ki ageng pengging


 



sesudah  kehancuran Majapahit pada tahun 1478 masehi,maka berakhir pula 
kejayaan Majapahit. Berakhirnya masa kejayaan Majapahit ini, bukanlah saat diperintah 
oleh Prabhu Brawijaya VII seperti yang dibanyak diberitakan selama ini, namun saat di 
bawah pemerintahan Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas. Sebagai 
bukti, dibawah inilah nama Raja-Raja yang pernah memerintah Majapahit. 
1. Raden Wijaya atau Bhree Wijaya atau Prabhu Brawijaya atau Shrii Kertarajasa 
Jayawardhana (1292-1309 M) 
 
2. Raden Kala Gemet atau Prabhu Jayanegara atau Shrii Jayanegara (1309-1328 M). 
 
3. Ratu Ayu Tri Bhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M) 
 
4. Prabhu Hayam Wuruk atau Shrii Rajasawarddhana (1350-1389 M). 
 
5. Prabhu Wikramawarddhana (1389-1492 M) Pada masa inilah terjadi Perang 
Paregreg. Dimana Adipati Bhree Wirabhumi atau Adipati Kebo Marcuet 
mengadakan pemberontakan ke Majapahit dan berhasil ditaklukkan oleh Jaka 
Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga. 
 
6. Ratu Ayu Suhita atau Dewi Kencana Wungu (1429-1447 M), diperistri oleh Raden 
Parameshwara atau Raden Damar Wulan atau yang lantas sesudah  menjadi suami 
Ratu Ayu Suhita, memegang tampuk pemerintahan dengan gelar Bhree Wijaya I 
atau Prabhu Brawijaya I sesudah  berhasil mengalahkan Jaka Umbaran atau Raden 
Gajah atau Minak Jingga, penguasa Blambangan. Pengambilan gelar ini demi 
mengukuhkan kedudukannya sebagai keturunan Raden Wijaya. 
 
7. Prabhu Kertawijaya atau Bhree Wijaya II atau Prabhu Brawijaya II (1447-1451 M) 
 
8. Bhre Pamotan Sang Sinagara atau Bhree Wijaya III atau Prabhu Brawijaya II 
I(1451-1453 M) 
 
Tiga tahun kosong karena perebutan tahta antara keturunan Kertawijaya dan Bhre 
Pamotan Sang Sinagara. Lantas yang terpilih dari keturunan Kertawijaya. 

 
 
9. Hyang Purwawisesha (1456-1466M) 
 
10. Bhre Pandansalas Bhree Wijaya IV atau Prabhu Brawijaya IV (1466-1468 M) 
 
11. Prabhu Singawarddhana ( 1468-1474 M) 
 
Lantas giliran keturunan Bre Pamotan Sang Sinagara yang menduduki tahta 
 
12. Raden Kertabhumi atau Bhree Wijaya V atau Prabhu Brawijaya V atau Prabhu 
Brawijaya Pamungkas (1474-1478 M). 
 
Pada masa pemerintahan Raden Kertabhumi inilah, Majapahit diserang oleh 
pasukan Demak Bintara. Diperingati dengan Surya Sangkala SIRNA ILANG 
KERTAning BHUMI. 
 
(Sumber lain menyebutkan Raden Kertabhumi mulai memegang tampuk 
pemerintahan semenjak tahun 1473 Masehi. Sebelumnya dia adalah Raja bawahan 
di wilayah Majapahit.) 
 
Semenjak kehancurannya, Majapahit kini harus tunduk kepada Demak Bintara. 
Majapahit menjadi negara kecil, bagian dari Demak Bintara. Tampuk pemerintahan 
Majapahit dipegang oleh seseorang yang ditunjuk langsung oleh Sultan Demak atau Raden 
Patah yang kini bergelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boenningrat I. 
Dan anda semua pasti akan terkejut bila saya ungkapkan bahwa, pemegang 
tampuk pemerintahan Majapahit, sesudah  Prabhu Brawijaya V, adalah Nyoo Lay Wa! 
Seorang berdarah China yang lantas bergelar Prabhu Brawijaya VI (1478-1486 M). Dia 
memerintah dibawah kendali Demak Bintara. 
Fenomena politik inilah yang memicu ketidak puasan dikalangan bangsawan 
Majapahit. Para bangsawan yang sudah terkoyak moyak harga dirinya sesudah  
penyerangan Demak Bintara, kini harus kembali menelan pil pahit dengan 
dikukuhkannya Prabhu Brawijaya VI yang nyata-nyata bukan keturunan Makapahit, 
bahkan berdarah China. 
Dan ketidak puasan ini meledak juga. Raden Girindrawardhana, bangsawan 
keturunan Majapahit yang berkedudukan di daerah Keling, Kedhiri, mengadakan 
pemberontakan. Peperangan kembali berkobar. Darah tertumpah kembali. Dan 
Majapahit, untuk kedua kalinya, berhasil diluluh lantakkan! Raden Girindrawardhana 
yang banyak mendapat dukungan dari gerilyawan sisa-sisa lasykar Majapahit lama, 
berhasil menjebol Majapahit baru boneka Demak Bintara. Prabhu Brawijaya VI atau 
Nyoo Lay Wa, tewas! 
Tahta Majapahit berhasil dikuasai oleh Raden Girindrawardhana. Dia memboyong 
segala tanda kebesaran Majapahit dari Trowulan ke Keling, Kedhiri. Disana, dia 
mengukuhkan diri sebagai Prabhu Brawijaya VII (1486-1527 M) dan memaklumatkan 
bahwa Majapahit yang berkedudukan di Kedhiri sekarang, telah bebas dari dominasi 
Demak Bintara! 
Mendengar kabar ini , pemerintahan Demak Bintara tidak tinggal diam. 
Pasukan dalam jumlah besar dikirim ke Kedhiri (1517 M). Peperangan kembali pecah! 
Dan lagi, darah membanjiri bumi pertiwi. Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh 
Sunan Kudus ini, mendapat perlawanan dahsyat! Kedhiri, sulit ditaklukkan! Begitu 
sulitnya menjebol Kedhiri, mengingatkan penyerangan Demak ke Trowulan kala itu. 
Kedhiri yang hendak melepaskan diri dari Demak berhasil ditaklukkan. Prabhu 
Girindrawardhana tidak diturunkan dari tahtanya, namun sekarang menjadi bawahan 
Demak Bintara. 
Pada tahun 1527 M, kembali Demak mengirimkan pasukan tempur ke Kedhiri. 
Disinyalir Prabhu Girindrawardhana telah mengadakan hubungan dengan Portugis. 
Dijaman Sultan Trenggana memegang tampuk pemerintahan Demak Bintara, Kedhiri 
berhasil dijebol. Prabhu Brawijaya VII atau Raden Girindrawardhana gugur dimedan 
laga! 
Dan kerajaan Majapahit benar-benar runtuh! 
(Hal inilah yang diekspose besar-besaran oleh kaum Putihan. Sehingga muncul 
pendapat bahwa Demak bukannya menghancurkan Majapahit, namun menyerang Raden 
Girindrawardhana yang lebih dahulu menghancurkan Majapahit. Padahal faktanya, baik 
penyerangan kepada Prabhu Brawijaya V maupun Raden Girindrawardhana, semuanya 
dilakukan oleh pasukan Demak Bintara : Damar Shashangka). 
 
 
 
Pewaris Tahta Sah. 
 
Prabhu Brawijaya V atau Raden Kertabhumi memiliki  seorang permaisuri(istri)  yang 
berasal dari negeri Champa ( Vietnam Selatan)., bernama Dewi Anarawati. permaisuri(istri)  
beliau ini beragama Islam. Dia adalah adik ipar Syeh Ibrahim As-Samarqand yang 
terkenal di Jawa dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. ( makamnya berada di Tuban 
sekarang : Damar Shashangka). 
Dewi Anarawati ini adalah bibi dari Sunan Ampel atau Raden Ali Rahmad atau 
Bong Swie Hoo, pendiri Dewan Wali Sangha. Raden Ali Rahmad adalah putra Syeh 
Ibrohim Smorokondi. Raden Ali Rahmad juga adalah menantu Arya Teja, menantu 
Adipati Tuban Arya Adikara. 
 
Adipati Arya Adikara, memiliki  dua orang putri, yang sulung bernama Raden 
Ayu Teja yang dinikahi oleh Gan Eng Cu atau Arya Teja. memiliki  putri Nyi Ageng 
Manila yang lantas dinikahi oleh Raden Ali Rahmad atau Sunan Ampel dan kelak terkenal 
dengan sebutan Nyi Ageng Ampel, sedangkan yang bungsu bernama Dewi Retna Dumilah 
dan dinikahi oleh Arya Wilwatikta. Arya Wilwatikta menggantikan kedudukan mertuanya 
nya sebagai Adipati Tuban dengan gelar, Adipati Wilwatikta. 
Adipati Wilwatikta inilah ayahanda Raden Sahid dan Dewi Rasawulan. Kelak, 
Raden Sahid terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. 
Sunan Kalijaga tidak berminat menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai 
seorang Adipati. Tahta Tuban diserahkan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi 
Rasawulan. 
Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit,yaitu Ki Pitrang atau 
Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai 
Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu. 
Sesungguhnya, keris Kyai Naga Sasra maupun Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah 
simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti 
Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang 
masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara. 
Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para 
investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat 
menentukan perputaran roda perekonomian negara. 
Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang atau Ki 
Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu 
Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, 
menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi. 
bila  anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan 
Chiang Ka Shek pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang ini  
adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun 
dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang ini  adalah hadiah 
Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang 
kuno yang berasal dari Majapahit ini  bisa dibawa lari oleh Chiang Kai Shek ke 
Taiwan sesudah  Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis. 
Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak 
laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang 
berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau memiliki  seorang putra 
bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal 
Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka.), sangat disegani. Para sisa-sisa bangsawan 
Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan 
masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan 

 
Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai 
Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa. 
 
