Satwa langka Indonesia 6

 













nal Lore Lindu (Kabupaten Sigi dan Kabupaten 

Poso). Di luar kawasan konservasi, burung maleo dapat ditemukan 

di pantai Tanjung Santigi Kecamatan Moutong, Tanjung Desa Rerang 

Kabupaten Donggala, daerah Bungku, dan Pantai Sausu Kabupateng 

Perigi Moutong (Nurudin, 2011). 

C. Bertahan di Lanskap Hutan yang Terus Berubah

Irama derap laju pembangunan makin cepat sejak diimplementa-

sikannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 

1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau yang lebih dikenal de-

ngan undang-undang otonomi daerah. Hal ini karena undang-undang 

tersebut kemudian menjadi dasar atau alasan pemekaran wilayah di 

beberapa provinsi dan kabupaten. Jika sebelum era reformasi terdapat 

27 provinsi di Indonesia, hingga saat ini Indonesia telah memiliki 33 

provinsi dan tambahan satu provinsi baru lagi, yaitu Kalimantan Utara 

sehingga menjadi 34 provinsi (Gunawan & Sugiarti, 2014). Pemekaran 

wilayah ini diiringi dengan pembangunan infrastruktur dan pemban-

gunan ekonomi wilayah yang berimplikasi pada perubahan struktur 

dan pola penggunaan ruang dalam tata ruang wilayah provinsi dan 

kabupaten.

Hingga tahun 2014, sejak Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 

tentang Tata Ruang dikeluarkan, ada 22 provinsi yang mengajukan 

perubahan atau Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) (Dua 

Puluh Dua, 2010). Perubahan tata ruang yang melibatkan perubahan 

fungsi dan peruntukan kawasan hutan, tentu saja berdampak pada 

keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam kawasan hutan. 

Dalam hal ini, karena ada pengurangan luasan kawasan hutan, frag-

mentasi hutan, maupun degradasi akibat eksploitasi. Pascaotonomi 

daerah digulirkan, Pulau Sulawesi terbagi menjadi enam provinsi, 

yaitu Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, 

Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Keseluruhan provinsi terse-

but telah melakukan revisi RT RW yang semuanya meliputi perubahan 

fungsi dan peruntukan kawasan hutan.

 279

Menurut Gunawan (2014), provinsi-provinsi yang mengusulkan 

perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan umumnya untuk 

memenuhi kebutuhan lahan dalam rangka pembangunan jalan, 

perkantoran, pelabuhan, lapangan terbang, perkebunan besar, lahan 

pertanian rakyat, pertambangan, bendungan, kawasan industri, per-

mukiman dan perkotaan, jaringan irigasi, jaringan listrik, dan lahan 

transmigrasi. Selanjutnya, Gunawan (2014) menyebutkan bahwa 

pembangunan berbagai infrastruktur tersebut menimbulkan dampak 

permanen kepada satwa liar, antara lain berupa fragmentasi habitat 

(habitat fragmentation), kehilangan habitat (habitat loss), penyusut-

an habitat (habitat shrinkage), penurunan kualitas habitat (habitat 

degradation), efek tepi (edge effect), isolasi habitat, dan penurunan/

penambahan ragam habitat (habitat diversity).

Burung maleo merupakan salah satu satwa yang sangat ter-

dampak oleh fragmentasi yang disebabkan oleh perubahan fungsi dan 

peruntukan kawasan hutan. Hal ini disebabkan burung maleo meru-

pakan spesialis dalam pemilihan habitat, memiliki kemampuan ter-                                                                                                                           

bang terbatas, dan membutuhkan habitat yang luas dan menyambung 

untuk penjelajahan dari tempat tidur dan mencari makan menuju ke 

tempat bertelur. Burung maleo biasanya tidur dan mencari makan 

di hutan-hutan primer dan sekunder yang jauh dari manusia karena 

satwa ini takut dengan kehadiran manusia. Burung maleo juga meng-

gunakan habitat khusus untuk mengeramkan telurnya karena burung 

ini tidak mengerami sendiri telurnya melainkan menguburnya dalam 

tanah di daerah yang memiliki sumber panas bumi (geothermal) atau 

di pasir pantai (Gambar 20.4). Burung maleo mengubur telurnya pada 

kedalaman tertentu untuk mendapatkan temperatur dan kelembaban 

yang sesuai untuk menetaskannya.

Meskipun bisa terbang, burung maleo bukanlah penerbang yang 

baik, kepandaian terbangnya hanya sedikit di atas kepandaian ayam 

kampung. Burung maleo hanya bisa terbang dalam jarak pendek, 

sekitar 30 meter sehingga memerlukan pohon-pohon sebagai lon-

catan perpindahannya. Oleh karena itu, burung maleo menyukai 

hutan dengan pohon-pohon yang relatif rapat untuk pergerakannya 

.280

dari tempat tidur ke tempat bertelurnya. Ketika hutan yang menjadi 

lintasan terbangnya ditebang dan berubah menjadi lahan pertanian 

dengan tanaman musiman maka burung maleo tidak dapat lagi 

mengakses tempat bertelurnya karena tidak ada pohon-pohon yang 

membantunya menjelajah dari hutan ke lokasi pengeraman telurnya.

Beberapa lapangan tempat bertelur maleo juga telah diting-

galkan atau tidak pernah didatangi karena telah berubah menjadi 

permukim an, kebun, atau ladang rakyat, atau bahkan lapangan sepak 

bola (Gunawan, 2000). Menurut Baker (2002) dari 142 tempat ber-

sarang yang diketahui, 48 telah ditinggalkan, 51 sangat terancam, 

32 terancam, 7 berstatus tidak diketahui, dan hanya 4 yang belum 

terancam. Populasi keseluruhan burung maleo diperkirakan tinggal 

berkisar 4.000–7.000 pasangan yang berkembang biak, dan menurun 

dengan cepat hingga 90% sejak 1950 (Butchart & Baker, 2000). 

D. Fragmentasi, Degradasi, dan Kehilangan Habitat

Menurut Gunawan (2000), masalah utama yang dihadapi dalam usaha 

pelestarian burung maleo adalah penurunan populasi yang sangat 

tajam hampir di semua habitatnya akibat dari eksploitasi terhadap 

telurnya, degradasi habitat, dan fragmentasi habitat. Eksploitasi 

telur utamanya disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat. 

Keterangan: a. Pantai dengan  sumber panas matahari b. Hutan dengan sumber 

panas bumi (geotermal)


Gambar 20.4 Habitat Tempat Bertelur Maleo 

 

  (a)                 (b)

 281

Kemerosotan kualitas habitat disebabkan oleh kerusakan hutan akibat 

penebangan dan perambahan hutan, sedangkan berkurangnya luasan 

habitat disebabkan oleh konversi hutan dan perladangan liar yang 

kemudian menjadi ladang permanen (Gambar 20.5). Konversi hutan 

juga menyebabkan fragmentasi habitat yang menghilangkan koneksi 

dari habitat tempat tidur ke habitat tempat bertelur. Fragmentasi yang 

masif dapat mengakibatkan isolasi habitat tempat bertelur dan isolasi 

habitat tempat tidur burung maleo (Gambar 20.6). Isolasi tempat 

bertelur tersebut menyebabkan terhambatnya proses regenerasi. 

Isolasi habitat secara umum dalam jangka panjang dapat menu-

runkan kualitas genetik populasi akibat kawin dalam (inbreeding). 

Degradasi kualitas habitat burung maleo terjadi akibat perambahan 

hutan dan penebangan liar yang merusak vegetasi hutan. Di sam-

ping menghilangkan atau mengurangi keamanan tempat berlindung, 

perambahan hutan juga mengurangi pohon-pohon penghasil pakan 

(Gambar 20.7). Kehadiran manusia di habitat burung maleo juga 

menciptakan efek tepi yang mengurangi luasan habitat efektif yang 

digunakan oleh burung maleo. Perambahan dan penebangan liar ba-

nyak terjadi pada masa awal tahun 2000 sebagai dampak dari euforia 

reformasi yang berlebihan dan krisis ekonomi yang belum pulih.


Gambar 20.5 Contoh Konversi Hutan Menjadi 

Lahan Pertanian Semusim

.282

(a)         (b)

(c)

Keterangan: a.  Jalan desa b. Jalan provinsi c. Saluran irigasi

Foto: Hendra Gunawan (2015)

Gambar 20.6 Contoh Fragmentasi Habitat yang Memotong Kawasan Hutan

Foto: Hendra Gunawan (2015)

Gambar 20.7 Perladangan yang Terjadi di Dalam 

Kawasan Hutan

 283

Jika penggarapan kawasan hutan bersifat masif dan ekstensif, 

dampaknya tidak saja mengurangi kualitas habitat, tetapi juga 

menghilangkan habitat secara permanen (habitat loss) (Gambar 

20.8). Hilangnya sebagian habitat tersebut jelas mengurangi luasan 

habitat yang ada, dan ini berarti mengurangi daya dukung habitat. 

Secara alami, konsekuensinya adalah penurunan populasi burung 

maleo di lokasi yang luasannya menyusut atau bahkan hilang karena 

habitat menjadi tidak sesuai lagi atau tidak lagi mampu mendukung 

kelangsungan hidup burung maleo sehingga ditinggalkan secara 

permanen (abandoned).  

E. Bagaimana Melawan Punah di Lanskap yang Terus 

Berubah

Menghadapi ancaman yang terus menerus dan tak dapat dihindari 

maka diperlukan langkah-langkah strategis jangka panjang untuk me-                                                                                                    

nyelamatkan burung maleo dari kepunahan. Langkah utama adalah 

melindungi tapak-tapak habitatnya, khususnya habitat tempat bertelur, 

baik dengan cara menetapkannya sebagai kawasan konservasi maupun 

melindunginya sebagai kawasan lindung atau kawasan ekosistem 

 esensial. Habitat tempat bertelur yang terbuka rawan terhadap gang-

guan predator dan pencurian sehingga proses perkembangbiakan 

dapat terganggu (Gambar 20.9 a).


