sastra persia
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
sastra persia
Buku Siyāsat Nāme ditulis pada permulaan abad ke-XI oleh Nizam al Mulk yang hidup antara
tahun 1018-1092. Buku ini dipersembahkan oleh Nizam al Mulk yang menjabat sebagai Wazir
(sekretaris kerajaan) pada Dinasti Seljuq saat itu kepada raja Malik Syah Seljuqi (492-511
H) sebagai pedoman dan tata cara memerintah dalam sebuah kerajaan. Buku ini tidak hanya
berkaitan dengan sejarah, politik dan sosial Iran, tetapi juga menarik dari segi bahasa, budaya dan
ideologi. Siyāsat Nāmeh adalah buku yang sangat penting dalam rangkaian karya dalam sejarah
kesusasteraan Persia. Adapun buku yang serupa dengan Siyāsat Nāme dan terdapat dalam sastera
Melayu adalah Tajussalatin yang ditulis belakangan setelah lima abad dari Siyāsat Nāme atau
tepatnya pada tahun 1603. Buku ini ditulis oleh Bukhari al-Jauhari juga untuk dipersembahkan
kepada raja Sultan Alauddin Raiyyat Shah (1589-1603) di Aceh.
Bahasa Persia merupakan salah satu bahasa tertua di dunia yang sampai hari ini jumlah
penuturnya kurang lebih ada seratus juta orang. Rumpun bahasa Persia adalah Indo-Iran yang
menginduk dengan bahasa-bahasa Indo- Eropa. Tersebar luasnya rumpun bahasa ini di Asia dan
Eropa disebabkan perpindahan besar-besaran bangsa Arya dari Kaukasus (Siberia) ke dataran tinggi
Iran secara berkelanjutan dan berkesinambungan sejak tahun 3000 SM. sampai abad ke-13 M. Saat
ini bahasa Persia menjadi bahasa resmi di tiga negara Iran, Tajikistan dan Afghanistan. Penduduk
Samarkand dan Bukhara yang merupakan bagian dari negara Uzbekistan juga memakai bahasa
Persia sebagai bahasa sehari-hari.
Bahasa Persia terbagi menjadi tiga periode: periode Persia Kuno, periode Persia Tengah dan
Persia Baru yaitu bahasa Persia setelah invasi tentara Islam dengan penggunaan aksara Arab
(hijaiyyah) dalam penulisannya.
Emperatur besar dunia beberapa abad dahulu adalah Persia, Romawi, Yunani dan China.
Persia yang secara geografis berada di tengah-tengah menjadi strategis pada saat itu. Oleh sebabnya
Persia menjadi salah satu peradaban tertua dunia, begitu juga dengan budaya dan sastranya.
Kesusasteraan Persia sudah berkembang sejak ratusan tahun sebelum masehi, ini dapat dilihat
dari kitab suci penganut Zoroaster/Majusi “Avesta”. Kitab ini sebagian besar berisi tentang puji-
pujian dan kebesaran sang Tuhan “Ahuramazda” yang ditulis dalam bentuk puisi. Nama Avesta
sendiri berasal dari nama tulisan dan bahasa yang digunakan dalam kitab ini, oleh karenanya para
peneliti menamakan kitab suci ini dengan nama Avesta. Bahasa Avesta adalah akar dari bahasa
Persia kuno sebelum bahasa Parthi, Soghdi dan Pahlevi. Seperti diketahui bahwa “Persia Raya”
sebelum kedatangan Islam mayoritas penduduknya menganut agama Zoroaster/Majusi. Sampai
saat ini agama Zoroaster adalah salah satu agama minoritas yang diakui undang-undang di Iran.
Siyāsat Nāme
Abu Ali al-Hasan al-Tusi Nizam al-Mulk (1018–1092) lahir pada tanggal 10/21 Dzul Qa’dah
408/415 H. di Nughan yang masuk dalam wilayah pedesaan Radkan, Kota Thoos, Iran. Nizam al
Mulk menghabiskan masa kecilnya di kota Thoos, saat umurnya 11 tahun dia sudah menghafal
Quran, kemudian melanjutukan pengembaraan intlektualnya di Thoos, Merv dan Neishabur untuk
belajar Fiqih Syafi’i dan Hadis.
