ki hajar dewantara 3
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
ki hajar dewantara 3
menerima penugasan itu dan berhasil
sehingga mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia
Belanda, namun penghargaan itu dipasang pantatnya.8
Tjipto menjadi sangat terkenal dengan sikapnya itu sebagai
seorang dokter bumiputera yang secara radikal menentang
sikap diskriminatif yang diterapkan secara sistematis dalam
kehidupan warga Jawa oleh penguasa pribumi maupun
Belanda, meskipun tahu resiko yang akan dihadapinya.9 Sikap
pembangkangan yang diperlihatkan Tjipto, berbeda dengan
Soetomo yang memperlihatkan sikap moderat dalam upaya
mengubah tradisi Jawa yang bersifat diskriminatif. Soetomo,
mengambil jalan tengah karena sikap radikal memiliki resiko
tinggi mengingat kedudukan priyayi birokrat masih sangat kuat,
sekaligus untuk mengamankan kedudukan ayahnya.
Pada 1920, Tjipto Mangoenkoesoemo menikahi Maria
Vogel, seorang Indo-Belanda (Eurasia). Dua puluh tiga tahun
8. Tiga Dokter Pelopor Pergerakan Nasional .
9. Aktivitas Tjipto di dunia pergerakan nasional membawa dampak negatif
terhadap karier dokternya. sesudah kembali ke Indonesia dari hukuman
pembuangannya di Belanda (1913-1917), karier Tjipto sebagai dokter
tidak berjalan dengan lancar. Berbagai hambatan dirasakannya, antara
lain penolakan atas izin menjadi dokter pribadi Mangkunegara dan
warga tidak memberikan tempat bagi praktik kedokterannya sehingga
ia di-persona non grata-kan Namun demikian,
sikap Tjipto tidak pernah berubah meskipun karier dokternya dihambat
pemerintah.
kemudian atau tepatnya pada 1943, Tjipto Mangoenkoesoemo
meninggal dunia dan jenazahnya dikebumikan di Ambarawa.
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama RS Tjipto
Mangoenkoesoemo atau RS Cipto Mangunkusumo (RSCM)
sesudah ejaannya disesuaikan dengan EYD. Pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda, rumah sakit ini bernama Centrale
Burgerlijke Zieken-inrichting .
Tokoh ketiga yang dikaji dalam makalah ini bernama
Soetomo yang dilahirkan di Desa Ngepeh, dekat Nganjuk,
Jawa Timur pada 30 Juli 1888.11 Pada saat dilahirkan, orang
tuanya memberi nama Soebroto yang kemudian diubah menjadi
Soetomo saat didaftarkan ke Sekolah Rendah Belanda di
Bangil. Ayahnya bernama R. Soewadjilah, yang pada awalnya
seorang guru, namun kemudian berpindah menjadi pegawai
administrasi pemerintahan yang berhasil menggapai puncak
kariernya sebagai wedana . Kedudukan
ayahnya ini , langsung tidak langsung membentuk sikap
moderat pada dirinya, karena Soetomo di satu sisi harus
10. Tjipto Mangoenkoesomo .
11. Soetomo memiliki dua orang saudara laki-laki yaitu Soeratmo dan
Soesilo. Keduanya sama-sama menempuh pendidikan di Stovia dan
sesudah menjadi dokter, Soeratmo berdinas di Batavia sampai meninggal,
sementara Soesilo berdinas di Palembang. Satu-satunya saudara
perempuan Soetomo yang bernama Siti Soendari berhasil meraih
gerlar Meester in de Rechten (Mr., sekarang S.H., sarjana hukum) pada
1934 dari Rijksuniversiteit
menjaga keserasian tatatan sosial di kalangan warga
Jawa. Di sisi lain, Soetomo memiliki pemikiran bahwa tatanan
sosial ini harus dirombak dan hal itu tidak bisa dilakukan
secara radikal-revolusioner. Kakek Soetomo, baik dari garis
ayah maupun ibunya, tidak masuk ke dalam golongan priyayi
birokrat, melainkan sebagai pemilik tanah sehingga dipandang
sebagai orang-orang terkemuka sekaligus sebagai kepala desa di
desanya masing-masing
Sebelum memasuki usia sekolah, Soetomo diasuh oleh
kakek-neneknya dari garis Ibu. Pada saat memasuki sekolah,
pamannya yang menjadi guru di Bangil. sesudah menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengahnya, Soetomo diterima di
STOVIA, sekolah favorit para priyayi rendah. Berbeda dengan
Tjipto, Soetomo telah mendapat pengakuan status sosialnya
karena kedudukan ayahnya sebagai wedana sangat diterima di
kalangan para siswa Stovia.12 sesudah menyelesaikan pendidikan
dasarnya, pada 1903, Soetomo menempuh pendidikan
kedokteran di STOVIA dan dapat menyelesaikannya pada
1911 sehingga Soetomo menjadi seorang dokter. Dalam kurun
waktu 1911-1919, Soetomo bekerja di tujuh tempat berbeda di
Jawa, Sumatera Selatan, dan Sumatera Timur, antara lain Blora,
Semarang, Tuban, Lubuk Pakam, dan Malang. Pada 1912,
12. Berbeda dengan Tjipto, pengakuan terhadap status sosialnya baru
diterima sesudah Tjipto dipandang memiliki prestasi luar biasa di bidang
ilmu pengetahuan kedokteran. Dengan demikian, pengakuan atas status
sosial yang diterima Soetomo berdasar pada nilai-nilai tradisional
yang hidup di kalangan warga Jawa, sedangkan Tjipto berdasar
pada nilai-nilai keilmuan
Soetomo ditugaskan menjadi seorang dokter di Rumah Sakit
Blora
Pada 1917, Soetomo menikah dengan Everdina de Graaf-
BrĂ¼ring, seorang suster berkebangsaan Belanda. Dua tahun
kemudian (1919), Soetomo pergi Belanda untuk mengembangkan
kemampuannya sebagai seorang dokter dan pada 1923, Soetomo
menyelesaikan pendidikannya di Belanda. Selama di Belanda,
Soetomo tidak hanya belajar ilmu kedokteran, melainkan juga
aktif di dunia pergerakan bersama-sama dengan para pelajar
Indonesia lainnya..
Lingkungan sosial yang sarat dengan saling menghargai,
khususnya di keluarga kakek-neneknya, merupakan kondisi
yang tidak bisa diabaikan dalam membentuk sikap moderat
dirinya. Status sosial kakeknya lebih rendah jika dibandingkan
dengan status sosial neneknya. Mereka bersikap sebagaimana
tradisi yang berlaku, tetap dalam waktu yang bersamaan mereka
pun saling menghargai. Situasi di dalam keluarganya, terbawa ke
tengah kehidupan warga dan benar-benar dipraktikkan oleh
Soetomo. Selain itu, didikan kedua kakek-neneknya yang lebih
dominan mengarah pada tradisi Jawa daripada Islam pragmatis,
menjadikan Soetomo sebagai sosok dengan pembawaan tenang,
tidak meledak-ledak seperti rekannya, Tjipto Mangoenkoesoemo
Jiwa moderatnya itu terlihat dari sikapnya yang sangat
dermawan. Selain aktif di dunia pergerakan, Soetomo pun
aktif di bidang sosial dan budaya pun tidak kalah pentingnya
dengan aktivitas politiknya. Soetomo membangun rumah sakit,
panti asuhan, rukun tani, lembaga kesehatan umum, bank desa,
dan koperasi yang dimaksudkan sebagai upaya membantu
warga tidak mampu. Aktivitas politik yang dilakukan oleh
Soetomo semakin meningkat seiring pembentukan Algemeene
Studie Club (1924), yang kemudian berganti nama menjadi
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI, 1930), dan puncaknya dengan
mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1935.
PBI kemudian mendirikan bank yang sekarang menjadi Bank
Negara Indonesia, menerbitkan surat kabar Soeara Oemoem ,
menerbitkan majalah Penyebar Semangat, membuka koperasi
Pertoekangan, mendirikan Roekoen Tani, dan Roekoen Pelajar.
Perjuangan Soetomo yang berupaya mangangkat harkat derajat
bangsanya berakhir pada 30 Mei 1938, seiring dengan Sang
Pencipta memanggil dirinya. Jenazah Soetomo, kemudian
dikebumikan di Surabaya, Jawa Timur. Namanya kemudian
diabdikan sebagai nama rumah sakit di Surabaya, yakni RSUD
Dr. Soetomo.
14. Parindra dibentuk oleh Soetomo sebagai hasil fusi dua buah organisasi,
yakni Boedi Oetomo dan Persatoean Bangsa Indonesia. Kedua
organisasi itu memiliki hubungan erat dengan kiprah Soetomo dalam
memperjuangkan hak-hak bangsanya yang telah lama dirampas oleh
bangsa Belanda (
C. Pemikiran Tiga Serangkai
Kegagalan Soewardi Sorjaningrat menjadi seorang
dokter dan ketertarikannya pada dunia jurnalistik, menjadikan
dirinya sebagai tokoh yang sangat berpengaruh pada masa
awal pertumbuhan pergerakan nasional. Gagasan nasionalisme
disebarluaskan melalui tulisannya yang sangat tajam mengkritik
Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu tulisannya Als ik eens
Nederlander was (Andaikata aku seorang Belanda) yang
diterbitkan pada 1913. Melalui tulisan itu, Soewardi mengkritik
sangat pedas perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda di
Hindia Belanda. Terhadap peringatan itu, Soewardi bersama-
sama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker,
membentuk Komite Bumiputera atau resminya Inlandsche
Comité tot Herdenking voor Nederlands Honderdjarige
Vrijheid. Tujuannya hendak menyadarkan warga bahwa
peringatan kemerdekaan Belanda yang dirayakan secara meriah
di Hindia Belanda, merupakan bentuk ketidakadilan pemerintah
Hindia Belanda terhadap golongan pribumi. Soewardi dan
Tjipto mengkritik bahwa sementara Pemerintah Hindia Belanda
merasakan kemerdekaan negerinya, pada sisi yang sama, mereka
merampas kemerdekaan bangsa Indonesia. Khawatir tulisan
Soewardi akan menyadarkan bangsa Indonesia, Pemerintah
Hindia Belanda menyita seluruh dokumen terkait dengan tulisan
itu pada saat melakukan penggeledahan ke kantor Komite
Bumiputera
Tindakan Pemerintah Hindia Belanda ini mendorong
amarah dari Tjipto Mangoekoesoemo dan menyerang pemerintah
dengan menulis Kracht of Vrees (Kekuatan atau Ketakutan).