Gambar 20.8 Penggundulan Hutan Secara Masif 

untuk Lahan Pertanian Permanen

.284

Habitat-habitat yang telah rusak atau terdegradasi perlu diresto-

rasi untuk mengembalikan fungsinya. Pada habitat tempat bertelur 

yang telah terfragmentasi sehingga terputus koneksinya dengan habitat 

tempat tidur, perlu dibuatkan koridor melalui restorasi atau rehabili-

tasi di jalur lintasan terbang burung maleo sebagai jalan menuju lokasi 

tempat tidurnya. Bila diperlukan, untuk menjamin keamanan dan 

keberhasilan penetasan telur, telur-telur burung maleo dipindahkan 

ke tempat penetasan in situ berpagar dan terawasi oleh petugas agar 

lebih aman dari gangguan predator dan pencurian (Gambar 20.9 b). 

Untuk itu, unit-unit penyelamatan telur burung maleo secara in situ 

beserta petugas atau relawan terlatih perlu diperbanyak, khususnya 

di daerah rawan pencurian telur burung maleo.

(a)    (b)

Keterangan: a. Habitat terbuka yang rawan gangguan predator dan pencurian b. 

Bak tempat penetasan telur burung maleo yang dibuat di sekitar habitat alaminya 

(in situ)


Gambar 20.9 Habitat Tempat Bertelur Burung Maleo 

Tidak kalah pentingnya adalah upaya peningkatan kesadaran 

masyarakat untuk ikut melestarikan burung maleo, melalui berbagai 

cara, seperti penyuluhan, kampanye konservasi, pendidikan lingkung-

an, dan melibatkan mereka dalam upaya penyelamatan telur burung 

maleo atau membinanya menjadi pemandu ekowisata dengan objek 

utama menyaksikan burung maleo bertelur. Pengembangan ekowisata 

burung maleo diharapkan dapat menggerakkan ekonomi masyarakat 

sekitar dan menumbuhkan kesadaran akan manfaat keberadaan bu-

 285

rung maleo sehingga dapat mendorong masyarakat untuk ikut aktif 

berpartisipasi dalam upaya konservasi burung maleo.

Upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah ditunjukkan 

antara lain dengan menetapkan burung maleo sebagai salah satu dari 

25 satwa prioritas nasional untuk ditingkatkan populasinya sebesar 

10 persen, berdasarkan SK Direktur Jenderal KSDAE Nomor 180/

IV-KKH/2015. Upaya lain untuk mendukung hal tersebut yaitu pada 

tahun 2016 TN Bogani Nani Wartabone menetapkan tiga lokasi 

tempat bertelur burung maleo, yaitu Tambun, Muara Pusian, dan 

Hungayono sebagai sanctuary yang dikelola secara intensif dengan 

fasilitas hatchery, kandang-kandang habituasi, dan pemagaran untuk 

pengamanan. TN Bogani Nani Wartabone juga menginisiasi penyu-

sunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Burung Maleo 

pada tahun 2017.

F. Penutup

Hutan tempat hidup berbagai jenis satwa terus mengalami perubah-

an, baik dalam hal kualitas, luasan, maupun keutuhannya sebagai 

suatu bentang lanskap yang kompak. Tidak semua jenis satwa 

mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada habitatnya. 

Banyak satwa dilindungi justru sangat terdampak oleh perubahan 

bentang alam, di antaranya satwa-satwa yang memiliki jelajah luas, 

kemampuan mobilitas rendah, memiliki sifat pemalu, atau takut 

terhadap manusia. Selain satwa-satwa tersebut, jenis satwa interior 

pun terdampak, yaitu satwa yang menyukai hidup di tengah-tengah 

hutan yang jauh dari pinggiran. Burung maleo termasuk satwa yang 

sangat terdampak dengan perubahan bentang lanskap hutan, terutama 

fragmentasi yang memutus konektivitas antara hutan tempat tidur dan 

mencari makan dengan lapangan tempat bertelurnya. Fragmentasi 

hutan makin masif mengikuti laju pembangunan infrastruktur dan 

pengembangan wilayah pascaotonomi daerah. Hal ini perlu disikapi 

dengan upaya mitigasi untuk meminimalisir dampaknya terhadap 

kelestarian burung maleo. Salah satu upaya yang patut diapresiasi 

adalah revitalisasi dan pengelolaan intensif lapangan tempat bertelur 

.286

burung maleo sebagai sanctuary untuk program penetasan telur 

yang terkontrol dan terlindungi sehingga dapat menjamin proses 

reproduksi alami dan menjaga populasi di alam tetap berkembang. 

Upaya seperti ini perlu direplikasi di tempat lain dengan melibatkan 

masyarakat dalam skema pemberdayaan dan pengembangan ekonomi 

lokal melalui ekowisata burung maleo.

Ratusan tahun yang lalu para peneliti mengambarkan pohon 

yang berubah menjadi merah karena ribuan nuri sebagai sebuah 

pemandangan yang mengesankan. Nuri merah atau nuri talaud 

digolongkan ke dalam anggota burung paruh bengkok (Psittacidae). 

Spesies tersebut adalah salah satu satwa dilindungi di Indonesia 

yang sebarannya hanya ada di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. 

Populasi nuri talaud di habitat alaminya makin berkurang dari 

tahun ke tahun akibat penangkapan untuk diperjualbelikan. Sangat 

disayangkan anggota genus Eos yang terdistribusi di paling barat ini 

luput dari perhatian dan statusnya dalam ancaman kepunahan. Satwa 

dilindungi ini populasinya tidak lebih dari 5.000 individu. Meskipun 

telah masuk dalam Apendiks I CITES, namun faktanya nuri talaud 

justru menjadi satu komoditas perdagangan satwa liar bahkan hingga 

ke mancanegara. Upaya melestarikan nuri talaud di Indonesia harus 


terus dilakukan, baik melalui kegiatan riset, peningkatan pengetahuan 

dan kesadaran masyarakat, memupuk kebanggaan, dan rasa memiliki 

keanekaragaman satwanya yang khas dan endemik Indonesia. 

A. Burung Endemik Talaud

Nuri talaud memiliki bahasa ilmiah Eos histrio atau Red and Blue 

Lory atau dalam bahasa lokal masyarakat Talaud disebut sam-

piri. Nuri   talaud adalah anggota spesies dari burung paruh bengkok 

 (Psittacidae). Nama Talaud disematkan sebagai penanda bahwa 

spesies ini adalah asli dari gugusan Kepulauan Talaud atau dikenal 

dengan nama Bumi Porodisa. Uniknya, Kepulauan Talaud yang 

secara administrasif menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara 

memiliki perbedaan pada jenis burung paruh bengkok dengan yang 

ditemukan di daratan besarnya (main island), Sulawesi. Oleh karena 

itu, nuri talaud dapat menjadi magnet bagi para peneliti yang ingin 

mempelajari zoogeografi.

Tidak banyak yang mengetahui identitas nuri talaud sebagai 

burung endemik di Sulawesi Utara yang kini keberadaannya sudah 

makin langka. Pada tahun 1760 merupakan awal nuri talaud dikenal 

oleh kalangan ilmiah dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri ber-

dasarkan awetan di diorama Museum Natural History London. Nuri 

talaud digolongkan sebagai spesies dalam bahaya dan terancam oleh 

berbagai macam tekanan. Namun, ancaman yang paling serius adalah 

penangkapan untuk diperjualbelikan. Dilihat dari nilai ekonomis, jelas 

burung ini tidak kalah menarik dengan jenis burung paruh bengkok 

lainnya, seperti jenis-jenis kakaktua, kasturi, maupun jenis serindit 

sebab nuri talaud memiliki warna yang menarik dan juga suara yang 

dapat dilatih.

Berdasarkan penelitian Snyder dkk. (2000), di dunia terdapat 

sekitar 403 jenis burung paruh bengkok dengan variasi morfologi 

yang cukup tinggi. Indonesia sendiri memiliki spesies burung paruh 

bengkok yang tinggi, 45 spesies di antaranya tersebar di wilayah 

Papua (Beehler dkk.,2001), 37 spesies di kawasan Wallacea (White 

& Bruce, 1986) dan 9 spesies di Kepulauan Sunda Besar (Mac                              

Nuri Talaud, Sang ... 291

Kinnon dkk., 1998). Eos histrio merupakan satu dari enam genus 

Eos yang penyebarannya di wilayah paling barat, sedangkan jenis Eos 

lainnya, yaitu Eos reticulata merupakan endemik Pulau Kai (NTT), 

Eos squamata tersebar di Maluku Utara, Eos bornea adalah endemik 

Maluku (Selatan), Eos semilarvata endemik Pulau Seram, dan Eos 

cyanogenia yang tersebar di pesisir Pulau Biak dan pulau-pulau di 

Teluk Cendrawasih Papua.

B. Deskripsi Jenis

Sama halnya dengan spesies paruh bengkok lainnya, nuri talaud 

memiliki bentuk paruh yang melengkung ke bawah, seperti catut dan 

sangat kuat, kaki bersifat zygodactil yang artinya dua jari menghadap 

ke depan dan dua jari menghadap ke belakang; dan lidah tebal yang 

berfungsi untuk memegang atau prehensile. Ukuran tubuh Nuri  

 talaud berkisar antara 30–31 cm dan berat antara 150–190 gram. Bulu 

dominan berwarna merah dan biru, sedangkan bagian dada dan mata 

ditutupi bulu berwarna biru yang mengelilingi hampir sebagian kepala 

hingga ke leher (Gambar 21.1). Sekilas, penampakan Nuri talaud 

seperti burung yang mengenakan topeng. Para taksonomis membeda-

kan Eos histrio menjadi tiga anak jenis atau subspesies berdasarkan 

habitat serta morfologinya yaitu E.h. histrio, E.h talautensis dan E.h 

challengeri. Perbedaan morfologi ketiganya tidak terlalu jelas, namun 

dapat dibedakan berdasarkan habitatnya yaitu E.h.histrio berasal dari 

Kepulauan Sangihe, E.h. talautensis dari Kepulauan Talaud, dan E.h. 

callengeri berasal dari Kepulauan Nenusa dan Miangas.

Nuri talaud adalah burung monomorfis yang sulit dibedakan 

antara jantan dan betina, bila hanya berdasarkan perbedaan mor-

fologinya, seperti pada beberapa jenis burung pada umumnya. 

