ki hajar dewantara 4
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
ki hajar dewantara 4
serta menerapkannya kepada ‘calon negara’ dalam arti murni
politis, namun halaman-halaman Hindia Potera (jurnal bulanan
IV, pen.) Soewardilah yang pertama kali mencatat penggunaan
kata ‘Indonesia’ oleh seorang Indonesia: amanat penutup acara
penyambutan kunjungan delegasi Indie Weerbaar di Den Haag
oleh ahli musikologi R.M.A. Soeryo Poetro, April 1917.” Semasa
pengasingan di negeri penjajah itu, Ia mendirikan Indonesische
Pers Bureau, Biro Pers Indonesia, yang menyebarkan istilah
Indonesia untuk warga terjajah Hindia Belanda.
Peranan dan sumbangsih Taman Siswa dalam pergerakan
kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia tampak
pada penjelasan berikut: “Taman Siswa, with its emphasis
on a national education to unite the various cultural and
ideological segments in Indonesia, has always been identified
with the prewar nationalist movement. Established in 1922 by
Ki Hadjar Dewantoro as the Nationaal Onderwijs Instituut
"Taman Siswa," the movement was to some extent a reaction to
the "deracinating" effects of Western education...Taman Siswa
attracted the support of many who regarded the organization
as working towards the political objectives of national unity
and independence. Some aRM Soewardi Soerjaningrat ociated themselves with Taman
Siswa because they believed this affiliation gave them scope to
contribute to the cause of nationalism, particularly at a time when
the Dutch were taking tough repreRM Soewardi Soerjaningrat ive measures against overt
political activities. Consequently, despite its leaders' frowning
on politics in the schools, Taman Siswa tended to encourage
the growth of anticolonial sentiments among its members. Such
factors as the socioeconomic background of its pupils, the
presence of radical nationalists on its teaching staff, Ki Hadjar
Dewantoro's pedagogical approach, and its atmosphere of
cultural nationalism--all contributed to a heightened political
consciousneRM Soewardi Soerjaningrat . By the time the 1932 Taman Siswa congreRM Soewardi Soerjaningrat
was held, there was already a large group of political activists
within the organization, many of whom were also members of
the Partai Indonesia (Partindo) and the Pendidikan Nasional
Indonesia (residues of Sukarno's banned PNI)” Sejak berjuang di ranah politik hingga memasuki
lapangan pendidikan, garis perjuangan dan pergerakannya
sangat jelas berhaluan tidak bekerja sama dengan pemerintah
dan kebijakan kolonial. Suwardi termasuk perintis pergerakan
nasional berhaluan non koperatif yang tergolong radikal dan
agitatif terhadap ketidakadilan dan eksploitasi penjajahan.
saat Taman siswa berdiri, Suwardi Surjaningrat tidak
langsung mengubah namanya menjadi Ki Hajar SeDewantara.
Perubahan itu terjadi dua tahun sesudah pendirian lembaga
pendidikan ini . Sejak itu, corak perjuangannya berubah
total,dari ranah politik menjadi dunia pendidikan. Peralihan
itu memiliki sejumlah latar belakang dan faktor pendorong,
yang tidak hanya berkaitan dengan keadaan dan perkembangan
pergerakan kebangsaan dalam pengawasan serta kebijakan
kolonial yang kian menekan dan membatasi, namun juga
tidak lepas dari wawasan, visi dan kearifan dalam menilik
permasalahan utama warga jajahan yang sedang berjuang
untuk mencapai kesadaran, semangat emansipasi, tekad
persatuan, kesejahteraan dan kemerdekaan. Oleh karena itu,
bekal kesadaran kritis dari masa sekolah, lapangan perjuangan
politik, pengalaman pengasingan, kiprah dalam kancah pers,
pematangan intelektual dan penemuan kearifan menjadi proses
dan faktor yang jalin menjalin dalam perjalanan hidupnya dan
memainkan peranan saat pengambilan keputusan untuk terjun
ke dunia pendidikan.
