ki hajar dewantara 1
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
ki hajar dewantara 1
Pada dasarnya sejarah adalah hubungan antarbiografi
yang melewati atau menembus batas waktu. Membicarakan Ki
Hajar Dewantara (KHD), hal ini berarti memahami relasinya
dengan tokoh-tokoh sejarah yang sezaman khususnya di bidang
politik, meski bidang-bidang lain tidak dapat ditinggalkan.
Sebaran spasialnya tentunya seluruh nusantara dan lingkup
temporalnya mencakup periode pemerintahan penjajahan
Belanda di Indonesia pada akhir abad XIX sampai dengan
pertengahan abad XX.
KHD lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama
RM Soewardi Soerjaningrat (RM Soewardi Soerjaningrat ), putra GPH Soerjaningrat,
atau cucu Sri Paku Alam III. Dari genealoginya RM Soewardi Soerjaningrat adalah
keluarga bangsawan Pakualaman. Sebagai bangsawan Jawa, RM Soewardi Soerjaningrat
mengenyam pendidikan ELS (Europeesche Lagere School)
– Sekolah Rendah untuk Anak-anak Eropa. Kemudian RM Soewardi Soerjaningrat
mendapat kesempatan masuk STOVIA (School tot Opleiding
voor Inlandsche Artsen) biasa disebut Sekolah Dokter Jawa.
Namun karena kondisi kesehatannya tidak mengizinkan
sehingga RM Soewardi Soerjaningrat tidak tamat dari sekolah ini.
Adapun profesi yang digelutinya adalah dunia jurnalisme
yang berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada waktu
itu: Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara yang melontarkan
kritik sosial-politik kaum bumiputra kepada penjajah. Tulisannya
komunikatif, halus, mengena, namun keras. Jiwanya sebagai
pendidik tertanam dalam sanubarinya direalisasikan dengan
mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922) guna mendidik
warga bumiputra.
Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman
RM Soewardi Soerjaningrat berkepribadian sangat sederhana dan sangat dekat dengan
kawula (rakyat). Jiwanya menyatu lewat pendidikan dan budaya
lokal (Jawa) guna menggapai kesetaraan sosial-politik dalam
warga kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi
dasar RM Soewardi Soerjaningrat dalam memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat
nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme politik.
Keteguhan hatinya untuk memperjuangkan nasionalisme
Indonesia lewat pendidikan dilakukan dengan resistensi terhadap
Undang-undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie,
1932). Undang-undang yang membatasi gerak nasionalisme
pendidikan Indonesia akhirnya dihapus oleh pemerintah
kolonial. Perjuangannya di bidang politik dan pendidikan inilah
kemudian pemerintah Republik Indonesia menghormatinya
dengan berbagai jabatan dalam pemerintahan RI, mengangkat
KHD sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1950).
KHD mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas
Gadjah Mada (1959). Pemerintah RI mengangkat KHD sebagai
Pahlawan Nasional (1959). Meski perjuangannya belum selesai
untuk mendidik putra bangsa, jelas KHD memelopori lahirnya
pendidikan di Indonesia. KHD wafat pada 26 April 1959
dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya
Brata, Yogyakarta.
Guna memberikan rambu-rambu dalam artikel ini
perlu disampaikan pokok pertanyaan yang mengarahkan alur
penjelasan arikel. Mengapa gagasan politik KHD membuka jalan
bagi pendidikan bangsa dan menyebarkan faham kebangsaan
demi tercapainya kemerdekaan Indonesia? Pokok pertanyaan ini
yang akan memandu penjelasan tentang gagasan politik KHD
bagi perpolitikan Indonesia terutama pada masa Pergerakan
Nasional. Sekaligus artikel ini akan menemukan sesuatu yang
baru berkaitan dengan peran KHD sebagai tokoh nasional bangsa
Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Salah satu bagian penting politik kolonial yang
dipertahankan di koloni adalah politik diskriminasi yang
membedakan kedudukan dan peran antara penjajah dan terjajah.
Diskriminasi itu dipertahankan untuk mendukung kedudukan
dan peran sosial-politik kolonial yang menghegemoni semua
bidang kehidupan kolonial . Pemerintah kolonial yang
diidentifikasikan sebagai penguasa otomatis memiliki
kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada orang bumiputera
baik secara material dan spiritual. Hal-hal inilah yang mendukung
perasaan superioritas sebagai penjajah, pemerintah kolonial
berhak mengatur inferoritas bumiputra.
Yang dimaksud dengan pemikiran politik adalah usaha
KHD untuk mendapatkan sesuatu yang oleh pemerintah
kolonial dipertahankan. Oleh karena itu pemikiran politik KHD
dilakukan dengan multifaset, bukan hanya bidang politik melulu
namun juga sosial dan kultural.
Diskriminasi menengarai perbedaan fisik dan kultural.
Mereka merasa sebagai bangsa yang memiliki ras Arya yang
memiliki peradaban tinggi di Eropa dibawa sampai ke
koloni. Sebagai ras yang hebat dan kuat mampu menaklukkan
lautan luas dan menjajah serta menguasai bumiputera yang
lebih rendah peradabannya. Orang-orang bumiputera yang
berperadaban rendah harus diadabkan. Oleh karena itu,
kolonialisme sering berkedok mengadabkan bangsa lain meski
sebenarnya berisi pemerasan, pembedaan, dan penguasaan.
Meski demikian bangsa Barat termasuk Belanda bersiteguh
mengatakan perlawatannya ke dunia Timur merupakan mission impossible
sacrée alias tugas suci untuk mengadabkan bangsa-bangsa Timur
termasuk Indonesia. Ada sekian banyak dalih untuk melegalkan
tindakannya di dunia Timur, yaitu dengan menyebutnya white
man’s burden , yang tidak lain sepertinya itu semua merupakan
tugas atau beban orang bule di dunia Timur ,
Memang sangat luar biasa mengemas kepentingannya
rapi dengan istilah yang memiliki rasa perikemanusiaan yang
sangat tinggi. Namun, prakteknya di koloni jauh panggang dari
api. Pemerintah kolonial dengan aparat kolonialnya berperilaku
menyimpang dari cita-cita awal untuk mengadabkan bangsa
Timur. Praktek-praktek diskriminasi, kekerasan, penekanan,
kecurangan, korupsi dan sejenisnya sangat tidak mengenakkan
perasaan orang bumiputra. Ketidakpuasan menyelimuti semua
perasaan etnik-etnik di koloni yang menginginkan kehidupan
setara antara penjajah dan terjajah baik sosial maupun politik ,
Dari latar belakang kehidupan sosial-politik inilah
pikirannya jauh ke depan yaitu bagaimana caranya orang-orang
bumiputra yang terpinggirkan ini mendapat kesempatan untuk
mendapat kesetaraan secara sosial-politik dalam warga
kolonial. Memang secara tidak langsung di lingkungan
Pakualaman sudah terbentuk cultuur-milieu berupa lingkungan
kultur yang maju yang didukung oleh para elite Pakualaman
Sebagai contoh adalah Pangeran Ario Notodirodjo, putra
Paku Alam V, seorang elite terkemuka Ketua Budi Utomo (1911)
yang juga melakukan pembaruan di lingkungan Pakualaman dan
bisa disebut salah seorang pelopor pergerakan nasional Jawa.
Juga RM Surjopranoto, putra GPH Suryaningrat dan kakak RM Soewardi Soerjaningrat ,
mendirikan sekolah Adhi Dharmo. Dalam kariernya sebagai
pemimpin bumiputra Suryopranoto sangat membela nasib buruh
sehingga dikenal sebagai “Raja mogok”. Bagi buruh, mogok
Secara umum lingkungan elite Pakualaman sudah
membangun kemajuan untuk warga lokal Jawa, mencari
kesetaraan dalam warga kolonial yang memiliki
kandungan unsur demokrasi dalam politik dan mendorong
kesejahteraan bagi warga kecil pada umumnya. Sebagai
kelanjutan perjuangan keluarga Pakualaman adalah perjuangan
di bidang pendidikan pada umumnya. Pendapat seorang
sosiolog mengatakan bahwa pendidikan adalah dinamite yang
dapat menghancurkan struktur warga kolonial yang rigid.
Disamping itu tentunya paska kemerdekaan, pendidikan tetap
menjadi fondasi utama bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa
Indonesia.
Kepincangan dalam warga kolonial adalah kuatnya
diskriminasi sosial dan politik. Usaha mempertahankan
diskiriminasi ini dimaksudkan agar terjaga kewibawaan kolonial
dan membuat distansi dengan warga pribumi tetap terjaga.
Dengan kata lain, diskriminasi melanggengkan penjajahan.
Itulah sebabnya pendekatan terhadap bumiputra merupakan
hal tabu. Sistem kolonialisme Belanda yang menjauhkan antara
penjajah dan terjajah tetap terpelihara sehingga mobilitas
vertikal kaum pribumi tetap terkontrol. Komunikasi sosial.
politik antara penjajah dan terjajah sangat renggang dan bahkan
terjadi jurang yang dalam sehingga melanggengkan sistem
pemerintahan tidak langsung, artinya warga pribumi tetap
diperintah penguasa tradisional, sehingga penguasa kolonial
cukup menghubungi penguasa bumiputera dalam menjalankan
pemerintahan kolonial.
Bagaimana cara pemerintah kolonial menjauhkan
diri dari jangkauan warga bumiputra antara lain dengan
mengeluarkan RR 111 (Regeerings Reglement), atau Peraturan
Pemerintah Kolonial yang membatasi gerak politik warga
bumiputra. Jadi, sebenarnya pemerintah kolonial sudah menutup
aktivitas politik terhadap pemerintah kolonial. RR 111 ini sudah
terbit untuk mengantisipasi gerakan politik sehingga gerakan
maRM Soewardi Soerjaningrat a Jawa yang timbul kemudian dalam bentuk gerakan
kultural sebagaimana kemudian dimanifestasikan dalam
lahirnya organisasi Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908.
Dari kacamata politik dapat dipandang lahirnya BU adalah
terobosan terhadap RR 111. Para priyayi Jawa, dokter Wahidin
Sudirohusodo, berkolaborasi dengan mahasiswa STOVIA,
Sutomo dan kawan-kawannya, berhasil menghimpun diri dalam
memajukan warga Jawa pada waktu itu lewat pendidikan,
sehingga pemerintah kolonial tidak dapat menindak gerakan BU,
yang berbasiskan gerakan kultural. Selain itu, era lahirnya BU
sejalan dengan politik kolonial etis yang memberi kesempatan
pendidikan kepada warga Jawa meski memiliki interes
kolonial yang kapitalistis. Politik kolonial waktu itu dengan
triasnya sebagai bagian dari humanisme yang terselubung oleh kepentingan kapitalisme, artinya meski kemudahan etisisme
namun yang diharapkan adalah keuntungan kolonial yang lebih banyak lagi.
Partisipasi dan resistensi yang dilakukan oleh RM Soewardi Soerjaningrat cukup
panjang dalam perjuangan politik. Pengalaman awal dalam
politik saat saat RM Soewardi Soerjaningrat menjadi aktivis dan seksi propaganda
BU. Dalam kongres BU (1908), RM Soewardi Soerjaningrat mengorganisasikan kongres
itu. EFE Douwes Dekker (DD) alias Setyabudi Danudirja
mendirikan Indische Partij (IP) di Bandung pada 25 Desember
1912. RM Soewardi Soerjaningrat dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo bergabung di
dalamnya. Mengapa terjadi kolaborasi Indo dan bumiputra
tidak lain ingin membangun kekuatan besar untuk menghadapi
pemerintah kolonial. Kaum Indo yang tersisih dari pergaulan
totok harus membangun solidaritas campuran Indo dan
Bumiputra yang juga terhegemoni oleh pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, dalam IP berkolaborasi DD, RM Soewardi Soerjaningrat , dan Tjipto
Mangoenkoesoemo yang dikenal “Tiga Serangkai” merupakan
kekuatan nasionalis awal pergerakan
Dalam IP, kolaborasi bersama DD, RM Soewardi Soerjaningrat dan dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo makin radikal. Kombinasi Indo dan
bumiputra, menjadi kekuatan yang mampu menghadapi
pemerintah kolonial. Tiga orang tokoh IP memiliki pengalaman
terpinggirkan dalam warga kolonial. DD adalah Indo yang
tersingkir karena inferioritasnya dibanding dengan totok yang
lebih terampil, RM Soewardi Soerjaningrat memang berjiwa kerakyatan nasionalis Jawa
yang sedang tumbuh, Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tokoh
yang kritis terhadap diskriminasi kolonial. IP menanamkan
17----
benih nasionalisme awal dengan pernayataannya “Indiӫ voor
die Indiӫrs”, atau “Hindia untuk orang-orang Hindia” dalam arti
mengakui Hindia sebagai tanah airnya yang merupakan prinsip
utama nasionalisme ,
Untuk selanjutnya dari pengertian yang nasionalistis
ini berarti orang totok dan pemerintah kolonial harus
meninggalkan Hindia alias dilawan. Dalam Anggaran Dasar
IP disebutkan bahwa tujuan IP untuk membangun patriotisme
bangsa Hindia, yaitu kepada tanah air yang telah memberi
kehidupan, dan menganjurkan kerjasama berdasar
persamaan sistem pemerintahan guna memajukan tanah air
Hindia dan mempersiapkan kehidupan warga merdeka”.
