dari kolonial hingga nasional 2





sumatera Barat pada tahun 1847 pasca Perang Padri, juga 
diselengarakan cultuur stelsell untuk tanaman kopi yang baru dihapus pada tahun 
1908. sedang  di Madura juga dijalankan cultuur stelsel untuk tanaman 
tembakau. Di samping itu, di Maluku juga sistem ini dijalankan bahkan sejak 
masa VOC, yakni untuk tanaman cengkeh di Kepulauan Ambon, dan pala di 
kepulauan Banda.  Sistem tanam paksa di kepulauan Maluku ini baru dihapuskan 
pada tahun 1860. Dengan demikian, meskipun secara umum dikatakan bahwa 
sistem tanam paksa berlangsung dari tahun 1830-1870, namun  dalam praktek yang 
sesungguhnya bahwa sistem ini  telah berlangsung jauh sebelum tahun 1830, 
dan berakhir secara total pada awal abad ke-20. Ini dapat dijadikan referensi baru 
bahwa melihat sejarah tanam paksa harus ditampilkan secara utuh mengingat 
kompleksnya kajian sistem ini baik secara makro maupun mikro. 
Pada masa VOC, Minahasa telah terkait dengan  pola-pola pelayaran 
niaga VOC yakni sebagai area  pemasok beras. Kewajiban sebagai pemasok 
beras ini beru dihentikan pada tahun 1852. sedang itu di area  ini 
pemerintah Hindia Belanda telah menerapkan sistem tanam paksa semenjak 
tahun 1822. area  yang paling cocok untuk budi daya kopi waktu itu adalah di 
Dataran Tinggi Tondano yang sesuai dengan ekologi kopi. Wilayah ini  
merupakan bagian dari Minahasa yang penduduknya tergolong padat. Dengan 
potensi tenaga kerja yang banyak di wilayah ini, maka sangat memungkinkan 
untuk dilakukan mobilisasi tenaga kerja secara tradisional baik yang diperlukan 
untuk penanaman kopi  itu sendiri, maupun untuk membangun prasarananya. 
Tanaman kopi lebih banyak dibudidayakan di distrik Romboken dan meluas ke 
distrik-distrik sekitarnya seperti Tomohon, Kawanokoan, dan Sonder 
Untuk pembudidayaan kopi, lahan-lahan yang dimanfaatkan adalah tanah 
kalekeran, yaitu suatu tanah milik distrik yang kosong dan tidak digarap oleh 
penduduk sebab  keadaan tanahnya kurang baik untuk kebun atau persawahan. 
Pembukaan lahan-lahan kalekeran  ini sangat memberatkan penduduk sebab  
letaknya yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Dalam hal lain upah yang 
diberikan juga tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka. Setiap pikol pemerintah 
Belanda hanya membayar f 10, padahal setiap keluarga hanya dapat menghasilkan 
satu pikol belum lagi dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dijalankan oleh 
para petugas lapangan dalam menimbang kopi. Dalam hal lain, penduduk juga 
dibebani oleh biaya pengangkutan, dimana pengangkutan kopi ke gudang-gudang 
pemerintah yang berada di wilayah pantai cukup jauh, padahal mereka harus 
dengan memikulnya. Baru sejak tahun 1851 pemerintah membuka gudang-
gudang di area  pegunungan, sehingga pekerjaan penduduk menjadi lebih 
ringan. sedang  pengangkutan dari gudang-gudang pegunungan ke gudang-
gudang di area  pantai dilakuna oleh para pekerja yang diberi upah 
namun , dalam rangka memperlancar proses pengangkutan 
kopi, penduduk tetap terbebani untuk membangun prasarana yang terkikat secara 
tradisional. Maka semenjak tahun 1851 jalan-jalan dan jembatan penghubung 
area  pegunungan dengan area  pantai mulai dibangun. Dalam 
pelaksanaannya, penduduk diharuskan bekerja secara bergiliran dan sukarela 
tanpa upah. Sehingga sewaktu-waktu, mereka harus siap dipanggil untuk bekerja 
dalam pembuatan sarana dan prasarana. biasanya  mereka dipimpin oleh 
pemimpin tradisional mereka yaitu para kepala walak yang memiliki otoritas 
tradisional untuk memerintah setiap warga yang berada di bawah pimpinannya. 
Pekerjaan ini  seringkali membawa kesengsaraan kepada rakyat sebab  letak 
proyek-proyek ini  jauh dari desa tempat tinggal mereka, atau dapat pula 
pada lokasi-lokasi yang sangat sulit, sehingga mengancam keselamatannya. 
Pekerjaan unum ini  juga sangat membebankan dan memberatkan sebab  
pada suatu saat  penduduk harus memanen tanaman untuk memenuhi 
kebutuhan pokoknya, mereka dapat panggilan untuk kerja bakti membangun 
sarana umum ini . 
Jika dibandingkan dengan kopi Jawa, baik dari segi ekonomi maupun 
kualitas, hasilnya tidak terlalu rendah. Bahkan banyak para pejabat Belanda yang 
secara langsung mengakui bahwa Kopi Menado jauh lebih baik ketimbang Kopi 
Padang. Malahan pada bagian kedua abad ke-19 Kopi Menado sempat 
mengungguli Kopi Jawa. namun  dari segi kuantitas, produksi Minahasa 
jauh lebih rendah dibanding Kopi Padang yang rata-rata menghasilkan 191.000 
pikul setiap tahun. sedang  Kopi Jawa lebih benyak lagi yakni dapat mencapai 
2 juta pikul setiap tahunnya. namun , Minahasa telah memiliki sejarah 
sosial yang cukup berperan dalam pengayaan sejarah nasional, terutama masa 
diterapkannya sistem tanam paksa. 
Semenjak tahun 1820 hingga tahun 1840, di Minangkabau kopi telah 
dibudidaya secara perorangan sebelum diberlakukannya cultuur stelsel. 
Sebagaimana halnya di Minahasa, di Minangkabau juga penanaman kopi 
dilakukan di area -area  pegunungan. Lahan-lahan yang dipakai juga dalam 
kategori lahan tidur yang kurang produktif untuk pertanian lain. sebab  sebagian 
besar kopi ditanam di area  area  pegunungan terutama lahan-lahan yang 
berada dalam kawasan hutan, maka kopi Minangkabau lebih sering dekenal 
sebagai “kopi hutan”.  Seperti halnya di Minahasa, di Minangkabau juga 
penduduk dibebani dengan kerja tanpa upah untuk membangun sarana-sarana 
terutama jalan-jalan dan jembatan untuk keperluan pengangkutan kopi dari 
area  pegunungan ke Padang.  sedang para pemimpin tradisional yang 
bertugas menggerakkan penduduk adalah para penghulu, sehingga dengan ikatan 
tradisional ini  penduduk patuh pada atasannya. 
Dalam penelitian Prof. Kenneth Young, disimpulkan beberapa pemicu  
atau faktor pendorong keberhasilan budi daya tanam kopi di Minangkabau. 
Pertama adalah kebijakan mengenai pemberian upah yang tidak membingungkan 
para petani, sebab  telah diatur dengan jelas. Harga per pikul ditetapkan f 20 atau 
sekitar 32 sen per kg, dan sesudah  dipotong berbagai ongkos yang harus dibayar, 
petani menerima f 4 per pikul atau 5 sen per kg. Kedua tersedianya tenaga kerja 
yang cukup banyak yang dapat dikerahkan untuk keperluan penerapan budibaya 
tanam kopi ini . Ketiga  adalah adanya tradisi dagang yang telah tertanam dan 
menjiwai warga  Minangkabau yang memicu orang terdorong untuk 
menjalankan pekerjaan yang menghasilkan uang 
Young dalam penelitiannya juga menyimpulkan sebab-sebab kegagalan 
dari penerapan sistem ini. Pertama adalah habisnya lahan pertanian yang cocok 
untuk budi daya kopi sehingga tidak dapat dilakukan ekspansi secara terus 
menerus. Kedua adalah munculnya penyakit tanaman kopi yang sulit untuk di 
atasi, sehingga produksi semakin berkurang. Ketiga Perang Aceh yang berlangsung 
relatif lama sehingga banyak menguras perhatian pemerintah Belanda untuk 
menanganinya, sedang budidaya kopi menjadi kurang diperhatikan. Keempat  
adalah cara-cara pengelolaan yang kurang baik sebab  terbiasa dengan pola 
budidaya perseorangan yang telah berlangsung sebelum cultuur stelsel  diterapkan. 
Berikut ini adalah tabel hasil analisis Young yang menggambarkan 
eksistensi kopi Minangkabau sejak tahun 1842 hingga 1906. Kalau selama abad 
ke-19 dan awal abad ke-20 produksi kopi di Jawa terus meningkat, maka 
eksistensi kopi Minangkabau justru menunjukkan grafik yang sebaliknya, yakni 
telah terjadi penurunan sejak tahun 1886. sedang di Minahasa keberadaannya 
berfluktuasi dengan beberapa puncak dalam tahun 1865 (sekitar 35.000 pikul) 
dan 1989 (sekitar 37500 pikul), lalu  sejak 1879 (35000 pikul), dan semenjak 
itu menurun dalam bentuk fluktuasi hingga pernah mencapai titik terendah pada 
tahun 1890 (100 pikul), dan pada saat penghapusan hanya mencapai sekitar 6000 
pikul. 
  
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut sesudah  
terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), dan Perang Padri 
di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin 
khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama 
mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran 
pemerintah penjajahan. 
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa 
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 
40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap 
desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa 
(kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk memakai  sebagian tanah 
garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja 
untuk bekerja bagi pemerintah. 
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak 
tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak 
daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. 
Jika kurang, desa ini  mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber 
lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai 
tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. 
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja 
yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di 
pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan. 
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. 
sebab  antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, 
melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. 
Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari 
Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost 
Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi 
sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba 
mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus. 
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handels Maatchappij 
(NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Akibat tanam paksa 
ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada 
tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga 
melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, sesudah  
mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada 
tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung 
sampai 1915. 
Cultuurstelsel ternyata membawa keuntungan yang sangat besar bagi para 
pemegang saham Nederlandsche Handel-Maatschappij dan tentunya juga raja 
Belanda- di negeri Belanda, Pemerintah Belanda serta pemerintah India Belanda. 
