kerajaan lumajang
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
kerajaan lumajang
SEJARAH LUMAJANG /LAMAJANG
Nama Lumajang berasal dari kata "LAMAJANG" yang diketahui dari hasil
penelusuran Sejarah, data Prasasti, Naskah-naskah Kuno, bukti-bukti Petilasan dan hasil
kajian pada beberapa seminar.
Beberapa bukti peninggalan sejarah yang menyebut-menyebut tentang
Lumajang adalah :
1. Prasasti Mula Malurung
2. Naskah Negara Kertagama
3. Kitab Pararaton
4. Kidung Harsa Wijaya
5. Kitab Pujangga Manik
6. Serat Babat Tanah Jawi
7. Serat Kanda
8. Kidung Sorandaka
9. Kidung Panji Wijayakrama
10. Kidung Ranggalawe
11. Prasasti Kudadu
12. Prasasti Sukamerta
Pada masa Kerajaan Kediri (abad XII), Lamajang yang merupakan wilayah dari
Kerajaan Kediri pada masa itu sudah banyak dikunjungi oleh warga dari berbagai
penjuru Nusantara dan mereka yang datang itu selain untuk melakukan ritual upacara
persembayangan juga untuk memperdalam agama Hindu yang pada masa itu berkembang
pesat di wilayah Kerajaan Kediri.
Lamajang menjadi sentra agama Hindu pada masa itu dikarenakan daerah ini
berada di lereng Gunung Semeru yang mana disebutkan di dalam Kitab Tantu
Pagelaran bahwa Dewa Shiwa bersama dengan Dewa Brahma dan Dewa Wishnu
memindahkan puncak Gunung Mahameru di India ke atas Pulau Jawa yang karena
kondisinya pulau ini masih terombang-ambing di lautan luas dan sering berguncang
dan kemudian puncak Gunung Mahameru ini sekarang dikenal dengan nama
Gunung Semeru yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para Dewa.
Dan itulah sebabnya Pura Mandhara Giri Semeru Agung yang berada di Lumajang
diyakini oleh Umat Hindu sebagai Pura yang dituakan se Asia Tenggara karena diyakini
dahulu merupakan tempat persembayangan yang berada di lereng Gunung Semeru.
Pada masa kekuasaan Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri pada tahun 1182
M, Bumi Lamajang sudah dikenal dan mempunyai arti penting sebagai tempat ritual
menuju Gunung Semeru dan dalam perkembangannya di daerah ini juga dikembangkan
sentra-sentra keagamaan karena kepentingan ritual para pejabat Kerajaan Kediri pada
waktu itu sehingga mereka perlu membuat tempat-tempat yang bisa disinggahi dalam
perjalanannya untuk melakukan ritual ke Gunung Semeru.
Beberapa peninggalan sejarah banyak diketemukan di Kabupaten Lumajang yang
merupakan fakta Sejarah antara ialah : Arca Pada (dua arca yang berada di puncak
gunung Semeru sebagai tempat pemujaan), Prasasti Ranu Kumbolo (yang menjelaskan
bahwa Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri merupakan raja yang pertama dan secara
resmi memelopori perjalanan suci pendakian ke puncak Gunung Semeru). Prasasti
Tesirejo (prasasti yang diketemukan di Dusun Tesirejo Desa Kertosari Kecamatan
Pasrujambe berangka tahun 1113 Saka atau tahun 1191 M dan dari data prasasti ini
diperkirakan pada masa kekuasaan Raja Kertajaya dari Kerajaan Daha, sehingga dapat
diduga bahwa ada hubungan erat antara Kerajaan Daha dengan daerah Lumajang pasca
Raja Kameswara) , Prasasti Pasrujambe serta situs-situs yang tersebar di wilayah
Kabupaten Lumajang seperti Situs Kedung Moro di Kecamatan Kunir, Situs Candi
Gedung Putri di Kecamatan Candipuro yang diperkirakan bekas Pura untuk
persembayangan Umat Hindu pada masa lalu.