IP menjadi model partai politik yang menerima keberagaman
etnik di Indonesia guna menggalang persatuan dan semangat
kebangsaan. Paham kebangsaan ini sesudah melalui perjalanan
panjang diolah dan dimodifikasi oleh Perhimpunan Indonesia
(1924) dan Partai Nasional Indonesia (1927)
Sementara itu ”Tiga Serangkai” mendirikan Komite
Bumiputera pada Juli/Agustus 1913, namun yang memainkan
peran penting dalam komite itu RM Soewardi Soerjaningrat . RM Soewardi Soerjaningrat menulis karangannya
monumental dalam sejarah pemikiran politik Indonesia
berjudul “Als ik een Nederlander was...” (Seandainya aku
seorang Belanda) yang mengritik pemerintah kolonial yang
akan menyelenggarakan pesta 100 tahun Nederland lepas dari
penjajahan Prancis. Hanya saja biaya pesta itu dibebankan pada
warga bumiputra dengan mengumpulkan dana dari saku
orang bumiputra dan menarik berbagai pajak. Karangan itu
segera meluas ke warga karena diterjemahkan oleh Abdoel
Moeis ke dalam bahasa “Melayu”. Untuk menyingkirkan
tiga tokoh berbahaya itu bagi rust en orde harus dikenakan
exorbitante rechten dan cepat-cepat tiga tokoh berbahaya itu
ditangkap pada 18 Agustus dan harus meninggalkan Tanjung
Periuk pada 6 September 1913 dengan tujuan Nederland.
Karangan RM Soewardi Soerjaningrat itu dijawab oleh seorang Belanda kolonial
yang ditulis oleh H. Mulder, redaktur harian Preanger Bode
berjudul “Als ik eens Inlander was ...” (Sekiranya saya seorang
anak negeri...) tentu isinya memuakkan dan sangat menghina
martabat bumiputra. Tanggal 6 Sptember 1913 itu sebagai hari
keberangkatan “Tiga Serangkai” itu disebut sebagai “Hari Raya
Kebangsaan” (Koch, 1951 53-54). Di Parlemen Nederland, “Tiga
Serangkai” itu dibela oleh Sociaal Democratische Arbeiders
Partij (S.D.A.P), partai buruh, agar pemerintah kerajaan Belanda
mencabut pembuangan tiga tokoh itu, meski gagal.
IP berumur pendek karena radikalismenya dan menyerang
pemerintah kolonial sehingga IP dilarang pemerintah kolonial.
Pengaruh radikalisme IP, terutama DD diakui Gubernur Jenderal
Idenburg bahwa semangat antikolonial sudah menyebar ke
tokoh-tokoh Sarekat Islam. Oleh karena itu, pemerintah kolonial
harus menindaknya. Dapat dikatan IP berumur pendek namun
bagaikan “sebuah tornado yang melanda Jawa”. IP dibubarkan
dan “Tiga Serangkai” dibuang, namun organisasi itu diteruskan
pengganti-penggantinya dengan nama Insulinde, organisasi
yang anggotanya heterogin, yang kurang mendapat respon
warga dan pada 1919 ganti nama lagi menjadi Nationaal
Indische Partij (NIP). Karena orang-orang Indo merasa lebih
superior dibanding bumiputra maka perpecahan antar mereka
makin dalam dan orang-orang Indo bergabung dalam Indo
Europeesch Verbond (EIV) pada 1919 yang ingin dekat dengan
pemerintah kolonial
saat di Bandung, RM Soewardi Soerjaningrat menjadi ketua SI lokal. Apa yang
dilakukan RM Soewardi Soerjaningrat tentu memperjuangkan anggota SI mendapatkan
persamaan dan antidiskriminasi dalam warga kolonial baik
sosial, ekonomi dan politik. Gerakan-gerakan radikal dilakukan
diperoleh dari pengalamannya mengawal SI dan memimpin
lokal Bandung.
Terhadap “Tiga Serangkai”, pemerintah kolonial
menjawab dengan membuangnya meski yang pertama masih
ada di lingkungan Hindia Belanda namun kemudian mereka minta
agar dibuang ke Nederland. Tjipto hanya setahun di Nederland
karena sakit, DD kembali 1918 dan KHD kembali ke Indonesia
pada 1919 sesudah mengalami pembuangan enam tahun di negeri
Kincir Angin itu.
Dampak langsung IP khususnya terhadap KHD
adalah pengalaman politik yang telah diperjuangkannya
meski menghadapai berbagai kendala politik sampai dengan
pembuangannya. Namun, hikmahnya KHD makin matang
dalam perjuangan politik menghadapi pemerintah kolonial.
Secara umum tentunya IP memberi inspirasi semangat dan
pendewasaan nasionalisme, cinta tanah air dan perjuangan
kemerdekaan.
D. Aksi, Aliansi dan Nonkooperasi: Nasionalisme
dan Demokrasi
Suatu gerakan politik sebagaimana dilakukan KHD tidak
mungkin hanya ada dalam pikiran perjuangannya saja namun
harus membuat kombinasi ke arah realitas sebuah gerakan
yang nyata dalam melakukan resistensi terhadap pemerintah
kolonial. Aksi-aksinya adalah tindakan atas reaksi pemerintah
kolonial yang melakukan diskriminasi, represi, hegemoni sosial
dan politik sehingga merendahkan martabat sebagai etnik-
etnik yang berkarakter. Pendegradasian martabat melunturkan
identitas sehingga terjadi kehilangan karakter. Superioritas
kolonial sangat mengganggu eksistensi kultur dan warga
Jawa karena tekanan-tekanan sosial-politik yang berakibat pada
inferioritas yang kompleks. Ketidakpercayaan diri yang dibangun
pemerintah kolonial ini harus dikembalikan sehingga bangsa
ini berani masuk dalam warga kolonial dan berkompetisi
dengan mereka (Ki Hadjar Dewantara, 1952).
Namun, sekali lagi setiap aksi harus memperhitungkan
kekuatan diri dan kekuatan lawan. Merujuk teori sejarawan
Inggris, A.J. Toynbee “Teori Tantangan dan Jawaban” sangat
cocok bila diterapkan pada aksi-aksi melawan kolonialisme
Belanda. Jika kekuatan lawan cukup kuat diperlukan aliansi
sesama kekuatan politik bumiputra untuk menghadapi kuasa
kolonial. Artinya tantangan kolonial harus dijawab dengan
kekuatan yang seimbang.
Pengalaman telah menunjukkan bahwa DD berusaha
membangun IP beraliansi dengan KHD dan Tjipto. Perkumpulan
campuran ini anggotanya berjumlah 7.300 orang, hanya ada 1.500
orang Indonesia, sedang anggota Indo berjumlah 5.800 orang
(Koch, 1951: 55). Kuasa kolonial lewat bangunan organisasi
moderen harus dihadapi lewat bangunan moderen juga, meski
hasilnya tokh belum memuaskan. Akan namun aksi-aksi IP telah
memberikan inspirasi organisasi politik berikutnya di Indonesia
makin solid dalam menghadapi pemerintah kolonial.
Diskriminasi, hegemoni, represi, superioritas dan
sejenisnya adalah identitas kolonial yang tidak ingin disentuh
dan memang dibuat jarak dengan bumiputra. Melihat keadaan
sedemikian ini jelas sukar dilakukan deal sosial-politik karena
pada dasarnya sistem politik kolonial yang gierig atau pelit dan
sulit didekati karena adanya cultural gap yang dipertahankan.
Sulitya dilakukan pendekatan maka KHD mengambil model
nonkoopersi dalam menghadapi pemerintah kolonial. Artinya
KHD melakukan perjuangan politik di luar pemerintahan
kolonial. Dengan perjuangan cara nonkooperasi ini KHD
memlilih mendirikan Sekolah Taman Siswa yang berjiwa
ketimuran meski organisasinya mengikuti model Barat. Sekolah
ini tentu akan merekrut elite yang sudah dibekali dengan jiwa
ketimuran yang vis ā vis dengan pemerintah kolonial. Sikap
politik nonkooperasi ini akan dibuktikan oleh KHD dalam
mengahadapi Undang-undang Sekolah Liar, 1932. Undang-
undang itu melarang sekolah bumiputra hidup karena sebagai
persemaian nasionalis Indonesia. Pertumbuhan sekolah swasta
di Jawa dan Sumatera Barat sangat luar biasa 1920-1931-an.
Kurikulumnya tidak seragam dan itulah mengapa pemerintah
menyebut “sekolah liar”. Selain itu, guru-guru diharuskan
mendapat izin jika akan mengajar atau bersertifikasi lebih dulu.
Pemerintah kolonial khawatir terhadap berkembangnya sekolah
swasta di Indonesia.
Pada 1 Oktober 1932 KHD mengumumkan tantangannya
terhadap ordonansi itu lewat telegram kepada Gubernur
Jenderal de Jonge bahwa KHD akan mengorganisasikan
perlawanan pasif. Pada 3 Oktober dikeluarkan manifesto yang
menganjurkan perlawanan. Partindo, PNI, Pasundan, PPPKI,
BU, dan Muhammadiyah mendukung perlawanan terhadap
ordonansi itu, jadi dukungan terhadap perlawanan KHD
makin kuat. Pembatasan apapun terhadap sekolah-sekolah
membawa konsekuensi jangka panjang yang sangat berat dan
menggoyahkan pemerintah kolonial. Akhirnya pada akhir
Februari 1933 de Jonge menetapkan penghentian pelaksanaan
ordonansi itu. Berkat perjuangan Taman Siswa, undang-undang
itu akhirnya dicabut dan dampaknya menyatukan semangat
organisasi politik untuk terus memperjuangkan kebebasan
Kekhawatiran pemerintah kolonial adalah perluasan
nasionalisme. Meski masih dalam lingkup lokal, organisasi
BU dipandang oleh orang-orang Belanda yang berpikiran
maju sebagai oosterse renaiRM Soewardi Soerjaningrat ance , atau renaiRM Soewardi Soerjaningrat anse (kelahiran
kembali) di timur dengan sebutan “Si Molek telah bangun”.
Namun, di pihak lain ada pandangan orang-orang Belanda
konservatif yang menyebut lahirnya BU dengan istilah cukup
sinis, yang menurutnya, “Orang Jawa banyak cingcong”.
Meski tergambar BU memperjuangkan priyayi, namun sebagai
gerakan patriotisme lokal BU memiliki nilai sangat penting
karena kepeloporannya sebagai organisasi moderen , Memang untuk menghadapi pemerintah kolonial harus
dibangun organisasi moderen yang memiliki pemimpin,
maRM Soewardi Soerjaningrat a dan orientasi organisasi yang jelas, yaitu nasionalisme
dan kemerdekaan meski masih pada tingkat lokal. Hanya lewat
organisasi moderen kolonialisme dapat dilengserkan.
Di pihak lain adalah perkembangan unsur demokrasi
yang berhadapan dengan unsur feodal yang masih dominan
dan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial. Sejak datangnya
orang-orang Belanda pertama kali di nusantara terjadi kolusi
antara kolonialisme dan dan feodalisme. Interes kolonialisme
adalah melanggengkan eksploitasi terhadap bumiputra,
sedangkan feodalisme yang sudah lama melakukan eksploitasi
secara tradisional dipandang memiliki akar kuat untuk
diajak berkolaborasi mengeksploitasi warga pribumi.