Referensi mengenai Nuri talaud menjelaskan bahwa burung ini 

berkembang biak diperkirakan pada bulan September sampai dengan 

Oktober. Sarang yang dipilih adalah pohon kering dan tinggi dalam 

sebuah lubang dengan telur yang dihasilkan 1–3 telur. Pengeraman 

berlangsung sekitar 25–27 hari dengan hampir dua bulan induk akan 

melakukan perawatan sampai anak dapat keluar dari sarang. Masa 

hidup burung Nuri talaud masih bervariasi antara 15 hingga 20 tahun. 

.292

           

Foto: Diah I.D.Arini (2013)

Gambar 21.1 Nuri Talaud di Konservasi Ex situ Balai Litbang LHK 

Manado 

C. Perilaku dan Sistem Pertahanan Koloni

Nuri talaud memiliki kebiasaan terbang dalam kelompok-kelompok 

kecil berjumlah antara delapan hingga sepuluh ekor dengan menge-

luarkan suara ramai dan khas. Jenis ini dapat dijumpai di berbagai 

habitat, terutama di hutan sekunder dan kebun. Seperti jenis nuri 

lainnya, Nuri talaud sangat menyukai nektar bunga termasuk mayang 

kelapa, bunga durian, bunga jambu-jambuan (Eugenia sp.), dadap 

(Erythrina sp.), buah-buahan, biji-bijian, dan serangga termasuk 

larva Sexava sp. yang merupakan hama bagi tanaman kelapa. Untuk 

memperoleh nektar, Nuri talaud menggunakan fungsi ujung lidah 

yang berbentuk seperti sikat yang disebut papila. 

Nuri talaud termasuk burung yang hidup berkoloni besar, yaitu 

terdiri dari 100–300 ekor per koloni. Burung yang hidup dalam koloni 

besar memiliki perilaku unik yaitu menggunakan satu pohon tidur 

secara bersama-sama. Pohon tidur merupakan titik awal dan titik 

akhir dari segala aktivitas nuri talaud. Pohon ini akan digunakan 

ketika senja mulai tiba hingga menjelang fajar. Penggunaan satu 

pohon tidur oleh koloni nuri talaud dapat berlangsung sangat lama, 

bahkan hingga puluhan tahun. Koloni akan berpindah pohon tidur 

jika pohon ditebang atau roboh dengan sendirinya. Selain itu, gang-

Nuri Talaud, Sang ... 293

guan pada pohon tidur juga terjadi karena ulah manusia. Di antaranya 

pemasangan jerat pada pohon tidur dapat berakibat koloni akan 

segera pergi mencari lokasi pohon tidur yang baru. 

Pohon tidur yang dipilih biasanya adalah pohon yang paling 

tinggi di antara pohon lain di sekitarnya, tidak banyak gangguan, 

dan memiliki banyak cabang. Lokasi pohon tidur justru di daerah 

peralihan antara kebun dan hutan. Jenis-jenis pohon yang dipilih oleh 

Nuri talaud di antaranya pohon gehe (Pometia corriaceae), pohon 

binsar (Ficus variegata), pohon war’ro (Duabanga moluccana), dan 

pohon lawean (Sterculia sp.) 

D. Penggunaan Pohon Tidur 

Pada tahun 2014, terdapat sekitar enam pohon tidur yang masih 

aktif digunakan nuri talaud yang berlokasi di desa Ammat, Rae, 

Binalang, Bengel, dan Bantane (Arini dkk., 2017). Pada tahun-tahun 

sebelumnya Yayasan Burung Indonesia mengidentifikasi sembilan 

pohon tidur pada tahun 2004 dan delapan pohon tidur pada tahun 

2006. Penurunan jumlah pohon tidur terjadi seiring dengan jumlah 

populasi Nuri talaud yang makin berkurang di habitat alaminya. 

Terdapat satu pohon tidur di Desa Rae, tepatnya di lokasi kebun 

Bowone, yang telah digunakan oleh koloni Nuri talaud sejak tahun 

2006 hingga saat ini, sedangkan di Desa Binalang terdapat dua pohon 

tidur yang posisinya saling berdekatan. Data jenis pohon tidur yang 

telah ada sejak tahun 2004 menunjukkan adanya preferensi terhadap 

spesies pohon tidur yang digunakan nuri talaud, yaitu pohon Gehe. 

Pohon Gehe adalah jenis pohon dominan di Pulau Karakelang yang 

memiliki morfologi batang lurus dan tinggi (Gambar 21.2). Pohon ini 

juga sering digunakan oleh masyarakat di Karakelang sebagai ‘batas 

sipat’ atau batas kepemilikan kebun. 

Proses nuri talaud masuk ke dalam pohon tidur diawali dengan 

kedatangan beberapa ekor nuri talaud yang hinggap di pohon seki-

tar pohon tidur sambil bersuara khas. Perilaku tersebut dilakukan 

mungkin karena mereka adalah petugas pembawa pesan yang akan 

mengarahkan koloni lainnya menuju pohon tidur. Ketika langit mulai 

.294

gelap, satu persatu nuri talaud mulai bertengger pada ranting-ranting 

pohon tidurnya, bersuara ribut sampai semua koloni berada pohon 

tidur yang sama. Posisi tidur nuri talaud terlihat sangat unik, mereka 

tampak berpasangan menempati setiap ranting dan dahan pohon tidur 

hingga suara riuh itu akan berhenti dengan sendirinya saat malam 

tiba. Beberapa teori mengenai penggunaan pohon tidur oleh koloni 

burung adalah sebuah cara dalam pertahanan koloni. Pohon dengan 

karakteristik yang lebih tinggi dibandingkan pohon di sekitarnya 

akan memudahkan koloni dalam memantau kehadiran predator yang 

datang. Selain itu, sistem sosial terbangun dengan membagi anggota 

koloni dalam setiap posisi ranting sehingga terbentuk sebuah interaksi 

sosial dan kerja sama intraspesifik dalam koloni untuk melawan gang-

guan yang membahayakan koloni. 

  

   

  (a)    (b)

Foto: Diah I.D.Arini (2014)

Gambar 21.2 Pohon yang Teridentifikasi sebagai Pohon Tidur (Roost Tree) 

Nuri Talaud, Sang ... 295

E. Populasi Alami yang Terancam

Lee dkk. (2001), menuliskan pengalaman penelitiannya dalam se-

buah buku yang berjudul Keanakeragaman Hayati Sulawesi Utara, 

dikisahkan bahwa seratus tahun lalu para peneliti di alam meng-

gambarkan pohon-pohon yang berubah warna menjadi merah sebagai 

sebuah pemandangan yang mengesankan. Merahnya pohon tersebut 

disebabkan karena banyaknya nuri talaud yang tidur secara berkoloni 

hingga mencapai ribuan ekor. Namun sayang, dalam tahun-tahun 

terakhir dijelaskan bahwa pemandangan tersebut mulai hilang dengan 

makin menurunnya jumlah populasi nuri talaud di alam. Pendapat 

ini diperkuat oleh International Union for Conservation of Nature 

(IUCN) Species Survival Commission yang telah melakukan penilaian 

terhadap status nuri talaud di Kepulauan Sangihe dan Talaud pada 

tahun 1996. Hasil penilaian mereka menunjukkan adanya penurunan 

jumlah populasi yang sangat signifikan dan mereka menyatakan 

bahwa saat ini hanya ada satu anak jenis yang masih tersisa, yaitu 

E.h.talautensis dari tiga anak jenis yang diperkirakan pernah tercatat. 

Populasi terbesar nuri talaud di habitat alam saat ini dapat dijumpai 

di Pulau Karakelang dengan jumlah tidak lebih dari 2.300 ekor. 

F. Jejak Perdagangan

Jejak perdagangan nuri talaud dituliskan secara rinci oleh Amama 

(2006). Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa perdagangan nuri 

talaud sudah ada sejak tahun 1885. Seorang naturalis bernama Sidney 

J. Hickson berkebangsaan Inggris yang saat itu sedang melakukan 

perjalanan ke Sangihe dan Talaud, menjumpai masyarakat setempat 

memberikan hadiah bahkan menjual beberapa nuri talaud. Catatan 

lainnya dari seorang dokter bernama Murray yang juga menceritakan 

pengalamannya pada saat beliau tinggal di atas kapal Challenger, di 

mana dia bertemu dengan beberapa awak kapal yang berasal dari 

Pulau Miangas membawa beberapa ekor burung nuri yang terborgol 

cincin dari tempurung kelapa. Burung-burung tersebut hendak ditu-

kar dengan tembakau. Perdagangan nuri talaud juga sering dilakukan 

dengan sistem barter, yaitu ditukar dengan peralatan rumah tangga 

atau minuman beralkohol. 

.296

Pada tahun 1963 penyelundupan nuri talaud marak terjadi 

de-ngan tujuan Mindanao Selatan (Filipina) dan Tawau (Malaysia). 

Burung nuri menjadi salah satu komoditi favorit yang cukup tinggi 

nilai jualnya, selain kopra dan cengkeh. Perdagangan secara besar-

besaran terjadi pada tahun 1980-an di mana hampir sebagian besar 

tangkapan nuri talaud dijual ke Filipina dan sebagian lainnya dijual 

ke daerah lain melalui Kota Manado. Posisi geografis Kepulauan 

Nusa Utara, termasuk di dalamnya Sangihe, Talaud, dan pulau kecil 

di sekitarnya, membuka peluang yang sangat besar bagi maraknya 

perdagangan nuri talaud secara ilegal. Tidak hanya kapal-kapal dari 

masyarakat Talaud dan Sangihe saja, namun juga dari Ternate dapat 

berinteraksi langsung dengan kapal Filipina. Nuri talaud yang diper-

dagangkan di dalam pulau memang memiliki nilai jual yang sangat 

rendah, namun jika telah sampai di luar pulau harganya bisa mencapai 

ratusan ribu. Banyak pedagang burung keliling di Kota Manado yang 

membawa serta nuri talaud dengan harga mencapai 700 ribu rupiah 

per ekornya, hampir sama dengan harga jual kasturi ternate. Pada 

umumnya, mereka tidak mengetahui spesies burungnya, yang mereka 

tahu bahwa jenis ini tergolong burung langka dan mahal.

