ALA BPN RI
(HGU)
HAK GUNA
BANGUNAN
(HGB)
HAK PAKAI
(HP)
tusan mengenai pemberian
Hak Guna Usaha atas tanah
yang luasnya tidak lebih dari
1.000.000 M² (satu juta meter
persegi
Perorangan : lebih dari 1.000
M2 dan tidak lebih dari 5.000
M²
Badan hukum : lebih dari
5.000 M2 dan tidak lebih dari
75.000 M²
Perorangan atas tanah perta-
nian : lebih dari 20.000 M²
Badan hukum atas tanah per-
tanian : lebih dari 20.000 M²
Perorangan atas tanah non
pertanian : lebih dari 2.000 M²
dan tidak lebih dari 5.000 M2
Badan hukum atas tanah non
pertanian: lebih dari 2.000 M²
dan tidak lebih dari 25.000 M²
Hak Pengelolaan dan hak atas tanah yang tidak
dilimpahkan kewenangannnya kepada kepala
kantor Pertanahan dan Kepala Kanwil BPN
KEWENANGAN HAK ATAS
TANAH
JENIS/LUAS
Yang dimaksud dengan pemindahan hak yaitu perbuatan hukum untuk
memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain.
Tanah-tanah hak yang dapat dipindahkan yaitu :
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai atas tanah negara (= Hak Pakai yang primer).
11.4.1. Bentuk-bentuk Pemindahan Hak :
(1) Jual Beli
Pemindahan hak terjadi pada saat itu juga secara langsung dari
penjual kepada pembeli. Bersifat tunai yaitu pemindahan hak
atas tamah dan pembayarannya secara serentak terjadi bersamaan
sebagaimana konsepsi Hukum Adat.
214
(2) Tukar Menukar
Hak atas tanah tertentu ditukar dengan hak atas tanah lain yang
sejenis.
(3) Hibah
Pemindahan hak terjadi seketika dan langsung sebagai penyisihan
sebagian dari harta kekayaan seseorang yang diberikan secara cuma-
cuma semasa ia hidup kepada orang yang biasanya memiliki
hubungan kekerabatan.
(4) Hibah Wasiat
Pemindahan hak terjadi secara langsung menurut kehendak
terakhir dari si pemberi wasiat, tetapi dengan syarat sesudah ia
mati baru terjadi pemindahan haknya. Itupun tidak sedemikian
mudah, dan masih diperlukan perbuatan hukum yang lain dimana
pelaksanaannya harus melalui pelaksanaan wasiat kepada si
penerima hibah wasiat ini .
Dalam hal pemindahan hak ini di atas, syarat-syarat subjek hak pun
harus dipenuhi. Jika subjek selaku calon penerima hak tidak memenuhi
syarat-syarat subjek hak atas tanah yang akan dipindahkan kepadanya
sebagaimana ditentukan dalam UUPA, tentu saja akan batal demi hukum
dan tanahnya akan menjadi Tanah Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-
hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta khusus untuk
pemindahan hak dengan jual beli maka pembayaran yang telah diterima
oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali (pasal 26 ayat 2 UUPA).
Khusus untuk jual beli atas tanah pertanian harus memenuhi syarat:
- Syarat umum : WNI Tunggal;
- Syarat khusus :
- Luasnya tidak melebihi batas maksimum;
- Letak tanahnya harus di kecamatan tempat tinggal calon
pemiliknya.
JUAL BELI TANAH
Pemahaman secara yuridis mengenai jual beli tanah dibedakan antara
pengertian jual beli tanah sebelum berlakunya UUPA dan sesudah
berlakunya UUPA.
A. SEBELUM UUPA
(1) Jual Beli Tanah menurut Hukum Barat
Jual beli tanah menurut Hukum Barat, khusus bagi tanah-tanah
hak Barat, berlaku ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata buku
III:
- Pasal 1457:
215
Penyediaan tanah untuk pembangunan
Jual beli merupakan perjanjian antara para pihak untuk memenuhi
prestasi yang diperjanjikan.
- Pasal 1458:
Jual beli terjadi sejak ada kata sepakat.
- Pasal 1459 jo. Stbl. 1834-27:
Jual beli harus diikuti dengan perbuatan hukum pemindahan hak
(levering juridische) dari penjual kepada pembeli, yang menurut
istilah umum dikatakan “balik nama” di kantor kadaster.
Secara skematis dapat diuraikan sebagai berikut:
Kesimpulan:
Jual beli tanah (khususnya bagi tanah-tanah hak Barat) sebelum
berlakunya UUPA, menurut ketentuan KUH Perdata tidak cukup hanya
dengan adanya perjanjian jual beli itu saja (obligatoire overeenkomst).
Tetapi harus pula diikuti dengan penyerahan secara yuridis atau levering
yuridis (zakelijke overeenkomst).
HAK BARAT
Sebelum: 24-9-1960
PERJANJIAN JUAL BELI LEVERING YURIDIS
KUH Perdata Buku III : Perbuatan hukum
- Pasal 1457 (obligator) pemindahan hak
- Pasal 1458 (konsensual)
- Pasal 1459 pasal 1 Stb. 1834-27
Overschrijvings-Ord.
Bentuknya
- Bebas (pasal 1338) s/d PD II sebelum 1947:
- Biasanya dihadapan Hakim Komisaris P. Rvj.
(dengan akta otentik) Overschrijvings Ambtenaar
(Pejabat Balik Nama)
Sejak 1947 : Kepala K.P.T
Dibuatkan
Akta Pemindahan Hak/Akta
Balik Nama (Akta Eigendom)
Sekaligus Pendaftaran
Jual Belinya
216
Dan levering yuridis ini meliputi:
Perbuatan hukum pemindahan hak, dibuktikan dengan akta
eigendom /gerechtelijke acte atau “akta balik nama”;
Pendaftaran jual beli tanah yang bersangkutan yaitu pendaftaran
perbuatan hukumnya (registration of deeds).
Akta eigendom/gerechtelijke acte ini di atas yaitu bukti bahwa
perbuatan hukum itu telah didaftarkan, yang aslinya disebut “minit”
disimpan sebagai arsip pada Kantor Kadaster, sedangkan salinannya yang
disebut “grosse” diberikan kepada pemegang haknya. (Pasal 224 HIR)
(2) Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat
Jual beli tanah menurut Hukum Tanah Adat (jual lepas) yaitu bersifat
“tunai”, artinya pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pemilik
terjadi serentak dan secara bersamaan dengan pembayaran harga dari
pembeli kepada penjual.
Selain bersifat “tunai”, juga harus “terang” yang artinya harus
dilakukan dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa.
Sebagai bukti telah terjadi jual beli dan selesai pemindahan hak
ini , dibuatlah “Surat Jual Beli Tanah” yang ditandatangani oleh
pihak penjual dan pihak pembeli dengan disaksikan oleh Kepala Desa.
Fungsinya yaitu untuk:
1). Menjamin kebenaran tentang :
- status tanahnya;
- pemegang haknya;
- keabsahan bahwa telah dilaksanakan dengan hukum yang berlaku
(“terang”).
2). Mewakili warga desa (unsur publisitas).
