Sapiens 9

 









 memiliki jawaban singkat dan sederhana atas Problem 

Kejahatan yang terkenal, salah satu kecemasan fundamental 

pikiran manusia. “Mengapa ada yang jahat di dunia? Mengapa 

ada penderitaan? Mengapa hal-hal buruk terjadi pada orang-

orang baik?” Kaum monoteis harus mempraktikkan gimnastik 

intelektual untuk menjelaskan mengapa Tuhan yang baik yang 

tahu segalanya dan memiliki semua kekuatan membiarkan 

begitu banyak penderitaan di dunia. Satu penjelasan yang 


 

260

terkenal yaitu  bahwa itu cara Tuhan dalam memberi manusia 

kebebasan berkehendak. Jika tidak ada kejahatan, manusia tidak 

bisa memilih antara yang baik dan yang jahat sehingga tidak 

ada kebebasan berkehendak. Namun, ini yaitu  jawaban non-

intuitif yang langsung memunculkan banyak sekali pertanyaan 

baru. Kebebasan berkehendak memungkinkan manusia memilih 

yang jahat. Banyak malah yang memilih yang jahat dan, menurut 

penjelasan standar monoteis, pilihan itu pasti membawa hukuman 

ilahiah. Jika Tuhan tahu sebelumnya bahwa seseorang tertentu 

akan memakai  kehendak bebasnya untuk memilih kejahatan, 

dan bahwa hasilnya dia akan dihukum dengan penyiksaan abadi 

di neraka, mengapa Tuhan menciptakan dia? Para teolog menulis 

tak terhitung Artikel  untuk menjawab pertanyaan semacam itu. 

Sebagian menemukan jawaban yang meyakinkan. Sebagian tidak. 

Yang tak bisa dimungkiri yaitu  bahwa kaum monoteis kesulitan 

menangani Problem Kejahatan.

Bagi kaum dualis, hal-hal buruk terjadi pada orang baik 

sebab  dunia tidak diatur oleh Tuhan baik sempurna yang tahu 

segala hal, memiliki segala kekuatan. Ada kekuatan jahat yang 

independen di dunia. Kekuatan jahat itu melakukan hal-hal buruk.

Pandangan dualis sendiri pun memiliki kekurangan-

kekurangan. Benar, ia menawarkan sebuah solusi yang sangat 

sederhana atas Problem Kejahatan. Namun, ia terkesima 

oleh Problem Tatanan. Jika memang ada dua kekuatan yang 

bertentangan di dunia, satu baik dan satu jahat, siapa yang 

menetapkan hukum yang mengatur pertarungan antara keduanya? 

Dua negara yang bermusuhan bisa saling memerangi sebab  

keduanya ada pada masa dan ruang, dan mematuhi hukum fisika 

yang sama. Sebuah misil yang diluncurkan dari bumi Pakistan 

bisa menghantam target di teritori India sebab  hukum fisika 

yang sama berlaku di kedua negara. saat  yang baik dan yang 

jahat berkelahi, hukum bersama apa yang mereka patuhi, dan 

siap yang menetapkan hukum-hukum itu?

Sebaliknya, kaum monoteis bagus dalam menjelaskan Problem 

Tatanan, namun  bukan Problem Kejahatan. Ada satu cara logis 

menyelesaikan teka-teki itu: yaitu pandangan bahwa ada satu 


Hukum Agama

261

Tuhan mahakuasa yang menciptakan seluruh alam semesta—dan 

itu yaitu  satu Tuhan jahat. Namun, tak seorang pun dalam 

sejarah sanggup mencerna keyakinan semacam itu.

Agama-agama dualistik tumbuh subur selama lebih dari 1.000 

tahun. Dalam waktu sekitar 1500 SM dan 1000 SM, seorang 

nabi bernama Zoroaster (Zarahustra) aktif di suatu tempat di Asia 

Tengah. Kredonya diturunkan dari generasi ke generasi sampai 

ia menjadi agama dualistik paling penting—Zoroastrianisme. 

Kaum Zoroaster memandang dunia sebagai pertarungan kosmis 

antara dewa baik Ahura Mazda dan dewa jahat Angra Mainyu. 

Manusia harus membantu dewa baik dalam pertarungan ini. 

Zoroastrianisme yaitu  satu agama penting dalam masa Imperium 

Persia Achaemenid (550–330 SM) dan belakangan menjadi agama 

resmi Imperium Persia Sassanid (224–651 M). Ia menyebarkan 

pengaruh besar ke hampir semua agama Timur Tengah dan 

Asia Tengah, dan mengilhami sejumlah agama-agama dualis lain, 

seperti Gnosticisme dan Manichaenisme.

Pada abad ke-3 dan ke-4 M, kredo Manichaen menyebar 

dari China ke Afrika Utara, dan dalam satu masa terlihat ia akan 

mengalahkan Kristen untuk mencapai dominasi di Imperiuam 

Romawi. Namun, kaum Manichean kalah dengan Kristen dalam 

merebut jiwa Romawi, Imperium Sassanid Zoroaster digulung 

oleh kaum monoteis Muslim, dan dualis surut. Kini hanya 

segelintir komunitas dualis yang bertahan di India dan Timur 

Tengah.

Bagaimanapun, munculnya gelombang monoteisme tidak 

benar-benar menyapu dualisme. Monoteisme Yahudi, Kristen, 

dan Islam menyerap banyak keyakinan dan praktik dualis, dan 

sebagian ide-ide yang paling dasar dari apa yang kita sebut 

“monoteisme”, sesungguhnya berasal dari dan bersemangat dualis. 

Tak terhitung oleh orang Kristen, Muslim, dan Yahudi meyakini 

kekuatan jahat yang dahsyat—seperti yang disebut Setan oleh 

orang Kristen—yang bisa bertindak independen, memerangi 

Tuhan baik, dan menciptakan kekacauan tanpa izin Tuhan.

Bagaimana bisa seorang monoteis mematuhi keyakinan 

dualistik semacam itu (yang lagi pula, Perjanjian Lama tidak 

bisa ditemukan di mana pun)? Secara logis, itu tidak mungkin. 


 

262

Entah Anda percaya pada satu Tuhan tunggal yang mahakuasa 

atau Anda meyakini dua kekuatan yang berlawanan, tak satu 

pun yang mahakuasa. Tetap, manusia memiliki kapasitas luar 

biasa untuk meyakini kontradiksi-kontradiksi. Jadi, mestinya 

tidak mengejutkan bahwa jutaan orang Kristen, Muslim, dan 

Yahudi yang berhasil meyakini dalam satu waktu yang sama pada 

Tuhan Yang Mahakuasa dan satu Setan yang independen. Tak 

terhitung orang Kristen, Muslim, dan Yahudi membayangkan 

bahwa Tuhan yang baik bahkan membutuhkan bantuan kita 

dalam pertarungan melawan Setan, yang mengilhami (sebagian 

di antaranya) seruan jihad dan Perang Salib.

Satu konsep penting lainnya dalam pandangan dualistik, 

terutama Gnostik dan Manichaenisme, yaitu  pembedaan 

tajam antara raga dan jiwa, antara materi dan ruh. Gnostik dan 

Manichaean berpendirian bahwa tuhan baik menciptakan ruh dan 

jiwa, sedang  materi dan tubuh yaitu  ciptakan tuhan jahat. 

Manusia, menurut pandangan ini, menjadi arena pertarungan 

antara jiwa yang baik dan jiwa yang jahat. Dari satu perspektif 

monoteistik, itu omong kosong—mengapa membedakan begitu 

tajam antara tubuh dan jiwa, atau materi dan ruh? Dan, 

mengapa pula tubuh dan materi dipandang jahat? Lagi pula, 

segala sesuatu dicptakan oleh Tuhan yang sama. Namun, kaum 

monoteis tak bisa lari dari godaan dikotomi dualis, jelas sebab  

dikotomi membantu mereka mengatasi problem kejahatan. Maka, 

pertentangan semacam itu pada akhirnya menjadi pilar bagi 

pemikiran Kristen dan Islam. Keyakinan pada surga (alam Tuhan 

yang baik) dan neraka (alam Tuhan yang jahat) juga berasal dari 

dualis. Tidak ada jejak keyakinan ini dalam Perjanjian Baru, yang 

juga tidak pernah mengklaim bahwa jiwa-jiwa orang terus hidup 

setelah kematian raga.

Faktanya, monoteisme, sebagaimana peran yang telah 

dimainkannya dalam sejarah, yaitu  sebuah kaleidoskop warisan 

monoteis, dualis, politeis, dan animis, yang menyatu di bawah 

payung ilahiah tunggal. Rata-rata orang Kristen meyakini 

monoteisme Tuhan, namun  juga Setan dualis, santo-santo politeis, 

dan hantu-hantu animis. Para ahli agama memiliki nama untuk 

persetujuan simultan atas ide-ide yang berbeda dan bahkan 


Hukum Agama

263

kontradiktif dan kombinasi ritual-ritual serta praktik-praktik 

ini yang diambil dari berbagai sumber. Itu disebut sinkretisme. 

Sinkretisme, mungkin, malah satu-satunya agama besar dunia.

