dari kolonial hingga nasional 1







Perjalanan sejarah Indonesia dari kolonialisme hingga nasionalisme 
dihadapkan pada berbagai dinamika yang kompleks, menampilkan 
berbagai warna peristiwa yang penuh makna bagi tumbuh dan 
berkembangnya negara bangsa Indonesia. Kehadiran buku ini sangat 
penting mengingat referensi yang membahas seputar permasalahan ini 
sangat terbatas, terutama bagi kalangan mahasiswa di perguruan tinggi. 
Sejarah Indonesia masa kolonial hingga munculnya berbagai pergerakan 
nasional, merupakan bagian dari perjalanan sejarah Indonesia yang 
panjang. Kedaulatan Indonesia bukan semata-mata lahir secara instan 
tahun 1945, atau hanya sekedar peluang ketemu momentum, melainkan 
sebuah proses kompleks yang mencerminkan berbagai perjuangan anak 
bangsa untuk meraih kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. 
Pertumbuhan nasionalisme berkembang dari nasionalisme primitif dalam 
bentuk tribe community, hingga nasionalisme modern pada tahun 1908. 
Nasionalisme modern itu tidak lain dan tidak bukan lahir sebab  dominasi 
kolonialisme yang kuat, memberikan banyak kesengsaraan rakyat, 
keterbelakangan mental, dan berbagai dampak destruktif bagi bangsa 
yang belum menjadi negara. Bangsa sudah ada dan sangat heterogen, 
namun  negara berdaulat belum terbentuk. Sumpah pemuda tahun 1928 
mencerminkan hal demikian, di mana bangsa sudah terbentuk yakni 
bangsa Indonesia, namun  negara belum terbentuk masih memerlukan 
perjuangan yang panjang hingga 18 Agustus 1945 secara defacto dan 
deyure negara bangsa Indonesia sudah terbentuk. 
Buku karangan Dr. Aman, M.Pd yang berjudul “Indonesia dari Kolonialisme 
Sampai Kolonialisme” ini menguraikan secara runtut tematis peristiwa 
seputar kolonialisme Indonesia sampai munculnya nasionalisme modern. 
Perhatian penulis tidak hanya pada peristiwa yang terjadi, melainkan 
pihak-pihak yang terlibat dan sebab akibat peristiwa seputar itu juga 
diuraikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku menjadi merupakan 
pilihan yang tepat bagi para dosen, guru, mahasiswa, siswa sekolah 
menengah, dan warga  secara luas yang ingin menambah 
wawasannya terkait dengan sejarah Indonesia seputar kolonialisme dan 
nasionalisme. 
Bangsa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat dibutuhkan 
di negeri Belanda dan Eropa secara umum yakni rempah-rempah. Belanda dapat 
membeli rempah-rempah di Indonesia dengan harga murah, lalu  mereka 
jual di Eropa dengan harga tinggi. Belanda mendapatkan keuntungan luar biasa 
dari perdagangan ini, sehingga berduyun-duyunlah bangsa Belanda yang lain, juga 
bangsa-bangsa Eropa untuk mencari rempah-rempah di Indonesia. Keinginan 
bangsa Belanda untuk terus memperoleh keuntungan tinggi dari perdagangan 
memicu mereka berusaha memonopoli perdagangan di Indonesia. Hal 
inilah yang mendorong terjadinya perselisihan antara Belanda dengan rakyat 
Indonesia. Dalam perjalanan sejarah lalu  Belanda tidak hanya berhasil 
melakukan monopoli perdagangan di Indonesia, namun  juga menguasai kerajaan-
kerajaan di Indonesia. Belanda lalu  melakukan imperialisme dan 
kolonialisme di Indonesia. Tidak hanya Belanda yang pernah menjajah Indonesia. 
Portugis dan Inggris adalah bangsa Barat yang pernah menjajah Indonesia. 
Bagaimana proses penjajahan bangsa-bangsa Barat di Indonesia, bagaimana 
kondisi bangsa Indonesia pada masa penjajahan, mari kita pelajari dan diskusi 
melalui uraian materi di bawah ini. 
Pada tahun 1799 VOC sebagai imperium kolonialisme dan imperialisme 
Belanda pertama di Indonesia bubar. Korupsi sebagai  pemicu  utama 
kehancuran VOC. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengambil alih 
kekuasaan VOC di Indonesia mulai 1 Januari 1800. Dengan demikian secara 
langsung pemerintah Hindia Belanda melakukan pemerintahan terhadap bangsa 
Indonesia. Bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Hindia 
Belanda. Apa saja pengaruh perluasan kolonialisme dan imperialisme yang 
dilakukan pemerintah Hindia Belanda. 
Selepas Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) menjadi muflis pada 
akhir abad ke-18 dan selepas penguasaan United Kingdom yang singkat di bawah 
Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih pemilikan SHTB 
pada tahun 1816. Belanda berjaya menumpaskan sebuah pemberontakan di Jawa 
dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Selepas tahun 1830, sistem 
tanam paksa yang dikenali sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mula 
diamalkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil 
perkebunan yang menjadi permintaan pasaran dunia pada saat itu, seperti teh, 
kopi dan sebagainya. Hasil-hasil tanaman itu lalu  dieksport ke luar negara.  
Pada tahun 1901, pihak Belanda mengamalkan apa yang dipanggil 
mereka sebagai Politik Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek) yang termasuk 
perbelanjaan yang lebih besar untuk mendidik orang-orang pribumi serta sedikit 
perubahan politik. Di bawah Gabenor Jeneral J.B. van Heutsz, pemerintah 
Hindia-Belanda memperpanjang tempoh penjajahan mereka secara langsung di 
seluruh Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan asas untuk negara Indonesia 
pada saat ini. 
Pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda 
antara tahun 1830 sampai pertengahan abad ke-19 mereka menamakannya 
dengan cultuurstelsel. Dalam historiografi Indonesia yang tradisional istilah itu 
diganti menjadi “Tanam Paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari sistem  
ini   yakni kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh 
penerapan sistem ini . Istilah yang dipergunakan oleh Belanda ini  selain 
terbatas pada aspek ekonominya, sehingga makna padanan kata cultuurstelsel  
ini   dalam bahasa Indonesia sesungguhnya adalah “sistem pembudidayaan”, 
atau juga dapat disebut budidaya tanam. namun  praktek di lapangan 
terutama dari segi pengelolaannya dapatlah diamati bahwa aspek politik kolonial 
sangat menonjol. Usaha produksi sesungguhnya dilaksanakan oleh rakyat atau 
petani dengan pengawasan para penguasa area  dari tingkat bupati sampai ke 
tingkat desa. Pada waktu itu hubungan politik antara Belanda dan Mataram yang 
telah menjadi saling tergantung sejak tahun 1755, dan terutama pasca Perang 
Diponegoro di mana Belanda membantu pihak keraton, merupakan format 
politik yang mendorong dan memunculkan terselenggaranya sistem tanam paksa. 
Dalam aspek ini , kasus di Jawa dan kasus-kasus di Kepulauan Ambon dan 
di Priangan tidak begitu berbeda. Sistem ini  memang dimaksudkan untuk 
menghidupkan kembali sistem VOC. 
Pada saat Thomas Stanford Raffles berkuasa di Hindia Belanda, Belanda 
sedang mengalami kesulitan ekonomi yang lebih banyak diakibatkan oleh Perang 
Napoleon dan isolasi ekonomi yang disebabkan Stelsel Kontinental. Oleh sebab itu, 
Belanda kehilangan sebagian besar perdagangannya dan pelayarannya. 
Peranannya sebagai pasar penimbun barang mundur dan dunia perdagangan 
melahirkan pusat-pusat perdagangan baru.  Pedagang-pedagang Belanda tidak 
dapat bersaing dengan pedagang-pedagang Inggris sebab  para pedagang Inggris 
dapat memasarkan kain-kain Lanchashire dengan harga yang relatif murah. Untuk 
mengatasi kondisi ini  Belanda melaksanakan sistem merkantilisme yakni 
memungut biaya yang tinggi terhadap barang-barang yang masuk, dan memungut 
pajak yang tinggi pula bagi barang-barang buatan negeri induik yang akan 
dipasarkan di area  koloni serta memonovoli perdagangan pemerintah. 
Dalam kondisi yang demikian, di Parlemen Belanda  terjadi perbedaan 
pandangan antara golongan konservatif dengan golongan liberal. Golongan 
konservatif  menganggap bahwa eksploitasi yang dijalankan di tanah koloni sudah 
sesuai dengan tuntutan situasi, sedang sistem eksploitasi yang dikonsepkan 
oleh golongan liberal belum sepenuhnya meyakinkan pemerintah. Dalam situasi 
perbedaan pandangan ini, golongan liberal terpecah menjadi dua, yakni golongan 
liberal yang masih mempertahankan prinsip-prinsip liberal seperti kebebasan 
berusaha dan campur tangan yang minimal dari pihak pemerintah dalam urusan-
urusan perseorangan. Di lain sisi, ada sekelompok dari golongan liberal yang 
menekankan pada prinsip-prinsip humaniter dan menginterpretasikan prinsip 
liberal sebagai prinsip memberi keadilan dan perlindungan bagi semua 
kepentingan. Dalam menghadapi golongan liberal yang terpecah ini , 
golongan konservatif dapat meyakinkan pemerintah bahwa sistem kumpeni 
terbukti  dapat dilaksanakan dan lebih efektif, sedang sistem liberal tidak dapat 
dilaksanakan di negeri jajahan sebab  tidak sesuai dengan situasi dan kondisi 
ekonomi lokal. namun , walaupun ada perbedaan pandangan di 
antara golongan konservatif dan golongan liberal, namun  mereka pada prinsipnya 
sama bahwa tanah koloni tetap merupakan area  eksploitasi yang harus 
mendatangkan keuntungan kepada negeri induk, meskipun strategi eksploitasi 
berbeda-beda.  
 Perang kemerdekaan Belgia dan Perang Diponegoro memerlukan biaya 
