834 s/d 1947
tidak pernah ada kekeliruan).
Pada tahun 1947 Hakim Komisaris tidak ada lagi yang menjabat
sebagai Overschrijvings Ambtenaar, dan kemudian diganti oleh Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah yang juga bekerja sama telitinya seperti
pendahulunya.
Dengan demikian, dilihat dari praktek pelaksanaannya, sistem ini
telah dikenal petugas-petugas pendaftaran tanah, dan kemudian sistem
negatif yang lama itu diambil alih oleh UUPA dan PP 10/1961 dengan
tendens positif dalam hal ketelitiannya. Hanya saja kalau dulu ketelitian
ini ada di dalam praktek pelasanaannya yang dilakukan oleh
pejabat pendaftaran tanah, sekarang diberi landasan hukum mengenai
ketelitiannya. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 18 PP 10/1961 tentang
pengumuman secara berturut-turut selama dua bulan di kantor kepala
desa untuk memperoleh ketegasan mengenai status tanah dan subjek
pemegang haknya, dan jika lewat dua bulan tidak ada yang mengajukan
keberatan maka barulah dibuatkan buku tanah dan sertipikat hak tanah.
Sejak berlakunya PP 24/1997 kelemahan sistem publikasi negatif
diatasi dengan lembaga “Rechtsverwerking” yang diadopsi dari konsep
hukum adat yang menjelaskan bahwa jika seseorang selama sekian waktu
membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian ada orang lain yang
mengerjakan tanah ini melalui itikad baik, maka hilanglah hak
untuk menuntut kembali tanah ini . Ketentuan yang sesuai dengan
lembaga rechtsverwerking ini ada di dalam Pasal 27, 34 dan 40
UUPA mengenai berakhirnya hak atas tanah akibat penelantaran tanah.
Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 menegaskan bahwa dengan lewatnya jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat hak atas tanah maka
sesudah itu sertipikat ini tidak dapat diganggu gugat lagi.
245
13
TANAH SEBAGAI JAMINAN KREDIT
a. Pengertian
a. Pengertian Jaminan
Dalam suatu perjanjian kredit/perjanjian pengakuan utang
para de bitur atau kreditur memiliki hak dan kewajiban, dan
masing-masing terikat oleh isi dari perjanjian kredit ini .
Untuk memberi kepastian bahwa debitur (penerima kredit) akan
memenuhi kewajibannya kepada kreditur (pemberi kredit) maka
diperlukan suatu jaminan. Biasanya yang dijaminkan yaitu
sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Realisasi pinjaman ini juga
selalu berupa menguangkan benda-benda jaminan dan mengambil
dari hasil penguangan benda jaminan itu dan yang menjadi hak
kreditur.
b. Pengertian Tanah Sebagai Jaminan Kredit
Salah satu hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan
memiliki nilai ekonomis serta dapat dialihkan yaitu hak atas
tanah. Untuk menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas
tanah itulah yang dijadikan jaminannya. Sebagai jaminan kredit,
hak atas tanah memiliki kelebihan, antara lain yaitu harganya
tidak pernah turun.
b. Maksud dan Tujuan Jaminan Kredit
a. Untuk menghindari terjadinya wanprestasi oleh pihak debitur
(penerima kredit);
b. Untuk menghindari resiko rugi yang akan dialami oleh pihak
kreditur (pemberi kredit);
c. Kegunaan dari barang/benda jaminan kredit:
i. Untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur/
pemberi kredit (umumnya pihak bank) untuk mendapatkan
pelunasan dengan benda jaminan bilamana debitur/penerima
kredit melakukan wanprestasi atau cidera janji, yaitu tidak
membayar kembali utangnya pada waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian kredit.
ii. Memberi dorongan kepada debitur/penerima kredit agar:
246
- betul-betul menjalankan usaha yang dibiayai dengan kredit
itu, sebab bila hal ini diabaikan maka resikonya hak
atas tanah yang dijaminkan akan hilang.
- betul-betul memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam perjanjian kredit.
Jaminan dapat dikatakan baik (ideal) yaitu jika :
a. Dapat dengan mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak
yang memerlukannya;
b. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk
melakukan (meneruskan) usahanya;
c. Memberi kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa
jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu
dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi utang penerima
kredit.
c. Hak Jaminan atas Tanah yang Diatur dalam UUPA dan
Perubahan-Perubahannya Akibat Berlakunya Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996
Hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita yaitu Hak
Tanggungan, menggantikan Hypotheek dan Credietverband sebagai
lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yang lama. Mengenai Hak
Tanggungan ini oleh UUPA baru ditentukan objek yang dapat
dibebaninya, yaitu Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Bangunan (Pasal
39) dan Hak Guna Usaha (Pasal 33). Dimana ketentuan-ketentuan lebih
lanjut akan diatur oleh suatu undang-undang (Pasal 51 UUPA). Selama
undang-undang mengenai Hak Tanggungan ini dalam Pasal 51
belum terbentuk, maka berdasarkan Pasal 57 UUPA, yang berlaku
yaitu ketentuan-ketentuan mengenai Hypotheek (KUH Perdata) dan
Credietverband (S. 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan S.
1937-190).
Dengan diundangkan dan disahkannya Undang-undang No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996, maka Hak
Tanggungan menjadi satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah.
Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
maka ketentuan-ketentuan Hypotheek dan Credietverband yang
berfungsi melengkapi ketentuan Hak Tanggungan dinyatakan tidak
berlaku lagi dan Fidusia sebagai lembaga hak jaminan yang objeknya Hak
Pakai di atas tanah negara (vide UU No. 16 Tahun 1985, tentang Rumah
Susun) tidak diperlukan lagi sebab Hak Pakai ini oleh UUHT telah
ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan.
Berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
247
Tanah sebagai jaminan kredit
Fidusia telah menjadi lembaga jaminan tersendiri yang objeknya yaitu
selain yang diatur di dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996.
d. Peraturan dan Dasar Hukumnya
a. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria;
b. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
c. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, pengganti UU No. 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
d. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
e. PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah;
f. PMNA/Ka BPN No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu
SKMHT untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu;
g. PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggung-
an, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertipikat HT
e. Pengertian Hak Tanggungan
Hak Tanggungan yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
f. Ciri-Ciri Hak Tanggungan
Sebagai hak jaminan yang kuat, Hak Tanggungan memiliki empat ciri
pokok, yaitu :
a. Memberi kedudukan yang diutamakan kepada kreditornya (“droit
de preference”);
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek
itu berada (“droit de suite”);
c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat
mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum pada
pihak-pihak yang berkepentingan;
d. Mudah dan pasti pelaksanaannya eksekusi.
g. Sifat Hak Tanggungan
a. Tidak dapat dibagi-bagi, berarti Hak Tanggungan membebani secara
utuh objeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian
utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek dari beban
248
Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh
objeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.