B. SESUDAH UUPA (sesudah 24 SEPTEMBER 1960)
JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM TANAH POSITIF
(1) Konsepsi
Berbeda dengan pengertian jual beli tanah menurut Hukum Barat,
jual beli tanah menurut Hukum Tanah Positif kita sekarang yaitu
pemindahan hak atas tanah untuk selama-lamanya, yang dalam
Hukum Adat dinamakan “jual lepas” dan bersifat “tunai”. Artinya,
begitu terjadi jual beli, begitu pula pada saat bersamaan terjadilah
pemindahan hak atas tanah dan pembayaran harga, sehingga
sejak saat itu putus hubungan antara pemilik yang lama dengan
tanahnya untuk selama-lamanya.
Pemindahan hak ini berarti pemindahan penguasaan secara
217
Penyediaan tanah untuk pembangunan
yuridis dan secara fisik sekaligus. Namun demikian, ada kalanya
pemindahan hak ini barus secara yuridis saja sebab secara
fisik tanah masih ada dibawah penguasaan orang lain (hubungan
sewa yang belum berakhir jangka waktunya, dsb), sehingga
penyerahan secara fisik akan menyusul kemudian.
Pembayaran harga oleh pihak pembeli kepada penjual (yang
dikatakan “tunai”), ada 2 kemungkinan :
Dibayar seluruhnya pada saat terjadi jual beli; atau
Baru dibayar sebagian (belum lunas semua).
Pembayaran sebagian ini biasanya sebab tanah yang
bersangkutan secara fisik masih dikuasai oleh pihak ketiga dan
belum diserahkan kepada pihak pembeli.
Walaupun demikian, jual beli dinyatakan telah selesai dan sah
jika sudah memenuhi :
Penyerahan secara yuridis;
Telah dibayar sebagian.
Ini berarti, penyerahan fisik tanah dan pembayaran sisa harga
dapat disusul kemudian. Jadi, kalau harga yang tersisa ternyata
kelak tidak dilunasi oleh pihak pembeli, maka masalah ini yaitu
masalah utang piutang, dan termasuk dalam Hukum Perutangan;
-- tidak dapat dituntut atas dasar jual beli tanah, sebab jual beli
(pemindahan hak atas tanah) dinyatakan telah selesai.
(2) Tata Cara Jual Beli
Menurut hukum positif kita sekarang, jual beli harus dilakukan di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan hanya jual beli
dengan akta yang dibuat oleh PPAT saja yang dapat dipakai untuk
pendaftaran di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah (pasal
19 PP Nomor 10/1961 jo PP No. 24/1997).
Ini berarti bahwa jual beli dihadapan PPAT dan pendaftaran di
Kantor Pertanahan merupakan suatu sistem yang sudah menjadi
ketentuan yang harus ditaati.
Siapakah PPAT ?
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur oleh PMA no. 10/1961
dan PMA no. 11/1961jo PP No. 37/1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
Yang harus dibuatkan Akta PPAT (pasal 37 PP No. 24/1997) :
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum lain kecuali pemindahan hak melalui lelang.
Adapun mengenai skema mengenai prosedur pendaftaran jual beli
tanah secara singkat dapat dilihat pada skema berikut ini:
218
Jual Beli Tanah
Penjual Pembeli
Dibuat oleh PPAT Akta Jual Beli Pendaftaran
dan berkas-berkas Jual Beli Tanah
Hadir :
- Penjual wakil)
- Pembeli (wakil) Kantor Pertanahan
- Saksi-saksi. Seksi Pendaftaran Tanah
Tanah hak yang Tanah hak yang
sudah bersertipikat belum bersertipikat
Mencatat jual beli Dibuat dulu:
pada : - Buku Tanah
- Buku Tanah - Sertipikat Hak Tanah
- Sertipikat Hak Tanah atas nama penjual
atas nama pembeli
Kemudian mencatat
Jual beli tsb pada:
- Buku Tanah
-Sertipikat Hak Tanah
atas nama pembeli
Bagi tanah bekas Hak Milik Adat yang belum bersertipikat, kalau
dalam Buku Tanah dan sertipikatnya langsung diatas-namakan Pembeli,
dianggap tidak sah ! Jadi harus atas nama Penjual dulu.
Untuk membuat Akta Jual Beli ini , terlebih dahulu penjual
harus menyerahkan surat-surat tanahnya kepada PPAT untuk diteliti dan
dicek kebenarannya yang berkenaan dengan masalah status tanah, subjek
hak, luas, letak, batas-batas, dan sebagainya.
Bagaimana jika diatas tanah ini ada bangunan rumah atau
tanaman keras ?
Hal ini tergantung pada maksudnya. Kalau objek yang dimaksud
219
Penyediaan tanah untuk pembangunan
untuk dijual yaitu tanah berikut bangunan rumah/tanaman keras
yang berada di atasnya, maka dalam Akta Jual Beli dengan tegas harus
disebutkan semua secara terperinci. Begitu juga sebaliknya, kalau yang
menjadi objek penjualan itu hanya tanah, maka dalam Akta Jual Beli yang
dibuat PPAT itu harus dijelaskan, bahwa jual beli ini tidak termasuk
bangunan rumah dan tanaman-tanaman keras yang melekat diatasnya. Ini
sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang bersumber pada Hukum
Adat.
Selain itu jika ada sisa harga yang belum dibayar atau
penyerahan fisik tanah belum dilakukan, juga harus disebutkan secara
tegas dalam Akta Jual Beli ini .
Penjual atau wakilnya dan pembeli atau wakilnya harus hadir di
depan PPAT untuk menandatangani Akta Jual Beli dengan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat
untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu (pasal 38 PP
24/1997).
Baik penjual (wakil), pembeli (wakil) maupun saksi-saksi dan PPAT,
semuanya harus menandatangani Akta ini . Kemudian, Akta ini
berikut berkas-berkasnya dibawa ke Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran
Tanah untuk dilakukan pendaftaran.
PPAT bersifat tertutup, sebab memang ia harus menyimpan
rahasia. Maka dari itu, dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT,
orang yang tahu tentang adanya jual beli ini terbatas. Lain halnya
jika sudah didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka dari pendaftaran
itu selain memperkuat pembuktian sebab perbuatan hukum itu
dicatat dalam Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanah, juga memperluas
pembuktian sebab setiap orang atau siapa saja yang berkepentingan dan
memerlukan keterangan tentang tanah ini dapat mengeceknya pada
Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah dimana data-data tentang
tanah ini disimpan dan sewaktu-waktu terbuka untuk umum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tidaklah benar
bilamana ada yang mengatakan pendaftaran tanah itu “balik nama”,
sebab Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT sudah terjadi jual beli dalam
arti levering yuridis !. Jadi, pendaftaran jual beli pada Kantor Pertanahan
bukan untuk sahnya jual beli tetapi berfungsi untuk meperkuat
pembuktian dan memperluas pembuktian.
Tata cara jual beli tanah menurut hukum positif sebenarnya yaitu
sama dengan tata cara jual beli tanah yang berlaku menurut Hukum Adat
yang dikenal dengan istilah “jual lepas” dan “terang” sifatnya.
Sekilas periodisasi tentang tata cara jual beli tanah hak milik
sebelum UUPA dan tata cara jual beli tanah umumnya sesudah UUPA,
dapat dilukiskan sebagai berikut:
220
UUPA PP 10/1961 PP 24/1997 (penyempurnaan)
Jual beli tanah 24/9/60 24/9/61 8/10/97 Jual beli tanah
hak milik adat menurut hukum
Tanah positif
?
