ki hajar dewantara 1





Pada dasarnya sejarah adalah hubungan antarbiografi
yang melewati atau menembus batas waktu. Membicarakan Ki 
Hajar Dewantara (KHD),  hal ini berarti memahami relasinya 
dengan tokoh-tokoh sejarah yang sezaman khususnya di bidang 
politik, meski bidang-bidang lain tidak dapat ditinggalkan.  
Sebaran spasialnya tentunya seluruh nusantara dan  lingkup 
temporalnya mencakup periode  pemerintahan penjajahan 
Belanda di Indonesia pada  akhir  abad XIX sampai dengan  
pertengahan abad XX.  
KHD lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama 
RM Soewardi Soerjaningrat (RM Soewardi Soerjaningrat  ), putra GPH Soerjaningrat, 
atau cucu Sri Paku Alam III. Dari genealoginya RM Soewardi Soerjaningrat   adalah 
keluarga bangsawan Pakualaman. Sebagai bangsawan Jawa, RM Soewardi Soerjaningrat   
mengenyam pendidikan  ELS  (Europeesche  Lagere School)  
– Sekolah Rendah untuk Anak-anak Eropa. Kemudian RM Soewardi Soerjaningrat   
mendapat kesempatan masuk STOVIA (School tot Opleiding 
voor Inlandsche Artsen)  biasa disebut Sekolah Dokter Jawa. 
Namun karena kondisi kesehatannya tidak mengizinkan 
sehingga RM Soewardi Soerjaningrat   tidak tamat dari sekolah ini.
Adapun profesi yang digelutinya adalah dunia jurnalisme 
yang berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada waktu 
itu: Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, 
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara yang melontarkan 
kritik sosial-politik kaum bumiputra kepada penjajah. Tulisannya 
komunikatif, halus, mengena, namun  keras. Jiwanya sebagai 
pendidik tertanam dalam sanubarinya   direalisasikan dengan 
mendirikan  Perguruan Taman Siswa (1922) guna mendidik 
warga  bumiputra.
Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman
RM Soewardi Soerjaningrat   berkepribadian sangat sederhana dan sangat dekat dengan 
kawula (rakyat). Jiwanya menyatu lewat pendidikan dan budaya 
lokal (Jawa) guna menggapai kesetaraan sosial-politik dalam 
warga  kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi 
dasar RM Soewardi Soerjaningrat   dalam memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat 
nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme politik.
Keteguhan hatinya untuk memperjuangkan nasionalisme 
Indonesia lewat pendidikan  dilakukan dengan resistensi terhadap 
Undang-undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie, 
1932). Undang-undang yang membatasi gerak nasionalisme 
pendidikan Indonesia akhirnya dihapus oleh pemerintah 
kolonial. Perjuangannya di bidang politik dan pendidikan inilah 
kemudian pemerintah Republik Indonesia menghormatinya 
dengan berbagai jabatan dalam pemerintahan RI, mengangkat 
KHD sebagai Menteri Pendidikan  dan Kebudayaan (1950).  
KHD mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas 
Gadjah Mada (1959). Pemerintah RI mengangkat KHD sebagai 
Pahlawan Nasional (1959). Meski perjuangannya belum selesai 
untuk mendidik putra bangsa,  jelas  KHD memelopori lahirnya 
pendidikan di Indonesia. KHD wafat pada 26 April 1959 
dimakamkan di pemakaman  keluarga Taman Siswa Wijaya 
Brata, Yogyakarta.
 Guna memberikan rambu-rambu dalam artikel ini 
perlu disampaikan pokok pertanyaan yang mengarahkan alur  
penjelasan arikel.  Mengapa gagasan politik KHD membuka jalan 
bagi pendidikan bangsa dan menyebarkan faham kebangsaan 
demi tercapainya kemerdekaan Indonesia? Pokok pertanyaan ini   
yang akan memandu penjelasan tentang gagasan politik KHD 
bagi perpolitikan Indonesia terutama pada masa Pergerakan 
Nasional. Sekaligus artikel ini akan menemukan sesuatu yang 
baru berkaitan dengan peran KHD sebagai tokoh nasional bangsa 
Indonesia, khususnya di bidang pendidikan   dan kebudayaan.
Salah satu bagian penting politik kolonial yang 
dipertahankan di koloni adalah politik diskriminasi yang 
membedakan kedudukan dan peran antara penjajah dan terjajah. 
Diskriminasi itu dipertahankan untuk mendukung kedudukan 
dan peran sosial-politik kolonial yang menghegemoni semua 
bidang kehidupan kolonial . Pemerintah kolonial yang 
diidentifikasikan sebagai penguasa otomatis memiliki
kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada orang bumiputera 
baik secara material dan spiritual. Hal-hal inilah yang mendukung 
perasaan superioritas sebagai penjajah, pemerintah kolonial 
berhak mengatur inferoritas bumiputra. 
Yang dimaksud dengan pemikiran politik adalah usaha 
KHD untuk mendapatkan sesuatu yang oleh pemerintah 
kolonial dipertahankan. Oleh karena itu pemikiran politik KHD 
dilakukan dengan multifaset, bukan hanya bidang politik melulu 
namun  juga sosial dan kultural.
Diskriminasi menengarai perbedaan fisik dan kultural.
Mereka merasa sebagai bangsa yang memiliki ras Arya yang 
memiliki   peradaban tinggi di Eropa dibawa sampai ke 
koloni. Sebagai ras yang hebat dan kuat mampu menaklukkan 
lautan luas dan menjajah serta menguasai bumiputera yang 
lebih rendah peradabannya. Orang-orang bumiputera yang 
berperadaban rendah  harus diadabkan. Oleh karena itu, 
kolonialisme sering berkedok mengadabkan bangsa lain meski 
sebenarnya berisi pemerasan, pembedaan, dan penguasaan. 
Meski demikian bangsa Barat termasuk Belanda bersiteguh 
mengatakan perlawatannya ke dunia Timur merupakan mission impossible 
sacrée  alias tugas suci untuk mengadabkan bangsa-bangsa Timur 
termasuk Indonesia. Ada sekian banyak dalih untuk melegalkan 
tindakannya di dunia Timur, yaitu dengan menyebutnya white 
man’s burden , yang tidak lain sepertinya itu semua merupakan 
tugas atau beban orang bule di dunia Timur ,
Memang sangat luar biasa mengemas kepentingannya 
rapi dengan istilah yang memiliki rasa perikemanusiaan yang 
sangat tinggi. Namun, prakteknya di koloni jauh panggang dari 
api. Pemerintah kolonial dengan aparat kolonialnya berperilaku 
menyimpang dari cita-cita awal untuk mengadabkan bangsa 
Timur. Praktek-praktek diskriminasi, kekerasan, penekanan, 
kecurangan, korupsi dan sejenisnya sangat tidak mengenakkan 
perasaan orang bumiputra. Ketidakpuasan menyelimuti semua 
perasaan etnik-etnik di koloni yang menginginkan kehidupan 
setara antara penjajah dan terjajah baik sosial maupun politik ,
Dari latar belakang kehidupan sosial-politik inilah  
pikirannya jauh ke depan yaitu bagaimana caranya orang-orang 
bumiputra yang terpinggirkan ini mendapat kesempatan untuk 
mendapat kesetaraan secara sosial-politik dalam warga  
kolonial. Memang secara tidak langsung di lingkungan 
Pakualaman sudah terbentuk cultuur-milieu  berupa lingkungan 
kultur yang maju yang didukung oleh para elite Pakualaman 
 Sebagai contoh adalah Pangeran Ario Notodirodjo, putra 
Paku Alam V, seorang elite terkemuka Ketua Budi Utomo (1911) 
yang juga melakukan pembaruan di lingkungan Pakualaman dan 
bisa disebut salah seorang pelopor pergerakan nasional Jawa. 
Juga RM Surjopranoto, putra GPH Suryaningrat dan kakak RM Soewardi Soerjaningrat  ,  
mendirikan sekolah Adhi Dharmo. Dalam kariernya sebagai 
pemimpin bumiputra Suryopranoto sangat membela nasib buruh 
sehingga dikenal sebagai “Raja mogok”. Bagi buruh, mogok 
 Secara umum lingkungan elite Pakualaman sudah 
membangun kemajuan untuk warga  lokal Jawa, mencari 
kesetaraan dalam warga  kolonial  yang memiliki  
kandungan unsur demokrasi dalam politik dan mendorong 
kesejahteraan bagi warga  kecil pada umumnya. Sebagai 
kelanjutan perjuangan keluarga Pakualaman adalah perjuangan 
di bidang pendidikan pada umumnya. Pendapat seorang 
sosiolog mengatakan bahwa pendidikan adalah dinamite yang 
dapat menghancurkan struktur warga  kolonial yang rigid. 
Disamping itu tentunya paska kemerdekaan, pendidikan tetap 
menjadi fondasi utama bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa 
Indonesia.
Kepincangan dalam warga  kolonial adalah kuatnya 
diskriminasi sosial dan politik. Usaha mempertahankan 
diskiriminasi ini dimaksudkan agar terjaga kewibawaan kolonial 
dan membuat distansi dengan warga  pribumi tetap terjaga. 
Dengan kata lain, diskriminasi melanggengkan penjajahan. 
Itulah sebabnya pendekatan terhadap bumiputra merupakan 
hal tabu. Sistem kolonialisme Belanda yang menjauhkan antara 
penjajah dan terjajah tetap terpelihara sehingga  mobilitas 
vertikal kaum pribumi tetap terkontrol. Komunikasi sosial.
politik antara penjajah dan terjajah sangat renggang dan bahkan 
terjadi jurang yang dalam sehingga melanggengkan sistem 
pemerintahan tidak langsung, artinya warga  pribumi tetap 
diperintah penguasa tradisional, sehingga penguasa kolonial  
cukup menghubungi penguasa bumiputera dalam menjalankan 
pemerintahan kolonial.
Bagaimana cara pemerintah kolonial menjauhkan 
diri dari jangkauan warga  bumiputra antara lain dengan 
mengeluarkan RR 111 (Regeerings Reglement),  atau Peraturan 
Pemerintah Kolonial yang membatasi gerak politik warga  
bumiputra. Jadi, sebenarnya pemerintah kolonial sudah menutup 
aktivitas politik terhadap pemerintah kolonial. RR 111 ini sudah 
terbit untuk mengantisipasi gerakan politik sehingga gerakan 
maRM Soewardi Soerjaningrat  a Jawa yang timbul kemudian dalam bentuk gerakan 
kultural sebagaimana kemudian  dimanifestasikan dalam 
lahirnya organisasi Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908.
Dari kacamata politik dapat dipandang lahirnya BU adalah 
terobosan terhadap RR 111. Para priyayi Jawa, dokter Wahidin 
Sudirohusodo, berkolaborasi dengan mahasiswa STOVIA, 
Sutomo dan kawan-kawannya, berhasil menghimpun diri dalam 
memajukan  warga  Jawa pada waktu itu lewat pendidikan, 
sehingga  pemerintah kolonial tidak dapat menindak gerakan BU, 
yang berbasiskan gerakan kultural. Selain itu, era lahirnya BU 
sejalan dengan politik kolonial etis yang memberi kesempatan 
pendidikan kepada warga  Jawa meski memiliki interes 
kolonial yang kapitalistis. Politik kolonial waktu itu dengan 
triasnya sebagai bagian dari humanisme yang terselubung oleh  kepentingan kapitalisme, artinya meski kemudahan etisisme 
namun  yang diharapkan  adalah  keuntungan kolonial yang lebih  banyak lagi.
Partisipasi  dan resistensi yang dilakukan oleh RM Soewardi Soerjaningrat   cukup 
panjang dalam perjuangan politik. Pengalaman awal dalam 
politik saat   saat  RM Soewardi Soerjaningrat   menjadi aktivis  dan seksi propaganda 
BU. Dalam kongres BU (1908), RM Soewardi Soerjaningrat   mengorganisasikan kongres 
itu. EFE Douwes Dekker (DD) alias Setyabudi Danudirja 
mendirikan Indische Partij (IP) di  Bandung pada 25 Desember  
1912. RM Soewardi Soerjaningrat   dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo bergabung di 
dalamnya. Mengapa terjadi kolaborasi Indo dan bumiputra 
tidak lain ingin membangun kekuatan besar untuk menghadapi 
pemerintah kolonial. Kaum Indo yang tersisih dari pergaulan 
totok harus membangun solidaritas campuran Indo dan 
Bumiputra  yang juga terhegemoni oleh pemerintah kolonial. 