Sifat ini dapat disimpangi jika Hak Tanggungan dibebankan
pada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin
dilakukan dengan angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas
tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan yang
akan dibebaskan dari Hak Tanggungan ini . Dengan demikian,
Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek untuk sisa
utang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, harus
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
b. Hak Tanggungan merupakan ikutan (“accessoir”) pada perjanjian
pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum
utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak
Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang
dijamin pelunasannya ini .
h. Subjek Hak Tanggungan
a. Pemberi Hak Tanggungan
yaitu orang atau badan hukum yang memiliki kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
b. Pemegang Hak Tanggungan
yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang.
i. Objek Hak Tanggungan
Syarat:
a. memiliki nilai ekonomis;
b. Dapat dipindahtangankan;
c. Terdaftar dalam daftar umum;
d. Ditunjuk oleh Undang-undang
1) Yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT);
- Hak Milik (Pasal 25 UUPA)
- Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA)
- Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA)
2) Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2 UUHT)
Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
3) Yang ditunjuk oleh Undang-undang Rumah Susun (Pasal 27
UUHT):
- Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah
Susun (Pengganti UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah
249
Tanah sebagai jaminan kredit
Susun):
SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan
(Pasal 47 ayat (5))
Yang dimaksud dengan SHM sarusun (Sertifikat hak milik sarusun)
yaitu tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik,
hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna
bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan
Catatan:
Dalam UU No. 16 Tahun 1985 (UU Rumah Susun Lama):
Yang dapat dijadikan jaminan utang:
1) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara,
2) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri
di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara.
j. Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan
Ada dua tahap dalam pembebanan Hak Tanggungan, yaitu :
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Dengan dibuatkannya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 10 ayat 2 UUHT jo Pasal 19
PP 10/1961) yang didahului dengan perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian
utang piutang (perjanjian kredit).
Dalam rangka memenuhi asas spesialitas, menurut Pasal 11 ayat 1
UUHT, di dalam APHT wajib dicantumkan :
- nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
- domisili pihak-pihak yang bersangkutan;
- penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin;
- nilai tanggungan;
- uraian yang jelas tentang objek Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT wajib dihadiri oleh
pemberi Hak Tanggungan, penerima Hak Tanggungan dan dua orang
saksi. Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertipikat, maka yang
wajib bertindak sebagai saksi yaitu Kepala Desa/Lurah dan seorang
anggota pemerintahan desa/kelurahan.
Jika tanah yang akan dibebani ini belum dibukukan (belum
bersertipikat) maka pembebanan Hak Tanggungan dilakukan bersamaan
dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan
(Pasal 10 ayat 3 UUHT).
250
Jadi pemberian Hak Tanggungan dan pembuatan APHT dapat
dilakukan dalam keadaan tanah belum bersertipikat. Permohonan
pendaftaran hak atas tanah ini diajukan bersamaan dengan
permohonan pendaftaran Hak Tanggungan yang bersangkutan.
APHT dibuat dirangkap dua, yang semuanya ditandatangani
oleh pemberi dan penerima Hak Tanggungan, para saksi dan PPAT. Satu
lembar akta ini disimpan di kantor PPAT. Lembar yang lain berikut
warkah-warkah lain yang diperlukan disampaikan oleh PPAT kepada
Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran Hak Tanggungan
selambat-lambatnya 7 hari kerja sesudah ditandatanganinya APHT yang
bersangkutan (Pasal 13 ayat 2 UUHT).
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan (Pasal 13 UUHT)
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pendaftaran Tanah
dengan cara :
- membuat Buku Tanah Hak Tanggungan;
- mencatat dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek;
- menyalin catatan ini pada Sertipikat Hak Tanggungan.
Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan yaitu hari ketujuh sesudah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran.
Jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan
diberi tanggal hari kerja berikutnya. Pada tanggal ini lah Hak
Tanggungan dianggap sudah lahir.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari :
- Salinan Buku Tanah Hak Tanggungan, dan
- Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dijilid menjadi satu
dalam sampul dokumen (PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1996).
Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,
Sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan membubuhkan
pada sampulnya kata-kata : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
k. Tingkatan Hak Tanggungan
Sebidang tanah dapat dibebani dengan beberapa Hak Tanggungan atau
dapat dipakai sebagai jaminan untuk beberapa kreditor, sehingga terjadi
tingkatan Hak Tanggungan yaitu pemegang Hak Tanggungan ke-I, II, II,
dan seterusnya.
Tingkatan ini ditentukan berdasarkan tanggal pembukuannya
(Pasal 13 ayat 4 UUHT). Sedangkan peringkat Hak Tanggungan yang
251
Tanah sebagai jaminan kredit
didaftar pada hari yang sama ditentukan menurut nomor urut pembuatan
APHT. Hal ini dimungkinkan sebab pembuatan beberapa APHT
dilakukan oleh PPAT yang sama.
l. Peralihan Hak Tanggungan
Sebagai hak kebendaan, Hak Tanggungan dapat dialihkan atau beralih
kepada pihak lain (Pasal 16 UUHT). Peralihan Hak Tanggungan terjadi
sebab hukum, sebab nya tidak perlu dibuktikan dengan akta PPAT.
Beralihnya Hak Tanggungan baru berlaku pada pihak ketiga
pada hari dan tanggal didaftarkannya peralihan yang bersangkutan
oleh Kantor Pertanahan. Pendaftaran dilakukan dengan membubuhkan
catatan pada Buku Tanah Hak Tanggungan dan Buku Tanah hak atas
tanah yang dijadikan jaminan. Catatan ini disalin pada Sertipikat
Hak Tanggung an dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
m. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh
pemberi Hak Tanggungan sebagai yang berhak atas objek Hak Tanggung-
an.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) harus
dibuat dihadapan notaris dan PPAT dengan syarat-syarat :
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada membebankan Hak Tanggungan;
b. Tidak memuat kuasa subtitusi;
c. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang
dan nama serta identitas debitor jika debitor bukan pemilik
Hak Tanggungan;
d. Kuasa ini tidak dapat ditarik kembali dengan sebab apapun,
kecuali berakhir sebab telah dilaksanakan atau telah habis jangka
waktunya;
e. SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka
waktu yang ditetapkan batal demi hukum.
Jangka waktu:
a. SKMHT untuk tanah yang bersertipikat wajib diikuti dengan
pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 bulan sesudah diberikan;
b. SKMHT untuk tanah yang belum bersertipikat, selambat-lambatnya
3 bulan;
c. SKMHT untuk tanah yang sudah bersertipikat tetapi belum
didaftarkan atas nama pemberi Hak Tanggungan sebagai pemegang
haknya yang baru, selambat-lambatnya 3 bulan.
Pembatasan waktu ini tidak berlaku untuk menjamin kredit tertentu
yang ditetapkan Pemerintah.
Mengenai Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH) yang sudah ada
252
pada saat UUHT diundangkan, maka surat ini digunakan sebagai
SKMHT dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal 9 April 1996
(Pasal 24 ayat 3 UUHT).
n. Hapusnya Hak Tanggungan
Menurut ketentuan Pasal 18 UUHT, Hak Tanggunagn dapat hapus sebab :
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
o. Roya atau Pencoretan Hak Tanggungan
Hapusnya Hak Tanggungan membawa akibat administratif, yaitu
menghapus beban Hak Tanggungan pada buku tanah dan sertipikat hak
atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan
setempat berdasarkan surat pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya
Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi
Hak Tanggungan sehubungan dengan pelunasan utangnya oleh debitor
pemberi Hak Tanggungan.
Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanggungan ditarik dan dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.
Permohonan pencoretan dilakukan oleh kreditor sebagai pemegang
Hak Tanggungan dengan melampirkan Sertipikat Hak Tanggungan. Jika
kreditor tidak bersedia, dapat diajukan permohonan pencoretan ini
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat yang wilayah hukumnya
meliputi dimana Hak Tanggungan ini didaftarkan.
