hatta 1





 ----------
BENDI itu berhenti di depan Stasiun Pasar Bawah. Seorang lelaki 
menghampiri, berniat menumpang. Sais bendi menyebutkan ongkos. Lelaki 
ini  menawar. Tapi harga tak kunjung cocok. Tak sabar meladeni, sais 
itu menghardik dengan suara keras, "Kalau tidak punya uang, jangan naik 
bendi. Jalan kaki saja." Calon penumpang itu, Wakil Presiden Republik 
Indonesia Mohammad Hatta, hanya tersenyum sembari berlalu. Cuplikan 
kisah 55 tahun silam ini dituturkan kepada TEMPO oleh Husein Abdullah, 
bekas Komandan Corps Polisi Militer Bukit Tinggi.  
Pernah menjadi sepupu ipar Hatta, Husein menyaksikan dari dekat 
beberapa sisi kehidupan Hatta saat sang Wakil Presiden kembali ke Bukit 
Tinggi dan memerintah selama dua tahun (1947-1949) dari kota itu. Seabad 
Bung Hatta adalah ingatan tentang Bukit Tinggi. Hawa sejuk mengaliri kota 
ini dari Gunung Merapi dan Singgalang serta barisan pegunungan yang 
melingkarinya. Hatta memang beruntung. Dia lahir di kota ini, yang 
membelah Ngarai Sianok. Kaum tua-tua melukiskan keindahan ngarai yang 
subur itu sebagai tempat "desau air di celah-celah batu sungai terdengar 
seperti nyanyian musim panen." Di Desa Aur Tajungkang-kini menjadi 
bagian dari pusat Kota Bukit Tinggi-tegak sebuah rumah kayu bertingkat 
dua. Di sinilah Saleha Djamil melahirkan Mohammad Hatta pada 14 
Agustus 1902.  
Di sini pula Saleha dan suaminya, Mohammad Djamil, mempertautkan bayi 
itu dengan tanah Minang, dengan garis darah sebuah keluarga terpandang. 
Hatta memang lahir dari perpaduan dua keluarga terkemuka: pemuka 
agama dan saudagar. Kini, di ambang satu abad kelahiran Hatta, orang 
ramai datang ke Bukit Tinggi untuk menengok rumah kayu itu. Mereka 
sekadar berkunjung atau boleh jadi ingin meresapi satu jalan sejarah 
terpenting yang pernah ada di negeri ini dalam sosok Mohammad Hatta. Di 
kemudian hari, sesudah  menjadi wakil presiden, Hatta kembali ke kota itu. 
Dua tahun dia memerintah dari Bukit Tinggi. Gedung Tri Arga--lazim 
disebut Istana Bung Hatta adalah tempat kediamannya saat  itu. Sampai 
sekarang, Gedung Tri Arga masih kukuh berdiri di depan Jam Gadang, 
simbol Kota Bukit Tinggi. Hatta tidur di kamar besar belakang, yang 
jendelanya menghadap ke Gunung Singgalang.  
Pada periode ini , penduduk Bukit Tinggi dapat menyaksikan dari 
dekat kehidupan Hatta yang seperti selalu dikisahkan orang-sederhana dan 
cermat pada waktu. Beberapa spanduk putih yang berkibar di dekat rumah 
kelahirannya dan beberapa kantor pemerintah di Bukit Tinggi dalam 
rangka seabad Bung Hatta juga menuliskan ingatan yang sama: "Seabad 

Bung Hatta: Arif, Hemat, Santun, dan Sederhana." Menurut Husein, pada 
1947 itu, kendati sudah menjadi pejabat tinggi, Hatta sering jalan kaki 
sendirian-tanpa pengawal-berkeliling kota setiap usai salat subuh. "Beliau 
jalan dengan membawa tongkat yang ujungnya melengkung untuk 
pegangan," kata Husein. Dari masjid di dekat Pasar Atas, Bung Hatta 
berjalan menyusuri jalan di depan stasiun kereta ke Pasar Bawah.  
Di sepanjang jalan, dia menegur warga yang pekarangan rumahnya penuh 
sampah. "Tapi beliau tidak pernah marah, sekadar memberi tahu," ujar 
Husein kepada TEMPO. Alhasil, kota itu menjadi bersih selama Bung Hatta 
berkantor di sana. Agak ke luar kota, sekitar 25 kilometer dari Bukit Tinggi, 
garis kehidupan Hatta terukir dengan jelas di Desa Batu Hampar, 
Payakumbuh. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, lahir serta dikuburkan di 
desa itu. Makam keluarga Hatta dari pihak ayahnya itu terletak di tengah 
rumah-rumah sederhana warga Batu Hampar. Berbentuk bangunan beton 
seluas 10 x 6 meter persegi dengan banyak kubah di atapnya, kompleks itu 
disebut Gobah-makam para syekh di Batu Hampar. Kakek Hatta memang 
se-orang ulama besar dan pemuka agama ternama di Sumatera Barat pada 
masa itu: Syekh Abdurrachman, yang juga dikenal sebagai Syekh Batu 
Hampar (lihat Karena Kasih Sepanjang Jalan). Ziarah terakhir Hatta ke Batu 
Hampar adalah pada 1978, saat dia merayakan hari jadinya yang ke-76.  
Buya Sya'roni Kholil, sepupu Hatta yang menjadi penjaga makam, bercerita 
kepada TEMPO, setiap kali datang, Hatta akan masuk ke ruang dalam dari 
makam berkubah itu dan berdoa di sisi makam ayahnya-yang wajahnya tak 
pernah dia kenal. Saat berkedudukan di Bukit Tinggi sebagai wakil 
presiden, Hatta pun pernah datang ke sana. Harusin Saleh, sepupu Hatta, 
ikut dalam perjalanan itu sebagai seorang bocah. "Kami naik mobil. Saya 
duduk di samping sopir, sedangkan Bung Hatta berada di bangku belakang 
bersama Ayah (Saleh Sutan Sinaro)," tutur Harusin. Begitu mereka 
memasuki perbatasan Payakumbuh, ribuan manusia sudah menanti di tepi 
jalan. Keluarga besar Syekh Batu Hampar menggelar upacara penerimaan 
yang besar. Seusai perjamuan siang, Bung Hatta memberikan wejangan 
kepada keluarga. "Dia berpesan agar seluruh keluarga berdamai, jelang-
menjelang. Saat memandang pohon-pohon kelapa di sekitar rumah yang 
tinggi, Hatta meminta agar pohon itu diremajakan karena kelapa berguna 
dari akar hingga daunnya," kata Buya Sya'roni kepada TEMPO. Sebelum 
kembali ke Bukit Tinggi, Hatta membagikan oleh-oleh rokok Jawa kepada 
seluruh keluarga. Batu Hampar memiliki surau yang terkenal, yang 
didirikan dan dipimpin oleh kakek Hatta. Tapi tinggal jauh di Bukit Tinggi 
membuat Hatta kecil tak dapat berguru kepada syekh ternama itu. 
Pelajaran agamanya di masa kanak-kanak dia peroleh dari Syekh 
Mohammad Djamil Djambek.  
Ulama yang lahir pada 1862 ini menerima murid di suraunya selepas 
belajar ilmu falak di Mekah. Di sinilah Hatta belajar mengaji. Surau Syekh 
Djambek terletak di tengah persawahan tak jauh dari rumah Hatta di Aur 
Tajungkang. Di surau ini, Hatta khatam membaca Al-Quran. Waktu satu 
abad tidak melenyapkan surau ini. Namun perkembangan kota yang cepat 
telah menenggelamkannya di seputar bangunan-bangunan di Pasar Bawah, 
Bukit Tinggi. Jalan pintas yang dilewati Hatta dulu melalui pematang 
sawah saat ia pergi mengaji ke surau sudah hilang. Sebagai gantinya, 
berdirilah rumah-rumah, toko-toko, dan los-los pasar. Alhasil, untuk 
mencapai surau itu, orang harus memutari jalan yang penuh manusia, 
berbelok menyusuri jalan kecil yang padat manusia, lalu masuk ke lorong 
kecil di sela-sela petak penjualan sayur sembari berdesakan dengan para 
pembeli.  
Toh, kisah tentang Hatta di surau itu masih tersimpan dengan baik. Faisal 
Basyir-cucu Syekh Djambek-dengan fasih membuka cerita yang dia terima 
dari ayah dan kakeknya: Hatta tergolong anak pandai, tekun, dan amat 
berdisiplin mengaji. Tak pernah alpa dia datang ke surau itu setiap habis 
belajar di Europeesche Lagere School (ELS). Tapi Hatta, kendati lancar 
membaca, tidak terlalu pandai melagukan Al-Quran. Hasilnya? Hatta 
tumbuh sebagai sosok yang religius. Dalam sebuah pidato kebudayaannya 
di Jakarta untuk mengenang seratus tahun Bung Hatta pada awal Juni lalu, 
budayawan Nurcholish Madjid mengatakan, penampilan Bung Hatta yang 
seperti seorang sufi-memiliki ketulus-ikhlasan, kesederhanaan, kerendahan 
hati, dan kedalaman pikiran-tak lepas dari latar belakang keluarganya: dia 
putra seorang guru mursyid sebuah persaudaraan sufi di Sumatera Barat. 
Menurut Nurcholish, Hatta berkembang menjadi sebuah pribadi yang 
sepenuh-penuhnya modern sekaligus pekat dengan perilaku keagamaan 
yang saleh.  
Dasar pendidikan agama yang kuat yang diterimanya di Bukit Tinggi 
diteruskan di Padang saat dia belajar di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs 
(MULO). Di kota itu, Haji Abdullah Ahmad memberinya bimbingan agama. 
Masa-masa di MULO juga menjadi periode yang penting saat kesadaran 
politiknya sebagai anak bangsa mulai tumbuh dan berkembang, terutama 
dalam kedudukannya sebagai pelajar yang mengenal Jong Sumatranen 
Bond. Hatta menjadi pengurus dan bendahara perkumpulan ini. Dalam 
Mohammad Hatta: Biografi Politik yang ditulis Deliar Noer, dikisahkan 
bagaimana Hatta mulai sering mengikuti ceramah dan pertemuan politik 
yang diadakan tokoh politik lokal, umpamanya Sutan Ali Said. Dia juga 
selalu hadir bila ada tokoh politik dari Jakarta yang bertandang ke 
Minangkabau, seperti Abdoel Moies dari Sarekat Islam.  
Persentuhannya terhadap ketidakadilan yang ditebarkan oleh kolonial 
Belanda sudah bermula dari peristiwa-peristiwa dalam keluarganya saat 
dia masih kanak-kanak dan bersekolah di sekolah dasar Belanda (ELS) di 
Bukit Tinggi. Kerabat kakeknya, Rais, ditangkap oleh pemerintah karena 
mengkritik seorang pejabat Belanda yang melakukan perbuatan "tidak 
senonoh" dalam surat kabar Utusan Melayu. Hatta amat terkesan oleh sikap 
kerabat kakeknya saat  itu. Dalam ingatan kanak-kanaknya, ia melihat 
Rais melambaikan tangannya yang terbelenggu dari balik kereta api yang 
membawanya dari Payakumbuh ke Bukit Tinggi, lalu ke Padang. Saat itu, 
Hatta dan keluarganya menanti kereta itu lewat dari tepi jalan.  
Masa remaja Hatta tidak semata-mata diisi dengan urusan ilmu dan agama. 
Sebagai anak muda, dia juga menemukan kesenangan hidup, joie de vivre. 
Salah satu kesenangan itu ada di Plein van Rome, lapangan sepak bola yang 
terletak di alun-alun kota, di depan Kantor Gemeente, Padang. Dia 
bergabung dalam klub sepak bola Young Fellow. Pemainnya terdiri atas 
anak-anak Belanda dan pribumi. Klub ini pernah menjadi juara Sumatera 
selama tiga tahun berturut-turut semasa Hatta menjadi anggotanya. 
Marthias Doesky Pandoe, 78 tahun, seorang wartawan tua dari Padang, 
menyimpan banyak kenangan tentang periode ini.  
Menurut Pandoe, teman-teman Hatta yang pernah ditemuinya bercerita 
bahwa proklamator itu adalah gelandang tengah-sesekali dia menjadi bek-
yang tangguh. Orang-orang Belanda memberinya julukan onpas seerbaar 
(sukar diterobos begitu saja). Rahim Oesman, bekas temannya di MULO 
yang belakangan menjadi dokter ahli penyakit dalam, adalah tukang jinjing 
sepatu bola Hatta. Dengan menenteng sepatu itu, dia bisa masuk ke 
lapangan dan menonton pertandingan dengan perdeo. Kegemaran Hatta 
pada bola tak hilang saat  dia telah menjadi salah satu tokoh politik 
terpenting Indonesia. Dia tak pernah absen menonton pertandingan besar.  
Dan Hatta adalah satu dari dua tokoh-selain Sultan Hamengku Buwono IX, 
yang saat itu menjadi Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia-yang 
pernah mendapat hadiah kartu gratis untuk menonton sepak bola dari Ali 
Sadikin tatkala mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjabat Ketua Persatuan 
Sepak Bola Seluruh Indonesia. Di masa tuanya, Hatta tetap menggemari 
bola dan mengenang Plein van Rome. Pada awal 1970-an, saat Pandoe 
bertamu ke rumah Hatta di Jakarta, tuan rumah bertanya, "Di mana letak 
Plein van Rome sekarang?" Pandoe menjawab bahwa lapangan bola itu 
masih ada, tapi kini telah menjadi alun-alun Kota Padang. Namanya sudah 
berganti menjadi Lapangan Imam Bonjol, yang berlokasi tepat di depan 
Kantor Balai Kota Padang. Pertautan Hatta kepada Bukit Tinggi dan 
Padang-dua kota di Minangkabau yang berperan dalam pembentukan 
pribadinya-boleh dikata terus berlangsung hingga jauh sesudah  dia 
meninggal. Kedua kota itu berupaya mengikatkan diri dengan Bung Hatta 
melalui jalan yang selalu ditempuh anak dari Aur Tajungkang itu sepanjang 
hidupnya: buku dan ilmu pengetahuan.  
Di Padang, ada Universitas Bung Hatta yang didirikan oleh warga  dan 
sejumlah tokoh Minangkabau. Sedangkan di Bukit Tinggi, tegaklah 
Perpustakaan Bung Hatta-yang menyimpan ribuan judul buku. Sayang, 
kondisi perpustakaan itu kini amat menggiriskan hati: rak-rak bukunya 
penuh jelaga di setiap sudut, sedangkan lantainya kotor dan kusam. 
Beberapa buku terpenting yang disumbangkan keluarga Hatta terkunci di 
dalam lemari tripleks yang sudah terkelupas, yang kacanya ditutupi kertas 
minyak. Lemari-lemari buku ini liat dan berderak saat  dibuka.  
Debu-debu terbang dari tumpukan buku yang diletakkan lintang-
melintang. Perpustakaan yang menyimpan 25 ribu judul buku itu hanya 
ditengok oleh tak lebih dari 50 orang setiap hari-kebanyakan anak sekolah 
dan pegawai. Suasana perpustakaan itu, yang direkam TEMPO pada Juni 
silam, menunjukkan satu hal: betapa sulitnya menempuh jalan pengetahuan 
yang telah diperlihatkan Hatta-bahkan sesudah  satu abad kelahirannya. 
Seorang penyair dari Padang pernah berkata kepada beberapa kanak-kanak 
yang datang kepadanya untuk belajar menulis puisi, "Tulislah sesuatu yang 
kalian ketahui tentang Bung Hatta. Dia orang besar dan hidupnya seperti 
buku yang tak akan pernah tamat dibaca." 
 