Tata caranya :
Norma-norma hukum
tanah adat
Keterangan:
Sebelum UUPA, tata cara jual beli tanah hak milik adat dilakukan menurut
norma-norma Hukum Tanah Adat. Sesudah UUPA, tata cara jual beli
tanah dalam hukum positif kita bersumber pada Hukum Tanah Adat:
Antara 24-9-1960 sampai dengan 24-9-1961, UUPA belum
memiliki peraturan pelaksanaan tentang tata cara jual beli
tanah sehingga untuk sementara periode ini masih digunakan
tata cara menurut norma-norma Hukum Tanah Adat sebagai
“pelengkap”.
Kemudian sesudah 24-9-1961 dengan berlakunya PP 10/1961
sebagai peraturan pelaksana UUPA tentang tata cara jual beli
tanah.
PP nomor 10 tahun 1961 diganti dengan PP nomor 24 tahun 1997
yang mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1997.
Jadi sebagaimana yang disebutkan pada butir (a) dan (b) sesuai
dengan ketentuan pasal 19 dan 22 dari PP 10/1961 yang kemudian diubah
dengan ketentuan pasal 37 ayat 1 PP nomor 24 tahun 1997 bahwa jual
beli tanah selain harus dilakukan dihadapan PPAT dan dibuatkan Akta
Jual Beli, juga harus diikuti dengan pendaftaran jual belinya pada Kantor
Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah.
Dengan demikian, terhitung mulai tanggal 24 September 1961,
tata cara jual beli tanah menurut norma-norma Hukum Tanah Adat tidak
berlaku lagi.
(3) Sahnya jual beli tanah
Ditegaskan oleh KEPUTUSAN MAKAMAH AGUNG NO. 123/K/SIP/1970
bahwa :
“Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 berlaku khusus
bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau
tidaknya suatu perbuatan hukum materiil yang merupakan jual beli
(materiele handeling van verkoop) tidak hanya terikat pada Pasal 19
221
Penyediaan tanah untuk pembangunan
ini ”
Kesimpulan: sahnya jual beli ditentukan oleh syarat materil dari
perbuatan jual beli yang bersangkutan, b u k a n oleh pasal 19 PP 10/1961
(sekarang PP no. 24 tahun 1997).
Sedangkan yang merupakan syarat materil ialah:
Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;
Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;
Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut
hukum;
Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.
Keputusan MA ini yaitu dalam suatu kasus hibah tanah di Bali
pada tahun 1964 yang dilakukan di depan Bandesa (yaitu Wakil Kepala
Desa), berupa penegasan dan penjelasan tentang hubungannya dalam
rangka pelaksanaan jual beli tanah menurut Hukum Tanah Positif kita:
1) Dalam Hukum Adat tindakan yang menyebabkan pemindahan
hak bersifat “kontan”. Sedangkan pendaftaran, sesuai dengan
UUPA dan peraturan pelaksanaan bersifat administratif belaka”.
2) “... Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 berlaku
khusus bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim
menilai sah atau tidak sahnya suatu perbuatan materiil yang
merupakan jual beli (materiele handeling van verkoop) tidak hanya
terikat pada pasal 19 ini ”. Intinya :
Jual beli atau pemindahan hak bersifat tunai;
Jual beli didepan PPAT bukan merupakan syarat sahnya
jual beli, melainkan ditentukan oleh syarat materiil dari jual
beli;
Perbuatan jual beli dilakukan di hadapan PPAT hanya
syarat untuk pendaftaran jual beli di Kantor Pertanahan
Seksi Pendaftaran Tanah.
11.5. Pelepasan Hak atas Tanah
11.5.1. Peraturan
- Pasal 27, 34, 40 UUPA
- UU No. 2/2011 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
11.5.2. Pengertian
Pelepasan hak atas tanah yaitu suatu perbuatan hukum berupa
melepaskan hubungan hukum yang semula ada antara pemegang
hak dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat
dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga
222
tanah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah negara.
11.5.3. Bilamana Dilakukan
Pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subjek yang memerlukan
tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah
yang diperlukan sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan
pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya.
Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan surat pernyataan
pelepasan hak yang ditanda tangani oleh pemegang hak diketahui pejabat
yang berwenang. Pada dasarnya pelepasan hak ini dilakukan oleh
pemegang hak atas tanah dengan suka rela. sesudah proses pelepasan hak
telah selesai dilaksanakan, tanah yang bersangkutan berubah statusnya
menjadi tanah Negara dan selanjutnya dilakukan permohonan hak.
11.5.4. Tata Cata Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
11.5.4.1. Pokok-Pokok Pengadaan Tanah dan Penyelenggaraan
Pengadaan tanah
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
dilaksanakan berdasarkan UU no. 2/2012 . Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum menurut UU No. 2/2011 yaitu kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak. Pihak yang Berhak yaitu pihak yang menguasai atau
memiliki objek pengadaan tanah.
Pelepasan Hak menurut UU No. 2/2011 yaitu kegiatan pemutusan
hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui
Lembaga Pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional. Pemegang hak
atas tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum sesudah pemberian ganti kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan
berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan,
dan keselarasan.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu kepentingan
bangsa, negara, dan warga yang harus diwujudkan oleh pemerintah
dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan hanya
dapat digunakan untuk pembangunan:
1) pertahanan dan keamanan nasional;
2) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta
api, dan fasilitas operasi kereta api;
223
Penyediaan tanah untuk pembangunan
3) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
4) pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga
listrik;
7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10) fasilitas keselamatan umum;
11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
13) cagar alam dan cagar budaya;
14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk warga berpenghasilan rendah
dengan status sewa;
16) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah
Daerah;
17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
18) pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan
oleh Pemerintah baik Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan tanahnya
selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Dalam hal Instansi yang memerlukan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yaitu Badan Usaha Milik Negara, tanahnya menjadi
milik Badan Usaha Milik Negara.
Pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud
huruf b sampai dengan huruf r ini diatas wajib diselenggarakan
Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta.
Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hal Instansi
yang memerlukan tanah yaitu Badan Hukum Milik Negara/Badan
Usaha Milik Negara yang mendapatkan penugasan khusus, pendanaan
bersumber dari internal perusahaan atau sumber lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
11.5.4.2. Tahapan Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui
224
tahapan:
1) perencanaan;
2) persiapan;
3) pelaksanaan; dan
4) penyerahan hasil.
Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan
yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana
Strategis, Rencana Kerja Pemerintah instansi yang bersangkutan.
Persiapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
oleh instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
dengan melaksanakan:
1) Pemberitahuan rencana pembangunan;
Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan kepada
warga pada rencana lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum baik langsung maupun tidak langsung
2) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan
pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan
tanah dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Data
ini digunakan untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana
pembangunan
3) Konsultasi Publik rencana pembangunan.
Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk
mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari
pihak yang berhak. Konsultasi publik ini dilakukan dengan
melibatkan pihak yang berhak atau kuasanya dan warga
yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana
pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang disepakati.
Kesepakatan yang dihasilkan dituangkan dalam bentuk berita acara
kesepakatan. Atas dasar kesepakatan, instansi yang memerlukan
tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur.
Gubernur menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.
Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan dalam
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. jika sampai dengan
jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja pelaksanaan ada pihak
yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan
Konsultasi Publik ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30
225
Penyediaan tanah untuk pembangunan
(tiga puluh) hari kerja.
jika dalam Konsultasi Publik ulang masih ada pihak
yang kebe ratan mengenai rencana lokasi pembangunan, Instansi
yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada
gubernur setempat. Gubernur membentuk tim untuk melakukan
kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan.Hasil kajian tim
berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana lokasi
pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya permohonan oleh gubernur. Gubernur
berdasarkan rekomendasi mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya
keberatan atas rencana lokasi pembangunan.
Dalam hal sesudah penetapan lokasi pembangunan masih
ada keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi.
Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima atau ditolaknya
gugat an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan
ter hadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
kasasi diterima. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diberikan
dalam waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu)
tahun. Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum dilaksanakan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai
pengadaannya.
Gubernur bersama Instansi yang memerlukan tanah mengumumkan
pe netapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Pengumuman
dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada warga bahwa di lokasi
ini akan dilaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.
sesudah penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, Pihak
yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi
yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Beralihnya hak
dilakukan dengan memberikan ganti kerugian yang nilainya ditetapkan
saat nilai pengumuman penetapan lokasi.
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum
Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan
tanah kepada Lembaga Pertanahan yang meliputi:
226
1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah meliputi kegiatan:
a. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
b. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan
Tanah.
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja.
Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan di kantor desa/
kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat pengadaan tanah dilakukan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja secara bertahap,
parsial, atau keseluruhan.
Pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi meliputi subjek
hak, luas, letak, dan peta bidang tanah Objek Pengadaan Tanah. Dalam hal
tidak menerima hasil inventarisasi, pihak yang Berhak dapat mengajukan
keberatan kepada Lembaga Pertanahan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi.
Dalam hal ada keberatan atas hasil inventarisasi dilakukan verifikasi
dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.
Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan oleh
Lembaga Pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak
yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.
2) Penilaian Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai (appraisal) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh Penilai dilakukan
bidang per bidang tanah, meliputi:
a) tanah;
b) ruang atas tanah dan bawah tanah;
c) bangunan;
d) tanaman;
e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f) kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai menjadi dasar
musyawarah penetapan ganti kerugian
3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian
Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak
227
Penyediaan tanah untuk pembangunan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian
dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan
bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian
ganti kerugian.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian
ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita acara
ke sepakatan.
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja sesudah musyawarah penetapan ganti kerugian .
Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya peng ajuan keberatan.
Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti
kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu ysng
telah ditentukan sebab hukum pihak yang berhak dianggap menerima
bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah disepakati.
4) Pemberian Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a) uang;
b) tanah pengganti;
c) permukiman kembali;
d) kepemilikan saham; atau
e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung
kepada pihak yang berhak yang diberikan berdasarkan hasil penilai an
yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan ne-
geri/Mahkamah Agung.
Pada saat pemberian ganti kerugian pihak yang berhak menerima ganti
kerugian wajib:
a) melakukan pelepasan hak; dan
228
b) menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan
tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga
Pertanahan.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan
negeri/Mahkamah Agung, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri
setempat.
Penitipan Ganti Kerugian juga dilakukan terhadap:
a) Pihak yang Berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui
keberadaannya; atau
b) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian:
1) sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2) masih dipersengketakan kepemilikannya;
3) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
4) menjadi jaminan di bank.
Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan
hak telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan
di pengadil an negeri, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang
berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku
dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Pihak yang berhak menerima ganti kerugian atau Instansi yang
memperoleh tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dapat diberikan insentif perpajakan.
5) Pelepasan tanah Instansi
Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki
pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah.
Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan UU No.
2/2011.
Pelepasan objek pengadaan tanah yang dimiliki pemerintah tidak
diberikan ganti kerugian, kecuali:
1) Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan yang
dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan;
2) Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
3) Objek pengadaan tanah kas desa.
229
Penyediaan tanah untuk pembangunan
Pelepasan objek pengadaan tanah dilaksanakan paling lama 60
(enam puluh) hari kerja sejak penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. jika pelepasan objek pengadaan tanah belum
selesai dalam waktu tanahnya dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi
tanah negara dan dapat langsung digunakan untuk pembangunan bagi
kepentingan umum.
Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada
Instansi yang memerlukan tanah sesudah :
1) pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dan pelepasan
hak telah dilaksanakan; dan/atau
2) pemberian ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
kegiatan pembangunan sesudah dilakukan serah terima hasil pengadaan
tanah.
sesudah Instansi yang memperoleh tanah untuk kepentingan umum
maka instansi ini wajib mendaftarkan tanah yang telah diperoleh
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebab keadaan
mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan
wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya sesudah
dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sebelum penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum
sebab keadaan mendesak, terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan
kepada pihak yang berhak.Dalam hal ada keberatan atau gugatan
atas pelaksanaan Pengadaan tanah, Instansi yang memerlukan tanah
tetap dapat melaksanakan kegiatan pembangunan ini .
11.6. Pencabutan Hak Atas Tanah (Onteigening/Expropriation)
11.6.1. Pengertian
Pencabutan hak yaitu pengambilan tanah kepunyaan pihak lain oleh
Pemerintah secara paksa untuk keperluan penyelenggaraan kepentingan
umum dengan pemberian ganti rugi yang layak kepada yang memiliki
tanah. Pencabutan hak yaitu perbuatan hukum sepihak yang dilakukan
oleh pemerintah.
11.6.2. Peraturan
- Pasal 18 UUPA;
- UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak
11.6.3.Asas-Asas Pelaksanaan Pencabutan Hak Menurut UU
N0.20/1961
230
a. Pencabutan hak dapat dilakukan untuk kepentingan umum dengan
memberikan ganti kerugian yang layak dan dilakukan menurut
ketentuan undang-undang
b. Pencabutan yaitu upaya terakhir jika upaya lain dalam rangka
memperoleh tanah melalui pemindahan hak secara langsung tidak
dapat dilakukan
c. Mengingat tanah memiliki fungsi sosial berarti pula bahwa
kepentingan bersama harus didahulukan
d. Pelaksanaan pencabutan hak dilakukan dengan keputusan presiden
yang memuat keputusan pencabutan hak dan penetapan ganti
kerugian.
e. Namun dalam situasi yang mendesak pencabutan hak dapat
dilakukan dengan kewenangan menteri agraria
f. Pencabutan hak hanya dilakukan untuk keperluan usaha negara
(Pemerintah Pusat dan Daerah)
g. Namun bagi badan hukum swasta tidak tertutup kemungkinan
melakukan pencabutan hak dalam rangka usahanya benar-benar
untuk kepentingan umum
h. Ganti kerugian harus didasarkan pada nilai nyata/sebenarnya,
bukan semata-mata harga pasar namun tidak juga berarti harga
yang lebih murah.
11.6.4. Syarat-syarat Melaksanakan Pencabutan Hak
Tanah diperlukan benar-benar untuk kepentingan umum;
Merupakan upaya terakhir untuk menguasai tanah yang
diperlukan dan hanya digunakan dalam keadaan memaksa;
Harus ada ganti rugi yang layak;
Harus dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden;
Bila ganti rugi yang tidak memuaskan harus banding ke Pengadilan
Tinggi.