yang sangat besar, sehingga untuk menutup biaya perang ini , Belanda 
terdorong untuk melakukan kembali politik konservatif dalam mengeksploitasi 
tanah jajahan. Konseuensi dari sistem konservativisme adalah diberlakukannya 
Sistem Tanam Paksa atau cultuurstelsel pada tahun 1830. Sistem Tanam Paksa 
diberlakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-
banyaknya dari tanah koloni dalam waktu yang relatif singkat. Oleh sebab  itu 
pemerintah Hindia Belanda mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk 
mengusahakan penanaman yang hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia. 
sedang jenis tanaman yang diusahakan harus mengikuti ketentuan-ketentuan 
pemerintah kolonial. Sikap konservatif ini mereka pertahankan dengan 
mempertahankan pola-pola tradisional yang berlaku di tanah jajahan. Dengan 
demikian, mereka tidak secara langsung berhadapan dengan rakyat, melainkan 
melalui para penguasa lokal dari tingkat bupati sampai ke tingkat kepala desa. 
Peranan penguasa pribumi sangat besar baik sebagai pengelola kebijakan maupun 
dalam mendapatkan tenaga kerja burah penduduk pribumi, sehingga Sistem 
Tanam Paksa dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama.
Suatu bangsa sebagai kolektivitas seperti halnya individu memiliki 
kepribadian yang terdiri atas serumpun ciri-ciri menjadi suatu watak. Kepribadian 
nasional lazimnya bersumber pada pengalaman bersama bangsa itu atau 
sejarahnya. Identitas seseorang peribadi dikembalikan kepada riwayatnya, maka 
identitas suatu bangsa berakar pada sejarah bangsa itu. Dalam hal ini, sejarah 
nasional fungsinya sangat fundamental untuk menciptakan kesadaran nasional 
yang pada gilirannya memperkokoh solidaritas nasional.  Sehubungan dengan itu 
pelajaran sejarah nasional amat strategis fungsinya bagi pendidikan nasional. 
Sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas 
atau nasion di masa lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian 
seseorang dan sekaligus menentukan identitasnya. Proses serupa terjadi pada 
kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya atau sejarahnyalah yang membentuk 
kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya. Bangsa yang tidak 
mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah kehilangan 
memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan 
kepribadian atau identitasnya. 
berdasar  pernyataan di atas, dapat diambil beberapa butir kesimpulan 
antara lain: 1) untuk mengenal identitas bangsa diperlukan pengetahuan sejarah 
biasanya , dan sejarah nasional khususnya. Sejarah nasional mencakup 
secara komprehensif segala aspek kehidupan bangsa, yang terwujud sebagai 
tindakan, perilaku, prestasi hasil usaha atau kerjanya mempertahankan kebebasan 
atau kedaulatannya, meningkatkan taraf hidupnya, menyelenggarakan kegiatan 
ekonomi, sosial, politik, religius, lagi pula menghayati kebudayaan politik beserta 
ideologi nasionalnya, kelangsungan warga  dan kulturnya; 2) sejarah nasional 
mencakup segala lapisan sosial beserta bidang kepentingannya, subkulturnya. 
Sejarah nasional mengungkapkan perkembangan multietnisnya, sistem hukum 
adatnya, bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya. 
Menemukan kekuatan  nasionalisme dalam negara kebangsaan didasari 
oleh lima prinsip nasionalisme, yakni: kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial, 
bangsa, bahasa, ideologi, dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau 
pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan, dan policy 
kebudayan; kebebasan (liberty, freedom, independence), dalam beragama, 
berbicara dan berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi; 
kesamaan (equality), dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban; kepribadian 
(personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri (self estreem), rasa 
bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap kepribadian dan identitas 
bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya dan;  
prestasi (achievement), yaitu cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare) 
serta kebesaran dan kemanusiaan (the greatnees adn the glorification) dari 
bangsanya.  
Suatu bangsa sebagai kolektivitas seperti halnya individu memiliki 
kepribadian yang terdiri atas serumpun ciri-ciri menjadi suatu watak. 
Kepribadian nasional lazimnya bersumber pada pengalaman bersama bangsa 
itu atau sejarahnya. Identitas seseorang peribadi dikembalikan kepada 
riwayatnya, maka identitas suatu bangsa berakar pada sejarah bangsa itu. 
Dalam hal ini, sejarah nasional fungsinya sangat fundamental untuk 
menciptakan kesadaran nasional yang pada gilirannya memperkokoh 
solidaritas nasional.  Sehubungan dengan itu pelajaran sejarah nasional amat 
strategis fungsinya bagi pendidikan nasional. 
Sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu 
komunitas atau nasion di masa lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk 
kepribadian seseorang dan sekaligus menentukan identitasnya. Proses serupa 
terjadi pada kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya atau sejarahnyalah 
yang membentuk kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya. 
Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu 
yang telah kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, 
maka dia kehilangan kepribadian atau identitasnya. 
berdasar  pernyataan di atas, dapat diambil beberapa butir 
kesimpulan antara lain: 1) untuk mengenal identitas bangsa diperlukan 
pengetahuan sejarah biasanya , dan sejarah nasional khususnya. Sejarah 
nasional mencakup secara komprehensif segala aspek kehidupan bangsa, yang 
terwujud sebagai tindakan, perilaku, prestasi hasil usaha atau kerjanya 
mempertahankan kebebasan atau kedaulatannya, meningkatkan taraf 
hidupnya, menyelenggarakan kegiatan ekonomi, sosial, politik, religius, lagi 
pula menghayati kebudayaan politik beserta ideologi nasionalnya, 
kelangsungan warga  dan kulturnya; 2) sejarah nasional mencakup segala 
lapisan sosial beserta bidang kepentingannya, subkulturnya. Sejarah nasional 
mengungkapkan perkembangan multietnisnya, sistem hukum adatnya, bahasa, 
sistem kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya. 
Pelajaran sejarah bertujuan menciptakan wawasan historis atau 
perspektif sejarah. Wawasan historis lebih menonjolkan kontinuitas segala 
sesuatu. Being adalah hasil proses becoming, dan being  itu sendiri ada dalam 
titik proses becoming. sedang itu yang bersifat sosio-budaya di lingkungan 
kita adalah produk sejarah, antara lain wilayah RI, negara nasional, 
kebudayaan nasional. Sejarah nasional multidimensional berfungsi antara lain: 
mencegah timbulnya determinisme, memperluas cakrawala intelektual, 
mencegah terjadinya sinkronisme, yang mengabaikan determinisme. 
Di samping itu, pelajaran sejarah juga memiliki  fungsi sosio-
kultural, membangkitkan kesadaran historis. berdasar  kesadaran historis 
dibentuk kesadaran nasional. Hal ini membangkitkan inspirasi dan aspirasi 
kepada generasi muda bagi pengabdian kepada negara dengan penuh dedikasi 
dan kesediaan berkorban. Sejarah nasional perlu menimbulkan kebanggaan 
nasional (national pride), harga diri, dan rasa swadaya. Dengan demikian 
sangat jelas bahwa pelajaran sejarah tidak semata-mata memberi pengetahuan, 
fakta, dan kronologi. Dalam pelajaran sejarah perlu dimasukan biografi 
pahlawan mencakup soal kepribadian, perwatakan semangat berkorban, perlu 
ditanam historical-mindedness, perbedaan antara sejarah dan mitos, legenda, 
dan novel histories. 
Kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia didorong oleh berbagai hal    
seperti disebut di bawah ini. 
1. Perkembangan Merkantilisme, revolusi industri, dan kapitalisme 
Merkantilisme,  yakni suatu faham kebijakan politik dan ekonomi suatu 
negara dengan tujuan memupuk hasil kekayaan (berupa emas) sebanyak-
banyaknya sebagai standar kesejahteraan dan kekuasaan untuk negara itu 
sendiri. Untuk mencapai tujuan itu mucullah semangat dari beberapa Negara 
Eropa untuk mencari area  jajahan. Beberapa negara merkantilisme di 
Eropa misalnya;  Perancis ,  Inggris, Jerman, Belanda. 
Revolusi industri adalah pergantian atau perubahan secara 
menyeluruh dalam memproduksi barang yang dikejakan oleh tenaga manusia 
atau hewan menjadi tenaga mesin. Penggunaan mesin dalam industri 
menjadikan produksi lebih efisien, ongkos produksi dapat ditekan, dan 
barang dapat diproduksi dalam jumlah besar dan  cepat. Berkembangnya 
revolusi industri memicu bangsa-bangsa Barat memerlukan bahan baku 
yang lebih banyak. Mereka juga memerlukan area  pemasaran untuk hasil-
hasil industrinya.  
Kapitalisme merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa dalam 
perekonomian, untuk mendapatkan keuntungan yang besar harus memiliki  
modal sebesar-besarnya. Pemilikan modal yang besar dengan sendirinya akan 
menguasai berbagai sektor produksi, bahan baku, dan pemasaran.  Menurut 
kapitalisme seseorang bebas memupuk kekayaannya.  
 