Hukum Alam

Semua agama yang telah kita diskusikan sejauh ini memiliki 

kesamaan, satu sifat  penting: mereka fokus pada satu 

keyakinan kepada tuhan-tuhan dan entitas-entitas supranatural 

lainnya. Ini tampak jelas bagi orang-orang Barat, yang mengenal 

terutama kredo-kredo monoteistik dan politeistik. Namun, 

sesungguhnya sejarah agama dunia tidak bermuara pada sejarah 

tuhan-tuhan. Dalam milenium ke-1 SM, agama-agama sebagai 

sebuah jenis baru secara menyeluruh mulai menyebar di Afro-

Asia. Pendatang-pendatang baru, seperti Jainisme dan Buddhisme 

di India, Daoisme dan Konfusianisme di China, dan Stoisisme, 

Cyncisme, serta Epicureanisme di daratan Mediterania, dicirikan 

oleh pengabaiannya pada dewa-dewa.

Kredo-kredo ini memandang bahwa tatanan manusia super 

yang mengatur dunia yaitu  produk dari hukum alam, bukan 

kehendak dan keinginan ilahiah. Sebagian dari agama-agama 

hukum alam ini terus mengiringi eksistensi tuhan-tuhan, namun  

tuhan-tuhan mereka tunduk pada hukum alam, tak ubahnya 

seperti manusia, binatang, dan tumbuhan. Dewa-dewa memiliki 

ceruknya sendiri dalam ekosistem, sebagaimana gajah-gajah 

dan landak-landak juga memilikinya, namun  tak bisa mengubah 

hukum alam melebihi yang bisa dilakukan gajah. Satu contoh 

yang sangat bagus yaitu  Buddhisme, agama hukum alam kuno 

yang paling penting, yang tetap menjadi salah satu agama besar. 

Figur sentral Buddhisme bukan dewa, melainkan manusia yaitu 

Siddhartha Gautama. Menurut tradisi Buddha, Gautama yaitu  

pewaris kerajaan kecil Himalaya, sekitar 500 SM. Pangeran 

muda itu sangat tersentuh dengan penderitaan yang dia lihat 

di sekitarnya. Dia melihat pria dan wanita, anak-anak dan 

orang tua, semua menderita tidak hanya oleh bencana-bencana 

yang sesekali terjadi, seperti perang dan wabah, namun  juga dari 


 

264

kecemasan, frustrasi, dan kekecewaan, semua tampak menjadi 

bagian tak terpisahkan dari kondisi manusia. Orang mengejar 

kekayaan dan kekuasaan, mencari pengetahuan dan harta benda, 

mendapatkan anak laki-laki dan perempuan, dan membangun 

rumah-rumah serta istana-istana. Namun, tak peduli apa pun 

yang mereka capai, mereka tidak pernah puas. Mereka yang 

hidup dalam kemiskinan mengimpikan kekayaan. Mereka yang 

memiliki 1 juta ingin 2 juta. Mereka yang punya 2 juta ingin 

10 juta. Bahkan, orang kaya dan terkenal jarang puas. Mereka 

juga dihantui oleh kepedulian dan kecemasan tiada henti, sampai 

sakit, usia tua, dan kematian membawa akhir pahit bagi mereka. 

Segala sesuatu yang telah dikumpulkan orang lenyap seperti 

asap. Hidup itu seperti perlombaan yang sia-sia. Namun, siapa 

yang bisa lolos darinya?

Pada usia 29 tahun, Gautama menyelinap keluar dari 

istananya pada tengah malam, meninggalkan keluarga dan 

harta bendanya. Dia pergi sebagai gelandangan ke India utara, 

mencari jalan untuk keluar dari penderitaan. Dia mengunjungi 

ashram-ashram dan duduk bersimpuh di kaki para guru, namun  

tidak membebaskannya secara menyeluruh—ketidakpuasan selalu 

ada. Dia tidak putus asa. Dia teguh menyelidiki penderitaannya 

sendiri sampai menemukan sebuah metode untuk pembebasan 

sempurna. Dia menghabiskan waktu 6 tahun bermeditasi menari 

esensi, sebab-sebab dan obat bagi penderitaan manusia. Akhirnya, 

dia sampai pada kesadaran bahwa penderitaan bukan disebabkan 

oleh nasib buruk ketidakadilan sosial, atau oleh kehendak ilahiah. 

Namun, penderitaan disebabkan oleh pola-pola perilaku dalam 

pikiran seseorang.

Dalam pemahaman mendalam Gautama, terlepas dari apa 

pun yang dialami, pikiran biasanya beraksi dengan nafsu, nafsu 

selalu melibatkan ketidakpuasan. saat  pikiran mengalami 

sesuatu yang tidak nyaman, ia bernafsu untuk menyingkirkan 

ketidaknyamanan itu. saat  pikiran mengalami sesuatu yang 

menyenangkan, ia bernafsu agar kesenangan itu tetap ada dan 

akan membesar. sebab  itu, pikiran selalu tidak puas dan selalu 

gelisah. Ini sangat jelas saat  kita mengalami hal-hal yang 

tidak menyenangkan, seperti rasa sakit. Sepanjang rasa sakit 


Hukum Agama

265

itu berlanjut, kita tidak puas dan melakukan semua yang bisa 

kita lakukan untuk menghindarinya. Namun, bahkan saat  kita 

mengalami hal-hal yang menyenangkan kita tidak pernah puas. 

Entah kita takut kesenangan itu akan hilang, atau kita berharap 

itu akan membesar. Orang mengimpikan selama bertahun-tahun 

menemukan cinta, namun  jarang yang puas saat  menemukannya. 

Sebagian menjadi cemas pasangannya akan pergi; yang lain 

merasa bahwa tempat tinggal mereka murah, dan mestinya 

mendapatkan seseorang yang lebih baik. Dan, kita semua tahu 

orang yang berhasil melakukan keduanya. 

Tuhan-tuhan mahabesar bisa mengirim kita hujan, institusi-

institusi sosial yang menyediakan keadilan dan perawatan 

kesehatan yang baik, serta kebetulan-kebetulan menguntungkan 

bisa mengubah kita menjadi miliuner, namun  tak seorang pun 

bisa mengubah pola dasar mental kita. 

Peta 6. Penyebaran Buddhisme


 

266

Oleh sebab  itu, bahkan raja-raja paling hebat hidup 

menderita, terus merasakan kesengsaraan dan penderitaan, 

selamanya mengejar kesenangan demi kesenangan yang semakin 

besar. Gautama menemukan bahwa ada satu cara untuk 

keluar dari lingkaran setan itu. Jika mengalami sesuatu yang 

menyenangkan atau tidak menyenangkan, pikiran memahami 

hal-hal sebagaimana adanya, maka tidak ada penderitaan. Jika 

Anda mengalami kesedihan tanpa nafsu bahwa kesedihan itu 

akan pergi, Anda terus merasakan kesedihan itu, namun  Anda 

tidak menderita sebab nya. Sesungguhnya ada kekayaan dalam 

kesedihan. Jika Anda mengalami kesenangan tanpa bernafsu agar 

kesenangan itu terus ada dan membesar, Anda terus merasakan 

kesenangan itu tanpa kehilangan kedamaian dalam pikiran.

namun  bagaimana Anda bisa membawa pikiran 

untuk menerima hal-hal sebagaimana adanya, tanpa bernafsu? 

Untuk menerima kesedihan sebagai kesedihan, kesenangan 

sebagai kesenangan, rasa sakit sebagai rasa sakit? Gautama 

mengembangkan seperangkat teknik meditasi yang melatih 

pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya, tanpa nafsu. 

Praktik-praktik ini melatih pikiran memfokuskan semua perhatian 

pada pertanyaan, “Apa yang sedang aku alami sekarang?” bukan 

pada, “Apa yang sebaiknya saya alami?” Memang sulit untuk 

mencapai keadaan pikiran seperti ini, namun  bukan mustahil.

Gautama mendasarkan teknik-teknik meditasi ini pada 

seperangkat aturan etik yang dimaksudkan untuk memudahkan 

orang fokus pada pengalaman aktual dan menghindari jatuh 

pada nafsu dan fantasi. Dia mengajari para pengikutnya untuk 

menghindari pembunuhan, seks yang kacau, dan pencurian, 

sebab  perbuatan-perbuatan semacam itu menyulut api nafsu 

(pada kekuasaan, kenikmatan seksual, atau kekayaan). saat  api 

benar-benar dipadamkan, nafsu diganti oleh keadaan kepuasan 

dan ketenangan sempurna, yang dikenal sebagai nirwana (yang 

secara harfiah bermakna ‘pemadaman api’). Mereka yang 

telah mencapai nirwana sepenuhnya terbebaskan dari semua 

penderitaan. Mereka menjalani realitas dengan kejernihan 

tertinggi, bebas dari fantasi dan delusi. Meskipun kehendak 

mereka sangat mungkin masih menghadapi ketidaksenangan dan 


Hukum Agama

267

rasa sakit, pengalaman-pengalaman seperti itu membuat mereka 

tidak menderita. Seseorang yang tidak bernafsu tidak menderita.

