ki hajar dewantara 4




leiden
serta menerapkannya kepada ‘calon negara’ dalam arti murni 
politis, namun halaman-halaman Hindia Potera (jurnal bulanan 
IV, pen.) Soewardilah yang pertama kali mencatat penggunaan 
kata ‘Indonesia’ oleh seorang Indonesia: amanat penutup acara 
penyambutan kunjungan delegasi Indie Weerbaar di Den Haag 
oleh ahli musikologi R.M.A. Soeryo Poetro, April 1917.”  Semasa 
pengasingan di negeri penjajah itu, Ia mendirikan Indonesische 
Pers Bureau, Biro Pers Indonesia, yang menyebarkan istilah 
Indonesia untuk warga  terjajah Hindia Belanda.
Peranan dan sumbangsih Taman Siswa dalam pergerakan 
kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia tampak 
pada penjelasan berikut: “Taman Siswa, with its emphasis 
on a national education to unite the various cultural and 
ideological segments in Indonesia, has always been identified 
with the prewar nationalist movement. Established in 1922 by 
Ki Hadjar Dewantoro as the Nationaal Onderwijs Instituut 
"Taman Siswa," the movement was to some extent a reaction to 
the "deracinating" effects of Western education...Taman Siswa 
attracted the support of many who regarded the organization 
as working towards the political objectives of national unity 
and independence. Some aRM Soewardi Soerjaningrat  ociated themselves with Taman 
Siswa because they believed this affiliation gave them scope to 
contribute to the cause of nationalism, particularly at a time when 
the Dutch were taking tough repreRM Soewardi Soerjaningrat  ive measures against overt 
political activities. Consequently, despite its leaders' frowning 
on politics in the schools, Taman Siswa tended to encourage 
the growth of anticolonial sentiments among its members. Such 
factors as the socioeconomic background of its pupils, the 
presence of radical nationalists on its teaching staff, Ki Hadjar 
Dewantoro's pedagogical approach, and its atmosphere of 
cultural nationalism--all contributed to a heightened political 
consciousneRM Soewardi Soerjaningrat  . By the time the 1932 Taman Siswa congreRM Soewardi Soerjaningrat   
was held, there was already a large group of political activists 
within the organization, many of whom were also members of 
the Partai Indonesia (Partindo) and the Pendidikan Nasional 
Indonesia (residues of Sukarno's banned PNI)”  Sejak berjuang di ranah politik hingga memasuki 
lapangan pendidikan, garis perjuangan dan pergerakannya 
sangat jelas berhaluan tidak bekerja sama dengan pemerintah 
dan kebijakan kolonial. Suwardi termasuk perintis pergerakan 
nasional berhaluan non koperatif yang tergolong radikal dan 
agitatif terhadap ketidakadilan dan eksploitasi penjajahan.
saat  Taman siswa berdiri, Suwardi Surjaningrat tidak 
langsung mengubah namanya menjadi Ki Hajar SeDewantara. 
Perubahan itu terjadi dua tahun sesudah pendirian lembaga 
pendidikan ini . Sejak itu, corak perjuangannya berubah 
total,dari ranah politik menjadi dunia pendidikan. Peralihan 
itu memiliki sejumlah latar belakang dan faktor pendorong, 
yang tidak hanya berkaitan dengan keadaan dan perkembangan 
pergerakan kebangsaan dalam pengawasan serta kebijakan 
kolonial yang kian menekan dan membatasi, namun juga 
tidak lepas dari wawasan, visi dan kearifan dalam menilik 
permasalahan utama warga  jajahan yang sedang berjuang 
untuk mencapai kesadaran, semangat emansipasi, tekad 
persatuan, kesejahteraan dan kemerdekaan. Oleh karena itu, 
bekal kesadaran kritis dari masa sekolah, lapangan perjuangan 
politik, pengalaman pengasingan, kiprah dalam kancah pers, 
pematangan intelektual dan penemuan kearifan menjadi proses 
dan faktor yang jalin menjalin dalam perjalanan hidupnya dan 
memainkan peranan saat  pengambilan keputusan untuk terjun 
ke dunia pendidikan. 