Hal ini dapat dilihat dari peningkatan ekspor dari India-Belanda, terutama ke 
Eropa. Ekspor tahun 1830 hanya berjumlah 13 juta gulden, dan tahun 1840 
ekspor meningkat menjadi 74 juta gulden. Penjualan hasil bumi ini  
dilakukan oleh NHM; keuntungan yang masuk ke kas Belanda -antara 1830 
sampai 1840- setiap tahun sekitar 18 juta gulden, ini adalah sepertiga dari 
anggaran belanja Pemerintah Belanda. 
Seorang mahasiswi Belanda, Annemare van Bodegom, pada tahun 1996 
mengadakan penelitian untuk menyusun skripsinya. Ia menyoroti periode antara 
1830 –awal diterapkannya cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal Johannes Graaf 
van den Bosch (1830-1833)- sampai tahun 1877. Keuntungan yang diraup 
Belanda –yang dinamakan batig slot atau surplus akhir- mencapai 850 juta 
gulden, yang antara lain dipakai  untuk membiayai pembangunan infrastruktur 
di Belanda seperti jalan kereta api, saluran air dll. Di sisi lain, cultuurstelsel ini 
membawa kesengsaraan dan bahkan kematian rakyat yang dijajah. Antara tahun 
1849-1850 saja, tercatat lebih dari 140.000 orang pribumi meninggal sebagai 
akibat kerja dan tanam paksa. Apabila nilai 850 juta gulden dihitung dengan 
indeks tahun 1992, maka nilainya setara dengan 15,4 milyar gulden. Tak dapat 
dibayangkan, berapa keuntungan yang diraup oleh Belanda dari Indonesia antara 
1602-1942 apabila dihitung dengan indeks tahun 2002. 
Di atas kertas, teori Cultuurstelsel memang tidak terlalu memembebani 
rakyat, namun dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel yang sangat menguntungkan 
Belanda, terbukti sangat merugikan petani terutama di Jawa dan memicu  
kesengsaraan dan kematian bagi rakyat banyak, sehingga cultuurstelsel ini  
lebih dikenal sebagai sistem tanam paksa, sebab  petani diharuskan menanam 
komoditi yang sangat diminati dan mahal di pasar Eropa, yang memicu  
merosotnya hasil tanaman pangan sehingga di beberapa area  timbul kelaparan, 
seperti yang terjadi di Cirebon tahun 1844, di Demak tahun 1848 dan di 
Grobogan tahun 1849. 
Sejak 1840, selama 60 tahun berikutnya nilai ekspor dari India-Belanda ke 
Belanda meningkat 10 kali lipat, dari 107 juta gulden menjadi 1,16 milyar gulden. 
Selama kurun waktu itu, juga terjadi perubahan komoditi ekspor; selain kopi, teh, 
gula dan tembakau, yang masih terus diekspor, kini ekspor bahan baku untuk 
industri seperti karet, timah dan minyak, menjadi lebih dominan. Seiring dengan 
perkembangan ekspor dan jenis ekspor, titik berat perkebunan pindah ke 
Sumatera Timur, di mana didirkan perkebunan-perkebunan besar, terutama 
untuk tembakau dan karet. 
Selain monopoly perdagangan komoditi “normal”, ternyata Belanda juga 
memperoleh keuntungan besar dari perdagangan opium (candu), yang lalu  
juga dimonopoli oleh VOC dan penerusnya, Pemerintah India-Belanda. Semula 
impor opium dari Bengali pada tahun 1602 hanya sebanyak satu setengah peti, 
meningkat menjadi 2.000 peti pada tahun 1742. Keuntungan per peti dapat 
mencapai 1.800 sampai 2.000 gulden, dan agar penjualannya terjamin, Belanda 
juga mendorong pribumi untuk mengkonsumsi opium. Pada akhir abad 19, 
Konsulat Belanda di Singapura melaporkan, ekspor candu dari Bengali ke India-
Belanda mencapai hampir 3.700 peti. 
Ewald van Vugd, seorang wartawan dan penerbit berkebangsaan 
Belanda, pada 1985 menyoroti politik perdagangan opium Belanda yang 
dipaparkan dalam bukunya Wetig Opium. Menurut van Vugt, candu mulai 
menjadi sumber penghasilan utama Belanda sejak tahun 1743. Antara tahun 
1848-1866, laba perdagangan candu mencapai 155,9 juta gulden, yakni 8,2 % 
pemasukan total dari tanah jajahan, dan kontribusi pemasukan dari jajahan 
Belanda terhadap seluruh anggaran Belanda sebesar 12,5%! Antara tahun 1860-
1915, laba candu meningkat 15 persen per tahun. Laba candu antara 1904-1940 
sebesar 465 juta gulden! Tak heran apabila van Vugt tahun 1988 menerbitkan 
buku dengan judul yang menggemparkan, yaitu Het dubbele Gezicht van de 
Koloniaal (wajah ganda dari penjajahan), yang memuat sisi negatif penjajahan 
Belanda, seperti pedagangan candu, perdagangan budak, kerja paksa, kekerasan 
senjata dll. 
Demikianlah wajah penjajahan Belanda waktu itu, demi keuntungan 
materi untuk para tuan besar, mereka mengorbankan rakyat di jajahan mereka, 
bahkan secara sistematis merusak mental dan kesehatan rakyat dengan 
menganjurkan untuk mengisap candu. Tidaklah mengherankan apabila sekarang 
keluarga kerajaan Belanda termasuk keluarga paling kaya di dunia dan Belanda 
termasuk salah satu negara termakmur di Eropa Barat, berkat perdagangan 
budak, perdagangan candu, tanam paksa dan berbagai praktek pelanggaran HAM. 
Hal-hal yang sangat tidak manusiawi seperti ini, telah menggerakkan hati 
beberapa orang Belanda yang humanis, seperti Eduard Douwes Dekker, yang 
lalu  melancarkan kritik terhadap politik Pemerintah India-Belanda melalui 
berbagai tulisan, juga dalam bentuk roman dengan nama “Max Havelaar”, yang 
ditulis pada tahun 19860. 
Namun kritikan yang dilontarkan ini  tidak menyurutkan Pemerintah 
Kolonial Belanda untuk membuat berbagai peraturan untuk menakut-nakuti 
rakyat jajahannya yang berniat membangkang. Pada tahun 1880 diberlakukan 
peraturan yang dinamakan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang memuat 
ancaman hukuman badan (kurungan dan pukulan) bagi kuli-kuli yang melanggar 
peraturan kerja. Tujuan utama Poenale Sanctie adalah menjamin tenaga buruh 
bagi majikan, juga membatasi kemerdekaan buruh untuk meninggalkan 
perkebunan tempat bekerja. Mohammad Hatta menunjuk buku tulisan H.F. 
Tillema yang berjudul “Kromo Belanda” yang berisi keluhan dan pengaduan 
tentang bagaimana Pemerintah Belanda melalaikan kesehatan rakyat. Hatta 
menunjukkan keadaan buruk di kalangan buruh, misalnya bahwa seorang kuli 
(buruh) di Sumatera dipaksa bekerja dengan kekerasan dan diperlakukan 
sewenang-wenang oleh majikan Belanda. Pukulan-pukulan dengan rotan, 
penahanan melawan hukum, penelanjangan buruh yang dianggap salah oleh 
majikan merupakan kebiasaan  pada waktu itu. 
Poenale Sanctie yang kejam dan tidak berperikemanusiaan menambah 
kesengsaraan rakyat Indonesia, dan memperpanjang daftar pelanggaran HAM 
oleh Belanda, serta meningkatkan kemarahan dan kebencian di kalangan bangsa 
Indonesia. Pers dan para pemimpin bangsa Indonesia mengecam Poenale Sanctie 
ini. sesudah  gencar kritik dan kecaman di negeri Belanda sendiri, baru pada tahun 
1924 Majelis Rendah Belanda mengajukan protes atas Poenale Sanctie ini , 
namun Poenale Sanctie baru dicabut tahun 1941, saat  Perang Dunia di Eropa 
telah dimulai dan ancaman Jepang di Asia telah di depan mata. 
Apakah tetap terjadi perbedaan pada perkembangan ekonomi di Jawa, 
andaikata Sistem Tanam Paksa tidak pernah diterapkan? Bagaimanakah jika 
sebagai ganti memperkenalkan rencana Van den Bosch ini pada tahun 1830, 
pemerintah Hindia-Blanda melanjutkan saja arah yang telah digambarkan oleh 
Du Bus pada tahun 1827. Tentu saja pertanyaan ini sulit dijawab,  sebab  hal itu 
akan merupakan pengandaian belaka, namun  dengan hanya mengajukan 
pertanyaan itu saja, kita dapat merenungkan kecenderungan jangka panjang 
dibandingkan dengan kecenderungan jangka pendek. Waktu melakukan hal ini, 
kita cenderung mendapatkan segala macam alasan untuk menganggap bahwa 
Sitem Tanam Paksa secara keseluruhan hanya memicu perbedaan yang 
sedikit sekali, dan segala-galanya tetap sama walau bagai manapun juga. 
Anggapan ini tidak seluruhnya memuaskan, sebab  Sistem itu mempercepat gaya 
perubahan. Niscaya kita  akan menyimpulkan mengatakan bahwa Sistem Tanam 
Paksa dipakai  dan dibuat berdasar  pola-pola sosial dan ekonomi yang 
sudah ada dalam warga  Jawa. Sesungguhnya itulah yang sebenarnya 
dikatakan oleh Van den Bosch mengenai apa yang sedang ia lakukan. namun , 
lalu  Van den Bosch berkata tentang banyak hal. Barangkali kita 
menganggap  bahwa dia dan orang-orang Belanda lainnya kurang sekali 
pengaruhnya– dengan cara apapun juga–atas asas-asas kehidupan orang Jawa 
sepanjang abad ke-19, dari pada apa yang mereka pikirkan dan mereka lakukan. 
Bagaimanapun, sulit  beranggapan bahwa yang dipersoalkan itu sudah 
jelas. Kita tidak bisa mempermasalahkan apakah sistem tanam paksa itu 
revolusioner dalam apa yang dilakukannya, melainkan akan mengambil tiga 
perubahaan, yang menurut pendapat saya memang mengalami pengaruh Sistem 
tanam paksa dalam soal-soal perekonomian dengan akibat-akibat yang penting. 
