kerajaan lumajang




 SEJARAH  LUMAJANG /LAMAJANG
 
Nama Lumajang berasal dari kata "LAMAJANG" yang diketahui dari hasil 
penelusuran Sejarah, data Prasasti, Naskah-naskah Kuno, bukti-bukti Petilasan dan hasil 
kajian pada beberapa seminar. 
Beberapa bukti peninggalan sejarah yang menyebut-menyebut tentang  
Lumajang adalah : 
1. Prasasti Mula Malurung  
2. Naskah Negara Kertagama  
3. Kitab Pararaton  
4. Kidung Harsa Wijaya  
5. Kitab Pujangga Manik  
6. Serat Babat Tanah Jawi  
7. Serat Kanda 
8. Kidung Sorandaka 
9. Kidung Panji Wijayakrama 
10. Kidung Ranggalawe 
11. Prasasti Kudadu 
12. Prasasti Sukamerta 
 Pada masa Kerajaan Kediri (abad XII), Lamajang yang merupakan wilayah dari 
Kerajaan Kediri pada masa itu sudah banyak dikunjungi oleh warga  dari berbagai 
penjuru Nusantara dan mereka yang datang itu selain untuk melakukan ritual upacara 
persembayangan juga untuk memperdalam agama Hindu yang pada masa itu berkembang 
pesat di wilayah Kerajaan Kediri. 
  Lamajang menjadi sentra agama Hindu pada masa itu dikarenakan daerah ini 
berada di lereng Gunung Semeru yang mana disebutkan di dalam Kitab Tantu 
Pagelaran bahwa Dewa Shiwa bersama dengan Dewa Brahma dan Dewa Wishnu 
memindahkan puncak Gunung Mahameru di India ke atas Pulau Jawa yang karena 
kondisinya pulau ini  masih terombang-ambing di lautan luas dan sering berguncang 
dan kemudian puncak Gunung Mahameru ini  sekarang dikenal dengan nama 
Gunung Semeru yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para Dewa.                                   
Dan itulah sebabnya Pura Mandhara Giri Semeru Agung yang berada di Lumajang 
diyakini oleh Umat Hindu sebagai Pura yang dituakan se Asia Tenggara karena diyakini 
dahulu merupakan tempat persembayangan yang berada di lereng Gunung Semeru. 
  
 
Pada masa kekuasaan Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri pada tahun 1182 
M, Bumi Lamajang sudah dikenal dan mempunyai arti penting sebagai tempat ritual 
menuju Gunung Semeru dan dalam perkembangannya di daerah ini juga dikembangkan 
sentra-sentra keagamaan karena kepentingan ritual para pejabat Kerajaan Kediri pada 
waktu itu sehingga mereka perlu membuat tempat-tempat yang bisa disinggahi dalam 
perjalanannya untuk melakukan ritual ke Gunung Semeru. 
 Beberapa peninggalan sejarah banyak diketemukan di Kabupaten Lumajang yang 
merupakan fakta Sejarah antara ialah : Arca Pada (dua arca yang berada di puncak 
gunung Semeru sebagai tempat pemujaan), Prasasti Ranu Kumbolo (yang menjelaskan 
bahwa Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri merupakan raja yang pertama dan secara 
resmi memelopori perjalanan suci pendakian ke puncak Gunung Semeru). Prasasti 
Tesirejo (prasasti yang diketemukan di Dusun Tesirejo Desa Kertosari Kecamatan 
Pasrujambe berangka tahun 1113 Saka atau tahun 1191 M dan dari data prasasti ini 
diperkirakan pada masa kekuasaan Raja Kertajaya dari Kerajaan Daha, sehingga dapat 
diduga bahwa ada hubungan erat antara Kerajaan Daha dengan daerah Lumajang pasca 
Raja Kameswara) , Prasasti Pasrujambe serta situs-situs yang tersebar di wilayah 
Kabupaten Lumajang seperti Situs Kedung Moro di Kecamatan Kunir, Situs Candi 
Gedung Putri di Kecamatan Candipuro  yang diperkirakan bekas Pura untuk 
persembayangan Umat Hindu pada masa lalu. 