 
 
 
 
Kyai Sabuk Inten 
 
Sosok Jaka Supa sangat dibutuhkan pihak pemerintahan Demak Bintara. 
Ditambah kehadiran Sunan Kalijaga, yang juga sangat disegani oleh berbagai kalangan 
lintas agama di wilayah bekas kerajaan Majapahit, maka seolah-olah, dua orang ini adalah 
kunci keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara! 
Sunan Kalijaga, demi mengingatkan Sultan Demak, memerintahkan Raden Jaka 
Supa membuat dua buah keris, yaitu Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten. Keduanya 
harus diserahkan kepada Sultan Demak, sebagai benda simbolik untuk mengingatkan 
Sultan Demak, bahwa tanpa dukungan sisa-sisa bangsawan Majapahit serta tanpa 
dipermudah masuknya investor mancanegara ke wilayah Demak Bintara, dapat 
dipastikan Demak tidak akan berumur lama. Dengan bersatunya Kyai Naga Sasra dan 

 
Kyai Sabuk Inten ini , bisa dipastikan Demak akan berdiri tegak sebagai kerajaan 
besar pengganti Majapahit! (Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, kedua benda 
simbolik ini di anggap sangat-sangat keramat oleh masyarakat Jawa hinggai sekarang. Dan 
timbul kepercayaan, pemerintahan akan kuat jika seorang penguasa memiliki Kyai Naga 
Sasra dan Kyai Sabuk Inten sekaligus. : Damar Shashangka.) 
 
 
 
 
Kyai Naga Sasra 

Kembali pada Prabhu Brawijaya V yang menikahi Putri Champa, Dewi Anarawati. 
Dari pernikahan ini , lahirlah tiga orang putra-putri. Yang sulung seorang putri 
bernama Retna Pambayun, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa 
wilayah Pengging, daerah sekitar Surakarta sekarang. Yang kedua, Raden Lembu Peteng, 
berkuasa di Madura. Dan yang ketiga Raden Jaka Gugur. 
Kelak Raden Jaka Gugur inilah yang dikenal dengan nama Sunan Lawu, penguasa 
mistik Gunung Lawu. Keberadaannya di Gunung Lawu, disalah pahami oleh warga 
sekitar sebagai Prabhu Brawijaya V sendiri. ( Maklum, sosok Raja pada masa itu hanya 
dikenal nama besarnya semata. Sosok aslinya, bagi masyarakat pedesaan, sama sekali tidak 
diketahui karena sulit bertemu langsung. Tidak ada media massa pada waktu itu seperti 
jaman sekarang, sehingga wajah Prabhu Brawijaya V, terbatas hanya kalangan bangsawan 
saja yang bisa mengenalinya. Oleh karena itu, kehadiran Raden Jaka Gugur di lereng 
Gunung Lawu, disalah pahami sebagai Prabhu Brawijaya V, bahkan sampai sekarang. : 
Damar Shashangka ). 
Dan Prabhu Brawijaya V, tetap ada di Trowulan hingga beliau wafat. Prabhu 
Brawijaya V tidak pernah kemana-mana. Semenjak dari Banyuwangi hingga jatuh sakit 
dan wafat, beliau ada di Trowulan. Sunan Kalijaga lah yang terus mendampingi beliau 
hingga kewafatan beliau. 
Dari pernikahan Adipati Handayaningrat IV dengan putri sulung Prabhu 
Brawijaya V, lahirlah dua orang putra. Pertama Raden Kebo Kanigara dan yang kedua 
Raden Kebo Kenanga. 
Raden Kebo Kanigara lahir pada tahun 1472 Masehi. Menyusul setahun kemudian, 
Raden Kebo Kenanga lahir ( tahun 1473 M ). Jadi sewaktu Majapahit dihancurkan oleh 
Demak Bintara pada tahun 1478 Masehi, Raden Kebo Kanigara masih berusia enam 
tahun, dan Raden Kebo Kenanga masih berusia lima tahun. 
Menginjak usia dua puluh tahun, Raden Kebo Kanigara pergi meninggalkan 
Pengging. Beliau memutuskan menjadi seorang Vanaprastha atau pertapa dalam usia 
muda. Beliau melakukan pertapaan di daerah lereng Gunung Merapi. Tempat dimana 
beliau pernah bertapa, sekarang terkenal dengan sebutan Desa Turgo, yang berasal dari 
gabungan dua suku kata AnggenTUR RaGA yang artinya MENGGEMBLENG DIRI. 
Petilasan bekas beliau bertapa, kini berubah menjadi makam yang banyak 
diziarahi oleh masyarakat Jawa. Padahal, Raden Kebo Kanigara beragama Shiva Buddha, 
dan bila  wafat, tidak mungkin dikebumikan, namun di kremasi atau di Aben. 
Sejujurnya, jenasah Raden Kebo Kanigara hilang raib karena kekuatan tapa brata-
nya yang sangat keras. Dan tempat yang dikenal sebagai makam Raden Kebo Kanigara 
sekarang, sebenarnya hanyalah salah satu bekas tempat beliau bersemadi. 
Putra bungsu Adipati Handayaningrat IV, yaitu Raden Kebo Kenanga, dalam usia 
dua puluh tahun, setahun semenjak kepergian kakaknya, harus kehilangan ramandanya. 
Adipati Handayaningrat IV wafat. Dan seharusnya, yang berhak menggantikan 
kedudukan beliau adalah Raden Kebo Kanigara. Karena sang sulung telah pergi bertapa, 

 
maka si bungsu, Raden Keno Kenanga terpaksa menggantikannya. Dan Raden Kebo 
Kenanga lantas dikenal dengan gelar KI AGENG PENGGING. 
Dalam usia relatif muda, Ki Ageng Pengging sangat terkenal kedalaman 
spiritualitasnya. Dalam garis keturunannya, sebenarnya mengalir darah pewaris sah tahta 
Majapahit. Karena nenek beliau, yaitu Dewi Anarawati, telah diangkat sebagai 
permaisuri(istri) . Sehingga jelas disini, manakala Prabhu Brawijaya V kelak lengser keprabhon 
atau wafat, yang berhak menggantikan seharusnya adalah putri sulung beliau yang 
dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV. Otomatis, bila  putri sulung istri 
Adipati Handayaningrat IV ini kelak lengser keprabhon atau wafat, maka yang berhak 
menggantikannya adalah putranya, yaitu Raden Kebo Kanigara. Karena seperti telah 
diceritakan diatas, Raden Kebo Kanigara tidak berminat kepada tahta, maka Raden Keno 
Kenanga atau Ki Ageng Pengging yang berhak menggantikannya. Jika ditilik dari sini, 
sesungguhnya pewaris tahta Majapahit seharusnya Ki Ageng Pengging, bukan Raden 
Patah!! 
Seluruh masyarakat Majapahit tahu akan hal ini. Tahu siapa yang seharusnya 
berhak memegang tahta. Sehingga diam-diam, pengaruh keturunan Pengging masih terasa 
sangat besar di wilayah Demak Bintara. Bagi pemerintahan Demak, keturunan Pengging 
adalah bahaya laten! Praktis pemerintah Demak Bintara secara diam-diam memasang 
pasukan mata-mata khusus di Pengging. Gerak-gerik Ki Ageng Pengging, tak pernah lepas 
dari pengamatan Sultan Demak dan Dewan Wali Sangha. 
Sesungguhnya jika Ki Ageng Pengging mau, dia bisa melakukan konsolidasi 
kekuatan sisa-sisa Majapahit. Tapi, seperti sifat kakaknya, Ki Ageng Pengging sama sekali 
tidak memiliki  ambisi politik seperti itu. Malahan beliau lebih suka mendalami 
spiritualitas. 
Para prajurid Pengging sendiri sangat merasakan akan hal itu. Kegiatan pelatihan 
militer, dirasa jauh berkurang semenjak Ki Ageng Pengging menggantikan ayahandanya. 
Malahan, tempat-tempat suci lebih bergairah dan hidup semenjak beliau berkuasa.  
Ki Ageng Pengging tenggelam dalam spiritualitas. Setiap waktunya senantiasa 
beliau manfaatkan untuk peningkatan Kesadaran Atma. Pengging sangat damai. Penuh 
nuansa religius. 
Namun hal itu tak berlangsung lama. Manakala Ki Ageng Pengging berkenalan 
dengan seorang ulama Islam yang dikenal berseberangan dengan Dewan Wali Sangha 
yaitu Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, Pengging mulai memanas! 
 
 
 
KI AGÊNG PÊNGGING (2) 
Oleh : Damar Shashangka 
 
Walaupun masih belia, kedalaman spiritualitas Ki Ageng Pengging tidak bisa 
diragukan lagi. Pencapaian spiritual-nya, sampai pada kondisi MATI SAJERONING 
URIP, URIP SAJERONING PATI (MATI DIDALAM HIDUP, HIDUP DIDALAM 
KEMATIAN). Beliau mampu dalam beberapa hari, bermeditasi tanpa bernafas. Raga 
beliau mampu menyerap Praana (oksigen) melalui seluruh pori-pori tubuh tanpa 
menggunakan pergerakan paru-paru. 
Bila tidak jeli, mereka yang melihat kondisi Ki Ageng Pengging sewaktu 
bermeditasi, pasti akan menyangka beliau meninggal. Namun bagi yang benar-benar jeli, 
mereka akan tahu, jantung beliau masih tetap berdetak, sangat-sangat halus. Dan darah 
beliau masih tetap mengalir, walau dalam percepatan yang sangat-sangat halus. 
 
 
…...Ndan yatika sinangguh mamyaken praana sangdhila jati ngarannya, yeku puujaajaati 
ngarannya, sembahyang alit, yapwan mangkana tiksna deningasamadhi, wyakta hilang 
ikang waayu ganal, mati lina ri sangkanya, apan tan cinetana dening aatmaa, nahan 
maarga kunyci rahasya ngarannya. ( Tattwa Jnyaana : 62 ) 
 
“...Itulah yang disebut memuja Praana sangdhila jaati, yaitu Sejatinya Puja, 
sembahyangnya Suksma. Bila sudah demikian samadhi-nya sangat-sangat tajam, benar-
benar hilangnya nafas yang kasar, mati lenyap keasalnya. Kesadaran suksma telah 
melebur ke Kesadaran Atma. Inilah kunci kesempurnaan. ( Tattwa Jnyaana : 62) 
 
Ki Ageng Pengging telah mencapai tahap peleburan ini. Sesuai dengan yang 
diuraikan dalam Rontal Tattwa Jnyaana. Bila beliau mau, beliau bisa meninggalkan badan 
kasarnya, mati, sesuai dengan keinginannya sendiri. 
Begitu beliau diangkat sebagai penguasa Pengging pengganti ayahandanya, dalam 
usia belia, beliau menikah. Seorang gadis dari daerah Tingkir, masih adik kandung Ki 
Ageng Tingkir, beliau persunting. (Dalam versi lain, Ki Ageng Pengging menikahi Nyi 
Ageng Mendola, putri Sunan Kalijaga, hasil perkawinan Sunan Kalijaja dengan Siti 
Zaenab, putri Syeh Siti Jenar : Damar Shashangka). 
Pengging benar-benar damai. Jauh dari hiruk pikuk perpolitikan, Jauh dari 
pertikaian-pertikaian. Sunan Kalijaga-pun, sering berkunjung ke Pengging bersama 
beberapa santri beliau. 
 
