sejarah melayu

  



Kita mengenal bangsa melayu identic dengan Islam. Sudah menjadi ciri khusus 
bahwa orang melayu beragama Islam, bahkan budaya mereka juga berlandaskan 
Islam. Kerekatan Melayu dengan Agama Islam menjadi focus penelitian dari 
tulisan ini. Bagaimana sejarah perkembangan budaya dan sastra Melayu hingga 
akhirnya melebur dengan Agama Islam.  
Ada 3 periode perkembangan sastra melayu, yaitu Periode Hindu-Budha, Periode 
awal Islam, dan periode Klasik. Periode Hindu-Budha merupakan periode dari 
abad 7 sampai abad ke-14, di periode ini wilayah Sumatra dan Semenanjung 
Malaka dalam pengaruh Hindu-Budha. Pada periode ini bangsa melayu mulai 
mengenal untuk membaca dan menulis. Karya sastra yang berkembang pada masa 
ini didominasi oleh hikayat-hikayat dari Hindu-Budha. Periode awal islam 
merupakan periode masuknya islam ke nusantara. Di masa ini sastra melayu mulai 
diislamisasikan, mereka mengenal islam dengan budayanya. Periode ini di abad 
ke-14 sampai abad ke-16. Yang ketiga, periode klasik sastra melayu. Periode ini 
di abad ke-16 sampai abad ke-19. Di masa ini karya-karya sastra melayu 
menunjukkan jati dirinya sebagai sastra bagian dari budaya dunia islam.  
Bangsa Melayu adalah bangsa yang tinggal di semenanjung malaka dan di 
pesisir pantai utara pulau sumatra. Letaknya ini sangat strategis dalam 
perdagangan antar pulau dan antar bangsa pada masa lalu. Sehingga dalam dunia 
perdagangan bahasa melayu digunakan dalam transaksi perdagangan di 
Nusantara. Hal ini menjadikan suku melayu sangat di kenal di nusantara sehingga 
bahasanya menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.  
Islam dan melayu memiliki hubungan yang sangat erat bahkan tidak bisa 
dipisahkan. Islam telah melekat dengan suku melayu, sehingga perspektif yang 
muncul bahwa orang melayu adalah orang islam, sebagaimana orang arab dengan 
islam.  
Melayu merupakan sebuah suku yang tersebar di wilayah Asia Tenggara 
yang meliputi : Indonesia, malaysia, singapura, dan brunai. Suku Melayu adalah 
sebuah kelompok etnis dari orang-orang Austronesia terutama yang menempati 
Semenanjung Malaya, Sumatera bagian timur, Thailand bagian selatan, pantai 
selatan Burma, Singapura, Brunaei, Kalimantan barat, Sarawak dan pesisir 
sabak. Lokasi tersebut sekarang menjadi bagian dari Negara Malaysia, Indonesia, 
Singapura, Brunei, Burma dan Thailand. 
Tulisan ini mencoba melakukan perjalanan sejarah antara Bangsa Melayu 
dengan Islam dengan tujuan mencari dan menelusuri sebab meleburnya Melayu 
dengan Islam. Penelusuran lebih dikhususkan pada perjalanan sastra melayu. 
Sebab dengan melihat perkembangan sastra suatu bangsa, kita juga melihat jati 
diri dari bangsa tersebut.  
Perjalanan sastra Melayu  
Bangsa melayu memiliki peninggalan naskah sangat banyak. Saat ini 
sastra Melayu menjadi khazanah bagi bangsa : Malaysia, Indonesia, Brunai, 
Singapura dan sebagian Thailand selatan. Naskah peninggalan karya sastra 
Melayu sekitar 8.000 – 10.000. Semua itu merupakan khazanah bangsa Melayu 
yang saat ini keberadaannya tersebar dibeberapa kota antara lain ; di Jakarta, 
Leiden, London, Paris dan beberapa kota lainnya.  
Perjalanan kesastraan Melayu di mulai sejak abad pertama masehi. Daerah 
melayu menjadi tempat persinggahan para pedagang dari timur dan barat. Karena 
daerahnya yang strategis inilah maka masyarakat Melayu semenjak abad pertama 
masehi telah memiliki perkembangan sastra lisan (folklor) yang tinggi.  
Hubungan masyarakat Melayu dengan kebudayaan India menjadi dasar 
lahirnya sastra tulis Melayu. Hubungan tersebut dibuktikan dengan ditemukan 
suatu sebutan Javadvipa, Malayadvipa, Karpuradvipa, tapi yang paling sering 
digunakan adalah Survarnadvipa (pulau emas) atau Suvarnabhumi (bumi emas) 
dari peninggalan-peninggalan India kuno. Para peneliti mengidentifikasi bahasa 
sebutan itu ditujukan untuk Sumatra, atau Sumatra dan Jawa, atau sebagai sebutan 
bersama untuk Semenanjung Malaka dan pulau-pulau bagian barat kepulauan 
Melayu.  