Tujuan emansipasi yang menjadi haluan dan latar 
belakang pembentukan serta perjuangan Boedi Oetomo dan 
Sarekat Islam dalam proses penempaan wawasan intelektual 
melalui proses pendidikan yang ditempuh membawanya pada 
suatu kesadaran dan wawasan betapa pentingnya membangkitkan 
semangat dan tekad untuk mengubah tatanan kehidupan 
kolonial. Melalui goresan pena dan pidato-pidato politik yang  
kritis dan relevan, dalam wadah Indische Partij, pemikiran dan 
seruannya mengajak warga  terjajah, terutama kalangan 
elite dan pergerakan kebangsaan, untuk senantiasa berjuang 
dalam menghadapi penindasan kolonialisme,  dalam kemasan 
serta pesan yang mengajar dan mendidik.  Di balik, tulisan 
yang tajam dan radikal berjudul “Als ik eens Nederlander was”,  
menyerukan sasaran kritiknya untuk belajar agar memahami rasa 
dan empati terhadap nuansa kalbu warga  terjajah. Gagasan 
dan kiprah perjuangan kebangsaan dan kemerdekaan dalam 
dinamika kolektif melalui organisasi Partai Hindia merupakan 
suatu pembelajaran politik bagi suatu warga  terjajah yang 
tengah bangkit, mencari identitas, bergerak dan membayangkan 
menjadi bangsa yang merdeka, yaitu Indonesia. 
Pembelajaran itu berlanjut saat  ia dihukum oleh peradilan 
kolonial akibat kegiatan politik yang dianggap membahayakan 
tatanan kolonial dan dibuang ke Negeri Belanda,bersama 
dua rekan seperjuangannya dalam pergerakan Partai Hindia. 
Di negeri penjajah itu, ia tetap memberikan tanda-tanda suri 
tauladan, baik dalam pemikiran maupun sikap dan tindakan, di 
samping tetap membangun karsa. Hidup sederhana dan mandiri, 
tetap memelihara semangat perjuangan dan menyumbangkan 
gagasan-gagasan yang mencerahkan melalui tulisan dijalaninya 
semasa hidup di pengasingan itu.  Di Negeri Belanda, ia terlibat 
dalam kegiatan dan pergerakan Perhimpunan Hindia, yang kelak 
menghasilkan tokoh-tokoh yang berperanan penting dalam 
pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Dokter 
Soetomo pernah juga terjun dalam perkumpulan ini saat  
melanjutkan pendidikannya di Negeri Belanda. Suwardi menjadi 
penulis yang banyak menyumbangkan gagasan cemerlang dalam 
pembangunan budaya Indonesia. 
Selanjutnya, ia tetap menempa diri dan menimba 
ilmu pengetahuan melalui ikut serta dalam kursus-kursus 
dalam praktik pendidikan. Ia tertarik untuk mempelajari 
lebih,memdalami metode pendidikan model Frobel, Tagore 
dan MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori, yang sedang berkembang dan melanda dunia 
pendidikan di Eropa saat  itu. Pengetahuan yang diperoleh 
kelak menemukan kancah pengamalan sesudah ia kembali ke 
Tanah Air dan mendirikan suatu perkumpulan yang bergerak 
di bidang pendidikan anak bangsa. 
melukiskan keadaan itu sebagai berikut, “Dewantara's interest 
in the problem of education, however, goes back to his days in the 
Netherlands. During the period of the purge, he was exposed to 
some new pedagogical education ideas like those of MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori, 
Frobel and Tagore which were very popular in Europe at that 
time. These theories laid streRM Soewardi Soerjaningrat   on the individual personalities of 
children and their potentialities. ”  
Ia juga sempat menghadiri suatu Kongres Pertama 
Pendidikan Kolonial dan memperoleh sertifikat sebagai
pendidik. Dalam forum itu, ia terlibat aktif dalam pembahasan 
tentang pendidikan sesuai dengan tema acara ini . Ruth 
McVey (1967: 130)  mengkaitkan peristiwa dan pengalaman itu 
197--
dalam awal mula dan pembentukan perhatiannya pada masalah 
dan signifikansi peranan pendidikan. Ia menuliskannya, “We 
can trace the Taman Siswa idea, if we wish, from Suwardi 
Surjaningrat's Netherlands exile of 1913-17, when he obtained 
a teaching certificate, attended the First Colonial Education 
CongreRM Soewardi Soerjaningrat   in The Hague, and participated in discuss ions 
regarding a "national" modification of the Indies school system, 
a subject of some debate among Dutch educators at the time.