Oleh karena itu, dalam IP berkolaborasi  DD, RM Soewardi Soerjaningrat  , dan Tjipto 
Mangoenkoesoemo yang dikenal “Tiga Serangkai” merupakan 
kekuatan nasionalis awal pergerakan 
Dalam IP, kolaborasi bersama DD, RM Soewardi Soerjaningrat   dan dr. Tjipto 
Mangoenkoesoemo makin radikal. Kombinasi Indo dan 
bumiputra,  menjadi kekuatan yang mampu menghadapi 
pemerintah kolonial. Tiga orang tokoh IP memiliki  pengalaman 
terpinggirkan dalam warga  kolonial. DD adalah Indo yang 
tersingkir karena inferioritasnya dibanding dengan totok yang 
lebih terampil, RM Soewardi Soerjaningrat   memang berjiwa kerakyatan nasionalis Jawa 
yang sedang tumbuh, Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tokoh 
yang kritis terhadap diskriminasi kolonial. IP menanamkan 
17---- 
benih nasionalisme awal dengan pernayataannya “Indiӫ voor 
die Indiӫrs”, atau “Hindia untuk orang-orang Hindia” dalam arti 
mengakui Hindia sebagai tanah airnya yang merupakan prinsip 
utama nasionalisme  ,
Untuk selanjutnya dari pengertian yang nasionalistis 
ini berarti orang totok dan pemerintah kolonial harus 
meninggalkan Hindia alias dilawan. Dalam Anggaran Dasar 
IP disebutkan bahwa tujuan IP untuk membangun patriotisme 
bangsa Hindia, yaitu kepada tanah air yang telah memberi  
kehidupan,  dan menganjurkan kerjasama berdasar  
persamaan sistem  pemerintahan guna memajukan tanah air 
Hindia dan mempersiapkan kehidupan warga  merdeka”. 
IP menjadi model partai politik yang menerima keberagaman 
etnik di Indonesia guna menggalang persatuan dan semangat 
kebangsaan. Paham kebangsaan ini sesudah melalui perjalanan 
panjang diolah dan dimodifikasi oleh Perhimpunan Indonesia
(1924) dan  Partai Nasional Indonesia (1927) 
Sementara itu ”Tiga Serangkai” mendirikan Komite 
Bumiputera pada Juli/Agustus 1913, namun  yang memainkan 
peran penting dalam komite itu RM Soewardi Soerjaningrat  . RM Soewardi Soerjaningrat   menulis karangannya 
monumental dalam sejarah pemikiran politik Indonesia 
berjudul “Als ik een Nederlander was...” (Seandainya aku 
seorang Belanda)  yang mengritik  pemerintah kolonial yang 
akan menyelenggarakan pesta 100 tahun Nederland lepas dari 
penjajahan Prancis. Hanya saja biaya pesta itu dibebankan pada 
warga  bumiputra dengan mengumpulkan dana dari saku 
orang bumiputra dan menarik berbagai pajak. Karangan itu 
segera meluas ke warga  karena diterjemahkan oleh Abdoel 
Moeis ke dalam bahasa “Melayu”. Untuk menyingkirkan 
tiga tokoh berbahaya itu bagi rust en orde  harus dikenakan 
exorbitante rechten  dan cepat-cepat tiga tokoh berbahaya itu 
ditangkap  pada 18 Agustus dan harus meninggalkan Tanjung 
Periuk pada 6 September 1913 dengan tujuan Nederland.
Karangan RM Soewardi Soerjaningrat   itu dijawab oleh seorang Belanda kolonial 
yang ditulis oleh H. Mulder, redaktur harian Preanger Bode  
berjudul “Als ik eens Inlander was ...” (Sekiranya saya seorang 
anak negeri...) tentu isinya memuakkan dan sangat menghina 
martabat bumiputra. Tanggal 6 Sptember 1913 itu sebagai hari 
keberangkatan “Tiga Serangkai” itu disebut sebagai “Hari Raya 
Kebangsaan” (Koch, 1951 53-54). Di Parlemen Nederland, “Tiga 
Serangkai” itu dibela oleh  Sociaal Democratische Arbeiders  
Partij (S.D.A.P), partai buruh,  agar pemerintah kerajaan Belanda 
mencabut pembuangan tiga tokoh itu, meski gagal.
IP berumur pendek karena radikalismenya dan menyerang 
pemerintah kolonial sehingga IP dilarang pemerintah kolonial. 
Pengaruh radikalisme IP, terutama DD diakui Gubernur Jenderal 
Idenburg bahwa semangat antikolonial sudah menyebar ke 
tokoh-tokoh Sarekat Islam. Oleh karena itu, pemerintah kolonial 
harus menindaknya. Dapat dikatan IP berumur pendek namun 
bagaikan “sebuah tornado yang melanda Jawa”. IP dibubarkan 
dan “Tiga Serangkai” dibuang, namun  organisasi itu diteruskan 
pengganti-penggantinya dengan nama Insulinde,  organisasi 
yang anggotanya heterogin, yang kurang mendapat respon 
warga  dan pada 1919 ganti nama lagi menjadi Nationaal 
Indische Partij (NIP). Karena orang-orang Indo merasa lebih 
superior dibanding bumiputra  maka perpecahan antar mereka 
makin dalam dan orang-orang Indo bergabung dalam Indo 
Europeesch Verbond  (EIV)  pada 1919 yang ingin dekat dengan 
pemerintah kolonial 
saat  di Bandung, RM Soewardi Soerjaningrat   menjadi ketua SI lokal. Apa yang 
dilakukan RM Soewardi Soerjaningrat   tentu memperjuangkan anggota SI mendapatkan 
persamaan  dan antidiskriminasi dalam warga  kolonial baik 
sosial, ekonomi dan politik. Gerakan-gerakan radikal dilakukan 
diperoleh dari pengalamannya mengawal SI dan memimpin 
lokal Bandung.
Terhadap “Tiga Serangkai”, pemerintah kolonial 
menjawab dengan membuangnya meski yang pertama masih 
ada di lingkungan Hindia Belanda namun  kemudian mereka minta 
agar dibuang ke Nederland. Tjipto hanya setahun di Nederland 
karena sakit, DD kembali 1918 dan KHD kembali ke Indonesia 
pada 1919 sesudah mengalami pembuangan enam tahun di negeri 
Kincir Angin itu.
Dampak langsung IP khususnya terhadap KHD 
adalah pengalaman politik yang telah diperjuangkannya 
meski menghadapai berbagai kendala politik sampai dengan 
pembuangannya. Namun, hikmahnya KHD makin matang 
dalam perjuangan politik menghadapi pemerintah kolonial. 
Secara umum tentunya IP memberi inspirasi semangat dan 
pendewasaan nasionalisme, cinta tanah air dan perjuangan 
kemerdekaan.
D. Aksi,  Aliansi dan Nonkooperasi: Nasionalisme  
      dan Demokrasi
Suatu gerakan politik sebagaimana dilakukan KHD tidak 
mungkin hanya ada dalam pikiran perjuangannya saja namun  
harus membuat kombinasi ke arah realitas sebuah gerakan 
yang nyata dalam melakukan resistensi terhadap pemerintah 
kolonial. Aksi-aksinya  adalah tindakan atas reaksi pemerintah 
kolonial yang melakukan diskriminasi, represi, hegemoni sosial 
dan politik sehingga merendahkan martabat sebagai etnik-
etnik yang berkarakter. Pendegradasian martabat melunturkan 
identitas sehingga terjadi kehilangan karakter. Superioritas 
kolonial sangat mengganggu eksistensi kultur dan warga  
Jawa karena tekanan-tekanan sosial-politik yang berakibat pada 
inferioritas yang kompleks. Ketidakpercayaan diri yang dibangun 
pemerintah kolonial ini harus dikembalikan sehingga bangsa 
ini berani masuk dalam warga  kolonial dan berkompetisi 
dengan mereka (Ki Hadjar Dewantara, 1952).
 Namun, sekali lagi setiap aksi harus memperhitungkan 
kekuatan diri dan kekuatan lawan. Merujuk teori sejarawan 
Inggris, A.J. Toynbee “Teori Tantangan dan Jawaban” sangat 
cocok bila diterapkan  pada aksi-aksi melawan kolonialisme 
Belanda. Jika kekuatan lawan cukup kuat diperlukan aliansi 
sesama kekuatan politik bumiputra untuk menghadapi kuasa 
kolonial. Artinya tantangan kolonial harus dijawab dengan 
kekuatan yang seimbang. 
Pengalaman telah menunjukkan bahwa DD berusaha 
membangun IP beraliansi dengan  KHD dan Tjipto. Perkumpulan 
campuran ini anggotanya berjumlah 7.300 orang, hanya ada 1.500 
orang Indonesia, sedang anggota Indo berjumlah 5.800 orang 
(Koch, 1951: 55). Kuasa kolonial lewat bangunan organisasi 
moderen harus dihadapi lewat bangunan moderen juga, meski 
hasilnya tokh belum memuaskan. Akan namun  aksi-aksi IP telah 
memberikan inspirasi organisasi politik berikutnya di Indonesia 
makin solid dalam menghadapi pemerintah kolonial.
 Diskriminasi, hegemoni, represi, superioritas dan 
sejenisnya adalah identitas kolonial yang tidak ingin disentuh 
dan memang dibuat jarak dengan bumiputra. Melihat keadaan 
sedemikian ini jelas sukar dilakukan deal sosial-politik karena 
pada dasarnya sistem politik kolonial yang gierig atau pelit dan 
sulit didekati karena adanya cultural gap  yang dipertahankan. 
Sulitya dilakukan pendekatan maka KHD mengambil model 
nonkoopersi dalam menghadapi pemerintah kolonial. Artinya 
KHD melakukan perjuangan politik di luar pemerintahan 
kolonial. Dengan perjuangan cara nonkooperasi ini KHD 
memlilih mendirikan Sekolah Taman Siswa yang berjiwa 
ketimuran meski organisasinya mengikuti model Barat. Sekolah 
ini tentu akan merekrut elite yang sudah dibekali dengan jiwa 
ketimuran yang vis ā vis dengan pemerintah kolonial. Sikap 
politik nonkooperasi ini akan dibuktikan oleh KHD dalam 
mengahadapi Undang-undang Sekolah Liar, 1932. Undang-
undang itu melarang sekolah bumiputra hidup karena sebagai 
persemaian nasionalis Indonesia. Pertumbuhan sekolah swasta 
di Jawa dan Sumatera Barat sangat luar biasa  1920-1931-an. 
Kurikulumnya tidak seragam dan itulah mengapa pemerintah 
menyebut “sekolah liar”. Selain itu, guru-guru diharuskan  
mendapat izin jika akan mengajar atau bersertifikasi lebih dulu.
Pemerintah kolonial khawatir terhadap berkembangnya sekolah 
swasta di Indonesia. 
Pada 1 Oktober 1932 KHD mengumumkan tantangannya 
terhadap ordonansi itu lewat telegram kepada Gubernur 
Jenderal de Jonge bahwa KHD akan mengorganisasikan 
perlawanan pasif. Pada 3 Oktober dikeluarkan manifesto yang 
menganjurkan perlawanan. Partindo, PNI, Pasundan, PPPKI, 
BU, dan Muhammadiyah mendukung perlawanan terhadap 
ordonansi itu, jadi dukungan terhadap  perlawanan KHD 
makin kuat. Pembatasan apapun terhadap sekolah-sekolah 
membawa konsekuensi jangka panjang yang sangat berat dan 
menggoyahkan pemerintah kolonial. Akhirnya pada akhir 
Februari 1933 de Jonge menetapkan penghentian pelaksanaan 
ordonansi itu.  Berkat perjuangan Taman Siswa, undang-undang 
itu akhirnya dicabut dan dampaknya menyatukan semangat 
organisasi politik untuk terus memperjuangkan kebebasan 
Kekhawatiran pemerintah kolonial adalah perluasan 
nasionalisme. Meski masih dalam lingkup lokal, organisasi  
BU  dipandang oleh orang-orang Belanda yang berpikiran 
maju sebagai oosterse renaiRM Soewardi Soerjaningrat  ance , atau renaiRM Soewardi Soerjaningrat  anse (kelahiran 
kembali) di timur dengan sebutan “Si Molek telah bangun”. 
Namun, di pihak lain ada pandangan orang-orang Belanda 
konservatif yang menyebut lahirnya BU dengan istilah cukup 
sinis, yang menurutnya, “Orang Jawa banyak cingcong”. 
Meski tergambar BU memperjuangkan priyayi, namun  sebagai 
gerakan patriotisme lokal BU memiliki  nilai sangat penting 
karena kepeloporannya sebagai organisasi moderen , Memang untuk menghadapi pemerintah kolonial harus 
dibangun organisasi moderen yang memiliki  pemimpin, 
maRM Soewardi Soerjaningrat  a dan orientasi organisasi yang jelas, yaitu nasionalisme 
dan kemerdekaan meski masih pada tingkat lokal. Hanya lewat 
organisasi moderen kolonialisme dapat dilengserkan.
