Perkembangan budaya maupun perrnukiman di Kota Malang dipengaruhi oleh aliran sungai-
sungai besar, seperti sungai Brantas, Sungai Bango dan Sungai Metro Serta pegunungan
yang mengelilingi kota Malang diantaranya Gunung Semeru, Gunung Kawi, Gunung
Arjuna dan Pegunungan Kapur Kendeng Salah satu anak G. Kawiyaitu Bukit Panderman di
Kota Batu. Di lereng timurnya terletak tuk Kali Metro yang merupakan cikal bakal dari munculnya
peradaban di Kota Malang bagian Barat. Selain itu tepat di lembah aliaran Sungai Metro diduga
menjadi Pusat dari Kerajaan Kanjuruhan yang merupakan kerajaan Tertua di Jawa Timur. Dalam
penelitian ini bidang kajiannyayaitu ilmu Arkeologi Sejarah. Oleh sebab itu sistematika dan tata cara
pelaksanaanya mengindahkan kaidah-kaidah ilmiah, sebagaimana lazim dalam riset Sejarah dan
Arkologi. Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan lintas sumber data. Artinya jenis
dan bentuk sumber data masa lampau, baik tekstual, artefaktual, oral maupun ekofaktual
didayagunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kesejarahan Sungai Metro dalam
membentuk peradaban di Sub bagian Barat Malang Pada masa lalu wilayah Karangbcsuki hingga
Merjosari amat penting, sebab menjadi pusat pernerintahan Kerajaan Kanyuruhan.
Keberadaan Sungai Metro juga menjadi pertimbangan untuk melokasikan kadatwan Kanyuruhan di
seberang selatan-barat alirannya. Ditilik dari sudut pandang militer sungai curam serta lebar ini tepat
untuk dimanfaatkan sebagai barrier alam guna melindungi ibukota terhadap serangan musuh yang
berasal dari arah utara dan timur. Permukaan tanah di karangbesuki lebih tinggi daripada Merjosari,
sebab nya terbebas dari kemungkinan luapan air dari Kali Metro.
Kehidupan manusia selalu dikaitkan dengan beberapa hal yang mempengaruhi
perkembangan peradaban, seperti bagaimana kondisi geografis wilayah ini , keberadaan
sungai dan mata air, atau sumber daya lain sebagai pendukung dari munculnya suatu peradaban.
Sebagai pembentuk peristiwa masa lalu, kondisi geografis di suatu wilayah dapat pula menentukan
bagaimana pola perkembangan kebudayaan dan peradaban yang melingkupi wilayah ini .
Sebagai contoh missalnya jika sebuah wilayah bercorak agraris di wilayah pedalaman yang
bergunung-gunung jelas memiliki kekhasan yang berbeda dengan masyarakat maritim diwilayah
pesisir.
Wilayah geografis kota Malang yang secara karakteristik merupakan dataran tinggi,
menyebabkan cuaca cenderung sejuk, ditambah lagi dengan gugusan pegunungan yang
melingkupinya menyebabkan tanah yang berada di dataran tinggi malang sangat subur sebab
bekas dari erupsi gunung Kawi dan gunung Ajuna purba serta gunung Semeru yang hingga saat
ini masih aktif berkumpul di dataran tinggi Malang
Selain dilingkupi oleh pegunungan dataran tinggi malang juga dialiri oleh sungai-sungai
yang membelah dataran tinggi malang menjadi beberapa wilayah seperti wilayah malang bagian
Utara dan Selatan yang dipisahkan oleh aliran Sungai Brantas serta malang bagian barat dan timur
yang dipisahkan oleh Sungai Metro. Sungai-sungai ini seperti diungkapkan oleh Habib
Mustopo memiliki potensi yang luar biasa untuk melahirkan peradaban. Alamnya yang merupakan
perpaduan antara gunung, lembah dan sungai, memungkinkan padanya lahir cipta karya besar
masa lalu
Perkembangan budaya maupun perrnukiman di Kota Malang dipengaruhi oleh
aliran sungai-sungai besar, antara lain Kali Brantas, Sungai Bango dan Sungai Metro.
Bila mencermati foto udara Kota Malang sekitar tahun 1914, tergambar bahwa Brantas
menjadi “pembatas” bagi pengembangan Kota Malang, khususnya ke sub-area timur
kota, yang terhalang oleh aliran dua sungai, yakni Brantas dan Bango Hal serupa terjadi di sub-area barat, yang terhalang oleh aliran Metro.
