dari kolonial hingga nasional 1
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
dari kolonial hingga nasional 1
Perjalanan sejarah Indonesia dari kolonialisme hingga nasionalisme
dihadapkan pada berbagai dinamika yang kompleks, menampilkan
berbagai warna peristiwa yang penuh makna bagi tumbuh dan
berkembangnya negara bangsa Indonesia. Kehadiran buku ini sangat
penting mengingat referensi yang membahas seputar permasalahan ini
sangat terbatas, terutama bagi kalangan mahasiswa di perguruan tinggi.
Sejarah Indonesia masa kolonial hingga munculnya berbagai pergerakan
nasional, merupakan bagian dari perjalanan sejarah Indonesia yang
panjang. Kedaulatan Indonesia bukan semata-mata lahir secara instan
tahun 1945, atau hanya sekedar peluang ketemu momentum, melainkan
sebuah proses kompleks yang mencerminkan berbagai perjuangan anak
bangsa untuk meraih kemerdekaan dari cengkeraman kolonial.
Pertumbuhan nasionalisme berkembang dari nasionalisme primitif dalam
bentuk tribe community, hingga nasionalisme modern pada tahun 1908.
Nasionalisme modern itu tidak lain dan tidak bukan lahir sebab dominasi
kolonialisme yang kuat, memberikan banyak kesengsaraan rakyat,
keterbelakangan mental, dan berbagai dampak destruktif bagi bangsa
yang belum menjadi negara. Bangsa sudah ada dan sangat heterogen,
namun negara berdaulat belum terbentuk. Sumpah pemuda tahun 1928
mencerminkan hal demikian, di mana bangsa sudah terbentuk yakni
bangsa Indonesia, namun negara belum terbentuk masih memerlukan
perjuangan yang panjang hingga 18 Agustus 1945 secara defacto dan
deyure negara bangsa Indonesia sudah terbentuk.
Buku karangan Dr. Aman, M.Pd yang berjudul “Indonesia dari Kolonialisme
Sampai Kolonialisme” ini menguraikan secara runtut tematis peristiwa
seputar kolonialisme Indonesia sampai munculnya nasionalisme modern.
Perhatian penulis tidak hanya pada peristiwa yang terjadi, melainkan
pihak-pihak yang terlibat dan sebab akibat peristiwa seputar itu juga
diuraikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku menjadi merupakan
pilihan yang tepat bagi para dosen, guru, mahasiswa, siswa sekolah
menengah, dan warga secara luas yang ingin menambah
wawasannya terkait dengan sejarah Indonesia seputar kolonialisme dan
nasionalisme.
Bangsa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat dibutuhkan
di negeri Belanda dan Eropa secara umum yakni rempah-rempah. Belanda dapat
membeli rempah-rempah di Indonesia dengan harga murah, lalu mereka
jual di Eropa dengan harga tinggi. Belanda mendapatkan keuntungan luar biasa
dari perdagangan ini, sehingga berduyun-duyunlah bangsa Belanda yang lain, juga
bangsa-bangsa Eropa untuk mencari rempah-rempah di Indonesia. Keinginan
bangsa Belanda untuk terus memperoleh keuntungan tinggi dari perdagangan
memicu mereka berusaha memonopoli perdagangan di Indonesia. Hal
inilah yang mendorong terjadinya perselisihan antara Belanda dengan rakyat
Indonesia. Dalam perjalanan sejarah lalu Belanda tidak hanya berhasil
melakukan monopoli perdagangan di Indonesia, namun juga menguasai kerajaan-
kerajaan di Indonesia. Belanda lalu melakukan imperialisme dan
kolonialisme di Indonesia. Tidak hanya Belanda yang pernah menjajah Indonesia.
Portugis dan Inggris adalah bangsa Barat yang pernah menjajah Indonesia.
Bagaimana proses penjajahan bangsa-bangsa Barat di Indonesia, bagaimana
kondisi bangsa Indonesia pada masa penjajahan, mari kita pelajari dan diskusi
melalui uraian materi di bawah ini.
Pada tahun 1799 VOC sebagai imperium kolonialisme dan imperialisme
Belanda pertama di Indonesia bubar. Korupsi sebagai pemicu utama
kehancuran VOC. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengambil alih
kekuasaan VOC di Indonesia mulai 1 Januari 1800. Dengan demikian secara
langsung pemerintah Hindia Belanda melakukan pemerintahan terhadap bangsa
Indonesia. Bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Hindia
Belanda. Apa saja pengaruh perluasan kolonialisme dan imperialisme yang
dilakukan pemerintah Hindia Belanda.
Selepas Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) menjadi muflis pada
akhir abad ke-18 dan selepas penguasaan United Kingdom yang singkat di bawah
Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih pemilikan SHTB
pada tahun 1816. Belanda berjaya menumpaskan sebuah pemberontakan di Jawa
dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Selepas tahun 1830, sistem
tanam paksa yang dikenali sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mula
diamalkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil
perkebunan yang menjadi permintaan pasaran dunia pada saat itu, seperti teh,
kopi dan sebagainya. Hasil-hasil tanaman itu lalu dieksport ke luar negara.
Pada tahun 1901, pihak Belanda mengamalkan apa yang dipanggil
mereka sebagai Politik Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek) yang termasuk
perbelanjaan yang lebih besar untuk mendidik orang-orang pribumi serta sedikit
perubahan politik. Di bawah Gabenor Jeneral J.B. van Heutsz, pemerintah
Hindia-Belanda memperpanjang tempoh penjajahan mereka secara langsung di
seluruh Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan asas untuk negara Indonesia
pada saat ini.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda
antara tahun 1830 sampai pertengahan abad ke-19 mereka menamakannya
dengan cultuurstelsel. Dalam historiografi Indonesia yang tradisional istilah itu
diganti menjadi “Tanam Paksa” yang menonjolkan aspek normatif dari sistem
ini yakni kesengsaraan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh
penerapan sistem ini . Istilah yang dipergunakan oleh Belanda ini selain
terbatas pada aspek ekonominya, sehingga makna padanan kata cultuurstelsel
ini dalam bahasa Indonesia sesungguhnya adalah “sistem pembudidayaan”,
atau juga dapat disebut budidaya tanam. namun praktek di lapangan
terutama dari segi pengelolaannya dapatlah diamati bahwa aspek politik kolonial
sangat menonjol. Usaha produksi sesungguhnya dilaksanakan oleh rakyat atau
petani dengan pengawasan para penguasa area dari tingkat bupati sampai ke
tingkat desa. Pada waktu itu hubungan politik antara Belanda dan Mataram yang
telah menjadi saling tergantung sejak tahun 1755, dan terutama pasca Perang
Diponegoro di mana Belanda membantu pihak keraton, merupakan format
politik yang mendorong dan memunculkan terselenggaranya sistem tanam paksa.
Dalam aspek ini , kasus di Jawa dan kasus-kasus di Kepulauan Ambon dan
di Priangan tidak begitu berbeda. Sistem ini memang dimaksudkan untuk
menghidupkan kembali sistem VOC.
Pada saat Thomas Stanford Raffles berkuasa di Hindia Belanda, Belanda
sedang mengalami kesulitan ekonomi yang lebih banyak diakibatkan oleh Perang
Napoleon dan isolasi ekonomi yang disebabkan Stelsel Kontinental. Oleh sebab itu,
Belanda kehilangan sebagian besar perdagangannya dan pelayarannya.
Peranannya sebagai pasar penimbun barang mundur dan dunia perdagangan
melahirkan pusat-pusat perdagangan baru. Pedagang-pedagang Belanda tidak
dapat bersaing dengan pedagang-pedagang Inggris sebab para pedagang Inggris
dapat memasarkan kain-kain Lanchashire dengan harga yang relatif murah. Untuk
mengatasi kondisi ini Belanda melaksanakan sistem merkantilisme yakni
memungut biaya yang tinggi terhadap barang-barang yang masuk, dan memungut
pajak yang tinggi pula bagi barang-barang buatan negeri induik yang akan
dipasarkan di area koloni serta memonovoli perdagangan pemerintah.
Dalam kondisi yang demikian, di Parlemen Belanda terjadi perbedaan
pandangan antara golongan konservatif dengan golongan liberal. Golongan
konservatif menganggap bahwa eksploitasi yang dijalankan di tanah koloni sudah
sesuai dengan tuntutan situasi, sedang sistem eksploitasi yang dikonsepkan
oleh golongan liberal belum sepenuhnya meyakinkan pemerintah. Dalam situasi
perbedaan pandangan ini, golongan liberal terpecah menjadi dua, yakni golongan
liberal yang masih mempertahankan prinsip-prinsip liberal seperti kebebasan
berusaha dan campur tangan yang minimal dari pihak pemerintah dalam urusan-
urusan perseorangan. Di lain sisi, ada sekelompok dari golongan liberal yang
menekankan pada prinsip-prinsip humaniter dan menginterpretasikan prinsip
liberal sebagai prinsip memberi keadilan dan perlindungan bagi semua
kepentingan. Dalam menghadapi golongan liberal yang terpecah ini ,
golongan konservatif dapat meyakinkan pemerintah bahwa sistem kumpeni
terbukti dapat dilaksanakan dan lebih efektif, sedang sistem liberal tidak dapat
dilaksanakan di negeri jajahan sebab tidak sesuai dengan situasi dan kondisi
ekonomi lokal. namun , walaupun ada perbedaan pandangan di
antara golongan konservatif dan golongan liberal, namun mereka pada prinsipnya
sama bahwa tanah koloni tetap merupakan area eksploitasi yang harus
mendatangkan keuntungan kepada negeri induk, meskipun strategi eksploitasi
berbeda-beda.
