langsung
terhadap peningkatan ekonomi warga , sosial, budaya dan kualitas
lingkungan.
Terkait dengan timbulnya akibat dari pelaksanaan kegiatan pemba-
ngunan yang sesuai dengan rencana tata ruang, maka penggantian yang
layak terhadap kerugian, nilai atau besarnya penggantian tidak boleh
menurunkan tingkat kesejahteraan seseorang.
Selain hak, menurut Pasal 61 UU Penataan Ruang, ada beberapa
kewajiban dalam pemanfaatan ruang, yang harus diataati oleh setiap
orang, yaitu:
a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang;dan
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan per-
aturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pemberian akses dimaksud untuk menjamin agar warga
dapat mencapai kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum
(mi salnya pesisir pantai, sumber/mata air), sepanjang memenuhi
syarat untuk kepentingan umum dan/atau tidak ada akses lain
menuju kawasan ini .
Pelanggaran atas kewajiban ini dapat dikenai sanksi
administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan,
penghentian sementara pelayanan umum (pemutusan sambungan listrik,
saluran air bersih, saluran limbah, dll.), penutupan lokasi, pencabutan
izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan (baik sukarela oleh yang
Kebijakan penataan ruang di Indonesia: Pendekatan holistik
bersangkutan atau secara paksa oleh instansi berwenang), pemulihan
fungsi ruang dan/atau denda administratif.
Mengingat kompleks dan komprehensifnya masalah penataan
ruang, maka peran warga menjadi sangat penting. Peran warga
ini dapat dilakukan dalam semua tahapan penataan ruang, yaitu
baik dalam tahap penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang,
maupun dalam tahap pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan
hak dan kewajibannya.
Peran warga dalam penataan ruang lebih lanjut diatur dalam
PPNo. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran warga
dalam Penataan Ruang. Dalam hal ini warga harus diartikan sebagai
orang perseorangan, kelompok orang termasuk warga hukum adat,
korporasi dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam
penataan ruang.
Suatu perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana
umum tata ruang dan rencana rinci (detail) tata ruang. Sesuai dengan
klasifikasi penataan ruang menurut fungsi utama administratif, maka
rencana umum tata ruang meliputi rencana tata ruang wilayah nasional,
wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota; sedangkan
rencana detail menjadi dasar untuk penyusunan zonasi.
Rencana tata ruang wilayah nasional disusun untuk jangka waktu 20
tahun, dan menjadi pedoman untuk:
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional;
d. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah provinsi serta keserasian antar
sektor;
e. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. Penataan ruang kawasan strategis nasional; dan penetapan ruang
wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Rencana tata ruang wilayah provinsi disusun untuk jangka waktu 20
tahun, dan menjadi pedoman untuk:
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam
wilayah provinsi
d. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah kabupaten/kota serta keserasian
antar sektor
e. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi
f. Penataan ruang kawasan strategis provinsi dan wilayah kabupaten/
kota.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun untuk jangka
waktu 20 tahun, dan menjadi pedoman untuk:
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang kabupaten/
kota;
b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah kabupaten/
kota;
c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam
wilayah kabupaten/kota ;
d. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antar
sektor;
e. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. Penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota
Suatu rencana tata ruang dapat ditinjau kembali, baik terhadap rencana
umumnya maupun rencana detailnya, dengan alasan terjadi perubahan
kebijakan nasional yang mempengaruhi penataan ruang, atau ada
dinamika pembangunan yang menuntut perlunya dilakukan peninjauan
kembali atau revisi rencana tata ruang wilayah.
Peninjauan kembali dilakukan 1(satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Namun
dalam Pasal 82 PP No. 15 Tahun 2010, diperkenankan peninjauan kembali
lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun jika terjadi perubahan
lingkungan strategis berupa:
a. Bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan dengan memperhatikan besaran jumlah
korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana,
cakupan luas wilayah yang terkena bencana maupun dampak sosial
ekonomi yang ditimbulkannya;
b. Perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-
undang, meliputi perubahan matra darat, matra laut dan matra
udara; atau
c. Perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-
undang, misal adanya pemekaran wilayah atau penggabungan
Kebijakan penataan ruang di Indonesia: Pendekatan holistik
wilayah.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam peninjauan kembali
rencana tata ruang yaitu bahwa revisi atas rencana tata ruang tetap
harus menghormati hak yang dimiliki seseorang sesuai dengan ketentuan.
