hukum pertanahan belanda 8


 ALA BPN RI

(HGU)

HAK GUNA 

BANGUNAN

(HGB)

HAK PAKAI 

(HP)

tusan mengenai pemberian 

Hak Guna Usaha atas tanah 

yang luasnya tidak lebih dari 

1.000.000 M² (satu juta meter 

persegi

Perorangan  : lebih dari 1.000 

M2 dan tidak lebih dari 5.000 

M² 

Badan hukum : lebih dari 

5.000 M2  dan tidak lebih dari 

75.000 M²  

Perorangan atas tanah perta-

nian : lebih dari 20.000 M² 

Badan hukum atas tanah per-

tanian  : lebih dari 20.000 M² 

Perorangan atas tanah non 

pertanian : lebih dari 2.000 M² 

dan tidak lebih dari 5.000 M2 

Badan hukum atas tanah non 

pertanian: lebih dari 2.000 M²  

dan tidak lebih dari 25.000 M²

Hak Pengelolaan dan hak atas tanah yang tidak 

dilimpahkan kewenangannnya kepada kepala 

kantor Pertanahan dan Kepala Kanwil BPN

KEWENANGAN HAK ATAS 

TANAH

JENIS/LUAS

Yang dimaksud dengan pemindahan hak yaitu  perbuatan hukum untuk 

memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain.

Tanah-tanah hak yang dapat dipindahkan yaitu :

a.  Hak Milik;

b.  Hak Guna Usaha;

c.  Hak Guna Bangunan;

d.  Hak Pakai atas tanah negara (= Hak Pakai yang primer).

11.4.1. Bentuk-bentuk Pemindahan Hak :

(1)  Jual Beli 

   Pemindahan hak terjadi pada saat itu juga secara langsung dari 

penjual kepada pembeli. Bersifat tunai yaitu pemindahan hak 

atas tamah dan pembayarannya secara serentak terjadi bersamaan 

sebagaimana konsepsi Hukum Adat. 

214


(2)  Tukar Menukar

   Hak atas tanah tertentu ditukar dengan hak atas tanah lain yang 

sejenis.

(3)  Hibah

   Pemindahan hak terjadi seketika dan langsung sebagai penyisihan 

sebagian dari harta kekayaan seseorang yang diberikan secara cuma-

cuma semasa ia hidup kepada orang yang biasanya memiliki  

hubungan kekerabatan.

(4)  Hibah Wasiat

   Pemindahan hak terjadi secara langsung menurut kehendak 

terakhir dari si pemberi wasiat, tetapi dengan syarat sesudah ia 

mati baru terjadi pemindahan haknya. Itupun tidak sedemikian 

mudah, dan masih diperlukan perbuatan hukum yang lain dimana 

pelaksanaannya harus melalui pelaksanaan wasiat kepada si 

penerima hibah wasiat ini .

Dalam hal pemindahan hak ini  di atas, syarat-syarat subjek hak pun 

harus dipenuhi. Jika subjek selaku calon penerima hak tidak memenuhi 

syarat-syarat subjek hak atas tanah yang akan dipindahkan kepadanya 

sebagaimana ditentukan dalam UUPA, tentu saja akan batal demi hukum 

dan tanahnya akan menjadi Tanah Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-

hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta khusus untuk 

pemindahan hak dengan jual beli maka pembayaran yang telah diterima 

oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali  (pasal 26 ayat 2 UUPA).

Khusus untuk jual beli atas tanah pertanian harus memenuhi syarat:

-  Syarat umum : WNI Tunggal;

-  Syarat khusus :

-  Luasnya tidak melebihi batas maksimum;

-  Letak tanahnya harus di kecamatan tempat tinggal calon 

pemiliknya.

JUAL BELI TANAH 

Pemahaman secara yuridis mengenai jual beli tanah dibedakan antara 

pengertian jual beli tanah sebelum berlakunya UUPA dan sesudah 

berlakunya UUPA.

A.  SEBELUM UUPA

(1)  Jual Beli Tanah menurut Hukum Barat

 Jual beli tanah menurut Hukum Barat, khusus bagi tanah-tanah 

hak Barat, berlaku ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata buku 

III:

-  Pasal 1457:

215

Penyediaan tanah untuk pembangunan

 Jual beli merupakan perjanjian antara para pihak untuk memenuhi 

prestasi yang diperjanjikan.

-  Pasal 1458:

 Jual beli terjadi sejak ada kata sepakat.

-  Pasal 1459 jo. Stbl. 1834-27:

 Jual beli harus diikuti dengan perbuatan hukum pemindahan hak 

(levering juridische) dari penjual kepada pembeli, yang menurut 

istilah umum dikatakan “balik nama” di kantor kadaster.

Secara skematis dapat diuraikan sebagai berikut:

Kesimpulan:

Jual beli tanah (khususnya bagi tanah-tanah hak Barat) sebelum 

berlakunya UUPA, menurut ketentuan KUH Perdata tidak cukup hanya 

dengan adanya perjanjian jual beli itu saja (obligatoire overeenkomst). 

Tetapi harus pula diikuti dengan penyerahan secara yuridis atau levering 

yuridis (zakelijke overeenkomst).

                                       HAK BARAT 

                                Sebelum: 24-9-1960 

 

 

        PERJANJIAN JUAL BELI                       LEVERING YURIDIS 

 

KUH Perdata Buku III :                              Perbuatan hukum 

- Pasal 1457 (obligator)                               pemindahan hak  

- Pasal 1458 (konsensual) 

- Pasal 1459                                            pasal 1 Stb. 1834-27 

                                                                 Overschrijvings-Ord. 

Bentuknya 

 - Bebas (pasal 1338)                                                                            s/d PD II sebelum 1947: 

- Biasanya dihadapan                                                                          Hakim Komisaris P. Rvj.                                                       

(dengan akta otentik)       Overschrijvings Ambtenaar 

                                   (Pejabat Balik Nama)  

                                                                                               Sejak 1947 : Kepala K.P.T 

 

Dibuatkan 

Akta Pemindahan Hak/Akta  

Balik Nama (Akta Eigendom) 

Sekaligus Pendaftaran  

Jual Belinya  

 

216


Dan levering yuridis ini meliputi:

 Perbuatan   hukum    pemindahan   hak,    dibuktikan   dengan    akta 

eigendom /gerechtelijke acte atau “akta balik nama”;

 Pendaftaran jual beli tanah yang bersangkutan yaitu pendaftaran 

perbuatan  hukumnya (registration of deeds).

Akta eigendom/gerechtelijke acte ini  di atas yaitu  bukti bahwa 

perbuatan hukum itu telah didaftarkan, yang aslinya disebut “minit” 

disimpan sebagai arsip pada Kantor Kadaster, sedangkan salinannya yang 

disebut “grosse” diberikan kepada pemegang haknya. (Pasal 224 HIR)

(2)  Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Jual beli tanah menurut Hukum Tanah Adat (jual lepas) yaitu  bersifat 

“tunai”, artinya pemindahan  hak atas tanah dari penjual kepada pemilik 

terjadi serentak dan secara bersamaan dengan pembayaran harga dari 

pembeli kepada penjual.

Selain bersifat “tunai”, juga harus “terang” yang artinya harus 

dilakukan dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa.

Sebagai bukti telah terjadi jual beli dan selesai pemindahan hak 

ini , dibuatlah “Surat Jual Beli Tanah” yang ditandatangani oleh 

pihak penjual dan pihak pembeli dengan disaksikan oleh Kepala Desa. 

Fungsinya yaitu  untuk:

1).  Menjamin kebenaran tentang :

-  status tanahnya;

-  pemegang haknya;

-  keabsahan bahwa telah dilaksanakan dengan hukum yang berlaku 

(“terang”).

2). Mewakili warga desa (unsur publisitas).

B.  SESUDAH UUPA (sesudah  24 SEPTEMBER 1960)

JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM TANAH POSITIF

(1)  Konsepsi

 Berbeda dengan pengertian jual beli tanah menurut Hukum Barat, 

jual beli tanah menurut Hukum Tanah Positif kita sekarang yaitu  

pemindahan hak atas tanah untuk selama-lamanya, yang dalam 

Hukum Adat dinamakan “jual lepas” dan bersifat “tunai”. Artinya, 

begitu terjadi jual beli, begitu pula pada saat bersamaan terjadilah 

pemindahan hak atas tanah dan pembayaran harga, sehingga 

sejak saat itu putus hubungan antara pemilik yang lama dengan 

tanahnya untuk selama-lamanya.