Perang kemerdekaan Belgia dan Perang Diponegoro memerlukan biaya
yang sangat besar, sehingga untuk menutup biaya perang ini , Belanda
terdorong untuk melakukan kembali politik konservatif dalam mengeksploitasi
tanah jajahan. Konseuensi dari sistem konservativisme adalah diberlakukannya
Sistem Tanam Paksa atau cultuurstelsel pada tahun 1830. Sistem Tanam Paksa
diberlakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-
banyaknya dari tanah koloni dalam waktu yang relatif singkat. Oleh sebab itu
pemerintah Hindia Belanda mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk
mengusahakan penanaman yang hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia.
sedang jenis tanaman yang diusahakan harus mengikuti ketentuan-ketentuan
pemerintah kolonial. Sikap konservatif ini mereka pertahankan dengan
mempertahankan pola-pola tradisional yang berlaku di tanah jajahan. Dengan
demikian, mereka tidak secara langsung berhadapan dengan rakyat, melainkan
melalui para penguasa lokal dari tingkat bupati sampai ke tingkat kepala desa.
Peranan penguasa pribumi sangat besar baik sebagai pengelola kebijakan maupun
dalam mendapatkan tenaga kerja burah penduduk pribumi, sehingga Sistem
Tanam Paksa dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama.
Suatu bangsa sebagai kolektivitas seperti halnya individu memiliki
kepribadian yang terdiri atas serumpun ciri-ciri menjadi suatu watak. Kepribadian
nasional lazimnya bersumber pada pengalaman bersama bangsa itu atau
sejarahnya. Identitas seseorang peribadi dikembalikan kepada riwayatnya, maka
identitas suatu bangsa berakar pada sejarah bangsa itu. Dalam hal ini, sejarah
nasional fungsinya sangat fundamental untuk menciptakan kesadaran nasional
yang pada gilirannya memperkokoh solidaritas nasional. Sehubungan dengan itu
pelajaran sejarah nasional amat strategis fungsinya bagi pendidikan nasional.
Sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas
atau nasion di masa lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian
seseorang dan sekaligus menentukan identitasnya. Proses serupa terjadi pada
kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya atau sejarahnyalah yang membentuk
kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya. Bangsa yang tidak
mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah kehilangan
memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan
kepribadian atau identitasnya.
berdasar pernyataan di atas, dapat diambil beberapa butir kesimpulan
antara lain: 1) untuk mengenal identitas bangsa diperlukan pengetahuan sejarah
biasanya , dan sejarah nasional khususnya. Sejarah nasional mencakup
secara komprehensif segala aspek kehidupan bangsa, yang terwujud sebagai
tindakan, perilaku, prestasi hasil usaha atau kerjanya mempertahankan kebebasan
atau kedaulatannya, meningkatkan taraf hidupnya, menyelenggarakan kegiatan
ekonomi, sosial, politik, religius, lagi pula menghayati kebudayaan politik beserta
ideologi nasionalnya, kelangsungan warga dan kulturnya; 2) sejarah nasional
mencakup segala lapisan sosial beserta bidang kepentingannya, subkulturnya.
Sejarah nasional mengungkapkan perkembangan multietnisnya, sistem hukum
adatnya, bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya.
Menemukan kekuatan nasionalisme dalam negara kebangsaan didasari
oleh lima prinsip nasionalisme, yakni: kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial,
bangsa, bahasa, ideologi, dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau
pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan, dan policy
kebudayan; kebebasan (liberty, freedom, independence), dalam beragama,
berbicara dan berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi;
kesamaan (equality), dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban; kepribadian
(personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri (self estreem), rasa
bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap kepribadian dan identitas
bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya dan;
prestasi (achievement), yaitu cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare)
serta kebesaran dan kemanusiaan (the greatnees adn the glorification) dari
bangsanya.
Suatu bangsa sebagai kolektivitas seperti halnya individu memiliki
kepribadian yang terdiri atas serumpun ciri-ciri menjadi suatu watak.
Kepribadian nasional lazimnya bersumber pada pengalaman bersama bangsa
itu atau sejarahnya. Identitas seseorang peribadi dikembalikan kepada
riwayatnya, maka identitas suatu bangsa berakar pada sejarah bangsa itu.
Dalam hal ini, sejarah nasional fungsinya sangat fundamental untuk
menciptakan kesadaran nasional yang pada gilirannya memperkokoh
solidaritas nasional. Sehubungan dengan itu pelajaran sejarah nasional amat
strategis fungsinya bagi pendidikan nasional.
Sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu
komunitas atau nasion di masa lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk
kepribadian seseorang dan sekaligus menentukan identitasnya. Proses serupa
terjadi pada kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya atau sejarahnyalah
yang membentuk kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya.
Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu
yang telah kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa,
maka dia kehilangan kepribadian atau identitasnya.
berdasar pernyataan di atas, dapat diambil beberapa butir
kesimpulan antara lain: 1) untuk mengenal identitas bangsa diperlukan
pengetahuan sejarah biasanya , dan sejarah nasional khususnya. Sejarah
nasional mencakup secara komprehensif segala aspek kehidupan bangsa, yang
terwujud sebagai tindakan, perilaku, prestasi hasil usaha atau kerjanya
mempertahankan kebebasan atau kedaulatannya, meningkatkan taraf
hidupnya, menyelenggarakan kegiatan ekonomi, sosial, politik, religius, lagi
pula menghayati kebudayaan politik beserta ideologi nasionalnya,
kelangsungan warga dan kulturnya; 2) sejarah nasional mencakup segala
lapisan sosial beserta bidang kepentingannya, subkulturnya. Sejarah nasional
mengungkapkan perkembangan multietnisnya, sistem hukum adatnya, bahasa,
sistem kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya.
Pelajaran sejarah bertujuan menciptakan wawasan historis atau
perspektif sejarah. Wawasan historis lebih menonjolkan kontinuitas segala
sesuatu. Being adalah hasil proses becoming, dan being itu sendiri ada dalam
titik proses becoming. sedang itu yang bersifat sosio-budaya di lingkungan
kita adalah produk sejarah, antara lain wilayah RI, negara nasional,
kebudayaan nasional. Sejarah nasional multidimensional berfungsi antara lain:
mencegah timbulnya determinisme, memperluas cakrawala intelektual,
mencegah terjadinya sinkronisme, yang mengabaikan determinisme.
Di samping itu, pelajaran sejarah juga memiliki fungsi sosio-
kultural, membangkitkan kesadaran historis. berdasar kesadaran historis
dibentuk kesadaran nasional. Hal ini membangkitkan inspirasi dan aspirasi
kepada generasi muda bagi pengabdian kepada negara dengan penuh dedikasi
dan kesediaan berkorban. Sejarah nasional perlu menimbulkan kebanggaan
nasional (national pride), harga diri, dan rasa swadaya. Dengan demikian
sangat jelas bahwa pelajaran sejarah tidak semata-mata memberi pengetahuan,
fakta, dan kronologi. Dalam pelajaran sejarah perlu dimasukan biografi
pahlawan mencakup soal kepribadian, perwatakan semangat berkorban, perlu
ditanam historical-mindedness, perbedaan antara sejarah dan mitos, legenda,
dan novel histories.
Kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia didorong oleh berbagai hal
seperti disebut di bawah ini.
1. Perkembangan Merkantilisme, revolusi industri, dan kapitalisme
Merkantilisme, yakni suatu faham kebijakan politik dan ekonomi suatu
negara dengan tujuan memupuk hasil kekayaan (berupa emas) sebanyak-
banyaknya sebagai standar kesejahteraan dan kekuasaan untuk negara itu
sendiri. Untuk mencapai tujuan itu mucullah semangat dari beberapa Negara
Eropa untuk mencari area jajahan. Beberapa negara merkantilisme di
Eropa misalnya; Perancis , Inggris, Jerman, Belanda.
Revolusi industri adalah pergantian atau perubahan secara
menyeluruh dalam memproduksi barang yang dikejakan oleh tenaga manusia
atau hewan menjadi tenaga mesin. Penggunaan mesin dalam industri
menjadikan produksi lebih efisien, ongkos produksi dapat ditekan, dan
barang dapat diproduksi dalam jumlah besar dan cepat. Berkembangnya
revolusi industri memicu bangsa-bangsa Barat memerlukan bahan baku
yang lebih banyak. Mereka juga memerlukan area pemasaran untuk hasil-
hasil industrinya.
Kapitalisme merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa dalam
perekonomian, untuk mendapatkan keuntungan yang besar harus memiliki
modal sebesar-besarnya. Pemilikan modal yang besar dengan sendirinya akan
menguasai berbagai sektor produksi, bahan baku, dan pemasaran. Menurut
kapitalisme seseorang bebas memupuk kekayaannya.
