arkeologi bali
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
arkeologi bali
Sebagai lembaga riset , Balai Arkeologi berperan menyampaikan informasi
hasil riset arkeologi kepada warga . Penyampaian informasi ini dapat dilakukan
melalui berbagai kegiatan seperti diskusi, ceramah, sosialisasi, seminar pameran, dan
terbitan berupa jurnal ilmiah. Hal ini merupakan perwujudan fungsi Balai Arkeologi
dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil riset arkeologi, serta melakukan
bimbingan edukatif kepada warga tentang benda yang bernilai budaya. Hasil
riset Arkeologi dapat dijadikan cerminan dari karakter budaya Nusantara yang
sangat beragam. Seiring lunturnya rasa kebangsaan yang terjadi dewasa ini, riset
bidang arkeologi diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada warga luas,
bahwa budaya nusantara sudah terbentuk sejak masa prasejarah. Untuk mengukap hal ini
diperlukan kajian dari berbagai ahli untuk mendapatkan hasil riset yang berkualitas.
Salah satu situs yang memiliki keunikan dan dapat mengungkap perjalanan sejarah suatu
wilayah adalah Situs Dorobata, Kabupten Dompu, Nusa Tenggara Barat. berdasar
hasil riset situs ini sudah dimaanfaatkan sejak masa Ncuhi sampai masa Islam-
kolonial. Oleh karena pentingnya situs ini, maka perlu diinformasikan kepada warga
luas melalui terbitan Berita riset Arkeologi. Mudah-mudahan dengan terbitnya
jurnal ini hasil riset Situs Dorobata dapat dimaknai positif oleh semua kalangan
warga .
Denpasar, 2018
Situs Doro Bata merupakan situs yang memiliki nilai penting bagi sejarah kebudayaan
warga Dompu, yang masih dapat disaksikan jejak-jejaknya hingga saat ini.
Tujuan riset ini untuk mengetahui bentuk, ruang, waktu, fungsi, dan makna
Situs Doro Bata. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dengan teknik
ekskavasi, studi pustaka, dan wawancara. Data dianalisis kemudian disimpulkan.
berdasar kegiatan riset di situs ini, dapat diketahui bahwa Situs Doro
Bata berbentuk teras dengan tujuh undakan dan sebuah tangga masuk dari arah
barat, dan pada bagian puncaknya ditemukan struktur yang diduga sebagai pondasi
bangunan dengan konstruksi kayu. Situs ini berada pada sebuah bukit yang layak
dijadikan hunian mengingat dukungan sumber daya alam di sekitarnya. berdasar
keterangan budayawan dan hasil studi literatur diketahui bahwa situs ini tercipta
saat Dompu mendapatkan pengaruh kebudayaan Majapahit pada abad ke-14, dan
diduga ditinggalkan pada abad ke-19 saat meletusnya Gunung Tambora. Doro
Bata diduga sebagai tempat pemujaan hingga pemakaman dan pusat kekuasaan
memiliki makna keharmonisan, kebersamaan, multikulturalisme, dan toleransi.
riset di Situs Doro Bata telah dilaksanakan sebanyak 16 tahap hingga tahun
2018 oleh Balai Arkeologi Bali. riset ini diawali dengan survei riset Islam di
Nusa Tenggara Barat yang merupakan sebuah proyek riset purbakala Bali, yang
dipimpin oleh Drs. Hasan Muarif Ambary dengan tim yang terdiri atas tenaga peneliti
dari Pusat riset Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) dan Balai Arkeologi Bali pada
tahun 1978. Doro Bata waktu itu mendapat perhatian karena kepercayaan warga
setempat bahwa di atas Bukit Doro Bata ada lubang yang memiliki keistimewaan
yakni warga percaya bahwa air yang ada di lubang ini sering dimanfaatkan
untuk menyembuhkan sakit dan sebagainya
Ambary mengungkapkan dalam hasil surveinya bahwa secara arkeologis bentuk
lubang yang dibuat pada batuan bukit, permukaannya berbentuk segi empat dan bundar
bagian tengah (gambar 1). Ambary juga mendapatkan keterangan bahwa beberapa tahun
Gambar 1. Lubang yang dipercaya memiliki keistimewaan.
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali)
yang lalu sebelum dilakukannya survei ada batu berbentuk silinder yang tergeletak
dekat lubang, saat dilakukan survei batu ini sudah tidak ada. Perkiraan waktu itu
bahwa bangunan di situs ini dibangun pada masa pra Islam
Pada tahun 1989 Tim Peneliti Balai Arkeologi Bali mengadakan riset untuk
yang pertama kalinya di situs ini, berkesimpulan bahwa pada bukit ini ada bangunan
berbentuk teras berundak ,Pada tahun 1991 merupakan riset tahap
ke-2. Bangunan di Situs Doro Bata yang berbentuk teras berundak merupakan konsep
dari tradisi Prasejarah berlanjut. Budaya ini berkembang sebelum mendapatkan pengaruh
Hindu-Buddha dari Kerajaan Majapahit. Teras berundak dimanfaatkan sebagai media
pemujaan kekuatan alam dan roh suci leluhur. Kemudian sesudah mendapatkan pengaruh
Hindu-Buddha bangunan ini diduga dimanfaatkan juga sebagai media pemujaan ,Kesimpulan ini bertahan hingga riset pada tahun-tahun berikutnya sampai
pada tahun 2010-2011 ditemukan struktur, yang diperkirakan jirat dengan tambahan
berupa nisan polos (gambar 2) dan berhias (gambar 3) yang mengindikasikan situs ini
juga dimanfaatkan untuk penguburan.
Nisan dan jirat yang ditemukan di situs ini merupakan bukti otentik bahwa di
tempat ini pernah ada pemakaman, dan dapat dijadikan indikator adanya perubahan
secara bertahap dari konsepsi kepercayaan pra-Islam ke masa perkembangan Islam. Telah
terjadinya alih fungsi Situs Dorobata dari pemujaan ke pemakaman. Nisan dan jirat yang
3ditemukan di Situs Dorobata merupakan satu kesatuan utuh dari sebuah makam. Orientasi
arah hadap makam yaitu utara-selatan, dan nisan mengarah pada gunung ,
Pada riset tahun 2016, ditemukan tiga struktur di puncak bangunan teras
berundak Doro Bata, yakni dua struktur batu bata dan sebuah struktur batu tufa berwarna
putih kehijauan , Pada riset tahun 2017 berusaha mencari kelanjutan
struktur yang telah ditemukan pada tahun 2016, dan berhasil ditemukan, yakni: struktur
pertama adalah sebuah sruktur pondasi bangunan berbentuk bujur sangkar, struktur
kedua tahun 2016 diduga sebagai tembok, namun pada tahun 2017 mengalami perubahan
kesimpulan bahwa struktur ini juga merupakan struktur pondasi bangunan. Pondasi ini
berukuran cukup besar, dan sudah diketahui dua sudutnya, yaitu sudut barat laut dan
timur laut, sedangkan ujung struktur yang mengarah ke selatan belum ditemukan (gambar
4). Struktur ketiga diduga sebagai selasar atau lantai yang posisinya di tengah struktur
kedua, yang akan diekskavasi tahun 2018
Temuan struktur di Situs Doro Bata dari beberapa tahap penelitin, semakin
menguatkan dugaan bahwa di situs ini pernah berdiri bangunan penting pada masanya.
Hal ini disebabkan lokasi bangunan berada di tempat yang tinggi. Selain itu bahan struktur
berupa bata merah, bukanlah material yang mudah dibuat atau ditemukan pada saat itu.
Pemanfaatan Situs Doro Bata berdasar tinggalan yang ditemukan dari riset
sebelumnya telah membuktikan bahwa Situs Doro Bata telah dimanfaatkan dari masa ke
masa.
Berbagai hasil riset ini membuktikan bahwa Situs Doro Bata merupakan
situs penting dalam mengungkap sejarah budaya Kabupaten Dompu di masa lalu yang
sarat akan nilai multikultur, keharmonisan, dan jatidiri bangsa. Selain itu, ada
berbagai permasalahan di lapangan terutama di sekitar situs telah terkepung oleh
permukiman penduduk, bahkan telah berada sangat dekat dengan kaki bukit atau bagian
dasar dari teras berundak. Hal ini menyebabkan penting dan mendesaknya riset ini
dilakukan dan dirampungkan, sehingga rekomendasi pelestarian dan pengembangannya
dapat segera diwujudkan.
Permasalahan riset yang diketengahkan pada riset tahun 2018 kali ini,
yang merupakan kebaruan dari riset sebelumnya adalah; (1) bagaimanakah bentuk
bangunan yang berdiri di Situs Doro Bata berdasar data arkeologi di situs ini ?
(2) Bagaimana pertimbangan lingkungan (ruang) sehingga situs ini layak dijadikan
tempat hunian? (3) Kapan situs ini dibangun, dimanfaatkan, dan ditinggalkan?
(4) fungsi dan makna apa saja yang tercermin pada bangunan ini dan bagaimana
konteksnya dengan lingkungan, serta situs lain di sekitarnya?
5Arkeologi mempelajari kebudayaan warga masa lalu melalui peninggalan
terbatas. Oleh karena itu dirumuskanlah tujuan riset ke dalam tiga pokok, yaitu
rekonstruksi sejarah kebudayaan, menyusun kembali cara-cara hidup warga masa
lalu, serta memusatkan perhatian pada proses dan berusaha memahami proses perubahan
budaya, sehingga dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa kebudayaan masa lalu
mengalami perubahan bentuk, arah, dan kecepatan perkembangannya. Secara khusus
adalah untuk mengetahui bentuk, ruang, waktu, fungsi, dan makna bangunan di Situs
Doro Bata dan konteksnya dengan situs, serta lingkungan di sekitarnya.
Balai Arkeologi Bali sebagai bagian dari Pusat Arkeologi Nasional merupakan
lembaga riset yang tugas dan fungsinya melaksanakan riset arkeologi, dengan
harapan dapat menggali nilai-nilai luhur tinggalan masa lampau melalui riset -
riset yang dilakukan; Mengembangkan berbagai pendekatan, teori, metode, dan
teknik riset untuk mencapai hasil yang optimal; Menyebarluaskan hasil-hasil
riset untuk meningkatkan pengetahuan warga dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, memupuk kebanggaan nasional dan memperkokoh jatidiri bangsa
riset ini juga diharapkan dapat digunakan untuk
merekonstruksi sejarah kebudayaan Kabupaten Dompu, memupuk toleransi, dan jati diri
bangsa.