Dahulu sungai-sungai itu menjadi isolasi alam, sebab benteng geografi Kota Malang
diiris-iris oleh aliran sungai. Aliran Sungai Brantas di Kota Malang yang mengalir
barat-timur, kemudian membelok utara-selatan, membelah sub-area tengah Kota
Malang. Isolasi alam oleh aliran Brantas itu diatasi dengan membangun sejumlah
jembatan. Oleh sebab nya dapat dikatakan bahwa jembatanyaitu "faktor kunci" bagi
pengembangan Kota Malang ke penjuru wilayahnya.
Sejumlah sungai besar seperti Brantas, Amprong, Bango, Metro dan kali-kali kecil
lain memasokkan airnya melalui lereng gunung dan pegunungan yang melingkunginya
ke dalam danau, utamanya di musim penghujan. Lama kelamaan Danau Purba Malang
mengalami pengeringan berkat pengaliran air danau ke selatan melalui aliran Brantas
di celah Kutobedah, kemudian berbelok ke arah barat lewat Celah Kepanjen (Kepanjen
Pass). Kali Metro ikut membantu proses pengeringan Danau Purba Malang dengan
mengalirkan airnya ke arah selatan hingga akhirnya bertemu dengan aliran Brantas di
sekitar Karangkates
Adanya Bukit Buring di bagian timur serta lereng Kawi di bagian· barat menjadikan
permukaan tanah di sub-area timur dan barat Kota Malang lebih tinggi dari pada sub-
area tengah, selatan dan utara. Tanah di sub-area timur dan barat melereng, sehingga
dapat dimengerti bila pada masa pra-Kemerdekaan RI kedua sub-area ini cenderung tak
dipilih sebagai sentra hunian. Terlebih keduanya berada di seberang Kali Metro, Brantas,
Bango dan Amprong. Hal itulah yang antara lain menjadi latar mengapa konsentrasi
kawasan terbangun di Kota Malang cenderung berada di sub-area tengah, utara dan
selatan, dengan Alon-alon Kotak sebagai titik sentrumnya. Salah satu anak G. Kawiyaitu
Bukit Panderman di Kota Batu. Di lereng timurnya terletak tuk Kali Metro. Alirannya melintasi
bagian barat Kora Malang hingga bermuara di aliran Brantas. Perjalanan pajang sejarah
Malauj; Raya banyak berkait dengan keberadaan G. Kawi dan Kali Metro ini.
Embrio peradaban lembah Metro pada jaman Prasejarah ituyaitu modal sosial budaya
yang kelak sesudah masuknya pengaruh budaya India dikembangkan menjadi pusat pemerintahan
kerajaan (kedatwan) dan sekaligus pusat peradaban. Prasasti Dinoyo (21-11-760 M) menyebut
kerajaan bernama “Kanyuruhan (…Puram kanyuruhan maha, … Artinya: kerajaan Kanyuruhan yang
besar)”. Yang berturut-turut diperintah oleh Raja Dewa Simha, Gajayana dan kemudian Utteyana
(Poerbatjaraka, I, 1952:61-66). Nama ini mengingatkan kepada nama dusun lama, yakni Kejuron, di
lembah Kali Metro. Nama demikian serupa dengan watak dibagian barat Kota Malang yang dalam
sejumlah sumber data epigrafis sejak abad X disebuat “watak kanuruhan”, dibawah pimpinan
pejabat setingkat raka
Desa-desa kuno terpenting di sub-area barat antara lain berada di wilayah
Karangbesuki, Merjosari, Tlogomas, Dinoyo dan Ketawang Gede. Sub-area ini memiliki
geostrategis, lantaran (1) di apit dan dilintasi oleh dua sungai purba yang besar, yaitu
Metro dan Brantas. Selain itu (2) memiliki kecukupan air, tanahnya subur, sehingga
memenuhi syarat untuk dikembangkan menjadi areal pertanian. Kehidupan agraris telah
hadir di sini semenjak Masa Bercocok Tanam, atau paling tidak pada Masa Perundagian.