  

   

            (a)                           (b)

Keterangan: a. Perubahan lanskap talaud b. Penangkapan 

Foto: Diah I. D. Arini (2014)

Gambar 21.3 Tantangan dalam Pelestarian Nuri Talaud

Nuri Talaud, Sang ... 297

Jika kita berjalan-jalan di beberapa desa di Karakelang, tidak 

sedikit dijumpai masyarakat yang memelihara nuri talaud. Masyarakat 

rata-rata memelihara satu hingga tiga ekor, terkadang tidak hanya nuri 

talaud, tetapi ada jenis-jenis lain yang juga dipelihara, seperti betet 

kelapa (Tanygnathus megalorynchos), nuri bayan (Eclectus roratus) dan 

kring-kring dada kuning (Prioniturus flavicans) yang semuanya adalah 

tangkapan dari alam. Beberapa alasan masyarakat memelihara nuri 

talaud, yaitu sebagai hewan peliharaan, sebagai hadiah yang diberikan 

kepada saudara, atau sengaja menangkap dari alam untuk dijual 

(Gambar 21.3). Penangkapan nuri talaud di habitat alam dilakukan 

dengan memasang perangkap menggunakan getah dari kayu sejenis 

sukun-sukunan (Artocarpus). Getah dioleskan pada sebilah bambu 

atau kayu yang dipasang pada pohon yang berdekatan dengan pohon 

tidur. Seekor nuri talaud digunakan sebagai pancingan suara untuk 

memanggil sekawanan nuri lainnya mendekat, akibatnya banyak nuri 

talaud yang ikut terperangkap dalam jebakan tersebut. 

G. Perlindungan Habitat dan Spesies

Selain perdagangan, ancaman akan populasi nuri talaud juga datang 

dari hilangnya habitat. Kepulauan Sangihe yang dulu menjadi habitat 

Nuri talaud saat ini hanya menyisakan petak-petak hutan yang berada 

di ketinggian. Pulau Karakelang memiliki beberapa kawasan hutan 

yang ditetapkan menjadi hutan lindung dan kawasan konservasi, yaitu 

Suaka Margasatwa Karakelang yang dikelola oleh Balai Konservasi 

Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Kawasan tersebut menjadi wilayah 

penting bagi perlindungan nuri talaud yang diangkat sebagai maskot 

Talaud. Oleh karena itu, untuk menjaga nuri talaud dari ancaman 

kepunahan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan daftar jenis flora 

maupun fauna sebagai jenis yang dilindungi termasuk di dalamnya 

adalah nuri talaud sebagai anggota keluarga paruh bengkok atau 

Psittacidae melalui Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2018. 

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 57 Tahun 2008 tentang Arahan 

Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008–2018 menjelaskan bahwa 

burung nnri talaud atau sampiri tergolong satwa dengan kategori 

prioritas sangat tinggi sehingga diperlukan upaya penyelamatan.

.298

Nuri talaud yang populasinya sudah sangat sedikit bahkan nyaris 

punah, oleh badan konservasi dunia (IUCN), telah dimasukkan ke 

dalam kategori genting (Endangered), bahkan jika dilakukan evaluasi 

kembali statusnya bisa meningkat menjadi kritis (critically  endangered). 

Perdagangan nuri talaud merupakan bisnis yang melanggar ketentuan 

internasional karena nuri talaud terdaftar dalam Apendiks I CITES 

yang artinya tidak boleh diperdagangkan secara nasional maupun 

internasional baik dalam kondisi hidup ataupun mati. 

Kegiatan Action Sampiri yang dimulai pada tahun 1999 adalah 

salah satu upaya konservasi nuri talaud yang dilakukan oleh gabungan 

para peneliti dari University of York, University of Leeds, dan Univer-

sitas Sam Ratulangi, Manado. Kegiatannya meliputi pemantauan rutin 

terhadap populasi nuri talaud dan edukasi kepada masyarakat untuk 

menumbuhkan kesadaran akan pentingnya melestarikan habitat 

dan spesies nuri talaud. Saat itu, Talaud telah memiliki Komunitas 

Pencinta Alam Pulau Karakelang (KOMPAK) yang beranggotakan 

masyarakat muda Pulau Karakelang. Karena kecintaannya terhadap 

alam Talaud, KOMPAK bekerja menjaga nuri talaud yang menjadi 

kebanggaan masyarakat Talaud. Beberapa penyelundupan berhasil 

digagalkan dengan adanya kerja sama dengan berbagai pihak terkait. 

Burung-burung tersebut akhirnya dilepaskan kembali di habitat 

alamnya. Dukungan pemerintah Talaud terhadap pelestarian nuri 

talaud antara lain dengan menjadikan satwa ini sebagai ikon dan 

maskot Kabupaten Kepulauan Talaud, serta boneka souvenir dalam 

acara Pekan Olahraga Kabupaten Korps Pegawai Republik Indonesia 

(PORKAB KORPRI) Kabupaten Talaud tahun 2014 (Gambar 21.4).

Nuri Talaud, Sang ... 299

 

 

 

 

 

  

Foto: Roesone (2014)

Gambar 21.4 Boneka Sampiri Sebagai 

Souvenir dalam Acara Pemerintah 

Kabupaten Talaud Tahun 2014 

Upaya untuk melestarikan nuri talaud selain dengan melindungi 

habitat dan populasinya di alam liar, juga dapat ditempuh dengan 

kegiatan konservasi ex situ atau di luar habitat alaminya, yaitu 

melalui penangkaran. Beberapa lembaga penelitian, termasuk salah 

satunya Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan 

Kehutanan (BP2LHK) Manado pada tahun 2012–2014 melakukan 

upaya pengembangbiakan nuri talaud, namun kegiatan ini belum 

sepenuhnya membuahkan hasil yang maksimal. Namun demikian, 

beberapa informasi mengenai ekologi Nuri talaud yang selama ini 

belum ada dapat terjawab melalui kegiatan penelitian yang telah 

dilakukan. 

H. Penutup

Nuri talaud merupakan bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia 

yang sangat membutuhkan perhatian, serta tindakan nyata pelesta-

rian. Dari enam spesies anggota genus Eos, nuri talaud memiliki lokasi 

distribusi paling barat di antara spesies lainnya. Populasi nuri talaud 

makin menurun karena perburuan ilegal yang terus terjadi. Posisi 

.300

wilayah Kepulauan Talaud yang berbatasan langsung dengan negara 

tetangga Filipina memberikan kesempatan kegiatan perdagangan 

ilegal ini terus terjadi karena lemahnya pengawasan. Dari tiga sub 

anak jenis nuri talaud saat ini hanya tersisa satu sub jenis, yaitu 

E.h.talautensis yang ada di Kepulauan Talaud. Dukungan terhadap 

kelestarian nuri talaud tidak hanya terhadap populasinya saja namun 

juga perlu dilakukan pada habitatnya. Kegiatan-kegiatan ini tentunya 

membutuhkan peran dan kerja sama dari berbagai pihak termasuk 

pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga 

masyarakat.


Tak seriang dan seindah kisah film animasi Dora The Explorer yang 

selalu mengajak para penontonnya untuk menjelajah alam liar, nasib 

burung dora justru terkesan menyedihkan dan terkungkung. Anuge-

rah berupa keindahan warna, perilaku yang riang, dan cerewetnya di 

alam liar justru menjadi malapetaka bagi mereka. Kisah burung dora 

justru berakhir di balik jeruji sangkar burung akibat egoisme para ma-

nusia yang berlindung di balik kedok “pecinta burung”. Pemeliharaan 

burung dora hanya dilakukan sekedarnya saja tanpa didasari dengan 

pengetahuan tentang pemeliharaan yang baik dan benar. Oleh karena 

itu, sangat penting untuk mengenalkan dan mengetahui informasi 

dasar tentang perilaku dan kebutuhan dasar burung dora. Informasi 

tersebut dapat menjadi dasar bagi masyarakat pemelihara burung dora 

agar dapat memelihara burung ini secara baik dan benar.

I. 

Burung paruh bengkok? Siapa di antara kita yang tidak mengenal 

kelompok burung ini. Berbagai jenis burung dari kelompok burung 

paruh bengkok sangat digemari oleh masyarakat sebagai satwa peli-

haraan. Salah satu jenis yang sering dipelihara adalah perkici dora 

(Trichoglossus ornatus Linnaeus, 1758). Burung perkici dora tergolong 

salah satu jenis burung yang dilindungi sejak puluhan tahun lalu. 

Burung dora telah dimasukkan dalam daftar jenis dilindungi 

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 757/Kpts/

Um/12/1979 tentang Penetapan Tambahan Jenis-Jenis Binatang 

Liar yang Dilindungi hingga kini. Perlindungan terhadap burung 

dora kemudian diperbarui berdasarkan Surat Keputusan Menteri 

Kehutanan Nomor 301/Kpts-II/1991 tentang Inventarisasi Satwa 

yang Dilindungi Undang-Undang dan atau Bagian-Bagiannya yang 

Dipelihara oleh Perorangan. Pada tataran peraturan yang tingkatan-

nya lebih tinggi, yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 

Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, 

yang keluar 20 tahun kemudian, burung dora tercantum sebagai jenis 

burung yang dilin dungi. Selanjutnya, lampiran Peraturan Pemerintah 

tersebut diperbarui dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 

dan Kehutanan, Nomor P.106/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/ 2018, dan 

tetap mempertahankan nama perkici dora sebagai salah satu jenis 

dilindungi. 

Konsistensi pemerintah Republik Indonesia untuk tetap men-

cantumkan burung perkici dora sebagai jenis burung yang dilindungi 

tidak lepas dari makin menurunnya populasi burung ini di alam. Tidak 

hanya di tingkat lokal nasional Indonesia, pada level internasional 

burung dora telah masuk dalam daftar Apendiks II CITES (CITES, 

2020), sedangkan berdasarkan International Union for Conservation 

of Nature (IUCN), burung ini masuk kategori Least Concern (BirdLife 

International, 2016). 

305

B. Keindahan Warna Warni yang Memesona 

Perkici dora yang berukuran tubuh sekitar 18–25 cm dengan tinggi 

berkisar 5–7 cm saat sedang berdiri ini memiliki kelebihan tersendiri 

dibanding paruh bengkok lainnya. Jika dibandingkan 14 jenis burung 

paruh bengkok lain yang dijumpai di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau 

kecil di sekitarnya, burung dora memiliki warna warni bulu yang ter-

golong paling seronok. Betapa tidak, bulu burung ini memiliki tidak 

kurang dari sembilan variasi warna, seperti merah, biru, kuning, hijau, 

jingga, ungu, kehitaman, hingga variasi gradasi warna hijau muda, 

dan kuning muda pada bulunya (Gambar 22.1). Warna warni cerah 

yang semarak menjadi daya pikat utama dari burung ini sehingga 

tidak seorangpun akan menjadi bosan saat memandang deretan warna 

yang artistik tersebut. Tidak mengherankan jika burung dora menjadi 

salah satu primadona di antara jenis paruh bengkok lainnya.

