asing yang
menghancurkan. Pekerjaan pembangunan dengan tujuan yang mengingatkan
pada misi penjaga perdamaian masa kini, termasuk memerangi para ‘ekstremis’
dan ‘teroris’.
Kenyataan yang sebenarnya yaitu lebih rumit, dan ada sejarah awal kolonial
di mana dahulu angkatan bersenjata di daerah kolonial dibebani tugas yang sangat
berbeda daripada tugas yang biasanya di Belanda. (Koninklijk) Nederlands-
Indisch Leger (KNIL) yang didirikan pada tahun 1830 menjalankan serangkaian
panjang aksi militer dan perang dalam rangka ‘pasifikasi’ di Nusantara. KNIL
dan juga polisi – yang keduanya dipimpin oleh orang Belanda dan sebagian besar
diperkuat oleh orang-orang keturunan Eropa (Indo) dan orang-orang negara kita
– diperlukan untuk memelihara ketertiban dan keadaan tenang. Yang dimaksud
yaitu ketertiban dan keadaan yang relatif tenang menurut definisi yang lazim
buat suatu negara kolonial yang terus-menerus menjadi semakin besar, suatu
negara yang mandatnya tidak ada selain dari kewajaran dalam cara bagaimana
‘negara induk’ serta penduduk Eropa di Nusantara menganggap ‘Orde Kolonial’
itu sebagai sesuatu yang lazim.
Di daerah tanah jajahan pemikiran itu berangsur-angsur berubah, sudah
dimulai sebelum pecahnya perang dan yang pasti setelahnya. Pada tanggal 17
Agustus 1945, dua hari setelah Jepang berkapitulasi, Sukarno dan Mohammad
Hatta memproklamasikan Republik negara kita . Dan di saat itu pula dimulai
aksi militer Belanda terbesar, yang dipertanggungjawabkan sebagai suatu misi
‘Voor Orde en Vrede’ (Untuk Ketertiban dan Perdamaian), namun yang tentu
di luar Belanda semakin dianggap sebagai perang kolonial murni. Hal itu tidak
mengherankan. Sudah jelas bahwa motif Belanda sebagian dapat dikatakan bersifat
paternalistis, namun juga ada motif lain yang jelas-jelas memiliki kepentingan
geopolitik dan terutama ekonomi: Negeri Belanda yang menjadi sangat miskin
5
setelah pendudukan Jerman khawatir kalau tanpa adanya hubungan kuat dengan
‘Hindia’ tidak bisa menyelamatkan diri.
Bagi para militer KNIL, jumlahnya antara 70 – 80.000 orang, situasinya
juga terasa baru: mereka harus membangun kembali pasukan mereka sesudah
pendudukan Jepang, lalu mereka harus bekerja sama dengan bala tentara Belanda
yang jumlahnya secara cepat lebih besar daripada mereka itu, dan bahkan dalam
perang Aceh sebelumnya belum pernah terjadi pertempuran yang sebegitu
besar-besaran dan penuh kekerasan demi memperebutkan kedaulatan. Bahwa
kekerasan harus dipakai untuk memerangi ‘pemberontakan’, bukanlah hal
yang baru bagi KNIL.
Bagi kebanyakan militer yang baru didatangkan dari Belanda, semuanya
justru merupakan hal baru. Bukan hanya daerah tropis, daerah yang penduduk
setempatnya digambarkan sebagai masyarakat yang memiliki mentalitas dan
suasana hati yang sulit diduga, namun yang terasa baru untuk kebanyakan dari
mereka juga fakta nyata bahwa mereka yaitu militer dan harus bertindak sebagai
militer. 100.000 dari 150.000 orang Belanda yang ditempatkan di negara kita
antara tahun 1945 dan 1950 yaitu tentara wajib militer. Mereka yaitu pemuda
hijau tanpa pengalaman militer. Sangat mungkin saja mereka sudah pernah
melihat cara kerja tentara Belanda pada masa ‘meidagen’ 1 tahun 1940, sesudah itu
empat sampai lima tahun melihat aksi dari tentara Jerman, dan kemudian juga
tentara Sekutu. Namun, berbeda dengan para tentara profesional yang jumlahnya
sangat terbatas dan para sukarelawan perang, anak-anak muda itu sampai
sesaat sebelum mereka naik kapal belum pernah memegang senjata, dan juga
tidak pernah mengikuti pendidikan militer.
Misi yang ditugaskan pada mereka saat dikirim ke Hindia, digambarkan
sebagai pekerjaan yang bertujuan perdamaian dan pembangunan masyarakat.
Bahwa mungkin akan ada keterlibatan dengan kegiatan perang juga jelas bagi
mereka. namun lama, ukuran, dan intensitas dari apa yang pada akhirnya memang
menjadi perang yang sebenarnya, yaitu hal yang sama sekali berbeda dari dugaan
mereka. Di pihak Belanda hampir semua pihak – politik, militer, opini publik
– pada awalnya memiliki perkiraan yang terlalu optimis; butuh waktu lama
sebelum mereka menyadari hal yang sebenarnya terjadi, dan kemudian menjadi
jelas bahwa ternyata exit strategy belum tersedia.
1 Masa penyerbuan Jerman ke Belanda di bulan Mei 1940.
6
Tidak pernah ada perang yang bersih, dan terutama perang berkarakter
gerilya dan kontragerilya seringkali kotor. Pengertian kata ‘bersih’ saja sudah
merupakan konsep yang sulit. Andai saja perang bisa diterima, di mana batas
antara tindakan perang ‘biasa’ dan kejahatan perang yang tidak diperbolehkan?