Pada saat Alp Arsalan menjadi raja (1063-1072) Nizam al Mulk diangkat menjadi Wazir kerajaan
Seljuq. Jabatan ini dibebankan kepadanya selama tiga puluh tahun, hingga terjadi kekisruhan
dalam kerajaan Seljuq, Nizam al Mulk pun diberhentikan dari jabatannya. Tak lama kemudian pada
tanggal 10 Ramadhan 485 H.Nizam al Mulk wafat dalam perjalanan dari Isfahan menuju Baghdad di
tangan pengikut fanatik Isma’iliyyah, atas perintah Hasan Sabbah (Dekhodʿ, 1998: 22575). Hasan
al Sabah adalah pelopor sekte Ismailiyyah di Iran dan seorang yang gila kekuasaan. Hasan Sabbah
akhirnya diterima di benteng bukit Alamut di Qazvin, milik pengikut sekte Alawi. Setelah berhasil
mengkhianati penghuninya Hasan al Sabbah berkuasa penuh (1090). Pada masa kekuasaannya Ia
membentuk kelompok pembunuh gelap yang terdiri dari pengikutnya yang terkenal fanatik dengan
nama “Assasin”dan sangat ditakuti oleh para pembesar (Assagaf, 2009: 305-306).
Pada masa Nizam Al Mulk menjabat sebagai wazir, keilmuan berkembang pesat di wilayah
kekuasaan Seljuq dengan banyak berdirinya madrasah dan Khaniqah. Puncak gemilang keilmuan
hasil dari buah karya pemikiran Nizam al Mulk adalah, banyak berdiri madrasah “Nizamiyah”
yang dibangun olehnya di beberapa kota seperti Baghdad, Bashrah, Isfahan, Merv, Neisyabur, Herat
dan Amul. Setiap bulannya Nizam al Mulk memberikan penghargaan khusus kepada siswa dan
guru berperestasi. Imam Ghazali adalah salah satu ilmuan jebolan dari madrasah ini . Disebutkan juga bahwa Omar Khayyam seorang astronom, matematikawan dan
penyair adalah sahabat dari Nizam al Mulk, sehingga banyak dukungan baik finansial maupun
politik yang diberikan Nizam al Mulk kepada sahabatnya ini Dari beberapa
karya tulis yang dihasilkan oleh Nizam al Mulk yang akan dibahas dalam makalah ini dan yang
paling terkenal adalah Siyāsat Nāme atau Siyar al Mulk. Buku ini ditulis pada saat Nizam al Mulk
masih menjabat sebagai Wazir untuk dipersembahkan kepada Malik Syah I (1072-1092). Siyāsat
Nāme adalah buku hasil dari ideologi, pemikiran dan pengalaman Nizam Al Mulk menjelang akhir
hayatnya atau dengan kata lain buku yang ditulis sebagai ringkasan dari respon kejadian politik
dan sosial di zaman tersebut. Setiap tema dalam buku ini ditulis dari sisi perspektif penulis yang ia
ungkapkan secara umum di setiap bab. Hampir dari keseluruhan isi buku ini adalah pedoman dan
pengajaran dalam manajemen sebuah pemerintahan (baca: kerajaan). Buku ini adalah salah satu
buku terbaik dalam khazanah kekayaan kesusasteraan Persia.
Siyāsat Nāme pada awalnya tersusun dalam 39 pasal, beberapa tahun berikutnya seiring
bertambahnya pengalaman, penulis merevisi dan menambah sebelas pasal hingga menjadi lima
puluh pasal. Di dalam buku ini selain berisikan nasehat ada juga tamsil, tafsir quran, hadis, kisah
para nabi dan cerita dari para raja-raja yang terkenal adil. Style dan karakteristik Siyāsat Nāme adalah
penggunaan strukur bahasa dan kalimat yang sederhana dengan kumpulan kata dan susunan yang
sangat indah. Karena indah dari kesederhanaan inilah menjadikan buku ini tak lekang oleh waktu
dan dapat dibaca dengan mudah sampai hari ini. Seluruh kalimat yang tertulis dalam buku ini
singkat dan jelas hingga tidak ada satu kata pun yang bermakna rancu .