Melalui buah penanya itu, Tjipto mempertanyakan penggeledahan
kantor Komite Bumiputera yang dilakukan dengan sangat tidak
beradab. Tjipto menegaskan tindakan ini sebagai bentuk
ketakutan pemerintah terhadap pertumbuhan nasionalisme
dan menakuti bangsa pribumi dengan memamerkan kekuatan
mereka. Terhadap tulisan Tjipto, Soewardi pun menerbitkan
artikelnya di De Expres edisi 28 Juli 1913 dengan judul Een
voor allen, maar ook allen voor een (Satu Untuk Semua, Semua
Untuk Satu) yang menegaskan bahwa sebuah perjuangan,
bangsa Indonesia harus memiliki kekuatan dan kepribadian
sehingga akan siap menghadapi berbagai kemungkinan terbaik
dan terburuk
16. Douwes Dekker, sebagai sahabat Soewardi Soerjaningrat dan Tjipo
Mangoekoesoemo, sekaligus sebagai pemimpin redaksi De Express ,
menanggapinya dengan menerbitkan tulisannya di De Express edisi 5
Agustus 1913. Ia menggambarkan kedua orang priyayi nasionalis itu
Tulisan-tulisan tajam yang dibuat oleh Soewardi
Soerjaningrat dan Tjipto Mangoekoesoemo, serta Douwes
Dekker mendorong Pemerintah Hindia Belanda menangkap
ketiganya. Atas tuduhan menentang kebijakan pemerintah dan
mengganggu ketertiban umum, serta atas persetujuan Raad
Nederlandch-Indie , Soewardi dan Tjipto dinyatakan bersalah
oleh Raad van Justitie . Tjipto Mangoekoesoemo diasingkan
ke Banda (Maluku) dan Soewardi Soerjaningrat diasingkan ke
Bangka (Sumatera).17 Akan namun , kedua tokoh pergerakan itu
memilih opsi lain, yakni meninggalkan Hindia Belanda dan
pergi ke Belanda. Keduanya memilih Belanda atas pertimbangan
bahwa di sana aktivitas politik mereka dapat dilanjutkan
bersama-sama para mahasiswa yang sekaligus sebagai aktivis
pergerakan nasional juga
Selama menjalani pengasingan di Belanda, Soewardi
bersama-sama dengan Tjipto tetap aktif di dunia pergerakan
dengan bergabung ke dalam Indische Vereeniging di Den
Haag.18 Soewardi dan Tjipto selalu menghadiri diskusi-diskusi
sebagai pahlawan bagi kaum pribumi yang berjuang untuk membebaskan
warga pribumi dari ketidakadilan kolonialisme. Judul artikelnya
memang sangat provokatif, yakni Onze Helden: Tjipto Mangonkoesoemo
en R.M. Soewardi Soerjaningrat atau Pahlawan-Pahlawan Kami: Tjipto
Mangoenkoesoemo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat
17. Sementara itu, E. F. E. Douwes Dekker diasingkan ke Kupang, Timor.
Seperti halnya Soewardi dan Tjipto, Douwes Dekker pun memilih opsi
diasingkan ke Belanda, sehingga mereka bertiga berangkat ke Belanda
untuk menjalani hukuman pengasingan (Soewito, 1982: 54)
18 Indische Vereeniging didirikan pada 1908 atas atas prakarsa R. Soemitro,
seorang bangsawan Jawa, bersama dengan R. Soetan Casajangan
Saripada, dari Mandailing. Anggota Indische Vereeniging bukan hanya
yang diselenggarakan oleh Indische Vereeniging sehingga
cita-cita menjadikan Hindia Belanda lebih maju lagi semakin
tersebar luas , Selain
itu, Soewardi bersama-sama dengan Tjipto, Dekker, dan aktivis
lainnya berhasil mendirikan Indonesisch Pers Bureau yang tidak
hanya berfungsi semacam kantor berita, melainkan juga sebagai
media maRM Soewardi Soerjaningrat a. Melalui biro inilah, berbagai informasi tentang
Hindia Belanda disebarluaskan .
berasal dari suku bangsa di kepulauan Hindia saja, melainkan ada juga
yang berasal dari keturunan Cina maupun Belanda
sesudah kembali ke Indonesia, Soewardi tidak berhenti
berjuang dan perhatiannya bertambah ke bidang pendidikan
karena menurut Soewardi, bangsa Indonesia tidak akan pernah
maju selama sistem pendidikannya mengikuti sistem pendidikan
kolonial yang bersifat diskriminatif dan mengabakan nilai-nilai
kebudayaan setempat. Untuk mewujudkan gagasannya, pada 3 Juli
1922, Soewardi Soerjaningrat mendirikan sekolah Taman Siswa
di Yogyakarta. Di tempat inilah, Soewardi menyelenggarakan
pendidikan bagi anak-anak pribumi dengan tidak menanggalkan
nilai-nilai budaya.19 Prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan
di Taman Siswa adalah Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang sampai saat ini
dijadikan motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
untuk penyelenggaraan pendidikan nasional.20
19. Soewardi pernah menulis bahwa .... “kepatuhan pada peradaban
Barat telah mengurung negeri ini dalam kegelapan”. Oleh karena itu,
Soewardi bertekad akan menciptakan sistem pendidikan yang mampu
menghasilkan “individu-individu yang bebas dengan semangat merdeka”
sehingga bisa membawa ketentraman dan keteraturan di warga .
Bagi Soewardi, kondisi ideal ini ada dalam tradisi Jawa yang
kemudian diimplementasikan dengan mendirikan perguruan Taman
Siswa
Menariknya, sesudah Taman Siswa berkembang dan
Soewardi dipandang sebagai tokoh sentral, pada 23 Februari
1928, nama Soewardi Soerjaningrat ditanggalkan dan diganti
menjadi Ki Hadjar Dewantara
Pergantian nama dari Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar
Dewantara memang menarik perhatian karena dilakukan sendiri oleh
yang bersangkutan tepat pada usia 40 tahun. Bagi Harsya W. Bactiar,
pergantian itu sebuah kejanggalan dalam budaya Jawa Akan namun , dalam pandangan Savitri Prastiti Scherer pergantian nama itu merupakan sebuah penegasan tentang status
sosialnya. Soewardi merupakan priyayi aristokrat karena status sebagai
cucu Paku Alam III. Namun, status sosialnya yang begitu tinggi, ia
tanggalkan akibat intrik di dalam keraton. Melalui pendidikan, status
sosialnya itu “dikembalikan” sebagaimana ia ungkapkan secara implisit
bidang pendidikan, menghantarkan Ki Hadjar Dewantara pada
jabatan sebagai Menteri Pengajaran dan Pendidikan, sesudah
Indonesia merdeka. Pada 1957, Ki Hadjar Dewantara menerima
anugerah Doktor (HC) dari Universitas Gadjah Mada dan dua
tahun kemudian (1959), Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia
di Yogyakarta.
Berbeda dengan Ki Hadjar Dewantara, dua tokoh
lainnya yakni Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soetomo tidak
berjuang di bidang pendidikan, melainkan secara konsisten
di bidang politik. saat Boedi Oetomo (BO) berdiri pada 20
Mei 1928, Tjipto menyambut baik organisasi pertama pada
masa pergerakan nasional ini . Dalam perkembangannya,
Tjipto berkeinginan agar BO menjadi organisasi politik yang
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Keinginan
Tjipto ini melahirkan penentangan dari para pengurus
dan anggota yang menginginkan BO sebagai organisasi sosial
budaya dan keanggotaan tertutup. Artinya, tidak setiap orang
dapat menjadi anggota BO, melainkan mereka yang memiliki
status sosial tertentu sesuai dengan tradisi Jawa. Perbedaan
pandangan itu, yang mendorong Tjipto meninggalkan BO dan
mendirikan R.A. Kartini Club .
Baru satu tahun menjalankan hukuman di Belanda, pada
1914, dengan alasan kesehatan, Pemerintah Hindia Belanda
mengizinkan Tjipto kembali ke Hindia Belanda.22 Setibanya di
dari nama barunya Ki Hajar Dewantara yang memiliki makna “seorang
terhormat (Ki) yang mengajar (Hajar) sebagai wakil/perantara dewa
(Dewantara).
22. Keputusan hukuman buang atas Soewardi Soerjaningrat, Tjipto
Hindia Belanda, Tjipto bergabung dengan Insulinde yang pada
9 Juni 1919 berganti nama menjadi Nationaal-Indische Partij
(NIP). Bergabungnya Tjipto di partai politik yang berhaluan
nasionalis, tidak dapat dilepaskan dari pandangan atau sikapnya
tentang nasionalisme.
Nasionalisme Tjipto terlihat jelas dalam perdebatannya
dengan Soetatmo Soeriokoesoemo yang terjadi di Kongres
Kebudayaan Jawa di Solo pada 5-7 Juli 1918. Dalam kongres itu,
Tjipto menentang keras argumentasi Soetatmo mengenai konsep
Nasionalisme Jawa. Tjipto berpandangan bahwa konsep ini
sangat tidak tepat karena Jawa telah kehilangan kedaulatannya
sehingga hanya bagian dari wilayah kekuasaan Pemerintahan
Hindia Belanda yang didominasi oleh Hindia. Akibat kondisi
itu, tanah air orang Jawa tidak lagi Pulau Jawa, melainkan
Hindia sehingga para pemimpin pergerakan menumbuhkan
semangat nasionalisme Hindia kepada warga Jawa dan
seluruh penduduk Hindia ,Pemikiran
Tjipto ini menunjukkan bahwa meskipun dirinya masih
termasuk ke dalam golongan priyayi rendah, tepatnya priyayi
profesional, dengan latar belakang budaya Jawa, namun masa
depan warga pribumi tidak dilandaskan pada konsep
nasionalisme Jawa, melainkan nasionalisme Hindia.
Mangoenkoesoemo, dan E.F.E. Douwes Dekker, baru dicabut secara
resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Agustus 1917. Akan
namun , kepulangan Soewardi dan Douwes Dekker ke Hindia Belanda
tertunda karena ketiadaan sarana transportasi yang bertujuan ke Hindia
Belanda akibat meletusnya Perang Dunia I
Prinsip nasionalisme Hindia yang dipegang erat Tjipto
mendorong Pemerintah Hinda Belanda menunjuk dirinya sebagai
anggota Volksraad dengan harapan sikap ini berubah. Akan
namun , harapan pemerintah itu tidak terwujud karena selama
menjadi anggota Volksraad , Tjipto dengan teguh memegang dan
menjalankan sikap politiknya ini . Melihat kenyataan itu,
pada 1920, Pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Tjipto ke
luar Pulau Jawa. Tidak lama kemudian, Tjipto dipindahkan ke
Bandung dengan status sebagai tahanan kota. Selama di Bandung,
Tjipto membuka praktik dokter dan bersepeda ke kampung-
kampung untuk memberikan pengobatan kepada warga .
Di sini pula, Tjipto berjumpa dengan para pemimpin pergerakan
generas kedua, antara lain Sukarno yang pada 1923 mendirikan
Algemeene Studie Club (ASC). Oleh karena status politiknya,
Tjipto tidak menjadi anggota resmi ASC, namun pemikirannya
tentang perjuangan dan nasionalisme Hindia diterima sebagai
sumbangan sangat berharga bagi bangsa Hindia.
Pada 1927, Belanda menganggap Tjipto terlibat dalam
upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira, Maluku.
Pada saat menjalani hukumannya, penyakit asma yang sudah lama
diderita Tjipo kambuh kembali dan untuk keperluan pengobatan,
Pemerintah Hindia Belanda menawarkan perjanjian bahwa
pengobatan penyakitnya itu akan ditanggung oleh pemerintah
dengan syarat tidak terlibat aktif di dunia politik. Akan namun ,
penawaran ini ditolak tegas oleh Tjipto. Akibatnya, Tjipto
dipindahkan ke MakaRM Soewardi Soerjaningrat ar, kemudian ke Sukabumi (1940), dan
akhirnya ke Batavia sampai meninggal dunia pada 8 Maret 1943.
Sementara itu, Soetomo tampil sebagai tokoh pergerakan
nasional yang paling moderat dibandingan dengan Soewardi
Soerjaningrat, terlebih dengan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Dalam pandangan Soetomo, kemerdekaan bisa diraih dengan
memperhatikan tiga faktor. Pertama, setiap orang harus memiliki
kesadaran bahwa mengabdi kepada negerinya merupakan
bentuk kewajiban moral dalam konteks cinta tanah air. Kedua,
pengabdian yang diberikan oleh setiap individu sangat berkaitan
dengan jenis pekerjaannya. Artinya, setiap orang harus bekerja
sesuai dengan keahliannya sebagai bentuk pengabdian dirinya
kepada negera. Ketiga, dalam menjalankan pekerjaanya itu,
setiap orang harus memperhatikan lingkungan sekitarnya
sehingga bisa menjaga keselarasan di dalam warga . Jika
hal itu dapat dilakukan, maka perjuangan meraih kemerdekaan
dapat berjalan secara harmonis, sebagaimana yang terjadi pada
pagelaran gamelan ,
Jelas sekali bahwa pemikiran Soetomo ini
berlandaskan pada nilai-nilai tradisi Jawa sehingga status sosial
di warga merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.
Kondisi ini tidak akan mengganggu harmonisasi
kehidupan, jika berjalan sesuai dengan kewajibannya yang
ditandai dengan bahagia tidaknya suatu golongan. Pandangan
inilah yang membedakan dirinya dengan Tjipto yang justru
hendak melabrak perbedaan status sosial yang dipandang
sebagai salah satu sumber ketidakadilan bagi warga Hindia.
Konsep perjuangannya ini , diterapkan oleh Soetomo
sebagai “ideologi” Partai Indonesia Raya (Parindra). Soetomo
memaparkan bahwa Parindra harus bisa “menuntun para
petani dalam berbagai bentuk upaya koperasi, supaya dengan
melakukan bentuk pekerjaan-pekerjaan yang menguntungkan di
tengah-tengah rakyat jelata itu, mereka dapat diangkat ke tingkat
yang lebih tinggi, yang berguna membuat Indonesia Mulia”
Dari uraian yang telah dilakukan dapat ditarik simpulan
bahwa ketiga tokoh pergerakan nasional ini memiliki
hubungan erat dengan dunia priyayi, meskipun dengan tingkatan
yang berbeda. Ikatan budaya yang melatarbelakangi ketiganya
telah memberikan warna terhadap corak perjuangannya. Tjipto,
merupakan yang paling radikal dan Soewardi masih berusaha
mengembalikan tatanan warga sesuai tradisi Jawa, namun
telah diidealkan oleh pemikiran-pemikiran yang lebih terbuka.
