memiliki jawaban singkat dan sederhana atas Problem
Kejahatan yang terkenal, salah satu kecemasan fundamental
pikiran manusia. “Mengapa ada yang jahat di dunia? Mengapa
ada penderitaan? Mengapa hal-hal buruk terjadi pada orang-
orang baik?” Kaum monoteis harus mempraktikkan gimnastik
intelektual untuk menjelaskan mengapa Tuhan yang baik yang
tahu segalanya dan memiliki semua kekuatan membiarkan
begitu banyak penderitaan di dunia. Satu penjelasan yang
260
terkenal yaitu bahwa itu cara Tuhan dalam memberi manusia
kebebasan berkehendak. Jika tidak ada kejahatan, manusia tidak
bisa memilih antara yang baik dan yang jahat sehingga tidak
ada kebebasan berkehendak. Namun, ini yaitu jawaban non-
intuitif yang langsung memunculkan banyak sekali pertanyaan
baru. Kebebasan berkehendak memungkinkan manusia memilih
yang jahat. Banyak malah yang memilih yang jahat dan, menurut
penjelasan standar monoteis, pilihan itu pasti membawa hukuman
ilahiah. Jika Tuhan tahu sebelumnya bahwa seseorang tertentu
akan memakai kehendak bebasnya untuk memilih kejahatan,
dan bahwa hasilnya dia akan dihukum dengan penyiksaan abadi
di neraka, mengapa Tuhan menciptakan dia? Para teolog menulis
tak terhitung Artikel untuk menjawab pertanyaan semacam itu.
Sebagian menemukan jawaban yang meyakinkan. Sebagian tidak.
Yang tak bisa dimungkiri yaitu bahwa kaum monoteis kesulitan
menangani Problem Kejahatan.
Bagi kaum dualis, hal-hal buruk terjadi pada orang baik
sebab dunia tidak diatur oleh Tuhan baik sempurna yang tahu
segala hal, memiliki segala kekuatan. Ada kekuatan jahat yang
independen di dunia. Kekuatan jahat itu melakukan hal-hal buruk.
Pandangan dualis sendiri pun memiliki kekurangan-
kekurangan. Benar, ia menawarkan sebuah solusi yang sangat
sederhana atas Problem Kejahatan. Namun, ia terkesima
oleh Problem Tatanan. Jika memang ada dua kekuatan yang
bertentangan di dunia, satu baik dan satu jahat, siapa yang
menetapkan hukum yang mengatur pertarungan antara keduanya?
Dua negara yang bermusuhan bisa saling memerangi sebab
keduanya ada pada masa dan ruang, dan mematuhi hukum fisika
yang sama. Sebuah misil yang diluncurkan dari bumi Pakistan
bisa menghantam target di teritori India sebab hukum fisika
yang sama berlaku di kedua negara. saat yang baik dan yang
jahat berkelahi, hukum bersama apa yang mereka patuhi, dan
siap yang menetapkan hukum-hukum itu?
Sebaliknya, kaum monoteis bagus dalam menjelaskan Problem
Tatanan, namun bukan Problem Kejahatan. Ada satu cara logis
menyelesaikan teka-teki itu: yaitu pandangan bahwa ada satu
Hukum Agama
261
Tuhan mahakuasa yang menciptakan seluruh alam semesta—dan
itu yaitu satu Tuhan jahat. Namun, tak seorang pun dalam
sejarah sanggup mencerna keyakinan semacam itu.
Agama-agama dualistik tumbuh subur selama lebih dari 1.000
tahun. Dalam waktu sekitar 1500 SM dan 1000 SM, seorang
nabi bernama Zoroaster (Zarahustra) aktif di suatu tempat di Asia
Tengah. Kredonya diturunkan dari generasi ke generasi sampai
ia menjadi agama dualistik paling penting—Zoroastrianisme.
Kaum Zoroaster memandang dunia sebagai pertarungan kosmis
antara dewa baik Ahura Mazda dan dewa jahat Angra Mainyu.
Manusia harus membantu dewa baik dalam pertarungan ini.
Zoroastrianisme yaitu satu agama penting dalam masa Imperium
Persia Achaemenid (550–330 SM) dan belakangan menjadi agama
resmi Imperium Persia Sassanid (224–651 M). Ia menyebarkan
pengaruh besar ke hampir semua agama Timur Tengah dan
Asia Tengah, dan mengilhami sejumlah agama-agama dualis lain,
seperti Gnosticisme dan Manichaenisme.
Pada abad ke-3 dan ke-4 M, kredo Manichaen menyebar
dari China ke Afrika Utara, dan dalam satu masa terlihat ia akan
mengalahkan Kristen untuk mencapai dominasi di Imperiuam
Romawi. Namun, kaum Manichean kalah dengan Kristen dalam
merebut jiwa Romawi, Imperium Sassanid Zoroaster digulung
oleh kaum monoteis Muslim, dan dualis surut. Kini hanya
segelintir komunitas dualis yang bertahan di India dan Timur
Tengah.
Bagaimanapun, munculnya gelombang monoteisme tidak
benar-benar menyapu dualisme. Monoteisme Yahudi, Kristen,
dan Islam menyerap banyak keyakinan dan praktik dualis, dan
sebagian ide-ide yang paling dasar dari apa yang kita sebut
“monoteisme”, sesungguhnya berasal dari dan bersemangat dualis.
Tak terhitung oleh orang Kristen, Muslim, dan Yahudi meyakini
kekuatan jahat yang dahsyat—seperti yang disebut Setan oleh
orang Kristen—yang bisa bertindak independen, memerangi
Tuhan baik, dan menciptakan kekacauan tanpa izin Tuhan.
Bagaimana bisa seorang monoteis mematuhi keyakinan
dualistik semacam itu (yang lagi pula, Perjanjian Lama tidak
bisa ditemukan di mana pun)? Secara logis, itu tidak mungkin.
262
Entah Anda percaya pada satu Tuhan tunggal yang mahakuasa
atau Anda meyakini dua kekuatan yang berlawanan, tak satu
pun yang mahakuasa. Tetap, manusia memiliki kapasitas luar
biasa untuk meyakini kontradiksi-kontradiksi. Jadi, mestinya
tidak mengejutkan bahwa jutaan orang Kristen, Muslim, dan
Yahudi yang berhasil meyakini dalam satu waktu yang sama pada
Tuhan Yang Mahakuasa dan satu Setan yang independen. Tak
terhitung orang Kristen, Muslim, dan Yahudi membayangkan
bahwa Tuhan yang baik bahkan membutuhkan bantuan kita
dalam pertarungan melawan Setan, yang mengilhami (sebagian
di antaranya) seruan jihad dan Perang Salib.
Satu konsep penting lainnya dalam pandangan dualistik,
terutama Gnostik dan Manichaenisme, yaitu pembedaan
tajam antara raga dan jiwa, antara materi dan ruh. Gnostik dan
Manichaean berpendirian bahwa tuhan baik menciptakan ruh dan
jiwa, sedang materi dan tubuh yaitu ciptakan tuhan jahat.
Manusia, menurut pandangan ini, menjadi arena pertarungan
antara jiwa yang baik dan jiwa yang jahat. Dari satu perspektif
monoteistik, itu omong kosong—mengapa membedakan begitu
tajam antara tubuh dan jiwa, atau materi dan ruh? Dan,
mengapa pula tubuh dan materi dipandang jahat? Lagi pula,
segala sesuatu dicptakan oleh Tuhan yang sama. Namun, kaum
monoteis tak bisa lari dari godaan dikotomi dualis, jelas sebab
dikotomi membantu mereka mengatasi problem kejahatan. Maka,
pertentangan semacam itu pada akhirnya menjadi pilar bagi
pemikiran Kristen dan Islam. Keyakinan pada surga (alam Tuhan
yang baik) dan neraka (alam Tuhan yang jahat) juga berasal dari
dualis. Tidak ada jejak keyakinan ini dalam Perjanjian Baru, yang
juga tidak pernah mengklaim bahwa jiwa-jiwa orang terus hidup
setelah kematian raga.
Faktanya, monoteisme, sebagaimana peran yang telah
dimainkannya dalam sejarah, yaitu sebuah kaleidoskop warisan
monoteis, dualis, politeis, dan animis, yang menyatu di bawah
payung ilahiah tunggal. Rata-rata orang Kristen meyakini
monoteisme Tuhan, namun juga Setan dualis, santo-santo politeis,
dan hantu-hantu animis. Para ahli agama memiliki nama untuk
persetujuan simultan atas ide-ide yang berbeda dan bahkan
Hukum Agama
263
kontradiktif dan kombinasi ritual-ritual serta praktik-praktik
ini yang diambil dari berbagai sumber. Itu disebut sinkretisme.
Sinkretisme, mungkin, malah satu-satunya agama besar dunia.