Buku ini dibuka dengan pasal pertama dan kedua yang menjelaskan tentang eksistensi manusia
dalam melewati hari-harinya di dunia, pujian kepada sang pencipta dan pengenalan tentang
kekuasaan Tuhan. Selanjutnya tentang sifat dari raja-raja yang zalim dan yang adil beserta kisah-
kisah dari raja-raja tersebut, kemudian tentang tentara kerajaan dan kesejahteraannya, bimbingan
untuk abdi dalam, para mentri dan pegawai kerajaan, persenjataan perang, firasat Alp Arsalan dan
cerita-cerita pendek yang menyertainya, selanjutnya dari pasal empat puluh sampai lima puluh
lebih berbicara masalah hal-hal yang berkaitan dengan objek dari seluruh elemen yang ada di
kerajaan dan riwayat sejarah.
Contoh negara dambaan yang ideal dalam pandangan Nizam al Mulk adalah negara dibawah
kekuasan Dinasti Sasanid dan setelah kedatangan Islam seperti dinasti Samanid, Ale Buyah dan
Ghaznawi. Menurut Nizam al Mulk feodalismelah akar masalah terjadinya disintegrasi bangsa di
zamannya. Motivasi Nizam al Mulk menulis Siyāsat Nāme ini dilatarbelakangi kekisruhan terus
menerus dari konflik yang lahir dari perbedaan. Dikarenakan situasi politik yang tak menentu seperti
perseteruan antara keturunan raja1 dan konflik antar mazhab hingga menyebabkan melemahnya
kontrol kerajaan kepada rakyat. Situasi inilah yang menggerakkan Nizam al Mulk untuk mengajukan
tulisannya kepada pihak kerajaan sebagai bentuk usaha atau penawaran solusi
untuk meredam konflik yang berkelanjutan
Tajussalatin
Tajussalatin adalah buku pertama berbahasa melayu yang membahas masalah politik,
pemerintahan dan akhlak. Setelah Malaka jatuh, tampillah kesultanan Aceh di Sumatera Utara
sebagai negeri terkuat di negeri melayu. Kesultanan ini menjadi pusat kebudayaan melayu dan
pengetahuan Islam, pewaris mazhab teologi dan sastra Pasai.
Tajussalatin yang ditulis oleh Bukhari al Jauhari atau al Johori dalam tahun 1603 dimaksud
sebagai persembahan kepada sultan Aceh Alauddin Riayyat Syah. Sultan yang bertakhta tahun
1589-1604 seorang raja yang tertarik ilmu tasawuf. Adapun kitab Tajussalatin merupakan satu-
satunya karangan Bukhari yang diketahui sampai sekarang. Buku ini termasuk ke dalam kelompok
kitab adab (etika) , Sedangkan riwayat hidup Buchari tidak diketahui.
Tajussalatin menjadi bukti tentang kecendikiaan yang sangat tinggi dari pengarangnya. Buku
ini disusun atas dasar kompilasi dari tak kurang tiga puluh karangan-karangan Arab dan Persia
mengenai keagamaan dan politik, kebijakan kenegaraan dan kemasyarakatan, sejarah dan tata
susila. Bahasa Tajussalatin mengandung turunan-turunan khas bahasa Persia. Gayanya juga sangat
mirip dengan gaya karangan Persia. Ini bisa dilihat, misalnya dalam sisipan-sisipan bentuk puisi
khas Persia, yaitu Matsnawi, Ghazal dan Rubai. Dalam kata pengantar atau eksordiumnya yang
bercorak khusus serta dalam karangan-karangan yang dikutip. Semuanya itu menunjukkan tentang
pribadi pengarang Tajussalatin bahwa Ia seorang pujangga cendikiawan Persia (atau berbahasa
Persia) ,
Diantara buku-buku berbahasa Persia yang menjadi sumber penulisan dan disebutkan di
dalam Tajussalatin ialah Siyāsat Nāme, kitab al Asrar karangan Fariduddin Atthar, Akhlak e Muhsini
karya Wa’iz Kasyfi dan banyak lagi kisah percintaan dan legenda rakyat Persia yang bahkan diantara
legenda tersebut sudah tidak terdengar lagi di Iran sendiri, seperti kisah Perempuan tua di Isfahan
korban kezaliman raja.
