imperialisme
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
imperialisme
Artikel ini ini menggambarkan globalisasi dengan cara pandangnya masing-masing.
Globalisasi berkaitan erat dengan komunikasi dan komunikasi global melahirkan
imperialisme Budaya Trend atau imperialisme media. Kedua konsep itu datang dari banyak mazhab
pemikiran (arus informasi bebas yang senjang, dependensi, sistem dunia, dan kolonialisme
elektronik) sebagai respons dan kritik terhadap dominasi Budaya Trend dan media Barat. Dengan
memakai metoda kepustakaan, digambarkan sejarah, pengertian dan asumsi-asumsi sekaligus
kritikan terhadap konsep imperialisme Budaya Trend . Berikutnya, penulis menggambarkan
pengaruh imperialisme Budaya Trend di negara kita . Pada era Orla, imperialisme Budaya Trend ada namun
terkendali akibat politik Trend rezim Soekarno yang “menasionalisasi Budaya Trend ”.
Sementara pada era rezim Orde Baru , imperialisme Budaya Trend lebih menonjol sebab politik
Trend pintu terbuka (open sky policy) dan pada era reformasi, imperialisme Budaya Trend
semakin nampak signifikan akibat liberalisasi semua bidang kehidupan, termasuk politik.
Dan wajah imperialisme Budaya Trend semakin beragam tidak hanya datang dari Barat, melainkan
juga dari non-Barat, termasuk Asia. Makin menguatnya imperialisme Budaya Trend dewasa ini,
telah menimbulkan kesadaran kaum elit sehingga dalam Pilpres 2014 gagasan nasionalisme,
kemandirian dan doktrin Trisakti menjadi materi kampanye politik para capres dan cawapres.
“Globalization” dipandang
Tomlinson (1999:2), sebagai:
“complex connectivity referring to the
rapidly developing and ever more
complex network of interconnections
and interdependencies that
characterize modern social life”.
Interkoneksi dan interdependensi yang
demikian cepat dalam globalisasi
terjadi akibat perkembangan teknologi
informasi yang dewasa ini semakin
konvergen. sebab globalisasi
merupakan bagian dari concern semua
negara, maka banyak peneliti tertarik
dengannya.
Para analisis globalisasi
menurut Held and McGrew (1999)
terbagi ke dalam tiga mazhab
pemikiran (school of thought):
hyperglobalist, skeptics dan
transformationalist. Pertama,
kelompok yang melihat globalisasi
sebagai ancaman bagi satu negara
sebab ia akan mengurangi kekuasaan
negara dan digantikan kemudian oleh
datangnya pasar global. Mazhab ini
melihat faktor ekonomi sebagai
determinan globalisasi yang akan
mendenasionalisasi ekonomi satu
negara dan akan menyebabkan
hilangnya kedaulatan negara. Kedua,
mazhab skeptic menyatakan bahwa
globalisasi adalah sebuah mitos
seberapa yang dimaksud dengan
globalisasi dalam perspektif ekonomi
sebagaimana dinyatakan kaum
hyperglobalist bukanlah fakta yang
universal. Interdependensi ekonomi
hanyalah terbatas pada OECD.
Ketiga, mazhab
transformasionalis yang menganggap
globalisasi punya konsekuensi
struktural dan merupakan kekuatan
pendorong perubahan warga
lewat pengaruh ekonomi, politik dan
sosial dengan jalan proses dialektis.
Jadi globalisasi bukan sekedar
homogeni atau heterogen, konvergen
atau divergen melainkan sebuah proses
dialektis yang menimbulkan baik
integrasi atau fragmentasi sekaligus.
Dalam konteks mazhab inilah
kemudian, komunikasi menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari
pembicaraan globalisasi. Bahkan
McLuhan melihat globalisasi dan
komunikasi sebagai konsep yang
deeply interwined, saat ia
mengetengahkan “medium is the
message” dan “global village”.
Menurut Rentenan, 2005:4) “Secara
praktis tidak mungkin ada globalisasi
tanpa media dan komunikasi”.
Dengan menunjukkan eratnya
kaitan komunikasi dengan globalisasi,
maka Rentenan mendefinisikan
globalisasi sebagai : ”process in which
worldwide economic, political, cultural
And social relations have become
increasingly mediated across time and
space”(p.8). Peranan media dan
komunikasi dalam proses globalisasi
menjadi sangat strategis dan penting.
Pertama, berbagai perusahaan media
mogul dewasa ini semakin beroperasi
secara global. Kedua, banyak
infrastruktur komunikasi global
memfasilitasi arus informasi global.
Ketiga, media global berperan penting
dalam memandang berbagai peristiwa
lintas dunia untuk membangun sistem
makna bersama.
Tulisan ini ingin
menggambarkan: (1) bagaimana
imperialisme media memandang
globalisasi dan relasi antarnegara
dalam konteks posisi dan peran media;
(2) dapatkah konsep imperialisme
media menggambarkan dan
membuktikan dampak media secara
utuh dan menyeluruh atas terbentuknya
homogenisasi Budaya Trend di negara-negara
berkembang, sehingga penjajahan
Budaya Trend dari Barat nyata terbukti; dan
(3) bagaimana reaksi dan kritik yang
selama ini berkembang dari para
3
peneliti komunikasi terhadap konsep
imperialisme media?; dan (4) adakah
imperialisme media di negara kita ?.
Tulisan ini akan diawali dengan
mendeskripsikan konsep imperialime
Budaya Trend dan imperialisme media serta
pengaruh tradisi intelektual di
belakangnya. Kedua, akan
menunjukkan berbagai teori yang
melandasi munculnya konsep
imperialisme media. Ketiga,
menyajikan kritikan terhadap konsep
imperialisme media. Dan keempat,
mendiskusikan ada tidaknya
imperialisme media di negara kita .
Analisis didasarkan atas studi literatur
(library research) dan analisis kritis
terhadap gejala media dan Budaya Trend
imperialisme yang berkembang di
negara kita . Penggunaan konsep
imperialisme media atau imperialisme
Budaya Trend disini tidak dimaksudkan
sebagai dua konsep yang terpilah tegas
(mutually exclusive), tetapi
mengandung satu pengertian ibarat dua
sisi dalam satu mata uang logam.
