ki hajar dewantara 3




menerima penugasan itu dan berhasil 
sehingga mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia 
Belanda, namun  penghargaan itu dipasang pantatnya.8
Tjipto menjadi sangat terkenal dengan sikapnya itu sebagai 
seorang dokter bumiputera yang secara radikal menentang 
sikap diskriminatif yang diterapkan secara sistematis dalam 
kehidupan warga  Jawa oleh penguasa pribumi maupun 
Belanda, meskipun tahu resiko yang akan dihadapinya.9 Sikap 
pembangkangan yang diperlihatkan Tjipto, berbeda dengan 
Soetomo yang memperlihatkan sikap moderat dalam upaya 
mengubah tradisi Jawa yang bersifat diskriminatif. Soetomo, 
mengambil jalan tengah karena sikap radikal memiliki resiko 
tinggi mengingat kedudukan priyayi birokrat masih sangat kuat, 
sekaligus untuk mengamankan kedudukan ayahnya.
Pada 1920, Tjipto Mangoenkoesoemo menikahi Maria 
Vogel, seorang Indo-Belanda (Eurasia). Dua puluh tiga tahun 
8. Tiga Dokter Pelopor Pergerakan Nasional . 
9. Aktivitas Tjipto di dunia pergerakan nasional membawa dampak negatif 
terhadap karier dokternya. sesudah kembali ke Indonesia dari hukuman 
pembuangannya di Belanda (1913-1917), karier Tjipto sebagai dokter 
tidak berjalan dengan lancar. Berbagai hambatan dirasakannya, antara 
lain penolakan atas izin menjadi dokter pribadi Mangkunegara dan 
warga tidak memberikan tempat bagi praktik kedokterannya sehingga 
ia di-persona non grata-kan Namun demikian, 
sikap Tjipto tidak pernah berubah meskipun karier dokternya dihambat 
pemerintah.
kemudian atau tepatnya pada 1943, Tjipto Mangoenkoesoemo 
meninggal dunia dan jenazahnya dikebumikan di Ambarawa. 
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama RS Tjipto 
Mangoenkoesoemo atau RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) 
sesudah ejaannya disesuaikan dengan EYD. Pada masa 
Pemerintahan Hindia Belanda, rumah sakit ini bernama Centrale 
Burgerlijke Zieken-inrichting .
Tokoh ketiga yang dikaji dalam makalah ini bernama 
Soetomo yang dilahirkan di Desa Ngepeh, dekat Nganjuk, 
Jawa Timur pada 30 Juli 1888.11 Pada saat dilahirkan, orang 
tuanya memberi nama Soebroto yang kemudian diubah menjadi 
Soetomo saat  didaftarkan ke Sekolah Rendah Belanda di 
Bangil. Ayahnya bernama R. Soewadjilah, yang pada awalnya 
seorang guru, namun  kemudian berpindah menjadi pegawai 
administrasi pemerintahan yang berhasil menggapai puncak 
kariernya sebagai wedana . Kedudukan 
ayahnya ini , langsung tidak langsung membentuk sikap 
moderat pada dirinya, karena Soetomo di satu sisi harus 
10. Tjipto Mangoenkoesomo . 
11.  Soetomo memiliki dua orang saudara laki-laki yaitu Soeratmo dan 
Soesilo. Keduanya sama-sama menempuh pendidikan di Stovia dan 
sesudah menjadi dokter, Soeratmo berdinas di Batavia sampai meninggal, 
sementara Soesilo berdinas di Palembang. Satu-satunya saudara 
perempuan Soetomo yang bernama Siti Soendari berhasil meraih 
gerlar Meester in de Rechten  (Mr., sekarang S.H., sarjana hukum) pada 
1934 dari Rijksuniversiteit 
menjaga keserasian tatatan sosial di kalangan warga  
Jawa. Di sisi lain, Soetomo memiliki pemikiran bahwa tatanan 
sosial ini  harus dirombak dan hal itu tidak bisa dilakukan 
secara radikal-revolusioner. Kakek Soetomo, baik dari  garis 
ayah maupun ibunya, tidak masuk ke dalam golongan priyayi 
birokrat, melainkan sebagai pemilik tanah sehingga dipandang 
sebagai orang-orang terkemuka sekaligus sebagai kepala desa di 
desanya masing-masing 
Sebelum memasuki usia sekolah, Soetomo diasuh oleh 
kakek-neneknya dari garis Ibu. Pada saat memasuki sekolah, 
pamannya yang menjadi guru di Bangil. sesudah menyelesaikan 
pendidikan dasar dan menengahnya, Soetomo diterima di  
STOVIA, sekolah favorit para priyayi rendah. Berbeda dengan 
Tjipto, Soetomo telah mendapat pengakuan status sosialnya 
karena kedudukan  ayahnya sebagai wedana sangat diterima di 
kalangan para siswa Stovia.12 sesudah menyelesaikan pendidikan 
dasarnya, pada 1903, Soetomo menempuh pendidikan 
kedokteran di STOVIA dan dapat menyelesaikannya pada 
1911 sehingga Soetomo menjadi seorang  dokter. Dalam kurun 
waktu 1911-1919, Soetomo bekerja di tujuh tempat berbeda di 
Jawa, Sumatera Selatan, dan Sumatera Timur, antara lain Blora, 
Semarang, Tuban, Lubuk Pakam, dan Malang. Pada 1912, 
12. Berbeda dengan Tjipto, pengakuan terhadap status sosialnya baru 
diterima sesudah Tjipto dipandang memiliki prestasi luar biasa di bidang 
ilmu pengetahuan kedokteran. Dengan demikian, pengakuan atas status  
sosial yang diterima Soetomo berdasar  pada nilai-nilai tradisional 
yang hidup di kalangan warga  Jawa, sedangkan Tjipto berdasar  
pada nilai-nilai keilmuan 
Soetomo ditugaskan menjadi seorang dokter di Rumah Sakit 
Blora 
Pada 1917, Soetomo menikah  dengan Everdina de Graaf-
BrĂ¼ring, seorang suster berkebangsaan Belanda. Dua tahun 
kemudian (1919), Soetomo pergi Belanda untuk mengembangkan 
kemampuannya sebagai seorang dokter dan pada 1923, Soetomo 
menyelesaikan pendidikannya di Belanda. Selama di Belanda, 
Soetomo tidak hanya belajar ilmu kedokteran, melainkan juga  
aktif di dunia pergerakan bersama-sama dengan para pelajar 
Indonesia lainnya.. 
Lingkungan sosial yang sarat dengan saling menghargai, 
khususnya  di keluarga kakek-neneknya, merupakan kondisi 
yang tidak bisa diabaikan dalam membentuk sikap  moderat 
dirinya. Status sosial kakeknya lebih rendah jika dibandingkan 
dengan status sosial neneknya. Mereka bersikap sebagaimana 
tradisi yang berlaku, tetap dalam  waktu yang bersamaan mereka 
pun saling menghargai. Situasi di dalam keluarganya, terbawa ke 
tengah kehidupan warga  dan benar-benar dipraktikkan oleh 
Soetomo. Selain itu, didikan kedua kakek-neneknya yang lebih 
dominan mengarah pada tradisi Jawa daripada Islam pragmatis, 
menjadikan Soetomo sebagai sosok dengan pembawaan tenang, 
tidak meledak-ledak seperti rekannya, Tjipto Mangoenkoesoemo 
Jiwa moderatnya itu terlihat dari sikapnya yang sangat 

dermawan. Selain aktif di dunia pergerakan, Soetomo pun 
aktif di bidang sosial dan budaya pun tidak kalah pentingnya 
dengan aktivitas politiknya. Soetomo membangun rumah sakit, 
panti asuhan, rukun tani, lembaga kesehatan umum, bank desa, 
dan koperasi yang dimaksudkan sebagai upaya membantu 
warga  tidak mampu. Aktivitas politik yang dilakukan oleh 
Soetomo semakin meningkat seiring pembentukan Algemeene 
Studie Club (1924), yang kemudian berganti nama menjadi 
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI, 1930), dan puncaknya dengan 
mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1935.
PBI kemudian mendirikan bank yang sekarang menjadi Bank 
Negara Indonesia, menerbitkan surat kabar Soeara Oemoem , 
menerbitkan majalah Penyebar Semangat, membuka koperasi 
Pertoekangan, mendirikan Roekoen Tani, dan Roekoen Pelajar.
Perjuangan Soetomo yang berupaya mangangkat harkat derajat 
bangsanya berakhir pada 30 Mei 1938, seiring dengan Sang 
Pencipta memanggil dirinya. Jenazah Soetomo, kemudian 
dikebumikan di Surabaya, Jawa Timur. Namanya kemudian 
diabdikan sebagai nama rumah sakit di Surabaya, yakni RSUD 
Dr. Soetomo.
14. Parindra dibentuk oleh Soetomo sebagai hasil fusi dua buah organisasi, 
yakni Boedi Oetomo dan Persatoean Bangsa Indonesia. Kedua 
organisasi itu memiliki hubungan erat dengan kiprah Soetomo dalam 
memperjuangkan hak-hak bangsanya yang telah lama dirampas oleh 
bangsa Belanda (
C. Pemikiran Tiga Serangkai
Kegagalan Soewardi Sorjaningrat menjadi seorang 
dokter dan ketertarikannya pada dunia jurnalistik, menjadikan 
dirinya sebagai tokoh yang sangat berpengaruh pada masa 
awal pertumbuhan pergerakan nasional. Gagasan nasionalisme 
disebarluaskan melalui tulisannya yang sangat tajam mengkritik 
Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu tulisannya Als ik eens 
Nederlander was (Andaikata aku seorang Belanda) yang 
diterbitkan pada 1913. Melalui tulisan itu, Soewardi mengkritik 
sangat pedas perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda di 
Hindia Belanda. Terhadap peringatan itu, Soewardi bersama-
sama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker, 
membentuk Komite Bumiputera atau resminya Inlandsche 
ComitĂ© tot Herdenking voor Nederlands Honderdjarige 
Vrijheid.  Tujuannya hendak menyadarkan warga  bahwa 
peringatan kemerdekaan Belanda yang dirayakan secara meriah 
di Hindia Belanda, merupakan bentuk ketidakadilan pemerintah 
Hindia Belanda terhadap golongan pribumi. Soewardi dan 
Tjipto mengkritik bahwa sementara Pemerintah Hindia Belanda 
merasakan kemerdekaan negerinya, pada sisi yang sama, mereka 
merampas kemerdekaan bangsa Indonesia. Khawatir tulisan 
Soewardi akan menyadarkan bangsa Indonesia, Pemerintah 
Hindia Belanda menyita seluruh dokumen terkait dengan tulisan 
itu pada saat melakukan penggeledahan ke kantor Komite 
Bumiputera 
Tindakan Pemerintah Hindia Belanda ini  mendorong 
amarah dari Tjipto Mangoekoesoemo dan menyerang pemerintah 
dengan menulis Kracht of Vrees  (Kekuatan atau Ketakutan). 