Menurut tradisi Buddha, Gautama sendiri mencapai nirwana 

dan benar-benar terbebaskan dari penderitaan. Oleh sebab  itu, 

dia dikenal dengan nama “Buddha”, yang berarti ‘Orang yang 

Tercerahkan’. Buddha menghabiskan sisa hidupnya menjelaskan 

penemuan-penemuannya kepada orang lain agar setiap orang 

bisa dibebaskan dari penderitaan. Dia mengemas ajaran-ajarannya 

menjadi satu hukum tunggal: penderitaan muncul dari nafsu; 

satu-satunya cara untuk benar-benar terbebas dari penderitaan 

yaitu  dengan membebaskan sepenuhnya dari nafsu; dan satu-

satunya cara untuk membebaskan dari nafsu yaitu  melatih 

pikiran untuk menjalani realitas sebagaimana adanya.

Hukum ini, yang dikenal sebagai dharma atau dhamma, 

dipandang oleh umat Buddha sebagai hukum alam universal. 

Bahwa “penderitaan muncul dari nafsu” yaitu  selalu benar dan 

berlaku di mana-mana, sebagaimana fisika modern E selalu sama 

dengan mc2. Umat Buddha yaitu  umat yang meyakini hukum 

ini dan menjadikannya fulcrum dari semua aktivitas mereka. 

Meyakini dewa-dewa, di sisi lain, yaitu  hal yang maknanya 

lebih kecil bagi mereka. Prinsip pertama agama monoteis yaitu  

“Tuhan ada. Apa yang Dia inginkan dari saya?” Prinsip pertama 

Buddha yaitu  “Penderitaan ada. Bagaimana saya bisa terbebas 

darinya?”

Buddhisme tidak mengingkari eksistensi dewa-dewa—mereka 

digambarkan sebagai makhluk-makhluk kuat yang bisa membawa 

hujan dan kemenangan—namun  mereka tidak memiliki pengaruh 

pada hukum bahwa penderitaan muncul dari nafsu. Jika pikiran 

seseorang bebas dari semua nafsu, tidak ada dewa yang bisa 

membuatnya menderita. Sebaliknya, begitu nafsu muncul pada 

pikiran seseorang, semua dewa di alam semesta tidak bisa 

menyelamatkan dia dari penderitaan.

Meskipun demikian, sebagaimana agama-agama monoteis, 

agama-agama hukum alam pramodern seperti Buddhisme tidak 

pernah benar-benar membebaskan diri dari pemujaan dewa-

dewa. Buddhisme mengajarkan kepada orang-orang bahwa 

mereka harus mencapai tujuan tertinggi pembebasan sepenuhnya 


 

268

dari penderitaan, bukan perhentian-perthentian di tengah jalan 

sebagaimana kemakmuran ekonomi dan kekuasaan politik. 

Meskipun demikian, 99 persen orang Buddha tidak mencapai 

nirwana, dan bahkan jika mereka berharap demikian untuk masa 

depan kehidupannya, mereka mencurahkan sebagian besar waktu 

hidup mereka untuk memburu pencapaian-pencapaian duniawi. 

Jadi, mereka terus menyembah bermacam-macam dewa, seperti 

dewa-dewa Hindu di India, dewa-dewa Bon di Tibet, dan dewa-

dewa Shinto di Jepang.

Lebih dari itu, seiring berjalannya waktu, sekte-sekte Buddha 

mengembangkan jajaran-jajaran dewa Buddha dan bodhisattva. 

Semua ini yaitu  makhluk manusia dan non-manusia dengan 

kapasitas untuk mencapai pembebasan penuh dari penderitaan, 

namun  menjalani pembebasan ini dengan kasih sayang, dalam 

rangka membantu makhluk yang tak terhitung jumlahnya yang 

masih terperangkap dalam lingkaran penderitaan. Ketimbang 

memuja dewa-dewa, banyak orang Buddha mulai menyembah 

makhluk-makhluk yang tercerahkan ini, memohon kepada mereka 

bantuan tidak hanya dalam mencapai nirwana, namun  juga dalam 

mengatasi problem-problem duniawi. Jadi, kita menemukan 

banyak Buddha dan bodhisattva di seluruh Asia Timur yang 

menghabiskan waktu mereka membawa hujan, menghentikan 

wabah, dan bahkan memenangkan perang-perang berdarah—

sebagai ganti doa, bunga-bunga berwarna-warni, aroma dupa, 

dan sajian-sajian beras dan permen.

Penyembahan Kepada Manusia

Masa 300 tahun terakhir ini sering digambarkan sebagai masa 

tumbuhnya sekularisme, yang di dalamnya agama-agama semakin 

kehilangan nilainya. Jika kita bicara tentang agama-agama teis, hal 

itu umumnya benar. Namun, kalau kita memasukkan juga agama-

agama hukum alam, maka modernitas ternyata merupakan sebuah 

masa gairah religius yang intens, upaya-upaya misioner yang 

tiada tandingannya, dan perang-perang agama paling berdarah 

dalam sejarah. Abad modern menyaksikan bangkitnya sejumlah 


Hukum Agama

269

agama-agama hukum alam baru, seperti liberalisme, komunisme, 

kapitalisme, nasionalisme, dan nazisme. Kredo-kredo ini tidak 

suka disebut agama, dan menganggap diri sebagai ideologi. 

Namun, ini hanyalah percaturan semantik belaka. Jika sebuah 

agama yaitu  sebuah sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia 

yang bertumpu pada keyakinan terhadap suatu tatanan manusia 

super, maka Komunisme Soviet tak ubahnya sebuah agama 

sebagaimana Islam. Islam tentu saja berbeda dari komunisme 

sebab  Islam memandang tatanan manusia super itu mengatur 

dunia sebagai titah dari satu Tuhan pencipta yang mahakuasa, 

sedang  komunisme Soviet tidak meyakini Tuhan. Namun, 

Buddhisme juga memberi perhatian sedikit pada tuhan-tuhan, 

namun  kita umumnya tetap mengklasifikasinya sebagai agama. 

Sebagaimana kaum Buddhis, orang-orang komunis percaya pada 

satu tatanan manusia super berupa hukum-hukum alam dan 

tak bisa diubah yang harus membimbing perbuatan-perbuatan 

manusia. Sementara orang-orang Buddha meyakini bahwa 

hukum alam ditemukan oleh Siddhartha Gautama, orang-orang 

komunis percaya bahwa hukum alam ditemukan oleh Karl Marx, 

Friedrich Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin. Kemiripannya tidak 

berakhir di sana. Sebagaimana agama-agama lain, komunisme 

juga memiliki kitab suci dan kitab-kitab rasulnya sendiri, seperti 

Das Kapital-nya Marx, yang mengajarkan bahwa sejarah akan 

segera berakhir dengan kemenangan tak terelakkan kaum proletar. 

Komunisme punya hari libur dan hari raya sendiri, seperti 1 

Mei dan ulang tahun Revolusi Oktober. Ia punya teolog-teolog 

yang mahir tentang dialektika Marxis, dan setiap unit dalam 

angkatan perang Soviet memiliki pendeta yang disebut komisar, 

yang memantau kesalehan para tentara dan perwira. Komunisme 

juga punya martir-martir, perang-perang suci, dan klenik-klenik, 

seperti Trotskyisme. Komunisme Soviet yaitu  agama fanatik dan 

misioner. Seorang pemeluk Komunisme taat tidak bisa menjadi 

Kristen atau Buddhis, dan diharapkan menyebarkan ajaran Marx 

dan Lenin, bahkan dengan harga nyawanya.

Sebagian pembaca mungkin sangat tidak nyaman dengan 

pemikiran ini. Jika membuat Anda merasa lebih baik, Anda 

bebas saja terus menyebut Komunisme sebagai sebuah ideologi, 


 

270

bukan agama. Itu tak ada bedanya. Kita membagi kredo-kredo 

ke dalam golongan agama-agama yang berpusat pada Tuhan dan 

ideologi-ideologi yang tidak bertuhan, yang mengklaim didasarkan 

pada hukum-hukum alam. Namun, dengan begitu, agar konsisten, 

kita perlu memasukkan Buddha, Daois, sekte-sekte Daois, dan 

Stoic juga dalam katalog ideologi, bukan agama. Sebaliknya, kita 

harus melihat bahwa keyakinan pada dewa-dewa bertahan dalam 

banyak ideologi modern, dan bahwa sebagian dari ideologi-

ideologi itu, terutama liberalisme, menjadi kurang bermakna 

Agama yaitu  sebuah sistem norma-norma dan nilai-nilai manusia 

yang didasarkan pada keyakinan akan tatanan manusia super. Teori 

relativitas bukan agama, sebab  (paling tidak sejauh ini) tidak ada 

norma-norma dan nilai-nilai manusia yang mendasarinya. Sepak bola 

bukan agama sebab  tidak ada yang menyatakan aturan-aturannya 

mencerminkan titah manusia super. Islam, Buddhisme, dan Komunisme 

semuanya yaitu  agama sebab  semuanya sistem norma-norma dan 

nilai-nilai manusia yang didasarkan pada keyakinan akan tatanan 

manusia super. (Perhatikan perbedaaan antara “supermanusia” dan 

“supranatural”. Hukum alam Buddha dan hukum sejarah Marxis 

yaitu  manusia super sebab  tidak dilegislasi oleh manusia. Namun, 

semua itu tidak supranatural.)


Hukum Agama

271

tanpa keyakinan ini. Tidak mungkin melakukan survei di sini 

terhadap sejarah semua kredo modern baru, terutama sebab  

tidak ada batasan yang jelas di antara kredo-kredo ini . 