Motif untuk bergerak di lapangan pendidikan tampaknya 
diperkuat oleh pertimbangan pribadi yang berlandaskan pada 
tanggung jawab dan perannya dalam membina keluarga, terutama 
putera dan puterinya, sebagaimana penggmbaran berikut, 
“Rencana Soewardi mengenai pendidikan yang akan diterapkan 
di tanah air ini  bertambah matang, sesudah kelahiran Asti. 
Anak pertama yang dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, 24 
Agustus 1915 di Regentenslaan No. 166 di ‘s-Gravenhage itu, 
kemudian diketahui bahwa pertumbuhannya tidak normal. Asti 
berpikiran lemah. Mungkin ini disebabkan oleh hubungan darah, 
yang terlalu dekat antara bapak dan ibunya (saudara sepupu) 
namun  ada juga yang berpendapat bahwa itu merupakan suatu 
akibat sakit thypus yang pernah dideritanya pada tanggal 9 Mei 
1919, sehingga mendapat perawatan di Gemeentelijk  Ziekenhuis  
(Rumah Sakit Umum) Den Haag, selama 42 hari; yakni dari 
tanggal 24 mei hingga 6 juli 1919. Ketetapan Soewardi ini , 
sama dengan langkah pertama dari MonteRM Soewardi Soerjaningrat  ori, ia juga memulai 
kariernya dengan mendidik anak-anak yang lemah pikiran.” 
Perhatian Suwardi yang menyemai semasa hidup di negeri 
pengasingan dikemukakan juga oleh isterinya, Sutartinah yang 
kelak dikenal sebagai Nyi Hajar Dewantara. Namun, gejolak 
dan gairah perjuangan politik sempat menyaput perhatian itu. 
Ia menggambarkannya sebagai “Semenjak kelahiran anaknya 
yang pertama, sebenarnya Suwardi sudah meanruh perhatian 
kepada bidang pendidikan. Sewaktu masih di negeri Belanda 
Suwardi sudah pernah mengatakan bahwa dunia pendidikan di 
Hindia belanda perlu sentuhan tangan para pejuang kebangsaan 
dan kemerdekaan. Dan berdasar  pendapat ini pulalah, maka 
Sutartinah selain mengajar di Frobel School di Weimaar, iapun 
mengikuti Kursus Pendidikan Guru Frobel. Dan Suwardi sendiri 
pun  pernah mengikuti kursus dan kemudian menggondol 
Akte Guru Eropa. Akan namun  sesudah Suwardi melaksanakan 
slogannya ‘Kembali ke medan juang’ rupanya gagasan itu tidak 
pernah timbul lagi dalam pikiran Suwardi yang mulai ditimbuni 
oleh kegiatan-kegiatan politik dan jurnalistik.” 
Pendidikan politik dilanjutkannya dalam pertarungan 
dan agitasi langsung terhadap tatanan politik jajahan saat  
masa pengasingannya selesai.  Setiba di Tanah Air, segera ia 
memasuki kembali ranah perjuangan politik melalui partai 
politik, Nationale Indische Partij (NIP). Gagasan dan kiprahnya 
memanaskan kancah politik jajahan yang tampaknya mulai 
mengubah haluan kebijakan politiknya dari semangat politik Etis 
dan di bawah pengaruh Perang Dunia Pertama yang membawa 
berbagai akibat terutama keadaan perekonomian tidak hanya 
di lingkungan Eropa dimana perang itu berlangsung melainkan 
juga di kawasan koloni.  Kancah kebangkitan politik kebangsaan 
disemaraki oleh pergerakan partai politik lainnya yang radikal 
terutama Sarekat Islam dan ISDV, cikal bakal dari Partai 
Komunis Indonesia, selain kehadiran Serikat-serikat Pekerja. 
Di bidang pendidikan, pendirian Muhammadiyah  menandai 
dan mewarnai ranah perjuangan yang kian meluas ke berbagai 
kalangan dan lapisan elite terjajah. 