Sementara itu, Soetomo berdiri di tengah-tengah dengan sikap
moderatnya untuk berperan sebagai penengah atau juru damai.
Meskipun ketiganya menunjukkan sikap dan corak
yang berbeda, namun mereka memiliki pandangan yang relatif
sama. Ketidakadilan karena kebijakan pemerintah kolonial yang
diskriminatif menjadi pemicu ketidakberdayaan warga
dalam menuntut haknya di negeri sendiri. Pemikiran-pemikiran
yang dilontarkan oleh ketiganya, merupakan sumbangan yang
sangat berharga, tidak hanya bagi generasi kedua pemimpin
pergerakan nasional, melainkan juga bagi bangsa Indonesia.
Ketiganya telah menyumbangkan pemikiran yang luar biasa
sehingga Indonesia dapat menggapai cita-cita kemerdekaannya.
Nama Suwardi Suryaningrat kurang dikenal oleh
warga , namun dengan nama Ki Hadjar Dewantara, beliau
sangat dikenal, dihormati dan disanjung-sanjung sebagai
Pendiri Perguruan Tamansiswa, Bapak Pendidikan Nasional,
dan Pahlawan Nasional. Beliau dikenal dan diakui dunia
karena kompetensi, keahlian, prestasi dan sumbangsihnya
yang luar biasa dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan
kewarga an.
Melalui studi kepustakaan baik berupa tulisan-tulisan
maupun benda peninggalan Ki Hadjar Dewantara, serta buku-
buku karya para tokoh Tamansiswa dan simpatisan Tamansiswa
yang tersimpan di Museum Tamansiswa “Dewantara Kirti
Griya”, kami sajikan biografi untuk menggambarkan sosok
Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang jurnalis, politikus,
budayawan, pendidik, dan pemimpin rakyat.
Dari tiap tingkat dan lapangan perjuangan yang
ditempuh Ki Hadjar Dewantara, ada tulisan-tulisan beliau
di berbagai surat kabar, majalah, dan brosur. Dari perjuangan
Ki Hadjar Dewantara di lapangan jurnalistik, ke lapangan
politik, dan yang terakhir di lapangan pendidikan dan
kebudayaan, ditemukan berbagai tulisan yang menggambarkan
gagasan dan konsepsinya. Dengan berbagai ragam dan cara
mengemukakan gagasan sesuai dengan masa, jaman, dan objek
yang dihadapinya, maka seluruh kegiatan Ki Hadjar Dewantara
mengandung semangat dan bernafaskan perjuangan menuju
cita-cita Indonesia merdeka.
Dengan biografi ini diharapkan dapat menggugah
semangat generasi muda untuk mempelajari dan mengembangkan
wawasan kebangsaan dan kebudayaan sebagai sendi perjuangan
dan pembangunan nasional. Suatu bangsa dan negara akan
terasing bila dalam proses sejarahnya lepas dari sendi-sendi
perjuangan para pendahulunya.
B. Masa Kanak-Kanak
Ki Hadjar Dewantara pada masa kanak-kanak dan masa
muda bernama Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat. Namun
sesudah dalam pembuangan di Nederland, gelar kebangsaannya
tidak dipakai lagi sebagai pernyataan bersatunya Suwardi
Suryaningrat dengan rakyat yang diperjuangkannya. Suwardi
Suryaningrat Lahir pada hari Kamis Legi, tanggal 2 Mei 1889
di Yogyakarta, bertepatan dengan tanggal 2 Ramadhan 1309
H. Lahirnya pada bulan Ramadhan memunculkan harapan
agar Suwardi Suryaningrat memberi hikmah pendidikan dan
peningkatan iman dan takwa.
Suwardi Suryaningrat adalah keturunan bangsawan.
Ayahnya Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan
Ibunya bernama Raden Ayu (R.A.) Sandiah. Keduanya adalah
bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta. K.P.A. Suryaningrat
adalah putera Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (K.G.P.A.A.)
Paku Alam III. Dengan demikian Suwardi Suryaningrat adalah
cucu K.G.P.A.A. Paku Alam III.
Betapapun kelahiran Suwardi Suryaningrat
membahagiakan K.P.A. Suryaningrat yang mengharapkan
anak laki-laki, akan namun berat badannya kurang dari 3 Kg,
badannya kurus, perutnya buncit, suaranya terlalu lembut.
K.P.A.Suryaningrat yang suka humor dan gemar berkelakar
segera nama julukan Jemblung kepada puteranya. Seorang
santri sahabat K.P.A. Suryaningrat yang memiliki pesantren
di daerah Prambanan, Kyai Soleman tidak mau menerima
begitu saja kelakar K.P.A. Suryaningrat. Ia menuntut haknya
sebagai sahabat untuk ikut memberikan nama julukan kepada
bayi Suwardi Suryaningrat. K.P.A. Suryaningrat setuju, maka
Kyai Soleman memberi nama tambahan Trunogati. Kyai
Soleman merasa mendapat firasat, dari tangis bayi yang lembut
itu, suaranya kelak akan didengar orang di seluruh negeri.
Perutnya yang jemblung (buncit) itu memberi firasat bayi itu
kelak akan menelan dan mencerna ilmu yang banyak, sesudah
memasuki masa dewasa ia akan menjadi seorang pemuda yang
penting (Truno = pemuda; gati, wigati = penting, berarti). Oleh
K.P.A. Suryaningrat kemudian disempurnakan nama julukan
itu menjadi Jemblung Joyo Trunogati. Di kalangan keluarga
terdekatnya (ayah, Ibu, kakak dan Pengasuhnya) memanggil
Suwardi Suryaningrat dengan julukan Denmas Jemblung.
C. Masa Sekolah
Sebagai keluarga bangsawan Suwardi Suryaningrat
mendapat kesempatan belajar di Europeesche Lagere School
(ELS) atau Sekolah Dasar Belanda 7 tahun di kampung
Bintaran Yogyakarta, yang tidak jauh dari tempat kediamannya.
Sesudah tamat Sekolah Dasar (1904), Surwardi Suryaningrat
masuk Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta. Tidak
lama kemudian datang dr. Wahidin Sudiro Husodo di Puro
Pakualaman, beliau menanyakan siapa di antara putera-putera
yang mau masuk STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische
Artsen ) - Sekolah Dokter Jawa di Jakarta, mendapat bea siswa.
Suwardi Suryaningrat menerima tawaran itu dan menjadi
mahasiswa STOVIA (1905-1910). Namun karena sakit selama
4 bulan, Suwardi Suryaningrat tidak naik kelas dan beasiswanya
dicabut. Namun ada sinyalemen, alasan sakit sesungguhnya
bukan satu-satunya sebab dicabutnya beasiswa, namun ada
alasan politis dibalik itu. Pencabutan beasiswa dilakukan
beberapa hari sesudah Suwardi Suryaningrat mendeklamasikan
sebuah sajak dalam suatu pertemuan. Sajak itu menggambarkan
keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang Panglima
Perang P.Diponegoro. Sajak itu digubah oleh Multatuli dalam
Bahasa Belanda yang sangat indah, dibawakan oleh Suwardi
Suryaningrat dengan penghayatan penuh penjiwaan. Pagi
harinya, sesudah pembacaan sajak itu, Suwardi Suryaningrat
dipanggil Direktur STOVIA dan dimarahi habis-habisan. Beliau
dituduh telah membangkitkan semangat memberontak terhadap
Pemerintah Hindia Belanda.
Tidak ada penyesalan bagi Suwardi Suryaningrat karena
gagal menjadi dokter. Lapangan berjuang untuk rakyat bukan
hanya sebagai dokter. Bidang jurnalistik, politik, dan pendidikan
memberi peluang pula untuk berjuang. Dari Direktur STOVIA,
Suwardi Suryaningrat mendapat Surat Keterangan Istimewa
atas kepandaiannya berbahasa Belanda. Oleh karena itu, meski
dikeluarkan dari STOVIA bernuansa hukuman, dengan senang
hati dan penuh kebanggaan Suwardi Suryaningrat menerimanya
sebagai konsekuensi dari sebuah perjuangan. Dengan penuh
haru namun membanggakan, teman-temannya seperti dr. Cipto
Mangunkusumo, Sutomo, Suradji Tirtonegoro melepas Suwardi
Suryaningrat meninggakan bangku STOVIA.
D. Sebagai Jurnalis dan Politikus
Walaupun tidak dapat menyelesaikan studinya di
STOVIA, namun beliau memperoleh banyak pengalaman baru.
Pada waktu persiapan mendirikan Budi Utomo, Suwardi
Suryaningrat berkenalan dengan Dr. Ernest Francois Eugene
(E.F.E.) Douwes Dekker. sesudah Budi Utomo didirikan pada
tanggal 20 Mei 1908, beliau ikut aktif dalam organisasi ini
dan mendapat tugas bagian propaganda.
Sesudah meninggalkan STOVIA, Suwardi Suryaningrat
belajar sebagai analis pada laboratorium Pabrik Gula Kalibagor,
Banyumas. sesudah satu tahun beliau keluar karena dicabut
kesempatan belajarnya secara cuma-cuma. Kemudan menjadi
pembantu apotiker di Apotik Rathkamp, Malioboro Yogyakarta
(1911), sambil menjadi jurnalis (wartawan) pada Surat
Kabar“Sedyotomo”(Bahasa Jawa) dan “Midden Java” (Bahasa
Belanda) di Yogyakarta dan “De Express ” di Bandung.
Pada Th. 1912 Suwardi Suryaningrat dipanggil Dr. E.F.E.
Douwes Dekker ke Bandung untuk bersama-sama mengasuh
Suratkabar Harian “De Express ”. Tulisan pertama beliau
berjudul“Kemerdekaan Indonesia ”. Di samping itu Suwardi
Suryaningrat menjadi Anggota Redaksi Harian “Kaoem Muda ”
Bandung, “Oetoesan Hindia” Surabaya, “ Tjahaja Timoer ”
Malang. Suwardi Suryaningrat menerima tawaran dari HOS.
Tjokroaminoto mendirikan Cabang “Serikat Islam ” di Bandung
dan sekaligus menjadi Ketuanya (1912).
Pada 6 September 1912 Suwardi Suryaningrat masuk
menjadi Anggota “Indische Partij”bersama Dr. E.F.E. Douwes
Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Indische “Partij” adalah
Partai Politik pertama yang berani mencantumkan tujuan ke
arah “Indonesia Merdeka ”. Selanjutnya pada Juli 1913 Suwardi
Suryaningrat bersama dr. Cipto Mangunkusumo di Bandung
mendirikan “Comite Tot Herdenking van Nederlandsch
Honderdjarige Vrijheid”, dalam bahasa Indonesia disingkat
Komite Bumi Putera, yaitu Panitia untuk memperingati 100
tahun Kemerdekaan Nederland. Komite tsb. untuk memprotes
akan adanya peringatan 100 tahun Kemerdekaan Nederland
dari penjajahan Perancis yang akan diadakan pada 15 Nopember
1913. Satu keganjilan dan satu penghinan yang tak ada taranya
sikap Pemerintah Hindia Belanda itu, berpesta merayakan
kemerdekaan bangsanya di tengah-tengah bangsa yang dijajahnya
dan menyuruh rakyat jajahannya untuk membiayainya. Komite
Bumi Putera juga menuntut agar Pemerintah Hindia Belanda
menyelenggarakan Parlemen (DPR) di Indonesia.
Protes tsb. diwujudkan oleh Suwardi Suryaningrat
dengan menulis risalah berjudul “Als ik eens Nederlander was”
(Andai aku seorang Belanda), dan dr. Cipto Mangunkusumo
berjudul “Kracht of Vrees?” (Kekuatan atau Ketakutan?).
Untuk kedua kalinya Suwardi Suryaningrat menulis “Een
voor Allen, maar ook Allen voor Een” (Satu buat semua, namun
juga semua buat satu). Kemudian Dr. E.F.E.Douwes Dekker
yang baru pulang dari luar negeri memuji tindakan-tindakan
Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo dengan
menulis “Onze Helden, Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M.
Soewardi Soerjaningrat.”(Pahlawan-pahlawan kita, Tjipto
Mangunkusumo dan R.M. Soewardi Soerjaningrat).
Puncak karir Suwardi Suryaningrat sebagai wartawan
pejuang ialah tatkala beliau menulis “Als ik eens Nederlander
was”. Risalah yang diterbitkan pada Juli 1913 itu merupakan
risalah yang terkenal, karena berisi sindiran yang tajam sekali
bagi Pemerintah Hinda Belanda. Risalah yang dicetak 5.000
eksemplar itu untuk memprotes kebijakan Pemerintah Kolonial
Hinda Belanda yang akan merayakan kemerdekaan negeri
Belanda dari Penjajahan Perancis.