Tujuan emansipasi yang menjadi haluan dan latar
belakang pembentukan serta perjuangan Boedi Oetomo dan
Sarekat Islam dalam proses penempaan wawasan intelektual
melalui proses pendidikan yang ditempuh membawanya pada
suatu kesadaran dan wawasan betapa pentingnya membangkitkan
semangat dan tekad untuk mengubah tatanan kehidupan
kolonial. Melalui goresan pena dan pidato-pidato politik yang
kritis dan relevan, dalam wadah Indische Partij, pemikiran dan
seruannya mengajak warga terjajah, terutama kalangan
elite dan pergerakan kebangsaan, untuk senantiasa berjuang
dalam menghadapi penindasan kolonialisme, dalam kemasan
serta pesan yang mengajar dan mendidik. Di balik, tulisan
yang tajam dan radikal berjudul “Als ik eens Nederlander was”,
menyerukan sasaran kritiknya untuk belajar agar memahami rasa
dan empati terhadap nuansa kalbu warga terjajah. Gagasan
dan kiprah perjuangan kebangsaan dan kemerdekaan dalam
dinamika kolektif melalui organisasi Partai Hindia merupakan
suatu pembelajaran politik bagi suatu warga terjajah yang
tengah bangkit, mencari identitas, bergerak dan membayangkan
menjadi bangsa yang merdeka, yaitu Indonesia.
Pembelajaran itu berlanjut saat ia dihukum oleh peradilan
kolonial akibat kegiatan politik yang dianggap membahayakan
tatanan kolonial dan dibuang ke Negeri Belanda,bersama
dua rekan seperjuangannya dalam pergerakan Partai Hindia.
Di negeri penjajah itu, ia tetap memberikan tanda-tanda suri
tauladan, baik dalam pemikiran maupun sikap dan tindakan, di
samping tetap membangun karsa. Hidup sederhana dan mandiri,
tetap memelihara semangat perjuangan dan menyumbangkan
gagasan-gagasan yang mencerahkan melalui tulisan dijalaninya
semasa hidup di pengasingan itu. Di Negeri Belanda, ia terlibat
dalam kegiatan dan pergerakan Perhimpunan Hindia, yang kelak
menghasilkan tokoh-tokoh yang berperanan penting dalam
pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Dokter
Soetomo pernah juga terjun dalam perkumpulan ini saat
melanjutkan pendidikannya di Negeri Belanda. Suwardi menjadi
penulis yang banyak menyumbangkan gagasan cemerlang dalam
pembangunan budaya Indonesia.
Selanjutnya, ia tetap menempa diri dan menimba
ilmu pengetahuan melalui ikut serta dalam kursus-kursus
dalam praktik pendidikan. Ia tertarik untuk mempelajari
lebih,memdalami metode pendidikan model Frobel, Tagore
dan MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori, yang sedang berkembang dan melanda dunia
pendidikan di Eropa saat itu. Pengetahuan yang diperoleh
kelak menemukan kancah pengamalan sesudah ia kembali ke
Tanah Air dan mendirikan suatu perkumpulan yang bergerak
di bidang pendidikan anak bangsa.
melukiskan keadaan itu sebagai berikut, “Dewantara's interest
in the problem of education, however, goes back to his days in the
Netherlands. During the period of the purge, he was exposed to
some new pedagogical education ideas like those of MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori,
Frobel and Tagore which were very popular in Europe at that
time. These theories laid streRM Soewardi Soerjaningrat on the individual personalities of
children and their potentialities. ”
Ia juga sempat menghadiri suatu Kongres Pertama
Pendidikan Kolonial dan memperoleh sertifikat sebagai
pendidik. Dalam forum itu, ia terlibat aktif dalam pembahasan
tentang pendidikan sesuai dengan tema acara ini . Ruth
McVey (1967: 130) mengkaitkan peristiwa dan pengalaman itu
197--
dalam awal mula dan pembentukan perhatiannya pada masalah
dan signifikansi peranan pendidikan. Ia menuliskannya, “We
can trace the Taman Siswa idea, if we wish, from Suwardi
Surjaningrat's Netherlands exile of 1913-17, when he obtained
a teaching certificate, attended the First Colonial Education
CongreRM Soewardi Soerjaningrat in The Hague, and participated in discuss ions
regarding a "national" modification of the Indies school system,
a subject of some debate among Dutch educators at the time.