Sejak masa-masa awal masehi, hindu telah masuk dalam masyarakat 
Melayu. Daerah pertama yang menganut kebudayaan hindu di Semenanjung 
Malaka yaitu di dekat tanah genting Kra. Sekitar abad ke 2 di kawasan ini telah 
berdiri negara-negara kota : Langkasuka, Kedah, Tambralingga dan lainnya.  
Dari sumber Cina disebutkan juga bahwa sekitar abad ke 5 - 6 muncul 
negara-negara kota di daerah Kelantan dan Trengganu yang bernama Ch'ih-t'u dan 
Tan-tan. Sementara itu di Sumatra juga muncul negera kota yang dihindukan juga 
dengan nama Kan-to-li. Negara-negara kota ini dibangun di pantai laut atau di 
muara-muara sungai yang sungainya dapat dilayari. Kota-kota tersebut dikelilingi 
dengan tembok dari kayu atau batu dengan adanya menara-menara dan gapura-
gapura. Tata kota negeri-negeri ini menggambarkan struktur kosmos hindu budha. 
Dimana candi sebagai porosnya berdiri megah di tengah kota kemudian bangunan 
yang dekat dengan candi adalah istana raja sebagai pusat kekuasaan karismatik 
dengan gelar Sri Parameswara, Bhagadatta atau Gautama. Kemudian disekeliling 
istana didirikan bangunan-bangunan ketatausahaan dan gedung-gedung kediaman 
para pembesar Brahma. Di luar kawasan para penguasa terbentang wilayah para 
pengrajin yang melayani kebutuhan istana, mereka ini adalah rakyat.  
Pada abad ke 7 negara-negara kota ini kemudian diambil alih 
kekuasaannya oleh kerajaan Sriwijaya. Sebuah kerajaan Hindu-budha yang kuat 
angkatan lautnya. Di masa kejayaannya, kerajaan Sriwijaya memegang kekuasaan 
di selat sunda dan selat malaka, dan juga di gili-gili di tanah genting Kra. Ia 
memonopoli semua jalur perdagangan dari India dan dari Cina. Masa kekuasaan 
Sriwijaya ini berakhir pada abad ke 13.  Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 11 
menjadi salah satu pusat pendidikan bagi dunia Budhisme. Seorang pengembara 
cina I-Ching mencatat terdapat seribu biarawan budha di Sriwijaya dan 
menasehati bangsanya yang akan belajar ke India untuk singgah dulu ke Sriwijaya 
sebagai persiapan belajar budha di India. Lebih lanjut ia menjelaskan ada 
beberapa peziarah Cina yang pergi belajar Budha ke Sriwijaya. Mereka 
mempelajari bahasa setempat dulu sebelum mempelajari buku-buku sansekerta. 
Pengaruh kebudayaan India terhadap Melayu terlihat dengan banyak 
ditemukan naskah-naskah Melayu yang memuat kisah-kisah kepahlawanan India 
seperti arjuna, kisah pandawa lima dan epos-epos sansekerta yang ditemukan 
dalam versi Melayu. 
Menurut Braginsky, seorang peneliti sastra melayu, mengungkapkan 
pendapatnya bahwa pengaruh Hindu-Budha terhadap Melayu hanya pengaruh dari 
buku-buku semata. Hal ini bisa dilihat antara lain pengaruh bahasa hanya 
Sanskerta, dan bukan bahasa Tamil atau bahasa India. Bangsa melayu mengenal 
tatanan varna tetapi dalam masyarakat mereka tidak mengenal sistem kasta. 
Sistem sastra Melayu dengan pengaruh Hindhu-Budha memiliki sistem 
genre yang terdiri dari empat lingkaran konsentris. Ke empat lingkaran tersebut 
adalah :  
Pertama lingkaran Kanon Teks Suci Agama yang dalam bahasa Sanskerta. 
Kedua lingkaran tafsir-tafsir dan teks-teks yang berdampingan dengan 
Kanon, ini sudah dalam bahasa melayu dan bahasa sanskerta 
Ketiga lingkup fungsional, yaitu pujian-pujian bagi dewa, sanjungan bagi 
raja yang didewakan, ini berbahasa sanskerta. Sedangkan yang berbahasa melayu 
berisi: karangan-karangan tentang hukum seperti prasasti Telaga Bat, dan 
karangan-karangan tentang sejarah seperti Kitab Tawarikh Sriwijaya. 