Ketiga bidang itu adalah: pembentukan modal, .tenaga kerja yang murah, dan 
ekonomi pedesaan. Sebelum membicarakan hal-hal ini, harus disampaikan 
beberapa pertimbangan mengenai cara para penulis memandang Sistem Tanam 
Paksa selama satu seperempat abad yang lalu. Tulisan-tulisan yang terdahulu ini, 
yang banyak jumlahnya, mencerminkan perasaan dan sikap dari masa yang lain 
mengenai Sistem itu. Walaupun pandangan mereka tidak seragam, para penulis 
itu merupakan wadah pengetahuan yang mengarahkan pemikiran kita mengenai 
Sistem Tanam Paksa dan mengenai arah perubahan secara keseluruhan di pulau 
Jawa pada abad ke-19. 
B. Cultuur Stelsel Kaitannya Dengan warga  
Penerapan suatu sistem, terlebih sistem yang diterapkan oleh pemerintah 
kolonial, maka menyisakan banyak permasalahan terutaka bagi masyarakan yang 
terkena kebijakan ini . Dalam kaitannya dengan penerapan sistem tanam 
paksa, suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab adalah mengenai dampak 
diterapkannya sistem tanam paksa pada warga  Jawa. Hampir semua peneliti 
mutakhir bahwa sistem ini  tidak bermoral, tidak humanis, dan tidak dapat 
dibenarkan dalam situasi apapun. Dalah kaitan dengan warga  ini, perlu 
dibedakan antara sistem itu sendiri yang dianggap tidak dapat dibenarkan, dengan 
dampaknya yang konkret pada warga . Para peneliti belum menemukan kata 
sepakat mengenai kedua variaber ini . Pada satu pihak ada pendapat yang 
mengatakan bahwa sistem ini paling kurang bermanfaat sebab  ekonomi uang 
telah masuk ke desa, yang lalu  menjadi penggerak ekonomi pedesaan. 
sedang penelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa 
proses monetisasi sesungguhnya telah muncul dalam warga  Jawa pada masa 
VOC. Dengan demikian ada kemungkinan besar sebelumnya juga sudah 
beredar berbagai macam uang dalam warga .  
Dalam kaitannya dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan, Prof. 
Van Niel dari Universitas Hawaii mengemukakan penyertaan modal dalam cultuur 
stelsel pada awalnya bukan berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga Barat, 
dimana Belanda pada saat itu malahan sedang dalam keadaan bangkrut sehingga 
memerlukan sistem ini  untuk mendatangkan uang dengan cepat. sedang 
permodalan yang dipakai  untuk pabrik-pabrik gula yang dikelola pihak swasta 
datangnya justru dari berbagai pihak di Jawa sendiri, seperti halnya para 
pensiunan pegawai negeri, perusahaan ekspor-impor, dan sudah barang tentu 
para saudagar Cina yang telah lebih dulu memiliki modal yang cukup (Vani Niel, 
1988). Jika teori ini  benar, maka dapat disimpulkan bahwa moneterisasi 
memang telah berlangsung jauh sebelum cultuur stelsel diterapkan. Ini berarti 
bahwa terhadap ekonomi uang warga  pedesaan, sistem tanam paksa tidak 
begitu banyak berdampak. 
sedang itu M.R. Fernando dan O’Malley melalui penelitiannya tentang 
perkebunan kopi di Lerebon bahkan menunj ukkan adanya segi-segi positif dari 
penerapan cultuur stelsel  bagi warga  Jawa. Dengan meramu pendapat 
beberapa  sarjana yang pernah meneliti masalah cultuur stelsel seperti Van Niel, 
Lison R.Knaight, dan Fernando, kedua sejarawan ini  mengungkapkan 
bahwa: ..”bukti sejarah sudah mulai memperlihatkan bahwa pertumbuhan 
pertanian komersial sesudah tahun 1830 memiliki efek perangsang pada ekonomi 
pedesaan, dengan komersialisasi menjurus pada peningkatan taraf kehidupan bagi 
mayoritas penduduk pedesaan, paling tidak selama dasawarsa pertengahan abad 
ke-19”.
Dalam kesempatan lain, Fernando mengemukakan bahwa dampak cultuur 
stelsel adalah: “cara hidup keluarga subsistensi yang lama yang menghasilkan 
sendiri kebanyakan dari kebutuhan materilnya berangsur-angsur mulai berganti 
dengan suatu cara hidup material yang komersial. Dengan sistem ini  
penduduk pedesaan semakin terbiasa untuk membeli berbagai macam kebutuhan 
rumah tangga dengan memakai  uang. Dampak ekonomi darinkebiasaan 
konsumen dari penduduk pedesaan itu tercermin dari meningkatnya jumlah 
penduduk yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi non-agraris ,Tesis Fernando ini  dibenarkan juga oleh Sugiyanto Padmo dari 
Uuniversitas Gadjah Mada melalui penelitian historisnya. Secara lebih terperinci 
Fernando juga menjelaskan dalam sebuah tabel yang menunjukkan diversifikasi 
pekerjaan warga  baik agricultuur maupun non-agricultuur. 
Di samping apa yang dikemukakan Fernando, R.E.Elson juga secara 
khusus meneliti masalah-masalah kemiskinan dengan mengajukan pertanyaan 
bahwa apakah cultuur stelsel  menimbulkan kemskinan atau tidak bagi warga . 
Elson juga mengakui bahwa masalah ini  sangat sulit untuk ditetapkan 
sebab  keterbatasan sumber sejarah, terutama mengenai data statistik yang 
membingungkan. Namun ia sampai pada tesis bahwa tidak dapat dikatakan 
apakah cultuur stelsel  menimbulkan kemiskinan pada warga  Jawa atau justru 
sebaliknya mendatangkan kemakmuran. Akhirnya Elson hanya dapat 
mengemukakan bahwa dengan pasti bahwa: ..”sistem itu langsung atau tidak 
langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk 
suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta 
membuka kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan warga  tani, yang 
sebelumnya sangat terbatas pilihan-pilihannya” 
 
C.  Penulisan Sejarah Sistem Tanam Paksa 
Penulisan sejarah ekonomi Indonesia abad ke-19, pada dasarnya tidak 
dapat dilepaskan dari sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh penguasa 
kolonial Belanda sebagai kebijakan konservatif-kolonialis untuk meningkatkan 
eksploitasi tanah koloni. berdasar  literatur yang sudah tersedia, ditemukan 
gambaran yang cukup jelas mengenai pelaksanaan tanam paksa di Indonesia, 
terutama di Pulau Jawa. Jika secara mendalam dikaji mengenai pelaksanaan tanam 
paksa di Jawa dengan luar Jawa, maka ada perbedaan yang cukup besar 
terutama yang berhubungan dengan proses pemiskinan warga  pribumi. Di 
luar Jawa, kebijakan sistem ini tidak begitu terasa berat sebab  rata-rata 
penduduknya memiliki lahan pertanian yang luas. sedang yang dipakai  
 
 
untuk lahan budidaya tanam, kebanyakan merupakan lahan tidur yang tidak 
digarap oleh penduduk.  sedang lahan-lahan milik penduduk tidak menjadi 
bagian dari pelaksanaan tanam paksa. sedang di Jawa, budidaya tanam tidak 
hanya dilakukan dilahan-lahan tidur, melainkan di lahan-lahan milik petani yang 
sedianya dipakai  untuk penanaman padi. Dengan begitu, banyak rakyat yang 
tercerabut hak  atas tanahnya yang seharusnya menjadi lahan garapannya untu 
mencukupi kebutuhan hidupnya. Di samping itu, banyak pula warga  Jawa 
yang tidak memilki tanah garapan untuk keperluan hidupnya. Padahal waktu 
bekerjanya yang seharusnya dipergunakan secara penuh untuk mencari 
penghidupan, harus dipergunakan untuk bekerja di lahan-lahan untuk tanaman 
ekspor. 
Penelitian-penelitian pada abad ke-19 tentang sejarah sosial dan sejarah 
ekonomi di Indonesia, menunjukkan pahwa pelaksanaan Siatem Tanam Paksa di 
area -area  memperlihatkan dampak dan hasil yang berbeda-beda. Di Pulau 
Jawa, pelaksanaan sistem ini  telah mendorong kembali suatu pertumbuhan 
ekspor yang signifikan, di mana Jawa terlibat praktis dalam perdagangan 
internasional. Dengan keterlibatan ini , maka eksistensi Jawa menjadi 
semakin penting bagi pemerintah kolonial Belanda. Berperannya Jawa dalam 
lintas makro, bukan berarti meningkatkan secara signifikan kesejahteraan mikro 
warga  petani Jawa.  Merkipun lalu lintas uang menyentuh desa-desa di Jawa 
yang berdampak merubah sistem subsistensi menjadi sistem ekonomi baru, 
namun secara komprehensif warga  pertanian Jawa tetap miskin. sedang 
itu pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di luar Jawa, seperti halnya di Sumatera 
Barat, telah melahirkan stagnasi ekonomi dalam warga  minangkabau dan 
kemacetan politik pada dasa warsa terakhir abad ke-19. 