Hukum Alam
Semua agama yang telah kita diskusikan sejauh ini memiliki
kesamaan, satu sifat penting: mereka fokus pada satu
keyakinan kepada tuhan-tuhan dan entitas-entitas supranatural
lainnya. Ini tampak jelas bagi orang-orang Barat, yang mengenal
terutama kredo-kredo monoteistik dan politeistik. Namun,
sesungguhnya sejarah agama dunia tidak bermuara pada sejarah
tuhan-tuhan. Dalam milenium ke-1 SM, agama-agama sebagai
sebuah jenis baru secara menyeluruh mulai menyebar di Afro-
Asia. Pendatang-pendatang baru, seperti Jainisme dan Buddhisme
di India, Daoisme dan Konfusianisme di China, dan Stoisisme,
Cyncisme, serta Epicureanisme di daratan Mediterania, dicirikan
oleh pengabaiannya pada dewa-dewa.
Kredo-kredo ini memandang bahwa tatanan manusia super
yang mengatur dunia yaitu produk dari hukum alam, bukan
kehendak dan keinginan ilahiah. Sebagian dari agama-agama
hukum alam ini terus mengiringi eksistensi tuhan-tuhan, namun
tuhan-tuhan mereka tunduk pada hukum alam, tak ubahnya
seperti manusia, binatang, dan tumbuhan. Dewa-dewa memiliki
ceruknya sendiri dalam ekosistem, sebagaimana gajah-gajah
dan landak-landak juga memilikinya, namun tak bisa mengubah
hukum alam melebihi yang bisa dilakukan gajah. Satu contoh
yang sangat bagus yaitu Buddhisme, agama hukum alam kuno
yang paling penting, yang tetap menjadi salah satu agama besar.
Figur sentral Buddhisme bukan dewa, melainkan manusia yaitu
Siddhartha Gautama. Menurut tradisi Buddha, Gautama yaitu
pewaris kerajaan kecil Himalaya, sekitar 500 SM. Pangeran
muda itu sangat tersentuh dengan penderitaan yang dia lihat
di sekitarnya. Dia melihat pria dan wanita, anak-anak dan
orang tua, semua menderita tidak hanya oleh bencana-bencana
yang sesekali terjadi, seperti perang dan wabah, namun juga dari
264
kecemasan, frustrasi, dan kekecewaan, semua tampak menjadi
bagian tak terpisahkan dari kondisi manusia. Orang mengejar
kekayaan dan kekuasaan, mencari pengetahuan dan harta benda,
mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, dan membangun
rumah-rumah serta istana-istana. Namun, tak peduli apa pun
yang mereka capai, mereka tidak pernah puas. Mereka yang
hidup dalam kemiskinan mengimpikan kekayaan. Mereka yang
memiliki 1 juta ingin 2 juta. Mereka yang punya 2 juta ingin
10 juta. Bahkan, orang kaya dan terkenal jarang puas. Mereka
juga dihantui oleh kepedulian dan kecemasan tiada henti, sampai
sakit, usia tua, dan kematian membawa akhir pahit bagi mereka.
Segala sesuatu yang telah dikumpulkan orang lenyap seperti
asap. Hidup itu seperti perlombaan yang sia-sia. Namun, siapa
yang bisa lolos darinya?
Pada usia 29 tahun, Gautama menyelinap keluar dari
istananya pada tengah malam, meninggalkan keluarga dan
harta bendanya. Dia pergi sebagai gelandangan ke India utara,
mencari jalan untuk keluar dari penderitaan. Dia mengunjungi
ashram-ashram dan duduk bersimpuh di kaki para guru, namun
tidak membebaskannya secara menyeluruh—ketidakpuasan selalu
ada. Dia tidak putus asa. Dia teguh menyelidiki penderitaannya
sendiri sampai menemukan sebuah metode untuk pembebasan
sempurna. Dia menghabiskan waktu 6 tahun bermeditasi menari
esensi, sebab-sebab dan obat bagi penderitaan manusia. Akhirnya,
dia sampai pada kesadaran bahwa penderitaan bukan disebabkan
oleh nasib buruk ketidakadilan sosial, atau oleh kehendak ilahiah.
Namun, penderitaan disebabkan oleh pola-pola perilaku dalam
pikiran seseorang.
Dalam pemahaman mendalam Gautama, terlepas dari apa
pun yang dialami, pikiran biasanya beraksi dengan nafsu, nafsu
selalu melibatkan ketidakpuasan. saat pikiran mengalami
sesuatu yang tidak nyaman, ia bernafsu untuk menyingkirkan
ketidaknyamanan itu. saat pikiran mengalami sesuatu yang
menyenangkan, ia bernafsu agar kesenangan itu tetap ada dan
akan membesar. sebab itu, pikiran selalu tidak puas dan selalu
gelisah. Ini sangat jelas saat kita mengalami hal-hal yang
tidak menyenangkan, seperti rasa sakit. Sepanjang rasa sakit
Hukum Agama
265
itu berlanjut, kita tidak puas dan melakukan semua yang bisa
kita lakukan untuk menghindarinya. Namun, bahkan saat kita
mengalami hal-hal yang menyenangkan kita tidak pernah puas.
Entah kita takut kesenangan itu akan hilang, atau kita berharap
itu akan membesar. Orang mengimpikan selama bertahun-tahun
menemukan cinta, namun jarang yang puas saat menemukannya.
Sebagian menjadi cemas pasangannya akan pergi; yang lain
merasa bahwa tempat tinggal mereka murah, dan mestinya
mendapatkan seseorang yang lebih baik. Dan, kita semua tahu
orang yang berhasil melakukan keduanya.
Tuhan-tuhan mahabesar bisa mengirim kita hujan, institusi-
institusi sosial yang menyediakan keadilan dan perawatan
kesehatan yang baik, serta kebetulan-kebetulan menguntungkan
bisa mengubah kita menjadi miliuner, namun tak seorang pun
bisa mengubah pola dasar mental kita.
Peta 6. Penyebaran Buddhisme
266
Oleh sebab itu, bahkan raja-raja paling hebat hidup
menderita, terus merasakan kesengsaraan dan penderitaan,
selamanya mengejar kesenangan demi kesenangan yang semakin
besar. Gautama menemukan bahwa ada satu cara untuk
keluar dari lingkaran setan itu. Jika mengalami sesuatu yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan, pikiran memahami
hal-hal sebagaimana adanya, maka tidak ada penderitaan. Jika
Anda mengalami kesedihan tanpa nafsu bahwa kesedihan itu
akan pergi, Anda terus merasakan kesedihan itu, namun Anda
tidak menderita sebab nya. Sesungguhnya ada kekayaan dalam
kesedihan. Jika Anda mengalami kesenangan tanpa bernafsu agar
kesenangan itu terus ada dan membesar, Anda terus merasakan
kesenangan itu tanpa kehilangan kedamaian dalam pikiran.
namun bagaimana Anda bisa membawa pikiran
untuk menerima hal-hal sebagaimana adanya, tanpa bernafsu?
Untuk menerima kesedihan sebagai kesedihan, kesenangan
sebagai kesenangan, rasa sakit sebagai rasa sakit? Gautama
mengembangkan seperangkat teknik meditasi yang melatih
pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya, tanpa nafsu.
Praktik-praktik ini melatih pikiran memfokuskan semua perhatian
pada pertanyaan, “Apa yang sedang aku alami sekarang?” bukan
pada, “Apa yang sebaiknya saya alami?” Memang sulit untuk
mencapai keadaan pikiran seperti ini, namun bukan mustahil.
Gautama mendasarkan teknik-teknik meditasi ini pada
seperangkat aturan etik yang dimaksudkan untuk memudahkan
orang fokus pada pengalaman aktual dan menghindari jatuh
pada nafsu dan fantasi. Dia mengajari para pengikutnya untuk
menghindari pembunuhan, seks yang kacau, dan pencurian,
sebab perbuatan-perbuatan semacam itu menyulut api nafsu
(pada kekuasaan, kenikmatan seksual, atau kekayaan). saat api
benar-benar dipadamkan, nafsu diganti oleh keadaan kepuasan
dan ketenangan sempurna, yang dikenal sebagai nirwana (yang
secara harfiah bermakna ‘pemadaman api’). Mereka yang
telah mencapai nirwana sepenuhnya terbebaskan dari semua
penderitaan. Mereka menjalani realitas dengan kejernihan
tertinggi, bebas dari fantasi dan delusi. Meskipun kehendak
mereka sangat mungkin masih menghadapi ketidaksenangan dan
Hukum Agama
267
rasa sakit, pengalaman-pengalaman seperti itu membuat mereka
tidak menderita. Seseorang yang tidak bernafsu tidak menderita.