2. Jatuhnya Konstantinopel oleh Kekaisaran Turki Usmani tahun 1453
Penguasa Turki Islam dari dinasti Utsmani berhasil merebut
Konstantinopel (Istambul) pada tahun 1453. Pada saat itu Konstantinopel
merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Dengan jatuhnya
Konstantinopel, maka perdagangan di Laut Tengah dikuasai oleh pedagang-
9
pedagang Islam. Hal inilah yang mendorong para pedagang Eropa mencari
jalan lain untuk mencapai penghasil rempah-rempah (Asia).
3. Dorongan Semangat Tiga G
Kedatangan bangsa-bangsa Barat juga didorong oleh semangat 3 G.
Tiga G adalah semboyan gold (emas), gospel (agama), dan glory (petualangan
serta kemuliaan). Gold berkaitan dengan usaha mencari kekayaan, gospel
merupakan tuntutan menyebarkan agama Kristen, dan Glory merupakan
tekad untuk mencapai kejayaan bangsa-bangsa Barat. Tiga semboyan itulah
yang mendorong bangsa-bangsa Barat mencapai dunia timur.
4. Tantangan teori Heliosentris
Nicolaus Copernicus seorang ilmuwan Polandia memperkenalkan
teori Heliosentris tahun 1543. Menurut teori Heliosentris bahwa pusat tata
surya adalah matahari. Bumi berbentuk bulat seperti bola. Teori ini
bertentangan dengan teori Geosentris yang - bahwa pusat tata
surya adalah bumi. Galileo, seorang ilmuwan Italia sebagai salah satu
penyokong semangat pelayaran, sebab ia menemukan teropong (teleskop)
yang mampu melihat benda-benda yang letaknya sangat jauh.
H. Kedatangan Bangsa-bangsa Barat ke Indonesia
Bagaimana proses perjalanan bangsa-bangsa Barat ke timur? Mereka
melalui berbagai rintangan yang amat berat. Lautan luas dengan ombak besar dan
ancaman angin menjadi halangan utama. Ancaman bajak laut juga sering mereka
temui. namun dengan semangat tiga G mereka akhirnya mampu mencapai dunia
timur. Mereka adalah petualang yang tangguh. Sayang petualangan mereka
lalu menjadikan mereka sombong dan sebab hawa nafsunya, mereka
lalu menjadi penjajah. Bagaimana kronologi atau urutan kedatangan
bangsa-bangsa Barat ke Indonesia?
1. Ekspedisi Bangsa Portugis
Pelaut Portugis Bartolomeo Diaz pada tahun 1486 melakukan pelayaran
pertama menyusuri pantai barat Afrika. Ia bermaksud melakukan pelayaran
ke India, namun gagal. Ekspedisinya hanya berhasil sampai di ujung selatan
Afrika. Selanjutnya orang Portugis menyebutnya sebagai Tanjung Harapan
Baik (Cape of Good Hope).
Vasco da Gama melanjutkan ekspedisi Bartolomeo Diaz tahun 1498.
Akhirnya Vasco da Gama berhasil mencapai Kalikut, India. Dengan
demikian, ia telah menemukan jalan baru menuju pusat rempah-rempah.
Dalam perjalanan selanjutnya akhirnya Portugis mencapai Malaka tahun 1511
di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Ia berhasil menguasai Malaka,
dan selanjutnya memasuki wilayah Nusantara.
2. Ekspedisi Bangsa Spanyol
Teori Heliosentris salah satu pendorong Christophorus Colombus
mencapai Hindia timur melalui jalur barat Eropa. Pada tahun 1492, dengan
dukungan Ratu Isabella Colombus memulai pelayaran melalui Samudra
Atlantik. Colombus berhasil mencapai kepulauan Bahama di Karibia
Amerika. Colombus mengira dirinya telah sampai di Hindia, sehingga
menamai penduduk setempat sebagai orang Indian. Akibatnya benua
Amerika oleh orang Eropa disebut sebagai Hindia Barat. Colombus menjadi
pioner menuju Hindia Timur melalui jalur barat. Penerusnya bernama
Ferdinand Magellan melakukan pelayaran tahun 1519. Satu tahun lalu
Magellan sampai dii Filipina. Di Filipina ia wafat sebab terlilbat konflik
dengan kerajaan setempat. Sebastian d’Elacano, penerus Magellan berhasil
mencapai kepulauan Maluku tahun 1521. Di Maluku bangsa Portugis telah
sampai terlebih dahulu.
Portugis dan Spanyol terlibat dalam konflik antar kerajaan Ternate
dan Tidore di Maluku. Pada saat itu Ternate dan Tidore sebagai kerajaan
berpengaruh di Maluku sedang dalam situasi persaingan yang menjurus ke
permusuhan. Spanyol memanfaatkan situasi ini dengan memberikan
dukungan kepada Tidore. sedang Portugis memberikan dukungan kepada
Tidore. Dalam perseteruan ini Tidore dan Spanyol dalam pihak yang
mengalami kekalahan. Untuk menghindari persaingan antar bangsa Eropa
yang bisa merugikan mereka, maka perjanjian Tordesillas memutuskan
bahwa Spanyol tidak diijinkan melakukan perdagangan di Maluku. Salah atu
hal terpenting dari perjalanan pelayaran bangsa Portugis dan Spanyol adalah
bukti bumi berbentuk bulat semakin kuat.
C. Peta Kedatangan Bangsa-bangsa Barat di Indonesia
6. Ekspedisi Bangsa Inggris
Inggris merupakan salah satu negara yang sangat maju di Eropa. Pola
perdaganngannya berbeda dengan para pedagang Eropa lainnya.
Perdagangann Inggris di Asia tidak disponsori oleh pemerintah, melainkan
oleh perusahaan-perusahaan swasta. Persekutuan dagang EIC (East Indian
Company) merupakan gabungan dari para pengusaha Inggris. Walaupun
Inggris tiba di kepulauan Nusantara, namun pengaruhnya tidak terlalu banyak
seperti halnya Belanda. Hal ini disebabkan EIC terdesak oleh Belanda,
sehingga Inggris menyingkir ke India/ Asia Selatan dan Asia Timur. Tentang
kekuasaan Inggris di Indonesia akan kita bahas di bagian lain.
7. Ekspedisi Bangsa Belanda
Pada tahun 1568-1648 terjadi perang 80 tahun antara Belanda dan
Spanyol. Pemerintah Spanyol melarang pelabuhan Lisabon bagi kapal-kapal
Belanda untuk melakukan aktivitas perdagangan dan pelayaran. Belanda tidak
surut langkah dalam menghadapi tantangan ini untuk mencapai Hindia
Timur. Seorang pelaut Belanda Cornelis de Houtman, memimpin ekspedisi
ke Hindia Timur. Pada tahun 1595 armada mengarungi ujung selatan Afrika,
selanjutnya terus menuju ke arah timur melewati Samudra Hindia. Tahun
1596 armada Houtman tiba di Pelabuhan Banten melalui Selat Malaka.
Mengapa Belanda tidak melewati Selat Malaka yang lebih ramai? Hal ini
disebabkan Portugis telah menguasai Malaka, sedang mereka bermusuhan.
Cornellis de Houtman merupakan pioner perusahaan-perusahaan
dagang Belanda lainnya. Kedatangan Houtman di Indonesia lalu
disusul ekspedisi-ekspedisi lainnya. Dengan banyaknya pedagang Belanda di
Indonesia maka muncullah persaingan di antara mereka sendiri. Secara
prinsip ekonomi, bahwa banyaknya pedagang maka harga akan naik, sebab
banyak permintaan, penawaran cenderung tetap. Akibat di Eropa adalah
sebaliknya. sebab banyak pedagang yang membawa dagangan sama,
sehingga harga rempah-rempah di Eropa cenderung turun. Akibatnya
keuntungan pedagang Eropa juga turun. Keadaan ini sebenarnya merupakan
prinsip ekonomi yang sehat.
8. Berdirinya Kongsi Dagang Belanda VOC
Persaingan antar para pedagang barat muncul dengan semakin
banyaknya pedagang Barat di Indonesia. Hal ini sebagai hal kurang
positif bagi perkembangan para pedagang Eropa. Untuk itulah maka bangsa-
bangsa Barat lalu mendirikan persekutuan atau organisasi perdagangan.
Tujuannya adalah agar tidak terjadi persaingan tidak sehat antar bangsa Barat,
khususnya yang satu negara. Para pedagang Belanda lalu mendirikan
Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC). Bagaimana proses terbentuknya
VOC? Apa saja keistimewaan VOC? Mari kita kaji melalui uraian di bawah
ini!