Di antara diskusi-diskusi tentang perubahan sosial dan ekonomi abad ke-
19 di Pulau Jawa, sebagai area  utama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, ada 
kajian antropologi yang digarap oleh Clifford Geertz dengan judul Agricultural 
Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia tahun 1963. Dalam 
terminologinya, Geertz menegaskan bahwa eksploitasi kolonial melalui Sistem 
Tanam Paksa di Jawa telah melahirkan apa yang disebut “involusi pertanian”, 
yang pada gilirannya menciptakan kemiskinan petani di Pulau Jawa secara 
signifikan. Sistem budidaya tanam ekspor pemerintah kolonial menurut Geertz, 
membawa dampak perubahan sosial dan ekonomi yang sangat mencolok. Teori 
Geertz ini  telah mempengaruhi sebagian besar ilmuwan sosial dalam 
mengkaji masalah-masalah ekonomi Indonesia abad ke-19 dan ke-20 
Ditinjau dari aspek pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, abad ke-19 
merupakan suatu feriode di mana sistem ekonomi uang masuk di desa-desa, 
terutama pedesaan Jawa. Dengan masuknya sistem ekonomi uang, yang 
menggantikan sistem subsistensi, maka ketergantungan para petani pada dunia 
luar menjadi semakin besar. Produksi pertanian ditujukan untuk komodiiti ekspor 
di pasaran dunia yang semakin memiliki peranan penting terutama bagi perbaikan 
kas pemerintah Belanda. Dengan sistem ini , berarti telah menimbuklan 
dampak terhadap terganggunya sistem ekonomi subsistensi sebagai sistem 
ekonomi tradisional yang bersifat tertutup dan hanya memenuhi kebutuhan 
hidup sendiri sebagai petani.  Dengan mengkaji penerapan Sistem Tanam Paksa 
di berbagai area , maka teori dualisme ekonomi Boeke (1942, 1945) yang 
menyebutkan bahwa sistem ekonomi modern yang dipraktikan negara kolonial 
yang hidup berdampingan dengan sistem ekonomi tradisional atau sistem 
ekonomi subsistensi dan tidak saling mengganggu, tidaklah benar. Kajian sejarah 
sosial ekonomi Indonesia abad ke-19 menunjukkan bahwa ekonomi subsistensi 
mengalami gangguan yang serius akibat praktik ekonomi kolonial. Dalam kajian 
lain, Pemberontakan Petani Banten 1888, misalnya sebagaimana dibahas secara 
mendetail oleh Sartono Kartodirdjo tahun 1966, merupakan salah satu contoh 
akibat gangguan praktik ekonomi kolonial.  lalu  gerakan-gerakan yang 
berupa resistensi petani Jawa pada abad ke-19 mau tidak mau harus dikembalikan 
pada praktik kolonial, dengan penerapan Sistem Tanam Paksa yang menyertainya.  
Dalam kajuan sejarah sosial ekonomi selanjutnya, resistensi petani Jawa sudah 
merupakan tradisi warga  Jawa terhadap diterapkannya politik ekonomi 
kolonial yang menyengsarakan. Hal ini  sangat relevan dengan teori yang 
disampaikan oleh Selo Soemardjan bahwa dalam warga  yang tertindas, maka 
akan menimbulkan gejolak sosial dari warga  yang bersangkutan. Apabila 
teori ini  dikaji secara historis, maka resistensi dalam warga  Indonesia 
selalu muncul mengingat tekanan dan penindasan dari penguasa yang terus 
berlanjut sampai sekarang.  Gaya kolonial masih tetap membelenggu mental para 
penguasa bangsa terutama bangsa Indonesia, sehingga gejolak sosial di mana-
mana selalu muncul berbarengan dengan sikap-sikap otoriter penguasa yang tidak 
banyak berpihak kepada rakyat. Praktek-praktek Sistem Tanam Paksa sampai 
dewasa ini masih dipraktekan dengan subur di negeri ini meskipun dalam bentuk-
bentuk yang berbeda. Dampaknya bagi petani Jawa sejak jaman penjajahan 
sampai sekarang “petani kita miskin di tengah melimpah ruahnya kekayaan alam 
negeri ini”. 
namun  dalam konteks kajian ini, tanpa memahami Sistem 
Tanam Paksa sebagai kebijakan ekonomi kolonial dan pelaksanaannya di tanah 
koloni, nampaknya akan sulit memperoleh suatu gambaran yang jelas dan 
menyeluruh mengenai sejarah ekonomi dan sejarah sosial Indonesia abad ke-19.  
Tulisan Van Niel tentang Java: Under the Cultivation System tahun 1992 
tampaknya dapat menjadi referensi yang cukup berharga untuk membantu 
mengkaji sejarah sosial dan ekonomi Indonesia abad ke-19. Meskipun tulisan 
ini  merupakan kumpulan karangan, namun berbagai hal masalah Sistem 
Tanam Paksa di Jawa, isinya secara komprehensif suatu pemikiran relatif utuh 
tentang kajian Sistem Tanam Paksa di Jawa. Van Niel menyajikan dua hal penting 
pada bagian awal pembahasan mengenai Sistem Tanam Paksa yakni: pertama, 
aspek internal dari Sistem Tanam Paksa yang merupakan bagian menyeluruh dari 
sejarah orang Jawa, bukan bagian yang hanya dimiliki oleh sejarah kolonial. 
Dengan aspek internal ini , dampak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa 
terhadap petani Jawa dapat dibhas lebih rinci lagi. Kedua, pergolakan petani Jawa 
abad ke-19 yang sebagian besar diakibatkan oleh praktik Sistem Tanam Paksa 
tidak bersifat holistik melainkan lokal. Dari kedua aspek penting ini , 
tampaknya perlu ditunjukkan beberapa penulisan sejarah tentang pergolkan 
petani Jawa abad ke-19. Karya terpenting adalah penelitian Profesor Sartono 
Kartodirdjo mengenai Pemberontakan Petani Banten 1888 yang ditulis pada 
tahun 1966, dan gerakan protes di pedesaan Jawa pada abad ke-19  yang ditulis 
pada tahun 1973. Dari dua karya monumental ini , dapat dipergunakan 
untuk memahami keanekaragaman pergolakan petani yang merebak di Jawa pada 
abad ke-19.  
sedang implikasi dari aspek internal Sistem Tanam Paksa dan variasi 
lokal pergerakan petani Jawa abad ke-19 adalh bahwa penulisan sejarah ekonomi 
Indonesia abad ke-19 tidak bisa dilepaskan dari sejarah sosial. Kajian-kajian tema 
mengenai sejarah sosial abad ke-19 sangat penting artinya untuk menjelaskan 
praktik dan dampak Sistem Tanam Paksa baik terhadap Jawa maupun luar Jawa. 
Oleh sebab  itu kajian mengenai Sistem Tanam Paksa yang digarap oleh Van Niel 
dapat dijadikan sebagai salah satu pemicu untuk mengembalikan kajian sejarah 
sosial pedesaan Jawa abad ke-19. Hal ini  perlu dijadikan perhatian bahwa 
bahwa nampaknya tidak perlu diragukan lagi bahwa kajian mendalam mengenai 
Sistem Tanam Paksa di Jawa ini telah mengungkap dua fakta  sejarah. 
Pertama, Jawa abad ke-19 menjadi sumber penghasilan komoditas ekspor penting 
bagi pasar internasional. Kedua, Pulau Jawa memiliki kekayaan sumber daya 
manusia sangat murah yang dimanfaatkan sebagai tenaga kerja untuk kebutuhan 
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Van Niel dalam penelitiannya menunjukkan 
bahwa 65-70 persen keluarga petani Jawa dipekerjakan diperkebunan-perkebunan 
milik pemerintah kolonial. Dua fakta  sejarah itu jelas menunjukkan adanya 
eksploitasi kolonial secara besar-besaran di bidang ekonomi dan sosial sejalan 
dengan politik kolonial subyektifikasi Belanda. 
berdasar  data-data sejarah yang berhasil dikumpulkan, Van Niel 
mencoba memberikan interpretasi rinci mengenai peranan para kepala desa di 
Jawa sebagai kelompok penghubung antara kekuasan supradesa dengan penduduk 
desa. Peranan baru para kepala desa yang didapatkannya pada masa 
diterapkannya Sistem Tanam Paksa di Jawa ini tampaknya telah mengubah 
struktur sosial ekonomi pedesaan. Mereka terlibat intens dalam pengelolaan dan 
pengorganisasian produksi tanaman dagang untuk keperluan ekspor. Di lain 
pihak, para petani harus memikul beban sosial ekonomi yang semakin berat 
untuk pengadaan dan penyelenggaraan komoditas ekspor ini . Di bawah 
sistem tradisional, di mana disa yang berada di bawah supra desa dalam hal ini 
wilayah kekuasaan bupati, maka otoritas tradisional di tingkat desa menciptakan 
raja-raja di tingkat desa. Selain sebagai pemimpin pemerintahan di tingkat desa, 
para kepala desa juga menjadi pemimpin tradisional yang berpola patron-client. 
Rakyat harus tunduk terhadap segala keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh 
pemimpin tradisional mereka. Itulah sebabnya pemerintah kolonial tetap 
mempertahankan otoritas tradisional untuk mempermudah dalam 
mengeksploitasi tanah dan tenaga kerja warga  desa. Dalam konteks otoritas 
tradisional, maka yakyat patuh pada perintah atasan baik yang berkaitan dengan 
masalah-masalah desa maupun yang berhubungan dengan pemerintah kolonial. 
Dampak dari pola yang bipolar ini  adalah eksploitasi yang berlebihan dari 
para penguasa terhadap warga .  Sebagai kasus misalnya, saat  warga  
atau penduduk sedang mengerjakan lahan pertanian untuk kebutuhan hidupnya 
dalam kerangka ekonomi subsistensi, namun lalu  ada perintah kepala desa 
untuk bekerja di lahan tanaman ekspor, maka penduduk tidak dapat menolaknya. 
Begitu pula pada saat  akan memanen, maka penduduk harus menundanya, 
sebab  harus mengerjakan tugas pemimpin terlebih dahulu. 
sesudah  memahami kajian mengenai pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, 
maka gambaran yang diperoleh mengenai perekonomian Jawa adalah bahwa 
sistem ekonomi modern  atau sistem ekonomi uang dan komoditas ekspor, telah 
mengeksploitasi habis-habisan sistem ekonomi subsistensi yang menjadi basis 
perekonomian kaum petani. Eksploitasi ekonomi modern melalui penerapan 
Sistem Tanam Paksa merupakan eksploitasi yang bersifat brutal dan 
memicu  para petani Jawa menderita kemiskinan dan kelaparan yang 
berkepanjangan. Struktur ekonomi warga  desa nyaris hancur akibat 
penerapan sistem ekonomi baru ini , yang bedampak pada kemiskinan dan 
kelaparan yang menjadi makanan sehari-hari warga  petani. Teoti involusi 
pertanian  karya Clifford Geertz yang menjelaskan proses kemiskinan struktural di 
Jawa tampak relevansinya. Pertambahan penduduk Jawa, berkurangnya lahan 
pertanian, dan perluasan perkebunan Eropa menjadi pemicu  utama kemiskinan 
di Jawa. 