Dengan demikian, sub-area barat Kota Malangyaitu areal hunian manusia Prasejarah,
yang kemudian berlanjut mernasuki Masa Hindu-Buddha dan sesudahnya. Posisi
strategis lainnyayaitu (3) dilintasi oleh jalur transportasi purba, yang menghuhungkan
daerah Malang di Sub-DAS Hulu dan daerah Kediri di Sub-DAS. Tengah Brantas, Pada masa
lalu keduanyayaitu sentra pemerintahan, dan sekaligus pusat peradaban
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini bidang kajiannyayaitu ilmu Arkeologi Sejarah. Oleh sebab itu
sistematika dan tata cara pelaksanaanya mengindahkan kaidah-kaidah ilmiah, sebagaimana lazim
dalam riset Sejarah dan Arkologi. Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan lintas
sumber data. Artinya jenis dan bentuk sumber data masa lampau, baik tekstual, artefaktual, oral
maupun ekofaktual didayagunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kesejarahan Sungai
Metro dalam membentuk peradaban di Sub bagian Barat Malang.
Ada tiga bentuk sumber data tekstual yang digunakan sebagai sumber informasi yaitu (1)
prasasti, (2) susastra, dan (3) arsip. Sebagai sumber tekstual, atefak yang dipergunakan dapat
berasal dari lintas masa, yakni jaman Prasejarah, Masa Hindu Budha, hingga masa perkembangan
Islam. Bentuknya dapat berupa arsitektur, seni arca dan pahat ataupun perangkat hidup sehari-hari
baik dalam bentuk utuhan ataupun yang berada dalam kondisi fragmentaris.
Data oral dalam penelitian iniyaitu tradisi lisan yang hidup di masyarakat terteliti
khusunya mengenai cerita yang berkembang berkaitan Sungai Metro sebagai pembentuk
peradaban di Malang Bagian Barat. Data oral ini dapat berupa suatu kejadian yang
dimungkinkan terdapat lebih dari satu varian pengkisahan. Hal ini bisa difahami, sebab tradisi lisan
acap mengandung bias dari fakta. Menyadari hal ini , maka diperlukan uji akurasi data lisan
baik melalui uji silang antar sumber data sejenis atau lewat uji silang sumber data
Ekofakyaitu data yang berkaitan dengan fakta lingkungan, yang dalam konteks ini
tepatnya paleo ekofaktual yakni fakta lingkungan kuno dimana kejadian masa lampau berlangsung
di dalamnya. Kondisi lingkungan di suatu desa kuno pada masa sekarang tidak selalu sama dengan
keberadaan di masa lalu. Oleh sebab itu perlu merekontruksi bagaimana lingkungan dapat
mempengarui munculnya suatu peradaban.
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini disesuaikan dengan ragam jenis dan
bentuk sumber data yang dieksplorasi. Data dari sumber data tekstual berbentuk arsip dikumpulkan
dengan metode penelitian documenter. Yang berupa prasasti menggunakan metode penelitian
epigrafi dan data yang berbentuk susastra menggunakan penelitian folologi. Penelitian yang
menggunakan data arsip dan susastra masuk dalam penelitian historis. Untuk sumber data
artefaktula digunakan metode penelitian arkoelogis.
Survei permuakaan dilakukan terhadap sumber artefaktual untuk kelompok data
arsitektural, ikonografi maupun perangkat hidup sehari-hari. Data terkumpul berupa paparan
tertulis yang berbntuk foto, gambar sketsa dan peta keletakan di sekitaran bantaran sungai Metro.
Survei permukaan juga dipakai dalam pengumpulan data ekofaktual yang diarahkan pada aspek
fisiografis lingkungan fisis alamiah yang menjadi konteks geografis peristiwa sejarah. Sedangkan
sumber data oral ditangani dengan metode wawancara terhadap narasumber yang kompeten,
yaitu mereka yang memahami tradisi lisan, saksi kejadian sejarah ataupun pelaku sejarah itu sendiri.
Data yang berasal dari beragam sumber data yang telah terkumpul pada tahap
pengumpulan data selanjutnya dikelompokkan menurut satuan-satuan pengamatan, lalu
diitegrasikan satu sama lain, sebagaibahan untuk melakukan rekonstruksi historis untuk tiap desa
kuno yang dilewati aliran sungai Metro khususnya di wilayah Kota Malang. Dengan cara demikian
data yang kurang lengkap dari suatu sumber data dapat dilengkapi dengan data yang berasal dari
sumber data lain untuk pokok bahasan yang sama. Khusus untuk data oral, mengingat bahwa
sumber data ini rentan terhadap bias, maka informasi yang berasal dari seorang informan perlu
diujisilangkan dengan informasi dari informan lain, sehingga diperoleh informasi yang valid.