KERANGKA PEMIKIRAN
Sejarah Imperialisme Media
Sehabis Perang Dunia II, terjadi
Perang Dingin (Cold War) antara Blok
Barat yang dipimpin Amerika dengan
Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Perang ini berlangsung dari 1945
hingga 1989 saat tembok Berlin
runtuh. Amerika mewakili ideologi
kapitalis dan Soviet mewakili ideologi
sosialis. Dalam konteks pergulatan
komunikasi internasional, Amerika
memperjuangkan laissez-faire dan free
flow of information sebagai bagian dari
freedom of the press. Belakangan
Unesco juga menuntut free flow across
border to lead better world yang
didukung para peneliti program riset
komunikasi internasional (KI)yang
tergabung dalam MIT Center for
International Studies. MIT ini lalu
membentuk Program Riset dalam
Komunikasi Internasional yang
dipimpin Lasswell, Ithiel de Sola
Pool, Karl Dutsch, Daniel Lerner,
Schramm, dan Lucian Pye. Riset
mereka didanai Ford Foundation.
Keterlibatan Amerika dalam
PD II dengan Soviet, membuat para
peneliti terperangkap dalam bias Barat
sebab strategi KI dirancang agar pro-
Barat dan anti-komunis. Paradigma KI
yang menjual doktrin free flow dan the
ideal to lead better world kemudian
dilegitimasi oleh metoda riset
komunikasi yang berpusat pada efek
empiris media yang diprakarsai
Lasswell, Lazarsfeld dan Hovland.
Lahirnya paradigma pembangunan
modernisasi yang di dalamnya
menempatkan media sebagai magic
multiplyer effects pembangunan, telah
dijadikan sarana untuk mencapai cita-
cita perubahan warga dari
tradisonal menuju modern.
Namun sejalan dengan
perkembangan teknologi komunikasi,
agensi-agensi kantor berita Barat
seperti Reuters atau French Press
Agency dan Associated Press (AP)
telah mengonstruksi realitas dunia
menurut persepsi Barat. Kala itu, Barat
lebih banyak memberitakan berbagai
peristiwa negatif negara-negara Dunia
Ketiga seperti Amerika Latin, Afrika
dan Asia. Mereka digambarkan sebagai
negara yang penuh bencana, kudeta,
revolusi dan berita-berita negatif
lainnya. Di tengah kondisi demikian,
datang tawaran pinjaman utang luar
negeri, alih teknologi dan resep Budaya Trend
agar negara-negara Dunia Ketiga
mengikuti jalan modernisasi Barat dan
sebagian negara Amerika Latin, Afrika
dan Asia pun mengikuti jalan tersebut.
Di tengah hiruk-pikuk
modernisasi, pada 1960-an diam-diam
muncul para sarjana komunikasi Eropa
yang tergabung dalam
InternationalAssociation
Communication Research (IAMCR).
4
Kelompok ini berasal dari Association
for Education in Journalism and mass
Communication (AEJMC) yng
memiliki tradisi riset kritis. Dengan
bantuan Unesco, mereka membentuk
Education and Research in
International Communication. Dalam
riset-riset mereka, ditemukan betapa
program-program berita dan hiburan
Barat mendominasi media Amerika
Latin, Afrika dan Asia. sebab itu,
mereka melihat adanya imperialisme
baru yang dilakukan bukan secara
hard poweryakni penggunaan kekuatan
militer untuk menguasai satu negara,
melainkan melalui soft power
(diplomasi) yang disebutnya sebagai
imperialisme Budaya Trend dan media.
Wacana imperialisme media,
semakin menggema pada 1970-an
terutama di Amerika Latin lewat para
pemikir seperti Antonio Pasquali
(1963), Luis Ramiro Beltran (1976),
Mario Kaplun (1973), F. Rayyes Matta
(1977). Sementara dari Inggris, muncul
mazhab Frankfurt yang membawa
tradisi kritis terhadap ilmu sosial,
termasuk bidang komunikasi.
Munculnya Andre Gunnar Frank yang
mengecam modernisasi lewat
paradigma dependensia telah
memperkaya analisis media terhadap
dinamika global komunikasi.
Philip Elliot dan Peter Golding
lewat Center of Mass Communication
Research pada Universitas Leicester,
Inggris mempublikasikan sebuah studi
yang mengambarkan dominasi Barat
atas arus pemberitaan internasional,
khususnya antara Inggris dengan
negara-negara Afrika (Martin dan
Heibert, 1990:288). Sarjana Inggris
yang lain Oliver Boyd Barret (1977),
telah memperkenalkan konsep
“imperialisme media” dan dianggap
sebagai pemuka teori ini. Tampaknya
tokoh yang paling menonjol adalah
Herbert Schiller yang menulis Mass
Commucation and American Empire
(1969) dan Communication and
Cultural Domination (1976). Tokoh-
tokoh lain yang menyumbang penting
adalah Armand Mattelart, Cess J.
Hamelink, McChasney, Nordenstreng,
Noam Chomsky, dan banyak lagi.
Dalam konteks tradisi
keilmuan, teori komunikasi massa
Amerika mewakili mazhab dominan
positivisme. Paradigma ini mengacu
pada empirisme kuantitatif dan
administratif dengan dukungan riset
psikologi-sosial, sosiologi struktur-
fungsional yang percaya akan
keteraturan (order) dan konsensus.
Sementara itu, dari sudut riset
komunikasi, positivisme dipengaruhi
oleh persuasi dan propaganda dan
determinisme teknologi informasi yang
menempatkan komunikasi massa
sebagai agen perubahan sosial.
Sedangkan imperialisme media datang
dengan sebuah tradisi riset baru yakni
paradigma kritis yang banyak
dipengaruhi ilmuwan Eropa. Tradisi ini
dipengaruhi neo-Marxis yang
memandang realitas sosial dalam poros
konflik dan pengaruh teori ekonomi-
politik serta warga massa yang
memandang media sebagai alat
kekuasaan kelompok hegemonik dan
dominan di warga sehingga
media menimbulkan kesadaran palsu
(false-conciousness) terhadap
warga (McQuail, 2005:96-133).
Pengertian Imperialisme Media
Menurut Livingston A. White,
imperialisme Budaya Trend punya ragam
istilah yang banyak. Boyd-Barret
(1977) menyebutnya “imperialisme
media”, Link 1984 dan Muhammadi,
(1995) menyebutnya, “dominasi dan
dependensi Budaya Trend ”, McPhail (1987)
menyebutnya,”kolonialisme
elektronik”, Hamelink (1983)
menyebutnya, “sinkronisasi Budaya Trend ”,
Galtung (1979) menyebutnya,
“imperialisme struktural”, Mattelart
5
(1994) menyebutnya, “imperialisme
ideologis” dan imperialisme ekonomi.