Istilah mutakhir kolaborasi yang merugikan kelompok lain dan
dipandang sebagai suatu yang negatif adalah kolusi.
Dalam hal kolonialisme dan feodalisme di satu pihak dan
demokrasi di pihak lain ada prinsip berbeda. Kolonialisme
dan feodalisme dalam pengertian “hand in hand” alias bekerja
sama yang menekankan hirarki dan otokrasi, sedangkan
demokrasi menekankan kebersamaan yang bersifat populis.
Kecenderungan terakhir kehidupan demokrasi menjadi tujuan
utama karena membela kepentingan wong cilik yang selama
ini belum pernah terangkat derajat dan martabatnya. Namun
demikian, demokrasi juga memiliki kandungan negatif meski
dalam skala kecil. Tirani demokrasi juga menghantui kehidupan
demokrasi secara keseluruhan jika pengelolaan demokrasi tidak
hati-hati. Yang pasti demokrasi lebih banyak menguntungkan
publik dari pada yang hanya menguntungkan kelompok oligarki.
Demokrasi dan nasionalisme memiliki hubungan
kuat dalam pengertian kepentingan bersama yang mencakup
seluruh bangsa. Demokrasi adalah pemerintahan rakyat
( demos dan kratein: B. Lt.) dan nasionalisme merujuk pada
kepentingan untuk bangsa (natie: b. Bld), Jadi, rakyat dan
bangsa memiliki cakupan arti, yaitu warga kolektiflah
yang harus diperjuangkan. Merujuk pada pakar nasionalisme
Prancis, Ernest Renan yang menanyakan “Apa bangsa Itu”?
(Qu’est ce qu’une nation?). Yang dijawabnya “Bangsa adalah
keinginan untuk hidup atau ada bersama” (Nation est le désire
de vivre/d’ĕtre ensemble). Jelas kepentingan bersama yang harus
diperjuangkan sebagaimana keinginan KHD maupun pemimpin
perjuangan politik Indonesia. Bung Karno sendiri mengakui
bahwa nasionalisme harus dibangun lewat keinginan dan
kebersamaan ,
E. Kelanjutan Resistensi : Budaya Politik
Perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh
kemerdekaan dilakukannya dalam berbagai dimensi, meski
lahirnya dimensi-dimensi itu tidak secara simultan namun dimensi
yang dimunculkan kaum pergerakan sejalan dengan tantangan
yang timbul waktu itu.Mengapa BU melakuan terobosan
kultural karena pemerintah kolonial secara politis sudah pasang
kuda-kuda dengan mengeluarkan RR 111 .
Jadi, kaum pergerakan ternyata sangat fleksibel mencari jalan
kehidupan pergerakan, meski pada awal gerakannya adalah
gerakan emansipasi atau persamaan derajat dalam warga
kolonial antara orang-orang Belanda dengan bumiputra.
Demikian pula, selanjutnya IP mengubah gerakannya menjadi
gerakan politik yang nasionalistis dengan mengakui Hindia
(baca Indonesia sebagai tanah airnya). Gerakan selanjutnya
berdimensi politik sebagaimana diperjuangkan Sarekat Islam
yang menentang diskriminasi ekonomi dengan menyangkutkan
kekuatan bumiputra berdasar azas Islam. Gerakan-gerakan
dan perjuangan yang multidimensi ini lahir bukan merupakan
suatu yang taken for granted namun melalui tantangan-tantangan
kolonial yang diekspose dan jawaban kaum pergerakan yang
vleksibel.
Variasi gerakan gerakan yang multidimensi ini
dilanjutkan oleh organisasi-organisasi politik yang berdiri
kemudian dari yang moderat sampai yang radikal. Pada desenia
kedua (1908-1920) corak gerakan masih variatif moderat-radikal
yang mencari model yang tepat dalam menghadapi pemerintah
kolonial. Pada desenia ketiga (1920-1930) melahirkan
gerakan radikal seperti pemogokan, pemberontakan petani,
pemberontakan Partai Komunis 1926, pembuangan tokoh-tokoh
PNI, dan desenia keempat (1930-1942) bercorak hibrid antara
gerakan politik kooperatif dan nonkooperatif yang bergerak
pada momen-momen tertentu yang sangat insidental. Pada
periode ini, gerakan politik sangat moderat karena tokoh-tokoh
nonkooperasi dibuang oleh pemerintah kolonial, sedangkan
tokoh-tokoh kooperasi lebih mendekati pemerintah kolonial dan
dengan caranya sendiri bergerak untuk mendapatkan kekuatan
di Volksraad (Dewan Rakyat). Oleh karena itu, aksi “Indonesia
Berparlemen”, 1936, yang dituntut oleh Petisi Sutardjo adalah
jalan moderat. Di samping itu masih terjadi gerakan radikal
sebagaimana yang diusung oleh Perguruan Taman Siswa yang
memperjuangkan dihapuskannya Undang-undang Sekolah Liar,
1932
Tidak dapat dilupakan gerakan-gerakan sosial keagamaan
yang lahir di Indonesia memperkaya gerakan politik pada
umumnya. Aksi-sosial keagamaan memperkaya dan memberikan
kontribusi pada gerakan politik. Modernisme dan reformisme
dari pusat-pusat gerakan Islam seperti Universitas Al Azhar di
Kairo, Mesir dan pusat-pusat yang lain seperti Kadian dan Lahore
di India. Modernisme menginginkan pembaruan dari perilaku
tradisional sedangkan reformisme berusaha memurnikan ajaran
Islam keluar dari bid’ah. Ujung-ujung dari gerakan ini mengalir
dan bernuansa nasionalisme Islam sebagaimana direprentasikan
dalam organisasi Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama
(1926), Ahmadiyah (1929), Al Irsyad (1914) dan Partai Arab
Indonesia (1934).Masih ada geraskan sosial-politik yang lain
dalam bentuk organisasi yang lokal seperti Thawalib, Perti,
Persis, dan masih banyak lagi
Islam dan kebangsaan dimunculkan dalam Partai Serikat
Islam Indonesia. Islam dan kebangsaan merupakan dua kunci
menghadapi politik kolonial desenia ketiga waktu itu karena
awal desenia itu GJ de Jonge yang sangat reaksioner itu menekan
keras gerakan nasionalis dengan memenjarakan dan membuang
tokoh-tokoh PNI pada 1929 (Ingleson, 1988).
F. Radikalisasi dan Integrasi Nasional: Landasan
Kultural Baru
Radikalisasi adalah bentuk dan perilaku perjuangan keras
atau radikal dan sering kali fisikal menghadapi kolonialisme
sebagai lawan perikalu lunak. Perubahan ke arah radikalisasi
sudah kelihatan saat dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang dapat
julukan “demokrat sejati” itu gagal menyakinkan kongres BU
agar terlibat dalam politik (Nagazumi, 1988). Dia mewakili
golongan muda dalam kongres itu minta agar BU mengubah
diri dengan berjuang di bidang politik dan keluar dari orientasi
kultural. Tentu orientasi politik lebih radikal dibanding kultural
lewat gerakan-gerakan politiknya menghadapi penjajah. Oleh
karena itu, sesudah keluar dari BU, dia bergabung dengan DD dan
RM Soewardi Soerjaningrat mendirikan IP (1912). Sudah disebut di muka bahwa meski IP
gagal mendapatkan izin sebagai badan hukum (rechtspersoon)
dan hidupnya pendek namun jiwa dan semangat radikalisme
mengilhami partai politik selanjutnya.
IP mengklasifikasi pengertian nasionalisme berdasar
ras dan kemutlakan domisili yang dibaginya berdasar ras
yang dirasakan beda adalah Indo, keturunan campuran dan
totok, asli atau voel bloed dan di pihak lain dibedakannya antara
yang blijvers, yang sudah lama tinggal di Hindia Belanda dan
trekkers alias mondar-mandir Nederland-Hindia Belanda.
Namun hukum kolonial dengan kuat mengkalisifikasinya kalau
inlander (bumiputera) yang sudah menetap adalah golonggan
sosial terbawah, dan orang-orang Belanda ditempatkan pada
golongan atas, meski di tengahnya ada golongan timur asing.
Gagasan dan realitas nasionalisme yang radikal sudah
dimulai di Indonesia sebagaimana disebut di atas yang dipelopori
“Tiga Serangkai”. sesudah ketiganya “dibuang ke Nederland
semangat nasionalisme radikal itu berkembang dan berkolaborasi
dengan Indonesische Vereeniging (IV) atau Perhimpunan
Indonesia (PI). PI adalah perkumpulan pelajar dan mahasiswa
Indonesia di Nederland yang memiliki gagasan kuat terhadap
nasionalisme Indonesia. Jadi, gagasan nasionalisme Indonesia
makin kuat dan terealisasikan sesudah terjadi kolaborasi tokoh
pendatang mantan PI. Pada awal dasawarsa ketiga pernyataan
nasionalisme Indonesia semakin menguat di Indonesia. Pidato
Moh, Hatta di dalam Konferensi Liga Antiimperialisme di BruRM Soewardi Soerjaningrat el
pada 1927 membuktikan betapa kuatnya semangat melawan
penjajah. Pada 1927 Moh. Hatta membela anggota-anggota PI
yang ditangkap polisi Belanda dan membebaskannya dengan
pembelaan berjudul “Indonesia Vrij” atau Indonesia Merdeka . Sekembalinya tamatan universitas di
Nederland bergabung dengan aktivis nasionalis di Indonesia
sehingga nasionalisme makin menggumpal. Berdirinya
dua studi club dan berdirinya PBI dan PNI memberi bukti
tersalurkannya gagasan nasionalisme makin mengristal. Pidato
Soekarno di Pengadilan Negeri Bandung yang terkenal dan
berjudul “Indonesia Menggugat” (1929) membuktikan betapa
kuatnya perasan dan sikap antikolonialisme dan imperialisme
seperti yang disampaikan pembelaan Soekarno di pengadilan itu
Paradigma dan konsensus kebangsaan makin nyata sesudah
terjadinya kolaborasi para mantan anggota PI dari Nederland dan
dua anngota studi club di Indonesia. Mereka terus menyuarakan
gerakan-gerakan antikolonialisme dan imperialisme dengan
cara yang berbeda meski cara nonkooperasi dan kooperasi itu
bermuara pada titik temu, yaitu kemerdekaan Indonesia. Di satu
sisi konsensus dan gagasan kebangsaan itu makin berkembang
dan di sisi lain juga makin kuat represi pemerintah kolonial
dengan hardzaai artikelen (pasal karet) yang ujung-ujungnya
pembuangan (interneering dan verbanning) para nasionalis
penentang pemerintah kolonial.
Pada desenia ini kesadaran berbangsa sudah membulat
bukan saja kesadaran politik namun secara simultan merengkuh
kesadaran kultural juga makin menemani gerakan yang
mutidimensional. Dua peristiwa perlawanan kultural terhadap
pemerintah kolonial diwujudkan dalam bentuk Lahirnya Sekolah
Taman Siswa (1922) yang akan merekrut elite Indonesia baru
mampu menandingi ideologi kolonial. KHD sangat yakin bahwa
pemerintah kolonial hanya dapat dikalahkan lewat rekrutmen
elite moderen yang paradigmatis, yaitu kehidukan demokratis
dalam arti bahwa pemerintah kolonial harus hilang dari bumi
nusantara. Peristiwa kultural kedua adalah berlangsungnya
Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres pemuda II (28 Oktober 1928) merupakan pijakan kutural untuk mempersatukan bangsa
Indonesia yang pada dasarnya merupakan kesadaran politik
bangsa Indonesia berupa pengakuan atas satu nusa, bangsa, dan
bahasa Indonesia . Dilihat dari perkembangan
integrasi bangsa maka jelas bahwa Sumpah Pemuda merupakan
integrasi bangsa yang makin terealisasikan dan sebagai modal
kuat bagi terciptanya Indonesia Merdeka. Berbagai pengakuan
dalam Sumpah Pemuda merupakan akumulasi kesadaran
nasional (national consciousneRM Soewardi Soerjaningrat ) akan adanya kesatuan dan
persatuan dengan istilah atau kata “satu” yang dijadikan ikatan
kuat bagi berbagai etnik, budaya dan bahasa. Hal ini tidak dapat
diingkari bahwa sumpah itulah yang akan mengalir dalam
realisasi yang masih terbayang .