Kredo-kredo itu tak urang sinkretis dibandingkan monoteisme 

dan Buddhisme populer. Sebagaimana seorang Buddha memuja 

dewa-dewa Hindu, dan sebagaimana seorang monoteis bisa 

meyakini eksistensi Setan, begitu pula orang Amerika masa kini 

secara simultan yaitu  nasionalis (ia memercayai eksistensi negara 

Amerika dengan peran istimewa untuk dimainkan dalam sejarah), 

kapitalis pasar-bebas (dia meyakini bahwa kompetisi terbuka 

dan memburu kepentingan sendiri yaitu  cara terbaik untuk 

menciptakan sebuah warga  yang makmur), dan seorang 

humanis liberal (dia memercayai bahwa manusia dibekali oleh 

pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak bisa diingkari). 

Nasionalisme akan dibahas dalam Bab 18. Kapitalisme—agama 

modern paling sukses—dibahas satu bab penuh, Bab 16, yang 

menguraikan keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual prinsipnya. 

Dalam sisa bab I saya akan membahas agama-agama humanis.

Agama-agama teis fokus pada pemujaan dewa-dewa. Agama-

agama humanis memuja kemanusiaan, atau lebih tepatnya Homo 

sapiens. Humanisme yaitu  sebuah keyakinan bahwa Homo 

sapiens punya sifat unik dan sakral, yang secara fundamental 

berbeda dari sifat semua binatang lain dan semua fenomena lain. 

Para pengikut humanis percaya bahwa sifat unik Homo sapiens 

merupakan hal yang paling penting di dunia, dan itu menentukan 

makna segala hal yang terjadi di Bumi, dan menentukan makna 

segala hal yang terjadi di alam semesta. Kebaikan yang tertinggi 

yaitu  kebaikan Homo sapiens. Selebihnya di dunia ini dan semua 

makhluk yang ada semata-mata untuk manfaat bagi spesies ini.

Seluruh humanis memuja kemanusiaan, namun  mereka tidak 

menyepakati definisinya. Humanisme terpecah menjadi 3 sekte 

yang bersaing, yang bertengkar soal definisi pasti “kemanusiaan”, 

sebagaimana sekte-sekte Kristen yang bersaing dan bertengkar 

soal definisi pasti tentang Tuhan. Kini, sekte humanis yang 

paling penting yaitu  humanisme liberal, yang meyakini bahwa 

“kemanusiaan” yaitu  kualitas manusia-manusia individual 

sehingga kebebasan individu-individu yaitu  sangat suci. Menurut 


 

272

kaum liberal, sifat sakral kemanusiaan berada dalam setiap 

dan masing-masing individu Homo sapiens. Inti dari manusia 

individual memberi makna kepada dunia, dan menjadi sumber 

bagi seluruh otoritas etis dan politis. Jika kita menghadapi 

sebuah dilema etis atau politis, kita harus melihat ke dalam dan 

mendengarkan suara hati kita—suara kemanusiaan. Firman pokok 

humanisme liberal dimaksudkan untuk melindungi kebebasan 

suara hati itu melawan intrusi atau perusakan. Firman-firman 

ini secara kolektif dikenal sebagai “hak-hak asasi manusia”.

Itulah sebabnya, misalnya, kaum liberal menolak penyiksaan 

dan hukuman mati. Di Eropa era awal modern, para pembunuh 

dipandang melanggar dan mendestabilkan tatanan kosmis. Untuk 

membawa kembali kosmos kepada keseimbangan, diperlukan 

penyiksaan dan eksekusi penjahat secara terbuka, agar setiap 

orang bisa melihat tatanan ditegakkan kembali. Menghadiri 

eksekusi yang mengerikan menjadi hal favorit bagi warga London 

dan Paris masa lalu pada era Shakespeare dan Molière. Pada 

Eropa masa kini, pembunuhan dipandang sebagai pelanggaran 

atas sifat kemanusiaan yang sakral. Untuk memulihkan 

tatanan itu, orang-orang Eropa masa kini tidak menyiksa dan 

mengeksekusi penjahat. Mereka menghukum seorang pembunuh 

dalam apa yang mereka pandang sebagai cara se-“manusiawi” 

mungkin sehingga melindungi dan bahkan membangun kembali 

kesucian kemanusiaannya. Dengan menghormati sifat manusia si 

pembunuh, setiap orang diingatkan akan kesucian kemanusiaan 

dan tatanan dipulihkan. Dengan membela pembunuh, kita 

bertindak benar terhadap apa yang dilakukan secara salah oleh 

pembunuh.

Sekalipun humanisme liberal menyucikan manusia, ia tidak 

mengingkari eksistensi Tuhan, dan justru didasarkan pada 

keyakinan-keyakinan monoteis. Keyakinan liberal pada sifat 

bebas dan sakral setiap individu yaitu  warisan langsung dari 

keyakinan tradisional Kristen pada kebebasan abadi jiwa-jiwa 

setiap individu. Dengan absennya jiwa-jiwa yang abadi dan satu 

Tuhan Pencipta, maka menjadi benar-benar sulit bagi kaum liberal 

untuk menjelaskan mengapa Sapiens individual begitu istimewa.

Sekte penting lainnya yaitu  humanisme sosialis. Kaum 


Hukum Agama

273

sosialis percaya bahwa “kemanusiaan” bersifat kolektif ketimbang 

individualistik. Mereka memandang yang sakral itu bukan suara 

hati setiap individu, melainkan spesies Homo sapiens secara 

keseluruhan. Sementara humanisme liberal mengupayakan 

sebanyak mungkin kebebasan bagi manusia-manusia individual, 

kaum humanis sosialis mengupayakan kesetaraan semua manusia. 

Menurut kalangan sosialis, ketidaksetaraan yaitu  penistaan 

terburuk terhadap kesucian kemanusiaan sebab  mengistimewakan 

kualitas-kualitas periferal atas esensi universal. Misalnya, saat  

orang kaya diistimewakan atas orang miskin, itu berarti bahwa 

nilai uang lebih besar dari esensi universal seluruh manusia, 

yang menyetarakan orang kaya dan miskin. 

Sebagaimana humanisme liberal, humanisme sosialis dibangun 

pada fondasi-fondasi monoteis. Ide bahwa seluruh manusia setara 

yaitu  versi perubahan dari keyakinan monoteis bahwa seluruh 

jiwa setara di hadapan Tuhan. Satu-satunya sekte humanis yang 

benar-benar lepas dari monoteisme tradisional yaitu  humanisme 

evolusioner, dengan Nazi sebagai representasi yang paling 

terkenal. Yang membedakan kaum Nazi dari sekte-sekte humanis 

lainnya yaitu  definisi yang berbeda tentang “kemanusiaan”, 

yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi. Berlawanan dengan 

kaum humanis lainnya, Nazi meyakini bahwa manusia bukanlah 

sesuatu yang universal dan kekal, melainkan spesies yang bisa 

bermutasi yang bisa berevolusi atau mengalami penurunan 

derajat. Manusia bisa berevolusi menjadi manusia super atau 

turun derajatnya menjadi setengah manusia.

Ambisi utama Nazi yaitu  melindungi manusia dari degenerasi 

dan mendorong evolusi progresif. Itulah kenapa orang-orang Nazi 

mengatakan bahwa ras Arya, bentuk kemanusiaan yang paling 

maju, harus dilindungi dan diperkuat, sedang  jenis-jenis Homo 

sapiens yang rendah seperti Yahudi, Roma, homoseksual, dan 

sakit mental harus dikarantina, bahkan dilenyapkan. Orang-orang 

Nazi menjelaskan bahwa Homo sapiens sendiri muncul saat  

satu populasi “superior” manusia kuno berevolusi, sedang  

populasi-populasi “inferior” seperti Neanderthal punah. Populasi-

populasi yang berbeda ini mula-mula tak lebih dari ras belaka, 

namun  berkembang secara independen sesuai jalur evolusi masing-


 

274

masing. Ini mungkin akan terjadi lagi. Menurut kaum Nazi, Homo 

sapiens sudah terbagi menjadi beberapa ras yang terpisah, yang 

masing-masing memiliki kualitas unik. Salah satu dari ras-ras 

ini, ras Arya, memiliki kualitas terbaik—rasionalisme, keindahan, 

integritas, dan ketekunan. Oleh sebab  itu, ras Arya memiliki 

potensi untuk mengubah manusia menjadi manusia super. Ras-ras 

lain, seperti Yahudi dan kulit hitam, yaitu  Neanderthal masa 

kini, yang memiliki kualitas rendah. Jika dibiarkan berbiak, dan 

terutama melalui perkawinan silang dengan Arya, mereka akan 

merusak seluruh populasi manusia dan memicu  punahnya 

Homo sapiens.