Foto: Indra A. S. L. P. Putri (2015)

Gambar 22.1 Burung Perkici Dora (Trichoglossus ornatus)

Perkici dora yang juga dikenal dengan nama kasturi sulawesi 

dan tergolong dalam kelompok Nuri (Loriidae; Psittacidae), dapat 

dijumpai di areal hutan dataran rendah (Holmes & Phillips, 1999) 

hingga ketinggian 1.770 mdpl (Coates dkk., 2000). Warnanya yang 

.306

cerah menyebabkan keberadaan burung dora di alam dapat dikenali 

dengan mudah saat sedang terbang melintas. Selain itu, dora tergolong 

burung yang cerewet sehingga kehadirannya dapat diketahui lewat 

suaranya. Di habitatnya, kita dapat mendengarkan suaranya yang 

ramai dan berisik, baik saat sedang terbang dalam kelompok, maupun 

saat sedang hinggap di pepohonan saat mencari makan.

C. Penyebaran

Perkici dora merupakan paruh bengkok endemik Pulau Sulawesi dan 

pulau-pulau kecil di sekitarnya. Burung perkici dora dapat dijumpai 

di beberapa lokasi sebagai berikut.

1) Provinsi Sulawesi Utara, burung ini dijumpai di Cagar Alam 

Manembonembo (Bororing dkk., 2011), kawasan hutan Tangkoko 

dan Toraut, dan Taman Nasional (TN) Bogani Nani Wartabone 

(Gibbs, 1990).

2) Provinsi Gorontalo, burung ini dijumpai di kawasan Hutan 

Adudu (Pudjihastuti dkk., 2007) dan di areal perkebunan Kakao 

(Boinau dkk., 2020). 

3) Provinsi Sulawesi Tengah, perjumpaan dengan burung dora 

pernah dilaporkan di sepanjang tepi barat Teluk Tomini (Andrew 

& Holmes, 1990), kawasan hutan Morowali (Khaeruddin, 2007), 

kawasan hutan yang terletak di Kakamora dan Dongi-dongi, 

(Gibbs, 1990), dan di kawasan Cagar Alam Pangi Binangga 

(Nurdiansyah dkk., 2019). 

4) Provinsi Sulawesi Tenggara, penulis pernah menjumpai burung 

dora di areal hutan dataran rendah dan areal savana di Taman 

Nasional Watumohai. Di areal ini, dora dijumpai terbang dalam 

kelompok berjumlah tiga hingga sepuluh ekor dengan suara ribut 

melintasi padang savana menuju hutan di sekitarnya atau menuju 

kebun penduduk. Jamili dan Amnawati (2014) melaporkan men-

jumpai burung ini di areal hutan mangrove TN Rawa Aopa 

Watumohai. O’Connell (2018) melaporkan menjumpai burung 

dora di Pulau Kabaena. Martin dan Blackburn (2010) melaporkan 

307

keberadaan burung ini di Pulau Buton, sedangkan Kelly dan 

Marples (2010) menjumpai burung dora di TN Wakatobi. 

5) Provinsi Sulawesi Barat, penulis pernah menjumpai kelompok 

burung ini sedang terbang melintasi kawasan Hutan Inhutani 

(Mamuju). 

6) Provinsi Sulawesi Selatan, penulis juga menjumpai burung ini di 

berbagai tipe hutan yang terdapat di kawasan TN Bantimurung 

Bulusaraung.

D. Kondisi Terkini

Kombinasi warna yang indah, ditambah dengan tingkah laku yang 

lucu dan menggemaskan, menyebabkan burung paruh bengkok ini 

menjadi salah satu burung favorit yang diperdagangkan. Perkici dora 

juga tergolong burung mudah jinak dan beradaptasi dengan manusia. 

Dengan ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar, burung dora tidak 

membutuhkan kandang besar sehingga makin menambah daya tarik 

(Gambar 22.2). Namun, daya tarik yang tinggi sebagai hewan peli-

haraan ternyata memicu perburuan liar dan penangkapan burung ini 

secara ilegal. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan online 

mengenai penangkapan dan perburuan liar dora yang dilakukan oleh 

masyarakat. Akibatnya, walaupun perkici dora telah dilindungi atau 

kuota perdagangannya ditetapkan nol (0), hingga saat ini, burung 

dora masih dapat kita jumpai diperdagangkan di berbagai pusat 

perdagangan satwa, terutama burung muda atau belum dewasa. 

 

Kerusakan habitat yang cukup tinggi juga menjadi kendala 

bagi kelangsungan hidup burung dora. Kerusakan habitat terjadi 

akibat perubahan lahan hutan menjadi peruntukan lain. Pada kasus 

penebangan liar, sering kali pepohonan yang ditebang adalah sarang 

burung dora. Hal ini menyebabkan terganggunya proses perkem-

bangbiakan burung dora. Dampak kerusakan habitat dan perburuan 

burung dora adalah makin sulitnya menjumpai burung ini di habitat 

alaminya. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah individu yang teramati 

saat terbang atau makan juga makin sedikit. Jika beberapa tahun lalu 

burung ini dapat dijumpai terbang berkelompok dalam jumlah cukup 

banyak, saat ini dora terkadang dijumpai terbang sendiri atau dalam 

kelompok kecil dengan jumlah tak lebih dari lima ekor saja. Indikasi 

tidak langsung yang menunjukkan terjadinya penurunan populasi 

burung dora terlihat dari hasil wawancara dengan pedagang burung. 

Saat ini, pedagang memperoleh dora dari para penangkap burung dari 

lokasi yang makin jauh dan terpencil. Apabila pada beberapa tahun 

lalu burung dora hanya berasal dari kawasan hutan yang terletak di 

Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat saja (daerah Mamuju), 

309

akhir-akhir ini, burung dora yang diperdagangkan berasal dari 

Propinsi Sulawesi Tengah atau Sulawesi Tenggara.

E. Tantangan Masa Depan

Indikasi makin menurunnya populasi perkici dora di alam merupakan 

hal yang harus dicegah agar tidak terus berlanjut. Oleh karena itu, 

diperlukan upaya untuk menghentikan kegiatan perburuan yang dapat 

menekan populasi burung ini di alam, membantu pengembangbiak-

annya, dan penegakan hukum secara kontinu. Hal ini perlu dibarengi 

dengan upaya sosialisasi mengenai perlindungan terhadap burung ini 

ke seluruh lapisan masyarakat, agar tidak ada lagi masyarakat yang 

memelihara burung dora dari tangkapan alam. 

Upaya perlindungan lain yang dapat dilakukan adalah melalui 

kegiatan pendidikan, penyuluhan, dan kampanye. Kegiatan tersebut 

diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat, terutama di 

sekitar kawasan hutan, agar berhenti menangkap burung secara ilegal. 

Bagi masyarakat perkotaan, kegiatan tersebut diharapkan mampu 

menyadarkan mereka untuk tidak lagi memelihara burung dilindungi, 

terutama yang berasal dari alam liar. Dampak lain yang diharapkan 

muncul dari adanya kegiatan tersebut adalah terjadinya perubahan 

pola pikir masyarakat untuk lebih senang melihat burung yang beter-

bangan di kawasan hutan yang menjadi habitat alaminya. Kegiatan 

tersebut pada akhirnya diharapkan dapat mendorong masyarakat 

untuk menjadi penggerak upaya konservasi burung. 

Hal berikutnya yang juga perlu dilakukan adalah mendorong 

masyarakat untuk tidak lagi membeli burung. Bagi masyarakat yang 

sangat ingin membeli dan memelihara burung dora perlu diarahkan 

untuk menempuh prosedur secara resmi. Pembelian dan pemeli-

haraan dora harus melalui proses yang sah dan memiliki izin resmi 

yang dikeluarkan oleh otoritas manajemen (Ditjen KSDAE, KLHK). 

Hal ini bertujuan agar pemelihara tidak hanya memelihara burung, 

tetapi juga mengembangbiakkannya. Pemelihara yang hanya sekedar 

memuaskan hobi biasanya hanya memelihara seekor burung dalam 

sangkar sempit atau mengikatkan salah satu kaki burung pada rantai 

.310

yang dihubungkan dengan sebatang besi tenggeran burung tersebut. 

Pemeliharaan dengan pola seperti ini tidak hanya merugikan burung 

yang dipelihara, juga menyebabkan burung tidak dapat berkembang 

biak. 

F. Berbagi Pengalaman 

Prahara (2003) menyatakan bahwa penangkaran burung yang dilin-

dungi merupakan hal yang lebih bermanfaat dan berdampak positif 

pada perlindungan satwa tersebut di habitat alaminya. Sebenarnya, 

pemeliharaan burung perkici dora merupakan hal yang mudah 

dilakukan. Meskipun dora bukan burung yang rewel dan menuntut 

kebutuhan atau perlakuan khusus, terdapat beberapa hal mendasar 

yang perlu diperhatikan agar dora yang dipelihara tetap sehat, me-

miliki umur panjang, dan mampu berkembang biak dengan baik. 

Salah satu hal yang perlu diperhatikan penangkar perkici dora 

adalah pakan dan air minum. Burung dora yang hidup di alam liar 

memakan berbagai jenis buah-buahan, nektar, dan polen (Kinnaird, 

2002). Nektar merupakan pakan kaya energi yang dibutuhkan burung 

untuk terbang dan melakukan berbagai aktivitas hidupnya (Prijono & 

Handini, 1999), sedangkan polen merupakan sumber protein, asam 

amino, vitamin, mineral, enzim, dan hormon (Krell, 1996). Oleh 

karena itu, pakan burung dora yang ditangkarkan perlu diperhati-

kan dengan saksama agar dapat memenuhi kebutuhan gizi sehingga 

kesehatan dan kelangsungan hidup burung tersebut tetap terjaga.