TAHUN baru 1908. Mohammad Hatta datang dari sekolah dengan 
menimang sebuah kapal-kapalan dari kaleng bekas-hadiah tahun baru 
dari Sinterklas di sekolahnya. Sepulang sekolah, ia mengajak 
sahabatnya, Rasjid Manggis, melayarkan kapal kecil itu di tebat kecil 
sembari menunggu jam mengaji di surau Inyiek Djambek tiba. Di hari 
yang lain, waktu lowong Hatta diisi dengan menyepak bola rotan. 
Kapal-kapalan dan bola rotan adalah mainan yang membuat Hatta 
begitu riang di masa kecil. Selebihnya, hari-hari Hatta adalah belajar. 
Sejak ber-umur lima tahun, siang hari ia belajar di Sekolah Melayu 
Paripat dan les bahasa Belanda pada Tuan Ledeboer di waktu petang. 
Alhasil, Hatta tak menemukan kesulitan saat  ia akhirnya bersekolah di 
Europeesche Lagere School, sekolah dasar khusus untuk anak-anak 
Belanda, di Bukit Tinggi. Orang-orang tua di Bukit Tinggi menyebut dia 
anak cie pamaenan mato-anak yang pada dirinya terpendam kebaikan, 
dan perangainya mengundang rasa sayang. Ayahnya, Syekh 
Muhammad Djamil, meninggal tatkala ia bayi berusia delapan bulan, 
tapi Mohammad Hatta tak pernah kehilangan kasih sayang. Ia tumbuh 
dalam buaian ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya. Nenek Aminah 
yang keras mengajarkan keteguhan hati, sedangkan Kakek Ilyas Baginda 
Marah mendidik Hatta prinsip-prinsip dasar perniagaan. Bersekolah di 
sekolah dasar Belanda, setiap pagi Hatta diantar dengan kereta bendi 
milik kakeknya. Setamat sekolah di Padang, pertengahan Juni 1919, 
Hatta berangkat ke Betawi. Di sanalah untuk pertama kalinya dia 
bertemu dengan Mak Etek Ayub, pamannya. Pria ini memainkan 
peranan penting dalam kehidupan sang keponakan. Ayub adalah 
perantau dari Bukit Tinggi. Ayahnya, Rais, seorang saudagar barang 
hutan di Payakumbuh, sahabat Ilyas Baginda Marah, kakek Bung Hatta. 
Di Betawi, Ayub mula-mula bekerja sebagai juru tulis seorang pedagang 
bangsa Jerman. Karena rajin, dia diangkat anak oleh sang majikan, 
bahkan diajari cara berdagang. Dan di kemudian hari, Ayub tumbuh 
menjadi seorang saudagar besar tapi hidup sederhana. Ia memimpin 
Malaya Import Maatschappij dan Firma Djohan Djohor-yang menjadi 
buah bibir pribumi-toko-toko ternama karena aksi jual murahnya yang 
memaksa toko-toko Cina di Pasar Senen, Pasar Baru, dan Kramat me-
nurunkan harga barang. Suatu sore di akhir Agustus 1919, Hatta 
mendatangi kantor Ayub di kawasan Patekoan. Saat itulah Ayub 
menyatakan akan membiayai Hatta selama di Jakarta. "Uang sekolah 
dan belanja Hatta di sini Mak Etek yang tanggung. Jangan menyusahkan 
bagi orang di rumah," kata Ayub. Sejak saat itu, Mak Etek Ayub 
memberikan uang belanja kepada Hatta sebesar 75 gulden sebulan. 
Jumlah ini jauh melebihi yang diperlukan anak muda itu sehingga uang 
kiriman dari kampung disimpannya di Bank Tabungan Pos. Mak Etek 
Ayub pula yang memperkenalkan Hatta pada buku. Suatu sore di akhir 
Agustus, Ayub membawa Hatta ke toko buku di kawasan Harmonie. Ia 
membeli tiga buku tentang sosial dan ekonomi: Staathuishoudkunde 
karangan N.G. Pierson, De Socialisten yang disusun H.P. Quack, dan 
Het Jaar 2000 yang ditulis Belamy. "Inilah buku-buku yang bermula 
kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku," tulis Bung Hatta di 
kemudian hari. Pada Maret 1921, Hatta pindah dari tempat kos ke 
rumah baru Mak Etek Ayub di kawasan Tanah Abang. Di rumah ini 
Hatta diberi dua kamar: satu untuk tidur, satu untuk ruang kerja. Pada 
Mak Etek Ayublah Hatta mulai belajar cara berdagang. Bisnis Mak Etek 
Ayub, menurut Hatta, adalah "dagang waktu". Ia berdagang dengan 
cara spekulasi harga: meminjam sekarung lada kepada seorang 
pedagang lain, menjualnya ke pasar, lalu tiga bulan kemudian ia 
mengembalikan sekarung lada juga kepada pedagang itu-dengan harga 
berapa pun. Pada perbedaan harga dulu dan tiga bulan kemudian inilah 
letak untung-rugi Mak Etek Ayub. "Dalam dagang waktu ini, Mak Etek 
Ayub seperti punya indra keenam. Ia selalu mencetak untung," kata 
Hatta. Suatu saat , Hatta menyaksikan Mak Etek Ayub sukses 
mencetak untung 10 ribu gulden dalam tempo 15 menit saja. Hatta 
tercengang saat  Ayub menawarkan seluruh keuntungan itu 
kepadanya. "Uang ini Hatta ambil sajalah, simpan di bank. Pakai untuk 
membiayai pelajaranmu ke Rotterdam," kata Mak Etek Ayub. Tapi Hatta 
tidak serta-merta menerima. "Lebih baik Mak Etek perputarkan saja 
uang itu dulu. Hasilnya tentu lebih banyak," kata Hatta. Di kemudian 
hari, Hatta amat menyesal tidak segera mengambil uang itu: beberapa 
bulan sebelum Hatta ke Belanda pada 1921, Mak Etek Ayub dinyatakan 
pailit karena piutangnya yang tidak tertagihkan pada saudagar lain. 
Gara-gara pailit, Ayub mendekam enam bulan dalam tahanan 
pemerintah Hindia Belanda. Dari balik jeruji penjara, Ayub berpesan 
agar Hatta tetap meneruskan pelajarannya ke Negeri Belanda. "Biarlah, 
aku beristirahat sebentar di sini. Aku gembira sekarang Hatta sudah 
dapat berangkat ke Rotterdam," kata Mak Etek Ayub. Maka, dengan 
meninggalkan Mak Etek Ayub dalam tahanan, Hatta berangkat ke 
Belanda. Selama 11 tahun, Hatta bergulat dengan berbagai aktivitas 
pergerakan di Negeri Belanda, termasuk memimpin organisasi pelajar 
dari Tanah Air di Eropa, Perhimpunan Indonesia. Pada Juli 1932, sesudah  
sempat mengenyam ruang tahanan di Belanda, Hatta kembali ke Tanah 
Air. "Ia menjadi orang yang dihindari oleh banyak orang. Mereka takut 
dianggap dekat dengan Hatta oleh penjajah," kata Meutia Farida 
Swasono, putri sulung Hatta. Tapi Ayub mengesampingkan semua itu. 
Ia menyambut kedatangan Hatta di bawah intaian para mata-mata 
pemerintah Hindia Belanda. Mak Etek Ayub juga menawarkan posisi 
sekretaris direksi di perusahaannya, Malaya Import Maatschappij, 
kepada anak angkatnya yang baru selesai studi di Belanda itu. Tapi 
Hatta memilih berkutat di dunia pergerakan dengan memimpin 
Pendidikan Nasional Indonesia. Sekitar bulan Desember 1932, Hatta 
terlibat dalam polemik dengan Sukarno. Selama tiga bulan debat mereka 
mengisi petak-petak koran Daulat Ra'jat, Menjala, Api Ra'jat, dan Fikiran 
Rakjat. Waktu Hatta benar-benar tersita untuk itu. "Apakah dapat 
kukurangkan ketegangan ini jika aku tinggal di rumah?" Hatta bertanya 
kepada dirinya sendiri. Lagi-lagi Mak Etek Ayub menjadi penawar bagi 
kegusaran Hatta. Saudagar itu mengajaknya ikut serta dalam satu 
kunjungan bisnis ke Jepang. Dengan menumpang kapal Djohor Maru, 
keduanya berlayar ke Jepang pada Februari 1933. Di Jepang, Hatta-yang 
ikut dengan alasan meredakan ketegangan-kaget oleh sambutan media 
massa negeri itu. Baru saja kapal bersandar di Pelabuhan Kobe, para 
wartawan telah menunggunya di tangga kapal dan menyapanya. 
Mereka menyebut dia dengan julukan "Gandhi of Java". Tiga bulan di 
Jepang, hari-hari Hatta terisi oleh undangan demi undangan: dari Wali 
Kota Tokyo, menteri pertahanan, dan parlemen Jepang. Keduanya 
kembali ke Indonesia pada awal Mei 1933. Beberapa saat kemudian, 
Mak Etek Ayub ditangkap. "Ayah dianggap pro-Jepang. Apalagi Ayah 
menyekolahkan kakak saya, John Rais, di Universitas Waseda," kata Iskandar 
Rais, 73 tahun, putra Mak Etek Ayub. Hatta sendiri tidak berdaya 
melihat Mak Etek Ayub ditawan Jepang. Untunglah Jepang kemudian 
takluk kepada Sekutu. Ayub lantas dibebaskan dari Penjara Cilacap. 
Tapi, kesehatannya terus menurun. Penyakit liver yang dia derita sejak 
dalam tahanan tak pernah pulih seperti semula. Pada akhir 1948, Mak 
Etek Ayub Rais meninggal dunia di rumahnya di Bogor pada usia 53 
tahun. Hatta mendapat berita duka itu di daerah pembuangannya di 
Bangka. Beberapa kali semasa menjadi wakil presiden dan sesudah 
pensiun, Hatta berziarah ke makam itu secara diam-diam. Tak seorang 
pun tahu bagaimana Hatta menekuri tahun-tahun yang lewat bersama 
Mak Etek Ayub Rais di sisi nisan ini . Boleh jadi karena kedekatan 
17 
 