 Pemindahan hak ini berarti pemindahan penguasaan secara 

217

Penyediaan tanah untuk pembangunan

yuridis dan secara fisik sekaligus. Namun demikian, ada kalanya 

pemindahan hak ini  barus secara yuridis saja sebab  secara 

fisik tanah masih ada dibawah penguasaan orang lain (hubungan 

sewa yang belum berakhir jangka waktunya, dsb), sehingga 

penyerahan secara fisik akan menyusul kemudian.

 Pembayaran harga oleh pihak pembeli kepada penjual (yang 

dikatakan “tunai”), ada 2 kemungkinan :

 Dibayar seluruhnya pada saat terjadi jual beli; atau

 Baru dibayar sebagian (belum lunas semua).

 Pembayaran sebagian ini   biasanya sebab  tanah yang 

bersangkutan secara fisik masih dikuasai oleh pihak ketiga dan 

belum diserahkan kepada pihak pembeli.

 Walaupun demikian, jual beli dinyatakan telah selesai dan sah 

jika  sudah memenuhi :

 Penyerahan secara yuridis;

 Telah dibayar sebagian.

 Ini berarti, penyerahan fisik tanah dan pembayaran sisa harga 

dapat disusul kemudian. Jadi, kalau harga yang tersisa ternyata 

kelak tidak dilunasi oleh pihak  pembeli, maka masalah ini yaitu  

masalah utang piutang, dan termasuk dalam Hukum Perutangan; 

-- tidak dapat dituntut atas dasar jual beli tanah, sebab  jual beli 

(pemindahan hak atas tanah) dinyatakan telah selesai.

(2)  Tata Cara Jual Beli

 Menurut hukum positif kita sekarang, jual beli harus dilakukan di 

hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan hanya jual beli 

dengan akta yang dibuat oleh PPAT saja yang dapat dipakai untuk 

pendaftaran di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah (pasal 

19 PP Nomor 10/1961 jo PP No. 24/1997).

 Ini berarti bahwa jual beli dihadapan PPAT dan pendaftaran di 

Kantor Pertanahan merupakan suatu sistem yang sudah menjadi 

ketentuan yang harus ditaati.

 Siapakah PPAT ?

 Pejabat Pembuat  Akta Tanah (PPAT) diatur oleh PMA no. 10/1961 

dan PMA no. 11/1961jo PP No. 37/1998 tentang Peraturan Jabatan 

Pejabat Pembuat Akta Tanah 

 Yang harus dibuatkan Akta PPAT (pasal 37 PP No. 24/1997) :

 Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun 

melalui jual beli, tukar menukar, pemasukan dalam perusahaan dan 

perbuatan hukum lain kecuali pemindahan hak melalui lelang.

 Adapun mengenai skema mengenai prosedur pendaftaran jual beli 

tanah secara singkat dapat dilihat pada skema berikut ini:

218


 

                   Jual Beli Tanah 

              Penjual                                                    Pembeli 

 

 

Dibuat oleh PPAT                    Akta Jual Beli                        Pendaftaran 

                    dan berkas-berkas                     Jual Beli Tanah 

Hadir :                                                 

- Penjual wakil) 

- Pembeli (wakil)                                                              Kantor Pertanahan  

- Saksi-saksi.                                                               Seksi Pendaftaran Tanah 

 

 

                                                                Tanah hak yang                        Tanah hak yang 

                                                              sudah bersertipikat                  belum bersertipikat 

 

                                                               Mencatat jual beli                      Dibuat dulu: 

                                                               pada :                                       - Buku Tanah 

                                                               - Buku Tanah                           - Sertipikat Hak Tanah 

                                                           - Sertipikat Hak Tanah                atas nama penjual 

                                                             atas nama pembeli 

                                                                                                               Kemudian mencatat 

                                                                                                               Jual beli tsb pada: 

                                                                                                               - Buku Tanah 

                                                                                                               -Sertipikat Hak Tanah 

                                                                                                                    atas nama pembeli 

Bagi tanah bekas Hak Milik Adat  yang belum bersertipikat, kalau 

dalam Buku Tanah dan sertipikatnya langsung diatas-namakan Pembeli, 

dianggap tidak sah !  Jadi harus atas nama Penjual dulu.

Untuk membuat Akta Jual Beli  ini , terlebih dahulu penjual 

harus menyerahkan surat-surat tanahnya kepada PPAT untuk diteliti dan 

dicek kebenarannya yang berkenaan dengan masalah status tanah, subjek 

hak, luas, letak, batas-batas, dan sebagainya.

Bagaimana jika diatas tanah ini  ada  bangunan rumah atau 

tanaman keras ?

Hal ini tergantung pada maksudnya. Kalau objek yang dimaksud 

219

Penyediaan tanah untuk pembangunan

untuk dijual yaitu  tanah berikut bangunan rumah/tanaman keras 

yang berada di atasnya, maka dalam Akta Jual Beli dengan tegas harus 

disebutkan semua secara terperinci. Begitu juga sebaliknya, kalau yang 

menjadi objek penjualan itu hanya tanah, maka dalam Akta Jual Beli yang 

dibuat PPAT itu harus dijelaskan, bahwa jual beli ini  tidak termasuk 

bangunan rumah dan tanaman-tanaman keras yang melekat diatasnya. Ini 

sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang bersumber pada Hukum 

Adat.

Selain itu jika  ada sisa harga yang belum dibayar atau 

penyerahan fisik tanah belum dilakukan, juga harus disebutkan secara 

tegas dalam Akta Jual Beli ini .

Penjual atau wakilnya dan pembeli atau wakilnya harus hadir di 

depan PPAT untuk menandatangani Akta Jual Beli dengan disaksikan 

oleh sekurang-kurangnya  2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat 

untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu (pasal 38 PP 

24/1997).

Baik penjual (wakil), pembeli (wakil) maupun saksi-saksi dan PPAT, 

semuanya harus menandatangani Akta ini . Kemudian, Akta ini 

berikut berkas-berkasnya dibawa ke Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran 

Tanah untuk dilakukan pendaftaran.

PPAT bersifat tertutup, sebab  memang ia harus menyimpan 

rahasia. Maka dari itu, dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT, 

orang yang tahu tentang adanya jual beli ini  terbatas.  Lain halnya 

jika sudah didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka dari pendaftaran 

itu selain memperkuat pembuktian sebab  perbuatan hukum itu 

dicatat dalam Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanah, juga memperluas 

pembuktian sebab  setiap orang atau siapa saja yang berkepentingan dan 

memerlukan keterangan tentang tanah ini  dapat mengeceknya pada 

Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah dimana data-data tentang 

tanah ini  disimpan dan sewaktu-waktu terbuka untuk umum.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tidaklah benar 

bilamana ada yang mengatakan pendaftaran tanah itu “balik nama”, 

sebab Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT sudah terjadi jual beli dalam 

arti levering yuridis !.  Jadi, pendaftaran jual beli pada Kantor Pertanahan 

bukan untuk sahnya jual beli tetapi berfungsi untuk meperkuat 

pembuktian dan memperluas pembuktian.

Tata cara jual beli tanah menurut hukum positif sebenarnya yaitu  

sama dengan tata cara jual beli tanah yang berlaku menurut Hukum Adat 

yang dikenal dengan istilah “jual lepas” dan “terang” sifatnya.

Sekilas periodisasi tentang tata cara jual beli tanah hak milik 

sebelum UUPA dan tata cara jual beli tanah umumnya sesudah UUPA, 

dapat dilukiskan sebagai berikut:

                            

220


      UUPA        PP 10/1961         PP 24/1997 (penyempurnaan)  

Jual beli tanah   24/9/60        24/9/61                 8/10/97           Jual beli tanah

hak milik adat                                                                          menurut hukum  

        Tanah positif

                                           ?

Tata caranya :                                                                                                       

Norma-norma hukum 

tanah adat                                                                                                             

Keterangan:

Sebelum UUPA, tata cara jual beli tanah hak milik adat dilakukan menurut 

norma-norma Hukum Tanah Adat. Sesudah UUPA, tata cara jual beli 

tanah dalam hukum positif kita bersumber pada Hukum Tanah Adat:

 Antara 24-9-1960  sampai  dengan  24-9-1961, UUPA  belum 

memiliki     peraturan pelaksanaan tentang tata cara jual beli 

tanah sehingga untuk sementara periode ini  masih digunakan 

tata cara menurut norma-norma Hukum Tanah Adat sebagai 

“pelengkap”.