Perkembangan politik kolonial dan kebijakan pemerintah 
Hindia Belanda ikut membentuk alasan Suwardi untuk terjun 
dalam perjuangan di lapangan pendidikan. Penggantian jabatan 
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dari van Limburg Stirrum ke 
de Fock, pada tahun 1921 membawa sikap dan tindakan politik 
yang lebih represif terhadap pergerakan kebangsaan.  Penjelasan 
berikut memaparkan bagaimana keadaan dan perkembangan 
politik itu mempengaruhi sikap dan cara perjuangannya, yaitu: 
“saat  di dalam partai N.I.P timbul ketidak-sesuaian paham 
di antara pemimpin-pemimpinnya mengenai sikap terhadap 
pemerintah, lagi pula perkembangan nasionalisme di kalangan 
anggota-anggotanya sudah sangat merosot, maka sejak 1921 
Suwardi Suryaningrat memilih jalan baru untuk melanjutkan 
perjuangannya. Bidang yang dipilihnya sama dengan Douwes 
Dekker. Pada saat itu lahirlah putera yang ketiga, seorang puteri 
nama Ratih Tarbiah. Nama ini dimaksudkan untuk mengenangkan 
peristiwa saat permulaan ia terjun ke lapangan baru, lapangan 
pendidikan. Tarbiah berarti pendidikan. Dengan demikian maka 
dari Tiga Serangkai atau Janget Kinatelon Indische Partij yang 
pernah menjalani hukuman pengasingan di Negeri Belanda, 
hanya dr. Cipto Mangunkusumo saja yang masih meneruskan 
kegiatannya dalam bidang politik.” 
Suatu catatan yang menarik, perubahan perhatian perjuangan 
itu ditandai oleh kelahiran puterinya, yang dikukuhkan pada 
tahun-tahun berikutnya saat  menggunakan nama Ki Hajar 
Dewantara.
Berkenan dengan politik, M. Yamin memberikan 
catatannya bahwa  “Dalam pandangan Ki Hadjar, politik tidak 
mampu mengubah keadaan bangsa Indonesia. Politik justru 
semakin melahirkan kekisruhan yang semakin besar bagi 
dinamika kehidupan bangsa sebelum ada penguatan pendidikan 
dalam tubuh bangsa ini…” Pertimbangan itu timbul sesudah 
Suwardi kembali dari pengasingan Dalam 
menghadapi tantangan kebijakan pemerintah kolonial itu 
sempat terjadi dialog antara Suwardi dan isterinya, yang peran 
dan kiprah dalam perjuangannya tidak dapat dikesampingkan 
karena bukan hanya setia mendampingi melainkan selalu 
menjadi mitra dan tumpuan perjuangannya, terutama saat  ia 
harus hidup dalam penjara. Isterinya pernah menyampaikan 
bahwa Suwardi tidak cocok untuk berjuang di garis politik 
karena sifat emosional yang tidak mampu dikendalikannya 
sehingga mudah jatuh ke dalam perangkap dan jebakan lawan-
lawannya, terutama pemerintah kolonial. Dalam saat-saat 
seperti itu, percakapan tentang perjuangan pendidikan kerap 
muncul dan mendapat perhatian yang seksama dari Suwardi. 
Bertalian dengan pertimbangan itu, peristiwa pertemuan 
Suwardi dengan dua tokoh pendidikan modern Islam menjadi 
signifikan dan relevan. Pada pertengahan tahun 1920, Suwardi
dan sang isteri terlibat pembicaraan mendalam dengan dua tokoh 
penting Muhammadyah yang memaparkan rencana dan strategi 
perjuangan perkumpulan mereka dalam menghadapi rintangan 
dan hambatan colonial. Dalam perbincangan itu, Suwardi 
sempat mengungkapkan gagasan hendak mendirikan suatu 
lembaga pendidikan nasional yang berjuang untuk mencapai 
kemerdekaan walau tidak menentukan waktu yang pasti untuk 
mewujudkannya ,
Berikutnya, dua peristiwa perlu dicermati untuk 
memperoleh alasan peralihan lapangan perjuangan itu. 
Peristiwa pertama adalah pengalamannya dalam perkumpulan 
budaya di lingkungan Puri Pakualaman, Yogyakarta, Sarasehan 
(Perkumpulan atau Gerombolan) Slasa (Selasa) Kliwonan. 