Di pihak lain adalah perkembangan unsur demokrasi 
yang berhadapan dengan unsur feodal yang masih dominan 
dan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial. Sejak datangnya 
orang-orang Belanda pertama kali di nusantara terjadi kolusi 
antara kolonialisme dan dan feodalisme. Interes kolonialisme 
adalah melanggengkan eksploitasi terhadap bumiputra, 
sedangkan feodalisme yang sudah lama melakukan eksploitasi 
secara tradisional  dipandang memiliki  akar kuat untuk 
diajak berkolaborasi mengeksploitasi warga  pribumi. 
Istilah mutakhir kolaborasi yang merugikan kelompok lain dan 
dipandang sebagai suatu yang negatif adalah kolusi. 
Dalam hal kolonialisme dan feodalisme di satu pihak dan 
demokrasi di pihak lain ada prinsip berbeda.  Kolonialisme 
dan feodalisme dalam pengertian “hand in hand” alias bekerja 
sama yang  menekankan hirarki dan otokrasi, sedangkan 
demokrasi menekankan kebersamaan yang bersifat populis. 
Kecenderungan terakhir kehidupan demokrasi menjadi tujuan 
utama karena membela kepentingan wong cilik yang selama 
ini belum pernah terangkat derajat dan martabatnya.  Namun 
demikian, demokrasi juga memiliki  kandungan negatif meski 
dalam skala kecil. Tirani demokrasi juga menghantui kehidupan 
demokrasi secara keseluruhan jika pengelolaan demokrasi tidak 
hati-hati. Yang pasti demokrasi lebih banyak menguntungkan 
publik dari pada yang hanya menguntungkan kelompok oligarki.
  Demokrasi  dan  nasionalisme memiliki  hubungan 
kuat dalam pengertian kepentingan bersama yang mencakup 
seluruh bangsa. Demokrasi adalah pemerintahan rakyat 
( demos  dan kratein:  B. Lt.) dan nasionalisme  merujuk  pada 
kepentingan untuk bangsa (natie: b. Bld), Jadi, rakyat dan 
bangsa memiliki cakupan arti, yaitu warga kolektiflah
yang harus diperjuangkan. Merujuk pada pakar nasionalisme 
Prancis,  Ernest Renan yang menanyakan “Apa bangsa Itu”? 
(Qu’est ce qu’une nation?). Yang dijawabnya “Bangsa adalah  
keinginan untuk hidup atau ada  bersama” (Nation est le désire 
de vivre/d’ĕtre ensemble). Jelas kepentingan bersama yang harus 
diperjuangkan sebagaimana keinginan KHD maupun pemimpin 
perjuangan politik Indonesia. Bung Karno sendiri mengakui 
bahwa nasionalisme harus dibangun lewat keinginan dan 
kebersamaan ,
E. Kelanjutan Resistensi : Budaya Politik 
Perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh 
kemerdekaan dilakukannya dalam berbagai dimensi, meski 
lahirnya dimensi-dimensi itu tidak secara simultan namun  dimensi 
yang dimunculkan kaum pergerakan sejalan dengan tantangan 
yang timbul waktu itu.Mengapa BU melakuan terobosan 
kultural karena pemerintah kolonial secara politis sudah pasang 
kuda-kuda dengan mengeluarkan RR 111 .
Jadi, kaum pergerakan ternyata sangat fleksibel mencari jalan
kehidupan pergerakan, meski pada awal gerakannya adalah 
gerakan emansipasi atau persamaan derajat dalam warga  
kolonial antara orang-orang Belanda dengan bumiputra. 
Demikian pula, selanjutnya IP mengubah gerakannya menjadi 
gerakan politik yang nasionalistis dengan mengakui Hindia 
(baca Indonesia sebagai tanah airnya). Gerakan selanjutnya 
berdimensi politik sebagaimana diperjuangkan Sarekat Islam 
yang menentang diskriminasi ekonomi dengan menyangkutkan 
kekuatan bumiputra berdasar azas Islam. Gerakan-gerakan 
dan perjuangan yang multidimensi ini lahir bukan merupakan 
suatu yang taken for granted  namun  melalui tantangan-tantangan 
kolonial  yang diekspose dan jawaban kaum pergerakan yang  
vleksibel.
 Variasi gerakan gerakan yang multidimensi ini 
dilanjutkan oleh organisasi-organisasi politik yang berdiri 
kemudian  dari yang moderat sampai yang radikal. Pada desenia 
kedua (1908-1920) corak gerakan masih variatif moderat-radikal 
yang mencari model yang tepat dalam menghadapi pemerintah 
kolonial. Pada desenia ketiga (1920-1930) melahirkan 
gerakan radikal seperti pemogokan, pemberontakan petani, 
pemberontakan Partai Komunis 1926, pembuangan tokoh-tokoh 
PNI, dan desenia keempat (1930-1942) bercorak hibrid antara 
gerakan politik kooperatif dan nonkooperatif yang bergerak 
pada momen-momen tertentu yang sangat insidental. Pada 
periode ini, gerakan politik sangat moderat karena tokoh-tokoh 
nonkooperasi dibuang oleh pemerintah kolonial, sedangkan 
tokoh-tokoh kooperasi lebih mendekati pemerintah kolonial dan 
dengan caranya sendiri bergerak untuk mendapatkan kekuatan 
di Volksraad (Dewan Rakyat). Oleh karena itu, aksi “Indonesia 
Berparlemen”, 1936, yang dituntut oleh Petisi Sutardjo adalah 
jalan moderat. Di samping itu masih terjadi gerakan radikal 
sebagaimana yang diusung oleh Perguruan Taman Siswa yang 
memperjuangkan dihapuskannya Undang-undang Sekolah Liar, 
1932 
 Tidak dapat dilupakan gerakan-gerakan sosial keagamaan 
yang lahir di Indonesia memperkaya gerakan politik pada 
umumnya. Aksi-sosial keagamaan memperkaya dan memberikan 
kontribusi pada gerakan politik. Modernisme dan reformisme 
dari pusat-pusat gerakan Islam seperti Universitas Al Azhar di 
Kairo, Mesir dan pusat-pusat yang lain seperti Kadian dan Lahore 
di India. Modernisme menginginkan pembaruan dari perilaku 
tradisional sedangkan reformisme berusaha memurnikan ajaran 
Islam keluar dari bid’ah. Ujung-ujung dari gerakan ini mengalir 
dan bernuansa nasionalisme Islam sebagaimana direprentasikan 
dalam organisasi Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama 
(1926), Ahmadiyah (1929), Al Irsyad (1914) dan Partai Arab 
Indonesia (1934).Masih ada geraskan sosial-politik yang lain 
dalam bentuk organisasi yang lokal seperti Thawalib, Perti, 
Persis, dan masih banyak lagi 
 Islam dan kebangsaan dimunculkan dalam Partai Serikat 
Islam Indonesia. Islam dan kebangsaan merupakan dua kunci 
menghadapi politik kolonial desenia  ketiga waktu itu karena  
awal desenia itu GJ de Jonge yang sangat reaksioner itu menekan 
keras gerakan nasionalis dengan memenjarakan dan membuang   
tokoh-tokoh PNI pada 1929 (Ingleson, 1988).
F. Radikalisasi dan Integrasi Nasional: Landasan  
     Kultural Baru
Radikalisasi adalah bentuk dan perilaku perjuangan keras 
atau radikal dan sering kali fisikal menghadapi kolonialisme
sebagai lawan perikalu lunak. Perubahan ke arah radikalisasi 
sudah kelihatan saat  dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang dapat 
julukan “demokrat sejati” itu gagal menyakinkan kongres BU 
agar terlibat dalam politik (Nagazumi, 1988). Dia mewakili  
golongan muda dalam kongres itu  minta agar BU mengubah 
diri dengan berjuang di bidang politik dan keluar dari orientasi 
kultural. Tentu orientasi politik lebih radikal dibanding kultural 
lewat gerakan-gerakan politiknya menghadapi penjajah. Oleh 
karena itu, sesudah keluar dari BU, dia bergabung dengan DD dan 
RM Soewardi Soerjaningrat   mendirikan IP (1912). Sudah disebut di muka bahwa meski IP 
gagal mendapatkan izin sebagai badan hukum (rechtspersoon)  
dan hidupnya pendek namun  jiwa dan semangat radikalisme 
mengilhami partai politik selanjutnya.
IP mengklasifikasi pengertian nasionalisme berdasar
ras dan  kemutlakan domisili yang dibaginya berdasar  ras 
yang dirasakan beda adalah Indo, keturunan campuran dan 
totok, asli atau voel bloed  dan di pihak lain dibedakannya antara 
yang blijvers,  yang sudah lama tinggal di Hindia Belanda dan  
trekkers  alias  mondar-mandir Nederland-Hindia Belanda. 
Namun hukum kolonial dengan kuat mengkalisifikasinya kalau
inlander  (bumiputera) yang sudah menetap adalah golonggan 
sosial terbawah, dan orang-orang Belanda ditempatkan pada 
golongan atas, meski di tengahnya ada golongan timur asing.
 Gagasan dan realitas nasionalisme yang radikal  sudah 
dimulai  di Indonesia sebagaimana disebut di atas yang dipelopori 
“Tiga Serangkai”. sesudah ketiganya “dibuang ke Nederland  
semangat nasionalisme radikal itu berkembang dan berkolaborasi 
dengan Indonesische Vereeniging   (IV) atau Perhimpunan 
Indonesia (PI). PI adalah perkumpulan pelajar dan mahasiswa 
Indonesia di Nederland yang memiliki  gagasan kuat terhadap 
nasionalisme Indonesia. Jadi, gagasan nasionalisme Indonesia 
makin kuat dan terealisasikan sesudah terjadi kolaborasi tokoh 
pendatang mantan PI. Pada awal dasawarsa ketiga pernyataan 
nasionalisme Indonesia semakin menguat di Indonesia. Pidato 
Moh, Hatta di dalam Konferensi Liga Antiimperialisme di BruRM Soewardi Soerjaningrat  el 
pada 1927 membuktikan betapa kuatnya semangat melawan 
penjajah. Pada 1927 Moh. Hatta membela anggota-anggota PI 
yang ditangkap polisi Belanda dan membebaskannya dengan 
pembelaan berjudul “Indonesia Vrij” atau Indonesia Merdeka . Sekembalinya tamatan universitas di 
Nederland  bergabung dengan aktivis nasionalis di Indonesia 
sehingga nasionalisme makin menggumpal. Berdirinya 
dua studi club dan berdirinya PBI dan PNI memberi bukti 
tersalurkannya gagasan nasionalisme makin mengristal.  Pidato 
Soekarno di Pengadilan Negeri Bandung yang terkenal dan 
berjudul “Indonesia Menggugat” (1929) membuktikan betapa 
kuatnya perasan dan sikap antikolonialisme dan imperialisme 
seperti yang disampaikan pembelaan Soekarno di pengadilan itu 
 Paradigma dan konsensus kebangsaan makin nyata sesudah 
terjadinya kolaborasi para mantan anggota PI dari Nederland dan 
dua anngota studi club di Indonesia. Mereka terus menyuarakan 
gerakan-gerakan antikolonialisme dan imperialisme dengan 
cara yang berbeda meski cara nonkooperasi dan kooperasi itu 
bermuara pada titik temu, yaitu kemerdekaan Indonesia. Di satu 
sisi konsensus dan gagasan kebangsaan itu makin berkembang 
dan di sisi lain juga makin kuat represi pemerintah kolonial 
dengan hardzaai artikelen  (pasal karet) yang ujung-ujungnya 
pembuangan (interneering dan  verbanning)  para  nasionalis 
penentang pemerintah kolonial. 
 Pada desenia ini kesadaran berbangsa sudah membulat 
bukan saja kesadaran politik namun  secara simultan merengkuh 
kesadaran kultural juga makin menemani gerakan yang 
mutidimensional. Dua peristiwa perlawanan kultural terhadap 
pemerintah kolonial diwujudkan dalam bentuk Lahirnya Sekolah 
Taman Siswa (1922) yang akan merekrut elite Indonesia baru 
mampu menandingi ideologi kolonial. KHD sangat yakin bahwa 
pemerintah kolonial hanya dapat dikalahkan lewat rekrutmen 
elite moderen yang paradigmatis, yaitu kehidukan demokratis 
dalam arti bahwa pemerintah kolonial harus hilang dari bumi 
nusantara. Peristiwa kultural kedua adalah berlangsungnya 
Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres pemuda II (28 Oktober 1928) merupakan pijakan kutural untuk mempersatukan bangsa 
Indonesia yang pada dasarnya merupakan kesadaran politik 
bangsa Indonesia berupa pengakuan atas satu nusa, bangsa, dan 
bahasa Indonesia  . Dilihat dari perkembangan 
integrasi bangsa maka jelas bahwa Sumpah Pemuda merupakan 
integrasi bangsa yang makin terealisasikan dan sebagai modal 
kuat   bagi terciptanya Indonesia Merdeka. Berbagai pengakuan 
dalam Sumpah Pemuda merupakan akumulasi kesadaran 
nasional (national consciousneRM Soewardi Soerjaningrat   ) akan adanya kesatuan dan 
persatuan dengan istilah atau kata “satu” yang dijadikan ikatan 
kuat bagi berbagai etnik, budaya dan bahasa. Hal ini tidak dapat 
diingkari bahwa sumpah itulah  yang akan mengalir dalam 
realisasi yang masih terbayang .