Ketika Kerajaan Kediri runtuh dan digantikan dengan munculnya Kerajaan
Singasari, maka Lumajang masih tetap menjadi suatu daerah yang banyak dikunjungi
oleh warga dari berbagai penjuru Nusantara termasuk Raja dan para Bangsawan
Kerajaan Singasari untuk melakukan ritual persembayangan di daerah lereng Semeru
ini . Waktu terus berlalu, dari Raja Singasari yang pertama hingga Raja Singasari
yang keempat yaitu Ranggawuni atau Wishnuwardana atau yang dikenal dengan
Nararya Sminingrat meletakkan tonggak sejarah baru di Bumi Lamajang, sebagaimana
yang tertuang di dalam Prasasti Mulamalurung lempengan VII halaman a baris 1 – 3,
yang menyebutkan bahwa pada tahun 1177 Saka (1255 M) Nararya Kirana dinobatkan
sebagai penguasa Lamajang oleh ayahnya Raja Singasari Nararya Sminingrat dan sejak
saat itulah Nararya Kirana sebagai penguasa Lumajang yang pertama kali.
Ketika Kerajaan Singasari runtuh yang mana dijelaskan didalam Kitab
Pararaton dan Prasasti Kudadu bahwa runtuhnya Kerajaan Singasari terjadi pada tahun
1292 M akibat dari pemberontakan Jayakatwang (Adipati Gelang-gelang). Pasukan
kerajaan Singasari yang pada waktu itu dikerahkan dalam ekspedisi Pamelayu untuk
menghadapi serangan pasukan Mongol sebagai akibat diciderainya Meng Chi utusan
Khubilai Khan yang datang ke Singasari pada tahun 1289 untuk meminta pengakuan
Raja Kertanegara tunduk terhadap kekaisaran Mongol sehingga pada saat itu kerajaan
Singasari menjadi sangat lemah dibidang pertahannya karena sebagian besar kekuatan
pasukannya dikirimkan untuk menghadang kekuatan pasukan Mongol.
Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Jayakatwang untuk
menyerang Singasari karena kerajaan leluhurnya yaitu Kediri pernah dihancurkan oleh
leluhur Kertanegara yaitu Sri Rajasa (Ken Arok).
Didalam penyerangan ini Singasari diserang dari arah utara dan selatan dimana
untuk menghadapi serangan dari utara pasukan Singasari dipimpin oleh Raden Wijaya
(menantu Raja Kertanegara) dan Ardharaja. Namun rupanya serangan dari utara ini
hanya sebagai pancingan belaka karena serangan yang besar-besaran justru dari arah
selatan yang dipimpin langsung oleh Jayakatwang hingga mampu menghancurkan
seluruh kekuatan kerajaan Singasari dan berhasil membunuh Raja Kertanegara. Sejak saat
itulah riwayat Kerajaan Singasari berakhir yang sejak berdirinya kerajaan ini pada tahun
1222 M.
Menyadari telah runtuhnya kerajaan Singasari serta telah terbunuhnya Raja
Kertanegara maka kemudian Raden Wijaya menuju ke Terung (suatu daerah di utara
Singasari), namun karena terus dikejar oleh musuh akhirnya memutuskan terus bergerak
ke arah timur dan berkat bantuan Kepala Desa Kudadu ia akhirnya berhasil
menyeberangi selat Madura untuk bertemu dengan Arya Wiraraja yang pada saat itu
menjabat sebagai Adipati Sungenep (Sumenep). Arya Wiraraja yang pada saat mudanya
pernah mengabdi kepada Narasingamurti (kakek Raden Wijaya), maka tentunya
kedatangan Raden Wijaya beserta para pengikutnya disambut baik oleh Arya Wiraraja di
Sungenep.
Akhirnya Raden Wijaya bersama dengan Arya Wiraraja merencanakan siasat
untuk merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Jayakatwang dan Raden Wijaya
berjanji kepada Arya Wiraraja apabila berhasil mengalahkan Jayakatwang maka daerah
kekuasaannya akan dibagi dua dengannya. Dengan bantuan Arya Wiraraja kemudian
Raden Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang dengan maksud untuk mengabdi
kepada kerajaan Kediri.
Mendengar berita itu kemudian Jayakatwang mengirim utusannya untuk
menjemput Raden Wijaya dan Arya di Pelabuhan Jungbiru dan selanjutnya dibawa
menghadap ke Jayakatwang di kerajaan Kediri.
Untuk membuktikan kesetiaan Raden Wijaya ini kemudian Jayakatwang
memerintahkan untuk membuka Hutan Tarik yang kemudian daerah ini dikenal dengan
nama Wilwatikta sebagai kawasan wisata berburu bagi Jayakatwang dan sekaligus
sebagai tempat bermukim Raden Wijaya. Ketika Raden Wijaya membuka Hutan Tarik,
Arya Wiraraja kemudian mengirim orang-orang Sungenep untuk membantu Raden
Wijaya didalam melaksanakan tugas ini .
Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang berasal dari Sungenep
ini menemukan buah Maja yang rasanya pahit sehingga kemudian desa pemukiman
ini oleh Raden Wijaya diberi nama Majapahit. Didalam catatan Dinasti Yuan
berdasarkan Naskah Yuan Shi mengisahkan bahwa pada tahun 1293 M Pasukan Mongol
sebanyak 20.000 orang bersama 1.000 kapal dengan bekal selama 1 tahun serta biaya
sebesar 40.000 batangan perak diberangkatkan dari pelabuhan Chuan Chou menuju
Jawadwipa (Jawa) untuk menghukum Raja Kertanegara yang telah menghina utusannya
dan pasukan Mongol ini tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293 M,
disini mereka mempersiapakan penyerangan ke Jawa selama 1 bulan.
Adapun pimpinan pasukan kerajaan Mongol ini terdiri dari Shi Bi (orang
Mongol), Ike Mese (orang Uyghur) dan Gaoxing (orang Cina).
Penyerbuan pasukan Mongol ke tanah Jawa itu selain ditulis didalam sejarah Dinasti
Yuan juga ditulis pada Kidung Harsawijaya dan Kidung Ranggalawe. Kedatangan
pasukan Mongol ini kemudian dimanfaatkan oleh Raden Wijaya setelah memperoleh
saran dari Arya Wiraraja untuk menyerang Jayakatwang yang pada saat itu menjadi Raja
Kediri setelah menghancurkan kerajaan Singasari.
Pasukan Mongol yang dibantu oleh Pasukan Raden Wijaya dan pasukan
Aryawiraraja akhirnya berhasil menghancurkan pasukan kerajaan Kediri dan selain
Raden Wijaya yang terlibat didalam penyerangan ini juga terdapat Lembu Sora dan
Ranggalawe yang bergabung bersama pasukan Mongol menyerang kerajaan Kediri.
Kisah penyerangan pasukan Mongol terhadap kerajaan Kediri ini juga diceritakan
didalam Yuan Shi yang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293 M, akhirnya Jayakatwang
berhasil ditawan oleh pasukan Mongol dan dibawa ke Ujung Galuh yang sebelum
meninggal berhasil menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir
Polaman.
Dengan dihancurkannya kerajaan Kediri ini maka berakhirlah kekuasaan
kerajaan Kediri. Setelah berhasil mengalahkan kerajaan Kediri, kemudian pada saat
mereka merayakan kemenangannya ini dalam suasana berpesta secara tiba-tiba
pasukan Raden Wijya dan pasukan Arya Wiraraja berbalik melakukan penyerangan
kepada pasukan Mongol ini dan hasilnya sebagian besar mereka terbunuh dan
sisanya melarikan diri ke pantai Ujunggaluh untuk kembali ke negerinya.
Dengan telah runtuhnya Kerajaan Kediri ini kemudian Raden Wijaya
mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat dirinya sebagai Raja Majapahit yang
pertama. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan Raden Wijaya sebagai Raja
Majapahit yang pertama bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana terjadi pada tanggal
15 bulan Kartika tahun 1215 Saka atau bertepatan tanggal 12 Nopember 1293 M dan
Mahapatih pertama kerajaan Majapahit adalah Nambi kemudian kerajaan Majapahit
inilah yang kelak menjadi kerajaan besar yang mampu mempersatukan Nusantara.
Setelah berdirinya kerajaan Majapahit dengan rajanya Raden Wijaya (Sri
Kertarajasa Jayawardhana) yang terjadi pada tahun1293 M, maka sebagai janji Raden
Wijaya kepada Arya Wiraraja atas jasanya didalam menghancurkan kerajaan Kediri
kemudian dianugerahkan separuh dari luas wilayah Kerajaan Majapahit (wilayah
Majapahit sebelah timur) kepada Arya Wiraraja yang kemudian kerajaan ini dikenal
dengan sebutan Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Arya Wiraraja (Banyak Wide) dinobatkan sebagai raja Kerajaan Lamajang
Tigang Juru pada hari Kamis Legi, Wuku Landep, tanggal 25 bulan Bhadrapada
(bulan Karo) tahun 1216 Saka atau tanggal 26 Agustus 1294 M. Keraton Kerajaan
Lamajang Tigang Juru berada di Arnon (sekarang Kutorenon) dan terdapat juga benteng
pertahanan yang sangat kokoh seluas 135 Ha. Kerajaan Lamajang Tigang Juru merupaka
suatu kerajaan otonom yang tidak berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit serta
kedua kerajaan ini saling menjalin hubungan baik diatara keduanya.