G. Menjadi Makin Lengkap
sesudah melalui jalan panjang, yaitu perjalanan sosial-
politik pergerakan nasional selama tiga dasawarsa termasuk
kiprahnya KHD dalam TS menguatkan integrasi nasional, yaitu
makin kuatnya kesadaran nasional membanun nasionalisme riil
dengan ikrar pemuda Indonesia untuk merealisasikan Indonesia
Merdeka. Nasionalisme lokal yaitu nasionalisme jawa terlalu
sempit geraknya dan hanya berjuang lewat budaya yang seolah
tidak punya kekuatan memaksa. Namun, dari loko-sentrisme
kejawaan berkembang ke nasionalisme religio-ekonomi yang
dibanguan SI. Kekuatan nasionalisme makin nyata dengan
pernyataan IP yang tegas mengakui tanah airnya Hindia,
mengawali gerakan politik. Pasang surut organisasi lanjutan pada
dasawarsa kedua dan ketiga dengan unsur-unsur sosio-politik
diulang kembali menjadi lebih rasional dan radikal.
Dapat ditambahkan bahwa Sumpah Pemuda merupakan
produk kaum inteligensia Indonesia yang menjadi aktor
intelektualis “drama nasionalisme Indonesia”. Mereka pencipta
identitas nasional yang membangkitkan ekspresi kolektif
guna merealisasikan solidaritas nasional. Ikrar itu merupakan
pernyataan kepemilikan wilayah (territory), bangsa (social
majorities) yang merupakan maRM Soewardi Soerjaningrat a dan bahasa (language)
menjadi pengikatnya dan alat komunikasi yang homogin Lagi pula dengan dikumandangkannya Indonesia Raya
ciptaan WR Supratman, meski hanya notenya pada 28 Oktober
1928 itu, sebagai lagu kebangsaan makin lengkaplah dan
makin dekatlah cita-cita kemerdekaan. Bendera Kebangsaan
Merah Putih dikibarkan di kemudian hari menyemarakkan
hiruk-pikuknya nasionalisme Indonesia itu dan menjadi makin
lengkaplah nilai persatuan dan kebangsaan.
Rumusan SP adalah bentuk dari identitas nasional
yang menjadi simbol persatuan dalam menggalang kekuatan
untuk menghadapi ideologi kolonial (colonial ideology). Jelas
SP merupakan simbol kekuatan tandingan dalam melawan
kolonialisme Belanda. Fase ini adalah fase konseptualisasi politik
dan kaum pergerakan tinggal melanjutkan serta menambah daya
juang dan solidaritas nasionalnya. Faktor lain yang tidak kalah
penting adalah kesempatan internasional yang sedang dicarinya
dimana kaum nasionalis dapat memanfaatkan politik internasional
untuk menentukan posisinya sebagai negara merdeka.
Sekiranya tidak terjadi Perang Dunia II dan terjadi
perubahan politik internasional yang mengaitkan hubungan
kolonialisme antara Belanda dan Indonesia niscaya Indonesia
Merdeka dapat diraihnya. Dengan persiapan ideologi
kemerdekaan yang sudah berproses lama dan diperkuat
kecepatan para nasionalis dalam mengambil putusan untuk
meraih kemerdekaan maka cita-cita yang sudah dirintis lama
itu akhirnya terwujud dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Semboyan dan ungkapan “Tanah Hindia lepas dari
Nederland” dan juga “Indonesia Merdeka, Sekarang” menjadi
sangat populer di kalangan nasionalis. Sudah pasti ini merupakan
ekspresi kolektif yang tidak dapat ditahan-tahan lagi. Waktunya
telah tiba untuk mengaktualisasikan tuntutan kemerdekaan.
Para nasionalis sangat optimis bahwa tuntuan kemerdekaan
akan terealisasikan, tentunya menunggu perkembangan dan
perubahan politik internasional, bahwa dari segi kemanusiaan
penjajahan di atas bumi harus dihapus karena tidak sesuai
dengan harkat hidup dan kemanusiaan orang banyak.
H. Sekolah Taman Siswa : Resistensi Kultural
Terhadap Kolonialisme
Mengapa RM Soewardi Soerjaningrat atau KHD mendirikan Perguruan Taman
Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922? Menurut KHD, pendidikan
adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera
umat. Dari pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak
bangsa yang akan memimpin rakyat dan mengajaknya
memperoleh pendidikan yang merata, pendidikan yang bisa
dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Jiwa populis KHD sudah
mendasarinya untuk menyatu dengan rakyat, sehingga meski
beliau keturunan bangsawan yang pada waktu itu ada jurang
yang lebar dengan kehidupan wong cilik , namun beliau berusaha
menutup celah itu. Sebuah kehidupan yang demokratis yang
bisa dinikmati rakyat banyak
Gagasan mendirikan sekolah atau pendidikan berasal
dari sarasehan (diskusi) tiap hari Selasa-Kliwon. Peserta diskusi
sangat prihatin (menderita batin) terhadap keadaan pendidikan
kolonial. Sistem pendidikan kolonial yang materialistik,
individualistik, dan intelektualistik diperlukan lawan tanding,
yaitu pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu
hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia).
Lalu bagaimana cara KHD merealisasikan cita-citanya?
Tentu metode pengajaran kolonial yang harus diubah, yaitu
dari sistem pendidikan “perintah dan sanksi (hukuman)” ke
pendidikan pamong . Pendidikan kolonial didasarkan pada
diskriminasi rasial yang di dalamnya sudah ada pemahaman
kepada anak-anak bumiputra yang menderita inferioritas.
Kondisi seperti ini harus diubah dari pendidikan model ”perintah
dan sanksi”, meski pemerintah kolonial sendiri menggunakan
istilah santun “mengadabkan “ bumiputra namun dalam praktek
cara-cara kolonial yang tidak manusiawi tetap berjalan.
Untuk merealisasikan gagasan itu KHD membuat wadah
yang waktu itu disebut “Nationaal Onderwijs Taman Siswa”,
sebuah wadah pendidikan nasional, sebuah gagasan yang sudah
mencakup seluruh bangsa Indonesia (nation wide). Sungguh
sangat luar biasa bahwa pendidikan harus menyeluruh ke anak
bumiputra alias bangsa Indonesia yang dalam istilah politik
disebut nasional.
Menurut KHD pendidikan yang mengena kepada
bangsa Timur adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan
kebangsaan. Tiga hal inilah dasar jiwa KHD untuk mendidik
bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau
kemerdekaan. Pengalaman yang diperoleh dalam mendalami
pendidikan yang humanis ini dengan menggabungkan model
sekolah Maria MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori (Italia) dan Rabindranath Tagore
(India). Menurut KHD dua sistem pendidikan yang dilakukan
dua tokoh pendidik ini sangat cocok untuk sistem pendidikan
bumiputra. Lalu dari mengadaptasi dua sistim pendidikan itu
KHD menemukan istilah yang harus dipatuhi dan menjadi
karakter, yaitu Patrap Guru, atau tingkah laku guru yang menjadi
panutan murid-murid dan warga
Perilaku guru dalam mendidik murid atau anak bangsa
menjadi pegangan dan modal utama sehingga KHD menciptakan
istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu:
* Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh),
* Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita),
* Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya)
Perilaku guru TS ini diterapkan di semua jenjang
Pendidikan TS: Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman
Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), dan
Taman Guru (Sarjana Wiyata). Patrap guru yang meliputi semua
jenjang pendidikan TS merupakan manifestasi resistensi kultural
karena berpusat pada sikap yang berlawanan (antitesis) dengan
sikap guru dalam pendidikan kolonial. “Tut wuri handayani”
dijadikan motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Perkembangan sekolah TS 1922-1930 cukup
menggembirakan dalam merespon represi pemerintah kolonial.
Selama delapan tahun sejak 1922 terjadi perkembangan
sekolah TS di nusantara, dari Aceh sampai Indonesia Timur
berdiri 30 cabang dan Pusat Persatuan Pengurus TS tetap di
Yogyakarta. TS tetap memegang Azas TS (1922) dan Dasar
TS (1947) yang sebenarnya saling berhubungan dan keduanya
tidak dapat dipisahkan. Ki Mangun Sarkara meneruskan cita-
cuta dan mengaplikasikan gagasan pendidikan TS. Hanya saja
Pendidikan TS tidak seperti jaman kolonial, sekarang TS harus
membiayai dana pendidikan sendiri dan orientasi warga
sudah berubah karena dana belajar dari warga yang makin
berkurang. Namun demikian, TS masih merupakan motor dan
jiwa penggerak sekolah swasta di Indonesia dengan swadaya,
swausaha, dan swakelola. Semangat kebangsaan, semangat
kerakyatan dan keluhuran pekerti sebagai pegangan budaya
Timur tetap terpancarkan dari TS.
I. Perluasan Perguruan Taman Siswa dan
Pernyataan Azas TS 1922
Berdirinya Perguruan TS bukan sebagai institusi tanpa
memiliki azas yang bermakna bagi ciri khas bangsa Timur yang
membedakan dengan bangsa Barat, lebih-lebih lagi mengenai
filsafat dan pemikiran ketimuran. Azas TS memuat perdebatan
internal dalam kongres BU dan juga perdebatan sesama
pemimpinnya. Hasil perdebatan itu memperkuat pernyataan
azas TS yang
berisi tujuh pasal:
Pasal 1 dan 2 tentang dasar kemerdekaan setiap orang
untuk mengatur dirinya sendiri. Ini dimaksudkan agar murid-
murid berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka dalam
tertib bersama. Pasal 1 termasuk kodrat alam dan kemajuan
berjalan kodrati alias evolusi. Dasar ini yang mewujudkan
sistem “among”, artinya guru-guru meski di belakang namun
mempengaruhi dan memberi jalan kepada anak didik untuk
berjalan sendiri. Inilah yang kemudian terkenal dengan istilah
“Tut wuri handayani”. Selain itu, guru bisa memotivasi dan
menginovasi pikiran murid dan sekaligus memberi contoh.
Pasal 3 mencakup kepentingan sosial, ekonomi, dan
politik. Penyesuaian diri dan hidup kebarat-baratan menimbulkan
berbagai kekacauan. Pendidikan Barat mementingkan
kecerdasan dan melanggar dasar-dasar kodrati dari kebudayaan
sendiri, sehingga tidak menjamin keserasian dan dapat memberi
kepuasan. Inilah yang disebut dasar Kebudayaan.
Pasal 4 berisi dasar kerakyatan, bahwa pengajaran harus
diperluas dan tidak hanya sekelompok kecil warga .
Pasal 5 merupakan azas sangat penting bagi semua orang
yang ingin mngejar kemerdekaan hidup. Azas ini mendasari
kemandirian.
Pasal 6 berisi syarat-syarat mengejar kemerdekaan
dengan sistem mandiri.
Pasal 7 mengharuskan keikhlasan lahir batin bagi guru-
guru untuk mendekati anak didik.
Tujuh pasal ini bisa disebut sebagai “manifes
yang penting” dan abadi. Pemimpin TS yang lain, Sarmidi
Mangunsarkoro, menyebut pernyataan azas itu sebagai
“lanjutan dari cita-cita RM Soewardi Soerjaningrat yang terhimpun dalam kelompok
rohani Nationale Indische Partij (1919-1921) yang merupakan
gerakan kebatinan dan kebebasan”.
J. Kesimpulan
Gagasan KHD dalam politik adalah suatu jalan yang harus
ditempuh dalam mendapatkan sesuatu di warga kolonial
karena pemerintah kolonial dengan represinya selalu menekan
hak-hak kaum bumiputra. Menurut dia tentu saja hak-hak itu
harus diambil kembali (baca direbut) lewat kombinasi gerakan
evolusioner-revolusioner, dari gerakan kultural, ekonomi,
danpolitik. Perjuangan-perjuangan itu selalu terjadi kombinasi
berbagai aspek dan sangat tergantung kekuatan juang mana yang
diperlukan dalam mengahadapi pemerintah kolonial. Selain itu
betapa kuat dan konsistennya KHD dalam memperjuangkan
kepentingan yang populis dan demokratis “sama rata sama rasa”.