Karena tulis-tulisan yang sangat pedas itu, Tiga Serangkai
: Suwardi Suryaningrat, dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. E.F.E.
Douwes Dekker ditangkap dan ditahan dalam penjara. Pada 18
Agustus 1913 keluarlah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda
N0. 2a, Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka, dr. Cipto
Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker
ke Timor Kupang. Namun atas kesepakatan mereka bertiga
meminta supaya dibuang ke Nederland, dan permitaan mereka
dikabulkan. Suwardi Suryaningrat ditawari dan dinasehati oleh
Mr. Van Deventer agar bersedia menjadi Guru Pemerintah
Hindia Belanda di Bangka sehingga bebas dari hukuman
pembuangan, namun ditolaknya, walaupun Dr. E.F.E. Douwes
Dekker menyetujuinya.
Ada satu hal yang menarik, saat sidang pengadilan dan
vonis dijatuhkan, K.P.A. Suryaningrat hadir. Begitu sidang ditutup,
Suwardi Suryaningrat langsung menghampiri ayahandanya.
Sesaat kemudian K.P.A.. Suryaningrat mengulurkaan tangannya
seraya berkata “Aku bangga atas perjuangannya. Terimalah
doa dan restu Bapak. Ingat, seorang ksatria tidak akan menjilat
ludahnya kembali”.
Pada malam perpisahan dengan keluarga K.P.A.
Suryaningrat di Yogyakarta diadakan selamatan dengan menggelar
pentas wayang kulit semalam suntuk dengan lakon “Dewa
Mambang”, yang secara Implisit menggambarkan perjuangan
Suwardi Suryaningrat mengangkat harkat dan martabat bangsanya.
R.M. Suwardi Suryaningrat dan R.Ay. Sutartinah
Sasraningrat, pasangan temanten baru yang belum genap dua
mingggu dinikahkan, berangkat ke Belanda pada 6 September
1913. Bersamaan itu berangkat juga Dr. E.F.E. Douwes Dekker
dan dr. Cipto Mangunkusoumo. saat singgah di Teluk
Benggala pada 14 September 1913, di atas Kapal Bungalow,
Suwardi Suryaningrat menulis surat kepada kawan-kawan
seperjuangannya di Tanah Air yang isinya agar sekuat tenaga
mencegah jangan sampai terjadi perayaan kemerdekaan Belanda
terjadi di Indonesia.
Dalam pembuangan di negeri Belanda Suwardi
Suryaningrat beserta keluarganya hidup serba kekurangan.
Bantuan didapat dari dana yang dikumpulkan oleh para pengurus
Indische Partij yaitu “TADO ( Tot Aan De Onafhankelijkheid )
Fonds”. Penghasilannya dibantu profesi sebagai jurnalis dalam
harian “Het Volk”, Redaktur “Hindia Poetera ”, majalah “Indische
Vereeniging ”, mingguan “De Indier”, majalah “Indische
Partij”, majalah “Het Indonesisch Verbond van Studeerenden ”.
Atas anjuran perkumpulan “ Algemeen Nederlandsch Verbond”,
“Oost en West” dan “Sociaal Democraties Arbeiders Part y”,
Suwardi Suryaningrat berkeliling memberi ceramah dan
penerangan dengan film. Beliau menerangkan keadaan yang
nyata mengenai Indonesia dan keinginan rakyat, melawan
cerita-cerita bohong yang disebarkan oleh Pemerintah Belanda
tentang keadaan Indonesia.
Selama dalam pembuangan Suwardi Suryaningrat
memperdalam Ilmu Pendidikan dengan mengikuti kursus-kursus
tertulis dan kursus-kursus malam hingga berhasil meraih Akte
Guru Eropa dalam pendidikan Paedagogie pada 12 Juni 1915.
Sedangkan R.A. Sutartinah mengajar di Frobel School yaitu
Taman Kakan-Kanak di Weimaar, Den Haag. Kegiatan di bidang
seni budaya, Suwardi Suryaningrat menyalin gending “Kinanti
Sandoeng” ciptaan Mangkunegara IV dalam notasi balok.
Tembang itu dipergelarkan pertama kali di depan perkumpulan
mahasiswa di Den Haag pada 30 Agustus 1916, dinyanyikan
oleh N. Roelofswaard dengan iringan Piano C. Kleute. Keduanya
adalah mahasiswi Koninklyke Conservatorium.
Sesuai dengan tujuan semula, Suwardi Suryaningrat, dr.
Cipto Mangunkusumo, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker minta
dibuang ke negeri Belanda karena ingin melanjutkan perjuangan
di negeri Belanda. Surat-surat kabar Belanda yang bersikap
sangat bersahabat dengan Tiga Serangkai yaitu “Het Volk ” dan
“De Nieuwe Grone Amsterdamer ” memberi kesempatan kepada
Tiga Serangkai untuk menulis dan menyalurkan pikiran-pikiran
tentang cita-cita perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia.
Berkat pengaruh Tiga Serangkai, maka penghimpunan para
mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang tergabung
dalam “Indische Vereeniging” semakin menonjolkan semangat
kebangsaan dan semangat kemerdekaan, dan berani mengubah
namanya menjadi “Perhimpunan Indonesia”.
Suwardi Suryaningrat berkecimpung dalam pers
pergerakan yang menjadikan kesadaran berpolitiknya
berkembang. Dunia jurnalistik yang ditekuni Suwardi
Suryaningrat telah membawanya ke ranah pergaulan yang
lebih luas dan progresif. Beliau mendapatkan kesempatan
mengutarakan berbagai pemikiran dan persoalan yang dihadapi
bangsanya. Tulisan-tulisan di berbagai surat kabar, majalah, dan
brosur menjadi suluh bagi bangsanya yang sedang dirundung
kegelapan.
Dari Tiga Serangkai yang diasingkan di negeri Belanda
tsb., dr. Cipto Mangunkusumo diizinkan pulang kembali ke
Indonesia karena sakit pada tahun 1914 dan Dr. E.F.E. Douwes
Dekker pada tahun 1918. Sedangkan Suwardi Suryaningrat baru
pulang ke Indonesia pada tahun 1919. Sebenarnya Suwardi
Suryaningrat sudah dibebaskan pada 17 Agustus 1917 oleh
Pemerintah Hinda Belanda. Namun beliau belum bisa kembali
ke tanah air, karena di Eropa sedang berkecamuk Perang Dunia
I. Di samping itu, belum cukup dana untuk pulang ke tanah air.
Para simpatisan kulit putih Mr. Van Deventer mengumpulkan
dana kepulangan kel.Suwardi Suryaningrat, namun dengan
sopan ditolak.
Hukuman pengasingan, bagi Suwardi Suwardi
Suryaningrat dipergunakan untuk terus mengobarkan semangat
perjuangan, yaitu :
Menulis “Terug naar het front ” (Kembali ke
medan perjuangan) dalam “Het Volk ” dan “De Groene
Amsterdammer ”(15 September 1917).
Aktif memimpin pertunjukan kesenian dalam Peringatan
HUT ke-10 Budi Utomo di Nederland pada 20 Mei 1918, dan
istri beliau menari sebagai Pergiwa, serta menerbitkan buku
kenang-kenangan “Sumbangsih” bersama Drs. Sosrokartono
dan RM. Notosuroto.
Mendirikan Kantor Berita “ Indonesisch Persbureau ”
(IPB) yang merupakan badan pemusatan penerangan dan
propaganda pergerakan nasional Indonesia di Den Haag
(September 1918). Hal tsb. baru untuk pertama kalinya
nama “Indonesia” dipakai di suratkabar negeri Belanda. IPB
digunakan Suwardi Suryaningkat untuk berkorespondesi
dengan suratkabar di Indonesia. IPB melakukan perlawanan
melalui berbagai tulisan terhadap rencana Pemerintah Kolonial
Belanda membentuk “Koloniale Raad”. Gerakaan IPB
mencermikan keberanian Suwardi Suryaningrat di samping
ketajaman pemikiran dan kejeliannya melihat kekuatan media
maRM Soewardi Soerjaningrat a sebagai pembentuk opini publik. Langkah-langkah yang
digunakan IPB menunjukkan kemampuan dan kepandaian
Suwardi Suryaningrat menggunakan tidak hanya satu alat
perjuangan, media maRM Soewardi Soerjaningrat a merupakan alat perjuangan di bidang
politik.
Belajar seni drama dari Herman Kloppers sekaligus
memperdalam kepiawaiannya dalam seni budaya.
Pada 26 Juli 1919 Suwardi Suryaningrat bersama
isteri dan kedua puteranya yang lahir di negeri Belanda, yaitu:
Niken Pandasari Sutapi Asti ( 29 Agustus 1915) dan Subroto
Aryo Mataram (5 Juni 1917), kembali ke tanah air dan sampai
di Jakarta 6 September 1919. Kemudian beliau ke Bandung
menghadap Pengurus Besar “Nationaal Indische Partij” (NIP).
Suwardi Suryaningrat kembali menjabat Sekjen Pengurus Besar
NIP, sambil memimpin majalah “De Beweging”, “Persatuan
Hindia”, “ De Express ” dan “Panggugah”.
Suwardi Suryaningrat menjadi jurnalis pertama Indonesia
yang terkena ranjau “delict pers” atas pidato dan tulisannya yang
pedas dengan hukuman penjara di Semarang pada 5 Agustus
1920. Suwardi Suryaningrat terkena delik pers yang kedua
kalinya pada November 1920. Ia dituduh menghina Sri Baginda
Ratu Wilhelmina, Badan Pengadilan, dan Pangreh Praja, dan
menghasut untuk meroobohkan Pemerintah Hindia Belanda.
Sesudah keluar dari penjara, tidak lama kemudian beliau masuk
penjara lagi terkena “delict pidato”, dijatuhi hukuman 3 bulan
dipenjara di Mlaten Semarang, kemudian dipindahkan ke
Pekalongan. Walaupun menurut peraturan Pemerintah Hindia
Belanda seseorang keturunan bangsawan seharusnya dibedakan
penjaranya dengan hukuman biasa, namun Suwardi Suryaningrat
disatukan dengan narapidana lainnya. sesudah dibebaskan,
Suwardi Suryaningrat kembali menetap di Yogyakarta.
Pengetahuan dan pemahaman sejarah sosial pendidikan
yang memberi pencerahan dan pemikiran Suwardi Suryaningrat,
jusru saat beliau menjalani masa pembuangan di negeri
Belanda. Di sanalah beliau banyak mempelajari masalah
pendidikan dan pengajaran dari MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori, Dalton, Frobel,
pesantren, asrama dll. Pergulatan pemikirannya tentang
pendidikan di negeri Belanda, membuat Suwardi Suryaningrat
pada serangkaian realitas tentang sistem pendidikan yang masih
dipertahankan para kyai dengan pondok pesantrennya.
E. Mendirikan Perguruan Tamansiswa
Awal berdirinya Perguruan Tamansiswa tidak lepas dari
peran R.Ay. Sutartinah. Pada Agustus 1920 Suwardi Suryaningrat
yang sedang menjalani hukuman penjara di Pekalongan
diizinkan menjenguk isterinya yang sakit pendarahan berat
karena melahirkan putera ketiga. R.Ay. Sutartinah mengingatkan
atas gagasan Suwardi Suryaningrat yang pernah disampaikan
kepada K.H. Ahmad Dahlan di Semarang (1919), bahwa harus
ada suatu Perguruan Nasional yang mendidik kader-kader
perjuangan untuk menentang penjajah. saat mendengar kata-
kata isteri beliau, seolah-olah Suwardi Suryaningrat mendapat
ilham (“wisik”) kemudian dengan penuh semangat teringat
gagasannya dan mulai detik itu beliau berniat sungguh-sungguh
akan mendirikan Perguruan Nasional, jika telah bebas dari
hukuman penjara. Ayah Suwardi Suryaningrat menyetujui dan
sebagai saksi atas ikrar tsb., K.P.A. Suryaningrat memberikan
tambahan nama “Tarbiah” kepada putera ketiga Suwardi
Suryaningrat sehingga bernama Ratih Tarbiah yang lahir pada
22 Agustus 1920.
Pengalaman Suwardi Suryaningrat di lapangan perjuangan
politik, dengan melalui berbagai rintangan, pembuangan, dan
penjara dengan segala hasilnya, menimbulkan pemikiran baru
untuk mencari cara dan jalan menuju Kemerdekaan Indonesia.