 
 
 
 
 
 
Dari Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pengging senantiasa mendapat petuah-petuah yang 
sangat berharga. Walaupun Sunan Kalijaga beragama Islam dan Ki Ageng Pengging 
beragama Shiwa Buddha, kedekatan hubungan mereka sudah tidak bisa digambarkan 
lagi. Secara khusus, Ki Ageng Pengging menyediakan musholla di kompleks Dalem Agung 
beliau. Ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat beliau yang beragama Islam. 
Dari sahabat-sahabat Islam beliau inilah, Ki Ageng Pengging tahu akan sosok Syeh 
Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Sosok ulama yang berseberangan dengan Dewan Wali 
Sangha. 
Beberapakali dalam meditasinya, beliau mencoba menghubungi Syeh Lemah 
Abang. Dan Ki Ageng Pengging tersenyum puas manakala salam beliau senantiasa 
dijawab oleh Syeh Lemah Abang dengan senyuman yang luar biasa damainya. 
Ki Ageng Pengging tahu, Syeh Lemah Abang bukan manusia sembarangan. 
Beberapakali pula, mereka bertemu didalam alam meditasi. Ki Ageng Pengging mencium 
kaki Syeh Lemah Abang dengan penuh hormat. Dan Syeh Lemah Abang senantiasa 
mengusap-usap kepala Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih. 

 
Sunan Kalijaga tahu akan semua itu. Dan beliau tersenyum bangga setiap kali 
dalam taffakur-nya, melihat Syeh Lemah Abang dan Ki Ageng Pengging senantiasa 
bertemu, walau dalam alam lain. Walau tidak dialam nyata. 
Dan manakala, sosok Syeh Lemah Abang mendadak berkunjung ke Pengging, 
betapa bahagianya Ki Ageng Pengging. Walau belum pernah bertemu secara fisik, Ki 
Ageng Pengging dan Syeh Lemah Abang, sudah sedemikian dekatnya. Begitu Syeh Lemah 
Abang hadir, Ki Ageng Pengging langsung bersujud didepan beliau. Mencium kaki beliau. 
Penuh hormat dan sangat-sangat bahagia. 
Pernah selama tiga hari tiga malam, keduanya meluangkan waktu untuk berdiskusi 
tentang intisari spiritualitas. Tidak hanya sekedar berdiskusi, keduanyapun masuk 
kekedalaman batin masing-masing. Dan disana, Syeh Lemah Abang, bersorak gembira 
begitu melihat Ki Ageng Pengging, dibawah awan-awan mind yang tenang, tengah ada 
dibawah beliau, tidak terlampau jauh. Dan disana, Ki Ageng Pengging mencakupkan 
kedua tangannya didepan dada, menyembah, sembari memandang Syeh Lemah Abang 
dengan senyum kedamaian. 
Karena seringnya berkunjung ke Pengging, Syeh Lemah Abang akhirnya 
dipertemukan dengan sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging. Beberapa bangsawan muda 
keturunan Majapahit yang masing-masing juga memiliki wilayah kekuasaan. Mereka 
antara lain, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Ketiganya bahkan 
lantas tertarik memeluk Islam tanpa paksaan. Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, 
kelak terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang. 
Namun diam-diam, mata-mata Demak Bintara mengetahui semua itu. Laporan 
segera masuk ke hadapan Sultan Demak. Dan Sultan Demak meneruskan informasi itu ke 
Dewan Wali Sangha. 
Sebuah informasi yang sangat mengejutkan bagi Dewan Wali Sangha. Dan Dewan 
Wali memerintahkan Sultan Demak agar semakin menungkatkan kegiatan mata-mata di 
wilayah Pengging. Sultan Demak merespon perintah ini , Jumlah pasukan mata-mata 
semakin ditambah di wilayah Pengging. Demak semakin waspada. Karena bila Pengging 
bergerak, dapat dipastikan, dukungan dari berbagai daerah akan mudah diraih. Apalagi 
ditambah sosok Syeh Lemah Abang dan Sunan Kalijaga disana, Pengging akan berubah 
menjadi kekuatan yang sangat menakutkan. Dan hal ini, adalah ancaman serius bagi 
keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara.  
Padahal, ketakutan Demak Bintara hanyalah ketakutan semu. Karena di Pengging, 
tidak ada pergerakan apapun. Ki Ageng Pengging tidak memiliki  rencana apapun 
untuk berbuat makar. Demak Bintara, hanya ketakutan sendiri. 
Sunan Kalijaga membaca gelagat ini . Beliau memperingatkan Ki Ageng 
Pengging untuk waspada. Namun, Ki Ageng Pengging bagaimamapun juga masih berusia 
belia. Beliau kadang masih kurang perhitungan. Beliau sangat mencintai spiritualitas. Dan 
kecintaannya ini, membuat beliau tanpa perhitungan yang matang, menawarkan wilayah 

 
Pengging untuk dipakai sebagai tempat kepindahan Pesantren Krendhasawa milik Syeh 
Lemah Abang. 
Syeh Lemah Abang memang memiliki  rencana untuk memindahkan lokasi 
pesantrennya yang ada di Cirebon. Hal ini berkaitan dengan situasi politik Cirebon yang 
semakin memanas akibat terus-terusan menjalankan agresi militer ke Pajajaran. Cirebon 
sudah tidak kondusif lagi bagi peningkatan Kesadaran. Sudah sangat-sangat berubah. 
Sudah tidak sama lagi dengan Cirebon dimasa Syeh Dzatul Kahfi masih hidup. 
Namun, Sunan Kalijaga melarang Syeh Lemah Abang menerima tawaran itu. 
Karena bila Syeh Lemah Abang menerimanya, pemerintah Demak Bintara akan menuduh 
beliau bersekongkol dengan Ki Ageng Pengging hendak mengadakan gerakan subversif. 
Syeh Lemah Abang memang tidak begitu memahami peta perpolitikan. Dan Sunan 
Kalijaga yang lebih paham. Oleh karenanya, Syeh Lemah Abang menolak tawaran Ki 
Ageng Pengging. Beliau memutuskan untuk tetap bertahan di Cirebon. 
Dan, kabar bahwasanya Ki Ageng Pengging menawarkan wilayah Pengging sebagai 
tempat kepindahan pesantren Krendhasawa, diartikan lain oleh Pemerintahan Demak. 
Sultan Demak yang sudah terlanjur ketakutan, menyimpulkan bahwa memang tengah 
terjadi gerakan rahasia antara Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang. 
Dan Dewan Walu Sangha-pun bertindak. Sunan Giri Kedhaton, mengeluarkan 
fatwa bahwa Syeh Lemah Abang adalah musuh kekhilafahan Islam di Jawa, dan tugas 
Sultan Demak dan Sultan Cirebon ( Sunan Gunung Jati ) untuk menangkap Syeh Lemah 
Abang. ( Cerita selengkapnya, baca catatan saya SEKELUMIT KISAH SUNAN KAJENAR 
ATAU SYEH SITI JENAR : Damar Shashangka ). 
Terdengarlah kabar, Syeh Lemah Abang dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah 
Demak Bintara dengan tuduhan MENGAJARKAN AJARAN SESAT dan HENDAK 
MENGADAKAN MAKAR! Tak urung, Lontang Asmara, Sunan Panggung dan murid-
murid Syeh Lemah Abang yang lain, ikut dijadikan sasaran pemerintah! 
Kabar ini sampai juga ke Pengging. Ki Ageng Pengging berkabung. Begitu juga Ki 
Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh. Untung, Ki Ageng Tingkir, Ki 
Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, lepas dari daftar buruan pemerintah Demak. Tidak 
seperti Lontang Asmara dan Sunan Panggung. 
Ki Ageng Pengging benar-benar merasa kehilangan. Dan beliau semakin 
menyadari, bagaimana posisinya di mata Sultan Demak. Dirinya dipandang sebagai duri 
dalam daging. Musuh dalam selimut. Tak urung, sesudah  Syeh Lemah Abang pasti akan 
tiba giliran beliau menjadi target untuk disingkirkan! 
Ki Ageng Pengging telah siap untuk itu. Siap menunggu giliran untuk disingkirkan. 
Bukan untuk melakukan perlawanan bersenjata, namun siap menerima ajal jika memang 
Sultan Demak menghendakinya. Ki Ageng Pengging sangat merindui sosok Syeh Lemah 
Abang. bila  Syeh Lemah Abang pergi dari dunia maya ini, maka Ki Ageng Pengging 
berniat untuk mengikutinya. Apalah arti dunia bagi Ki Ageng Pengging. Dunia sama 
sekali sudah tidak menarik minat beliau. 