Keempat lingkup non-fungsional, yaitu cerita-cerita kepahlawanan seperti 
Hikayat seri Rama, Hikayat Marakarma dan lainnya. Cerita-cerita tersebut 
merupakan petualangan ajaib dimana kisah-kisahnya penuh dengan cerita mitos 
dan mistis. 
Di abad ke 14 nusantara di kuasai oleh Majapahit dengan sistem teologi 
dan kerajaan hindu mengikuti India. Sebuah emperium Jawa yang menguasai 
nusantara. Namun perekonomian dan perdagaangan antar bangsa tetap berjalan 
dan banyak didominasi oleh pedagang-pedangang arab-Islam.  
Islam sudah sudah masuk ke Nusantara pada abad 7 Masehi. Saat itu 
sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat 
Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara 
dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7. 
Pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama 
Srindravarman mengirim surat kepada KhalifahUmar bin Abdul Aziz dari 
Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan 
Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, 
yang semulaHindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 
'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh 
Sriwijaya Palembang yang masih menganut Buddha. 
Perkampungan para pedagang Islam telah ada sejak abad ke 9. Para 
pedagang arab-Islam ini kemudian banyak berbaur dengan masyarakat Melayu, 
mereka mempelajari bahasa dan adat-istiadat Melayu, mereka juga menjalin 
persahabat dengan para bangsawan Melayu . Bangsa arab-Islam ini tidak hanya 
melakukan kegiatan dagang semata namun mereka juga menyebarkan dan 
mengenalkan ajaran Islam di tanah Melayu. Mereka menjalin hubungan yang erat 
dengan para bangsawan Melayu hingga mendapatkan kedudukan yang tinggi di 
istana. Kerajaan Islam yang pertama di sumatra adalah samudra pasai. Namun 
umurnya tidak lama dari abad ke 13 -14 karena jatuh ke Majapahit. yang kedua 
adalah kerajaan malaka. Di abad 14 – 16 terjadi peralihan budaya dari hindu-
budha ke Islam. 
Pada tahun 1345 ibnu batutah berkunjung ke samudra pasai yang ketika itu 
di kisahkan bahwa rajanya Sultan al Malik al Zahir. Raja di dampingi oleh qadhi 
al Syarif Amir Sayid al Syirozi, dan Tajuddin al Asbihani sebagai ulama dan 
fukaha bermadzhab syafii. Raja mengadakan halaqah sesudah  shalat Jumat sampai 
waktu ashar. Kerajaan Samudra Pasai berdiri, perkembangan Islam semakin luas. 
Kerajaan mendirikan pendidikan Islam dan kemudian mengirim mereka sebagai 
dai ke daerah-daerah di Nusantara. Kerajaan pasai mengirim mubalig ke jawa, 
yaitu Maulana Malik Ibrahim. Dalam perjalanan ke jawa, ia berhasil 
mengislamkan raja Malaka Prameswara, yang kemudian merubah gelarnya 
menjadi Megat Iskandar Syah. 
Kerajaan malaka berdiri pada abad ke 14 dan pada abad ke 15 malaka 
mulai menyebarkan kekuasaannya hingga semenanjung malaka dan sebagian 
wilayah sumatra dikuasainya. Malaka menguasai selat malaka sepenuhnya. 
Malaka berhasil mengIslamkan sebagian besar sumatra dan semenanjung malaka. 
Kerajaan Malaka secara teologi menganut ajaran Islam sedangkan ekonominya 
dari perdagangan transit, sehingga para pedagang Portugis menyebut malaka 
sebagai kota yang diciptakan untuk perdagangan. 
Sudah beribu-ribu tahun lamanya sebelum kedatangan pedagang portugis 
para pedagang  Gujarat, Tamil, Cina, Arab dan Nusantara telah mengenal kota 
malaka sebagai kota perdagangan, mereka bisa singgah di muara sungai Malaka. 
Disepanjang tepi sungai malaka sebelah utara berderet gudang-gudang 
perdagangan yang berpagar tembok tinggi dan dijaga setiap malam. Pasar-pasar 
kota dibangun tak jauh dari gudang-gudang. Kampung pemukiman para pedagang 
asing juga dibangun dekat dengan pasar-pasar kota tepatnya dibelakang pasar. 
Para pedangan asing ini tinggal dengan kampung-kampung yang terpisah antara 
bangsa satu dengan lainnya. Pemisahnya hanya dengan kebun dan taman. 