mereka, menjelang kemerdekaan, para tetua Minang di Jakarta sempat 
berikhtiar untuk menjodohkan Bung Hatta dengan Nelly, putri sulung 
Mak Etek Ayub Rais. Tapi sifat keduanya rupanya bersimpang jauh. 
Nelly Rais anak seorang saudagar kaya yang besar di Jakarta, sementara 
Hatta adalah pemuda perantau yang besar dalam lingkungan puritan. 
Toh, Hatta mengingat Mak Etek Ayub Rais seakan ayahnya sendiri. 
Nama Mak Etek ia tebar dalam buku memoarnya. Di rumah kelahiran 
Bung Hatta di Aur Tajungkang, Bukit Tinggi, foto hitam-putih Mak Etek 
Ayub digantung di depan kamar kakek Bung Hatta. saat  TEMPO 
berkunjung ke rumah itu pada Juni silam, foto itu masih tetap ada di 
sana. Wajah Ayub Rais yang setengah tertawa terbingkai dalam pigura 
yang sudah kusam dimakan waktu. Tawanya seperti mengingatkan 
kembali masa-masa bahagianya bersama Hatta, si anak cie pamaenan 
mato, anak yang mengundang kasih sayang. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
18 
 
Surat buat Bung HattaSurat buat Bung HattaSurat buat Bung HattaSurat buat Bung Hatta    
 
Bung Hatta, kau bukanlah 100 tahun kesendirian. Percakapan antara kita, 
sebuah dialog dengan masa silam, adalah percakapan yang tak terhingga. 
Gajah pergi meninggalkan gading. Tapi ia tak memilih bagaimana gading 
itu diukir. Generasi datang dan pergi, membentuknya, menatahnya, dan 
menimbang-nimbangnya. Mungkin mencampakkannya. Seorang besar 
memperoleh arti karena beribu-ribu orang yang tak dikenal datang 
sebelumnya, bersamanya, sesudahnya. Bukankah sebab itu sejarah 
berlanjut? Bukankah sejarah adalah kerja orang ramai yang namanya 
terlupakan? Kau ingat Surabaya, November 1945. Suasana tegang. Tentara 
Inggris, mewakili Sekutu yang menang Perang Pasifik, mendarat di 
Tanjung Perak, dan pertempuran terjadi dengan ribuan pemuda di kota 
yang tak mau menyerah itu. Komandan pasukan Inggris, yang tak ingin 
terlibat dalam konflik berdarah yang berkepanjangan, terpaksa memintamu 
datang dari Jakarta, bersama Bung Karno, untuk menengahi. Hari itu kau 
berada di atas jip Jenderal Hawthorn yang mengantarmu. Di sebuah 
tikungan, kau lihat seorang anak berumur sekitar 12 tahun tertidur, 
menyandang bedil. "That is revolution," kata Jenderal Hawthorn. Kau dan 
opsir Inggris itu tak kenal siapa bocah itu-anak yang mungkin esok tewas 
terkena mortir. Tapi kau tahu apa artinya sebuah sejarah yang dibangun 
bahkan dengan sepucuk bedil di tangan seorang anak yang kecapekan. 
Siapa pun bersedia mati, bila ia harus dikembalikan ke masa silam yang 
bernama penderitaan. Dunia harus diubah. Hidup tak bisa lagi diinjak-
injak. Dengan sepasang kakinya yang kurus, di sawah-ladangnya yang 
kering dan di kaki lima Surabaya yang lusuh, anak itu telah baca betapa 
jahatnya penjajahan. Kau sendiri sudah baca hal yang sama saat  umurmu 
belum 10 tahun. Pada tahun 1908, di jembatan batu dekat rumahmu di Aur 
Tajungkang, Bukit Tinggi, sejumlah serdadu marsose ditempatkan. 
Beberapa minggu lamanya mereka di sana, dengan bayonet terhunus, 
menggeledah orang-orang yang lewat. Pemerintah kolonial sedang marah: 
16 kilometer dari kotamu, di Kampung Kamang, rakyat berontak. Mereka 
menolak membayar pajak langsung. saat  konflik meletus, 12 orang 
marsose tewas, dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan. Orang-
orang ditangkap. Termasuk Rais, sahabat kakekmu, yang kau lihat sendiri 
melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai. Kau yakin 
Rais tak bersalah. Dalam umurmu yang masih kanak itu kau dengar 
bagaimana Tuan Westenenk, Asisten Residen Agam, memakai  
pemberontakan Kamang sebagai dalih untuk memenjarakan Rais. 
Sebelumnya, Rais-lah yang mengirim surat kritik ke koran Utusan Malayu 
di Padang tentang kelakuan pembesar kolonial itu. Tentu saja ia tak 
dibiarkan bebas. "Belanda tidak dapat dipercaya," kau dengar Idris, 
19 
 
pamanmu, berkata. Ketidakadilan memang bisa dibaca tanpa huruf. Petani 
yang terkebelakang sekalipun, juga anak yang belum lagi 15 tahun, dengan 
rasa sakit dan gusar, bisa mengerti artinya. Itu sebabnya pada tahun 1933, 
sesudah  Bung Karno ditangkap, juga berpuluh-puluh pemimpin lain, kau tak 
ingin melangkah surut. Bagimu pergerakan rakyat akan terus, sebab 
"pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi 
pemimpin bersuara karena ada pergerakan". Amarah rakyat seiring dengan 
hasrat yang membisu. Ada kata-kata Multatuli yang kau gemari, 
onhoorbaar groeit de padi, "tak terdengar tumbuhlah padi". Maka kau tatap 
dengan tenang "caci dan nista" yang menuduhmu dan Sukarno sebagai 
"penghasut". Sebab kau punya jawab, bahwa "hari siang bukan karena 
ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang". 
Betapa banyaknya orang Indonesia yang menghendaki hari siang, dengan 
atau tanpa kokok ayam. Dan betapa yakinnya generasimu bahwa malam 
tak akan lama. "Di timur matahari, mulai bercahya," kata lagu yang ditulis 
W.R. Supratman di masa itu, sebelum ia menggubah Indonesia Raya. Itu 
sebabnya kau bersiteguh, juga saat  pemerintah kolonial membuangmu ke 
Digul. Di udik Papua itu, kau siap untuk sedikitnya hidup 10 tahun, tapi 
kau tampik tambahan bantuan apa pun dari komandan kamp. Kau bilang 
kepada Kapten Van Langen, dengan sedikit angkuh, "Tuan..., tidak ada 
yang tetap di dunia ini." Angkuh? Bukan, kau cuma yakin. Pernah kau tulis 
bahwa tiap keadaan "menimbulkan syarat yang mesti mengubah keadaan 
itu sendiri". Kau pembaca Marx yang baik, Bung. Kau percaya kepada 
dialektik dan perubahan, maka kau optimistis. Kau juga percaya bahwa 
keadaan obyektiflah yang menentukan sikap manusia. Sebab itu kau tahu 
sejarah tak hanya bergantung pada segelintir manusia. Di koran Daulat 
Ra'jat kau meminta agar pemimpin tak "didewa-dewakan", sebab bagimu 
yang perlu adalah "pahlawan-pahlawan yang tak punya nama". Waktu itu 
kau kecewa kepada Bung Karno, yang dalam tahanan tiba-tiba menyatakan 
mundur dari segala kegiatan pergerakan politik. Waktu itu nadamu sengit, 
tapi pikiranmu, seperti biasa, tajam: kini massa, orang ramai, yang jadi 
dasar perjuangan, bukan seorang Diponegoro atau Mazzini. Ini abad ke-20, 
katamu. Kau, yang percaya kepada demokrasi, adalah saksi abad ke-20. 
Dalam Memoir-mu kau catat dengan teliti orang "kecil" yang bagimu tak 
kecil, yang mengilhamimu dan mendidikmu. Engku Marah Sutan, 
misalnya, pegawai agen perjalanan kapal di Teluk Bayur. Tiap pulang kerja 
ia naik kereta api kembali ke Padang, dan pukul 3.30 ia sudah duduk di 
kantor Sarikat Usaha di sebuah kampung di dekat halte. Ia akan bekerja 
terkadang sampai lewat pukul 20:00. Dari Sarikat Usaha itu Engku Marah 
Sutan, tanpa digaji, tanpa diperintah, mengupayakan pendidikan anak-
anak, baik dalam hal agama maupun ilmu pengetahuan. Ia sendiri tak 
berpendidikan tinggi. Tapi ia belajar berbahasa Belanda dan berlangganan 
20 
 