Sutaba dalam tulisannya berjudul Tahta Batu Prasejarah di Bali, menguraikan
bahwa bentuk megalitik seperti teras berundak dan tahta batu pada masa Prasejarah
berfungsi sebagai media pemujaan bagi pemimpin yang dihormati
Kegunaan tulisan ini adalah sebagai sumber dalam menganalisis konsepsi tradisi
Prasejarah dalam mengulas bentuk, fungsi, dan makna bangunan tradisi megalitik berupa
teras berundak di Situs Doro Bata.
Soeryanto dalam bukunya berjudul Sejarah Kabupaten Dompu, menyatakan bahwa
sebelum Dompu mendapatkan pengaruh Hindu-Buddha sesuai dengan Bo Sangaji Kai
daerah Dompu dipimpin oleh Ncuhi, ada 5 Ncuhi yakni Ncuhi Hu’u, Daha, Saneo,
Nowa, dan Tonda yang masih menganut kepercayaan yang bersifat animisme, kemudian
mendapatkan pengaruh Hindu-Buddha hingga Islam (2013, 5, 26, 32-33). Kegunaan dari
tulisan ini adalah untuk mengetahui perubahan budaya yang pernah ada di Kabupaten
Dompu pada masa lalu.
Konsep
Situs adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung tinggalan
arkeologi seperti benda, bangunan dan/atau struktur sebagai hasil kegiatan manusia atau
bukti kejadian pada masa lalu , Doro Bata dalam bahasa daerah Dompu berasal
dari kata doro yang artinya gunung, ada pula kata dore yang artinya bukit, sedangkan
bata berarti bata. Jadi kata Doro Bata berarti gunung bata. Untuk mengungkap tinggalan
dalam sebuah situs secara konfrehensif diperlukan sebuah konsep yang kuat, seperti
mulai dari studi bentuk, ruang, waktu, fungsi, dan makna. Konsep ini akan mempermudah
dalam merekonstruksi tinggalan yang ditemukan di Situs Doro Bata. Istilah studi dalam
riset ini mengacu pada makna studi dan kajian yang bersifat ilmiah dan yang
bertujuan praktis untuk memenuhi berbagai fungsi yang diharapkan ada pada situs
Istilah situs mengacu juga kepada makna situasi di sekitar situs, baik
yang menyangkut tinggalan arkeologi yang ada di situs, maupun aspek kesejarahan situs.
Pada hakikatnya studi tentang situs tidak dapat dilepaskan dari sejarah situs atau lebih
luas sejarah kebudayaan Kabupaten Dompu yang berubah dari jaman ke jaman, seiring
dengan perkembangan dan pola pikir warga pendukungnya. Meskipun demikian
dalam riset kali ini konsep studi situs difokuskan sebagai kajian tentang situs,
meliputi bentuk struktur bangunan, ruang, waktu, fungsi, dan makna situs kaitannya
dengan lingkungan serta situs-situs yang ada di sekitarnya.
Kata bentuk memiliki persamaan arti dengan kata rupa dan wujud Kata fungsi termasuk dalam kata benda yang memiliki arti: (1) kegunaan suatu hal;
(2) daya guna; (3) jabatan atau pekerjaan yang dilakukan; (4) kerja suatu bagian tubuh
(Tim Prima Pena 239). Makna didefinisikan sebagai: (1) arti, maksud; (2) pengertian yang
diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (Depdikbud 1990, 548). Kata bentuk, fungsi,
makna, dalam riset ini mengacu kepada unsur-unsur materi dan fisik, kegunaan,
dan maksud atau arti dan signifikansi dari tinggalan arkeologi yang ada di Situs Doro
Bata, yang akan dikaji secara ilmiah guna mengungkap sejarah budayanya. Ruang yang
dimaksud dalam riset ini adalah pertimbangan lingkungan dalam pemilihan lokasi
Situs Doro Bata sebagai hunian, sedangkan waktu yang dimaksud adalah periodisasi dari
Situs Doro Bata.
Landasan Teori
riset di Situs Doro Bata menggunakan beberapa teori untuk memecahkan
masalah riset , yaitu teori tipologi dan religi untuk membahas rumusan masalah
pertama mengenai bentuk artefak dan fitur. Untuk membahas analisis saling
ketergantungan dalam hal fungsi digunakan teori fungsional, teori permukiman, dan
religi. Untuk membahas makna akan digunkan teori semiotika, tipologi, dan religi. Untuk
membahas permasalahan ruang dan waktu digunakan teori tipologi, teori perubahan
sosial, teori permukiman, dan teori religi. Mendominasinya teori religi digunakan dalam
hal ini mengingat berbagai aktivitas budaya yang dilakukan dari masa lalu hingga saat ini
tidak dapat dilepaskan dari aspek religi. Masing-masing teori ini diuraikan sebagai
berikut.
Tipologi adalah studi tentang
tipe. Tipe merupakan studi tentang pengelompokan obyek sebagai model, melalui
kesamaan bentuk dan struktur. Studi tentang tipe juga merupakan kegiatan kategorisasi dan
klasifikasi untuk menghasilkan tipe. Dari tipe ini sekaligus dapat dilihat keragaman
dan keseragamannya. mengatakan tipologi adalah kajian
tipe. Tipe berasal dari kata typos (bahas Yunani) yang berarti impresi, gambaran atau
figure dari suatu obyek. Secara umum tipe sering digunakan untuk menjelaskan bentuk
keseluruhan struktur atau karakter dari suatu bentuk atau obyek tertentu. Menurut Rossi
(1982), tipologi ditinjau dari obyek bangunan. Tipologi terbagi atas tiga hal pokok, yaitu
site (tapak) bangunan, form (bentuk) bangunan, dan organisasi bagian-bagian bangunan.
Untuk memahami fungsi di Situs Doro Bata maka dipandang dari the functional
theory of culture (teori fungsi kebudayaan) yang dikembangkan oleh Bronislaw
Malinowski dan A.R Radcliffe-Brown. Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat
mendasar yang berorientesi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa peneliti harus
mengekplorasi ciri sistematik budaya. Artinya, peneliti harus mengetahui perkaitan antara
institusi-institusi atau struktur-struktur suatu warga sehingga membentuk suatu
7sistem yang bulat . Para penganut persepektif fungsionalis mengklaim
bahwa fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan.
Di samping itu para fungsionalis menyatakan pula bahwa fungsionalisme merupakan
teori tentang proses kultural. Fungsionalisme persepektif teoritik dalam antropologi
bertumpu pada analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem
sosial-budaya sebagai macam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling
berhubungan melainkan juga memberi andil bagi pemeliharaan stabilitas dan kelestarian
hidup “organisme” itu
Situs Doro Bata merupakan hal unik dan monumental di Kabupaten Dompu, yang
berakar dari konsepsi tradisi Prasejarah yang berlanjut. Untuk memahami hal ini
akan dicoba ditafsirkan secara semiotik, dimana Situs Doro Bata dipandang sebagai tanda
yang mentradisi dari zaman ke zaman, dan disadari pula bahwa penanda dari suatu media
pemujaan itu, kiranya adalah sebuah konvensi. Oleh karena itu, perlu adanya penafsiran
dan pemahaman tanda-tanda itu, dengan melihat gejala-gejala yang terjadi di warga
pendukung kebudayaan ini
Tanda memiliki fungsi membuat sesuatu menjadi efesien, baik dalam berkomunikasi
dengan orang lain, maupun dalam pemikiran dan memahami dunia. Sifat representatif
dari tanda mempunyai hubungan langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata
Situs Doro Bata, terlihat adanya media pemujaan, simbol gunung dan kesejahteraan. Hal
ini juga menunjukkan bahwa hasil sebuah interpretasi adalah timbulnya tanda baru pada
orang yang menginterpretasikannya , Pierce menyebut suatu
tanda yang bernilai, terkadang mendapatkan penilaian yang sama atau terkadang lebih
tinggi perkembangannya yang muncul dalam benak orang yang menginterpretasikannya
Itulah sebabnya dalam memahami Situs Doro Bata sebagai tanda,
sesudah melalui proses internalisasi dari apa yang diungkapkan warga Dompu,
kemudian dieksternalisasi berupa ungkapan bahasa atau kata sebagai penanda. Penanda
ini menjadi petanda yang akan diinterpretasikan dan dimaknai, sebagai pemandu dalam
perilakunya memperlakukan Situs Doro Bata. Dengan demikian akan didapatkan makna
Situs Doro Bata ini .
Perubahan sosial adalah proses yang berlangsung terus-menerus dalam kehidupan
umat manusia. Hal ini mengarah kepada perubahan positif dan negatif sehingga persoalan
perubahan sosial terus diwacanakan. Dalam konteks pembangunan, kemajuan dapat
dicapai melalui proses perubahan sosial. Di dunia modern, perubahan sosial merupakan
pintu menuju arah kemajuan. Perubahan sosial tidak dapat dipisahkan dengan perubahan
kebudayaan. Kedua konsep ini hanya dapat dipisahkan untuk keperluan teori, tetapi
keduanya tidak terpisahkan (Pelly 1994, 189). Kebudayaan dihasilkan oleh warga ;
artinya, budaya ada karena adanya warga . Perbedaan konsep mengenai perubahan
sosial dengan perubahan kebudayaan terletak pada pengertian warga dan pengertian
budaya ini . Perubahan budaya menekankan pada perubahan sistem nilai, sedangkan
perubahan sosial lebih mengarah pada sistem kelembagaan yang mengatur tingkah
laku warga . Memperhatikan perkembangan peradaban manusia, muncul berbagai
pandangan tentang perubahan. Teori siklus adalah salah satu pandangan yang mencoba
menguraikan perubahan sosial melalui perspektif yang oportunis, bahwa peradaban
manusia berkembang secara linier (garis lurus). Asumsi yang mendasari pemikirannya
adalah pandangan yang melihat peradaban manusia akan terus berkembang seiring
dengan perjalanan waktu. Akan tetapi ada pendapat lain, sebagaimana orang Cina Kuno
menerangkan bahwa perubahan peradaban umat manusia tidak hanya dalam bentuk
8linear, tetapi dalam bentuk lingkaran (siklus). Dikemukakan bahwa perjalanan kehidupan
manusia akan terperangkap dalam lingkaran sejarah
menganalisis perubahan sosial dalam perspektif teori
psikologi sosial, mengemukakan bahwa kepribadian kreatif inovatif memiliki ciri-ciri
terbuka terhadap pengalaman baru, percaya akan penilaian sendiri, sadar akan kewajiban,
bertanggung jawab untuk berhasil, cerdas, yaitu mempunyai persepsi bahwa dunia ini
merupakan tantangan sehingga harus terus menerus berusaha supaya berhasil.