Disebelah selatan sungai kita dapatkan pemukiman warga Melayu kemudian 
kediaman para bangsawan istana dan masjid. Kedua bagian ini (tepi utara dan 
selatan) terhubungkan dengan jembatan-jembatan yang penuh dengan kedai-kedai 
dan pertokoan.  
Secara jelasnya tatakota dari kota-kota Melayu zaman Islam sebagai 
berikut : terdapat 3 bagian; pertama adalah istana raja yang dikelilingi dengan 
bangunan-bangunan tata pemerintahan serta asrama tentara. Bagian kedua adalah 
pusat kota berupa bangunan masjid, balai-balai pendidikan keagamaan dan pasar. 
Bagian ketiga adalah kawasan pemukiman penduduk (rakyat). 
Dalam masyarakat juga terdapat 3 kelompok masyarakat, yaitu kelompok 
istana terdiri dari keluarga raja dan para bangsawan dan pembesar istana. Kedua 
kelompok agama, terdiri dari para ulama dan pendidik agama. Dan ketiga 
kelompok rakyat awam yang terdiri dari para pedagang pengrajin.  
Sampai di awal abad ke 16 malaka menjadi pusat pedagangan dunia 
memiliki penduduk sekitar 40.000 jiwa dan menjadi tempat pemukiman pedagang 
asing. Malaka tumbuhan menjadi pusat pengkajian Islam. Saat itu sudah berdiri 
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Lembaga-lembaga tersebut dapat 
dikelompokkan dalam dua tingkatan   
• Tingkatan pertama adalah tingkatan dasar, terdiri atas pelajaran Membaca, 
menulis, bahasa Arab, al Quran dan ibadah praktis.  
• Tingkatan kedua dengan materi ilmu fikih, tasawuf, ilmu kalam, dan lain 
sebagainya. 
Pada tanggal 24 agustus 1511 malaka jatuh ke tangan portugis sesudah  
mengalami dua kali serangan hebat. sesudah  Malaka jatuh muncul sebuah kerajaan 
baru yaitu Johor sebagai penerus kerajaan Malaka. Sedangkan di daerah sumatra 
berdiri kerajaan Aceh. Kedua penguasa ini tumbuh menjadi pusat perdagangan 
internasional antar pulau. Dengan bercokolnya portugis di malaka membuat 
penguasa aceh merasa berkewajiban menguasai seluruh kawasan Melayu. 
Sehingga dari abad ke 16 – 17 terjadi peperangan antara aceh dan johor. 
Diawal abad ke 17 peperangan 2 penguasa Melayu ini berakhir dengan 
dimenangkannya peperangan tersebut oleh Kesultanan Aceh. Di masa kejayaan 
Sultan Iskandar Muda (1608-1636), Kesultanan Aceh memperluas pengaruhnya 
meliputi sebagian besar sumatra, menaklukkan johor, dan merebut kerajaan-
kerajaan pahang, perak dan kedah di Semenanjung Malaka. Namun kekuasaan ini 
tidak berlangsung lama pada tahun 1640 kesultanan Johor dapat kembali bangkit 
dan mengembalikan dominasinya di Semenanjung Malaka. Berkat politiknya 
dengan berbagai negara dan juga hIndia belanda ia menjadi kesultanan yang 
berpengaruh di kawasan selat malaka tersebut. Di abad 18 kekuasaannya mulai 
memudar hingga kemudian johor jatuh ke tangan belanda. 
Bentuk sastra melayu yang berkembang mulai berubah. Jika kita melihat 
dari gender sastra melayu di pengaruh hindu-budha, terjadi pergeseran, seperti 
pada pujian-pujian yang berbahasa sanskerta sudah tidak lagi digunakan berganti 
dengan bahasa arab. Walaupun begitu hikayat-hikayat yang ada pada zaman 
hindhu-budha masih tetap digunakan disamping hikayat-hikayat dari arab 
berkembang juga.  
Beberapa karya sastra yang ada di awal islam masuk yaitu abad 14-17. 
Diantaranya Hikayat pandawa lima, Hikayat Sang Boma atau Hikayat Sang 
Samba, kedua hikayat ini berasal dari Mahabarata. Kemudian Hikayat-hikayat 
Panji yaitu cerita-cerita tentang para bangsawan, raja-raja, pangeran-pangeran. 
Misalnya Hikayat Cekel Waneng Pati, kisah tentang Raden Inu yang menyamar 
menjadi orang awam untuk merebut hati kekasihnya, Candra Kirana. Hikayat 
Panji Kuda Semirang, Hikayat Andaken Penurat. Dan lainnya.  
Di samping itu banyak juga karya-karya sastra yang muncul sebagai 
resapan dari arab. Misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah 
(kisah tentang paman Nabi SAW Hamzah), Hikayat Muhammad Hanafiah, dan 
lainnya.  