Para ahli biologi sudah mematahkan teori ras Nazi. Terutama, 

riset genetik yang dilakukan setelah 1945 menunjukkan bahwa 

perbedaan-perbedaan antara berbagai garis keturunan manusia 

jauh lebih kecil ketimbang yang dipostulat** oleh Nazi. Namun, 

konklusi-konklusi ini relatif baru. Jika ditengok keadaan 

pengetahuan saintifik pada 1933, keyakinan-keyakinan Nazi 

sebetulnya nyaris tidak berada dari lingkaran itu. Eksistensi 

ras-ras manusia yang berbeda, superioritas ras kulit putih, dan 

perlunya melindungi dan memelihara ras superior dipegang teguh 

oleh kaum elite Barat. Para sarjana di sebagian besar universitas 

paling prestisius di Barat, dengan memakai  metode-metode 

saintifik ortodoks masa ini, menerbitkan studi-studi yang diduga 

membuktikan bahwa ras kulit putih lebih pintar, lebih etis, dan 

lebih terampil ketimbang orang Afrika atau India. Para politisi 

di Washington, London, dan Canberra menerimanya sebagai 

kebenaran bahwa tugas merekalah mencegah pengaruh dan 

penurunan derajat ras kulit putih dengan, misalnya, membatasi 

imigrasi dari China atau bahkan dari Italia ke negara-negara 

“Arya” seperti Amerika Serikat dan Australia.

Pandangan-pandangan ini tidak berubah begitu saja sebab  

riset saintifik baru diterbitkan. Perkembangan-perkembangan 

sosiologis dan politis yaitu  mesin-mesin perubahan yang jauh 

lebih kuat. Dalam pengertian ini, Hitler menggali tidak hanya 

kuburannya sendiri, namun  kuburan rasisme secara umum. saat  

**  Postulat yaitu  asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa 

perlu membuktikannya.—penerj.


Hukum Agama

275

melancarkan Perang Dunia II, dia memaksa musuh-musuhnya 

untuk membuat pembedaan yang tegas antara “kita” dan 

“mereka”. Setelah itu, jelas sebab  ideologi Nazi begitu rasis, 

dan rasisme menjadi terdiskreditkan di Barat. Namun, perubahan 

butuh waktu. Supremasi kulit putih tetap menjadi ideologi arus 

utama dalam politik Amerika, bahkan sampai era 1960-an. 

Politik Australia Putih tetap berlaku sampai 1973. Orang-orang 

Australia etnis Aborigin tidak mendapatkan hak-hak politik yang 

setara sampai 1960-an, dan sebagian besar tidak diberi hak pilih 

dalam pemilihan umum sebab  mereka diputuskan tidak cocok 

untuk berfungsi sebagai warga negara.

Agama-Agama Humanis – Agama 

Memuliakan Manusia

Humanis

Liberal

Humanis

Sosialis

Humanis

Evolusioner

Homo sapiens pada dasarnya memiliki sifat unik dan sakral yang 

berbeda dari semua makhluk dan fenomena alam. Tingkatan 

kebaikan yaitu  kemanusiaan.

‘Kemanusiaan’ yaitu  

individualistis yang 

ada di setiap Homo

sapiens.

‘Kemanusiaan’ yaitu  

kolektif dan berada 

dalam spesies

Homo sapiens secara 

keseluruhan.

‘Kemanusiaan’ 

yaitu  spesies yang 

tidak  tetap. Manusia 

mungkin akan 

berubah menjadi 

subhumans atau 

berevolusi menjadi 

manusia super.

Hukum tertinggi 

yaitu  untuk 

melindungi inti dan 

kebebasan setiap

individu Homo

sapiens.

Hukum tertinggi 

yaitu  untuk 

melindungi kesetaraan 

spesies Homo

sapiens.

Hukum tertinggi 

yaitu  untuk 

melindungi umat 

manusia dari 

degenerasi

ke subhumans, dan 

untuk mendorong 

evolusi menjadi 

manusia super.


 

276

Nazi tidak membenci kemanusiaan. Mereka memerangi 

humanisme liberal, hak-hak asasi manusia, dan Komunisme benar-

benar sebab  mereka mengagumi kemanusiaan dan meyakini 

potensi besar spesies manusia. Namun, dengan mengikuti logika 

evolusi Darwin, mereka berpendapat bahwa seleksi alam harus 

dibiarkan menyingkirkan individu-individu yang tidak layak 

dan menyisakan hanya yang paling layak untuk bertahan dan 

bereproduksi. Dengan membantu yang lemah, liberalisme dan 

Komunisme tidak hanya membiarkan individu-individu yang 

tidak layak untuk bertahan, mereka sesungguhnya memberi 

kesempatan untuk bereproduksi sehingga melemahkan seleksi 

alam. Dalam dunia semacam itu, manusia-manusia yang paling 

layak tak terelakkan akan tenggelam dalam laut spesies rendah 

yang tidak layak. Manusia akan menjadi semakin tidak layak 

dan semakin tidak layak seiring pergantian generasi—yang bisa 

mengarah pada kepunahannya.

30. Sebuah poster propaganda Nazi menunjukkan di sebelah 

kanan suku Arya yang murni “secara ras” dan di sebelah kiri 

“keturunan-campuran”. Pemujaan Nazi pada tubuh manusia 

sangat jelas, sebagaimana kekhawatiran mereka pada ras kelas 

bawah bisa mencemari kemanusiaan sebab  penurunan derajat.


Hukum Agama

277

Sebuah Artikel  pelajaran biologi Jerman pada 1942 menjelaskan 

dalam bab “Hukum Alam dan Manusia” bahwa hukum alam 

tertinggi yaitu  bahwa seluruh makhluk terkunci dalam 

pertarungan survival yang terpencil. Setelah menggambarkan 

bagaimana tumbuhan berjuang untuk teritori, bagaimana kumbang 

berjuang untuk mencari pasangan dan seterusnya, Artikel  pelajaran 

itu menyimpulkan bahwa:

Pertarungan untuk eksistensi memang sulit dan tiada ampun, 

namun  itulah satu-satunya cara untuk mempertahankan kehidupan. 

Pertarungan mengeliminasi segala sesuatu yang tidak layak untuk 

hidup, dan menyeleksi segala hal yang mampu bertahan hidup 

.... Hukum alam ini tidak bisa dibantah; makhluk-makhluk hidup 

menunjukkannya dengan survival mereka. Mereka memang tiada 

kenal ampun. 

Mereka yang melawannya akan tersingkir. Biologi tidak 

hanya mengajarkan kepada kita tentang binatang dan tumbuhan, 

31. Sebuah kartun Nazi 

tahun 1933. Hitler 

digambarkan sebagai 

seorang pematung 

yang menciptakan 

manusia super. Seorang 

intelektual liberal 

sejati terperangah 

oleh kekerasan yang 

dibutuhkan untuk 

menciptakan manusia 

super (Ingat juga 

glorifikasi erotis tubuh 

manusia).


 

278

namun  juga menunjukkan kepada kita hukum itu harus diikuti 

dalam kehidupan kita, dan menguatkan kehendak kita untuk 

hidup dan berjuang menurut hukum ini. Makna dari kehidupan 

yaitu  perjuangan. Celakalah ia yang berdosa melawan hukum 

ini. 

 Lalu, muncul kutipan dari Mein Kampf: “Orang yang 

berusaha memerangi hukum besi alam dengan demikian 

memerangi prinsip-prinsip yang harus dia syukuri untuk 

kehidupannya sebagai manusia. Memerangi alam yaitu  men-

datangkan kerusakan dia sendiri”.3

Pada awal milenium ke-3, masa depan humanisme evolusioner 

tidak jelas. Selama 60 tahun setelah akhir perang melawan 

Hitler, pantang menghubungkan humanisme dengan evolusi 

dan mendukung penggunaan metode-metode biologi untuk 

“menaikkan darajat” Homo sapiens. Namun, kini proyek-proyek 

semacam itu kembali samar-samar. Tak ada orang yang berbicara 

tentang pelenyapan ras rendah atau inferior, namun  banyak 

yang berkontemplasi memakai  pengetahuan kita yang terus 

bertambah tentang biologi manusia untuk menciptakan manusia-

manusia super.

Pada saat yang sama, satu teluk besar terbuka antara pendirian 

humanisme liberal dan temuan-temuan mutakhir sains kehidupan, 

sebuah teluk yang tidak bisa lagi kita abaikan. Sistem politik 

dan yudisial liberal kita didasarkan pada keyakinan bahwa setiap 

individu memiliki sifat internal yang sakral, tak terpisahkan dan 

tak bisa diubah, yang memberi makna bagi dunia, dan itulah 

sumber segala otoritas etis dan politis. Ini yaitu  reinkarnasi 

dari keyakinan Kristen tradisional pada jiwa yang bebas dan 

kekal yang berada pada setiap individu. Meskipun demikain 

dalam 200 tahun terakhir, sains kehidupan telah melemahkan 

sepenuhnya keyakinan ini. Para ilmuwan yang mempelajari cara 

kerja internal organisme manusia menemukan tidak ada jiwa di 

sana. Mereka mengemukakan bahwa perilaku manusia ditentukan 

oleh hormon-hormon, gen-gen, dan synaps-synaps, bukan oleh 

kehendak bebas—kekuatan yang sama yang menentukan perilaku 

simpanse, rubah, dan semut. Sistem yudisial dan politis kita 

umumnya berusaha menyapu penemuan-penemuan semacam 


Hukum Agama

279

itu di bawah karpet. Namun, sejujurnya, berapa lama kita bisa 

mempertahankan tembok pemisah departemen biologi dari 

departemen-departemen hukum dan ilmu politik?