2. Jatuhnya Konstantinopel oleh Kekaisaran Turki Usmani tahun 1453 
Penguasa Turki Islam dari dinasti Utsmani berhasil merebut 
Konstantinopel (Istambul) pada tahun 1453. Pada saat itu Konstantinopel 
merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Dengan jatuhnya 
Konstantinopel, maka perdagangan di Laut Tengah dikuasai oleh pedagang-
 
pedagang Islam.  Hal inilah yang mendorong  para pedagang Eropa mencari 
jalan  lain untuk mencapai penghasil rempah-rempah (Asia). 
 
3. Dorongan Semangat Tiga G 
Kedatangan bangsa-bangsa Barat juga didorong oleh semangat 3 G.  
Tiga G adalah semboyan gold (emas), gospel (agama), dan glory (petualangan 
serta kemuliaan). Gold berkaitan dengan usaha  mencari kekayaan, gospel 
merupakan  tuntutan menyebarkan agama Kristen, dan Glory merupakan 
tekad untuk mencapai kejayaan bangsa-bangsa Barat. Tiga semboyan itulah 
yang mendorong bangsa-bangsa Barat mencapai dunia timur.  
 
4. Tantangan teori Heliosentris 
Nicolaus Copernicus seorang ilmuwan Polandia memperkenalkan 
teori Heliosentris tahun 1543. Menurut teori Heliosentris bahwa pusat tata 
surya adalah matahari. Bumi berbentuk bulat seperti bola. Teori ini 
bertentangan dengan teori Geosentris yang -  bahwa pusat tata 
surya adalah bumi. Galileo, seorang ilmuwan Italia  sebagai salah satu 
penyokong semangat pelayaran, sebab  ia menemukan teropong (teleskop) 
yang mampu melihat benda-benda yang letaknya sangat jauh. 
 
H. Kedatangan Bangsa-bangsa Barat ke Indonesia 
Bagaimana proses perjalanan bangsa-bangsa Barat ke timur? Mereka 
melalui berbagai rintangan yang amat berat. Lautan luas dengan ombak besar dan 
ancaman angin menjadi halangan utama. Ancaman bajak laut juga sering mereka 
temui. namun  dengan semangat tiga G mereka akhirnya mampu mencapai dunia 
timur.  Mereka  adalah petualang yang tangguh. Sayang petualangan mereka 
lalu  menjadikan mereka sombong dan sebab  hawa nafsunya, mereka 
lalu  menjadi penjajah. Bagaimana kronologi atau urutan kedatangan 
bangsa-bangsa Barat ke Indonesia?  
 
1. Ekspedisi Bangsa Portugis 
Pelaut Portugis Bartolomeo Diaz pada tahun 1486 melakukan pelayaran 
pertama  menyusuri pantai barat Afrika. Ia bermaksud melakukan pelayaran 
ke India, namun gagal. Ekspedisinya hanya berhasil sampai di ujung selatan 
Afrika. Selanjutnya orang Portugis menyebutnya sebagai Tanjung Harapan 
Baik (Cape of Good Hope). 
Vasco da Gama melanjutkan ekspedisi Bartolomeo Diaz tahun 1498. 
Akhirnya Vasco da Gama berhasil mencapai Kalikut, India. Dengan 
demikian, ia telah menemukan jalan baru menuju pusat rempah-rempah. 
Dalam perjalanan selanjutnya akhirnya Portugis mencapai Malaka tahun 1511 
di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Ia berhasil menguasai Malaka, 
dan selanjutnya memasuki wilayah Nusantara. 
 
2. Ekspedisi Bangsa Spanyol 
Teori Heliosentris salah satu pendorong Christophorus Colombus 
mencapai Hindia timur melalui jalur barat Eropa. Pada tahun 1492, dengan 
dukungan Ratu Isabella Colombus memulai pelayaran melalui Samudra 
Atlantik. Colombus berhasil mencapai kepulauan Bahama di Karibia 
Amerika. Colombus mengira dirinya telah sampai di Hindia, sehingga 
menamai penduduk setempat sebagai orang Indian. Akibatnya benua 
Amerika oleh orang Eropa disebut sebagai Hindia Barat. Colombus menjadi 
pioner menuju Hindia Timur melalui jalur barat. Penerusnya bernama 
Ferdinand Magellan  melakukan pelayaran tahun 1519. Satu tahun lalu  
Magellan sampai dii Filipina. Di Filipina ia wafat sebab  terlilbat konflik 
dengan kerajaan setempat.  Sebastian d’Elacano, penerus Magellan berhasil 
mencapai kepulauan Maluku tahun 1521. Di Maluku  bangsa Portugis telah 
sampai terlebih dahulu. 
Portugis dan Spanyol terlibat dalam konflik antar kerajaan Ternate 
dan Tidore di Maluku. Pada saat itu Ternate dan Tidore sebagai kerajaan 
berpengaruh di Maluku sedang dalam situasi persaingan yang menjurus ke 
permusuhan. Spanyol memanfaatkan situasi ini  dengan memberikan 
dukungan kepada Tidore. sedang  Portugis memberikan dukungan kepada 
Tidore. Dalam perseteruan ini  Tidore dan Spanyol dalam pihak yang 
mengalami kekalahan.  Untuk menghindari persaingan antar bangsa Eropa 
yang bisa merugikan mereka, maka perjanjian Tordesillas memutuskan  
bahwa Spanyol  tidak diijinkan melakukan perdagangan di Maluku. Salah atu 
hal terpenting dari perjalanan pelayaran bangsa Portugis dan Spanyol adalah 
bukti bumi berbentuk bulat semakin kuat. 
  
C. Peta Kedatangan Bangsa-bangsa Barat di Indonesia 
6. Ekspedisi Bangsa Inggris 
Inggris merupakan salah satu negara yang sangat maju di Eropa. Pola 
perdaganngannya berbeda dengan para pedagang Eropa lainnya. 
Perdagangann Inggris di Asia tidak disponsori oleh pemerintah, melainkan 
oleh perusahaan-perusahaan swasta. Persekutuan dagang EIC (East Indian 
Company) merupakan gabungan dari para pengusaha Inggris. Walaupun 
Inggris tiba di kepulauan Nusantara, namun pengaruhnya tidak terlalu banyak 
seperti halnya Belanda. Hal ini disebabkan EIC terdesak oleh Belanda, 
sehingga Inggris menyingkir ke India/ Asia Selatan dan Asia Timur.  Tentang 
kekuasaan Inggris di Indonesia akan kita bahas di bagian lain. 
 
7. Ekspedisi Bangsa Belanda 
Pada tahun 1568-1648 terjadi perang 80 tahun antara Belanda dan 
Spanyol. Pemerintah Spanyol melarang pelabuhan Lisabon  bagi kapal-kapal 
Belanda untuk melakukan aktivitas perdagangan dan pelayaran. Belanda tidak 
surut langkah dalam menghadapi tantangan ini  untuk mencapai Hindia 
Timur. Seorang pelaut Belanda Cornelis de Houtman, memimpin ekspedisi 
ke Hindia Timur. Pada tahun 1595 armada mengarungi ujung selatan Afrika, 
selanjutnya terus menuju ke arah timur melewati Samudra Hindia. Tahun 
1596 armada Houtman tiba di Pelabuhan Banten melalui Selat Malaka. 
Mengapa Belanda tidak melewati Selat Malaka yang lebih ramai? Hal ini 
disebabkan Portugis telah menguasai Malaka, sedang mereka bermusuhan. 
Cornellis de Houtman merupakan pioner perusahaan-perusahaan 
dagang Belanda lainnya. Kedatangan Houtman di Indonesia lalu 
disusul  ekspedisi-ekspedisi lainnya. Dengan banyaknya pedagang Belanda di 
Indonesia maka muncullah persaingan di antara mereka sendiri. Secara 
prinsip ekonomi, bahwa banyaknya pedagang maka harga akan naik, sebab  
banyak permintaan, penawaran cenderung tetap. Akibat di Eropa adalah 
sebaliknya. sebab  banyak pedagang yang membawa dagangan sama, 
sehingga harga rempah-rempah di Eropa cenderung turun. Akibatnya 
keuntungan pedagang Eropa juga turun. Keadaan ini sebenarnya merupakan 
prinsip ekonomi yang sehat. 
 
8. Berdirinya Kongsi Dagang Belanda VOC 
Persaingan antar para pedagang barat muncul dengan semakin 
banyaknya pedagang Barat di Indonesia. Hal ini  sebagai hal kurang 
positif bagi perkembangan para pedagang Eropa. Untuk itulah maka bangsa-
bangsa Barat lalu  mendirikan persekutuan atau organisasi perdagangan. 
Tujuannya adalah agar tidak terjadi persaingan tidak sehat antar bangsa Barat, 
khususnya yang satu negara. Para pedagang Belanda lalu  mendirikan 
Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC).  Bagaimana proses terbentuknya 
VOC? Apa saja keistimewaan VOC? Mari kita kaji melalui uraian di bawah 
ini! 
 