11.6.5. Jaminan Bagi Pemegang Hak
Jaminan pemberian ganti rugi yang layak bila tidak memuaskan
dapat banding ke Pengadilan Tinggi;
Jaminan ganti rugi harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan
langsung kepada yang berhak;
Jaminan penampungan bagi mereka yang perlu pindah;
Yang berhak atas ganti kerugian bukan hanya mereka yang
haknya dicabut, tetapi jika ada orang-orang yang menggarap
tanah atau menempati rumah yang bersangkutan;
Jika tanah yang dicabut haknya itu kemudian tidak dipergunakan
sesuai rencana peruntukkannya, maka mereka yang semula
231
Penyediaan tanah untuk pembangunan
berhak atas tanahnya diberi prioritas untuk mendapatkan kembali.
11.6.6. Acara Pencabutan Hak
11.6.6.1. Acara Pencabutan Hak Biasa (tidak Mendesak
Tata Caranya yaitu sebagai berikut:
Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk
melakukan pencabutan hak itu kepada Presiden, dengan
perantaraan Menteri agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang
bersangkutan.
Oleh Kepala Inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan
itu diperlengkapi dengan pertimbangan para Kepala Daerah
yang bersangkutan dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran itu
dilakukan oleh suatu Panitia Penaksir, yang anggota-anggotanya
mengangkat sumpah. Di dalam pertimbangan ini dimuat
pula soal penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut
itu. Demikian juga jika ada, soal penampungan orang-orang yang
menempati rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan. Yaitu
orang-orang yang sebab pencabutan hak ini akan kehilangan
tempat tinggal dan/atau sumber nafkahnya.
Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan Kepala
Daerah dan taksiran ganti kerugian ini dilanjutkan oleh Kepala
Inspeksi Agraria kepada Menteri Agraria, disertai pertimbangannya
pula.
Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada Presiden
untuk mendapat keputusan, disertai dengan pertimbangannya dan
pertimbangan Menteri Kehakiman serta Menteri yang bersangkutan,
yaitu Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta
dilakukannya pencabutan hak itu. Menteri Kehakiman terutama
akan memberi pertimbangan ditinjau dari segi hukumnya, sedang
Menteri yang bersangkutan mengenai fungsi usaha yang meminta
dilakukannya pencabutan yang diminta itu benar-benar, diperlukan
secara mutlak dan tidak dapat diperoleh di tempat lain.
Penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan baru dapat
dilakukan sesudah ada surat keputusan pencabutan hak dari
Presiden dan sesudah dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang
ditetapkan oleh Presiden serta diselenggarakannya penampungan
orang-orang yang dimaksudkan di atas.
11.6.6.2. Acara Pencabutan Hak Khusus (Mendesak)
Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan pengu-
asa an tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan
segera, maka pencabutan hak khususnya penguasaan tanah dan/
232
atau benda itu dapat diselenggarakan melalui acara khusus yang
lebih cepat, keadaan yang sangat mendesak itu misalnya, jika
terjadi wabah atau bencana alam, yang memerlukan penampungan
para korbannya dengan segera.
Dalam hal ini maka permintaan untuk melakukan pencabutan hak
diajukan oleh Kepala Inspeksi Agraria (Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota-- sekarang) kepada Menteri Agraria tanpa disertai
taksiran ganti kerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu dengan
tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.
Menteri Agraria kemudian dapat memberi perkenan kepada yang
berkepentingan untuk segera menguasai tanah dan/atau benda
ini , biarpun belum ada keputusan mengenai permintaan
pencabutan haknya dan ganti kerugiannya pun belum dibayar
Bagaimanakah kalau yang empunya tidak bersedia menerima
ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden sebab dianggapnya
jumlahnya kurang layak?
Si-Bekas Pemilik Tanah dapat minta kepada Pengadilan Tinggi
agar pengadilan itulahi yang menetapkan ganti kerugian ini .
Untuk itu akan diadakan ketentuan hukum acara yang khusus, agar
penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan ini dapat diperoleh
dalam waktu yang singkat. (Lihat: PP No. 39/1973, tentang A cara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan
dengan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda2 di atasnya))
Tetapi biarpun demikian penyelesaian soal ganti-kerugian melalui
pengadilan itu tidak menunda jalannya pencabutan hak. Artinya
sesudah ada keputusan Presiden mengenai pencabutan hak itu
maka tanah dan/atau benda-bendanya yang bersangkutan dapat
segera di kuasai, dengan tidak perlu menunggu keputusan Peng-
adilan Negeri mengenai sengketa ini .
233
PENDAFTARAN TANAH
12.1. Jaminan Kepastian Hukum
Untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan
ada 2 hal yang harus kita perhatikan :
Perlu adanya Hukum Tanah yang tertulis;
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah.
Dengan perkataan lain, jika kita membicarakan pendaftaran tanah,
berarti kita berbicara tentang salah satu usaha dalam rangka mewujudkan
jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.
Tujuan yang ingin dicapai dengan jaminan kepastian hukum ini yaitu
untuk menimbulkan rasa mantap dan rasa aman.
Timbul rasa mantap, kalau ada kepastian mengenai hukumnya :
Tertulis (kodifikasi);
Sederhana, dalam arti mudah dimengerti oleh siapa saja;
Konsisten dalam pelaksanaan/pemerapannya.
Timbulnya rasa aman, kalau :
a. Ada kepastian mengenai tanah yang dihaki:
1). Dari segi yuridis:
Status tanah;
Siapa yang punya (subjek);
Hak-hak pihak ketiga yang membebani;
Perbuatan hukum/peristiwa hukum yang menyangkut
penguasaan tanah.
2). Dari segi fisik :
letak, batas dan luas tanah
Kegiatan untuk memperoleh kepastian mengenai tanahnya yang meliputi
hal-hal ini dalam butir (a) itulah harus melalui penyelenggaraan
pendaftaran tanah.
b. Adanya perlindungan hukum untuk mencegah gangguan dari
penguasaan dan/atau sesama warga warga . Oleh sebab itu,
disediakan upaya-upaya hukum untuk menanggulangi ganguan-
gangguan ini melalui :
Gugatan perdata;
Bantuan aparat negara, dalam hal ini misalnya polisi
12
234
pamongpraja, petugas kamtib, dan sebagainya.
Tuntutan pidana.
12.2. Pengertian Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan–satuan rumah susun,
termasuk pemberiansertipikat sebagai tanda bukti haknya bagi bidang-
bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak milik atas Satuan Rumah
Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Sebelum UUPA berlaku, semua tanah hak barat sudah terdaftar,
misalnya hak Eigendom, Erfpacht, Opstal, dan Gebruik, yang
diselenggarakan menurut Overschrijvingsordinnantie Stb. 1834-27 dan
peraturan-peraturan kadaster lainnya.
Sedangkan tanah-tanah hak Indonesia, baru sebagian kecil saja
yang terdaftar, misalnya tanah hak milik adat yang disebut Agrarisch
Eigendom dan tanah-tanah milik di daerah-daerah Swapraja, seperti
Grant Sultan, Grant Controleur, dan sebagainya. Sebagian besar dari
tanah-tanah hak Indonesia ini belum terdaftar. Oleh sebab itu, sesudah
berlakunya UUPA, demi kepastian hukum, tanah-tanah ini harus
didaftarkan.