Suwardi Suryaningrat menginsyafi bahwa perjuangan
kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa
nasional dari bangsanya, maka diperlukan penanaman jiwa
merdeka dimulai sejak anak-anak.
Selanjutnya pada tahun 1921 – 1922 Suwardi
Suryaningrat aktif dalam perkumpulan “Selasa Kliwonan ” yang
beranggotakan tokoh-tokoh politik, kebudayaan, dan kebatinan,
yaitu : R.M. Sutatmo Suryokusumo (seorang tokoh Budi Utomo
yang progresif), Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki
Prawirowiworo, RM. Gondoatmojo, B.R.M. Subono, R.M.H.
Suryo Putro (paman Suwardi Suryaningrat), dan Ki Ageng
Suryomataram.
Sarasehan tsb. membahas kehidupan dan nasib bangsa
Indonesia yang sengsara dan penuh penderitaan, dengan
mencari jalan untuk menegakkan dan membina kepribadian
bangsanya. Hasil analisisnya bercita-cita : “Memayu hayuning
sariro, memayu hayuning bangsa”, dan “memayu hayuning
bawono ”(membahagiakan diri, bangsa, dan dunia). Cita-cita tsb.
tidak cukup hanya dicapai melalui pergerakan politik saja, namun
harus dicapai dengan pendidikan rakyat serta memperbaiki
jiwa dan mental bangsa. Akhirnya Sarasehan Slasa Kliwonan
memutuskan: Ki Ageng Suryomataram bertugas menangani
mendidik orangtua, dengan Ilmu Jiwa “Kawruh Begja” yang
kemudian berkembang menjadi “Kawruh Jiwa ”. Sedangkan
Suwardi Suryaningrat dengan beberapa kawannya : R.M.
Sutatmo Suryokusumo, Ki Pronowidigdo, R.M.H. Suryo Putro,
Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Cokrodirjo, dan BRM. Subono serta
R.Ay. Sutartinah diserahi tugas menangani pendidikan anak-
anak.
Dengan pengalamannya bekerja sebagai guru di Perguruan
“Adhidarma” milik kakanya RM. Suryapranoto, akhirnya pada
Senin Kliwon, 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat dkk mendirikan
“Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” di jl. Tanjung,
Pakualaman, Yogyakarta, membuka bagian Taman Anak atau
Taman Lare, yaitu satuan pendidikan setingkat Taman Kanak-
Kanak (Taman Indria). Kemudian pada 7 Juli 1924 mendirikan
“Mulo Kweekshool” setingkat SMP dengan pendidikan guru (4
tahun sesudah pendidikan dasar). Pada tahun 1928 tamatan Mulo
Kweekshool dapat masuk AMS (Algemene Middelbare School)
setingkat SMA Negeri hampir 70%. Dengan kesuksesannya itu
bangsa Indonesia tergugah semangat dan makin tebal rasa harga
dirinya.
Lahirnya Perguruan Nasional Tamansiswa mendapat
sambutan luar biasa dari segala lapisan warga . sesudah
ditangani oleh pengurus yang bersifat kolektif kolegial yang
disebut “Instituutraad” diperluas menjadi “Hoofdraad” (nama
sekarang Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa), dan ditegaskan
bahwa Perguruan Nasional Tamansiswa merupakan “badan
wakaf merdeka”. Ratusan Perguruan Tamansiswa tumbuh
di mana-mana dijiwai oleh semangat cinta tanah air. Suwardi
Suryaningrat dengan Tamansiswanya terkenal di mana-mana.
Sang Pujangga Rabindranath Tagore dari Shanti Niketan, Bolpur
India, dengan rombongan yang dipimpin Prof. Dr. Chatterjee
dalam kunjungan ke Indonesia memerlukan datang di Yogyakarta
untuk mengunjungi Perguruan Tamansiswa (Agustus 1927).
Demikian pula Prof. Dr. R. Bunche (USA), seorang pelopor
dalam memperjuangkan persamaan hak menikmati pendidikan
bagi orang-orang Negro, tertarik untuk mempelajari gerakan
Tamansiswa dalam memperjuangkan hak rakyat Indonesia untuk
menikmati pendidikan bagi rakyat Indonesia (Tahun 1939).
Pada 3 Februari 1928 Suwardi Suryaningrat genap
berusia 40 tahun menurut tarikh Jawa (5 windu) dan berganti
nama Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi,
Hadjar : pendidik; Dewan : Utusan; tara : tak tertandingi.
Jadi maknanya: Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik
utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme.
Pergantian nama tsb. merupakan sublimasi misi hidup dari
“Satriyo Pinandhito” menjadi “Pandhito Sinatriyo” (Satriyo
yang sekaligus bersikap laku Pandhito–Pendidik, kemudian
meningkat menjadi Pandhito-Pendidik yang secara simultan
berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran= misi
utama Satriyo).
Tamansiswa sebagai salah satu lembaga pendidikan yang
didirikan Ki Hadjar Dewantara telah berhasil meletakkan dasar-
dasar pendidikan yang memerdekakan sekaligus meletakkan
dasar-dasar bagi sistem pendidikan nasional. Kehadiran Ki
Hadjar Dewantara dalam membangun Tamansiswa memiliki
spektrum sejarah nasional, yang tak luput dari stretegi kebudayaan
yang digelutinya. Beliau menjadikan Trikon (Kontinyu,
konvergen, konsentris) dalam proses kebudayaannya. Kontinyu
: berkesinambungan dengan masa lalu, Konvengen : bertemu
secara terbuka dengan perkembangan alam dan zaman. Dan
Konsentris : menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan, dunia.
Ki Hadjar Dewantara memang tidak pernah ragu
menetapkan sistem dan model pendididkannya berbasis pada
kebudayaan lokal-nasional. Beliau hendak mengangkat model
pendidikan pribumi untuk menghadapi sistem pendidikan
kolonial, selanjutnya digerakkan secara serentak untuk mencapai
kemerdekaan nasional.
Ada empat strategi pendidikan Ki Hadjar Dewantara,
Pertama : pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong
siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri; kedua :
membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun tetap
membuka diri terhadap perkembangan internasional; ketiga :
membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir- pelopor; dan
keempat : mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat
yang menjadi Korat Alamnya masing-masing siswa.
Selama 37 tahun Ki Hadjar Dewantara memimpin dan
mengasuh Perguruan Tamansiswa yang tersebar di seluruh
Indonesia. Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April
1959 di Padepokan Ki Hadjar Dewantara dan disemayamkan
di Pendapa Agung Tamansiswa Yogyakarta. Jenazah Ki Hadjar
Dewantara dimakamkan pada tanggal 29 April 1959 secara
militer dengan Inspektur Upacara Kolonel Soeharto di makam
Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta.
Ki Hadjar Dewantara meninggalkan seorang isteri Nyi
Hadjar Dewantara dan 6 orang anak: Ni Niken Wandansari
Sutapi Asti, Ki Subroto Aryo Mataram (Brigjend. TNI), Nyi
Ratih Tarbiyah, Ki Sudiro Ali Murtolo (lahir 9 Agustus 1925),
Ki Bambang Sokawati (lahir 9 Maret 1930) dan Ki Syailendra
Wijaya (lahir 28 September 1932).
Semua benda bersejarah, buku, surat, penghargaan, dan
barang-barang perabot rumah tangga peninggalan Ki Hadjar
Dewantara kini tersimpan di Museum “Dewantara Kirti Griya”
Jl. Tamansiswa No. 25 Yogyakarta.
F. Perjuangan, Jasa, dan Penghargaan
Di bidang pendidikan, prasaran Ki Hadjar Dewantara
tentang Pendidikan Nasional dan penyelenggaraan/pembinaan
perguruan nasional diterima oleh Kongres Perkumpulan Partai-
partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) di Surabaya.
Dalam kongres yang berlangsung 31 Agustus 1928 tsb., beliau
mengemukakan perlunya pengajaran nasional sebelum bangsa
Indonesia memiliki Pemerintahan Nasional sendiri.
Di bidang pers, bagi Ki Hadjar Dewantara majalah atau
surat kabar merupakan wahana yang sangat penting bagi suatu
lembaga untuk menyebarkan cita-citanya kepada warga .
Oleh karena itu, beliau menerbitkan brosur dan majalah.
Majalah “Wasita ” (tahun 1928-1931),selanjutnya menerbitkan
majalah “Pusara” (1931 ). Di samping kedua majalah tsb., Ki
Hadjar Dewantara juga menerbitkan Majalah “Keluarga ” dan
“Keluarga Putera” (1936).
Sedangkan di bidang kesenian, Ki Hadjar Dewantara
mengarang buku methode/notasi nyanyian daerah Jawa “Sari
Swara”, diterbitkan tahun 1930 oleh JB. Wolters. Dari buku
tsb. Ki Hadjar Dewantara menerima royalty, untuk membeli
mobil Sedan Chevrolet. Sebelumnya, beliau pada tahun
1926 menciptakan lagu/gendhing Asmaradana “Wasita Rini”
diperuntukan bagi para anggota Wanita Tamansiswa.
saat seluruh pergerakan nasional makin hidup dan
kuat, maka Pemerintah Hindia Belanda bertindak waspada.
Tindakan itu diarahkan kepada pergerakan sosial, terutama
bidang pendidikan, maka dibuatlah Undang-Undang “Ordonansi
Sekolah Liar” atau “Onderwijs Ordonantie ” disingkat OO 1932,
dimuat dalam Staatblad 1932 No. 494 yang diumumkan berlaku
pada 1 Oktober 1932.
Sikap Ki Hadjar Dewantara terhadap diberlakukannya OO
1932 tsb, beliau langsung mengirim telegram kepada Gubernur
Jenderal di Bogor yang isinya menentang OO 1932. Ki Hadjar
Dewantara menyatakan akan melawan terus dengan“lijdelijk
verzet ”, “paRM Soewardi Soerjaningrat ive resistance”, “non-violence”, dan “ahimsa”.
Perlawanan Ki Hadjar Dewantara bersama Tamansiswa
menghadapi OO 1932 mendapat sambutan yang amat besar
dari kalangan warga luas. Seluruh pergerakan rakyat baik
yang bersifat politik, agama, maupun sosial serta media maRM Soewardi Soerjaningrat a:
“Perwata Deli”, “Suara Umum”, “Aksi”, “Suara Surabaia”,
“Sedyatama”, “Darmokondo”, “Bintang Timur”, “Timbul” dan
Koran-koran di Sumatera, semuanya secara serentak mendukung
perlawanan Ki Hadjar Dewantara, sehingga perlawanan tsb.
menjadi aksi maRM Soewardi Soerjaningrat a. Akhirnya OO 1932 ditunda untuk satu
tahun lamanya dan menghidupkan lagi Ordonansi lama Tahun
1923/1925. Penetapan penundaan OO 1932 itu telah disahkan
dalam Staatsblad No.66 tanggal 21 Februari 1933.
Usaha Pemerintah Hindia Belanda menindas Tamansiswa
berjalan terus. Pada tahun 1935 pegawai negeri ditakut-takuti
jika memasukkan anaknya sekolah di Tamansiswa. “Vrijbijljet ”
(Kartu Percuma) anak pegawai Kereta Api yang menjadi
murid Tamansiswa dicabut. “Kindertoelage ” (Tunjangan anak)
pegawai negeri dicabut jika terus menyekolahkan anaknya di
Tamansiswa, disusul “Loon Belasting ” (pajak upah). Namun
Tamansiswa menolak dan tidak mau membayar, karena sistem
hidup keluarga Tamansiswa tidak mengenal hubungan majikan
dan buruh, Tidak mengenal upah namun “nafkah”. sesudah lima
tahun terus-menerus Tamansiswa di bawah pimpinan Ki Hadjar
Dewantara melawannya, akhirnya pajak upah dibebaskan pada
15 JUli 1940, Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengakui
aturan hidup kekeluargaan Tamansiswa.
Perjuangan dan peran Ki Hadjar Dewantara pada masa
Pemerintahan Balatentara Jepang sampai dengan Pemerintah
RI, berturut-turut sebagai :
. Anggota “Empat Serangkai” bersama Bung Karno, Bung
Hatta, dan K.H. Mas Mansyoer, mendirikan dan memimpin
“Pusat Tenaga Rakyat” (Oktober 1942).
. Anggota “Tjuo Sangiin” yaitu Badan Pertimbangan Dai
Nippon (Oktober 1943) dan sebagai “Kenkoku Gakuin
Kyozu” (22 April 1944).