Selain itu revisi atas rencana tata ruang bukan untuk tujuan pemutihan
atas penyim pangan pelaksanaan pemanfaatan ruang (pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang semula).
Pemanfaatan ruang dalam hal ini baik pemanfaatan secara vertikal
maupun horizontal, yang penting pelaksanaan pemanfaatan ruang harus
disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
administratif sekitarnya agar terpadu, selaras, serasi dan seimbang.
Selain itu, pemanfaatan ruang harus mengacu pada fungsi ruang yang
telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dan sekaligus mengembangkan
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara dan
penatagunaan sumber daya alam lainnya.
Dalam hal tanah sebagai unsur ruang (ruang darat), penatagunaan
dimaksudkan sebagai tindakan penguasaan, penggunaan danpemanfaatan
tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan
yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem
untuk kepentingan warga secara adil.
Kebijakan penatagunaan tanah saat ini diatur dalam PP No. 16
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang masih mengacu pada
UU Penataan Ruang yang lama (UU No. 24 Tahun 1992). Dalam PP
No. 16 Tahun 2004 ini ditegaskan bahwa kebijakan penatagunaan
tanah dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya,
baik sudah terdaftar maupun belum terdaftar, juga tanah negara, serta
terhadap tanah ulayat.
Untuk mengembangkan penatagunaan tanah ini , Pasal 33 UU
Penataan Ruang menegaskan perlunya ditetapkan neraca penatagunaan
tanah, yang berisi neraca perubahan dan kesesuaian penggunaan dan
pemanfaatan tanah, serta data ketersediaan tanah dan penetapan prioritas
penyediaannya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 33 ayat (3) UU Penataan Ruang
menegaskan bahwa untuk penatagunaan tanah pada ruang yang telah
direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan
umum, maka diberikan hak prioritas pertama bagi pemerintah pusat
dan daerah untuk menerima pengambilalihan hak atas tanah ini
dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan
haknya.
Hak prioritas ini dimaksudkan agar dalam pelaksananaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang telah sesuai dengan
rencana tata ruang, proses pengadaan tanahnya dapat dilaksanakan
dengan mudah mengacu pada Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres
No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
16.8. Pengendalian pemanfaatan ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang sebagai upaya mewujudkan tertib tata
ruang merupakan proses yang sangat penting dalam penataan ruang.
Pengendalian dimaksudkan agar terwujud tata ruang sesuai dengan yang
telah direncanakan.
Pengendalian pemanfaatan ruang menurut Pasal 35 UU Penataan
Ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi.
16.8.1. Peraturan zonasi (Zoning)
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan
ruang dan unsur-unsur pengendaliannya untuk setiap zona peruntukan,
sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Setiap pengaturan zonasi harus
mempertimbangkan nilaie konomi ruang dan nilai sosial budaya serta
efisiensi aktivitas kegiatan pada setiap zona pemanfaatan ruang.
Peraturan zonasi terdiri atas arahan peraturan zonasi sistem
nasional, arahan peraturan zonasi sistem provinsi, dan peraturan zonasi
pada wilayah kabupaten/kota. Ketiga hal ini saling berkaitan satu
sama lain.
Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dibolehkan
dengan syarat dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan
ruang, yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien
dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan
dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana serta
ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan. Ketentuan lain yang dimaksud,
misalnya pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan keselamatan
penerbangan, pembangunan pemancar alat komunikasi ataupun
pembangunan jaring an listrik tegangan tinggi.
Selain itu, peraturan zonasi juga harus berisi ketentuan tentang
intensitas pemanfaatan ruang; sarana dan prasarana minimum;penanganan
dampak pembangunan; serta kelembagaan danadministrasi.
285
Kebijakan penataan ruang di Indonesia: Pendekatan holistik
16.8.2. Perizinan
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib memiliki izin dan wajib
melaksanakan ketentuan perizinan ini . Izin diberikanuntuk
menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang,
peraturan zonasi dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Izin juga diberikan untuk mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang,
serta melindungi kepentingan umum dan warga luas.