Melalui buah penanya itu, Tjipto mempertanyakan penggeledahan 
kantor Komite Bumiputera yang dilakukan dengan sangat tidak 
beradab. Tjipto menegaskan tindakan ini  sebagai bentuk 
ketakutan pemerintah terhadap pertumbuhan nasionalisme 
dan menakuti bangsa pribumi dengan memamerkan kekuatan 
mereka. Terhadap tulisan Tjipto, Soewardi pun menerbitkan 
artikelnya di De Expres  edisi 28 Juli 1913 dengan judul Een 
voor allen, maar ook allen voor een  (Satu Untuk Semua, Semua 
Untuk Satu) yang menegaskan bahwa sebuah perjuangan, 
bangsa Indonesia harus memiliki kekuatan dan kepribadian 
sehingga akan siap menghadapi berbagai kemungkinan terbaik 
dan terburuk
16. Douwes Dekker, sebagai sahabat Soewardi Soerjaningrat dan Tjipo 
Mangoekoesoemo, sekaligus sebagai pemimpin redaksi De Express   , 
menanggapinya dengan menerbitkan tulisannya di De Express    edisi 5 
Agustus 1913. Ia menggambarkan kedua orang priyayi nasionalis itu 
Tulisan-tulisan tajam yang dibuat oleh Soewardi 
Soerjaningrat dan Tjipto Mangoekoesoemo, serta Douwes 
Dekker mendorong Pemerintah Hindia Belanda menangkap 
ketiganya. Atas tuduhan menentang kebijakan pemerintah dan 
mengganggu ketertiban umum, serta atas persetujuan Raad 
Nederlandch-Indie , Soewardi dan Tjipto dinyatakan bersalah 
oleh Raad van Justitie . Tjipto Mangoekoesoemo diasingkan 
ke Banda (Maluku) dan Soewardi Soerjaningrat diasingkan ke 
Bangka (Sumatera).17 Akan namun , kedua tokoh pergerakan itu 
memilih opsi lain, yakni meninggalkan Hindia Belanda dan 
pergi ke Belanda. Keduanya memilih Belanda atas pertimbangan 
bahwa di sana aktivitas politik mereka dapat dilanjutkan 
bersama-sama para mahasiswa yang sekaligus sebagai aktivis 
pergerakan nasional juga 
Selama menjalani pengasingan di Belanda, Soewardi 
bersama-sama dengan Tjipto tetap aktif di dunia pergerakan 
dengan bergabung ke dalam Indische Vereeniging  di Den 
Haag.18 Soewardi dan Tjipto selalu menghadiri diskusi-diskusi 
sebagai pahlawan bagi kaum pribumi yang berjuang untuk membebaskan 
warga  pribumi dari ketidakadilan kolonialisme. Judul artikelnya 
memang sangat provokatif, yakni Onze Helden: Tjipto Mangonkoesoemo 
en R.M. Soewardi Soerjaningrat  atau Pahlawan-Pahlawan Kami: Tjipto 
Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat 
17. Sementara itu, E. F. E. Douwes Dekker diasingkan ke Kupang, Timor. 
Seperti halnya Soewardi dan Tjipto, Douwes Dekker pun memilih opsi 
diasingkan ke Belanda, sehingga mereka bertiga berangkat ke Belanda 
untuk menjalani hukuman pengasingan (Soewito, 1982: 54)
18  Indische Vereeniging  didirikan pada 1908 atas atas prakarsa R. Soemitro, 
seorang bangsawan Jawa, bersama dengan R. Soetan Casajangan 
Saripada, dari Mandailing. Anggota Indische Vereeniging bukan hanya 
yang diselenggarakan oleh Indische Vereeniging  sehingga 
cita-cita menjadikan Hindia Belanda lebih maju lagi semakin 
tersebar luas , Selain 
itu, Soewardi bersama-sama dengan Tjipto, Dekker, dan aktivis 
lainnya berhasil mendirikan Indonesisch Pers Bureau  yang tidak 
hanya berfungsi semacam kantor berita, melainkan juga sebagai 
media maRM Soewardi Soerjaningrat  a. Melalui biro inilah, berbagai informasi tentang 
Hindia Belanda disebarluaskan .

berasal dari suku bangsa di kepulauan Hindia saja, melainkan ada juga 
yang berasal dari keturunan Cina maupun Belanda 
sesudah kembali ke Indonesia, Soewardi tidak berhenti 
berjuang dan perhatiannya bertambah ke bidang pendidikan 
karena menurut Soewardi, bangsa Indonesia tidak akan pernah 
maju selama sistem pendidikannya mengikuti sistem pendidikan 
kolonial yang bersifat diskriminatif dan mengabakan nilai-nilai 
kebudayaan setempat. Untuk mewujudkan gagasannya, pada 3 Juli 
1922, Soewardi Soerjaningrat mendirikan sekolah Taman Siswa 
di Yogyakarta. Di tempat inilah, Soewardi menyelenggarakan 
pendidikan bagi anak-anak pribumi dengan tidak menanggalkan 
nilai-nilai budaya.19 Prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan 
di Taman Siswa adalah Ing Ngarsa Sung Tuladha,  Ing Madya 
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang sampai saat ini 
dijadikan motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 
untuk penyelenggaraan pendidikan nasional.20
19. Soewardi pernah menulis bahwa .... “kepatuhan pada peradaban 
Barat telah mengurung negeri ini dalam kegelapan”. Oleh karena itu, 
Soewardi bertekad akan menciptakan sistem pendidikan yang mampu 
menghasilkan “individu-individu yang bebas dengan semangat merdeka” 
sehingga bisa membawa ketentraman dan keteraturan di warga . 
Bagi Soewardi, kondisi ideal ini  ada dalam tradisi Jawa yang 
kemudian diimplementasikan dengan mendirikan perguruan Taman 
Siswa 
Menariknya, sesudah Taman Siswa berkembang dan 
Soewardi dipandang sebagai tokoh sentral, pada 23 Februari 
1928, nama Soewardi Soerjaningrat ditanggalkan dan diganti 
menjadi Ki Hadjar Dewantara  
 Pergantian nama dari Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar 
Dewantara memang menarik perhatian karena dilakukan sendiri oleh 
yang bersangkutan tepat pada usia 40 tahun. Bagi Harsya W. Bactiar, 
pergantian itu sebuah kejanggalan dalam budaya Jawa Akan namun , dalam pandangan Savitri Prastiti Scherer  pergantian nama itu merupakan sebuah penegasan tentang status 
sosialnya. Soewardi merupakan priyayi aristokrat karena status sebagai 
cucu Paku Alam III. Namun, status sosialnya yang begitu tinggi, ia 
tanggalkan akibat intrik di dalam keraton. Melalui pendidikan, status 
sosialnya itu “dikembalikan” sebagaimana ia ungkapkan secara implisit 
bidang pendidikan, menghantarkan Ki Hadjar Dewantara pada 
jabatan sebagai Menteri Pengajaran dan Pendidikan, sesudah 
Indonesia merdeka. Pada 1957, Ki Hadjar Dewantara menerima 
anugerah Doktor (HC) dari Universitas Gadjah Mada dan dua 
tahun kemudian (1959), Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia 
di Yogyakarta.
Berbeda dengan Ki Hadjar Dewantara, dua tokoh 
lainnya yakni Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetomo tidak 
berjuang di bidang pendidikan, melainkan secara konsisten 
di bidang politik. saat  Boedi Oetomo (BO) berdiri pada 20 
Mei 1928, Tjipto menyambut baik organisasi pertama pada 
masa pergerakan nasional ini . Dalam perkembangannya, 
Tjipto berkeinginan agar BO menjadi organisasi politik yang 
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Keinginan 
Tjipto ini  melahirkan penentangan dari para pengurus 
dan anggota yang menginginkan BO sebagai organisasi sosial 
budaya dan keanggotaan tertutup. Artinya, tidak setiap orang 
dapat menjadi anggota BO, melainkan mereka yang memiliki 
status sosial tertentu sesuai dengan tradisi Jawa. Perbedaan 
pandangan itu, yang mendorong Tjipto meninggalkan BO dan 
mendirikan R.A. Kartini Club .
Baru satu tahun menjalankan hukuman di Belanda, pada 
1914, dengan alasan kesehatan, Pemerintah Hindia Belanda 
mengizinkan Tjipto kembali ke Hindia Belanda.22 Setibanya di 
dari nama barunya Ki Hajar Dewantara yang memiliki makna “seorang 
terhormat (Ki) yang mengajar (Hajar) sebagai wakil/perantara dewa 
(Dewantara).
22. Keputusan hukuman buang atas Soewardi Soerjaningrat, Tjipto 
Hindia Belanda, Tjipto bergabung dengan Insulinde yang pada 
9 Juni 1919 berganti nama menjadi Nationaal-Indische Partij  
(NIP). Bergabungnya Tjipto di partai politik yang berhaluan 
nasionalis, tidak dapat dilepaskan dari pandangan atau sikapnya 
tentang nasionalisme.
 Nasionalisme Tjipto terlihat jelas dalam perdebatannya 
dengan Soetatmo Soeriokoesoemo yang terjadi di Kongres 
Kebudayaan Jawa di Solo pada 5-7 Juli 1918. Dalam kongres itu, 
Tjipto menentang keras argumentasi Soetatmo mengenai konsep 
Nasionalisme Jawa. Tjipto berpandangan bahwa konsep ini  
sangat tidak tepat karena Jawa telah kehilangan kedaulatannya 
sehingga hanya bagian dari wilayah kekuasaan Pemerintahan 
Hindia Belanda yang didominasi oleh Hindia. Akibat kondisi 
itu, tanah air orang Jawa tidak lagi Pulau Jawa, melainkan 
Hindia sehingga para pemimpin pergerakan menumbuhkan 
semangat nasionalisme Hindia kepada warga  Jawa dan 
seluruh penduduk Hindia ,Pemikiran 
Tjipto ini  menunjukkan bahwa meskipun dirinya masih 
termasuk ke dalam golongan priyayi rendah, tepatnya priyayi 
profesional, dengan latar belakang budaya Jawa, namun masa 
depan warga  pribumi tidak dilandaskan pada konsep 
nasionalisme Jawa, melainkan nasionalisme Hindia.
Mangoenkoesoemo, dan E.F.E. Douwes Dekker, baru dicabut secara 
resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Agustus 1917. Akan 
namun , kepulangan Soewardi dan Douwes Dekker ke Hindia Belanda 
tertunda karena ketiadaan sarana transportasi yang bertujuan ke Hindia 
Belanda akibat meletusnya Perang Dunia I 
Prinsip nasionalisme Hindia yang dipegang erat Tjipto 
mendorong Pemerintah Hinda Belanda menunjuk dirinya sebagai 
anggota Volksraad  dengan harapan sikap ini  berubah. Akan 
namun , harapan pemerintah itu tidak terwujud karena selama 
menjadi anggota Volksraad , Tjipto dengan teguh memegang dan 
menjalankan sikap politiknya ini . Melihat kenyataan itu, 
pada 1920, Pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Tjipto ke 
luar Pulau Jawa. Tidak lama kemudian, Tjipto dipindahkan ke 
Bandung dengan status sebagai tahanan kota. Selama di Bandung, 
Tjipto membuka praktik dokter dan bersepeda ke kampung-
kampung untuk memberikan pengobatan kepada warga . 
Di sini pula, Tjipto berjumpa dengan para pemimpin pergerakan 
generas kedua, antara lain Sukarno yang pada 1923 mendirikan 
Algemeene Studie Club  (ASC). Oleh karena status politiknya, 
Tjipto tidak menjadi anggota resmi ASC, namun  pemikirannya 
tentang perjuangan dan nasionalisme Hindia diterima sebagai 
sumbangan sangat berharga bagi bangsa Hindia.
Pada 1927, Belanda menganggap Tjipto terlibat dalam 
upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira, Maluku. 
Pada saat menjalani hukumannya, penyakit asma yang sudah lama 
diderita Tjipo kambuh kembali dan untuk keperluan pengobatan, 
Pemerintah Hindia Belanda menawarkan perjanjian bahwa 
pengobatan penyakitnya itu akan ditanggung oleh pemerintah 
dengan syarat tidak terlibat aktif di dunia politik. Akan namun , 
penawaran ini  ditolak tegas oleh Tjipto. Akibatnya, Tjipto 
dipindahkan ke MakaRM Soewardi Soerjaningrat  ar, kemudian ke Sukabumi (1940), dan 
akhirnya ke Batavia sampai meninggal dunia  pada 8 Maret 1943.
Sementara itu, Soetomo tampil sebagai tokoh pergerakan 
nasional yang paling moderat dibandingan dengan Soewardi 
Soerjaningrat, terlebih dengan Tjipto Mangoenkoesoemo. 
Dalam pandangan Soetomo, kemerdekaan bisa diraih dengan 
memperhatikan tiga faktor. Pertama, setiap orang harus memiliki 
kesadaran bahwa mengabdi kepada negerinya merupakan 
bentuk kewajiban moral dalam konteks cinta tanah air. Kedua, 
pengabdian yang diberikan oleh setiap individu sangat berkaitan 
dengan jenis pekerjaannya. Artinya, setiap orang harus bekerja 
sesuai dengan keahliannya sebagai bentuk pengabdian dirinya 
kepada negera. Ketiga, dalam menjalankan pekerjaanya itu, 
setiap orang harus memperhatikan lingkungan sekitarnya 
sehingga bisa menjaga keselarasan di dalam warga . Jika 
hal itu dapat dilakukan, maka perjuangan meraih kemerdekaan 
dapat berjalan secara harmonis, sebagaimana yang terjadi pada 
pagelaran gamelan ,
Jelas sekali bahwa pemikiran Soetomo ini  
berlandaskan pada nilai-nilai tradisi Jawa sehingga status sosial 
di warga  merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. 
Kondisi ini  tidak akan mengganggu harmonisasi 
kehidupan, jika berjalan sesuai dengan kewajibannya yang 
ditandai dengan bahagia tidaknya suatu golongan. Pandangan 
inilah yang membedakan dirinya dengan Tjipto yang justru 
hendak melabrak perbedaan status sosial yang dipandang 
sebagai salah satu sumber ketidakadilan bagi warga  Hindia. 
Konsep perjuangannya ini , diterapkan oleh Soetomo 
sebagai “ideologi” Partai Indonesia Raya (Parindra). Soetomo 
memaparkan bahwa Parindra harus bisa “menuntun para 
petani dalam berbagai bentuk upaya koperasi, supaya dengan 
melakukan bentuk pekerjaan-pekerjaan yang menguntungkan di 
tengah-tengah rakyat jelata itu, mereka dapat diangkat ke tingkat 
yang lebih tinggi, yang berguna membuat Indonesia Mulia” 
Dari uraian yang telah dilakukan dapat ditarik simpulan 
bahwa ketiga tokoh pergerakan nasional ini  memiliki 
hubungan erat dengan dunia priyayi, meskipun dengan tingkatan 
yang berbeda. Ikatan budaya yang melatarbelakangi ketiganya 
telah memberikan warna terhadap corak   perjuangannya. Tjipto, 
merupakan yang paling radikal dan Soewardi masih berusaha 
mengembalikan tatanan warga  sesuai tradisi Jawa, namun 
telah diidealkan oleh pemikiran-pemikiran yang lebih terbuka. 