 Ketika Kerajaan Kediri runtuh dan digantikan dengan munculnya Kerajaan 
Singasari, maka Lumajang masih tetap menjadi suatu daerah yang banyak dikunjungi 
oleh warga  dari berbagai penjuru Nusantara termasuk Raja dan para Bangsawan 
Kerajaan Singasari untuk melakukan ritual persembayangan di daerah lereng Semeru 
ini . Waktu terus berlalu, dari Raja Singasari yang pertama hingga Raja Singasari 
yang keempat yaitu Ranggawuni atau Wishnuwardana atau yang dikenal dengan 
Nararya Sminingrat meletakkan tonggak sejarah baru di Bumi Lamajang, sebagaimana 
yang tertuang di dalam Prasasti Mulamalurung lempengan VII halaman a baris 1 – 3, 
yang menyebutkan bahwa pada tahun 1177 Saka (1255 M) Nararya Kirana dinobatkan 
sebagai penguasa Lamajang oleh ayahnya Raja Singasari Nararya Sminingrat dan sejak 
saat itulah Nararya Kirana sebagai penguasa Lumajang yang pertama kali. 
Ketika Kerajaan Singasari runtuh yang mana dijelaskan didalam Kitab 
Pararaton dan Prasasti Kudadu bahwa runtuhnya Kerajaan Singasari terjadi pada tahun 
1292 M akibat dari pemberontakan Jayakatwang (Adipati Gelang-gelang). Pasukan 
kerajaan Singasari yang pada waktu itu dikerahkan dalam ekspedisi Pamelayu untuk 
menghadapi serangan pasukan Mongol sebagai akibat diciderainya Meng Chi utusan 
Khubilai Khan yang datang ke Singasari pada tahun 1289 untuk meminta pengakuan 
Raja Kertanegara tunduk terhadap kekaisaran Mongol sehingga pada saat itu kerajaan 
Singasari menjadi sangat lemah dibidang pertahannya karena sebagian besar kekuatan 
pasukannya dikirimkan untuk menghadang kekuatan pasukan Mongol.  
 Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Jayakatwang untuk 
menyerang Singasari karena kerajaan leluhurnya yaitu Kediri pernah dihancurkan oleh 
leluhur Kertanegara yaitu Sri Rajasa (Ken Arok). 
Didalam penyerangan ini  Singasari diserang dari arah utara dan selatan dimana 
untuk menghadapi serangan dari utara pasukan Singasari dipimpin oleh Raden Wijaya 
(menantu Raja Kertanegara) dan Ardharaja. Namun rupanya serangan dari utara ini  
hanya sebagai pancingan belaka karena serangan yang besar-besaran justru dari arah 
selatan yang dipimpin langsung oleh Jayakatwang hingga mampu menghancurkan 
seluruh kekuatan kerajaan Singasari dan berhasil membunuh Raja Kertanegara. Sejak saat 
itulah riwayat Kerajaan Singasari berakhir yang sejak berdirinya kerajaan ini pada tahun 
1222 M. 
Menyadari telah runtuhnya kerajaan Singasari serta telah terbunuhnya Raja 
Kertanegara maka kemudian Raden Wijaya menuju ke Terung (suatu daerah di utara 
Singasari), namun karena terus dikejar oleh musuh akhirnya memutuskan terus bergerak 
ke arah timur dan berkat bantuan Kepala Desa Kudadu ia akhirnya berhasil 
menyeberangi selat Madura untuk bertemu dengan Arya Wiraraja yang pada saat itu 
menjabat sebagai Adipati Sungenep (Sumenep). Arya Wiraraja yang pada saat mudanya 
pernah mengabdi kepada Narasingamurti (kakek Raden Wijaya), maka tentunya 
kedatangan Raden Wijaya beserta para pengikutnya disambut baik oleh Arya Wiraraja di 
Sungenep. 
Akhirnya Raden Wijaya bersama dengan Arya Wiraraja merencanakan siasat 
untuk merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Jayakatwang dan Raden Wijaya 
berjanji kepada Arya Wiraraja apabila berhasil mengalahkan Jayakatwang maka daerah 
kekuasaannya akan dibagi dua dengannya. Dengan bantuan Arya Wiraraja kemudian 
Raden Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang dengan maksud untuk mengabdi 
kepada kerajaan Kediri. 
Mendengar berita itu kemudian Jayakatwang mengirim utusannya untuk 
menjemput Raden Wijaya dan Arya di Pelabuhan Jungbiru dan selanjutnya dibawa 
menghadap ke Jayakatwang di kerajaan Kediri. 
Untuk membuktikan kesetiaan Raden Wijaya ini  kemudian Jayakatwang 
memerintahkan untuk membuka Hutan Tarik yang kemudian daerah ini dikenal dengan 
nama Wilwatikta sebagai kawasan wisata berburu bagi Jayakatwang dan sekaligus 
sebagai tempat bermukim Raden Wijaya. Ketika Raden Wijaya membuka Hutan Tarik, 
Arya Wiraraja kemudian mengirim orang-orang Sungenep untuk membantu Raden 
Wijaya didalam melaksanakan tugas ini . 
Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang berasal dari Sungenep 
ini  menemukan buah Maja yang rasanya pahit sehingga kemudian desa pemukiman 
ini  oleh Raden Wijaya diberi nama Majapahit. Didalam catatan Dinasti Yuan 
berdasarkan Naskah Yuan Shi mengisahkan bahwa pada tahun 1293 M Pasukan Mongol 
sebanyak 20.000 orang bersama 1.000 kapal dengan bekal selama 1 tahun serta biaya 
sebesar 40.000 batangan perak diberangkatkan dari pelabuhan Chuan Chou menuju 
Jawadwipa (Jawa) untuk menghukum Raja Kertanegara yang telah menghina utusannya 
dan pasukan Mongol ini tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293 M, 
disini mereka mempersiapakan penyerangan ke Jawa selama 1 bulan.  
Adapun pimpinan pasukan kerajaan Mongol ini  terdiri dari Shi Bi (orang 
Mongol), Ike Mese (orang Uyghur) dan Gaoxing (orang Cina). 
Penyerbuan pasukan Mongol ke tanah Jawa itu selain ditulis didalam sejarah Dinasti 
Yuan juga ditulis pada Kidung Harsawijaya dan Kidung Ranggalawe. Kedatangan 
pasukan Mongol ini kemudian dimanfaatkan oleh Raden Wijaya setelah memperoleh 
saran dari Arya Wiraraja untuk menyerang Jayakatwang yang pada saat itu menjadi Raja 
Kediri setelah menghancurkan kerajaan Singasari. 
Pasukan Mongol yang dibantu oleh Pasukan Raden Wijaya dan pasukan 
Aryawiraraja akhirnya berhasil menghancurkan pasukan kerajaan Kediri dan selain 
Raden Wijaya yang terlibat didalam penyerangan ini  juga terdapat Lembu Sora dan 
Ranggalawe yang bergabung bersama pasukan Mongol menyerang kerajaan Kediri. 
Kisah penyerangan pasukan Mongol terhadap kerajaan Kediri ini  juga diceritakan 
didalam Yuan Shi yang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293 M, akhirnya Jayakatwang 
berhasil ditawan oleh pasukan Mongol dan dibawa ke Ujung Galuh yang sebelum 
meninggal berhasil menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir 
Polaman.    
Dengan dihancurkannya kerajaan Kediri ini  maka berakhirlah kekuasaan 
kerajaan Kediri. Setelah berhasil mengalahkan kerajaan Kediri, kemudian pada saat 
mereka merayakan kemenangannya ini  dalam suasana berpesta secara tiba-tiba 
pasukan Raden Wijya dan pasukan Arya Wiraraja berbalik melakukan penyerangan 
kepada pasukan Mongol ini  dan hasilnya sebagian besar mereka terbunuh dan 
sisanya melarikan diri ke pantai Ujunggaluh untuk kembali ke negerinya. 
Dengan telah runtuhnya Kerajaan Kediri ini  kemudian Raden Wijaya 
mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat dirinya sebagai Raja Majapahit yang 
pertama. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan Raden Wijaya sebagai Raja 
Majapahit yang pertama bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana terjadi pada tanggal 
15 bulan Kartika tahun 1215 Saka atau bertepatan tanggal 12 Nopember 1293 M dan 
Mahapatih pertama kerajaan Majapahit adalah Nambi kemudian kerajaan Majapahit 
inilah yang kelak menjadi kerajaan besar yang mampu mempersatukan Nusantara. 
       Setelah berdirinya kerajaan Majapahit dengan rajanya Raden Wijaya (Sri 
Kertarajasa Jayawardhana) yang terjadi pada tahun1293 M, maka sebagai janji Raden 
Wijaya kepada Arya Wiraraja atas jasanya didalam menghancurkan kerajaan Kediri 
kemudian dianugerahkan separuh dari luas wilayah Kerajaan Majapahit (wilayah 
Majapahit sebelah timur) kepada Arya Wiraraja yang kemudian kerajaan ini dikenal 
dengan sebutan Kerajaan Lamajang Tigang Juru. 