. “Naimubu Bunkyo Kyoku Sanyo (Penasehat Departemen
Pendidikan Pemerintah Balatentara Jepang)- 1 Desember
1944.
. Anggota “Dokuritzu Jumbi Chosakai” atau “Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia”
disingkat BPUPKI, kemudian menjelma menjadi “”Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia” disingkat PPKI (29 April
1945) dan “Naimubu Bunkyu Kyokucho (15 Juli 1945).
. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada
Kabinet RI yang pertama (19 Agustus – 15 November 1945).
. Ketua Panitia Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI
(15 Februari 1946)
. Ketua Panitia Pembantu Pembentukan Undang-Undang
Pokok Pendidikan (1946)
. Mahaguru Sekolah Polisi RI, Mertoyudan, Magelang (1
Agustus 1946)
. Dosen Akademi Pertanian Yogyakarta (1 Februari 1947)
. Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (23 Maret 1947)
. Anggota Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di
Sekolah Rakyat Negeri Yogyakarta (10 April 1947)
. Anggota Dewan Kurator Akademi Pertanaian/Kehutanan RI
(27 Maret 1948)
. Pencetus dan Ketua Panitia Pusat Peringatan 40 Tahun Hari
Kebangunan Nasional di Yogyakarta (20 Mei 1948).
. Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI (6 Juni 1949)
. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI (1 Juli 1949)
. Ketua Panitia Asahan – Selatan dan labuhan Ratu (21
November 1949)
. Anggota Panitia Perencana Lambang Negara RIS (16
Januari 1950).
. Anggota Badan Pertimbangan RI (6 November 1951)
. Anggota DPR RIS – DPRS RI (17 Agustus 1950 – 1 April
1954).
. Anggota Kehormatan Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (6 Februari 1957).
. Ketua Panitia Pusat Peringatan Hari Kebangkitan Nasional
di Jakarta (20 Mei 1952).
Menurut Ki Nayono (Ketua Bagian Kekeluargaan
Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa), dalam buku “Mengenal
Taman Wijaya Brata, Makam Pahlawan Perjuang Bangsa”, ada
tiga catatan penting dari beliau, yaitu : Pertama : Atas inisiatif
Ki Hadjar Dewantara pada 20 Mei 1948 diperingati tanggal lahir
Boedi Oetomo yang ke-40 untuk pertama kalinya di Ibukota
Negara Yogyakarta. Selaku Ketua Panitia, Ki Hadjar Dewantara
menyatakan lahirnya Boedi Oetomo dijadikan Hari Kebangunan
Nasional, yang oleh Presiden Soekarno istilah Kebangunan
Nasional diganti menjadi Hari Kebangkitan Nasional.
Peringatan itu untuk mengingatkan bangsa Indonesia yang mulai
terpecah belah akibat pertarungan ideologi dan kepentingan
pribadi yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa agar
bersatu kembali. Pada peringatan tsb. ribuan rakyat Yogyakarta
digerakkan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan secara simbolik
“menggempur” Benteng Vredenburg Yogyakarta, kemudian
dinyatakan Benteng Kolonial Belanda yang telah dihancurkan
secara simbolik itu akan dijadikan “Cultuur Centrum ” (pusat
kegiatan budaya).
Sedangkan yang kedua : Pada masa pendudukan tentara
Belanda Desember 1948, Ki Hadjar Dewantara menerima
penyerahan kain Putih sebagian dari lembar Bendera Pusaka
dari Ibu Fatmawati, isteri Presiden Soekarno, dengan maksud
agar jangan sampai Bendera Sang Saka Merah Putih yang
dikibarkan 17 Agustus 1945 itu dirampas Belanda. Lembar kain
Merah terpisah disimpan M. Tahar (Pejabat Istana Presiden
di Gedung Agung Yogyakarta). Akhirnya sesudah Belanda
ditarik dari Yogyakarta, Bendera Merah Putih disatukan
kembali dan dikibarkan pada 17 Agustus 1949. Ketiga : Sehabis
menutup seminar Pancasila di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta (Februari 1959) , Presiden Soekarno menjenguk
Ki Hadjar Dewantara yang sedang sakit. Presiden Soekarno
menginformasikan kesimpulan seminar Pancasila sangat tepat
dijadikan Dasar Negara RI dan UUD 1945 perlu kembali
dijadikan UUD NKRI. Ki Hadjar Dewantara menyatakan
membenarkan dan sangat mendukungnya. Tanggapan Ki Hadjar
Dewantara tsb. menjadi pendorong bagi Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden RI untuk kembali ke UUD 1945
pada 5 Juli 1959.
Atas jasa-jasa dan perjuangannya, Ki Hadjar Dewantara
mendapat penghormatan dan berbagai tanda penghargaan, yaitu:
1. Tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan Pemerintah RI sebagai
Perintis Kemerdekaan RI
2. Tanggal 19 Desember 1956 menerima gelar kehormatan
Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari Rektor
(Presiden Universitet) UGM Prof. Dr. Sardjito.
3. Tanggal 26 April 1959Ki Hadjar Dewantara wafat dalam usia
70 tahun, dimakamkan di makam Wijayabrata Tamansiswa
Yogyakarta dengan upacara kenegaraan sebagai Perwira
Tinggi secara Anumerta.
4. Tanggal 18 Mei 1959 diangkat sebagai Anggota Kehormatan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI Pusat) secara Posthum ,
atas jasanya di bidang jurnalistik.
5. Tanggal 28 Nopember 1959 diangkat sebagai Pahlawan
Nasional oleh Pemerintah RI.
6. Tanggal 16 Desember 1959 dengan Kepres No.316/1959,
Hari lahir Ki Hadjar Dewantara tanggal 2 Mei ditetapkan
sebagai Hari Pendidikan Nasional.
7. Tanggal 17 Agustus 1960 dianugerahi Bintang Mahaputera
Kelas I oleh Presiden RI.
8. Tanggal 20 Mei 1961 menerima tanda kehormatan Satya
Lencana Kemerdekaan RI.
9. Tanggal 27 November 1961 mendapat anugerah Rumah
Pahlawan dari Pemerintah RI di kompleks Padepokan Ki
Hadjar Dewantara, Jl. Kusumanegara 157 Yogyakarta.
10. Tanggal 20 Mei 1976 dianugerahi gelar Perintis Pers Nasional
oleh Dewan Pers
11.Tanggal 6 September 1977 dengan Keputusan Menteri P dan
K RI No.0398/M/1977, ditetapkan lambang Departeman P
dan K di dalamnya ada adagium “Tutwuri Handayani”.
12.Hari wafat Ki Hadjar Dewantara tanggal 26 April ditetapkan
menjadi Hari Bakti Tamansiswa, dan Ki Hadjar Dewantara
mendapat tanda penghargaan Purnasetiawan Tamansiswa
dari Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
13.Tanggal 9 Desember 1981 Pinisepuh Persatuan Tamansiswa
Ki Suryobroto mengukuhkan nama Kapal Latih K.R.I.”Ki
Hadjar Dewantara” No. Lambung 364 di dermaga Cilacap.
14.Sistem Paguron, wawasan kebangsaan dan kebudayaan Ki
Hadjar Dewantara menjadi acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan di SMA Taman Taruna Magelang, yang didirikan
atas kerjasama ABRI dengan Tamansiswa (14 Juli 1990)
G. Ajaran:
Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara meliputi bermacam
ragam, ada yang sifatnya konsepsional, petunjuk operasional-
praktis, dan fatwa atau nasehat.
A. Konsepsi tentang Kepemimpinan:
1. Demokrasi dan Kepemimpinan (Democratie en
Leinderschap ) : merupakan wujud demokrasi yang
dilandasi oleh jiwa kekeluargaan, dan sejiwa dengan
Demokrasi Pancasila. Demokrasi tsb. memperhatikan
unsur kemerdekaan yang mengenal batas, yaitu tertib
damainya kehidupan bersama, dan juga menolak unsur
kekuasaan mutlak (otoriter). Setiap permasalahan
diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mendapatkan
kesepakatan bersama/mufakat.
2. Trilogi Kepemimpinan : Ing ngarsa sung tulada, Ing
madya mangun karsa, Tutwuri handayani. Trilogi ini
semula hanya diperuntukkan di kalangan pendidikan, dan
merupakan perangkat pendidikan dalam melaksanakan
tugas pendidikan yang berjiwa kekeluargaan. Namun
dalam perkembangannya, Trilogi Kepemimpinan telah
menjadi salah satu model kepemimpinan nasional,
sebagai sarana mengatur tata kehidupan bersama, baik di
kalangan Pemerintah, TNI/Plori, maupun sipil.
B. Konsepsi tentang Pendidikan:
1. Tripusat Pendidikan: menegaskan bahwa pendidikan
yang diterima peserta didik terjadi di tiga lingkungan,
yaitu : lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan
lingkungan kewarga an. Ketiga lingkungan hidup
tsb. memiliki pengaruh edukatif dalam pembentukan
kepribadian Sang Anak.
2. Sistem Among: suatu sistem pendidikan yang berjiwa
kekeluargaan dan bersendikan Kodrat Alam dan
Kemerdekaan. Sistem Among menurut cara berlakunya
disebut sistem “Tutwuri Handayani”.
C. Konsepsi tentang Kebudayaan:
1. Pembinaan Kebudayaan Nasional, yang dikenal dengan
Trikon (kontinuitas, kosentrisitas, dan konvergensi).
2. Perwujudan Kebudayaan Nasional, yang dikenal
sebagai teori tentang “Sari-sari dan puncak-puncak
kebudayaan ndaerah sebagai modal utama bagi
terwujudnya kebudayaan nasional”.
D. Pedoman operasional - praktis:
1. Tri Pantangan: pantang menyalahgunakan kekuasan/
wewenang, pantang menyalah-gunakan keuangan,
pantang melanggar kesusilaan.
2. Trihayu : memayu hayuning sarira, bangsa, manungsa
3. Trisaksi jiwa : cipta, rasa, karsa
4. Tringa : ngerti, ngrasa, nglakoni
5. Triko : kooperatif, konsultatif, korektif
6. Trijuang : berjuang memberantas kebodohan,
kemiskinan, ketertinggalan
7. Tri-N: niteni, niroke, nambahi.
E. Fatwa dan Semboyan:
Beberapa semboyan, perlambang, dan fatwa yang
disampaikan Ki Hadjar Dewantara di antaranya berasal dari
para Pinisepuh Tamansiswa dan peninggalan para leluhur/
nenek moyang kita, yaitu:
1. Lawan Sastra Ngesti Mulya (1852 Qaka/1922
Masehi): Dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan.
Inilah yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara dengan
Tamansiswanya, untuk kemuliaan bangsa dan rakyat.
Semboyan ini menjelaskan maksud tahun berdirinya
Perguruan Tamansiswa.
2. Suci Tata Ngesti Tunggal (1854 Qaka/1923 Masehi):
Dengan kesucian batin dan teraturnya hidup lahir kita
mengejar kesempurnaan atau Kesucian dan ketertiban
menuju kesatuan. Ini sebagai janji yang harus dilaksanakan
oleh setiap pejuang Tamansiswa. Semboyan ini untuk
mengenang tahun berdirinya Persatuan Tamansiswa.
3. Hak diri untuk menuntut Salam dan Bahagia:
Setiap orang memiliki hak untuk memperoleh
kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
4. Salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya
warga :
Segala kepentingan bersama harus diletakkan diletakkan
di atas kepentingan pribadi masing-masing. Oleh karena
itu tak mungkin kita masing-masing akan hidup selamat
dan bahagia, apabila warga terganggu, tidak tertib
dan damai.
5. Kodrat Alam itulah Penunjuk Untuk Hidup
Sempurna:
Jangalah hidup kita bertentangan dengan Kodrat Alam.
Petunjuk dalam Kodrat Alam kita jadikan pedoman
hidup, baik sebagai individu, sebagai bangsa maupun
anggota dari alam kemanusiaan.
6. Alam hidup manusia adalah alam hidup perbulatan:
Hidup kita masing-masing ada dalam lingkungan
berbagai alam khusus, yang saling berhubungan dan
berpengaruh. Alam khusus : alam diri, alam kebangsaan,
dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangga, dan
rasa kemanusiaan senantiasa hidup dalam sanubari kita
masing-masing.
7. Kita berhamba kepada Sang Anak:
Kita dengan ikhlas hati dan dan bebas dari ikatan apapun,
mendekati Sang Anak dan mengorbankan diri kepadanya.
Jangan si murid untuk si guru namun si guru untuk si
murid.