Tak kalah pentingnya adalah dorongan semangat kebangsaan
atau nasionalisme guna meningkatkan martabat bangsa melalui
pendidikan
Gagasan politik KHD diikuti oleh organisaisi sosio-
politik di tanah air dan model perjuangannya dianggap akurat
dalam memperoleh kemerdekaan bangsa dari penjajah Belanda.
Secara politis menurut KHD, lembaga kolonial itu harus
mendapat resistensi dengan mendirikan lembaga atau institusi
bumiputra yang kuat dan setingkat dengan lembaga kolonial
sehingga mampu bersaing dan berkekuatan untuk menekan
pemerintah kolonial. Lembaga tandingan (counter-institution)
inilah yang diimitasi organisasi sosio-politik di tanah air dan
ternyata berhasil menumbangkan pemerintah kolonial , Ujung-ujung dari lembaga tandingan inilah
yang mampu menghasilkan kemerdekan bangsa dan Indonesia
sebagai negara merdeka dan berdaulat. Azas penidikan kolonial
berdasar azas regeering, tucht, dan orde harus diganti dengan
sendi Pendidikan TS yang disebut pamggulawenthah, momong,
among atau ngemong yang bermuara pada tata tentrem .
Maka sudah tepat jika KHD dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
(1959) di bidang pendidikan dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia diangkat sebagai Menteri Pendidikan Republik Indonesia
atas jasa-jasanya sebagai seorang pejuang dan negarawan.
Ke depan bangsa ini harus mencontoh keteladanan Bapak
Pendidikan Indonesia dalam berjuang mengisi kemerdekaan guna
kesejahteraan bangsa Indonesia. Negarawan Indonesia harus
mengikuti model “among” seperti dalam Perguruan TS saat
memerintah rakyat republik ini yang demokratis, humanis dan
sejahtera. Satu hal terpenting bahwa KHD adalah negarawan,
pejuang kebangsaan yang bukan saja menyampaikan gagasan
politik perjuangan namun juga dipraktekkan oleh para nasionalis
sehingga berhasil memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ketenangan di wilayah penduduk kolonial Hindia Belanda
pada awal 1913 menjadi terhentak saat pemerintah pada Juni
1913 mengeluarkan pernyataan resmi akan menyelenggarakan
perayaan genap 100 tahun kemerdekaan negara itu dari
cengkeraman Napoléon Bonaparte. Pernyataan pembebasan
negeri Belanda dari kekuasaan Prancis juga akan dirayakan
secara besar-besaran di wilayah koloni. Menurut pernyataan itu,
tidak hanya orang Belanda yang akan merayakan peringatan itu,
akan namun juga akan melibatkan penduduk bumiputera. Untuk
merayakannya, akan dipungut derma yang berasal tidak hanya
dari dari orang-orang Belanda yang tinggal di wilayah koloni,
44 ----
akan namun juga akan dipungut dari penduduk bumiputera.
Pemungutan derma ini berlaku bagi seluruh penduduk di wilayah
ini.
Himbauan pemerintah ini memperoleh reaksi yang luar
biasa dari tokoh warga , khususnya warga bumiputera.
Mereka berpendapat bahwa tidaklah sepantasnya bila pesta
perayaan kemerdekaan itu melibatkan penduduk bumi putera,
karena kondisi mereka yang masih dijajah. Mereka bahkan
memperotes mengapa rencana perayaan itu akan diselenggarakan
secara besar-besaran. Seyogyanya perayaan itu diselenggarakan
secara tertutup di Societeit atau di tempat-tempat tertutup
lainnya. 3 Banyak penduduk bumiputera termasuk para tokohnya
mempertanyakannya, karena mereka tidak mengerti dan tidak
paham mengapa mereka diharuskan terlibat dalam acara ini .
Bahkan beberapa di antaranya menganggap bahwa himbauan ini
merupakan suatu hinaan terbuka yang ditujukan kepada mereka.
Atas prakarsa dr, Tjipto Mangoenkoesoemo (selanjutnya
disingkat TM), didirikanlah Inlandsche Comite tot Hardenking
van Nederlands Honderjarige Vrijheid, yaitu “Panitia Peringatan
100 tahun Kemerdekaan Belanda”. Komite ini diketuai oleh TM
dengan sekretaris dan bendahara RM Soewardi Soerjaningrat
(selanjutnya disingkat RM Soewardi Soerjaningrat ). Sedangkan posisi komisaris dijabat
oleh Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra. Komite yang baru
dibentuk ini lebih dikenal sebagai Comite Boemi Poetra . Komite
ini sengaja dibentuk untuk memprotes dilibatkannya penduduk
3. Lihat Irna H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soerjaningrat dalam
Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 23.
45Djoko Marihandono
bumiputera dalam memperingati 100 tahun kemerdekaan negeri
Belanda, yang diikuti dengan pemungutan sumbangan. Akibat
dari kegiatan ini tokoh TM, RM Soewardi Soerjaningrat , dan selanjutnya EFE Douwes
Dekker ini harus menghadapi pengadilan.4
Komite ini selain bereaksi keras atas desakan pemerintah
Hindia Belanda agar penduduk bumiputera ikut serta dalam
bentuk pemberian sumbangan/derma dalam peringatan
100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, juga memberikan
reaksi atas suatu rencana dari pemerintah kolonial yang akan
membentuk Koloniale Raad , yaitu suatu Dewan Kolonial yang
beranggotakan sebanyak 29 orang. Dewan ini dibentuk dengan
komposisi 21 orang anggotanya berasal dari orang Belanda dan
sisanya 8 orang adalah wakil dari kaum bumiputera.5 Dari 8
orang wakil bumiputera ini , 5 di antaranya adalah berasal
dari para bangsawan yang menduduki jabatan bupati, suatu
jabatan tertinggi yang boleh diduduki oleh penduduk bumiputera.
Kelima bupati ini diangkat oleh pemerintah kolonial. Tentu saja,
mereka lebih memperjuangkan kepentingan mereka pribadi
dan kepentingan pemerintah kolonial dari pada kepentingan
penduduk bumiputera. Dengan demikian, Komite ini sengaja
4. Pada saat komite ini dibentuk, Ernest François Eugène Douwes Dekker
sedang dalam perjalanan kembali ke tanah air dari negeri Belanda. Ayah
EFE Douwes Dekker adalah orang Belanda kelahiran Amsterdam yang
memiliki darah campuran orang Fries, Prancis, dan orang Portugal. Ibunya
saerang perempuan kelahiran Pekalongan, memiliki darah campuran
Jerman, Polandia dan Jawa.
5. Lihat “Indische Partij” dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 12 September
1912, lembar ke-2. Selain itu juga lihat “Een Indische Partij” dalam Het
Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie. 18 September 1912,
lembar ke-2.
46 ----
dibentuk utuk membela kepentingan penduduk bumiputera dan
meneruskan saran, pendapat, kritik yang disampaikan untuk
diteruskan kepada pemerintah kolonial.6
B.Perjuangan Ketiga Tokoh di Komite Boemipoetra
Komite bumiputera selanjutnya mengumpulkan uang
yang diperoleh dari para anggotanya. Tujuan pengumpulan
uang itu adalah sebagai ongkos pengiriman telegram yang akan
dikirimkan kepada Sri Ratu Belanda Wilhelmina. Telegram
yang dikirimkan itu berisi selain untuk mengucapkan selamat
atas peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda, juga meminta
agar Sri Ratu mencabut Peraturan Pemerintah nomor 111 yang
melarang kaum bumiputera untuk berkumpul dan berpolitik,
serta dibebaskan dari pengumpulan sumbangan dalam rangka
peringatan ini . Selain mengirimkan telegram, Komite
Bumiputera juga mengirim utusan untuk beraudiensi dengan
Gubernur Jenderal di Batavia, yang saat itu dijabat oleh Gubernur
Jenderal Idenburg, dengan maksud untuk menyampaikan seperti
apa yang dituliskan dalam telegram yang dikirimkan kepada Sri
Ratu.
Menteri Koloni Pleyte sempat merasa heran, mengapa
kaum bumiputera dilibatkan dalam kegiatan ini. Namun, ia lebih
merasa heran lagi, mengapa kaum bumiputera juga dipungut
sumbangan secara paksa guna mensukseskan perayaan ini di
Hindia Belanda.7 Propaganda yang berupa iklan, pamflet banyak
6. Lihat “Indisch Parlement” dalam De Sumtra Post, 18 September 1913,
lembar ke-2.
7. Dalam harian De Express tertanggal 12 Juli 1913 dimuat pidato Menteri
47Djoko Marihandono
beredar di koran-koran di Jawa. Melalui harian Tjahaja Timoer
di Malang telah dipasang iklan agar warga bumiputera
bersedia mengumpulkan sumbangan itu. Demikian pula dari
harian Pantjaran Warta terbitan Batavia juga ada iklan yang
isi dan tujuannya sama. Bahkan RM Soewardi Soerjaningrat sempat menyaksikannya
sendiri, saat Asisten Residen di Buitenzorg dengan bantuan
kaum bumiputera sibuk mengumpulkan sumbangan yang
berasal dari warga itu. saat melihat kejadian ini ,
RM Soewardi Soerjaningrat kemudian melakukan protes ketidaksetujuannya terhadap
pengumpulan uang dari kaum bumiputera. sesudah kejadian
ini pemerintah menuduh Komite Bumiputera telah
melakukan kekacauan di Buitenzorg.
Semua kegiatan di Komite itu dimotori oleh TM dan
RM Soewardi Soerjaningrat . EFE Douwes Dekker menyusul kemudian karena saat
peristiwa itu terjadi ia sedang berada di Negeri Belanda.8 Upaya
mereka sebagai pendiri Indische Partij tidak ditanggapi oleh
pemerintah Belanda. Bahkan Indische Partij yang sudah dua kali
mengajukan diri untuk memiliki badan hukum, ditolak, padahal
semua persyaratan telah dipenuhi termasuk Anggaran Dasarnya.
Usulan untuk memperoleh status badan hukum untuk partai
mereka diajukan lagi pada 5 Maret 1913, dengan perubahan pada
anggaran dasarnya sesuai permintaan dari pemerintah kolonial,
agar lebih menekankan pada kegiatan sosial kewarga an.
Pleyte yang dimuat dalam De Express 7 Januari 1914 dengan judul “De
Indische Partij in het Parlement”. Pidato ini isampaikan oleh Menteri
Koloni Pleyte di depan sidang parlemen Belanda.
8. Lihat “Grootheidsdroom” dalam Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch Indie. 17 Oktober 1913, lembar ke-2.
48 ----
Namun apa yang diharapkan oleh pengurus Indische Partij tetap
ditolak.9
C. Penangkapan dan Penahanan para Tokoh
Pada saat terjadi kebuntuan dalam proses perolehan
status hukum Idische Partij, muncullah brosur yang beredar
di warga yang berjudul Als ik eens Nederlander was
“Andaikata aku seorang Belanda” yang ditulis oleh RM Soewardi Soerjaningrat .
Karangan ini diterbitkan atas tanggung jawab TM yang dicetak
di percetakan De Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij ,
yang dipimpin oleh J.F. WeRM Soewardi Soerjaningrat elius. 10 Isi tulisan ini merupakan
ungkapan hati seandainya RM Soewardi Soerjaningrat adalah orang Belanda, ia akan
memprotes gagasan peringatan itu. Ia menegaskan bahwa
gagasan merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda
di wilayah koloni adalah gagasan yang keliru. Dengan merayakan
kemerdekaan di wilayah koloni hal itu mengakibatkan kondisi
politis yang sangat berbahaya bagi bangsa Belanda. Namun, RM Soewardi Soerjaningrat
bukanlah orang Belanda, sehingga ia ingin mengusir warga
Belanda yang memerintah dan berkuasa di wilayah koloni ini.
Tulisan ini dianggap sebagai penghinaan terhadap Sri Ratu
yang tidak dapat dimaafkan oleh siapa pun.11
Komite segera dipanggil menghadap Mr. Monsanto yang
9. Lihat Irna H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soerjaningrat dalam
Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 27.