 
Beberapa bulan sesudah  wafatnya Syeh Lemah Abang, Ki Ageng Pengging 
mengirimkan surat kepada Sultan Demak. Isi surat ini  sangat mengejutkan. Ki 
Ageng Pengging befmaksud mengakhiri pemerintahan Pengging. Dan beliau meminta 
kepada Sultan Demak agar memasukkan wilayah Pengging ke kadipaten terdekat, sesuai 
kebijaksanaan Sultan Demak. Bahkan, Ki Ageng Pengging meminta agar Sultan Demak 
melepas segala jabatan politik beliau. 
Surat ini menggemparkan Demak Bintara. Begitu menerima surat ini , Sultan 
Demak mengadakan sidang mendadak dengan para petinggi Kesultanan. Sidang berjalan 
a lot. Dan hasil keputusan sidang, menyetujui permintaan Ki Ageng Pengging, walaupun 
sikap waspada tetap harus dijaga demi menghadapi maksud tersembunyi dari permintaan 
ini . 
Keesokan harinya, Sultan Demak memerintahkan Patih Wanasalam, Patih Agung 
Kesultanan Demak Bintara, untuk berangkat menuju Pengging, menemui Ki Ageng 
Pengging. Patih Wanasalam ditugaskan untuk membacakan surat keputusan Sultan 
Demak dihadapan Ki Ageng Pengging sekaligus memenuhi keinginan Ki Ageng Pengging, 
mengadakan pelepasan jabatan. Disamping itu pula, Ki Wanasalam mendapat pesan 
khusus agar terus mencari informasi secara diam-diam tentang maksud sesungguhnya 
dari keinginan Ki Ageng Pengging. 
Rombongan Patih Agung Demak Bintara ini, sampai juga di wilayah Pengging. 
Kedatangan rombongan pasukan Kesultanan yang serba mendadak ini, menggemparkan 
Pengging. Para Prajurid Pengging, tanpa di komando, segera mempersiapkan diri untuk 
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Pengging mendadak tegang!! 
Rombongan dari Demak ini disambut oleh Ki Ageng Pengging. Kedatangannya 
yang mendadak, tanpa pemberitahuan, memang disengaja agar bisa melihat kondisi 
Pengging yang sesungguhnya. 
Seluruh pasukan Demak diberi tempat istirahat tersendiri. Ki Patih Wanasalam, 
diberikan tempat khusus. Perjalanan yang agak jauh, membuat Sang Patih kecapaian. 
sesudah  disambut oleh Ki Ageng Pengging, Ki Patih Wanasalam, diberikan waktu untuk 
beristirahat sejenak. 
Manakala dirasa sudah pulih tenaganya, Ki Wanasalam mengutus seorang prajurid 
agar menghadap Ki Ageng Pengging. Ki Ageng diminta bersiap sedia karena Ki 
Wanasalam hendak menyampaikan amanat Sultan Demak. Dan prajurid yang diutus, 
kembali dengan menyampaikan pesan dari Ki Ageng agar Ki Patih berkenan menuju Bale 
Pisowanan. 
Ki Wanasalam, diiringi beberapa pengawal khusus, berangkat terlebih dahulu 
menuju Bale Pisowanan. sesudah  Ki Patih sudah tiba disana, baru Ki Ageng Pengging 
menyusul. Hal ini adalah etika kerajaan Jawa, dimana seorang pejabat besar, harus 
terlebih dahulu ada di Bale Pisowanan, baru pejabat dibawahnya datang menghadap. 
sesudah  keduanya berada di Bale Pisowanan, Ki Ageng Pengging menyatakan 
kesiapannya mendengarkan amanat Sultan Demak Bintara. Ki Wanasalam segera 

 
menjelaskan, bahwa surat Ki Ageng telah diterima oleh Sultan Demak. Dan Sultan Demak 
telah mengadakan sidang khusus. Hasil keputusan sidang, telah tertulis didalam gulungan 
Surat Keputusan Sultan yang kini dipegang oleh Ki Wanasalam. Sebelum dibacakan, Ki 
Wanasalam menanyakan kesungguhan isi surat yang dikirimkan Ki Ageng Pengging. 
Lantas rencana apa yang hendak dilakukan Ki Ageng bila  keinginannya dikabulkan 
oleh Sultan Demak ? 
Ki Ageng menghaturkan sembah sebelum menjawab, lantas beliau menuturkan 
bahwasanya apa yang telah beliau tulis dalam surat yang telah dikirimkan ke hadapan 
Sultan Demak memang benar-benar telah menjadi niatan dan kebulatan tekad beliau. 
Manakala keinginannya yang tertulis didalam surat ini  dikabulkan, maka beliau 
hanya meminta agar pajak wilayah Pengging tidak dinaikkan serta memberikan tanah 
kepada Ki Ageng Pengging cukup beberapa jung ( hektar ) saja, sekedar sebagai tempat 
tinggal dan lahan bersawah. 
Ki Wanasalam belum puas, dia terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang 
penuh selidik. Tentang hubungannya dengan Sunan Kalijaga, tentang nasib para prajurid 
Pengging kelak dikemudian hari, tentang jumlah perenjataan Pengging, tentang 
perekonomian Pengging dan tentang hubungan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah 
Abang dan para murid-muridnya. Ki Wanasalam sengaja ingin mendengar langsung 
jawaban dari Ki Ageng Pengging, demi untuk mencari-cari hal-hal yang janggal dari kata-
kata beliau. 
Namun, tidak satupun jawaban yang diberikan oleh Ki Ageng Pengging nampak 
ada kejanggalan disana. Ki Wanasalam tetap belum sepenuhnya percaya, dan pada 
akhirnya, Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan simbolik. Pertanyaan yang sudah 
dipesankan oleh Sultan Demak. Pertanyaannya adalah sebagai berikut : 
“Mana yang dipilih, ATAS atau BAWAH. KOSONG atau ISI?” 
Ki Ageng Pengging tersenyum. Sejenak beliau terdiam. Lantas memberikan 
jawaban : 
“Manakah yang hendak saya pilih ? Tidak ada. Sebab baik ATAS, BAWAH, 
KOSONG maupun ISI. Semuanya adalah milik saya.” 
Ki Wanasalam terkejut mendengar jawaban Ki Ageng Pengging. Sekali lagi Ki 
Wanasalam mengajukan pertanyaan serupa. Dan kembali Ki Ageng Pengging 
memberikan jawaban yang sama, dan beliau tambahi : 
“Janganlah salah mengerti. AKU ini adalah segalanya. AKU ada dimana-mana. 
AKU telah melampaui segalanya. Jadi, manalagi yang bisa AKU pilih ? Karena semuanya 
adalah AKU.” 
Ki Wanasalam tersenyum dan berkata : 
“Tuluskah jawaban Ki Ageng ? Tidak adakah maksud lain ?” 

 
Ki Ageng Pengging tersenyum. Dia tidak menjawab lagi. Jawaban Ki Ageng 
Pengging sangatlah tulus. Namun Ki Wanasalam tetap tidak bisa menangkap ketulusan 
itu. Dia masih curiga. Curiga jikalau jawaban itu bernilai ambigu. Tidak murni spiritual, 
namun tersirat juga maksud Ki Ageng Pengging memiliki  rencana merebut tahta 
Demak Bintara. Pikiran Ki Wanasalam yang sudah terpola dengan kecurigaan, tidak bisa 
melihat ketulusan kata-kata Ki Ageng Pengging. 
Melihat orang yang pikirannya seliar ini, maka percuma Ki Ageng Pengging 
mengulangi kata-katanya. Beliau lantas memilih diam dan tersenyum. Senyum geli 
seseorang yang melihat keserakahan tampak didepan matanya. Keserakahan manusia 
yang terobsesi keduniawian. Dan lagi lagi, senyum ini diartikan lain oleh pikiran Ki 
Wanasalam. Pikiran yang sudah penuh dengan setan-setan liar! 
Jika Ki Wanasalam sadar, dia seharusnya malu. Malu kepada sosok pemuda yang 
umurnya terpaut jauh dengannya, namun batinnya lebih tulus daripada batinnya sendiri. 
Dan pada akhirnya, Ki Wanasalam menyampaikan amanat Sultan Demak. Dia 
mengeluarkan surat keputusan Sultan Demak. Sembari berdiri, dia membacakan surat 
keputusan ini .  
Surat ini  berisi, mulai semenjak hari yang tertanda dalam surat keputusan 
Sultan Demak, Ki Ageng Pengging dilepas dari jabatannya sebagai Adipati Pengging. Dan, 
Pengging bukan lagi wilayah tersendiri. Pengging akan dimasukkan ke wilayah terdekat. 
Untuk sementara, menunggu keputusan lebih lanjut, Ki Ageng Pengging harus tetap 
memimpin Pengging dan tetap menjaga keamanan Pengging. 
Gemparlah seluruh prajurid Pengging mendengar surat keputusan Sultan Demak 
ini . Sedang, Ki Ageng Pengging malah tersenyum puas. Karena dengan lepasnya 
jabatan sebagai Adipati dari pundaknya, maka setidaknya, rasa ketidak terimaan beliau 
akan tahta yang direbut Raden Patah, yang masih tersisa sedikit direlung hatinya, bisa 
dimatikan ! Namun, tidak begitu bagi para prajurid Pengging. Banyak yang menahan 
amarah ketidak terimaan ! 
Selesai membacakan surat keputusan Sultan Demak, Ki Patih Wanasalam, 
menggulung surat ini , menyimpannya kembali dan duduk. Lantas Ki Patih berkata : 
“Mulai hari ditetapkannya surat keputusan ini, ananda Ki Ageng Pengging sudah 
bukan lagi seorang Adipati. Dan atas perintah Kangjeng Sultan Demak, ananda harus 
menghadap ke Demak demi menunjukkan kesetiaan ananda.” 
Ki Ageng menjawab : 
“Ki Patih, apa perlunya hamba menghadap ke Demak ? Toh sekarang saya bukan 
siapa-siapa lagi. Sudahlah, saya sekarang hanyalah orang Sudra, wong cilik. Kangjeng 
Sultan Demak seyogyanya jangan lagi mencurigai hamba.” 
Ki Patih berkata tegas : 

 
“Ini adalah perintah seorang Sultan. Dan beliau memberi waktu bagi ananda tiga 
tahun kedepan.” 
Dan, upacara pelepasan jabatan-pun segera dilakukan. sesudah  upacara usai, Ki 
Wanasalam kembali ke tempat istirahatnya. Dan Ki Ageng Pengging, kembali ke Dalem 
Agung. 
Berita dilepasnya jabatan Adipati dari pundak Ki Ageng Pengging, segera 
menyebar ke seluruh penjuru Pengging. Menyebar dari mulut ke mulut. Ketidak puasan 
pun terdengar. Banyak yang tidak bisa menerima akan hal ini . 
Keesokan harinya, kembali Ki Wanasalam bertemu Ki Ageng Pengging untuk 
berpamitan. 
Hari itu, Pengging gempar. Para Lurah Prajurid Pengging memohon menghadap 
kepada Ki Ageng Pengging demi untuk menanyakan maksud keputusan ini . Dan 
kepada para Lurah Prajurid Pengging, Ki Ageng mengiyakan keputusan beliau ini  
dan seluruh masyarakat Pengging diminta menerima kenyataan ini. Bagaikan menelan pil 
pahit para Lurah Prajurid mendengarnya. Ki Ageng Pengging lantas memberikan kepada 
mereka, untuk bergabung menjadi prajurid Kadipaten yang bakal dipasrahi wilayah 
Pengging kelak atau melepaskan jabatan sebagai prajurid dan bertani. 
Para Lurah Prajurid segera mengumpulkan prajurid Pengging. Kepada mereka, 
para Lurah Prajurid menawarkan pilihan dari Ki Ageng Pengging. Dan sungguh tidak 
disangka, seluruh prajurid menyatakan hendak meletakkan senjata dan memilih menjadi 
petani biasa, mengikuti junjungan mereka, Ki Ageng Pengging! 
Dan, di Demak, kabar dilepasnya jabatan Ki Ageng Pengging sebagai Adipati pun 
merebak pula. Ki Wanasalam sudah menyampaikan hasil dia diutus ke Pengging. Sultan 
Demak sedikit berlega hati. Namun manakala dia mendengar bahwasanya Ki Ageng 
Pengging tampak enggan untuk menghadap ke Demak, kecurigaannya kembali muncul. 
Tinggal menunggu waktu. Jika sampai tiga tahun mendatang Ki Ageng Pengging 
tetap tidak menghadap ke Demak, maka tidak ada jalan lain, cucu Prabhu Brawijaya V 
itu, harus disingkirkan seperti halnya Syeh Lemah Abang! 
 