Luas wilayah Kerajaan Lamajang Tigang Juru meliputi wilayah Lamajang, Besuki
dan Blambangan hingga sampai ke Bali (meliputi Madura, Pasuruan, Probolinggo,
Lumajang, Situbondo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi hingga Bali) dan hingga saat ini
keturunan dari Raja Arya Wiraraja yang berada di Bali yang tergabung dalam komunitas
Paiketan Wang Bang Pinatih masih tetap mengakui sebagai keturunan raja dari
Lumajang.
Selain mengalami masa kejayaannya, keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru
juga menjadi awal berkembangnya kesenian Pandalungan yang pada saat ini tersebar di
wilayah tapal Kuda Jawa Timur yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan dari
Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Arya Wiraraja menjadi Raja di Kerajaan Lamajang Tigang Juru dengan dicintai oleh
seluruh rakyatnya serta berhasil membangun kerajaannya dengan damai makmur dan
sejahtera hingga sampai akhir hayatnya berada di Bumi Lamajang.
Ketika mendengar kabar bahwa Arya Wiraraja meninggal dunia, maka Nambi
yang pada saat itu masih menjabat sebagai Maha patih Majapahit dengan Rajanya
Jayanegara (putra dari Raden Wijaya) kemudian memohon ijin kepada Raja Jayanegara
untuk pulang ke Lamajang dalam suasana berkabung karena ayahnya meninggal dunia.
Namun karena akal licik dari Halayudha (seorang pejabat Kerajaan Majapahit yang
mengincar kedudukan Mahapatih Nambi) kemudian disampaikan kepada Raja
Jayanegara bahwa Mahapatih Nambi tidak akan kembali ke Majapahit dan pada saat ini
sedang menyusun kekuatan untuk menyerang Kerajaan Majapahit, mendengar berita itu
kemudian Raja Jayanegara segera menyerang Mahapatih Nambi yang saat itu berada di
Lamajang. Nambi tidak pernah menduga akan mendapat serangan besar dari Majapahit
sehingga Kerajaan Lamajang berhasil dihancurkan dan Nambi berhasil dibunuh pada
penyerangan besar itu.
Kisah ini diabadikan didalam Kitab Negarakretagama tentang runtuhnya
Kerajaan Lamajang yang terjadi pada tahun 1316 M. Buntut dari penyerangan Kerajaan
Majapahit terhadap kerajaan Lamajang ini adalah terjadinya peperangan-peperangan
yang sporadis dilakukan oleh beberapa kerajaan kecil diwilayah Kerajaan Lamajang
seperti Sadeng, Blambangan dan yang lainnya yang merasa tidak puas atas
dihancurkannya Kerajaan Lamajang oleh Kerajaan majapahit.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M dan mulai munculnya
Kerajaan Islam di tanah Jawa, keadaan ini membawa pengaruh terhadap keadaan
Lumajang pada saat itu. Dibawah pemerintahan Panembahan Senopati dari Kerajaan
Mataram Islam, daerah Lumajang dan sekitarnya berhasil direbut kembali dibawah
kekuasaan Kerajaan Mataram Islam pada saat penaklukan daerah sebelah timur Lamajang
(sekarang Lumajang) dan Renong (sekarang Kutorenon) oleh pasukan Kerjaan Mataram
Islam yang dipimpin Ki Tumenggung Alap-alap yang berada di daerah Winongan atas
perintah Raden Suro Tani.
Inilah sebuah perjalanan panjang Sejarah Lamajang yang telah mengukir sejarah
masa lalunya di Bumi Lamajang, semoga kesemuanya itu bisa kita jadikan suatu
pembelajaran bagaimana kita sebagai pewaris Bumi Lamajang ini mempunyai spirit
untuk mampu membangun kembali Bumi Lamajang ini kedepan dengan lebih baik bagi
warga di Bumi Lamajang.