Penulis Tajussalatin sendiri tidak menyebutkan nama aslinya melainkan takhallus-nya yaitu
Bukhari al-Jauhari. Kata Bukhari menunjuk kepada Bukhara, ibukota kerajaan Khawarizmi pada
abad ke-13 M, bagian dari Persia Raya. Adapun nama al-Jauhari bisa jadi menunjuk pada tempatnya
lahir di Johor atau asal-usul orang tuanya sebagai saudagar batu permata.
Tujuan penulisan kitab ini menurut pengarangnya ialah memberi pedoman bagi raja-raja
Melayu dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan organisasi pemerintahan dan lembaga yang
dipimpinnya. Buku ini disusun dalam 24 fasal:
Fasal pertama, mengenai cara-cara manusia mengenal dirinya agar supaya mengetahui asal-
usul kejadiannya dan untuk tujuan apa Tuhan menciptakan manusia. Fasal kedua, menyatakan peri
mengenal Tuhan selaku Pencipta, dari mana manusia berasal dan akan kemana manusia pergi.
Fasal ketiga, membicarakan arti kehidupan di dunia. Manusia hidup di dunia diumpamakan
sebagai seorang musafir yang singgah sebentar di negeri asing dan dalam perantauannya itu harus
berusaha mengumpulkan bekal yang untuk dibawa pulang ke kampung halamannya di akhirat.
Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan pengetahuannya yang benar tentang Tuhan.
Fasal keempat, menyatakan peri kesudahan segala kehidupan di dunia. Digambarkan betapa
sukar dan pilunya manusia melepaskan nafasnya yang penghabisan di hadapan sang maut. Manusia
harus senantiasa ingat bahwa setiap orang itu akan merasakan mati, tidak terkecuali seorang raja.
Fasal kelima, membicarakan arti adil dan keadilan, tanda-tanda kebesaran dan kemuliaan
seorang raja, kekuasaan dan kedaulatan negeri yang diperintahnya.
Fasal keenam, membicarakan metode pelaksanaan keadilan dalam pemerintahan. Kitab suci
al-Qur’an menyuruh manusia berbuat adil dan baik (ihsan) di dunia, sebab hanya dengan pedang
keadilan dan pekerti ihsan ia bisa menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan hamba-Nya dalam
arti sesungguhnya. Fasal ketujuh, membicarakan pekerti raja-raja yang adil, keharusannya bergaul
dengan para ulama, cendekiawan, ahli hikmah dan orang arif. Raja yang adil dapat menjaga
dan melindungi rakyatnya dari perbuatan zalim para pembesar kerajaan. Dia tidak boleh hanya
mendengar dari menteri dan pegawai kerajaan mengenai keadaan negeri dan rakyat, tetapi harus
melihat sendiri keadaan negeri dan rakyatnya.
Fasal kedelapan, membicarakan raja kafir tetapi adil seperti Raja Nusyirwan. Ia adil karena
menjalankan pemerintahan bersandarkan pada hikmah dan senantiasa memakai akal yang
sehat dalam mengambil kebijakan. Fasal kesembilan, menyatakan raja-raja yang zalim. Raja yang
zalim merupakan bayang-bayang Iblis di muka bumi.