Tahap akhir dalam penelitian iniyaitu penulisan sejarah. Pada tahap ini data yang telah
terkumpul dan telah dianalisa selanjutnya, dijadikan bahan untuk menyususn penulisan sejarah
khususnya penulisan sejarah berkaitan dengan peran sungai Metro dalam membentuk peradaban
di kawasan Barat Kota malang serta cikal bakal munculnya kerajaan Kanjuruhan yang berlokasi tidak
jauh dari aliran sungai Metro.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Embrio peradaban lembah Metro pada jaman Prasejarah ituyaitu modal sosial budaya
yang kelak sesudah masuknya pengaruh budaya India dikembangkan menjadi pusat pemerintahan
kerajaan (kedatwan) dan sekaligus pusat peradaban. Prasasti Dinoyo (21-11-760 M) menyebut
kerajaan bernama “Kanyuruhan (…Puram kanyuruhan maha, … Artinya: kerajaan Kanyuruhan yang
besar)”. Yang berturut-turut diperintah oleh Raja Dewa Simha, Gajayana dan kemudian Utteyana
(Poerbatjaraka, I, 1952:61-66). Nama ini mengingatkan kepada nama dusun lama, yakni Kejuron, di
lembah Kali Metro. Nama demikian serupa dengan watak dibagian barat Kota Malang yang dalam
sejumlah sumber data epigrafis sejak abad X disebuat “watak kanuruhan”, dibawah pimpinan
pejabat setingkat rakai. Selain diinforrnasikan oleh surnber data tekstual, keberadaan
kerajaan tertua di Jawa Timur ini didukung olch sumbcr data artefaktual yang berupa
Candi Badut-dan Candi Gasek (Karangbesuki) serta struktur bata clan pecahan Yoni di
dusun Kejuron.
Sub-area barat berupa bentang geografis yang dilintasi oleh Kali Metro dan
seberang selatan Brantas. Dalam sejarah panjang kawasan Malang, sub-area ini menjadi
ajang peristiwa pada periode awal sejarah Malang. Awal sejarah Jawa Timur pun bisa
dikatakan bermula disini. Kanyuruhan, baik sebagai kerajaan yang otonom (abad VII-IX
M)" ataupun sebagai salah sebuah watak dari suatu kerajaan (abad IX-XV M)", tumbuh
dan berkembang di sub-area barat Kota Malang Desa-desa kuno terpenting di sub-area
barat antara lain berada di wilayah Karangbesuki, Merjosari, Tlogomas, Dinoyo dan
Ketawang Gede. Sub-area ini memiliki geostrategis, lantaran (1) di apit dan dilintasi oleh
dua sungai purba yang besar, yaitu Metro dan Brantas. Selain itu (2) memiliki kecukupan
air, tanahnya subur, sehingga memenuhi syarat untuk dikembangkan menjadi areal
pertanian. Kehidupan agraris telah hadir di sini semenjak Masa Bercocok Tanam, atau paling
tidak pada Masa Perundagian. Dengan demikian, sub- area barat Kota Malangyaitu areal
hunian manusia Prasejarah, yang kemudian berlanjut mernasuki Masa Hindu-Buddha
dan sesudahnya. Posisi strategis lainnyayaitu (3) dilintasi oleh jalur transportasi purba,
yang menghuhungkan daerah Malang di Sub-DAS Hulu dan daerah Kediri di Sub-DAS.
Tengah Brantas, Pada masa lalu keduanyayaitu sentra pemerintahan, dan sekaligus pusat
peradaban.
Pada uraian berikut, wilayah Karangbesuki dan Merjosari dipaparkan secara terpisah
hal ini sebab pertimbangan bahwa pada masa lalu wilayah Karangbcsuki hingga Merjosari
amat penting, sebab menjadi pusat pernerintahan Kerajaan Kanyuruhan. Dari kedua
ternpat yang berada di lembah Metro ini, pada masa selanjutnya pusat kekuasaan
bergeser ke utara, yakni ke arah aliran Brantas, yang meliputi wilayah Telogomas, Dinoyo
dan Ketawang Gede. Ketiganya dibicarakan bersama-sarna, sebab ada relasi historis ekologis
yang kuat diantaranya. Besar kemungkinan, pusat watak Kanuruhan berada di wilayah ini.
Dapat dibayangkan bahwa sub-area barat merupakan pemula kawasan kota di wilayah
Kota Malang. Sub-area barat kerenanya merupakan suatu "ancient city".