koran Utusan Hindia yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya dan 
Neraca yang dipimpin Abdul Muis dan H. Agus Salim di Jakarta. Dari 
dialah engkau, yang baru 16 tahun, mengenal tokoh-tokoh pergerakan awal 
abad itu, dan apa tujuan mereka. Apa gerangan yang dicarinya, dalam kerja 
yang tak kenal lelah itu? Jawabnya bersahaja: Marah Sutan ingin, seperti 
katamu, agar "di kemudian hari, tanah air kita dapat maju". Tanah air. 
Maju. Begitu berarti kedua patah kata itu bagi Engku yang alim itu, juga 
bagi generasimu. Mungkinkah itu sebabnya, dalam pikiranmu, "tanah air" 
bukanlah sepotong geografi dan sederet masa lalu, tapi sesuatu yang 
berkembang dengan kerja? Pada tahun 1928, saat  umurmu 26 tahun dan 
masih seorang mahasiswa di Rotterdam, kau ditangkap pemerintah 
Belanda karena kegiatan politikmu, dan kau dibawa ke depan mahkamah 
di Den Haag. Tak ada rasa gentarmu. Dengan yakin kau bacakan 
pleidoimu, dan ruangan itu seperti tergetar saat  kau ucapkan 
penutupnya: "Hanya satu tanah air yang dapat disebut Tanah Airku. Ia 
berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku." Bung, tanah air 
yang mendapatkan maknanya seperti itu tentu berbeda dengan tanah air 
yang hanya berpangkal pada asal-usul. Kau dan generasimu melihat masa 
depan lebih jelas ketimbang masa lalu. Sadar atau tak sadar, generasimu 
mengalami perubahan yang tak terelakkan, saat  "segala yang solid 
meleleh jadi hawa, segala yang suci jadi profan, dan manusia akhirnya 
dipaksa untuk menghadapi, dengan kepala dingin, kondisi nyata hidup 
mereka dan hubungan mereka dengan sesama". Kata-kata Marx yang 
dramatis itu melukiskan transformasi manusia ke dalam modernitas-dan 
dalam transformasi itulah generasimu menemukan nasionalisme awal abad 
ke-20. Itulah yang terjadi pada tanggal 8 Februari 1925 di Rotterdam. Dalam 
rapat Indonesische Vereeniging kau dan teman-temanmu menentukan 
untuk memberi nama tanah air ini "Indonesia", dan bukan "Hindia 
Belanda". Dengan itu kalian pun memasuki kebangsaan sebagai proyek 
masa depan. Dengan itu apa yang dulu solid-pagar identitas "Sumatera" 
atau "Jawa" atau "Manado" atau "Islam" atau "Kristen"-telah meleleh. Dari 8 
Februari 1925 kemudian lahir 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dibacakan: 
hasrat menjadi satu bangsa, punya satu tanah air, memakai  satu 
bahasa. Kau tentu berpengaruh di sana, Bung. Bukankah dalam Daulat 
Ra'yat 31 Januari 1928, kau kecam orang yang "menamakan diri nasionalis 
Indonesia, akan tetapi pergaulannya dan semangatnya masih amat terikat 
kepada daerah dan tempat ia dilahirkan"? Tapi kau tahu soalnya tak 
mudah. Kau sendiri akui bahwa latar belakang warga  agraris 
melahirkan "provinsialisme", dan (hanya) dalam warga  industri 
organisasi persatuan bisa dibangun. Tapi sejauh mana, sebetulnya, 
warga  agraris ingin kau tinggalkan? Sejauh mana modernitas 
menarikmu? Kau dan generasimu belum menjawab ini dengan 
21 
 
memuaskan. Dilema yang kalian hadapi begitu keras, dan bimbang begitu 
umum. Itulah sebabnya seraya kau mengecam "provinsialisme" dari 
warga  petani, kau juga berbicara dengan bersemangat tentang 
warga  "desa yang asli", yang bercorak kolektif, sebagai dasar 
sosialisme, bahkan sebagai akar demokrasi. Sadarkah kau akan kontradiksi 
itu? Masih adakah di abad ke-20 "desa yang asli", dan, kalaupun ada, 
benarkah corak kolektifnya tak menyembunyikan sesuatu yang buruk, 
misalnya adat yang menindas perempuan? Untunglah, nasionalisme yang 
kau pilih bukan sesuatu yang retrogresif, yang bergerak ke belakang, seraya 
berpura-pura maju. Menjelang Perang Dunia II, kaum militer Jepang 
mengibarkan nasionalisme yang seperti itu-nasionalisme yang mencari akar 
"keaslian" tak henti-hentinya. Naziisme Hitler tak jauh berbeda. Sebab 
itulah mereka agresif, karena "keaslian", seperti halnya "kemurnian", tak 
menghendaki percampuran. Betapa mustahil, di abad ke-20. Syukurlah 
nasionalismemu adalah nasionalisme Engku Loyok. Orang ini buruh 
maskapai perkapalan KPM yang sering kau temui di Kampung Lima, 
Tanah Abang, sewaktu umurmu 20 tahun. Ia yang memperkenalkan 
padamu partainya yang dibubarkan pemerintah, National Indische Partij. 
Ketiga pemimpinnya yang mengagumkan, Douwes Dekker, Tjipto 
Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat, bukan hanya jelas-jelas ingin 
melepaskan "Hindia" dari Belanda. Mereka juga ingin membangun tempat 
bersama bagi Bumiputra, Cina, Arab, dan Indo Belanda-orang-orang yang 
sejak akhir abad ke-19 dibagi dalam komunitas rasial yang terpisah. Dengan 
kata lain, sebuah nasionalisme yang tak menutup pintu dengan keras: 
nasionalisme yang bisa memandang jauh, ke belakang dan ke dalam. 
Seperti engkau. Dua puluh tahun sebelum "Demokrasi Terpimpin" dan 
"Orde Baru", kaulah yang pada bulan Juni 1945 itu memperingatkan akan 
kemungkinan lahirnya "negara kekuasaan" dengan retorika "keamanan 
nasional". Sebab itu kau usulkan agar hak-hak asasi ditegakkan. Tiga puluh 
tahun sebelum tentara Indonesia dikirim untuk "mengambil" Timor Timur, 
kau juga suara yang paling pagi memperingatkan akan bahaya 
"imperialisme" dari diri sendiri. Kenapa, Bung? Kau bukan ahli nujum. Tapi 
mungkin karena nasionalismemu, seperti nasionalisme Si Buruh Loyok, 
adalah suara solidaritas. Bukan kesendirian-bukan100 tahun kesendirian. 
Goenawan Mohamad 
 
 
 
 
 
 
 
22 
 
Kisah yang Tertinggal di Sudut RotterdamKisah yang Tertinggal di Sudut RotterdamKisah yang Tertinggal di Sudut RotterdamKisah yang Tertinggal di Sudut Rotterdam    
 
 
Tak ada terik pada siang itu-sebuah hari dalam musim gugur, September 
1921. Angin dingin menelusup lewat sela-sela kancing jas seorang pemuda 
yang berdiri dengan pikiran berkecamuk di satu sudut Rotterdam. Pemuda 
berusia 19 tahun itu bernama Mohammad Hatta. Sebagai mahasiswa baru 
di Rotterdamse Handelshogeschool-sebuah sekolah ekonomi bergengsi-ia 
mesti membeli sejumlah buku. Tapi dana beasiswa belum diterimanya. 
Uang saku yang dibawanya dari kampung tak seberapa. Baru sepekan dia 
tiba di Belanda-negeri yang 8.000 mil, dari Bukit Tinggi, tempat ia lahir dan 
dibesarkan. Tanpa uang di saku, ia mendekati rak buku besar di De 
Westerboekhandel, sebuah toko buku tua di kota itu. Ia mengambil Hartley 
Withers, Schar, dan beberapa buku karangan T.M.C. Asser. Ia tak tahu 
dengan apa semua buku itu harus dibayar. Beruntung, pemilik toko buku 
itu tahu bagaimana harus bersikap pada mahasiswa miskin dari Dunia 
Ketiga. Dalam buku Mohammad Hatta Memoir, Bung Hatta menulis, 
"Dengan De Westerboekhandel aku adakan perjanjian bahwa buku-buku 
itu kuangsur pembayarannya tiap bulan f 10. Aku diizinkan memesan buku 
itu terus sampai jumlah semuanya tak lebih dari f 150". Toko buku itu 
nyaris sudah pupus jejaknya tatkala TEMPO datang ke tempat itu, pada 
musim panas tahun ini. "Apa? De Westerboekhandel? Teruslah berjalan 
sampai bertemu Albert Heijn. Di dekat-dekat situlah," kata perempuan 
muda yang funky itu setengah berteriak. Rambutnya dicat hijau, alisnya 
dicukur habis, diwarnai dengan pensil kebiruan. Ia mengenakan banyak 
piercing-anting-anting yang dicocokkan dari bibir hingga lubang hidung. 
Dia bekerja di sebuah kedai kopi yang juga menjual daun ganja. Secangkir 
kopi panas mengepulkan asap, menebarkan aroma yang sedap. Bau ganja 
menyengat hidung. Inilah Rotterdam 2002. Di Nieuwe Binnenweg di 
Rotterdam barat tempat kafe itu berada, berjejer bangunan aneka rupa. Ada 
rumah tinggal, kafe, kedai sayur milik orang Turki serta Maroko. Di 
sebelahnya ada  toko audiovisual, salon, pusat kesehatan Cina, restoran 
India, gereja, toko kayu, dan toko barang antik. Di tengahnya ada  jalur 
trem yang lalu lintasnya padat. Cuaca panas bulan Juni meruapkan hawa 
yang pengap. Dan Rotterdam bersimbah cahaya berlimpah-limpah dari 
matahari yang seakan cuma sejengkal dari kepala. Orang ramai. Perempuan 
berjalan kaki dengan gaun berkait seutas tali di pundak. Bayangan tubuh 
mereka terpantul pada tembok-tembok kaca. Albert Heijn, toko yang 
ditunjuk perempuan itu, adalah sebuah supermarket besar. Tapi tak ada 
toko buku tua bersejarah itu. "Westerboekhandel? Tuh, di sebelah," kata lelaki 
setengah baya yang bekerja di sebuah toko kayu tak jauh dari Albert Heijn. 
"Tapi toko itu sudah tutup satu bulan yang lalu," katanya. Sebagai gantinya, 
23 
 