Sementara itu, Soetomo berdiri di tengah-tengah dengan sikap 
moderatnya untuk berperan sebagai penengah atau juru damai.
Meskipun ketiganya menunjukkan sikap dan corak 
yang berbeda, namun  mereka memiliki pandangan yang relatif 
sama. Ketidakadilan karena kebijakan pemerintah kolonial yang 
diskriminatif menjadi pemicu  ketidakberdayaan warga  
dalam menuntut haknya di negeri sendiri. Pemikiran-pemikiran 
yang dilontarkan oleh ketiganya, merupakan sumbangan yang 
sangat berharga, tidak hanya bagi generasi kedua pemimpin 
pergerakan nasional, melainkan juga bagi bangsa Indonesia. 
Ketiganya telah menyumbangkan pemikiran yang luar biasa 
sehingga Indonesia dapat menggapai cita-cita kemerdekaannya.

Nama Suwardi Suryaningrat kurang dikenal oleh 
warga , namun dengan nama Ki Hadjar Dewantara, beliau 
sangat dikenal, dihormati dan disanjung-sanjung sebagai   
Pendiri Perguruan Tamansiswa, Bapak Pendidikan Nasional,  
dan Pahlawan Nasional.  Beliau dikenal dan diakui dunia 
karena kompetensi, keahlian, prestasi dan sumbangsihnya 
yang luar biasa dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan 
kewarga an.
Melalui studi kepustakaan baik berupa tulisan-tulisan 
maupun benda peninggalan Ki Hadjar Dewantara, serta buku-
buku  karya para tokoh Tamansiswa dan simpatisan Tamansiswa 
yang tersimpan di Museum Tamansiswa “Dewantara Kirti 
Griya”, kami sajikan biografi untuk menggambarkan sosok
Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang jurnalis, politikus, 
budayawan, pendidik, dan pemimpin rakyat.
 Dari tiap tingkat dan lapangan perjuangan yang 
ditempuh Ki Hadjar Dewantara, ada tulisan-tulisan beliau 
di berbagai surat kabar, majalah, dan brosur.  Dari perjuangan 
Ki Hadjar Dewantara di lapangan  jurnalistik,  ke lapangan 
politik,  dan yang terakhir di lapangan pendidikan dan 
kebudayaan, ditemukan berbagai tulisan yang menggambarkan 
gagasan dan konsepsinya. Dengan berbagai ragam dan cara 
mengemukakan  gagasan sesuai dengan masa, jaman, dan objek 
yang dihadapinya, maka seluruh kegiatan Ki Hadjar Dewantara 
mengandung semangat dan bernafaskan  perjuangan menuju 
cita-cita Indonesia merdeka.
Dengan biografi ini diharapkan dapat menggugah
semangat generasi muda untuk mempelajari dan mengembangkan 
wawasan kebangsaan dan kebudayaan sebagai sendi perjuangan 
dan pembangunan nasional. Suatu bangsa dan negara akan 
terasing bila dalam proses sejarahnya lepas dari sendi-sendi 
perjuangan para pendahulunya.
B. Masa Kanak-Kanak
 Ki Hadjar Dewantara pada masa kanak-kanak dan masa 
muda bernama Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat. Namun 
sesudah dalam pembuangan di Nederland, gelar kebangsaannya 
tidak dipakai lagi sebagai pernyataan bersatunya Suwardi 
Suryaningrat dengan rakyat yang diperjuangkannya. Suwardi 
Suryaningrat Lahir pada hari Kamis Legi, tanggal 2 Mei 1889 
di Yogyakarta, bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1309 
H. Lahirnya pada bulan Ramadhan memunculkan harapan 
agar Suwardi Suryaningrat memberi hikmah pendidikan dan 
peningkatan iman dan takwa. 
Suwardi Suryaningrat adalah keturunan bangsawan. 
Ayahnya Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan 
Ibunya bernama Raden Ayu (R.A.) Sandiah. Keduanya adalah 
bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta. K.P.A. Suryaningrat 
adalah putera Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.) 
Paku Alam III. Dengan demikian Suwardi Suryaningrat adalah 
cucu K.G.P.A.A. Paku Alam III.
 Betapapun kelahiran Suwardi Suryaningrat 
membahagiakan K.P.A. Suryaningrat yang mengharapkan 
anak laki-laki, akan namun  berat badannya kurang dari 3 Kg, 
badannya kurus, perutnya buncit, suaranya terlalu lembut. 
K.P.A.Suryaningrat yang suka humor dan gemar berkelakar 
segera nama julukan Jemblung kepada puteranya.  Seorang 
santri sahabat K.P.A. Suryaningrat yang memiliki  pesantren 
di daerah Prambanan, Kyai Soleman tidak mau menerima 
begitu saja kelakar K.P.A. Suryaningrat. Ia menuntut haknya 
sebagai sahabat untuk ikut memberikan nama julukan kepada 
bayi Suwardi Suryaningrat. K.P.A. Suryaningrat setuju, maka 
Kyai Soleman memberi  nama tambahan Trunogati. Kyai 
Soleman merasa mendapat firasat, dari tangis bayi yang lembut
itu, suaranya kelak akan didengar orang di seluruh negeri. 
Perutnya yang jemblung (buncit) itu memberi firasat bayi itu
kelak akan menelan dan mencerna ilmu yang banyak,  sesudah 
memasuki masa dewasa ia akan menjadi seorang pemuda yang 
penting (Truno = pemuda; gati, wigati = penting, berarti).  Oleh 
K.P.A. Suryaningrat kemudian disempurnakan nama julukan  
itu menjadi Jemblung Joyo Trunogati. Di kalangan keluarga 
terdekatnya (ayah, Ibu, kakak dan Pengasuhnya)  memanggil 
Suwardi Suryaningrat dengan julukan Denmas Jemblung.
C. Masa Sekolah
 Sebagai keluarga bangsawan Suwardi Suryaningrat 
mendapat kesempatan belajar di Europeesche Lagere School  
(ELS) atau Sekolah Dasar Belanda 7 tahun di kampung 
Bintaran Yogyakarta, yang tidak jauh dari tempat kediamannya.  
Sesudah tamat Sekolah Dasar (1904), Surwardi Suryaningrat 
masuk Kweekschool  (Sekolah Guru) di Yogyakarta. Tidak 
lama kemudian datang dr. Wahidin Sudiro Husodo di Puro 
Pakualaman, beliau  menanyakan siapa di antara putera-putera 
yang mau masuk STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische 
Artsen ) - Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, mendapat bea siswa. 
Suwardi Suryaningrat menerima tawaran itu dan menjadi 
mahasiswa  STOVIA (1905-1910). Namun karena sakit selama 
4 bulan, Suwardi Suryaningrat tidak naik kelas dan beasiswanya 
dicabut. Namun ada sinyalemen, alasan sakit sesungguhnya 
bukan satu-satunya sebab dicabutnya beasiswa, namun  ada 
alasan politis dibalik itu. Pencabutan beasiswa dilakukan 
beberapa hari sesudah Suwardi Suryaningrat mendeklamasikan 
sebuah sajak dalam suatu pertemuan. Sajak itu menggambarkan 
keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang Panglima 
Perang P.Diponegoro. Sajak itu digubah oleh Multatuli dalam 
Bahasa Belanda yang sangat indah, dibawakan oleh Suwardi 
Suryaningrat dengan penghayatan penuh penjiwaan. Pagi 
harinya, sesudah pembacaan sajak itu, Suwardi Suryaningrat 
dipanggil Direktur STOVIA dan dimarahi habis-habisan. Beliau 
dituduh telah membangkitkan semangat memberontak terhadap 
Pemerintah Hindia Belanda. 
Tidak ada penyesalan bagi Suwardi Suryaningrat karena 
gagal menjadi dokter. Lapangan berjuang untuk rakyat bukan 
hanya sebagai dokter. Bidang jurnalistik, politik, dan pendidikan 
memberi peluang pula untuk berjuang. Dari Direktur STOVIA, 
Suwardi Suryaningrat mendapat Surat Keterangan Istimewa 
atas kepandaiannya berbahasa Belanda. Oleh karena itu, meski 
dikeluarkan dari STOVIA bernuansa hukuman, dengan senang 
hati dan penuh kebanggaan Suwardi Suryaningrat menerimanya 
sebagai konsekuensi dari sebuah perjuangan. Dengan penuh 
haru namun  membanggakan, teman-temannya seperti dr. Cipto 
Mangunkusumo, Sutomo, Suradji Tirtonegoro melepas Suwardi 
Suryaningrat meninggakan bangku STOVIA.
D. Sebagai Jurnalis dan Politikus
 Walaupun tidak dapat menyelesaikan studinya di 
STOVIA, namun  beliau memperoleh banyak pengalaman baru. 
Pada waktu persiapan  mendirikan Budi Utomo,  Suwardi 
Suryaningrat berkenalan dengan Dr. Ernest Francois Eugene 
(E.F.E.) Douwes Dekker. sesudah Budi Utomo didirikan pada 
tanggal 20 Mei 1908, beliau ikut aktif dalam organisasi ini  
dan mendapat tugas bagian propaganda. 
Sesudah meninggalkan STOVIA, Suwardi Suryaningrat 
belajar sebagai analis pada laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, 
Banyumas. sesudah satu tahun beliau keluar karena dicabut 
kesempatan belajarnya secara cuma-cuma.  Kemudan menjadi 
pembantu apotiker di Apotik Rathkamp, Malioboro Yogyakarta 
(1911), sambil menjadi jurnalis (wartawan) pada Surat 
Kabar“Sedyotomo”(Bahasa Jawa) dan “Midden Java” (Bahasa 
Belanda) di Yogyakarta dan “De Express  ” di Bandung.
Pada Th. 1912 Suwardi Suryaningrat dipanggil Dr. E.F.E. 
Douwes Dekker  ke Bandung untuk bersama-sama mengasuh 
Suratkabar Harian “De Express  ”. Tulisan pertama beliau 
berjudul“Kemerdekaan Indonesia ”. Di samping itu Suwardi 
Suryaningrat menjadi Anggota Redaksi Harian “Kaoem Muda ” 
Bandung, “Oetoesan Hindia” Surabaya, “ Tjahaja Timoer ” 
Malang. Suwardi Suryaningrat menerima tawaran dari HOS. 
Tjokroaminoto mendirikan Cabang “Serikat Islam ” di Bandung 
dan sekaligus  menjadi Ketuanya (1912).
Pada  6 September 1912 Suwardi Suryaningrat masuk 
menjadi Anggota “Indische Partij”bersama Dr. E.F.E. Douwes 
Dekker dan  dr. Cipto Mangunkusumo. Indische “Partij” adalah 
Partai Politik pertama yang berani mencantumkan tujuan ke 
arah “Indonesia Merdeka ”. Selanjutnya pada  Juli 1913 Suwardi 
Suryaningrat bersama dr. Cipto Mangunkusumo di Bandung 
mendirikan “Comite Tot Herdenking van Nederlandsch 
Honderdjarige Vrijheid”, dalam bahasa Indonesia disingkat 
Komite Bumi Putera, yaitu Panitia untuk memperingati 100 
tahun Kemerdekaan Nederland. Komite tsb. untuk memprotes 
akan adanya  peringatan 100 tahun Kemerdekaan Nederland 
dari penjajahan Perancis yang akan diadakan pada 15 Nopember 
1913. Satu keganjilan dan satu penghinan yang tak ada taranya 
sikap Pemerintah Hindia Belanda itu, berpesta merayakan 
kemerdekaan bangsanya di tengah-tengah bangsa yang dijajahnya 
dan  menyuruh rakyat jajahannya untuk membiayainya.  Komite 
Bumi Putera  juga menuntut agar Pemerintah Hindia Belanda 
menyelenggarakan Parlemen (DPR) di Indonesia. 
Protes tsb. diwujudkan oleh  Suwardi Suryaningrat 
dengan menulis risalah berjudul “Als ik eens Nederlander was” 
(Andai aku seorang Belanda), dan dr. Cipto Mangunkusumo 
berjudul “Kracht of Vrees?” (Kekuatan atau Ketakutan?). 
Untuk kedua kalinya Suwardi Suryaningrat menulis “Een 
voor Allen, maar ook Allen voor Een” (Satu buat semua, namun  
juga semua buat satu). Kemudian Dr. E.F.E.Douwes Dekker 
yang baru pulang dari luar negeri memuji tindakan-tindakan 
Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo dengan 
menulis “Onze Helden, Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M. 
Soewardi Soerjaningrat.”(Pahlawan-pahlawan kita, Tjipto 
Mangunkusumo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat). 
Puncak karir Suwardi Suryaningrat sebagai wartawan 
pejuang ialah tatkala beliau menulis “Als ik eens Nederlander 
was”. Risalah yang diterbitkan pada Juli 1913 itu merupakan 
risalah yang terkenal, karena berisi sindiran yang tajam sekali 
bagi Pemerintah Hinda Belanda. Risalah yang dicetak 5.000 
eksemplar itu untuk memprotes kebijakan Pemerintah Kolonial 
Hinda Belanda yang akan merayakan kemerdekaan negeri 
Belanda dari Penjajahan Perancis.