Arya Wiraraja (Banyak Wide) dinobatkan sebagai raja Kerajaan Lamajang 
Tigang Juru pada hari Kamis Legi, Wuku Landep, tanggal 25 bulan Bhadrapada 
(bulan Karo) tahun 1216 Saka atau tanggal 26 Agustus 1294 M. Keraton Kerajaan 
Lamajang Tigang Juru berada di Arnon (sekarang Kutorenon) dan terdapat juga benteng 
pertahanan yang sangat kokoh seluas 135 Ha. Kerajaan Lamajang Tigang Juru merupaka 
suatu kerajaan otonom yang tidak berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit serta 
kedua kerajaan ini saling menjalin hubungan baik diatara keduanya. 
Luas wilayah Kerajaan Lamajang Tigang Juru meliputi wilayah Lamajang, Besuki 
dan Blambangan hingga sampai ke Bali (meliputi Madura, Pasuruan, Probolinggo, 
Lumajang, Situbondo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi hingga Bali) dan hingga saat ini 
keturunan dari Raja Arya Wiraraja yang berada di Bali yang tergabung dalam komunitas 
Paiketan Wang Bang Pinatih masih tetap mengakui sebagai keturunan raja dari 
Lumajang. 
Selain mengalami masa kejayaannya, keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru 
juga menjadi awal berkembangnya kesenian Pandalungan yang pada saat ini tersebar di 
wilayah tapal Kuda Jawa Timur yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan dari 
Kerajaan Lamajang Tigang Juru.       
Arya Wiraraja menjadi Raja di Kerajaan Lamajang Tigang Juru dengan dicintai oleh 
seluruh rakyatnya serta berhasil membangun kerajaannya dengan damai makmur dan 
sejahtera hingga sampai akhir hayatnya berada di Bumi Lamajang. 
 Ketika mendengar kabar bahwa Arya Wiraraja meninggal dunia, maka Nambi 
yang pada saat itu masih menjabat sebagai Maha patih Majapahit dengan Rajanya 
Jayanegara (putra dari Raden Wijaya) kemudian memohon ijin kepada Raja Jayanegara 
untuk pulang ke Lamajang dalam suasana berkabung karena ayahnya meninggal dunia. 
Namun karena akal licik dari Halayudha (seorang pejabat Kerajaan Majapahit yang 
mengincar kedudukan Mahapatih Nambi) kemudian disampaikan kepada Raja 
Jayanegara bahwa Mahapatih Nambi tidak akan kembali ke Majapahit dan pada saat ini 
sedang menyusun kekuatan untuk menyerang Kerajaan Majapahit, mendengar berita itu 
kemudian Raja Jayanegara segera menyerang Mahapatih Nambi yang saat itu berada di 
Lamajang.  Nambi tidak pernah menduga akan mendapat serangan besar dari Majapahit 
sehingga Kerajaan Lamajang berhasil dihancurkan dan Nambi berhasil dibunuh pada 
penyerangan besar itu. 
 Kisah ini diabadikan didalam Kitab Negarakretagama tentang runtuhnya 
Kerajaan Lamajang yang terjadi pada tahun 1316 M. Buntut dari penyerangan Kerajaan 
Majapahit terhadap kerajaan Lamajang ini  adalah terjadinya peperangan-peperangan 
yang sporadis dilakukan oleh beberapa kerajaan kecil diwilayah Kerajaan Lamajang 
seperti Sadeng, Blambangan dan yang lainnya yang merasa tidak puas atas 
dihancurkannya Kerajaan Lamajang oleh Kerajaan majapahit. 
 Ketika Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M dan mulai munculnya 
Kerajaan Islam di tanah Jawa, keadaan ini membawa pengaruh terhadap keadaan 
Lumajang pada saat itu.  Dibawah pemerintahan Panembahan Senopati dari Kerajaan 
Mataram Islam, daerah Lumajang dan sekitarnya berhasil direbut  kembali dibawah  
kekuasaan Kerajaan Mataram Islam pada saat penaklukan daerah sebelah timur Lamajang 
(sekarang Lumajang) dan Renong (sekarang Kutorenon) oleh pasukan Kerjaan Mataram 
Islam yang dipimpin Ki Tumenggung Alap-alap yang berada di daerah Winongan atas 
perintah Raden Suro Tani. 
 Inilah sebuah perjalanan panjang Sejarah Lamajang yang telah mengukir sejarah 
masa lalunya di Bumi Lamajang, semoga kesemuanya itu bisa kita jadikan suatu 
pembelajaran bagaimana kita sebagai pewaris Bumi Lamajang ini mempunyai spirit 
untuk mampu membangun kembali Bumi Lamajang ini kedepan dengan lebih baik bagi 
warga  di Bumi Lamajang.