 13

Rahasia Sukses

Perdagangan, imperium-imperium, dan agama-agama universal 

akhirnya benar-benar membawa setiap Sapiens memasuki dunia 

global yang kita tinggali kini. Bukan berarti proses ekspansi 

dan unifikasi ini linear atau tanpa interupsi. Namun, dengan 

melihat gambar yang lebih luas, transisi untuk banyak kultur 

kecil menuju sedikit kultur besar dan akhirnya menjadi sebuah 

warga  global tunggal mungkin merupakan sebuah hasil tak 

terelakkan dari dinamika sejarah manusia.

namun  mengatakan bahwa sebuah warga  global 

tak terelakkan tidak sama dengan mengatakan bahwa hasil 

akhirnya harus berupa jenis tertentu dari warga  global 

yang kita miliki sekarang. Kita bisa membayangkan tentu saja 

hasil-hasil lainnya. Mengapa bahasa Inggris begitu meluas saat 

ini, dan bukan bahasa Denmark? Mengapa ada sekitar 2 miliar 

orang Kristen dan 1,25 miliar orang Muslim, namun  hanya 

150.000 Zoroaster dan tidak ada satu pun Manichea? Jika kita 

bisa kembali ke masa 10.000 tahun lalu dan menyusun ulang 

prosesnya, dari waktu ke waktu, akankah kita selalu melihat 

munculnya monoteisme dan surutnya dualisme?

Kita tidak bisa melakukan eksperimen semacam itu sehingga 

kita benar-benar tidak tahu. Namun, sebuah pengujian atas dua 

sifat  krusial sejarah bisa memberi kita beberapa petunjuk.

1. Kekeliruan Memandang ke Belakang

Setiap poin dalam sejarah yaitu  persimpangan jalan. Satu jalan 

tunggal beranjak dari masa lalu ke masa kini, namun  banyak sekali 

jalur-jalur bercabang menuju masa depan. Sebagian dari jalur itu 


Rahasia Sukses

281

lebih luas, lebih mulus, dan lebih jelas tandanya sehingga lebih 

mungkin untuk ditempuh, namun  terkadang sejarah—atau orang-

orang yang membuat sejarah—mengambil belokan tak terduga.

Pada permulaan awal abad ke-4 M, Imperium Romawi 

menghadapi satu horizon luas kemungkinan-kemungkinan 

religius. Mestinya ia bisa tetap saja pada politeisme tradisionalnya 

yang beraneka ragam. Namun, sang kaisar, Constantine, dengan 

memandang ke belakang pada satu era kekacauan perang saudara, 

tampaknya berpikir bahwa satu agama tunggal dengan doktrin 

yang jelas bisa membantu menyatukan dunianya yang secara etnis 

beragam. Dia mestinya bisa memilih yang mana pun di antara 

kultus-kultus kontemporer yang banyak jumlahnya untuk menjadi 

agama nasional—Manichaesisme, Mithraisme, kultus Isis, atau 

Cybele, Zoroaster, Judaisme, dan bahkan Buddhisme semuanya 

yaitu  opsi-opsi yang tersedia. Mengapa dia memilih Yesus? 

Apakah ada sesuatu dalam teologi Kristen yang memikatnya 

secara personal atau mungkin satu aspek agama yang menjadikan 

ia berpikir itu akan lebih mudah dipakai  untuk tujuan-

tujuannya? Apakah dia memiliki sebuah pengalaman religius, 

atau apakah sebagian dari para penasihatnya memberi masukan 

bahwa orang-orang Kristen cepat mendapat pengikut dan akan 

lebih mudah melompat ke dalam kendaraan itu? Para sejarawan 

bisa saja berspekulasi, namun  tidak akan dapat memberi  

jawaban definitif. Mereka bisa menggambarkan bagaimana 

Kristen mengambil alih Imperium Romawi, namun  mereka tidak 

bisa menjelaskan mengapa kemungkinan yang sangat khusus ini 

terwujud. Apa perbedaan antara menggambarkan “bagaimana” 

dan menjelaskan “mengapa”? Menggambarkan “bagaimana” 

berarti merekonstruksi serangkaian peristiwa spesifik yang 

bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Menjelaskan “mengapa” 

berarti menemukan koneksi-koneksi kausal yang berarti bagi 

kejadian dari serangkaian peristiwa-peristiwa tertentu dengan 

pengabaian yang lain.

Sebagian ahli benar-benar memberi  penjelasan deterministik 

tentang peristiwa-peristiwa semacam munculnya Kristen. Mereka 

berupaya untuk mereduksi sejarah manusia menjadi ulah 

kekuatan-kekuatan biologis, ekologis, atau ekonomis. Mereka 


 

282

memandang bahwa ada sesuatu tentang geografi, genetika, atau 

ekonomi dari Mediterania Romawi yang menjadikan kemunculan 

agama monoteis tak terelakkan. Namun, sebagian besar sejarawan 

cenderung skeptis terhadap teori-teori deterministik semacam itu. 

Ini yaitu  salah satu tanda pembeda dari sejarah sebagai sebuah 

disiplin akademis—semakin baik Anda tahu suatu periode historis 

tertentu, semakin sulit untuk menjelaskan mengapa sesuatu 

terjadi dengan satu atau lain cara. Mereka yang hanya memiliki 

pengetahuan superfisial tentang periode tertentu cenderung fokus 

hanya pada kemungkinan bahwa hal itu pada akhirnya terwujud. 

Mereka hanya menawarkan pokoknya-ceritanya-begitu untuk 

menjelaskan dengan melihat ke belakang mengapa hasil itu tak 

terelakkan. Mereka yang memiliki informasi mendalam tentang 

periode ini  akan jauh lebih paham tentang jalan-jalan yang 

tidak ditempuh.

Faktanya, orang-orang yang paling tahu periode itu—

mereka yang hidup pada masa itu—yaitu  orang yang paling 

tidak memahami. Bagi rata-rata orang Romawi pada masa 

Constantine, masa depan yaitu  sebuah kabut. Ada hukum besi 

sejarah bahwa apa yang tampak tak terelakkan dalam melihat ke 

belakang justru jauh lebih kurang jelas pada masa itu. Masa kini 

pun tak berbeda. Apakah kita akan keluar dari krisis ekonomi 

global, atau sesuatu yang terburuk masih akan terjadi? Akankah 

China terus tumbuh sampai menjadi adidaya terkuat? Akankah 

Amerika Serikat kehilangan hegemoninya? Apakah menyeruaknya 

fundamentalisme monoteistik merupakan gelombang masa depan 

atau sebuah pusaran lokal dari signifikansi kecil dalam jangka 

panjang? Apakah kita akan menuju bencana ekologis atau surga 

teknologis? Ada argumentasi-argumentasi bagus yang bisa dibuat 

untuk semua hasil-hasil ini, namun  tidak satu pun yang bisa tahu 

dengan yakin. Dalam beberapa dekade ke depan, orang akan 

melihat ke belakang dan berpikir bahwa jawaban-jawaban pada 

semua pertanyaan-pertanyaan itu jelas.

Sangat penting untuk ditekankan bahwa kemungkinan-

kemungkinan yang tampak sangat tidak mungkin bagi orang 

yang sezaman justru terwujud. saat  Constantine naik takhta 

pada tahun 306, Kristen hanya sedikit lebih besar dari sebuah 


Rahasia Sukses

283

sekte Timur esoteris. Jika Anda saat itu mengemukakan 

bahwa ia segera menjadi agama negara Romawi, Anda akan 

ditertawakan sebagaimana bila Anda mengatakan hari ini jika 

Anda mengemukakan bahwa pada tahun 2050 Hare Krishna 

akan menjadi agama negara di Amerika Serikat. Pada Oktober 

1913, kaum Bolshevik yaitu  sebuah faksi radikal kecil Rusia. Tak 

ada orang dengan pikiran yang sehat meramalkan bahwa hanya 

dalam waktu 4 tahun mereka mengambil alih negara. Pada 600 

M, pendapat bahwa satu kawanan Arab udik gurun akan segera 

menaklukkan satu wilayah luas yang terbentang dari Samudra 

Atlantik sampai ke India akan terasa lebih mustahil lagi. Sungguh, 

kalau saja angkatan perang Byzantium mampu menghalau 

serangan awal itu, Islam mungkin akan tetap sebuah kultus samar 

dengan hanya segelintir ahli yang mengetahuinya. Maka, para 

ahli akan mudah sekali menjelaskan mengapa sebuah agama yang 

didasarkan pada wahyu kepada seorang pedagang paruh baya 

tidak pernah bisa berkembang. Bukan untuk mengatakan bahwa 

segala sesuatu mungkin terjadi. Kekuatan geografis, biologis, 

dan ekonomis menciptakan hambatan-hambatan. Namun, 

hambatan-hambatan ini meninggalkan ruang yang longgar bagi 

perkembangan-perkembangan yang mengejutkan, yang tampak 

tidak terikat oleh hukum-hukum deterministik.

Kesimpulan ini mengecewakan banyak orang, yang lebih 

menyukai sejarah bersifat deterministik. Determinisme memang 

menarik sebab  menunjukkan bahwa dunia kita dan keyakinan-

keyakinan kita yaitu  produk natural dan tak terelakkan dari 

sejarah. yaitu  sesuatu yang alamiah dan tak terelakkan kita 

hidup dalam negara-negara bangsa, mengorganisasi ekonomi 

dengan prinsip-prinsip kapitalis, dan meyakini dengan penuh 

semangat hak-hak asasi manusia. Mengakui bahwa sejarah 

tidak deterministik yaitu  mengakui bahwa hanya kebetulan 

belaka bahwa sebagian besar orang kini meyakini nasionalisme, 

kapitalisme, dan hak-hak asasi manusia.