10. Koran De Express dicetak di percetakan itu. Selama EFE Douwes Dekker
pergi ke negeri Belanda, pimpinan redaksi De Express diserahkan kepada
Mr. Kakebeeke.
11.Lihat “Die het gevaar Zoekt” dalam De Preanger Bode, 11 Agustus 1913.
Lembar ke-2.
49Djoko Marihandono
menjabat sebagai Officier van Justitie, yang didatangkan dari
Batavia ke Bandung, dengan tugas untuk memeriksa masalah
RM Soewardi Soerjaningrat . Sementara TM juga diperiksa sebagai saksi. Tentu saja RM Soewardi Soerjaningrat
menyangkal tuduhan itu, namun ditegaskan oleh jaksa bahwa RM Soewardi Soerjaningrat
dilarang untuk membuat tulisan seperti itu. RM Soewardi Soerjaningrat sama sekali tidak
paham mengapa ia dituduh menghasut kaum bumiputera. saat
TM diminta untuk memberikan keterangan, ia menyembunyikan
identitas siapa yang menulis sehingga ia diancam akan
mengalami nasib yang sama dengan kepala Redaktur koran
De Locomotief yang dihukum karena menyembunyikan siapa
penulis artikel di dalam hariannya. Kemudian TM berjanji untuk
mengatakannya siapa yang menulis artikel itu. Dalam proses
pemeriksaan itu, ia menulis artikel yang berjudul Kracht of vrees
(Kekuatan atau Ketakutan). Isi tulisan itu adalah menyadarkan
pembacanya bahwa kaum bumiputera adalah pemilik sah negeri
ini. Meskipun tidak bersenjata, mereka akan tetap berjuang,
karena mereka punya kekuatan.
Melihat tulisan TM, semakin nyata bagi pemerintah
kolonial bahwa ialah yang menjadi tokoh intelektual gerakan
ini. Melihat bahwa suasana politik semakin panas, pada 28
Juli 1913, terbit tulisan RM Soewardi Soerjaningrat yang berjudul Een voor allen, mar
ook allen voor een (Satu untuk semua, namun juga semua untuk
satu). Tulisan ini berisi tentang penegasan dirinya bahwa
tulisan sebelumnya merupakan refleksi apa yang dipikirkannya
selama ini. Ia yakin bahwa semua penduduk bumiputra memiliki
perasaan dan pemikiran yang sama dengan dia. Tulisan kedua
RM Soewardi Soerjaningrat menambah runcing hubungan antara Komite di Bandung dan
50 ----
pemerintah kolonial. Kantor Komite di Bandung digeledah polisi
guna mencari sisa kedua tulisan itu yang belum diedarkan.
Melihat kenyataan bahwa tulisan kedua itu benar-
benar telah menghina pemerintah kolonial Belanda, maka pada
30 Juli 1913, RM Soewardi Soerjaningrat ditangkap polisi di rumahnya dan langsung
ditahan. Selama dalam tahanan, rumah RM Soewardi Soerjaningrat dijaga ketat oleh
polisi dan tidak seorang pun diizinkan untuk memasukinya. Ia
ditangkap karena dituduh menganggu ketertiban dan keamanan
warga . Selain RM Soewardi Soerjaningrat , pemerintah juga menahan TM, karena
dialah yang dianggap sebagai tokoh intelektual dari semua
kegaduhan politik saat itu. Penahanannya merupakan suatu
kontroversi, karena ia pernah menerima De Ridder in de Orde
van Oranje NaRM Soewardi Soerjaningrat au, penghargaan yang diperoleh dari Sri Ratu
Belanda. Namun, kenyataannya ia dipenjara bersama dengan
RM Soewardi Soerjaningrat . Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra pun juga ditangkap,
karena dianggap turut aktif sebagai komisaris dari Komite itu.
Selama mereka ditahan, pemerintah kemudian membubarkan
Comite Boemi Poetra. Namun, berkat protes yang dilancarkan
oleh TM dan jaminan dari dirinya, Abdoel Moeis dan AH
Wignyadisastra kemudian dibebaskan.
EFE Douwes Dekker yang baru datang dari negeri
Belanda pada 1 Agustus 1913 telah memperoleh informasi dari
teman-temannya bahwa RM Soewardi Soerjaningrat dan TM telah ditahan akibat dari
tulisan mereka.12 Oleh karena itu, ia kemudian menulis opini
yang dimuat dalam koran De Express terbitan 5 Agustus 1913,
yang diberi judul “Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en
12. Lihat “De interneering van den heer EFE Douwes Dekker” dalam
Bataviaasch Nieuwsblad, 19 Agustus 1913, lembar ke-2.
51Djoko Marihandono
RM Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan-pahlawan kami: Tjipto
Mangoenkoesoemo dan RM Soewardi Soerjaningrat. Tulisannya
ini mengungkapkan jasa yang telah diberikan oleh TM sehingga
ia berhak untuk menerima penghargaan bintang ksatria dari
kerajaan Belanda, saat ia berperan aktif dalam pemberantasan
penyakit pes di Malang, Pasuruan dan Jawa Timur.
Selama 10 hari ditahan, RM Soewardi Soerjaningrat menderita sakit demam
tinggi. Sebagai akibat kondisi fisiknya yang sedang sakit, ia
kemudian dibebaskan. Namun belum lama ia menghirup udara
kebebasan, pada 8 Agustus 1913, ia menerima surat panggilan
dari pengadilan di Bandung untuk menghadap ke rumah Residen
Bandung TJ JanRM Soewardi Soerjaningrat en pada pagi harinya, 9 Agustus 1913, pukul
09.00. Ia datang memenuhi panggilan itu. Ia dituduh telah
melanggar Peraturan Pemerintah pasal 48 yang intinya bahwa
ia telah membahayakan warga dan mengganggu ketertiban
umum. Oleh karena itu, ia harus kembali ditahan. Mereka berdua
akhirnya divonis harus dibuang dan diasingkan.
Walaupun baru beberapa hari menginjakkan kakinya di
tanah air, EFE Douwes Dekker, akibat tulisannya tentang kedua
tokoh ini ditangkap dan dipenjarakan di penjara Weltevreden.
Pada 11 Agustus 2013 pukul 09.00 ia dipanggil untuk menghadap
Residen Batavia H Rijfsijder. Ia pun dituduh sebagai penghasut
karena sebagai ketua redaksi koran De Express , media itu telah
ikut menyebarkan tulisan para terdakwa. Namun, akhirnya ia
dinyatakan bebas.
Penahanan TM merupakan dilema bagi pemerintah,
karena ia adalah orang yang banyak jasanya di negeri ini,
52 ----
khususnya dalam bidang kesehatan warga , bahkan
pemerintah pun mengakuinya. Oleh karena itu diciptakanlah
beberapa upaya untuk membujuknya agar ia bersedia untuk
mengubah pemikirannya. Untuk merayunya agar mau
mengubah pemikiran dan pandangannya, beberapa bujukan
ditawarkan, antara lain memberikan tawaran kepada adik TM
untuk masuk ke HBS secara gratis. Bahkan melalui ayahnya
yang menjadi guru di HBS (Hoogere Burger School) pun diminta
agar membujuk TM. Tidak hanya berhenti di situ saja, melalui
sahabat-sahabatnya, diminta untuk membentu membujuk TM
agar mengajukan grasi kepada pemerintah. Namun, semuanya
bujukan itu ditolaknya.
Aktivitas EFE Douwes Dekker yang sering mengunjungi
mereka berdua akhirnya tercium oleh aparat kepolisian. Ia
ditangkap dan dipenjarakan besama dengan TM dan RM Soewardi Soerjaningrat .
Akhirnya keputusan Raad van Justitie menetapkan bahwa TM
harus segera meninggalkan kota Bandung dan akan dibuang
ke Banda. Rekan seperjuangannya, RM Soewardi Soerjaningrat juga harus segera
meninggalkan Bandung untuk mejalani pembuangannya di
pulau Bangka. Sementara EFE Douwes Dekker harus tinggal di
Kupang selama masa pembuangannya.13
Dalam pembelaannya, mereka bertiga menuntut agar
tidak dibuang di ke tiga tempat itu, namun meminta agar
diizinkan untuk tinggal di negeri Belanda sebagai tempat
pengasingan mereka. Permohonan mereka itu dikabulkan
13. Lihat “Het Verbaningsbesluit” dalam Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch Indie. 29 Agustus 1913, lembar ke-2.
53Djoko Marihandono
dengan catatan bahwa paling lama 30 hari sejak keputusan itu,
mereka harus segera diberangkatkan ke negeri Belanda sebagai
tempat pengasingan dan pembuangan mereka.
D. Pengasingan di Negeri Belanda
Pada 6 September 1913 tiga serangkai ini, TM,
RM Soewardi Soerjaningrat bersama isterinya, dan EFE Douwes Dekker beserta
isteri dan anak-anaknya berangkat dari pelabuhan Tanjung
Priok di Batavia menuju ke negeri Belanda, sebagai tempat
pembuangannya melalui Singapura.14 Namun keberangkatannya
mengalami pendundaan, sehingga dikhawatirkan batas waktu
keberangkatan ke tempat pengungsian akan terlewati. Pada 13
September 1913, kapal mulai meninggalkan pelabuhan Tanjuk
Priok. Dari atas kapal Melchior Treub, sebuah kapal milik
maskapai pelayaran Jerman, yang akan membawa mereka ke
Belanda, RM Soewardi Soerjaningrat masih sempat menulis pesan yang disampaikan
kepada kawan-kawannya yang mengantarnya dari pelabuhan
Tanjung Priok. Pesan itu diberi judul “Vrijheidsherdenking en
Vrijheidsberooving” (Peringatan Kemerdekaan dan Perampasan
Kemerdekaan). Beberapa saat sebelum kapal bergerak, ia
menerima kabar dari kawan-kawannya bahwa uang sumbangan
yang telah terkumpul telah dikembalikan kepada para donaturnya.
Sesampainya di negeri Belanda, mereka hidup dengan
menggunakan uang yang diperoleh dari sumbangan teman-
14. Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara. Ki Hadjar Dewantara Dkk.
Jakarta: PT Gunung Agung, 1980, hlm. 148.Lihat pula “DD Naar Europe”
dalam De Sumatra Post, 9 September 1913 lembar ke-2.
54 ----
teman mereka yang telah membentuk suatu badan pengumpul
dana yang diberi nama TADO yang merupakan singkatan dari
Tot Aan De Onafhankelijkheid (Sampai Kemerdekaan Tercapai),
yang memberikan uang bantuan beaya hidup bagi para buangan
itu. Dari dana TADO ini, untuk keperluan sehari-hari RM Soewardi Soerjaningrat dan
TM f 150 per bulan. EFE Douwes Dekker bersama isteri dan
dua orang anaknya menerima f 250 per bulan. Tentu saja beaya
sebesar itu tidak akan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Oleh karena itu mereka juga memperoleh bantuan dari teman-
temannya yang sedang belajar di negeri Belanda yang secara
spontan mengirimkan beras, pakaian, serta peralatan rumah
tangga.15
Dalam mengatasi kesulitan hidup ini isteri RM Soewardi Soerjaningrat , Soetartinah,
yang ikut serta mendampingi suaminya melamar untuk bekerja
sebagai guru di Fröbel School, sebuah taman kanak-kanak di
Weimar, Den Haag. Sementara itu, RM Soewardi Soerjaningrat dan TM sibuk dengan
urusan jurnalisme yang telah ia tekuni sejak lama.16 Dari honor
mereka menulis inilah, mereka dapat menyambung hidupnya
di negeri kincir angin ini . Namun, TM harus dipulangkan
segera ke tanah air pada 27 Juli 1914 akibat penyakit kronis
yang dideritanya, walaupun terhadap dirinya tetap diberlakukan
kembali Ketetapan Surat Keputusan Hukuman 18 Agustus 1913
berupa “interneering” (pengasingan) ke pulau Banda. Namun
15. Lihat “DD in Holland”, dalam Bataviaasche Nieuwsblad. 22 Oktober
1913, lembar ke-2.
16. Lihat “De Sociaal Democraten en de Bannenlingen” dalam Het Nieuws
van den Dag voor Nederlandsch Indie. 10 November 1913, lembar ke-2.