Peristiwa berikutnya adalah pengalamannya mengajar di 
sekolah Adi Darma di kota yang sama. Dalam perkumpulan 
budaya, yang mendekati penempaan kebatinan dan pencarian 
kebijaksanaan, pokok bahasan hingga meliputi konsepsi 
pendidikan tradisional Jawa untuk kepentingan nasional dalam 
lingkup keprihatinan terhadap perubahan yang ditimbulkan oleh 
penerapan prinsip pendidikan modern Barat, di bawah pimpinan 
Pangeran Suryomataram.
 menggambarkan faktor 
keterlibatannya dengan perkumpulan budaya itu sebagai berikut: 
“In September 1919 he was finally able to return to Indonesia, 
and immediately his services were sought as editor and leader 
writer for various nationalist news- papers. He first settled in 
Semarang, but in 1921 he returned to Jogjakarta, and it was 
here that he became a member of a cultural discuss ion group, the 
Sarasehan Slasa Kliwonan, which seems to have given the final 
impetus to the fruition of his decision to found a National School 
System. It was during the group's discuss ions on the colonial 
predicament that he evolved a truly indigenous education which 
would implant the values of independence and nationalism in 
youth as a foundation for the political struggle for freedom.” 
Pemaparan Kenji Tsuchiya (1975: 168) memperlihatkan 
pengalaman mengajar di sekolah itu, yakni: “Teaching at the Adi 
Darma school for one year must have induced him to establish a 
new type of school based on his own ideas somewhat influenced 
by those he learnt from Europe. For this purpose, however, he 
paradoxically joined the most traditional Javanese group for 
meditation (kebatinan) Selasa Kliwon and thereby succeeded in 
starting a new school Taman Siswa on July 3,1922 at the heart 
of Javanese Island, Yogyakarta,”
Melengkapi penjelasan-penjelasan ini , adalah 
penjelasan berikut: “We can find its origins equally well in a 
culturally traditional group, the Pagujuban Selasa-Kliwon, 
which met under the well-known Jogjakarta mystic Pangeran 
Surjamataram to discuss  questions of Javanese mysticism 
(kebatinan). It decided that what Indonesia needed most was a 
good national education, and when one of its members, Suwardi, 
succeeded in founding the first Taman Siswa school, the group 
disbanded on the grounds that its ideal had been realized, 
various of its members thereupon forming the institute's first 
board of governors ,
Faktor penjelasan dan alasan utama perubahan lapangan 
perjuangan itu tentunya berkaitan erat dengan pertimbangan, 
analisis, pemikiran dan kearifannya dalam memandang 
dan memilih ranah pendidikan untuk menjadi kiprah dan 
sumbangsihnya untuk pergerakan kebangsaan dan perjuangan 
kemerdekaan Indonesia.  Dalam tulisan-tulisan kritisnya yang 
tersebar di berbagai media, saat  masih menggeluti dunia pers, 
aspek pendidikan terselip dan tersebar pada berbagai gagasan 
dan pemikiran politiknya, yang kian mendapat wujudnya 
dalam pandangannya tentang kebudayaan. Perhatian tentang 
kebudayaan tampak saat  berada pada masa pengasingan di 
Negeri Belanda.  Formulasi yang lebih tajam,mengarah dan 
utuh terjadi sejak pidato pengantarnya pada pembukaan dan 
pendirian sekolah serta perkumpulan Taman Siswa yang dimuat 
dalam terbitan resminya.
Untuk itu tidaklah mudah untuk menelusuri dan 
mengungkapkan faktor intelektual dan visioner ini , karena 
terkait erat dengan struktur pemikiran dan pengamatannya 
tentang dunia pendidikan, terutama dalam memajukan Taman 
Siswa. Beberapa pakar Sejarah mencoba menggali dan 
mengungkapkan perjuangan dan wacana intelektual sosok pendiri 
Taman Siswa itu, seperti Kenji Tsuchiya (1987), Abdurrachman 
Surjomihardjo (1986)  dan David Radcliffe (1971). Kajian 
mereka dilandaskan pada suatu perjalanan penelitian yang relatif 
panjang sehingga berhasil menjelaskan struktur pemikiran dan 
sudut pandang Suwardi Surjaningrat tentang pendidikan dalam 
dinamika perkembangan dan perubahan zaman.  Penjelasan 
berikut, walau ringkas,  setidaknya telah mencakup garis besar 
wacana intelektual itu, yakni: “Ki Hadjar Dewantara berharap 
dapat mewujudkan kemerdekaan berpikir peserta didik melalui 
pendidikan. Pada saatnya, pendidikan akan membawa peserta 
didik pada kemerdekaan yang lebih utuh. Maka, pendidikan 
adalah bagian integral dari proses memerdekakan Indonesia. 