Setidaknya ada dua nama desa kuno, yang menurut sumber data prasasti dan
susastra berada di sini, yaitu Gasek di Karang Besuki dan Karuman di Telogomas. Selain itu
sebelum tahun 1980an ada sebuah kampung lama bernarna "Kejuron". Sayang sekali kini
namanya tak banyak dikenal, sebab telah berubah menjadi kompleks perumahan Tidar.
Pada Kampung Kejuron pernah ditemukan struktur bata dan dua buah yoni warga
setempat menyebut dengan "lumpeng kentheng" yang hancur ketika pembolduseran
tanah untuk mengawali pembangunan areal perumahan yang dikembangkan oleh PT.
Sarana Tidar Indah. Selain lenyapnya tinggalan arkeologis itu, disayangkan pula turut
lenyap nama "Kejuron", Padahal, narna" Kejuron" amat menyerupai nama kerajaan
otonom dan watak yang pernali hadir di sini, yakni Kanuruhan
Di sub-area barat ada dua wilayah terkaji, yaitu wilayah (1) Karangbesuki dan Merjosari,
(2) Telogomas, Dinoyo dan Ketawang Gede. Sumber data masa lalu yang didapati terbilang
rinci dan beragam, yaitu tekstual, artefaktual, ekofaktual, dan oral. Oleh sebab itu,
rekonstruksi historis bisa dilakukan dengan lengkap dan mencakup lintas masa. Yang patut
disayangkanyaitu rusak hingga lenyapnya artefak masa lalu akibat pembangunan areal
permukiman dan fasilitas pub1ik. Dengan tumbuh dan berkernbangannya Lembaga
Pendidikan Tinggi, yang terkonsentrasi di sub-area barat sejak tahun 1950-an,
permukiman berkembang cepat tanpa desertai kepedulian untuk melestarikan jejak
budaya masa lalu yang tertinggal.
Karangbesuki dan Merjosariyaitu dua desa bertetangga yang dipisahkan oleh
aliran Kali Metro. Karungbesuki terletak di seberang selatan, dan Mcrjosari berada di
seberang utaranya. Kenda ti terpisah oleh sungai bertebing curam dan cukup lebar, namun
hubungan diantaranya terjalin sernenjak lama. Jernbatan kuno berbahan kayu dan
bambu boleh jadi telah menyeberang Kali Metro.
Pilihan tinggal di DAS Metro antara lain mempertimbangkan kesuburan tanahnya
untuk pertanian. Lembah Metro mcrniliki struktur tanah yang mengandung unsur
alluvial (Juarti, 1992) berwarna kelabu dan asosiasi latosol coklat kemerah-mernhan
dengan sifat fisik cukup baik dan subur. Selain itu mernpunyai lahan erosi, sehingga cukup
baik untuk pertanian (Herlarnbang, 1990). Pertimbangan lainnyayaitu kemudahan
mcndapat air bersih untuk beragam keperluan
Karangbesuki dan Merjosari berada di lembah timur Kawi dan aliran Kali Metro.
Dalarn kitab Tantupanggelaran, yang ditulis pada Akhir Majapahit, Kawi dinyatakan sebagai
salah satu gunung suci (holly mountain) di Jawa. Panderman di wilayah Batu dan Kab.
Kitab Tantupanggelaran antara lain mengisahkan tentang pemotongan puncak Gunung Meru
(Himalaya) dan selanjutnya diboyong dari Jambudwipa (India) KE Jawadwipa sebagai pasak untuk
menstabilkan pulau Jawa. Ketika potongan puncak Meru digeser posisinya dari bagian barat ke
bagian timur Pulau Jawa, beberapa bagiannya rompal. Salah satu rompalannya menjadi G. Kawi.
oleh sebab G. Meruyaitu gunung suci, maka rompalannya punyaitu suci G. Kawi sebagai salah
satu rompalannya dengan demikian adalaj gunung yang suci. Sementara Poerbatjaraka (1992:71)
menghubungkan nama “kawi” dari G. Kawi dengan tempat pertapaan atau asrama (srama) bagi
para penyair (rakawi), yang biasa disebut dengan predikat “empu, mpu atau pu
Malang bagian baratyaitu anak Gunung Kawi yang juga dikonsepsikan sebagai gunung
suci. Tuk (mata air) Metro berada di lereng timur Panderman, tepatnya Dusun Princi Ds.