9. Terbentuknya VOC tahun 1602
Persaingan tidak hanya antar pedagang Belanda, namun juga dengan
para pedagang Eropa, dan Asia lainnya. Saingan utama Belanda adalah
Portugis yang lebih dahulu menanamkan pengaruh perdagangan di
Nusantara. Masalah ini dianggap merugikan kepentingan Belanda. Untuk
mengatasi permasalahan ini , dengan dukungan pemerintah Belanda,
pada tanggal 20 Maret 1602 dibentuklah Veredigde Oost-Indische
Compagnie atau disingkat VOC (Persekutuan Perusahaan Dagang Hindia
Timur). Ide pembentukan VOC berasal dari seorang anggota Parlemen
Belanda bernama Johan van Oldebarnevelt. VOC merupakan merger
(penggabungan) dari beberapa perusahaan dagang Belanda. Apa istimewanya
VOC? Beberapa keistimewaan yang diberikan kepada VOC.? Selain VOC
dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal, VOC memiliki hak monopoli
dan kedaulatan.
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta)
tanggal 20 Maret 1602 meliputi berikut ini.
a. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur
Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai
perdagangan untuk kepentingan sendiri;
b. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu
negara untuk:
1. memelihara angkatan perang,
2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3. merebut dan menduduki area -area asing di luar Belanda,
4. memerintah area -area ini ,
5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6. memungut pajak
10. Perluasan Politik Ekonomi VOC
Sebagai Gubernur Jendral pertama VOC adalah Pieter Both,
lalu menentukan pusat perdagangan VOC di Ambon, Maluku. Namun
lalu pusat dagang dipindahkan ke Jayakarta (Jakarta) sebab VOC
memandang bahwa Jawa lebih strategis sebagai lalu-lintas perdagangan.
Selain itu, bahwa kedudukan saingan utama Belanda, Portugis di Malaka,
merupakan ambisi Belanda untuk menyingkirkannya.
Pangeran Jayakarta (penguasa bagian wilayah Banten) memberikan
ijin kepada VOC untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Selain
memberikan ijin kepada VOC, Pangeran Jayakarta juga memberikan ijin
pendirian kantor dagang kepada EIC (Inggris). Kebijakan ini membuat
Belanda merasa tidak suka kepada Pangeran Jayakarta.
Gubernur Jendral VOC Jan Pieterszoon Coen membujuk penguasa
Kerajaan Banten untuk memecat Pangeran Jayakarta, dan sekaligus memohon
agar ijin kantor dagang Inggris EIC dicabut. Pada tanggal 31 Mei 1619
keinginan VOC dikabulkan Raja Banten. Momentum inilah yang lalu
menjadi mata rantai kekuasaan VOC dan Belanda pada masa berikutnya.
VOC memiliki keleluasaan dan kelonggaran yang diberikan penguasa
Banten. Jayakarta oleh VOC diubah namanya menjadi Batavia, sekaligus
VOC mendirikan benteng sebagai tempat pertahanan, pusat kantor dagang,
dan pemerintahan. Pengaruh ekonomi VOC semakin kuat dengan dimilikinya
beberapa hak monopoli perdagangan. Masa inilah yang menjadi sandaran
perluasan kekuasaan Belanda pada perjalanan sejarah selanjutnya.
Dalam menanamkan perluasan kekuasaan ekonomi di Indonesia,
ada strategi yang sangat terkenal. Pertama, VOC menerapkan politik devide
et impera (adu domba) apabila ada persengketaan politik kerajaan. Hal
ini sangat menguntungkan, sebab kekuatan bangsa Indonesia akan
melemah. Kedua,VOC berhasil berhak ekstirpasi, yakni hak untuk
menghancurkan tanaman rempah-rempah agar produksinya tidak berlebih.
Sebab apabila produksi berlebih, maka harga akan menurun. Ketiga, seperti
yang terjadi di Maluku, VOC berhak melakukan pelayaran Hongi. Pelayaran
hongi adalah pelayaran memakai perahu bercadik dengan memakai
senjata lengkap, untuk patroli mengawasi pohon rempah-rempah yang
ditanam rakyat, dan mencegah pedagang atau warga lokal berhubungan
dagang dengan bangsa lain selain bangsa Belanda.
Eksistensi VOC di Batavia telah berhasil merongrong kekuasaan
kerajaan Banten. Campur tangan Belanda terlihat saat VOC menekan
penguasa Banten Ranamenggala agar menyingkirkan Pangeran Jayakarta.
Keberadaan VOC di Jayakarta merupakan ancaman serius bagi raja-raja lain
khususnya di Jawa dan Nusantara. Pada masa itu ada kerajaan yang
masih kuat, seperti Mataram di Jawa Tengah. Pada awalnya, hubungan antara
Mataram dengan VOC bersifat saling menguntungkan. Dalam periode
berikutnya, terjadi konflik antara Mataram-VOC, yang akan dibahas dalam
bab tersendiri.
Dari uraian ini . menunjukkan , bahwa Belanda dengan VOC-nya
telah berhasil menguasai area Indonesia bagian barat, tengah, maupun
timur. Kepulauan Indonesia telah menjadi sasaran perluasan kolonialisme dan
imperialisme.
I. Perjuangan rakyat di berbagai area dalam menentang imperialisme
dan kolonialisme
Kebijakan-kebijakan VOC di Indonesia menimbulkan berbagai konflik
dengan rakyat Indonesia. Hampir di setiap area di Indonesia muncul
perlawanan menentang VOC. fakta ini menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia mencintai persahabatan namun lebih mengutamakan kemerdekaan.
Perlawanan muncul di berbagai area seperti yang akan kita kaji pada uraian di
bawah ini. Perlawanan tidak hanya ditujukan kepada bangsa Belanda, namun juga
bangsa barat yang lain. Bagaimana sejarah perlawanan bangsa Indonesia
terhadap bangsa-bangsa Barat? Mari kita simak bersama!
3. Perlawanan terhadap Portugis
a. Perlawanan Ternate
Perlawanan di Maluku diawali oleh perlawanan Dajalo dari Ternate
dengan bantuan kerajaan Ternate dan Bacan. Ternate dan Tidore yang
awalnya bersaing, namun lalu menyadari bahwa keberadaan
Portugis sangat membahayakan mereka. Dajalo belum berhasil mengusir
Portugis. Perlawanan berikutnya dilanjutkan oleh Sultan Khairun, dan
pada tanggal 27 Februari 1570 terjalin kesepakatan damai dengan
Portugis. Selanjutnya Portugis mengingkari kesepakatan damai, bahkan
Sultan Khairun dibunuh. Sultan Baabullah Daud Syah segera melanjutkan
perlawanan, dan berhasil mengusir Portugis dari Maluku tahun 1575.
Selanjutnya Portugis berpindah ke Tomor Leste (Timor-Timur) dan
Flores.
b. Perlawanan Demak
Akibat dominasi Portugis di Malaka telah mendesak dan merugikan
kegiatan perdagangan orang-orang Islam. Oleh sebab itu, Sultan Demak
R. Patah mengirim pasukannya di bawah Pati Unus untuk menyerang
Portugis di Malaka.-Pati Unus melancarkan serangannya pada tabun 1512
dan 1513. Serangan ini belum berhasil. lalu pada tahun 1527,
tentara Demak kembali melancarkan serangan terhadap Portugis yang
mulai menanarnkan pengaruhnya di Sunda Kelapa. Di bawah pimpinan
Fatahillah tentara Demak berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Nama Sunda Kelapa kernudian diubah menjadi Jayakarta.
c. Perlawanan Aceh
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639)
armada kekuatan Aceh telah disiapkan untuk menyerang kedudukan
Portugis di Malaka. Saat itu Aceh telah memiliki armada laut yang mampu
mengangkut 800 prajurit. Pada saat itu wilayah Kerajaan Aceh telah
sampai di Asumatera Timur dan Sumatera Barat. Pada tahun 1629 Aceh
mencoba menaklukkan Portugis. Penyerangan yang dilakukan Aceh ini
belum berhasil mendapat kemenangan. namun Aceh masih
tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka.
2. Perlawanan terhadap VOC
Tindakan VOC yang sombong dan sewenang-wenang memicu
perlawanan rakyat Indonesia di berbagai area . Walaupun beberapa usaha
mengusir Belanda dari Indonesia belum berhasil, namun perjuangan ini akan
menjadi inspirasi bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam masa selanjutnya
dalam mengusir penjajah. Berikut ini kita kaji beberapa perlawanan rakyat
Indonesia di berbagai area dalam mengusri VOC.
a. Maluku
Kakiali dan Talukabesi dari kerajaan hitu memimpin perjuangan
mengusir Belanda di Maluku tahun 1635-1646. Walaupun perjuangan
ini belum berhasil, namun telah menunjukan bahwa bangsa Indonesia
tidak menyukai penjajahan. Pada tahun 1667 Tidore, sebagai kerajaan
terkuat di Maluku juga mengakui kekuasaan VOC. Kekuasaan Belanda di
Indonesia timur semakin tegas dengan dikuasainya Maluku.
b. Makassar
sesudah Maluku jatuh, ancaman VOC di Indonesia Timur tinggal
kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Gowa adalah kerajaan yang kuat dan
memiliki armada sangat besar. Terjadi sebuah perselisihan antara
Arung Palaka dari kerajaan Bone dengan raja Gowa. VOC
memanfaatkan perselisihan ini dengan memberikan dukungan
kepada Arung Palaka.
Belanda berhasil memanfaatkan Arung Palaka untuk menyerang
Gowa tahun 1666. Pihak Belanda dengan bantuan Arung Palaka
memenangkan pertempuran, dan Sultan Hassanuddin dari kerajaan Gowa
dipaksa untuk menandatangani perjanjian Bongaya 18 November tahun
1667.