Zaman ini disebut sebagai zaman peralihan, yaitu peralihan dari hindu-
budha ke islam. peralihan tersebut dibarengi dengan semakin menyebarnya agama 
islam. diakhir abad ke 16 sampai abad 17 pengaruh islam semakin mendalam. 
Saat islam memiliki kekuatan politik dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai, 
Malaka, Aceh dan Johor perkembangan islam sangat pesat dan bersifat 
yurisprudensi muslim (fikih). Selama berjalannya waktu peran lembaga 
pendidikan islam yang terus eksis telah menjadikan masyarakat melayu meresapi 
islam secara mendalam. Seorang ilmuan Melayu Syed Muhammad Naguib Al-
Attas menyebutkan tahapan islamisasi melayu, yaitu melalui 2 tahap. Pertama 
disebut konversi jasmani dan kedua konversi rohani. 
Pada abad 16 – 18 bangsa Melayu telah tersebar dan terpecah di dalam 
penguasa-penguasa yang berbeda. Walaupun demikian ada hal yang dirasakan 
mencolok di zaman ini yaitu semakin kuatnya pengaruh Islam terhadap Melayu. 
Pengaruh ini terus berjalan hingga abad 19 dan 20. Sehingga suatu hal yang aneh 
jika ditemukan orang Melayu tidak beragama Islam.  
Bangsa Eropa mulai mengenal adanya satra Melayu di awal abad ke 17, 
ketika ditemukan naskah karya-karya Melayu seperti hikayat seri rama, hikayat 
bayan budiman dan beberapa naskah lainnya. Sejak saat itu mulai banyak 
ditemukan naskah-naskah sastra Melayu seiring dengan ekspansi mereka ke 
negeri-negeri jajahan di nusantara. Raffles seorang letnan gubernur jendral east-
Indian company inggris, telah mengumpulkan dan mengoleksi naskah sastra 
Melayu sebanyak 300 lebih. Namun sebagian besar naskah-naskah tersebut 
musnah, ketika kapal 'fame' yang membawa pulang naskah-naskah tersebut ke 
inggris terbakar. Dan hanya menyisakan 80 manuskrip. 
Di awal abad ke 18 mulai ada tulisan berupa komentar pujian tentang 
sastra Melayu yang ditulis oleh seorang misionaris belanda F. Valentijn, dengan 
judul Oud en nieuw oust-indie (1724-1726). 10 tahun kemudian seorang 
berkebangsaan swiss G.N. Werndly (1736) menulis buku tentang tatabahasa 
bahasa Melayu dan disertai sebuah lampiran daftar 69 karya-karya Melayu yang 
diketahuinya.  
Memasuki paro pertama abad ke 19 mulai dilakukan kajian ilmiyah 
terhadap sastra Melayu. Para cendikiawan tersebut antara lain: W.Marsden (1830, 
1876), J. Crawfurd (1820), J. Leyden (1808, 1821), T.S. Raffles (1817, 1835). 
Mereka ini merupakan perintis dan pakar akan sastra Melayu di zamannya. Di 
abad ke 19 kajian tentang sastra Melayu mulai bergairah. Di negeri Eropa seperti 
Belanda, Inggris dan perancis berdiri pusat-pusat kajian Melayu. Dan juga di 
HIndia Belanda dan di Melayu juga berdiri pusat-pusat kajian sastra Melayu. Hal 
ini terjadi karena di masa abad ke 18 dan 19 terbit majalah-majalah khusus untuk 
kajian tentang Melayu dan indonesia. Majalah ini terbit di Batavia (sekarang 
Jakarta), Singapura dan Leiden. 
Faham realitas dan romantisme sangat pesat perkembangannya di Eropa 
pada abad 19. Hal ini mempengaruhi penilaian para peneliti sastra Melayu saat 
itu. Seperti : W. Maxwll (inggris), W.G. Shellabear (Amerika), P.P. Roorda van 
Eysinga, H.A. van Ophuysen (belanda) dan beberapa peneliti lainnya. Mereka 
memandang sastra Melayu merupakan sastra India dan Arab yang dalam wujud 
Melayu, dan karya-karya sastra Melayu hanya dongeng-dongeng naif yang tidak 
bermanfaat, didalamnya bercampur antara mitos dan realitas. 