Gadingkulon Kecamatan.Dau Kabupaten.Malang. Oleh sebab tuk nya berada dibukit suci
panderman, maka diyakini sebagai sungai suci (holly river). Kesakralannya tercermin pada namanya,
yakni Metro berasal dari kata “mreta (mati) lengkapnya “a+mreta (amreta)” (Meulen, 1976:451),
artinya tidak mati (hidup), abadi (Zoetmulder, 1982 I:69). Toponimi “Mertojoyo” sebagai nama suatu
dusun di lembah Metro kiranya terkait pula dengan konsep “amreta” yang asalnya dari perkataan
“[a]mreta+jaya”. Nama ini mengingatkan kita pada nama raja yang mengeluarkan Prasasti Sukun
(1161 M), yaitu Sri Maharaja Jayamreta. Jika susunan kata “jaya+amreta” dibalik, maka menjadi
mreta+jaya, lantas berubah: mretajaya dan kini menjadi Mertojoyo
Air amreta padan arti dengan ragam sebutan laim, seperti “tiertha nirmala, toya pawitra,
amreta sanjiwani, tirthakamandalu dsb (Atmodjo, 1981:16), yakni cairan yang mensucikan sekaligus
melimpahkan kehidupan yang kekal dan kebahagiaan yang abadi. Air yang berada di Kali Metro
diyakini sebagai air yang suci (tirtha), bagaikan amreta. Kali metro ibarat Silu Gangga, sungai yang
suci lantaran ber-tuk di Gunung.Himalaya yang suci. Bukan hanya sungai dan gunungnya yang suci,
namun bentang geografis dari puncak, lereng hingga lembahnya dipandang suci pula. Itu sebabnya
mengapa candi badut dan candi gasek dibangun di lembah metro, yang ditempat ini berkelok dari
barat menuju selatan. Selain dua candi tertua di Jawa Timur ini ada sejumlah bangunan suci lain,
baik berupa candi ataupun patirthan (kolam suci) yang berada di DAS Metro
Menurut R. Pitono (1961), pemilihan lembah sungai sebagai tempat untuk mendirikan
bangunan suci didasari oleh sudut pandang religiomagis. Sejalan dengan itu, R. Soekmono
(1974:330) mengemukakakn bahwa suatu tempat dianggap suci sebab potensinya sendiri.
Sesungguhnya, yang menduduki tempat pertamayaitu tanahnya. Pada umumnya-sebagaimana
halnya di India, kuil cenderung dibangun berdekatan dengan perairan (Kramrisch, 1946:304)
Keberadaan Metro juga menjadi pertimbangan untuk melokasikan kadatwan Kanyuruhan
di seberang selatan-barat alirannya. Ditilik dari sudut pandang militer sungai curam serta lebar ini
tepat untuk dimanfaatkan sebagai barrier alam guna melindungi ibukota terhadap serangan musuh
yang berasal dari arah utara dan timur. Permukaan tanah di karangbesuki lebih tinggi daripada
Merjosari, sebab nya terbebas dari kemungkinan luapan air dari Kali Metro. Gasek sebagai nama
dusun di Karangbesuki, memberi indikasi demikian. Kata “gasek” berarti kering. Sementara
Merjosari yang berada dekat dengan telaga purba Tlogomas, dengan permukaan tanah yang lebih
rendah berpotensi terkena genangan, khususnya dimusim penghujan. Kendati demikian, bukan
berarti bahwa areal Merjosari musti dihindari untuk lokasi tinggal. Bagi warga setempat di masa
lalu, air diposisikan sebagai unsur lingkungan yang penting untuk bercocok tanam ataupun
keperluan rumah tangga. Konsekuensinyayaitu musti dikembangkan formula adaptasi terhadap
lingkungan keairan, seperti membuat saluran air bawah tanah (arung), rumah berpanggung atau
memilih lokasi tinggal di areal tertentu pada suatu bentang lahan dengan topografis yang walau
bergelombang namun tidak gampang terkena genangan air.
Disebut "Prasasti Dinoyo I" sebab tatkala diketemukan pada tahun 1926 berada
dalarn kondisi pecah tiga bagian. Pecahan terbesaryaitu bagian tengah, yang ditemukan
di Dinoyo. Bagian inilah yang kali pertarna dijumpai, sehingga berdasarkan lokasi
penernuannya disebut "Prasasti Dinoyo". Bagian atas dan bawah yang lebih kecil
ditemukan di Desa Merjosari. J.G. de Casparis (1941:499-513) mendugatempat asalnya di
Kampung Kejuron. Namanya serupa d.engan nama kerajaan yang clisebut di dalamnya,
Kejuron kini menjadi areal Perumahan Tidar, berada di selatan Candi Badut.