Namun istilah yang paling populer
dipakai adalah “imperialisme Budaya Trend ”
atau “imperialisme media”.
Asumsinya, lanjut A. White, sebab
media menempati posisi sentral dalam
penciptaan Budaya Trend . sebab itu, dua
istilah ini sering saling bertukar
(interchangeble), ibarat dua anak
kembar.
“Imperialisme Budaya Trend ”, kata
Salwen (1991:30) adalah istilah yang
bermuatan ideologis yang sering
berkaitan dengan penggambaran efek
atau pengaruh media massa Barat
terhadap khalayak luar negeri. Para
peneliti imperialism Budaya Trend (IM)
sepakat sebagaimana digambarkan
Berltran, (1978b:184) bahwa :
”cultural imperialism is a verifiable
process of social influence by which a
nation imposes on other countries its
set of beliefs, values, knowledge, and
behavioral norms as well as its
overall style of life”. Sementara
Schiller (1979) mendefinisikan
imperialisme Budaya Trend :…”Sum of the
processes by which a society is
brought into the modern world system
and how its dominating stratum is
attracted, pressured, forced, and
sometimes bribed into shaping social
institution to correspond to, or even
promote, the value and structures of
the dominating center of the system”.
Cess Hamelink (1983:2-3)
secara deskriptif menggambarkan
hilangnya identitas lokal berupa adat-
istiadat, pakaian, musik, cita rasa dan
gaya hidup setempat yang digantikan
oleh semua yang serba Amerika akibat
serbuan media mereka. Konsep lain
dari imperialisme Budaya Trend adalah,apa
yang disebut imperialisme media
(media imperialism). Menurut Boyd-
Barrett, “media imperialism refers to
the process whereby, the ownership,
structure, distribution or content of the
media in any one country are, single or
together, subject to substantial
external pressures from the media
interests of any other country or
countries, without proportionate
reciprocation of influences by the
country so effected”. Dalam konteks
bingkai imperialisme media, media
sering diidentikkan sebagai
“ideological state apparatuses” yang
membawa kepentingan negara maju,
khususnya Amerika.
Dengan merujuk pada definisi
imperialisme Budaya Trend dan media
sebagaimana dikemukakan di atas,
dapatlah tergambarkan, bagaimana
globalisasi dipahami oleh kelompok
ini. Bagi mereka, globalisasi
ditafsirkan, sebagaimana yang
didefinisikan Anthony Gidden
yakni:”Globalization as the spread of
modernity, which he defines as the
extention of the nation-state system,
the world capitalist economy, the
world military order and the
international devision of
labor”(Giddens dalam Thussu,
2006:63). Dari perspektif teori
globalisasi, kaum imperialis media,
dapat dimasukkan ke dalam kubu
hyperglobalist yang memandang
globalisasi sebagai ancaman ekonomi
global dan militer dari negara-negara
maju terhadap negara-negara
berkembang dan belum berkembang
(Tomlinson dalam Muhammadi,
1997:74).
Menurut Barret, teori
imperialisme Budaya Trend terbagi ke dalam
dua model. Pertama, model Schiller
yang lebih ideologis dan yang kedua
adalah model yang generik atau
bersifat umum. Masing-masing
kelompok ini membangun tradisi
program riset dengan jalan yang
berbeda. Model pertama dibangun oleh
kelompok pendekatan ekonomi-politik
yang didasarkan pada tradisi neo-
Marxis. Paradigma dependensia
6
misalnya, banyak mewarnai
pendekatan awal program riset
imperialisme Budaya Trend .Sedangkan
kelompok yang kedua, datang dari para
ilmuwan mazhab behavioristik yang
menyodorkan program riset
komunikasi dengan penekanan pada
efek media ,studi analisis isi dan studi
arus berita.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini akan diawali dengan
mendeskripsikan konsep imperialime
Budaya Trend dan imperialisme media serta
pengaruh tradisi intelektual di
belakangnya. Kedua, akan menunjukkan
berbagai teori yang melandasi munculnya
konsep imperialisme media. Ketiga,
menyajikan kritikan terhadap konsep
imperialisme media. Dan keempat,
mendiskusikan ada tidaknya imperialisme
media di negara kita .
Pendekatan metodologis yang
dipakai dalam kajian ini, menggunakan
pendekatan kualitatif. Sedangkan metoda
pengumpulan data didasarkan atas studi
literatur (library research) atau analisis
dokumen dan analisis kritis terhadap gejala
media dan Budaya Trend imperialisme yang
berkembang di negara kita . Riset
kepustakaan atau analisis dokumen adalah
sebuah cara untuk menggali data dari
sumber yang berbentuk buku, jurnal,
majalah, surat kabar, undang-undang,
website dan data tertulis lainnya yang
relevan dengan topik bahasan.
Penggunaan konsep imperialisme
media atau imperialisme Budaya Trend disini
tidak dimaksudkan sebagai dua konsep
yang terpilah tegas (mutually exclusive),
tetapi mengandung satu pengertian ibarat
dua sisi dalam satu mata uang logam.
Namun, apabila harus dikonstruksi melalui
polarisasi mazhab pemikiran (school of
thought), penulis condong memilih konsep
imperialisme Budaya Trend (cultural
imperialism), sebuah konsep yang yang
sering digunakan oleh mazhab neo-
Marxist.
Dalam usaha menunjukkan hasil
survei tentang ada tidaknya gejala
imperialisme Budaya Trend di negara kita , penulis
menggunakan metoda kronologis ysitu
dengan memetakan penggambaran gejala
imperialisme Budaya Trend pada masa rezim
Orde Lama, rezim Orde Baru dan rezim
Orde Reformasi.
HASIL PENELITIAN
Teori dan Asumsi Imperialisme Media
Imperialisme media
dikonstruksikan oleh empat teori:
ketimpangan arus informasi (flow of
information gap) dependensia, world
system theory (WST), dan electronic
colonialism (ECT). Dunia mengalami
kesenjangan informasi antara negara
Pusat(core) dengan negara Pinggiran
(periphery). Kaum dependenista
menganggap bahwa pembangunan
telah melahirkan keterbelakangan
negara-negara dunia ketiga. Sementara
itgu, teori sistem dunia melihat
terjadinya eksploitasi dan hubungan
asimetris antara “negara pusat” kepada
“negara pinggiran” dan “semi
pinggiran”. Kolonialisme elektronik
memandang relasi sepihak yang
dibentuk oleh importasi hardware dan
sofware beserta unsur pendukungnya
untuk mengubah warga setempat.