Sesuai dengan kebiasaan makan saat di alam bebas, burung dora 

memerlukan pakan yang kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin, 

mineral, dan air dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Keenam zat 

makanan tersebut terkandung dalam berbagai jenis pakan sehingga 

pakan yang diberikan kepada dora sebaiknya bervariasi. Pada dasarnya 

burung dora yang dipelihara dalam kandang penangkaran memiliki 

pergerakan terbatas maka dari itu burung tidak terlalu membutuh-

kan pakan berenergi tinggi. Pemberian pakan berenergi tinggi yang 

berlebihan justru akan menyebabkan burung menjadi gemuk dan 

malas bergerak. Pakan yang cocok diberikan bagi burung dora yang 

311

dipelihara di kandang penangkaran adalah pakan yang kaya protein 

dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan agar burung tetap berada 

dalam kondisi yang prima dan sehat (Putri, 2006). 

 Pakan dapat dibuat sendiri menggunakan berbagai jenis buah-

buahan, seperti pepaya, pisang, semangka, tomat, jeruk, dan jambu 

(Gunawan dkk., 2005). Perkici dora juga dapat diberikan pakan 

berupa belimbing bersegi dan buah-buahan lunak lain yang banyak 

mengandung air. Selain itu, dora juga dapat diberi pakan tambahan, 

seperti bubur bayi, air gula merah, madu, vitamin, serta susu sebagai 

sumber protein. Perkici dora merupakan jenis burung yang menyukai 

pakan dalam bentuk yang lembut, lunak, banyak mengandung cairan, 

dan manis sehingga sebaiknya hindari memberi pakan berupa biji-

bijian atau yang berbentuk padat. Pemberian pakan berupa biji-bijian 

dapat dilakukan dengan cara memasak biji-bijian tersebut terlebih 

dahulu, kemudian di haluskan menggunakan blender, dan ditambah 

air dan gula agar diperoleh pakan dalam bentuk bubur yang lembut 

dan halus.

Selain memberi pakan untuk menjaga kebutuhan protein dan 

karbohidrat, pemelihara juga dapat menambahkan vitamin, seperti 

growvit dan vitavit dengan cara mencampurkannya ke dalam air 

minum. Pemberian vitamin tersebut bertujuan untuk menjaga ke-

sehatan burung yang sedang ditangkarkan. 

Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah penyediaan air 

minum dalam jumlah yang mencukupi. Hal ini disebabkan perkici 

dora tetap membutuhkan air minum walaupun telah diberi pakan 

yang banyak mengandung cairan. Air minum sebaiknya ditempatkan 

dalam wadah tersendiri yang berukuran kecil agar tidak dipergunakan 

untuk mandi oleh perkici dora. Air minum juga harus selalu dijaga 

kebersihannya dan diganti setiap hari.

Faktor lain yang perlu diperhatikan saat menangkarkan burung 

perkici dora adalah kebersihan kandang penangkaran dan bagian-

bagiannya, seperti lantai kandang, tenggeran, tempat pakan, tempat 

minum, tempat mandi, maupun kotak sarang. Pembersihan kandang 

.312

wajib dilakukan secara teratur dengan cara membersihkan kotoran 

burung dan membuang sisa pakan.  

Berkaitan dengan faktor kebersihan, burung perkici dora ter-

golong burung yang bersih. Burung dora tergolong senang mandi den-

gan rutin, terutama jika matahari telah makin tinggi dan suhu makin 

panas. Kebiasan mandi ini sangat bermanfaat untuk menghilangkan 

kotoran pada tubuh burung di samping menjaga stabilitas suhu dan 

menjaga kebersihan bulu sehingga bulu terlihat lebih cerah dan ce-

merlang. Pada burung yang dipelihara secara berkelompok, biasanya 

akan mandi beramai-ramai sambil mengeluarkan suara riuh. Setelah 

mandi, burung dora akan menjemur badannya guna mengeringkan 

bulu yang basah sehingga ketersediaan sinar matahari, terutama sinar 

matahari pagi, yang secara langsung menyinari kandang merupakan 

hal yang penting.

Hal penting terakhir yang perlu diperhatikan oleh pemelihara 

burung adalah bagaimana memperlakukan burung dora peliharaan-

nya dengan penuh kasih sayang. Perkici dora yang dipelihara di 

penangkaran sebaiknya dihindarkan dari berbagai keadaan yang dapat 

membuat burung menjadi stres. Beberapa hal yang dapat dilakukan 

adalah dengan mengatur jumlah individu burung yang ditempatkan 

dalam sebuah kandang agar tidak terlalu sesak; mencegah gangguan 

oleh hewan lain, seperti tikus dan kucing; dan melindungi burung 

dari cuaca ekstrim akibat kondisi kandang penangkaran yang kurang 

memadai. Kandang pemeliharaan juga harus selalu berada dalam 

kondisi yang tenang, tidak berisik, dan tidak terganggu oleh suara 

lalu lalang kendaraan maupun manusia.

Pemelihara burung dora sebaiknya secara teratur, rajin, tekun, 

sabar, dan teliti memperhatikan kondisi peliharaannya. Apalagi 

burung dora tergolong jenis yang aktif bergerak dan secara naluri 

senantiasa membutuhkan perhatian dari pemeliharanya agar tidak 

merasa kesepian. Perhatian dan waktu yang cukup untuk bercengkera-

ma perlu diluangkan oleh pemelihara dora agar burung ini menjadi 

lebih tenang dan dapat berkembang biak dengan baik. Burung dora 

yang sehat akan terlihat lincah; selalu berkicau dan bersuara ribut; 

313

selalu bergerak; warna bulu terlihat cerah; bulu terlihat mengilap; dan 

memiliki mata bening, bersinar, dan terang.  

G. Penutup

Pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan manusia tidaklah 

terlarang. Namun demikian, pemanfaatan sumber daya seperti burung 

dora sebagai hewan “kesayangan” memerlukan prinsip kehati-hatian 

agar kelestariannya tetap terjaga. Diperlukan regulasi beserta pene-

rapannya yang tegas untuk melindungi keberadaannya di alam liar. 

Selain itu, perlu diketahui hal-hal yang diperlukan dalam upaya 

pemeliharaan dan pengembangbiakannya, seperti perilaku dan pakan 

sehingga pemelihara/penangkar tidak salah dalam memperlakukan 

burung dora. Penerapan pengetahuan cara memelihara dora yang 

baik dan benar tentunya akan membuat dora yang dipelihara menjadi 

sehat, panjang umur, dan dapat berkembang biak. Hal tersebut tentu 

akan mendukung upaya pemanfaatan perkici dora secara lestari 

sebagai satwa peliharaan.      

Kepulauan Maluku merupakan bagian wilayah Wallace dan hot-

spot keanekaragaman hayati karena sejarah geologisnya. Potensi 

keanekaragaman hayati Kepulauan Maluku yang tinggi terancam 

oleh aktivitas antropogenik, seperti pertambangan, perburuan, dan 

pertanian. Babirusa maluku (Babyrousa babyrussa) adalah mamalia 

mirip babi hutan dan merupakan spesies endemik dengan penyebaran 

hanya di Pulau Buru, provinsi Maluku dan Pulau Sula, provinsi 

Maluku Utara. IUCN mencantumkan spesies ini dalam red list dengan 

kategori vulnerable (rentan) karena populasinya yang terus menurun. 

Degradasi habitat dan perburuan menjadi penyebab penurunan 

populasi spesies ini.

B. 


Genus babirusa terdiri atas empat spesies, yaitu Babirusa maluku 

(Babyrousa babyrussa) yang merupakan spesies endemik dengan 

persebaran terbatas di Pulau Buru dan Sula, Kepulauan Maluku, 

B. celebensis tersebar di Pulau Sulawesi (Sulawesi mainland), B. 

 togeanensis terdapat di Kepulauan Togean, dan B. bolabatuensis yang 

dinyatakan sudah punah (Meijaard & Groves, 2002). Berdasarkan 

studi filogenetik, babirusa terpisah dari jenis babi (Suidae) lainnya 

sejak zaman Miosen (10–19 juta tahun yang lalu) di mana daratan 

Sulawesi terpisah dengan daratan Kalimantan sehingga terjadi proses 

spesiasi akibat isolasi geografi. 

Babirusa maluku secara umum memiliki karakteristik morfologi 

yang hampir mirip dengan babirusa sulawesi dan babirusa togean, 

yaitu warna tubuhnya putih keabu-abuan dan pada babirusa jantan 

memiliki taring yang mencuat keluar menembus ke dua sisi mulutnya. 

Perbedaan antara babirusa maluku dan babirusa sulawesi adalah ba-

birusa maluku memiliki tubuh yang tertutup rambut yang tebal serta 

taring yang lebih kecil dan pendek dibandingkan babirusa sulawesi 

(Meijaard & Groves, 2002) (Gambar 23.1). Ukuran tubuh babirusa 

maluku relatif lebih kecil dibandingkan dua jenis babirusa lainnya. 

Spesies ini tergolong ke dalam satwa yang pemalu, namun dapat 

menjadi agresif jika terganggu. Berbeda dengan spesies dari famili 

Suidae lainnya, babirusa biasa hidup soliter atau dalam kelompok 

kecil dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpin-

nya. Apabila berjalan dalam kelompok, babirusa selalu mengeluarkan 

suara yang teratur dan berbalasan, kecil, dan panjang, yakni “suirii....

suuuuuiiiriiii”.


Kajian terkait habitat babirusa maluku masih terbatas dibanding-

kan kerabat dekatnya babirusa sulawesi. Pada umumnya, habitat 

babirusa adalah hutan hujan dataran rendah. Satwa ini menyukai 

kawasan hutan yang terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan 

cerukan-cerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air 

minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air 

dan tempat mengasin secara teratur untuk mendapatkan garam-

garam mineral guna membantu pencernaannya. Beberapa laporan 

menyebutkan bahwa B. babyrussa di Pulau Buru sering ditemukan 

pada habitat berbatu di daerah perbukitan dan pegunungan. Informasi 

terkait reproduksi dan pakan babirusa maluku juga masih sangat 

terbatas (Meijaard dkk., 2011). Masa kebuntingan babirusa lebih lama 

dibandingkan jenis Suidae lainnya, yaitu 18 bulan dengan jumlah anak 

yang relatif sedikit antara 1–2 individu. Berbeda dengan anak dari 

spesies lainnya yang memiliki setrip, anak babirusa tidak memiliki 

setrip. Babirusa merupakan omnivor dengan makanan utama antara 

lain daun, akar, buah-buahan, dan mamalia kecil.