Penambahan angka "I" menjadi "Prasasti Dinoyo I'" diberikan, sebab di Dinoyo
diketemukan lebih dari satu buah prasasti. Sejak masa Hindia-Belanda tiga pecahan
Prasasti Dinoyo I sudah disatukan, kemundian dibawa ke Museum Batavia - kini menjadi
Museum Nasional di Jakarta, dengan kode invebtarisasi D 95. Jawa. Tarikh disuratkan
dibaris awal prasasti berbunyi “…sakawarsatita 682 (tahun saka 682)” Angka tahun ini sama
dengan yang ditulis dalam bentuk candrasangkala dilengkapi detail waktu: bulan
Margacirsa, Jumat (Sukra), hari pertama pertengahan bulan baru, bintang (naksatra) Ardra
dan horoskop Aquarius. Habib Mustopo (1984:102) mengkonversikan tarikh Saka itu dengan
28-22-760 M. konversinya beda dengan yang terdapat di buku SNI Jilid II (2010:124), yaitu
21-11-760 M.
Konteks peristiwanyayaitu pelaksanaan perintah raja Gajahyana kepada
pemahat untuk mengganti arca Agastya dari kayu cendanabuatan nenek moyangnya
yang telah rusak dengan a rca serupa dari batu hi tam yang indah. Arca sang Maharsi
Agastya- diresrnikan oleh para ahli Weddha, para Brahmana, para pertapu, para sthapaka
(pcndeta terkemuka), dan penduduk negeri. Pertanyaannyuyaitu "pada bangunan
suci dimana area Agastya ini diternpatkan?". Yang pasti pada candi Hindu sekte
Siwa, tak jauh dari lokasi penempatan Prasasti Kanyuruhan. Masalahnyayaitu ada
dua candi Hindu di dekatnya, yakni Candi Badut dan Candi Gasek (Candi Karangbesuki).
Gaya arsitektur, ikonograf clan ragam hias keduanya. Agastyayaitu Maharsi, salah seorang
murid (sisya) utama Dewa Siwa. Demikian besar perannya dalam penyebaran Hindu kebagian
selatan, maka candi Hindu sekte Siwa area Agastya atau perwujudan lainnya sebagai Siwa
Mahaguru senantiasa ditempatkan direlung/bilik sisi selatan. Rsi yang memiliki sebutan
Kumbhayoni ini dipandang sebagai culture hero, dan diposisikan sebagai wakil Siwa di dunia.
Menurut R Ng Poerbatjaraka (1926) jasanya dalam menyebarkan budaya Hindu hingga ke
kawasan kepulauan jauh diseberang selatan-timur India, termasuk pula di Nusantara, Tokoh ini
bisa diidentikkan Aji Saka dalam mitologi Nusantara.
Dalam keberadaannya sekarang, Candi Gasek yang berada di areal makam umum dekat
kelokan Kali Metro tinggal menyisakan bagian bawah dari batur candinya, yang sebagian besar
berada dibawah permukaan tanah hasil ekskavasi. Dalam buku karya Krom (1923) diketahui
bahwa sekitar satu abad lalu masih didapati relatif serupa, memperlihatkan gaya candi pra-
abad X M. Oleh sebab itu perlu dipilih satu diantaranya. Volger (dalam Soediman,1976:
38-39) menyatakan bahwa Prasasti Dinoyo tak terkait dengan Candi Badut. Bahkan, Krom
(1931) dengan tegas merelasikannya dengan Candi Karangbesuki
Berbeda dengan keduanya, menurut Pitono (1961) secara kunst historie Candi
Badut layak ditempatkan pada abad VIII, sejaman dengan Prasasti Dinoyo. Soekmono
(1975) menyatakan hal serupa "Candi Badut perlihatkan ciri-ciri yang mencolok dibanding
dengan candi-candi pasca abad VIII”. Begitu pula J. Oey Blom (1985:22), kaki Candi Badut
yang sama sekali rata dan tidak berbingkai rnenjadi indikator candi berusia tua dan banyak
mengandung sifat Jawa Tengahan. Soediman (1976) “menguatkan"secara arsitektual dan
ornamentik ada banyak persamaan antara Candi Badut dengan candi-candi di Jawa
Tengah yang berusia agak tua, sebaliknya amat berlainan bila dibandingkan dengan candi-