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kajian ekonomi dan sejarah 
ekonomi Jawa abad ke-19 oleh Van Niel merupakan hasil karya pemikiran yang 
sangat penting. Karya ini  memang memberikan gambaran sejarah yang agak 
komprehensif  yang digali berdasar  sumber-sumber primer, sehingga praktik 
dan dampak Sistem Tanam Paksa di Jawa dapat dilihat secara lebih objektif. 
Karya ini dapat dijadikan sebagai bahan pembanding dengan karya penulis-
penulis lain, untuk saling mencari kebenaran sejarah Sistem Tanam Paksa di 
Indonesia. Penulis dan karya-karya monumental itu antara lain D.H.Burger, 
Sejarah Ekonomi-Sosiologis Indonesia yang ditulis 1957; J.H. Boeke, The 
Structure of the Netherlnds Indian Economy (1942); J.H. Furmivall. Netherlands 
India: A Study of Plural Economy (1944); dan Anne Booth, dkk (ed), mengenai 
Sejarah Ekonomi Indonesia yang ditulis pada tahun 1988, dan masih banyak lagi  
karya-karya lain baik asing meupun domestik yang lik untuk dikaji. 
Untuk maksud-maksud objektif  sekarang, penulisan sejarah Sistem 
Tanam Paksa dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama mulai sejak tahun-
tahun akhir penerapan Sistem, yaitu dari tahun 1850-an dan 1860-an, dan 
berlanjut sampai permulaan tahun 1920-an. Ini merupakan masa yang amat 
panjang, yang memperlihatkan berbagai macam tulisan mengenai Sistem itu, 
namun  formulasi awal sebagai tahap tunggal, sebab  tahap ini diresapkan dengan 
optimisme tentang bagaimana segala sesuatunya dapat dan akan menjadi jauh 
lebih baik, sekali kesalahan-kesalahan dan kecemasan-kecemasan mengenai 
Sistem Tanam Paksa disingkirkan dan prinsip ekonomi yang lebih sehat dapat 
berlaku. Sebagaimana juga dua tahapan lainnya, tulisan-tulisan itu mungkin 
mengungkapkan lebih banyak tentang para penulisnya serta tentang paham-
paham dari zaman mereka, daripada tentang Sistem Tanam Paksa itu sendiri.  
Soest (1869-71) dan Deventer (1865-66) yang menulis pada dasawarsa 1860-an, 
menonjolkan kesewenang-wenangan yang dikenakan oleh Sistem Tanam Paksa 
pada orang Jawa, dan mencari suatu pemulihan prinsip-prinsip ekonomi liberal, 
mereka juga merasa bahwa mereka juga mengetahui segala-galanya mengenai apa 
yang harus diketahui tentang Sistem Tanam Paksa, yang sebagian besar adalah 
buruk. Beberapa penulis liberal seperti Pierson (1877) dan Cornets de Groot 
(1862) kurang getir dan kurang tegas dalam kutukan mereka, namun  merasa bahwa 
sistem itu dalam praktek berjalan salah dan bahwa suatu kebijaksanaan ekonomi 
yang berjiwa lebih besar yang memajukan perusahaan swasta, akan sangat 
membantu. Laporan Clive Day yang klasik itu adalah versi bahasa Inggris 
mengenai pemikiran dan rasa optimisme semacam itu (Day 1904). Pada awal 
abad ke-20, para penulis lebih condong mengabaikan seluk-beluk Sitem Tanam 
Paksa dan mencapnya semata-mata sebagai “eksploitasi”, suatu lembaran hitam 
dari zaman lampau yang kini telah berubah. Hassleman (1912) dan Stokvi (1922) 
merupakan contoh-contoh dari aliran ini. Dalam bidang penerbitan kearsipan, 
usaha-usaha Van Deventer, do Roo dan van der Kemp untuk memperluas 
publikasi dokumenter dari De Jonge tidak pernah mencapai lebih jauh dari 
dokumen-dokumen tentang dasawarsa 1820-an (De Jonge 1862-1888; Deventer 
1891; Roo 1909; Kemp 1890-1920)’. Sebagai peralihan ke tahap berikutnya ialah 
van Vollenhoven, yang mengutuk politik Belanda untuk seluruh abad ke-19, 
terutama dalam dampaknya atas hak-hak pemilikan tanah desa di Jawa 
(Vollenhoven, 1919). Van Vollenhoven memberikan banyak masukan data baku 
dan pendirian asasi tahapan kedua. 
Tahapan kedua dari penulisan-penulisan mengenai Sistem Tanam Paksa 
terhitung dari tahun 1920-an sampai akhir kekuasaan kolonial Belanda. Tulisan-
tulisan dan polemik-polemik Van Vollenhoven mengenai kebijaksanaan 
pertanahan tidak saja menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang segala aspek 
kebijaksanaan Belanda selama abad sebelumnya, namun  juga magnum opus dari De 
Kat Angelino–menurut semangat filsafat pada waktu itu–memperlihatkan suatu 
perpaduan dan sikap menjauhkan diri, yang memperlunak hal-hal yang tidak enak 
dari seluruh dampak Belanda di Jawa, dengan demikian membujuk dengan cara 
yang hampir tidak sungguh-sungguh (Kat Angelino, 1929-1930). Usaha untuk 
mencapai keseimbangan dinyatakan paling baik oleh Furnivall dalam karya 
klasiknya (1939). Sambil menunjukkan bagaimana Sistem Tanam Paksa 
mengalihkan dan merongrong kehidupan desa di pulau Jawa, dia memperlihatkan 
beberapa perubahan positif yang ditingkatkan oleh sistem itu. Pada saat yang 
sama, dalam penelaahan-penelaahannya di bidang sejarah sosiologi, Burger 
mencoba merinci bagaimana ide-ide dan lembaga-lembaga Barat telah memasuki 
pedalaman pulau Jawa, yang memicu  de-feodalisme dan keterbukaan 
warga  Jawa (Burger 1939). Penelaahan-penelaahan sejarah yang terinci 
tentang sejarah Indonesia abad ke-19 yang memakai  bahan-bahan sumber 
arsip mulai muncul dalam disertasi-disertasi pada Universitas Utrecht yang 
dipimpin oleh Gerretson (Utrechtsche Bijdragen 1932-1950). Di Batavai, karangan-
karangan dan selebaran-selebaran statistik Mansvelt mengenai perkembangan 
ekonomi pada abad ke-19 mulai menimbulkan beberapa persoalan/masalah 
tentang dampak Sistem ini , sebab  ternyata telah terjadi perubahan ekonomi 
yang agak positif. Bahan-bahan ini telah dikembangakan dan diterbitkan kembali 
oleh Creutzberg dalam seri Changing Economy in Indonesia. beberapa  perkembangan 
dalam arena ekonomi dan politik selama tahun-tahun 1920-an dan 1930-an 
cenderung membuat rakyat sadar akan dampak kebijaksanaan dan praktek-
praktek kolonial atas warga  Jawa dan juga lebih menyadari peranan 
pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Dikombinasikan dengan minat yang 
meningkat pada teori sosio-sejarah, perkembangan ini cenderung mendorong 
para penulis ke arah pandangan yang campur-aduk tentang Sistem Tanam Paksa. 
Dengan mengakui kemajuan-kemajuan yang diperolah Sistem ini  dalam 
pertumbuhan sektor yang “berorientasi pada ekspor”, mereka menjadi lebih 
pedas dalam kecaman mereka mengenai dampak sistem itu atas masyarakt Jawa 
dan secara teoritis lebih konsekuen dalam kutukan mereka terhadap imperialisme 
Eropa. Akan namun  tidak ada seorang pun dari penulis-penulis ini yang sampai 
berbuat sejauh Gerretson (1938), yang dalam usaha untuk mengubah pandangan 
sebelumnya terhadap Sistem ini , saat  ia menulis, bahwa: “Sistem Tanam 
Paksa adalah kebajikan paling besar yang dianugerahkan negeri Belanda kepada 
Hindia-Belanda”. 
Tahap ketiga dimulai sesudah kemerdekaan Indonesia dan masih 
berlanjut sampai sekarang. Lebih daripada dalam masa-masa sebelumnya, tahap 
ini menggambarkan minat yang menjangkau seluruh dunia terhadap studi-studi 
tentang Indonesia. Selama tahap ini dipertanyakan persoalan-persoalan baru dan 
makin banyak tersedia bukti-bukti baru tentang sejarah. Baik di negeri Belanda 
maupun di Indonesia, orang makin lama makin mempergunakan arsip, dan 
bahan-bahan baru yang dikemukakannya memungkinkan para sejarawan untuk 
lebih dalam memasuki cara bekerjanya Sistem Tanam Paksa daripada yang telah 
dimungkinkan sebelumnya. Perintis jalan pada tahap ketiga ini dalam penulisan 
mengenai Sistem Tanam Paksa adalah pekerjaan Reinsma (1955) yang 
mengajukan beberapa gagasan perbaikan yang mengejutkan, terutama yang ada 
sangkutpautnya dengan kesejahteraan umum di pulau Jawa selama masa Sistem 
Tanam Paksa. Akan namun  dalam hal-hal lain, karya Reinsma sangat bertumpu 
pada gagasan-gagasan dari periode sebelumnya, terutama gagasan-gagasan Van 
Vollenhoven dan Burger. Pada tahun 1960 hingga 1961, ada suatu peneltian  
mulai dengan penelitian mengenai tahun-tahun permulaan Sistem Tanam Paksa, 
dan pada awal tahun 1970-an. Fasseur mulai memeriksa akibat-akibat 
perekonomian Sistem itu, baik di pulau Jawa maupun di negeri Belanda (Fasseur 
1975). Pada waktu itu penulisan tanam masih sangat dipengaruhi oleh penulis-
penulis tentang tahap kedua, namun  muncul bahan-bahan baru untuk 
dipertanyakan, maka sedikit demi sedikit penulisan  mulai menyimpang, makin 
lama makin jauh dari gagasan-gagasan bermula (Fasseur 2). Pada pertengahan 
dasawarsa 1970-an, studi mengenai sejarah Indonesia abad ke-19 menjadi 
semakin populer, terutama di negeri Belanda, di mana sekelompok sarjana-
sarjana berusia muda mulai menjelajahi kembali zaman kolonial mereka dahulu. 