Teori kolonialisme elektronik
(Electronic Colonialism Theory)
merupakan bagian dari teori makro
(Phail,2010:16) yang tradisi risetnya
datang dari Innis, McLuhan, Mattelart,
Ellul, Bagdikian, dan Barnett. Teori
ECTini kata Phail, menekankan
pada:”posits that foreign produced,
created, or manufactured cultural
products have the ability to influence,
or possible displace, indigenous
cultural productions, artifacts, and
media to the detriment of recieving
nations (hal.320). Informasi dari luar
menurut teori ini bisa menyebabkan
7
penolakan, perubahan, pengasingan
terhadap kebiasaan otentik setempat,
pesan-pesan domestik dan sejarah
kulturalnya. Sementara kultur
konsumerisme akan merajalela
mendominasi realitas media sebab
makin berkuasanya perusahaan-
perusahaan multinasional yang datang
ke negara-negara berkembang.
Kedua, teori sistem dunia
(WST) yang dikembangkan oleh
Immanuel Wellernstein. Menurut teori
ini, relasi negara-bangsa (nation-state)
terbagi ke dalam tiga zona: core, semi
peripheral dan peripheral zone.
Diasumsikan bahwa relasi satu wilayah
dengan wilayah lain menunjukkan
ketidaksamaan dan ketidakmerataan
dalam hubungan ekonomi. Wilayah
pusat (core zona) mendominasi dan
mengontrol dua wilayah lainnya yakni
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah
pusat berusaha mengontrol dan
merumuskan sifat dan lingkup
interaksinya dengan kedua wilayah
semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah
pusat juga menyediakan teknologi
peringkat keras, lunak, modal,
pengetahuan, barang dan jasa kepada
dua wilayah yang berfungsi sebagai
pasar dan konsumen sekaligus.
Ketiga, teori dependensi.
Program riset imperialisme Budaya Trend
kaum dependenista menganggap
bahwa realitas dunia terbagi kedalam
dua kategori: Negara maju (core) dan
Negara pinggiran (periphery). Negara-
negara pinggiran sangat bergantung
pada media yang dimiliki Negara
maju. Dalam konteks ini imperialisme
Budaya Trend dilihat sebagai alat Negara
maju untuk memelihara dominasi
setelah mereka meninggalkan
penjajahannya dalam bentuk
penguasaan militer. Pandangan
ekonomi-politik kaum dipendenista
melihat imperialisme Budaya Trend sebagai
produk ekonomi-politik kaum
imperialis.
Keempat, ketidakseimbangan
informasi (imbalance flow of
information). Hampir 80% informasi
dunia dikuasai oleh Utara. Sedangkan
Selatan hanya menguasai kurang lebih
20% informasi. Studi Tapio Varis pada
1980-an tentang arus pesan televisi
dunia yang didukung Unesco
menyimpulkan seriusnya pertukaran
informasi yang tidak seimbang antara
Utara dan Selatan. “Most countries”,
kata Varis, “are passive recipients of
information disseminated by a view
other countries” (Roach,1997:47). Hal
ini terjadi sebab teknologi informasi
dan komunikasi - hard-ware maupun
software- konglomerasi media, dan
kekuatan ekonomi dan politik dikuasai
negara-negara Utara. “Dominasi
Barat”, kata Stevenson, “mencakup
seluruh aspek komunikasi global,
berita, Budaya Trend pop, bahasa Inggris
sebagai bahasa global, dan teknologi
komunikasi” (Stevenson dalam Salwen
and Stacks, 1996:188). Kegiatan
negara-negara superpower kala itu
dalam melakukan propaganda,
melibatkan organisasi-organisasi
intelegens-nya seperti CIA, KGB,
Mossad, MI-5, dan RAW, telah
menimbulkan dominasi komunikasi
dan informasi negara-negara maju
terhadap negara-negara berkembang.
Para sarjana Amerika Latin
misalnya, memakai kacamata teori
dependensia untuk mengkaji
perusahaan media massa yang
berkembang di negeri itu pada1970
dan 1980-an. Empatdari lima
perusahaan jaringan televisi swasta
besar yang ada Amerika Latin
(sepertiGlobo TV di Brasil dan
Televisa di Mexico), ternyata tidak
menunjukkan watak kepemilikan
sebagaimana yang lazim ada di Negara
Ketiga (Third World). Menurut kaum
dependista, media dan rakyat Amerika
Latin terus bergantung pada negara-
negara maju, terkait dengan berita dan
8
kebutuhan kulturalnya. Herbert
Schiller (1969) dalam Mass
Communication and American Empire
mampu menunjukkan keterlibatan
pemerintahan Amerika dan
perusahaan-perusahaan bisnisnya yang
mencengkram sistem media Dunia
Ketiga. Dorfman dan Matterlart (1975)
dalam How to Read Donald Duck,
misalnya, mampu melacak jejak-jejak
ideologis kaum imperialis dalam
komik Walt Disney yang
didistribusikan secara luas ke Amerika
Latin.
Dari berbagai studi yang
dilakukan kaum imperialis media,
paradigma dominan Barat mengenai
komunikasi dan teknologi informasi,
menurut Gudykunst dan Mody
(2002:9), dikritik tajam sebagai
berikut:
1. Teknologi komunikasi dan
informasi yang disebarluaskan
Barat, dianggap sebagai nilai yang
mengandung muatan paternalistik
dan etnosentrisBarat.
2. Metodologi riset komunikasi
internasional Barat yang berpusat
pada efek media telah
mengabaikan konteks ideologi,
ekonomi, politik, dan Budaya Trend
negara-negara Dunia Ketiga.
3. Model Lasswell yang mengacu
pada: who, say what, in which
channel and with what effect harus
digantikan dengan pertanyaan riset
yang baru: “who owns and
controls the distribution of
communication and for what
purpose and intents?
4. Media merupakan bagian integral
dari “ideological state
apparatuses” yakni bagian dari alat
negara yang menanamkan nilai-
nilai ideologis kepada publik.