Karena tulis-tulisan  yang sangat pedas itu, Tiga Serangkai 
: Suwardi Suryaningrat, dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. E.F.E. 
Douwes Dekker ditangkap dan ditahan dalam penjara. Pada 18 
Agustus 1913 keluarlah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda 
N0. 2a,  Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka, dr. Cipto 
Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker 
ke Timor Kupang. Namun atas kesepakatan mereka bertiga 
meminta supaya dibuang ke Nederland, dan permitaan mereka 
dikabulkan. Suwardi Suryaningrat ditawari dan dinasehati oleh 
Mr. Van Deventer agar bersedia menjadi Guru Pemerintah 
Hindia Belanda di Bangka sehingga  bebas dari hukuman 
pembuangan, namun  ditolaknya, walaupun Dr. E.F.E. Douwes 
Dekker menyetujuinya.
Ada satu hal yang menarik, saat sidang pengadilan  dan 
vonis dijatuhkan, K.P.A. Suryaningrat hadir. Begitu sidang ditutup, 
Suwardi Suryaningrat langsung menghampiri ayahandanya. 
Sesaat kemudian K.P.A.. Suryaningrat mengulurkaan tangannya 
seraya berkata “Aku bangga atas perjuangannya. Terimalah 
doa dan restu Bapak. Ingat, seorang ksatria tidak akan menjilat 
ludahnya kembali”.
Pada malam perpisahan dengan keluarga K.P.A. 
Suryaningrat di Yogyakarta diadakan selamatan dengan menggelar 
pentas wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “Dewa 
Mambang”, yang secara Implisit menggambarkan perjuangan 
Suwardi Suryaningrat mengangkat harkat dan martabat bangsanya. 
R.M. Suwardi Suryaningrat  dan R.Ay. Sutartinah 
Sasraningrat, pasangan temanten baru yang belum genap dua 
mingggu dinikahkan, berangkat ke Belanda pada 6 September 
1913. Bersamaan itu berangkat juga Dr. E.F.E. Douwes Dekker 
dan dr. Cipto Mangunkusoumo. saat  singgah di Teluk 
Benggala pada 14 September 1913, di atas Kapal Bungalow, 
Suwardi Suryaningrat menulis surat kepada kawan-kawan 
seperjuangannya di Tanah Air yang isinya agar sekuat tenaga 
mencegah jangan sampai terjadi  perayaan kemerdekaan Belanda 
terjadi di Indonesia.
Dalam pembuangan di negeri Belanda Suwardi 
Suryaningrat beserta keluarganya hidup serba kekurangan. 
Bantuan didapat dari dana yang dikumpulkan oleh para pengurus 
Indische Partij yaitu “TADO ( Tot Aan De Onafhankelijkheid ) 
Fonds”.  Penghasilannya dibantu profesi sebagai jurnalis dalam 
harian “Het Volk”, Redaktur “Hindia Poetera ”, majalah “Indische 
Vereeniging ”, mingguan “De Indier”, majalah “Indische 
Partij”, majalah “Het Indonesisch Verbond van Studeerenden ”. 
Atas anjuran perkumpulan “ Algemeen Nederlandsch Verbond”, 
“Oost en West” dan “Sociaal Democraties Arbeiders Part y”,  
Suwardi Suryaningrat berkeliling memberi ceramah dan 
penerangan dengan film. Beliau menerangkan keadaan yang
nyata mengenai Indonesia dan keinginan rakyat, melawan 
cerita-cerita bohong yang disebarkan oleh Pemerintah Belanda 
tentang keadaan Indonesia. 
Selama dalam pembuangan Suwardi Suryaningrat 
memperdalam Ilmu Pendidikan dengan mengikuti kursus-kursus 
tertulis dan kursus-kursus malam  hingga berhasil meraih Akte 
Guru Eropa dalam pendidikan Paedagogie  pada 12 Juni 1915. 
Sedangkan R.A. Sutartinah mengajar di Frobel School  yaitu 
Taman Kakan-Kanak di Weimaar, Den Haag. Kegiatan di bidang 
seni budaya, Suwardi Suryaningrat menyalin gending “Kinanti 
Sandoeng” ciptaan Mangkunegara IV dalam notasi balok. 
Tembang itu dipergelarkan pertama kali di depan perkumpulan 
mahasiswa di Den Haag pada 30 Agustus 1916, dinyanyikan 
oleh N. Roelofswaard dengan iringan Piano C. Kleute. Keduanya 
adalah mahasiswi Koninklyke Conservatorium.
Sesuai dengan tujuan semula, Suwardi Suryaningrat, dr. 
Cipto Mangunkusumo, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker minta 
dibuang ke negeri Belanda karena ingin melanjutkan perjuangan 
di negeri Belanda. Surat-surat kabar Belanda yang bersikap 
sangat bersahabat  dengan Tiga Serangkai yaitu “Het Volk ” dan 
“De Nieuwe Grone Amsterdamer ” memberi kesempatan kepada 
Tiga Serangkai untuk menulis dan menyalurkan pikiran-pikiran 
tentang cita-cita perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia. 
Berkat pengaruh Tiga Serangkai, maka penghimpunan para 
mahasiswa Indonesia di negeri Belanda  yang tergabung 
dalam “Indische Vereeniging” semakin menonjolkan semangat 
kebangsaan dan semangat kemerdekaan, dan berani  mengubah  
namanya menjadi “Perhimpunan Indonesia”.
Suwardi Suryaningrat berkecimpung dalam pers 
pergerakan yang menjadikan kesadaran berpolitiknya 
berkembang. Dunia jurnalistik yang ditekuni Suwardi 
Suryaningrat telah membawanya ke ranah pergaulan yang 
lebih luas dan progresif.  Beliau mendapatkan kesempatan 
mengutarakan berbagai pemikiran dan persoalan yang dihadapi 
bangsanya. Tulisan-tulisan di berbagai surat kabar, majalah, dan 
brosur menjadi suluh bagi bangsanya yang sedang dirundung 
kegelapan.
Dari Tiga Serangkai yang diasingkan di negeri Belanda 
tsb., dr. Cipto Mangunkusumo diizinkan pulang kembali ke 
Indonesia karena sakit  pada tahun 1914 dan  Dr. E.F.E. Douwes 
Dekker pada tahun 1918. Sedangkan Suwardi Suryaningrat baru 
pulang ke Indonesia pada tahun 1919. Sebenarnya Suwardi 
Suryaningrat sudah dibebaskan pada 17  Agustus 1917 oleh 
Pemerintah Hinda Belanda. Namun beliau  belum bisa kembali 
ke tanah air, karena di Eropa sedang berkecamuk Perang Dunia 
I. Di samping itu, belum cukup dana untuk pulang ke tanah air. 
Para simpatisan kulit putih Mr. Van Deventer mengumpulkan 
dana kepulangan kel.Suwardi Suryaningrat, namun dengan 
sopan ditolak.
Hukuman pengasingan, bagi Suwardi Suwardi 
Suryaningrat dipergunakan untuk terus mengobarkan semangat 
perjuangan, yaitu :
Menulis “Terug naar het front ” (Kembali ke 
medan perjuangan) dalam “Het Volk ” dan “De Groene 
Amsterdammer ”(15 September 1917). 
Aktif memimpin pertunjukan kesenian  dalam  Peringatan 
HUT ke-10 Budi Utomo di Nederland pada 20 Mei 1918, dan 
istri beliau menari sebagai Pergiwa, serta menerbitkan buku 
kenang-kenangan “Sumbangsih” bersama Drs. Sosrokartono 
dan RM. Notosuroto.
Mendirikan Kantor Berita “ Indonesisch Persbureau ” 
(IPB) yang merupakan badan pemusatan penerangan dan 
propaganda pergerakan nasional Indonesia  di Den Haag 
(September 1918). Hal tsb. baru  untuk pertama kalinya  
nama “Indonesia” dipakai di suratkabar  negeri Belanda. IPB 
digunakan Suwardi Suryaningkat untuk berkorespondesi 
dengan suratkabar di Indonesia. IPB melakukan perlawanan 
melalui berbagai tulisan terhadap rencana Pemerintah Kolonial 
Belanda membentuk “Koloniale Raad”. Gerakaan IPB 
mencermikan keberanian Suwardi Suryaningrat di samping 
ketajaman pemikiran dan kejeliannya melihat kekuatan media 
maRM Soewardi Soerjaningrat  a sebagai pembentuk opini publik. Langkah-langkah yang 
digunakan IPB menunjukkan kemampuan dan kepandaian 
Suwardi Suryaningrat menggunakan tidak hanya satu alat 
perjuangan, media maRM Soewardi Soerjaningrat  a merupakan alat perjuangan di bidang 
politik.
Belajar seni drama dari Herman Kloppers sekaligus 
memperdalam kepiawaiannya dalam seni budaya.
Pada  26 Juli 1919  Suwardi Suryaningrat bersama 
isteri  dan kedua puteranya yang lahir di negeri Belanda, yaitu:  
Niken Pandasari Sutapi Asti ( 29 Agustus 1915) dan Subroto 
Aryo Mataram (5 Juni 1917), kembali ke tanah air dan sampai 
di Jakarta 6 September 1919. Kemudian beliau ke Bandung 
menghadap Pengurus Besar “Nationaal Indische Partij” (NIP). 
Suwardi Suryaningrat kembali menjabat Sekjen Pengurus Besar 
NIP,  sambil memimpin majalah “De Beweging”, “Persatuan 
Hindia”, “ De Express  ” dan “Panggugah”. 
Suwardi Suryaningrat menjadi jurnalis pertama Indonesia 
yang terkena ranjau “delict pers” atas pidato dan tulisannya yang 
pedas dengan hukuman penjara di Semarang pada 5 Agustus 
1920. Suwardi Suryaningrat terkena delik pers yang kedua 
kalinya pada November 1920. Ia dituduh menghina Sri Baginda 
Ratu Wilhelmina, Badan Pengadilan, dan Pangreh Praja, dan 
menghasut untuk meroobohkan Pemerintah Hindia Belanda. 
Sesudah keluar dari penjara, tidak lama kemudian beliau masuk 
penjara lagi terkena “delict pidato”, dijatuhi hukuman 3 bulan 
dipenjara di Mlaten Semarang, kemudian dipindahkan ke 
Pekalongan. Walaupun menurut peraturan Pemerintah Hindia 
Belanda seseorang keturunan bangsawan seharusnya dibedakan 
penjaranya dengan hukuman biasa, namun Suwardi Suryaningrat 
disatukan dengan narapidana lainnya. sesudah dibebaskan, 
Suwardi Suryaningrat kembali menetap di Yogyakarta.
Pengetahuan dan pemahaman sejarah sosial pendidikan 
yang memberi pencerahan dan pemikiran Suwardi Suryaningrat, 
jusru saat  beliau menjalani masa pembuangan di negeri 
Belanda. Di sanalah beliau banyak mempelajari masalah 
pendidikan dan pengajaran dari MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori,  Dalton, Frobel, 
pesantren, asrama dll. Pergulatan pemikirannya tentang 
pendidikan di negeri Belanda, membuat Suwardi Suryaningrat 
pada serangkaian realitas tentang sistem pendidikan yang masih 
dipertahankan para kyai dengan pondok pesantrennya.
E. Mendirikan Perguruan Tamansiswa
Awal berdirinya Perguruan Tamansiswa tidak lepas dari 
peran R.Ay. Sutartinah. Pada Agustus 1920 Suwardi Suryaningrat 
yang sedang menjalani hukuman penjara di Pekalongan 
diizinkan menjenguk isterinya yang sakit pendarahan berat 
karena melahirkan putera ketiga. R.Ay. Sutartinah mengingatkan 
atas gagasan Suwardi Suryaningrat yang pernah disampaikan 
kepada K.H. Ahmad Dahlan di Semarang (1919), bahwa harus 
ada suatu Perguruan Nasional yang mendidik kader-kader 
perjuangan untuk menentang penjajah. saat  mendengar kata-
kata isteri beliau, seolah-olah Suwardi Suryaningrat mendapat 
ilham (“wisik”) kemudian dengan penuh semangat teringat 
gagasannya dan mulai detik itu beliau berniat sungguh-sungguh 
akan mendirikan Perguruan Nasional, jika telah bebas dari 
hukuman penjara. Ayah Suwardi Suryaningrat menyetujui dan 
sebagai saksi atas ikrar tsb.,  K.P.A. Suryaningrat  memberikan 
tambahan nama “Tarbiah”  kepada putera ketiga Suwardi 
Suryaningrat sehingga bernama Ratih Tarbiah yang lahir pada 
22 Agustus 1920.
Pengalaman Suwardi Suryaningrat di lapangan perjuangan 
politik, dengan melalui berbagai rintangan, pembuangan, dan 
penjara dengan segala hasilnya, menimbulkan pemikiran baru 
untuk mencari cara dan jalan menuju Kemerdekaan Indonesia.  