Ada beberapa istilah yang dipergunakan sehubungan dengan
masalah pencatatan tanah, yaitu :
12.2.1. Rechtskadaster
Pendaftaran Tanah yang diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin
kepastian hukum atau kepastian hak, disebut rechtskadaster. Dari
rechtskadaster dapat diketahui asal-usul tanah, jenis haknya, siapa yang
empunya, letak, luas dan batas-batasnya. Data-data ini dikumpulkan
dalam daftar-daftar yang sudah tersedia untuk disajikan bagi umum yang
berkepentingan.
Kegiatan rechtskadaster meliputi :
Pengukuran dan pemetaan ( tehnis kadaster);
Pembukuan hak ( kegiatan di bidang yuridis);
Pemberian tanda bukti hak.
12.2.2. Fiscaalkadadaster
Berbeda dengan rechtskadaster yang tujuannya untuk menjamin kepastian
hak, maka fiscaal kadaster ini bertujuan hanya untuk memungut pajak
tanah, walaupun disini juga dilakukan pendaftaran tanah.
235
Pendaftaran tanah
Sebelum UUPA, fiscaal kadaster dilakukan baik terhadap tanah
hak Indonesia maupun tanah hak Barat. Penyelenggaraan fiscaal kadaster
untuk keperluan pemungutan pajak hasil bumi ini (landrente) pada tanah-
tanah hak milik adat yang ada di desa-desa diberi tanda pelunasan yang
disebut petuk, pipil, girik tau ketitir, yang dalam istilah pajak sekarang
dinamakan kohir.
Adapun pendaftaran tanah untuk keperluan pemungutan pajak
atas tanah-tanah hak milik adat yang ada di kota-kota besar disebut
Verponding Indonesia (S. 1923/425 jo. S 1931/168).
Jadi singkatnya, tanda-tanda bukti yang dikeluarkan oleh kadaster
fiskal itu bukanlah sebagai tanda bukti hak tanah, melainkan hanya
sebagai tanda bukti pembayaran pajak.
Fiscaal kadaster yang ditujukan untuk tanah-tanah hak Barat
disebut Verponding Eropa, yang sejak tahun 1965 sudah tidak ada lagi.
sesudah UUPA, fiscaal kadaster tetap dikenal, yang sejak tahun
1970 disebut IPEDA, yang hanya tujuannya saja yang berbeda dimana
penarikan pajak tanah tidak lagi didasarkan pada status tanah melainkan
pemanfaatannya.
12.2.3. Sensus Tanah
Sensus tanah diselenggarakan bersamaan dengan pendaftaran tanah,
tetapi khusus hanya untuk mengumpulkan data tanah tertentu yang
kemudian disusun statistiknya untuk dipakai oleh Pemerintah dalam
rangka pembangunan. Penyelenggaraan sensus tanah ini biasanya satu
kali dalam lima tahun.
12.3. Peraturannya
Pasal 19 ayat (1) UUPA;
PP No. 24 tahun 1997 pengganti PP No. 10 tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah;
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3/1997.
PP No. 10 tahun 1961 ini merupakan peraturan pertama
menyelenggarakan pendaftaran tanah sebagaimana dikehendaki oleh
Pasal 19 UUPA. Disamping itu kita jumpai pula peraturan-peraturan
lainnya sebagai peraturan pelaksanaan pendaftaran tanah ini
melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria atau
Menteri Dalam Negeri (dulu) atau Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional (sekarang).
PP No. 10 tahun 1961 secara resmi mulai berlaku dan dilaksanakan
pada tanggal 21 September 1961 di pulau Jawa, Bali dan Madura;
sedangkan untuk daerah-daerah lainnya diberlakukan dan dilaksanakan
236
secara bertahap, sehingga sekarang di seluruh Indonesia (termasukTimor
Timur sejak tahun 1978). PP No. 10/1961 ini telah digantikan dengan PP
24/1997 sejak tanggal 8 Juli 1997.
12.4. Instansi Penyelenggara
Penyelenggara pendaftaran tanah dilakukan oleh Pemerintah dan bukan
oleh swasta. Dalam hal ini, secara operasional instansi penyelenggaranya
ialah : Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah, yang ada pada
setiap Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya. Seksi Pendaftaran
tanah ini melaksanakan kegiatannya di wilayah Kabupaten/
Kotamadya.
Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, untuk kelancaran pelaksanaan
tugas pendaftaran tanah, maka pada setiap Kotamadya ada Kantor
Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah. Dalam rangka menyelenggarakan
pendaftaran tanah, penting sekali untuk diketahui lokasi (Kelurahan/
Desa) dimana tanah itu berada.
12.5. Tujuan Pendaftaran Tanah
Kegiatan pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum
yang meliputi :
a. Kepastian hukum mengenai orang/badan yang menjadi pemegang
hak (subjek hak); kepastian mengenai lokasi, batas serta luas suatu
bidang tanah hak (objek hak); dan kepastian hukum mengenai
haknya.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah dapat menjamin kepastian hukum
jika memenuhi syarat:
a. Peta-peta kadastral dapat dipakai rekonstruksi di lapangan dan
digambarkan batas yang sah
b. menurut hak;
c. Daftar ukur membuktikan pemegang hak terdaftar di dalamnya
sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum;
d. Setiap hak dan peralihannya harus di daftar.
Fungsi Pendaftaran Tanah
a. Dalam rangka permohonan hak dan pembebanan Hak Tanggungan:
1) Sebagai syarat konstitutif lahirnya suatu hak/Hak Tanggungan;
2) Untuk keperluan pembuktian, sebab nama pemegang
hak/Hak Tanggungan akan dicatat pada buku tanah dan
sertipikat hak/Hak Tanggungan.
b. Dalam rangka jual beli tanah fungsi pendaftaran tanah yaitu :
237
Pendaftaran tanah
1) Untuk memperkuat pembuktian, sebab pemindahan hak
ini dicatat pada buku tanah dan sertipikat hak dan
dicantumkan siapa pemegang hanya sekarang;
2) Untuk memperluas pembuktian, sebab dengan pendaftaran,
jual belinya dapat diketahui oleh umum atau siapa saja yang
berkepentingan.
12.6. Penyelenggara Pendafataran Tanah
Pendaftaran Tanah diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Secara operasional instansi penyelenggaranya
ialah Kantor Pertanahan yang ada di setiap daerah Kabupaten/Kota.
Dalam melaksanakan tugas pendaftaran tanah BPN dibantu oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP 24/1997 dan
peraturan-peraturan lainnya.
12.7. Onjek Pendaftaran Tanah
Menurut ketentuan di dalam Pasal 9 PP No.24/1997, objek pendaftaran
tanah yaitu :
a. Bidang-bidang tanah yang telah dimiliki dengan Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
b. Tanah Hak Pengelolaan
c. Tanah Wakaf
d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
e. Hak Tanggungan
f. Tanah Negara
Batasan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap tanah negara yaitu
tidak dengan menerbitkan sertipikat, melainkan hanya sebatas pada membuat
catatan (membukukan) bidang tanah negara ke dalam Daftar Tanah.
12.8. Wilayah Tata Usaha Pendaftaran Tanah
Satuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah yaitu per- desa/kelurahan.
Khusus untuk satuan wilayah tata usaha bagi tanah Hak Guna Bangunan,
Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan dan Tanah Negara yaitu Kabupaten/
Kota.