Pencoretan sebab ada roya parsial (Pasal 2 ayat 2 UUHT jo. Pasal
16 UU No. 16 Tahun 1985) dilakukan dengan mencatat hapusnya Hak
Tanggungan yang bersangkutan, yaitu pada buku tanah dan sertipikat
Hak Tanggungan yang bersangkutan.
253
Tanah sebagai jaminan kredit
SKEMA PENDAFTARAN HAK TANGGUNGAN
7 HARI
KERJA
HARI
KE-7
APHT
(PPAT)
- BALIK NAMA
- PECAH/GAB
- TANAH ADAT
SKMHT
(PPAT/
NOTARIS)
MAKSIMAL
1 BULAN
SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH
A.N PEMBERI HT
SERTIPIKAT
HT
BUKU
TANAH
HTSERTIPIKAT
A.N YBS
BPN
(APHT)
PK
- BALIK NAMA
- PEMECAHAN
- TANAH ADAT
- BALIK NAMA
- PECAH/GABUNGAN
- TANAH ADAT
PENDAFTARAN
MAKSIMAL
3 BULAN
1
254
255
LAND REFORM DI INDONESIA
a. Pengertian Land Reform di Indonesia
Perkataan Landreform berasal dari kata "land” yang artinya tanah
dan "reform" yang artinya perubahan, perombakan atau penataan
kembali. Jadi landreform itu berarti merombak kembali struktur hukum
pertanah an lama dan membangun struktur pertanahan baru.
Landreform yaitu suatu asas yang menjadi dasar dari perubahan-
per ubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia termasuk
di Indonesia. Asas itu yaitu bahwa "tanah pertanian harus dikerjakan
atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri".
Landreform bermaksud mengadakan suatu perubahan sistem
pemilikan dan penguasaan atas tanah yang lampau ke arah sistem
pemilikan dan penguasaan atas tanah baru yang disesuaikan dengan
perubahan dan perkembangan warga yang sedang giat melaksanakan
pembangun an ekonomi sesuai dengan cita-cita Pasal 33 ayat (3) UUD
1945.
Secara teknis pengertian landreform memiliki arti secara luas dan
sempit. Pengertian landreform dalam UUPA dan UU No. 56/Prp/1960
yaitu pengertian landreform dalam arti luas, yaitu :
a. Pelaksanaan pembaharuan hukum agraria, yaitu dengan
mengadakan perombakan terhadap sendi-sendi hukum agraria
yang lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan situasi
zaman modern dan menggantinya dengan ketentuan hukum yang
lebih sesuai dengan perkembangan warga modern.
b. Penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing dan konsepsi
kolonial.
c. Diakhirinya kekuasaan para tuan tanah dan para feodal atas tanah
yang telah banyak melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui
penguasaan atas tanah.
d. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan atas tanah
serta berbagai hubungan-hubungan yang berkenaan dengan
pengusahaan atas tanah.
e. Perencanaan persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah
secara berencana sesuai dengan kemampuan dan perkembangan
14
256
kemajuan.
Sedangkan landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian
tindakan-tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia, yaitu
mengadakan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan atas tanah
serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan atas
tanah (termuat dalam butir 4 di atas).
Pengertian landreform menurut UUPA disebut Agrarian Reform, pada
dasarnya mencakup tiga masalah pokok, yaitu :
a. Perombakan dan pembangunan kembali sistem pemilikan dan
penguasaan atas tanah. Tujuannya yaitu melarang adanya "Groot
Ground Bezit" yaitu pemilikan tanah yang melampaui batas, sebab
hal yang demikian akan merugikan kepentingan umum. Asas ini
tercantum dalam Pasal 7, 10, dan 17 UUPA.
b. Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan tanah
atau land use planning.
c. Penghapusan Hukum Agraria Kolonial dan pembangunan Hukum
Agraria Nasional.
b. Tujuan Land Reform di Indonesia
Sebenarnya tujuan dari Landreform ini ada banyak pendapat
dari berbagai kalangan, namun berbagai pendapat itu semuanya
bermuara kepada usaha untuk mempertinggi penghasilan dan taraf
hidup para petani penggarap, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju warga yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945.
Secara terperinci tujuan landreform di Indonesia yaitu :
a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian
hasi) yang adil pula, dengan mengubah struktur pertanahan secara
revolusioner, guna merealisasi keadilan sosial.
b. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi
lagi tanah sebagai objek spekulasi dan alat pemerasan.
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi
warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang
berfungsi sosial.
Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu
hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun
temurun, tetapi berfungsi sosial.
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan
dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas,
dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum
untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-
257
Land reform di Indonesia
laki atau wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme
dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap
golongan ekonomi lemah.
e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong
dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk
mencapai kesejahteraan yang merata dan adil disertai dengan sistem
perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan lemah.
Disamping itu ada pula yang berpendapat bahwa tujuan landreform
terdiri dari:
a. Tujuan Sosial Ekonomis :
1) Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat
hak milik serta memberi isi fungsi sosial pada hak milik.
2) Mempertinggi produksi nasional khususnya sektor pertanian guna
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
b. Tujuan Sosial Politis :
1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan tanah
yang luas.
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan
rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian yang
adil pula.
c. Tujuan Sosial Psikologis :
1) Meningkatkan kegairahan bekerja bagi para penggarap dengan
jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan
penggarapnya.
c. Landasan Hukum Pelaksanaan Land Reform di Indonesia
Landasan Ideal : Pancasila
Landasan Konstitusional : Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan TAP MPR RI No.
IX/MPR/2001
Landasan Operasional : .
- Pasal 7, 10, 17 dan 53 UUPA;
- UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian;
- UU No. 2 Tahun 1960 jo Inpres No. 13 Tahun 1930 tentang Perjanjian
Bagi Hasil;
- PP No. 224 Tahun 1961 jo PP No. 41 Tahun 1964 tentang Pelaksa-
naan Pembagian Tanah dan Pembayaran Ganti Rugi;
- PP No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Secara Absentee oleh
Para Pensiunan Pegawai Negeri;
- UU No. 1 Tahun 1958 jo PP No. 18 Tahun 1953 tentang Penghapus-
258
an Tanah Partikelir dan Eigendom;
- Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan
Penguasaan Tanah Objek Landreform Secara Swadaya, dan lain-
lain;
- Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan.
d. Program-Program Land Reform
a. Larangan menguasai tanah pertanian melampaui batas (Pasal 1-5
UU No. 56 Prp Tahun 1960);
b. Larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai (Pasal 3 UU No.
56 Prp Tahun 1960);
c. Redistribusi tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum, tanah
absentee, tanah bekas swapraja, tanah-tanah negara lainnya (tanah-
tanah objek landreform) diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 dan
PP No. 41 Tahun 1964;
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian
yang digadaikan (Pasal 7 UU No. 56 Prp Tahun 1960);
e. Pengaturan kembali tentang perjanjian bagi hasil (UU No. 2 Tahun
1960);
f. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian serta larangan
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau
kecil (Pasal 9 UU No. 56 Prp Tahun 1960).
14.4.1. Larangan menguasai tanah pertanian melebihi batas
Pasal 7 UUPA menetapkan untuk tidak merugikan kepentingan umum,
maka pemilikan dan penguasaan atas tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah bertumpuknya
tanah di tangan golongan orang tertentu saja.