 
 
KI AGÊNG PÊNGGING (3) 
Oleh : Damar Shashangka 
 
Keputusan resmi dari pemerintahan Demak Bintara mengenai status wilayah 
Pengging tidak juga kunjung turun. Ki Ageng Pengging enggan mempertanyakan hal 
ini . Walaupun sesungguhnya, beliau sudah resmi tidak menjabat sebagai seorang 
Adipati, namun pada kenyataannya, beliaulah yang tetap harus mengelola Pengging dan 
menjaga kawasan ini  agar senantiasa kondusif. 
Tentu saja, statusnya yang bukan Adipati, mempersulit bagi beliau untuk 
mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam urusan ketata negaraan. 
Pengging ibarat wilayah tanpa penguasa. Pengging stagnan dalam segala bidang. Hanya 
penarikan upeti dan penyaluran ke pemerintah pusat saja yang terus berjalan. Selain itu, 
Pengging sudah tidak berarti apa-apa lagi. 
Dalam kemiliteran, Pengging sama sekali sudah lumpuh. Pengging adalah wilayah 
terbuka tanpa perlindungan. Untung, Pengging tetap terkendali. 
Kehidupan para penduduk Pengging tetap bersahaja. Para bekas prajurid 
Pengging yang kini turun ke sawah dan tidak lagi mendapatkan gaji resmi, masih tetap 
siap sedia mengangkat senjata jika Ki Ageng memerintahkan. Pengging bagai wilayah tak 
bertuan. 
Ki Ageng Tingkir, yang mendengar kabar ini , bertandang ke Pengging. Beliau 
menanyakan maksud keputusan Ki Ageng Pengging, adik iparnya. Dan Ki Ageng 
Pengging memberikan jawaban yang sejujurnya, bahwasanya ia sudah tidak mau lagi 
terlibat dengan urusan tetek bengek politik. Beliau lilo legowo, menerima, untuk sekedar 
menjadi wong cilik, asal hidup lebih tenang dan jauh dari keserakahan duniawi. 
Namun, Ki Ageng Tingkir mengingatkan. Pada kenyataannya, kondisi yang dialami 
Ki Ageng Pengging sekarang jauh lebih sulit. Jelas, beliau bukan lagi Adipati. Namun 
tugas-tugas seorang Adipati masih harus beliau jalankan. Tanpa hak kewenangan 
mengeluarkan kebijaksanaan. Tanpa hak memiliki  kekuatan perlindungan wilayah. 
Tanpa hak gaji penuh dari hasil pajak. Sesungguhnya, Ki Ageng Pengging, tidaklah 
semudah membalikkan telapak tangan untuk lepas dari kegiatan perpolitikan. Pihak 
Demak rupa-rupanya sengaja membuat status Pengging menggantung seperti itu. Dan 
apakah kondisi seperti ini yang diinginkan ? 

 
Ki Ageng Pengging terdiam. Dan Ki Ageng Tingkir menyarankan, bila  memang 
sudah mantap dengan keputusannya, seyogyanya, segera meminta kepada Sultan Demak 
untuk memberikan keputusan pasti mengenai Pengging. Dan itu berarti, Ki Ageng harus 
melayangkan surat ke pemerintah pusat. Atau kalau perlu, menghadap langsung Sultan 
Demak. 
Dan Ki Ageng Pengging tampak enggan. Melihat keengganan di wajah adik 
iparnya, Ki Ageng Tingkir mengingatkan sekali lagi dengan nada agak keras : 
“Jika memang dhimas masih menginginkan tahta, jangan setengah-setengah lagi. 
Ingat, kakang siap dibelakang dhimas!” 
Dan Ki Ageng Tingkir mohon diri. 
Dan itulah terakhir kali Ki Ageng Pengging melihat kakak iparnya. Dua bulan 
kemudian, Ki Ageng Tingkir wafat. Ki Ageng Tingkir sudah memeluk Islam. Manakala 
jenazah hendak dimandikan, Ki Ageng Pengging berbisik ditelinga kanan jenazah kakak 
iparnya : 
“Kakang Tingkir, antinen sedhela maneh. Ingsun bakal nusul bebarengan 
nyabrang segara rahmat.” 
(Kakang Tingkir, tunggulah sebentar lagi. Aku akan menyusulmu untuk bersama-
sama mengarungi lautan Kasih.) 
 
 
 
Kelahiran Mas Karebet 
 
Istri Ki Ageng Pengging, yang sudah mengandung beberapa waktu lalu, sudah 
saatnya melahirkan. Kelahiran putra pertama Ki Ageng Pengging ini disambut gemuruh 
suka cita rakyat Pengging. Upacara kelahiran-pun digelar sangat meriah. Beberapa 
Pandhita Shiva Buddha datang tanpa diundang demi untuk memberikan doa-doa 
keselamatan. Hadir pula Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Mereka yang beragama 
Shiva Buddha dan Islam, bercampur, bersuka ria menyambut kelahiran putra Ki Ageng. 
Pertunjukan Wayang Beber ( wayang yang diceritakan dengan cara 
membentangkan gambar. Beber artinya Bentang. Wayang Beber artinya Wayang yang 
dibentangkan : Damar Shashangka. ) digelar hingga tujuh malam. 
Ki Ageng Pengging, memberikan nama Ki Mas Karebet kepada putranya. Karebet 
adalah nama lain dari Wayang Beber. Wayang Karebet sama artinya dengan Wayang 
Beber. ( Kelak, Ki Mas Karebet terkenal dengan nama Jaka Tingkir. sesudah  berhasil menjadi 
Sultan Pajang, lantas bergelar Sultan Adiwijaya : Damar Shashangka. ) 

 
Pada malam ke tujuh, menjelang dini hari, manakala pertunjukan Wayang hamper 
usai, para tamu dikejutkan dengan jatuhnya seberkas cahaya dari langit menuju Dalem 
Agung. Cahaya yang sangat jelas itu meluncur dari atas langit, bergerak cepat, mengarah 
atap Dalem Agung dimana Ki Mas Karebet ada didalam sana. Dan Cahaya itu lenyap 
tepat sesudah  menyetuh atap. Para tamu geger! 
 
 
 
 
 
Hampir semua para tamu yang masih terjaga, melihat cahaya itu. Yang tertidur 
cepat-cepat dibangunkan teman-teman mereka. Kejadian yang langka ini segera menyita 
perhatian semua yang tengah bersuka cita menyambut kelahiran Ki Mas Karebet. Semua 
tamu-pun sibuk memperkirakan, cahaya apa yang barusan terlihat. Sinarnya terang 
sedikit kebiru-biruan. Kepercayaan masyarakat Jawa menyebut cahaya itu ANDARU 
KILAT, atau cukup disebut NDARU. Suatu cahaya yang membawa ‘Wahyu Keprabhon’ 
atau tanda bahwa dimana kediaman orang yang kejatuhan ANDARU KILAT, sudah bisa 
dipastikan, kelak akan menjadi Penguasa Agung. Menjadi seorang Raja Besar! 
 
Para Pandhita segera memerintahkan untuk segera merakit sesajen sebagai sarana 
pelaksanaan sembahyang syukur . Hyang Widdhi Wasa, telah memberikan kepercayaan 
besar kepada keturunan Ki Ageng Pengging kelak, untuk menjadi Raja Tanah Jawa! 
 
Menjelang pagi hari, begitu pertunjukan Wayang Beber usai, upacara 
persembahyangan pun digelar! Mantram-mantram Weda terlantun syahdu pagi-pagi 
buta. Semua tamu yang beragama Shiva Buddha, ikut serta melaksanakan 
persembahyangan. Dupa mengepul. Merebak mewangi kesegenap penjuru. Suara genta 
Sang Pandhita berdenting-denting mengiringi ucaran-ucaran mantra. 
 
 

 
Duta Demak Bintara. 
 
 
Tiga tahun sudah berlalu. Dan tiga tahun sudah Ki Ageng Pengging harus 
mengelola Pengging tanpa status yang jelas. Mas Karebet, tumbuh menjadi bayi yang 
sehat dan montog. Kulitnya yang putih bersih, tubuhnya yang mungil dan tawanya yang 
menggemaskan, sangat-sangat menghibur Ki Ageng Pengging beserta istri beliau. 
Kehidupan Ki Ageng Pengging benar-benar bahagia. Hyang Widdhi melimpahkan 
kedamaian cinta kasih dalam keluarga beliau. 
 
Namun, lain lagi situasi di Demak Bintara. Tenggang waktu yang diberikan Sultan 
Demak kepada Ki Ageng Pengging, telah sampai kepada batasnya. Sultan Demak merasa 
perlu untuk mengambil tindakan tegas. Ki Ageng Pengging, telah dianggap ‘mbalelo’ atau 
membangkang perintah Sultan! 
sesudah  menggelar siding dengan para pembesar Kesultanan. Sultan Demak segera 
mengirim utusan ke Giri Kedhaton, meminta restu Sunan Giri, pemimpin Dewan Wali 
Sangha, untuk memberi wewenang mengambil keputusan tegas kepada Ki Ageng 
Pengging. Dan, Dewan Wali merestuinya. 
 