 Kemudian  sesudah   24-9-1961  dengan  berlakunya  PP 10/1961 

sebagai  peraturan pelaksana UUPA tentang tata cara jual beli 

tanah. 

 PP nomor 10 tahun 1961 diganti dengan PP nomor 24 tahun 1997 

yang mulai    berlaku tanggal 8 Oktober 1997.

Jadi sebagaimana yang disebutkan pada butir (a) dan (b) sesuai 

dengan ketentuan pasal 19 dan 22 dari PP 10/1961 yang kemudian diubah 

dengan ketentuan pasal 37 ayat 1 PP nomor 24 tahun 1997 bahwa jual 

beli tanah selain harus dilakukan dihadapan PPAT dan dibuatkan Akta 

Jual Beli, juga harus diikuti dengan pendaftaran jual belinya pada Kantor 

Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah. 

Dengan demikian, terhitung mulai tanggal 24 September 1961, 

tata cara jual beli tanah menurut norma-norma Hukum Tanah Adat tidak 

berlaku lagi.

(3) Sahnya jual beli tanah

Ditegaskan oleh KEPUTUSAN MAKAMAH AGUNG NO. 123/K/SIP/1970 

bahwa :

“Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 berlaku khusus 

bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim menilai sah atau 

tidaknya suatu perbuatan hukum materiil yang merupakan jual beli 

(materiele handeling van verkoop) tidak hanya terikat pada Pasal 19 

 

 

221

Penyediaan tanah untuk pembangunan

ini ”

Kesimpulan: sahnya jual beli ditentukan oleh syarat materil dari 

perbuatan jual beli yang bersangkutan,  b u k a n  oleh pasal 19 PP 10/1961 

(sekarang PP no. 24 tahun 1997).

Sedangkan yang merupakan syarat materil ialah:

 Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan;

 Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan;

 Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan menurut 

hukum;

 Tanah hak yang bersangkutan tidak dalam sengketa.

Keputusan MA ini  yaitu  dalam suatu kasus hibah tanah di Bali 

pada tahun 1964 yang dilakukan di depan Bandesa (yaitu Wakil Kepala 

Desa), berupa penegasan dan penjelasan tentang hubungannya dalam 

rangka pelaksanaan jual beli tanah menurut Hukum Tanah Positif kita:

1) Dalam  Hukum  Adat   tindakan   yang  menyebabkan   pemindahan 

hak   bersifat  “kontan”. Sedangkan pendaftaran, sesuai dengan 

UUPA dan peraturan pelaksanaan bersifat administratif belaka”.

2) “... Pasal  19  Peraturan  Pemerintah  No.  10  Tahun  1961   berlaku 

khusus     bagi pemindahan hak pada kadaster, sedangkan hakim 

menilai sah atau tidak sahnya suatu perbuatan materiil yang 

merupakan jual beli (materiele handeling van verkoop) tidak hanya 

terikat pada pasal 19 ini ”. Intinya :

 Jual beli atau pemindahan hak bersifat tunai;

 Jual  beli  didepan  PPAT  bukan  merupakan  syarat sahnya 

jual beli, melainkan ditentukan oleh syarat materiil dari jual 

beli;

 Perbuatan jual  beli  dilakukan di hadapan PPAT hanya 

syarat untuk pendaftaran  jual beli  di Kantor Pertanahan 

Seksi Pendaftaran Tanah.

11.5. Pelepasan Hak atas Tanah

11.5.1. Peraturan

-  Pasal 27, 34, 40 UUPA

-  UU No. 2/2011 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk 

Kepentingan Umum     

11.5.2. Pengertian

Pelepasan hak atas tanah yaitu  suatu perbuatan hukum berupa 

melepaskan hubungan hukum yang semula ada  antara pemegang 

hak dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat 

dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga 

222


tanah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah negara.

11.5.3. Bilamana Dilakukan

Pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subjek yang memerlukan 

tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah 

yang diperlukan sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan 

pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya.

Acara pelepasan hak wajib dilakukan dengan surat pernyataan 

pelepasan hak yang ditanda tangani oleh pemegang hak diketahui pejabat 

yang berwenang. Pada dasarnya pelepasan hak ini  dilakukan oleh 

pemegang hak atas tanah dengan suka rela. sesudah  proses pelepasan hak 

telah selesai dilaksanakan, tanah yang bersangkutan berubah statusnya 

menjadi tanah Negara dan selanjutnya dilakukan permohonan hak. 

11.5.4. Tata Cata Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan 

Untuk Kepentingan  Umum

11.5.4.1. Pokok-Pokok Pengadaan Tanah dan Penyelenggaraan 

Pengadaan tanah 

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum 

dilaksanakan berdasarkan UU no. 2/2012 . Pengadaan tanah untuk 

kepentingan umum menurut UU No. 2/2011 yaitu  kegiatan menyediakan 

tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada 

pihak yang berhak. Pihak yang Berhak yaitu  pihak yang menguasai atau 

memiliki objek pengadaan tanah.

Pelepasan Hak menurut UU No. 2/2011 yaitu  kegiatan pemutusan 

hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui 

Lembaga Pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional. Pemegang hak 

atas tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan 

tanah untuk kepentingan umum sesudah  pemberian ganti kerugian atau 

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan 

hukum tetap. 

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan 

berdasarkan asas  kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, 

keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, 

dan keselarasan. 

Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu  kepentingan 

bangsa, negara, dan warga  yang harus diwujudkan oleh pemerintah 

dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan hanya 

dapat digunakan untuk pembangunan:

1) pertahanan dan keamanan nasional; 

2) jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta 

api, dan fasilitas operasi kereta api; 

223

Penyediaan tanah untuk pembangunan

3) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran 

pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; 

4) pelabuhan, bandar udara, dan terminal; 

5) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; 

6) pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga 

listrik; 

7) jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; 

8) tempat pembuangan dan pengolahan sampah; 

9) rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; 

10) fasilitas keselamatan umum; 

11) tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; 

12) fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; 

13) cagar alam dan cagar budaya; 

14) kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; 

15) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi 

tanah, serta perumahan untuk warga  berpenghasilan rendah 

dengan status sewa; 

16) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah 

Daerah; 

17) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan 

18) pasar umum dan lapangan parkir umum. 

Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan 

oleh Pemerintah baik Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan tanahnya 

selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah. 

Dalam hal Instansi yang memerlukan pengadaan tanah untuk 

kepentingan umum yaitu  Badan Usaha Milik Negara, tanahnya menjadi 

milik Badan Usaha Milik Negara. 

Pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud 

huruf b sampai dengan huruf r  ini  diatas wajib diselenggarakan 

Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, 

Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta. 

Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersumber 

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau 

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hal Instansi 

yang memerlukan tanah yaitu  Badan Hukum Milik Negara/Badan 

Usaha Milik Negara yang mendapatkan penugasan khusus, pendanaan 

bersumber dari internal perusahaan atau sumber lain sesuai dengan 

ketentuan peraturan perundang-undangan. 

11.5.4.2. Tahapan Pengadaan Tanah

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui 

224


tahapan: 

1) perencanaan; 

2) persiapan; 

3) pelaksanaan; dan 

4) penyerahan hasil.  

Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum 

didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan 

yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana 

Strategis, Rencana Kerja Pemerintah instansi yang bersangkutan. 

Persiapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan 

oleh instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi 

dengan melaksanakan: 

1) Pemberitahuan rencana pembangunan; 

 Pemberitahuan rencana pembangunan disampaikan kepada 

warga  pada rencana lokasi pembangunan untuk kepentingan 

umum baik langsung maupun tidak langsung

2) Pendataan awal lokasi rencana pembangunan;

 Pendataan awal lokasi rencana pembangunan meliputi kegiatan 

pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan 

tanah dan dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) 

hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Data 

ini  digunakan untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana 

pembangunan 

3) Konsultasi Publik rencana pembangunan. 

 Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk 

mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari 

pihak yang berhak. Konsultasi publik ini  dilakukan dengan 

melibatkan pihak yang berhak  atau kuasanya dan warga  

yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana 

pembangunan kepentingan umum atau di tempat yang disepakati. 

Kesepakatan yang dihasilkan dituangkan dalam bentuk berita acara 

kesepakatan. Atas dasar kesepakatan, instansi yang memerlukan 

tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. 

Gubernur menetapkan lokasi dalam waktu paling lama 14 (empat 

belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan 

penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah.

Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan dalam 

waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja. jika  sampai dengan 

jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja pelaksanaan ada  pihak 

yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan, dilaksanakan 

Konsultasi Publik ulang dengan pihak yang keberatan paling lama 30 

225

Penyediaan tanah untuk pembangunan

(tiga puluh) hari kerja. 

jika  dalam Konsultasi Publik ulang masih ada  pihak 

yang kebe ratan mengenai rencana lokasi pembangunan, Instansi 

yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada 

gubernur setempat. Gubernur membentuk tim untuk melakukan 

kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan.Hasil kajian tim 

berupa rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan rencana lokasi 

pembangunan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja 

terhitung sejak diterimanya permohonan oleh gubernur. Gubernur 

berdasarkan rekomendasi mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya 

keberatan atas rencana lokasi pembangunan. 

Dalam hal sesudah  penetapan lokasi pembangunan masih 

ada  keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi dapat 

mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling 

lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi.

Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima atau ditolaknya 

gugat an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 

30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gugatan. Pihak yang keberatan 

ter hadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam waktu paling lama 

14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah 

Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan 

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan 

kasasi diterima. Putusan pengadilan yang telah memiliki  kekuatan 

hukum tetap menjadi dasar diteruskan atau tidaknya pengadaan tanah 

bagi pembangunan untuk kepentingan umum. 

Penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum diberikan 

dalam waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) 

tahun. Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi pembangunan untuk 

kepentingan umum penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan 

umum dilaksanakan proses ulang terhadap sisa tanah yang belum selesai 

pengadaannya. 

Gubernur bersama Instansi yang memerlukan tanah mengumumkan 

pe netapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Pengumuman 

dimaksudkan untuk pemberitahuan kepada warga  bahwa di lokasi 

ini  akan dilaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. 

sesudah  penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, Pihak 

yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi 

yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Beralihnya hak 

dilakukan dengan memberikan ganti kerugian yang nilainya ditetapkan 

saat nilai pengumuman penetapan lokasi. 

Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum 

Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan 

tanah kepada Lembaga Pertanahan yang meliputi: 

226


1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, 

dan pemanfaatan tanah

 Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, 

dan pemanfaatan tanah meliputi kegiatan: 

a.  pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan 

b.  pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan 

Tanah. 

Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, 

dan pemanfaatan tanah dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga 

puluh) hari kerja. 

Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, 

penggunaan, dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan di kantor desa/

kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat pengadaan tanah dilakukan 

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja secara bertahap, 

parsial, atau keseluruhan. 

Pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi meliputi subjek 

hak, luas, letak, dan peta bidang tanah Objek Pengadaan Tanah. Dalam hal 

tidak menerima hasil inventarisasi, pihak yang Berhak dapat mengajukan 

keberatan kepada Lembaga Pertanahan dalam waktu paling lama 14 

(empat belas) hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi. 

Dalam hal ada  keberatan atas hasil inventarisasi dilakukan verifikasi 

dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja 

terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi. 

Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan ditetapkan oleh 

Lembaga Pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak 

yang berhak dalam pemberian ganti kerugian. 

2)  Penilaian Ganti Kerugian 

Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai (appraisal) sesuai dengan 

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penilaian besarnya nilai ganti kerugian oleh Penilai dilakukan 

bidang per bidang tanah, meliputi: 

a) tanah; 

b) ruang atas tanah dan bawah tanah; 

c) bangunan; 

d) tanaman; 

e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau 

f) kerugian lain yang dapat dinilai. 

Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai menjadi dasar 

musyawarah penetapan ganti kerugian

3)  Musyawarah penetapan Ganti Kerugian

Lembaga Pertanahan melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak 

227

Penyediaan tanah untuk pembangunan

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian 

dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan 

bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian 

ganti kerugian.

Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian 

ganti kerugian kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita acara 

ke sepakatan. 

Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau 

besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan 

kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat 

belas) hari kerja sesudah  musyawarah penetapan ganti kerugian .

Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti 

kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak 

diterimanya peng ajuan keberatan. 

Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri 

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14 (empat 

belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung 

Republik Indonesia. 

Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling 

lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. 

Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah 

memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti 

kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan. 

Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya 

ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu ysng 

telah ditentukan sebab  hukum pihak yang berhak dianggap menerima 

bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah disepakati. 

4)  Pemberian Ganti Kerugian

Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk: 

a) uang; 

b) tanah pengganti; 

c) permukiman kembali; 

d) kepemilikan saham; atau 

e) bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. 

Pemberian ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan langsung 

kepada pihak yang berhak yang diberikan berdasarkan hasil penilai an 

yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan ne-

geri/Mahkamah Agung. 

Pada saat pemberian ganti kerugian pihak yang berhak menerima ganti 

kerugian wajib: 

a) melakukan pelepasan hak; dan 

228


b) menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan 

tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga 

Pertanahan. 

Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya 

ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan 

negeri/Mahkamah Agung, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri 

setempat. 

Penitipan Ganti Kerugian juga dilakukan terhadap: 

a) Pihak yang Berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui 

keberadaannya; atau 

b) Objek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian: 

1) sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 

2) masih dipersengketakan kepemilikannya; 

3) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau 

4) menjadi jaminan di bank. 

Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan 

hak telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan 

di pengadil an negeri, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang 

berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku 

dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 

Pihak yang berhak menerima ganti kerugian atau Instansi yang 

memperoleh tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum 

dapat diberikan insentif perpajakan.

5)  Pelepasan tanah Instansi

Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki 

pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah. 

Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum 

yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha 

Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan UU No. 

2/2011.

Pelepasan objek pengadaan tanah  yang dimiliki pemerintah tidak 

diberikan ganti kerugian, kecuali: 

1) Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan yang 

dipergunakan    secara aktif untuk penyelenggaraan tugas 

pemerintahan; 

2) Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha 

Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau 

3) Objek pengadaan tanah kas desa. 

229

Penyediaan tanah untuk pembangunan

Pelepasan objek pengadaan tanah dilaksanakan paling lama 60 

(enam puluh) hari kerja sejak penetapan lokasi pembangunan untuk 

kepentingan umum. jika  pelepasan objek pengadaan tanah belum 

selesai dalam waktu tanahnya dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi 

tanah negara dan dapat langsung digunakan untuk pembangunan bagi 

kepentingan umum. 

Lembaga Pertanahan menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada 

Instansi yang memerlukan tanah sesudah : 

1) pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dan pelepasan 

hak telah dilaksanakan; dan/atau 

2) pemberian ganti kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.

Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan 

kegiatan pembangunan sesudah  dilakukan serah terima hasil pengadaan 

tanah.

sesudah  Instansi yang memperoleh tanah untuk kepentingan umum 

maka instansi ini  wajib mendaftarkan tanah yang telah diperoleh 

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebab  keadaan 

mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan 

wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya sesudah  

dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. 

Sebelum penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum 

sebab  keadaan mendesak, terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan 

kepada pihak yang berhak.Dalam hal ada  keberatan atau gugatan 

atas pelaksanaan Pengadaan tanah, Instansi yang memerlukan tanah 

tetap dapat melaksanakan kegiatan pembangunan ini .

11.6. Pencabutan Hak Atas Tanah  (Onteigening/Expropriation)

11.6.1. Pengertian

Pencabutan hak yaitu pengambilan tanah kepunyaan pihak lain oleh 

Pemerintah secara paksa untuk keperluan penyelenggaraan kepentingan 

umum dengan pemberian ganti rugi yang layak kepada yang memiliki  

tanah. Pencabutan hak yaitu  perbuatan hukum sepihak yang dilakukan 

oleh pemerintah.