Kajian permukiman di Situs Doro Bata menggunakan artefak, fitur dan situs
sebagai data utama. Dalam ilmu arkeologi, kajian permukiman dapat dibagi ke dalam
tiga tingkatan ruang lingkup, yang meliputi: 1) aktivitas di dalam sebuah struktur atau
sebuah “permukaan aktivitas tertentu” (occupation surface), seperti lantai di atas struktur
teras berundak dan struktur pondasi bangunan; 2) susunan dari aktivitas dan fitur di dalam
sebuah permukiman atau situs; dan 3) distribusi situs di dalam suatu wilayah ). Dalam kajian permukiman diharapkan mampu melakukan analisis
terhadap tata letak (layout), menjelaskan fungsi tiap komponen di dalamnya, serta
bagaimana unit-unit sosial di dalamnya saling berinteraksi dan membentuk organisasi
sosial yang lebih besar ,
Religi secara harfiah diartikan sebagai perilaku yang menunjukkan suatu
kepercayaan, penghormatan, dan hasrat untuk menyenangkan terhadap suatu kekuasaan
yang menguasai. Kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan akan adanya jiwa,
sesuatu yang bersifat supranatural, dan kekuatan supranatural. Kepercayaan ini digunakan
untuk mengendalikan bagian alam semesta, menyangkut penanaman motivasi yang kuat,
mendalam, dan bertahan lama, dengan menciptakan konsepsi-konsepsi bersifat umum
tentang eksistensi, dan membungkus konsepsi-konsepsi itu sedemikian rupa dalam
suasana faktualitas sehingga suasana motivasi itu kelihatan sangat realistis ,Religi berfungsi mengurangi kegelisahan, karena dapat menerangkan hal-hal
yang tidak difahami oleh manusia. Dengan religi, manusia mendapatkan ketenangan
untuk menghadapi hal-hal di luar jangkauan pikirannya, seperti kematian, bencana,
penyakit, dan lain-lainnya. Religi dapat memberikan jawaban tentang terjadinya alam
semesta, hubungan manusia dengan kekuatan alam, sehingga religi dapat menjadi sarana
bagi manusia dirinya dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan dan mencapai
kemandirian spiritual , Koenjaraningrat mengusulkan konsep religi
dipecah ke dalam 5 komponen yang mempunyai perannya sendiri-sendiri, tetapi sebagai
bagian dari suatu sistem berkaitan erat satu dengan lain. Kelima komponen itu adalah; (1)
emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus
dan upacara; (5) umat agama (Koentjaraningrat 2005, 201-202). Namun untuk Situs Doro
Bata, akan menggunakan komponen sistem keyakinan dan peralatan ritus dan upacara,
yang meliputi keyakinan yang pernah berkembang di situs ini dan media pemujaan
berupa struktur dan peralatan lainnya yang digunakan seperti gerabah, nisan, dan lain-
lain.
METODE
Lokasi riset
Situs Doro Bata berada di wilayah Kampung Kandai Satu, Kelurahan Kandai,
Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk mencapai
lokasi ini sangatlah mudah dan dapat dilalui dengan berbagai Jenis kendaraan dengan
jarak 1 km dari kota Dompu menuju arah Selatan. Secara geografis Situs Doro Bata
9berada pada koordinat 8°47ʹ59ʹʹ Lintang Selatan dan 118°23ʹ36ʹʹ Bujur Timur. Batas-
batas wilayahnya sebagai berikut; di sebelah utara adalah Sungai Nae/Kelurahan Potu,
Selatan Desa Mbawai, Timur adalah Desa Lepadi, dan Barat adalah Sungai Nae di wilayah
Kelurahan Karijawa (gambar 5).
Gambar 5. Peta lokasi riset .
(Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Bali)
Tahap Pengumpulan Data
riset di Situs Doro Bata merupakan riset dengan penalaran induktif-
hipotesis, yaitu penelitan yang dimulai dengan pengamatan, pengukuran, hingga
terbentuk hipotesis-model-teori. Sumber data riset ini terdiri atas sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer dikumpulkan melalui observasi lapangan yakni
melalui ekskavasi dan sumber data sekunder melalui penelusuran pustaka yang relevan.
berdasar sifat datanya, jenis riset ini digolongkan ke dalam riset kualitatif,
dilengkapi juga dengan ukuran temuan. Dalam upaya mencapai tujuan riset maka
dimunculkan dua paradigma riset yaitu: sejarah budaya (cultural history) yang
didukung oleh Arkeologi Tradisional (tradisional archaeology) dan Proses Perubahan
Budaya (cultural proces) yang dianut oleh Arkeologi Baru (new archaeology) atau disebut
juga dengan Arkeologi Prosesual (processual archaeology).
Berbeda dengan Arkeologi Tradisional yang menggunakan pandangan normatif,
maka Arkeologi Prosesual lebih menekankan pada pandangan sistemik. Cara
mengoperasikan pandangan sistemik menuntut suatu strategi riset lapangan yang
tepat dengan melalui pendekatan konjungtif, yang tidak hanya menganalisis setiap benda
arkeologi buatan manusia yang ada di situs, tetapi menyertakan ekofak (benda alam:
biotik-abiotik: bagian ujung bukit yang dipahat dan diberi lubang segi empat yang diduga
sebagai tempat berdirinya batu silinder). Selain itu, tinggalan arkeologi Situs Doro Bata
mencerminkan struktur gagasan yang ada dalam pikiran manusia
Kegiatan ekskavasi menerapkan beberapa metode untuk mendapatkan data arkeologi
yang nantinya dijadikan dasar pembahasan, maka pengumpulan data dilaksanakan melalui
studi pustaka, ekskavasi, dan focus group discussion (FGD) dengan mengundang instansi
terkait, seperti Disbudpar Kabupaten Dompu, ahli tata ruang tradisional Kabupaten
Dompu, tokoh warga , komunitas adat, dan komunitas budaya.
Ekskavasi adalah salah satu teknik pengumpulan data utama melalui penggalian
tanah yang dilakukan secara sistematik untuk menemukan tinggalan arkeologi dalam
situasi insitu. Melalui ekskavasi diharapkan akan diperoleh data mengenai bentuk temuan,
hubungan antar temuan, hubungan stratigrafis, hubungan kronologis, tingkah laku
manusia pendukungnya serta aktivitas, alam dan manusia sesudah temuan terdepositkan,
dan berusaha dicari etnografinya dari keterangan warga
Pada kegiatan ekskavasi, digunakan dua strategi yaitu vertikal dan horisontal. Secara
vertikal untuk melihat periode dan lapisan-lapisan budaya; sedangkan secara horizontal
untuk melihat konteks dalam satu lapisan budaya. Dalam kegiatan pembuatan tata letak
kotak dilakukan dengan grid system, dalam hal ini interrupted grid system yaitu sistem
tata letak yang membagi situs dengan garis-garis yang saling berpotongan, di mana kotak
ekskavasi ditempatkan pada interval tertentu (gambar 6).
Di Situs Doro Bata dalam pelaksanaan kegiatan ekskavasi digunakan penggabungan
sistem kotak dengan parit, yaitu sistem pembuatan kotak ekskavasi yang bentuk dasarnya
segi empat tanpa tinggalan pematang untuk merunut struktur yang tampak dengan
kedalaman yang sama (Puslitbangarkenas 2008, 33). Teknik ekskavasi yang digunakan
adalah teknik spit, yaitu menggali tanah dengan ketebalan 15 cm dari benang level untuk
spit 1, kemudian masing-masing 10 cm untuk spit berikutnya, namun tetap memperhatikan
lapisan tanah dan bentuk fitur.
sesudah ditemukan adanya temuan, maka temuan diukur dengan cara orthogonal
system, yaitu cara mengukur temuan berdasar keletakannya dari permukaan tanah.
Pengukuran ini dilakukan dengan dua cara, yaitu secara horisontal dan vertikal. Pengukuran
secara horisontal dilakukan untuk mengetahui jarak temuan terhadap kotak ekskavasi;
sedangkan pengukuran secara vertikal untuk memberikan informasi kedalaman temuan
Tahap Analisis Data
Analisis temuan arkeologi di Situs Doro Bata dilakukan dengan dua cara: (1) analisis
terhadap satuan-satuan temuan arkeologi secara individual, yang disebut analisis spesifik
(specific analysis); (2) analisis terhadap suatu himpunan temuan yang memperhatikan
hubungan antara artefak dengan artefak, artefak dengan fitur, artefak dengan ekofak,
dan artefak dengan sumber daya lingkungan, yang disebut analisis konteks (contextual
analysis).