tegaklah sebuah kafe internet. Interiornya telah dirombak. "Kami 
menyesuaikannya dengan keperluan bisnis kami," kata satu karyawan kafe 
itu. Tapi bangunan luarnya tak berubah. Pintu masuk terletak di sebelah 
kiri, agak menjorok ke arah jalan terletak dua jendela besar. Langit-
langitnya tak terlalu tinggi sehingga tak banyak cahaya masuk. Hangat 
tubuh Hatta seakan terasa masih ada di sana. Rotterdam, seperti juga 
banyak kota di Eropa, sebetulnya sebuah negeri yang tak banyak berubah. 
Nama jalan, susunan rumah, pasar, dan sekolah, jika tak hancur karena 
perang, umumnya masih ada hingga kini. Dan Hatta menghabiskan 
sebagian hidupnya di negeri yang tak berubah itu. Di sana ia mendapat 
gelar doktor ekonomi dan menggembleng dirinya sebagai aktivis gerakan. 
Ia menjadi Ketua Indonesische Vereeniging dan sempat lima setengah 
bulan dipenjara karena dituduh menentang pemerintah kolonial. 
Berkeliling Eropa-selain menelusuri Belanda-Hatta telah merasakan 
jauhnya hidup di rantau sejak usia belasan. Dia tiba di negeri itu 5 
September 1921 dengan menumpang kapal Tambora milik Rotterdamse 
Lloyd, yang memasuki Eropa melalui Marseille, Prancis. Kapal uap itu 
merapat di Nieuwe Waterweg, sebuah pelabuhan di Rotterdam. "saat  
sampai, kulihat banyak penumpang yang bingung, banyak yang gugup. 
Apakah ini pembawaan kaum Indo Belanda, bimbang kalau menghadapi 
suasana baru," tulis Hatta dalam bukunya. Di Rotterdam, mula-mula ia 
meng-inap di rumah seorang kenalan. sesudah  itu-seperti juga pelajar 
inlander lainnya-ia menetap sementara di Tehuis van Indische Studenten, 
sebuah asrama khusus bagi mahasiswa Hindia Belanda yang terletak di 
Jalan Prins Mauritsplein. Ini sebuah asrama supermurah. Sewa per hari plus 
tiga kali makan hanya f 3 (sekarang sekitar Rp 3.000). "Pada Minggu tengah 
hari kami mendapat jatah nasi goreng, sedangkan pagi dan malam makan 
roti seperti orang Belanda," tutur Hatta. Asrama itu dikelola Van Overeem, 
se-orang perempuan yang pernah menjadi guru di Hindia Belanda. Atasan 
Van Overeem adalah dua orang direktur yang juga pensiunan guru di 
Indonesia. Keduanya bertanggung jawab terhadap Minister van Kolonien, 
semacam menteri untuk tanah jajahan. Sejarawan Belanda Harry Poeze 
mencatat asrama ini-sebuah bangunan besar dan megah-dibuka pemerintah 
Belanda pada 15 Maret 1921. Di dalamnya ada ruang makan yang 
menampung 15-20 orang, ruang rapat yang luas, dan kamar tidur untuk 15 
orang. Tehuis adalah bangunan terbesar di pertigaan Prins Mauritsplein, 
Frederik Hendriklaan, dan Prins Mauritstraat-tiga jalan besar di Rotterdam. 
Saat ini Tehuis telah menjadi kantor sebuah perusahaan telekomunikasi. 
Hampir tak ada yang berubah pada bangunan itu. Masih ada tembok bata 
dan halaman-yang dulu pernah ditumbuhi bunga warna-warni. Tak jauh 
dari situ ada  toko tembakau yang didirikan pada 1777 dan dikelola 
turun-temurun oleh tujuh generasi. "Saya tak tahu Tehuis voor Indische 
24 
 
Studenten. Mungkin opa saya yang tahu, tapi ia sekarang tak berada di 
rumah," kata pria penjaga toko itu. Seorang nenek lain yang melalui jalan 
itu juga menggeleng saat  ditanya tentang Tehuis. Di Tehuis, Hatta hanya 
tinggal beberapa lama. Seperti anak kos pada umumnya, ia berpindah dari 
satu tempat ke tempat yang lain. Dia kerap menginap di rumah sesama 
pelajar Indonesia: Nazir Pamuntjak, Dahlan Abdullah, Ahmad Soebardjo, 
Hermen Kartasasmita, Darmawan Mangoenkusumo, serta aktivis 
pergerakan yang lain. "Suatu malam kami berkumpul di Jalan 
Bilderdikjstraat 1 di Leiden. Kami bicara tentang otonomi bagi Hindia 
Belanda," tulis Hatta dalam memoarnya. Yang banyak bicara adalah 
Darmawan dan Nazir. Darmawan belajar teknologi di Delf. Adik dr. Tjipto 
Mangunkusumo ini, menurut Hatta, adalah seorang yang radikal. Ia tak 
percaya pada taktik kerja sama dengan Belanda. Hatta menulis tentang 
diskusi itu: "Sebagai orang yang baru datang dari Tanah Air, aku diam saja. 
Diskusi itu berakhir pada pukul 12 malam." Bilderdikjstraat letaknya tak 
jauh dari kampus Universitas Leiden. Rumah pertama di jalan itu tampak 
kusam dan tak terawat. Jendela-jendela besar di bangunan berlantai dua itu 
ditutupi tirai tipis berwarna putih. Kaca jendela berdebu. Gerumbul perdu 
tumbuh di depannya. Tak ada sepeda atau mobil yang parkir di situ. 
Berawal dari pertemuan-pertemuan kecil di tempat itulah Perhimpunan 
Indonesia berdiri. Mula-mula bernama Indische Vereeniging, lalu 
Indonesische Vereeniging sebelum beralih nama menjadi Perhimpunan 
Indonesia. Perubahan nama itu menunjukkan meningkatnya keberanian 
para aktivis untuk memakai  kata Indonesia sebagai nama organisasi. 
Selain menjalin gerakan, mereka juga menerbitkan banyak publikasi. Satu 
di antaranya Gedenkboek Indonesische Vereeniging-buku yang terbit pada 
April 1924, seiring dengan ulang tahun organisasi itu. "Aku masih sempat 
membuat karangan untuk buku peringatan itu dalam bahasa Melayu. 
Judulnya, 'Indonesia di Tengah-Tengah Revolusi Asia'," kenang Hatta. 
Terbitnya buku itu disambut oleh kritik keras pers Belanda. Mereka 
menuduh de Inlandsche studenten telah dihinggapi semangat revolusioner 
yang susah dikikis. Publikasi lainnya adalah Hindia Poetra. Beberapa 
dokumen menyebut rumah yang kerap dijadikan kantor redaksi publikasi 
itu adalah sebuah kediaman di Jalan Schoone Bergerweg 51. Ini adalah 
rumah tinggal Hatta yang terakhir sebelum ia kembali ke Indonesia. Di 
sana, ia berbagi kamar dengan Zainuddin, anak Haji Rasjid Pasar Gedang. 
Zainuddin adalah teman lama Hatta di Padang yang juga bersekolah di 
Belanda. "Untunglah, kamar itu besar. Lebarnya sama dengan lebar kamar 
duduk yang bentuknya segi empat," kata Hatta. Angin musim panas 
kembali mendesir pada siang bulan Juni silam. Beberapa orang lelaki Turki, 
Maroko, serta pria berkulit hitam berjalan menenteng tas belanjaan. Jam 
menunjukkan pukul 10 pagi. Beberapa anak kecil tengah bermain-main. 
25 
 
Rumah bernomor 51 di Jalan Schoone Bergerweg itu sepi-sepi saja-seperti 
tak berpenghuni. Di pintu, tertempel label nama M. Nasrullah. Meski dibel 
berulang-ulang, tak ada orang yang membuka pintu. Beberapa orang di 
sekitar situ mengaku tak mengenal Nasrullah. Siapa pun penghuni flat itu, 
mestinya ia adalah orang yang beruntung: sebuah sejarah pernah dicatat di 
sana. Sejarah memang dicatat di sepanjang jalan-jalan di Leiden, Den Haag, 
dan Rotterdam. Rotterdamse Handelshogeschool, kampus Hatta, kini 
berubah menjadi Rotterdamse Lyceum & Jeugd Theater Hoofplein, sekolah 
setingkat SMP dan tempat belajar teater untuk remaja. Letak gedung 
berlantai tiga ini menjorok agak ke dalam. Kesibukan lalu lintas di Sungai 
Maas, dengan beberapa kapal kecil yang lalu-lalang, hanya terdengar lamat 
dari sana. Di depannya terletak sekolah tinggi kelautan dan sebuah gereja 
Katolik. Hatta menyimpan banyak cerita di negeri Belanda. Di sana ia 
bergaul dengan banyak orang dan belajar menjadi manusia. Di sana ia 
berdebat, bertemu dengan tokoh komunis seperti Semaun dan Tan Malaka, 
belajar berorganisasi, juga merasakan bui kolonial untuk pertama kali. "Dua 
polisi datang ke rumahku membawa surat perintah. Aku dibawa ke penjara 
di Casius-straat. Bersama aku ditahan juga Nazir Pamuntjak, Ali 
Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat," tulis Hatta di 
kemudian hari. Di pengadilan Hatta justru dibela oleh dua orang pengacara 
sosialis, Mr. Mobach dan Mr. Duys. Hatta dibebaskan 5,5 bulan kemudian 
karena terbukti tak bersalah. Ia belakangan populer di kalangan kelompok 
sosialis di sana. Hatta meninggalkan Belanda pada 20 Juli 1932 dengan 
menumpang kapal Jerman Saarbrucken yang berlayar melalui Paris, Genoa, 
lalu melaju hingga Singapura. Di Negeri Singa itu, "Ke mana-mana aku 
selalu diikuti polisi rahasia," kata Hatta. Di Jakarta ia diperiksa ketat. Ia 
memang hanya membawa pakaian. Bukunya yang 16 peti dikirim terpisah. 
Itu memang bukan perjalanan Hatta yang terakhir ke Belanda. sesudah  itu 
berkali-kali ia mengunjungi negeri sejuta kanal itu untuk menghadiri 
perundingan Indonesia-Belanda. Terakhir pada November 1949, Hatta 
pergi ke Belanda untuk pulang dengan senyum kemenangan. Konferensi 
Meja Bundar berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan 
Indonesia. Di tangga pesawat di Bandara Schipol, Hatta dengan didampingi 
istrinya, Rahmi, melambaikan tangan. Hatta mengenakan mantel hingga 
lutut, Rahmi bersarung kebaya dan menggapit tas tangan warna muda. Ada 
nada puas pada senyum mereka. Di Belanda Hatta memulai sejarahnya dari 
Nieuwe Binnenweg dan mengakhirinya di Schipol. Di Indonesia, sejarahnya 
tak pernah berakhir. Bahkan sesudah  100 tahun. 
 