Suwardi Suryaningrat menginsyafi bahwa perjuangan
kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa 
nasional dari bangsanya, maka diperlukan penanaman jiwa 
merdeka dimulai sejak anak-anak.
Selanjutnya pada tahun 1921 – 1922 Suwardi 
Suryaningrat aktif dalam perkumpulan “Selasa Kliwonan ” yang 
beranggotakan tokoh-tokoh politik, kebudayaan, dan kebatinan, 
yaitu : R.M. Sutatmo Suryokusumo (seorang tokoh Budi Utomo 
yang progresif), Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki 
Prawirowiworo, RM. Gondoatmojo, B.R.M. Subono, R.M.H. 
Suryo Putro (paman Suwardi Suryaningrat), dan Ki Ageng 
Suryomataram. 
Sarasehan tsb. membahas kehidupan dan nasib bangsa 
Indonesia yang sengsara dan penuh penderitaan, dengan 
mencari jalan untuk menegakkan dan membina kepribadian 
bangsanya. Hasil analisisnya bercita-cita : “Memayu hayuning 
sariro, memayu hayuning bangsa”, dan “memayu hayuning 
bawono ”(membahagiakan diri, bangsa, dan dunia). Cita-cita tsb. 
tidak cukup hanya dicapai melalui pergerakan politik saja, namun  
harus dicapai dengan pendidikan rakyat serta memperbaiki 
jiwa dan mental bangsa.  Akhirnya Sarasehan Slasa Kliwonan 
memutuskan: Ki Ageng Suryomataram bertugas menangani 
mendidik orangtua, dengan Ilmu Jiwa  “Kawruh Begja” yang 
kemudian berkembang menjadi “Kawruh Jiwa ”.  Sedangkan 
Suwardi Suryaningrat dengan beberapa kawannya : R.M.  
Sutatmo Suryokusumo, Ki Pronowidigdo, R.M.H. Suryo Putro, 
Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Cokrodirjo, dan BRM. Subono serta 
R.Ay. Sutartinah  diserahi tugas menangani pendidikan anak-
anak.
Dengan pengalamannya bekerja sebagai guru di Perguruan 
“Adhidarma” milik kakanya RM. Suryapranoto, akhirnya pada 
Senin Kliwon, 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat dkk mendirikan 
“Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” di jl. Tanjung, 
Pakualaman, Yogyakarta,  membuka bagian Taman Anak atau 
Taman Lare, yaitu satuan pendidikan setingkat Taman Kanak-
Kanak (Taman Indria). Kemudian pada 7 Juli 1924 mendirikan 
“Mulo  Kweekshool” setingkat SMP dengan pendidikan guru (4 
tahun sesudah pendidikan dasar). Pada tahun 1928 tamatan Mulo 
Kweekshool dapat masuk AMS (Algemene Middelbare School) 
setingkat SMA Negeri hampir 70%. Dengan kesuksesannya itu 
bangsa Indonesia tergugah semangat dan makin tebal rasa harga 
dirinya.
Lahirnya Perguruan Nasional Tamansiswa mendapat 
sambutan luar biasa dari segala lapisan warga . sesudah 
ditangani oleh pengurus yang bersifat kolektif kolegial yang 
disebut “Instituutraad” diperluas menjadi “Hoofdraad” (nama 
sekarang Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa), dan  ditegaskan 
bahwa Perguruan Nasional Tamansiswa merupakan “badan 
wakaf merdeka”. Ratusan Perguruan Tamansiswa tumbuh 
di mana-mana dijiwai oleh semangat cinta tanah air. Suwardi 
Suryaningrat  dengan Tamansiswanya terkenal di mana-mana. 
Sang Pujangga Rabindranath Tagore dari Shanti Niketan, Bolpur 
India, dengan rombongan yang dipimpin Prof. Dr. Chatterjee 
dalam kunjungan ke Indonesia memerlukan datang di Yogyakarta 
untuk mengunjungi Perguruan Tamansiswa (Agustus 1927). 
Demikian pula Prof. Dr. R. Bunche (USA), seorang pelopor 
dalam memperjuangkan persamaan hak menikmati pendidikan 
bagi orang-orang Negro, tertarik untuk mempelajari gerakan 
Tamansiswa dalam memperjuangkan hak rakyat Indonesia untuk 
menikmati pendidikan bagi rakyat Indonesia (Tahun 1939).
Pada  3 Februari 1928  Suwardi Suryaningrat  genap 
berusia 40 tahun menurut tarikh Jawa (5 windu) dan berganti 
nama Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, 
Hadjar  : pendidik; Dewan : Utusan; tara : tak tertandingi. 
Jadi maknanya: Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik 
utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme. 
Pergantian nama tsb. merupakan sublimasi misi hidup dari 
“Satriyo Pinandhito” menjadi “Pandhito Sinatriyo” (Satriyo 
yang sekaligus bersikap laku Pandhito–Pendidik, kemudian 
meningkat menjadi Pandhito-Pendidik yang secara simultan 
berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran= misi 
utama Satriyo). 
Tamansiswa sebagai salah satu lembaga pendidikan yang 
didirikan Ki Hadjar Dewantara telah berhasil meletakkan dasar-
dasar pendidikan yang memerdekakan sekaligus meletakkan 
dasar-dasar bagi sistem pendidikan nasional. Kehadiran Ki 
Hadjar Dewantara dalam membangun Tamansiswa memiliki 
spektrum sejarah nasional, yang tak luput dari stretegi kebudayaan 
yang digelutinya. Beliau menjadikan Trikon (Kontinyu, 
konvergen, konsentris) dalam proses kebudayaannya. Kontinyu 
: berkesinambungan dengan masa lalu, Konvengen : bertemu 
secara terbuka dengan perkembangan alam dan zaman. Dan 
Konsentris : menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan, dunia.
Ki Hadjar Dewantara memang tidak pernah ragu 
menetapkan sistem dan model pendididkannya berbasis pada 
kebudayaan lokal-nasional. Beliau hendak mengangkat  model 
pendidikan pribumi untuk menghadapi sistem pendidikan 
kolonial,  selanjutnya digerakkan secara serentak untuk mencapai 
kemerdekaan nasional.
Ada empat strategi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, 
Pertama : pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong 
siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri; kedua  : 
membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun tetap 
membuka diri terhadap perkembangan internasional; ketiga  : 
membangun pribadi siswa  agar berjiwa pionir- pelopor;  dan 
keempat : mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat 
yang menjadi Korat Alamnya masing-masing siswa. 
Selama 37 tahun Ki Hadjar Dewantara memimpin dan 
mengasuh Perguruan Tamansiswa yang tersebar di seluruh 
Indonesia. Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 
1959 di Padepokan Ki Hadjar Dewantara dan disemayamkan 
di Pendapa Agung Tamansiswa Yogyakarta. Jenazah Ki Hadjar 
Dewantara  dimakamkan pada tanggal 29 April 1959 secara 
militer dengan Inspektur Upacara Kolonel Soeharto di makam 
Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta. 
Ki Hadjar Dewantara meninggalkan seorang isteri Nyi 
Hadjar Dewantara dan 6 orang anak: Ni Niken Wandansari 
Sutapi Asti, Ki Subroto Aryo Mataram (Brigjend. TNI), Nyi 
Ratih Tarbiyah, Ki Sudiro Ali Murtolo (lahir 9 Agustus 1925), 
Ki Bambang Sokawati (lahir 9 Maret 1930) dan Ki Syailendra 
Wijaya (lahir 28 September 1932).
 Semua benda bersejarah, buku, surat, penghargaan, dan 
barang-barang perabot rumah tangga peninggalan Ki Hadjar 
Dewantara kini tersimpan di Museum “Dewantara Kirti Griya” 
Jl. Tamansiswa No. 25 Yogyakarta.
F. Perjuangan, Jasa, dan Penghargaan
Di bidang pendidikan, prasaran Ki Hadjar Dewantara 
tentang  Pendidikan Nasional dan penyelenggaraan/pembinaan 
perguruan nasional diterima oleh Kongres Perkumpulan Partai-
partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) di Surabaya. 
Dalam kongres yang berlangsung 31 Agustus 1928  tsb., beliau 
mengemukakan perlunya pengajaran nasional sebelum bangsa 
Indonesia memiliki  Pemerintahan Nasional sendiri.
Di bidang pers, bagi Ki Hadjar Dewantara majalah atau 
surat kabar merupakan wahana yang sangat penting bagi suatu 
lembaga untuk menyebarkan cita-citanya kepada warga . 
Oleh karena itu, beliau menerbitkan brosur dan majalah. 
Majalah “Wasita ” (tahun 1928-1931),selanjutnya menerbitkan 
majalah “Pusara” (1931 ).  Di samping kedua majalah tsb., Ki 
Hadjar Dewantara juga menerbitkan Majalah “Keluarga ” dan 
“Keluarga Putera” (1936). 
Sedangkan di bidang kesenian, Ki Hadjar Dewantara 
mengarang buku methode/notasi  nyanyian  daerah Jawa “Sari 
Swara”, diterbitkan tahun 1930 oleh JB. Wolters. Dari buku 
tsb. Ki Hadjar Dewantara menerima royalty, untuk membeli 
mobil Sedan Chevrolet. Sebelumnya, beliau pada tahun 
1926 menciptakan lagu/gendhing Asmaradana “Wasita Rini” 
diperuntukan bagi para anggota Wanita Tamansiswa.
saat  seluruh pergerakan nasional makin hidup dan 
kuat, maka Pemerintah Hindia Belanda bertindak waspada.  
Tindakan itu diarahkan kepada pergerakan sosial, terutama 
bidang pendidikan, maka dibuatlah Undang-Undang “Ordonansi 
Sekolah Liar”  atau “Onderwijs Ordonantie ” disingkat OO 1932, 
dimuat dalam Staatblad 1932 No. 494 yang diumumkan berlaku 
pada 1 Oktober 1932. 
Sikap Ki Hadjar Dewantara terhadap diberlakukannya OO 
1932 tsb, beliau langsung mengirim telegram kepada Gubernur 
Jenderal di Bogor yang isinya menentang OO 1932.  Ki Hadjar 
Dewantara menyatakan akan melawan terus dengan“lijdelijk 
verzet ”, “paRM Soewardi Soerjaningrat  ive resistance”, “non-violence”, dan “ahimsa”. 
Perlawanan Ki Hadjar Dewantara bersama Tamansiswa 
menghadapi OO 1932 mendapat sambutan yang amat besar 
dari kalangan warga  luas. Seluruh pergerakan rakyat baik 
yang bersifat politik, agama, maupun sosial serta media maRM Soewardi Soerjaningrat  a: 
“Perwata Deli”, “Suara Umum”, “Aksi”, “Suara Surabaia”, 
“Sedyatama”, “Darmokondo”, “Bintang Timur”, “Timbul” dan 
Koran-koran di Sumatera,  semuanya secara serentak mendukung 
perlawanan Ki Hadjar Dewantara, sehingga perlawanan tsb. 
menjadi aksi maRM Soewardi Soerjaningrat  a. Akhirnya  OO 1932  ditunda untuk satu 
tahun lamanya dan menghidupkan lagi Ordonansi lama Tahun 
1923/1925. Penetapan penundaan OO 1932 itu telah disahkan 
dalam Staatsblad  No.66 tanggal 21 Februari 1933. 
Usaha Pemerintah Hindia Belanda menindas Tamansiswa 
berjalan terus. Pada tahun 1935  pegawai negeri ditakut-takuti 
jika memasukkan anaknya sekolah di Tamansiswa. “Vrijbijljet ” 
(Kartu Percuma) anak pegawai Kereta Api  yang menjadi 
murid Tamansiswa dicabut. “Kindertoelage ” (Tunjangan anak) 
pegawai negeri dicabut jika terus menyekolahkan anaknya di 
Tamansiswa, disusul “Loon Belasting ” (pajak upah). Namun 
Tamansiswa  menolak dan tidak mau membayar, karena sistem 
hidup keluarga Tamansiswa tidak mengenal hubungan majikan 
dan buruh, Tidak mengenal upah namun   “nafkah”. sesudah lima 
tahun terus-menerus Tamansiswa di bawah pimpinan Ki Hadjar 
Dewantara melawannya, akhirnya pajak upah dibebaskan pada 
15 JUli 1940, Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengakui 
aturan hidup kekeluargaan Tamansiswa.
Perjuangan dan peran Ki Hadjar Dewantara pada masa  
Pemerintahan Balatentara Jepang sampai dengan Pemerintah 
RI, berturut-turut sebagai :
 . Anggota “Empat Serangkai” bersama Bung Karno, Bung 
Hatta, dan K.H. Mas Mansyoer, mendirikan dan memimpin  
“Pusat Tenaga Rakyat” (Oktober 1942).
 . Anggota “Tjuo Sangiin” yaitu Badan Pertimbangan Dai 
Nippon (Oktober 1943) dan sebagai “Kenkoku Gakuin 
Kyozu” (22 April 1944).
 . “Naimubu Bunkyo Kyoku Sanyo (Penasehat Departemen 
Pendidikan Pemerintah Balatentara Jepang)- 1 Desember 
1944.