11.6.2. Peraturan

-  Pasal 18 UUPA;

-  UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak

11.6.3.Asas-Asas Pelaksanaan Pencabutan Hak Menurut UU 

N0.20/1961

230


a. Pencabutan hak dapat dilakukan untuk kepentingan umum dengan 

memberikan ganti kerugian yang layak dan dilakukan menurut 

ketentuan undang-undang 

b. Pencabutan yaitu  upaya terakhir jika  upaya lain dalam rangka 

memperoleh tanah melalui pemindahan hak secara langsung tidak 

dapat dilakukan 

c. Mengingat tanah memiliki fungsi sosial berarti pula bahwa 

kepentingan bersama harus didahulukan 

d. Pelaksanaan pencabutan hak dilakukan dengan keputusan presiden 

yang memuat keputusan pencabutan hak dan penetapan ganti 

kerugian.

e. Namun dalam situasi yang mendesak pencabutan hak dapat 

dilakukan dengan kewenangan menteri agraria 

f. Pencabutan  hak hanya dilakukan untuk keperluan usaha negara 

(Pemerintah Pusat dan Daerah)

g. Namun bagi badan hukum swasta tidak tertutup kemungkinan 

melakukan pencabutan hak dalam rangka usahanya benar-benar 

untuk kepentingan umum 

h. Ganti kerugian harus didasarkan pada nilai nyata/sebenarnya, 

bukan semata-mata harga pasar namun tidak juga berarti harga 

yang lebih murah.

11.6.4. Syarat-syarat Melaksanakan Pencabutan Hak

 Tanah diperlukan benar-benar untuk kepentingan umum;

 Merupakan  upaya  terakhir  untuk  menguasai  tanah  yang 

diperlukan  dan hanya  digunakan dalam keadaan memaksa;

 Harus ada ganti rugi yang layak;

 Harus dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden;

 Bila ganti rugi yang tidak memuaskan harus banding ke Pengadilan 

Tinggi.

11.6.5. Jaminan Bagi Pemegang Hak

 Jaminan  pemberian  ganti  rugi  yang  layak bila tidak memuaskan 

dapat banding ke   Pengadilan Tinggi;

 Jaminan ganti rugi harus dilakukan secara  tunai  dan  dibayarkan 

langsung  kepada  yang berhak;

 Jaminan penampungan bagi mereka yang perlu pindah;

 Yang berhak  atas  ganti  kerugian  bukan hanya mereka yang 

haknya dicabut, tetapi  jika  ada   orang-orang   yang   menggarap 

tanah  atau   menempati   rumah   yang bersangkutan;

 Jika tanah  yang  dicabut  haknya  itu  kemudian  tidak  dipergunakan 

sesuai  rencana peruntukkannya,   maka  mereka  yang  semula 

231

Penyediaan tanah untuk pembangunan

berhak  atas tanahnya diberi prioritas  untuk mendapatkan kembali.

11.6.6. Acara Pencabutan Hak

11.6.6.1. Acara  Pencabutan Hak Biasa (tidak Mendesak

Tata Caranya yaitu  sebagai berikut:

 Yang berkepentingan harus mengajukan permintaan untuk 

melakukan pencabutan hak itu kepada Presiden, dengan 

perantaraan Menteri agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang 

bersangkutan. 

 Oleh Kepala Inspeksi Agraria diusahakan supaya permintaan 

itu diperlengkapi dengan pertimbangan para Kepala Daerah 

yang bersangkutan dan taksiran ganti kerugiannya. Taksiran itu 

dilakukan oleh suatu Panitia Penaksir, yang anggota-anggotanya 

mengangkat sumpah. Di dalam pertimbangan ini  dimuat 

pula soal penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut 

itu. Demikian juga jika ada, soal penampungan orang-orang yang 

menempati rumah atau menggarap tanah yang bersangkutan. Yaitu 

orang-orang yang sebab  pencabutan hak ini  akan kehilangan 

tempat tinggal dan/atau sumber nafkahnya. 

 Kemudian permintaan itu bersama dengan pertimbangan Kepala 

Daerah dan taksiran ganti kerugian ini  dilanjutkan oleh Kepala 

Inspeksi Agraria kepada Menteri Agraria, disertai pertimbangannya 

pula. 

 Menteri Agraria mengajukan permintaan tadi kepada Presiden 

untuk mendapat keputusan, disertai dengan pertimbangannya dan 

pertimbangan Menteri Kehakiman serta Menteri yang bersangkutan, 

yaitu Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta 

dilakukannya pencabutan hak itu. Menteri Kehakiman terutama 

akan memberi pertimbangan ditinjau dari segi hukumnya, sedang 

Menteri yang bersangkutan mengenai fungsi usaha yang meminta 

dilakukannya pencabutan yang diminta itu benar-benar, diperlukan 

secara mutlak dan tidak dapat diperoleh di tempat lain. 

 Penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan baru dapat 

dilakukan sesudah  ada surat keputusan pencabutan hak dari 

Presiden dan sesudah  dilakukannya pembayaran ganti kerugian yang 

ditetapkan oleh Presiden serta diselenggarakannya penampungan 

orang-orang yang dimaksudkan di atas.

11.6.6.2. Acara Pencabutan Hak Khusus (Mendesak)

 Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan pengu-

asa an tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan 

segera, maka pencabutan hak khususnya penguasaan tanah dan/

232


atau benda itu dapat diselenggarakan melalui acara khusus yang 

lebih cepat, keadaan yang sangat mendesak itu misalnya, jika 

terjadi wabah atau bencana alam, yang memerlukan penampungan 

para korbannya dengan segera. 

 Dalam hal ini maka permintaan untuk melakukan pencabutan hak 

diajukan oleh Kepala Inspeksi Agraria (Kepala Kantor Pertanahan 

Kabupaten/Kota-- sekarang) kepada Menteri Agraria tanpa disertai 

taksiran ganti kerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu dengan 

tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah. 

 Menteri Agraria kemudian dapat memberi perkenan kepada yang 

berkepentingan untuk segera menguasai tanah dan/atau benda 

ini , biarpun belum ada keputusan mengenai permintaan 

pencabutan haknya dan ganti kerugiannya pun belum dibayar 

 Bagaimanakah kalau yang empunya tidak bersedia menerima 

ganti kerugian yang ditetapkan oleh Presiden sebab  dianggapnya 

jumlahnya kurang layak? 

 Si-Bekas Pemilik Tanah dapat minta kepada Pengadilan Tinggi 

agar pengadilan itulahi yang menetapkan ganti kerugian ini . 

Untuk itu akan diadakan ketentuan hukum acara yang khusus, agar 

penetapan ganti-kerugian oleh Pengadilan ini  dapat diperoleh 

dalam waktu yang singkat. (Lihat: PP No. 39/1973, tentang A cara 

Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan 

dengan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda2 di atasnya))

 Tetapi biarpun demikian penyelesaian soal ganti-kerugian melalui 

pengadilan itu tidak menunda jalannya pencabutan hak. Artinya 

sesudah  ada keputusan Presiden mengenai pencabutan hak itu 

maka tanah dan/atau benda-bendanya yang bersangkutan dapat 

segera di kuasai, dengan tidak perlu menunggu keputusan Peng-

adilan Negeri mengenai sengketa ini . 

233

PENDAFTARAN TANAH

12.1. Jaminan Kepastian Hukum

Untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan 

ada 2 hal yang harus kita perhatikan :

 Perlu adanya Hukum Tanah yang tertulis;

 Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah.

Dengan perkataan lain, jika  kita membicarakan pendaftaran tanah, 

berarti kita berbicara tentang salah satu usaha dalam rangka mewujudkan 

jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.

Tujuan yang ingin dicapai dengan jaminan kepastian hukum ini yaitu  

untuk menimbulkan rasa mantap dan rasa aman.

Timbul rasa mantap, kalau ada kepastian mengenai hukumnya :

 Tertulis (kodifikasi);

 Sederhana, dalam arti mudah dimengerti oleh siapa saja;

 Konsisten dalam pelaksanaan/pemerapannya.

Timbulnya rasa aman, kalau :

a.  Ada kepastian mengenai tanah yang dihaki:

1).  Dari segi yuridis:

 Status tanah;

 Siapa yang punya (subjek);

 Hak-hak pihak ketiga yang membebani;

 Perbuatan hukum/peristiwa hukum yang menyangkut 

penguasaan tanah.