Izin pemanfaatan ruang ini menurut Pasal 163 PP No. 15 Tahun 2010
dapat berupa:
a. Izin prinsip, merupakan izin yang diberikan pemerintah pusat/
daerah, sebagai pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan
aspek teknis, politis, sosial, budaya sebagai dasar pemberian izin
lokasi. Izin ini dapat berupa SPPL (Surat Penunjukan Penggunaan
Lahan).
b. Izin lokasi, merupakan izin yang diberikan pada pemohon untuk
memperoleh ruang yang dibutuhkan dalam rangka melakukan
aktivitasnya. Izin lokasi diberikan berdasarkan izin prinsip, dan
menjadi dasar untuk melakukan pembebasan tanah.
c. Izin penggunaan pemanfaatan tanah, merupakan izin yangmenjadi
dasar untuk permohonan mendirikan bangunan
d. Izin mendirikan bangunan, merupakan izin yang menjadi dasar
dalam mendirikan bangunan, dan diberikan dengan berdasarkan
pada rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.
e. Izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah, dibatalkan oleh pemerintah pusat/daerah (tergantung
kewenangannya). Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/
atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang sesuai dengan
ketentuan, batal demi hukum.
Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar,
tapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,
dibatalkan oleh pemerintah pusat/daerah (tergantung kewenangannya).
Kerugian yang timbul akibat pembatalan izin ini , dapat dimintakan
penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.
Sementara itu, izin yang tidak sesuai lagi sebagai akibat adanya
perubahan rencana tata ruang wilayah, dapat dibatalkan oleh pemerintah
pusat/daerah (tergantung kewenangannya) dengan memberi ganti rugi
yang layak kepada pemilik izin pemanfaatan ruang. Bentuk penggantian
kerugian ini dapat berupa uang, ruang pengganti, permukiman
kembali, kompensasi, dan/atau urun saham.
16.8.3. Pemberian insentif dan disinsentif
Pemberian insentif maupun disinsentif, harus diberikan dengan tetap
menghormati hak peorangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Insentif merupakan perangkat/upaya untuk memberikan imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata
ruang. Yang bentuknya dapat berupa insentif fiskal (keringanan pajak,
pengurangan retribusi) dan/atau nonfiskal (kompensasi, subsidi silang,
kemudahan perizinan dll.).
Sementara itu, disinsentif merupakan upaya untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan
dengan rencana tata ruang, berupa pengenaan pajak yang tinggi,
pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi ataupun
penalti.
16.8.4. Pengenaan sanksi
Pengenaan sanksi administratif merupakan juga tindakan penertiban atas
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, per-
aturan zonasi atau menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan
oleh peraturan perundang-undangan sebagai milik umum, seperti :
a. Menutup akses ke pesisir pantai, sungai, danau, situ dan sumber
daya alam serta prasarana publik;
b. Menutup akses terhadap sumber air;
c. Menutup akses terhadap taman dan ruang terbuka hijau;
d. Menutup akses terhadap fasilitas pejalan kaki;
e. Menutup akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana; dan/
atau
f. Menutup akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat yang
berwenang.
Pasal 182 ayat (3) PP No. 15 Tahun 2010 menegaskan sanksi itu dapat
berupa:
a. Peringatan tertulis
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Penghentian sementara pelayanan umum;
d. Pentutupan lokasi;
e. Pencabutan izin;
f. Pembatalan izin;
g. Pembongkaran bangunan;
h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. Denda administratif.
Kebijakan penataan ruang di Indonesia: Pendekatan holistik
16.9. Aspek lingkungan dalam penataan ruang
Masalah perlindungan dan pelestarian lingkungan menjadi hal yang
sangat penting dalam mewujudkan penataan ruang yang terpadu,serasi,
selaras, seimbang dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan tujuan
penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yaitu tata ruang.
Pasal 19 UU PPLH menegaskan bahwa:
Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
keselamatan warga , setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib
didasarkan pada KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Perencanaan
tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
KLHS menjadi kunci penting dalam pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan, KLHS merupakan rangkaian analisis
yangsistematis, meyeluruh dan partisipasif untuk memastikan bahwa
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah.
Dengan demikian, pemerintah pusat/daerah wajib melaksanakan
KLHS dalam rangka penyusunan rencana tata ruang wilayah, rencana
detail tata ruang, rencana pembangunan jangka panjang dan rencana
pembangunan jangka menengah, baik nasional, provinsi maupun
kabupaten/kota.