Dengan analisis spesifik dimaksudkan mengurangi atau memecah-mecah suatu
satuan benda arkeologi berdasar atributnya. Atribut tidak lain adalah satuan terkecil
dari tinggalan arkeologi yang dapat diamati, yang pada umumnya terdiri dari tiga
macam: (1) atribut bentuk dan ukuran dari temuan benda arkeologi secara keseluruhan
atau bagian-bagiannya (formal attribute). misalnya: bentuk denah dan ukuran sebuah
piring, bentuk denah dan ukuran bagian dasar mangkuk atau cangkir, teras berundak dan
pondasi bangunan; jika suatu tinggalan arkeologi ditemukan tidak utuh (seperti pecahan
dari sebuah periuk tanah liat), maka sebelum dilakukan analisis bentuk, benda itu harus
direkonstruksi dahulu di atas kertas; (2) atribut teknologis (technological attribute)
seperti: cara membentuk wadah dengan teknik roda putar, cara menghias tembikar dengan
teknik tatap landas, teknik mengaitkan batu-batu teras dan pondasi bangunan, dan teknik
gosok dan tindih dalam menyusun bata-bata teras dan pondasi; (3) atribut gaya (stylistic
attribute) seperti warna, tekstur, dan ragam hias, sesudah itu barulah dilakukan analisis
kontekstualitas dengan lingkungan dan situs-situs yang ada di sekitar Situs Doro Bata
sesudah kegiatan analisis selesai, data arkeologi dapat digolongkan dengan cara
klasifikasi taksonomik (taxonomic classification) yang memperhitungkan semua atribut
yang ada ke dalam tipe-tipe dan variasi-variasi (type-variety system), atau dengan cara
klasifikasi analitik (analytic classification) yang hanya memperhitungkan satu atau
beberapa atribut tertentu karena ketiadaan atribut-atribut lain. Dengan metode klasifikasi,
selain dapat menyederhanakan data yang berlimpah dan kompleks, juga dapat melihat
hubungan-hubungan tinggalan arkeologi atas dasar atribut bentuk, ukuran, teknologis,
dan stilistik, serta hubungan-hubungannya dalam dimensi waktu dan ruang. Semua data
yang diperoleh ini dapat diintegrasikan dalam bentuk tabel-tabel kualitatif dan
kuantitatif
berdasar uraian ini di atas dengan memperhatikan hasil riset yang
telah dicapai pada tahap-tahap sebelumnya, maka objek riset pokok di Situs
Doro Bata adalah arsitektur, keramik, gerabah, dan temuan lainnya. Arsitektur secara
sederhana adalah seni membangun. Dalam pengertian yang lebih luas, arsitektur diartikan
sebagai seni dan proses membangun yang disertai kemampuan tenaga dan intelektual
tinggi. Arsitektur juga dapat diterjemahkan sebagai perubahan mengenai struktur, bentuk,
dan warna rumah, bangunan keagamaan ataupun bangunan umum ,Cakupan analisis arsitektur Situs Doro Bata adalah Analisis Teras Berundak
sebagai bagian dasar dari fitur pondasi bangunan yang berdiri di atasnya. sesudah itu
dianalisis arsitektur fitur pondasi bangunan yang berdiri di atas fitur teras berundak.
Telaah yang dilakukan adalah analisis morfologi, teknologi, stilistik, dan kontekstual
Analisis bentuk (Analisis Morfologi): analisis ini dilakukan dengan mengamati
bentuk teras berundak yang bujur sangkar, kemudian dilakukan pengukuran panjang dan
lebar denah; panjang, lebar, tinggi, jumlah teras; lebar dan jumlah tangga serta jumlah
anak tangga. Hanya saja batu monolit yang berdiri di atas teras ini sudah tidak ada, hanya
menyisakan lubang segi empat yang dipahatkan pada bagian base rock, atau batu bukit
paling tinggi, pada bagian tengah-tengah bagian puncak teras.
Analisis Teknologis: Analisis teknologis untuk mendapatkan keterangan mengenai
bahan, jenis bahan penyusun, disesuaikan dengan lingkungan sekitar, bahan apa yang
tersedia, apakah diambil langsung dari alam atau melalui proses pengerjaan. Analisis
ini perlu memperhatikan teknik pembuatan teras berundak atau sering disebut dengan
konstruksi merupakan hasil pemahatan atau disusun dari batu alam. Selain itu diamati
teknik hias, konstruksi yang digunakan apakah sederhana, sponingen, dan swastika
Analisis stilistik: Analisis yang dilakukan terhadap ragam hias bangunan teras
berundak Doro Bata. Analisis Kontekstual: pengamatan dilakukan pada lapisan stratigrafi
dan benda-benda di sekitar teras berundak, baik di dalam maupun di luar teras berundak.
Perlu juga diamati kondisi lingkungan di sekitarnya, seperti letak/adanya gunung dan
laut. Keberadaan tinggalan di dalam dan di luar teras berundak seperti pecahan keramik
(termasuk gerabah), struktur, tangga, orientasi teras/arah hadap.
Bentuk Bangunan di Situs Doro Bata
1. Teras Berundak
Situs Doro Bata merupakan salah satu situs besar, yang masih menyimpan misteri
yang perlu diungkap. berdasar tinggalan arkeologi yang masih tersisa di situs ini,
mengindikasikan akan adanya sebuah tinggalan monumental. Tinggalan monumental
ini berupa teras berundak yang dibentuk pada sebuah bukit (gambar 7), diurug
pada bagian pinggir dan atasnya menggunakan tanah, pasir, koral, dan kerakal sebagai
penguat. Selain itu, bongkahan batu andesit maupun tufa sebagai penahan lereng dan
pembentuk teras. Di atas teras yang dibuat dengan batu andesit, kemudian dipasangi batu
bata, sehingga membentuk teras berundak (gambar 8), dan ada tangga yang berada
di arah barat dengan lebar 120 cm (Suantika 1991, 4). Selain di bagian sisi barat, menurut
informasi penduduk bahwa pada bagian tenggara ada teras yang menyerupai tangga,
hanya saja sudut ini telah rusak dan bentuknya tidak dikenali lagi. Teras berundak ini
jika dihitung dari batu besar yang diletakkan pada bagian sudut, diketahui berjumlah
tujuh undakan, dengan ukuran berkisar antara 55-80 cm, dengan luas bagian dasar
2718,3m2; dan bagian puncak 1551, 84m2. Teras berundak ini diduga dilandasi konsep
tradisi prasejarah dan telah ada sebelum Dompu mendapatkan pengaruh Hindu-Budha
2. Struktur Bangunan
Penggalian pada bagian atas Doro Bata atau pada bagian puncak teras, ditemukan
berbagai macam tinggalan arkeologi, yang didominasi struktur batu bata dengan berbagai
ukuran, kereweng, fragmen keramik, arang, tulang binatang, dan lain-lain. Secara umum
temuan struktur pondasi bangunan di Situs Doro Bata kondisinya rusak, karena tanah
yang ada di bawahnya labil. Terindikasi adanya usaha untuk memadatkan, mengingat
tanah tempat terpasangnya struktur ini adalah tanah urug yang tertransportasi dari luar
yang dipadatkan dengan pasir bercampur kerikil, kerakal, dan pecahan batu bata.
Pada bagian tengah atas ditemukan lubang berdiameter 28 cm di dalam pahatan
segi empat berukuran 40 cm, dengan kedalaman 72 cm yang dibuat pada batuan bukit
yang diurug menjadi teras berundak. Pada lubang ini ada air yang dipercaya dapat
menyembuhkan berbagai penyakit. Menurut keterangan warga , dahulu dekat
lubang ini ada batu monolit yang tergeletak, namun tidak dapat dipastikan
apakah itu menhir atau lingga, sebab sampai sekarang tidak ada informasi mengenai
keberadaannya. Ditemukan pula batu bata yang memiliki perbingkaian, sebagaimana
lazimnya ditemukan pada bangunan candi di Nusantara (Suantika 1994, 25). Temuan
lain yang tidak kalah penting dari situs ini adalah struktur berbentuk segi empat panjang
yang berukuran 2 x 2,5 m. Struktur ini menyerupai sebuah jirat makam, dugaan ini
diperkuat dengan adanya temuan nisan polos dan berhias dalam keadaan terkubur, jika
diperhatikan posisinya berada di tengah-tengah struktur persegi empat panjang Pendapat ini di atas mengungkapkan adanya pemanfaatan bukit secara
berkesinambungan sesuai masanya. Selain itu, diduga batuan bukit diurug secara bertahap,
yang dibuktikan dengan temuan struktur batu bata pada kedalaman 75 cm, arang, batuan
yang dibentuk menyerupai tungku, fragmen logam, dan fragmen uang kepeng pada
kedalaman 115 cm sebagai bukti adanya aktivitas manusia.
Dari awal riset hingga tahap XVI kali ini telah ditemukan empat struktur
berbentuk persegi dan persegi empat panjang, berbahan batu bata yang berukuran cukup
besar yang diduga sebagai struktur pondasi bangunan, dan di atasnya diduga berdiri
bangunan dengan konstruksi kayu ,Pada tahun 2009 berhasil
ditemukan struktur berbentuk persegi panjang pada bagian puncak Dorobata, yang diduga
sebuah pondasi bangunan berukuran 6,8 m x 7,8 m . Pada tahun 2016
berhasil ditemukan beberapa bagian struktur, kemudian dilanjutkan penggalian tahun
2017 hingga 2018 berhasil ditemukan tiga struktur, yaitu dua buah struktur batu bata dan
sebuah lagi struktur batu tufa putih kehijauan (gambar 9).
Ketiga struktur ini terletak di bagian timur laut puncak bukit, dengan ukuran yang
bervariasi, yaitu 4 x 4 m (tebal 70 cm) berupa batu bata (struktur 1), 7,93 m x 6,83 m
(tebal 1 m) dari batu bata (struktur 2), dan 3,95 m x 2,75 m (tebal 65 cm) (struktur 3) dari
batu tufa putih kehijauan. Struktur yang berukuran 7,93 m x 6,83 m (tebal 1 m) ini diduga
memiliki perbingkaian sebab pada saat proses ekskavasi berlangsung, hampir di seluruh
sisi struktur ditemukan batu bata bertias miring. Struktur batu tufa (struktur 3) posisinya
di bagian tengah struktur 2 yang memiliki jarak 95 cm, yang awalnya diduga selasar
ternyata struktur pondasi bangunan yang memiliki keistimewaan karena menggunakan
batuan tufa yang diolah dengan baik berbentuk persegi dan persegi panjang (gambar 10)
Struktur batu tufa putih kehijauan diduga diambil dari sumbernya masih berupa
bahan setengah jadi, dibentuk dan dihaluskan di dekat posisi dipasangnya batu ini yaitu
pada bagian timur posisi temuan struktur batu tufa ini. Hal ini cukup beralasan karena
ditemukannya limbah batu tufa putih kehijauan di sana. Batu tufa ini secara umum terdiri
atas satu sampai dua susunan yang disusun secara horizontal. Batu ini dihaluskan dengan
cara dipapras dengan alat semacam pancak dan disusun menggunakan perekat tanah
liat. Batu bata ataupun batu tufa ini kondisinya rusak dan banyak yang hilang, sehingga
kondisi struktur cenderung tidak utuh. Hilangnya batu bata maupun tufa diduga diambil
perlapis oleh warga pencari batu bata, sedangkan pecahan-pecahan kecilnya diurug
kembali.