Dari sebagian besar teori dan
riset imperialisme media, terdapat
beberapa asumsi pemikiran yang
melandasinya. Pertama, bahwa
imperialisme media berasumsi bahwa
dominasi dan hegemoni Budaya Trend dan
media terjadi disebabkan sebab faktor
eksternal, seperti faktor ekonomi dan
politik yang mempengaruhi operasi
media. Sementara itu, paradigma
modernisasi melihat keterbelakangan
warga terjadi sebab “cacat
mental” yang dialami oleh warga
yang belum maju. Kedua, studi dan
riset media menekankan pada efek
media dengan menggunakan teori
hypodermic needle (teori jarum
hipodermik) yang mengandaikan
bahwa media memiliki pengaruh
langsung terhadap khalayaknya.
Ketiga,relasi antarnegara dalam
komunikasi internasional dan
globalisasi telah melahirkan
homogenisasi Budaya Trend dan media di
negara-negara berkembang. Keempat,
khalayak dianggap sebagai entitas
yang pasif dalam menerima informasi
dan komunikasi dari luar. Kelima,
teori-teori imperiliasme media pada
umumnya menggunakan teori-teori
makro komunikasi yang menekankan
pada arus informasi satu arah (one way
flow of information) atau “top down
transmission system from dominant
country to dominated
country”.Keenam, imperialisme
Budaya Trend percaya bahwa media
memainkan peran penting dalam
pembentukan Trend .
Dari perspektif paradigmatik,
teori kritis imperialisme Budaya Trend atau
dependensi dapat dibedakan dari teori
free flow dan free market yang
berparadigma positivisme-modernisasi.
Menurut Daniel Biltereyst, kedua
mazhab ini menunjukan perbedaan
signifikan dalam memandang realitas
dunia komunikasi. Pertama, paradigma
dependensi berada pada posisi
paradigma kritis, penganut kaum kiri-
progresif dan bermazhab imperialisme
Budaya Trend . Sedangkan paradigma free
9
market menganut paradigma
administratif, berposisi sebagai kaum
konservatif dan penganut mazhab free
flow of information. Kedua, kaum
dependensi melihat dominasi Amerika
sebagai wujud konspirasi hukum pasar
kapitalis yang tertanam dalam nilai-
nilai, norma dan ideologi kapitalis
Amerika dengan nilai yang sudah
distandarisasi.
Sedangkan pada free market,
merujuk pada hukum free market yang
percaya pada seleksi alamiah yang
bebas di ruang publik dan memandang
Budaya Trend sebagai nilai universal yang
bisa diterima siapapun. Ketiga, pada
dependensi konsep khalayak dilihat
sebagai entitas yang pasif dan
dianggap sebagai komoditas.
Sedangkan pada free market, khalayak
dipandang sebagai entitas yang terbuka
dan menunjukan kebutuhan dan
permintaan yang kooperatif. Keempat,
dari sudut pengaruh Budaya Trend , kaum
dependensi melihat pengaruh media
Barat menimbulkan ketergantungan
bangsa-bangsa bukan-Barat,
menciptakan homogenisasi dan
sinkronisasi Budaya Trend serta menciptakan
kesadaran dan kebutuhan palsu (false
needs and consciousness). Dan bisa
ditambahkan disini sebagai faktor
kelima bahwa teori dependensi
menggunakan teori-teori makro.
Sedangkan free market menggunakan
teori-teori mikro.
PEMBAHASAN
Kritik terhadap Teori Imperialisme
Media
Menurut para pengeritik
imperialisme media, Sriberny-
Muhammadi (2001) misalnya,
imperialisme media mengandung
problematik baik secara teoretis
maupun secara empiris. Media,
tambahnya, bukanlah faktor tunggal
dan menentukan yang mempengaruhi
khalayak. Terdapat determinan-
determinan lain yang juga
mempengaruhi khalayak seperti faktor
industri (fesyen, turisme, arsitek dll)
dan warisan pendidikan kolonial. Lagi
pula, kata yang lain, konsep
imperialisme media kurang memiliki
ketepatan definisi yang jelas. Hampir
semua pengagas teori ini, memiliki
defenisi yang sangat beragam.
Sui Nam Lee (1988) misalnya,
mengeritik konsep ini sebagai istilah
yang tidak spesifik. Namun, saat ia
menawarkan imperialisme media
digantikan dengan istilah
”imperialisme komunikasi”, juga
menimbulkan perdebatan. Selain itu,
data ekonomi dari imperialisme media
mungkin dapat diukur lewat statistik,
tapi mengukur data Budaya Trend , lebih sulit
untuk diukur. Di sini kata Golding dan
Harris (1997:5) media imperialisme
telah mencampuradukkan efek
ekonomi dan Budaya Trend secara arbitrer
(semena-mena).
Kritikus lain menyatakan
bahwa konseptualisasi tentang
polarisasi kekuatan dunia ke dalam tiga
kategori: firsth world, second world,
dan third world, dewasa ini sudah tidak
relevan lagi mengingat jatuhnya
benteng Jerman Timur sebagai babak
baru dalam sejarah dunia yang ditandai
dengan makin banyak dan
kompfleksnya realitas komunikasi
internasional dewasa ini. “US is not the
only dominant player in term of media
production”, kata Thussu (2007: 11-28
). Dalam Media on the Move, Thussu
menunjukkan gejala industri baru di
sebelah Selatan yang mulai melakukan
counter-cultureterhadap produksi
Hollywood. Tumbuhnya industri
hiburan Bollywood, telenovela di
Amerika Latin, Cina, Korea dan
sejumlah negara Timur Tengah seperti
Iran, Mesir dan Turki yang selalu
mendapat perhatian di festival
perfilman dunia. sebab itu, ia
kemudian membagi arus informasi
10
dunia ke dalam tiga kategori: global,
transnasional dan geo-cultural.
Imperialisme media pun
mengabaikan peranan khalayak yang,
menurut banyak penelitian,
menunjukkan resistensi terhadap
kepemilikan dan isi pesan dari
berbagai media asing. Straubhaar
(2000) misalnya, meperkenalkan
konsep cultural proximity yang
menunjukkan bahwa khalayak lebih
memilih program siaran yang lebih
dekat dengan ikatan kulturnya daripada
siaran Budaya Trend asing. Dalam keseharian
kita misalnya, meskipun Indovision
banyak menawarkan seperti stasiun
berita CNN, al-Jazeera atau berbagai
sumber hiburan lainnya, ternyata yang
lebih banyak ditonton adalah berita-
berita dan hiburan dari stasiun televisi
nasional sendiri. Selain hambatan
bahasa, faktor lainnya adalah sebab
alasan cultural proximity itu.