G. Menjadi Makin Lengkap
sesudah melalui jalan panjang, yaitu perjalanan sosial-
politik  pergerakan nasional selama tiga dasawarsa termasuk 
kiprahnya KHD dalam TS menguatkan integrasi nasional, yaitu 
makin kuatnya kesadaran nasional membanun nasionalisme riil 
dengan ikrar pemuda Indonesia untuk merealisasikan Indonesia 
Merdeka.  Nasionalisme lokal yaitu nasionalisme jawa terlalu 
sempit geraknya dan hanya berjuang lewat budaya yang seolah 
tidak punya kekuatan memaksa. Namun, dari loko-sentrisme 
kejawaan berkembang ke nasionalisme religio-ekonomi yang 
dibanguan SI. Kekuatan nasionalisme makin nyata dengan 
pernyataan IP yang tegas mengakui tanah airnya Hindia, 
mengawali gerakan politik. Pasang surut organisasi lanjutan pada 
dasawarsa kedua dan ketiga dengan unsur-unsur sosio-politik 
diulang kembali menjadi lebih rasional dan radikal.
 Dapat ditambahkan bahwa Sumpah Pemuda merupakan 
produk kaum inteligensia Indonesia yang menjadi aktor 
intelektualis “drama nasionalisme Indonesia”. Mereka pencipta 
identitas nasional yang membangkitkan ekspresi kolektif 
guna merealisasikan solidaritas nasional. Ikrar itu merupakan 
pernyataan kepemilikan wilayah (territory), bangsa (social 
majorities) yang merupakan maRM Soewardi Soerjaningrat  a  dan bahasa (language)   
menjadi pengikatnya dan alat komunikasi yang homogin Lagi pula dengan dikumandangkannya Indonesia Raya 
ciptaan WR Supratman, meski hanya notenya pada 28 Oktober 
1928 itu, sebagai lagu kebangsaan makin lengkaplah  dan 
makin dekatlah cita-cita kemerdekaan. Bendera Kebangsaan 
Merah Putih dikibarkan di kemudian hari menyemarakkan 
hiruk-pikuknya nasionalisme Indonesia itu dan menjadi makin 
lengkaplah nilai persatuan dan kebangsaan.
 Rumusan SP adalah bentuk dari identitas nasional  
yang menjadi simbol  persatuan dalam menggalang kekuatan 
untuk menghadapi ideologi kolonial (colonial ideology). Jelas 
SP merupakan simbol kekuatan tandingan dalam melawan 
kolonialisme Belanda. Fase  ini adalah fase konseptualisasi politik 
dan kaum pergerakan tinggal melanjutkan serta menambah daya 
juang dan solidaritas nasionalnya. Faktor lain yang tidak kalah 
penting adalah kesempatan internasional yang sedang dicarinya 
dimana kaum nasionalis dapat memanfaatkan politik internasional 
untuk menentukan posisinya sebagai negara merdeka.
 Sekiranya tidak terjadi Perang Dunia II dan  terjadi 
perubahan politik internasional yang mengaitkan hubungan 
kolonialisme antara Belanda dan Indonesia niscaya Indonesia 
Merdeka dapat diraihnya. Dengan persiapan ideologi 
kemerdekaan yang sudah berproses lama dan diperkuat 
kecepatan para nasionalis dalam mengambil putusan untuk 
meraih kemerdekaan maka cita-cita yang sudah dirintis lama 
itu akhirnya terwujud dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan 
Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Semboyan dan ungkapan “Tanah Hindia lepas dari 
Nederland” dan juga “Indonesia Merdeka, Sekarang”  menjadi 
sangat populer di kalangan nasionalis. Sudah pasti ini merupakan 
ekspresi kolektif yang tidak dapat ditahan-tahan lagi. Waktunya 
telah tiba untuk mengaktualisasikan tuntutan kemerdekaan. 
Para nasionalis sangat optimis bahwa tuntuan kemerdekaan 
akan terealisasikan, tentunya menunggu perkembangan dan 
perubahan politik internasional, bahwa dari segi kemanusiaan 
penjajahan di atas bumi harus dihapus karena tidak sesuai 
dengan harkat hidup dan kemanusiaan orang banyak.
H. Sekolah Taman Siswa : Resistensi Kultural   
      Terhadap Kolonialisme
Mengapa RM Soewardi Soerjaningrat   atau KHD mendirikan Perguruan Taman 
Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922? Menurut KHD, pendidikan   
adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera 
umat. Dari pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak 
bangsa yang akan memimpin rakyat dan mengajaknya 
memperoleh pendidikan yang merata, pendidikan yang bisa 
dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Jiwa populis KHD sudah 
mendasarinya untuk menyatu dengan rakyat,  sehingga meski 
beliau keturunan bangsawan yang pada waktu itu ada jurang 
yang lebar dengan kehidupan wong cilik , namun  beliau berusaha 
menutup celah itu. Sebuah kehidupan yang demokratis yang 
bisa dinikmati rakyat banyak 
 Gagasan mendirikan sekolah atau pendidikan berasal 
dari sarasehan (diskusi) tiap hari Selasa-Kliwon. Peserta diskusi 
sangat prihatin (menderita batin) terhadap keadaan pendidikan 
kolonial. Sistem pendidikan kolonial yang materialistik, 
individualistik, dan intelektualistik diperlukan lawan tanding, 
yaitu pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu 
hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia).
 Lalu bagaimana cara KHD merealisasikan cita-citanya? 
Tentu metode pengajaran kolonial yang harus diubah, yaitu 
dari sistem  pendidikan “perintah dan sanksi (hukuman)” ke 
pendidikan pamong . Pendidikan kolonial didasarkan pada 
diskriminasi rasial yang di dalamnya sudah ada pemahaman 
kepada anak-anak bumiputra yang menderita inferioritas. 
Kondisi seperti ini harus diubah dari pendidikan model ”perintah 
dan sanksi”, meski pemerintah kolonial sendiri menggunakan 
istilah santun “mengadabkan “ bumiputra namun  dalam praktek 
cara-cara kolonial yang tidak manusiawi tetap berjalan.
 Untuk merealisasikan gagasan itu KHD membuat wadah 
yang waktu itu disebut “Nationaal  Onderwijs Taman Siswa”, 
sebuah wadah pendidikan nasional, sebuah gagasan yang sudah 
mencakup seluruh bangsa Indonesia (nation wide).  Sungguh 
sangat luar biasa bahwa pendidikan harus menyeluruh ke anak 
bumiputra alias bangsa Indonesia yang dalam istilah politik 
disebut nasional.
 Menurut KHD pendidikan yang mengena kepada 
bangsa Timur adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan 
kebangsaan. Tiga hal inilah dasar jiwa KHD untuk mendidik 
bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau 
kemerdekaan.  Pengalaman yang diperoleh dalam mendalami 
pendidikan yang humanis ini dengan menggabungkan model 
sekolah Maria MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori (Italia) dan  Rabindranath Tagore 
(India). Menurut KHD dua sistem pendidikan yang dilakukan 
dua tokoh pendidik ini sangat cocok untuk sistem pendidikan 
bumiputra. Lalu dari mengadaptasi dua sistim pendidikan itu 
KHD menemukan istilah yang harus dipatuhi dan menjadi 
karakter, yaitu Patrap Guru,  atau tingkah laku guru yang menjadi 
panutan murid-murid dan warga 
 Perilaku guru dalam mendidik murid atau anak bangsa 
menjadi pegangan dan modal utama sehingga KHD  menciptakan 
istilah yang kemudian sangat terkenal, yaitu:
* Ing ngarsa sung tulada  (di muka memberi contoh),
* Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita),
* Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya) 
 Perilaku guru TS ini diterapkan di semua jenjang 
Pendidikan TS: Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman 
Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA), dan 
Taman Guru (Sarjana Wiyata). Patrap guru yang meliputi semua 
jenjang pendidikan TS merupakan manifestasi resistensi kultural 
karena berpusat pada sikap yang berlawanan (antitesis) dengan 
sikap guru dalam pendidikan kolonial. “Tut wuri handayani” 
dijadikan motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
 Perkembangan sekolah TS 1922-1930 cukup 
menggembirakan dalam merespon represi pemerintah kolonial. 
Selama delapan tahun sejak 1922 terjadi perkembangan 
sekolah TS di nusantara, dari Aceh sampai Indonesia Timur 
berdiri 30 cabang dan Pusat  Persatuan Pengurus TS tetap di 
Yogyakarta.   TS tetap memegang Azas TS (1922) dan Dasar 
TS (1947) yang sebenarnya saling berhubungan dan keduanya 
tidak dapat dipisahkan. Ki Mangun Sarkara meneruskan cita-
cuta dan mengaplikasikan gagasan pendidikan TS. Hanya saja 
Pendidikan TS tidak seperti jaman kolonial, sekarang TS harus 
membiayai dana pendidikan sendiri  dan orientasi warga  
sudah berubah karena dana belajar dari warga  yang makin 
berkurang. Namun demikian, TS masih merupakan motor dan 
jiwa penggerak sekolah swasta di Indonesia dengan swadaya, 
swausaha, dan swakelola. Semangat kebangsaan, semangat 
kerakyatan dan keluhuran pekerti sebagai pegangan budaya 
Timur tetap terpancarkan dari TS.
I. Perluasan Perguruan Taman Siswa dan    
    Pernyataan Azas TS 1922
Berdirinya Perguruan TS bukan sebagai institusi tanpa 
memiliki azas yang bermakna bagi ciri khas bangsa Timur yang 
membedakan dengan bangsa Barat, lebih-lebih lagi mengenai 
filsafat dan pemikiran ketimuran. Azas TS memuat perdebatan
internal dalam kongres BU dan juga perdebatan sesama 
pemimpinnya. Hasil perdebatan itu memperkuat pernyataan 
azas TS  yang 
berisi tujuh pasal:
 Pasal 1 dan 2 tentang dasar kemerdekaan setiap orang 
untuk mengatur dirinya sendiri. Ini dimaksudkan agar murid-
murid berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka dalam 
tertib bersama. Pasal 1 termasuk kodrat alam dan kemajuan 
berjalan kodrati alias evolusi. Dasar ini yang mewujudkan 
sistem “among”, artinya guru-guru meski di belakang namun  
mempengaruhi dan memberi jalan kepada anak didik untuk 
berjalan sendiri. Inilah yang kemudian terkenal dengan istilah 
“Tut wuri handayani”. Selain itu, guru bisa memotivasi dan 
menginovasi pikiran murid dan sekaligus memberi contoh.
 Pasal 3 mencakup kepentingan sosial, ekonomi, dan 
politik. Penyesuaian diri dan hidup kebarat-baratan menimbulkan 
berbagai kekacauan. Pendidikan Barat mementingkan 
kecerdasan dan melanggar dasar-dasar kodrati dari kebudayaan 
sendiri, sehingga tidak menjamin keserasian dan dapat memberi 
kepuasan. Inilah yang disebut dasar Kebudayaan.
 Pasal 4 berisi dasar kerakyatan, bahwa pengajaran harus 
diperluas dan tidak hanya sekelompok kecil warga .
 Pasal 5 merupakan azas sangat penting bagi semua orang 
yang ingin mngejar kemerdekaan hidup. Azas ini mendasari 
kemandirian.
 Pasal 6 berisi  syarat-syarat mengejar kemerdekaan 
dengan sistem mandiri.
 Pasal 7 mengharuskan keikhlasan lahir batin bagi guru-
guru untuk mendekati anak didik. 
 Tujuh pasal ini bisa disebut  sebagai “manifes 
yang penting” dan abadi. Pemimpin TS yang lain, Sarmidi 
Mangunsarkoro, menyebut  pernyataan azas itu sebagai 
“lanjutan dari cita-cita RM Soewardi Soerjaningrat   yang terhimpun dalam kelompok 
rohani Nationale Indische Partij  (1919-1921) yang merupakan 
gerakan kebatinan dan kebebasan”.
J. Kesimpulan
Gagasan KHD dalam  politik adalah suatu jalan yang harus 
ditempuh dalam mendapatkan sesuatu di warga  kolonial 
karena pemerintah kolonial dengan represinya selalu menekan 
hak-hak kaum bumiputra. Menurut dia tentu saja hak-hak itu 
harus diambil kembali (baca direbut) lewat kombinasi gerakan 
evolusioner-revolusioner,  dari gerakan kultural, ekonomi, 
danpolitik. Perjuangan-perjuangan itu selalu terjadi kombinasi 
berbagai aspek dan sangat tergantung kekuatan juang mana yang   
diperlukan dalam mengahadapi pemerintah kolonial. Selain itu 
betapa kuat dan konsistennya KHD dalam memperjuangkan 
kepentingan yang populis dan demokratis “sama rata sama rasa”. 