Pada hari yang dipilih, Sultan Demak mengutus Senapati Agung Demak Bintara, 
Sayyid Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus untuk menemui Ki Ageng Pengging. Perintah 
yang diberikan sangatlah tegas, yaitu memerintahkan Ki Ageng Pengging untuk 
menghadap ke Demak Bintara. bila  tetap bersikukuh dengan keengganannya, maka 
Senapati Demak diberikan wewenang penuh untuk menyingkirkan Ki Ageng Pengging, 
yang sudah dianggap sebagai pembangkang! 
 
Diiringi tujuh ratus prajurid pilihan Demak Bintara dengan persenjataan lengkap 
siap tempur, berangkatlah Sunan Kudus ke Pengging! 
 
Tidak diceritakan dalam perjalanan, Sunan Kudus beserta prajurid pilihan Demak 
Bintara, akhirnya sampai diwilayah Pengging. Malam telah menjelang. Hal ini memang 
sudah direncanakan oleh Sunan Kudus, yaitu tiba di Pengging tepat malam hari. sesudah  
beristirahat sejenak, Sunan Kudus memerintahkan pasukan membagi empat kelompok. 
Masing-masing ditempatkan di keempat penjuru arah, mengepung Pengging! Seluruh 
prajurid segera bergerak menempati pos masing-masing. Pengging, dalam sekejap telah 
terkepung dari semua arah! 
 
Namun, gerakan pasukan Demak ini diam-diam diketahui oleh beberapa 
masyarakat Pengging mantan prajurid. Secepatnya mereka menghubungi mantan Lurah 
Prajurid Pengging, melaporkan gerak pasukan tak dikenal yang terlihat telah mengepung 
wilayah Pengging! Mantan Lurah Pengging segera menghadap ke Dalem Agung. 
 
 
Malam itu, Ki Ageng Pengging mendapat laporan dari mantan Lurah Prajurid 
Pengging, bahwasanya, wilayah Pengging, telah dikepung dari empat penjuru oleh 
sepasukan tak dikenal! Dan mantan Lurah Prajurid memperkirakan, mereka adalah 
pasukan dari Demak Bintara! 
 
Mantan Lurah Prajurid memohon kepada Ki Ageng untuk memerintahkan sesuatu 
kepada mereka. Dan Ki Ageng memerintahkan agar tetap tenang. Beliau tidak mau ada 
pertumpahan darah. Yang diincar pasukan Demak adalah dirinya. Maka, Ki Ageng 
meyakinkan mereka, beliau akan menyelesaikan permasalahan ini secara damai. Namun, 
tidak ada salahnya para mantan prajurid Pengging disiagakan malam ini juga! 
 
Mantan Lurah Pengging, mendengar jawaban Ki Ageng Pengging, segera bergegas 
mohon undur. Dengan menggunakan sandi suara burung malam tiruan, suara sandi 
prajurid Pengging dulu, mantan Lurah Pengging, memerintahkan beberapa orang yang 
kebetulan bersamanya untuk memberi peringatan tanda bahaya kepada segenap mantan 
prajurid yang kini tengah tertidur lelap dikediaman masing-masing! 
 
Dari rumah kerumah, begitu mendengar bunyi sandi suara burung malam tiruan, 
para bekas prajurid Pengging terjaga! Kalaupun ada yg tidak terjaga saking lelapnya 
tertidur, istri maupun keluarga yang lain segera membangunkan mereka! Para mantan 
prajurid ini sudah terbiasa mendengar isyarat suara burung malam tiruan ini . Yaitu 
suara yang dibuat oleh beberapa prajurid untuk memperingatkan agar seluruh prajurid 
waspada dan siaga! 
 
Disana-sini, diseluruh Pengging, para mantan prajurid seketika terbangunkan. 
Masing-masing segera mengenakan pakaian tempur dan mengambil senjata masing-
masing yang sudah hampir tiga tahun tidak pernah mereka pergunakan lagi! 
 
Kini, tinggal menunggu suara ini  terdengar lagi. Jika kembali terdengar, 
maka pertanda, seluruh prajurid harus menempati pos mereka dahulu. Pos masing-
masing. Namun, bunyi yang dinanti-nantikan, tidak juga kunjung terdengar. Para mantan 
prajurid Pengging, yang sudah siap sedia dirumah masing-masing, terjaga semalaman 
suntuk!! 
 
(Inilah kejadian sesungguhnya yang terjadi waktu itu. Dalam Babad Tanah Jawa, 
hanya diceritakan, begitu Sunan Kudus dan bala tentara Demak tiba dipinggiran wilayah 
Pengging, mereka serta merta membunyikan gong Kyai Sima. Sima berarti Harimau. Dan 
bunyi gong ini  menggema kesegenap wilayah Pengging pada malam hari itu juga, 
sehingga seluruh masyarakat Pengging tidak bisa tidur semalam suntuk karena ketakutan. 
Padahal yang dimaksud, bahwasanya kedatangan Sunan Kudus beserta pasukan Demak 
diwilayah Pengging, bagaikan seekor Harimau yang tengah mengincar mangsanya, yaitu Ki 
Ageng Pengging. Dan kedatangannya dimalam hari, sudah diketahui oleh para prajurid 
Pengging. Babad Tanah Jawa sendiri, ternyata juga mencoba merendahkan Pengging 
dengan cerita bernuansa mistis. : Damar Shashangka) 
 
 
Dan, Sunan Kudus yang berpengalaman, juga telah menyadari bahwa 
kehadirannya beserta tentara Demak telah diketahui masyarakat Pengging. Seluruh 
pasukan Demak, melalui kurir-kurir khusus yang diutus dari pos ke pos lain, 
diperintahkan untuk siap tempur! Namun, dilarang menyerang dahulu bila  tidak 
diserang! 
 
Seluruh Lurah Prajurid pemimpin pos, baik yang ada diutara, timur, selatan dan 
barat, sesudah  menerima pesan kurir, segera memerintahkan seluruh pasukan untuk siap 
tempur!! Busur dan anak panah telah terpasang! Senjata telah terhunus! Tinggal 
menunggu komando selanjutnya!! 
 
Di Pihak Pengging, melihat gelagat pasukan asing yang dicurigai berasal dari 
Demak Bintara, ternyata juga mengambil sikap serupa!Para Lurah Prajurid Pengging, 
terus mengamati seluruh pasukan asing yang mengepung wilayah Pengging ini. Mereka 
memutuskan, tidak akan menyerang bila  mereka tidak diserang! Dan bunyi sandi 
suara burung malam tiruan, tidak juga segera terdengar lagi!!! 
 
Kedua pihak, siap ditempat masing-masing. Tidak ada yang bergerak mendahului. 
Menanti perkembangan selanjutnya! Baik di pihak Demak maupun di pihak Pengging, 
semalam itu, suasana sangat mencekam!! 
 
Menjelang pagi, Para Lurah Prajurid Pengging menemui Ki Ageng Pengging. 
Mereka meminta petunjuk selanjutnya. Dan Ki Ageng Pengging, mengutus seorang Lurah 
Prajurid beserta beberapa prajurid pilihan untuk menemui pemimpin pasukan yang 
mengepung wilayah beliau semenjak semalaman. 
 
Seorang Lurah Prajurid Pengging, diiringi beberapa prajurid pilih tanding, segera 
menuju pos pasukan Demak terdekat. Mereka menemui Lurah Prajurid Demak yang 
kebetulan bertugas memimpin pos utara dan menyatakan ingin bertemu pemimpin 
pasukan Demak atas permintaan Ki Ageng Pengging. Lurah Pasukan Demak segera 
mengirim kurir ketempat mana Sunan Kudus berdiam diri. Sunan Kudus mengijinkan, 
dan Lurah Prajurid Pengging dengan pasukannya, diiringi beberapa pasukan Demak, 
segera menuju ke tempat Sunan Kudus. Lurah Prajurid Pengging, sekarang semakin 
yakin, bahwa pasukan yang tengah mengepung wilayah Pengging adalah benar-benar dari 
Demak Bintara! 
 
sesudah  bertemu muka dengan Sunan Kudus, Lurah Prajurid Pengging segera 
menanyakan maksud kedatangan Sunan Kudus diwilayah Pengging. Dan terang-terangan 
Sunan Kudus menjawab, dia diperintahkan oleh Sultan Demak untuk membawa Ki Ageng 
Pengging menghadap ke Demak! 
 
Lurah Prajurid Pengging sedikit mengungkapkan ketidak senangannya dengan 
cara kedatangan pasukan Demak yang mengepung Pengging seperti itu. Seolah-olah, 
Pengging adalah wilayah pembangkang, pemberontak dan siap untuk dilumatkan! 
 
Dan Sunan Kudus menjawab : 

“Kalian hanya rakyat kecil. Ini urusan orang besar. Sudah jangan ikut campur. 
Antarkan aku menemui Ki Ageng Pengging!” 
 
Walau dengan hati panas, Lurah Prajurid Pengging segera mengantarkan Sunan 
Kudus menemui Ki Ageng Pengging. 
 
Pagi itu, Ki Ageng Pengging baru usai sembahyang. Masih tampak bunga segar 
terselip ditelinga kanannya. Lurah Prajurid Pengging yang diutus menemui pasukan 
Demak, menghadap. Dia melaporkan bahwa Sunan Kudus, Senapati Agung Demak 
Bintara, datang untuk bertemu dengan Ki Ageng Pengging pribadi. 
 
Ki Ageng Pengging mempersilakan Senapati Agung Demak Bintara itu menemui 
beliau di Dalem Agung. 
 
Sunan Kudus, diiringi beberapa prajurid Demak segera menuju Dalem Agung. 
Lantas, sesudah  dipersilakan masuk oleh Ki Ageng Pengging, Sunan Kudus-pun masuk ke 
bilik dalam. Prajurid pengiring dari Demak, menunggu diluar. 
 
Ki Ageng Pengging, memerintahkan pelayan untuk mempersiapkan hidangan bagi 
Sunan Kudus dan beberapa prajurid Demak yang tengah berjaga-jaga diluar. 
 