9. Terbentuknya VOC tahun 1602 
Persaingan tidak hanya antar pedagang Belanda, namun  juga dengan 
para pedagang Eropa, dan Asia lainnya. Saingan utama Belanda adalah 
Portugis yang lebih dahulu menanamkan pengaruh perdagangan di 
Nusantara. Masalah ini dianggap merugikan kepentingan Belanda. Untuk 
mengatasi permasalahan ini , dengan dukungan pemerintah Belanda, 
pada tanggal 20 Maret 1602 dibentuklah Veredigde Oost-Indische 
Compagnie atau disingkat VOC (Persekutuan Perusahaan Dagang Hindia 
Timur). Ide pembentukan VOC berasal dari seorang anggota Parlemen 
Belanda bernama Johan van Oldebarnevelt. VOC merupakan merger 
(penggabungan) dari beberapa perusahaan dagang Belanda. Apa istimewanya 
VOC? Beberapa keistimewaan yang diberikan kepada VOC.? Selain VOC 
dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal, VOC memiliki  hak monopoli 
dan kedaulatan. 
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) 
tanggal 20 Maret 1602 meliputi berikut ini. 
a. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur 
Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai 
perdagangan untuk kepentingan sendiri; 
  
b. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu 
negara untuk: 
1.  memelihara angkatan perang, 
2.  memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian, 
3.  merebut dan menduduki area -area  asing di luar Belanda, 
4.  memerintah area -area  ini , 
5.  menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan 
6.  memungut pajak 
 
10. Perluasan Politik Ekonomi VOC 
Sebagai Gubernur Jendral pertama VOC adalah Pieter Both, 
lalu  menentukan pusat perdagangan VOC di Ambon, Maluku. Namun 
lalu  pusat dagang dipindahkan ke Jayakarta (Jakarta) sebab  VOC 
memandang bahwa Jawa lebih strategis sebagai lalu-lintas perdagangan.  
Selain itu, bahwa  kedudukan saingan utama Belanda, Portugis di Malaka, 
merupakan ambisi Belanda untuk menyingkirkannya.  
Pangeran Jayakarta (penguasa bagian wilayah Banten) memberikan 
ijin kepada VOC untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Selain 
memberikan ijin kepada VOC, Pangeran Jayakarta juga memberikan ijin 
pendirian kantor dagang  kepada EIC (Inggris). Kebijakan ini membuat 
Belanda merasa tidak suka kepada Pangeran Jayakarta. 
Gubernur Jendral VOC Jan Pieterszoon Coen membujuk penguasa 
Kerajaan Banten untuk memecat Pangeran Jayakarta, dan sekaligus memohon  
agar ijin kantor dagang Inggris EIC dicabut. Pada tanggal  31 Mei 1619 
keinginan VOC dikabulkan Raja Banten. Momentum inilah yang lalu  
menjadi mata rantai kekuasaan VOC dan Belanda pada masa berikutnya. 
VOC memiliki  keleluasaan dan kelonggaran yang diberikan penguasa 
Banten. Jayakarta oleh VOC diubah namanya menjadi Batavia, sekaligus 
VOC mendirikan benteng sebagai tempat pertahanan, pusat kantor dagang, 
dan pemerintahan. Pengaruh ekonomi VOC semakin kuat dengan dimilikinya 
beberapa hak monopoli perdagangan. Masa inilah yang menjadi sandaran 
perluasan kekuasaan Belanda pada perjalanan sejarah selanjutnya. 
Dalam menanamkan perluasan kekuasaan ekonomi di Indonesia, 
ada strategi yang sangat terkenal. Pertama, VOC menerapkan politik devide 
et impera (adu domba) apabila ada persengketaan politik kerajaan.  Hal 
ini  sangat menguntungkan, sebab  kekuatan bangsa Indonesia akan 
melemah. Kedua,VOC berhasil berhak ekstirpasi, yakni hak untuk 
menghancurkan tanaman rempah-rempah agar produksinya tidak berlebih. 
Sebab apabila produksi berlebih, maka harga akan menurun. Ketiga, seperti 
yang terjadi di Maluku, VOC berhak melakukan pelayaran Hongi. Pelayaran 
hongi adalah pelayaran memakai  perahu bercadik  dengan memakai  
senjata lengkap, untuk patroli mengawasi pohon rempah-rempah yang 
ditanam rakyat, dan mencegah  pedagang atau warga  lokal berhubungan 
dagang dengan bangsa lain selain bangsa Belanda.  
Eksistensi VOC di Batavia telah berhasil merongrong kekuasaan 
kerajaan Banten. Campur tangan Belanda terlihat saat VOC menekan 
penguasa Banten Ranamenggala agar menyingkirkan Pangeran Jayakarta. 
Keberadaan VOC di Jayakarta merupakan ancaman serius bagi raja-raja lain 
khususnya di Jawa dan Nusantara. Pada masa itu ada kerajaan yang 
masih kuat, seperti Mataram di Jawa Tengah. Pada awalnya, hubungan antara 
Mataram dengan VOC bersifat saling menguntungkan. Dalam periode 
berikutnya, terjadi konflik antara Mataram-VOC, yang akan dibahas dalam 
bab tersendiri. 
Dari uraian ini . menunjukkan , bahwa Belanda dengan VOC-nya 
telah berhasil menguasai area  Indonesia bagian barat, tengah, maupun 
timur. Kepulauan Indonesia telah menjadi sasaran perluasan kolonialisme dan 
imperialisme. 
 
I. Perjuangan rakyat di berbagai area  dalam menentang imperialisme 
dan kolonialisme 
Kebijakan-kebijakan VOC di Indonesia menimbulkan berbagai konflik 
dengan rakyat Indonesia. Hampir di setiap area  di Indonesia muncul 
perlawanan menentang VOC. fakta  ini menunjukkan bahwa bangsa 
Indonesia mencintai persahabatan namun  lebih mengutamakan kemerdekaan. 
Perlawanan muncul di berbagai area  seperti yang akan kita kaji pada uraian di 
bawah ini. Perlawanan tidak hanya ditujukan kepada bangsa Belanda, namun  juga 
bangsa barat yang lain. Bagaimana sejarah perlawanan bangsa Indonesia 
terhadap bangsa-bangsa Barat? Mari kita simak bersama! 
 
3. Perlawanan terhadap Portugis 
a. Perlawanan Ternate 
Perlawanan di Maluku diawali oleh perlawanan Dajalo dari Ternate 
dengan bantuan kerajaan Ternate dan Bacan.  Ternate dan Tidore yang 
awalnya bersaing, namun lalu  menyadari bahwa keberadaan 
Portugis sangat membahayakan mereka. Dajalo belum berhasil mengusir 
Portugis. Perlawanan berikutnya dilanjutkan oleh Sultan Khairun, dan 
pada tanggal 27 Februari 1570 terjalin kesepakatan damai dengan 
Portugis. Selanjutnya Portugis mengingkari kesepakatan damai, bahkan 
Sultan Khairun dibunuh. Sultan Baabullah Daud Syah segera melanjutkan 
perlawanan, dan berhasil mengusir Portugis dari Maluku tahun 1575. 
Selanjutnya Portugis berpindah ke Tomor Leste (Timor-Timur) dan 
Flores. 
 
b. Perlawanan Demak 
Akibat dominasi Portugis di Malaka telah mendesak dan merugikan 
kegiatan perdagangan orang-orang Islam. Oleh sebab  itu, Sultan Demak 
R. Patah mengirim pasukannya di bawah Pati Unus untuk menyerang 
Portugis di Malaka.-Pati Unus melancarkan serangannya pada tabun 1512 
dan 1513. Serangan ini belum berhasil. lalu  pada tahun 1527, 
tentara Demak kembali melancarkan serangan terhadap Portugis yang 
mulai menanarnkan pengaruhnya di Sunda Kelapa. Di bawah pimpinan 
Fatahillah tentara Demak berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. 
Nama Sunda Kelapa kernudian diubah menjadi Jayakarta. 
 
c. Perlawanan Aceh 
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639) 
armada kekuatan Aceh telah disiapkan untuk menyerang kedudukan 
Portugis di Malaka. Saat itu Aceh telah memiliki armada laut yang mampu 
mengangkut 800 prajurit. Pada saat itu wilayah Kerajaan Aceh telah 
sampai di Asumatera Timur dan Sumatera Barat.  Pada tahun 1629 Aceh 
mencoba menaklukkan Portugis. Penyerangan yang dilakukan Aceh ini 
belum berhasil mendapat kemenangan. namun  Aceh masih 
tetap berdiri sebagai kerajaan yang  merdeka. 
 
2. Perlawanan terhadap VOC 
Tindakan VOC yang sombong dan sewenang-wenang memicu 
perlawanan rakyat Indonesia di berbagai area . Walaupun  beberapa usaha  
mengusir Belanda dari Indonesia belum berhasil, namun perjuangan ini akan 
menjadi inspirasi bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam masa selanjutnya 
dalam mengusir penjajah. Berikut ini kita kaji beberapa perlawanan rakyat 
Indonesia di berbagai area  dalam mengusri VOC. 
 
a.  Maluku 
Kakiali dan Talukabesi  dari kerajaan hitu memimpin perjuangan 
mengusir Belanda di Maluku tahun 1635-1646. Walaupun perjuangan 
ini  belum berhasil, namun  telah menunjukan bahwa bangsa Indonesia 
tidak menyukai penjajahan. Pada tahun 1667 Tidore, sebagai kerajaan 
terkuat di Maluku juga mengakui kekuasaan VOC. Kekuasaan Belanda di 
Indonesia timur semakin tegas dengan dikuasainya Maluku. 
b.  Makassar 
sesudah  Maluku jatuh, ancaman VOC di Indonesia Timur tinggal 
kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Gowa adalah kerajaan yang kuat dan 
memiliki  armada sangat besar.  Terjadi sebuah perselisihan antara 
Arung Palaka dari kerajaan Bone  dengan raja Gowa. VOC 
memanfaatkan perselisihan ini  dengan memberikan dukungan 
kepada Arung Palaka. 
Belanda berhasil memanfaatkan Arung Palaka untuk menyerang 
Gowa tahun 1666. Pihak Belanda dengan bantuan Arung Palaka 
memenangkan pertempuran, dan Sultan Hassanuddin dari kerajaan Gowa 
dipaksa untuk menandatangani perjanjian Bongaya 18  November tahun 
1667.  
Perjanjian Bongaya baru terlaksana tahun 1669, sebab  Sultan 
Hassanuddin masih melakukan perlawanan kembali. Akhirnya Makassar 
harus merelakan benteng di Ujungpandang kepada VOC. Sejak masa itu 
tidak ada lagi kekuatan besar yang mengancam kekuasaan VOC di 
Indonesia timur. Gorontalo, Limboto, dan negara-negara kecil Minahasa 
lainnya telah takluk pada VOC. Perjanjian Bongaya adalah perjanjian 
antara Sultan Hasanuddin dengan VOC, yang isinya:VOC mendapatkan 
wilayah yang direbut selama perang, Bima diserahkan kepada VOC, 
Kegiatan pelayaran para pedagang Makasar dibatasi di bawah pengawasan 
VOC, Penutupan Makasar sebagai Bandar perdagangan dengan bangsa 
Eropa, selain VOC, dan monopoli oleh VOC, Alat tukar/mata uang yang 
dipakai  di Makasr adalah mata uang Belanda, Pembebasan cukai dan 
penyerahan 1500 budak kepada VOC. 
Perjanjian  Bongaya telah memangkas kekuasaan kerajaan Gowa 
sebagai kerajaan terkuat di Sulawesi. Tinggal kerajaan-kerajaan kecil yang 
sulit melakukan perlawanan terhadap VOC. 
b.  Mataram 
Mataram merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di pulau 
Jawa. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Belanda telah mendirikan 
18 
 