Menurut tradisi Buddha, Gautama sendiri mencapai nirwana
dan benar-benar terbebaskan dari penderitaan. Oleh sebab itu,
dia dikenal dengan nama “Buddha”, yang berarti ‘Orang yang
Tercerahkan’. Buddha menghabiskan sisa hidupnya menjelaskan
penemuan-penemuannya kepada orang lain agar setiap orang
bisa dibebaskan dari penderitaan. Dia mengemas ajaran-ajarannya
menjadi satu hukum tunggal: penderitaan muncul dari nafsu;
satu-satunya cara untuk benar-benar terbebas dari penderitaan
yaitu dengan membebaskan sepenuhnya dari nafsu; dan satu-
satunya cara untuk membebaskan dari nafsu yaitu melatih
pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya.
Hukum ini, yang dikenal sebagai dharma atau dhamma,
dipandang oleh umat Buddha sebagai hukum alam universal.
Bahwa “penderitaan muncul dari nafsu” yaitu selalu benar dan
berlaku di mana-mana, sebagaimana fisika modern E selalu sama
dengan mc2. Umat Buddha yaitu umat yang meyakini hukum
ini dan menjadikannya fulcrum dari semua aktivitas mereka.
Meyakini dewa-dewa, di sisi lain, yaitu hal yang maknanya
lebih kecil bagi mereka. Prinsip pertama agama monoteis yaitu
“Tuhan ada. Apa yang Dia inginkan dari saya?” Prinsip pertama
Buddha yaitu “Penderitaan ada. Bagaimana saya bisa terbebas
darinya?”
Buddhisme tidak mengingkari eksistensi dewa-dewa—mereka
digambarkan sebagai makhluk-makhluk kuat yang bisa membawa
hujan dan kemenangan—namun mereka tidak memiliki pengaruh
pada hukum bahwa penderitaan muncul dari nafsu. Jika pikiran
seseorang bebas dari semua nafsu, tidak ada dewa yang bisa
membuatnya menderita. Sebaliknya, begitu nafsu muncul pada
pikiran seseorang, semua dewa di alam semesta tidak bisa
menyelamatkan dia dari penderitaan.
Meskipun demikian, sebagaimana agama-agama monoteis,
agama-agama hukum alam pramodern seperti Buddhisme tidak
pernah benar-benar membebaskan diri dari pemujaan dewa-
dewa. Buddhisme mengajarkan kepada orang-orang bahwa
mereka harus mencapai tujuan tertinggi pembebasan sepenuhnya
268
dari penderitaan, bukan perhentian-perthentian di tengah jalan
sebagaimana kemakmuran ekonomi dan kekuasaan politik.
Meskipun demikian, 99 persen orang Buddha tidak mencapai
nirwana, dan bahkan jika mereka berharap demikian untuk masa
depan kehidupannya, mereka mencurahkan sebagian besar waktu
hidup mereka untuk memburu pencapaian-pencapaian duniawi.
Jadi, mereka terus menyembah bermacam-macam dewa, seperti
dewa-dewa Hindu di India, dewa-dewa Bon di Tibet, dan dewa-
dewa Shinto di Jepang.
Lebih dari itu, seiring berjalannya waktu, sekte-sekte Buddha
mengembangkan jajaran-jajaran dewa Buddha dan bodhisattva.
Semua ini yaitu makhluk manusia dan non-manusia dengan
kapasitas untuk mencapai pembebasan penuh dari penderitaan,
namun menjalani pembebasan ini dengan kasih sayang, dalam
rangka membantu makhluk yang tak terhitung jumlahnya yang
masih terperangkap dalam lingkaran penderitaan. Ketimbang
memuja dewa-dewa, banyak orang Buddha mulai menyembah
makhluk-makhluk yang tercerahkan ini, memohon kepada mereka
bantuan tidak hanya dalam mencapai nirwana, namun juga dalam
mengatasi problem-problem duniawi. Jadi, kita menemukan
banyak Buddha dan bodhisattva di seluruh Asia Timur yang
menghabiskan waktu mereka membawa hujan, menghentikan
wabah, dan bahkan memenangkan perang-perang berdarah—
sebagai ganti doa, bunga-bunga berwarna-warni, aroma dupa,
dan sajian-sajian beras dan permen.
Penyembahan Kepada Manusia
Masa 300 tahun terakhir ini sering digambarkan sebagai masa
tumbuhnya sekularisme, yang di dalamnya agama-agama semakin
kehilangan nilainya. Jika kita bicara tentang agama-agama teis, hal
itu umumnya benar. Namun, kalau kita memasukkan juga agama-
agama hukum alam, maka modernitas ternyata merupakan sebuah
masa gairah religius yang intens, upaya-upaya misioner yang
tiada tandingannya, dan perang-perang agama paling berdarah
dalam sejarah. Abad modern menyaksikan bangkitnya sejumlah
Hukum Agama
269
agama-agama hukum alam baru, seperti liberalisme, komunisme,
kapitalisme, nasionalisme, dan nazisme. Kredo-kredo ini tidak
suka disebut agama, dan menganggap diri sebagai ideologi.
Namun, ini hanyalah percaturan semantik belaka. Jika sebuah
agama yaitu sebuah sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia
yang bertumpu pada keyakinan terhadap suatu tatanan manusia
super, maka Komunisme Soviet tak ubahnya sebuah agama
sebagaimana Islam. Islam tentu saja berbeda dari komunisme
sebab Islam memandang tatanan manusia super itu mengatur
dunia sebagai titah dari satu Tuhan pencipta yang mahakuasa,
sedang komunisme Soviet tidak meyakini Tuhan. Namun,
Buddhisme juga memberi perhatian sedikit pada tuhan-tuhan,
namun kita umumnya tetap mengklasifikasinya sebagai agama.
Sebagaimana kaum Buddhis, orang-orang komunis percaya pada
satu tatanan manusia super berupa hukum-hukum alam dan
tak bisa diubah yang harus membimbing perbuatan-perbuatan
manusia. Sementara orang-orang Buddha meyakini bahwa
hukum alam ditemukan oleh Siddhartha Gautama, orang-orang
komunis percaya bahwa hukum alam ditemukan oleh Karl Marx,
Friedrich Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin. Kemiripannya tidak
berakhir di sana. Sebagaimana agama-agama lain, komunisme
juga memiliki kitab suci dan kitab-kitab rasulnya sendiri, seperti
Das Kapital-nya Marx, yang mengajarkan bahwa sejarah akan
segera berakhir dengan kemenangan tak terelakkan kaum proletar.
Komunisme punya hari libur dan hari raya sendiri, seperti 1
Mei dan ulang tahun Revolusi Oktober. Ia punya teolog-teolog
yang mahir tentang dialektika Marxis, dan setiap unit dalam
angkatan perang Soviet memiliki pendeta yang disebut komisar,
yang memantau kesalehan para tentara dan perwira. Komunisme
juga punya martir-martir, perang-perang suci, dan klenik-klenik,
seperti Trotskyisme. Komunisme Soviet yaitu agama fanatik dan
misioner. Seorang pemeluk Komunisme taat tidak bisa menjadi
Kristen atau Buddhis, dan diharapkan menyebarkan ajaran Marx
dan Lenin, bahkan dengan harga nyawanya.
Sebagian pembaca mungkin sangat tidak nyaman dengan
pemikiran ini. Jika membuat Anda merasa lebih baik, Anda
bebas saja terus menyebut Komunisme sebagai sebuah ideologi,
270
bukan agama. Itu tak ada bedanya. Kita membagi kredo-kredo
ke dalam golongan agama-agama yang berpusat pada Tuhan dan
ideologi-ideologi yang tidak bertuhan, yang mengklaim didasarkan
pada hukum-hukum alam. Namun, dengan begitu, agar konsisten,
kita perlu memasukkan Buddha, Daois, sekte-sekte Daois, dan
Stoic juga dalam katalog ideologi, bukan agama. Sebaliknya, kita
harus melihat bahwa keyakinan pada dewa-dewa bertahan dalam
banyak ideologi modern, dan bahwa sebagian dari ideologi-
ideologi itu, terutama liberalisme, menjadi kurang bermakna
Agama yaitu sebuah sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia
yang didasarkan pada keyakinan akan tatanan manusia super. Teori
relativitas bukan agama, sebab (paling tidak sejauh ini) tidak ada
norma-norma dan nilai-nilai manusia yang mendasarinya. Sepak bola
bukan agama sebab tidak ada yang menyatakan aturan-aturannya
mencerminkan titah manusia super. Islam, Buddhisme, dan Komunisme
semuanya yaitu agama sebab semuanya sistem norma-norma dan
nilai-nilai manusia yang didasarkan pada keyakinan akan tatanan
manusia super. (Perhatikan perbedaaan antara “supermanusia” dan
“supranatural”. Hukum alam Buddha dan hukum sejarah Marxis
yaitu manusia super sebab tidak dilegislasi oleh manusia. Namun,
semua itu tidak supranatural.)
Hukum Agama
271
tanpa keyakinan ini. Tidak mungkin melakukan survei di sini
terhadap sejarah semua kredo modern baru, terutama sebab
tidak ada batasan yang jelas di antara kredo-kredo ini .
