dari kolonial hingga nasional 3



peraturan Dasar 
Pemerintah (Regeerings Reglement: RR) 1830 yang dirancang oleh Van Den Bosch 
dan raja. berdasar  pasal ini , kegiatan tebang pohon (blandong) yang 
selama itu dilakukan sebagai kerja wajib dengan memperoleh imbalan sekarang 
dipakai  sebagai contoh kerja paksa yang di perluas di bidang penanaman lain. 
Peraturan-peraturan dasar pemerintah terdahulu memasukkan kegiatan tebang 
pohon, pengumpulan sarang burung di lereng terjal, pencetakan garam, 
penanaman kopi Priangan, dan perkebunan rempah-rempah ke dalam peraturan 
husus sebab  pemerintah menganggap kegiatan-kegiatan ini  memiliki  
nilai penting. Peraturan Dasar Pemerintah 1830 (Pasal 80) menyebut bahwa 
kegiatan tebang pohon dijalankan atas tanggungan pemerintah dengan membayar 
upah atau mengurangi sebagian sewa tanah. Selanjutnya disebutkan bahwa aturan 
semacam itu dapat diberlakukan untuk pelayanan kerja lainnya bagi pemerintah 
dan untuk penanaman khusus yang dianggap penting. 
Berhubungan dengan lamanya pelayanan tanam yang dihitung oleh Van 
den Bosch adalah 66 hari per tahun untuk setiap orang. Tidak jelas bagaimana 
Bosch mendapatkan angka ini . Suatu interpretasi historis bahwa Bosch 
menganggap setiap desa harus menanami seperlima dari tanah desa dengan 
tanaman ekspor yang ditentukan oleh pemerintah, maka logikanya untuk tenaga 
kerja juga seperlima dari tenaga kerja yang harus disediakan untuk kepentingan 
pemerintah. 
Permasalahan yang seringkali muncul dalam budi daya tanam ini  
adalah  bila pelayanan tanam ini  dihubungkan dengan kerja rodi (corvee; 
herendiensten) yang sudah ada sejak dulu. Hubungan yang tudak jelas ini  
dibiarkan berlarut-larut dalam peraturan-peraturan pemerintah dalam waktu yang 
relatif cukup lama, sehingga masalah ini  menjadi suatu sumber 
kesimpangsiuran. Baru dengan RR 1854 dilakukan usaha  pembenahan untuk 
menjernihkan persoalan ini , namun sebab  hanya dijelaskan sepotong-
sepotong, sehingga membuat kerancuan terus berlanjut hingga awal abad ke-20. 
Van den Bosch tampaknya sudah membedakan secara jelas antara corvee (kerja 
rodi) dengan pelayanan kerja lain, dan pembedaan itu didasarkan pada fakta  
sederhana apakah kerja ini  mendapat imbalan atau tidak. Corvee tidak 
mendapat imbalan, meskipun beberapa orang yang bekerja dalam dinas 
pemerintahan, mungkin menerima jatah garam dan beras. sedang kerja 
lainnya, seperti pelayanan tanam, blandong, dan sebagainya mendapat imbalan 
berupa uang atau pengurangan sewa tanah. Jika masalahnya dilihat secara ini, 
maka jelas pelayanan tanam berbeda dengan corvee.  Bila dipandang seperti itu, 
maka akan menjadi jelas pula mengapa beban kerja yang ditanggung oleh 
penduduk Jawa meningkat secara tajam sesudah tahun 1830. 
Pengerahan tenaga kerja berdasar  corvee tradisional Jawa pada 
umumnya didasarkan pada hak-hak kepemilikan tanah. Kerja menurut 
pengaturan semacam itu, dihitung berdasar  suatu sistem yang dikenal dengan 
cacah rumah tangga, kepala rumah tangga yang memiliki  hak-hak atas tanah 
juga diwajibkan melaksanakan corvee (tidak menjadi masalah, apakah pekerjaan 
ini  dikerjakan sendiri atau menyuruh seorang anggota keluarga untuk 
melaksanakannya). Sistem cacah masih berlaku pada 1830, dan lambat laun sistem 
cacah  dihapus oleh Van den Bosch sebab  sesudah  tahun 1838 tidak ada lagi 
rujukan dengan sistem ini . Alasannya cukup jelas, di mana untuk 
pengadaann tenaga kerja sebanyak-banyaknya maka perlu diterapkan pelayan 
kerja berdasar  perorangan, bukan atas dasar rumah tangga. Dampaknya, 
banyak orang yang terlibat dalam pelayanan tanam tidak lagi memiliki  hak atas 
tanah. Banyak desa merasa perlu melakukan penyesuaian dengan menyerahkan 
hak penggunaan sebidang tanah kepada beberapa orang sehingga tenaga mereka 
dapat diikutsertakan dalam pengaturan kerja yang dibutuhkan oleh Sistem Tanam 
Paksa. 