2).  Dari segi fisik :

 letak, batas dan luas tanah

Kegiatan untuk memperoleh kepastian mengenai tanahnya yang meliputi 

hal-hal ini  dalam butir (a) itulah harus melalui penyelenggaraan 

pendaftaran tanah.

b.  Adanya  perlindungan  hukum  untuk  mencegah gangguan dari 

penguasaan dan/atau sesama warga warga . Oleh sebab  itu, 

disediakan upaya-upaya hukum untuk menanggulangi ganguan-

gangguan ini  melalui :

 Gugatan perdata;

 Bantuan  aparat  negara,  dalam  hal  ini  misalnya  polisi 

12

234


pamongpraja,  petugas kamtib, dan sebagainya.

 Tuntutan pidana.

12.2. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah yaitu  rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh 

Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, 

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta 

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar 

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan–satuan rumah susun, 

termasuk pemberiansertipikat sebagai tanda bukti haknya bagi bidang-

bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak milik atas Satuan Rumah 

Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Sebelum UUPA berlaku, semua tanah hak barat sudah terdaftar, 

misalnya hak Eigendom, Erfpacht, Opstal, dan Gebruik, yang 

diselenggarakan menurut Overschrijvingsordinnantie Stb. 1834-27 dan 

peraturan-peraturan kadaster lainnya.

Sedangkan tanah-tanah hak Indonesia, baru sebagian kecil saja 

yang terdaftar, misalnya tanah hak milik adat yang disebut  Agrarisch 

Eigendom dan tanah-tanah milik di daerah-daerah Swapraja, seperti 

Grant Sultan, Grant Controleur, dan sebagainya. Sebagian besar dari 

tanah-tanah hak Indonesia ini belum terdaftar. Oleh sebab  itu, sesudah  

berlakunya UUPA, demi kepastian hukum, tanah-tanah ini  harus 

didaftarkan.

Ada beberapa istilah yang dipergunakan sehubungan dengan 

masalah pencatatan tanah, yaitu :

12.2.1. Rechtskadaster

Pendaftaran Tanah yang diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin 

kepastian hukum atau kepastian hak, disebut rechtskadaster. Dari 

rechtskadaster dapat diketahui asal-usul tanah, jenis haknya, siapa yang 

empunya, letak, luas  dan  batas-batasnya.  Data-data  ini dikumpulkan 

dalam daftar-daftar yang sudah tersedia untuk disajikan bagi umum yang 

berkepentingan.

Kegiatan rechtskadaster meliputi :

 Pengukuran dan pemetaan ( tehnis kadaster);

 Pembukuan hak ( kegiatan di bidang  yuridis);

 Pemberian tanda bukti hak.

12.2.2. Fiscaalkadadaster

Berbeda dengan rechtskadaster yang tujuannya untuk menjamin kepastian 

hak, maka fiscaal kadaster ini bertujuan hanya untuk memungut pajak 

tanah, walaupun disini juga dilakukan pendaftaran tanah.

235

Pendaftaran tanah

Sebelum UUPA, fiscaal kadaster dilakukan baik terhadap tanah 

hak Indonesia maupun tanah hak Barat.  Penyelenggaraan fiscaal kadaster 

untuk keperluan pemungutan pajak hasil bumi ini (landrente) pada tanah-

tanah hak milik adat yang ada di desa-desa diberi tanda pelunasan yang 

disebut petuk, pipil, girik tau ketitir, yang dalam istilah pajak sekarang 

dinamakan kohir.

Adapun pendaftaran tanah untuk keperluan pemungutan pajak 

atas tanah-tanah hak milik adat yang ada di kota-kota besar disebut 

Verponding Indonesia (S. 1923/425 jo. S 1931/168).

Jadi singkatnya, tanda-tanda bukti yang dikeluarkan oleh kadaster 

fiskal itu bukanlah sebagai tanda bukti hak tanah, melainkan hanya 

sebagai tanda bukti pembayaran pajak.

Fiscaal kadaster yang ditujukan untuk tanah-tanah hak Barat 

disebut Verponding Eropa, yang sejak tahun 1965 sudah tidak ada lagi.

sesudah  UUPA, fiscaal kadaster tetap dikenal, yang sejak tahun 

1970 disebut IPEDA, yang hanya tujuannya saja yang berbeda dimana 

penarikan pajak tanah tidak lagi didasarkan pada status tanah melainkan 

pemanfaatannya.

12.2.3. Sensus Tanah

Sensus tanah diselenggarakan bersamaan dengan pendaftaran tanah, 

tetapi khusus hanya untuk mengumpulkan data tanah tertentu yang 

kemudian disusun statistiknya untuk dipakai oleh Pemerintah dalam 

rangka pembangunan. Penyelenggaraan sensus tanah ini biasanya satu 

kali dalam lima tahun.

12.3. Peraturannya

 Pasal 19 ayat (1) UUPA;

 PP No. 24 tahun 1997 pengganti  PP No. 10  tahun 1961 tentang 

Pendaftaran Tanah;

 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3/1997.

PP No. 10 tahun 1961 ini merupakan peraturan pertama 

menyelenggarakan pendaftaran tanah sebagaimana dikehendaki oleh 

Pasal 19 UUPA. Disamping itu kita jumpai pula peraturan-peraturan 

lainnya sebagai peraturan pelaksanaan pendaftaran tanah ini  

melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria atau 

Menteri Dalam Negeri (dulu) atau Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 

Pertanahan Nasional (sekarang).

PP No. 10 tahun 1961 secara resmi mulai berlaku dan dilaksanakan 

pada tanggal 21 September 1961 di pulau Jawa, Bali dan Madura; 

sedangkan untuk daerah-daerah lainnya diberlakukan dan dilaksanakan 

236


secara bertahap, sehingga sekarang di seluruh Indonesia (termasukTimor 

Timur sejak tahun 1978). PP No. 10/1961 ini  telah digantikan dengan PP 

24/1997 sejak tanggal 8 Juli 1997.

12.4. Instansi Penyelenggara

Penyelenggara pendaftaran tanah dilakukan oleh Pemerintah dan bukan 

oleh swasta. Dalam hal ini, secara operasional instansi penyelenggaranya 

ialah : Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah, yang ada  pada 

setiap Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya. Seksi Pendaftaran 

tanah ini  melaksanakan kegiatannya di wilayah Kabupaten/

Kotamadya.

Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, untuk kelancaran pelaksanaan 

tugas pendaftaran tanah, maka pada setiap Kotamadya ada  Kantor 

Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah. Dalam rangka menyelenggarakan 

pendaftaran tanah, penting sekali untuk diketahui lokasi (Kelurahan/

Desa) dimana tanah itu berada.

12.5. Tujuan Pendaftaran Tanah

Kegiatan pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum 

yang meliputi :

a.  Kepastian hukum mengenai orang/badan yang menjadi pemegang 

hak (subjek hak); kepastian mengenai lokasi, batas serta luas suatu 

bidang tanah hak (objek hak); dan kepastian hukum mengenai 

haknya.

b.  Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang 

berkepentingan;

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan

Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah dapat menjamin kepastian hukum 

jika  memenuhi syarat:

a. Peta-peta  kadastral  dapat  dipakai  rekonstruksi di lapangan dan 

digambarkan batas yang sah 

b. menurut hak;

c. Daftar  ukur  membuktikan  pemegang  hak  terdaftar di dalamnya 

sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum;

d. Setiap hak dan peralihannya harus di daftar.

Fungsi Pendaftaran Tanah

a.  Dalam rangka permohonan hak dan pembebanan Hak Tanggungan: 

1) Sebagai syarat konstitutif lahirnya suatu hak/Hak Tanggungan;

2) Untuk keperluan pembuktian, sebab  nama pemegang 

hak/Hak Tanggungan akan dicatat pada  buku tanah dan 

sertipikat hak/Hak Tanggungan.

b.  Dalam rangka jual beli tanah fungsi pendaftaran tanah yaitu  :

237

Pendaftaran tanah

1) Untuk memperkuat pembuktian, sebab  pemindahan hak 

ini  dicatat pada buku tanah dan  sertipikat hak dan 

dicantumkan siapa pemegang hanya sekarang;

2) Untuk  memperluas pembuktian,  sebab  dengan pendaftaran, 

jual belinya dapat diketahui oleh  umum atau siapa saja yang 

berkepentingan.