Kredo-kredo itu tak urang sinkretis dibandingkan monoteisme
dan Buddhisme populer. Sebagaimana seorang Buddha memuja
dewa-dewa Hindu, dan sebagaimana seorang monoteis bisa
meyakini eksistensi Setan, begitu pula orang Amerika masa kini
secara simultan yaitu nasionalis (ia memercayai eksistensi negara
Amerika dengan peran istimewa untuk dimainkan dalam sejarah),
kapitalis pasar-bebas (dia meyakini bahwa kompetisi terbuka
dan memburu kepentingan sendiri yaitu cara terbaik untuk
menciptakan sebuah warga yang makmur), dan seorang
humanis liberal (dia memercayai bahwa manusia dibekali oleh
pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak bisa diingkari).
Nasionalisme akan dibahas dalam Bab 18. Kapitalisme—agama
modern paling sukses—dibahas satu bab penuh, Bab 16, yang
menguraikan keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual prinsipnya.
Dalam sisa bab I saya akan membahas agama-agama humanis.
Agama-agama teis fokus pada pemujaan dewa-dewa. Agama-
agama humanis memuja kemanusiaan, atau lebih tepatnya Homo
sapiens. Humanisme yaitu sebuah keyakinan bahwa Homo
sapiens punya sifat unik dan sakral, yang secara fundamental
berbeda dari sifat semua binatang lain dan semua fenomena lain.
Para pengikut humanis percaya bahwa sifat unik Homo sapiens
merupakan hal yang paling penting di dunia, dan itu menentukan
makna segala hal yang terjadi di Bumi, dan menentukan makna
segala hal yang terjadi di alam semesta. Kebaikan yang tertinggi
yaitu kebaikan Homo sapiens. Selebihnya di dunia ini dan semua
makhluk yang ada semata-mata untuk manfaat bagi spesies ini.
Seluruh humanis memuja kemanusiaan, namun mereka tidak
menyepakati definisinya. Humanisme terpecah menjadi 3 sekte
yang bersaing, yang bertengkar soal definisi pasti “kemanusiaan”,
sebagaimana sekte-sekte Kristen yang bersaing dan bertengkar
soal definisi pasti tentang Tuhan. Kini, sekte humanis yang
paling penting yaitu humanisme liberal, yang meyakini bahwa
“kemanusiaan” yaitu kualitas manusia-manusia individual
sehingga kebebasan individu-individu yaitu sangat suci. Menurut
272
kaum liberal, sifat sakral kemanusiaan berada dalam setiap
dan masing-masing individu Homo sapiens. Inti dari manusia
individual memberi makna kepada dunia, dan menjadi sumber
bagi seluruh otoritas etis dan politis. Jika kita menghadapi
sebuah dilema etis atau politis, kita harus melihat ke dalam dan
mendengarkan suara hati kita—suara kemanusiaan. Firman pokok
humanisme liberal dimaksudkan untuk melindungi kebebasan
suara hati itu melawan intrusi atau perusakan. Firman-firman
ini secara kolektif dikenal sebagai “hak-hak asasi manusia”.
Itulah sebabnya, misalnya, kaum liberal menolak penyiksaan
dan hukuman mati. Di Eropa era awal modern, para pembunuh
dipandang melanggar dan mendestabilkan tatanan kosmis. Untuk
membawa kembali kosmos kepada keseimbangan, diperlukan
penyiksaan dan eksekusi penjahat secara terbuka, agar setiap
orang bisa melihat tatanan ditegakkan kembali. Menghadiri
eksekusi yang mengerikan menjadi hal favorit bagi warga London
dan Paris masa lalu pada era Shakespeare dan Molière. Pada
Eropa masa kini, pembunuhan dipandang sebagai pelanggaran
atas sifat kemanusiaan yang sakral. Untuk memulihkan
tatanan itu, orang-orang Eropa masa kini tidak menyiksa dan
mengeksekusi penjahat. Mereka menghukum seorang pembunuh
dalam apa yang mereka pandang sebagai cara se-“manusiawi”
mungkin sehingga melindungi dan bahkan membangun kembali
kesucian kemanusiaannya. Dengan menghormati sifat manusia si
pembunuh, setiap orang diingatkan akan kesucian kemanusiaan
dan tatanan dipulihkan. Dengan membela pembunuh, kita
bertindak benar terhadap apa yang dilakukan secara salah oleh
pembunuh.
Sekalipun humanisme liberal menyucikan manusia, ia tidak
mengingkari eksistensi Tuhan, dan justru didasarkan pada
keyakinan-keyakinan monoteis. Keyakinan liberal pada sifat
bebas dan sakral setiap individu yaitu warisan langsung dari
keyakinan tradisional Kristen pada kebebasan abadi jiwa-jiwa
setiap individu. Dengan absennya jiwa-jiwa yang abadi dan satu
Tuhan Pencipta, maka menjadi benar-benar sulit bagi kaum liberal
untuk menjelaskan mengapa Sapiens individual begitu istimewa.
Sekte penting lainnya yaitu humanisme sosialis. Kaum
Hukum Agama
273
sosialis percaya bahwa “kemanusiaan” bersifat kolektif ketimbang
individualistik. Mereka memandang yang sakral itu bukan suara
hati setiap individu, melainkan spesies Homo sapiens secara
keseluruhan. Sementara humanisme liberal mengupayakan
sebanyak mungkin kebebasan bagi manusia-manusia individual,
kaum humanis sosialis mengupayakan kesetaraan semua manusia.
Menurut kalangan sosialis, ketidaksetaraan yaitu penistaan
terburuk terhadap kesucian kemanusiaan sebab mengistimewakan
kualitas-kualitas periferal atas esensi universal. Misalnya, saat
orang kaya diistimewakan atas orang miskin, itu berarti bahwa
nilai uang lebih besar dari esensi universal seluruh manusia,
yang menyetarakan orang kaya dan miskin.
Sebagaimana humanisme liberal, humanisme sosialis dibangun
pada fondasi-fondasi monoteis. Ide bahwa seluruh manusia setara
yaitu versi perubahan dari keyakinan monoteis bahwa seluruh
jiwa setara di hadapan Tuhan. Satu-satunya sekte humanis yang
benar-benar lepas dari monoteisme tradisional yaitu humanisme
evolusioner, dengan Nazi sebagai representasi yang paling
terkenal. Yang membedakan kaum Nazi dari sekte-sekte humanis
lainnya yaitu definisi yang berbeda tentang “kemanusiaan”,
yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi. Berlawanan dengan
kaum humanis lainnya, Nazi meyakini bahwa manusia bukanlah
sesuatu yang universal dan kekal, melainkan spesies yang bisa
bermutasi yang bisa berevolusi atau mengalami penurunan
derajat. Manusia bisa berevolusi menjadi manusia super atau
turun derajatnya menjadi setengah manusia.
Ambisi utama Nazi yaitu melindungi manusia dari degenerasi
dan mendorong evolusi progresif. Itulah kenapa orang-orang Nazi
mengatakan bahwa ras Arya, bentuk kemanusiaan yang paling
maju, harus dilindungi dan diperkuat, sedang jenis-jenis Homo
sapiens yang rendah seperti Yahudi, Roma, homoseksual, dan
sakit mental harus dikarantina, bahkan dilenyapkan. Orang-orang
Nazi menjelaskan bahwa Homo sapiens sendiri muncul saat
satu populasi “superior” manusia kuno berevolusi, sedang
populasi-populasi “inferior” seperti Neanderthal punah. Populasi-
populasi yang berbeda ini mula-mula tak lebih dari ras belaka,
namun berkembang secara independen sesuai jalur evolusi masing-
274
masing. Ini mungkin akan terjadi lagi. Menurut kaum Nazi, Homo
sapiens sudah terbagi menjadi beberapa ras yang terpisah, yang
masing-masing memiliki kualitas unik. Salah satu dari ras-ras
ini, ras Arya, memiliki kualitas terbaik—rasionalisme, keindahan,
integritas, dan ketekunan. Oleh sebab itu, ras Arya memiliki
potensi untuk mengubah manusia menjadi manusia super. Ras-ras
lain, seperti Yahudi dan kulit hitam, yaitu Neanderthal masa
kini, yang memiliki kualitas rendah. Jika dibiarkan berbiak, dan
terutama melalui perkawinan silang dengan Arya, mereka akan
merusak seluruh populasi manusia dan memicu punahnya
Homo sapiens.