Juga di Australia studi tentang Indonesia dan sejarah ekonomi telah digabungkan 
dengan cara yang sangat bermanfaat. Studi-studi ini telah berhasil mendapatkan 
bukti historis pada tingkat setempat dan berhasil mendekati kegiatan yang 
sesungguhnya dari Sistem itu daripada sebelumnya. Hal ini memicu  maju 
selangkah lagi pada jajran yang telah dianjurkan pada dasawarsa 1950-an dan 
1960-an, begitupun pada arah yang sebelumnya tidak dipertimbangkan (Van Niel 
1966). Efek keseluruhan dari tahap ketiga penulisan sejarah ini adalah dimulainya 
perbaikan kembali yang mantap dari kedua tahapan pertama penulisan mengenai 
Sistem Tanam Paksa. 
Ketiga warisan ekonomi dari Sistem Tanam Paksa di atas, yaitu 
pembentukan modal, tenaga buruh yang murah dan ekonomi pedesaan, telah 
dipertimbangkan secara berbeda-beda–atau sama sekali tidak dipertimbangkan–
dalam tulisan-tulisan sebelumnya tentang Sistem Tanam Paksa, warisan-warisan 
lainnya, yang hanya akan singgung sambil lalu, pada waktu-waktu yang lampau 
dianggap lebih pantas untuk mendapat perhatian, daripada perhatian yang hendak 
diberikan sekarang. sedang pengetahuan kita mengenai peristiwa-peristiwa 
abad ke-19 bertambah, seiring dengan itu semakin sulit untuk menyamaratakan 
secara luas mengenai seluruh pulau Jawa atau bahkan di bagian-bagian dari Jawa 
di mana Sistem Tanam Paksa beroperasi. Sejak mula pertama Sistem Tanam 
Paksa mengadakan penyesuaian-penyesuaian setempat agar tercapai tujuan yang 
diinginkan mengenai produk-produk untuk ekspor yang dapat bersaing di 
pasaran dunia. Sebenarnya kata “Sistem” itu menyesatkan, sebab  perkataan itu 
menyiratkan tingkat koordinasi yang lebih tinggi daripada yang memang ada. 
Tahap-tahap penulisan sejarah mengungkapkan spektrum gagasan mengenai 
Sistem ini  mulai dari pengutukan tajam sampai ke kecaman selektif, ke 
perspektif sosial yang lebih luas, ke kearifan mengenai perubahan-perubahan 
sosial yang positif, dan akhirnya sampai ke persepsi tentang perkembangan 
ekonomi di dalam warga  Jawa. Tidak ada orang yang bersedia mengatakan 
bahwa sistem ini  berjalan tanpa memicu  kesukaran dan perlakuan 
yang menyakitkan terhadap kaum tani Jawa, namun  pandangan sejarah makin lama 
makin mencoba memperlihatkan rangka perubahan sosial-ekonomi yang luas, 
yang merupakan latar belakang dari keadaan-keadaan yang berlaku. 
 
D.   Pembentukan Modal: Sisi Lain Sistem Tanam Paksa 
Sebelum Sistem Tanam Paksa diperkenalkan pada tahun 1830, oleh 
orang-orang Eropa telah diadakan usaha untuk meninggalkan sistem penyerahan 
hasil bumi secara paksa dan pengeluaran ongkos paksa yang telah merupakan ciri 
khas dari operasi VOC. Para produsen potensial dari komuditi-komuditi 
pertanian yang dapat di ekspor, pada tahun-tahun 1830 adalah sebagai berikut. 
1. Para penduduk desa bangsa Jawa yang menguasai tanah-tanah yang dibebani 
pajak sewa tanah. 
2. Para pengusaha perkebunan swasta, terutama orang-orang Eropa yang 
memakai tanah yang “tak berharga atau berlebih”, dengan membayar sewa 
kepada pemerintah. 
3. Para pengusaha perkebunan swasta, terutama orang-orang Eropa yang 
mengadakan kontrak dengan Pangeran-pangeran Jawa untuk pemakaian hak 
tunjangan mereka di area -area  Kesultanan. 
4. Para pemilik tanah partikelir, terutama orang-orang Eropa yang memiliki hak-
hak tuan tanah atas tanah-tanah mereka berikut rakyat di atas tanah-tanah itu. 
Masing-masing produsen ini  di atas mengalami kesukaran besar 
dalam menarik modal untuk memperluas dan meningkatkan operasinya. 
sedang modal dari Eropa, satu-satunya jenis modal yang tersedia waktu itu 
telah mepunyai berbagai macam pengalaman dengan perusahaan-perusahaan 
perkebunan kolonial dan tidak tertarik untuk menanam modal di pulau Jawa 
sebab  risikonya besar. 
Di antara keempat bentuk pengaturan produksi itu, hanya yang kedua, 
yaitu para pengusaha perkebunan swasta, yang mengerjakan tanah yang disewa 
dari pemerintah dan yang membuat peraturan-peraturan perburuhan secara 
perorangan dengan penduduk setempat, kelihatannya memiliki  potensi untuk 
menarik serta mendapatrkan modal. Desa di Jawa sama sekali diluar jangkauan 
keterlibatan ekonomi dan tidak menunjukan  melihat pada bidang budi daya, 
untuk ekspor. Dibiarkan untuk berbuat sekehendaknya, desa memusatkan 
perhatianya pada mata pencahariannya sendiri, menghasilkan beras, kantum, nila, 
dan produk- produk yang lain untuk kehidupan sehari hari,  lagi pula, sebab  
prosedur resmi yang biasa dipakai di Barat memiliki  pengaruh kecil pada 
masalah pedesaan, maka tidak ada perlindungan bagi para penanam modal, 
pengalaman antara tahun 1815 dan 1830 telah memperlihatkan, bahwa di mana 
hasil budi daya untuk diekspor-seperti perkebunan kopi diserakkan pada 
pengawasan desa, penanaman-penanaman itu diabaikan atau dibiarkan saja 
produk-produk untuk ekspor, seperti yang diperoleh selama masa ini, berasal dari 
para pengusaha perkebunan swasta yang menyewa tanah dari tanah bengkok, 
atau dari area -area  di mana pelaksanaan serah paksa tetap berlaku (Van Niel, 
1981). Pengusaha-pengusaha perkebunan swasta di atas tanah-tanah yang disewa 
dari pemerintah tidak dapat bayak menarik modal, oleh sebab  mereka tidak 
memiliki  hak milik atas tanah itu. Apa yang dapat  dan yang memang mereka 
lakukan adalah bekerja pada kantor-kantor ekspor/inmpor (terutama Belanda 
dan Inggris) di Jawa, dengan memperoleh uang dari kantor-kantor itu sebagai 
ganti dari panen untuk ekspor yang telah mereka hasilkan. Hal ini bukan saja 
merupakan kehidupan yang berbahaya, melaikan juga hampir tidak menghasilkan 
modal yang cukup untuk operasi- operasi yang sedang berjalan, bahkan tidak 
memberikan apa apa untuk perluasan dan peningkatan para pengusaha 
perkebunan swasta di area -area  kesultanan (area  Istimewa) pada 
permulaan abad ini kelihatanya memiliki  potensi yang paling besar untuk 
pertumbuhan dan perluasan. sebab  alasan-alasan yang tidak sepenuhnya jelas, 
hal ini tidak terjadi. Barangkali perluasannya dibatasi oleh pengaturan-pengaturan 
tunjangan dan olah cara yang mereka bebankan atas tanah dan buruh melalui 
kewajiban-kewajiban tradisional. Atau mungkin sebab  mereka telah menjalankan 
gaya hidup orang-orang Jawa di sekeliling mereka dan telah puas dengan tingkat 
kegiatan yang telah dicapi. Bagaimanapun juga, secara kasar mereka pada ukuran 
dan tingkat keuntungan yang telah dicapai menjelang tahun 1830. Akhirnya, para 
pemilik tanah (perkebunan) swasta rupanya tidak begitu berminat terhadap 
pengusahaan ekspor atau pada perluasan operasi ekonomi mereka. Tanah-tanah 
semacam itu makin lama makin merupakan soal gengsi dari pada soal ekonomi, 
nilai ekonominya yang paling besar adalah sebagai tanah milik. Banyak diantara 
para pemiliknya telah mengikat bagian terbesar dari penghasilan mereka pada 
lahan mereka dan tidak mau melibatkan diri dengan kepentingan-kepentingan 
dari luar. Sebagian kecil dari tanah-tanah ini, seperti yang ada  di Karawang, 
memang memperoleh modal dari luar dan lalu  meluas dan tumbuh. namun  
hal ini merupakan suatu pengecualian, bagian terbesar dari tanah-tanah swasta ini 
makin lama menjadi makin tidak cocok dengan keadaan zaman waktu itu, 
sedang abad berlalu perlahan-lahan. 
Sistem Tanam Paksa memiliki  tujuan utama untuk merangsang 
produksi dan ekspor dari komoditi-komoditi pertanian yang dapat dijual di 
pasaran dunia. Pemerintah menyadari sejak semula bahwa setiap pengolahan yang 
diperlukan oleh produk-produk ini, mungkin harus dikembangkan dengan 
pemasukan-pemasukan modal yang diusahakan oleh pemerintah sendiri untuk 
melengkapinya. Pemerintah meminjamkan uang kepada orang-orang yang 
mengadakan perjanjian untuk mendirikan pabrik/penggilingan untuk pengolahan 
produk-produk pertanian yang disediakan oleh para penduduk desa. Peraturan-
peraturan kontrak semacam itu dicoba laksanakan untuk berbagi hasil panen, 
namun  hanya di bidang pembuatan gula peraturan-peraturan itu menjadi faktor 
yang banyak artinya dalam usaha menghasilkan pertambahan modal. Pada 
produksi kopi dan nila, dua hasil panen lain untuk ekspor yang dapat memberi 
keuntungan, para kontraktor atau tidak dipakai  sama sekali atau menjadi 
berlebihan sebab  tingkat produksi yang kecil. namun  dalam pengolahan gula, 
sistem yang disponsori oleh pemerintah itu rupanya tepat sekali. Para kontraktor 
pemerintah bukan saja menerima modal yang dibutuhkan untuk membangun 
fasilitas-fasilitasnya, namun  juga mendapat bantuan pemerintah untuk memperoleh 
batang tebu mentah (raw cane) dan tenaga kerja yang diperlukan. Kontraktor 
berkewajiban menjual gula yang telah diolah itu kepada pemerintah untuk 
membayar kembali pinjamannya, namun  kelebihan jumlah gula yang diperlukan 
untuk pembayaran kembali pinjaman itu tadi, boleh dijual tersendiri oleh 
kontraktor demi keuntungannya sendiri. Di sini ada peluang untuk 
menghasilkan uang, dalam jangka waktu beberapa tahun, nilai penjualan-kembali 
kontrak-kontrak gula ini meningkat pesat. 