Perjanjian Bongaya baru terlaksana tahun 1669, sebab Sultan
Hassanuddin masih melakukan perlawanan kembali. Akhirnya Makassar
harus merelakan benteng di Ujungpandang kepada VOC. Sejak masa itu
tidak ada lagi kekuatan besar yang mengancam kekuasaan VOC di
Indonesia timur. Gorontalo, Limboto, dan negara-negara kecil Minahasa
lainnya telah takluk pada VOC. Perjanjian Bongaya adalah perjanjian
antara Sultan Hasanuddin dengan VOC, yang isinya:VOC mendapatkan
wilayah yang direbut selama perang, Bima diserahkan kepada VOC,
Kegiatan pelayaran para pedagang Makasar dibatasi di bawah pengawasan
VOC, Penutupan Makasar sebagai Bandar perdagangan dengan bangsa
Eropa, selain VOC, dan monopoli oleh VOC, Alat tukar/mata uang yang
dipakai di Makasr adalah mata uang Belanda, Pembebasan cukai dan
penyerahan 1500 budak kepada VOC.
Perjanjian Bongaya telah memangkas kekuasaan kerajaan Gowa
sebagai kerajaan terkuat di Sulawesi. Tinggal kerajaan-kerajaan kecil yang
sulit melakukan perlawanan terhadap VOC.
b. Mataram
Mataram merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di pulau
Jawa. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Belanda telah mendirikan
18
kantor dagang di Jakarta (Batavia). Keberadaan VOC di Belanda, sangat
membahayakan Mataram. Selanjutnya terjadi perselisihan antara
Mataram-Belanda sebab nafsu monopoli Belanda. Pada tanggal 8
November 1618 Gubernur Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen
memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara. Kerugian Mataram
sangat besar. Peristiwa ini yang memperuncing perselisihan antara
Mataram dengan Belanda. Raja Mataram Sultan Agung segera
mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia.
Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram dipimpin
Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. lalu
disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, dan kedua bersaudara
yakni Kiai Dipati Mandurejo dan Upa Santa.
Serangan pertama gagal, pasukan ditarik ke Mataram tanggal 3
Desember 1628. Tidak kurang 1000 prajurit Mataram gugur dalam
perlawanan ini . Mataram segera mempersiapkan serangan kedua,
dengan pimpinan Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A.
Purbaya. Persiapan dilakukan dengan lebih matang. Gudang-gudang dan
lumbung persediaan makanan didirikan di berbagai tempat. Persiapan
pengepungan secara total terhadap Batavia dilakukan. Serangan dimulai
tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun
gagal. Selain sebab faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung
padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda.
c. Banten
Banten mencapai jaman keemasan pada maasa Sultan Ageng
Tirtayasa. Beliau sangat bersimpati dengan perjuangan untuk mengusir
Belanda yang ditunjukan dengan pemberian bantuan amunisi senjata
kepada Trunojoyo yang melawan Belanda di Mataram. Perlawanan
Banten terhadap Belanda terjadi sejak awal Belanda menginjakan kaki di
Banten. Perlawanan terbesar adalah yang dilakukan Sultan Ageng
Tirtayasa tahun 1656. Kerajaan Banten berhasil menguasai beberapa
19
kapal VOC, dan beberapa pos penting. Perlawanan ini diakhiri perjanjian
damai tahun 1569.
Pada tahun 1680 Sultan Ageng kembali mengumumkan perang
sesudah terjadi penganiayaan terhadap para pedagang Banten oleh VOC.
Sayang sekali di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Ageng dengan
putra mahkota Sultan Haji. Belanda memanfaatkan perselisihan antara
Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda mendukung Sultan
Haji, sebab lebih mudah dipengaruhi untuk membantu kepentingan
dagang Belanda. Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan, dan Sultan
Haji menjadi Raja Banten.
Pada tahun 1682 Sultan Haji terpaksa menandatangani perjanjian
dengan Belanda yang isinya: VOC berhak atas monopoli perdagangan,
orang-orang Eropa saingan VOC harus diusir, Banten menanggung
semua ganti rugi perang, Banten merelakan Cirebon kepada VOC, VOC
berhak turut campur dalam setiap urusan kerajaan Banten. Tahun 1695
kemerdekaan kerajaan Banten telah diambil oleh VOC. Sultan Haji baru
sadar, bahwa tindakannya sangat merugikan kepentingan rakyatnya
sendiri. Kerajaan Banten-pun semakin lemah, dan kedudukan Belanda di
Jawa semakin kuat.
J. Bubarnya VOC Sebagai Imperium Pertama (1602-1799)
Sejak tahun 1602, VOC merupakan pengaruh besar perdagangan di
Indonesia. Hingga akhir abad XVIII, VOC berhasil menanamkan kekuasaan di
berbagai wilayah. Usaha-usaha VOC bukanlah tanpa menghadapi tantangan
dan perlawanan. Kekuasaan kerajaan-kerajaan besar dan kecil masih merupakan
ancaman serius VOC.
Untuk meluaskan hegemoni, VOC mempersiapkan penguasaan dengan
cara perang (militer). Beberapa gubernur jendral seperti Antonio van Diemon
(1635-16450, Johan Maatsuyeker (1653-1678), Rijklof van Goens (1678-1681),
Cornellis Janzoon Speelman (1681-1684), merupakan tokoh-tokoh peletak
dasar politik ekspansi VOC.
20
Selama abad XVII, VOC memusatkan perhatian pada dua tempat.
Pertama, Maluku tempat kekuasaan Belanda yang semakin kokoh. Kedua, Jawa
tempat dimana terjadi peristiwa-peristiwa yang juga akan membuka jalan bagi
djalankannya intervensi ke beberapa kerajaan. Hingga akhir abad XVIII VOC
masih menghadapi kerajaan-kerajaan Jawa, terutama Mataram.
Keberadaan VOC di Indonesia ternyata tidak serta-merta membawa
keuntungan besar bagi pemerintah Belanda. Eksploitasi/pengurasan kekayaan
bangsa Indonesia lebih banyak masuk dalam pribadi dan kelompok. Hal inilah
sebagai salah satu pemicu VOC gulung tikar.
Beberapa pemicu kebangkrutan VOC:
1. Skandal korupsi yang merajalela para pegawai VOC
2. Lemahnya manajemen/pengelolaan sehingga terjadi pemborosan keuangan.
3. Perlawanan dari berbagai kerajaan di Indonesia, ancaman Inggris (EIC)
dan Perancis menguras perhatian dan keuangan VOC.
4. Perang Inggris IV (1780-1784) di Eropa membuat VOC terpisah dari
induknya (pemerintah Belanda). VOC banyak mengeluarkan biaya untuk
memperkuat armada militer guna menghadapi Inggris. sebab inilah VOC
banyak menanggung hutang.
5. Di Eropa, pada bulan Desember 1794/Januari 1795 Perancis mengalahkan
Belanda, dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis. Peristiwa
ini yang menandai berubahnya kerajaan Belanda menjadi Republik Bataaf
(Bataafse Republiek).
Komisi yang menyelidiki kebangkrutan VOC akhirnya menyimpulkan
bahwa VOC sudah sulilt untuk dipertahankan. Akhirnya pada pergantian tahun
1799 ke 1800 VOC dibubarkan. Mulai tanggal 1 Januari 1800, Indonesia
menjadi jajahan Pemerintah Belanda, berdasar pasal 247 Konstitusi 1798.
Status Republik Bataaf hanya sampai tahun 1806. Napoleon Bonaparte (Kaisar
Perancis) mengembalikan Republik Bataaf ke bentuk kerajaan Belanda.
Indonesia merupakan bagian pemerintahan kerajaan Belanda yang dipimpin
seorang Gubernur Jendral. Kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia
terutama didorong oleh kekayaan sumber daya alam bangsa Indonesia. Mereka
sangat membutuhkan komoditi perdagangan berupa rempah-rempah yang
21
sangat mahal di Eropa. Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia
memicu terjadinya imperialisme dan kolonialisme di Indonesia. Perjalanan
bangsa-bangsa barat juga didorong merkantilisme, kapitalisme, dan revolusi
industri di Eropa. Jatuhnya Konstantinopel ke tangan penguasa Turki Islam
tahun 1453 memaksa bangsa-bangsa Eropa mencari jalan lain mendapatkan
rempah-rempah.
Didukung oleh semangat Tiga G (Gold, Glory, dan Gospel) bangsa-
bangsa Barat berhasil mencapai dunia timur termasuk Indonesia. Bangsa
Indonesia menyambut baik kedatangan mereka sebab awalnya hanya untuk
berdagang. namun perdagangan ini lalu bergeser terhadap usaha
bangsa-bangsa Barat menguasai wilayah Indonesia di berbagai area .
Dampaknya adalah munculnya berbagai perlawanan rakyat Indonesia di
berbagai area .
Politik adu domba devide et impera memicu bangsa Indonesia
terpecah belah. Satu demi satu kerajaan di Indonesia jatuh dalam cengkeraman
bangsa Barat. VOC adalah persekutuan dagang Belanda yang paling besar
menanamkan pengaruh kolonialisme dan imperialisme di Indonesia.