Para ahli biologi sudah mematahkan teori ras Nazi. Terutama,
riset genetik yang dilakukan setelah 1945 menunjukkan bahwa
perbedaan-perbedaan antara berbagai garis keturunan manusia
jauh lebih kecil ketimbang yang dipostulat** oleh Nazi. Namun,
konklusi-konklusi ini relatif baru. Jika ditengok keadaan
pengetahuan saintifik pada 1933, keyakinan-keyakinan Nazi
sebetulnya nyaris tidak berada dari lingkaran itu. Eksistensi
ras-ras manusia yang berbeda, superioritas ras kulit putih, dan
perlunya melindungi dan memelihara ras superior dipegang teguh
oleh kaum elite Barat. Para sarjana di sebagian besar universitas
paling prestisius di Barat, dengan memakai metode-metode
saintifik ortodoks masa ini, menerbitkan studi-studi yang diduga
membuktikan bahwa ras kulit putih lebih pintar, lebih etis, dan
lebih terampil ketimbang orang Afrika atau India. Para politisi
di Washington, London, dan Canberra menerimanya sebagai
kebenaran bahwa tugas merekalah mencegah pengaruh dan
penurunan derajat ras kulit putih dengan, misalnya, membatasi
imigrasi dari China atau bahkan dari Italia ke negara-negara
“Arya” seperti Amerika Serikat dan Australia.
Pandangan-pandangan ini tidak berubah begitu saja sebab
riset saintifik baru diterbitkan. Perkembangan-perkembangan
sosiologis dan politis yaitu mesin-mesin perubahan yang jauh
lebih kuat. Dalam pengertian ini, Hitler menggali tidak hanya
kuburannya sendiri, namun kuburan rasisme secara umum. saat
** Postulat yaitu asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa
perlu membuktikannya.—penerj.
Hukum Agama
275
melancarkan Perang Dunia II, dia memaksa musuh-musuhnya
untuk membuat pembedaan yang tegas antara “kita” dan
“mereka”. Setelah itu, jelas sebab ideologi Nazi begitu rasis,
dan rasisme menjadi terdiskreditkan di Barat. Namun, perubahan
butuh waktu. Supremasi kulit putih tetap menjadi ideologi arus
utama dalam politik Amerika, bahkan sampai era 1960-an.
Politik Australia Putih tetap berlaku sampai 1973. Orang-orang
Australia etnis Aborigin tidak mendapatkan hak-hak politik yang
setara sampai 1960-an, dan sebagian besar tidak diberi hak pilih
dalam pemilihan umum sebab mereka diputuskan tidak cocok
untuk berfungsi sebagai warga negara.
Agama-Agama Humanis – Agama
Memuliakan Manusia
Humanis
Liberal
Humanis
Sosialis
Humanis
Evolusioner
Homo sapiens pada dasarnya memiliki sifat unik dan sakral yang
berbeda dari semua makhluk dan fenomena alam. Tingkatan
kebaikan yaitu kemanusiaan.
‘Kemanusiaan’ yaitu
individualistis yang
ada di setiap Homo
sapiens.
‘Kemanusiaan’ yaitu
kolektif dan berada
dalam spesies
Homo sapiens secara
keseluruhan.
‘Kemanusiaan’
yaitu spesies yang
tidak tetap. Manusia
mungkin akan
berubah menjadi
subhumans atau
berevolusi menjadi
manusia super.
Hukum tertinggi
yaitu untuk
melindungi inti dan
kebebasan setiap
individu Homo
sapiens.
Hukum tertinggi
yaitu untuk
melindungi kesetaraan
spesies Homo
sapiens.
Hukum tertinggi
yaitu untuk
melindungi umat
manusia dari
degenerasi
ke subhumans, dan
untuk mendorong
evolusi menjadi
manusia super.
276
Nazi tidak membenci kemanusiaan. Mereka memerangi
humanisme liberal, hak-hak asasi manusia, dan Komunisme benar-
benar sebab mereka mengagumi kemanusiaan dan meyakini
potensi besar spesies manusia. Namun, dengan mengikuti logika
evolusi Darwin, mereka berpendapat bahwa seleksi alam harus
dibiarkan menyingkirkan individu-individu yang tidak layak
dan menyisakan hanya yang paling layak untuk bertahan dan
bereproduksi. Dengan membantu yang lemah, liberalisme dan
Komunisme tidak hanya membiarkan individu-individu yang
tidak layak untuk bertahan, mereka sesungguhnya memberi
kesempatan untuk bereproduksi sehingga melemahkan seleksi
alam. Dalam dunia semacam itu, manusia-manusia yang paling
layak tak terelakkan akan tenggelam dalam laut spesies rendah
yang tidak layak. Manusia akan menjadi semakin tidak layak
dan semakin tidak layak seiring pergantian generasi—yang bisa
mengarah pada kepunahannya.
30. Sebuah poster propaganda Nazi menunjukkan di sebelah
kanan suku Arya yang murni “secara ras” dan di sebelah kiri
“keturunan-campuran”. Pemujaan Nazi pada tubuh manusia
sangat jelas, sebagaimana kekhawatiran mereka pada ras kelas
bawah bisa mencemari kemanusiaan sebab penurunan derajat.
Hukum Agama
277
Sebuah Artikel pelajaran biologi Jerman pada 1942 menjelaskan
dalam bab “Hukum Alam dan Manusia” bahwa hukum alam
tertinggi yaitu bahwa seluruh makhluk terkunci dalam
pertarungan survival yang terpencil. Setelah menggambarkan
bagaimana tumbuhan berjuang untuk teritori, bagaimana kumbang
berjuang untuk mencari pasangan dan seterusnya, Artikel pelajaran
itu menyimpulkan bahwa:
Pertarungan untuk eksistensi memang sulit dan tiada ampun,
namun itulah satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan.
Pertarungan mengeliminasi segala sesuatu yang tidak layak untuk
hidup, dan menyeleksi segala hal yang mampu bertahan hidup
.... Hukum alam ini tidak bisa dibantah; makhluk-makhluk hidup
menunjukkannya dengan survival mereka. Mereka memang tiada
kenal ampun.
Mereka yang melawannya akan tersingkir. Biologi tidak
hanya mengajarkan kepada kita tentang binatang dan tumbuhan,
31. Sebuah kartun Nazi
tahun 1933. Hitler
digambarkan sebagai
seorang pematung
yang menciptakan
manusia super. Seorang
intelektual liberal
sejati terperangah
oleh kekerasan yang
dibutuhkan untuk
menciptakan manusia
super (Ingat juga
glorifikasi erotis tubuh
manusia).
278
namun juga menunjukkan kepada kita hukum itu harus diikuti
dalam kehidupan kita, dan menguatkan kehendak kita untuk
hidup dan berjuang menurut hukum ini. Makna dari kehidupan
yaitu perjuangan. Celakalah ia yang berdosa melawan hukum
ini.
Lalu, muncul kutipan dari Mein Kampf: “Orang yang
berusaha memerangi hukum besi alam dengan demikian
memerangi prinsip-prinsip yang harus dia syukuri untuk
kehidupannya sebagai manusia. Memerangi alam yaitu men-
datangkan kerusakan dia sendiri”.3
Pada awal milenium ke-3, masa depan humanisme evolusioner
tidak jelas. Selama 60 tahun setelah akhir perang melawan
Hitler, pantang menghubungkan humanisme dengan evolusi
dan mendukung penggunaan metode-metode biologi untuk
“menaikkan darajat” Homo sapiens. Namun, kini proyek-proyek
semacam itu kembali samar-samar. Tak ada orang yang berbicara
tentang pelenyapan ras rendah atau inferior, namun banyak
yang berkontemplasi memakai pengetahuan kita yang terus
bertambah tentang biologi manusia untuk menciptakan manusia-
manusia super.
Pada saat yang sama, satu teluk besar terbuka antara pendirian
humanisme liberal dan temuan-temuan mutakhir sains kehidupan,
sebuah teluk yang tidak bisa lagi kita abaikan. Sistem politik
dan yudisial liberal kita didasarkan pada keyakinan bahwa setiap
individu memiliki sifat internal yang sakral, tak terpisahkan dan
tak bisa diubah, yang memberi makna bagi dunia, dan itulah
sumber segala otoritas etis dan politis. Ini yaitu reinkarnasi
dari keyakinan Kristen tradisional pada jiwa yang bebas dan
kekal yang berada pada setiap individu. Meskipun demikain
dalam 200 tahun terakhir, sains kehidupan telah melemahkan
sepenuhnya keyakinan ini. Para ilmuwan yang mempelajari cara
kerja internal organisme manusia menemukan tidak ada jiwa di
sana. Mereka mengemukakan bahwa perilaku manusia ditentukan
oleh hormon-hormon, gen-gen, dan synaps-synaps, bukan oleh
kehendak bebas—kekuatan yang sama yang menentukan perilaku
simpanse, rubah, dan semut. Sistem yudisial dan politis kita
umumnya berusaha menyapu penemuan-penemuan semacam
Hukum Agama
279
itu di bawah karpet. Namun, sejujurnya, berapa lama kita bisa
mempertahankan tembok pemisah departemen biologi dari
departemen-departemen hukum dan ilmu politik?