Dari temuan-temuan riset
tentang khalayak yang menggunakan
teori reception misalnya, menunjukkan
bahwa pesan yang diterima khalayak
ternyata menimbulkan pesan polisemic
yakni pesan yang tidak tunggal tetapi
beragam dan mengundang banyak
tafsir dari tiap khalayak. Ternyata,
menurut riset reception, khalayak itu
bersifat aktif saat mendapat pesan
dari luar. Menurut Fiske dan de
Certeau, khalayak dinilai sebagai
“active producers of meaning, not
consumers of media meaning”. Studi-
studi kualitatif dan etnografik oleh Ien
Ang dalam Watching Dallas (1985),
Janice Radway (1987) tentang Reading
the Romance, David Morley (1986)
tentang Family Television,
membuktikan bahwa khalayak punya
persepsi yang berbeda-beda atas isi
pesan yang diterimanya.
Kritik lainnya yang tertuju
pada imperialisme media misalnya,
selain sebab peta politik dunia yang
sudah berubah, penemuan teknologi
informasi pun sudah demikian drastis
berubah. Munculnya media baru telah
telah mengeliminasi struktur dan
sebaran isi pesan asimetrik yang
kemudian digantikan oleh pesan yang
bersifat interaktik dan simetrik. Pola
hubungan subyek-obyek sudah
ditengarai oleh konsep yang disebut
Computer-mediated communication
(CMC) sehingga melahirkan pola
hubungan yang intersubyektivitas
dalam ruang maya network society
yang bersifat egaliter dan demokratis.
Efek kultural dari media global
pun tidak lah dengan sederhana
menimbulkan homogenisasi Budaya Trend ,
tetapi globalisasi Budaya Trend telah
melahirkan cultural hybridization
yakni saling bercampur, berfusi,
berbaur dan saling menyatu antara satu
Trend dengan Trend
lainnya. Bahkan yang lain menyatakan
bahwa efek globalisasi dalam
Trend telah melahirkan
glocalization yakni hasil sintesis antara
homogenisasi Budaya Trend dengan
heterogenisasi Budaya Trend , sehingga
menimbulkan jalan tengah glokalisasi.
Sementara menurut yang lain efek
globalisasi dalam Trend telah
melahirkan heterogenisasi Budaya Trend
sehingga realitas warga semakin
plural. Kasus jilbab kaum muslimat di
berbagai negara Eropa misalnya,
bukannya “jiwa Eropa” menghilangkan
identitas khas mereka, justru
sebaliknya yang terlihat adalah
menguatkan penegakan dan perluasan
hak-hak mereka di tengah dominasi
warga yang menafikannya.
Selain itu, teori imperialisme
media tidak bisa diterapkan dalam
semua situasi, terutama terhadap
situasi kekinian yang telah
menunjukkan berbagai pergeseran
aktor negara (state-actors), non-state
actors, konvergensi teknologi
informasi dan komunikasi, ideologi
dan sistem politik dunia yang semakin
11
terbuka, plural, dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Dari
sudut worldviews teori, temuan riset
empiris dan peta dunia, relevan untuk
mengkonstruksi relasi negara dalam
dinamika komunikasi internasional
pada 1970-an. Belakangan, setelah
banyak kritik dan tanggapan serta riset
baru, pandangan dunia (worldviews)
imperialisme media perlu mendapat
berbagai revisi.
Hal lain yang juga membuat
bias teori imperialisme media,
memakai pendekatan ekonomi-politik
dengan menganalisis hubungan media
dengan kebijakan luar negeri Amerika.
Imperialisme media juga kurang
memperhatikan elit nasional di negara
berkembang yang didukung elit
dominan dalam komunikasi
internasional untuk memelihara dan
menjaga struktur ekonomi-politik elit
nasional atau lokal sendiri.
Konsentrasinya pada dampak bisnis
transnasional dan peran kekuatan
eksternal terhadap perkembangan
ekonomi dan sosial, namun
imperialisme media mengabaikan kelas
di tingkat nasional dan lokal, gender,
etnik dan relasi keuasaan antarpara
aktor
Imperialisme Budaya Trend di negara kita
Adakah imperialisme Budaya Trend di
negara kita ? Jawabannya, secara
hipotetis ada. Masalahnya seberapa
jauh derajat kualitas dan kuantitasnya,
membutuhkan satu riset. Faktor waktu,
faktor politik Trend yang dianut
rezim, dan dinamika warga ,
merupakan beberapa variabel yang
penting diperhatikan. Bila mengacu
pada kurun waktu zaman Orde Lama
misalnya, gejala imperialisme Budaya Trend
Barat melalui Budaya Trend pop seperti
musik rock and roll atau Beatless
misalnya, cukup digemari publik.
Demikian juga gejala pornografis
dalam poster, iklan, dan ilustrasi
media, sudah cukup marak. Waktu itu,
Perang Dingin antara Amerika dengan
Uni Soviet demikian kuat sehingga
negara kita berada di antara dua
pengaruh negara adikuasa tersebut.
Namun politik Trend era
Soekarno pada saat itu lebih condong
pada semangat anti-imperialisme.
sebab itu, melalui ajaran Trisaksinya:
(yakni daulat politik, daulat ekonomi
dan daulat Trend ), rezim Orla
melarang segala bentuk Trend
pop dari Barat.
Para personil Koes Ploes
misalnya, yang terpengaruh Beatless
dan Rock and Roll, sempat
dipenjarakan. Para seniman Lekra yang
“dekat” dengan PKI, dan pengaruh
politiknya cukup besar pada waktu itu,
“segera menjadi pelopor bagi gerakan
Budaya Trend yang ikut dalam arus
penentangan terhadap imperialisme
Trend ”
Mereka demikian rajin mengeritik
pemerintah agar lebih tegas menolak
Trend Nekolim. Zaman
Demokrasi Terpimpin model
Soekarno, ingin membangun politik
keBudaya Trend n dengan cara melakukan
“nasionalisasi Trend ” Caranya, dengan
menghidupkan kembali seni-seni
tradisi rakyat yang tumbuh di kalangan
komunitas dan etnis yang ada di
negara kita .