Persekutuan dagang ini akhirnya hancur pada akhir abad XVIII. Selanjutnya
pemerintah Hindia Belanda langsung memerintah bangsa Indonesia. Kondisi
ini semakin memperjelas keadaan bangsa Indonesia di bawah penjajahan
Belanda.
22
BAB III
PENERAPAN SISTEM TANAM PAKSA
A. Ketentuan-Ketentuan Tanam Paksa
Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa
harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor
khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada
pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75
hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi
semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti sebab
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang dipakai untuk praktek
cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding
sistem monopoli VOC sebab ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang
sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual
komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset
tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman
keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem
yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch
selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember
1839.
Culturstelsel di Jawa dimulai pada tahun 1836 atas inisiatif seseorang yang
berpengalaman dalam urusan ini yaitu Van Den Bosch yang telah memiliki
pengalaman dalam mengelola perkebunan di wilayah kekuasaan Belanda di
Kepulauan Karibia. Tujuan Van Den Bosch yang dijadikan Gubernur Jenderal
23
adalah “mentransformasikan pulau Jawa menjadi eksportir besar-besaran dari
produk-produk agraria, dengan keuntungan dari penjualannya terutama mengalir
ke keuangan Belanda. Tujuan Van Den Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa
itu adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang menjadi permintaan di
pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan ini Bosch menganjurkan
pembudidayaan berbagai produk seperti kopi, gula, indigo (nila), tembakau, teh,
lada, kayumanis, jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari semua produk itu
adalah bahwa petani dipaksakan oleh pemerintah kolonial untuk
memproduksinya dan sebab itu tidak dilakukan secara voluter (Fasseur, 1992:
239).
sedang ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa
sebagaimana tercantum dalam staatsblad tahun 1834 no.22. yang isinya adalah
sebagai berikut.
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk hal mana mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan
yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini
tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki
penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda, jika nilai-nilai hasil tanaman
dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat,
maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Apabila terjadi gagal panen pada tanaman dagang harus dibebankan kepada
pemerintah, hal ini berlaku apabila kegagalan ini tidak disebabkan
oleh kekurangrajinan atau ketekunan pada pihak rakyat.
7. Dalam mengerjakan tanah-tanah untuk penanaman tanaman dagang,
penduduk desa diawasi oleh para pemimpin desa mereka, sedang
24
pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan apakah
pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan
dengan baik dan tepat pada waktunya (Sutjipto, 1977: 76-77).
Jika diamati dari segi isi staatsblad ini , maka Sistem Tanam Paksa
tidak begitu memberatkan pada penduduk. namun dalam
pelaksanaannya ternyata telah memicu kesengsaraan yang berkepanjangan
kepada rakyat. Dampaknya cukup destruktif menjadikan rakyat miskin dan tidak
teratur hidupnya. Penduduk selalu terbebani oleh perilaku-perilaku pemimpin-
pemimpin mereka yang memaksakan rakyat untuk taat terhadap nperaturan yang
ditetapkannya. Fenomena ini diakibatkan noleh adanya penyimpangan ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam staatsblad yang dilakukan oleh pemerintah
Hindia Belanda. Penduduk lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan
waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor, sehinga tidak dapat mengerjakan
sawahnya dengan baik, bahkan dalam suatu waktu tidak dapat mengerjakan
sawahnya sama sekali. Bahkan penduduk yang tidak memliki tanah harus bekerja
melebihi waktu yang ditentukan. Penduduk menyediakan tanah untuk tanaman
ekspor melebihi seperlima dari lahan garapan, bahkan sampai ½ atau seluruhnya
dipakai untuk menanam tanaman komoditas ekspor. Tanah juga dipilih pada
lahan yang subur, sedang padi hanya bisa ditanam di sisa lahan yang kurang
subur. Apabila penduduk gagal panen tanaman wajib, tetap menjadi tanggung
jawab penduduk. Demikian pula lahan yang disediakan untuk tanaman wajib itu
masih tetap dikenakan wajib pajak. sedang sesudah panen, apabila penduduk
menyerahkan hasil panennya melebihi dari jumlah pajak yang harus dibayar tidak
dikembalikan kepada rakyat.
B. Pelaksanaan Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut sesudah
terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan Perang Padri
di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin
khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama
mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran
pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa
(kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk memakai sebagian tanah
garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja
untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak
tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak
daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya.
Jika kurang, desa ini mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber
lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai
tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja
yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di
pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa.
sebab antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri,
melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda.
Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari
Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost
Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi
sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba
mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem
tanam paksa Nederlandsche Handels Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi
VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya
pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa
Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa
yang kejam ini, sesudah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda,
akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa
masih terus berlangsung sampai 1915.
26
Menurut penelitian Prof. Fasseur dari Universitas Leiden, pada tahun
1884 sekitar 75.5 % penduduk Jawa dikerahkan dalam cultuurstelsel atau tanam
paksa. Penduduk di Karesidenan Batavia dan area kesultanan di Jawa Tengah
atau Vortsenlanden tidak mengambil bagian dalam sistem ini . Jumlah ini
lalu berfluktuasi namun tidak turun secara drastis sebab pemerintah Hindia
Belanda berusaha mempertahankan eksistensi tanah untuk tanaman komoditi
ekspor. lalu pada tahun 1850, umpamanya jumlah ini telah menurun
menjadi 46 %, namun ditahun 1860 naik lagi menjadi 54.5%. Kendatipun
demografi belum muncul pada masa ini, dan data kependudukan yang diperoleh
dari laporan-laporan para pejabat Belanda sering simpang siur, namun dapat
dikatakan bahwa sistem cultuurstelsel ini jelas-jelas telah memicu dampak
yang destruktif bagi penduduk Jawa. Luas tanah garapan yang dipakai untuk
sistem itu menurut perhitungan, pada tahun 1840 hanya 6 % saja. Pada tahun
1850 menurun menjadi 4 %, dan pada tahun 1860 naik lagi sedikit menjadi 4.5 %.
Jenis tanah yang dibutuhkan juga berbeda-beda untuk masing-masing
tanaman. Tebu (untuk gula) memerlukan tanah persawahan yang baik, sebab
tebu membutuhkan irigasi yang lancar. namun kopi justru memerlukan tanah yang
agak tandus (woeste gronden). Yang tidak dapat dipakai untuk persawahan,
terutama dilereng-lereng gunung. Indigo membutuhkan area yang padat
penduduknya. Pada dasarnya sistem ini membawa perubahan pada sistem
pemilikan tanah. sebab penyelenggaraannya dilakukan per desa, maka tanah-
tanah juga dianggap milik desa, bukan milik perorangan (Fasseur 1992: 28,29).
Prof. Fasseur berhasil membuat kalkulasi mengenai berbagaii komoditi
yang ditanam tahun 1830 dan membawa hasil sekitar tahun 1840 (Fasseur 1993:
34). Dalam waktu sepuluh tahun (1830-1840) semua karesidenan (18 buah) di
Jawa telah terserap dalam sistem ini (kecuali karesidenan Batavia). Kopi
diusahakan mulai dari Banten hingga karesidenan Basuki. Kopi diusahakan mulai
dari Banten hingga karesidenan Basuki di Jawa Timur. namun produksi kopi
terbesar berasall dari karesidenan-karesidenan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa
Tengah), Pasuruan dan Basuki (Jawa Timur).
Dalam jangka waktu yang sama gula telah berhasil diusahakan di 13
karesidenan. Pusatnya terutama di Jawa Timur, yaitu karesidenan-karesidenan
27
Surabaya, Pasuruan, dan Basuki (dalam tahun 1840 produksi dari wilayah ini
mencapai hampir 65%). Selain itu ada gula pula dikaresidenan-karesidenan
Japara, Semarang, Pekalongan, dan Tegal (Jawa Tengah) dan Cirebon (Jawa
Barat). Dalam jangka waktu yang sama pula Indigo berhasil diusahakan dii 11
karesidenan, namun produksi utama berasal dari dua karesidenan di Jawa Tengah,
yaitu Bagelan dan Banyumas, yang menghasilkan 51%. Juga di Cirebon dan
Pekalongan ada diusahakan sedikit indigo. Tembakau yang diusahakan melalui
cultuurstelsel dilakukan di Karesidenan Rembang dan sekitar Pacitan (Jawa
Tengah). sedang kayumanis diselenggarakan di Karawang (Jawa Barat).
Dalam penyelenggaraan cultuurstelsel pihak Belanda berusaha agar sedapat
mungkin tidak berhubungan langsung dengan petani. Sebab itu
penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa, dan
warga desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang
dihitung dalam pikol (+ 62 kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah.
Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ketempat lain
sebab pemerintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasannya kepada para
pejabat Belanda setempat (para kontrolir) yang memiliki motivasi untuk
meningkatkan produksi sebab mereka memperoleh “cultuurprocent” prosentase
tertentu dari hasil panen. Untuk itu sampai tahun 1860 dikerahkan tidak kurang
90 orang kontrolir dan sekitar orang pengawas berkebangsaan Belanda.