13
Rahasia Sukses
Perdagangan, imperium-imperium, dan agama-agama universal
akhirnya benar-benar membawa setiap Sapiens memasuki dunia
global yang kita tinggali kini. Bukan berarti proses ekspansi
dan unifikasi ini linear atau tanpa interupsi. Namun, dengan
melihat gambar yang lebih luas, transisi untuk banyak kultur
kecil menuju sedikit kultur besar dan akhirnya menjadi sebuah
warga global tunggal mungkin merupakan sebuah hasil tak
terelakkan dari dinamika sejarah manusia.
namun mengatakan bahwa sebuah warga global
tak terelakkan tidak sama dengan mengatakan bahwa hasil
akhirnya harus berupa jenis tertentu dari warga global
yang kita miliki sekarang. Kita bisa membayangkan tentu saja
hasil-hasil lainnya. Mengapa bahasa Inggris begitu meluas saat
ini, dan bukan bahasa Denmark? Mengapa ada sekitar 2 miliar
orang Kristen dan 1,25 miliar orang Muslim, namun hanya
150.000 Zoroaster dan tidak ada satu pun Manichea? Jika kita
bisa kembali ke masa 10.000 tahun lalu dan menyusun ulang
prosesnya, dari waktu ke waktu, akankah kita selalu melihat
munculnya monoteisme dan surutnya dualisme?
Kita tidak bisa melakukan eksperimen semacam itu sehingga
kita benar-benar tidak tahu. Namun, sebuah pengujian atas dua
sifat krusial sejarah bisa memberi kita beberapa petunjuk.
1. Kekeliruan Memandang ke Belakang
Setiap poin dalam sejarah yaitu persimpangan jalan. Satu jalan
tunggal beranjak dari masa lalu ke masa kini, namun banyak sekali
jalur-jalur bercabang menuju masa depan. Sebagian dari jalur itu
Rahasia Sukses
281
lebih luas, lebih mulus, dan lebih jelas tandanya sehingga lebih
mungkin untuk ditempuh, namun terkadang sejarah—atau orang-
orang yang membuat sejarah—mengambil belokan tak terduga.
Pada permulaan awal abad ke-4 M, Imperium Romawi
menghadapi satu horizon luas kemungkinan-kemungkinan
religius. Mestinya ia bisa tetap saja pada politeisme tradisionalnya
yang beraneka ragam. Namun, sang kaisar, Constantine, dengan
memandang ke belakang pada satu era kekacauan perang saudara,
tampaknya berpikir bahwa satu agama tunggal dengan doktrin
yang jelas bisa membantu menyatukan dunianya yang secara etnis
beragam. Dia mestinya bisa memilih yang mana pun di antara
kultus-kultus kontemporer yang banyak jumlahnya untuk menjadi
agama nasional—Manichaesisme, Mithraisme, kultus Isis, atau
Cybele, Zoroaster, Judaisme, dan bahkan Buddhisme semuanya
yaitu opsi-opsi yang tersedia. Mengapa dia memilih Yesus?
Apakah ada sesuatu dalam teologi Kristen yang memikatnya
secara personal atau mungkin satu aspek agama yang menjadikan
ia berpikir itu akan lebih mudah dipakai untuk tujuan-
tujuannya? Apakah dia memiliki sebuah pengalaman religius,
atau apakah sebagian dari para penasihatnya memberi masukan
bahwa orang-orang Kristen cepat mendapat pengikut dan akan
lebih mudah melompat ke dalam kendaraan itu? Para sejarawan
bisa saja berspekulasi, namun tidak akan dapat memberi
jawaban definitif. Mereka bisa menggambarkan bagaimana
Kristen mengambil alih Imperium Romawi, namun mereka tidak
bisa menjelaskan mengapa kemungkinan yang sangat khusus ini
terwujud. Apa perbedaan antara menggambarkan “bagaimana”
dan menjelaskan “mengapa”? Menggambarkan “bagaimana”
berarti merekonstruksi serangkaian peristiwa spesifik yang
bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Menjelaskan “mengapa”
berarti menemukan koneksi-koneksi kausal yang berarti bagi
kejadian dari serangkaian peristiwa-peristiwa tertentu dengan
pengabaian yang lain.
Sebagian ahli benar-benar memberi penjelasan deterministik
tentang peristiwa-peristiwa semacam munculnya Kristen. Mereka
berupaya untuk mereduksi sejarah manusia menjadi ulah
kekuatan-kekuatan biologis, ekologis, atau ekonomis. Mereka
282
memandang bahwa ada sesuatu tentang geografi, genetika, atau
ekonomi dari Mediterania Romawi yang menjadikan kemunculan
agama monoteis tak terelakkan. Namun, sebagian besar sejarawan
cenderung skeptis terhadap teori-teori deterministik semacam itu.
Ini yaitu salah satu tanda pembeda dari sejarah sebagai sebuah
disiplin akademis—semakin baik Anda tahu suatu periode historis
tertentu, semakin sulit untuk menjelaskan mengapa sesuatu
terjadi dengan satu atau lain cara. Mereka yang hanya memiliki
pengetahuan superfisial tentang periode tertentu cenderung fokus
hanya pada kemungkinan bahwa hal itu pada akhirnya terwujud.
Mereka hanya menawarkan pokoknya-ceritanya-begitu untuk
menjelaskan dengan melihat ke belakang mengapa hasil itu tak
terelakkan. Mereka yang memiliki informasi mendalam tentang
periode ini akan jauh lebih paham tentang jalan-jalan yang
tidak ditempuh.
Faktanya, orang-orang yang paling tahu periode itu—
mereka yang hidup pada masa itu—yaitu orang yang paling
tidak memahami. Bagi rata-rata orang Romawi pada masa
Constantine, masa depan yaitu sebuah kabut. Ada hukum besi
sejarah bahwa apa yang tampak tak terelakkan dalam melihat ke
belakang justru jauh lebih kurang jelas pada masa itu. Masa kini
pun tak berbeda. Apakah kita akan keluar dari krisis ekonomi
global, atau sesuatu yang terburuk masih akan terjadi? Akankah
China terus tumbuh sampai menjadi adidaya terkuat? Akankah
Amerika Serikat kehilangan hegemoninya? Apakah menyeruaknya
fundamentalisme monoteistik merupakan gelombang masa depan
atau sebuah pusaran lokal dari signifikansi kecil dalam jangka
panjang? Apakah kita akan menuju bencana ekologis atau surga
teknologis? Ada argumentasi-argumentasi bagus yang bisa dibuat
untuk semua hasil-hasil ini, namun tidak satu pun yang bisa tahu
dengan yakin. Dalam beberapa dekade ke depan, orang akan
melihat ke belakang dan berpikir bahwa jawaban-jawaban pada
semua pertanyaan-pertanyaan itu jelas.
Sangat penting untuk ditekankan bahwa kemungkinan-
kemungkinan yang tampak sangat tidak mungkin bagi orang
yang sezaman justru terwujud. saat Constantine naik takhta
pada tahun 306, Kristen hanya sedikit lebih besar dari sebuah
Rahasia Sukses
283
sekte Timur esoteris. Jika Anda saat itu mengemukakan
bahwa ia segera menjadi agama negara Romawi, Anda akan
ditertawakan sebagaimana bila Anda mengatakan hari ini jika
Anda mengemukakan bahwa pada tahun 2050 Hare Krishna
akan menjadi agama negara di Amerika Serikat. Pada Oktober
1913, kaum Bolshevik yaitu sebuah faksi radikal kecil Rusia. Tak
ada orang dengan pikiran yang sehat meramalkan bahwa hanya
dalam waktu 4 tahun mereka mengambil alih negara. Pada 600
M, pendapat bahwa satu kawanan Arab udik gurun akan segera
menaklukkan satu wilayah luas yang terbentang dari Samudra
Atlantik sampai ke India akan terasa lebih mustahil lagi. Sungguh,
kalau saja angkatan perang Byzantium mampu menghalau
serangan awal itu, Islam mungkin akan tetap sebuah kultus samar
dengan hanya segelintir ahli yang mengetahuinya. Maka, para
ahli akan mudah sekali menjelaskan mengapa sebuah agama yang
didasarkan pada wahyu kepada seorang pedagang paruh baya
tidak pernah bisa berkembang. Bukan untuk mengatakan bahwa
segala sesuatu mungkin terjadi. Kekuatan geografis, biologis,
dan ekonomis menciptakan hambatan-hambatan. Namun,
hambatan-hambatan ini meninggalkan ruang yang longgar bagi
perkembangan-perkembangan yang mengejutkan, yang tampak
tidak terikat oleh hukum-hukum deterministik.
Kesimpulan ini mengecewakan banyak orang, yang lebih
menyukai sejarah bersifat deterministik. Determinisme memang
menarik sebab menunjukkan bahwa dunia kita dan keyakinan-
keyakinan kita yaitu produk natural dan tak terelakkan dari
sejarah. yaitu sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan kita
hidup dalam negara-negara bangsa, mengorganisasi ekonomi
dengan prinsip-prinsip kapitalis, dan meyakini dengan penuh
semangat hak-hak asasi manusia. Mengakui bahwa sejarah
tidak deterministik yaitu mengakui bahwa hanya kebetulan
belaka bahwa sebagian besar orang kini meyakini nasionalisme,
kapitalisme, dan hak-hak asasi manusia.