Berbeda dengan Orde Baru,
rezim Orde Baru menganut politik
Trend sebaliknya. Ia lebih
terbuka bahkan sangat lunak dengan
“imperialisme Budaya Trend ” Barat. Orde Baru
melakukan politik Trend dengan
cara: “internationalization of
culture”, Semua bentuk Trend
Barat: ilmu, teknologi dan Budaya Trend pop
dibuka dengan massif. Strategi
pembangunan ekonomi misalnya,
sangat dipengaruhi oleh ekonomi
model kapitalis. “Mafia Berkeley”
misalnya, adalah para perancang
strategi pembangunan di era Orde Baru
yang “dekat” dengan mazhab ekonomi
liberal Barat. Dalam komunitas
keilmuan saat itu, hanya ISEI yang
cukup menonjol sebab para
anggotanya banyak yang saat itu
tengah menjadi birokrat. Sementara
peran ilmu-ilmu sosial lain, Ilmu-ilmu sosial waktu itu
diperankan sebagai bagian dari narasi
besar paradigma positivisme yang
mendasari gerak modernisasi di
negara kita , sehingga strategi
pembangunan meniru (copy paste)
model strategi pembangunan
modernisasi Barat.
Keterikatan rezim Orba dengan
Bank Dunia, IMF dan WTO adalah
bagian dari ekonomi global yang sulit
dihindari untuk tidak dikatakan sebagai
bagian dari wujud imperialisme
Budaya Trend Barat. Di berbagai universitas
mulai dibuka jurusan studi
pembangunan. Adanya mata kuliah
“wiraswasta” misalnya di Fekon atau
jurnalistik pembangunan di Fikom
misalnya, adalah kasus-kasus yang
menunjukkan jejak-jejak imperialisme
Budaya Trend yang dibawa “ideologi”
modernisasi, merembes dan
“mensubversi” komunitas ilmuwan
kita. Deregulasi, privatisasi, dan
liberalisasi ekonomi model neoliberal,
telah menumpulkan peran ilmu sosial
di sudut “pinggiran”.
Demikian juga dengan
Trend pop Barat. saat rezim
Orba meluncurkan Satelit Palapa
sebagai bagian dari “open sky policy”,
industri televisi demikian pesat
berkembang. Di samping TVRI,
muncul pula banyak stasiun TV Swasta
yang menyuguhkan musik, iklan, film,
variety shows dan sinetron yang
banyak berasal dari impor Barat. Pada
1990-an misalnya, ANTV bermitra
dengan MTV yang memiliki jaringan
dengan berbagai televisi dunia. Global
TV bermitra dengan MTV yang porsi
hiburannya lebih mengangkat
Trend pop Korea. SCTV
bermitra dengan Entertaiment and
Sport Programme Network (ESPN).
Sementara Indosiar bermitra dengan
Home Box Office (HBO) yang banyak
menayangkan film-film laga layar
lebar. Dominasi iklan, sinetron, dan
film-film asing di berbagai televisi
nasional, demikian massif terutama
sebelum terjadinya krisis ekonomi
1998. Namun gejalanya mulai
berkurang setelah rezim Orba
mengalami krisis ekonomi yang
berakibat kemudian pada pergantian
rezim berikutnya.
Dalam hal iklan misalnmya, studi
Ginting menyimpulkan bahwa : ”Dari
20 yang diamati terdapat nilai-nilai
Budaya Trend asing yang menonjol yaitu
perubahan pola interaksi personal
individu, seksualitas (personal
intimacy), kecantikan (beauty), pola
hidup konsumtif, dan tingginya
penggunaan istilah asing pada iklan”
(hal.2, tanpa tahun). Demikian juga
dalam hal mode, media massa sangat
menonjol dalam menyosialisasikan
gaya hidup dan mode Barat. Hasil studi
Yohana (2009:98) pada Majalah
Gogirl misalnya, menunjukkan bahwa
rubrik fashen Hollitrend banyak
mengangkat produk Barat seperti:
harem, jumpsuit, vintage dress, bubbly
skirt, legging, ripped jeans, vest dan
bomber jacket.
Yang menarik dicatat dalam
kaitannya dengan politik keBudaya Trend n
pada rezim Orba, kebijakannya,
bersifat “dual policy” satu pihak,
membuka pintu lebar-lebar bagi
Trend Barat, namun di pihak
lain, melakukan “tekanan” terhadap
kaum intelektual dan politisi atau
kekuatan civil yang akan berpotensi
menggangu stabilitas nasional.
Demokrasi politik yang dibangun
bersifat “semu” dalam pengertian,
meskipun media massa sebagai bagian
dari “pilar keempat” demokrasi, namun
fungsi pengawasannya (watchdog
function) , hampir tidak diberi ruang
gerak yang leluasa. Demikian juga
dengan partai politik. Meskipun
terdapat tiga partai politik dengan
Golkar sebagai “the rulling party”, dan
PPP dengan PDI sebagai “oposisi”,
setidak-tidaknya “bukan partai
pemerintah”, namun kedua partai
tersebut dapat “dikendalikan” rezim
Orba. Demikian halnya dengan
kekuatan “civil society”, kelompok
Islam yang sering “mengganggu”
pemerintah, kemudian diwadahi dalam
ICMI, meskipun sebagaian elit Islam
seperti Gus Dur misalnya, sempat
mendirikan “forum demokrasi” sebagai
upaya membangun proses
demokratisasi dari bawah. Kala itu,
semua gagasan ekonomi, Budaya Trend dan
sosial diperbolehkan “bebas tanpa
syarat”, kecuali liberalisasi dan
demokrasi politik.
Dibandingkan dengan rezim
Orla, gejala imperialisme Budaya Trend Barat
pada masa Orba, tampak jauh lebih
menonjol. Cara pandang neo-liberal
dalam ekonomi yang dianut para elite
atau, cara berpakaian dan penggunaan
merk yang “branded” dari Barat,
perilaku pejabat publik dan
keluarganya yang sering berbelanja ke
luar negeri, semakin tingginya anggota
warga mengonsumsi jenis
makanan KFC, McDonald, AW dan
minuman Cola Cola misalnya, sudah
lumrah menjadi kebiasaan santapan
warga kita. Sementara itu di
bidang industri film dan musik
misalnya, hampir setiap hari televisi
yang ada di negara kita , menyuguhkan
banyak film kekerasan produk
Amerika. Jaringan bioskop seperti
Blitz dan XXI di tiap pusat kota
misalnya, dikuasai oleh film impor
Amerika. Artis-artis Hollywood sudah
cukup dikenal warga kita.