Motif untuk bergerak di lapangan pendidikan tampaknya
diperkuat oleh pertimbangan pribadi yang berlandaskan pada
tanggung jawab dan perannya dalam membina keluarga, terutama
putera dan puterinya, sebagaimana penggmbaran berikut,
“Rencana Soewardi mengenai pendidikan yang akan diterapkan
di tanah air ini bertambah matang, sesudah kelahiran Asti.
Anak pertama yang dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, 24
Agustus 1915 di Regentenslaan No. 166 di ‘s-Gravenhage itu,
kemudian diketahui bahwa pertumbuhannya tidak normal. Asti
berpikiran lemah. Mungkin ini disebabkan oleh hubungan darah,
yang terlalu dekat antara bapak dan ibunya (saudara sepupu)
namun ada juga yang berpendapat bahwa itu merupakan suatu
akibat sakit thypus yang pernah dideritanya pada tanggal 9 Mei
1919, sehingga mendapat perawatan di Gemeentelijk Ziekenhuis
(Rumah Sakit Umum) Den Haag, selama 42 hari; yakni dari
tanggal 24 mei hingga 6 juli 1919. Ketetapan Soewardi ini ,
sama dengan langkah pertama dari MonteRM Soewardi Soerjaningrat ori, ia juga memulai
kariernya dengan mendidik anak-anak yang lemah pikiran.”
Perhatian Suwardi yang menyemai semasa hidup di negeri
pengasingan dikemukakan juga oleh isterinya, Sutartinah yang
kelak dikenal sebagai Nyi Hajar Dewantara. Namun, gejolak
dan gairah perjuangan politik sempat menyaput perhatian itu.
Ia menggambarkannya sebagai “Semenjak kelahiran anaknya
yang pertama, sebenarnya Suwardi sudah meanruh perhatian
kepada bidang pendidikan. Sewaktu masih di negeri Belanda
Suwardi sudah pernah mengatakan bahwa dunia pendidikan di
Hindia belanda perlu sentuhan tangan para pejuang kebangsaan
dan kemerdekaan. Dan berdasar pendapat ini pulalah, maka
Sutartinah selain mengajar di Frobel School di Weimaar, iapun
mengikuti Kursus Pendidikan Guru Frobel. Dan Suwardi sendiri
pun pernah mengikuti kursus dan kemudian menggondol
Akte Guru Eropa. Akan namun sesudah Suwardi melaksanakan
slogannya ‘Kembali ke medan juang’ rupanya gagasan itu tidak
pernah timbul lagi dalam pikiran Suwardi yang mulai ditimbuni
oleh kegiatan-kegiatan politik dan jurnalistik.”
Pendidikan politik dilanjutkannya dalam pertarungan
dan agitasi langsung terhadap tatanan politik jajahan saat
masa pengasingannya selesai. Setiba di Tanah Air, segera ia
memasuki kembali ranah perjuangan politik melalui partai
politik, Nationale Indische Partij (NIP). Gagasan dan kiprahnya
memanaskan kancah politik jajahan yang tampaknya mulai
mengubah haluan kebijakan politiknya dari semangat politik Etis
dan di bawah pengaruh Perang Dunia Pertama yang membawa
berbagai akibat terutama keadaan perekonomian tidak hanya
di lingkungan Eropa dimana perang itu berlangsung melainkan
juga di kawasan koloni. Kancah kebangkitan politik kebangsaan
disemaraki oleh pergerakan partai politik lainnya yang radikal
terutama Sarekat Islam dan ISDV, cikal bakal dari Partai
Komunis Indonesia, selain kehadiran Serikat-serikat Pekerja.
Di bidang pendidikan, pendirian Muhammadiyah menandai
dan mewarnai ranah perjuangan yang kian meluas ke berbagai
kalangan dan lapisan elite terjajah.