8. Tetep - Antep - Mantep:
Tetep: ketetapan hati, tetap pada pendiriannya tidak
tergoyahkan oleh pengaruh negatif; Antep : berat,
berbobot, bermutu; Mantep : mantap, tetap pada
pilihannya.
9. Ngandel – Kendel - Bandel – Kandel :
Ngandel: percaya, yakin kepada penguasa Tuhan dan
kekuatan diri; Kendel: berani, menghindarkan rasa
takut atau wasangka; Bandel: tahan, tawakal, hatinya
kuat menderita; Kandel atau tebal, meskipun menderita
namun kuat badan tubuhnya. Empat tabiat ini saling
berhubungan, barang siapa dapat percaya tentu ia akan
berani, lalu mudahlah ia akan tawakal dan dengan
sendirinya ia akan tebal tubuhnya.
10. Neng - Ning - Nung - Nang :
Neng: berarti “meneng”, yakni tenteram batinnya; Ning:
dari kata “wening” dan “bening”,berarti jernih fikirannya,
yaitu mudah dapat membedakan barang yang “khak” dan
yang “batal”, yang “benar” dan yang “salah”; Nung: dari
kata “hanung”,berarti kuat, sentosa dalam kemauannya,
yaitu kokoh dalam segala kekuatannya, lahir dan batin,
untuk mencapai apa yang dikehendaki; Nang: dari
kata “menang” atau dapat “wewenang” atau berhak
atas buah usahanya. wewenang. Empat tabiat ini saling
berhubungan, yaitu barang siapa dapat “neng” tentu
mudahlah ia apat dapat berfikir yang “ning”, lalu menjadi
kuat atau “nung” kemauannya, dan dengan sendirinya ia
akan mendapat “menang”.
11. Tutwuri Handayani:
Mengikuti di belakang sambil memberi pengaruh. Jangan
menarik-narik anak dari depan, biarkanlah mereka
mencari jalan sendiri. Jika anak-anak salah jalan, barulah
pamong memberi pengaruh menuju jalan yang benar.
Inilah semboyan Sistem Among.
12. Bibit, Bebet, Bobot :
Dalam mebentuk keluarga yang baik, sejahtera, perlu
memperhatikan Bibit : benih yang sehat dan baik; Bebet
: yang menurunkan asal usul keturunan/ orangtuanya;
dan Bobot : berat yang dimaksud mutu/kualitas.
13. Senyari Bumi Sedumuk Batuk den Lakoni Taker Pati:
Dalam perebutan isteri dan tanah orang biasanya
menyabungkan nyawanya. Maksudnya perebutan “isteri”
ialah perebutan “keturunan” sedangkan perebutan
“senyari tanah” ialah perebutan “negara”.
14. Lebih Baik Mati Terhormat Daripada Hidup Nista:
Semboyan pada waktu menentang Undang-Undang
Sekolah Liar tahun 1932.
15. Syari’at tidak dengan Hakikat adalah Kosong;
Hakikat tidak dengan Syari’at pasti Batal:
Untuk berhasil tidak cukup memakai laku batin, namun
harus juga mementingkan laku lahir. Suci batin dan
tertibnya lahirnya harus berbarengan.
16.Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung:
Memperteguh kemauan dan tenaga.
17. Dari Natur kearah Kultur :
Dari kodrat ke arab adab. Itulah asas pendidikan
Tamansiswa yang bersifat kultural.
. Setiap orangtua pasti mendambakan anak keturunannya
serba sempurna. Namun hal tsb. tidak seluruhnya menjadi
kenyataan. Meskipun bentuk tubuh Ki Hadjar Dewantara
kecil dan lemah, ayah beliau menerima keadaan itu dengan
penuh rasa syukur. Kiranya apa yang diprediksi oleh Kyai
Soleman menjadi kenyataan, Ki Hadjar Dewantara menjadi
seorang pemberani, penggembleng jiwa menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa melalui penididikan.
. Di bidang politik, Ki Hadjar Dewantara telah
mengembangkan visi nasionalisme kerakyatan melalui
“Nationaal Indische Partij” (NIP). Penjara umumnya adalah
tempat membuat orang menjadi jera. Demikian pula dengan
pembuangan/pengasingan dilakukan agar pelaku tidak dapat
berhubungan dengan komunitasnya, sehingga apa yang
menjadi tujuannya tidak tercapai. Ternyata asumsi penjara
dan pembuangan tsb., bagi Ki Hadjar Dewantatara sebagai
seorang patriot sejati tidak berlaku. Di balik penjara dan
dari pembuangan/ pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap
berjuang untuk bangsanya. Dengan melalui sarana pers dan
politik Ki Hadjar Dewantara telah membuktikan kualitas
dan jasanya sebagai perintis perjuangan Kemerdekaan
Nasional. Itulah yang menjadikannya Ki Hadjar Dewantara
ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Perintis Kemerdekaan
RI dan Pahlawan Nasional.
. saat Suwardi Suryaningrat dibuang ke negeri Belanda
maupun dipenjara di Semarang dan Pekalongan, beliau
adalah wartawan pejuang dan politisi yang berwatak
pemberani. Sebagai wartawan Suwardi Suryaningrat bukan
saja pandai dan mahir menggerakkan pena, namun beliau
telah memanfaatkan secara optimal media pers sebagai alat
perjuangan untuk membentuk opini publik guna melawan
Pemerintah Kolonial Belanda. Gagasan dan pokok pikiran
mengenai kemerdekaan bangsa, dan kecaman terhadap
setiap penindasan dan perkosaan terhadap kemanusiaan,
bukan hanya dilontarkan lewat pidato-pidato saja, akan
namun diimplementasikan melalui ujung pena. Kalaupun
pers nasional dewasa ini mengokohkan diri sebagai pers
perjuangan, maka landasan yang dijadikan pangkal tolak itu
telah diletakan dasar-dasarnya oleh Ki Hadjar Dewantara.
Itulah kemudian Ki Hadjar Dewantara karena jasanya di
bidang jurnalistik oleh Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI Pusat) diangkat secara “Anumerta” sebagai Anggota
Kehormatan PWI dan dianugerahi gelar Perintis Pers
Nasional oleh Dewan Pers.
. Di bidang pendidikan, Ki Hadjar Dewantara memberikan
tawaran alternatif mengenai sistem pendidikan nasional yang
egaliter dan partisipatoris melalui teknik kepemimpinan dan
Sistem Among dengan model Pawiyatan atau pondok asrama
dengan corak nasional, yaitu : Perguruan Tamansiswa.
Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang
dilatarbelakangi jiwa kebangsaannya yang sangat kuat,
dinamis, dan prosepektif serta berakar dari budaya sendiri
merupakan konsepsi yang tepat bagi bangsa Indonesia. Itulah
yang kemudian menjadikan Ki Hadjar Dewantara sebagai
Pelopor Pendidikan Nasional dan hari lahirnya 2 Mei
ditetapakan oleh Pemerintah sebagai Hari Pendidikan
Nasional dan “Tutwuri Handayani” dijadikan semboyan
oleh Departemen/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI. Demikian pula, atas jasanya yang sangat besar di bidang
kebudayaan, Ki Hadjar Dewantara mendapat gelar Doktor
Honoris Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari UGM.
. Bagi Ki Hadjar Dewantara perjuangan melalui bidang politik
dinilainya sebagai perjuangan yang belum menyentuh jiwa
manusia yang paling mendasar. Oleh karena itu Ki Hadjar
Dewantara melakukan re-orientasi atas perjuangannya. Jiwa
merdeka tidak mugkin dapat masuk ke hati seseorang apabila
hanya pidato-pidato politik, akhirnya Ki Hadjar Dewantara
memilih jalan pendidikan sebagai sarana perjuangan untuk
menghasilkan manusia baru Indonesia yang sadar akan rasa
kebangsaan dan memiliki jiwa merdeka. Benih-benih
hidup merdeka akan tumbuh subur apabila ditaburkan
melalui jalan pendidikan. Penanaman jiwa merdeka melalui
pendidikan, berarti mempersenjatai rakyat melawan
kolonilisme. Hanya manusia yang berjiwa merdeka lah
yang sanggup memperjuangan dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Itulah yang mendasari Ki Hadjar
Dewantara mendirikan Perguruan Tamansiswa, sebagai
tempat memelihara, melaksanakan dan mengembangkan
konsepsi-konsepsi beliau.
Demikian catatan dan pandangan kami tentang sejarah,
perjuangan, dan pengabdian Ki Hadjar Dewantara. Beliau
dimuliakan, dihormati, dan dijunjung tinggi, bukan karena
keturunan bangsawan dan bukan karena banyak hartanya, namun
karena amal dan jasanya yang luar biasa bagi sesama, bangsa,
dan negara.
Yogyakarta, 22 Maret 2017
Perjuangan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia tidak terlepas dari peranan dan kiprah dari Suwardi
Surjaningrat atau juga lebih dikenal dengan nama Ki Hajar
Dewantara yang berasal dari lingkungan ningrat Puri
Pakualaman, Yogyakarta. Perjuangan politiknya mewarnai
dan menggemparkan perkembangan politik kolonial Hindia
Belanda dan dianggap berbahaya untuk kelangsungan tatanan
kolonial sehingga ia bersama kedua teman seperjuangannya
diasingkan ke Negeri Belanda. Sekembalinya dari pengasingan,
sikap dan langkah drastis perjuangannya adalah saat beralih
ke perjuangan di lapangan pendidikan dengan mendirikan
perkumpulan dan sekolah Taman Siswa. Berbagai faktor dan
1. Pengantar diskusi untuk Seminar Ki Hadjar Dewantara di Museum
Kebangkitan Nasional, Jakarta, 30 Maret 2017.
pemicu berada di balik perubahan ranah perjuangan itu. Walau
beralih ranah, ia tetap memegang erat visi dan tujuan yang tidak
berubah dari sikap dan kiprah perjuangannya semula, yakni
menggapai kemerdekaan Indonesia, melalui pembangunan dan
pengembangan pendidikan untuk putera-putera bangsa. Melalui
gerakan Taman Siswa, sumbangsih perjuangannya tidak hanya
ikut membentuk corak perjuangan pergerakan kebangsaan
dan membuka gerbang kemerdekaan Indonesia, melainkan
juga hingga mewujudkan dan mencapai cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia (Kata kunci: Suwardi Suryaningrat,
pergerakan kebangsaan, kemerdekaan, politik, pendidikan).
Kemunculan kesadaran sosial budaya dan emansipasi
membawa para elite baru terdidik dalam sistem modernisasi
kolonial Hindia Belanda sejak awal abad ke-20 ke dalam
kancah pergerakan dan perjuangan mulai dari ranah politik
hingga ke pendidikan. Perubahan zaman yang melanda dalam
pusaran kebijakan kolonial menimbulkan ketidakseimbangan,
keguncangan dan peralihan di kalangan elite baru yang berasal
dari lingkungan pemuka dan petinggi tradisional, yakni lapisan
priyayi. Di satu sisi, mereka mulai tercerabut dari akar identitas
dan budaya primordial, sedangkan di sisi lain, mereka tidak dapat
melangkah ke gerbang identitas dan budaya modern kolonial.
Kelompok elite teratas kolonial, seperti kelompok Eropa dan
Eurasian, tidak menyambut mereka untuk menjadi bagian dalam
kehidupan sosial budaya yang eksklusif dan penuh keistimewaan
( priviledges ). Sebagian besar mereka, yang tidak memiliki
kesempatan untuk menjadi bagian dalam jenjang birokrasi dan
pemerintahan yang masih bersifat turun temurun, menghadapi
pilihan yang tidak banyak kecuali menjadi bagian dari kehidupan
warga biasa (wong cilik) dalam alam penjajahan. Kesadaran
yang timbul itu menciptakan solidaritas, keprihatinan, perhatian
dan rasa kebersamaan dengan warga kaula yang kemudian
menjadi semangat dan tema perjuangan mereka dalam upaya
menumbangkan sendi-sendi kolonialisme Belanda.
Kebangkitan kesadaran dan emansipasi warga
jajahan Hindia Belanda tidak terlepas dari geliat dan dinamika
suatu kelompok lapisan elite yang berusaha memaknai dan
mengidentifikasi kedudukan dan peranan mereka dalam
perubahan-perubahan yang sedang berlangsung, baik di
lingkungan sekitar yang kolonialistik maupun pada tataran
internasional yang dikenal dan dicerna melalui media-media
yang dapat direngkuh. Gagasan dan ajaran modern globalisme
yang menggerakkan dan menjadi pendorong untuk berubah, tidak
hanya datang dari dunia Eropa, melainkan juga dari kawasan
Asia. Segera, para elite modern itu, priyayi baru (neopriyayi),
menjadi pembawa perubahan (agent of change) yang membawa
semangat, cita-cita, tujuan dan cara pergerakan yang radikal,
menantang tatanan dan kebijakan kolonialisme.