Oleh sebab itu setiap orang atau keluarga hanya diperbolehkan
menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri, kepunyaan orang lain
ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlahnya
tidak melebihi batas maksimum, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1
ayat (1) UU No. 56 Prp Tahun 1960.
Yang dipakai sebagai dasar yaitu kepadatan penduduk seperti
259
Land reform di Indonesia
dinyatakan dalam tabel berikut :
DAERAH-DAERAH
YANG
KEPADATAN
PENDUDUK
TIAP Km2
DIGOLONGKAN
DAERAH
SAWAH
Ha
TANAH
KERING
Ha
0 - 50
51 - 251 P
251 - 400 A
401 ke atas D
A
T
Tidak Padat
Kurang Padat
Cukup Padat
Sangat Padat
15
10
7,5
5
20
12
9
6
Catatan : Jika sawah dipunyai bersama-sama dengan tanah kering
maka batas-batasnya yaitu paling banyak 20 Ha.
Letak tanah-tanah itu tidak perlu di satu tempat yang sama tetapi
dapat pula di beberapa daerah, misalnya di dua atau lebih daerah tingkat
II yang berdekatan. Berdasarkan SK menteri Agraria tanggal 31 Desember
1960 No. SK 978/Ka/1960 ditegaskan luas maksimum tanah pertanian
untuk tiap-tiap daerah tingkat II.
Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan tanah sawah
dan tanah kering, maka menghitung luas maksimum ini yaitu luas
tanah sawah ditambah 30% di daerah yang tidak padat dan 20% di daerah
yang padat, dengan ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai
seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar.
Penetapan batas luas maksimum ini memakai dasar unit keluarga
yang menentukan maksimum luas tanah bagi suatu keluarga yaitu
jumlah luas tanah yang dikuasai oleh anggota-anggota dari keluarga
ini . Yang termasuk anggota suatu keluarga ialah yang masih menjadi
tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu.
Jumlah anggota keluarga ditetapkan maksimum 7 (tujuh) orang
termasuk kepala keluarga. Jika jumlahnya melebihi 7 orang, maka luas
maksimum bagi keluarga ini untuk setiap anggota keluarga yang
selebihnya ditambah 10% dari batas maksimum, tetapi tidak boleh melebihi
50%, sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak
boleh lebih dari 20 Ha, baik sawah atau tanah kering maupun sawah dan
tanah kering.
Luas maksimum yang ditetapkan ini harus memperhatikan
keadaan daerah tingkat II masing-masing dan faktor-faktor sebagai
berkut :
e. Tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi.
260
f. Kepadatan penduduk.
g. Jenis-jenis kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah
dan tanah kering diperhatikan apakah ada perairan yang teratur
atau tidak).
h. Besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan
satu keluarga dengan mengerjakan beberapa buruh tani.
i. Tingkat kemajuan teknik pertanian.
Suatu pengecualian dimana penetapan maksimum tidak berlaku
terhadap tanah pertanian yang dikuasai :
a. Dengan Hak Guna Usaha;
b. Dengan hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang
didapat dari pemerintah (Hak Pakai atas tanah negara);
c. Tanah Bengkok/Jabatan;
d. Oleh badan-badan hukum.
jika perorangan atau suatu keluarga yang memiliki tanah
pertanian yang luasnya melebihi batas maksimum diberi suatu kewajiban
berupa :
a. Melapor;
b. Meminta ijin jika ingin memindahkan hak atas tanahnya;
c. Usaha penguasaan tidak melebihi batas maksimum yang telah
ditetapkan.
14.4.2. Larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai
Pasal 10 UUPA menegaskan bahwa setiap orang/badan hukum yang
memiliki hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan. Mempergunakan tenaga buruh masih diperbolehkan
tetapi harus dicegah cara-cara pemerasan. Untuk melaksanakan asas
yang tercantum dalam Pasal 10 UUPA ini diadakanlah ketentuan-
ketentuan untuk menghapuskan tanah pertanian yang dikuasai secara
absentee/guntai, dalam Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961 jo PP No. 41 Tahun
1964 dan PP No. 4 Tahun 1977.
Yang dimaksud tanah absentee (guntai) yaitu tanah yang terletak di luar
kecamatan tempat tinggal pemilik tanah (Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961).
Ini berarti bahwa setiap pemilik tanah dilarang memiliki tanah pertanian
yang berada pada kecamatan yang berbeda dengan kecamatan dimana
si pemilik bertempat tinggal, sebab pemilikan yang demikian akan
menimbulkan penggarapan tanah yang tidak efisien, misalnya tentang
penyelenggaraannya, pengawasannya, pengangkutan hasilnya, sehingga
dapat juga menimbulkan sistem penghisapan. Pengecualian hanya
261
Land reform di Indonesia
berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal berbatasan dengan
kecamatan letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan
tanahnya menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II
masih memungkinkan untuk mengerjakan tanah ini secara efisien.
Ketentuan ini juga mengingat asas/prinsip Landreform (Pasal 10
UUPA), yaitu bahwa “tanah untuk pertanian wajib diusahakan dan di-
kerjakan oleh si pemilik sendiri”.
Dalam waktu 6 bulan, pemilik tanah yang masih tetap memiliki tanah
secara absentee/guntai diberi suatu kewajiban untuk:
a. Melepaskan dan memindahkan hak atas tanahnya kepada pihak
yang bertempat tinggal di kecamatan yang sama dengan tanah
ini terletak, atau;
b. Berpindah tempat tinggal pada satu kecamatan yang sama dengan
tempat dimana tanah itu terletak. (Pasal 3 ayat (3) PP No. 224 Tahun
1961 jo Pasal 31 (1) dan Pasal 2 PP No. 41 Tahun 1964).
Pengecualian bagi Program II ini, yaitu diperbolehkannya pemilik tanah
untuk tetap memiliki tanah secara absentee/guntai yakni jika :
a. Letak tanah:
Kecamatan dimana letak tanah ini berada berbatasan dengan
kecamatan dimana pemilik tanah bertempat tinggal, asalkan jarak antara
tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan
tanah itu secara efisien (Pasal 3 ayat (2) PP No. 224 Tahun 1961).
b. Subjek :
1) Berdasarkan Pasal 3 ayat (4) PP No. 224 Tahun 1961, yaitu bagi :
- mereka yang menjalankan tugas negara (pegawai negeri,
pejabat-pejabat militer serta yang dipersamakan dengan
mereka);
- mereka yang menunaikan kewajiban agama;
- mereka yang memiliki alasan khusus lainnya yang dapat
diterima.
2) Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP No. 4 Tahun 1977, yaitu:
- pensiunan pegawai negeri; dan
- janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri
selama tidak menikah lagi dengan seorang yang bukan
pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.
Bagi subjek yang dikecualikan ini di atas, dibatasi memiliki tanah
secara absentee sampai batas 2/5 dari luas maksimum yang ditetapkan
Pasal 2 UU No. 56 Prp Tahun 1960.
Pengecualian ini hanya berlaku jika pegawai negeri itu sudah memiliki
tanah pada 24 September 1961.