Perkembangan politik kolonial dan kebijakan pemerintah
Hindia Belanda ikut membentuk alasan Suwardi untuk terjun
dalam perjuangan di lapangan pendidikan. Penggantian jabatan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dari van Limburg Stirrum ke
de Fock, pada tahun 1921 membawa sikap dan tindakan politik
yang lebih represif terhadap pergerakan kebangsaan. Penjelasan
berikut memaparkan bagaimana keadaan dan perkembangan
politik itu mempengaruhi sikap dan cara perjuangannya, yaitu:
“saat di dalam partai N.I.P timbul ketidak-sesuaian paham
di antara pemimpin-pemimpinnya mengenai sikap terhadap
pemerintah, lagi pula perkembangan nasionalisme di kalangan
anggota-anggotanya sudah sangat merosot, maka sejak 1921
Suwardi Suryaningrat memilih jalan baru untuk melanjutkan
perjuangannya. Bidang yang dipilihnya sama dengan Douwes
Dekker. Pada saat itu lahirlah putera yang ketiga, seorang puteri
nama Ratih Tarbiah. Nama ini dimaksudkan untuk mengenangkan
peristiwa saat permulaan ia terjun ke lapangan baru, lapangan
pendidikan. Tarbiah berarti pendidikan. Dengan demikian maka
dari Tiga Serangkai atau Janget Kinatelon Indische Partij yang
pernah menjalani hukuman pengasingan di Negeri Belanda,
hanya dr. Cipto Mangunkusumo saja yang masih meneruskan
kegiatannya dalam bidang politik.”
Suatu catatan yang menarik, perubahan perhatian perjuangan
itu ditandai oleh kelahiran puterinya, yang dikukuhkan pada
tahun-tahun berikutnya saat menggunakan nama Ki Hajar
Dewantara.
Berkenan dengan politik, M. Yamin memberikan
catatannya bahwa “Dalam pandangan Ki Hadjar, politik tidak
mampu mengubah keadaan bangsa Indonesia. Politik justru
semakin melahirkan kekisruhan yang semakin besar bagi
dinamika kehidupan bangsa sebelum ada penguatan pendidikan
dalam tubuh bangsa ini…” Pertimbangan itu timbul sesudah
Suwardi kembali dari pengasingan Dalam
menghadapi tantangan kebijakan pemerintah kolonial itu
sempat terjadi dialog antara Suwardi dan isterinya, yang peran
dan kiprah dalam perjuangannya tidak dapat dikesampingkan
karena bukan hanya setia mendampingi melainkan selalu
menjadi mitra dan tumpuan perjuangannya, terutama saat ia
harus hidup dalam penjara. Isterinya pernah menyampaikan
bahwa Suwardi tidak cocok untuk berjuang di garis politik
karena sifat emosional yang tidak mampu dikendalikannya
sehingga mudah jatuh ke dalam perangkap dan jebakan lawan-
lawannya, terutama pemerintah kolonial. Dalam saat-saat
seperti itu, percakapan tentang perjuangan pendidikan kerap
muncul dan mendapat perhatian yang seksama dari Suwardi.
Bertalian dengan pertimbangan itu, peristiwa pertemuan
Suwardi dengan dua tokoh pendidikan modern Islam menjadi
signifikan dan relevan. Pada pertengahan tahun 1920, Suwardi
dan sang isteri terlibat pembicaraan mendalam dengan dua tokoh
penting Muhammadyah yang memaparkan rencana dan strategi
perjuangan perkumpulan mereka dalam menghadapi rintangan
dan hambatan colonial. Dalam perbincangan itu, Suwardi
sempat mengungkapkan gagasan hendak mendirikan suatu
lembaga pendidikan nasional yang berjuang untuk mencapai
kemerdekaan walau tidak menentukan waktu yang pasti untuk
mewujudkannya ,
Berikutnya, dua peristiwa perlu dicermati untuk
memperoleh alasan peralihan lapangan perjuangan itu.
Peristiwa pertama adalah pengalamannya dalam perkumpulan
budaya di lingkungan Puri Pakualaman, Yogyakarta, Sarasehan
(Perkumpulan atau Gerombolan) Slasa (Selasa) Kliwonan.