Tak kalah pentingnya adalah dorongan semangat kebangsaan 
atau nasionalisme guna meningkatkan martabat bangsa melalui 
pendidikan 
 Gagasan politik KHD diikuti oleh organisaisi sosio-
politik di tanah air dan model perjuangannya dianggap akurat 
dalam memperoleh kemerdekaan bangsa dari penjajah Belanda. 
Secara politis menurut KHD, lembaga kolonial itu harus 
mendapat resistensi dengan mendirikan lembaga atau institusi 
bumiputra yang kuat dan setingkat dengan lembaga kolonial 
sehingga mampu bersaing dan berkekuatan untuk menekan 
pemerintah kolonial. Lembaga tandingan (counter-institution)  
inilah yang diimitasi organisasi sosio-politik di tanah air dan 
ternyata berhasil menumbangkan pemerintah kolonial , Ujung-ujung dari lembaga tandingan inilah 
yang mampu menghasilkan kemerdekan bangsa dan Indonesia 
sebagai negara merdeka dan berdaulat. Azas penidikan kolonial 
berdasar  azas regeering, tucht,   dan orde  harus diganti  dengan 
sendi Pendidikan TS yang disebut pamggulawenthah, momong, 
among  atau ngemong  yang bermuara pada tata tentrem .
Maka sudah tepat jika KHD dianugerahi gelar Pahlawan Nasional  
(1959) di bidang pendidikan dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 
Indonesia diangkat sebagai Menteri Pendidikan Republik Indonesia 
atas jasa-jasanya sebagai seorang pejuang dan  negarawan. 
Ke depan bangsa ini harus mencontoh keteladanan  Bapak 
Pendidikan Indonesia dalam berjuang mengisi kemerdekaan guna 
kesejahteraan bangsa Indonesia. Negarawan Indonesia harus 
mengikuti model “among” seperti dalam Perguruan TS saat   
memerintah rakyat republik ini yang demokratis, humanis dan 
sejahtera. Satu hal terpenting  bahwa KHD adalah negarawan, 
pejuang kebangsaan yang bukan saja menyampaikan gagasan 
politik perjuangan namun  juga dipraktekkan oleh para nasionalis 
sehingga berhasil memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Ketenangan di wilayah penduduk kolonial Hindia Belanda 
pada awal 1913 menjadi terhentak saat  pemerintah pada Juni 
1913 mengeluarkan pernyataan resmi akan menyelenggarakan 
perayaan genap 100 tahun kemerdekaan negara itu dari 
cengkeraman Napoléon Bonaparte.  Pernyataan pembebasan 
negeri Belanda dari kekuasaan Prancis juga akan dirayakan 
secara besar-besaran di wilayah koloni. Menurut pernyataan itu, 
tidak hanya orang Belanda yang akan merayakan peringatan itu, 
akan namun  juga akan melibatkan penduduk bumiputera. Untuk 
merayakannya, akan dipungut derma yang berasal tidak hanya 
dari dari orang-orang Belanda yang tinggal di wilayah koloni, 

44 ---- 
akan namun  juga akan dipungut dari penduduk bumiputera. 
Pemungutan derma ini berlaku bagi seluruh penduduk di wilayah 
ini. 
 Himbauan pemerintah ini memperoleh reaksi yang luar 
biasa dari tokoh warga , khususnya warga  bumiputera. 
Mereka berpendapat bahwa tidaklah sepantasnya bila pesta 
perayaan kemerdekaan itu  melibatkan penduduk bumi putera, 
karena kondisi mereka yang masih dijajah.  Mereka bahkan 
memperotes mengapa rencana perayaan itu akan diselenggarakan 
secara besar-besaran. Seyogyanya perayaan itu diselenggarakan 
secara tertutup di Societeit  atau di tempat-tempat tertutup 
lainnya. 3 Banyak penduduk bumiputera termasuk para tokohnya 
mempertanyakannya, karena mereka tidak mengerti dan tidak 
paham mengapa mereka diharuskan terlibat dalam acara ini . 
Bahkan beberapa di antaranya menganggap bahwa himbauan ini 
merupakan suatu hinaan terbuka yang ditujukan kepada mereka.
 Atas prakarsa dr, Tjipto Mangoenkoesoemo (selanjutnya 
disingkat TM), didirikanlah Inlandsche Comite tot Hardenking 
van Nederlands Honderjarige Vrijheid,  yaitu “Panitia Peringatan 
100 tahun Kemerdekaan Belanda”.  Komite ini diketuai oleh TM 
dengan sekretaris dan bendahara RM Soewardi Soerjaningrat 
(selanjutnya disingkat RM Soewardi Soerjaningrat  ). Sedangkan posisi komisaris dijabat 
oleh Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra. Komite yang baru 
dibentuk ini lebih dikenal sebagai Comite Boemi Poetra . Komite 
ini sengaja dibentuk untuk memprotes dilibatkannya penduduk 
3.  Lihat Irna H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soerjaningrat dalam 
Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 23.  
45Djoko Marihandono
bumiputera dalam memperingati 100 tahun kemerdekaan negeri 
Belanda, yang diikuti dengan pemungutan sumbangan. Akibat 
dari kegiatan ini tokoh TM, RM Soewardi Soerjaningrat  , dan selanjutnya EFE Douwes 
Dekker ini harus menghadapi pengadilan.4 
 Komite ini selain bereaksi keras atas desakan pemerintah 
Hindia Belanda agar penduduk bumiputera ikut serta dalam 
bentuk pemberian sumbangan/derma  dalam peringatan 
100 tahun kemerdekaan negeri Belanda, juga memberikan 
reaksi atas suatu rencana dari pemerintah kolonial yang akan 
membentuk Koloniale Raad , yaitu suatu Dewan Kolonial yang 
beranggotakan sebanyak 29 orang. Dewan ini dibentuk dengan 
komposisi 21 orang anggotanya berasal dari orang  Belanda dan 
sisanya  8 orang adalah wakil dari kaum bumiputera.5 Dari 8 
orang wakil bumiputera ini , 5 di antaranya adalah berasal 
dari para bangsawan yang menduduki jabatan bupati, suatu 
jabatan tertinggi yang boleh diduduki oleh penduduk bumiputera. 
Kelima bupati ini diangkat oleh pemerintah kolonial. Tentu saja, 
mereka lebih memperjuangkan kepentingan mereka pribadi 
dan kepentingan pemerintah kolonial dari pada kepentingan 
penduduk bumiputera. Dengan demikian, Komite ini sengaja 
4.  Pada saat komite ini dibentuk, Ernest François Eugène Douwes Dekker  
sedang dalam perjalanan kembali ke tanah air dari negeri Belanda.  Ayah 
EFE Douwes Dekker adalah orang Belanda kelahiran Amsterdam yang 
memiliki darah campuran orang Fries, Prancis, dan orang Portugal. Ibunya 
saerang perempuan kelahiran Pekalongan, memiliki darah campuran 
Jerman, Polandia dan Jawa. 
5. Lihat “Indische Partij” dalam  Bataviaasch Nieuwsblad,  12 September 
1912, lembar ke-2. Selain itu juga lihat “Een Indische Partij” dalam Het 
Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie.  18 September 1912, 
lembar ke-2. 
46 ---- 
dibentuk utuk membela kepentingan penduduk bumiputera  dan 
meneruskan saran, pendapat, kritik yang disampaikan untuk 
diteruskan kepada pemerintah kolonial.6  
B.Perjuangan Ketiga Tokoh di Komite Boemipoetra
Komite bumiputera selanjutnya mengumpulkan uang 
yang diperoleh dari para anggotanya. Tujuan pengumpulan 
uang itu adalah sebagai ongkos pengiriman telegram yang akan 
dikirimkan kepada Sri Ratu Belanda Wilhelmina. Telegram 
yang dikirimkan itu berisi selain untuk mengucapkan selamat 
atas peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda, juga meminta 
agar Sri Ratu mencabut Peraturan Pemerintah nomor 111 yang 
melarang kaum bumiputera untuk berkumpul dan berpolitik, 
serta dibebaskan dari pengumpulan sumbangan dalam rangka 
peringatan ini . Selain mengirimkan telegram, Komite 
Bumiputera juga mengirim utusan untuk beraudiensi dengan 
Gubernur Jenderal di Batavia, yang saat itu dijabat oleh Gubernur 
Jenderal Idenburg, dengan maksud untuk menyampaikan seperti 
apa yang dituliskan dalam telegram yang dikirimkan kepada Sri 
Ratu. 
 Menteri Koloni Pleyte sempat merasa heran, mengapa 
kaum bumiputera dilibatkan dalam kegiatan ini. Namun, ia lebih 
merasa heran lagi, mengapa kaum bumiputera juga dipungut 
sumbangan secara paksa guna mensukseskan  perayaan ini  di 
Hindia Belanda.7 Propaganda yang berupa iklan, pamflet banyak
6.  Lihat “Indisch Parlement” dalam De Sumtra Post,  18 September 1913, 
lembar ke-2.
7.  Dalam harian De Express    tertanggal 12 Juli 1913 dimuat pidato Menteri 
47Djoko Marihandono
beredar di koran-koran di Jawa. Melalui harian Tjahaja Timoer  
di Malang telah dipasang iklan  agar warga  bumiputera 
bersedia mengumpulkan sumbangan itu. Demikian pula dari  
harian Pantjaran Warta  terbitan Batavia juga ada iklan yang 
isi dan tujuannya sama. Bahkan RM Soewardi Soerjaningrat   sempat menyaksikannya 
sendiri, saat  Asisten Residen di Buitenzorg dengan bantuan 
kaum bumiputera sibuk mengumpulkan sumbangan yang 
berasal dari warga  itu.  saat  melihat kejadian ini , 
RM Soewardi Soerjaningrat   kemudian melakukan protes ketidaksetujuannya terhadap 
pengumpulan uang dari kaum bumiputera. sesudah kejadian 
ini  pemerintah menuduh Komite Bumiputera telah 
melakukan kekacauan di Buitenzorg.
 Semua kegiatan di Komite itu dimotori oleh TM dan 
RM Soewardi Soerjaningrat  . EFE Douwes Dekker menyusul kemudian karena saat 
peristiwa itu terjadi ia sedang berada di Negeri Belanda.8 Upaya 
mereka sebagai pendiri Indische Partij tidak ditanggapi oleh 
pemerintah Belanda. Bahkan Indische Partij yang sudah dua kali 
mengajukan diri untuk memiliki badan hukum, ditolak, padahal 
semua persyaratan telah dipenuhi termasuk Anggaran Dasarnya.  
Usulan untuk memperoleh status badan hukum untuk partai 
mereka diajukan lagi pada 5 Maret 1913, dengan perubahan pada 
anggaran dasarnya sesuai permintaan dari pemerintah kolonial, 
agar lebih menekankan pada kegiatan sosial kewarga an. 
Pleyte yang dimuat dalam De Express    7 Januari 1914 dengan judul “De 
Indische Partij in het Parlement”. Pidato ini isampaikan oleh Menteri 
Koloni Pleyte di depan sidang parlemen Belanda. 
8. Lihat “Grootheidsdroom” dalam Het Nieuws van den Dag voor 
Nederlandsch Indie.  17 Oktober 1913, lembar ke-2. 
48 ---- 
Namun apa yang diharapkan oleh pengurus Indische Partij tetap 
ditolak.9
C. Penangkapan dan Penahanan para Tokoh
Pada saat terjadi kebuntuan dalam proses perolehan 
status hukum Idische Partij, muncullah brosur yang beredar 
di warga  yang berjudul Als ik eens Nederlander was 
“Andaikata aku seorang Belanda” yang ditulis oleh RM Soewardi Soerjaningrat  . 
Karangan ini diterbitkan atas tanggung jawab TM yang dicetak 
di percetakan De Eerste Bandoengsche Publicatie Maatschappij , 
yang dipimpin oleh J.F. WeRM Soewardi Soerjaningrat  elius. 10 Isi tulisan ini merupakan 
ungkapan hati seandainya RM Soewardi Soerjaningrat   adalah orang Belanda, ia akan 
memprotes gagasan peringatan itu. Ia menegaskan bahwa 
gagasan merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda 
di wilayah koloni adalah gagasan yang keliru. Dengan merayakan 
kemerdekaan di wilayah koloni hal itu mengakibatkan kondisi 
politis yang sangat berbahaya bagi bangsa  Belanda.  Namun, RM Soewardi Soerjaningrat   
bukanlah orang Belanda, sehingga ia ingin mengusir warga  
Belanda yang memerintah dan berkuasa di wilayah koloni ini. 
Tulisan ini  dianggap sebagai penghinaan terhadap Sri Ratu 
yang tidak dapat dimaafkan oleh siapa pun.11
 Komite segera dipanggil menghadap Mr. Monsanto yang 
9. Lihat Irna H.N. Hadi Soewito. Soewardi Soerjaningrat dalam 
Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hlm. 27.  