kantor dagang di Jakarta (Batavia). Keberadaan VOC di Belanda, sangat 
membahayakan Mataram. Selanjutnya terjadi perselisihan antara 
Mataram-Belanda sebab  nafsu monopoli Belanda. Pada tanggal 8 
November 1618 Gubernur Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen 
memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara. Kerugian Mataram 
sangat besar. Peristiwa ini  yang memperuncing perselisihan antara 
Mataram dengan Belanda. Raja Mataram Sultan Agung   segera 
mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia. 
Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram dipimpin 
Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. lalu  
disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, dan kedua bersaudara 
yakni Kiai Dipati Mandurejo dan Upa Santa.  
Serangan pertama gagal, pasukan ditarik ke Mataram tanggal 3 
Desember 1628. Tidak kurang 1000 prajurit Mataram gugur dalam 
perlawanan ini . Mataram segera mempersiapkan serangan kedua, 
dengan pimpinan Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. 
Purbaya. Persiapan dilakukan dengan lebih matang. Gudang-gudang dan 
lumbung persediaan makanan didirikan di berbagai tempat. Persiapan 
pengepungan secara total terhadap Batavia dilakukan. Serangan dimulai 
tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629.  Serangan kedua inipun 
gagal. Selain sebab  faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung 
padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. 
 
c.   Banten 
Banten mencapai jaman keemasan pada maasa Sultan Ageng 
Tirtayasa. Beliau sangat bersimpati dengan perjuangan untuk mengusir 
Belanda yang ditunjukan dengan pemberian bantuan amunisi senjata 
kepada Trunojoyo yang melawan Belanda di Mataram. Perlawanan 
Banten terhadap Belanda terjadi sejak awal Belanda menginjakan kaki di  
Banten. Perlawanan terbesar adalah yang dilakukan Sultan Ageng 
Tirtayasa  tahun 1656. Kerajaan Banten berhasil menguasai beberapa  
19 
 
kapal VOC, dan beberapa pos penting.  Perlawanan ini diakhiri perjanjian 
damai tahun 1569. 
Pada tahun 1680 Sultan Ageng kembali mengumumkan perang 
sesudah  terjadi penganiayaan terhadap para pedagang Banten oleh VOC. 
Sayang sekali di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Ageng dengan 
putra mahkota Sultan Haji. Belanda memanfaatkan perselisihan antara 
Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda mendukung Sultan 
Haji, sebab  lebih mudah dipengaruhi untuk membantu kepentingan 
dagang Belanda. Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan, dan Sultan 
Haji menjadi Raja Banten. 
Pada tahun 1682 Sultan Haji terpaksa menandatangani perjanjian 
dengan Belanda  yang isinya: VOC berhak atas monopoli perdagangan, 
orang-orang  Eropa saingan VOC harus diusir, Banten menanggung 
semua ganti rugi perang, Banten merelakan Cirebon kepada VOC, VOC 
berhak turut campur dalam setiap urusan kerajaan Banten. Tahun 1695 
kemerdekaan kerajaan Banten telah diambil oleh VOC. Sultan Haji baru 
sadar, bahwa tindakannya sangat merugikan kepentingan rakyatnya 
sendiri. Kerajaan Banten-pun semakin lemah, dan kedudukan Belanda di 
Jawa semakin kuat. 
 
J. Bubarnya VOC Sebagai Imperium Pertama (1602-1799) 
Sejak tahun 1602, VOC merupakan pengaruh besar perdagangan di 
Indonesia. Hingga akhir abad XVIII, VOC berhasil menanamkan kekuasaan di 
berbagai wilayah. Usaha-usaha VOC bukanlah tanpa menghadapi tantangan 
dan perlawanan. Kekuasaan kerajaan-kerajaan besar dan kecil masih merupakan 
ancaman serius VOC.  
Untuk meluaskan hegemoni, VOC mempersiapkan penguasaan dengan 
cara perang (militer). Beberapa gubernur jendral seperti Antonio van Diemon 
(1635-16450, Johan Maatsuyeker (1653-1678), Rijklof van Goens (1678-1681), 
Cornellis Janzoon Speelman (1681-1684), merupakan tokoh-tokoh peletak 
dasar politik ekspansi VOC. 
20 
 
Selama abad XVII, VOC memusatkan perhatian pada dua tempat. 
Pertama, Maluku tempat kekuasaan Belanda yang semakin kokoh. Kedua, Jawa  
tempat dimana terjadi peristiwa-peristiwa yang juga akan membuka jalan bagi 
djalankannya intervensi  ke beberapa kerajaan. Hingga akhir abad XVIII VOC 
masih menghadapi kerajaan-kerajaan Jawa, terutama Mataram. 
Keberadaan VOC di Indonesia ternyata tidak serta-merta membawa 
keuntungan besar bagi pemerintah Belanda.  Eksploitasi/pengurasan kekayaan 
bangsa Indonesia lebih banyak masuk dalam pribadi dan kelompok. Hal inilah 
sebagai salah satu pemicu VOC gulung tikar. 
Beberapa pemicu  kebangkrutan VOC: 
1. Skandal korupsi yang merajalela para pegawai VOC 
2. Lemahnya manajemen/pengelolaan sehingga terjadi pemborosan keuangan. 
3. Perlawanan dari berbagai kerajaan di Indonesia, ancaman Inggris (EIC)  
dan Perancis menguras perhatian dan keuangan VOC. 
4. Perang Inggris IV (1780-1784) di Eropa membuat VOC terpisah dari 
induknya (pemerintah Belanda). VOC banyak mengeluarkan biaya untuk 
memperkuat armada militer guna menghadapi Inggris. sebab  inilah VOC 
banyak menanggung hutang. 
5. Di Eropa, pada bulan Desember 1794/Januari 1795 Perancis mengalahkan 
Belanda, dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis. Peristiwa 
ini yang menandai berubahnya kerajaan Belanda menjadi Republik Bataaf 
(Bataafse Republiek). 
Komisi yang menyelidiki kebangkrutan VOC akhirnya menyimpulkan 
bahwa VOC sudah sulilt untuk dipertahankan. Akhirnya pada pergantian tahun 
1799 ke 1800 VOC dibubarkan. Mulai tanggal 1 Januari 1800, Indonesia 
menjadi jajahan Pemerintah Belanda, berdasar  pasal 247 Konstitusi 1798. 
Status Republik Bataaf hanya sampai tahun 1806. Napoleon Bonaparte (Kaisar 
Perancis) mengembalikan Republik Bataaf ke bentuk kerajaan Belanda. 
Indonesia merupakan bagian pemerintahan kerajaan Belanda yang dipimpin 
seorang Gubernur Jendral. Kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia 
terutama didorong oleh kekayaan sumber daya alam bangsa Indonesia. Mereka 
sangat membutuhkan komoditi perdagangan berupa rempah-rempah yang 
21 
 
sangat mahal di Eropa. Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia 
memicu terjadinya imperialisme dan kolonialisme di Indonesia. Perjalanan 
bangsa-bangsa barat juga didorong  merkantilisme, kapitalisme, dan revolusi 
industri di Eropa. Jatuhnya Konstantinopel ke tangan penguasa Turki Islam 
tahun 1453 memaksa bangsa-bangsa Eropa mencari jalan lain mendapatkan 
rempah-rempah. 
Didukung oleh semangat Tiga G (Gold, Glory, dan Gospel) bangsa-
bangsa Barat berhasil mencapai dunia timur termasuk Indonesia. Bangsa 
Indonesia menyambut baik kedatangan mereka sebab  awalnya hanya untuk 
berdagang. namun  perdagangan ini  lalu  bergeser terhadap usaha 
bangsa-bangsa Barat menguasai wilayah Indonesia di berbagai area . 
Dampaknya adalah munculnya berbagai perlawanan rakyat Indonesia di 
berbagai area .  
Politik adu domba devide et impera memicu bangsa Indonesia 
terpecah belah. Satu demi satu kerajaan di Indonesia jatuh dalam cengkeraman 
bangsa Barat. VOC adalah persekutuan dagang Belanda yang paling besar 
menanamkan pengaruh kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. 
Persekutuan dagang ini akhirnya hancur pada akhir abad XVIII. Selanjutnya 
pemerintah Hindia Belanda langsung memerintah bangsa Indonesia. Kondisi 
ini semakin memperjelas keadaan bangsa Indonesia di bawah penjajahan 
Belanda. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
22 
 