 . Anggota “Dokuritzu Jumbi Chosakai” atau  “Badan 
Penyelidik Usaha  Persiapan Kemerdekaan Indonesia” 
disingkat BPUPKI,  kemudian menjelma menjadi “”Panitia 
Persiapan Kemerdekaan Indonesia” disingkat PPKI (29 April 
1945) dan “Naimubu Bunkyu Kyokucho (15 Juli 1945).
 . Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 
Kabinet RI yang pertama (19 Agustus – 15 November 1945).
 . Ketua Panitia Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI 
(15 Februari 1946)
 . Ketua Panitia Pembantu Pembentukan Undang-Undang 
Pokok Pendidikan (1946)
 . Mahaguru Sekolah Polisi RI, Mertoyudan, Magelang (1 
Agustus 1946)
 . Dosen Akademi Pertanian Yogyakarta (1 Februari 1947)
 . Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (23 Maret 1947)
 . Anggota Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di 
Sekolah Rakyat Negeri Yogyakarta  (10 April 1947)
 . Anggota Dewan Kurator Akademi Pertanaian/Kehutanan RI 
(27 Maret 1948)
 . Pencetus dan Ketua Panitia Pusat Peringatan 40 Tahun Hari 
Kebangunan Nasional di Yogyakarta (20 Mei 1948).
 . Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI  (6 Juni 1949)
 . Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI (1 Juli 1949)
 . Ketua Panitia Asahan – Selatan dan labuhan Ratu (21 
November 1949)
 . Anggota Panitia Perencana Lambang Negara RIS (16 
Januari 1950).
 . Anggota Badan Pertimbangan RI (6 November 1951)
 . Anggota DPR RIS – DPRS RI  (17 Agustus 1950 – 1 April 
1954).
 . Anggota Kehormatan Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi 
Ilmu Kepolisian (6 Februari 1957).
 . Ketua Panitia Pusat Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 
di Jakarta (20 Mei 1952).
Menurut Ki Nayono (Ketua Bagian Kekeluargaan 
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa), dalam buku “Mengenal 
Taman Wijaya Brata, Makam Pahlawan Perjuang Bangsa”, ada 
tiga catatan penting dari beliau, yaitu : Pertama  : Atas inisiatif 
Ki Hadjar Dewantara pada 20 Mei 1948 diperingati tanggal lahir 
Boedi Oetomo yang ke-40 untuk pertama kalinya di Ibukota 
Negara Yogyakarta. Selaku Ketua Panitia, Ki Hadjar Dewantara 
menyatakan lahirnya Boedi Oetomo dijadikan Hari Kebangunan 
Nasional, yang oleh Presiden Soekarno istilah Kebangunan 
Nasional diganti menjadi Hari Kebangkitan Nasional. 
Peringatan itu untuk mengingatkan bangsa Indonesia yang mulai 
terpecah belah akibat pertarungan ideologi  dan kepentingan 
pribadi yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa agar 
bersatu kembali. Pada peringatan tsb. ribuan rakyat Yogyakarta 
digerakkan oleh  Ki Hadjar Dewantara  dengan secara simbolik 
“menggempur” Benteng Vredenburg Yogyakarta, kemudian 
dinyatakan  Benteng Kolonial Belanda yang telah dihancurkan 
secara simbolik itu akan dijadikan “Cultuur Centrum ” (pusat 
kegiatan budaya).
Sedangkan yang kedua : Pada masa pendudukan tentara 
Belanda Desember 1948, Ki Hadjar Dewantara menerima 
penyerahan kain Putih sebagian dari lembar Bendera Pusaka 
dari Ibu Fatmawati, isteri Presiden Soekarno, dengan maksud 
agar jangan sampai  Bendera Sang Saka Merah Putih yang 
dikibarkan 17 Agustus 1945 itu dirampas Belanda. Lembar kain 
Merah terpisah disimpan M. Tahar (Pejabat Istana Presiden 
di Gedung Agung Yogyakarta). Akhirnya sesudah Belanda 
ditarik dari Yogyakarta,  Bendera Merah Putih disatukan 
kembali dan dikibarkan pada 17 Agustus 1949. Ketiga : Sehabis 
menutup seminar Pancasila di Universitas Gadjah Mada 
Yogyakarta (Februari 1959) , Presiden Soekarno menjenguk 
Ki Hadjar Dewantara yang sedang sakit. Presiden Soekarno 
menginformasikan kesimpulan seminar Pancasila sangat tepat 
dijadikan Dasar Negara RI dan  UUD 1945 perlu kembali 
dijadikan UUD NKRI. Ki Hadjar Dewantara menyatakan 
membenarkan dan sangat mendukungnya. Tanggapan Ki Hadjar 
Dewantara tsb. menjadi pendorong bagi Presiden Soekarno 
mengeluarkan Dekrit Presiden RI untuk kembali ke UUD 1945 
pada 5 Juli 1959.
Atas jasa-jasa dan perjuangannya, Ki Hadjar Dewantara 
mendapat penghormatan dan  berbagai tanda penghargaan, yaitu: 
1. Tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan Pemerintah RI sebagai 
Perintis Kemerdekaan RI
2. Tanggal 19 Desember 1956 menerima gelar kehormatan 
Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari Rektor 
(Presiden Universitet) UGM Prof. Dr.  Sardjito.
3. Tanggal 26 April 1959Ki Hadjar Dewantara wafat dalam usia 
70 tahun, dimakamkan di makam Wijayabrata Tamansiswa 
Yogyakarta dengan upacara kenegaraan sebagai Perwira  
Tinggi secara Anumerta.
4. Tanggal 18 Mei 1959 diangkat sebagai Anggota Kehormatan 
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat) secara Posthum , 
atas jasanya di bidang jurnalistik.
5. Tanggal 28 Nopember 1959 diangkat sebagai Pahlawan 
Nasional oleh Pemerintah RI.
6. Tanggal 16 Desember 1959 dengan Kepres No.316/1959, 
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara tanggal 2 Mei ditetapkan 
sebagai Hari Pendidikan Nasional.
7. Tanggal 17 Agustus 1960 dianugerahi Bintang Mahaputera 
Kelas I oleh Presiden RI.
8. Tanggal 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya 
Lencana Kemerdekaan RI.
9. Tanggal 27 November 1961 mendapat anugerah Rumah 
Pahlawan dari Pemerintah RI di kompleks Padepokan Ki 
Hadjar Dewantara, Jl. Kusumanegara 157 Yogyakarta.
10. Tanggal 20 Mei 1976 dianugerahi gelar Perintis Pers Nasional 
oleh Dewan Pers
11.Tanggal 6 September 1977 dengan Keputusan Menteri P dan 
K RI  No.0398/M/1977, ditetapkan lambang Departeman P 
dan K di dalamnya ada adagium “Tutwuri Handayani”. 
12.Hari wafat Ki Hadjar Dewantara tanggal 26 April ditetapkan  
menjadi  Hari Bakti Tamansiswa, dan Ki Hadjar Dewantara 
mendapat tanda   penghargaan   Purnasetiawan  Tamansiswa   
dari Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
13.Tanggal 9 Desember 1981  Pinisepuh  Persatuan  Tamansiswa  
Ki  Suryobroto  mengukuhkan nama  Kapal Latih K.R.I.”Ki 
Hadjar Dewantara” No. Lambung 364 di dermaga Cilacap.
14.Sistem Paguron, wawasan kebangsaan dan kebudayaan Ki 
Hadjar Dewantara menjadi acuan dalam penyelenggaraan 
pendidikan di SMA Taman Taruna Magelang, yang didirikan 
atas kerjasama ABRI dengan Tamansiswa (14 Juli 1990)
G. Ajaran:
Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara meliputi bermacam 
ragam, ada yang sifatnya konsepsional, petunjuk operasional-
praktis, dan fatwa atau nasehat.
A. Konsepsi tentang Kepemimpinan:
1. Demokrasi dan Kepemimpinan (Democratie en 
Leinderschap ) : merupakan wujud demokrasi yang 
dilandasi oleh jiwa kekeluargaan, dan sejiwa dengan 
Demokrasi Pancasila.  Demokrasi tsb. memperhatikan 
unsur kemerdekaan yang mengenal batas, yaitu tertib 
damainya kehidupan bersama, dan juga menolak unsur 
kekuasaan mutlak (otoriter). Setiap permasalahan 
diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mendapatkan 
kesepakatan bersama/mufakat.
2. Trilogi Kepemimpinan : Ing ngarsa sung tulada, Ing 
madya mangun karsa, Tutwuri handayani. Trilogi ini 
semula hanya diperuntukkan di kalangan pendidikan, dan 
merupakan perangkat pendidikan dalam melaksanakan 
tugas pendidikan yang berjiwa kekeluargaan. Namun 
dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan telah 
menjadi salah satu model kepemimpinan nasional, 
sebagai sarana mengatur tata kehidupan bersama, baik di 
kalangan Pemerintah, TNI/Plori, maupun sipil.
B. Konsepsi tentang Pendidikan:
1. Tripusat Pendidikan: menegaskan bahwa pendidikan 
yang diterima peserta didik terjadi di tiga lingkungan, 
yaitu : lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan 
lingkungan kewarga an. Ketiga lingkungan hidup 
tsb. memiliki  pengaruh edukatif dalam pembentukan 
kepribadian Sang Anak. 
2. Sistem Among: suatu sistem pendidikan yang berjiwa 
kekeluargaan dan bersendikan  Kodrat Alam dan 
Kemerdekaan. Sistem Among menurut cara berlakunya 
disebut  sistem “Tutwuri Handayani”.
C. Konsepsi tentang Kebudayaan:
1. Pembinaan Kebudayaan Nasional, yang dikenal dengan 
Trikon (kontinuitas, kosentrisitas, dan konvergensi).
2. Perwujudan Kebudayaan Nasional, yang dikenal 
sebagai teori tentang “Sari-sari dan puncak-puncak 
kebudayaan ndaerah sebagai modal utama bagi 
terwujudnya kebudayaan nasional”.
D. Pedoman operasional - praktis:
1. Tri Pantangan: pantang menyalahgunakan kekuasan/
wewenang, pantang menyalah-gunakan keuangan, 
pantang melanggar kesusilaan.
2. Trihayu : memayu hayuning sarira, bangsa, manungsa
3. Trisaksi jiwa : cipta, rasa, karsa
4. Tringa : ngerti, ngrasa, nglakoni
5. Triko : kooperatif, konsultatif, korektif
6. Trijuang : berjuang memberantas kebodohan, 
kemiskinan, ketertinggalan
7. Tri-N: niteni, niroke, nambahi.
E. Fatwa dan Semboyan:
Beberapa semboyan, perlambang, dan fatwa yang 
disampaikan Ki Hadjar Dewantara di antaranya berasal dari 
para Pinisepuh Tamansiswa dan peninggalan para leluhur/
nenek moyang kita, yaitu: 
1. Lawan Sastra Ngesti Mulya (1852 Qaka/1922 
Masehi): Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan. 
Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara dengan 
Tamansiswanya, untuk kemuliaan bangsa dan rakyat. 
Semboyan ini menjelaskan maksud tahun berdirinya 
Perguruan Tamansiswa.
2. Suci Tata Ngesti Tunggal (1854 Qaka/1923 Masehi): 
Dengan kesucian batin dan teraturnya hidup lahir kita 
mengejar kesempurnaan atau Kesucian dan ketertiban 
menuju kesatuan. Ini sebagai janji yang harus dilaksanakan  
oleh setiap pejuang Tamansiswa. Semboyan ini untuk 
mengenang tahun berdirinya Persatuan Tamansiswa.
3. Hak diri untuk menuntut Salam dan Bahagia:
  Setiap orang memiliki  hak  untuk memperoleh 
kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
4. Salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya 
warga :
  Segala kepentingan bersama harus diletakkan diletakkan 
di atas kepentingan pribadi masing-masing. Oleh karena 
itu tak mungkin kita masing-masing  akan hidup selamat 
dan bahagia, apabila warga  terganggu, tidak tertib 
dan damai.
5. Kodrat Alam itulah Penunjuk Untuk Hidup 
Sempurna:
  Jangalah hidup kita bertentangan dengan  Kodrat Alam. 
Petunjuk dalam Kodrat Alam kita jadikan pedoman 
hidup, baik sebagai individu, sebagai bangsa maupun 
anggota dari alam kemanusiaan.
6. Alam hidup manusia adalah alam hidup perbulatan:
  Hidup kita masing-masing ada dalam lingkungan 
berbagai alam khusus, yang saling berhubungan dan 
berpengaruh. Alam khusus : alam diri, alam kebangsaan, 
dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangga, dan 
rasa kemanusiaan senantiasa hidup dalam sanubari kita 
masing-masing.
7.  Kita berhamba kepada Sang Anak:  
  Kita dengan ikhlas hati dan dan bebas dari ikatan apapun, 
mendekati Sang Anak dan mengorbankan diri kepadanya. 
Jangan si murid untuk si guru namun  si guru untuk  si 
murid.