 
 
 
26 
 
Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap Bersama Biko dan Zapata, Hatta Mengudap 
'K'K'K'Kroketten' di Belandaroketten' di Belandaroketten' di Belandaroketten' di Belanda    
 
 
5 September 1921. Daun-daun kuning kecokelatan berserakan di jalan-
jalan. Temperatur menukik turun ke kisaran belasan derajat Celsius saja. 
Di atas kepala, langit seperti jubah berwana kelabu yang menyelimuti 
sekujur negeri Belanda. Meriahnya warna-warni bunga daffodil dan 
tulip yang mekar tiap April dan Mei hanya tinggal kenangan. Giliran 
musim gugur yang meraja saat ini. Pelabuhan Nieuwe Waterweg di 
depan mata. Angin selalu saja bertiup kencang di sini, di salah satu 
pelabuhan tersibuk di Belanda. Saat itu waktu menunjukkan sekitar 
pukul 11-12 siang. Terhuyung-huyung kapal Tambora milik 
Rotterdamse Lloyd melabuhkan diri. Jauh betul perjalanan yang telah 
ditempuh kapal itu selama sebulan. Dari Teluk Bayur ke Pelabuhan 
Perim melintasi Laut Merah menuju Port Said, berlabuh sejenak di 
Marseille lewat Selat Gibraltar lewat Teluk Biscaye, akhirnya Tambora 
beringsut-ingsut masuk ke mulut Sungai Mass dan sampai di Kota 
Rotterdam. Satu demi satu penumpang menjejakkan kaki ke negeri 
mahadatar itu. Diiringi perasaan masygul dan degup jantung yang 
berdebar-debar, masing-masing turun seraya membawa serta bagasi 
berikut setumpuk harapan, sederetan cita-cita, serta sepenggal kenangan 
akan tanah air. Di antara penghuni kelas dua kapal ini  ada  
seorang pemuda asal Indonesia. Mohammad Hatta namanya. Seraya 
merapatkan kerah baju hangat ke tubuh dan meraba amplop berisi 500 
gulden di saku hasil sumbangan beberapa saudagar asal Pasar Gedang, 
Hatta tiba di Negeri Belanda, dipeluk udara dingin musim gugur yang 
kelabu. Dan waktu terus berlalu. 17 Februari 1987. Saat itu kuncup-
kuncup bunga daffodil dan tulip tengah mengambil ancang-ancang 
untuk mempesona dunia. Kini juga saatnya untuk bersenang-senang, 
mengudap frites met (kentang goreng porsi kecil yang disiram 
mayonnaise) dan menyeruput buih-buih bir Heineken seraya 
mempersiapkan beraneka kostum ganjil. Pada bulan ini, pemeluk 
Katolik di sebelah selatan negeri penuh sepeda ini merayakan Karnaval. 
Aroma perayaan sampai juga ke Haarlem, salah satu kota tertua di 
Belanda dan kota nomor sepuluh terbesar di Negeri Kincir Angin 
ini . Kota yang penuh kanal ini terletak 10 kilometer dari tepi pantai 
dan 15 kilometer sebelah barat kota Amsterdam. Pada tanggal ini , 
saat angin bertiup kencang dari arah Laut Utara, sebuah jalan yang 
lempang dan sunyi di kawasan permukiman Haarlem memperoleh 
27 
 
nama. Nama jalan itu Mohammed Hattastraat. Jalan Mohammad Hatta. 
Seolah-olah meniru sifat pemilik nama jalan ini , penggalan jalan itu 
begitu sederhana, lurus dan jauh dari keriuhan. Maklumlah, kawasan 
perumahan Zuiderpolder ini baru mulai dibangun 15 tahun yang lalu, 
masih tergolong baru. Sederet rumah permukiman mengisi sebelah ruas 
jalan selebar 3 meter dengan panjang 0,1 kilometer. Semuanya bernomor 
genap, dari nomor 2 hingga 36. Sebelah sisi ruas jalan itu masih 
melompong. Nantinya di sebelah sini dibangun rumah-rumah dan 
semuanya akan bernomor ganjil. Ujung Hattastraat bertemu dengan 
Sutan Sjahrirstraat alias Jalan Sutan Sjahrir. Di tengah Hattastraat 
ada  Chris Sumokilstraat, yang mengarah ke dalam kawasan 
permukiman ini . Nama untuk dua jalan yang belakangan ini  
ditetapkan beberapa saat kemudian, persisnya tanggal 2 Desember 1987. 
Mari lepaskanlah kembara pemikiran barang sejenak. Bayangkan 
apabila roh para pemilik nama jalan ini bersua. Alangkah ramainya 
perdebatan yang terjadi, alangkah riuhnya. Bayangkan juga apabila para 
arwah pemilik nama jalan di sekitar kawasan ini ikut menimpali 
pergulatan pemikiran khayali ini . Ada Emiliano Zapata (pemimpin 
pemberontakan petani asal Meksiko), ada Salvador Allende (mantan 
pemimpin Cile, politisi sosialis yang dikudeta), ada pula Steve Biko 
(mahasiswa Afrika Selatan kulit hitam antiapartheid yang tewas di 
penjara), Bisschop Luwun (uskup vokal asal Uganda yang meninggal 
akibat kecelakaan mobil, diduga atas rekayasa diktator Idi Amin), 
Antonio Netto (politisi asal Angola), juga Pal Maleter (jenderal 
revolusioner asal Hungaria). Bayangkan apabila semua tokoh ini bisa 
duduk bersama untuk sanggah-menyanggah dan adu argumen seraya 
mengunyah kroketten (kue asin yang terbuat dari kentang yang 
ditumbuk) yang masih hangat dan berasap. Sanggah-menyanggah dan 
adu argumentasi itu memang sebuah panggung imajinasi. Dalam dunia 
sebenarnya, tak ada pertentangan atau konflik yang terjadi seiring 
dengan pemberian nama Mohammed Hattastraat. Prosedur penetapan 
nama jalan melibatkan sejumlah instansi seperti PT pos, bagian arsip, 
bagian perawatan monumen, serta komisi pengembangan dan 
pembaruan kota. Dalam penetapan nama ini, menurut pejabat bagian 
pengembangan dan pembaruan kota Haarlem, R.H. Claudius, nama 
Mohammed Hatta ditetapkan oleh Wali Kota Smiths saat  itu. Saat 
nama ini ditetapkan, tak ada sanggah-menyanggah atau adu argumen 
yang terjadi. Menurut R.H. Claudius, surat keputusan penetapan 
Mohammed Hatta sebagai nama jalan menyebutkan bahwa tokoh ini 
dipilih karena si empunya nama adalah seorang pemimpin pergerakan 
28 
 
di Indonesia, negarawan, dan wakil presiden yang sempat ditahan 
Belanda lantaran aktivitas politiknya. Hal serupa menjadi alasan untuk 
memilih sederetan nama orang besar se-bagai nama jalan. "Mereka 
adalah orang yang berjasa, berjuang demi pembebasan atau 
kemerdekaan negaranya, serta memiliki reputasi yang baik," demikian 
penjelasan R.H. Claudius kepada Dina Jerphanion dari TEMPO. Dan 
waktu terus berlalu. 12 Agustus 2002. Holland Festival usai sudah. 
Kemeriahan kord matriks tiga nada yang menjadi ciri khas Chick Corea 
dan lengkingan suara yang keluar dari kerongkongan diva Afrika 
Selatan Miriam Makeba di North Sea Jazz Festival tak lagi terdengar. 
Gerimis mulai kerap membasuh Belanda yang kembali berlangit kelabu. 
Pada hari itu Mohammad Hatta memperingati hari lahirnya yang ke-
100. Sejumlah perhelatan dilangsungkan meriah di Indonesia 
memperingati lahirnya seorang asketis santun berpikiran revolusioner. 
Nyonya Lindemans, penghuni sebuah rumah di ruas jalan Chris 
Sumokilstraat hanya mengangkat bahu saat  ditanya soal Mohammad 
Hatta. "Saya tidak tahu siapa dia," demikian tutur Nyoya Lindemans 
singkat. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
29 
 
Roti dan DongengRoti dan DongengRoti dan DongengRoti dan Dongeng    Arab di Klein Europeesch StadArab di Klein Europeesch StadArab di Klein Europeesch StadArab di Klein Europeesch Stad    
 
 
"Is Hatta Marxist?" TAHUN 1938. Setumpuk majalah Sin Tit Po yang 
dipesan Mohammad Hatta tiba di Banda. Hatta terkesiap. Sebuah 
karangan dengan judul provokatif, Is Hatta Marxist, dimuat 
bersambung di edisi April dan Mei. Penulisnya: Mevrow Vodegel 
Sumarah. Alamatnya: Besancon, Prancis. Artikel itu menyerang 
tulisan Hatta: Enige Grondtrekken van de Economische Wereldbouw 
("Segi-Segi Utama Ekonomi Dunia"), yang dimuat di Sin Tit Po edisi 
6, 7, 8, dan 9. Hatta yakin Mevrow Sumarah adalah nama samaran. Ia 
curiga sang pengarang berdomisili di Jawa. Ia lalu membalas dengan 
risalah berjudul Marxisme of Epigonenwijsheid? ("Marxisme atau 
Kearifan Sang Epigon?"). Itulah Hatta sang pemikir. Dalam 
pembuangan pun ia berpolemik. Bisa kita bayangkan artikel itu 
menumpang kapal yang tak setiap hari datang ke Banda. Dan saat  
artikel setebal 23 halaman itu (tentu saja di zaman itu masih diketik 
dengan mesin tik) sampai ke Batavia di akhir 1938, Hatta tak tahu Sin 
Tit Po telah gulung tikar. Baru pada 1940 ia mengirimnya kembali ke 
majalah mingguan Nationale Commentaren pimpinan dr. Ratulangi. 
Majalah itu kemudian memuat artikelnya di lima nomor berturut-
turut. Kelak di kemudian hari, terbongkarlah bahwa ternyata sang 
Mevrow adalah Tan Ling Djie, seorang komunis Indonesia. 
Bayangkan, sekarang saja jalur penerbangan dan kapal laut ke Banda 
cukup jarang dalam sepekan. Bagaimana di masa itu? "Perhatian! 
ABK dek siap muka belakang, kapal sandar kiri! Para penumpang 
jangan sampai ada barang yang ketinggalan," begitu bunyi 
pengumuman saat  KM Bukit Siguntang yang ditumpangi TEMPO 
merapat. Dermaga labuh kapal yang merupakan sisa dermaga 
peninggalan kolonial terlihat tidak mampu menampung keseluruhan 
panjang kapal. Terlihat jelas sisa-sisa dermaga baru yang ambruk 
saat  Gunung Berapi yang disebut penduduk Dewi Lewerani 
meletus pada 1988. Sebagian lainnya tenggelam dalam kedalaman 
Laut Banda yang kesohor itu. Sekitar 10 meter dari pelabuhan, kita 
dapat melihat baliho besar bergambar Bung Hatta dan Sutan Sjahrir 
dengan tulisan "Peringatan Satu Abad Bung Hatta". Baliho itu 
terpasang di depan Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan (STIP), satu-
satunya perguruan tinggi yang dimiliki Banda. Kota yang dibangun 
Portugis pada 1500-an ini begitu tenang. Dapat dipahami mengapa 
30 
 