BAB III 
PENERAPAN SISTEM TANAM PAKSA 
 
A.  Ketentuan-Ketentuan Tanam Paksa 
Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan 
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa 
harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor 
khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah 
kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada 
pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 
hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi 
semacam pajak. 
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti sebab  
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya 
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang dipakai  untuk praktek 
cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan 
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. 
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi 
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding 
sistem monopoli VOC sebab  ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang 
sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual 
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan 
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset 
tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman 
keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem 
yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch 
selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 
1839. 
Culturstelsel di Jawa dimulai pada tahun 1836 atas inisiatif seseorang yang 
berpengalaman  dalam urusan ini  yaitu Van Den Bosch yang telah memiliki 
pengalaman dalam mengelola perkebunan di wilayah kekuasaan Belanda di 
Kepulauan Karibia. Tujuan Van Den Bosch yang dijadikan Gubernur Jenderal 
23 
 
adalah “mentransformasikan pulau Jawa menjadi eksportir besar-besaran dari 
produk-produk agraria, dengan keuntungan dari penjualannya terutama mengalir 
ke keuangan Belanda. Tujuan Van Den Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa 
itu adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang menjadi permintaan di 
pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan ini  Bosch menganjurkan 
pembudidayaan berbagai produk seperti kopi,  gula, indigo (nila), tembakau, teh, 
lada, kayumanis, jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari semua produk itu 
adalah bahwa petani dipaksakan oleh pemerintah  kolonial untuk 
memproduksinya dan sebab itu tidak dilakukan secara voluter (Fasseur, 1992: 
239).  
sedang  ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa 
sebagaimana tercantum dalam staatsblad tahun 1834 no.22. yang isinya adalah 
sebagai berikut.  
1.  Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk hal mana mereka 
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan 
yang dapat dijual di pasaran Eropa. 
2.  Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini  
tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki 
penduduk desa. 
3.  Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh 
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi. 
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan 
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah. 
5.  Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib 
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, jika nilai-nilai hasil tanaman 
dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, 
maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat. 
6. Apabila terjadi gagal panen pada tanaman dagang harus dibebankan kepada 
pemerintah, hal ini  berlaku apabila kegagalan ini  tidak disebabkan 
oleh kekurangrajinan atau ketekunan pada pihak rakyat. 
7. Dalam mengerjakan tanah-tanah untuk penanaman tanaman dagang, 
penduduk desa diawasi oleh para pemimpin desa mereka, sedang  
24 
 
pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan apakah 
pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan 
dengan baik dan tepat pada waktunya (Sutjipto, 1977: 76-77). 
Jika diamati dari segi isi staatsblad ini , maka Sistem Tanam Paksa 
tidak begitu memberatkan pada penduduk. namun  dalam 
pelaksanaannya ternyata telah memicu  kesengsaraan yang berkepanjangan 
kepada rakyat. Dampaknya cukup destruktif menjadikan rakyat miskin dan tidak 
teratur hidupnya. Penduduk selalu terbebani oleh perilaku-perilaku pemimpin-
pemimpin mereka yang memaksakan rakyat untuk taat terhadap nperaturan yang 
ditetapkannya. Fenomena ini diakibatkan noleh adanya penyimpangan ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam staatsblad yang dilakukan oleh pemerintah 
Hindia Belanda. Penduduk lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan 
waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor, sehinga tidak dapat mengerjakan 
sawahnya dengan baik, bahkan dalam suatu waktu tidak dapat mengerjakan 
sawahnya sama sekali. Bahkan penduduk yang tidak memliki tanah harus bekerja 
melebihi waktu yang ditentukan. Penduduk menyediakan tanah untuk tanaman 
ekspor melebihi seperlima dari lahan garapan, bahkan sampai ½ atau seluruhnya 
dipakai  untuk menanam tanaman komoditas ekspor. Tanah juga dipilih pada 
lahan yang subur, sedang padi hanya bisa ditanam di sisa lahan yang kurang 
subur. Apabila penduduk gagal panen tanaman wajib, tetap menjadi tanggung 
jawab penduduk. Demikian pula lahan yang disediakan untuk tanaman wajib itu 
masih tetap dikenakan wajib pajak. sedang  sesudah  panen, apabila penduduk 
menyerahkan hasil panennya melebihi dari jumlah pajak yang harus dibayar tidak 
dikembalikan kepada rakyat. 
 
B.  Pelaksanaan Tanam Paksa 
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut sesudah  
terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan Perang Padri 
di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin 
khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama 
mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran 
pemerintah penjajahan. 
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa 
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap 
desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa 
(kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk memakai  sebagian tanah 
garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja 
untuk bekerja bagi pemerintah. 
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak 
tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak 
daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. 
Jika kurang, desa ini  mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber 
lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai 
tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. 
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja 
yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di 
pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan. 
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. 
sebab  antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, 
melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. 
Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari 
Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost 
Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi 
sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba 
mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem 
tanam paksa Nederlandsche Handels Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi 
VOC yang telah bangkrut.  
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya 
pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa 
Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa 
yang kejam ini, sesudah  mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, 
akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa 
masih terus berlangsung sampai 1915. 
26 
 
Menurut penelitian Prof. Fasseur dari Universitas Leiden, pada tahun 
1884 sekitar 75.5 % penduduk Jawa dikerahkan dalam cultuurstelsel atau tanam 
paksa. Penduduk di Karesidenan Batavia dan area  kesultanan di Jawa Tengah 
atau Vortsenlanden tidak mengambil bagian dalam sistem ini . Jumlah ini  
lalu  berfluktuasi namun  tidak turun secara drastis sebab  pemerintah Hindia 
Belanda berusaha mempertahankan eksistensi tanah untuk tanaman komoditi 
ekspor. lalu  pada tahun 1850, umpamanya jumlah ini  telah menurun 
menjadi 46 %, namun  ditahun 1860 naik lagi menjadi 54.5%. Kendatipun 
demografi belum muncul pada masa ini, dan data kependudukan yang diperoleh 
dari laporan-laporan para pejabat Belanda sering simpang siur, namun dapat 
dikatakan bahwa sistem cultuurstelsel ini jelas-jelas telah memicu  dampak 
yang destruktif bagi penduduk Jawa. Luas tanah garapan yang dipakai  untuk 
sistem itu menurut perhitungan, pada tahun 1840 hanya 6 % saja. Pada tahun 
1850 menurun menjadi 4 %, dan pada tahun 1860 naik lagi sedikit menjadi 4.5 %. 
Jenis tanah yang dibutuhkan juga berbeda-beda untuk masing-masing 
tanaman. Tebu (untuk gula) memerlukan tanah persawahan yang baik, sebab  
tebu membutuhkan irigasi yang lancar. namun  kopi justru memerlukan tanah yang 
agak tandus (woeste gronden). Yang tidak dapat dipakai  untuk persawahan, 
terutama dilereng-lereng  gunung. Indigo membutuhkan area  yang padat 
penduduknya. Pada dasarnya sistem ini membawa perubahan pada sistem 
pemilikan tanah. sebab  penyelenggaraannya dilakukan per desa, maka tanah-
tanah juga dianggap milik desa, bukan milik perorangan (Fasseur 1992: 28,29). 
Prof. Fasseur berhasil membuat kalkulasi mengenai berbagaii komoditi 
yang ditanam tahun 1830 dan membawa hasil sekitar tahun 1840 (Fasseur 1993: 
34). Dalam waktu sepuluh tahun (1830-1840) semua karesidenan (18 buah) di 
Jawa telah terserap dalam sistem ini (kecuali karesidenan Batavia). Kopi 
diusahakan mulai dari Banten hingga karesidenan Basuki. Kopi diusahakan mulai 
dari Banten hingga karesidenan Basuki di Jawa Timur. namun  produksi kopi 
terbesar berasall dari karesidenan-karesidenan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa 
Tengah), Pasuruan dan Basuki (Jawa Timur). 
Dalam jangka waktu yang sama gula telah berhasil diusahakan di 13 
karesidenan. Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu karesidenan-karesidenan 
27 
 
Surabaya, Pasuruan, dan Basuki (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini 
mencapai hampir 65%). Selain itu ada gula pula dikaresidenan-karesidenan 
Japara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan Cirebon (Jawa 
Barat). Dalam jangka waktu yang sama pula Indigo berhasil diusahakan dii 11 
karesidenan, namun  produksi utama berasal dari dua karesidenan di Jawa Tengah, 
yaitu Bagelan dan Banyumas, yang menghasilkan 51%. Juga di Cirebon dan 
Pekalongan ada diusahakan sedikit indigo. Tembakau yang diusahakan melalui 
cultuurstelsel dilakukan di Karesidenan Rembang dan sekitar Pacitan (Jawa 
Tengah). sedang  kayumanis diselenggarakan di Karawang (Jawa Barat). 
Dalam penyelenggaraan cultuurstelsel  pihak Belanda berusaha agar sedapat 
mungkin tidak berhubungan langsung dengan petani. Sebab itu 
penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa, dan 
warga  desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang 
dihitung dalam pikol (+  62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah. 
Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ketempat lain 
sebab  pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasannya kepada para 
pejabat Belanda setempat (para kontrolir) yang memiliki  motivasi untuk 
meningkatkan produksi sebab  mereka memperoleh “cultuurprocent” prosentase 
tertentu dari hasil panen. Untuk itu sampai tahun 1860 dikerahkan tidak kurang 
90 orang kontrolir dan sekitar orang pengawas berkebangsaan Belanda. 
Mobilisasi penduduk dilakukan sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan yang 
berlaku dalam tatanan politik Mataram, yaitu apa yang oleh Belanda dinamakan 
“heerendiensten” (Djuliati Suryo, 1993). Yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan 
berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan bayaran. Hak ini lalu  
beralih pada Belanda yang sejak Perang Diponegoro dianggap sebagai penguasa, 
kecuali di Vortsenlanden. “Kapan saja pemerintahan membutuhkan tenaga 
rakyat, maka para bupati, sesuai dengan instruksi yang diberikan pada mereka, 
harus mengusaha kan agar setiap desa menyediakan tenaga kerja secara adil.” 
Beberapa jumlah penduduk yang harus dikerahkan disetiap desa itu diserahkan 
sepenuhnya pada para bupati. namun  sesuai kebiasaan pula, hanya mereka yang 
berhak atas penggarapan tanah (sikep) yang wajib memenuhi panggilan 
bupati ini . Ini pula sebabnya selama dilaksanakannya cultuurstelsel, diadakan 
28 
 