Dalam PP No. 41 Tahun 1964, pegawai negeri tidak diperbolehkan
menerima hak milik atas tanah pertanian absentee kecuali sebab warisan.
sesudah pegawai negeri itu pensiun ia diwajibkan pindah ke kecamatan
letak tanah itu atau memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang
lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah ini . Akan
tetapi berdasarkan PP No. 4 Tahun 1977, pegawai negeri dalam waktu 2
tahun menjelang masa pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian
absentee seluas 2/5 dari batas penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II
yang bersangkutan.
Ditentukan pula bahwa mengingat faktor objektif dewasa ini
umumnya sukar bagi pensiunan untuk pindah ke tempat letak tanah,
maka pegawai negeri yang telah pensiun tidak diwajibkan untuk pindah
ke kecamat an letak tanah itu. Ketentuan ini dikeluarkan atas dasar
pertimbangan bahwa para pegawai negeri selaku petugas negara tidak
memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri tempat tinggal. Maka
jika tanah itu sudah dimiliki pada saat mulai berlakunya PP No. 224
Tahun 1961 atau diperolehnya sebab warisan, mereka boleh memiliki
tanah ini .
Disamping itu ada pula kesulitan untuk memindahkan pemilikan
tanah ini kepada pihak lain sebab pemilikan tanah itu justru
dimaksudkan untuk menjamin hari tua.
Maka dikeluarkan PP No. 4 Tahun 1977 yang menetapkan antara lain :
a. Pengecualian mengenai larangan untuk memiliki tanah pertanian
secara absentee yang berlaku bagi pegawai negeri berlaku juga
bagi :
a. Pensiunan pegawai negeri;
b. Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri
selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai
negeri.
b. Seorang pegawai negeri dalam waktu dua tahun menjelang masa
pensiun diperbolehkan membeli tanah pertanian secara absentee
seluas 2/5 dari batas maksimum untuk Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
c. Tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh para pensiunan pegawai
negeri secara absentee, yang sudah dikuasai oleh pemerintah. Tetapi
belum dikeluarkan Surat Keputusan Pembagiannya dikembalikan
kepada pemiliknya.
d. Para pensiunan pegawai negeri yang tanahnya dibagi-bagikan
sesuai dengan peraturan perundangan diberi prioritas utama
untuk memperoleh ganti rugi dari Pemerintah.
14.4.3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas
maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja, tanah-
tanah negara lainnya
Land reform di Indonesia
a. PP No. 224 Tahun 1961;
b. PP No. 41 Tahun 1964.
Kedua Peraturan Pemerintah itu memuat ketentuan tentang tanah
yang akan dibagikan/diredistribusikan.
14.4.3.2. Tanah-tanah yang akan diredistribusikan
(Objek Landreform, Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961)
(1) Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum.
Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum ialah tanah-tanah
yang merupakan kelebihan maksimum sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960. Tanah-tanah ini diambil
oleh Pemerintah dengan ganti rugi dan selanjutnya dibagikan
kepada petani-petani yang membutuhkan. Dengan tindakan ini
diharapkan produksi akan bertambah sebab penggarap tanah
sekaligus menjadi pemilik tanah akan lebih giat mengerjakan usaha
pertaniannya.
(2) Tanah-tanah absentee/guntai.
(3) Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja.
Yang dimaksud dengan tanah swapraja dan bekas swapraja
ialah domein swapraja dan tanah bekas swapraja yang dengan
berlakunya UUPA menjadi hapus dan tanahnya beralih kepada
Negara, begitu pula tanah yang benar-benar dimiliki oleh swapraja
baik diusahakan dengan cara persewaan, bagi hasil ataupun yang
diperuntukkan sebagai tanah jabatan dan lain sebagainya.
Tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada
Negara ini diberi peruntukan sebagian untuk kepentingan
pemerintah dan sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan
sebab dihapuskannya hak swapraja atas tanah itu dan sebagian
untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
(4) Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Tanah-tanah lain yang dikuasai oleh Negara dan ditegaskan
menjadi objek landreform yaitu :
a. Tanah bekas partikelir;
b. Tanah-tanah bekas hak erfpacht yang telah berakhir jangka
waktunya, dihentikan atau dibatalkan;
c. Tanah-tanah kehutanan yang diserahkan kembali hak
penguasaannya oleh instansi yang bersangkutan kepada
Negara, dan lain-lain.
Adapun tanah-tanah bekas tanah partikelir yang akan dibagikan
yaitu tanah-tanah bekas partikelir yang merupakan tanah kongsi yang
tidak dikembalikan kepada bekas pemiliknya sebagai ganti rugi dan yang
berupa tanah pertanian.
Yang tidak termasuk di dalam ketentuan ini yaitu tanah-tanah
wakaf dan tanah-tanah untuk peribadatan. Kemudian dengan Keputusan
Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 30/Ka/1962 ditegaskan tanah-tanah
lainnya yang dikuasai langsung oleh Negara yang akan diredistribusikan
yaitu :
a. Bagian-bagian dari tanah-tanah partikelir/eigendom yang terkena
UU No. 1 Tahun 1958 yang:
- merupakan tanah pertanian;
- tidak diberikan kembali kepada bekas pemilik sebagai ganti
rugi;
- tidak dapat diberikan dengan hak milik berdasarkan Pasal
5 UU No. 1 Tahun 1958 (Pasal 5 ayat 1 UU No. 1 Tahun
1958: tanah-tanah usaha diberikan kepada penduduk yang
memiliki hak usaha atas tanah itu dengan hak milik).
b. Tanah bekas hak erfpacht/hak guna usaha, yang merupakan tanah
pertanian dan sekarang sudah dikuasai langsung oleh Negara.
c. Syarat-syarat penerima redistribusi
1) Petani penggarap atau buruh tanah yang berkewarganegaraan
Indonesia;
2) Bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang
bersangkutan;
3) Kuat kerja dalam pertanian.
d. Status hukum tanah yang dibagi
yaitu Hak Milik, dengan diberikan syarat-syarat sebagai berikut
(Pasal 14 PP No. 224 Tahun 1961) :
1) Penerima redistribusi wajib membayar uang pemasukan;
2) Tanah yang bersangkutan harus diberi tanda batas;
3) Haknya harus didaftarkan guna memperoleh sertipikat
sebagai tanda bukti hak;
4) Penerima redistribusi wajib mengerjakan/mengusahakan
tanahnya secara aktif;
5) sesudah 2 tahun harus dicapai kenaikan hasii tanaman;
6) Penerima redistribusi wajib menjadi anggota koperasi tanah
pertanian;
7) Dilarang mengalihkan hak kepada pihak lain selama uang
pemasukan belum dibayar;
8) Hak Milik dapat dicabut tanpa ganti rugi jika lalai dalam
memenuhi kewajibannya.
e. Pelaksanaan (Pasal 6 dan 7 PP No. 224 Tahun 1961)
Memberikan ganti rugi kepada bekas pemilik, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Ganti kerugian itu ditetapkan atas dasar perhitungan
Land reform di Indonesia
perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir
ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan klas tanahnya.
b. Harga umum sebagai dasar untuk menetapkan ganti rugi
jika harga tanah lebih tinggi dari harga umum.
c. Ganti rugi (dalam persentase):
- 10% dalam bentuk uang simpanan di Bank;
- 90% dalam bentuk Surat Hutang Landreform (SHL);
(diatur oleh Perpu No. 5 Tahun 1963 yang kemudian ditetapkan
menjadi UU No. 6 Tahun 1964).