12.9. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah dikenal asas sederhana,
aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka yang harus diterapkan dalam
kegiatan pendaftaran tanah yang meliputi:
Pendaftaran Tanah untuk pertama kali (initial registration)
Pemeliharaan data pendaftaran tanah
238
12.9.1. Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali
Pendaftaran tanah pertama kali yaitu kegiatan yang dilakukan ter hadap
tanah-tanah yang belum didaftarkan menurut ketentuan PP 10/1961 dan
PP 24/1997.
Pendaftaran Tanah untuk pertama kali dapat dilakukan melalui:
1) Pendaftaran Tanah Sistematik, yaitu pendaftaran tanah yang
dilakukan oleh pemerintah secara serentak meliputi wilayah satu
atau sebagian dari wilayah desa/kelurahan.
2) Pendaftaran Tanah Sporadik, yaitu pendaftaran tanah yang
dilakukan berdsarkan inisiatif pemilik tanah secara perorangan
atau secara bersama-sama (massal)
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
a. Pengumpulan dan Pengolahan Data Fisik:
1) pembuatan peta dasar pendaftaran
2) penetapan batas-batas bidang tanah
3) pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran
4) pembuatan daftar tanah
5) pembuatan surat ukur
b. Pembukuan hak dan Pembuktian hak (Penerbitan Sertipikat)
Pembukuan Hak
Tiap-tiap hak yang didaftar, dibuatkan Buku Tanah. Mengapa diperlukan
buku tanah ? sebab yang digunakan yaitu Grondboek Stelsel, yaitu
sistem untuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan segi yuridis. Buku
Tanah ini berupa isian yang memuat segala keterangan sejak lahirnya hak
sampai berakhirnya hak.
Hak-hak yang harus didaftar dan dibukukan yaitu hak-hak dalam
arti luas, yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang
kongkrit, yang meliputi:
Hak Primer
Hak atas Tanah Hak Sekunder
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
Jenis Hak Hak Wakaf
Hak Jaminan atas Tanah Hak Tanggungan
Dengan demikian setiap terjadinya perubahan mengenai hak, subjek,
maupun tanahnya wajib didaftarkan.
Ini berarti, bahwa data yang ada dalam Buku Tanah meliputi :
(1) Segi Fisik
letak tanah;
239
Pendaftaran tanah
batas-batas tanah;
luas tanah.
(2) Segi Yuridis
status tanahnya (= jenis haknya), misalnya status Hak Milik,
Hak Pakai, dsb.
subjeknya (siapa yang memiliki , status hukum pemegang
haknya : WNI, WNA, badan hukum Indonesia/asing, dsb);
Hak-hak pihak ketiga yang membebaninya;
Kalau terjadi peristiwa hukum atau perbuatan hukum, wajib
didaftarkan.
Dalam PP 10/1961 dan PP 24/1997 digunakan istilah “peralihan hak”
(genusnya) sedangkan speciesnya yaitu :
sebab hukum (peristiwa hukum); atau
sebab perbuatan hukum (pemindahan hak).
Pemberian tanda bukti hak
Pemberian tanda bukti hak sebagai kegiatan ketiga dari rechtskadaster ini
sebenarnya sudah tercakup dalam kegiatan kedua, yaitu pembukuan hak,
sehingga dengan demikian penyelenggaraan tanah sesungguhnya hanya
meliputi dua macam kegiatan pokok, yaitu pengukuran dan pemetaan
serta pembukuan hak.
Tanda bukti yang diberikan kepada pemegangnya yaitu :
Salinan Buku Tanah
Sertipikat Hak atas Tanah
Surat Ukur
Salinan Buku Tanah
Sertipikat Sementara
(Hak atas Tanah)
Gambar Situasi
Salinan Buku Tanah Hak
Sertipikat Tanggungan Hak Tanggungan
Akta Pemberian Hak
Tanggungan
Salinan Buku Tanah
Sertipikat Hak Milik Surat Ukur
atas Satuan Rumah Susun Gambar Denah
Satuan Rumah Susun
Sertipikat hak tanah terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur
JE
N
IS
S
ER
TI
PI
K
A
T
240
yang asli dijahit menjadi satu dan diberi sampul. Buku tanah yang asli
digunakan untuk arsip di kantor pertanahan seksi pendaftaran tanah,
sedangkan salinannya diberikan kepada pemegang haknya. Kalau terjadi
pencatatan pada buku tanah, maka pencatatan itu selalu dilakukan
bersama-sama baik yang ada pada arsip di kantor pendaftaran tanah
maupun yang ada pada salinan di tangan pemegang hak. Surat ukur
tidak bisa disalin atau difotokopi, sebab berwarna yang menunjukkan
kode tertentu.
Selain sertipikat hak tanah yang sudah lengkap, kita jumpai pula
sertipikat sementara yang belum lengkap sebab belum dibuatkan surat
ukurnya. Dalam sertipikat hak tanah dapat dibuktikan secara yuridis dan
fisik hak atas tanah, sedangkan sertipikat sementara hanya segi yuridisnya
saja. Namun demikian, kedua-duanya yaitu tanda bukti hak, hanya
saja sertipikat sementara belum dilengkapi dengan surat ukur. Sejak
berlakunya PP 24/1997, fungsi sertipikat sementara sebagai tanda bukti
hak (vide PP 10/1961 Pasal 17 ayat 1) sudah tidak berlaku dengan adanya
ketentuan Pasal 22 PP 24/1997 sudah tidak ada lagi Gambar Situasi, sebab
tanah yang didaftar akan langsung dibuatkan Surat Ukur yang merupakan
dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta
dan uraian yang diambil datanya dari peta pendaftaran.
Adapun bagi sertipikat hak tanggungan, nomornya menurut urutan
yang dibuat oleh Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah setempat,
misalnya yang ada pada Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah
Jakarta Pusat : Hak Tanggungan No. 5/Jakpus.
Selain apa yang telah diuraikan ini di atas, Kantor Pertanahan
juga mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan
Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dibuat untuk mengecek apakah suatu
tanah sudah didaftarkan atau belum. Tetapi harus diingat bahwa SKPT/
SKT bukanlah tanda bukti hak melainkan semata-mata hanya keterangan
tertulis yang dapat dipercaya kebenarannya.
12.9.1 Pemeliharaan data pendaftaran tanah
Sebagaimana sudah dijelaskan pada “pembukuan tanah” di atas, bahwa
setiap perubahan mengenai hak, subjek, dan tanahnya, harus didaftarkan
dan kemudian dicatat dalam Buku Tanah, yang aslinya merupakan arsip
dan disimpan di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah sedangkan
salinannya dipegang oleh pemegang hak itu sendiri.
a. Perubahan mengenai haknya, misalnya semula hak atas tanah
yaitu HGB kemudian dibebani Hak Tanggungan. Dalam buku
tanah akan terlihat bahwa hak atas tanah yang sebelumnya hanya
satu lapis, kini menjadi dua penguasaan (dua lapis) yaitu HGB
ditambah dengan Hak Tanggungan. Kalau disewakan lagi kepada
241
Pendaftaran tanah
orang lain, maka hak penguasaannya bertambah menjadi tiga
lapis. Perubahan-perubahan itu semuanya harus didaftarkan dan
dibukukan.
b. Perubahan mengenai subjeknya, biasa terjadi sebab perbuatan
hukum pemindahan hak dari satu subjek yang satu kepada
subjek yang lain, misalnya melalui jual beli, tukar menukar, dan
sebagainya. Bisa pula terjadi sebab suatu peristiwa hukum melalui
pewarisan tanpa surat wasiat. Perubahan-perubahan ini juga harus
dicatat dalam buku tanah yang sama (tidak perlu dibuatkan buku
tanah baru).
c. Perubahan mengenai tanahnya, ini biasanya terjadi sebab ada
pemisahan tanah, misalnya dari 1000m2 menjadi 500 m2, atau
sebab penggabungan tanah, seperti dari 250 m2 menjadi 500 m2.