kota ini dulu disebut "Klein Europeesch Stad" (Kota Eropa Kecil). 
Sisa-sisa kerapian, necis, dan teduhnya terasa. Saat Hatta dan Sjahrir 
di sana, mayoritas warga adalah peranakan Eropa dan keturunan 
Arab yang umumnya berbicara dalam bahasa Indonesia logat Banda 
dengan dicampur banyak kata Belanda. Mereka menyebut roti 
sebagai brot, misalnya. Kondisi Banda memang berbeda dengan 
Digul, yang serba susah: memiliki perumahan beratap seng dan 
penuh ancaman wabah penyakit malaria. Di Banda, Hatta dan Sjahrir 
menyewa rumah besar seorang perkenier atau pengawas perkebunan 
di kawasan tempat tinggal keturuan Belanda. Inilah sebuah kawasan 
asri dengan pohon-pohon johar yang besar dan tua di sepanjang 
jalan. Di Banda inilah (11 Februari 1936-25 Maret 1938), keinginan-
keinginan Hatta yang bersifat politik disegarkan kembali oleh 
suasana alam yang mempesona. KENDATI diasingkan, kedua tokoh 
politik ini tidak diperlakukan sebagai tawanan, tapi selaku tamu. 
Mereka bisa bebas berhubungan dengan penduduk, bahkan dengan 
sahabat-sahabat di luar daerah. Surat-menyurat tak disensor. Mereka 
diperbolehkan berlangganan majalah dan koran dari Belanda dan 
Batavia. Suasana tenang itu membuat Hatta kembali dapat 
menuangkan pemikirannya secara teratur. Kegiatan rutinnya di 
Banda sebagai berikut. Bangun pagi pukul lima, ia mandi, dan terus 
melakukan salat. Pukul 6-7 pagi, Hatta membaca-baca majalah sambil 
minum kopi tubruk, sarapan sepotong roti (mereka berlangganan roti 
kepada warga Arab setempat) dan sebutir telur mata sapi. Sebelum 
sarapan, biasanya dia membangunkan Sjahrir, yang suka bangun 
siang. "Kalau saya tidur di rumah itu, saya dibuatkan sarapan oleh 
Om Hatta roti tawar berlapis mentega dan selai. Suatu hari Om Hatta 
bikin havermut, saya mau muntah, karena saya tak pernah makan 
havermut," demikian Des Alwi mengenang karena di masa kanak-
kanaknya ia adalah anak angkat Sjahrir dan Hatta (lihat Hari-Hari 
Bersama Om Kacamata). Dari pukul 7 hingga 8 pagi, Hatta mulai 
berbincang dengan Sjahrir tentang berbagai hal. Pada pukul 8 hingga 
12 siang, Hatta belajar; menyusuri huruf demi hurus di antara 
bukunya yang tebal-tebal yang berjumlah 16 peti itu. Terkadang ia 
mengetik untuk mengisi surat kabar Pemandangan dan Batavia. 
Yang luar biasa, ia juga memberikan bimbingan kursus tertulis 
ekonomi bagi para simpatisannya yang dilakukan dengan surat-
menyurat. Sehari-hari ia banyak mengetik materi kursus ini. Pukul 12 
hingga 1 siang ia menunaikan salat zuhur. Pukul dua hingga 
31 
 
setengah lima adalah waktunya beristirahat. sesudah  bangun, ia 
berjalan-jalan menyusuri kebun pala atau pantai sampai pukul 5.30 
petang. Menurut Des, baju yang dikenakan Hatta selalu rapi. Dia 
memiliki lemari setinggi empat tingkat yang isinya tumpukan baju 
sore, pagi subuh, siang, dan baju untuk tidur yang tertata rapi. 
Rumah pengasingan itu kini terletak di mulut Jalan Rehatta, Desa 
Dwi Warna, ibu kota Kecamatan Banda, Maluku Tengah. Kini, meski 
meja, kursi, dan tempat tidur milik Bung Hatta masih ada, perabotan 
itu tampak tidak terurus. Semuanya diselimuti debu. Kacamata dan 
songkok milik Hatta masih berada di salah satu sudut lemari, 
sementara mesin ketik dan gramofon masih bisa berfungsi. Meja, 
kursi panjang, dan peralatan papan tulis yang dipakai  untuk 
kegiatan belajar anak didiknya juga masih ada. Kita dapat melihat 
beberapa kertas yang ditempelkan dengan sengaja yang memuat 
pesan-pesan si Bung. Salah satu tulisan itu: "Suatu bantuan 
pembangunan harus bebas dari syarat politik apapun juga, bebas dari 
campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri bangsa yang 
menerima bantuan." Bahkan di papan tulis ada  bekas tulisan 
tangannya. Rumah Hatta kini dijaga seorang tua bernama Decky 
Bahasoan. Sjahrir, yang semula tinggal bersama di situ, akhirnya 
memilih tidak serumah karena keributan anak-anak angkatnya 
mengganggu jam belajar Hatta. Suatu kali Des pernah menumpahkan 
vas bunga di meja, hingga membasahi buku-buku Hatta. "Waktu itu 
terjadi Sjahrir marah kepada mereka dan aku pun ikut marah. 
Kukatakan kepada anak-anak itu bahwa mereka harus hati-hati dan 
menginsafi bahwa buku-buku itu alat pengetahuan dan harus dijaga 
betul. Rupanya Sjahrir merasa ikut bersalah...," demikian tulis Hatta 
dalam memoarnya. BAIK Hatta maupun Sjahrir tak banyak bergaul 
dengan keturunan Belanda setempat. Hatta dan Sjahrir setiap Sabtu 
malam rutin datang ke rumah dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. 
Iwa Kusuma Sumantri, para politisi yang lebih dulu diasingkan di 
sana. Di rumah Iwa Sumantri, mereka berkenalan dengan Bahalwan, 
seorang peranakan Arab yang mengajari Iwa Sumantri tafsir Quran 
dan bahasa Arab. Bahalwan pandai bercerita tentang aneka 
kepahlawanan Nabi. "Sungguhpun ia belum pergi ke negara Arab ia 
pandai menceritakan keadaan negeri itu, se-olah-olah ia bertahun-
tahun tinggal di sana," Hatta menulis dengan nada kagum. Sjahrir 
agaknya tak begitu srek dengan pergaulan yang disebutnya borjuis 
kecil itu. Sesekali ia suka ngeluyur sendiri menemui warga Arab, ikut 
32 
 
hadir di pesta perkawinan beradat Arab, menikmati pesta daging 
kambing yang diiringi pukulan rebana atau iringan musik mirip jazz. 
Suatu sore Hatta bertengkar dengan Sjahrir soal keengganannya 
"bersilaturahmi" kepada para sesepuh ini. "sesudah  bertengkar sedikit 
dengan Hafil (sebutan Sjahrir untuk Hatta dalam catatan hariannya: 
Renungan dan Perjuangan-Red.) aku tidak lagi mengunjungi lagi 
pertemuan-pertemuan malam minggu di rumah keluarga Soebana 
(sebutan Sjahrir untuk Iwa Sumantri). Hafil kelihatannya masih 
senang datang, tapi bagiku pertemuan-pertemuan itu seolah 
merupakan siksaan. Acaranya selalu sama. Ada tuan B yang gemar 
bercerita. Segera sesudah kami datang, mulailah ia menceritakan 
dongeng seribu satu malam...sambil makan kue-kue dan minum teh 
sampai jauh malam..waktu hilang percuma...malam tadi kubiarkan 
Hafil pergi sendiri...tentu mereka gusar padaku...tapi yah apa boleh 
buat," tutur Sjahrir melalui catatan hariannya pada 30 Mei 1936. Bagi 
Sjahrir, Hatta adalah seorang puritan dalam beragama. Yang 
menarik, dalam surat-suratnya, Sjahrir menyebut ada perubahan 
sikap yang prisipiil dalam diri Hatta selama masa pembuangan di 
Banda. Selama ini Hatta dikenal sebagai tokoh nonkoperasi, tidak 
mau bekerja sama dengan Belanda. Tapi, dalam penilaian Sjahrir, 
Hatta sesungguhnya memiliki sifat seorang kooperator. Dalam 
hatinya ia masih punya kepercayaan kepada pemerintah kolonial 
dalam banyak hal. Ia percaya terhadap humanitas dari suatu 
pemerintah yang dari asalnya modern dan demokratis. Sikap ini yang 
berubah. Pada suatu sore di Banda, pada 7 Maret, Sjahrir menulis, 
"Dulu keberatanku yang utama terhadap Hafil ialah bahwa ia begitu 
naif. Meski acap kali dikatakan orang bahwa ia wakil yang paling 
militan dari kaum non-kooperator, dalam hatinya ia sebenarnya tidak 
pernah lain dari seorang `kooperator', artinya se-orang oposisi loyal 
secara moral. Dasar pikiran-pikiran politik sesungguhnya adalah 
kepercayaan pada kemungkinan kehidupan politik yang demokratis 
dalam suasana kolonial." Sjahrir melanjutkan menulis, "Sekarang ia 
tidak akan bisa lagi begitu militan seperti sebelum diasingkan, tapi 
pengasingannya ini juga telah membuat sifat `kooperatornya' dulu 
itu sekarang jauh lebih kurang daripada dulu, dalam arti bahwa 
sekarang ia lebih pahit perasaannya daripada saat  ia masih menjadi 
non-kooperator yang sengit. Hafil sungguh-sunggguh jadi terbuka 
matanya; ia lebih banyak belajar dari kejadian-ke-jadian ini daripada 
hidup berpolitik di Eropa selama beberapa tahun...." Saat Jerman 
33 
 