Lahan-lahan pedesaan yang menyediakan bahan-bahan baku untuk 
para kontraktor, terletak di area -area  umum yang sama dengan tanah-tanah 
“tak berharga atau berlebih” dahulu yang dipakai oleh pengusaha-pengusaha 
perkebunan swasta yang telah menyewa tanah dari pemerintah sebelum tahun 
1830. Hal ini dapat dimengerti sebab–sebab  bergantunag pada tenaga buruh 
yang besar jumlahnya– kedua-duanya  memilih tanah di sekitar pemukiman 
penduduk. Tanah-tanah yang ditanami untuk pengusahaan pemerintah itu 
letaknya dekat sekali dengan tanah-tanah para pengusaha perkebunan swasta. 
Selama bertahun-tahun, baik para kontraktor maupun para pengusaha 
perkebunan swasta berhasil baik, dan kedua-duanya berkembang dengan tingkat 
yang kira-kira sama, dengan para pengusaha swasta mempertahankan rasio yang 
konstan sebesar kira-kira seperempat luas tanah yang ditanami oleh pemerintah. 
sedang para kontraktor bertambah kaya, mereka atau memperluas operasi 
mereka sebagai pengusaha perkebunan swasta atau membantu anggota keluarga 
mereka dalam membuka area -area  penanaman baru bagi hasil perkebunan 
lain. Peraturan-peraturan pemerintah secara berkala membatasi perluasan oleh 
pihak swasta dalam bidang penanaman komoditi yang menguntungkan seperti 
gula, kopi dan nila, sedang  penanaman-penanaman yang kurang untungnya 
seperti teh, tembakau, dan         nopal (cochineal) diserahkan kepada pengusaha 
perkebunan swasta. Peranan para pengusaha perkebunan swasta dalam 
perkembangan modal telah diuraikan secara panjang lebar oleh Reinsma (1955), 
dengan penjelasan dan perbaikan lebih lanjut oleh Fasseur (1975). Pukulan politik 
serta modal yang diperlukan bagi perluasan pertanian ini menjamin, bahwa para 
kontraktor pemerintah, pengusaha perkebunan swasta, kantor impor-ekspor dan 
pegawai negeri sipil bangsa Belanda di pulau Jawa, menjadi erat hubungannya 
sebab  ikatan keluarga. Selama masa Sistem Tanam Paksa modal dasar sektor 
ekspor agro-ekonomi jadi berlipat ganda, sebagian besar sebab  hubungan erat 
antar-keluarga bangsa Eropa di pulau Jawa (Van Niel 1964a). Sebagian besar dari 
kekesalan terhadap sistem, yang diungkapkan oleh orang-orang Belanda di Eropa 
sesudah pertengahan abad ke-19, ditujukan pada pemberian jabatan kepada 
saudara-saudara dan sanak keluarga (nepotisme) serta pada pengaruh pribadi yang 
diadakan dalam memberi kontrak dan hak-hak atas tanah. Orang-orang di luar 
Jawa melihat sifat sistem yang menguntungkan itu dan ingin turut dalam kegiatan 
ini . namun  perkembangan yang telah terjadi, berasal dari pembangunan 
modal yang dirangsang oleh kekuatan-kekuatan dari luar pulau Jawa. 
Sistem Tanam Paksa–melalui suntikan modal dari pemerintah dan melaui 
meluasnya penanaman produk-produk untuk pasaran dunia–telah mendorong 
pembentukan modal swasta, yang dalam jumlah-jumlah besar ditanam dalam 
perluasan lebih lanjut dari sektor komoditi pertanian untuk ekspor. Sukses dari 
proses ini menimbulkan berbagai masalah. Satu diantaranya telah diketahui, yaitu 
rasa jengkel akibat pemberian hak istimewa kepada sekelompok orang dalam. 
Juga di antara para petani Jawa pun ada perasaan yang meningkat bahwa 
mereka dapat berkembang, bahkan lebih pesat dan dapat bekerja lebih efisien 
lagi, jika pemerintah tidak ikut lagi dalam Sistem Tanam Paksa. Kebijaksanaan 
tradisional dalam kedua tahap pertama penulisan sejarah menganggap Sistem 
Tanam Paksa sebagai bertentangan dengan semua perusahaan partikulir dan 
sebagai penghalang dari pembentukan modal. Telah lama menjadi buah pikiran 
bahwa modal swasta yang mengalir secara mendadak dari luar ke Pulau Jawa pada 
dasawarsa 1850-an dan 1860-an memaksa kehancuran Sistem ini . Hal ini 
tidaklah benar pada bagiannya yang manapun, sebagimana ditegaskan oleh 
Reinsma. Sebagian besar perluasan dilaksanakan di Pulau Jawa, dan hingga 
dasawarsa 1880-an jumlah modal dari luar pulau Jawa relatif tetap kecil. 
Persekutuan yang akrab antara para kontraktor pemerintah, pengusaha 
perkebunan swasta, kantor-kantor impor-ekspor dan pegawai negeri sipil, 
merupakan inti persoalan. Hal ini merupakan subyek yang membutuhkan banyak 
sekali penelitian sejarah,  untunglah banyak bukti yang diperlukan itu tersedia. 
Kita perlu  yakin bahwa pengumpulan modal di antara para pengusaha 
perkebunan dan pedagang Cina juga terjadi pada waktu yang sama.  
 
E.  Tenaga Buruh Murah dalam Sistem Tanam Paksa 
Dalam budi daya tanam yang berorientasi ekspor, maka keberadaan 
buruh yang dapat dibayar murah dan efektif pembayarannya merupakan 
kebutuhan utama. Pengawasan terhadap tenaga buruh pada abad ke-19 
merupakan suatu hal yang penting ketimbang  pengawasan terhadap tanah. 
Sistem Tanam Paksa mempekerjakan tenaga buruh dengan menerapkan pola 
tradisional Jawa yang dapat mengkondisikan tetap eksistensinya keberadaan 
buruh terutama buruh Jawa. Hal demikian dimaksudkan agar petani Jawa 
ini  menyerahkan sebagian hasil perkebunannya kepada pejabat yang lebih 
tinggi dan selama beberapa waktu setiap tahun mengerjakan tugas-tugas yang 
ditentukan oleh atasannya (Naessen, 1977). Untuk pekerjaan ini para buruh tidak 
dibayar, sebab  pekerjaan ini  dipandang sebagai suatu pola tata hubungan 
sosial yang hierarkis. Sebelum diterapkan Sistem Tanam Paksa pada awal abad 
ke-19, pajak atas sewa tanah yang dikenal sebagai sewa tanah, telah berlangsung 
dalam warga  sebagai pengganti penyerahan hasil perkebunan. Untuk 
memungut pajak, maka Desa merupakan unit yang  ditunjuk untuk 
mengorganisasikannya, di samping sebagai unit penyedia serta penyalur pelayanan 
kerja paksa yang tanpa pembayaran. Perubahan-perubahan demikian ditinjau dari 
sudut pandang sosial, ekonomi maupun politis, menimbulkan kesenjangan dan 
perpecahan dalam warga  Jawa, sebab  hal-hal demikian telah ditangani 
secara berbeda-beda pada waktu-waktu sebelumnya. 
Sebagaimana VOC sebelumnya, pemerintah kolonial di Hindia Belanda 
menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja Jawa dan menuntut hak istimewa 
sebagaimana yang diberikan kepada para pejabat bangsa Jawa yang lebih tinggi 
kedudukannya. Dalam hak-hak ini termasuk hak atas pelayanan para buruh, 
seperti yang sebelumnya terjadi untuk membangun sarana dan prasarana seperti 
pembangunan jalan-jalan, benteng, saluran irigasi, dan sarana-sarana umum 
dimana pemerintah membayarnya dengan upah yang sangat murah. Kerja paksa 
yang ditujukan untuk para kepala desa dan juga atasan-atasan dari bangsa Jawa 
juga meningkat drastis, kendatipun pemerintah berwenang mengawasi apakah 
terjadi penyalahgunaan wewenang di luar yang ditentukan oleh pemerintah. 
Memang sebenarnya keberadaan kepala desa sangat penting dalam rangka 
menyalurkan tenaga buruh yang tersedia untuk memungut pajak, sehingga 
dengan demikian pemerintah tidak dapat berbuat banyak tanpa mereka, sehingga 
tidak dapat serta merta membatasi tugas-tugas mereka. Dengan demikian pola 
tradisional harus tetap dipertahanyan untuk mendapatkan dukungan dari para 
kepala desa dalam melakukan perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Para 
petani Jawa bekerja di bawah pemerintah kepala desa, dengan menganggap 
bahwa pekerjaan itu sebagai persembahan tradisionalnya kepada pejabat-pejabat 
yang lebih tinggi. Bahkan pengusaha-pengusaha perkebunan swasta  yang 
mendapatkan tenaga buruh yang diberi upah, harus mengembalikan nilai kerja 
rodi buruh ini .  Ada pula yang mendapatkan buruh dengan membayar pajak 
sebuah desa , dan dengan demikian mendapatkan hak sebagai Tuan Besar untuk 
pelayanan buruh. 