14.4.4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah
pertanian yang digadaikan.
Yang dimaksud dengan gadai tanah menurut hukum adat yaitu hubung-
an hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan pihak lain, yang
telah menerima uang gadai dari padanya. Selama utang ini belum
dilunasi, tanah tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang
(pemegang gadai) dan selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak
pemegang gadai sebagai bunga dari utang ini .
Penebusan kembali tanahnya tergantung pada kemauan dan
kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Dilihat kenyataannya,
banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan
tahun, hal ini disebab kan pemilik tanah belum mampu melakukan
penebusan.
Gadai menurut hukum adat mengandung unsur eksploitasi atau
peme rasan, sebab hasil yang diterima pemegang gadai setiap tahunnya
jauh lebih besar daripada bunga yang layak dari uang gadai yang diterima
dari pemilik tanah itu. Untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat
pemerasan dari gadai tanah yang didasarkan pada hukum adat itu maka
gadai tanah ini diatur dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960. Gadai tanah
ini berhubungan dengan pelaksanaan ketentuan tentang batas minimum.
Jika tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum itu milik orang yang
bersangkutan maka tanah-tanah ini dikuasai oleh Negara, jika tanah
selebihnya dari batas maksimum itu tanah gadai, maka tanah itu harus
dikembalikan kepada yang memiliki tanah. Di dalam pengembalian
tanah gadai timbul persoalan tentang pembayaran kembali uang ga-
dainya.
Uang gadai rata-rata sudah diterima oleh pemegang gadai dari
hasil tanahnya dalam waktu 5 -10 tahun ditambah bunga 10%. Dengan
demikian tanah yang sudah digadai selama 7 tahun atau lebih harus
dikembalikan kepada pemilik tanah tanpa kewajiban untuk membayar
uang tebusan.
Mengenai gadai yang berlangsung belum sampai 7 tahun, begitu
juga mengenai gadai baru, diadakan ketentuan bahwa sewaktu-waktu
pemilik tanah dapat meminta kembali tanahnya setiap waktu sesudah
tanaman yang ada selesai dipanen dengan membayar uang tebusan yang
besarnya dihitung dengan rumus:
Bila gadai sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, maka pemegang
gadai wajib mengembalikan tanah yang digadaikan tanpa pembayaran
uang tebusan. Pengembalian dilakukan dalam waktu sebulan sesudah
tanaman yang ada selesai dipanen.
Ketentuan-ketentuan mengenai gadai tanah ini tidak hanya
mengenai tanan-tanah gadai yang harus dikembalikan sebab melebihi
batas maksimum, tetapi mengenai gadai pada umumnya. Begitu pula
juga untuk gadai-gadai yang diadakan dalam waktu yang akan datang.
Pelaksanaan selanjutnya mengenai gadai tanah pertanian ini diatur
dalam PMPA No. 20 Tahun 1963 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Gadai. Dalam peraturan ini ditentukan bahwa pengertian "gadai" dalam
kenyataannya tidak hanya berupa uang tetapi juga dapat berupa benda
atau jasa yang dapat dinilai dengan uang.
a. Syarat penggarapan
1) Petani;
2) Luas tanah yang digarap tidak akan lebih dari 3 Ha;
3) Tanah garapan, bisa berupa :
- kepunyaan penggarap sendiri;
- diperoleh penggarap secara menyewa, atau;
- melalui perjanjian bagi hasil; atau dengan cara lain.
b. Bentuk perjanjian:
1) Perjanjian dibuat tertulis;
2) Dihadapan Kepala Desa;
3) Disaksikan oleh 2 orang;
4) Memerlukan pengesahan Camat;
5) Jangka waktu :
- untuk sawah yaitu 3 tahun;
- untuk tanah kering yaitu 5 tahun;
jangka waktu dapat diperpanjang tidak lebih dari 1 tahun
c) Besarnya bagian hasil tanah
Ditetapkan oleh Bupati dengan memperhatikan:
1) Jenis tanaman;
2) Keadaan tanah;
3) Kepadatan penduduk;
4) Zakat yang disisihkan sebelum dibagi;
5) Faktor-faktor ekonomis;
Land reform di Indonesia
6) Ketentuan-ketentuan hukum adat setempat.
14.4.6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian
serta larangan melakukan perbuatan-perbuatan yang meng-
akibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi
bagian-bagian yang terlampau kecil
Bagi setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 Ha,
bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering. Penetapan
luas minimum ini bertujuan supaya setiap keluarga petani memiliki
tanah yang cukup luasnya untuk dapat hidup yang layak.
Untuk mencapai tujuan ini dilaksanakan usaha-usaha untuk
mencapai target supaya setiap keluarga petani memiliki tanah pertanian
dengan hak milik seluas minimum 2 Ha, misalnya dengan jalan:
- perluasan tanah pertanian (ekstensifikasi) dengan pembukaan
tanah secara besar-besaran di luar Jawa;
- melaksanakan transmigrasi; dan
- program industrialisasi.
Oleh sebab berbagai kendala yang mengakibatkan belum
memungkinkan dicapainya batas minimum itu dalam waktu yang singkat,
maka pelaksanaannya dilakukan berangsur-angsur (tahap demi tahap).
Pada tahap pertama perlu dicegah pemecahan-pemecahan pemilikan
tanah pertanian, dengan jalan diadakan pembatasan-pembatasan di dalam
pemindahan hak yang berupa tanah pertanian yang luasnya kurang dari
2 Ha. Larangan ini tidak berlaku bagi yang memiliki tanah kurang dari
2 Ha, dapat dijual sekaligus.
Suatu perbuatan hukum berupa pembagian warisan tidak dapat
dibatasi atau dilarang untuk melakukan pemecahan pemilikan tanah
pertanian, sebab itu terjadi sebab hukum.
Mengenai bagian warisan yang kurang dari 2 Ha akan diatur oleh
Per aturan Pemerintah.
Jika 2 orang atau lebih memiliki tanah pertanian kurang dari 2
Ha, harus mengambil alternatif:
a. Menunjuk salah seorang menjadi pemilik tanah pertanian yang
bersangkutan; atau
b. Memindahkan hak atas tanahnya kepada pihak lain.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan,
menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah daerah setempat untuk
menyediakan tempat tinggal yang layak bagi warganya. sebab lahan
yang tersedia makin sempit, penyediaan tempat tinggal dilakukan de-
ngan pengembangan konsep pembangunan perumahan dalam suatu ge-
dung bertingkat baik horizontal maupun vertikal. Saat ini, di beberapa
kota besar mulai bermunculan gedung-gedung yang dibangun dengan
memakai konsep condominium (pemilikan bersama) baik berupa
rumah-rumah susun murah sampai apartemen mewah.
Untuk mengantisipasi perkembangan ini , pemerintah telah
memberlakukan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun pada tanggal 31 Desember 1985. UURS ini telah dilengkapi
dengan beberapa peraturan pelaksana, antara lain:
a. PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun
b. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
c. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997
tentang Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997
sesudah berlaku hampir 26 tahun, pada tanggal 10 November 2011 diun-
dangkan Undang-undang No. 20 Tahun 2011 yang menggantikan keber-
lakuan Undang-undang No. 16 Tahun 1985.