Perjuangan politik merupakan ranah pilihan untuk
mengubah tatanan yang tidak adil ini . Perlawanan tidak
lagi melalui senjata, melainkan memakai kata dan pena.
Dalam tahapan perjuangan dan pergerakan itu, identitas dan
tujuan baru dicapai yaitu, kebangsaan, bangsa, Indonesia dan
kemerdekaan. Namun, pencapaian itu tidak hanya diperoleh
melalui perjuangan politik. Sumbangsih yang signifikan dan
relevan juga diberikan oleh perjuangan di bidang pendidikan.
Kesadaran dan pilihan jalur perjuangan ini tidak terlepas dari
dinamika dan perkembangan pergerakan nasional dalam konteks
perubahan global.
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan
dalam kehidupan dan kemajuan umat manusia. Kesadaran
dan kemampuan seseorang untuk mampu melangsungkan
kehidupannya dan bertahan hidup diperoleh melalui proses
pendidikan, mulai dari pengetahuan, keterampilan, kepandaian
hingga kearifan. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran,
akibat dan pemicu dalam perubahan sosial. Pengembangan
sektor pendidikan merupakan salah satu strategi, cara dan teori
dalam pembangunan ekonomi yang bertalian dengan faktor
keunggulan bersaing (competitive advantaves ).
Dalam perspektif dan pengalaman sejarah Indonesia,
pendirian dan perkembangan kolonialisme Hindia Belanda tidak
mengesampingkan ranah pendidikan. sesudah pembentukan
jenjang, jaringan dan jangkauan kekuasaan pemerintahan atau
birokratisasi, penyediaan sumber daya manusianya sesudah jajaran
pemerintahan modern Barat (Europeesche Besturen) diambil
dari warga setempat melalui penerapan dan pelaksanaan
pendidikan selaras dengan tuntutan dan kebutuhan kolonialisme
saat itu. Kebijakan pendidikan dan pelaksanaannya itu tidak
hanya mempersiapkan tenaga kerja untuk roda pemerintahan
( Inlandsche Besturen ), melainkan juga bidang profesi lainnya
seperti guru, tenaga medis, kerani, pertukangan dan lainnya.
Bahkan, kebijakan itu menyentuh pula ke ranah pertahanan dan
keamanan, berupa pendidikan polisi dan tentara. Tampak jelas
bahwa persoalan pendidikan merupakan bagian dari modernisasi
dan perubahan yang ditimbulkannya.
Konsepsi dan cakupan pendidikan tidak hanya terbatas
pada sekolah, terutama dalam artian bangunannya. Pada
hakekatnya, konsep pendidikan adalah perubahan, yakni
bagaimana seseorang menjadi berbeda saat sebelum dan
sesudah mengikuti dan mengalami pendidikan, yang tentunya
dalam aura positif menuju ke keadaan yang lebih baik daripada
sebelumnya. Pendekatan, metode dan metodologi pendidikan
saat ini telah menjadi sedemikian luas dan juga tidak jarang
menjadi rumit (complicated ). Oleh karena itu, sejumlah pendapat
yang menyoroti masalah-masalah dalam perkembangan dan
pembangunan nasional menoleh pada dan menilik ranah
pendidikan. Kesemua itu menyiratkan dan memperlihatkan
betapa penting pendidikan dalam kehidupan perseorangan,
kelompok (kolektivitas) serta terutama berbangsa dan bernegara.
Kebijakan dan pelaksanaan pendidikan kolonial
memiliki suatu dampak samping (side effects ) yang tampaknya
tidak begitu banyak diduga sebelumnya, berupa persemaian
benih kesadaran, rasa emansipasi dan kebangsaan. Pendidikan
sekolah pemerintahan, seperti MOSVIA dan kemudian OSVIA,
dan kedokteran seperti Sekolah Dokter Jawa dan STOVIA,
menghasilkan banyak lulusan yang kemudian menjadi sosok
pembaharu, penggerak dan pendorong ke arah emansipasi dan
pergerakan nasional. Kesempatan dan peluang itu muncul saat
pencanangan Politik Etis di Hindia Belanda yang berlandaskan
pada suatu Hutang Budi (Eereschuld) pada awal abad ke-20
sebagai manifestasi dari perkembangan dan tuntutan zaman
terhadap pengelolaan wilayah koloni dan kolonialisme.
Berawal dari pembentukan suatu organisasi sukarela
yang modern, yaitu Boedi Oetomo, para elite baru berpendidikan
Barat itu memulai suatu lembaran sejarah yang berbeda dengan
masa sebelumnya. Perjuangan untuk melawan belenggu
penjajahan, ketidakadilan dan eksploitasi tidak lagi melalui
perlawanan bersenjata, melainkan dengan cara tanpa kekerasan
(non violence) melalui gerakan sosial modern seperti rapat
umum penyampaian pendapat, pengerahan maRM Soewardi Soerjaningrat a unjuk rasa,
pemogokan, surat menyurat, memakai sarana pers walau masih
muncul pemberontakan seperti pada tahun 1926. Cakrawala
politik kolonial diwarnai oleh gegap gempita pergerakan nasional
yang dapat dipilah menjadi gerakan bekerjasama (koperatif) dan
tidak bekerjasama (non koperatif) dengan pemerintah kolonial
Hindia Belanda.
B. Suwardi Suryaningrat
Perjuangan Suwardi kerap dibatasi dan hanya merujuk
pada gerakan pendidikan melalui organisasi dan sekolah Taman
Siswa. Pendapat ini tidaklah keliru. Taman Siswa menorehkan
goresan jejak-jejak perjuangan yang penting pada masa
pergerakan nasional dan di masa selanjutnya. Kenji Tsuchiya
(1987: xi) menggambarkannya sebagai berikut: “The leader
of Taman Siswa was Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, the
principal founder of the original school, who in 1928 took the
name Ki Hadjar Dewantara. During the 1930s his reputation
grew, and during the Japanese military administration he was
recognized, along with Sukarno, Hatta, and the Muslim leader
Kyai Haji Mansur, as one of the four outstanding leaders of the
Indonesian people. With the establishmen of the independent
Republic of Indonesia, Dewantara, became minister of education
in the first cabinet, and to later governments he served as chief
adviser on educational matters. He died at age seventy on 26
April 1959; in November of the same year he was proclaimed a
national hero, and a month later his birthday, may 2, was declared
National Education Day (Hari Pendidikan).” Memang, sosok
pahlawan nasional itu lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan,
yang kerap menyaput perjuangan, kiprah dan sumbangsihnya
dalam perkembangan politik nasional.
saat Boedi Oetomo dibentuk, sebagai perkumpulan
sukarela modern awal di Hindia Belanda, ia pun menjadi
anggotanya walau tidak berlangsung lama dan tidak
memperlihatkan jejak dan sentuhan yang membawa perubahan
signifikan. Juga, sebagai anggota dan pengurus Sarekat Islam,
rekam jejak kiprahnya tidak memperlihatkan sumbangsih
yang signifikan. Peran dan sumbangsihnya untuk landasan
politik untuk Indonesia muncul dan membentuk pada saat ia
mendirikan dan bergerak dalam partai politik awal di Hindia
Belanda, bersama rekan seperjuangannya yakni RM Tjipto
Mangunkusumo dan EFE Douwes Dekker. Ketiga sosok
itu dikenal sebagai Tiga Serangkai yang mendirikan Partai
Hindia (Indische Partij) yang jelas-jelas berhaluan politik
dan memperjuangkan melepaskan diri dari belenggu kolonial
Belanda ( los van Nederland ). Bersama-sama dengan Boedi
Oetomo yang semula juga memperjuangkan peningkatan derajad
Hindia dan kemudian memusatkan perjuangannya pada gerakan
memuliakan kebudayaan Jawa, dan Sarekat Islam, yang semula
bernama Sarekat Dagang Islam yang hendak meningkatkan
kemampuan dalam persaingan dagang dan kemudian berubah
menjadi gerakan politik bertujuan dan bercorak agama, Partai
Hindia menawarkan dan memperjuangkan pembentukan suatu
warga politik supra primordialisme yang bersatu, dan
dibayangkan sebagai bangsa Hindia (de Indiers ).
Gagasan bangsa Hindia berlandaskan pada suatu kenyataan
sosial budaya warga kolonial yang memperlihatkan
ambiguitas, eksklusivitas, separatis, hirarkis dan diskriminatif.
Di bawah pengaruh idealisme dan kecenderungan perkembangan
politik global yang memperlihatkan pasang naik gerakan
antikolonialisme dan imperalisme, pembentukan identitas
politik yang emansipatoris, setara dan seimbang diperjuangkan
dalam tatanan, kebijakan dan kepentingan kolonialisme Hindia
Belanda yang hendak berkuasa selama mungkin. Persaingan
kapitalisme modern sejak Revolusi Industri menjadikan daerah
dan kekuasaan penjajahan menjadi penting, sebagai pemasok
bahan baku dan pasar hasil produksi negeri induk. Seraya
itu pula, gagasan tentang pembaharuan ikatan dan hubungan
kolonial pun muncul dan berkembang di lingkungan negeri
induk.
Gagasan bangsa Hindia, yang dicetuskan oleh Ernst
Douwes Dekker seorang cucu keponakan Eduard Douwes
Dekker yang menulis karya Max Havelaar dengan nama
samaran Multatuli yang sempat menggemparkan dunia
Eropa karena mengungkapkan skandal eksploitasi kolonial
Hindia Belanda, dari keturunan campuran Eurasian atau
Indo, berkembang di tengah-tengah warga kolonial yang
terfragmentaris berdasar kedudukan dan kepentingan yang
tidak hanya saling berbeda, bahkan pula bertentangan dalam
lingkup hegemoni dan keistimewaan (privileges) . Awalnya,
gagasan persatuan politik itu mendapat sambutan di berbagai
kalangan dan lapisan warga kolonial, termasuk dari
sebagian kelompok Eropa dan Indo (Eurasia), dan juga dari
kelompok Cina dan Bumiputra. Namun, gagasan untuk menarik
kalangan elite Eropa, sebagaimana sempat mencuat di balik
gagasan mempersatukan dari gerakan Boedi Oetomo, cenderung
memperlihatkan kegagalan dan penolakan. Alasan utamanya
adalah mereka tidak merasa nyaman dan tidak siap untuk hidup
berdampingan serta berbagi bersama, terutama dengan kalangan
Bumiputera.
menggambarkan gagasan dan perjuangan kebangsaan Hindia:
“Kembali kepada nasionalisme revolusioner: benih-benihnya
pernah dirumuskan oleh Indische Partij, dengan tiga serangkai
pemimpinnya Douwes Dekker—Tjipto Mangunkusumo dan
Suwardi Surjaningrat. Tujuan Indische Partij ialah untuk
‘membangunkan patriotisme semua ‘Kaum Hindia’ kepada
tanah air, yang telah memberi lapangan hidup kepada mereka,
agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar
persamaan ketatanegaraan untuk memajukan Tanah air Hindia
dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.’ Dari
pasal-pasal dalam anggaran dasarnya dapat ditarik kesimpulan,
bahwa Indische Partij berpijak atas dasar nasionalisme
yang luas menuju kemerdekaan Indonesia. Indonesia adalah
‘wisma nasional’ semua mengakui ‘Hindia’ sebagai tanah air,
negara dan kebangsaannya. Paham itu pada masanya dikenal
sebagai Indisch Nationalism, yang di kemudian hari melalui
Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasionalisme Indonesia
menjadi Nasionalisme Indonesia. Semboyannya ‘Lepas dari
Nederland’ mendorong corak radikal organisasi mahasiswa di
Nederland maupun Indonesia, antara lain karena pengaruh para
pemimpin Indische Partij yang dibuang ke Nederland.”
Ciri kesetaraan dalam perjuangan pembentukan
bangsa Hindia ditampilkan oleh Suwardi Surjaningrat dengan
menanggalkan pemakaian gelar askriptifnya yang menandai
lingkungan bangsawan sebagai asal usulnya berupa Raden
Mas. Suatu kontribusi penting lainnya adalah pemakaian
dan pengenalan istilah Indonesia.
mencatat:“Tidak jelas siapa dalam IV (Indische Vereeniging atau
Perhimpunan Hindia, pen) yang pertama kali mengambil istilah
‘Indonesia’ dari etnografi colonial dan ruang kuliah Leiden