Peristiwa berikutnya adalah pengalamannya mengajar di
sekolah Adi Darma di kota yang sama. Dalam perkumpulan
budaya, yang mendekati penempaan kebatinan dan pencarian
kebijaksanaan, pokok bahasan hingga meliputi konsepsi
pendidikan tradisional Jawa untuk kepentingan nasional dalam
lingkup keprihatinan terhadap perubahan yang ditimbulkan oleh
penerapan prinsip pendidikan modern Barat, di bawah pimpinan
Pangeran Suryomataram.
menggambarkan faktor
keterlibatannya dengan perkumpulan budaya itu sebagai berikut:
“In September 1919 he was finally able to return to Indonesia,
and immediately his services were sought as editor and leader
writer for various nationalist news- papers. He first settled in
Semarang, but in 1921 he returned to Jogjakarta, and it was
here that he became a member of a cultural discuss ion group, the
Sarasehan Slasa Kliwonan, which seems to have given the final
impetus to the fruition of his decision to found a National School
System. It was during the group's discuss ions on the colonial
predicament that he evolved a truly indigenous education which
would implant the values of independence and nationalism in
youth as a foundation for the political struggle for freedom.”
Pemaparan Kenji Tsuchiya (1975: 168) memperlihatkan
pengalaman mengajar di sekolah itu, yakni: “Teaching at the Adi
Darma school for one year must have induced him to establish a
new type of school based on his own ideas somewhat influenced
by those he learnt from Europe. For this purpose, however, he
paradoxically joined the most traditional Javanese group for
meditation (kebatinan) Selasa Kliwon and thereby succeeded in
starting a new school Taman Siswa on July 3,1922 at the heart
of Javanese Island, Yogyakarta,”
Melengkapi penjelasan-penjelasan ini , adalah
penjelasan berikut: “We can find its origins equally well in a
culturally traditional group, the Pagujuban Selasa-Kliwon,
which met under the well-known Jogjakarta mystic Pangeran
Surjamataram to discuss questions of Javanese mysticism
(kebatinan). It decided that what Indonesia needed most was a
good national education, and when one of its members, Suwardi,
succeeded in founding the first Taman Siswa school, the group
disbanded on the grounds that its ideal had been realized,
various of its members thereupon forming the institute's first
board of governors ,
Faktor penjelasan dan alasan utama perubahan lapangan
perjuangan itu tentunya berkaitan erat dengan pertimbangan,
analisis, pemikiran dan kearifannya dalam memandang
dan memilih ranah pendidikan untuk menjadi kiprah dan
sumbangsihnya untuk pergerakan kebangsaan dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dalam tulisan-tulisan kritisnya yang
tersebar di berbagai media, saat masih menggeluti dunia pers,
aspek pendidikan terselip dan tersebar pada berbagai gagasan
dan pemikiran politiknya, yang kian mendapat wujudnya
dalam pandangannya tentang kebudayaan. Perhatian tentang
kebudayaan tampak saat berada pada masa pengasingan di
Negeri Belanda. Formulasi yang lebih tajam,mengarah dan
utuh terjadi sejak pidato pengantarnya pada pembukaan dan
pendirian sekolah serta perkumpulan Taman Siswa yang dimuat
dalam terbitan resminya.
Untuk itu tidaklah mudah untuk menelusuri dan
mengungkapkan faktor intelektual dan visioner ini , karena
terkait erat dengan struktur pemikiran dan pengamatannya
tentang dunia pendidikan, terutama dalam memajukan Taman
Siswa. Beberapa pakar Sejarah mencoba menggali dan
mengungkapkan perjuangan dan wacana intelektual sosok pendiri
Taman Siswa itu, seperti Kenji Tsuchiya (1987), Abdurrachman
Surjomihardjo (1986) dan David Radcliffe (1971). Kajian
mereka dilandaskan pada suatu perjalanan penelitian yang relatif
panjang sehingga berhasil menjelaskan struktur pemikiran dan
sudut pandang Suwardi Surjaningrat tentang pendidikan dalam
dinamika perkembangan dan perubahan zaman. Penjelasan
berikut, walau ringkas, setidaknya telah mencakup garis besar
wacana intelektual itu, yakni: “Ki Hadjar Dewantara berharap
dapat mewujudkan kemerdekaan berpikir peserta didik melalui
pendidikan. Pada saatnya, pendidikan akan membawa peserta
didik pada kemerdekaan yang lebih utuh. Maka, pendidikan
adalah bagian integral dari proses memerdekakan Indonesia.