Sejarah tidak bisa dijelaskan secara deterministik dan tidak 

bisa diprediksi sebab  bersifat kaotis*. Begitu banyak kekuatan 

*  Bersifat kacau balau.—penerj.


 

284

yang bekerja dan interaksi-interaksi mereka begitu rumit sehingga 

variasi-variasi yang sangat kecil secara ekstrem dalam dahsyatnya 

kekuatan besar dan cara interaksinya pun bisa menghasilkan 

perbedaan-perbedaan besar. Lebih dari itu, sejarah yaitu  apa 

yang disebut sebagai sistem kaotik “level dua”. Sistem kaotik 

memiliki dua bentuk. Kekacauan level satu yaitu  kekacauan 

yang tidak beraksi pada prediksi-prediksi tentangnya. Cuaca, 

misalnya, yaitu  sistem kaotik level satu. Meskipun ia dipengaruhi 

oleh banyak sekali faktor, kita bisa membangun model-model 

komputer yang bisa memasukkan semakin banyak pertimbangan, 

dan menghasilkan prakiraan-prakiraan cuaca yang jauh lebih baik.

Kekacauan level dua yaitu  kekacauan yang bereaksi pada 

prediksi tentangnya, dan sebab  itu tidak pernah bisa diprediksi 

secara akurat. Pasar, misalnya, yaitu  sistem kaotik level dua. 

Apa yang akan terjadi jika kita mengembangkan sebuah program 

komputer yang meramalkan dengan akurasi 100 persen harga 

minya besok? Harga minyak akan segera bereaksi pada ramalan 

itu, yang akibatnya harga itu pun tidak terwujud. Jika harga 

minyak saat ini $90 per barel, dan program komputer sempurna 

memprediksi besok harganya menjadi $100, para pedagang 

bergegas membeli minyak sehingga mereka bisa mendapatkan 

untung dari naiknya harga yang diprediksi itu. Akibatnya, harga 

langsung melonjak ke $100 per barel hari ini, bukan besok. 

Lalu, apa yang terjadi besok? Tak seorang pun tahu.

Politik juga sistem kaotik level dua. Banyak orang mengkritisi 

Sovietologis sebab  gagal meramalkan revolusi-revolusi 1989, 

menghukum para pakar Timur Tengah sebab  tidak mengantisipasi 

revolusi-revolusi Arab Springs pada 2011. Ini tidak adil. Revolusi-

revolusi, per definisi, yaitu  sesuatu yang tidak bisa diprediksi. 

Sebuah revolusi yang bisa diprediksi tidak pernah meletus.

Mengapa tidak? Bayangkan misalnya sekarang tahun 2010 

dan sejumlah ilmuwan politik genius yang bersekongkol dengan 

seorang ahli komputer mengembangkan suatu algoritma canggih 

yang, setelah dihubungkan dengan antarmuka atraktif, bisa 

dipasarkan sebagai peramal revolusi. Mereka menawarkan layanan 

kepada Presiden Mesir Hosni Mubarak dan, sebagai imbalan 

atas tanda jadi dengan nilai istimewa, memberi tahu Mubarak 


Rahasia Sukses

285

bahwa menurut ramalan mereka sebuah revolusi akan benar-benar 

meletus di Mesir pada tahun depan. Bagaimana reaksi Mubarak? 

Sangat mungkin, dia segera menurunkan pajak, mendistribusikan 

miliaran dolar untuk dibagi-bagi kepada warga negara—dan juga 

menggenjot kewaspadaan pasukan polisi rahasia, untuk berjaga-

jaga. Langkah-langkah preventif itu berhasil. Tahun berganti dan, 

mengejutkan, revolusi tidak terjadi. Mubarak meminta uangnya 

kembali. “Algoritma Anda tidak berguna!” teriaknya kepada para 

ilmuwan. “Saya mestinya bisa membangun istana lagi, bukan 

membuang uang percuma!” “Namun, penyebab revolusi itu 

tidak terjadi yaitu  sebab  kami memprediksinya,” kata para 

ilmuwan memberi alasan untuk membela diri. “Nabi-nabi yang 

bisa meramalkan kejadian yang tidak terjadi?” kata Mubarak 

seraya memberi isyarat kepada para pengawal untuk meringkus 

para ilmuwan. “Saya mestinya menciduk selusin orang yang 

nyaris tidak berarti apa-apa bagi pasar Kairo.”

Jadi, mengapa belajar sejarah? Tak seperti fisika dan ekonomi, 

sejarah bukanlah alat untuk membuat prediksi akurat. Kita 

mempelajari sejarah bukan untuk mengetahui masa depan, namun  

untuk memperluas cakrawala, untuk memahami bahwa situasi 

kita saat ini bukanlah alamiah atau tak terelakkan, dan bahwa 

kita dengan demikian memiliki lebih banyak kemungkinan di 

depan untuk kita bayangkan. Misalnya, mempelajari bagaimana 

bangsa Eropa mendominasi Afrika memungkinkan kita menyadari 

bahwa tidak ada yang natural atau tak terelakkan tentang hierarki 

rasial, dan bahwa dunia mungkin diatur secara berbeda.

2. Renungan Buta

Kita tidak bisa menjelaskan pilihan-pilihan yang dibuat 

sejarah, namun  kita bisa mengatakan sesuatu yang sangat penting 

tentang semua itu: pilihan-pilihan sejarah tidak dibuat untuk 

manfaat bagi manusia. Jelas sekali tidak ada bukti bahwa makhluk 

manusia sudah pasti membaik seiring bergulirnya sejarah. Tidak 

ada bukti bahwa kultur-kultur yang membawa manfaat bagi 

manusia pasti dengan sendirinya berhasil dan menyebar, sementara 


 

286

kultur-kultur yang kurang membawa manfaat menjadi lenyap. 

Tidak ada bukti bahwa Kristen yaitu  pilihan yang lebih baik 

ketimbang Manichaeisme, atau bahwa Imperium Arab lebih 

bermanfaat ketimbang Persia Sassanid.

Tidak ada bukti bahwa sejarah bekerja untuk membawa 

manfaat bagi manusia, sebab  kita tidak punya skala objektif 

untuk mengukur manfaat semacam itu. Kultur-kultur yang 

berbeda mendefinisikan kebaikan secara berbeda pula, dan kita 

tidak punya penggaris objektif yang dengannya kita bisa menilai. 

Para pemenang, tentu saja, meyakini bahwa definisi merekalah 

yang benar. Namun, mengapa kita harus memercayai pemenang? 

Orang Kristen memercayai bahwa kemenangan Kristianitas atas 

Manichaeisme membawa manfaat bagi manusia, namun  jika kita 

tidak menerima pandangan dunia Kristen maka tidak ada alasan 

untuk sependapat dengannya. Orang Islam meyakini bahwa 

jatuhnya Imperium Sassanid di tangan Muslim membawa manfaat 

bagi manusia. Namun, manfaat-manfaat ini hanya terbukti jika 

kita menerima pandangan dunia Muslim. Bisa saja kita lebih 

suka kalau Kristen dan Islam dilupakan atau dikalahkan.

Semakin banyak ahli memandang kultur sebagai jenis infeksi 

atau parasit mental, dan manusialah yang tanpa sadar menjadi 

pembawanya. Parasit-parasit organik, seperti virus, hidup dalam 

tubuh pembawanya. Parasit-parasit itu berbiak dan menyebar dari 

satu pembawa ke pembawa lain, menggerogoti pembawanya, 

melemahkan mereka, dan terkadang bahkan membunuhnya. 

Sepanjang si pembawa hidup cukup lama untuk meneruskan 

parasit, maka parasit tidak terlalu peduli dengan kondisi si 

pembawa. Dengan cara seperti inilah, ide-ide kultural hidup 

dalam pikiran manusia. Ide-ide itu berbiak dan menyebar dari 

pembawa ke pembawa lainnya, terkadang melemahkan para 

pembawanya, dan kadang-kadang bahkan membunuh mereka. 

Sebuah ide kultural—seperti keyakinan pada surga Kristen di 

atas awan atau surga Komunis di Bumi—bisa menggugah seorang 

manusia untuk mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan 

ide itu, bahkan dengan harga kematian. Manusia mati, namun  

idenya menyebar. Menurut pendekatan ini, kultur-kultur bukanlah 

konspirasi yang diciptakan oleh orang-orang tertenu dalam 


Rahasia Sukses

287

rangka mengambil keuntungan dari orang lain (sebagaimana 

kecenderungan berpikir kaum Marxis). Namun, kultur yaitu  

parasit mental yang muncul secara kebetulan, dan setelah itu 

mengambil manfaat dari semua orang yang terinfeksi.

Pendekatan ini terkadang disebut memetika. Diasumsikan 

bahwa, sebagaimana evolusi organik didasarkan pada replikasi 

unit-unit informasi organik yang disebut “gen”, demikian pula 

evolusi kultural didasarkan pada replikasi unit-unit informasi 

kultural yang disebut “meme”.1 Kultur-kultur yang sukses yaitu  

kultur yang hebat dalam mereproduksi meme-meme mereka, 

terlepas dari biaya dan manfaatnya bagi manusia si pembawa.