10. Koran De Express    dicetak di percetakan  itu. Selama EFE Douwes Dekker 
pergi ke negeri Belanda, pimpinan redaksi  De Express    diserahkan kepada 
Mr. Kakebeeke. 
11.Lihat “Die het gevaar Zoekt” dalam De Preanger  Bode,  11 Agustus 1913. 
Lembar ke-2.
49Djoko Marihandono
menjabat sebagai Officier van Justitie, yang didatangkan dari 
Batavia ke Bandung, dengan tugas untuk memeriksa masalah 
RM Soewardi Soerjaningrat  .  Sementara TM juga diperiksa sebagai saksi.  Tentu saja RM Soewardi Soerjaningrat   
menyangkal tuduhan itu, namun ditegaskan oleh jaksa bahwa RM Soewardi Soerjaningrat   
dilarang untuk membuat tulisan seperti itu.  RM Soewardi Soerjaningrat   sama sekali tidak 
paham mengapa ia dituduh menghasut kaum bumiputera.  saat  
TM diminta untuk memberikan keterangan, ia menyembunyikan 
identitas siapa yang menulis sehingga ia diancam akan 
mengalami nasib yang sama dengan kepala Redaktur koran 
De Locomotief  yang dihukum karena menyembunyikan siapa 
penulis artikel di dalam hariannya. Kemudian TM berjanji untuk 
mengatakannya siapa yang menulis artikel itu. Dalam proses 
pemeriksaan itu, ia menulis artikel yang berjudul Kracht of vrees  
(Kekuatan atau Ketakutan).  Isi tulisan itu adalah menyadarkan 
pembacanya bahwa kaum bumiputera adalah pemilik sah negeri 
ini. Meskipun tidak bersenjata, mereka akan tetap berjuang, 
karena mereka punya kekuatan.
 Melihat tulisan  TM, semakin nyata bagi pemerintah 
kolonial  bahwa ialah yang menjadi tokoh intelektual gerakan 
ini. Melihat bahwa suasana politik semakin panas,  pada 28 
Juli 1913, terbit tulisan RM Soewardi Soerjaningrat   yang berjudul Een voor allen, mar 
ook allen voor een  (Satu untuk semua, namun  juga semua untuk 
satu).  Tulisan ini berisi tentang penegasan dirinya bahwa 
tulisan sebelumnya merupakan refleksi apa yang dipikirkannya
selama ini. Ia yakin bahwa semua penduduk bumiputra memiliki 
perasaan dan pemikiran yang sama dengan dia. Tulisan kedua 
RM Soewardi Soerjaningrat   menambah runcing hubungan antara Komite di Bandung dan 
50 ---- 
pemerintah kolonial. Kantor Komite di Bandung digeledah polisi 
guna  mencari sisa kedua tulisan itu yang belum diedarkan.
 Melihat kenyataan bahwa tulisan kedua itu benar-
benar telah menghina pemerintah kolonial Belanda, maka pada 
30 Juli 1913, RM Soewardi Soerjaningrat   ditangkap polisi di rumahnya dan langsung 
ditahan.  Selama dalam tahanan, rumah RM Soewardi Soerjaningrat   dijaga ketat oleh 
polisi dan tidak seorang pun diizinkan untuk memasukinya.  Ia 
ditangkap karena dituduh  menganggu ketertiban dan keamanan 
warga . Selain RM Soewardi Soerjaningrat  , pemerintah juga menahan TM, karena 
dialah yang dianggap sebagai tokoh intelektual dari semua 
kegaduhan politik saat itu.  Penahanannya merupakan suatu 
kontroversi, karena ia pernah menerima De Ridder in de Orde 
van Oranje NaRM Soewardi Soerjaningrat  au,  penghargaan yang diperoleh dari Sri Ratu 
Belanda. Namun, kenyataannya ia dipenjara bersama dengan 
RM Soewardi Soerjaningrat  .  Abdoel Moeis dan AH Wignyadisastra pun juga ditangkap, 
karena dianggap turut aktif  sebagai komisaris dari Komite itu.  
Selama mereka ditahan, pemerintah kemudian membubarkan 
Comite Boemi Poetra.  Namun, berkat protes yang dilancarkan 
oleh TM dan jaminan dari dirinya, Abdoel Moeis dan AH 
Wignyadisastra kemudian dibebaskan.
 EFE Douwes Dekker yang baru datang dari negeri 
Belanda pada 1 Agustus 1913 telah memperoleh informasi dari 
teman-temannya bahwa RM Soewardi Soerjaningrat   dan TM telah ditahan akibat dari 
tulisan mereka.12 Oleh karena itu, ia kemudian menulis opini 
yang dimuat  dalam koran De Express    terbitan 5 Agustus 1913, 
yang diberi judul “Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en 
12. Lihat “De interneering van den heer EFE Douwes Dekker” dalam 
Bataviaasch Nieuwsblad,  19 Agustus 1913, lembar ke-2.
51Djoko Marihandono
RM Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan-pahlawan kami: Tjipto 
Mangoenkoesoemo dan RM Soewardi Soerjaningrat. Tulisannya 
ini mengungkapkan jasa yang telah diberikan oleh TM sehingga 
ia berhak untuk menerima penghargaan bintang ksatria dari 
kerajaan Belanda, saat  ia berperan aktif dalam pemberantasan 
penyakit pes di Malang, Pasuruan dan Jawa Timur. 
 Selama 10 hari ditahan, RM Soewardi Soerjaningrat   menderita sakit demam 
tinggi. Sebagai akibat kondisi fisiknya yang sedang sakit, ia
kemudian dibebaskan. Namun belum lama ia menghirup udara 
kebebasan, pada 8 Agustus 1913, ia menerima surat panggilan 
dari pengadilan di Bandung untuk menghadap ke rumah Residen 
Bandung TJ JanRM Soewardi Soerjaningrat  en pada pagi harinya, 9 Agustus 1913, pukul 
09.00. Ia datang memenuhi panggilan itu. Ia dituduh telah 
melanggar Peraturan Pemerintah pasal 48 yang intinya bahwa 
ia telah membahayakan warga  dan mengganggu ketertiban 
umum. Oleh karena itu, ia harus kembali ditahan. Mereka berdua 
akhirnya divonis harus dibuang dan diasingkan. 
 Walaupun baru beberapa hari menginjakkan kakinya di 
tanah air, EFE Douwes Dekker, akibat tulisannya tentang kedua 
tokoh ini ditangkap dan dipenjarakan di penjara Weltevreden. 
Pada 11 Agustus 2013 pukul 09.00 ia dipanggil untuk menghadap 
Residen Batavia H Rijfsijder.  Ia pun dituduh sebagai penghasut 
karena sebagai ketua redaksi koran De Express  ,  media itu telah 
ikut menyebarkan tulisan para terdakwa. Namun, akhirnya   ia 
dinyatakan bebas.   
 Penahanan TM merupakan dilema bagi pemerintah, 
karena ia adalah orang yang banyak jasanya di negeri ini, 
52 ---- 
khususnya dalam bidang kesehatan warga , bahkan 
pemerintah pun mengakuinya. Oleh karena itu diciptakanlah 
beberapa upaya untuk membujuknya agar ia bersedia untuk 
mengubah pemikirannya.  Untuk merayunya agar mau 
mengubah pemikiran dan pandangannya, beberapa bujukan 
ditawarkan, antara lain memberikan tawaran kepada adik TM  
untuk masuk ke HBS secara gratis. Bahkan melalui ayahnya 
yang menjadi guru di HBS (Hoogere Burger School)  pun diminta 
agar membujuk TM. Tidak hanya berhenti di situ saja, melalui 
sahabat-sahabatnya, diminta untuk membentu membujuk TM 
agar mengajukan grasi kepada pemerintah. Namun, semuanya 
bujukan itu ditolaknya.
 Aktivitas EFE Douwes Dekker yang sering mengunjungi 
mereka berdua akhirnya tercium oleh aparat kepolisian. Ia 
ditangkap dan dipenjarakan besama dengan TM dan RM Soewardi Soerjaningrat  . 
Akhirnya keputusan Raad van Justitie  menetapkan bahwa TM 
harus segera meninggalkan kota Bandung dan akan dibuang 
ke Banda.  Rekan seperjuangannya, RM Soewardi Soerjaningrat   juga harus segera 
meninggalkan Bandung untuk mejalani pembuangannya di 
pulau Bangka. Sementara EFE Douwes Dekker harus tinggal di 
Kupang selama masa pembuangannya.13
 Dalam pembelaannya, mereka bertiga menuntut agar 
tidak dibuang di ke tiga tempat itu, namun meminta agar 
diizinkan untuk tinggal di negeri Belanda sebagai tempat 
pengasingan mereka. Permohonan mereka itu dikabulkan 
13. Lihat “Het Verbaningsbesluit” dalam Het Nieuws van den Dag voor 
Nederlandsch Indie.  29 Agustus 1913, lembar ke-2. 
53Djoko Marihandono
dengan catatan bahwa paling lama 30 hari sejak keputusan itu, 
mereka harus segera diberangkatkan ke negeri Belanda sebagai 
tempat pengasingan dan pembuangan mereka.
D. Pengasingan di Negeri Belanda
Pada 6 September 1913 tiga serangkai ini, TM, 
RM Soewardi Soerjaningrat   bersama isterinya, dan EFE Douwes Dekker beserta 
isteri dan anak-anaknya berangkat dari pelabuhan Tanjung 
Priok di Batavia menuju ke negeri Belanda, sebagai tempat 
pembuangannya melalui Singapura.14 Namun keberangkatannya 
mengalami pendundaan, sehingga dikhawatirkan batas waktu 
keberangkatan ke tempat pengungsian akan terlewati. Pada 13 
September 1913, kapal mulai meninggalkan pelabuhan Tanjuk 
Priok. Dari atas kapal Melchior Treub, sebuah kapal milik 
maskapai pelayaran Jerman, yang akan membawa mereka ke 
Belanda, RM Soewardi Soerjaningrat   masih sempat menulis pesan yang disampaikan 
kepada kawan-kawannya yang mengantarnya dari pelabuhan 
Tanjung Priok. Pesan itu diberi judul “Vrijheidsherdenking en 
Vrijheidsberooving” (Peringatan Kemerdekaan dan Perampasan 
Kemerdekaan).  Beberapa saat sebelum kapal bergerak, ia 
menerima kabar dari kawan-kawannya bahwa uang sumbangan 
yang telah terkumpul telah dikembalikan kepada para donaturnya.
 Sesampainya di negeri Belanda, mereka hidup dengan 
menggunakan uang yang diperoleh dari sumbangan teman-
14. Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara. Ki Hadjar Dewantara Dkk.  
Jakarta: PT Gunung Agung, 1980, hlm. 148.Lihat pula “DD Naar Europe” 
dalam De Sumatra Post,  9 September 1913 lembar ke-2.
54 ---- 
teman mereka yang telah membentuk suatu badan pengumpul 
dana yang diberi nama TADO yang merupakan singkatan dari 
Tot Aan De Onafhankelijkheid (Sampai Kemerdekaan Tercapai), 
yang memberikan uang bantuan beaya hidup bagi para buangan 
itu.  Dari dana TADO ini, untuk keperluan sehari-hari RM Soewardi Soerjaningrat   dan 
TM f 150 per bulan. EFE Douwes Dekker bersama isteri dan 
dua orang anaknya menerima f 250 per bulan.  Tentu saja beaya 
sebesar itu tidak akan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. 
Oleh karena itu mereka juga memperoleh bantuan dari teman-
temannya yang sedang belajar di negeri Belanda yang secara 
spontan mengirimkan beras, pakaian, serta peralatan rumah 
tangga.15
 Dalam mengatasi kesulitan hidup ini isteri RM Soewardi Soerjaningrat  , Soetartinah, 
yang ikut serta mendampingi suaminya melamar untuk bekerja 
sebagai guru di Fröbel School, sebuah taman kanak-kanak di 
Weimar, Den Haag. Sementara itu, RM Soewardi Soerjaningrat   dan TM sibuk dengan 
urusan jurnalisme yang telah ia tekuni sejak lama.16 Dari honor 
mereka menulis inilah, mereka dapat menyambung hidupnya 
di negeri kincir angin ini . Namun, TM harus dipulangkan 
segera  ke tanah air pada 27 Juli 1914 akibat penyakit kronis 
yang dideritanya, walaupun terhadap dirinya tetap diberlakukan 
kembali Ketetapan Surat Keputusan Hukuman 18 Agustus 1913 
berupa “interneering” (pengasingan) ke pulau Banda. Namun 
15.  Lihat “DD in Holland”, dalam Bataviaasche Nieuwsblad.  22 Oktober 
1913, lembar ke-2.