Didalam bilik Dalem Agung, Sunan Kudus kini duduk bersila, berhadap-hadapan 
dengan Ki Ageng Pengging. sesudah  berbasa-basi sejenak, Ki Ageng Pengging segera 
menanyakan maksud kedatangan Sunan Kudus beserta pasukan Demak. 
 
Sunan Kudus menegaskan, bahwasanya kedatangannya mengemban perintah 
Sultan Demak untuk membawa Ki Ageng Pengging menghadap ke Demak Bintara sesuai 
dengan tenggang waktu yang pernah diberikan oleh Sultan Demak melalui Ki Patih 
Wanasalam, tiga tahun yang lalu. Dan Sunan Kudus, tanpa basa-basi lagi menunjukkan 
surat perintah Sultan kehadapan Ki Ageng Pengging langsung! 
 
Ki Ageng Pengging tersenyum. Beliau kembali menyatakan bahwa, sudah tidak ada 
perlunya beliau menghadap ke Demak. Karena semenjak tiga tahun lalu, beliau bukan 
siapa-siapa lagi. Beliau hanya sekedar orang desa, yang tengah menjalani kehidupan 
bersahaja, tidak ada kaitan sama sekali dengan perpolitikan Negara. Beliau hanyalah 
seorang pertapa biasa. Mengapakah Sultan Demak sangat-sangat berkepentingan dengan 
orang seperti dirinya? Seorang pertapa desa yang tidak ada keistimewaannya apapun. 
 
Sunan Kudus meragukan kata-kata Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus meminta 
bukti kalau memang Ki Ageng Pengging memang seorang pertapa biasa. Dan Sunan 
Kudus menantang berdebat tentang Ilmu Sejati dengan Ki Ageng Pengging. 
 
Ki Ageng Pengging menerima tantangan ini . 
 
 
Dan terjadilah Tanya jawab tentang Ilmu Sejati. Sunan Kudus melempar 
pertanyaan dan Ki Ageng Pengging menjawabnya. Dan jawaban-jawaban Ki Ageng 
Pengging, beberapakali sempat membuat Sunan Kudus terperangah. 
 
Pada suatu kesempatan, Sunan Kudus melemparkan pertanyaan simbolik sebagai 
berikut : 
 
Kalamun Ingsun kapanggih kalawan kekasihingwang, Dadi Kawula pan mami, 
Kalamun Ingsun kapisah kalawan kekasih mami, 
Sun dadi Ratu, 
Ratu Ratuning sabumi, 
Ratu Angratoni Jagad. 
 
 
(Manakala Ingsun ( Aku ) bertemu dengan kekasih-Ku, 
Ingsun ( Aku ) menjadi Kawula ( Hamba ), 
Manakala Ingsun ( Aku ) terpisah dengan kekasih-Ku, 
Ingsun ( Aku ) menjadi Raja, 
Raja Diraja seluruh bumi, 
Raja Yang Merajai Jagad Raya. ) 
 
 
Siapakah Ingsun ( Aku ) dan siapakah kekasih-Ku ? 
 
 
 
Ki Ageng Pengging tersenyum dan menjawab : 
 
 
 
Ingsun ya Ingsun, 
Datan ana roro telu 
Kasebut Hyang Paramashiwah, Hyang Sadashiwah lan Hyang Atma 
Telu-telune jatine Tunggal! 
 
(Ingsun ( Aku ) adalah Ingsun ( Aku ) 
Tiada lagi yang kedua maupun ketiga 
Disebut juga Hyang Paramashiva, Hyang Sadashiva dan Hyang Atma 
Ketiga-tiganya sesungguhnya adalah Satu!) 
 
 
 
Kasebut ugi Allah, Rasul lan Mukhammad, 
Telu-telune Tunggal uga! 
 
(Disebut juga Allah, Rasul dan Mukhammad, 
 
Ketiga-tiganya sesungguhnya adalah Satu juga!) 
 
 
 
Kang ingaranan kekasihingwang, 
Ya jisim ya suksma, 
Yen Ingsun kapanggih kalawan jisim lan suksma, 
Ingsun dadya Kawula, 
Yen Ingsun kapisah kalawan jisim lan suksma, 
Ingsun Pan dadya Ratu, 
Ratu Ratuning Jagad, 
Ya Brahman Ya Allah, 
Tan liyan saking punika! 
 
(Yang disebut kekasih-Ku, 
Adalah Jasad dan Suksma, 
Manakala Ingsun ( Aku ) bertemu dengan Jasad dan Suksma, 
Ingsun ( Aku ) menjadi Kawula ( Hamba ), 
Manakala Ingsun ( Aku ) terpisah dengan Jasad dan Suksma, 
Ingsun ( Aku ) menjadi Raja, 
Raja Diraja Semesta, 
Ya Brahman Ya Allah, 
Tiada lain dari itu!) 
 
Sunan Kudus tersenyum mendengar jawaban Ki Ageng Pengging. 
 
Dan perdebatan semakin panas! 
 
KI AGÊNG PÊNGGING (4) 
Oleh : Damar Shashangka 
 
 
Sunan Kudus bertanya. 
“Ana Curiga kalawan Warangka. Yen mung katon Warangka, aneng ngendi 
Curiganira?” 
(Ada Keris dan Warangka. Manakala hanya terlihat Warangka, dimanakah 
Kerisnya ?) 
Ki Ageng Pengging menjawab, 
“Amanjing Warangka. Manunggal anyawiji!” 
(Masuk kedalam Warangka. Manunggal menjadi satu!) 
Sunan Kudus tersenyum, lantas bertanya lagi. 
“Yen mung katon Curiga, aneng ngendi Warangkaneki?” 
(Manakala hanya terlihat Keris, dimanakah Warangkanya? ) 
Ki Ageng Pengging menjawab. 
“Amanjing Curiga. Manunggal anyawiji!” 
(Masuk ke dalam Keris. Manunggal menjadi satu ! ) 
Kemudian Sunan Kudus bertanya. 
“Yen musna ilang lelorone, dumunung ing ngendi?” 
(Manakala hilang musna keduanya, berada dimanakah?) 
Ki Ageng Pengging menjawab. 
“Dumunung aneng Urip!” 
(Berada didalam Hidup!) 
Sunan Kudus tertawa. Lantas dia bertanya lagi.. 

“Ana ing ngendi dununging Urip?” 
(Dimanakah tempat kediaman Hidup?) 
Ki Ageng pun menjawab. 
“Ana Ing Galihing Kangkung 
Ana Ing Gigiring Punglu 
Ana Ing Susuhing Angin 
Ana Ing Wekasaning Langit. 
(Berada di inti tumbuhan Kangkung 
Berada di sudut Pelor 
Berada di Kediaman Angin 
Berada di akhir Langit. ) 

 
 
 
 
 
 
 
(Tumbuhan Kangkung berlobang dibagian tengahnya, lantas dimanakah intinya tumbuhan 
kangkung? Pelor atau mimis jaman dulu, berbentuk bulat, lantas dimanakah sudutnya? 
Angin senantiasa bergerak, lantas dimanakah kediamannya ? Langit tanpa batasan, lantas 
dimanakah akhir langit? Inti Kangkung, Sudut Pelor, Kediaman Angin dan Akhir langit, 
disitulah tempat kedudukan Hidup berada. : Damar Shashangka ) 
Kembali Sunan Kudus tersenyum, dan Sunan Kudus belum puas. Kembali dia 
melempar pertanyaan. 

“Yen ilang Alip, lebur marang Lam Awal lan Lam Akhir. Ilang Lam Awal lan Lam 
Akhir, lebur marang Ha'. Yen lebur Ha' dumunung aneng ngendi?” 
(Jika hilang huruf Alif, maka lebur kedalam Lam Awwal dan Lam Akhir. Jika 
hilang Lam Awwal dan Lam Akhir, lebur kedalam Ha'. Jika lebur Ha', berada dimanakah 
? ) 
Ki Ageng menjawab. 
“URIP!” 
(Hidup!) 
Sunan Kudus menyela. 
“ALIP Jisimingsun!” 
(ALIP Jasad-Ku! ) 
Ki Ageng menyela juga. 
“ANG Raganingsun!” 
(ANG Raga-Ku! ) 
Sunan Kudus menyela lagi. 
“LAM AWAL lan LAM AKHIR Napsuningsun!” 
(LAM AWWAL dan LAM AKHIR Nafs-Ku! ) 
Ki Ageng menyela juga. 
“UNG Suksmaningsun!” 
(UNG Suksma-Ku ! ) 
Sunan Kudus menimpali lagi. 
“HU Ruhingsun !” 
(HU Roh-Ku ! ) 
Ki Ageng menimpali juga. 
“MANG Atmaningsun!” 
(MANG Atma-Ku ! ) 

 
Sunan Kudus. 
“ALLAH Asmaningsun!” 
(ALLAH Nama-Ku ! ) 
Ki Ageng Pengging. 
“HONG Asmaningwang!” 
(HONG Nama-Ku ! ) 
Sunan Kudus. 
“ALIP, LAM AWAL, LAM AKHIR, HU............ALLAH!” 
Ki Ageng Pengging. 
“ANG, UNG, MANG.............HONG!” 
 