Pada riset tahap XVI tahun 2018 kali ini ada informasi dari para budayawan,
pemerhati sejarah, tokoh agama, tokoh warga , dan warga di sekitar situs saat
diadakan kegiatan FGD dan diseminasi. Disebutkan bahwa pada awalnya permukaan
Doro Bata dipenuhi dengan batu bata yang tersusun rapi, meskipun beberapa bagiannya
telas rusak. Doro Bata merupakan sebuah bukit yang keramat dan angker, sehingga jarang
yang berani naik ke Doro Bata. Rasidin adalah seorang guru di MTs Al Ikhlas Sanawiyah,
menyebutkan bahwa pada tahun 1967-1969 karena melihat potensi batu dan batu bata
yang melimpah di Doro Bata, warga mengambilnya untuk bahan bangunan. Pada
tahun 1970 Pemerintah Daerah Kabupaten Dompu melarang pengambilan batu dan batu
bata di Doro Bata dengan cara memasang papan nama “Situs Doro Bata Peninggalan
Purbakala” di lereng timur.
Mengenai ada nya urugan di Doro Bata diduga diambil di sekitar situs, hal
ini diperkuat oleh informasi dari warga bahwa di sebelah barat lapangan (posisi
lapangan di sebelah utara situs) ada semacam lubang-lubang yang dikenal dengan
galian lama, berupa tanah lempung bercampur kereweng dan fragmen keramik. Urugan
berupa pasir dan batu yang bulat halus diduga diambil dari sungai besar di sebelah utara
situs, ada pula yang menduga diambil dari pantai. Mengenai nisan yang ditemukan di
Situs Doro Bata yang memiliki motif hias Makasar, diduga nisan atas makam seorang
sultan, mengingat Sultan Muhammad Sirajudin I yang merupakan sultan ke-3 Dompu
bergelar Sultan Manuru Bata artinya Sultan yang dimakamkan di Bata pada tahun 1667,
sesudah penaklukan Makasar atas tanah Dompu. Tentu saja dugaan ini perlu diselidiki
lebih lanjut.
Menurut informasi dari Syafrudin adalah seorang ahli tata ruang Kabupaten
Dompu, menyatakan bahwa di Dompu ada sebuah kearifan lokal warga pada
masa Ncuhi yakni pada awalnya uma atau rumah Ncuhi dibangun berbentuk persegi
empat dan bertiang empat, kemudian berkembang menjadi bertiang sembilan, hingga 16
tiang, sebagai ciri status sosial, kelas ekonomi. Rumah yang bertiang 16 adalah rumah
yang paling besar disebut Uma Ruka. Dompu atau Dompo mengenal 3 masa, yaitu masa
Dalu, Ncuhi, Hindu-Buddha, dan Islam. Jaman Dalu/hingga jaman Ncuhi adalah masa
prasejarah yang salah satu tradisinya masih berlanjut hingga kini adalah tradisi megalitik
yang muncul pada masa Perundagian. Tradisi ini masih dapat disaksikan di Dompu
secara umum dan Doro Bata pada khususnya dimana batuan bukit yang mengkerucut
diurug dan dibuat berteras. Makam Sultan Syamsudin dimakamkan di atas bukit,
beberapa tinggalan megalitik juga dijumpai di atas bukit, dengan menggunakan batu-
batu besar sebagai sarana atau media pendukung kehidupan rohani maupun jasmani. Para
Ncuhi memilih tempat yang tinggi agar mudah melakukan pemujaan dengan membuat
media pemujaan pada arah timur laut dari permukimannya, yang dekat dengan mata air,
aliran sungai, dan memiliki kearifan tata ruang yang disebut Lekadana. Lekadana adalah
kearifan lokal dalam pemilihan lahan permukiman berdasar daya tampung, kondisi
hidrologi dan lain-lain
sesudah masa prasejarah ada pengaruh kebudayaan India pada kepulauan
Sumbawa sebelum dan masa kekuasaan Majapahit di pulau ini (Utomo 2018, 3). Kerajaan
Majapahit menguasai kepulauan ini khususnya Dompu berdasar keterangan Kakawin
Nagarakertagama pada tahun 1357 atau pertengahan abad ke-14 dan berakhir saat
mendapatkan pengaruh Islam abad ke-16. Jejak-jejak pengaruh Kerajaan Majapahit dapat
dijumpai di Situs Doro Bata meskipun sudah rusak, namun masih dapat dijumpai jejak-
jejak kemegahannya.
Pada berbagai zaman ini di atas, ada zona-zona inti yaitu, saat masa
prasejarah hingga masuknya pengaruh kebudayaan India di Dompu, areal pemujaan
merupakan zona inti, saat mendapatkan pengaruh Islam, istana adalah zona inti.
Pendapat ini menguatkan dugaan bahwa Situs Doro Bata masa prasejarah dan Hindu-
Buddha merupakan media pemujaan leluhur dan kekuatan alam, dan masa Islam sebagai
istana atau pusat kekuasaan kesultanan (Rema 2018, 83).
Ruang (Pertimbangan Lingkungan dalam Pendirian Situs Doro Bata)
Kabupaten Dompu terletak pada pusat kegiatan tektonik dari busur magmatik
Sunda-Banda berarah Barat-Timur tempat bertemunya tiga lempeng tektonik besar
Geologi Kabupaten Dompu dicirikan oleh busur kepulauan yang
dibentuk oleh batuan gunung api dan endapan marin berumur dari Miosen akhir hingga
Kuarter; terdiri atas satuan breksi tuf, batugamping, batulempung tufan, satuan breksi
tanah merah, satuan breksi andesitbasal, satuan lava breksi, terumbu koral terangkat dan
alluvium-endapan pantai. Beberapa terobosan diorit dan dasit menembus batuan berumur
tua yang menyebabkan terjadinya ubahan hidrotermal.
Litologi daerah Dompu yang dirangkum dalam peta geologi lembar Sumbawa oleh
Sudradjat dkk., 1998 terdiri atas; Satuan breksi tuf bersifat andesit dengan sisipan tuf
pasiran, tuf batuapung dan batupasir tufan; setempat mengandung lahar, lava andesit
dan basal. Breksi merupakan satuan stratigrafi tertua di wilayah Kabupaten Dompu,
berumur Miosen Awal. Kemudian diatasnya terendapkan satuan batugamping yang terdiri
dari batugamping, batupasir gampingan, dan rombakan batuan vulkanik gampingan;
batugamping kadang-kadang ditemukan berupa lensa-lensa di dalam satuan-satuan
batupasir tufan dan breksi tuf.
Satuan batu lempung tufan terbentuk kemudian yang terdiri atas batulempung
tufan bersisipan batupasir dan kerikil hasil rombakan batuan vulkanik, diendapkan secara
tidak selaras di atas satuan breksi tufa, yang diduga berumur Tersier. Satuan breksi tanah
merah merupakan endapan breksi bersusunan andesit hasil letusan G. Tanah Merah yang
berumur Kuarter. Satuan breksi andesit-basal disusun oleh breksi vulkanik, lahar, tuf, abu,
dan lava; diperkirakan berumur Kuarter. Satuan lava breksi terdiri atas lava breksi, lahar,
tuf, dan abu vulkanik bersusunan andesit merupakan hasil letusan masa kini dari Gunung
Tambora. Sementara terumbu koral terangkat yang diperkirakan berumur Plistosen terdiri
atas batugamping terumbu karang dan pecahan batugamping koral, di beberapa tempat
mengandung kepingan batuan vulkanik andesit. Kemudian sampai pada masa holosen
terendapkan satuan Aluvium dan endapan pantai terdiri atas sedimen lepas kerikil, pasir,
lempung, lumpur dengan setempat-setempat magnetit; tersebar terutama di daerah-daerah
pedataran sungai dan pantai, menutupi satuan-satuan stratigrafi yang berumur lebih tua.
Bukit Doro Bata terletak pada sebuah cekungan, yang dibatasi oleh jajaran
perbukitan di sekelilingnya. Sepintas puncak bukit ini seperti dataran dengan luas
±1551,84 m2 di sekitarnya ada sungai Sori Nae, Sori Silo, dan Sori Soa dengan
stadia dewasa. Sungai-sungai di sekitar situs dengan air yang melimpah yang airnya
tidak langsung dibuang ke laut, tetapi dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti
mengairi kolam ikan keperluan mandi, cuci, mengairi sawah warga yang subur yang
membentang luas, sehingga tidak heran jika kerajaan Dompu di masa lalu adalah kerajaan
yang berpenghasilan utama berupa beras ,Hal ini nampak pada bentuk
U pada lembahnya yang secara dinamis membentuk morfologi daerah dan litologi yang
dilewatinya. Kota Dompu dan sekitarnya, termasuk situs Doro Bata terletak pada satuan
aluvium yang terdiri dari endapan sungai dan pantai berupa sedimen berukuran kerikil,
pasir sampai dengan lempung. Di beberapa tempat dijumpai satuan batuan gamping
terumbu koral, terutama menempati puncak-puncak perbukitan di sekitar Bukit Doro
Bata yang mencirikan morfologi batuan karbonatan.
Pada kala Miosen Akhir-Plestosen (1,8-5,3 juta tahun) terbentuk satuan terumbu
koral yang terdiri dari batugamping dan bagian bawah satuan tersusun atas konglomerat,
batupasir dan lapisan tipis magnetit. sesudah mengalami proses pelapukan dan denudasi
yang melibatkan sistem aliran sungai sebagai agen pembentukan roman muka bumi.