Mobilisasi penduduk dilakukan sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam tatanan politik Mataram, yaitu apa yang oleh Belanda dinamakan
“heerendiensten” (Djuliati Suryo, 1993). Yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan
berbagai tugas dengan tidak mendapat imbalan bayaran. Hak ini lalu
beralih pada Belanda yang sejak Perang Diponegoro dianggap sebagai penguasa,
kecuali di Vortsenlanden. “Kapan saja pemerintahan membutuhkan tenaga
rakyat, maka para bupati, sesuai dengan instruksi yang diberikan pada mereka,
harus mengusaha kan agar setiap desa menyediakan tenaga kerja secara adil.”
Beberapa jumlah penduduk yang harus dikerahkan disetiap desa itu diserahkan
sepenuhnya pada para bupati. namun sesuai kebiasaan pula, hanya mereka yang
berhak atas penggarapan tanah (sikep) yang wajib memenuhi panggilan
bupati ini . Ini pula sebabnya selama dilaksanakannya cultuurstelsel, diadakan
28
pembagian tanah bagi penduduk yang tidak memiliki (numpang), sehingga
lalu muncul sikep-sikep baru yang wajib melaksanakannya “heerendiensten”
pula (Fasseur, 1992: 30).
Tugas petani bukan sekedar menanam, namun juga memproses hasil
panennya untuk diserahkan di gudang-gudang pemerintah. Pengangkutannya ke
gudang-gudang ini adalah tugas petani pula. Terutama produksi kopi
seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula muncul pula pabrik-pabrik guna
yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur, 1993: 33).
Penduduk mendapat bayaran untuk hasil kerjanya. namun para ahli
sejarah belum bisa memastikan bagaimana pemerintah menentukan tinggi
rendahnya upah itu. Maksud semula Van den Bosch adalah agar upah disesuaikan
dengan fluktuasi harga pasar, namun hal ini dinggap tidak praktis. Mungkin
sebab para petani belum memahami kaitan pekerjaan mereka dengan mekanisme
pasar. Menurut penelitian Prof. R. Van Niel dari Universitas Hawaii, jumlah upah
disesuaikan dengan jumlah pajak tanah (land rent) yang harus dibayar petani.
namun sejak semula Van den Bosch menginginkan agar upah yang diterima petani
harus memungkinkan mereka “menikmatinya” dan itu berarti harus lebih banyak
dari hasil pesawahan. namun lalu ternyata berbagai faktor lain turut
menentukan tinggi rendahnya upah petani. Masalah kesuburan tanah (sawah
untuk tebu) tentu diperkirakan lebih tinggi pembayaran pajak tanahnya
dibandingkan dengan tanah gersang untuk kopi. Masalah iklim, teknologi yang
dipakai , dan lain sebagainya, turut menentukan tinggi rendahnya upah.
Dengan demikian upah bervariasi, bukan saja untuk masing-masing komoditi
namun juga dari karesidenan-karesidenan (Fasseur, 1992 : 42). Contoh yang
diberikan oleh Prof. Fasseur mengenai masalah upah ini diambil dari dua
komoditi yang berbeda, yaitu gula dan indigo (nila). Dalam tabel 1 dan tabel 2
dibuat kalkulasi mengenai upah yang diterima per bulan dan upah yang diterima
per keluarga (secara perkiraan).
29
Tabel 1. Upah Indigo (Nila) Tahun 1840 Dalam Gulden
Karesidenan Per Bahu Perkiraan Per Keluarga
Perkiraan
Bagelen
Banten
Banyumas
Besuki
Cerebon
Jepara
Kediri
Madiun
Pekalomham
Priangan
Tegal
65.13
11.20
75
59.08
65.48
26.40
33.40
43.30
42.60
16.80
37.50
12.73
0.117
17
16.20
15.63
4.75
6.75
8.95
15.10
3.45
7.76
Jawa 60.97 12.69
Fasseur, 1992: 36.
Dengan demikian salah satu dampak dari cultuurstelsel adalah masuknya
ekonomi uang di pedesaan. Penduduk membayar pajak tanah (land rent) yang
diintroduksi oleh Raffles dengan uang. fakta ini saja sudah menunjuk adalah
perubahan dalam kehidupan pedesaan. Suatu masalah yang penting pula adalah
apa yang dinamakan “cultuur procent” (Fasseur, 1993: 46-50), yaitu jumlah
persentase yang diterima para pejabat Belanda maupun sesuai dengan produksi
yang diserahkan pada gudang-gudang pemerintah. Jumlah itu tidak jarang jauh
lebih besar dari gaji yang diterima. Van den Bosch sengaja menambah hal ini
untuk mendorong para pejabat ini bekerja keras. Lagi pula cara itu juga
sudah dipakai dalam Preangerstelsel. Dengan demikian, cara ini sesungguhnya
bukan ciptaan Van den Bosch.
“Cultuur procenten” ternyata membawa dampak yang kurang baik dalam
korps kepegawaian Belanda sebab menimbulkan perbedaan pendapatan yang
mencolok antara mereka yang terlibat dengan cultuurstelsel dan yang tidak dan
antara mereka yang bekerja di area “kurus”. Ketidak puasan pada pihak pejabat
Belanda nampak dari permintaan untuk di pindahkan ke area lain. Contoh
yang diberikan Fasseur untuk menjelaskan sistem cultuur procent ini diambil dari
beberapa karesidenan untuk tahun 1850-1860 (dalam gilders).
30
Tabel 2. Kultur Persen yang Diterima Para Residen
Residen Cultuur Procent
Bagelen
Banten
Banyumas
Besuki
Cirebon
Jepara
Kediri
Kedu
Madiun
Pasuruan
Pekalongan
Priangan
Probolinggo
Rembang
Semarang
Surabaya
Tegal
10.401
1.301
6.297
7.152
7.543
5.714
4.905
4.293
4.165
25.064
3.123
5.994
10.599
2.737
5.977
14.213
5.274
Fasseur, 1992: 47.
Perbedaan pendapatan dari cultuur procent dengan sedirinya juga berlaku di
kalangan para bupati. namun tidak mudah membuat suatu tabel lengkap mengenai
hal ini. Contoh diberi Prof. Fasseur adalah untuk keempat bupati Banten antara
tahun-tahun 1858 hingga 1860 sebesar f2500 setiap tahun: sedang lima bupati
Priangan dalam jangka waktu yang lama menerima f90.000 setiap tahun. Pada
jangka waktu itu juga para bupati di Pekalongan menerima f38.000 setiap tahun,
dan keempat bupati di Rembang menerima f 3.600 saja setiap tahun (Fasseur,
1992: 49). Berbeda dengan para residen, para bupati tidak bisa menuntut mutasi
ke tempat lain, dan pemecatan bupati sangat jarang terjadi.
Suatu fakta bahwa secara keseluruhan para bupati menerima lebih
banyak dari para residen. Untuk tahun 1858 hingga 1860 saja seluruh cultur procen
untuk para bupati adalah f 800.000, sedang untuk jangka waktu tertentu yang
sama disediakan untuk para residen hanya f 250.000. Pertanyaan lain adalah
berapa keuntungan diterima oleh pemerintah dari sistem pertanian ini .
Sekali olahi perhitungan Prof. Faseur bisa membantu memberi gambaran yang
agak baik. Dengan mengambil tahun-tahun 1840 hingga 1849, ia sampai pada
kesimpulan sebagai berikut.
Tabel 3. Keuntungan Pemerintah
Tahun Kopi Gula Indigo Batig Slot
1840-44 40.227.637 8.217.907 7.835.77 20.421
1845-49 24.549.042 4.136.060 7.726.362 519.661
Tahun Kayumanis Lada Teh Batig Slot
1840-44 151.310 132.744 514.394 39.341.651
1845-49 171.798 56.548 1.666.496 35.056.820
Dengan demikian bagi pemerintah Belanda keuntungan paling besar
datangnya dari kopi. Antara tahun 1840-1849 saja mereka memperoleh sekitar 65
juta gulder dari penjualan komoditi yang paling banyak diproduksi di Priangan
itu. sedang dalam jangka waktu yang sama indigo hanya membawa
keuntungan sebesar 15 juta gulder. Menurut Fasseur keuntungan yang demikian
besar dari kopi disebabkan harga jualnya memang tinggi namun harga belinya
sangat rendah ,lalu gula juga menjadi komoditi ekspor
yang besar sesudah kopi. namun gula baru menjadi primadona sesudah tahun 1870
berdasar Undang-Undang Gula (1870) modal swasta diperkenankan
memasuki perkebunan tebu. Indigo atau Nila yang dalam masa cultuurstelsel tidak
terlalu jauh berbeda dari gula itu, lalu mengalami kemerosotan sehingga
tidak berarti. Demikian pun komoditi-komoditi lainnya terdesak sama sekali
sesudah tahun 1870.
Sebab itu menunggu perhitungan-perhitungan yang lebih lengkap,
dapatlah dikatakan bahwa tujuan dari Van den Bosch telah tercapai. Keruntuhan
keuangan Belanda disebkan berbagai macam peperangan yang harus dibiayai
(terutama dalam perang Napoleon), telah dapat diatasi melalui cultuur stelsel. Maka
ungkapan yang lalu muncul bahwa “Java is de kuruk waarop Nederland driff “
(Jawa adalah gabus yang membuat Belanda bisa mengembang)” tidak terlalu
meleset.