pembagian tanah bagi penduduk yang tidak memiliki (numpang), sehingga 
lalu  muncul sikep-sikep baru yang wajib melaksanakannya “heerendiensten” 
pula (Fasseur, 1992: 30). 
Tugas petani bukan sekedar menanam, namun  juga memproses hasil 
panennya untuk diserahkan di gudang-gudang pemerintah. Pengangkutannya ke 
gudang-gudang ini  adalah tugas petani pula. Terutama produksi kopi 
seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula muncul pula pabrik-pabrik guna 
yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur,  1993: 33). 
Penduduk mendapat bayaran untuk hasil kerjanya. namun  para ahli 
sejarah belum bisa memastikan bagaimana pemerintah menentukan tinggi 
rendahnya upah itu. Maksud semula Van den Bosch adalah agar upah disesuaikan 
dengan fluktuasi harga pasar, namun hal ini dinggap tidak praktis. Mungkin 
sebab  para petani belum memahami kaitan pekerjaan mereka dengan mekanisme 
pasar. Menurut penelitian Prof. R. Van Niel dari Universitas Hawaii, jumlah upah 
disesuaikan dengan jumlah pajak tanah (land rent) yang harus dibayar petani. 
namun  sejak semula Van den Bosch menginginkan agar upah yang diterima petani 
harus memungkinkan mereka “menikmatinya” dan itu berarti harus lebih banyak 
dari hasil pesawahan. namun  lalu  ternyata berbagai faktor lain turut 
menentukan tinggi rendahnya upah petani. Masalah kesuburan tanah (sawah 
untuk tebu) tentu diperkirakan lebih tinggi pembayaran pajak tanahnya 
dibandingkan dengan tanah gersang untuk kopi. Masalah iklim, teknologi yang 
dipakai , dan lain sebagainya, turut menentukan tinggi rendahnya upah. 
Dengan demikian upah bervariasi, bukan saja untuk masing-masing komoditi 
namun  juga dari karesidenan-karesidenan (Fasseur, 1992 : 42). Contoh yang 
diberikan oleh Prof. Fasseur mengenai masalah upah ini diambil dari dua 
komoditi yang berbeda, yaitu gula dan indigo (nila). Dalam tabel 1 dan tabel 2 
dibuat kalkulasi mengenai upah yang diterima per bulan dan upah yang diterima 
per keluarga (secara perkiraan). 
 
 
 
 
29 
 
Tabel 1. Upah Indigo (Nila) Tahun 1840 Dalam Gulden 
Karesidenan Per Bahu Perkiraan Per Keluarga 
Perkiraan 
Bagelen 
Banten 
Banyumas 
Besuki 
Cerebon 
Jepara 
Kediri 
Madiun 
Pekalomham 
Priangan 
Tegal 
65.13 
11.20 
75 
59.08 
65.48 
26.40 
33.40 
43.30 
42.60 
16.80 
37.50 
12.73 
  0.117 
17 
16.20 
15.63 
  4.75 
  6.75 
  8.95 
15.10 
  3.45 
  7.76 
    Jawa            60.97           12.69 
Fasseur, 1992: 36. 
Dengan demikian salah satu dampak dari cultuurstelsel adalah masuknya 
ekonomi uang di pedesaan. Penduduk membayar pajak tanah (land rent) yang 
diintroduksi oleh Raffles dengan uang. fakta  ini saja sudah menunjuk adalah 
perubahan dalam kehidupan pedesaan. Suatu masalah yang penting pula adalah 
apa yang dinamakan “cultuur procent” (Fasseur, 1993: 46-50), yaitu jumlah 
persentase yang diterima para pejabat Belanda maupun sesuai dengan produksi 
yang diserahkan pada gudang-gudang pemerintah. Jumlah itu tidak jarang jauh 
lebih besar dari gaji yang diterima. Van den Bosch sengaja menambah hal ini 
untuk mendorong para pejabat ini  bekerja keras. Lagi pula cara itu juga 
sudah dipakai dalam Preangerstelsel. Dengan demikian, cara ini sesungguhnya 
bukan ciptaan Van den Bosch. 
“Cultuur procenten” ternyata membawa dampak yang kurang baik dalam 
korps kepegawaian Belanda sebab  menimbulkan perbedaan pendapatan yang 
mencolok antara mereka yang terlibat dengan cultuurstelsel dan yang tidak dan 
antara mereka yang bekerja di area  “kurus”. Ketidak puasan pada pihak pejabat 
Belanda nampak dari permintaan untuk di pindahkan ke area  lain. Contoh 
yang diberikan Fasseur untuk menjelaskan sistem cultuur procent ini diambil dari 
beberapa karesidenan untuk tahun 1850-1860 (dalam gilders). 
 
 
30 
 
Tabel 2.  Kultur Persen yang Diterima Para Residen 
Residen Cultuur Procent 
Bagelen 
Banten 
Banyumas 
Besuki 
Cirebon 
Jepara 
Kediri 
Kedu 
Madiun  
Pasuruan 
Pekalongan 
Priangan 
Probolinggo 
Rembang 
Semarang 
Surabaya 
Tegal 
             10.401 
1.301 
6.297 
7.152 
7.543 
5.714 
4.905 
4.293 
4.165 
             25.064 
3.123 
5.994 
             10.599 
2.737 
5.977 
             14.213 
5.274 
Fasseur, 1992: 47. 
Perbedaan pendapatan dari cultuur procent dengan sedirinya juga berlaku di 
kalangan para bupati. namun  tidak mudah membuat suatu tabel lengkap mengenai 
hal ini. Contoh diberi Prof. Fasseur adalah untuk keempat bupati Banten antara 
tahun-tahun 1858 hingga 1860 sebesar f2500 setiap tahun: sedang  lima bupati 
Priangan dalam jangka waktu yang lama menerima f90.000 setiap tahun. Pada 
jangka waktu itu juga para bupati di Pekalongan menerima f38.000 setiap tahun, 
dan keempat bupati di Rembang menerima f 3.600 saja setiap tahun (Fasseur,  
1992: 49). Berbeda dengan para residen, para bupati tidak bisa menuntut mutasi 
ke tempat lain, dan pemecatan bupati sangat jarang terjadi.  
Suatu fakta  bahwa secara  keseluruhan para bupati menerima lebih 
banyak dari para residen. Untuk tahun 1858 hingga 1860 saja seluruh cultur procen  
untuk para bupati  adalah f 800.000, sedang  untuk jangka waktu tertentu yang 
sama disediakan untuk para residen hanya f 250.000. Pertanyaan lain adalah 
berapa keuntungan diterima oleh pemerintah dari sistem pertanian ini . 
Sekali olahi perhitungan Prof. Faseur bisa membantu memberi gambaran yang 
agak baik. Dengan mengambil tahun-tahun 1840 hingga 1849, ia sampai pada 
kesimpulan sebagai berikut. 

 
 
Tabel 3.  Keuntungan Pemerintah 
    Tahun Kopi Gula Indigo Batig Slot 
1840-44 40.227.637 8.217.907 7.835.77   20.421 
1845-49 24.549.042 4.136.060 7.726.362 519.661 
 
Tahun Kayumanis Lada Teh Batig Slot 
1840-44   151.310 132.744    514.394  39.341.651 
1845-49   171.798   56.548 1.666.496  35.056.820 
 
Dengan demikian bagi pemerintah Belanda keuntungan paling besar 
datangnya dari kopi. Antara tahun 1840-1849 saja mereka memperoleh sekitar 65 
juta gulder dari penjualan komoditi yang paling banyak diproduksi di Priangan 
itu. sedang  dalam jangka waktu yang sama indigo hanya membawa 
keuntungan sebesar 15 juta gulder. Menurut Fasseur keuntungan yang demikian 
besar dari kopi disebabkan  harga jualnya memang tinggi namun  harga belinya 
sangat rendah ,lalu  gula juga menjadi komoditi ekspor 
yang besar sesudah  kopi. namun  gula baru menjadi primadona sesudah  tahun 1870  
berdasar  Undang-Undang Gula (1870) modal swasta diperkenankan 
memasuki perkebunan tebu. Indigo atau Nila yang dalam masa cultuurstelsel tidak 
terlalu jauh berbeda dari gula itu, lalu  mengalami kemerosotan sehingga 
tidak berarti. Demikian pun komoditi-komoditi lainnya terdesak sama sekali 
sesudah  tahun 1870. 
Sebab itu menunggu perhitungan-perhitungan yang lebih lengkap, 
dapatlah dikatakan bahwa tujuan dari Van den Bosch telah tercapai. Keruntuhan 
keuangan Belanda disebkan berbagai macam peperangan yang harus dibiayai 
(terutama dalam perang Napoleon), telah dapat diatasi melalui cultuur stelsel. Maka 
ungkapan yang lalu  muncul bahwa “Java is de kuruk waarop Nederland driff “ 
(Jawa adalah gabus yang membuat Belanda bisa mengembang)”  tidak terlalu 
meleset. 
32 
 