Tujuan pembangunan rumah susun dalam UU No. 20 Tahun 2011 diru-
muskan sebagai berikut:
a. menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjang-
kau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelan-
jutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna memban-
gun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya;
b. meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan ta-
nah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan
dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta se-
rasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
c. mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan per-
mukiman kumuh;
d. mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi,
seimbang, efisien, dan produktif;
e. memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang ke-
hidupan penghuni dan warga dengan tetap mengutamakan
tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang
layak, terutama bagi MBR;
f. memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pemba-
ngunan rumah susun;
g. menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan
terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat,
aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola
perumahan dan permukiman yang terpadu; dan
h. memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian,
pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU N0. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,
Rumah Susun yaitu bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan meru-
pakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan
secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,
ada hal baru yaitu adanya klasifikasi rumah susun, yaitu:
a. Rumah susun umum yaitu rumah susun yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi warga berpenghasi-
lan rendah.
b. Rumah susun khusus yaitu rumah susun yang diselenggarakan
untuk memenuhi kebutuhan khusus.
c. Rumah susun negara yaitu rumah susun yang dimiliki negara
dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembi-
naan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/
atau pegawai negeri.
d. Rumah susun komersial yaitu rumah susun yang diselenggara-
kan untuk mendapatkan keuntungan.
15.3. Hak atas tanah yang dapat dibangun rumah susun
Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011, Rumah
Susun dapat dibangun di atas tanah:
Rumah susun di Indonesia
a. hak milik;
b. hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan
Selanjutnya berkaitan dengan adanya klasifikasi rumah susun yang
diatur dalam UU ini, dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa untuk rumah
susun umum dan/atau rumah susun khusus dapat dibangun dengan:
a. pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah; atau
b. pendayagunaan tanah wakaf.
jika Rumah Susun dibangun di atas tanah Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan, maka yang perlu diperhatikan ada-
lah:
a. Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada badan-badan hu-
kum yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah atau/dan
Pemerintah Daerah.
b. Pelaku pembangunan wajib menyelesaikan status Hak Guna Ban-
gunan atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan ini sebelum
menjual satuan rumah susun.
Pada sistem rumah susun ada dua elemen pokok dalam sistem pemi-
likannya, yaitu:
a. Pemilikan yang bersifat perorangan yang dapat dinikmati secara
terpisah;
b. Pemilikan bersama yang tidak dapat dimiliki secara perorangan
tetapi dimiliki bersama dan dinikmati bersama.
Pemilikan perseorangan objeknya berupa satuan rumah susun (sarusun),
yaitu unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah
dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan memiliki sarana pen-
ghubung ke jalan umum.
Pemilikan bersama objeknya, yaitu:
a. Bagian bersama yaitu bagian rumah susun yang dimiliki secara
tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi
dengan satuan-satuan rumah susun. Contohnya fondasi, balok,
dinding luar, lantai, atap, tangga, lift, jaringan pipa dan lain-lain;
b. Benda bersama yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah
susun melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpi-
sah untuk pemakaian bersama. Contohnya taman, lapangan parkir,
kolam renang, lapangan bermain dan lain-lain;
c. Tanah Bersama yaitu sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk
bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak ter-
pisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya
dalam persyaratan izin mendirikan bangunan.
Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak milik atas sarusun yang
bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian ber-
sama, benda bersama, dan tanah bersama, yang dihitung berdasarkan
atas Nilai Perbandingan Proporsional (NPP).
Untuk menjamin kepastian hak bagi pemilik satuan rumah susun, pemer-
intah memberikan alat pembuktian yang kuat berupa:
a. Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM sarusun), untuk
sarusun yang dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangu-
nan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau
hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.
SHM sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
yang terdiri atas:
(1) salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangku-
tan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan
(3) pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersa-
ma, benda bersama, dan tanah bersama bagi yang bersang-
kutan.
SHM sarusun ini diterbitkan bagi setiap orang yang memenuhi
syarat sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
b. Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Sarusun (SKBG), untuk
sarusun yang dibangun di atas barang milik negara/daerah berupa
tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa.
SKBG sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
yang terdiri atas:
1) salinan buku bangunan gedung;
2) salinan surat perjanjian sewa atas tanah;
3) gambar denah lantai pada tingkat rumah susun yang ber-
sangkutan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan
4) pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersa-
ma dan benda bersama yang bersangkutan.
Dalam UU No. 20 Tahun 2011, ada dua macam jaminan utang yang
dimungkinkan untuk satuan rumah susun, yaitu:
a. Hak Tanggungan, untuk SHM sarusun
b. Jaminan Fidusia, untuk SKBG sarusun
Para pemilik dalam suatu lingkungan rumah susun diwajibkan memben-
tuk perhimpunan pemilik dan penghuni sarusun (PPPSRS). PPPSRS ini
beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik
Rumah susun di Indonesia
sarusun dan diberi kedudukan sebagai badan hukum. PPPSRS mempu-
nyai kewajiban untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni
yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian
bersama, tanah bersama, dan penghunian.
Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS pa-
ling lambat sebelum masa transisi yaitu paling lama 1 (satu) tahun sejak
penye rahan pertama kali sarusun kepada pemilik.
sesudah PPPSRS terbentuk, pelaku pembangunan segera menyerahkan
pengelolaan benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama kepada
PPPSRS. Selanjutnya PPPSRS dapat membentuk atau menunjuk pengelola.
Ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan
ruang udara; termasuk ke dalam pengertian ruang ini yaitu ruang
di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
mahluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
Dalam konteks pemanfaatan ruang yang mengacu pada fungsi
ruang, maka yang dimaksud dengan ruang daratan yaitu tanah,
sebagaimana dipahami dalam Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (1) dan(2)
UUPA.
Mengingat ketersediaan ruang terbatas, sementara pemanfaatannya
(baik kualitas maupun kuantitas) meningkat, maka dalam pemanfaatannya,
ruang perlu ditata, baik wujud strukturnya maupun pola (peruntukan)
ruangnya. Struktur ruang perlu ditata sebab merupakan pusat-pusat
kegiatan permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana suatu
kawasan atau wilayah yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi warga , yang secara hirarkhis memiliki hubungan
fungsional. Pola (peruntukan) ruang juga perlu ditata sebab dalam suatu
wilayah, distribusi peruntukan ruang yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya
perlu ditata agar pemanfaatan ruang dapat lestari dan berkelanjutan.
Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, ditegaskan bahwa penataan ruang yaitu suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Hakikat pengaturan penataan ruang yaitu untuk
mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan yang mampu
mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan, serta memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang
dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat
pemanfaatan ruang. Untuk itu, Pasal 2 PP No. 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, menjelaskan bahwa pengaturan
penataan ruang perlu diselenggarakan untuk:
a. mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang;
b. memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepenting-
an dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan
kewajibannya dalam penataan ruang; dan
c. mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam
seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ruang meliputi ruang darat,
ruang laut dan ruang udara. Dalam konteks penataan ruang, maka
pemahaman ruang darat pun harus difahami sebagai penatagunaan
tanah. Dalam PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
dijelaskan bahwa penatagunaan tanah atau pola pengelolaan
tata guna tanah meliputi kegiatan penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah, yang dilakukan dengan konsolidasi pemanfaat-
an tanah. Pemanfaatan ruang harus mengacu pada fungsi ruang
yang telah ditetapkan dalam neraca penatagunaan tanah.