Sebagian ahli dalam bidang kemanusiaan mencela memetika, 

memandangnya sebagai upaya amatir untuk menjelaskan proses-

proses kultural dengan analogi-analogi biologis yang kasar. 

Namun, banyak di antara para ahli itu patuh pada saudara 

kembar perempuan memetika: posmodernisme. Para pemikir 

postmodernis berbicara tentang diskursus, bukan meme-meme 

sebagai batu bata bangunan kultur. Meskipun demikian, 

mereka memandang kultur menyebarkan diri tanpa banyak 

berurusan dengan manfaat bagi manusia. Misalnya, para pemikir 

posmodernisme menggambarkan nasionalisme yaitu  wabah 

mematikan yang menyebar ke seluruh dunia pada abad ke-19 

dan ke-20, memicu  peran, penindasan, kebencian, dan 

genosida. Momen saat  rakyat di satu negara terinfeksi olehnya, 

negara-negara tetangga juga berkemungkinan terjangkiti virus itu. 

Virus nasionalis menampilkan diri sebagai hal yang membawa 

manfaat bagi manusia, namun  sesungguhnya bermanfaat terutama 

untuk dirinya.

Argumentasi-argumentasi serupa lazim dalam ilmu-ilmu sosial, 

di bawah payung teori permainan. Teori permainan menjelaskan 

bagaimana dalam sistem-sistem dengan banyak pemain, 

pandangan-pandangan dan pola-pola perilaku yang merugikan 

semua pemain tentu berhasil mengakar dan menyebar. Perlombaan 

senjata yaitu  contoh yang terkenal. Banyak perlombaan senjata 

membangkrutkan semua yang terlibat di dalamnya, tanpa benar-

benar mengubah perimbangan kekuatan militer. saat  Pakistan 

membeli pesawat-pesawat canggih, India merespons dengan hal 


 

288

yang sama. saat  India mengembangkan bom nuklir, Pakistan 

mengikutinya. saat  Pakistan memperbesar angkatan lautnya, 

India pun menandingi. Pada akhir proses, perimbangan kekuatan 

bisa tetap sebagaimana adanya, namun  sementara itu miliaran dolar 

yang semestinya bisa diinvestasikan di pendidikan atau kesehatan 

dibelanjakan untuk senjata. Namun, dinamika perlombaan senjata 

sulit dilawan. “Perlombaan senjata” yaitu  sebuah pola perilaku 

yang menyebarkan diri seperti sebuah virus dari satu negara 

ke negara lainnya, merugikan setiap orang, namun  mengambil 

manfaat untuk dirinya, di bawah kriteria evolusioner survival 

dan reproduksi. (Ingat bahwa persaingan senjata, seperti sebuah 

gen, tidak memiliki kesadaran—ia tidak berusaha secara sadar 

untuk bertahan dan bereproduksi. Penyebarannya yaitu  hasil 

tak sengaja dari suatu dinamika yang kuat.)

Terserah mau sebut apa—teori permainan, posmodernisme 

atau memetika—dinamika sejarah tidak diarahkan menuju 

penguatan kesejahteraan manusia. Tidak ada dasar untuk berpikir 

bahwa kultur-kultur yang paling sukses dalam sejarah dengan 

sendirinya kultur terbaik bagi Homo sapiens. Sebagaimana 

evolusi, sejarah tidak peduli dengan kebahagiaan individual 

organisme. Dan, manusia-manusia individual pun biasanya terlalu 

bodoh dan terlalu lemah untuk memengaruhi alur sejarah agar 

menguntungkan baginya.

Sejarah berjalan dari satu persimpangan ke persimpangan 

berikutnya, memilih alasan misterius tertentu untuk mengikuti 

jalur ini terlebih dulu kemudian jalur lainnya. Sekitar tahun 1500 

M, sejarah membuat pilihan yang paling penting, mengubah 

tidak hanya nasib manusia, namun  juga tak terbantahkan nasib 

seluruh kehidupan di muka Bumi. Kita menyebutnya Revolusi 

Saintifik. Ia dimulai di Eropa barat, satu semenanjung besar 

di ujung barat Afro Asia, yang hingga saat itu tidak memiliki 

peran penting dalam sejarah. Mengapa Revolusi Saintifik mulai 

di sana, bukan di tempat lain, dan tidak di China atau India? 

Mengapa ia dimulai pada pertengahan milenium ke-2 M, bukan 

2 abad sebelumnya atau 3 abad sesudahnya? Kita tidak tahu. 

Para sarjana telah mengajukan puluhan teori, namun  tak satu pun 

di antaranya benar-benar meyakinkan.


Rahasia Sukses

289

Sejarah memiliki horizon kemungkinan-kemungkinan yang 

sangat luas, dan banyak kembungkinan tidak pernah terwujud. 

Pantas untuk membayangkan sejarah berjalan generasi demi 

generasi sambil melengkapi Revolusi Sainifik, sebagaimana pantas 

pula membayangkan sejarah tanpa Kristianitas, tanpa Imperium 

Romawi, dan tanpa koin-koin emas.



Bagian Empat 

Revolusi Sainti k

32. Alamogordo. 16 Juli 1945, 05.29.53.

Delapan detik setelah bom atom pertama diledakkan. Ahli fisika 

nuklir, Robert Oppenheimer, begitu melihat ledakan itu, mengutip 

dari Bhagawadgita: “Sekarang saya menjadi Kematian, penghancur 

dunia”.



14

Penemuan Ketidaktahuan

Katakanlah seorang petani Spanyol tertidur pada tahun 1000 

M dan bangun 500 tahun kemudian, di tengah kegaduhan para 

pelaut Columbus yang menumpang Niña, Pinta, dan Santa Maria, 

tentu dunia tampak olehnya sangat tidak asing. Sekalipun banyak 

perubahan dalam teknologi, tata cara dan batas-batas politis, Rip 

Van Winkle dari abad pertengahan ini tentu merasa seakan di 

rumah. Namun, seandainya salah satu pelaut Columbus terlelap 

dalam tidur yang sama dan terbangun oleh nada dering iPhone, 

dia tentu akan merasakan dunia aneh yang tak terjangkau 

pemahamannya. “Apakah ini surga?” mungkin dia akan bertanya 

kepada dirinya sendiri. “Atau mungkin neraka?”

Dalam 500 tahun terakhir terjadi pertumbuhan fenomenal 

dan tak ada presedennya berkenaan dengan kekuatan manusia. 

Pada 1500, ada sekitar 500 juta Homo sapiens di seluruh dunia. 

Kini, ada 7 miliar.1 Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan 

manusia pada 1500 M diperkirakan $250 miliar, dalam nilai 

dolar saat ini.2 Pada masa sekarang, nilai satu tahun produksi 

oleh manusia mendekati $60 triliun.3 Pada 1500 M, manusia 

mengonsumsi sekitar 13 triliun kalori energi per hari. Kini, kita 

mengonsumsi 1.500 triliun kalori per hari.4 (Coba perhatikan 

sekali lagi angka-angka ini —populasi manusia bertambah 

4 kali lipat, produksi 240 kali lipat, dan konsumsi energi 115 

kali lipat.)

Bayangkan satu kapal perang modern tunggal membawa 

muatan kembali ke masa Columbus. Hanya dalam hitungan 

detik kapal itu bisa membuat serpihan kayu terapung dari Niña, 

Pinta, dan Santa Maria, kemudian menenggelamkan angkatan 

laut dari setiap kekuatan besar dunia masa itu tanpa tergores 

sedikit pun. Lima pesawat tempur modern tentu bisa mengangkut 


 

294

seluruh kargo yang dimuat oleh semua armada perdagangan 

dunia.5 Sebuah komputer modern tentu bisa dengan mudah 

menyimpan setiap kata dan angka dalam Artikel  dan gulungan 

naskah-naskah kuno di setiap perpustakaan abad pertengahan 

tanpa menghabiskan ruang. Setiap bank besar masa kini bisa 

menyimpan uang lebih banyak dari uang total semua uang milik 

raja-raja pramodern.6

Pada 1500 M, tak banyak kota yang memiliki penduduk di 

atas 100.000. Sebagian besar bangunan dibangun dengan lumpur, 

kayu, dan jerami; sebuah bangunan tiga lantai yaitu  pencakar 

langit. Jalan-jalan yaitu  jalur-jalur tanah dengan bekas-bekas 

lindasan roda, yang berdebu pada musim panas dan becek 

pada musim dingin, disesaki pejalan kaki, kuda-kuda, kambing-

kambing, ayam-ayam, dan beberapa pedati. Kegaduhan urban 

yang paling umum yaitu  suara manusia dan hewan, dengan 

sesekali dentuman palu dan gesekan gergaji. saat  Matahari 

terbenam, langit kota menghitam, hanya titik-titik lilin atau 

obor yang bekerjap dalam remang. Jika seorang penghuni kota 

seperti itu bisa melihat toko modern, New York atau Mumbai, 

apa yang akan dipikirkannya?

Menjelang abad ke-16, tidak ada manusia yang berlayar 

mengelilingi Bumi. Ini berubah pada 1522 M, saat  kapal-

kapal Magellan kembali ke Spanyol setelah perjalanan 72.000 

kil