Maka tidak mengherankan pula kalau lalu  sesudah  krisis keuangan 
negara Belanda dapat diatasi, muncul suara-suara sejak pertangahan abad ke-19, 
terutama dari kalangan liberal, yang menuntun dihapuskanya sistem itu dan 
menggantikanya dengan model  swasta dan kerja bebas (free labor ). Salah seorang 
intelektual yang paling terkemuka dari kalangan ini adalah Pendeta Van Baron 
Heoveel  yang paling mendesak di Tweede Kamer (DPR) agar dikelurkan undang 
undang penghapusan cultuurstelsel. Dalam tahun–tahun  1860-an desakan itu 
makin kuat. Perubahan nyata  muncul saat  pemerintah konservatif yang 
mendukung sitem cultuurstelsel itu jatuh pada tahun 1860. Pemerintah baru yang 
dibentuk oleh kaum liberal sejak tahun 1962 mulai mengadakan perubahan-
perubahan  mendasar sehingga akhirnya menjelang abad ke-20 seluruh sistem  itu 
lenyap samasekali digantikan oleh sistem yang lain. 
Dalam gambaran yang komprehensif, pelaksanaan Sistem Tanam Paksa 
mengalami banyak penyimpangan-penyimpangan yang serius. Penyimpangan 
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini  lebih banyak diakibatkan oleh adanya 
cultuur-procenten, sehingga para pengawas tanam paksa yang menyetorkan tanaman 
wajib akan mendapatkan imbalan. Dampaknya, semua pengawas berusaha 
menyetorkan hasil produksi sebanyak-banyaknya dengan memeras rakyat. 
Akhirnya yang menjadi sapi perahan adalah rakyat yang tidak memiliki otoritas 
dalam menetapkan hasil panen tanamannya. Ditambah lagi dengan sikap-sikap 
para kepala desa yang lebih sering menjadi kaki tangan pemerintah kolonial, 
sehingga kebijakannya seenaknya dalam menetapkan luas lahan penduduk yang 
akan dipakai  untuk areal penanaman wajib, berapa penduduk yang harus 
bekerja sebagai buruh, termasuk menetapkan berapa hasil produksi yang harus 
dibayar oleh penduduk. 
Ketimpangan yang diwujudkan oleh pelaksanaan politik tanam paksa ini 
mulai mendapat perhatian di Belanda, dimana hal ini berhubungan dengan 
kemunculan gerakan liberal di negeri induk ini . Secara umum mereka dapat 
digolongkan ke dalam dua kategori  yaitu golongan humanis dan golongan 
kapitalis. Golongan humanis mengatakan bahwa Siatem Tanam Paksa harus 
segera dihapuskan sebab  telah banyak menindas dan menyengsarakan penduduk 
di tanah jajahan. Dalam terminologinya, padahal tanah jajahan telah memiliki 
33 
 
kontribusi yang sangat besar dalam menyelamatkan negara dari kebangkrutan. 
Dengan demikian, perlu diusaha kan perbaikan-perbaikan nasib rakyat tanah 
jajahan. sedang golongan kapitalis beranggapan bahwa Sistem Tanam Paksa 
tidak  menciptakan kehidupan ekonomi yang sehat. Sistem Tanam Paksa 
memperlakukan rakyat tanah jajahan sebagai objek bukannya melibatkannya 
dalam kegiatan ekonomi yang menambah ruwetnya sistem perekonomian Hindia 
Belanda. 
Cultuur stelsel menekankan bahwa penduduk wajib menyediakan beberapa  
hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah. Adapun hasil bumi yang 
dimaksudkan berupa hasil bumi untuk ekspor sebagaimana yang diinginkan oleh 
pemerintah. Penduduk diwajibkan menyerahkan 1/5 dari hasil panen utamanya 
atau sebagai penggantinya 1/5 dari waktu kerjanya dalam satu tahun. Ketentuan 
ini  sangat memberatkan rakyat sehubungan dengan pengaturan waktu kerja 
dan penyerahan hasil panen yang ditentukan oleh atasan-atasan mereka, 
sedang mereka tidak berhak untuk membantahnya. 
sedang itu dengan dijalankannya cultuur stelsel berarti bahwa kaum 
bangsawan feodal harus dikembalikan kepada posisinya yang lama, sehingga 
otoritas dan pengaruh mereka dapat dipergunakan untuk menggerakan rakyat, 
memperbesar produksi dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diminta oleh 
pemerintah. Meskipun kekuasaannya selalu diawasi oleh pemerintah dan 
ditempatkan di bawah kekuasaan pegawai-pegawai Belanda, namun secara umum 
yang paling mudah berhubungan langsung dengan penduduk adalah mereka para 
pemimpin desa. Dengan demikian pada sistem ini diterapkan sistem 
pemerintahan tidak langsung, yaitu sistem pemerintahan dimana pemerintah 
kolonial Belanda tidak berhubungan langsung dengan rakyat, melainkan melalui 
perpanjangan tangan pribumi yakni mereka para penguasa pribumi atau 
pemimpin-pemimpin lokal. Kepala-kepala pribumi itu adalah pelaksana-pelaksana 
yang diperintahkan dari atas. Tugas mereka kebanyakan menjadi pengawas-
pengawas perkebunan. 
Dalam rangka mengikat para penguasa lokal ini, pemerintah Belanda 
tidak hanya mengembalikan kekuasaan mereka saja, melainkan juga 
meningkatkan prestise mereka dengan gaji berupa tanah yang akan memberi 
34 
 
mereka tenaga kerja dan penghasilan lain yang dihasilkannya. Di samping itu, Van 
Den Bosch menerapkan sistem prosentase yakni hadiah bagi petugas yang 
berhasil menyerahkan hasil tanaman yang melebihi dari yang ditentukan. Namun 
yang menjadi permasalahan lanjut adalah bahwa kebijakan ini  menjadi 
sember dan ladang korupsi serta penyelewengan-penyelewengan yang merugikan 
rakyat. Sistem prosentase dianggap sebagai legalisasi pemerintah kolonial 
terhadap segala bentuk pemerasan seperti luas tanah yang diusahakan pemerintah 
tidak terbatas, wajib kerja penduduk melebihi ketentuan yang telah ditetapkan, 
tanaman wajib, pajak-pajak, dan kerja wajib tidak dihapus. sedang hasil dari 
kebijakan cultuur stelsel sangat memuaskan dan menguntungkan pemerintah 
Belanda. Antara tahun  1831 dan 1877, pemerintah induk menerima dari area -
area  jajahan sebesar 823 juta Gulden. Sistem ini  di samping 
mendatangkan keuntungan finansial terhadap keuangan negeri induk, juga telah 
mendorong memajukan perdagangan dan pelayaran Belanda (Kartodirdjo, 1990: 
15). 
Pada tahun 1848, Sistem Tanam Paksa mendapat kritikan melalui 
perdebatan di Parlemen Belanda. Perdebatan terjadi antara golongan liberal 
dengan golongan konservatif, seputar evaluasi penerapan sistem tanam paksa di 
Hindia Belanda. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan 
memberikan keuntungan kepada negeri induk apabila masalah-masalah 
perekonomian diserahkan kepada pihak swasta. Dengan demikian, pemerintah 
kolonial hanya memungut pajan dan mengawasi jalannya pemerintahan.  
Pemerintah tidak perlu campur tangan dalam urusan perdagangan hasil bumi di 
tanah jajahan. Berbeda dengan kaum liberal, kaum konservatif  tetap 
berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberikan keuntungan kepada negeri 
induk apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah. Pemerintah 
harus campur tangan dalam pemungutan hasil bumi di tanah jajahan. Bagi kaum 
konservatif, Hindia Belanda dianggap belum siap untuk menerima kebijakan 
politik liberal. Dari perdebatan kedua golongan ini , golongan liberal menang 
dan dapat meluruskan sistem pemerintahan di tanah koloni. Dua orang sebagai 
pembela nasib penduduk koloni adalah Douwes Dekker dan Baron Van Hoevell. 
Dalam mkaryanya yang berjudul “Max Havelar”, Douwes Dekker 
 
 
membentangkan kekejaman sisten tanam paksa. sedang Fransen Van Der 
Putte juga menulis Zuker Contracten, yang juga banyak mengkritik ketidakadilan 
dalam sistem tanam paksa. 
Berkat kecaman dan kegigihan kaum liberal ini , maka pemerintah 
Hindia Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, melainkan tidak sekaligus 
melainkan secara bertahap atau berangsur-angsur. Proses penghapusan sistem 
tanam paksa secara bertahap yakni: pertama kali penghapusan sistem tanam 
paksa lada pada tahun 1860. Penghapusan tanam paksa untuk eh dan nila pada 
tahun 1865, dan pada tahun 1870 hampir semua jenis tanaman paksa sudah 
dihapuskan, kecuali tanaman paksa kopi di priangan. 
 
C.  Cultur Stelsel Di Luar Jawa 
Selain di Jawa, cultuur stelsel juga dijalankan di luar Pulau Jawa meskipun 
dalam skala yang tidak sebanding dengan di pulau Jawa.  Sejak tahun 1822 di 
Minahasa telah dilaksanakan cultuur stelsel untuk tanaman kopi. Sistem tanam 
paksa di area  ini berlangsung cukup lama, sampai dihapuskannya pada tahun 
1899. sedang di Sumatera barat