 
F.  Perubahan Ekonomi Pedesaan 
Pelaksanaan Siatem Tanam Paksa dalam prakteknya mengikuti pola 
tradisional yang berlaku dalam warga  Jawa, sehingga dapat mengerakkan 
para petani di area -area  terentu agar mau bekerja dalam menghasilkan 
tanaman untuk ekspor. Harapan pemerintah adalah dengan memakai  
otoritas kepala desa, maka dapat menggerakan penduduk untuk mau 
menyerahkan sebagian tanah untuk kepentingan tanam paksa, dan juga mau 
bekerja untuk tanaman ekspor. Sikap ini juga dimaksudkan untuk 
mengkondisikan agar warga  Jawa tetap statis. Namun dalam fakta nya 
hal ini  tidak terjadi sebab  dampak ekonomi sistem ini  justru telah 
menggerakan perubahan-perubahan dan mempercepat kecenderunan-
kecenderungan yang sudah ada. Pola-pola tradisional kalangan atas di tingkat 
desa sudah kocar-kacir pada permulaan abad ke-19 sehingga Sistem Tanam Paksa 
hanya dapat memakai  pola-pola itu dengan cara-cara yang tidak rasional dan 
alamiah. Tokoh-tokoh penguasa mengalami tekanan-tekanan yang semakin berat 
sebab  tuntutan-tuntutan sistem ini  terhadap mereka. Di area -area  
tempat untuk penanaman ekspor pemerintah dilaksanakan, orang-orang Jawa  di 
atas tingkat desa dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan baru dari sistem 
tanam paksa, yang lama kelamaan menurunkan popularitas mereka di mata 
sebagian besar penduduk (Sutherland, 1979, dan Van Niel, 1981). Antara tempat 
yang satu dengan tempat yang lain berbeda-beda proses perubahannya, sehingga 
orang tidak dengan sungguh-sunguh mengatakan bahwa kelompok-kelompok ini 
telah kehilanan kekuasaan sampai awal abad ke-20. Namun bagaimanapun juga, 
ada perubahan-perubahan, baik dalam tubuh pemerintahan di atas tingkat 
desa maupun dalam hubungannya dengan desa-desa. Bahkan ada beebrapa 
tulisan yang mengatakan bahwa Sistem tanam Paksa telah menghancurkan desa-
desa di Jawa. 
Sistem Tanam Paksa dianggap telah memaksa mengubah hak-hak 
pemilikan tanah dari milik perseorangan menjadi milik bersama, yang tentunya 
telah merusak hak-hak perseorangan atas tanah yang sebelumnya telah ada. Hak-
hak pemilikan tanah merupakan kepentingan subjektif bagi kelompok-kelompok 
pengusaha swasta yang hendak mengganti sistem ini  dengan bentuk 
eksploitasi mereka sendiri. Penyelidikan mengenai hak-hak tanah yang dimulai 
pada dasawarsa 1960-an dimaksudkan untuk memberikan data-data baku yang 
dipakai  untuk mendukung argumentasi seputar kepemilikan tanah secara lebih 
tajam dengan mengusut evolusi hak-hak tanah asli dan mengungkapkan betapa 
kebijakan-kebijakan pemerintah suatu kecenderungan evolusioner terhadap hak 
guna partikulir. Para penulis tahun 1920-an dan 1930-an memakai  bukti 
ini  untuk menerangkan proses disintegrasi ekonomi dan sosial desa menjadi 
semacam egaliterianisme yang diperlemah, di bawah dampak imperialisme Eropa. 
sedang Furnival dan Burger merupakan penulis yang fanatik mendukung 
kecenderungan ini , pembentangan paling jernih dari argumen ini dalam 
bahasa Ingris didapati pada penelitian Clifford Geertz mengenai involusi 
pertanian (Geertz, 1963). Dengan memintakan perhatian terhadap bukti-bukti 
dan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu, 
dalam menjelaskan perkembangan-perkembangan semenjak diperkenalkanya 
Sistem Tanam Paksa, mereka mendapati bahwa telah terjadi homogenisasi sosial 
di desa-desa Jawa yang memicu  “kemiskinan bersama”. 