16.  Lihat “De Sociaal Democraten en de Bannenlingen” dalam Het Nieuws 
van den Dag voor Nederlandsch Indie.  10 November 1913, lembar ke-2. 
55Djoko Marihandono
sesampainya di Hindia Belanda, ia diizinkan menetap di kota 
Solo sebagai seorang dokter swasta di daerah Kusumoyudan 
Solo.
Banyak karya yang dihasilkan selama RM Soewardi Soerjaningrat   berada di 
pembuangan, antara lain ia sempat mendirikan Indonesisch Pers 
Bureau , dengan sekretariat di jalan Fahrenheitstraat 473  di Den 
Haag. Pendirian pers nasional di Belanda ini berhasil didirikan 
berkat pinjaman uang dari H. Van Kol seorang Belanda  yang 
pernah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum di Jawa.  
Uang pinjaman sebesar  f 500 akan dikembalikan dengan cara 
diangsur.17
Diilhami oleh pekerjaan isterinya, di samping 
kesibukannya bekerja mengurus masalah pers, RM Soewardi Soerjaningrat   masih 
menyempatkan diri untuk mengikuti kuliah singkat di Lager 
Onderwijs  (Sekolah Guru), yang diselenggarakan oleh 
Kementerian Dalam Negeri Belanda di Den Haag. Pada 12 Juni 
1915, ia memperoleh ijazah Akte van bekwaam als Onderwijzer  
(Ijazah Kepandaian Mengajar). Mendengar berita kelulusan RM Soewardi Soerjaningrat  , 
sahabatnya EFE Douwes Dekker menyarankan agar ia tidak lagi 
membuat onar di bidang politik.18  Namun himbauan sahabatnya 
itu tidak dapat dipenuhi, sehingga ia tetap menulis  artikel 
yang dimuat di koran-koran Belanda. Kegiatan dalam bidang 
pendidikan pun yang semula merupakan kegiatan iseng dengan 
17. Lihat “Van Kol over I.P” dalam Bataviaasch Nieuwsblad.  3 Oktober 
1913, lembar ke-2.
18. Lihat “De Banneling Soewardi” dalam Leeuwarder Courant,  17 Juni 
1915, lembar ke-1. 
56 ---- 
tujuan untuk memperoleh hasil tambahan untuk biaya hidup, 
akhirnya  mempengaruhi hampir seluruh kehidupannya. Ia 
sependapat dengan isterinya bahwa perjuangan dapat dilakukan 
tidak hanya dengan berperang, atau tindakan kekerasan lainnya. 
Perjuangan dapat dilakukan dengan mempersiapkan bangsanya 
untuk merdeka melalui pendidikan. Banyak buku pendidikan 
yang telah dibacanya, termasuk sistem pendidikan yang digagas 
oleh tokoh MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori, seorang pendidik dari Italia, yang 
mengarahkan anak-anak didik pada kecerdasan budi. Ia juga 
membaca buku tentang Rabindranath Tagore, tokoh pendidikan 
dari India yang menekankan pentingnya pendidikan keagamaan 
yang baik sebagai alat untuk memperkokoh kehidupan manusia. 
Beberapa prinsip dasar pendidikan nasional sudah dipikirkannya, 
antara lain dengan menggunakan bahasa ibu, dan bukan bahasa 
kolonial. 
Kemantapan dirinya untuk menjadi pendidik  semakin 
tertanam dalam dirinya, tatkala anak pertamanya lahir, yang 
diberi nama Asti pada 24 Agustus 1915.  Asti lahir dengan 
berkebutuhan khusus. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh 
hubungan darah yang masih dekat dengan isterinya (saudara 
sepupu). RM Soewardi Soerjaningrat   yang semula adalah seorang jurnaslis sekaligus 
politikus mulai tertarik dan berniat untuk mendidik angkatan 
muda  dalam jiwa kebangsaan Indonesia.  Ia sangat sadar bahwa 
pendidikan merupakan dasar perjuangan untuk meninggikan 
derajat rakyat di tanah airnya, sekaligus melihat kelemahan 
pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. RM Soewardi Soerjaningrat   
meletakkan dasar kemerdekaan melalui pendidikan anak-anak 
57Djoko Marihandono
karena ia sadar bahwa mengisi jiwa anak-anak merupakan suatu 
keharusan agar mereka berani untuk berjuang, yang merupakan 
senjata yang paling ampuh untuk merebut kemerdekaan. Sistem 
pendidikan kolonial membuat anak-anak selalu bergantung 
kepada bangsa Barat.19
sesudah menjalani hukuman buang di negeri Belanda, 
keluarga RM Soewardi Soerjaningrat   yang terdiri atas isterinya dan dua anak mereka (Asti 
dan adiknya Broto) direncanakan akan meninggalkan Belanda 
pada 24 Mei 1917 dengan menaiki kapal Rinjani.  Namun, pada 
saat menjelang keberangkatannya, anak pertama mereka sakit 
keras, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tentu saja dengan 
kejadian ini keluarga RM Soewardi Soerjaningrat   membatalkan keberangkatannya untuk 
kembali ke tanah air. Namun rencana kepulangan ini menjadi 
tertunda cukup lama sebagai akibat dari pecahnya Perang Dunia 
I di Eropa. Hampir dua tahun berselang, pada 6 Juli 1919 Asti 
yang sakit dinyatakan sembuh,  dan pada 26 Juli 1919, keluarga 
RM Soewardi Soerjaningrat   meninggalkan negeri Belanda dengan menaiki kapal Rinjani.  
Perjalanan ke tanah air ditempuhnya selama 51  hari. Pada 15 
September 1919, keluarga RM Soewardi Soerjaningrat   merapat di Pelabuhan Tanjung 
Priok di Batavia.
E. Prinsip----- 
Setibanya di tanah air, RM Soewardi Soerjaningrat   tidak menginginkan 
untuk melanjutkan karirnya di bidang politik. Ia kemudian 
mengkonsentrasikan dirinya dalam kegiatan pendidikan untuk 
anak-anak bumiputera. Informasi yang didapat diperoleh 
19.  Lihat Irna H.n. Hadi Soewito, loc.cit.  hlm. 103.
58 ---- 
berdasar  laporan yang dikirimkan oleh RM Soewardi Soerjaningrat  , yang telah 
berganti nama  menjadi Ki Hadjar Dewantara bersama dengan 
Ki Mangoensarkoro  yang diterima terima oleh Penasehat 
Urusan Pribumi.20
Taman Siswo, yang merupakan singkatan dari Pergerakan 
Kebangsaan Taman Siswo, yang merupakan merupakan sebuah 
lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantoro 
pada  Juli 1922 di Yogyakarta. Pada 6 Januari 1923 Pergerakan 
Kebangsaan Taman Siswo dinyatakan sebagai “wakaf bebas”. 
Lembaga ini diserahkan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 7 
Agustus 1930 kepada Yayasan Taman Siswo, yang berkedudukan 
di Yogyakarta.
 Dengan tujuan untuk memperoleh suatu wawasan 
dalam pemikiran yang mendasari Perguruan Taman Siswo, 
perlu untuk mengetahui prinsip dasar yang diuraikan dalam 
rapat pendiriannya pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara. 
ada tujuh prinsip dari lembaga pendidikan ini. 
Hak menentukan nasib sendiri. Hak menentukan nasib 
sendiri dari individu yang perlu memperhitungkan tuntutan 
kebersamaan dari warga  harmonis, sebagai prinsip dasar 
lembaga pendidikan ini. Tertib dan Damai menjadi tujuan 
tertingginya. Tidak ada ketertiban yang terjadi di warga  
apabila tidak ada perdamaian. Akan namun  juga tidak akan ada 
20. Lihat arsip koleksi Taman Siswo, Brief van den Directeurvan Onderwijs 
en Eredienst van 23 September 1938no. 27203A,  dan Brief vanden 
Directeur van Financien van 7 December no. LB 1/18/38  Koleksi NAN, 
Den Haag dan Arsip Nasional RI (fotokopi) 
59Djoko Marihandono
perdamaian selama individu dihalangi dalam mengungkapan 
kehidupan normalnya. Pertumbuhan alami, merupakan tuntutan 
yang dibutuhkan bagi pengembangan diri seseorang. Dengan 
demikian, lembaga ini menolak pengertian “pengajaran” dalam 
arti “pembentukan watak anak secara disengaja” dengan tiga 
istilah “pemerintah – patuh – tertib”. Metode pengajaran yang 
dianut memerlukan perhatian menyeluruh yang menjadi syarat 
bagi pengembangan diri demi pengembangan  akhlak, jiwa dan 
raga anak. Perhatian inilah yang disebut sebagai “sistem among”.
Siswa yang mandiri. Sistem ini diterapkan  untuk 
mendidik Siswa menjadi mahluk yang bisa merasa, berpikir dan 
bertindak mandiri. Di samping memberikan pengetahuan yang 
diperlukan dan bermanfaat, guru perlu membuat Siswa cakap 
dalam mencari sendiri pengetahuannya dan menggunakannya 
agar diperoleh manfaat. Inilah pengutamaan sistem pendidikan 
among. Pengetahuan yang diperlukan dan bermanfaat adalah 
pengetahuan yang sesuai kebutuhan ideal dan material dari 
manusia sebagai warga di lingkungannya.
Pendidikan yang mencerahkan warga . 
Sehubungan dengan masa depan, anggota warga  harus 
diberikan pencerahan. Sebagai akibat dari kebutuhan yang 
menumpuk, yang sulit dipenuhi dengan sarana sendiri sebagai 
akibat pengaruh peradaban asing, lembaga pendidikan ini harus 
sering bekerjasama dalam mengatasi gangguan perdamaian. 
Sebagian dari kaum bumiputera  tidak merasa puas. Juga 
sebagai akibat dari ketersesatan sistem pendidikan itu.  Lembaga 
pendidikan ini harus mencari perkembangan intelektual yang 
60 ---- 
timpang, yang menjadikan kaum bumiputera tergantung secara 
ekonomi dan juga membuat terasing dari rakyat yang menjadi 
bagian dari pemerintah kolonial. Dalam kebingungan ini mereka 
menjadikan budaya Eropa sebagai titik tolak, sehingga Taman 
Siswo dapat mengambil langkah maju.  Atas dasar peradaban 
sendiri, hanya pembangunan dalam kondisi damai bisa terwujud; 
Pendidikan harus mencakup wilayah yang luas. Tidak 
ada pendidikan betapapun tingginya juga yang bisa membawa 
dampak bermanfaat bila hanya mencapai kehidupan sosial yang 
bertahan secara sesaat. Pendidikan harus mencakup wilayah 
yang luas. Kekuatan suatu negara  merupakan kumpulan dari 
kekuatan individu. Perluasan pendidikan rakyat terletak dalam 
usaha lembaga ini;
Perjuangan menuntut kemandirian. Perjuangan setiap 
prinsip menuntut kemandirian. Oleh karenanya kaum bumiputera 
jangan  mengharapkan bantuan dan pertolongan orang lain, 
termasuk di dalamnya untuk mewujudkan kemerdekaan. 
Dengan senang lembaga ini menerima bantuan dari orang lain 
akan, namun  menghindari apa yang bisa mengikatnya. Jadi 
Taman Siswo ingin bebas dari ikatan yang menindas dan tradisi 
yang menekan dan tumbuh dalam kekuatan dan kesadaran kaum 
bumiputera. 
Sistem ketahanan diri. Bila bangsa ini bisa bertumpu 
pada kemampuan sendiri, semboyannya cukup sederhana. Tidak 
ada persoalan di dunia yang mampu bekerja sendiri. Persoalan 
itu tidak akan bertahan lama. Mereka tidak bisa bertahan sendiri 
karena sangat bergantung dari kaum bumiputera. Atas semua 
61Djoko Marihandono
yang sudah terjadi selama ini, akan muncul  “sistem ketahanan 
diri” sebagai metode kerja lembaga pendidikan ini. 
Pendidikan anak-anak. Lembaga ini bebas dari ikatan, 
bersih dari praduga. Tujuan lembaga ini adalah mendidik 
anak-anak. Bangsa bumiputera tidak meminta hak, akan namun  
meminta diberikan kesempatan untuk melayani anak-anak.
Pada  1921, Taman Siswo di Yogyakarta disiapkan, dan 
pada 1922 didirikan secara permanen.  Sekolah ini muncul 
sebagai “perguruan pendidikan nasional”.