candi yang berasal dari candi di atas permukaan tanah. Balok-balok batu Candi Gasek
banyak dijadikan fondasi rumah dan untuk pengeras jalan kampung. Demikian pula
arcanya, kini di relokasi ke Museum Mpu Purwa, sesudah sebelumnya cukup lama
ditcmpatkan di halamam depan dan belakang SD Karangbesuki
Penting untuk dipertimbangkanyaitu area Agastya dari Candi Karangbesuki -
kini kolcksi Museum Pu Purwa - ternyata tak dibuat dari batu hitam sebagaimana
diberitakan dalam Prasasti Dinoyo (760 M). Candi Badutyaitu apa yang dalarn prasasti
ini dinyatakan sebagai berikut “… Ia [raja gajayana] memerintahkan untuk membnagun
sebuah candi yang indah bagi Sang Agastya”. Jika benar demikian, berarti ada indikasi
Agastyapuja di Jawa pada sekitar abad VIII M. Alasan lainyaitu adanya teks yang
menyatakan bahwa “. Kerajaan di bawah naungan api putikesuiara", Meulen (1976: 449)
mengartikan putikesuiara dengan: lord of puridity (or stench). Sementara Krom (1923)
menyamakan api-api sang Putikeswara dengan Siwa dalam bentuk Lingga, atau Siwa yang
terdapat di dalam Lingga, atau lambang kekuatan Siwa. Linggayaitu lambang
"mencipta" dari Siwa, yang digunakan sebagaijiwa atau kekuatan yang melindungi
kerajaan dari malapetaka. Fungsinya sebagai penghapus penyakit dan malapctaka
tercerrnin pada kata “valahajiribhyah”, yang rnenurut Poerbatjaraka 1992: 65-71) untuk
menghacurkan kekuatan musuh atau epiderni penyakit disentri yang rnengeri kan.
Lingga diyakini sebagai pusat kekuatan magis kerajaan. Dalarn Prasasti Dinoyo, api
Putikeswara dipakai untuk mengkuduskan kerajaan
Bosch ( 1924) mengidikasikan pemujaan terhadap Lingga (Linggapuja) di
Kanyuruhan. Lingga dalam ajarau Siwa Siddhantayaitu lambang Dewa Siwa dan
lambing Kehampaan/Kenyataan Tertinggi. Ada hubungan kuat antara ajaran dan
tatacara upacara Siwa Siddhanta dengan Lingga (Santiko, 1993:18). Fenomena ini bisa
dibandingkan dengan Lingga Kerajaan di Angkor, yang dinamai "Lingga Parwata ". Pada
pusat-pusat kerajaan di Asia Tenggara, Lingga Kcrajaan diternpatkan suatu di bukit
alam atau bukit artifisial pada pusat pemcrintahan (kadatwan). Jika benar dcmikian.
herarti kadatwan Kanyuruhan tak jauh dari penempatan Prasasti Dinoyo, yakni di
Kampung Kejuron, dekat Candi Badut. Linggayaitu tempat kedudukan esensi
kedewataan Sang Raja (Geldern, 1982:17). Pendirian candi kerajaan beserta Lingga
Kerajaan di rnaksudkan sebagai pusat magi kerajaan. Lingga Kerajaan acapkali diberi unsur
narna “ iswara”, yakni salah satu sebutan Siwa, seperti perkataan "Putika+iswara = Putikeswara",
Boleh jadi Lingga dimaksudyaitu yang ada di garbagrha Candi Badut. Bila dibanding
dengan ukuran candinya, Lingga Candi Badut terbilang besar, yang mengingatkan pada
pendirian Lingga di bukit Sthirangga” dalam Prasasti Canggal (730 M).
Paparan di atas mernberi gambaran bahwa kesejarahan Karangbesuki dan
Merjosari telah bermula semenjak Masa Bercocok Tanam pada Jaman Prasejarah dan kian
berkembang manakala memasuki Masa Hindu-Buddha. Bahkan, selarna sekitar satu
setengah abad (medio abad VIII - awa] abad X) daerah Karangbesuki, terpatnya di Dusun
Kejuron, dipilih sebagai kadatwan Kanyuruhan. Agama Hindu sekte Siwayaitu keyakinan
utama yang berkembang di lingkungan dalarn kedaton Kanyuruhan. Sumber data
tekstual berupa Prasasti Dinoyo (730 M.) maupun artefaktual seperti Candi Badut dan
Gasek memberi petunjuk kuat tentang itu.