Jauh sebelum Sistem Tanam Paksa dilaksanakan, kaum tani Jawa telah 
menyesuaikan diri secara pleksibel pada kebutuhan-kebtuuhan setempat, tempat 
di mana mereka berada. Sifat-sifat seperti bersedia bekerja keras, kemampuan 
perorangan, dan penyesuaian lentur kepada perubahan, banyak serupa dengan 
apa yang telah dikemukakan oleh Selo Soemardjan pada tahun-tahun 1960-an 
(Selo Soemardjan, 1968). Para pengusaha di atas tingkat desa mengetahui 
semuanya itu, lalu mengolahnya secara terinci dengan para kepala cacah mereka, 
yang oleh Hoadley, yang meneliti wilayah  Cirebon dan Priangan, dipandang 
sebagai abdi-abdi para penguasa yang lebih tinggi. Penyesuaian demikian 
memungkinkan para kepala di atas tinkat desa memenuhi kebutuhan pemerintah 
akan hasil-hasil pertanian dan tenaga buruh, sambil juga memenuhi kebutuhan 
mereka sendiri yang meningkat akan tenaga butuh, serta akan lahan penanaman 
yang lebih luas. Di bawah pengarahan mereka, pemakaian lahan yang tersedia 
dapat diatur dan penyesuaian-penyesuaian dapat diadakan. Hak-hak milik atau 
hak-hak pengawasan atas lahan berada di tangan para kepala cacah dan golongan 
elite lokal lainnya.  Tekanan-tekanan baru yang dikenakan pada kaum tani 
memaksa diadakannya perubahan atau perbaikan hak-hak kaum tani, namun  tidak 
banyak pengaruhnya atas hak-hak cacah atau hak-hak kepala pemerintahan di atas 
tingkat desa. Namun di dalam desa, para penduduk inti tetap memegang 
pengawasan atas sebagian besar lahan, dan beberapa orang petani kecil-tapi yang 
mandiri-terus mengendalikan lahan-lahan tradisional mereka. Kekuatan yang 
sebenarnya di tingkat desa jelas berada di tangan kelompok inti ini . 
berdasar  fakta  sistem agraris ini, maka Sistem Tanam Paksa 
diperkenalkan pada tahun 1830. Tujuannya adalah untuk mendapatkan komoditi-
komoditi yang akan dapat dijual di pasaran dunia, dan untuk tujuan ini  
Sistem Tanam Paksa memakai lahan dan tenaga kerja dari orang-orang desa di 
Jawa yang dibujuk atau dipaksa oleh para kepala di atas tingkat desa. Hal ini  
harus dilakukan dalam batas-batas Sistem Sewa Tanah (Van Niel, 1964).  Menarik 
untuk dikaji adalah bahwa an den Bosch masih berbicara tentang cacah  barangkali 
sisa pengalamannya sebelum itu di Jawa pada tahun-tahun pertama abad ke-19, 
dan ia rupanya sadar bahwa ikatan-ikatan vertikal dalam warga  Jawa. Seperti 
sudah dinyatakan, Van den Bosch merencanakan untuk mempergunakan hal-hal 
ini , namun ternyata caranya telah diputarbalikan sehingga keluar  selama 
tahun-tahun sistemnya dijalankan. Hubungan dengan cacah berlanjut sampai 
akhir tahun 1830, sesudah  mana konsep ini  ditinggalkan untuk 
mengutamakan urusan dengan rumah-rumah tangga agar lebih banyak dapat 
menyerap tenaga kerja.  Banyaknya kebutuhan tenaga kerja menjadikan perlunya 
penerapan suatu sistem yang dapat mengikatnya. 