 Segera di berbagai tempat, sekolah-sekolah Taman Siswo 
berdiri, terutama sesudah pendirinya berceramah di kota-kota 
besar di Jawa, sehingga prinsip Taman Siswo dapat diuraikan 
secara panjang lebar. Sebagai pedoman telah diterima semboyan 
“kembali dari Barat menuju nasional” dengan penggunaan 
bahasa ibu sebagai pengantar pendidikan yang akan berdampak 
dalam menjalankan ibadah agama, penghapusan permainan dan 
lagu-lagu anak-anak Belanda dan menggantinya dengan model 
nasional.21
 Sebagai sekolah nasional jauh lebih banyak yang akan 
diberikan budaya sendiri daripada di lembaga lain (bahasa,  
sejarah, moral, musik, tari dan sebagainya). Apabila tidak ada 
bahasa ibu yang masih murni, (seperti di Batavia misalnya), 
sebagai pengantar akan digunakan bahasa Melayu baru yang 
disebut bahasa Indonesia. Beberapa mata pelajaran diberikan 
dalam bahasa Belanda, untuk melatih siswa dalam penggunaan 
21. Arsip Taman Siswo  koleksi B21A dan B21 B Koleksi Nationaal Archief 
Nederland dan Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi). 
62 ---- 
praktis  bahasa itu. Juga kadang-kadang bahasa Jawa atau 
bahasa Melayu masih sulit untuk diterima. Sehubungan dengan 
pendidikan bahasa, aturan dalam kurikulum ini berbunyi: bahasa 
ibu sebagai pengantar, terutama untuk kelas rendah, pendidikan 
dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu berlangsung di kelas 
yang lebih tinggi dari sekolah dasar.
 Dalam bahasa terletak semua yang tersimpan, apa yang 
dimiliki rakyat dari nilai kebatinan. Bahasa sendiri akan memberi 
anak sebagai jalan masuk menuju ke hati rakyat. Bila pendidikan 
berjalan dengan baik, pasti akan terjadi pengalihan budaya. 
Penguasaan bahasa rakyat sendiri menjadi syarat pertama 
karena hanya dengan itu rakyat bisa merasakan kebudayaannya 
sendiri. Hal ini menjadi suatu syarat demi munculnya rasa  kasih 
terhadap budaya sendiri, yang merupakan faktor penting dalam 
usaha untuk pengembangan budaya, menuju pengembangan 
lebih lanjut. Sehubungan dengan ini, dalam sistem among  
berlaku prinsip bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam 
bahasa ibunya sendiri. Terutama bagi anak kecil, penggunaan 
bahasa daerah dalam pendidikan dianggap sangat penting, 
karena pendidikan baru bisa hidup. Hantu, mitos dan legenda 
bisa dikisahkan kepada anak saat  mereka  masih sangat peka. 
Jadi anak  hidup dalam fantasinya dengan rakyatnya sendiri dan 
ikut terlibat dalam penilaian rohani sejauh daya tangkapnya 
memungkinkan. 
Penggunaan bahasa ibu merupakan suatu tuntutan untuk 
meletakkan dasar yang kuat bagi proses berpikir. Jadi pendidikan 
dengan menggunakan bahasa asing diperlukan pada usia yang 
63Djoko Marihandono
lebih tinggi, bila anak sudah mampu menguasai bahasa mereka 
sendiri. Di tingkat Taman kanak-kanak, masih belum ada 
pendidikan bahasa asing yang diberikan. 
 Sistem among  menganggap permainan anak memegang 
peranan penting dalam mendidik anak, karena semuanya terletak 
dalam jiwa anak itu sendiri. Hal ini sesuai dengan fantasi mereka 
dan dorongan bagi kegiatan dan gerak motorik mereka. Tidak ada 
yang lebih alami dari pada anak bisa memperoleh permainannya 
sendiri yang berasal dari lingkungannya sendiri. Jadi anak 
tetap berada dalam lingkup rakyatnya sendiri. Jika sebaliknya 
anak menerima permainan asing, maka akan tertanamkan inti 
pemisahan dari bangsanya sendiri. Melalui pemainan nasional, 
pemikiran anak secara alami  tumbuh bersama kehidupan 
rakyatnya. 
 Watak nasional Taman Siswo mengakibatkan orang 
memperkenalkan anak dengan ide nasional yang tertanam pada 
rasa kasih kepada bangsa dan tanah airnya sendiri. Namun ide 
nasional itu tidak disertai dengan kebencian terhadap bangsa lain, 
karena akan menjadi penghambat dalam perkembangan terhadap 
kesadaran kasih bagi kemanusiaan. Oleh karenanya, menurut 
pandangan Taman Siswo nasionalisme tidak bertentangan 
dengan kemanusiaan. Azas Taman Siswo adalah kemanusiaan 
dengan sifat kebangsaan. 
 Dalam  Poesara, majalah  Taman Siswo terbitan Maret 
1933, Ki Hadjar Dewantara menulis artikel dengan judul 
“Kembali ke ladang”. Ki Hadjar Dewantara menggambarkan 
hubungan Taman Siswo dengan pergerakan politik sebagai 
64 ---- 
berikut: “Taman Siswo dan selanjutnya juga dalam setiap 
karya sosial, ladang atau sawah tempat orang  menanam untuk 
memenuhi  kebutuhan hidupnya, pergerakan politik nasional 
menjadi pagar, pagar untuk melindungi ladang agar tanaman di 
ladang tidak diganggu oleh hewan liar atau dicuri oleh orang 
asing.”22
 Bisa dikatakan bahwa Taman Siswo tidak ikut campur 
dalam bidang politik. Pergerakan politik nasional harus 
memperhatikan agar orang tidak menghambat tumbuhnya 
sekolah nasional, sehingga pembinaan terhadap pemuda 
secara nasional tidak terganggu. Hal inilah yang menjadi inti 
pembangunan nasional. Politik tidak diizinkan di sekolah. 
Ada larangan keras bagi guru untuk membawa politik ke 
ranah  sekolah, karena Taman Siswo menduga bahwa politik 
tidak boleh mengorbankan anak-anak kecil. Orang tidak boleh 
memasukkan suasana politis di sekolah. Dalam kaitan ini tidak 
ada lagi keterlibatan dalam politik, atau politik praktis. Politik  
harus dibatasi oleh tenaga pengajar dan diatur. Orang bisa 
terlibat dalam partai politik sebagai tenaga pengajar Taman 
Siswo, namun  orang harus memperhitungkan semua yang 
disebutkan di atas. Saat itu di Taman Siswo juga berlaku aturan 
bahwa setiap guru mengucapkan janjinya bahwa dia perlu 
mengutamakan kepentingan sekolah dan bukan kepentingan 
lainnya. Taman Siswo menuntut dari guru agar guru bisa 
mencurahkan jiwanya untuk mendidik anak. Ini hanya akan 
terjadi bila orang menganggap karyanya untuk pendidikan dan 
22. Arsip Taman Siswo , koleksi B28A, B28 B, Koleksi Nationaal Archief 
Nederland dan Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi). 
65Djoko Marihandono
pengembangan Taman Siswo sebagai tujuan nomor satu. Taman 
Siswo menuntut lebih banyak karena berdasar  “ide Paguron” 
yang dianut oleh Taman Siswo. Guru melihat tugas hidupnya 
dalam karya pendidikan. 
 Taman Siswo ingin tetap menjaga jarak dari politik, atas 
dasar pedagogis. Apabila pada saat tertentu disinggung tentang 
warna politik Taman Siswo, maka ini biasanya dianggap berasal 
dari para pelakunya. Akan namun  Taman Siswo sendiri bisa 
merujuk pada tata tertib yang telah ada.23 Taman Siswo merasa 
wajib dengan tujuan untuk tetap setia kepada prinsipnya, yakni 
melayani anak-anak. 
 Prinsip kemanusiaan, tidak diabaikan oleh Taman Siswo 
dalam usaha menanamkan jiwa nasionalisme. Prinsip moral 
membatasi pelaksanaan ide nasionalis. Tanpa itu, Taman Siswo 
tidak bisa menjadi lembaga pendidikan. Dengan demikian 
yang penting adalah pernyataan bahwa pada tahun 1921 dalam 
pendirian Taman Siswo  digunakan semboyan  “Suci Ngesti Tata 
Tunggal, yang berarti “kemurnian dan ketertiban berjuang demi 
kesempurnaan”, dan menurut versi Jawa bersama menunjuk 
angka tahun 1854 Caka. Moral dalam Taman Siswo muncul 
23. Tata tertib telah diatur secara jelas. Hal ini terbukti  dari kenyataan, 
bahwa  hari peringatan Diponegoro sebagai pahlawan nasional  di semua 
lembaga sekolah Taman Siswo diadakan pada tangal 8 Februari. Pada 
setiap tanggal itu, tidak diselenggarakan kegiatan sekolah. Sementara itu,  
pada hari besar nasional (Belanda), semua sekolah Taman Siswo terpaksa 
ditutup. Di gedung-gedung tidak ada bendera dikibarkan, tenaga pengajar 
tidak ikut terlibat dalam upacara, para murid sebaliknya dibebaskan jika 
mau untuk ikut terlibat. Di banyak sekolah Taman Siswo, selain “lagu-
lagu nasional”, lagu Indonesia Raya juga dilantunkan.
66 ---- 
dalam agama. Hal ini diketahui dari semboyan ini . Tunggal 
berarti juga satu, di sini dicantumkan dalam arti mistis kata itu. 
Semua ini selanjutnya bisa dijelaskan dari kenyataan bahwa 
para pendiri Taman Siswo tanpa terkecuali adalah sosok agamis. 
 Taman Siswo memiliki visi  bahwa hanya ada 
perkembangan alami apabila anak dididik:
* Sesuai dengan kondisi alam materi;
* Atas dara bakat alamnya;
* Sesuai kondisi alamnya;
Dalam alam, pusat pendidikan utama terletak pada 
keluarga. Ayah dan ibu merupakan pendidik anak yang paling 
utama. Suatu pandangan alami tertentu untuk mendidik selalu 
terpusat pada ayah atau ibu. Pandangan ini menjadikan keluarga 
sebagai pusat pendidikan alami. Pandangan ini menghendaki 
sistem among  dialihkan kepada Paguron , di sekolah. Dari sana 
Taman Siswo dalam organisasinya tampil sebagai “keluarga 
besar dan suci”. Keluarga ini pada dasarnya berbeda dari  
keluarga alami.
 Keluarga alami didasarkan pada hubungan darah. 
Taman Siswo didasarkan sebagai “keluarga” atas hubungan roh. 
Hubungan roh di sini menunjukkan bahwa di Taman Siswo orang 
bisa saling merasa dirinya sebagai saudara, atas dasar kenyataan 
bahwa orang menganut ide yang sama. Juga hubungan keluarga 
yang membuat hubungan antara majikan dan pekerja tidak dapat 
diterima di Taman Siswo. Sebagai anggota dari keluarga yang 
sama, orang berjuang demi tujuan yang sama, dan untuk gagasan 
yang sama. Sewajarnya ada kepemimpinan, seperti dalam 
67Djoko Marihandono
keluarga. Demikian pula dalam Taman Siswo kepemimpinan 
dipegang oleh orangtua, bukan menurut ukuran raga melainkan 
menurut ukuran jiwa.
 Di sekolah setiap Siswa bisa menyebut gurunya dengan 
“bapak” atau “ibu” sesuai pengajar pria atau wanita. Bentuk-
bentuk fisik yang bukannya tanpa pengaruh muncul pada
hubungan antara guru dan Siswa. Pada tahun-tahun pertama anak 
merasa sangat dekat dengan ibunya. Unsur “keibuan” juga ingin 
ditetapkan dalam sistem among di sekolah. Di Taman Anak, di 
mana anak-anak mencapai usia 9 tahun, diberi pelajaran oleh 
guru perempuan.24
 Sekolah menyebut dirinya  “perguruan” (paguron ). 
Ditarik dari kata “guru” (pengajar). Kata ini secara harafiah
berarti: tempat di mana guru tinggal. Orang juga bisa menarik 
makna dari kata “berguru” (meguru ), yakni belajar, kemudian 
perlu diberikan pemahaman belajar pada kata itu. Sering kata 
“paguron” memperoleh makna belajar sendiri, yakni karena bila 
sosok guru menjadi unsur yang dominan, maka  paguron  berarti 
arah perguruan ditunjukkan di situ. 
 Taman Siswo menyebut kata ini dalam tiga makna. 
Paguron berarti: pusat belajar dengan arah tertentu sekaligus 
rumah guru. Menurut sistem pendidikan Jawa lama, juga 
Indonesia lama, mungkin Asia pada umumnya, sekolah juga 
menjadi rumah guru. Di sana dia tinggal selamanya; dia 
memberikan namanya, atau lebih tepat lagi dikatakan orang 
menyebut dusun itu dari namanya. 
24 Arsip Taman Siswo  B28C Koleksi Nationaal Archief Nederland dan 
Arsip Nasional Republik Indonesia (Fotokopi). 
68 ---- 
 Dari jauh dan dekat para Siswa datang kepadanya; dia 
tidak mendatangi murid. Orang berkata: dia jangan menjadi 
“sumber lumaku tinimba” (sumber air yang berjalan untuk 
diambil oleh orang). Suasana paguron didominasi dengan 
semangat kepribadiannya. Belajar di paguron demikian menjadi 
masalah kedua. Tidak bisa dikatakan bahwa hanya sedikit