Sejarah tidak bisa dijelaskan secara deterministik dan tidak
bisa diprediksi sebab bersifat kaotis*. Begitu banyak kekuatan
* Bersifat kacau balau.—penerj.
284
yang bekerja dan interaksi-interaksi mereka begitu rumit sehingga
variasi-variasi yang sangat kecil secara ekstrem dalam dahsyatnya
kekuatan besar dan cara interaksinya pun bisa menghasilkan
perbedaan-perbedaan besar. Lebih dari itu, sejarah yaitu apa
yang disebut sebagai sistem kaotik “level dua”. Sistem kaotik
memiliki dua bentuk. Kekacauan level satu yaitu kekacauan
yang tidak beraksi pada prediksi-prediksi tentangnya. Cuaca,
misalnya, yaitu sistem kaotik level satu. Meskipun ia dipengaruhi
oleh banyak sekali faktor, kita bisa membangun model-model
komputer yang bisa memasukkan semakin banyak pertimbangan,
dan menghasilkan prakiraan-prakiraan cuaca yang jauh lebih baik.
Kekacauan level dua yaitu kekacauan yang bereaksi pada
prediksi tentangnya, dan sebab itu tidak pernah bisa diprediksi
secara akurat. Pasar, misalnya, yaitu sistem kaotik level dua.
Apa yang akan terjadi jika kita mengembangkan sebuah program
komputer yang meramalkan dengan akurasi 100 persen harga
minya besok? Harga minyak akan segera bereaksi pada ramalan
itu, yang akibatnya harga itu pun tidak terwujud. Jika harga
minyak saat ini $90 per barel, dan program komputer sempurna
memprediksi besok harganya menjadi $100, para pedagang
bergegas membeli minyak sehingga mereka bisa mendapatkan
untung dari naiknya harga yang diprediksi itu. Akibatnya, harga
langsung melonjak ke $100 per barel hari ini, bukan besok.
Lalu, apa yang terjadi besok? Tak seorang pun tahu.
Politik juga sistem kaotik level dua. Banyak orang mengkritisi
Sovietologis sebab gagal meramalkan revolusi-revolusi 1989,
menghukum para pakar Timur Tengah sebab tidak mengantisipasi
revolusi-revolusi Arab Springs pada 2011. Ini tidak adil. Revolusi-
revolusi, per definisi, yaitu sesuatu yang tidak bisa diprediksi.
Sebuah revolusi yang bisa diprediksi tidak pernah meletus.
Mengapa tidak? Bayangkan misalnya sekarang tahun 2010
dan sejumlah ilmuwan politik genius yang bersekongkol dengan
seorang ahli komputer mengembangkan suatu algoritma canggih
yang, setelah dihubungkan dengan antarmuka atraktif, bisa
dipasarkan sebagai peramal revolusi. Mereka menawarkan layanan
kepada Presiden Mesir Hosni Mubarak dan, sebagai imbalan
atas tanda jadi dengan nilai istimewa, memberi tahu Mubarak
Rahasia Sukses
285
bahwa menurut ramalan mereka sebuah revolusi akan benar-benar
meletus di Mesir pada tahun depan. Bagaimana reaksi Mubarak?
Sangat mungkin, dia segera menurunkan pajak, mendistribusikan
miliaran dolar untuk dibagi-bagi kepada warga negara—dan juga
menggenjot kewaspadaan pasukan polisi rahasia, untuk berjaga-
jaga. Langkah-langkah preventif itu berhasil. Tahun berganti dan,
mengejutkan, revolusi tidak terjadi. Mubarak meminta uangnya
kembali. “Algoritma Anda tidak berguna!” teriaknya kepada para
ilmuwan. “Saya mestinya bisa membangun istana lagi, bukan
membuang uang percuma!” “Namun, penyebab revolusi itu
tidak terjadi yaitu sebab kami memprediksinya,” kata para
ilmuwan memberi alasan untuk membela diri. “Nabi-nabi yang
bisa meramalkan kejadian yang tidak terjadi?” kata Mubarak
seraya memberi isyarat kepada para pengawal untuk meringkus
para ilmuwan. “Saya mestinya menciduk selusin orang yang
nyaris tidak berarti apa-apa bagi pasar Kairo.”
Jadi, mengapa belajar sejarah? Tak seperti fisika dan ekonomi,
sejarah bukanlah alat untuk membuat prediksi akurat. Kita
mempelajari sejarah bukan untuk mengetahui masa depan, namun
untuk memperluas cakrawala, untuk memahami bahwa situasi
kita saat ini bukanlah alamiah atau tak terelakkan, dan bahwa
kita dengan demikian memiliki lebih banyak kemungkinan di
depan untuk kita bayangkan. Misalnya, mempelajari bagaimana
bangsa Eropa mendominasi Afrika memungkinkan kita menyadari
bahwa tidak ada yang natural atau tak terelakkan tentang hierarki
rasial, dan bahwa dunia mungkin diatur secara berbeda.
2. Renungan Buta
Kita tidak bisa menjelaskan pilihan-pilihan yang dibuat
sejarah, namun kita bisa mengatakan sesuatu yang sangat penting
tentang semua itu: pilihan-pilihan sejarah tidak dibuat untuk
manfaat bagi manusia. Jelas sekali tidak ada bukti bahwa makhluk
manusia sudah pasti membaik seiring bergulirnya sejarah. Tidak
ada bukti bahwa kultur-kultur yang membawa manfaat bagi
manusia pasti dengan sendirinya berhasil dan menyebar, sementara
286
kultur-kultur yang kurang membawa manfaat menjadi lenyap.
Tidak ada bukti bahwa Kristen yaitu pilihan yang lebih baik
ketimbang Manichaeisme, atau bahwa Imperium Arab lebih
bermanfaat ketimbang Persia Sassanid.
Tidak ada bukti bahwa sejarah bekerja untuk membawa
manfaat bagi manusia, sebab kita tidak punya skala objektif
untuk mengukur manfaat semacam itu. Kultur-kultur yang
berbeda mendefinisikan kebaikan secara berbeda pula, dan kita
tidak punya penggaris objektif yang dengannya kita bisa menilai.
Para pemenang, tentu saja, meyakini bahwa definisi merekalah
yang benar. Namun, mengapa kita harus memercayai pemenang?
Orang Kristen memercayai bahwa kemenangan Kristianitas atas
Manichaeisme membawa manfaat bagi manusia, namun jika kita
tidak menerima pandangan dunia Kristen maka tidak ada alasan
untuk sependapat dengannya. Orang Islam meyakini bahwa
jatuhnya Imperium Sassanid di tangan Muslim membawa manfaat
bagi manusia. Namun, manfaat-manfaat ini hanya terbukti jika
kita menerima pandangan dunia Muslim. Bisa saja kita lebih
suka kalau Kristen dan Islam dilupakan atau dikalahkan.
Semakin banyak ahli memandang kultur sebagai jenis infeksi
atau parasit mental, dan manusialah yang tanpa sadar menjadi
pembawanya. Parasit-parasit organik, seperti virus, hidup dalam
tubuh pembawanya. Parasit-parasit itu berbiak dan menyebar dari
satu pembawa ke pembawa lain, menggerogoti pembawanya,
melemahkan mereka, dan terkadang bahkan membunuhnya.
Sepanjang si pembawa hidup cukup lama untuk meneruskan
parasit, maka parasit tidak terlalu peduli dengan kondisi si
pembawa. Dengan cara seperti inilah, ide-ide kultural hidup
dalam pikiran manusia. Ide-ide itu berbiak dan menyebar dari
pembawa ke pembawa lainnya, terkadang melemahkan para
pembawanya, dan kadang-kadang bahkan membunuh mereka.
Sebuah ide kultural—seperti keyakinan pada surga Kristen di
atas awan atau surga Komunis di Bumi—bisa menggugah seorang
manusia untuk mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan
ide itu, bahkan dengan harga kematian. Manusia mati, namun
idenya menyebar. Menurut pendekatan ini, kultur-kultur bukanlah
konspirasi yang diciptakan oleh orang-orang tertenu dalam
Rahasia Sukses
287
rangka mengambil keuntungan dari orang lain (sebagaimana
kecenderungan berpikir kaum Marxis). Namun, kultur yaitu
parasit mental yang muncul secara kebetulan, dan setelah itu
mengambil manfaat dari semua orang yang terinfeksi.
Pendekatan ini terkadang disebut memetika. Diasumsikan
bahwa, sebagaimana evolusi organik didasarkan pada replikasi
unit-unit informasi organik yang disebut “gen”, demikian pula
evolusi kultural didasarkan pada replikasi unit-unit informasi
kultural yang disebut “meme”.1 Kultur-kultur yang sukses yaitu
kultur yang hebat dalam mereproduksi meme-meme mereka,
terlepas dari biaya dan manfaatnya bagi manusia si pembawa.