32
Maka tidak mengherankan pula kalau lalu sesudah krisis keuangan
negara Belanda dapat diatasi, muncul suara-suara sejak pertangahan abad ke-19,
terutama dari kalangan liberal, yang menuntun dihapuskanya sistem itu dan
menggantikanya dengan model swasta dan kerja bebas (free labor ). Salah seorang
intelektual yang paling terkemuka dari kalangan ini adalah Pendeta Van Baron
Heoveel yang paling mendesak di Tweede Kamer (DPR) agar dikelurkan undang
undang penghapusan cultuurstelsel. Dalam tahun–tahun 1860-an desakan itu
makin kuat. Perubahan nyata muncul saat pemerintah konservatif yang
mendukung sitem cultuurstelsel itu jatuh pada tahun 1860. Pemerintah baru yang
dibentuk oleh kaum liberal sejak tahun 1962 mulai mengadakan perubahan-
perubahan mendasar sehingga akhirnya menjelang abad ke-20 seluruh sistem itu
lenyap samasekali digantikan oleh sistem yang lain.
Dalam gambaran yang komprehensif, pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
mengalami banyak penyimpangan-penyimpangan yang serius. Penyimpangan
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini lebih banyak diakibatkan oleh adanya
cultuur-procenten, sehingga para pengawas tanam paksa yang menyetorkan tanaman
wajib akan mendapatkan imbalan. Dampaknya, semua pengawas berusaha
menyetorkan hasil produksi sebanyak-banyaknya dengan memeras rakyat.
Akhirnya yang menjadi sapi perahan adalah rakyat yang tidak memiliki otoritas
dalam menetapkan hasil panen tanamannya. Ditambah lagi dengan sikap-sikap
para kepala desa yang lebih sering menjadi kaki tangan pemerintah kolonial,
sehingga kebijakannya seenaknya dalam menetapkan luas lahan penduduk yang
akan dipakai untuk areal penanaman wajib, berapa penduduk yang harus
bekerja sebagai buruh, termasuk menetapkan berapa hasil produksi yang harus
dibayar oleh penduduk.
Ketimpangan yang diwujudkan oleh pelaksanaan politik tanam paksa ini
mulai mendapat perhatian di Belanda, dimana hal ini berhubungan dengan
kemunculan gerakan liberal di negeri induk ini . Secara umum mereka dapat
digolongkan ke dalam dua kategori yaitu golongan humanis dan golongan
kapitalis. Golongan humanis mengatakan bahwa Siatem Tanam Paksa harus
segera dihapuskan sebab telah banyak menindas dan menyengsarakan penduduk
di tanah jajahan. Dalam terminologinya, padahal tanah jajahan telah memiliki
33
kontribusi yang sangat besar dalam menyelamatkan negara dari kebangkrutan.
Dengan demikian, perlu diusaha kan perbaikan-perbaikan nasib rakyat tanah
jajahan. sedang golongan kapitalis beranggapan bahwa Sistem Tanam Paksa
tidak menciptakan kehidupan ekonomi yang sehat. Sistem Tanam Paksa
memperlakukan rakyat tanah jajahan sebagai objek bukannya melibatkannya
dalam kegiatan ekonomi yang menambah ruwetnya sistem perekonomian Hindia
Belanda.
Cultuur stelsel menekankan bahwa penduduk wajib menyediakan beberapa
hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah. Adapun hasil bumi yang
dimaksudkan berupa hasil bumi untuk ekspor sebagaimana yang diinginkan oleh
pemerintah. Penduduk diwajibkan menyerahkan 1/5 dari hasil panen utamanya
atau sebagai penggantinya 1/5 dari waktu kerjanya dalam satu tahun. Ketentuan
ini sangat memberatkan rakyat sehubungan dengan pengaturan waktu kerja
dan penyerahan hasil panen yang ditentukan oleh atasan-atasan mereka,
sedang mereka tidak berhak untuk membantahnya.
sedang itu dengan dijalankannya cultuur stelsel berarti bahwa kaum
bangsawan feodal harus dikembalikan kepada posisinya yang lama, sehingga
otoritas dan pengaruh mereka dapat dipergunakan untuk menggerakan rakyat,
memperbesar produksi dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diminta oleh
pemerintah. Meskipun kekuasaannya selalu diawasi oleh pemerintah dan
ditempatkan di bawah kekuasaan pegawai-pegawai Belanda, namun secara umum
yang paling mudah berhubungan langsung dengan penduduk adalah mereka para
pemimpin desa. Dengan demikian pada sistem ini diterapkan sistem
pemerintahan tidak langsung, yaitu sistem pemerintahan dimana pemerintah
kolonial Belanda tidak berhubungan langsung dengan rakyat, melainkan melalui
perpanjangan tangan pribumi yakni mereka para penguasa pribumi atau
pemimpin-pemimpin lokal. Kepala-kepala pribumi itu adalah pelaksana-pelaksana
yang diperintahkan dari atas. Tugas mereka kebanyakan menjadi pengawas-
pengawas perkebunan.
Dalam rangka mengikat para penguasa lokal ini, pemerintah Belanda
tidak hanya mengembalikan kekuasaan mereka saja, melainkan juga
meningkatkan prestise mereka dengan gaji berupa tanah yang akan memberi
34
mereka tenaga kerja dan penghasilan lain yang dihasilkannya. Di samping itu, Van
Den Bosch menerapkan sistem prosentase yakni hadiah bagi petugas yang
berhasil menyerahkan hasil tanaman yang melebihi dari yang ditentukan. Namun
yang menjadi permasalahan lanjut adalah bahwa kebijakan ini menjadi
sember dan ladang korupsi serta penyelewengan-penyelewengan yang merugikan
rakyat. Sistem prosentase dianggap sebagai legalisasi pemerintah kolonial
terhadap segala bentuk pemerasan seperti luas tanah yang diusahakan pemerintah
tidak terbatas, wajib kerja penduduk melebihi ketentuan yang telah ditetapkan,
tanaman wajib, pajak-pajak, dan kerja wajib tidak dihapus. sedang hasil dari
kebijakan cultuur stelsel sangat memuaskan dan menguntungkan pemerintah
Belanda. Antara tahun 1831 dan 1877, pemerintah induk menerima dari area -
area jajahan sebesar 823 juta Gulden. Sistem ini di samping
mendatangkan keuntungan finansial terhadap keuangan negeri induk, juga telah
mendorong memajukan perdagangan dan pelayaran Belanda (Kartodirdjo, 1990:
15).
Pada tahun 1848, Sistem Tanam Paksa mendapat kritikan melalui
perdebatan di Parlemen Belanda. Perdebatan terjadi antara golongan liberal
dengan golongan konservatif, seputar evaluasi penerapan sistem tanam paksa di
Hindia Belanda. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan
memberikan keuntungan kepada negeri induk apabila masalah-masalah
perekonomian diserahkan kepada pihak swasta. Dengan demikian, pemerintah
kolonial hanya memungut pajan dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Pemerintah tidak perlu campur tangan dalam urusan perdagangan hasil bumi di
tanah jajahan. Berbeda dengan kaum liberal, kaum konservatif tetap
berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberikan keuntungan kepada negeri
induk apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah. Pemerintah
harus campur tangan dalam pemungutan hasil bumi di tanah jajahan. Bagi kaum
konservatif, Hindia Belanda dianggap belum siap untuk menerima kebijakan
politik liberal. Dari perdebatan kedua golongan ini , golongan liberal menang
dan dapat meluruskan sistem pemerintahan di tanah koloni. Dua orang sebagai
pembela nasib penduduk koloni adalah Douwes Dekker dan Baron Van Hoevell.
Dalam mkaryanya yang berjudul “Max Havelar”, Douwes Dekker
membentangkan kekejaman sisten tanam paksa. sedang Fransen Van Der
Putte juga menulis Zuker Contracten, yang juga banyak mengkritik ketidakadilan
dalam sistem tanam paksa.
Berkat kecaman dan kegigihan kaum liberal ini , maka pemerintah
Hindia Belanda menghapuskan sistem tanam paksa, melainkan tidak sekaligus
melainkan secara bertahap atau berangsur-angsur. Proses penghapusan sistem
tanam paksa secara bertahap yakni: pertama kali penghapusan sistem tanam
paksa lada pada tahun 1860. Penghapusan tanam paksa untuk eh dan nila pada
tahun 1865, dan pada tahun 1870 hampir semua jenis tanaman paksa sudah
dihapuskan, kecuali tanaman paksa kopi di priangan.
C. Cultur Stelsel Di Luar Jawa
Selain di Jawa, cultuur stelsel juga dijalankan di luar Pulau Jawa meskipun
dalam skala yang tidak sebanding dengan di pulau Jawa. Sejak tahun 1822 di
Minahasa telah dilaksanakan cultuur stelsel untuk tanaman kopi. Sistem tanam
paksa di area ini berlangsung cukup lama, sampai dihapuskannya pada tahun
1899. sedang di Sumatera barat