Selanjutnya, fasal kesepuluh, membicarakan segala menteri dan penasehat raja; fasal kesebelas,
membicarakan pekerjaan seorang sekretaris kerajaan dan para penulis pada umumnya; fasal
keduabelas, membicarakan pekerjaan seorang utusan; fasal ketiga belas, membicarakan keadaan
pegawai kerajaan; fasal keempat belas, membicarakan cara-cara mendidik anak; fasal kelimabelas,
membicarakan cara menghemat uang negara; fasal keenam belas, membicarakan kedudukan akal
budi; fasal ketujuh belas, membicarakan ilmu qiyafah dan firasat; fasal kesembilan belas, membicarakan
tanda qiyafah dan firasat; fasal kedua puluh, membicarakan hubungan rakyat beragama Islam dengan
rajanya yang beragama Islam; fasal kedua puluh satu, membicarakan rakyat yang tidak beragama
Islam dan hubungannya dengan raja Islam; fasal kedua puluh dua, membicarakan pentingnya
kedermawanan dan kemurahan hati; fasal kedua puluh tiga, membicarakan bagaimana memegang
dan patuh pada janji; fasal kedua puluh empat, menyatakan kesudahan kitab ini. Bukhari menutup
karangannya dengan menyeru semua raja membaca Taj al Salatin setiap pagi setelah sembahyang
shubuh, ketika pikiran dalam keadaan hening. Oleh karena itu penulis menyarankan raja untuk
mengingat dan memuliakan kitabnya dengan memperlakukannya seperti mutiara pada telinga
budi dan simpan maknanya seperti mata pada cincin hati
Motivasi penulisan Tajussalatin dilatarbelakangi oleh kondisi politik dan sosial masyarakat
Aceh pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17, yaitu ketika kesultanan Aceh sedang giat meluaskan
kawasannya. Sulthan Alauddin Raiyyat Syah sudah tua dan belum menunjuk penggantinya. Dua
putranya selalu ribut berebut singgasana dan semakin hari semakin berpengaruh buruk pada
kondisi masyarakat. Sampai bencana besar datang kepada rakyat Aceh, ketika salah satu putra
Sultan berhasil menduduki takhta hingga ayahnya sang Sultanpun dipenjarakan olehnya. Hal
inilah yang kemungkinan mendorong Bukhari untuk menyusun buku pedoman untuk raja-raja
Aceh agar dapat memerintah dengan ideal dan memiliki pengetahuan bagaimana memimpin di
sebuah wilayah yang masyarakatnya terdiri dari berbagai etnik dan agama.
Pengaruh Siyāsat Nāme dalam Tajussalatin
Sebelum memaparkan pengaruh tersebut, ada baiknya kita mengingat kembali jejak Persia
yang tampak jelas dalam buku Tajussalatin. Diantaranya adalah penggunaan kosa kata farsi seperti:
Gurg (serigala), Nowrooz (tahun baru), mugh (penganut Zoroaster/Majusi) Mubid Mubidan (Imam/
pemimpin agama Zoroaster).
• Selalu memakai kata “bermula dan diceritakan” pada permulaan paragraf atau
sebelum memulai cerita. Dua kata ini lazim digunakan pada karya tulis periode klasik
Persia.
• Bukhari sebagai pengganti namanya selalu menyebut dirinya dengan “hamba” atau “hamba
faqir”, dua istilah ini sangatlah lazim dan sering digunakan penulis periode klasik Persia,
bahkan sampai sekarang di Iran pun dalam tutur bahasa lisan, “hamba” sering diucapkan
sebagai pengganti kata “saya”.
• Di dalam buku Tajussalatin banyak cerita atau kisah lama Persia yang di dalam budaya
melayu sendiri kurang dikenal. Seperti cerita keadilan raja Anusyirwan, Khosrou dan Syirin,
Mahmud dan Ayaz, Hakim Bozorg Mehr, cerita raja zalim dan nenek tua di Isfahan dan
kisah raja-raja kuno Persia.
• memakai kata ‘Ajam’ yang berarti orang Persia.