Sampai pada kala holosen (~0,01 juta tahun) terbentuk endapan sedimen yang menutupi
wilayah Kota Dompu dan sekitarnya. Di beberapa tempat sistem sungai mengikis batuan
yang dilewatinya diperkirakan sampai pada satuan batugamping yang terletak di bawah
atau lebih tua dari satuan terumbu koral dengan kisaran berumur Miosen Awal (5,3-23
juta tahun)
Jika dikaitkan dengan keberadaan bukit Doro Bata dan pengamatan stratigrafi
endapan sedimen pada ekskavasi arkeologi di puncak bukit ini, maka dapat diasumsikan
di atas litologi batupasir tufan yang ditemukan pada kaki bukit telah mengalami proses
denudasional dan pengendapan oleh sungai. Sedimentasi sungai membawa material secara
terus menerus sehingga membentuk morfologi bukit sampai akhirnya bergerak menjauhi
puncak bukit. Material yang diendapkan membawa seluruh sedimen lepas dari dataran
yang lebih tinggi yang mengelilingi cekungan. Sampai pada ahkirnya mengendapkan
pula sisa-sisa budaya yang dibuktikan dengan ditemukan pecahan kereweng ataupun
keramik pada lapisan paling bawah di atas batuan dasar (baserock) pada bukit Doro Bata
Pemilihan tempat tinggi seperti menjadi pertimbangan utama untuk membangun
sebuah istana karena dengan tempat tinggi lebih gampang memantau dan menanggulangi
serangan musuh, baik dari darat maupun laut. Pada arah barat dan selatan Bukit Doro
Bata yang sekarang merupakan areal persawahan dulunya merupakan lautan terusan teluk
Cempi. Selain sebuah terusan teluk, di wilayah ini juga ada sebuah pelabuhan yang
bernama Sorebawa. Kalau data ini benar berarti Dompu pada masa lalu merupakan daerah
strategis yang memiliki kekuasaan cukup besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa
Padompo, disebutkan pada peristiwa ini ada tiga arah yang dilalui untuk menyerang
Dompu yaitu Teluk Cempi, Teluk Kempo atau Saleh, dan Teluk Bima
Terkait dengan pertimbangan lingkungan Situs Doro Bata sebagai permukiman,
nampaknya mengadopsi kearifan tradisional Dompu melalui pemilihan lokasi
permukiman dengan mempertimbangkan aspek batuan lahan, bentuk permukaan lahan,
ketersediaan sumber air dan kesuburan tanah yang dikenal dengan leka dana . Kearifan ini merupakan warisan pemilihan tempat permukiman dari masa
Ncuhi dahulu sebagai pimpinan warga sebelum Dompu mendapatkan pengaruh
budaya India dan Islam. Masa itu rumah Ncuhi menjadi tempat berasalnya semua
perintah dalam menjalankan tatanan kehidupan bagi warga . Rumah Ncuhi selalu
memilih areal yang tinggi, biasanya di atas bukit atau dataran tinggi. Rumah Ncuhi adalah
tempat bersemayamnya arwah para leluhur, kemudian dikelilingi oleh rumah penduduk
Hal ini nampak pada permukiman penduduk pendukung situs, di
mana areal pemukiman penduduk berada di sekeliling situs yaitu di areal Doro Mpana,
Waru Kali, Sambi Tangga dan sekitarnya, karena di daerah ini juga ditemukan struktur
batu bata yang setipe dengan dengan batu bata yang ditemukan di Situs Doro Bata, serta
temuan lainnya berupa pecahan-pecahan gerabah.
Selain pemilihan tempat yang tinggi, pemilihan lokasi pemukiman dekat dengan
sumber mata air dan sungai dalam pendirian Situs Doro Bata nampaknya juga dilandasi
akan adanya kepercayaan kepada arwah leluhur dan kekuatan alam. Kepercayaan
semacam ini telah berakar masa Ncuhi yang mendiami beberapa tempat yang dianggap
keramat oleh warga , yang secara langsung memberikan pengaruh dalam kehidupan
warga terutama dalam menjaga kesehatan, keselamatan dan rejeki. Tempat-tempat
ini adalah mata air, muara, sungai, dan tepi pantai, yang semuanya diyakini didiami
olehnya. Dalam radius tertentu di sekeliling mata air, muara, tepi sungai ataupun tepi
pantai tidak boleh dipergunakan untuk kegiatan terbangun dan keramaian. Ruang ini
dikeramatkan dan menjadi ruang imajiner
Pada masa ini, keberadaan ncuhi (kepala suku) sangat berpengaruh, karena
diyakini mempunyai kemampuan dan ilmu-ilmu khusus, sehingga dipercaya sebagai
titisan dari para arwah leluhur atau Parafu. Ncuhi mempunyai peran sebagai pemimpin
warga , yang mengatur tatanan kehidupan warga pada saat itu. Ncuhi sendiri
yang mementukan kapan masa tanam dimulai, upacara persembahan, juga sebagai
sando (tabib). Karena perannya ini , maka uma ncuhi (tempat tinggal ncuhi) berada
ditengah-tengah kawasan pemukiman. Di sekelilingnya adalah rumah para penduduk,
kemudian areal bercocok tanam serta hutan. Pemilihan lokasi yang tinggi adalah sesuai
dengan kepercayaan dan keyakinan masa itu, bahwa tempat yang tinggi adalah tempat
yang terlindungi karena merupakan kediaman para arwah leluhur, terjaga dari serangan
binatang buas maupun musuh, mudah mengamati keadaan, serta terjaga dari cuaca
Kearifan lokal semacam inilah diduga sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan
lingkungan pemukiman di Situs Doro Bata, dengan menseimbangkan kebutuhan jasmani
dan rohani, sehingga warga pendukungnya dapat hidup sejahtera. Konsep seleksi
lingkungan pemukiman ini berlanjut hingga mendapatkan pengaruh budaya India bahkan
hingga mendapatkan pengaruh Islam di situs ini.
Pola ruang tradisional Dompu pada masa lalu dalam membangun rumah di tempat
yang tinggi dalam hal ini rumah panggung dibangun membelakangi matahari terbit dan
tidak berlawanan dengan gunung. Pola tata ruang ini ada kemiripan dengan pola ruang yang
dicerminkan oleh temuan struktur dan teras berundak di Situs Doro Bata dimana struktur
pondasi bangunan yang ditemukan mepet ke arah sisi timur bukit Doro Bata, struktur ini
ada yang berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang. Struktur ini panjangnya mengarah
utara-selatan dengan lebar arah timur-barat. Orientasi situs ini juga menampakkan konsep
yang sama yang mengarah ke arah barat, dibuktikan dengan ditemukannya tangga masuk
di arah barat teras berundak
Waktu (Masa Pemanfaatan Situs Doro Bata)
bahwa kepulauan Sumbawa dalam hal ini Bima
ada beberapa peninggalan arkeologi yang memperlihatkan pengaruh kebudayaan
India. Peninggalan ini antara lain dua buah arca Hindu di Desa Tato. Dua buah arca
batu, sebuah lingga, dan beberapa pahatan berupa relief pada dinding gua yang ditemukan
dalam sebuah gua dekat Batupahat, Bima, yang oleh penduduk sekitar disebut Wadupaa.
Prasasti Wadu Tunti (Batu Tulis). Inskripsi ini dipahatkan pada sebuah batu besar, di
daerah Bolo, Bima. Inskripsi ini dipahatkan dengan aksara Jawa Kuno dan berasal dari
masa sekitar 1350/1400. Pada sisi lain batu inskripsi ini ada pula pahatan berupa
relief yang menggambarkan sebuah adegan berupa empat sosok tokoh kedewataan disertai
seekor harimau, dan satu sosok tokoh di tengah yang menggambarkan Dewa Siwa. Relief
ini berlatar agama Hindu. Djafar menduga bahwa pengaruh kebudayaan India baru
muncul di daerah ini sekitar abad ke-14, dan mungkin hal ini disebabkan oleh pengaruh
politik Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.
Muljana menguraikan mengenai pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa, pertama-
tama disebut Pulau Bali, yang ditundukkan pada tahun 1343, berikut pulau Lombok atau
Gurun, yang dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukkan
adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Majapahit atas Bali dan
Lombok tidak diragukan. Kota Dompo (Dompu sekarang) yang terletak di Pulau
Sumbawa, menurut Nagarakretagama pupuh 72/2-3 dan Pararaton, ditundukkan oleh
tentara Majapahit di bawah pimpinan Mpu Nala pada tahun 1357. Penemuan piagam
Jawa dari abad ke-14 di Pulau Sumbawa memperkuat pemberitaan Nagarakretagama
dan Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas Pulau Sumbawa tak dapat lagi
disangsikan. Piagam itu adalah satu-satunya yang pernah diketemukan di kepulauan di
luar pulau Jawa. Rupanya Dompo dijadikan batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai
pulau-pulau kecil lainnya di sebelah timur sampai Wanin di pantai barat Papua. Berbeda
dengan di Sumatra dan Kalimantan, di daerah sebelah timur Jawa, kecuali di Bali dan
Lombok, tidak ada hikayat-hikayat daerah, sehingga juga tidak ada dongeng tertulis
tentang hubungan Majapahit dengan daerah-daerah ini
Daerah-daerah di sebelah timur Jawa yang dikuasai Majapahit pada pertengahan
abad ke-14 berdasar pupuh 14/3 adalah: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun,
Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk,
Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima,
Wandan (Banda), Ambon atau Maluku, Wanin, Seran, Timor
termuat pada Pupuh 14/3, 72/3 .