akan menyerang daratan Eropa, Jepang merancang penyerbuan Asia 
Pasifik. Hatta dan Sjahrir mengetahuinya dari radio. Pertama kali 
yang memiliki radio di Banda adalah seorang warga keturunan Cina 
bernama Ho Kok Chai. Sikap Sjahrir terhadap Jepang sudah jelas. Ia 
menganggap adanya unsur fasisme. Seusai masa Banda, Sjahrir 
konsisten dengan hal itu, memimpin gerakan bawah tanah di seluruh 
Jawa untuk menentang Jepang, sementara sikap Hatta-dibanding 
dengan Sjahrir-lebih "lunak" terhadap Jepang. Di Banda, Sjahrir 
sudah merasakan kecenderungan Hatta itu. "Hafil pun mula-mula 
hingga belum beberapa ini masih memiliki  perasaan-perasaan 
simpati terhadap Jepang; orang-orang nasionalis di Jawa pun 
demikian pula, meskipun mereka sekarang tidak berani lagi terang-
terangan mengatakannya," tulis Sjahrir, 19 Agustus 1937. APABILA 
kita berdiri di muka Benteng Belgica, sebuah benteng yang dibangun 
pada 1611 itu, kita akan melihat rumah-rumah penduduk dan semua 
pulau kecil yang mengelilingi Kota Banda Neira. Di sana, kita bisa 
membayangkan sosok Hatta dan Sjahrir berjalan mendaki bukit dan 
menatap jauh ke laut lepas, menerawang ke masa depan bangsanya. 
Banda menyimpan taman laut yang elok, lorong-lorong rahasia 
berlumut antarbenteng, pintu-pintu rumah tempo dulu, selokan-
selokan yang diberi nama Admiral Spunt, Zeelandia, Delft, dan 
Rotterdam, inskripsi-inskripsi huruf besi.... Hatta tampak dingin, tak 
sentimental. Tak sepatah kata pun dalam memoarnya yang 
menyatakan keterpukauannya kepada gelora alam. Sebaliknya, 
Sjahrir misalnya menulis, "... Pantai-pantai di sini lebih bagus 
daripada pantai-pantai di Belanda karena di sini tumbuh pohon-
pohon rindang di tepi laut. Kadang-kadang aku pergi ke dermaga 
lama untuk melihat matahari terbenam. Di depanku terbentang teluk 
yang indah, laksana kaca licinnya...." Tapi sesungguhnya Hatta 
adalah orang yang suka bernostalgia dan romantis. Ia pernah kecewa 
saat  pada 1973, tujuh tahun sesudah  kematian Sjahrir, ia bersama 
keluarga mengunjungi Banda. Banyak bangunan lama yang rusak. 
Oknum setempat memereteli jendela dan pintu rumah-rumah kuno. 
Andai Hatta masih hidup, entah bagaimana perasaan Hatta melihat 
Banda kini. Seperti yang dikatakan tokoh warga  Banda, Haji 
Thalib, 70 tahun, kini pemerintah (baik daerah maupun pusat) 
kurang begitu peduli akan nasib rumah pengasingan Hatta. sesudah  
kerusuhan menimpa Maluku, tampaknya pemerintah tak lagi 
mengucurkan biaya untuk juru jaga. Padahal merekalah yang 
34 
 
merawat semua peninggalan Bung Hatta serta melayani para tamu 
asing ataupun warga Indonesia sendiri. Kerusuhan juga membuat 
Banda-pulau yang tenang, toleran, dan warganya saling berasimilasi-
kembali bersinggungan dengan sesuatu yang dibenci Hatta: 
kekerasan dan darah. Suatu hari, secara kebetulan TEMPO bertemu 
dengan Pungky van den Broeke, keturunan ke-12 fam Van den 
Broeke di Banda. Seluruh keluarganya tewas dibantai tetangganya. 
Sore itu, Selasa, 20 April 1999, sekitar pukul 5, massa yang 
memanfaatkan isu agama menyerang, membakar rumahnya, 
membantai istri, ibu, tante, dan kedua anak Pungky, serta berusaha 
merebut perkebunan palanya. "Saya selamat, menggali pasir di 
pantai, menutupi seluruh tubuh saya dengan pasir, kecuali hidung 
saya, dan dengan daun. Para pembunuh itu lari di atas tubuh saya," 
katanya kepada TEMPO. ENAM PULUH EMPAT tahun silam, di 
Banda, dalam rangka kursus, Hatta menulis risalah tentang teori 
Marx. Kritiknya terhadap Marx: Marx tak memperhitungkan 
munculnya banyak faktor irasionalitas dalam warga . Buruh 
yang dibelanya, dalam kasus Jerman, malah mendukung fasisme dan 
menindas kelas mereka sendiri. Irasionalitas memang ada di mana-
mana. Andai Hatta masih hidup, tentunya ia akan menangis melihat 
darah-akibat tindakan irasional-di pasir Banda. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
35 
 
HariHariHariHari----Hari Bersama Om KacamataHari Bersama Om KacamataHari Bersama Om KacamataHari Bersama Om Kacamata    
 
 
Sebuah sore, 66 tahun silam, Teluk Neira teduh dan nyaman. Sekawanan 
bocah laki-laki sibuk berenang melawan ombak di kawasan yang dijuluki 
tempat matahari berlabuh ini. Des Alwi, 8 tahun kala itu, turut bergabung 
bertelanjang dada menikmati hangat air laut Neira. Kesenangan terusik 
saat  petugas pelabuhan berseru mengusir anak-anak dari dermaga. Ini 
tanda ada kapal yang bakal berlabuh. Des dan kawan-kawan bergegas 
bersembunyi di bawah dermaga kayu. Sebentar kemudian sebuah kapal 
putih berbendera Belanda, Fommelhaut, merapat. Dua lelaki berjas krem 
dan bersepatu putih turun dari kapal. "Tuan-tuan itu berwajah pucat," kata 
Des Alwi kepada TEMPO, beberapa pekan lalu. Wajah pucat yang 
membuat Des yakin bahwa keduanya datang dari Buven Digul, arena 
pembuangan yang brutal dan menyengsarakan. Des, mantan diplomat 
senior yang kini berusia 75 tahun, memang punya daya ingat yang luar 
biasa kuat. Peristiwa bertanggal 1 Februari 1936 ini  dia rinci seolah 
baru terjadi kemarin sore. Gelak tawa dan wajah yang memerah bangga 
menggenapi penuturan Des. Nyata betul bahwa kenangan yang mengalir 
menghangatkan seluruh tubuh lelaki yang sekarang bercucu empat ini. 
Kenangan berlanjut. Om Kacamata, julukan bagi Mohammad Hatta, hanya 
tersenyum-senyum. Sementara tuan pucat yang satu lagi, Sutan Sjahrir, 
menanyakan letak rumah dr. Tjipto Mangunkusumo. "Jauh, veer, Meneer," 
kata Des kecil, "Tetapi, di depan dermaga ini ada rumah Iwa 
Kusumasumantri." Bersama tokoh pejuang dr. Tjipto Mangunkusumo, Iwa 
dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Banda sejak 1928. Tak 
berapa lama, rombongan Des membantu kedua tuan pucat singgah ke 
rumah Iwa. Belasan peti Hatta-Sjahrir digotong anak-anak itu. Sejak itulah 
para bocah Banda memeriahkan hidup dua bembang, orang buangan, 
Hatta-Sjahrir. Upik dan buyung riuh berkeliaran di rumah besar berkamar 
delapan yang dihuni Hatta-Sjahrir. Belakangan, Hatta-Sjahrir minta izin 
keluarga Raja Baadilla, tokoh Banda keturunan bangsawan Arab, untuk 
menjadikan cucu dan kemenakan Baadilla sebagai anak angkat. Keluarga 
Baadilla sepakat. Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali resmi menjadi anak angkat 
Hatta dan Sjahrir. Selanjutnya, sebagai anak angkat, Des bersaudara 
berguru pada Hatta-Sjahrir. Membaca, berhitung, sejarah, juga sopan 
santun adalah pelajaran utama. Semangat perjuangan pun sengaja 
ditularkan. Anak-anak bebas menguping diskusi politik yang serius di 
kalangan bembang di Banda. Aktivitas bermain pun tak luput disisipi nilai 
perjuangan. Om Kacamata, misalnya, suatu kali mengecat perahu dengan 
warna merah putih. Tak ada setitik pun warna biru di perahu. Pejabat 
setempat, yang orang Belanda, tentu mempertanyakan kegiatan yang 
36 
 
berbau patriotik ini. Bung Hatta dengan tenang menjawab, "Anda kan tahu 
sendiri, laut sudah berwarna biru." Si pejabat pun manggut-manggut dan 
ngeloyor pergi. Kali yang lain, anak-anak berpiknik ke Pulau Pisang atau 
Pulau Banda Besar. Di sana, di pantai yang sepi, seperti ditulis Rudolf 
Mrazek dalam buku Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia, Des 
mengenang Sjahrir meng-ajarkan lagu Indonesia Raya. "Lagu yang kami 
nyanyikan dengan penuh semangat, sebab kami merasa bebas dan oleh 
karena tidak ada orang yang dapat mendengar kami." Memang, hubungan 
bocah Baadilla dan Hatta-Sjahrir tak selalu harmonis. Sesekali muncul 
insiden yang memusingkan. Misalnya, kaca jendela rumah Om Kacamata 
kena bola yang ditendang Des sampai pecah berantakan. Atau, Des 
menyenggol dan memecahkan vas bunga yang ada di kamar baca Hatta. 
Beberapa buku, harta berharga bagi Hatta, basah belepotan air jambangan. 
Alih-alih menjadi renggang, beragam insiden tadi justru merekatkan 
hubungan mereka. Kualitas kedekatan tampak nyata saat  pada sebuah 
pagi, 31 Januari 1942, Hindia belanda memerintahkan Hatta-Sjahrir pulang 
ke Jakarta. Pesawat kecil jenis Catalina, milik MLD (dinas penerbangan 
militer), telah siaga menjemput keduanya di dekat Dermaga Neira. Hatta-
Sjahrir mengajukan satu syarat: membawa serta semua anak angkat. 
Akhirnya, Belanda hanya mengizinkan lima anak turut serta, yakni Des, 
Does, Lily, Mimi, dan Ali. Namun, pada detik-detik menjelang 
keberangkatan, Catalina tak sanggup mengusung seluruh rombongan yang 
kelebihan berat 120 kilogram. Lalu, disepakati Des tinggal di Banda 
sekaligus menjaga 16 peti buku Hatta yang tak terangkut. Satu bocah lagi, 
Does Alwi, juga batal ikut karena orang tuanya keberatan. Tiga bulan 
kemudian, Des menyusul ke Jakarta dan tinggal di rumah Hatta. Begitulah, 
hubungan kedua tokoh pejuang tadi dengan bocah Baadilla amat bernilai. 
Bahkan, bisa dibilang manusia-manusia kecil inilah yang menolong Hatta-
Sjahrir bertahan selama delapan tahun masa pengasingan Banda. Kedua 
Bung tidak menuai kesepian yang menyakitkan, seperti yang dilaporkan 
menimpa Tjipto dan Iwa. Om Kacamata dan Om Rir membunuh rasa bosan 
yang menggigit dengan bermain gundu, sepak bola, mendaki gunung, 
memetik kembang anggrek, atau menikmati bulan putih di langit malam 
Banda. Suatu hari kelak, dalam pidato pemakaman Sjahrir, Hatta 
mengingat bagaimana anak-anak Baadilla membantu Sjahrir menyesuaikan 
diri dengan tempat baru, sesudah perubahan yang tidak mudah dari Buven 
Digul. Mereka tidak membiarkannya merasa kesepian. Dalam istilah Hatta: 
mereka obat untuk hati yang luka. 
 
 
 
 
37 
 
Di Lereng Gunung MenumbingDi Lereng Gunung MenumbingDi Lereng Gunung MenumbingDi Lereng Gunung Menumbing    
 
 
SELEMBAR kertas itu sudah tampak lusuh. Tertempel pada sebuah 
bingkai kayu, dia digantung pada dinding sebuah kamar. Ad