8.  Tetep - Antep -  Mantep:
 Tetep: ketetapan hati, tetap pada pendiriannya tidak 
tergoyahkan oleh pengaruh negatif; Antep : berat, 
berbobot, bermutu; Mantep : mantap, tetap pada 
pilihannya.
9.  Ngandel – Kendel -  Bandel – Kandel :
  Ngandel: percaya, yakin kepada penguasa Tuhan dan 
kekuatan diri; Kendel: berani, menghindarkan rasa 
takut atau wasangka; Bandel: tahan, tawakal, hatinya 
kuat menderita; Kandel atau tebal, meskipun menderita 
namun kuat badan tubuhnya. Empat tabiat ini saling 
berhubungan, barang siapa dapat percaya tentu ia akan 
berani, lalu mudahlah ia akan tawakal dan dengan 
sendirinya ia akan tebal tubuhnya.
10. Neng - Ning -  Nung -  Nang :
  Neng: berarti “meneng”, yakni tenteram batinnya; Ning: 
dari kata “wening” dan “bening”,berarti jernih fikirannya,
yaitu mudah dapat membedakan barang yang “khak” dan 
yang “batal”, yang “benar” dan yang “salah”; Nung: dari 
kata “hanung”,berarti kuat, sentosa dalam kemauannya, 
yaitu kokoh dalam segala kekuatannya, lahir dan batin, 
untuk mencapai apa yang dikehendaki; Nang: dari 
kata “menang” atau dapat “wewenang” atau berhak 
atas buah usahanya. wewenang. Empat tabiat ini saling 
berhubungan, yaitu barang siapa dapat “neng” tentu 
mudahlah ia apat dapat berfikir yang “ning”, lalu menjadi
kuat atau “nung” kemauannya, dan dengan sendirinya ia 
akan mendapat “menang”.
11. Tutwuri Handayani:
  Mengikuti di belakang sambil memberi pengaruh. Jangan 
menarik-narik anak dari depan, biarkanlah mereka 
mencari jalan sendiri. Jika  anak-anak salah jalan, barulah 
pamong memberi pengaruh menuju jalan yang benar. 
Inilah semboyan Sistem Among.
12. Bibit, Bebet, Bobot :
  Dalam mebentuk keluarga yang baik, sejahtera, perlu 
memperhatikan Bibit : benih  yang sehat dan baik; Bebet 
: yang menurunkan asal usul keturunan/ orangtuanya; 
dan Bobot : berat yang dimaksud mutu/kualitas.
13. Senyari Bumi Sedumuk Batuk den Lakoni Taker Pati:
  Dalam perebutan isteri dan tanah orang biasanya 
menyabungkan nyawanya. Maksudnya perebutan “isteri” 
ialah perebutan “keturunan” sedangkan perebutan 
“senyari tanah” ialah perebutan “negara”. 
14. Lebih Baik Mati Terhormat Daripada Hidup Nista:
  Semboyan pada waktu menentang Undang-Undang 
Sekolah Liar tahun 1932.
15. Syari’at tidak dengan Hakikat adalah Kosong;
  Hakikat tidak dengan Syari’at pasti Batal:
  Untuk berhasil tidak cukup memakai laku batin, namun 
harus juga mementingkan laku lahir. Suci batin dan 
tertibnya lahirnya harus berbarengan.
16.Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung:
  Memperteguh kemauan dan tenaga.
17. Dari Natur kearah Kultur :
  Dari kodrat ke arab adab. Itulah asas pendidikan 
Tamansiswa yang bersifat kultural. 

. Setiap orangtua pasti mendambakan anak keturunannya 
serba sempurna. Namun hal tsb. tidak seluruhnya menjadi 
kenyataan. Meskipun bentuk tubuh Ki Hadjar Dewantara 
kecil dan lemah, ayah beliau menerima keadaan itu dengan 
penuh rasa syukur. Kiranya apa yang diprediksi oleh Kyai 
Soleman menjadi kenyataan, Ki Hadjar Dewantara menjadi 
seorang pemberani,  penggembleng jiwa menjadi manusia 
yang beriman dan bertakwa melalui penididikan.
. Di bidang politik, Ki Hadjar Dewantara telah 
mengembangkan visi nasionalisme kerakyatan melalui 
“Nationaal Indische Partij” (NIP). Penjara umumnya adalah 
tempat membuat orang menjadi jera. Demikian pula dengan 
pembuangan/pengasingan dilakukan agar pelaku tidak dapat 
berhubungan dengan komunitasnya, sehingga apa yang 
menjadi tujuannya tidak tercapai. Ternyata asumsi penjara 
dan pembuangan tsb., bagi Ki Hadjar Dewantatara sebagai 
seorang patriot sejati tidak berlaku. Di balik penjara dan 
dari pembuangan/ pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap 
berjuang untuk bangsanya. Dengan melalui sarana pers dan 
politik  Ki Hadjar Dewantara telah membuktikan kualitas 
dan jasanya sebagai perintis perjuangan Kemerdekaan 
Nasional. Itulah yang menjadikannya Ki Hadjar Dewantara 
ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Perintis Kemerdekaan 
RI dan Pahlawan Nasional.
. saat  Suwardi Suryaningrat dibuang ke negeri Belanda 
maupun dipenjara di Semarang dan Pekalongan,  beliau 
adalah wartawan pejuang dan politisi yang berwatak 
pemberani. Sebagai wartawan Suwardi Suryaningrat bukan 
saja pandai dan mahir menggerakkan pena, namun  beliau 
telah memanfaatkan secara optimal media pers sebagai alat 
perjuangan untuk membentuk opini publik guna melawan 
Pemerintah Kolonial Belanda. Gagasan  dan pokok pikiran 
mengenai kemerdekaan bangsa, dan kecaman terhadap 
setiap penindasan dan perkosaan terhadap kemanusiaan, 
bukan hanya dilontarkan lewat pidato-pidato saja, akan 
namun  diimplementasikan melalui ujung pena. Kalaupun 
pers nasional dewasa ini mengokohkan diri sebagai pers 
perjuangan, maka landasan yang dijadikan pangkal tolak itu 
telah diletakan dasar-dasarnya oleh Ki Hadjar Dewantara. 
Itulah kemudian Ki Hadjar Dewantara karena jasanya di 
bidang jurnalistik oleh Persatuan Wartawan Indonesia 
(PWI Pusat) diangkat secara “Anumerta” sebagai Anggota 
Kehormatan PWI dan dianugerahi gelar Perintis Pers 
Nasional oleh Dewan Pers.
. Di bidang pendidikan, Ki  Hadjar Dewantara memberikan 
tawaran alternatif mengenai sistem pendidikan nasional yang 
egaliter dan partisipatoris melalui teknik kepemimpinan dan 
Sistem Among dengan model Pawiyatan atau pondok asrama 
dengan corak nasional, yaitu : Perguruan Tamansiswa. 
Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang 
dilatarbelakangi jiwa kebangsaannya yang sangat kuat, 
dinamis, dan prosepektif serta berakar dari budaya sendiri 
merupakan konsepsi yang tepat bagi bangsa Indonesia. Itulah 
yang kemudian menjadikan Ki Hadjar Dewantara sebagai 
Pelopor Pendidikan Nasional dan hari lahirnya 2 Mei 
ditetapakan oleh Pemerintah sebagai Hari Pendidikan 
Nasional dan “Tutwuri Handayani” dijadikan semboyan 
oleh Departemen/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 
RI. Demikian pula, atas jasanya yang sangat besar di bidang 
kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara  mendapat gelar Doktor 
Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari UGM. 
. Bagi Ki Hadjar Dewantara perjuangan melalui bidang politik 
dinilainya sebagai perjuangan yang belum menyentuh jiwa 
manusia yang paling mendasar. Oleh karena itu Ki Hadjar 
Dewantara melakukan re-orientasi atas perjuangannya. Jiwa 
merdeka tidak mugkin dapat masuk ke hati seseorang apabila 
hanya pidato-pidato politik, akhirnya Ki Hadjar Dewantara 
memilih jalan pendidikan sebagai sarana perjuangan untuk 
menghasilkan manusia baru Indonesia yang sadar akan rasa 
kebangsaan dan memiliki  jiwa merdeka. Benih-benih 
hidup merdeka akan tumbuh subur apabila ditaburkan 
melalui jalan pendidikan. Penanaman jiwa merdeka melalui 
pendidikan, berarti mempersenjatai rakyat melawan 
kolonilisme. Hanya manusia yang berjiwa merdeka lah 
yang sanggup memperjuangan dan mempertahankan 
kemerdekaan Indonesia. Itulah yang mendasari  Ki Hadjar 
Dewantara mendirikan Perguruan Tamansiswa, sebagai 
tempat memelihara, melaksanakan dan mengembangkan 
konsepsi-konsepsi beliau. 
Demikian catatan dan pandangan kami tentang sejarah, 
perjuangan, dan pengabdian Ki Hadjar Dewantara. Beliau 
dimuliakan, dihormati, dan dijunjung tinggi, bukan karena 
keturunan bangsawan dan bukan karena banyak hartanya, namun  
karena amal dan jasanya yang luar biasa bagi sesama, bangsa, 
dan negara. 
    Yogyakarta, 22 Maret 2017

Perjuangan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan 
Indonesia tidak terlepas dari peranan dan kiprah dari Suwardi 
Surjaningrat atau juga lebih dikenal dengan nama Ki Hajar 
Dewantara yang berasal dari lingkungan ningrat Puri 
Pakualaman, Yogyakarta. Perjuangan politiknya mewarnai 
dan menggemparkan perkembangan politik kolonial Hindia 
Belanda dan dianggap berbahaya untuk kelangsungan tatanan 
kolonial sehingga ia bersama kedua teman seperjuangannya 
diasingkan ke Negeri Belanda. Sekembalinya dari pengasingan, 
sikap dan langkah drastis perjuangannya adalah saat  beralih 
ke perjuangan di lapangan pendidikan dengan mendirikan 
perkumpulan dan sekolah Taman Siswa. Berbagai faktor dan 
1. Pengantar diskusi untuk Seminar Ki Hadjar Dewantara di Museum 
Kebangkitan Nasional, Jakarta, 30 Maret 2017.
pemicu  berada di balik perubahan ranah perjuangan itu. Walau 
beralih ranah, ia tetap memegang erat visi dan tujuan yang tidak 
berubah dari sikap dan kiprah perjuangannya semula, yakni 
menggapai kemerdekaan Indonesia, melalui pembangunan dan 
pengembangan pendidikan untuk putera-putera bangsa. Melalui 
gerakan Taman Siswa, sumbangsih perjuangannya tidak hanya 
ikut membentuk corak perjuangan pergerakan kebangsaan 
dan membuka gerbang kemerdekaan Indonesia, melainkan 
juga hingga mewujudkan dan mencapai cita-cita Proklamasi 
Kemerdekaan Indonesia (Kata kunci: Suwardi Suryaningrat, 
pergerakan kebangsaan, kemerdekaan, politik, pendidikan).
Kemunculan kesadaran sosial budaya dan emansipasi 
membawa para elite baru terdidik dalam sistem modernisasi 
kolonial Hindia Belanda sejak awal abad ke-20 ke dalam 
kancah pergerakan dan perjuangan mulai dari ranah politik 
hingga ke pendidikan.  Perubahan zaman yang melanda dalam 
pusaran kebijakan kolonial menimbulkan ketidakseimbangan, 
keguncangan dan peralihan di kalangan elite baru yang berasal 
dari lingkungan pemuka dan petinggi tradisional, yakni lapisan 
priyayi.  Di satu sisi, mereka mulai tercerabut dari akar identitas 
dan budaya primordial, sedangkan di sisi lain, mereka tidak dapat 
melangkah ke gerbang identitas dan budaya modern kolonial. 
Kelompok elite teratas kolonial, seperti kelompok Eropa dan 
Eurasian, tidak menyambut mereka untuk menjadi bagian dalam 
kehidupan sosial budaya yang eksklusif dan penuh keistimewaan 
( priviledges ). Sebagian besar mereka, yang tidak memiliki 
kesempatan untuk menjadi bagian dalam jenjang birokrasi dan 
pemerintahan yang masih bersifat turun temurun, menghadapi 
pilihan yang tidak banyak kecuali menjadi bagian dari kehidupan 
warga  biasa (wong cilik) dalam alam penjajahan. Kesadaran 
yang timbul itu menciptakan solidaritas, keprihatinan, perhatian 
dan rasa kebersamaan dengan warga  kaula yang kemudian 
menjadi semangat dan tema perjuangan mereka  dalam upaya 
menumbangkan sendi-sendi kolonialisme Belanda.
Kebangkitan kesadaran dan emansipasi warga  
jajahan Hindia Belanda tidak terlepas dari geliat dan dinamika 
suatu kelompok lapisan elite yang berusaha memaknai dan 
mengidentifikasi kedudukan dan peranan mereka dalam
perubahan-perubahan yang sedang berlangsung, baik di 
lingkungan sekitar yang kolonialistik maupun pada tataran 
internasional yang dikenal dan dicerna melalui media-media 
yang dapat direngkuh. Gagasan dan ajaran modern globalisme 
yang menggerakkan dan menjadi pendorong untuk berubah, tidak 
hanya datang dari dunia Eropa, melainkan juga dari kawasan 
Asia.  Segera, para elite modern itu, priyayi baru (neopriyayi), 
menjadi pembawa perubahan (agent of change)  yang membawa 
semangat, cita-cita, tujuan dan cara pergerakan yang radikal, 
menantang tatanan dan kebijakan kolonialisme.