Terjemahan Pupuh 14/3
3. Di sebelah timur Jawa, seperti berikut:
Bali dengan Negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah
Gurun serta Sukun. Taliwang, Pulau Sapid an Dompo
Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekalius
Terjemahan Pupuh 72/2-3
2. Penganut karib Sri Baginda Nata
Pahlawan perang bernama Mpu Nala
Mengetahui budi pekerti rakyat
Mancanegara bergelar Tumenggung
3. Keturunn orang cerdik dan setia
Selalu memangku pangkat pahlawan
Pernah menundukkan Negara Dompo
Serba ulet menanggulangi musuh
Menurut catatan sejarah Dompu, sebelum terbentuknya kerajaan di daerah ini ,
telah berkuasa beberapa kepala suku yang disebut dengan Ncuhi atau raja kecil. Para Ncuhi
ini adalah Ncuhi Hu’u, Ncuhi Saneo, Ncuhi Nowa dan Ncuhi Tonda. Keempat Ncuhi
ini memiliki daerah kekuasaan masing-masing. Salah satu daerah kekuasaan yang diduga
menjadi cikal bakal Dompu adalah penobatan seorang raja oleh para Ncuhi yang terletak
di atas gunung yang dikenal dengan Tonda. Daerah ini merupakan sebuah perbukitan
yang dekat dengan laut dan penguasa pada waktu itu bernama Dedelanata. Dahulu daerah
ini juga disebut dengan Riwo dan sekarang menjadi Ria. Pada tahun 1357 Masehi pusat
kekuasaan yang berada di Tonda tepatnya Riwo dipindahkan ke Doro Bata akibat ekspansi
Gajah Mada yang berhasil mengalahkan Dedelanata tahun 1357 hingga akhir kekuasaan
Hindu dan awal masa Islam dengan sultan pertama yaitu Sultan Syamsudin (gambar 11)
Aspek kesejarahan Doro Bata, berdasar hasil wawancara dengan tiga budayawan
Dompu yakni H. Nurdin Umar, Haji Hasan Amin, dan Mohammad Chaidir (gambar 12)
bahwa Doro Bata diduga sebagai pusat kekuasaan atau pemerintahan Dompu hingga
akhir masa Hindu-Buddha dan awal masa Islam. Kebenaran dugaan ini perlu ditunjang
dengan riset lanjutan melalui penelusuran dokumen-dokumen yang relevan
Menurut Suastika situs ini berasal dari abad ke-14 sampai 15 Masehi, yakni pada
masa perkembangan kerajaan Majapahit. Pada proses perluasan dan usaha mempersatukan
seluruh wilayah Nusantara sesuai dengan sumpah yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah
Mada, yakni Sumpah Palapa yang bertujuan untuk mempersatukan Nusantara. Untuk itu
dilakukan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan di luar pulau Jawa
Ekspansi ke daerah Sumbawa dilakukan oleh Majapahit pada tahun 1357 Masehi,
dengan wilayah yang ditaklukkan di pulau Sumbawa adalah Bima, Dompu, dan Sape. Hal
ini berarti daerah Sumbawa berada pada tiga pusat kekuatan atau kerajaan yaitu Bima,
Dompu, dan Sape. Proses penaklukan ini telah membawa anasir-anasir budaya Hindu
Majapahit ke wilayah ini (Mulyana dikutip Suastika 2005, 9). Sebagai bukti dengan
adanya temuan-temuan bangunan yang memakai batu bata tipe Majapahit di beberapa
situs seperti di Situs Doro Bata dan Worokali, dapat diasumsikan bahwa pengaruh
kebudayaan Hindu Majapahit telah masuk ke wilyah Dompu masa itu
saat masuknya pengaruh Kerajaan Majapahit tahun 1357 di Pulau Sumbawa,
khususnya Dompu berdampak kepada model bangunan dan fitur lainnya yang bersifat
Hindu-Buddha. Model bangunan ini juga tercermin pada bangunan di Situs Doro Bata,
berdasar atas temuan batu bata berukuran besar berbingkai sisi genta, ada pula yang
salah satu sisinya berbentuk setengah lingkaran dan bata berhias garis, yang semuanya
itu lazim ada pada bangunan candi yang memiliki hiasan relief. warga setempat
menyebut istilah bata dengan persada yang merupakan bentuk rusakan dari kata prasada
yang berasal dari bahasa Sanskerta. Istilah ini dalam bahasa Bali dan Jawa mengacu
kepada bangunan pemujaan berupa candi yang terbuat dari bata.
Temuan lain yang memperkuat dugaan ini adalah adanya temuan fragmen
pedupaan, kendi, kereweng, keramik, uang kepeng yang cenderung digunakan sebagai
sarana upacara. Temuan yang sangat menarik lainnya adalah nisan polos dan berhias
yang dikelilingi oleh struktur bata persegi empat panjang di atas bukit Doro Bata yang
diduga jirat kubur, merupakan indikasi pemakaman masa Islam. Hal ini memperkuat
dugaan para budayawan Dompu yang mengungkapkan bahwa situs ini merupakan pusat
kekuasaan pada akhir masa Hindu-Buddha dan awal masa Islam. Dugaan ini diperkuat
oleh pendapat Raffles bahwa pada tahun 1815 akibat letusan Gunung Tambora, Istana Bata
di Doro Bata dipindahkan ke sebelah utara Sungai Nae, yang lokasinya sekarang berada
di areal Masjid Raya Baiturahman, Dompu. Pada akhir masa pendudukan Jepang Istana
ini dipindahkan ke posisi Rumah Sakit Umum Daerah Dompu saat ini. berdasar data
ini kedudukan Doro Bata sangat penting untuk mengungkap peristiwa sejarah yang
pernah berlangsung dan berkembang di Dompu
ada pendapat yang menyatakan bahwa Situs Doro Bata pernah menjadi lokasi
dari istana Kerajaan Dompu. Pendapat ini
merupakan penafsiran atas catatan perjalanan Owen Phillips yang diterima oleh Thomas
Stamford Raffles pada saat terjadinya bencana alam letusan Gunung Tambora pada tahun
1815. Kutipan pendapat Anthony Tully adalah sebagai berikut.
“The blanket of ashes was so heavy that they collapsed the roofs of the Resident’s
and many other dwellings in Bima and rendered them uninhabitable. The
Dompu Palace at Dora Bata was also buried with ash...” kemudian menjelaskan bahwa pendapat Tully (2004)
ini memberikan petunjuk terkait alasan ditinggalkannya Istana Dompu yang semula
berada di B̅ata karena tertimbun abu dan tidak bisa lagi didiami. Lebih lanjut, Sjamsuddin
menyatakan:
“Agaknya B̅ata dahulu merupakan sebuah situs sejarah penting–mungkin
sejak pra-Islam– yaitu istana tua (asi ntoi) yang letaknya di selatan Sori
Na’e (Sungai Besar) yang kemudian dipindahkan ke sebelah utara sungai.
Di sini didirikan istana baru (asi b̅o) (letaknya di Situs Masjid Raya Dompu
sekarang). Letusan Tambora yang telah “memaksa” ini semua terjadi,
perpindahan istana lama ke istana baru. Meskipun tidak seperti di Jawa,
pusat pemerintahan pindah pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur karena
letusan Gunung Merapi, di Dompu pusat pemerintahan pindah dari selatan
Sori Na’e ke sebelah utara Sori Na’e karena letusan Tambora”
Namun, tafsiran Tully terhadap catatan Owen Phillips yang diterima oleh Raffles
ini perlu dikaji kembali. Catatan Owen Phillips tidak menyebutkan secara eksplisit
nama Doro Bata (atau Dora Bata, B̅ata, dan sebagainya) di dalamnya Hal ini
menyebabkan tafsiran yang dilakukan oleh Tully dapat dianggap masih belum memiliki
data dukung yang memadai untuk mencapai suatu kesimpulan bahwa Situs Doro Bata
pernah menjadi lokasi istana Kerajaan Dompu. Hal yang menarik justru pemaparan lebih
lanjut yang dilakukan oleh Sjamsuddin. Sayangnya, pemaparan Sjamsuddin ini
tidak mencantumkan sumber data lain yang menjadi dasar pernyataannya, selain dari
pernyataan yang diberikan oleh Tully. Kemungkinan besar, pernyataan Sjamsuddin
berdasar atas sejarah lisan yang berkembang di kalangan warga Dompu.
Sejarah lisan sebagai data sejarah memang tidak bisa diabaikan begitu saja, tetapi
penggunaannya tetap harus melalui serangkaian kajian. Sejarah lisan merupakan pesan
verbal mengenai masa lalu yang ditransmisikan dari mulut ke mulut dalam periode yang
melampaui generasi kontemporer. Dalam proses transmisi ini , ada proses
seleksi dan interpretasi terhadap sekumpulan informasi yang terkandung dalam suatu
pesan verbal untuk kemudian ditransmisikan kembali ke generasi berikutnya. Oleh
karena itu, kedalaman waktu (time depth) dari peristiwa sejarah yang diceritakan dalam
pesan verbal (sejarah lisan) menjadi penting, yaitu makin panjang interval waktu suatu
peristiwa sejarah dengan masa kini, makin besar kemungkinan terjadinya penyimpangan
(alteration) dari sejarah ini . Dalam kaitannya dengan time
depth, pernyataan yang disampaikan oleh Sjamsuddin dapat dikatakan memiliki interval
waktu yang pendek (±200 tahun) sehingga menurunkan risiko terjadinya penyimpangan
sejarah. Namun, ada kelemahan lain dari sejarah lisan, yaitu kurangnya data mengenai
kronologi dan kesalingtergantungan antar sumber
Pernyataan Sjamsuddin merupakan informasi penting dalam usaha penafsiran
atas Situs Doro Bata, tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pernyataan
ini tidak memberikan keterangan yang jelas terhadap sumber-sumber informasinya.
Jika melihat sifat data sejarah lisan yang memiliki kesalingtergantungan (interdependence)
antar sumber, pernyataan Sjamsuddin ini perlu digali lebih dalam lagi terkait
sumber yang digunakan olehnya, sekaligus menelusuri informasi dari sumber-sumber
lain, baik dari warga awam maupun tokoh warga . Kelemahan yang terkait
dengan kurangnya data kronologi dan kesalingtergantungan antarsumber ini juga
dapat dilengkapi dari sumber-sumber luar, seperti sumber dokumen tertulis dari luar dan
arkeologi
Fungsi Situs Doro Bata
berdasar uraian ini di atas, dapat diduga bahwa Doro Bata pada masa
Prasejarah yakni masa Dalu dan Ncuhi difungsikan sebagai tempat pemujaan roh suci
leluhur dan kekuatan alam. Demikian juga halnya saat mendapatkan pengaruh Hindu-
Buddha, Doro Bata diduga juga sebagai tempat pemujaan kepada para dewa dan roh
suci leluhur. saat mendapatkan pengaruh Islam, Doro Bata sebagai pusat kekuasaan
kesultanan dan pemakaman. berdasar penuturan warga , Doro Bata saat ini
pernah dimanfaatkan sebagai tempat menunaikan Sholat Id dan tempat memohon Oi
Parampimpi atau air suci para pemimpin saat akan diadakan beberapa acara agama
Islam. Pada masa kini untuk kesehariannya situs ini dipakai sebagai tempat rekreasi bagi
anak-anak di Kandai I.