.322

Kelestarian spesies babirusa terancam oleh aktivitas antropogenik, 

seperti pertambangan, perburuan, dan perkebunan. Pemerintah 

Indonesia telah memasukan spesies babirusa dalam spesies dilin-

dungi semenjak Dierenbescherming Ordonantie 1931. Kementerian 

Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah menjadikan spesies 

ini sebagai prioritas penting ke-2 setelah badak jawa (Rhinoceros 

sondaicus). International Union for Conservation of Nature (IUCN) 

mengategorikan spesies ini dengan status rentan (vulnerable) dika-

renakan populasinya yang terus menurun. Macdonald dkk. (2008) 

dan CITES memasukan babirusa dalam Apendiks I sejak 1982 yang 

berarti satwa ini tidak boleh diperdagangkan, kecuali berasal dari 

hasil penangkaran.

B. Suaka Alam Masbait

Suaka Alam (SA) Masbait merupakan kawasan pegunungan yang 

terletak di bagian timur Pulau Buru (Gambar 23.2). Kawasan kon-

servasi ini memiliki fungsi ekologis untuk melindungi habitat flora 

dan fauna di Pulau Buru, serta daerah tangkapan air yang sangat 

penting di bagian timur Pulau Buru (BKSDA Maluku, 2019). Kawasan 

Masbait pertama kali ditunjuk sebagai kawasan Suaka Alam pada 

tahun 1985 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 249/

Kpts-II/1985 tanggal 11 September 1985 dengan luas 6.250 ha. Status 

SA Masbait kembali dipertegas dengan Keputusan Menteri Kehutanan 

dan Perkebunan Nomor 415/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 ten-

tang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Maluku. Pada tahun 2012, 

kawasan Masbait ditetapkan sebagai Suaka Alam melalui Keputusan 

Menteri Kehutanan Nomor SK. 78/Menhut-II/2012 pada tanggal 3 

Februari 2012 dengan luas kawasan 8.080,13 ha. Secara administratif, 

SA Masbait termasuk dalam Kecamatan Teluk Kayeli dan Kecamatan 

Bata Bual, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Daerah ini beriklim laut 

tropis dan iklim musiman dengan curah hujan rata-rata 1400–1800 

mm/tahun dengan kondisi suhu rata-rata 26oC.

Pada tahun 2019, tim dari BKSDA Maluku menemukan kerangka 

babirusa yang masih lengkap pada saat melaksanakan pengecekan 

Suaka ALam Masbait: ... 323

lapangan di SA Masbait, Pulau Buru, Maluku (Gambar 23.3). Pe-

nemuan ini tentu saja menjadi informasi penting dan harapan yang 

besar terkait keberadaan babirusa maluku.

 

Penemuan tanda kehadiran babirusa di SM Masbait menjadi salah 

satu titik cerah terkait keberadaan babirusa maluku. Hal ini karena 

sampai saat ini penelitian babirusa di Indonesia masih sangat ter-

batas dan sebagian besar masih terfokus pada babirusa sulawesi, B.                 

celebensis (MacDonald & Pattikawa, 2017). Hal ini diperparah dengan 

informasi keberadaan spesies babirusa di Maluku juga masih belum 

jelas. Penelitian Tjiu dan MacDonald (2016) juga MacDonald dan                                                                                                              

Pattikawa (2017) menyebutkan bahwa babirusa buru berada di 

wilayah Kayeli, timur Pulau Buru. Survei pada tahun 1990 dan 1999 

juga menemukan bahwa babirusa dapat ditemukan di seluruh Pulau 

Buru kecuali di wilayah pesisir utara (Tjiu & Macdonald, 2016; Ver-

belen, 2003). Akan tetapi, Eaton dan Hutchinson (2015) melaporkan 

bahwa babirusa tidak dapat dijumpai lagi di Pulau Buru dan Pulau 

Taliabu. Inventarisasi yang dilakukan BKSDA Maluku selama tahun 

2010–2013 pada kawasan konservasi di Maluku dan Maluku Utara 

juga tidak memperoleh data dan informasi keberadaan babirusa 

(BKSDA, 2013).

Upaya pelestarian babirusa telah dilakukan oleh pemerintah 

Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 

P.55/Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi 

Babirusa (B. babyrussa) Tahun 2013–2022. Akan tetapi, upaya peles-

tarian tersebut terkendala oleh masih minimnya informasi ekologi, 

seperti populasi, habitat, dan distribusi. Data ekologi sangat penting 

untuk menentukan status konservasi dan juga untuk mengidentifikasi 

tindakan konservasi yang sesuai (Margules & Pressey, 2000; Brooks 

dkk., 2006). Lebih lanjut, informasi tersebut diperlukan untuk mem-

prediksi kecenderungan populasi ke depan, misalnya sebagai dampak 

dari pengaruh perubahan iklim (Clark, 2007).

Selain itu, hal yang menarik dari penemuan kerangka ini adalah 

ukuran dari taring yang lebih besar dan panjang dibandingkan ukuran 

taring babirusa maluku yang dideskripsikan oleh Meijaard dan Groves 

(2002) (Gambar 23.4). Hal ini tentu saja menjadi pertanyaan apakah 

Suaka ALam Masbait: ... 325

tengkorak yang ditemukan memang spesies babirusa maluku atau 

spesies babirusa sulawesi.

Kondisi SA Masbait yang dikelilingi oleh kawasan hutan produksi 

dan hutan produksi terbatas menyebabkan lokasi ini berpotensi ter-

tekan oleh aktivitas pemanfaatan pada kedua kawasan hutan tersebut 

(Gambar 23.5). Kondisi tersebut diperparah dengan besarnya kebu-

tuhan lahan untuk perkebunan yang menyebabkan hutan di Pulau 

Buru menjadi terfragmentasi sehinga berdampak terhadap populasi 

babirusa maluku. Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian pengelo-

laan kawasan SA Masbait sehingga kelestarian habitat babirusa tetap 

bisa terjaga. Selain itu, keberadaan hutan lindung yang terkoneksi 

dengan kawasan SA Masbait juga menjadi sangat penting karena dapat 

berfungsi sebagai koridor penghubung antara populasi yang ada di 

kawasan SA Masbait dengan populasi yang ada di hutan lindung.


 Selain ancaman hilangnya habitat, babirusa di Pulau Buru juga 

terancam oleh kegiatan perburuan yang dilakukan oleh masyarakat. 

Dari beberapa laporan disebutkan bahwa beberapa kelompok 

masyarakat di Pulau Buru sering berburu babirusa dengan meng-

gunakan anjing dan alat jerat.

D. Strategi dan Rencana aksi Konservasi

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.55/

Menhut-II/2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi 

(SRAK) Babirusa (B. babyrussa) tahun 2013–2022 bertujuan untuk 

memberikan arahan dan acuan pelestarian babirusa sehingga pelak-

sanaannya dapat lebih baik dan melibatkan semua stakeholder terkait. 

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut disebutkan bahwa 

Kepulauan Sula (Maluku Utara) dan Pulau Buru (Maluku) menjadi 

lokasi prioritas pengelolaan populasi dan habitat babirusa maluku. 

Sejalan dengan Permenhut tersebut, BKSDA Maluku telah melaku-

kan eksplorasi untuk menemukan keberadaan babirusa maluku di 

SA Masbait pada 2012 silam. Sayangnya, tim BKSDA Maluku tidak 

berhasil menemukan keberadaan babirusa di alam. Tahun 2013, 

Suaka ALam Masbait: ... 327

BKSDA Maluku kembali melakukan eksplorasi di lokasi berbeda, yaitu 

di Cagar Alam Taliabu dan Cagar Alam Lifamatola (Kepulauan Sula). 

Hasilnya tak jauh berbeda dengan eksplorasi sebelumnya. BKSDA 

Maluku belum berhasil menemukan babirusa maluku. Oleh karena 

itu, penemuan kerangka babirusa maluku di SA Masbait tahun lalu 

menjadi angin segar dalam konservasi babirusa maluku. 

Lebih lanjut, BKSDA Maluku segera menyusun rencana tindak 

lanjut dengan melakukan pemasangan camera trap di SA Masbait di 

tahun 2020. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan 

informasi tentang keberadaan dan mengidentifikasi karakter habitat 

babirusa maluku di lokasi tersebut. Informasi keberadaan babirusa 

ini sangat penting untuk menjadi dasar dalam pengelolaan habitat 

dan populasi babirusa di kawasan SA Masbait. Tak hanya itu, BKSDA 

Maluku pun telah melakukan evaluasi kesesuaian fungsi (EKF) SA 

Masbait untuk menentukan fungsi atau status kawasan SA Masbait. 

Kejelasan status kawasan menjadi dasar dalam pengelolaan kawasan 

konservasi ke depan karena tiap-tiap status kawasan memiliki tujuan 

pengelolaan tersendiri.

Jelas, penegakan hukum menjadi kunci utama dalam mengatasi 

perburuan babirusa. Oleh karena itu, BKSDA Maluku selalu melaku-

kan patroli baik di kawasan SA Masbait maupun di simpul-simpul 

perdagangan satwa, seperti pasar dan pelabuhan. Tak hanya dari pihak 

pemerintah, masyarakat juga menjadi salah satu pihak yang memiliki 

peran penting dalam pelestarian habitat babirusa di SA Masbait. Oleh 

karena itu, BKSDA Maluku akan melakukan kegiatan pembinaan 

desa penyangga untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam 

pengelolaan kawasan SA Masbait.

E. Penutup

Ditemukannya tanda kehadiran babirusa di SA Masbait menjadi salah 

satu harapan yang sangat besar tentang keberadaan mamalia terbesar 

di kepulauan Maluku. Oleh karena itu, perlu ada upaya konservasi 

yang mendukung, seperti kegiatan penelitian untuk mengetahui 

keberadaan babirusa di SA Masbait, serta kondisi habitat dan popu-

.328

lasinya. Kegiatan penelitian tersebut juga perlu dilakukan di seluruh 

Pulau Buru untuk mengidentifikasi habitat potensial bagi babirusa 

dan merencanakan pengelolaan area tersebut ke depan. Penelitian da-

pat dilakukan secara kolaboratif yang melibatkan pengelola kawasan, 

lembaga penelitian, universitas, dan lembaga masyarakat atau LSM. 