Mengingat tidak sebandingnya luas tanah yang tersedia dengan
kebutuhan akan tanah untuk menampung aktivitas warga dan
kegiatan pembangunan, timbul berbagai masalahpenataan ruang yang
bersumber dan atau berkaitan dengan masalah penatagunaan tanah.
Terlebih lagi dalam penataan ruang kawasan perkotaan. Masalah-
masalah pengambil-alihan tanah, ganti rugi, kriteria kepentingan umum
merupakan masalah-masalah hukum yang sering mengemuka dalam
penataan ruang, di samping masalah-masalah sosial, politik dan budaya
yang menyertai nya. Berbagai kasus yang muncul menunjukkan masalah
penataan ruang khususnya penatagunaan tanah di perkotaan menjadi
masalah yang sa ngat pelik.
Mengingat luas dan beragamnya kondisi wilayah Indonesia, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UU Penataan Ruang, penataan
ruang wilayah Indonesia dilakukan atas 5 klasifikasi yaitu:
a. Penataan ruang berdasarkan sistem, yang terdiri atas sistem wilayah
dan sistem internal perkotaan;
b. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, yang terdiriatas
kawasan lindung dan kawasan budi daya;
c. Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif, yang terdiri
atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah
provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
d. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan, yang terdiri
Kebijakan penataan ruang di Indonesia: Pendekatan holistik
atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang
kawasanperdesaan; dan
e. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan, yang
terdiriatas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan
ruang kawasan strategis provinsi dan penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota.
Meskipun klasifikasi ini saling berkaitan, namun dalam
pembahasan ini kajian lebih difokuskan pada penataan ruang khususnya
penatagunaan tanah dengan klasifikasi penataan ruang berdasarkan
kegiatan kawasan, yaitu penataan ruang kawasan perkotaan. Kegiatan
kawasan perkotaan dicirikan dengan kegiatanyang meliputi tempat
permukiman perkotaan serta tempat pemusatan dan pendistribusian
kegiatan seperti pelayanan jasa pemerintahan,pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi. Namun dalam pembahasan terkait dengan tugas
dan kewenangan, maka pembahasan tidak terlepas pula dari klasifikasi
berdasarkan wilayah administratif.
Kawasan perkotaan dapat berbentuk kawasan perkotaan yang
merupa kan bagian dari wilayah kabupaten atau yang mencakup 2(dua)
atau le bih wilayah provinsi. Selain itu, termasuk juga dalam kawasan
kota yaitu kota yang secara administratif berdiri sendiri.
Terkait kriteria besarannya, Pasal 65 PP No. 15 Tahun 2010
menegaskan bahwa kawasan perkotaan meliputi:
a. Kawasan perkotaan kecil (jumlah penduduk min 50.000 jiwa,
maks100.000 jiwa)
b. Kawasan perkotaan sedang (jumlah penduduk lebih dari 100.000
jiwa, tetapi kurang dari 500.000 jiwa)
c. Kawasan perkotaan besar (jumlah penduduk min 500.000 jiwa)
d. Kawasan metropolitan (merupakan kawasan perkotaan yang
berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan
perkotaan di sekitarnya saling memiliki keterkaitan fungsional,
serta memiliki jumlah penduduk secara keseluruhan minimal 1
juta jiwa)
e. Kawasan megapolitan (merupakan gabungan 2 atau lebih kawasan
metropolitan, masing-masing kota memiliki hubungan spasial
yang dipisahkan oleh kawasan perdesaan dan memiliki penduduk
minimal 10 juta jiwa)
Jika kawasan perkotaan itu merupakan bagian suatu wilayah
kabupaten, maka menurut Pasal 67 PP No.15 Tahun 2010 prosedur
penyusunan rencana tata ruangnya harus dimulai dengan penyusunan
rencana tata ruang kawasan perkotaan itu sendiri dengan melibatkan
peran warga , seperti penjaringan opini publik, forum diskusi dan
konsultasi publik di tingkat kabupaten. Selanjutnya rancangan tata ruang
kawasan perkotaan itu dibahas oleh pemangku kepentingan di tingkat
kabupaten. Untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan
ini , paling sedikit harus didukung oleh:
a. Data wilayah administrasi
b. Data fisiografis
c. Data kependudukan
d. Data ekonomi dan keuangan
e. Data ketersediaan prasarana dan sarana dasar
f. Data penggunaan lahan
g. Data peruntukan ruang
h. Data daerah rawan bencana
i. Data intensitas bangunan
j. Data dasar rupa bumi dan peta tematik yang dibutuhkan.
Jika kawasan perkotaan itu mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi, Pasal 69 PP No.15
tahun 2010 menegaskan bahwa penyusunan rencana tata ruangnya
dimulai dengan penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan
yang mencakup 2 atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih
wilayah provinsi, dengan melibatkan peran warga pada wilayah
ini dan selanjutnya rancangannya dibahas oleh para pemangku
kepentingan di wilayah ini . Penyusunan rencana tata ruang kawasan
perkotaan ini , juga harus didukung oleh data sebagaimana telah
diuraikan di atas.
16.3. Kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi
dan kabupaten/kota)
Secara prinsip, negara menyelenggarakan kegiatan penataan ruang
sebab penataan ruang harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Namun, tentu dalam pelaksanaannya kewenangan ini
didelegasikan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik
pemerintah kabupaten maupun kota.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pemerintah pusat berwenang
untuk melakukan (a) pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/
kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan
ruang wilayah nasional;(c) pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis nasional; dan(d) kerjasama penataan ruang antar negara dan
Kebijakan penataan ruang di Indonesia: Pendekatan holistik
pemfasilitasankerja sama penataan ruang antar provinsi.
Kewenangan pemerintah pusat dalam pelaksanaan penataan ruang
nasional meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang
wilayah nasional.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pemerintah daerah provinsi
berwenang untuk melakukan (a) pengaturan, pembinaan dan peng awasan
terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/
kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
provinsi dan kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan ruang wilayah
provinsi; (c) pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; (d)
kerjasama penataan ruang antar provinsi dan pemfasilitasan kerjasama
penataan ruang antar kabupaten/kota.
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi meliputi perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian ruang wilayah provinsi.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pemerintah daerah kabupaten/
kota berwenang untuk melakukan (a) pengaturan, pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/
kota, dan kawasan strategis kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota; (c) pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota; (d) kerjasama penataan ruang antar kabupaten/
kota.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian ruang wilayah kabupaten/kota.
16.4. Hak, kewajiban dan peran warga dalam penataan
ruang
Pasal 60 UU Penataan Ruang menegaskan bahwa hak setiap orang dalam
penataan ruang yaitu
a. Mengetahui rencana tata ruang;
b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan
ruang;
c. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul
akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang;
d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di
wilayahnya;
e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pemba-
ngunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
pejabat yang berwenang; dan
f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin jika kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
warga dapat mengetahui rencana tata ruang melalui lembaran
negara/daerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah
seperti melalui pemasangan peta rencana tata ruang wilayah ini
di tempat-tempat umum, kantor kelurahan/kecamatan, dan/atau kantor
yang secara fungsional menangani rencana tata ruang ini .
Sementara itu, pertambahan nilai ruang tidak saja dipandang
dari sudut ekonomi, tetapi sudut pandang lainnya seperti sosial,
budayadan kualitas lingkungan yang dapat berupa dampak