Perubahan semacam ini dapat mengakibatkan pembuatan buku
tanah yang baru, sertpikat bahkan surat ukur yang baru.
Adapun pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut PP No. 24/1997
yaitu meliputi :
a. Pendaftaran Peralihan Hak : meliputi peralihan hak selain lelang
misalnya jual beli, tukar-menukar, inbreng, hibah. Selain itu harus
didaftarkan peralihan hak melalui lelang, pewarisan, sebab
penggabungan, peleburan perseroan terbatas atau koperasi.
b. Pendaftaran atas Pembebanan Hak : meliputi pembebanan
tanah Hak Milik dengan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai serta
pembebanan Hak Tanggungan.
c. Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran lainnya, meliputi :
1) perpanjangan jangka waktu hak
2) pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah
3) pembagian hak bersama
4) hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun
5) peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan
6) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan
7) perubahan nama pemegang hak
12.10. Kekuatan Pembuktian Sertifikat
Fungsi sertipikat hak tanah yaitu sebagai tanda bukti hak, yang diatur
dalam ketentuan UUPA yaitu:
Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa “Sertipikat hak atas tanah yaitu
alat pembuktian yang kuat”;
Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA
Berkaitan dengan kekuatan pembuktian sertipikat hak atas tanah yang
242
kuat meliputi hal-hal :
1). Sistem Pendaftaran Tanah:
Registration of deeds (Sistem Pendaftaran Akta atau Perbuatan
hukum)
Registration of titles (Sistem Pendaftaran Hak atau hubungan
hukum)
2. Sistem Pengumpulan Data (Sistem Publikasi):
Sistem Negatif (murni)
Sistem Positif
Sistem pendaftaran tanah yang negatif berlaku di negara-negara
Eropa Kontinental, seperti Belanda dan di Indonesia sebelum berlakunya
UUPA, yaitu berdasarkan Overschrijvingsordonantie S. 1834/27. Adapun
cara pengumpulan data pada sistem ini ialah pendaftaran “deeds” atau
perbuatan hukumnya.
Sedangkan sistem pendaftaran tanah yang positif, kita jumpai di
negara-negara Anglo saxon, yakni Inggris dan negeri-negeri jajahannya.
Cara pengumpulan data pada sistem positif ialah pendaftaran “title” atau
hubungan hukum yang kongkrit, yaitu haknya.
Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
SISTEM NEGATIF
Pejabat pelaksana bersikap pasif
dan yang dicari yaitu kebenaran
formil:
a. Instansi penyelenggara cukup
menerima keterangan hak yang
didaftar sebagaimana adanya,
tanpa penelitian secara menda-
lam.
b. Bilamana terjadi kesalahan da-
lam pencatatan, berdasarkan pu-
tusan hakim dapat diperbaiki oleh
petugas penyelenggara pendaf-
taran tanah. Dengan demikian
orang yang berhak tetap terlind-
ung. (Kelebihan/kebaikan)
Dilihat dari proses pembuatan tanda bukti hak :
SISTEM POSITIF
Pejabat pelaksana bersikap aktif
dan yang dicari yaitu kebenaran
materil:
a. Instansi penyelenggara tidak
cuma menerima begitu saja ket-
erangan tentang hak maupun
status tanah yang didaftar, tetapi
akan menelitinya satu persatu se-
cara cermat dan mendalam.
b. Seandainya terjadi kekeliruan,
walaupun ada keputusan hakim,
keterangan dalam tanda bukti hak
tetap tidak dapat diubah. Pihak
yang dirugikan akan memperoleh
ganti rugi dari Pemerintah sejum-
lah harga tanah yang diambil dari
premi asuransi tanah ini ka-
rena Pemerintah yang bertang-
243
Pendaftaran tanah
1). Sebelum UUPA :
Pendaftaran tanah hak Barat merupakan “registration of deeds” (yang
didaftarkan yaitu perbuatan hukumnya)
Sistem yang dipakai :
- Sistem negatif (S. 1834-27)
- Praktek pelaksanaannya sangat teliti.
2). Sesudah UUPA (PP 10/1961 yang kemudian diganti dengan PP
24/1997)
- Sistem negatif dengan tendens positif
- Unsur positifnya diatur dalam Pasal 18 PP 10/1961 dan kemudian
di dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997.
Jadi, baik sebelum maupun sesudah UUPA, di Indonesia tetap
memakai sistem negatif. Mengapa sampai sekarang kita masih
memakai sistem yang negatif itu ? Dasar pertimbangannya yaitu
sebab sistem ini sudah lama dikenal jauh sebelum berlakunya
UUPA, khususnya pendaftaran tanah-tanah hak Barat yang dilaksanakan
berdasarkan peraturan Overschrijvingsordonantie S. 1834/27. Sistem
yang dipergunakan pada waktu itu yaitu Overschrijvings Ambtenaar
(pejabat pendaftaran tanah) yang juga merangkap sebagai Hakim
SISTEM NEGATIF
Dilihat dari kekurangan pembuktian tanda bukti hak yang dihasilkan
SISTEM POSITIF
Hanya memberi perlindungan
terhadap pemegang haknya saja
(yang berhak) :
a. Berlaku asas “nemo plus juris”
bahwa orang yang tidak dapat ber-
tindak melebihi kewenangan yang
ada padanya, siapa yang namanya
tercantum dalam tanda bukti hak
ini maka dialah pemegang
haknya.
b. Orang lain boleh percaya, boleh
tidak perca ya atas keterangan
yang ada.
gung jawab atas kesalahan petu-
gasnya. Dengan demikian orang
yang tadinya berhak bisa menjadi
tidak berhak. (Kekurangan)
Memberi perlindungan yang
mutlak, baik terhadap pemegang
haknya maupun terhadap pihak
ketiga, sebab keterangan yang
tercantum dalam tanda bukti hak
tidak dapat diubah.
Hasil pendaftaran ini memberikan
alat pembuktian yang mutlak si-
fatnya dan tidak dapat diganggu
gugat.
244
Komisaris pada Raad van Justitie. Sesuai dengan profesinya sebagai
seorang Hakim Komisaris, tentu saja ia sudah terbiasa bekerja dengan
sangat teliti dan berhati-hati dalam memeriksa keterangan-keterangan
tertulis untuk mencari kebenaran materil seperti pada sistem positif jika
sedang melaksanakan fungsinya sebagai Overschrijvings Ambtenaar.
Oleh sebab itu, sistem ini dikatakan “negatif tidak murni”. Namun
demikian, juga tidak mutlak seperti sistem positif, sebab jika ada
kesalahan sama sekali tidak dapat diubah (ternyata sejak 1