Dengan demikian kerja wajib adalah isi pokok  dari budi daya tanaman 
yang berorientasi ekspor, maka dengan demikian Sistem Tanam Paksa 
menambah beberapa masalah baru pada pelaksanaan kerja paksa.  Sebagaimana 
tertera dalam Peraturan Dasar Pemerintah (Regeerings Reglement) tahun 1830, 
terutama Pasal 80, pelaksanaan kerja wajib di hutan-hutan di Pulau Jawa yang 
sebelumnya dikenakan oleh pemerintah, baik mengenai upah maupun 
pengurangan sewa tanah, dilanjutkan atas pertimbangan pemerintah untuk 
dipakai  di areal-areal selain hutan. Sistem Tanam Paksa merencanakan 
memakai  seperlima dari tanah pedesaan bagi budi daya tanaman untuk 
ekspor. Nilai hasil yang tumbuh di atas tanah ini dianggap cukup untuk 
membayar pajak, di mana sebelumnya telah ditetapkan sebesar dua perlima dari 
hasil panen utama. Dengan strategi itu, diharapkan bahwa di bawah sistem baru 
ini desa akan lebih menguntungkan. Dalam pelaksanaannya, segala sesuatunya 
tidak berlangsung sebagaimana yang telah ditentukan, melainkan bahwa 
pemerintah memisahkan suatu jumlah sewajarnya dari pekerjaan petani, yakni 
seperlima bagian dari setahun atau sekitar 66 hari untuk melayani kepentingan 
pemerintah, dan pemerintah menetapkan hall ini  sebagai pelayanan tanpa 
paksa: pelajanan tanam paksa ini sungguh-sungguh merupakan pengganti sewa 
tanah (pajak), yang sebelumnya telah merupakan pengganti penyerahan wajib 
hasi–hasil perkebunan. Pelayanan tanam paksa ini bukan merupakan  pengganti 
pekerjaan rodi yang dikenakan oleh pemerintah, melainkan merupakan 
tambahanya.sebab  petani atau tentu saja desanya, dibayar untuk panen yang 
dihasilkkan oleh pelayanan tanam paksa betapa pun tidak memadai pembayaran 
itu-pelayanan tanam paksa selalu dianggap oleh pemerintah sebagai sama sekali 
terpisah dari pelayanan kerja rodi. Jugat terpisah dari pelayanan perorangan yang 
diberikan kepada kepala desa dan kalangan atasan di atas tingkat desa (Van Niel 
1976). Bagaimanapun juga pekerjaan yang dilakukan pada hasil panen 
pemerintah, dipaksa oleh pemerintah dengan cara yang sama dengan pelayanan-
pelayanan wajib lainya. Bagi petani Jawa, tidak ada perbedaan jenis  kerja paksa, 
yang ada hanyalah suatu peningkatan jumlah kerja paksa yang menyolok . 
Berkaitan dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk 
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa dari para petani Jawa sulit untuk dijelaskan 
sejara riil, sebab  tidak ada ketetapan dan peraturan yang berlaku, bahkan 
untuk mengetahui jumlah riil dari suatu desa sekalipun. Sebelum tahun 1830, pola 
tradisi pembagian kerja sudah berlangsung baik yang berkaitan dengan 
pembagian kerja rodi oleh pemerintah kolonial, maupun pola kerja yang besifat 
tradisional. Di antara mereka ada yang mengerjakan tanah sebagai kewajiban 
kepada pemerintah, sedang yang lainnya mengerjakan tanahnya sendiri untuk 
memenuhi kebutuhan hidupnya. sesudah  tahun 1830, baru lalu  ada orang-
orang yang bekerja secara tetap di perkebunan-perkebunan milik pemerintah atau 
pekerjaan-pekerjaan yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Selalu ada orang-
orang yang bekerja sebagai buruh harian, atau bahkan sebagai penyewa untuk 
para penduduk desa lainnya. Dalam kontrak kerja yang agak sudah tetap 
demikian, maka sistem upah sudah mulai diterapkan secara teratur. Namun 
pemberian upah tidak begiru tinggi, melainkan hanya cukup untuk memenuhi 
kebutuhan hidupnya. Di samping itu seseorang atau keluarga masih terikat oleh 
pola hubungan tradisional yang harus memenuhi segala kewajiban-kewajibannya, 
meskipun mereka sudah terikat oleh buruh kontrak. Petani Jawa belum terbiasa 
dengan sistem upah, sehingga kegiatan kerja yang mendapat imbalan upah adalah 
sistem kerja yang dimaksudkan untuk memenuhi keinginan hidup yang lebih 
baik. Fenomena ini diakibatkan penduduk sudah terbiasa dengan pola hidup 
subsistensi yang dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya 
sendiri. Di luar itu mereka tetap memandang bahwa bekerja tetap terbatas pada 
pelayanan wajib kepada penguasa, yang lebih tinggi yang harus dipenuhinya. 
Dalam perkembangannya, meningkatnya kebutuhan tenaga buruh, juga 
diiringi dengan meningkatnya praktek-praktek pemaksaan yang dilakukan oleh 
para pejabat yang terikat pada pelayanan pemerintah.  Seiring dengan 
bertambahnya jumlah penduduk dan juga tekanan atas tanah-tanah di area  
penanaman pemerintah, maka uang ekstra dari upah makin lama makin penting 
artinya bagi ketahanan hidup petani yang lebih miskin. Para penulis tahap 
pertama banyak memanfaatkan fakta , bahwa para penguasa perkebunan dan 
kontraktor sejak dasawarsa tahun 1840-an ke atas mengatakan bahwa buruh upah 
bekerja lebih baik dan efisien ketimbang buruh-buruh paksa. Hal ini dapat 
diterima mengingat tanggung jawabnya sebagai buruh harus tetap dijaga agar 
tetap dipercaya sebagai buruh yang di bayar. sedang bagi mereka buruh yang 
tidak dibayar, maka tidak ada ikatan formal, sehingga tidak mengutakan 
pelayanan kerja yang baik. namun , pada tahun 1850-an, usaha-usaha 
untuk memasukkan buruh tani ke dalam area  yang biasanya dikerjakan oleh 
buruh rodi, harus ditinggalkan, sebab  tidak ada kaum buruh yang bersedia 
bekerja dengan tingkat upah yang dijanjikan oleh pemerintah. Sebagian besar 
petani Jawa tidak belajar menghargai pekerjaan sebagai alat untuk mencapai 
tujuan, melainkan tetap memandang pekerjaan mereka sebagai beban yang harus 
dipikul dan menjadi derita kesehariannya. Penambahan jumlah kerja paksa yang 
sangat memberatkan di seluruh area  penduduk yang lebih luas, mungkin 
membuka mata para petani, mengenai teknik dan cara-cara bekerja di suatu 
perkebunan. namun  kondisi ini  tetap tidak atau kurang 
mendorong minat perorangan untuk berkecimpung dalam tanaman ekspor, 
sebab  pandangan petani Jawa terhadap pekerjaan tetap tidak berubah.  
66 
 
Pada tahun 1860-an dan 1870-an, para pengusaha perkebunan swasta 
mulai mengadakan perjanjian perburuhan dan perjanjian tanah dengan 
perorangan dan desa-desa, sangat nyata bahwa Sistem Tanam Paksa tidak 
berkontribusi banyak untuk mempersiapkan cara bagi pembentukan pasaran 
buruh yang bebas dan sukarela. Namun sebaliknya, Sistem Tanam Paksa telah 
memicu penilaian yang negatif bagi pekerjaan sebab  memberikan 
kompensasi atau ganti rugi serendah mungkin. Dengan meneruskan penggunaan 
pola-pola kekuasaan tradisional. Sistem Tanam Paksa juga menciptakan 
kebutuhan akan penghasilan tambahan di area -area  di mana penanaman 
ekspor dapat berkembang. Bagi para pengusaha perkebunan swasta, kondisi 
ini  dapat menimbulkan keuntungan maupun kerugian. Keuntungan terletak 
pada fakta  akan rendahnya tingkat upah yang sedang berlaku, dan dengan 
demikian mereka dapat terus bersaing di pasaran dunia. sedang itu 
kerugiannya, yang sedang itu lebih besar ketimbang keuntungannya, muncul 
sebab  adanya masalah-masalah dalam rangka menarik dan menahan tenaga kerja. 
Para pencari tenaga kerja yang diberikan pada otoritas tradisional, yakni 
para kepala desa dan tokoh-tokoh pengusaha lainnya, mereka memberi uang 
muka terlebih dahulu untuk menarik tenaga kerja, namun  masalah yang 
muncul adalah buruh seringkali tidak masuk kerja sebagaimana tercantum dalam 
kontrak kerja. Dengan demikian, berbagai tekanan terhadap buruh yang dianggap 
lalai mereka gunakan. sedang pengadilan resmi berlangsung lambat dan tidak 
memadai, lebih efektif memanpaatkan orang-orang kuat untuk memaksa para 
pekerja.  Bahkan kadang-kadang para pengusaha perkebunan dapat membujuk 
para pejabat administrasi untuk membantu dan memaksa. 
Menjelang tahun 1880-an, tekanan pertumbuhan penduduk menjadi jelas 
dalam berkurangnya lahan garapan yang tersedia, dan semakin terbatasnya 
kemampuan desa untuk menyiapkan kebutuhan pokok mereka, sehingga banyak 
orang yang harus mencari tambahan penghidupan di luar desa mereka. Pada saat 
yang sama berjangkitlah hama tebu dan kopi yang memicu  penurunan 
drastis hasil tanaman ekspor. Padahal penduduk sudah mulai menggantungkan 
hidupnya di perkebunan-perkebunan ini , sehingga dengan berkurangnya 
produksi kopi dan gula, maka upah yang diterimakan oleh penduduk juga 
semakin berkurang. Hal itu masih ditambah dengan munculnya gula bit dari 
Eropa yang berperan dalam menurunkan harga gula di pasaran dunia 
internasional menurun. Dampaknya para pengusaha perkebunan menurunkan 
tingkat upah bagi para buruh, dan mengurangi pula jumlah uang untuk 
penyewaan tanah. Faktor-faktor yang kompleks ini  memicu  
penruunan jumlah uang yang tersedia bagi warga  Jawa, yang harus 
berdampak pada harusnya kesediaan yang lebih besar dari warga , untuk 
menerima upah buruh dengan harga dan syarat-syarat yang sebelumnya tidak 
dapat mereka terima (Elson, 1982). Penelitian-penelitian yang muncul selama ini 
khususnya tentang kesejahteraan warga  pedesaan Jawa cenderung 
mendukung gagasan bahwa, di Jawa selama penerapan Sistem Tanam Paksa 
ada lebih banyak kekayaan materi ketimbang dengan tahun-tahun sesudah 
pembubarannya. 
Dalam konsepsi yang lebih khusus, ketetapan hukum mengenai 
permintaan wajib tanam dari kaum tani tertuang dalam Pasal 80 Peraturan dasar