Sumbangan penting para pakar dari abad 19 ini adalah berupa kegiatan 
pengumpulan naskah, sistematisasi, klasifikasi, identifikasi naskah, penuturan 
kembali isi naskah dan akhirnya penerbitan teks-teks serta antologi. Di masa ini 
juga sudah ada seorang pakar dari belanda J. de Hollander yang melakukan 
periodesasi satra Melayu dalam bukunya "Handleiding bij de beoefening de 
maleische taal en letterkunde". Dengan periodesasi yang sangat sederhana yaitu 
sastra Melayu sebelum kedatangan bangsa eropa dan sesudah  kedatangan bangsa 
eropa. 
Pada permulaan di abad 20, dilakukan penyusunan katalogus dan 
sistematisasi karya-karya sastra Melayu. Dalam dasawarsa pertama abad ke 20 
semua koleksi naskah Melayu yang terdapat di Batavia (Jakarta), Leiden, London, 
Paris dan beberapa tempat lainnya didaftarkan dan dibuat kataloknya, sehingga 
bisa didapat gambaran secara lengkap sastra Melayu. Dalam pendaftaran naskah-
naskah itu Ph.s. van Ronkel –lah yang banyak jasanya, ia adalah seorang pakar 
kajian sastra Melayu dari Belanda. 
Ditahun 1930-an kajian sastra Melayu mengalami kemajuan yang pesat. 
Seorang peneliti sastra Melayu berkebangsaan inggris R.O. Wintedt menulis 
sebuah buku dengan kajian yang menyeluruh dengan judul "Sejarah sastra Melayu 
klasik" yang dikemudian hari menjadi banyak acuan dari para pemerhati sastra 
Melayu. 
Winstedt dalam bukunya mencoba melakukan periodesasi sastra Melayu 
melalui tingkat pengaruh sastra luar terhadap sastra Melayu. Ia menjelaskan 
secara tersirat 3 periode evolusi sastra Melayu. Periode pertama zaman evolusi 
asli dari sastra lisan kuno dengan sisa-sisa peninggalannya dalam folklor Melayu. 
Periode kedua adalah zaman pengaruh India dan jawa terhadap sastra, baik tulis 
maupun lisan. Periode ketiga adalah periode pengaruh Islam (arab dan parsi).  
Dalam pandangan Winstedt keharuman sastra Melayu terjadi di periodisasi 
kedua, saat dimana Kerajaan Sriwijaya dengan budhanya yang kuat berkuasa di 
semenanjung malaka dan sumatera. Kerajaan Sriwijaya jatuh di abad 13 dan 
terjadi masa peralihan dalam budaya masyarakat ketika itu. Peralihan dari hindu-
budha ke Islam. Saat itu adalah zaman kesultanan malaka dan samudra pasai. 
Masa peralihan ini terjadi antara abad 14 – 16, Winstedt menyatakan bahwa pada 
masa peralihan inilah puncak perkembangan seni sastra Melayu. Pada periode ini 
muncul gubangan-gubangan sastra dengan berbagai versi, dari epos sanskerta, 
roman-roman Islam, hikayat-hikayat berbingkai, hikayat-hikayat petualang ajaib, 
dimana semua itu mengkombinasikan unsur-unsur India dan Islam. 
Di abad ke 17 – 19 pengaruh Islam semakin kuat di daratan Melayu. 
Winstedt berpandangan pada masa tersebut terjadi pemudaran dan kemunduran 
sastra Melayu, sastra Melayu hilang ditelan puritan Islam. Penilaian ini lebih 
bersifat subyektif menurut V.I. Braginsky, lebih lanjut dijelaskan bahwa Winstedt 
memberikan penilaiannya yang menentukan terhadap karya-karya tersebut secara 
subyektif –senang atau tidak senang. Penilaian masyarakat Melayu sendiri 
terhadap berbagai jenis karya sastra, asas-asas penciptaan, kekhususan kriteria 
estetika dan etika. Semuanya ini tidak terdapat di dalam buku R.O. Winstedt (V.I. 
Braginsky : 1998) 
Berbeda dengan pandangan Wenstedt, Braginsky memandang di zaman 
Islamlah terjadi suatu proses pengambilan sikap dari sastra Melayu untuk menjadi 
salah satu sastra dunia Islam.  
Braginsky melakukan periodesasi dengan tanpa adanya penilaian, ia 
berusaha mengungkapkan kejadian sebagaimana yang terjadi dapa setiap zaman di 
periodesasi sastra. Ia mengungkapkan ada 3 periode utama dalam sejarah sastra 
Melayu, yaitu : Periode Melayu kuno, ia periode abad ke 7 – 14 masa kerajaan 
hindu sriwijaya. Periode kedua, yaitu : periode awal Islam, periode abad ke 14 – 
16 saat terjadi penyebaran Islam oleh kesultanan malaka. Periode ketiga : periode 
klasik; abad 16 – abad 19, pada masa ini sastra Melayu menyadari dirinya sebagai 
sebagian dari sastra dunia Islam dan sebagian besar karya-karya sastra terpenting 
diciptakan. 