• Dua tamsil Persia yang ditulis dengan bahasa Persia, yang pertama adalah nasehat dari
Attar Neisyaburi “in bedān mānad ke mardi qei kunad/ bāz meil khurdan an kei kunad”2 dan
yang kedua “har ke be nām farifte Shavad be nān darmānad va har ke be nān khiyānat kunad be jān
darmānad.3
• Bukhari dalam bukunya menyisipkan puisi bergenre Persia seperti Ghazal, Mastnawi, Ruba’i
dan Qit’ah dengan memakai bahasa melayu.
Penulis Tajussalatin pada pendahuluan bukunya menyebutkan, bahwasanya sumber-sumber
yang dipakai dalam penulisan buku ini terdiri dari berbagai buku besar berbahasa Persia dan Arab
yang masyhur pada zamannya, yang menurut Braginsky sendiri merujuk dari kira-kira tiga puluh
buku. Akan tetapi para sejarawan tidak pernah menyebutkan ukuran seberapa besar pengaruh
sumber tersebut pada isi Tajussalatin. Bila diperhatikan dengan seksama pengaruh paling besar
yang diterima Tajussalatin bersumber dari Siyāsat Nāme. Berikut adalah beberapa point kemiripan
dengan sedikit perbedaan yang penulis kaji untuk menguatkan pendapat di atas:
• Motivasi Bukhari al Jauhari menyusun Tajussalatin terinspirasi dari pemikiran Nizam
al Mulk. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa Nizam al Mulk menulis Siyāsat Nāme
bertujuan untuk mengajar raja-raja dari dinasti Seljuq makna keadilan dan berlaku adil.
Begitu juga Bukhari al Jauhari menulis bukunya berdasarkan niat yang sama juga dengan
latar belakang kondisi sosial politik masyarakat pada zaman tersebut yang hampir sama
dengan kondisi masyarakat di era Seljuq, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai etnik
dan mazhab yang sedang terlibat konflik.
• Kesamaan struktur buku dalam Siyāsat Nāme dan Tajussalatin. Setiap pasal memiliki tema
yang berbeda, yang di setiap pasalnya penulis mula-mula menjelaskan atau mendefinisikan
makna tema atau memulainya dengan prinsip akhlak, kemudian menggulirkan cerita
panjang atau pendek, hadis, ayat Quran dan kata-kata hikmah dari para pembesar terdahulu
sebagai penopang dan dokumenter tema tersebut.
• Tema besar atau asli dalam kedua buku ini adalah keadilan. Ide keadilan adalah adalah
ide pokok yang medasari kedua buku ini. Kisah tentang penguasa yang adil dan bijak
menghiasi dihampir semua kedua buku ini dengan tokoh yang sama pula.
• Tajussalatin menyadur sepuluh cerita yang ada di dalam Siyāsat Nāme dan hampir tidak
ada perbedaan yang mencolok alur dan isi dari kisah-kisah tersebut. Sepuluh kisah tersebut
adalah:kisah Rast Ravesyn, tatacara pengadilan raja-raja Persia, nasehat Abu Ali Daqaq,
Abdullah ibn Thahir, Ismail Samani, Umar Abdul Aziz, kisah Bahram Choobin dan
Khosrou Parviz, Ma’mun ar Rasyid dan kemauan keras.
Kesimpulan
Siyāsat Nāme dan Tajussalatin adalah dua buku yang membahas tentang ketatanegaraan.
Kedua buku ini ditulis memakai pendekatan berdasarkan realitas masyarakat hetrogen yang
hidup berdampingan dalam satu wilayah, sehingga para raja bisa mengambil keputusan dan
kebijakan politik dengan seadil-adilnya. Ide keadilan bernafaskan syari’at Islam adalah fokus besar
yang diusung oleh kedua penulis. Siyāsat Nāme dan Tajussalatin adalah dua buku warisan dua
bangsa besar yang sampai saat ini masih dapat dibaca. Semoga dengan media kesusasteraan dapat
menyambung kembali hubungan yang terputus sejak berabad-abad silam.