12.6.  Penyelenggara Pendafataran Tanah

Pendaftaran Tanah diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini Badan 

Pertanahan Nasional (BPN). Secara operasional instansi penyelenggaranya 

ialah Kantor Pertanahan yang ada  di setiap daerah Kabupaten/Kota.

Dalam melaksanakan tugas pendaftaran tanah BPN dibantu oleh Pejabat 

Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk 

melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut PP 24/1997 dan 

peraturan-peraturan lainnya.

12.7. Onjek Pendaftaran Tanah

Menurut ketentuan di dalam Pasal 9 PP No.24/1997, objek pendaftaran 

tanah yaitu :

a. Bidang-bidang tanah yang telah dimiliki dengan Hak Milik, Hak 

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai

b. Tanah Hak Pengelolaan

c. Tanah Wakaf

d. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

e. Hak Tanggungan

f. Tanah Negara

Batasan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap tanah negara yaitu  

tidak dengan menerbitkan sertipikat, melainkan hanya sebatas pada membuat 

catatan (membukukan) bidang tanah negara ke dalam Daftar Tanah.

12.8. Wilayah Tata Usaha Pendaftaran Tanah

Satuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah yaitu  per- desa/kelurahan. 

Khusus untuk satuan wilayah tata usaha bagi tanah Hak Guna Bangunan, 

Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan dan Tanah Negara yaitu  Kabupaten/

Kota.

12.9. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah dikenal asas sederhana, 

aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka yang harus diterapkan dalam 

kegiatan pendaftaran tanah yang meliputi:

 Pendaftaran Tanah untuk pertama kali (initial registration)

 Pemeliharaan data pendaftaran tanah

238


 

  

12.9.1.   Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali

Pendaftaran tanah  pertama kali yaitu  kegiatan yang dilakukan ter hadap 

tanah-tanah yang belum didaftarkan menurut ketentuan PP 10/1961 dan 

PP 24/1997.

Pendaftaran Tanah untuk pertama kali dapat dilakukan melalui:

1) Pendaftaran Tanah Sistematik, yaitu pendaftaran tanah yang 

dilakukan oleh pemerintah secara serentak meliputi wilayah satu 

atau sebagian dari wilayah desa/kelurahan.

2) Pendaftaran Tanah  Sporadik, yaitu  pendaftaran tanah yang 

dilakukan berdsarkan inisiatif pemilik tanah secara perorangan 

atau secara bersama-sama (massal)

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

a.    Pengumpulan dan Pengolahan Data Fisik:

1) pembuatan peta dasar pendaftaran

2) penetapan batas-batas bidang tanah

3) pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan 

pembuatan peta pendaftaran

4) pembuatan daftar tanah

5) pembuatan surat ukur

b.   Pembukuan hak dan Pembuktian hak (Penerbitan Sertipikat)

Pembukuan Hak

Tiap-tiap hak yang didaftar, dibuatkan Buku Tanah. Mengapa diperlukan 

buku tanah ? sebab  yang digunakan yaitu  Grondboek Stelsel, yaitu 

sistem untuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan segi yuridis. Buku 

Tanah ini berupa isian yang memuat segala keterangan sejak lahirnya hak 

sampai berakhirnya hak.

Hak-hak yang harus didaftar dan dibukukan yaitu  hak-hak dalam 

arti luas, yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang 

kongkrit, yang meliputi:

  Hak Primer

               Hak atas Tanah Hak Sekunder

                                                    Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

Jenis Hak  Hak Wakaf                         

                                            

                Hak Jaminan atas Tanah              Hak Tanggungan

Dengan demikian setiap terjadinya perubahan mengenai hak, subjek, 

maupun tanahnya wajib didaftarkan.

Ini berarti, bahwa  data yang ada   dalam Buku Tanah meliputi :

(1)  Segi Fisik 

 letak tanah;

239

Pendaftaran tanah

 batas-batas tanah;

 luas tanah.

(2)  Segi Yuridis

 status tanahnya (= jenis haknya), misalnya status Hak Milik, 

Hak Pakai, dsb.

 subjeknya  (siapa  yang  memiliki , status  hukum pemegang 

haknya : WNI, WNA, badan hukum Indonesia/asing, dsb);

 Hak-hak pihak ketiga yang membebaninya;

 Kalau terjadi peristiwa hukum atau perbuatan hukum, wajib 

didaftarkan.

Dalam PP 10/1961 dan PP 24/1997 digunakan istilah “peralihan hak” 

(genusnya) sedangkan speciesnya yaitu  :

 sebab  hukum (peristiwa hukum); atau

 sebab   perbuatan hukum (pemindahan hak).

Pemberian tanda bukti hak

Pemberian tanda bukti hak sebagai kegiatan ketiga dari rechtskadaster ini 

sebenarnya sudah tercakup dalam kegiatan kedua, yaitu pembukuan hak, 

sehingga dengan demikian penyelenggaraan tanah sesungguhnya hanya 

meliputi dua macam kegiatan pokok, yaitu pengukuran dan pemetaan 

serta pembukuan hak.

Tanda bukti yang diberikan kepada pemegangnya yaitu  :

 Salinan Buku Tanah

Sertipikat Hak atas Tanah

 Surat Ukur

 Salinan Buku Tanah

Sertipikat Sementara

(Hak atas Tanah) 

 Gambar Situasi

 Salinan Buku Tanah Hak      

Sertipikat Tanggungan Hak Tanggungan

 Akta Pemberian Hak  

 Tanggungan

 Salinan Buku Tanah

Sertipikat Hak Milik  Surat Ukur

atas Satuan Rumah Susun Gambar Denah 

 Satuan Rumah Susun

Sertipikat hak tanah terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur 

JE

N

IS

 S

ER

TI

PI

K

A

       

240


yang asli dijahit menjadi satu dan diberi sampul. Buku tanah yang asli 

digunakan untuk arsip di kantor pertanahan seksi pendaftaran tanah, 

sedangkan salinannya diberikan kepada pemegang haknya. Kalau terjadi 

pencatatan pada buku tanah, maka pencatatan itu selalu dilakukan 

bersama-sama baik yang ada pada arsip di kantor pendaftaran tanah 

maupun yang ada pada salinan di tangan pemegang hak. Surat ukur 

tidak bisa disalin atau difotokopi, sebab  berwarna yang menunjukkan 

kode tertentu. 

Selain sertipikat hak tanah yang sudah lengkap, kita jumpai pula 

sertipikat sementara yang belum lengkap sebab  belum dibuatkan surat 

ukurnya. Dalam sertipikat hak tanah dapat dibuktikan secara yuridis dan 

fisik hak atas tanah, sedangkan sertipikat sementara hanya segi yuridisnya 

saja. Namun demikian, kedua-duanya yaitu  tanda bukti hak, hanya 

saja sertipikat sementara belum dilengkapi dengan surat ukur.  Sejak 

berlakunya PP 24/1997, fungsi sertipikat sementara sebagai tanda bukti 

hak (vide PP 10/1961 Pasal 17 ayat 1) sudah tidak berlaku dengan adanya 

ketentuan Pasal 22 PP 24/1997 sudah tidak ada lagi Gambar Situasi, sebab 

tanah yang didaftar akan langsung dibuatkan Surat Ukur yang merupakan 

dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta 

dan uraian yang diambil datanya dari peta pendaftaran.

Adapun bagi sertipikat hak tanggungan, nomornya menurut urutan 

yang dibuat oleh Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah setempat, 

misalnya yang ada  pada Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah 

Jakarta Pusat : Hak Tanggungan No. 5/Jakpus.

Selain apa yang telah diuraikan ini  di atas, Kantor Pertanahan 

juga mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dan 

Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dibuat untuk mengecek apakah suatu 

tanah sudah didaftarkan atau belum. Tetapi harus diingat bahwa SKPT/

SKT bukanlah tanda bukti hak melainkan semata-mata hanya keterangan 

tertulis yang dapat dipercaya kebenarannya.