Ada tolak ukur yang berbeda dari 2 peneliti ini. Wenstedt memandang 
periode kedua, sebagai periode pengaruh hindu-budha. Sedangkan periode 
pertamanya ; masa sastra lisan kuno yang terjadi saat negara-negara kota hingga 
awal masa kerajaan sriwijaya. Saat sriwijaya mencapai puncaknya dengan 
kuatnya agama budha di sriwijaya bersamaan itu sastra Melayu menyerbak bau 
harumnya, hingga abad 14. dari abad 14 – 16 terjadi masa transisi hindu ke Islam. 
Masa ini merupakan masa puncak sastra Melayu. sesudah  abad ke 17 terjadi 
pemudaran dalam sastra Melayu kedalam puritan Islam. 
Berbeda dengan Braginsky yang berpendapat sastra Melayu mulai ada 
ketika orang-orang Melayu menyerap kebudayaan hindu-budha, dan ini disebut 
sebagai periode awal dalam sastra Melayu. Kemudian terjadi peralihan 
kebudayaan dari hindu ke Islam merupakan periode kedua. Periode ketiga adalah 
periode pengaruh Islam yang mengakar terhadap sastra Melayu, sehingga Melayu 
memposisikan diri sebagai bagian dari dunia Islam. Ini berakhir diabad ke 19.  
Jika dipandang dari kesastraan tentulah pandangan Braginsky yang sesuai, 
sebab sebuah karya sastra membutuhkan ketrampilan menulis dan bangsa melayu 
mengenal tulisan saat hindu-budha datang. Oleh karena itu dalam masalah 
kesastraan penulis mengambil pendapat Braginsky dalam periodesasi 
perkembangan sastra melayu.  
Karya-karya sastra di masa Hindu-Budha 
Perkembangan pengaruh Hindu Buddha dari India membawa kemajuan 
pesat dalam bidang karya sastra. Karya sastra terkenal yang mereka bawa, antara 
lain kitab Ramayana dan Mahabharata. Adanya kitab-kitab ini memacu para 
pujangga di Nusantara untuk menghasilkan karya-karya sastra. Pengaruh Hindu-
Budha ini membawa tradisi menulis pada budaya melayu. Masuknya karya sastra 
dari India seperti Ramayana dan Mahabrata, memicu budaya menulis pada 
masyarakat melayu. 
Periode ini disebut juga dengan Periode Melayu Kuno. Saat itu Sumatera 
dan Semenanjung Malaka menganut ajaran Hindu-Budha. Periode ini terjadi dari 
abad ke7 sampai awal abad ke-14. Secara ringkas bisa dijelaskan sebagai berikut :  
Dari abad ke-7 sampai abad ke-13 di bangsa melayu telah ada sastra pada 
kalangan elit yang terpengaruh oleh India dengan Hindu dan Budhanya. Namun 
sastra tersebut masih ditulis dengan Bahasa sanskerta. Tidak banyak karya yang 
ditulis dengan Bahasa melayu. Sastra ini meliputi karya-karya para pujangga 
India, seperti kitab-kitab Jatakamala, Buddhacarita, Lalitavistara, dan sebagainya. 
Di samping itu terdapat karya-karya yang ditulis oleh pujangga setempat, yang 
bercorak pujian terhadap dewa-dewa dan raja-raja yang didewakan, serta tulisan 
sejarah dan perundang-undangan.  
Di abad ke-13 sampai abad ke-14, proses penyerapan budaya hindu-budha 
dari india oleh budaya melayu semakin cepat. Hal ini ditandai dengan beberapa 
karya tentang “kisah petualangan ajaib” dan “epos kepahlawanan”. Karya-karya 
tersebut merupakan peleburan antara tradisi kaum elit yang sudah terpengaruh 
dengan budaya india dengan tradisi masyarakat setempat, terbentuklah 
kebudayaan campuran yang telah disesuaikan dengan masyarakat melayu. 
Karyanya menggunakan Bahasa melayu bukan Bahasa sanskerta.  
Diantara karya-karya pada periode ini : Hikayat Pandawa lima atau  
Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Sang Boma, Hikayat Sang Samba, Hikayat-
Hikayat Panji, Hikayat Cekel Waneng Pati, Hikayat Panji Kuda Semiring, 
Hikayat Andaken Penurat,. Karya Hikayat Pandawa lima atau  Hikayat Pandawa 
Jaya, Hikayat Sang Boma, Hikayat Sang Samba merupakan karya-karya yang 
berasal dari Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan karya Hikayat-Hikayat Panji, 
Hikayat Cekel Waneng Pati, Hikayat Panji Kuda Semiring, Hikayat Andaken 
Penurat merupakan karya-karya yang berkisah tentang kepahlawanan dan juga 
petualangan ajaib.  