Akhir-akhir ini penelitian sejarah mengetengahkan informasi mengenai 
apa yang terjadi di desa-desa sesudah tahun 1830, saat  pemerintah mulai 
menyusun pola-pola produksi baru, informasi ini  memberikan interpretasi 
yang berbeda atas kejadian-kejadian, berbeda dengan apa yang telah dikemukakan 
dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Bukti-bukti fisik dari Cirebon, Pekalongan, 
Jepara, dan Pasuruan-semua area  dimana penanaman untuk pemerintah telah 
diperkenalkan, dan memperlihatkan bahwa kepemimpinan desa telah berhasil 
menarik keuntungan dari kebutuhan-kebutuhan pemerintah itu dan memperkuat 
kekuasannya dan melakukan pendekatan pribadi di lingkungan struktur 
pedesaannya (Elson, 1979). Dengan memakai  hak-hak tanah mereka, baik 
secara perorangan maupun kolektif resmi, dan terutama dengan 
menyalahgunakan tenaga kerja paksa yang berada di bawah pengawasan mereka, 
memungkinkan bagi mereka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ke 
dalam. Dengan cara demikian, mereka mendapatkan keuntungan berlipat ganda, 
yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemerintah di atru pihak, dan menjadikan 
dirinya makmur dari hasil pembayaran yang masuk ke desa di lain pihak. 
Kewenangan pendistribusiannya sangat tergantung dari kehendak para pemimpin 
tradisional.  Selagi sistem ini  berjalan terus, para pegawai negeri bangsa 
Belanda tidak henti-hentinya untuk mengatur dan mengawasi keuangan yang 
masuk ke desa demi keikutsertaan desa dalam sistem. Biasanya usaha-usaha 
menghadapi siasat yang dipakai  para pemimpin desa untuk menguasai 
sebagian besar dari keuntungan-keuntungan itu tidak berhasil.  
Dalam prakteknya, tidak semua desa mengadakan reaksi yang sama, tidak  
semua peraturan penanaman sama, dan tidak semua perubahan itu terjadi pada 
waktu yang bersamaan (Fernando, 1982). Jika diamati secara mendalam, maka 
penelitian-penelitian yang baru memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih 
dapat dipahami, ketimbang terhadap pandangan-pandangan lama tentang 
pengaturan-pengaturan rumah tangga desa di Jawa sekarang. Dengan 
memakai  istilah yang lebih sederhana, maka desa-desa di Jawa masa kini 
menunjukkan perbedaan sosial yang tegas serta riil antara penduduk desa yang 
kaya dengan penduduk desa yang miskin. Mereka biasanya  tidak 
memperlihatkan pemerataan tingkat sosial maupun homogenitas sosial, yang 
disangka telah disebabkan oleh penerapan Sistem Tanam Paksa, berdasar  
tulusan-tulusan sejarah sosial sebelumnya. Di samping itu, desa-desa masa kini 
73 
 
juga menunjukkan suatu kohesi yang kuat, sesuatu yang biasanya tidak akan 
dilukiskan sebagai suatu pengaruh disintegrasi yang terasa lalu . 
Apabila suatu pandangan mengenai perbedaan sosial dan kekuatan 
ketahanan ekonomi desa kedua-duanya ada manfaatnya, maka dua masalah yang 
berhubungan dengan hal ini  harus dipertimbangkan. Masalah-masalah 
ini  merupakan masalah hak-hak kepemilikan tanah di dalam suatu desa dan 
berkesinambungan dengan tradisi-tradisi serta ikatan-ikatan sosial di antara para 
penduduk desa, dalam menghadapi perbedaan-perbedaan perekonomian yang 
lebih tajam. Dalam penulisan-penulisan sebelumnya, hak kepemilikan tanah 
mendapat perhatian besar, meskipun dalam konteks Eropa-centris, dan bukannya 
Jawa-centris.  Masuknya lahan-lahan pedesaan ke dalam kekuasaan bersama, 
dalam artian bahwa penduduk desa yang jumlahnya semakin bertambah ini  
meiliki hak untuk memiliki dan menggarap sebidang lahan, maka pasti terjadi baik 
sebelum maupun selama Sistem Tanam Paksa dijalankan. Oleh sebab itu 
dikebanyakan bagian di Jawa, hak untuk memakai  sebidang lahan pedesaan 
dan kewajiban guna melakukan pelayanan kerja dengan segala variasinya saling 
terkait, maka pembagian hak yang lebih luas untuk menggarap sebidang lahan, 