12.9.1 Pemeliharaan data pendaftaran tanah

Sebagaimana sudah dijelaskan pada “pembukuan tanah” di atas, bahwa 

setiap perubahan mengenai hak, subjek, dan tanahnya, harus didaftarkan 

dan kemudian dicatat dalam Buku Tanah, yang aslinya merupakan arsip 

dan disimpan di Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah sedangkan 

salinannya dipegang oleh pemegang hak itu sendiri.

a. Perubahan mengenai haknya, misalnya semula hak atas tanah 

yaitu  HGB kemudian dibebani Hak Tanggungan. Dalam buku 

tanah akan terlihat bahwa hak atas tanah yang sebelumnya hanya 

satu lapis, kini menjadi dua penguasaan (dua lapis) yaitu HGB 

ditambah dengan Hak Tanggungan. Kalau disewakan lagi kepada 

241

Pendaftaran tanah

orang lain, maka hak penguasaannya bertambah menjadi tiga 

lapis. Perubahan-perubahan itu semuanya harus didaftarkan dan 

dibukukan.

b. Perubahan mengenai subjeknya, biasa terjadi sebab  perbuatan 

hukum pemindahan hak dari satu subjek yang satu kepada 

subjek yang lain, misalnya melalui jual beli, tukar menukar, dan 

sebagainya. Bisa pula terjadi sebab  suatu peristiwa hukum melalui 

pewarisan tanpa surat wasiat. Perubahan-perubahan ini juga harus 

dicatat dalam buku tanah yang sama (tidak perlu dibuatkan buku 

tanah baru).

c. Perubahan mengenai tanahnya, ini biasanya terjadi sebab  ada 

pemisahan tanah, misalnya dari 1000m2 menjadi 500 m2, atau 

sebab  penggabungan tanah, seperti dari 250 m2 menjadi 500 m2. 

Perubahan semacam ini dapat mengakibatkan pembuatan buku 

tanah yang baru, sertpikat bahkan surat ukur yang baru.

Adapun pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut PP No. 24/1997 

yaitu  meliputi :

a. Pendaftaran Peralihan Hak : meliputi peralihan hak selain lelang 

misalnya jual beli, tukar-menukar, inbreng, hibah. Selain itu harus 

didaftarkan peralihan hak melalui lelang, pewarisan, sebab  

penggabungan, peleburan perseroan terbatas atau koperasi.

b. Pendaftaran atas Pembebanan Hak : meliputi pembebanan 

tanah Hak Milik dengan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai serta 

pembebanan Hak Tanggungan.

c. Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran lainnya, meliputi :

1) perpanjangan jangka waktu hak

2) pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah

3) pembagian hak bersama

4) hapusnya hak  atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah 

Susun

5) peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan

6) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau 

penetapan pengadilan

7) perubahan nama pemegang hak

12.10. Kekuatan Pembuktian Sertifikat

Fungsi sertipikat hak tanah yaitu  sebagai tanda bukti hak, yang diatur 

dalam ketentuan UUPA  yaitu:

 Pasal 19 ayat (2) huruf c, bahwa “Sertipikat hak atas tanah yaitu  

alat pembuktian yang kuat”;

 Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA

Berkaitan dengan kekuatan pembuktian  sertipikat hak atas tanah yang 

242


kuat meliputi hal-hal :

1).  Sistem Pendaftaran Tanah:

 Registration of deeds (Sistem Pendaftaran Akta atau Perbuatan 

hukum)

 Registration of titles (Sistem Pendaftaran Hak atau hubungan 

hukum)

2.  Sistem Pengumpulan Data (Sistem Publikasi):

 Sistem Negatif (murni)

 Sistem Positif

Sistem pendaftaran tanah yang negatif berlaku di negara-negara 

Eropa Kontinental, seperti Belanda dan di Indonesia sebelum berlakunya 

UUPA, yaitu berdasarkan Overschrijvingsordonantie S. 1834/27. Adapun 

cara pengumpulan data pada sistem ini ialah pendaftaran “deeds” atau 

perbuatan hukumnya.

Sedangkan sistem pendaftaran tanah yang positif, kita jumpai di 

negara-negara Anglo saxon, yakni Inggris dan negeri-negeri jajahannya. 

Cara pengumpulan data pada sistem positif ialah pendaftaran “title” atau 

hubungan hukum yang kongkrit, yaitu haknya.

Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia

SISTEM NEGATIF

Pejabat pelaksana bersikap pasif 

dan yang dicari yaitu  kebenaran 

formil:

a. Instansi penyelenggara cukup 

menerima keterangan hak yang 

didaftar sebagaimana adanya, 

tanpa penelitian secara menda-

lam.

b. Bilamana terjadi kesalahan  da-

lam  pencatatan, berdasarkan pu-

tusan hakim dapat diperbaiki oleh 

petugas penyelenggara pendaf-

taran tanah. Dengan demikian 

orang yang berhak tetap terlind-

ung. (Kelebihan/kebaikan)

Dilihat dari proses pembuatan tanda bukti hak :

SISTEM POSITIF

Pejabat pelaksana bersikap aktif 

dan yang dicari yaitu  kebenaran 

materil:

a. Instansi  penyelenggara tidak 

cuma  menerima begitu saja ket-

erangan tentang hak maupun 

status tanah yang didaftar, tetapi 

akan menelitinya satu persatu se-

cara cermat dan mendalam.

b. Seandainya terjadi kekeliruan, 

walaupun ada keputusan hakim, 

keterangan dalam tanda bukti hak 

tetap tidak dapat diubah. Pihak 

yang dirugikan akan memperoleh 

ganti rugi dari Pemerintah sejum-

lah harga tanah yang diambil dari 

premi asuransi tanah ini  ka-

rena Pemerintah yang bertang-

243

Pendaftaran tanah

1).  Sebelum UUPA :

Pendaftaran tanah hak Barat merupakan “registration of deeds” (yang 

didaftarkan yaitu  perbuatan hukumnya)

Sistem yang dipakai :

-  Sistem negatif (S. 1834-27)

-  Praktek pelaksanaannya sangat teliti.

2).  Sesudah UUPA (PP 10/1961 yang kemudian diganti dengan PP 

24/1997)

-  Sistem negatif dengan tendens positif

-  Unsur positifnya diatur dalam Pasal 18 PP 10/1961 dan kemudian 

di dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997.

Jadi, baik sebelum maupun sesudah UUPA, di Indonesia tetap 

memakai  sistem negatif. Mengapa sampai sekarang kita masih 

memakai sistem yang negatif itu ?  Dasar pertimbangannya yaitu  

sebab  sistem ini  sudah lama dikenal jauh sebelum berlakunya 

UUPA, khususnya pendaftaran tanah-tanah hak Barat yang dilaksanakan 

berdasarkan peraturan Overschrijvingsordonantie S. 1834/27. Sistem 

yang dipergunakan pada waktu itu yaitu  Overschrijvings Ambtenaar 

(pejabat pendaftaran tanah) yang juga merangkap sebagai Hakim 

SISTEM NEGATIF

Dilihat dari kekurangan pembuktian  tanda bukti hak yang dihasilkan

SISTEM POSITIF

Hanya memberi perlindungan 

terhadap pemegang haknya saja 

(yang berhak) :

a. Berlaku asas  “nemo plus juris” 

bahwa orang yang tidak dapat ber-

tindak melebihi kewenangan yang 

ada padanya, siapa yang namanya 

tercantum dalam tanda bukti hak 

ini  maka dialah pemegang 

haknya.

b. Orang lain boleh percaya, boleh 

tidak perca    ya atas keterangan 

yang ada.

gung jawab atas kesalahan petu-

gasnya. Dengan demikian orang 

yang tadinya berhak bisa menjadi 

tidak berhak. (Kekurangan)

Memberi perlindungan yang 

mutlak, baik terhadap pemegang 

haknya maupun terhadap pihak 

ketiga, sebab  keterangan yang 

tercantum dalam tanda bukti hak 

tidak dapat diubah.

Hasil pendaftaran ini memberikan 

alat pembuktian yang mutlak si-

fatnya dan tidak dapat diganggu 

gugat.

244


Komisaris pada Raad van Justitie. Sesuai dengan profesinya sebagai 

seorang Hakim Komisaris, tentu saja ia sudah terbiasa bekerja dengan 

sangat teliti dan berhati-hati dalam memeriksa keterangan-keterangan 

tertulis untuk mencari kebenaran materil seperti pada sistem positif jika 

sedang melaksanakan fungsinya sebagai Overschrijvings Ambtenaar. 

Oleh sebab  itu, sistem ini  dikatakan “negatif tidak murni”. Namun 

demikian, juga tidak mutlak seperti sistem positif, sebab  jika ada  

kesalahan sama sekali tidak dapat diubah (ternyata sejak 1