Karya-karya sastra di masa kedatangan Islam  
Periode ini meliputi abad ke-14 sampai abad ke-16. Saat itu islam 
menyebar secara horizontal dan masih dangkal. Walaupun demikian telah 
memberi pengaruh terhadap budaya dan sastra melayu. Di masa ini perkembangan 
sastra melayu kuno dengan sastra arab-persia berkembang secara terpisah. Masih 
belum terlihat adanya karya-karya yang melebur kedua budaya tersebut.  
Karya-karya pada periode ini antara lain : Hikayat Iskandar Zulkarnain, 
Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Raja Pasai, dan 
lainnya. Karya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat 
Muhammad Hanafiah, merupakan hikayat-hikayat serapan dari sastra Islam. 
Sedangkan Hikayat Raja Pasai merupakan karya sastra yang berisi tentang 
kepahlawanan, petuah-petuah raja atau undang-undang raja, dan sejarah.  
Karya-karya sastra di masa Melayu menentukan jati dirinya  
Periode ini disebut periode klasik, dari abad ke-16 sampai abad ke-19. Penyebaran 
islam di masa ini penyebaran islam telah merata dan mendalam. Hal ini 
menyebabkan pengislaman secara fundamental terhadap sastra melayu. Periode 
melayu klasik ini memiliki beberapa ciri :  
- Bahasa melayu digunakan disemua line sastra. Berbagai ragam tulisan 
sudah menggunakan Bahasa melayu; dalam bidang yuridis, teologi, sastra, 
tasawuf dan berbagai bidang lainnya.  
- Munculnya bentuk dan ragam genre sastra baru yang sudah berciri khas 
melayu, tidak hanya berciri umum arab- islam.  
- Terbentuknya „kesadaran diri sastra‟ yang bersifat islam di bidang teori. 
Karya-karya melayu klasik berkonten islam dan mengambil posisi sebagai 
sastra islam.  
Karya-karya pada periode ini, dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan sufi 
yang berbicara tentang kecintaan kepada Allah. Ungkapan-ungkapan yang 
ditangkap bahwa hanya Allah yang mampu mencipta. Ilmu ilahi yang mutlak 
merangkumi ide-ide umum (ayan sabitah) semua benda, dan kudrat ilahi 
menjelmakannya sebagai benda-benda dalam dunia fenomenal (alam syahadat), 
sehingga benda-benda itu dapat dirasai dengan pancaindra. Manusia dibekali 
bakat kenabian yang besar atau yang kecil. Oleh sebab itu, manusia dapat 
menerima pancaran cahaya (nur kasyif) yang bersumber dari dunia rohani dan 
menerangkan ide-ide umum dalam hati Nurani. Kemudian manusia menjelmakan 
ide-ide umum tersebut dalam hati (nafs haiwani) yaitu dunia imajinasi, yang 
selanjutnya akan menjadi ide-citra (makna, eidos). sesudah  itu, manusia dengan 
cara yang benar mewujudkan ide-ide citra tersebut dalam suatu bahan, seperti 
ungkapan perkataan atau berupa tulisan, atau berwujud benda, inilah yang disebut 
sebuah karya manusia. Karenanya semuanya berasal dari Ilahi.  
Inilah sebagian ungkapan-ungkapan yang ditangkap dalam karya-karya 
sastra di masa abad 16 pertengahan sampai abad ke-19. Dimana karya-karya yang 
ditemukan menunjukkan „kesadaran diri sastra melayu‟ untuk menjadi bagian dari 
budaya islam.  
Kesimpulan  
Dari paparan dan uraian diatas, bisa disimpulkan tentang perjalanan 
sejarah sastra melayu hingga menjadi sastra yang bernuasa islam. Secara singkat 
bisa dibagi menjadi 3 bagian perjalanan sastra melayu menuju islam, yaitu :  
Periode melayu kuno, periode abad ke-7 sampai abad ke- 14. Di masa ini 
sastra melayu mengenal tulisan dan dihindukan atau dibudhakan.  
Periode awal islam, periode abad ke- 14 sampai abad ke-16. Di masa ini 
sastra melayu dikenalkan dengan islam dan budayanya.  
Periode klasik, periode abad ke-16 sampai abad ke-19. Di masa ini sastra 
melayu menyadari dirinya sebagai salah satu sastra dunia islam.