55Djoko Marihandono
sesampainya di Hindia Belanda, ia diizinkan menetap di kota
Solo sebagai seorang dokter swasta di daerah Kusumoyudan
Solo.
Banyak karya yang dihasilkan selama RM Soewardi Soerjaningrat berada di
pembuangan, antara lain ia sempat mendirikan Indonesisch Pers
Bureau , dengan sekretariat di jalan Fahrenheitstraat 473 di Den
Haag. Pendirian pers nasional di Belanda ini berhasil didirikan
berkat pinjaman uang dari H. Van Kol seorang Belanda yang
pernah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum di Jawa.
Uang pinjaman sebesar f 500 akan dikembalikan dengan cara
diangsur.17
Diilhami oleh pekerjaan isterinya, di samping
kesibukannya bekerja mengurus masalah pers, RM Soewardi Soerjaningrat masih
menyempatkan diri untuk mengikuti kuliah singkat di Lager
Onderwijs (Sekolah Guru), yang diselenggarakan oleh
Kementerian Dalam Negeri Belanda di Den Haag. Pada 12 Juni
1915, ia memperoleh ijazah Akte van bekwaam als Onderwijzer
(Ijazah Kepandaian Mengajar). Mendengar berita kelulusan RM Soewardi Soerjaningrat ,
sahabatnya EFE Douwes Dekker menyarankan agar ia tidak lagi
membuat onar di bidang politik.18 Namun himbauan sahabatnya
itu tidak dapat dipenuhi, sehingga ia tetap menulis artikel
yang dimuat di koran-koran Belanda. Kegiatan dalam bidang
pendidikan pun yang semula merupakan kegiatan iseng dengan
17. Lihat “Van Kol over I.P” dalam Bataviaasch Nieuwsblad. 3 Oktober
1913, lembar ke-2.
18. Lihat “De Banneling Soewardi” dalam Leeuwarder Courant, 17 Juni
1915, lembar ke-1.
56 ----
tujuan untuk memperoleh hasil tambahan untuk biaya hidup,
akhirnya mempengaruhi hampir seluruh kehidupannya. Ia
sependapat dengan isterinya bahwa perjuangan dapat dilakukan
tidak hanya dengan berperang, atau tindakan kekerasan lainnya.
Perjuangan dapat dilakukan dengan mempersiapkan bangsanya
untuk merdeka melalui pendidikan. Banyak buku pendidikan
yang telah dibacanya, termasuk sistem pendidikan yang digagas
oleh tokoh MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori, seorang pendidik dari Italia, yang
mengarahkan anak-anak didik pada kecerdasan budi. Ia juga
membaca buku tentang Rabindranath Tagore, tokoh pendidikan
dari India yang menekankan pentingnya pendidikan keagamaan
yang baik sebagai alat untuk memperkokoh kehidupan manusia.
Beberapa prinsip dasar pendidikan nasional sudah dipikirkannya,
antara lain dengan menggunakan bahasa ibu, dan bukan bahasa
kolonial.
Kemantapan dirinya untuk menjadi pendidik semakin
tertanam dalam dirinya, tatkala anak pertamanya lahir, yang
diberi nama Asti pada 24 Agustus 1915. Asti lahir dengan
berkebutuhan khusus. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh
hubungan darah yang masih dekat dengan isterinya (saudara
sepupu). RM Soewardi Soerjaningrat yang semula adalah seorang jurnaslis sekaligus
politikus mulai tertarik dan berniat untuk mendidik angkatan
muda dalam jiwa kebangsaan Indonesia. Ia sangat sadar bahwa
pendidikan merupakan dasar perjuangan untuk meninggikan
derajat rakyat di tanah airnya, sekaligus melihat kelemahan
pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. RM Soewardi Soerjaningrat
meletakkan dasar kemerdekaan melalui pendidikan anak-anak
57Djoko Marihandono
karena ia sadar bahwa mengisi jiwa anak-anak merupakan suatu
keharusan agar mereka berani untuk berjuang, yang merupakan
senjata yang paling ampuh untuk merebut kemerdekaan. Sistem
pendidikan kolonial membuat anak-anak selalu bergantung
kepada bangsa Barat.19
sesudah menjalani hukuman buang di negeri Belanda,
keluarga RM Soewardi Soerjaningrat yang terdiri atas isterinya dan dua anak mereka (Asti
dan adiknya Broto) direncanakan akan meninggalkan Belanda
pada 24 Mei 1917 dengan menaiki kapal Rinjani. Namun, pada
saat menjelang keberangkatannya, anak pertama mereka sakit
keras, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tentu saja dengan
kejadian ini keluarga RM Soewardi Soerjaningrat membatalkan keberangkatannya untuk
kembali ke tanah air. Namun rencana kepulangan ini menjadi
tertunda cukup lama sebagai akibat dari pecahnya Perang Dunia
I di Eropa. Hampir dua tahun berselang, pada 6 Juli 1919 Asti
yang sakit dinyatakan sembuh, dan pada 26 Juli 1919, keluarga
RM Soewardi Soerjaningrat meninggalkan negeri Belanda dengan menaiki kapal Rinjani.
Perjalanan ke tanah air ditempuhnya selama 51 hari. Pada 15
September 1919, keluarga RM Soewardi Soerjaningrat merapat di Pelabuhan Tanjung
Priok di Batavia.
E. Prinsip-----
Setibanya di tanah air, RM Soewardi Soerjaningrat tidak menginginkan
untuk melanjutkan karirnya di bidang politik. Ia kemudian
mengkonsentrasikan dirinya dalam kegiatan pendidikan untuk
anak-anak bumiputera. Informasi yang didapat diperoleh
19. Lihat Irna H.n. Hadi Soewito, loc.cit. hlm. 103.
58 ----
berdasar laporan yang dikirimkan oleh RM Soewardi Soerjaningrat , yang telah
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara bersama dengan
Ki Mangoensarkoro yang diterima terima oleh Penasehat
Urusan Pribumi.20
Taman Siswo, yang merupakan singkatan dari Pergerakan
Kebangsaan Taman Siswo, yang merupakan merupakan sebuah
lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantoro
pada Juli 1922 di Yogyakarta. Pada 6 Januari 1923 Pergerakan
Kebangsaan Taman Siswo dinyatakan sebagai “wakaf bebas”.
Lembaga ini diserahkan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 7
Agustus 1930 kepada Yayasan Taman Siswo, yang berkedudukan
di Yogyakarta.
Dengan tujuan untuk memperoleh suatu wawasan
dalam pemikiran yang mendasari Perguruan Taman Siswo,
perlu untuk mengetahui prinsip dasar yang diuraikan dalam
rapat pendiriannya pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara.
ada tujuh prinsip dari lembaga pendidikan ini.
Hak menentukan nasib sendiri. Hak menentukan nasib
sendiri dari individu yang perlu memperhitungkan tuntutan
kebersamaan dari warga harmonis, sebagai prinsip dasar
lembaga pendidikan ini. Tertib dan Damai menjadi tujuan
tertingginya. Tidak ada ketertiban yang terjadi di warga
apabila tidak ada perdamaian. Akan namun juga tidak akan ada
20. Lihat arsip koleksi Taman Siswo, Brief van den Directeurvan Onderwijs
en Eredienst van 23 September 1938no. 27203A, dan Brief vanden
Directeur van Financien van 7 December no. LB 1/18/38 Koleksi NAN,
Den Haag dan Arsip Nasional RI (fotokopi)
59Djoko Marihandono
perdamaian selama individu dihalangi dalam mengungkapan
kehidupan normalnya. Pertumbuhan alami, merupakan tuntutan
yang dibutuhkan bagi pengembangan diri seseorang. Dengan
demikian, lembaga ini menolak pengertian “pengajaran” dalam
arti “pembentukan watak anak secara disengaja” dengan tiga
istilah “pemerintah – patuh – tertib”. Metode pengajaran yang
dianut memerlukan perhatian menyeluruh yang menjadi syarat
bagi pengembangan diri demi pengembangan akhlak, jiwa dan
raga anak. Perhatian inilah yang disebut sebagai “sistem among”.
Siswa yang mandiri. Sistem ini diterapkan untuk
mendidik Siswa menjadi mahluk yang bisa merasa, berpikir dan
bertindak mandiri. Di samping memberikan pengetahuan yang
diperlukan dan bermanfaat, guru perlu membuat Siswa cakap
dalam mencari sendiri pengetahuannya dan menggunakannya
agar diperoleh manfaat. Inilah pengutamaan sistem pendidikan
among. Pengetahuan yang diperlukan dan bermanfaat adalah
pengetahuan yang sesuai kebutuhan ideal dan material dari
manusia sebagai warga di lingkungannya.
Pendidikan yang mencerahkan warga .
Sehubungan dengan masa depan, anggota warga harus
diberikan pencerahan. Sebagai akibat dari kebutuhan yang
menumpuk, yang sulit dipenuhi dengan sarana sendiri sebagai
akibat pengaruh peradaban asing, lembaga pendidikan ini harus
sering bekerjasama dalam mengatasi gangguan perdamaian.
Sebagian dari kaum bumiputera tidak merasa puas. Juga
sebagai akibat dari ketersesatan sistem pendidikan itu. Lembaga
pendidikan ini harus mencari perkembangan intelektual yang
60 ----
timpang, yang menjadikan kaum bumiputera tergantung secara
ekonomi dan juga membuat terasing dari rakyat yang menjadi
bagian dari pemerintah kolonial. Dalam kebingungan ini mereka
menjadikan budaya Eropa sebagai titik tolak, sehingga Taman
Siswo dapat mengambil langkah maju. Atas dasar peradaban
sendiri, hanya pembangunan dalam kondisi damai bisa terwujud;
Pendidikan harus mencakup wilayah yang luas. Tidak
ada pendidikan betapapun tingginya juga yang bisa membawa
dampak bermanfaat bila hanya mencapai kehidupan sosial yang
bertahan secara sesaat. Pendidikan harus mencakup wilayah
yang luas. Kekuatan suatu negara merupakan kumpulan dari
kekuatan individu. Perluasan pendidikan rakyat terletak dalam
usaha lembaga ini;
Perjuangan menuntut kemandirian. Perjuangan setiap
prinsip menuntut kemandirian. Oleh karenanya kaum bumiputera
jangan mengharapkan bantuan dan pertolongan orang lain,
termasuk di dalamnya untuk mewujudkan kemerdekaan.
Dengan senang lembaga ini menerima bantuan dari orang lain
akan, namun menghindari apa yang bisa mengikatnya. Jadi
Taman Siswo ingin bebas dari ikatan yang menindas dan tradisi
yang menekan dan tumbuh dalam kekuatan dan kesadaran kaum
bumiputera.
Sistem ketahanan diri. Bila bangsa ini bisa bertumpu
pada kemampuan sendiri, semboyannya cukup sederhana. Tidak
ada persoalan di dunia yang mampu bekerja sendiri. Persoalan
itu tidak akan bertahan lama. Mereka tidak bisa bertahan sendiri
karena sangat bergantung dari kaum bumiputera. Atas semua
61Djoko Marihandono
yang sudah terjadi selama ini, akan muncul “sistem ketahanan
diri” sebagai metode kerja lembaga pendidikan ini.
Pendidikan anak-anak. Lembaga ini bebas dari ikatan,
bersih dari praduga. Tujuan lembaga ini adalah mendidik
anak-anak. Bangsa bumiputera tidak meminta hak, akan namun
meminta diberikan kesempatan untuk melayani anak-anak.
Pada 1921, Taman Siswo di Yogyakarta disiapkan, dan
pada 1922 didirikan secara permanen. Sekolah ini muncul
sebagai “perguruan pendidikan nasional”.