 
 
ANG,UNG,MANG, HONG (AM,UM,MAM,AUM) 
 
Sunan Kudus diam. Lantas menantang secara halus. 
“Yen tebu weruh legine, yen endhog weruh dadare!” 
(bila  Tebu nyata manisnya, bila  telur nyata isinya!” 
(Ungkapan ini adalah ungkapan khas Jawa, yang maksudnya meminta bukti nyata 
dari semua yang telah diucapkan : Damar Shashangka ) 
Ki Ageng tersenyum dan berkata : “ Sumangga ing karsa..” ( Silakan..) 
Ki Ageng Pengging lantas bersendekap dan meminta Sunan Kudus memperhatikan 
titik diantara kedua alis mata beliau. Lantas, Ki Ageng memejamkan mata. 
Sunan Kudus awas, dia lekat memperhatikan titik diantara kedua alis mata Ki 
Ageng Pengging. Suasana mendadak berubah, ruangan dimana Sunan Kudus berada, 
terasa hampa, senyap dan seolah tanpa suara sama sekali. Beberapa detik kemudian, 
Sunan Kudus mendadak tersentak manakala dia melihat cahaya terang nan lembut 
memancar dari titik diantara kedua mata Ki Ageng Pengging! 
Cahaya yang lembut itu menerobos kesadaran Sunan Kudus. Dan disana, ditengah 
hempasan cahaya ini , Sunan Kudus melihat dirinya berada disana. Sejenak 
kemudian berubah menjadi wujud Ki Ageng Pengging, lantas berubah lagi menjadi 
wujudnya! 
Sunan Kudus menutup mata, namun penampakan itu menembus kelopak matanya 
yang terpejam. Sunan Kudus lantas berkata. 
“Aku percaya nakmas Pengging...Sudah cukup!” 
Ki Ageng Pengging tersenyum, dan cahaya lembut yang memancar dari titik 
ditengah kedua alis matanya ini , mendadak sirna tanpa bekas. 
Sunan Kudus membuka matanya dan menatap Ki Ageng Pengging tajam, sembari 
berkata. 
“Kabarnya, nakmas Pengging mampu MATI SAJERONING URIP. URIP 
SAJERONING PATI ?” 
Ki Ageng Pengging menjawab. 
“Kangjeng Sunan, saya tahu, Kangjeng Sultan Demak menganggap saya sebagai 
'klilip' (Penghalang) beliau. Tidak usah berbasa-basi lagi. Saya siap mati sekarang. Saya 
bisa mengakhiri kehidupanku saat ini juga. Tapi, kalau saya melakukannya, sama saja 
dengan bunuh diri. Bunuh diri dalam keyakinan Shiwa maupun Islam, adalah hal yang 
tercela. Untuk itu, jadilah perantara kematianku!” 
Sunan Kudus terdiam. 
“Cabutlah keris Kangjeng,” lanjut Ki Ageng Pengging, “tusukkan siku kananku ini. 
Disaat ujung keris Kangjeng menancap disikuku ini, saat itulah, aku akan melepaskan 
suksma dan Atmaku dari jasadku. Silakan!” 

Sunan Kudus segera mencabut kerisnya. Sedangkan Ki Ageng Pengging sejenak 
bersendekap memejamkan mata. Disusul, beliau angkat siku kanannya kedepan. Sunan 
Kudus menusukkan kerisnya kesiku Ki Ageng Pengging. Dan disaat itulah, Ki Ageng 
Penggin melepaskan suksma dan Atmanya! 
Tubuh Ki Ageng Pengging rebah ke kanan. Sunan Kudus memeriksa detak jantung 
Ki Ageng Pengging, dan Sunan Kudus yang sudah berpengalaman yakin, bahwa Ki Ageng 
Pengging telah wafat. Sejenak beliau membenahi jasad Ki Ageng, lantas Sunan Kudus 
keluar dari bilik Dalam Agung. 
(Silakan membaca cerita ini langsung dari Babad Tanah Jawa untuk perbandingan : 
Damar Shashangka ) 
Sesampainya diluar, Sunan Kudus segera memerintahkan prajurid Demak 
berkemas. Sunan Kudus dan para prajurid Demak, tanpa banyak berkata-kata, segera 
meninggalkan Dalem Ki Ageng Pengging. 
Didalam bilik Dalem Agung, tepat pada saat itu, pelayan yang hendak menyediakan 
hidangan mohon masuk. Tapi tidak ada jawaban. Bergegas dia lari memanggil Nyi Ageng 
Pengging. Istri Ki Ageng Pengging berlari tergopoh-gopoh ke Dalem Agung, memancing 
perhatian beberapa prajurid Pengging. Karena tidak ada jawaban juga saat Nyi Ageng 
Pengging mohon masuk, maka segera saja beliau menerobos ke dalam. Dan terkejutlah 
Nyi Ageng Pengging melihat Ki Ageng Pengging telah terbujur kaku menjadi mayat! 
Nyi Ageng Pengging jatuh pingsan. Beberapa prajurid Pengging tanpa dikomando 
segera berhamburan menaiki kuda masing-masing, menyusul rombongan Sunan Kudus. 
Para Lurah Prajurid Pengging menyusul kemudian. Bendhe Beri ( Gong kecil yang 
dibunyikan untuk mengumpulkan para prajurid : Damar Shashangka ), suaranya riuh 
rendah bercampur dengan pukulan kentongan bertalu-talu. Masyarakat Pengging yang 
sudah siap sedia sejak semalam, baik yang sudah ada disekitar Dalem Ki Ageng Pengging 
maupun yang masih ada dirumah masing-masing, segera menaiki kuda masing-masing 
sembari membawa persenjataan perang lengkap! 
Di pihak pasukan Demak, mendapati Bendhe Beri dan Kentongan berbunyi 
bertalu-talu, segera mempersiapkan diri. Walau belum tahu pasti apa yang terjadi, mereka 
telah siap sedia jika ptajurid Pengging menyerang! 
Rombongan Sunan Kudus tersusul. Rombongan kecil Senopati Demak itu segera di 
kepung prajurid Pengging! Prajurid Pengging telah siap tempur! Senjata telah terhunus 
nyalang! Dada para prajurid Pengging bergemuruh mendidih! 
Sunan Kudus memerintahkan seorang prajurid Demak mengibarkan bendera 
merah! Tanda bagi seluruh pasukan Demak yang ada disudut-sudut Pengging untuk siap 
tempur! Suasana tegang! 
Bendera merah berkelebat-kelebat, disusul dari kejauhan, empat orang prajurid 
Demak mendadak muncul sembari memacu kuda dengan mengibarkan bendera serupa. 
Keempatnya meneruskan perintah Sunan Kudus yang tengah terkepung kepada para 
pasukan yang siap sedia disudut-sudut Pengging! 
Isyarat itu terlihat oleh para pemimpin pasukan Demak, baik yang ada diutara, 
timur, selatan dan barat! Serta merta, seluruh pasukan Demak keluar dari tempat 
persembunyiannya. Bergemuruh suaranya! Diiringi pekikan-pekikan nama Tuhan! 
Seperti kebiasaan mereka! 
Para prajurid Pengging yang mengepung Sunan Kudus, hanya melihat sepasukan 
dari dua arah, namun mereka mendengar suara pekikan-pekikan pasukan lain yang tak 
terlihat berada diseberang wilayah mereka. Mereka menyadari, posisi mereka kini 
terkepung! Wilayah Pengging benar-benar terkepung!! 
“Heh kalian rakyat Pengging!! Kaliah hanya rakyat biasa! Ini urusan orang besar! 
Kembalilah pulang ke rumah masing-masing!!” Teriak Sunan Kudus! 
Seorang Lurah Prajurid Pengging maju beberapa langkah dengan kudanya. 
“Bagi kami lebih baik mati bersama junjungan kami!” 
Sunan Kudus menjawab. 
“Ingat posisi kalian! Kalian sudah terkepung! Dan ingat pula akan anak istri 
kalian! Jika pasukan Demak menyerang, seluruh wilayah ini akan dibakar! Kalian boleh 
berani menumpahkan darah kalian! Tapi apakah kalian juga akan tega melihat anak istri 
kalian ikut menjadi korban !?” 
Nyali prajurid Pengging menciut begitu mendengar gertakan Sunan Kudus! 
Seketika mereka teringat akan anak istrinya yang kini juga tengah terkepung dan 
terancam! Seluruh pasukan Pengging menjadi gamang! Sunan Kudus melihat itu semua, 
lantas Sunan Kudus berkata lagi. 
“Sarungkan senjata kalian! Urusan kami hanya dengan Ki Ageng Pengging! 
Uruslah jenazah junjungan kalian! Kangjeng Sultan Demak, akan memberikan 
pengampunan bagi kalian semua!” 
Kepanikan melanda prajurid Pengging. Bayangan anak dan istri mereka membuat 
keberanian mereka menciut! Dan, Lurah Prajurid Pengging yang paling senior segera 
memerintahkan seluruh prajurid Pengging menyarungkan senjata. Disusul, Lurah 
Prajurid Pengging memerintahkan memberikan jalan kepada rombongan Sunan Kudus 
yang terkepung. 
Sunan Kudus segera memerintahkan pasukan bergerak kedepan! Bendera putih 
kini dikibarkan! Disusul beberapa prajurid dari kejauhan kembali meneruskan pesan itu 
sembari membawa bendera putih juga! Dan pemimpin pasukan Demak yang telah 
bersiap-siap diposisi masing-masing, begitu melihat bendera merah berganti bendera 
putih, segera memerintahkan pasukan masing-masing untuk menyarungkan senjata! 

 
Pekik nama Tuhan berkumandang berkali-kali! Pasukan Demak merasa telah 
memenangkan pertempuran atas berkat Tuhan! 
Dipihak lain, prajurid Pengging masih menyimpan bara amarah! Seandainya 
mereka berhadap-hadapan digaris depan seperti saat peperangan Majapahit dan Demak 
dulu, pasti mereka tak segan-segan menumpahkan darah! 
Terdengar teriakan Lurah Prajurid Pengging memerintahkan seluruh prajurid 
kembali ke Pengging. 
Duka menyelimuti Pengging. Jenasah Ki Ageng Pengging segera disucikan. 
Upacara Sraddha tergelar. Para Pandhita Shiwa Buddha berdatangan. Pengging 
berkabung! Para sisa bangsawan Majapahit, mendengar kabar wafatnya Ki Ageng 
Pengging, segera menuju Pengging. Upacara pembakaran mayat-pun dilaksanakan. 
Sebulan sesudah  wafatnya Ki Ageng Pengging, Nyi Ageng Pengging yang jatuh sakit, 
menyusul. Beliau wafat! Kembali Pengging berduka. Mendung menyelimuti Pengging. 
Mas Karebet, menjadi yatim piatu. Dan Nyi Ageng Tingkir, janda Ki Ageng 
Tingkir, membawa Mas Karebet kecil ke Tingkir. Mas Karebet diasuh oleh Nyi Ageng 
Tingkir. Mas Karebet lantas dikenal dengan nama JAKA TINGKIR. 
Kelak dikemudian hari, Mas Karebet atau Jaka Tingkir, berhasil mendirikan 
Kesultanan Pajang dan menjadi Raja Tanah Jawa. Dan beliau bergelar SULTAN 
ADIWIJAYA.