Demikian pula dalam industri musik,
lagu-lagu Barat sudah menjadi bagian
dari “makanan” keseharian anak-anak
dan remaja kita.
Era Reformasi, politik
Trend semakin terbuka lebar.
Negara seakan mengalami “stateless”
dalam kaitannya dengan gerak
imperialisme Budaya Trend . Globalisasi yang
semakin intensif dan mendatangkan
perkembangan teknologi informasi
yang bersifat interaktif, maka sumber
pengetahuan tidak saja datang dari
media konvensional, tetapi juga dari
inkonvensional saat warga
semakin gandrung memanfaatkan
media sosial yang di era reformasi ini
semakin massif. Dalam pada itu, rezim
reformasi bukan saja akrab dan terbuka
dengan imperialisme Budaya Trend Barat dan
non-Barat, melainkan telah membuka
“kotak pendora” bagi liberalisasi
politik yang selama ini “disandra”
rezim Orba sehingga melahirkan
kembali sistem multipartai dan
pemilihan langsung presiden, gubernur
dan walikota-bupati. Di era multimedia
sekarang, para pejabat publik dan
politisi, ibarat selebriti yang main
sinetron penuh “dramatik” di televisi
dan media sosial yang kemudian
menjadi bgagian dari Trend pop.
Baju kota-kotak ala Jokowi misalnya,
telah menjadi bagian dari Trend
pop warga .
Pemanfaatan media sosial, bukan
saja telah meningkatkan partisipasi
politik warga dalam pilkada atau
pilpres, melainkan juga hak untuk
memilih produk Trend pop yang
datang dari tiap penjuru dunia.
Kegandrungan remaja kota terhadap
K-Pop yang membuat boyband dan
girlband asal Korea menjadi
trendsetter, menurut hasil riset S2
komunikasi UI, itu akibat akses
internet , Demikian
juga dengan Trend pop dari
Jepang, Peranc is, Inggris, Spanyol,
Timur Tengah seperti musik nasyid
misalnya, dengan mudah diakes
melalui internet. Jadi, media massa
maupun media sosial dewasa ini telah
menjadi sumber utama bagi akselerasi
dan sosialisdasi Budaya Trend pop dunia.
Akibatnya, imperialisme Budaya Trend Barat
dan non-Barat semakin deras merasuki
kalangan warga negara kita .
Imperialisme Budaya Trend di era
reformasi, tampak semakin menonjol
dibandingkan era rezim Orba. Sebab
kualitas dan intensitasnya, frekuensi
dan bobotnya, semakin lebar, luas dan
merasuk segala sendi-sendi kehidupan
ekonomi, politik dan Budaya Trend .
Imperialisme yang datang sekarang,
bukan hanya dari Barat melainkan juga
dari non-Barat. Sudah lama orang kita
juga mengenal dan mengapresiasi film
dan musik India, Cina, Jepang dan
sekarang yang cukup digandrungi
adalah musik Korea. Musik dan film
dari Timur Tengah pun dewasa ini
sudah mulai diapresiasi. Festival-
festival film di Barat misalnya, banyak
juga dimenangkan oleh Iran, termasuk
negara kita . Makanan Cina, Jepang
termasuk makanan Timur Tengah
seperti kebab dan nasi kebuli, bukanlah
makanan asing lagi bagi warga
negara kita .
Hal yang menarik, akibat
“desakan” imperialisme Budaya Trend yang
datang dari segala arah, muncul juga
gerakan counter-culture (perlawanan)
Budaya Trend untuk menguatkan indigeneous
culture (Budaya Trend asli) kita. Pemerintah
daerah di sebagian kota dan propinsi,
telah mewajibkan penggunaan bahasa
daerah dan pakaian khas subkulturnya
masing-masing. Busana batik pun
sudah lama dijadikan pakaian nasional
kita, termasuk beberapa jenis musik
seperti angklung dan tarian daerah
yang dipakai untuk menyambut para
tamu negara dan dijadikan “alat”
diplomasi publik dalam pertemuan
antarBudaya Trend di mancanegara. Gejala
busana muslimah yang tradisinya
sudah mendunia dan semakin menjadi
“trendi” sekarang, merupakan bagian
dari counter-culture dari kaum
muslimat dunia terhadap cara
berbusana Barat.
Menonjolnya imperialisme
Budaya Trend di semua sektor kerhidupan
dewasa ini, telah melahirkan kesadaran
politik dari elite politik sehingga
muncul wacana baru tentang
pentingnya kedaulatan ekonomi,
politik dan Budaya Trend sebagai materi
utama kampanye politik pada kedua
calon Capres dan Cawapres Prabowo-
Hatta dan Jokowi-JK saat Pilpres 2014
kemarin. Apalagi saat pilres
dimenangkan pasangan Jokowi-JK,
maka semangat menghadirkan kembali
semangat Trisakti, akan menjadi basis
legitimasi yang kokoh bagi perjalanan
pemerintahan atau rezim baru
mendatang. Sayangnya, dukungan
partai-partai koalisi pemerintah di
parlemen hasil Pemilu 2014 lalu, tidak
memberi topangan cukup kuat
dibandingkan koalisi partai yang kalah
bertarung pada pilpres lalu, membuat
efektivitas kabinet Jokowi-JK, berada
dalam situasi yang spekulatif.
Kemenangan partai non-
pemerintah dalam mengembalikan
pilkada langsung menjadi tidak
langsung, MD3 dan pemilihan
pimpinan DPR, apakah merupakan
isyarat sebagai langkah taktis untuk
menopang strategi menguatkan
identitas politik keBudaya Trend n nasional,
atau sekedar “balas dendam” jangka
pendek agar rezim Jokowi-JK menjadi
tidak efektif dan akhirnya tidak
memberi kontribusi bagi ikhtiar
melemahkan imperialisme Budaya Trend
yang dewasa ini semakin menggurita?.
Di atas permaianan politik jangka
pendek dan situasional ini, yakin
bahwa dil ubuk hati terdalam para
elite, sudah terbentuk kesadaran
bersama akan mimpi sebuah bangsa
yang “dibayangkan”: kuat dalam
ekonomi, politik dan Trend !.