Dalam pembukaan Perguruan Taman Siswa yang pertama,
dengan tegas Ki Hadjar Dewantara mengajak warga untuk
membangun kebudayaan dan pandangan hidup sendiri dengan
menyemaikan benih benih-benih kemerdekaan di hati rakyat
melalui pendidikan yang bersifat nasional dalam segala aspek.
Cita-cita pendidikannya adalah untuk kemerdekaan manusia.
Kemerdekaan berarti setiap individu bebas untuk menggunakan
pikirannya dan bebas dari paksaan pihak lain” , Penjelasan yang lebih kritis dan memadai memerlukan
pendalaman lebih lanjut, kritis dan menyeluruh.
Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari pemerintah
militer Jepang ataupun sekedar kesempatan tidak terduga
yang terbuka pada saat kekosongan kekuasaan terjadi sebagai
akibat dari akhir Perang Pasifik (1941-1945). Kemerdekaan
Indonesia merupakan suatu proses yang memiliki awal mula
dan dinamikanya dalam suatu perjuangan yang berliku hingga
berhasil diraih. Gerakan awal menuju kemerdekaan bermula
dari kelahiran dan pembentukan kesadaran dan emansipasi
terhadap keadaan eksploitasi penjajahan. Gerakan itu berlanjut
pada penjelajahan dan formulasi rasa persatuan dan kesatuan
dalam suatu identitas kebangsaan. Istilah dan konsepsi Indonesia
merupakan penemuan orisinal dan kreatif dalam refleksi dan
wawasan modern terhadap kemajemukan warga terjajah
yang terpilah ke dalam berbagai etnik dan budaya. Selanjutnya,
gerakan kebangsaan berlangsung dalam corak perjuangan
koperatif dan non koperatif.
Salah seorang sosok perintis gerakan non koperatif
yang mengambil sikap dan posisi bertentangan dan melawan
kebijakan kolonialisme adalah Suwardi Surjaningrat. Bersama
dengan kedua rekan seperjuangan, mendirikan sebuah partai
politik, Indische Partij yang memperjuangkan kebebasan dan
pembentukan bangsa Hindia, melalui tulisan, pidato, rapat
umum dan konfrontasi. Perjuangan yang radikal itu berujung
pada kebijakan represif kolonial berupa hukuman pembuangan
dengan pilihannya ke Negeri Belanda yang tidak pernah mampu
meredam semangat dan gejolak perjuangan konfrontatif dan
agitatifnya. Tekad dan ketegarannya tampak tidak mampu
ditundukkan dan ditaklukkan oleh perlakuan tegas dan keras
dari penguasa kolonial. Kearifan yang telah menghantarnya
untuk beralih gelanggang perjuangan, ke lapangan pendidikan
yang dilakoninya tetap dalam garis non koperatif untuk menuju
kemerdekaan.
Perjalanan perjuangan Suwardi meninggalkan tidak
hanya semangat melainkan juga suri tauladan yang penuh
kebijaksanaan, sebagai warisan masa lampau yang tak lekang
oleh deru zaman. Pilihan dan visi perjuangannya, pada ranah
pendidikan memperlihatkan relevansi dan signifikansi dengan
permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa dan
negara Indonesia dewasa ini, yang sedang bekerja keras untuk
melepaskan diri dari ketertinggalan segera menggapai kemajuan
di tengah-tengah persaingan internasional yang kian sengit.
Pendidikan, yang bertumpu pada kemampuan dan budaya
sendiri, menjadi kunci utama dan penting untuk membentuk
bangsa yang unggul dan penuh kompetensi agar tidak kalah dalam
pertarungan dan persaingan antar bangsa itu. Kiranya harapan
dan perjuangan Suwardi Surjaningrat tidaklah menjadi sia-sia,
sebagaimana suri tauladan sikap, semangat, tekad, kepekaan, visi
dan kearifan yang diperlihatkannya untuk bangsa dan negaranya
dalam mencapaidan mengisi cita-cita kemerdekaan.