Dan apakah hubungan intensi pihak yang berperang dengan hal itu? Apakah
ke(tidak)absahan aksi militer Belanda bisa memiliki konsekuensi untuk
evaluasi kekerasan di belakang hari? Apakah kekerasan itu sudah tentunya harus
dianggap ‘salah’ sebab sekarang, (lama) setelah kejadian itu berlalu, tampaknya
menjadi konsensus bahwa perang ini merupakan refleks kolonial yang ‘salah’ dan
tidak bijaksana? Itu semua merupakan pertanyaan retorik yang bernada moralistis.
Pendekatan dalam artikel ini berbeda – artikel ini mengemukakan pertanyaan-
pertanyaan analitis tentang sifat dan frekuensi kejahatan perang, tentang konteks
pelaksanaan tindakan itu, dan tentang bagaimana pemikiran orang-orang yang
terlibat tentang hal itu, pada masa itu sendiri dan di belakang hari.
Jalannya perang
Ketika Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945 dan dua hari kemudian
Republik negara kita diproklamasikan, tidak ada tentara Belanda di Jawa dan
Sumatra. Ketertiban itu harus dijaga oleh koalisi yang agak ganjil yang terdiri dari
pasukan Inggris – bagian dari South East Asia Command (Komando Sekutu Asia
Tenggara) – yang mendarat pada bulan September dan tentara Jepang yang telah
dikalahkan. Pimpinan militer Inggris di Asia Tenggara di bawah komando Lord
Louis Mountbatten menyadari bahwa ada perlawanan kuat di wilayah-wilayah
negara kita terhadap pemulihan tatanan kolonial, dan juga menyadari bahwa
kekuatan militer mereka jauh dari memadai. Oleh sebab itu, yang dijadikan
pegangan mereka yaitu pengendalian diri agar tidak membangkitkan agresi
negara kita dan menjaga jarak dengan pemerintah Hindia-Belanda yang ingin
dengan segera tanah jajahan itu berada di bawah kontrol mereka lagi.
namun pasukan Inggris tidak berhasil mempertahankan ketertiban, dan
mereka sendiri juga tidak berhasil untuk tetap berada di luar pertempuran
itu. Oleh para politikus Republik negara kita dan para militer, pasukan Inggris
dipandang sebagai kaki tangan kolonialisme Belanda, yang bagaimanapun
kehadirannya tidak dikehendaki. Di berbagai tempat, terutama di Surabaya,
pada akhir Oktober - awal November 1945 berlangsung suatu pertempuran yang
menewaskan ratusan tentara dari pihak Inggris dan dalam jumlah yang berlipat
7
ganda dari pihak pejuang negara kita . Bagi Inggris peristiwa itu tidak bakalan
mendatangkan kehormatan atau keuntungan strategis. Maka, antara Juni dan
Desember 1946 semua pasukannya meninggalkan negara kita . Pada waktu itu
Belanda juga sudah menghadirkan militernya kembali di Nusantara, meskipun
kehadiran mereka di Jawa dan Sumatra sampai musim panas 1947 masih dibatasi
dengan beberapa enklave saja (di dalam dan sekitar kota Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Medan, dan Palembang). Sementara Inggris pada waktu itu
segera merundingkan perdamaian, dan meyakinkan pendapat bahwa kembali ke
status quo kolonial praperang dengan semakin bertambahnya hari semakin tidak
terpikirkan, penguasa Belanda malah berpendapat yang sebaliknya. Pemulihan
ketertiban di bawah kekuasaan Belanda yaitu prioritas; apakah dan bagaimana
kemudian harus bekerja sama dengan kaum nasionalis masih lama menjadi isu
perdebatan antara para pemimpin sendiri dan antara lapisan atas para pejabat
pemerintah dan militer.
Setengah tahun pertama setelah Jepang menyerah, situasi di sebagian besar
Nusantara ditandai dengan pertempuran sengit demi kekuasaan – kebijakan
politik memecah-belah dan menguasai (divide et impera) dari Jepang sangat
memicu terjadinya pertempuran itu. Pada waktu itu terjadi bentrokan-bentrokan
keras antara kelompok-kelompok masyarakat negara kita yang saling bersaing,
juga terjadi tindakan kekerasan terhadap etnis minoritas – generasi pertama dan
kedua imigran Eropa, kelompok yang lebih besar dari orang campuran negara kita -
Eropa (Indo) – dan juga kekerasan terhadap‘pribumi’ yang dipandang sebagai
kolaborator. Kekerasan yang terjadi selama masa Bersiap yaitu sangat mengerikan.
Perkiraan jumlah orang Eropa yang dibunuh berkisar antara 3.500 sampai
20.000 orang lebih – perkiraan angka yang jauh berbeda ini memperlihatkan
kekacauan sosial dan administrasi pada periode itu. Angka jumlah pembunuhan
Peranakan Tionghoa, yang telah tinggal selama beberapa generasi di daerah tanah
jajahan itu, hanya bisa ditebak. Di masa itu terjadi penjarahan dan pembunuhan.
Peristiwa pembunuhan itu disertai penyiksaan keji dan pemerkosaan.
Di belakang hari peristiwa itu dikaitkan dengan genosida. Secara
analitis kaitan itu satu langkah terlalu jauh; pada masa itu tidak ada upaya
untuk memusnahkan seluruh penduduk Eropa atau Cina. Juga tidak bisa
dianggap bahwa kekerasan masa Bersiap itu sengaja diatur dan dikendalikan
oleh