Segera di berbagai tempat, sekolah-sekolah Taman Siswo
berdiri, terutama sesudah pendirinya berceramah di kota-kota
besar di Jawa, sehingga prinsip Taman Siswo dapat diuraikan
secara panjang lebar. Sebagai pedoman telah diterima semboyan
“kembali dari Barat menuju nasional” dengan penggunaan
bahasa ibu sebagai pengantar pendidikan yang akan berdampak
dalam menjalankan ibadah agama, penghapusan permainan dan
lagu-lagu anak-anak Belanda dan menggantinya dengan model
nasional.21
Sebagai sekolah nasional jauh lebih banyak yang akan
diberikan budaya sendiri daripada di lembaga lain (bahasa,
sejarah, moral, musik, tari dan sebagainya). Apabila tidak ada
bahasa ibu yang masih murni, (seperti di Batavia misalnya),
sebagai pengantar akan digunakan bahasa Melayu baru yang
disebut bahasa Indonesia. Beberapa mata pelajaran diberikan
dalam bahasa Belanda, untuk melatih siswa dalam penggunaan
21. Arsip Taman Siswo koleksi B21A dan B21 B Koleksi Nationaal Archief
Nederland dan Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi).
62 ----
praktis bahasa itu. Juga kadang-kadang bahasa Jawa atau
bahasa Melayu masih sulit untuk diterima. Sehubungan dengan
pendidikan bahasa, aturan dalam kurikulum ini berbunyi: bahasa
ibu sebagai pengantar, terutama untuk kelas rendah, pendidikan
dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu berlangsung di kelas
yang lebih tinggi dari sekolah dasar.
Dalam bahasa terletak semua yang tersimpan, apa yang
dimiliki rakyat dari nilai kebatinan. Bahasa sendiri akan memberi
anak sebagai jalan masuk menuju ke hati rakyat. Bila pendidikan
berjalan dengan baik, pasti akan terjadi pengalihan budaya.
Penguasaan bahasa rakyat sendiri menjadi syarat pertama
karena hanya dengan itu rakyat bisa merasakan kebudayaannya
sendiri. Hal ini menjadi suatu syarat demi munculnya rasa kasih
terhadap budaya sendiri, yang merupakan faktor penting dalam
usaha untuk pengembangan budaya, menuju pengembangan
lebih lanjut. Sehubungan dengan ini, dalam sistem among
berlaku prinsip bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam
bahasa ibunya sendiri. Terutama bagi anak kecil, penggunaan
bahasa daerah dalam pendidikan dianggap sangat penting,
karena pendidikan baru bisa hidup. Hantu, mitos dan legenda
bisa dikisahkan kepada anak saat mereka masih sangat peka.
Jadi anak hidup dalam fantasinya dengan rakyatnya sendiri dan
ikut terlibat dalam penilaian rohani sejauh daya tangkapnya
memungkinkan.
Penggunaan bahasa ibu merupakan suatu tuntutan untuk
meletakkan dasar yang kuat bagi proses berpikir. Jadi pendidikan
dengan menggunakan bahasa asing diperlukan pada usia yang
63Djoko Marihandono
lebih tinggi, bila anak sudah mampu menguasai bahasa mereka
sendiri. Di tingkat Taman kanak-kanak, masih belum ada
pendidikan bahasa asing yang diberikan.
Sistem among menganggap permainan anak memegang
peranan penting dalam mendidik anak, karena semuanya terletak
dalam jiwa anak itu sendiri. Hal ini sesuai dengan fantasi mereka
dan dorongan bagi kegiatan dan gerak motorik mereka. Tidak ada
yang lebih alami dari pada anak bisa memperoleh permainannya
sendiri yang berasal dari lingkungannya sendiri. Jadi anak
tetap berada dalam lingkup rakyatnya sendiri. Jika sebaliknya
anak menerima permainan asing, maka akan tertanamkan inti
pemisahan dari bangsanya sendiri. Melalui pemainan nasional,
pemikiran anak secara alami tumbuh bersama kehidupan
rakyatnya.
Watak nasional Taman Siswo mengakibatkan orang
memperkenalkan anak dengan ide nasional yang tertanam pada
rasa kasih kepada bangsa dan tanah airnya sendiri. Namun ide
nasional itu tidak disertai dengan kebencian terhadap bangsa lain,
karena akan menjadi penghambat dalam perkembangan terhadap
kesadaran kasih bagi kemanusiaan. Oleh karenanya, menurut
pandangan Taman Siswo nasionalisme tidak bertentangan
dengan kemanusiaan. Azas Taman Siswo adalah kemanusiaan
dengan sifat kebangsaan.
Dalam Poesara, majalah Taman Siswo terbitan Maret
1933, Ki Hadjar Dewantara menulis artikel dengan judul
“Kembali ke ladang”. Ki Hadjar Dewantara menggambarkan
hubungan Taman Siswo dengan pergerakan politik sebagai
64 ----
berikut: “Taman Siswo dan selanjutnya juga dalam setiap
karya sosial, ladang atau sawah tempat orang menanam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, pergerakan politik nasional
menjadi pagar, pagar untuk melindungi ladang agar tanaman di
ladang tidak diganggu oleh hewan liar atau dicuri oleh orang
asing.”22
Bisa dikatakan bahwa Taman Siswo tidak ikut campur
dalam bidang politik. Pergerakan politik nasional harus
memperhatikan agar orang tidak menghambat tumbuhnya
sekolah nasional, sehingga pembinaan terhadap pemuda
secara nasional tidak terganggu. Hal inilah yang menjadi inti
pembangunan nasional. Politik tidak diizinkan di sekolah.
Ada larangan keras bagi guru untuk membawa politik ke
ranah sekolah, karena Taman Siswo menduga bahwa politik
tidak boleh mengorbankan anak-anak kecil. Orang tidak boleh
memasukkan suasana politis di sekolah. Dalam kaitan ini tidak
ada lagi keterlibatan dalam politik, atau politik praktis. Politik
harus dibatasi oleh tenaga pengajar dan diatur. Orang bisa
terlibat dalam partai politik sebagai tenaga pengajar Taman
Siswo, namun orang harus memperhitungkan semua yang
disebutkan di atas. Saat itu di Taman Siswo juga berlaku aturan
bahwa setiap guru mengucapkan janjinya bahwa dia perlu
mengutamakan kepentingan sekolah dan bukan kepentingan
lainnya. Taman Siswo menuntut dari guru agar guru bisa
mencurahkan jiwanya untuk mendidik anak. Ini hanya akan
terjadi bila orang menganggap karyanya untuk pendidikan dan
22. Arsip Taman Siswo , koleksi B28A, B28 B, Koleksi Nationaal Archief
Nederland dan Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi).
65Djoko Marihandono
pengembangan Taman Siswo sebagai tujuan nomor satu. Taman
Siswo menuntut lebih banyak karena berdasar “ide Paguron”
yang dianut oleh Taman Siswo. Guru melihat tugas hidupnya
dalam karya pendidikan.
Taman Siswo ingin tetap menjaga jarak dari politik, atas
dasar pedagogis. Apabila pada saat tertentu disinggung tentang
warna politik Taman Siswo, maka ini biasanya dianggap berasal
dari para pelakunya. Akan namun Taman Siswo sendiri bisa
merujuk pada tata tertib yang telah ada.23 Taman Siswo merasa
wajib dengan tujuan untuk tetap setia kepada prinsipnya, yakni
melayani anak-anak.
Prinsip kemanusiaan, tidak diabaikan oleh Taman Siswo
dalam usaha menanamkan jiwa nasionalisme. Prinsip moral
membatasi pelaksanaan ide nasionalis. Tanpa itu, Taman Siswo
tidak bisa menjadi lembaga pendidikan. Dengan demikian
yang penting adalah pernyataan bahwa pada tahun 1921 dalam
pendirian Taman Siswo digunakan semboyan “Suci Ngesti Tata
Tunggal, yang berarti “kemurnian dan ketertiban berjuang demi
kesempurnaan”, dan menurut versi Jawa bersama menunjuk
angka tahun 1854 Caka. Moral dalam Taman Siswo muncul
23. Tata tertib telah diatur secara jelas. Hal ini terbukti dari kenyataan,
bahwa hari peringatan Diponegoro sebagai pahlawan nasional di semua
lembaga sekolah Taman Siswo diadakan pada tangal 8 Februari. Pada
setiap tanggal itu, tidak diselenggarakan kegiatan sekolah. Sementara itu,
pada hari besar nasional (Belanda), semua sekolah Taman Siswo terpaksa
ditutup. Di gedung-gedung tidak ada bendera dikibarkan, tenaga pengajar
tidak ikut terlibat dalam upacara, para murid sebaliknya dibebaskan jika
mau untuk ikut terlibat. Di banyak sekolah Taman Siswo, selain “lagu-
lagu nasional”, lagu Indonesia Raya juga dilantunkan.
66 ----
dalam agama. Hal ini diketahui dari semboyan ini . Tunggal
berarti juga satu, di sini dicantumkan dalam arti mistis kata itu.
Semua ini selanjutnya bisa dijelaskan dari kenyataan bahwa
para pendiri Taman Siswo tanpa terkecuali adalah sosok agamis.
Taman Siswo memiliki visi bahwa hanya ada
perkembangan alami apabila anak dididik:
* Sesuai dengan kondisi alam materi;
* Atas dara bakat alamnya;
* Sesuai kondisi alamnya;
Dalam alam, pusat pendidikan utama terletak pada
keluarga. Ayah dan ibu merupakan pendidik anak yang paling
utama. Suatu pandangan alami tertentu untuk mendidik selalu
terpusat pada ayah atau ibu. Pandangan ini menjadikan keluarga
sebagai pusat pendidikan alami. Pandangan ini menghendaki
sistem among dialihkan kepada Paguron , di sekolah. Dari sana
Taman Siswo dalam organisasinya tampil sebagai “keluarga
besar dan suci”. Keluarga ini pada dasarnya berbeda dari
keluarga alami.
Keluarga alami didasarkan pada hubungan darah.
Taman Siswo didasarkan sebagai “keluarga” atas hubungan roh.
Hubungan roh di sini menunjukkan bahwa di Taman Siswo orang
bisa saling merasa dirinya sebagai saudara, atas dasar kenyataan
bahwa orang menganut ide yang sama. Juga hubungan keluarga
yang membuat hubungan antara majikan dan pekerja tidak dapat
diterima di Taman Siswo. Sebagai anggota dari keluarga yang
sama, orang berjuang demi tujuan yang sama, dan untuk gagasan
yang sama. Sewajarnya ada kepemimpinan, seperti dalam
67Djoko Marihandono
keluarga. Demikian pula dalam Taman Siswo kepemimpinan
dipegang oleh orangtua, bukan menurut ukuran raga melainkan
menurut ukuran jiwa.
Di sekolah setiap Siswa bisa menyebut gurunya dengan
“bapak” atau “ibu” sesuai pengajar pria atau wanita. Bentuk-
bentuk fisik yang bukannya tanpa pengaruh muncul pada
hubungan antara guru dan Siswa. Pada tahun-tahun pertama anak
merasa sangat dekat dengan ibunya. Unsur “keibuan” juga ingin
ditetapkan dalam sistem among di sekolah. Di Taman Anak, di
mana anak-anak mencapai usia 9 tahun, diberi pelajaran oleh
guru perempuan.24
Sekolah menyebut dirinya “perguruan” (paguron ).
Ditarik dari kata “guru” (pengajar). Kata ini secara harafiah
berarti: tempat di mana guru tinggal. Orang juga bisa menarik
makna dari kata “berguru” (meguru ), yakni belajar, kemudian
perlu diberikan pemahaman belajar pada kata itu. Sering kata
“paguron” memperoleh makna belajar sendiri, yakni karena bila
sosok guru menjadi unsur yang dominan, maka paguron berarti
arah perguruan ditunjukkan di situ.
Taman Siswo menyebut kata ini dalam tiga makna.
Paguron berarti: pusat belajar dengan arah tertentu sekaligus
rumah guru. Menurut sistem pendidikan Jawa lama, juga
Indonesia lama, mungkin Asia pada umumnya, sekolah juga
menjadi rumah guru. Di sana dia tinggal selamanya; dia
memberikan namanya, atau lebih tepat lagi dikatakan orang
menyebut dusun itu dari namanya.
24 Arsip Taman Siswo B28C Koleksi Nationaal Archief Nederland dan
Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi).
68 ----
Dari jauh dan dekat para Siswa datang kepadanya; dia
tidak mendatangi murid. Orang berkata: dia jangan menjadi
“sumber lumaku tinimba” (sumber air yang berjalan untuk
diambil oleh orang). Suasana paguron didominasi dengan
semangat kepribadiannya. Belajar di paguron demikian menjadi
masalah kedua. Tidak bisa dikatakan bahwa hanya sedikit