Sebagian ahli dalam bidang kemanusiaan mencela memetika,
memandangnya sebagai upaya amatir untuk menjelaskan proses-
proses kultural dengan analogi-analogi biologis yang kasar.
Namun, banyak di antara para ahli itu patuh pada saudara
kembar perempuan memetika: posmodernisme. Para pemikir
postmodernis berbicara tentang diskursus, bukan meme-meme
sebagai batu bata bangunan kultur. Meskipun demikian,
mereka memandang kultur menyebarkan diri tanpa banyak
berurusan dengan manfaat bagi manusia. Misalnya, para pemikir
posmodernisme menggambarkan nasionalisme yaitu wabah
mematikan yang menyebar ke seluruh dunia pada abad ke-19
dan ke-20, memicu peran, penindasan, kebencian, dan
genosida. Momen saat rakyat di satu negara terinfeksi olehnya,
negara-negara tetangga juga berkemungkinan terjangkiti virus itu.
Virus nasionalis menampilkan diri sebagai hal yang membawa
manfaat bagi manusia, namun sesungguhnya bermanfaat terutama
untuk dirinya.
Argumentasi-argumentasi serupa lazim dalam ilmu-ilmu sosial,
di bawah payung teori permainan. Teori permainan menjelaskan
bagaimana dalam sistem-sistem dengan banyak pemain,
pandangan-pandangan dan pola-pola perilaku yang merugikan
semua pemain tentu berhasil mengakar dan menyebar. Perlombaan
senjata yaitu contoh yang terkenal. Banyak perlombaan senjata
membangkrutkan semua yang terlibat di dalamnya, tanpa benar-
benar mengubah perimbangan kekuatan militer. saat Pakistan
membeli pesawat-pesawat canggih, India merespons dengan hal
288
yang sama. saat India mengembangkan bom nuklir, Pakistan
mengikutinya. saat Pakistan memperbesar angkatan lautnya,
India pun menandingi. Pada akhir proses, perimbangan kekuatan
bisa tetap sebagaimana adanya, namun sementara itu miliaran dolar
yang semestinya bisa diinvestasikan di pendidikan atau kesehatan
dibelanjakan untuk senjata. Namun, dinamika perlombaan senjata
sulit dilawan. “Perlombaan senjata” yaitu sebuah pola perilaku
yang menyebarkan diri seperti sebuah virus dari satu negara
ke negara lainnya, merugikan setiap orang, namun mengambil
manfaat untuk dirinya, di bawah kriteria evolusioner survival
dan reproduksi. (Ingat bahwa persaingan senjata, seperti sebuah
gen, tidak memiliki kesadaran—ia tidak berusaha secara sadar
untuk bertahan dan bereproduksi. Penyebarannya yaitu hasil
tak sengaja dari suatu dinamika yang kuat.)
Terserah mau sebut apa—teori permainan, posmodernisme
atau memetika—dinamika sejarah tidak diarahkan menuju
penguatan kesejahteraan manusia. Tidak ada dasar untuk berpikir
bahwa kultur-kultur yang paling sukses dalam sejarah dengan
sendirinya kultur terbaik bagi Homo sapiens. Sebagaimana
evolusi, sejarah tidak peduli dengan kebahagiaan individual
organisme. Dan, manusia-manusia individual pun biasanya terlalu
bodoh dan terlalu lemah untuk memengaruhi alur sejarah agar
menguntungkan baginya.
Sejarah berjalan dari satu persimpangan ke persimpangan
berikutnya, memilih alasan misterius tertentu untuk mengikuti
jalur ini terlebih dulu kemudian jalur lainnya. Sekitar tahun 1500
M, sejarah membuat pilihan yang paling penting, mengubah
tidak hanya nasib manusia, namun juga tak terbantahkan nasib
seluruh kehidupan di muka Bumi. Kita menyebutnya Revolusi
Saintifik. Ia dimulai di Eropa barat, satu semenanjung besar
di ujung barat Afro Asia, yang hingga saat itu tidak memiliki
peran penting dalam sejarah. Mengapa Revolusi Saintifik mulai
di sana, bukan di tempat lain, dan tidak di China atau India?
Mengapa ia dimulai pada pertengahan milenium ke-2 M, bukan
2 abad sebelumnya atau 3 abad sesudahnya? Kita tidak tahu.
Para sarjana telah mengajukan puluhan teori, namun tak satu pun
di antaranya benar-benar meyakinkan.
Rahasia Sukses
289
Sejarah memiliki horizon kemungkinan-kemungkinan yang
sangat luas, dan banyak kembungkinan tidak pernah terwujud.
Pantas untuk membayangkan sejarah berjalan generasi demi
generasi sambil melengkapi Revolusi Sainifik, sebagaimana pantas
pula membayangkan sejarah tanpa Kristianitas, tanpa Imperium
Romawi, dan tanpa koin-koin emas.
Bagian Empat
Revolusi Sainti k
32. Alamogordo. 16 Juli 1945, 05.29.53.
Delapan detik setelah bom atom pertama diledakkan. Ahli fisika
nuklir, Robert Oppenheimer, begitu melihat ledakan itu, mengutip
dari Bhagawadgita: “Sekarang saya menjadi Kematian, penghancur
dunia”.
14
Penemuan Ketidaktahuan
Katakanlah seorang petani Spanyol tertidur pada tahun 1000
M dan bangun 500 tahun kemudian, di tengah kegaduhan para
pelaut Columbus yang menumpang Niña, Pinta, dan Santa Maria,
tentu dunia tampak olehnya sangat tidak asing. Sekalipun banyak
perubahan dalam teknologi, tata cara dan batas-batas politis, Rip
Van Winkle dari abad pertengahan ini tentu merasa seakan di
rumah. Namun, seandainya salah satu pelaut Columbus terlelap
dalam tidur yang sama dan terbangun oleh nada dering iPhone,
dia tentu akan merasakan dunia aneh yang tak terjangkau
pemahamannya. “Apakah ini surga?” mungkin dia akan bertanya
kepada dirinya sendiri. “Atau mungkin neraka?”
Dalam 500 tahun terakhir terjadi pertumbuhan fenomenal
dan tak ada presedennya berkenaan dengan kekuatan manusia.
Pada 1500, ada sekitar 500 juta Homo sapiens di seluruh dunia.
Kini, ada 7 miliar.1 Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan
manusia pada 1500 M diperkirakan $250 miliar, dalam nilai
dolar saat ini.2 Pada masa sekarang, nilai satu tahun produksi
oleh manusia mendekati $60 triliun.3 Pada 1500 M, manusia
mengonsumsi sekitar 13 triliun kalori energi per hari. Kini, kita
mengonsumsi 1.500 triliun kalori per hari.4 (Coba perhatikan
sekali lagi angka-angka ini —populasi manusia bertambah
4 kali lipat, produksi 240 kali lipat, dan konsumsi energi 115
kali lipat.)
Bayangkan satu kapal perang modern tunggal membawa
muatan kembali ke masa Columbus. Hanya dalam hitungan
detik kapal itu bisa membuat serpihan kayu terapung dari Niña,
Pinta, dan Santa Maria, kemudian menenggelamkan angkatan
laut dari setiap kekuatan besar dunia masa itu tanpa tergores
sedikit pun. Lima pesawat tempur modern tentu bisa mengangkut
294
seluruh kargo yang dimuat oleh semua armada perdagangan
dunia.5 Sebuah komputer modern tentu bisa dengan mudah
menyimpan setiap kata dan angka dalam Artikel dan gulungan
naskah-naskah kuno di setiap perpustakaan abad pertengahan
tanpa menghabiskan ruang. Setiap bank besar masa kini bisa
menyimpan uang lebih banyak dari uang total semua uang milik
raja-raja pramodern.6
Pada 1500 M, tak banyak kota yang memiliki penduduk di
atas 100.000. Sebagian besar bangunan dibangun dengan lumpur,
kayu, dan jerami; sebuah bangunan tiga lantai yaitu pencakar
langit. Jalan-jalan yaitu jalur-jalur tanah dengan bekas-bekas
lindasan roda, yang berdebu pada musim panas dan becek
pada musim dingin, disesaki pejalan kaki, kuda-kuda, kambing-
kambing, ayam-ayam, dan beberapa pedati. Kegaduhan urban
yang paling umum yaitu suara manusia dan hewan, dengan
sesekali dentuman palu dan gesekan gergaji. saat Matahari
terbenam, langit kota menghitam, hanya titik-titik lilin atau
obor yang bekerjap dalam remang. Jika seorang penghuni kota
seperti itu bisa melihat toko modern, New York atau Mumbai,
apa yang akan dipikirkannya?
Menjelang abad ke-16, tidak ada manusia yang berlayar
mengelilingi Bumi. Ini berubah pada 1522 M, saat kapal-
kapal Magellan kembali ke Spanyol setelah perjalanan 72.000
kil