Perjuangan politik merupakan ranah pilihan untuk 
mengubah tatanan yang tidak adil ini . Perlawanan tidak 
lagi melalui senjata, melainkan memakai kata dan pena. 
Dalam tahapan perjuangan dan pergerakan itu, identitas dan 
tujuan baru dicapai yaitu, kebangsaan, bangsa, Indonesia dan 
kemerdekaan. Namun, pencapaian itu tidak hanya diperoleh 
melalui perjuangan politik. Sumbangsih yang signifikan dan
relevan juga diberikan oleh perjuangan di bidang pendidikan. 
Kesadaran dan pilihan jalur perjuangan ini tidak terlepas dari 
dinamika dan perkembangan pergerakan nasional dalam konteks 
perubahan global. 
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan 
dalam kehidupan dan kemajuan umat manusia. Kesadaran 
dan kemampuan seseorang untuk mampu melangsungkan 
kehidupannya dan bertahan hidup diperoleh melalui proses 
pendidikan, mulai dari pengetahuan, keterampilan, kepandaian 
hingga kearifan. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran, 
akibat dan pemicu  dalam perubahan sosial.  Pengembangan 
sektor pendidikan merupakan salah satu strategi, cara dan teori 
dalam pembangunan ekonomi yang bertalian dengan faktor 
keunggulan bersaing (competitive advantaves ). 
Dalam perspektif dan pengalaman sejarah Indonesia, 
pendirian dan perkembangan kolonialisme Hindia Belanda tidak 
mengesampingkan ranah pendidikan. sesudah pembentukan 
jenjang, jaringan dan jangkauan kekuasaan pemerintahan atau 
birokratisasi, penyediaan sumber daya manusianya sesudah jajaran 
pemerintahan modern Barat  (Europeesche Besturen)  diambil 
dari warga  setempat melalui penerapan dan pelaksanaan 
pendidikan selaras dengan tuntutan dan kebutuhan kolonialisme 
saat  itu. Kebijakan pendidikan dan pelaksanaannya itu tidak 
hanya mempersiapkan tenaga kerja untuk roda pemerintahan 
( Inlandsche Besturen ), melainkan juga bidang profesi lainnya 
seperti guru, tenaga medis, kerani, pertukangan dan lainnya. 
Bahkan, kebijakan itu menyentuh pula ke ranah pertahanan dan 
keamanan, berupa pendidikan polisi dan tentara. Tampak jelas 
bahwa persoalan pendidikan merupakan bagian dari modernisasi 
dan perubahan yang ditimbulkannya.
Konsepsi dan cakupan pendidikan tidak hanya terbatas 
pada sekolah, terutama dalam artian bangunannya. Pada 
hakekatnya, konsep pendidikan adalah perubahan, yakni 
bagaimana seseorang menjadi berbeda saat  sebelum dan 
sesudah mengikuti dan mengalami pendidikan, yang tentunya 
dalam aura positif menuju ke keadaan yang lebih baik daripada 
sebelumnya.  Pendekatan, metode dan metodologi pendidikan 
saat ini telah menjadi sedemikian luas dan juga tidak jarang 
menjadi rumit (complicated ).  Oleh karena itu, sejumlah pendapat 
yang menyoroti masalah-masalah dalam perkembangan dan 
pembangunan nasional menoleh pada dan menilik ranah 
pendidikan. Kesemua itu menyiratkan dan memperlihatkan 
betapa penting pendidikan dalam kehidupan perseorangan, 
kelompok (kolektivitas) serta terutama berbangsa dan bernegara.
Kebijakan dan pelaksanaan pendidikan kolonial 
memiliki suatu dampak samping (side effects ) yang tampaknya 
tidak begitu banyak diduga sebelumnya, berupa persemaian 
benih kesadaran, rasa emansipasi dan kebangsaan. Pendidikan 
sekolah pemerintahan, seperti MOSVIA dan kemudian OSVIA, 
dan kedokteran seperti Sekolah Dokter Jawa dan STOVIA, 
menghasilkan banyak lulusan yang kemudian menjadi sosok 
pembaharu, penggerak dan pendorong ke arah emansipasi dan 
pergerakan nasional. Kesempatan dan peluang itu muncul saat  
pencanangan Politik Etis di Hindia Belanda yang berlandaskan 
pada suatu Hutang Budi (Eereschuld)  pada awal abad ke-20 
sebagai manifestasi dari perkembangan dan tuntutan zaman 
terhadap pengelolaan wilayah koloni dan kolonialisme.  
Berawal dari pembentukan suatu organisasi sukarela 
yang modern, yaitu Boedi Oetomo, para elite baru berpendidikan 
Barat itu memulai suatu lembaran sejarah yang berbeda dengan 
masa sebelumnya. Perjuangan untuk melawan belenggu 
penjajahan, ketidakadilan dan eksploitasi tidak lagi melalui 
perlawanan bersenjata, melainkan dengan cara tanpa kekerasan 
(non violence) melalui gerakan sosial modern seperti rapat 
umum penyampaian pendapat, pengerahan maRM Soewardi Soerjaningrat  a unjuk rasa, 
pemogokan, surat menyurat, memakai sarana pers walau masih 
muncul pemberontakan seperti pada tahun 1926. Cakrawala 
politik kolonial diwarnai oleh gegap gempita pergerakan nasional 
yang dapat dipilah menjadi gerakan bekerjasama (koperatif) dan 
tidak bekerjasama (non koperatif) dengan pemerintah kolonial 
Hindia Belanda. 
B. Suwardi Suryaningrat
Perjuangan Suwardi kerap dibatasi dan hanya merujuk 
pada gerakan pendidikan melalui organisasi dan sekolah Taman 
Siswa. Pendapat ini tidaklah keliru. Taman Siswa menorehkan 
goresan jejak-jejak perjuangan yang penting pada masa 
pergerakan nasional dan di masa selanjutnya. Kenji Tsuchiya 
(1987: xi) menggambarkannya sebagai berikut: “The leader 
of Taman Siswa was Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, the 
principal founder of the original school, who in 1928 took the 
name Ki Hadjar Dewantara. During the 1930s his reputation 
grew, and during the Japanese military administration he was 
recognized, along with Sukarno, Hatta, and the Muslim leader 
Kyai Haji Mansur, as one of the four outstanding leaders of the 
Indonesian people. With the establishmen of the independent 
Republic of Indonesia, Dewantara, became minister of education 
in the first cabinet, and to later governments he served as chief 
adviser on educational matters. He died at age seventy on 26 
April 1959; in November of the same year he was proclaimed a 
national hero, and a month later his birthday, may 2, was declared 
National Education Day (Hari Pendidikan).” Memang, sosok 
pahlawan nasional itu lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, 
yang kerap menyaput perjuangan, kiprah dan sumbangsihnya 
dalam perkembangan politik nasional.
saat  Boedi Oetomo dibentuk, sebagai perkumpulan 
sukarela modern awal di Hindia Belanda, ia pun menjadi 
anggotanya walau tidak berlangsung lama dan tidak 
memperlihatkan jejak dan sentuhan yang membawa perubahan 
signifikan. Juga, sebagai anggota dan pengurus Sarekat Islam,
rekam jejak kiprahnya tidak memperlihatkan sumbangsih 
yang signifikan. Peran dan sumbangsihnya untuk landasan
politik untuk Indonesia muncul dan membentuk pada saat ia 
mendirikan dan bergerak dalam partai politik awal di Hindia 
Belanda, bersama rekan seperjuangannya yakni RM Tjipto 
Mangunkusumo dan EFE Douwes Dekker. Ketiga sosok 
itu dikenal sebagai Tiga Serangkai yang mendirikan Partai 
Hindia (Indische Partij) yang jelas-jelas berhaluan politik 
dan memperjuangkan melepaskan diri dari belenggu kolonial 
Belanda ( los van Nederland ). Bersama-sama dengan Boedi 
Oetomo yang semula juga memperjuangkan peningkatan derajad 
Hindia dan kemudian memusatkan perjuangannya pada gerakan 
memuliakan kebudayaan Jawa, dan Sarekat Islam, yang semula 
bernama Sarekat Dagang Islam yang hendak meningkatkan 
kemampuan dalam persaingan dagang dan kemudian berubah 
menjadi gerakan politik bertujuan dan bercorak agama, Partai 
Hindia menawarkan dan memperjuangkan pembentukan suatu 
warga  politik supra primordialisme yang bersatu, dan 
dibayangkan sebagai bangsa Hindia (de Indiers ).
Gagasan bangsa Hindia berlandaskan pada suatu kenyataan 
sosial budaya warga  kolonial yang memperlihatkan 
ambiguitas, eksklusivitas, separatis, hirarkis dan diskriminatif. 
Di bawah pengaruh idealisme dan kecenderungan perkembangan 
politik global yang memperlihatkan pasang naik gerakan 
antikolonialisme dan imperalisme, pembentukan identitas 
politik yang emansipatoris, setara dan seimbang diperjuangkan 
dalam tatanan, kebijakan dan kepentingan kolonialisme Hindia 
Belanda yang hendak berkuasa selama mungkin. Persaingan 
kapitalisme modern sejak Revolusi Industri menjadikan daerah 
dan kekuasaan penjajahan menjadi penting, sebagai pemasok 
bahan baku dan pasar hasil produksi negeri induk.  Seraya 
itu pula, gagasan tentang pembaharuan ikatan dan hubungan 
kolonial pun muncul dan berkembang di lingkungan negeri 
induk.
Gagasan bangsa Hindia, yang dicetuskan oleh Ernst 
Douwes Dekker seorang cucu keponakan Eduard Douwes 
Dekker yang menulis karya Max Havelaar dengan nama 
samaran Multatuli yang sempat menggemparkan dunia 
Eropa karena mengungkapkan skandal eksploitasi kolonial 
Hindia Belanda, dari keturunan campuran Eurasian atau 
Indo,  berkembang di tengah-tengah warga  kolonial yang 
terfragmentaris berdasar  kedudukan dan kepentingan yang 
tidak hanya saling berbeda, bahkan pula bertentangan dalam 
lingkup hegemoni dan keistimewaan (privileges) .  Awalnya, 
gagasan persatuan politik itu mendapat sambutan di berbagai 
kalangan dan lapisan  warga  kolonial, termasuk dari 
sebagian kelompok Eropa dan Indo (Eurasia), dan juga dari 
kelompok Cina dan Bumiputra.  Namun, gagasan untuk menarik 
kalangan elite Eropa, sebagaimana sempat mencuat di balik 
gagasan mempersatukan dari gerakan Boedi Oetomo, cenderung 
memperlihatkan kegagalan dan penolakan.  Alasan utamanya 
adalah mereka tidak merasa nyaman dan tidak siap untuk hidup 
berdampingan serta berbagi bersama, terutama dengan kalangan 
Bumiputera.
menggambarkan gagasan dan perjuangan kebangsaan Hindia: 
“Kembali kepada nasionalisme revolusioner: benih-benihnya 
pernah dirumuskan oleh Indische Partij, dengan tiga serangkai 
pemimpinnya Douwes Dekker—Tjipto Mangunkusumo dan 
Suwardi Surjaningrat. Tujuan Indische Partij ialah untuk 
‘membangunkan patriotisme semua ‘Kaum Hindia’ kepada 
tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka, 
agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar 
persamaan ketatanegaraan untuk memajukan Tanah air Hindia 
dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.’ Dari 
pasal-pasal dalam anggaran dasarnya dapat ditarik kesimpulan, 
bahwa Indische Partij berpijak atas dasar nasionalisme 
yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia adalah 
‘wisma nasional’ semua mengakui ‘Hindia’ sebagai tanah air, 
negara dan kebangsaannya. Paham itu pada masanya dikenal 
sebagai Indisch Nationalism, yang di kemudian hari melalui 
Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasionalisme Indonesia 
menjadi Nasionalisme Indonesia. Semboyannya ‘Lepas dari 
Nederland’ mendorong corak radikal organisasi mahasiswa di 
Nederland maupun Indonesia, antara lain karena pengaruh para 
pemimpin Indische Partij yang dibuang ke Nederland.”
Ciri kesetaraan dalam perjuangan pembentukan 
bangsa Hindia ditampilkan oleh Suwardi Surjaningrat dengan 
menanggalkan pemakaian gelar askriptifnya yang menandai 
lingkungan bangsawan sebagai asal usulnya berupa Raden 
Mas.  Suatu kontribusi penting lainnya adalah pemakaian 
dan pengenalan istilah Indonesia. 
mencatat:“Tidak jelas siapa dalam IV (Indische Vereeniging atau 
Perhimpunan Hindia, pen) yang pertama kali mengambil istilah 
‘Indonesia’ dari etnografi colonial dan ruang kuliah Leiden