Upaya konservasi tidak hanya melalui pengumpulan data saja, tetapi 

juga harus mencakup penyadartahuan para pihak. Salah satu aktor 

penting dalam upaya konservasi babirusa adalah masyarakat sekitar 

hutan. Upaya lain yang tak kalah penting adalah mengendalikan 

perburuan liar babirusa oleh pengelola bekerja sama dengan Polri, 

TNI, dan Pemerintah Desa. 

Burung elang flores merupakan satu-satunya elang berstatus kritis 

di Indonesia, yaitu termasuk ke dalam sepuluh jenis elang paling 

terancam di dunia. Tingginya ancaman dan gangguan membuat jenis 

ini makin terdesak. Elang flores kehilangan habitat akibat degradasi 

dan fragmentasi, serta diperburuk dengan maraknya perburuan liar 

dengan ditembak, dijaring, diperjualbelikan, dan dipelihara. Kondisi 

tersebut tidak boleh dibiarkan maka dari itu harus ada langkah peles-

tarian yang nyata untuk menyelamatkannya dari laju kepunahan. 

A. Garuda dari Nusa Tenggara

Elang flores (Nisaetus floris) atau flores hawk-eagle merupakan salah 

satu burung pemangsa (raptor) endemik Nusa Tenggara (Gambar 

24.1). Persebaran alaminya berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat 


dan Nusa Tenggara Timur, meliputi Pulau Lombok, Sumbawa, Flores 

hingga Alor. Selain gugus pulau-pulau besar tersebut, elang flores juga 

dijumpai pada beberapa pulau kecil, seperti Pulau Satonda, Rinca, 

Komodo, dan Pulau Paloe (Gjershaug dkk., 2004; Raharjaningtrah 

& Rahman, 2004; Trainor dkk., 2012; Suparman, 2012; 2013). Secara 

taksonomi, sebelum tahun 2004 jenis ini termasuk ke dalam anak 

jenis elang brontok (N. cirrhatus floris), kemudian dideskripsikan 

sebagai jenis tersendiri sebagai elang flores (N. floris) karena adanya 

perbedaan morfologi dan genetik yang signifikan (Gjershaug dkk., 

2004).

Elang flores dapat ditemukan mulai dari daerah dataran rendah 

(permukaan laut) hingga dataran tinggi. Beberapa populasi bahkan 

ditemukan pada lahan budi daya, pemukiman masyarakat, serta 

hutan yang terfragmentasi (Gjershaug dkk., 2004; Raharjaningtrah & 

 Rahman, 2004; Trainor dkk., 2012; Suparman, 2013). Pemilihan lokasi 

sarang elang flores bervariasi, mulai dari hutan primer berkanopi rapat 

hingga hutan sekunder yang berbatasan dengan lahan budi daya. Sa-

rang berupa tumpukan ranting kayu yang diletakkan pada batang dan 

percabangan kanopi atas pohon. Beberapa jenis pohon yang tercatat 

pernah digunakan oleh elang flores sebagai tempat bersarang, antara 

lain sengon (Paraserianthes falcataria), pulai (Alstonia scholaris), 

dan kemiri (Aleurites moluccana). Selama masa perkembangbiakan 

kedua induk akan merawat anak secara bergantian (Kuspriyangga 

dan Hidayat, in prep.). 

Dengan wilayah jelajah yang mencapai 40 km2, elang flores 

memiliki kesempatan untuk mendapatkan berbagai jenis pakan. 

Mangsa elang flores meliputi berbagai macam satwa mulai dari bu-

rung, reptil hingga mamalia (Gjershaug dkk., 2004). Di wilayah Ende, 

bahkan elang flores pernah teramati memangsa tikus raksasa flores                                                                                                        

(Papagomys armandvillei) atau yang dikenal oleh masyarakat lokal 

dengan sebutan deke (Kuspriyangga, komunikasi pribadi, tanggal 23 

April 2019). 

Kepak Elang Flores ... 335

Foto: Oki Hidayat (2021)

Gambar 24.1 Elang Flores terbang di atas Hutan Adat Otoseso, 

Wolojita, Ende, Flores

Populasi elang flores hingga kini belum diketahui secara pasti. 

Minimnya kegiatan survei, monitoring, dan penelitian membuat be-

berapa aspek bioekologinya masih menjadi misteri. Organisasi 

konservasi International Union for Conservation of Nature (IUCN) 

memperkirakan saat ini populasi elang flores hanya tersisa 100–240 

ekor, sedangkan Raharjaningtrah & Rahman (2004) memperkirakan 

populasinya ada 100 pasang. Melihat kecilnya populasi, tingkat keren-

tanan, dan endemisitas, IUCN menjadikan jenis ini berstatus kritis/

critically endangered. Kondisi ini sangatlah mengkhawatirkan karena 

tepat berada di bawah status punah di alam (extinct in the wild). Di sisi 

lain, masa perkembangbiakan elang flores terjadi hampir tiap tahun. 

Namun, tidak semuanya sukses menghasilkan anakan (Gambar 24.2). 

Selama 4 tahun periode pengamatan masa perkembangbiakan, hanya 

tercatat satu kali elang flores berhasil berkembang biak (Kuspriyangga 

dan Hidayat, in prep.). Dengan demikian, elang flores termasuk ke 

dalam 10 jenis elang paling terancam di dunia serta menjadi satu-

satunya elang yang berstatus kritis di Indonesia.

.336

Foto: Oki Hidayat (2021)

Gambar 24.2 Anak Elang Flores di Wolojita 

B. Ancaman di Depan Mata

Keberadaan elang flores sebagai pemangsa puncak memiliki peran 

yang sangat penting bagi alam. Ketidakhadirannya akan mengganggu 

keseimbangan ekosistem dan rantai makanan. Tekanan terhadap elang 

flores kini makin tinggi dan memprihatinkan. Dalam kurun waktu 

20 tahun terakhir sekurang-kurangnya ada 16 ekor elang flores yang 

diburu oleh masyarakat, ada yang ditembak, dijadikan satwa awetan, 

dipelihara, maupun diperjualbelikan. Kondisi elang flores yang di-

tangkap sangat memprihatinkan. Kesehatannya tidak terjaga karena 

dipelihara dengan cara diikat pada bagian kaki atau ditempatkan pada 

kandang yang terlalu kecil dan kotor. Pakan yang diberikan juga tidak 

sesuai, seperti pemberian ikan laut untuk konsumsi hariannya. Selain 

itu, ditemukan juga kasus elang flores yang cacat berupa patah kaki/

pincang dan mata yang buta karena peluru pemburu (Gambar 24.3). 

Bahkan hampir setengah dari jumlah total yang terdata bernasib tragis 

dengan mengalami kematian. 

Kepak Elang Flores ... 337

Foto: Oki Hidayat (2021)

Gambar 24.3 Individu Elang Flores Hasil 

Sitaan yang Mengalami Kecacatan Buta 

Permanen 

Di beberapa lokasi, elang flores kerap berkonflik dengan 

masyarakat karena memangsa ayam peliharaan yang berada di kebun 

maupun perkampungan, seperti yang terjadi di kawasan Mbeliling 

tepatnya di Desa Cecer, Kabupaten Manggarai Barat (Suparman, 

2012). Hal tersebut yang dijadikan alasan oleh masyarakat untuk 

menembak atau menangkap elang flores.

Selain itu, atas alasan hobi atau kesenangan, penangkapan dan 

penembakan liar di Flores masih marak dan massif (Jempau, 2018). 

Peredaran senapan angin yang bebas juga turut menambah deretan 

ancaman terhadap penguasa angkasa Nusa Tenggara ini. Bahkan, 

ditemukan kasus penembakan burung yang dilakukan oleh oknum 

aparat penegak hukum (Suparman, 2012). 

Masalah lain yang terus membayangi kehidupan elang flores 

adalah adanya perubahan habitat berupa degradasi dan fragmentasi. 

Masalah yang bersifat lanskap ini telah menyisihkan elang flores 

.338

yang kini populasinya hanya tersisa di beberapa kantong habitat. 

Selama periode perang dunia ke-2 banyak tutupan hutan di Nusa 

Tenggara yang berkurang akibat penebangan kayu dan pembukaan 

lahan (Monk dkk., 1997). Beberapa faktor yang akan mengancam 

keberadaan  lanskap habitat elang flores di masa kini dan yang akan 

datang, antara lain deforestasi; peningkatan populasi manusia yang 

berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lingkungan; 

pembakaran hutan dan lahan; serta pengembangan lahan pertanian 

(Morrison, t.t.). 

C. Harapan dari Wolojita

Meskipun ancaman dan gangguan terhadap kehidupan elang flores 

terus berlangsung, masih ada harapan untuk menyelamatkannya. 

Salah satu inisiatif muncul dari kelompok masyarakat yang berada 

di Wolojita, Ende. Melalui inisiasi yang dilakukan oleh Taman Na-

sional Kelimutu dan LSM Raptor Indonesia, sekelompok masyarakat       

Wolojita membentuk komunitas Masyarakat Peduli Elang Flores 

‘Jatabara’. Nama Jatabara diambil dari bahasa Suku Lio, jata bermakna 

‘elang besar’, sedangkan bara bermakna ‘putih’. Kini Jatabara menjadi 

satu-satunya kelompok swadaya masyarakat lokal pelestari elang flo-

res. Dukungan yang besar dari pihak pemerintah daerah (camat dan 

lurah) dan pendampingan dari Balai Taman Nasional (TN) Kelimutu 

merupakan potensi yang akan menjadi kekuatan bagi masyarakat 

Wolojita untuk melaksanakan program pelestarian elang flores. 

Kelompok ini disahkan Camat Wolojita melalui Keputusan 

Nomor 03 Tahun 2019 mengenai Penetapan Kelompok Masyarakat 

Peduli Elang Flores Jatabara. Kelompok ini terbentuk karena adanya 

kesamaan tujuan, fungsi, dan manfaat. Melalui wadah resmi ini, 

anggota masyarakat dapat belajar, bekerja sama, mendapatkan pem-

binaan, melakukan kegiatan penyadartahuan, perlindungan, serta 

memanfaatkan sumber daya secara lestari. Pada saat ini Jatabara 

mendapatkan dukungan dari Balai TN Kelimutu dalam bentuk ban-

tuan dana pemberdayaan dan pendampingan secara intensif (Gambar 

24.4). Melalui bantuan tersebut