Makna Situs Doro Bata
Teras berundak merupakan salah satu bentuk megalitik yang umum ditemuan di
Indonesia, yang pada Masa Prasejarah dikaitkan dengan tradisi pemujaan roh leluhur,
yang telah dikenal sejak masa bercocok tanam dan perundagian, sebagai media untuk
memohon kesejahteraan dan keselamatan . Hal senada diungkapkan
Sutaba bahwa bentuk megalitik seperti teras berundak dan tahta batu pada masa
Prasejarah berfungsi sebagai media pemujaan bagi pemimpin yang dihormati, sebagai
media untuk menjaga hubungan baik antara warga yang masih hidup dengan dunia
arwah, agar keselamatan dan kesejahteraan warga tetap terpelihara dengan baik. Hal
ini diperkuat dengan pendapat bahwa kultus nenek moyang yang ada di Indonesia
dinyatakan memiliki kesamaan dengan yang ada di Asia Tenggara dan Pasifik karena
bersifat universal dan menjadi inti tradisi megalitik
Pada masa prasejarah ada anggapan bahwa tanah-tanah yang meninggi seperti bukit
dan gunung merupakan tempat para arwah leluhur yang telah suci, sehingga dianggap
keramat dan suci. Pada masa itu manusia mempunyai kepercayaan, bahwa roh orang
yang meninggal akan hidup abadi di alam yang berlainan dengan tempat manusia
hidup. Arwah nenek moyang dianggap bertempat tinggal di puncak gunung atau bukit
terdekat, maka puncak gunung dianggap sebagai tempat yang keramat atau sebagai dunia
arwah yang dihormati. Sejalan dengan pemikiran ini, maka timbullah penghormatan
dan pemujaan kepada kekuatan alam atau kekuatan supernatural yang tidak terjangkau
oleh warga luas, yaitu pemujaan kepada kekuatan alam seperti kekuatan gunung
dan kekuatan pemberi kemakmuran. Adanya suatu kepercayaan, bahwa roh orang yang
meninggal bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, bukit dan gunung, dapat diketahui
melalui tinggalan-tinggalan manusia prasejarah yang berhubungan dengan tradisi
pemujaan nenek moyang yang umumnya dijumpai di daerah dataran tinggi
Kepercayaan megalitik terhadap gunung sebagai kekuatan alam, kemudian menjadi
satu dengan kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat tinggal arwah nenek moyang dan
gunung sebagai tempat Dewa Gunung, pandangan ini tidak saja ditemukan di Indonesia
tetapi juga di Asia Tenggara. Kepercayaan ini ternyata besar pengaruhnya kepada
warga Indonesia, tidak saja pada waktu tradisi megalitik sedang berkembang dengan
pesat, tetapi jauh dalam zaman sejarah saat meluasnya pengaruh agama Hindu, seperti
di Jawa Timur abad 15 M, yaitu memandang Gunung Lawu dan Gunung Penanggungan
sebagai gunung yang keramat. Seperti diketahui Gunung Lawu ada Candi Sukuh dan
Ceto yang masing-masing memiliki corak megalitik dan Gunung Penanggungan ada
sejumlah tempat pemujaan yang mempunyai susunan teras berundak. Selain di Jawa
Timur, di Bali kira-kira abad ke 10 M, juga memperlihatkan seperti gejala di Jawa Timur
yang menganggap gunung sebagai tempat yang keramat, sebagai sumber kemakmuran
Unsur religi warisan dari masa prasejarah mempunyai kadar
keberlanjutan pada masa Hindu-Buddha, dan hal ini juga dapat disaksikan di Situs Doro
Bata.
Pada masa prasejarah, pada bagian puncak bangunan teras berundak biasanya
ada menhir/arca menhir. Arca menhir dan arca lainnya yang memperlihatkan genitalia
baik laki-laki maupun wanita, sebagai lambang nenek moyang sekaligus berfungsi sebagai
media pemujaan yang keramat, untuk memohon keselamatan hasil pertanian, kesuburan
tanah, keselamatan binatang, permohonan anak , Pendirian tempat pemujaan disamping karena alasan idiologi, juga ada alasan
teknis yakni tempat pemujaan biasanya memiliki teras karena didirikan pada tempat yang
tinggi yang berfungsi untuk menghindari hanyutnya tanah dan tidak licin di waktu musim
hujan
Soeryanto menyatakan bahwa sebelum Dompu mendapatkan pengaruh Hindu-
Buddha sesuai dengan Bo Sangaji Kai daerah Dompu dipimpin oleh Ncuhi, ada 5 Ncuhi
yakni Ncuhi Hu’u, Daha, Saneo, Nowa, dan Tonda yang masih menganut kepercayaan
yang bersifat animisme , sesudah daerah ini ditaklukkan oleh Mahapatih Gajah
Mada pada masa keemasan kerajaan Majapahit abad ke-14, masa pemerintahan Hayam
Wuruk, sisitem pemerintahannya menjadi kerajaan yang dipimpin oleh sangaji ,Terjadinya perubahan politik yang ditanamkan oleh Gajah Mada diikuti dengan
perubahan sistem kepercayaan yang berkembang saat itu yaitu Hindu-Buddha , Pengaruh Majapahit di Dompu tidak bertahan lama
seiring dengan masuknya paham baru yaitu agama Islam yang disebarkan oleh pedagang
dari kerajaan Gowa Makassar, yang sudah dimulai sejak abad ke-16 bahwa agama Islam masuk
ke Dompu pada abad ke-16 yang ditandai oleh perubahan dari sistem kerajaan menjadi
kesultanan dan Sultan Syamsudin sebagai Sultan Dompu pertama yang memeluk agama
Islam. Sejak saat itu Islam menjadi agama resmi di wilayah Kesultanan Dompu.
Menyinggung mengenai Situs Doro Bata, Situs adalah lokasi yang berada di darat
dan/atau di air yang mengandung tinggalan arkeologi seperti benda, bangunan dan/atau
struktur sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Apabila telah
ditetapkan oleh pihak yang berwenang sebagai cagar budaya akan menjadi situs cagar
budaya, benda cagar budaya, struktur cagar budaya, dan bangunan cagar budaya. Benda
(artefak) adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun
tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya
yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
Struktur adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan
manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana,
dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. Bangunan adalah susunan binaan
yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan
ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap
Doro Bata dalam bahasa daerah Dompu berasal dari kata Doro yang artinya gunung,
ada pula kata Dore yang artinya bukit, sedangkan Bata berarti bata. Jadi kata Doro Bata
berarti gunung bata. Penyebutan Doro Bata itu berdasar informasi warga di
sekitar situs bermula saat warga mengetahui ada bukit yang ditumbuhi semak
belukar yang penuh batu bata yang menggunung, sangat ditakuti karena keramat, membuat
penduduk di sana takut memasukinya. Selain itu warga Kandai I menyebut bata yang
ada di Doro Bata itu dengan istilah persada. Istilah ini mengingatkan pada istilah prasada
dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno yang mengacu kepada media pemujaan, yang
bentuknya mirip dengan candi. Prasada juga disebut sebagai bangunan pemujaan yang
merupakan bagian suatu kompleks bangunan suci. Disebutkan dalam Sumanasantaka
yang disebut dengan prasada adalah candi, sebagai bangunan suci tempat dicandikannya
seorang raja yang telah meninggal. Dikatakan lebih lanjut bahwa bangunan prasada
telah terlebih dahulu berkembang di Jawa, kemudian perkembangannya berlanjut di Bali
terbukti dengan ditemukannya bangunan-bangunan prasada di mana sampai kini masih
dipuja dan dipelihara oleh warga ,
Konsepsi prasada mempunyai persamaan dengan konsepsi meru atau gunung.
Kedua-duanya merupakan tempat pemujaan roh leluhur dari seorang penguasa semasa
hidupnya, seperti raja dan mahapatih. Sehingga secara umum disebut sebagai pedharman,
yaitu bangunan suci untuk memuja leluhur yang telah dianggap bersatu dengan Sang
Hyang Widhi Wasa, biasanya disebut dengan Dewa Pitara. Telah diketahui fungsi
prasada itu adalah merupakan padharman dari seorang penguasa dalam arti warga
masa lampau telah melanjutkan tradisi penghormatan kepada roh nenek moyang ,Diterangkan pula bahwa prasada ini sekaligus sebagai tempat duduk bagi roh
suci yang telah disucikan yang selalu mengawasi atau ikut memelihara ketentraman bumi
atau negara yang pernah menjadi wilayah kekuasaannya sewaktu baginda masih hidup
sebagai raja ,
Jadi Situs Doro Bata adalah lokasi yang berada di darat yang mengandung tinggalan
arkeologi seperti benda, bangunan dan/atau struktur sebagai hasil kegiatan manusia atau
bukti kejadian pada masa lalu. Dalam hal ini yang lebih menonjol adalah berupa fitur atau
lebih khusus lagi adalah teras berundak dan struktur pondasi bangunan yang terbuat dari
batu bata
Situs Dorobata merupakan tinggalan monumental dari jejak-jejaknya berbentuk
teras berundak, kemudian di atasnya berdasar temuan struktur pondasi bangunan
diduga didirikan bangunan dengan konstruksi kayu. Situs ini dijadikan hunian karena
didukung oleh kondisi alamnya yang banyak memiliki mata air, ada sungai-sungai
besar dan tanahnya yang subur, serta dekat dengan teluk yang dimanfaatkan sebagai
pelabuhan pada masa lalu. Situs ini diduga dibangun dilandasi konsep tradisi Prasejarah
yang berlanjut, yang juga dimanfaatkan pada masa masuknya pengaruh Hindu masa
kekuasaan Majapahit di Dompu abad ke-14 hingga masa Islam, kemudian diduga
ditinggalkan pada abad ke-19 akibat letusan Gunung Tambora. Situs ini masa prasejarah
diduga sebagai tempat pemujaan kepada kekuatan alam dan roh suci leluhur, masa Hindu-
Buddha sebagai tempat pemujaan para dewa dan roh suci leluhur, dan masa Islam sebagai
istana dan pemakaman. Doro Bata sebagai tempat pemujaan hingga pemakaman dan
pusat kekuasaan memiliki makna keharmonisan, kebersamaan, multikultur, dan toleransi,
agar dapat mencapai kesejahteraan.
Rekomendasi
Berasarkan hasil dan pembahasan Situs Doro Bata bahwa situs ini telah berusia
lebih dari 50 tahun dan memiliki arti yang sangat penting bagi sejarah kebudayaan
Kabupaten Dompu dalam memupuk keharmonisan, kebersamaan, multikultur dan
toleransi. Mengingat tingginya nilai yang dikandung oleh situs ini dipandang layak untuk
dilestarikan dan ditetapkan sebagai Cagar Budaya, dijadikan Taman Purbakala Kabupaten
Dompu, destinasi pendidikan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan sinergi dari
berbagai pihak terkait.