Dalam pembukaan Perguruan Taman Siswa yang pertama, 
dengan tegas Ki Hadjar Dewantara mengajak warga  untuk 
membangun kebudayaan dan pandangan hidup sendiri dengan 
menyemaikan benih benih-benih kemerdekaan di hati rakyat 
melalui pendidikan yang bersifat nasional dalam segala aspek. 
Cita-cita pendidikannya adalah untuk kemerdekaan manusia. 
Kemerdekaan berarti setiap individu bebas untuk menggunakan 
pikirannya dan bebas dari paksaan pihak lain” , Penjelasan yang lebih kritis dan memadai memerlukan 
pendalaman lebih lanjut, kritis dan menyeluruh.

Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari pemerintah 
militer Jepang ataupun sekedar kesempatan tidak terduga 
yang terbuka pada saat kekosongan kekuasaan terjadi sebagai 
akibat dari akhir Perang Pasifik (1941-1945). Kemerdekaan
Indonesia merupakan suatu proses yang memiliki awal mula 
dan dinamikanya dalam suatu perjuangan yang berliku hingga 
berhasil diraih. Gerakan awal menuju kemerdekaan bermula 
dari kelahiran dan pembentukan kesadaran dan emansipasi 
terhadap keadaan eksploitasi penjajahan. Gerakan itu berlanjut 
pada penjelajahan dan formulasi rasa persatuan dan kesatuan 
dalam suatu identitas kebangsaan. Istilah dan konsepsi Indonesia 
merupakan penemuan orisinal dan kreatif dalam refleksi dan
wawasan modern terhadap kemajemukan warga  terjajah 
yang terpilah ke dalam berbagai etnik dan budaya. Selanjutnya, 
gerakan kebangsaan berlangsung dalam corak perjuangan 
koperatif dan non koperatif.
Salah seorang sosok perintis gerakan non koperatif 
yang mengambil sikap dan posisi bertentangan dan melawan 
kebijakan kolonialisme adalah Suwardi Surjaningrat. Bersama 
dengan kedua rekan seperjuangan, mendirikan sebuah partai 
politik, Indische Partij yang memperjuangkan kebebasan dan 
pembentukan bangsa Hindia, melalui tulisan, pidato, rapat 
umum dan konfrontasi. Perjuangan yang radikal itu berujung 
pada kebijakan represif kolonial berupa hukuman pembuangan 
dengan pilihannya ke Negeri Belanda yang tidak pernah mampu 
meredam semangat dan gejolak perjuangan konfrontatif dan 
agitatifnya.  Tekad dan ketegarannya tampak tidak mampu 
ditundukkan dan ditaklukkan oleh perlakuan tegas dan keras 
dari penguasa kolonial. Kearifan yang telah menghantarnya 
untuk beralih gelanggang perjuangan, ke lapangan pendidikan 
yang dilakoninya tetap dalam garis non koperatif untuk menuju 
kemerdekaan. 
Perjalanan perjuangan Suwardi meninggalkan tidak 
hanya semangat melainkan juga suri tauladan yang penuh 
kebijaksanaan, sebagai warisan masa lampau yang tak lekang 
oleh deru zaman. Pilihan dan visi perjuangannya, pada ranah 
pendidikan memperlihatkan relevansi dan signifikansi dengan
permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan 
negara Indonesia dewasa ini, yang sedang bekerja keras untuk 
melepaskan diri dari ketertinggalan segera menggapai kemajuan 
di tengah-tengah persaingan internasional yang kian sengit. 
Pendidikan, yang bertumpu pada kemampuan dan budaya 
sendiri, menjadi kunci utama dan penting untuk membentuk 
bangsa yang unggul dan penuh kompetensi agar tidak kalah dalam 
pertarungan dan persaingan antar bangsa itu. Kiranya harapan 
dan perjuangan Suwardi Surjaningrat tidaklah menjadi sia-sia, 
sebagaimana suri tauladan sikap, semangat, tekad, kepekaan, visi 
dan kearifan yang diperlihatkannya untuk bangsa dan negaranya 
dalam mencapaidan mengisi cita-cita kemerdekaan.