merupakan cara yang wajar untuk memperbesar wadah tenaga kerja, yang 
diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan akan tenaga kerja rodi dan pelayanan 
untuk penanaman. Namun bukti yang menunjukkan bahwa, kerja wajib juga 
dikenakan kepada orang-orang yang tidak memiliki  hak atas lahan sepanjang 
abad itu. Bagi pengamat Barat terutama pada akhir abad ke-19, penguasaan 
bersama yang semakin meningkat dari pemilikan lahan itu secara sosial merusak 
ketertiban desa. Kondisi ini  menimbulkan kesukaran bagi pengaturan 
kontrak-kontrak perorangan untuk menyewa tanah atau lahan. sedang 
pengaturan penguasaan bersama seringkali tidak meliputi hak penuh atas lahan 
ini , hanya terbatas pada penggunaannya dan juga sama atas hasilnya. Para 
pemimpin desa, yang hampir tidak pernah secara langsung menggarap lahan, 
dapat mempertahankan pengawasan sepenuhnya atas sebagian besar lahan-lahan 
pedesaan ini . Pengaturan-pengaturan kontrak dalam berbagai bentuk yang 
luas, tersedia bagi mereka dalam mempertahankan apa yang telah mereka miliki, 
sedang membiarkan orang lain menjalankan pekerjaan di ladang atau di mana 
74 
 
saja. Para petani kecil yang mandiri, yang bukan merupakan bagian dari lingkaran 
dalam desa itu atau yang telah melawan kemauan para pemimpin desa, barangkali 
telah memicu  hidup mereka tersiksa. Secara ekonomis, orang-orang 
demikian telah mengalami kerugian bahkan dapat dilakukan pemaksaan untuk 
meninggalkan lahan dan desa mereka. sedang  rumah tangga-rumah tangga 
dan tenaga kerja yang tidak pernah memiliki tanah, tidak begitu terpengaruh oleh 
otoritas kepala desa, sebab  mereka dimanapun selalu bekerja untuk orang lain. 
Oleh sebab itu penguasaan-penguasaan bersama ini  tampak seolah-olah 
menghilangkan perbedaan-perbedaan sosial di desa, meskipun sebenarnya 
tidaklah demikian. Begitu juga keadaan ini  tidak menimbulkan kesulitan 
yang berarti bagi para pengusaha perkebunan swasta yang ingin menyewa lahan-
lahan pedesaan. Dalam hal ini, sekali lagi biasanya kepala desa menguasai keadaan 
dan sesuatu persetujuan selalu dapat dicapai. 
Dalam struktur golongan sosial dan ekonomi desa ini, peralihan tidak 
secara keseluruhan mengubah ikatan yang menyatukan desa sebagai suatu 
kesatuan sosial dan sebagai suatu unit yang produktif. Meskipun para penduduk 
desa memahami perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi, desa juga tetap 
merupakan pusat sistem penghidupan bagi sebagian besar penduduk. Benar, 
orang-orang berpindah ke kota dan menjabat pekerjaan bukan jenis pertanian, 
sedang  yang lain-lain menggabungkan diri dengan perusahaan-perusahaan 
yang bergerak di  bidang ekspor. namun  sebagian besar orang Jawa, namun  tinggal 
di desanya. Bahkan sebagian dari mereka yang tampaknya sama sekali terpisah, 
memelihara ikatan dengan desanya dalam berbagai cara. Pengaturan yang sedikit 
banyaknya bersifat ganda ini, ternyata merupakan salah satu batu-batu fondasi 
dari cara pengaturan tenaga buruh murah yang menguntungkan bagi sektor 
ekspor dari perekonomian. Desa, yang mengumpulkan dan mengelola 
penyediaan tenaga buruh murah ini, harus mempertahankan ikatan-ikatan dan 
hubungan  tradisional agar dapat memenuhi fungsi yang tidak 
dihapuskan ini dengan cara mengubah buruh-paksa menjadi buruh yang diberi 
upah, sebab tingkat upah yang rendah tergantung pada simbiose yang 
berkesinambungan antara ekspor swasta dengan ekonomi pedesaan. Dalam 
konteks inilah para pemimpin desa harus membangun dan memperluas 
75 
 
kekuasaan mereka. fakta -fakta  itu tidak memicu mereka menjadi 
petani mandiri yang berorientasi pada pasar, walaupun dalam bidang ini mereka 
memang melakukan fungsi-fungsi sebagai perantara. Mereka tidak dapat 
mengabaikan hubungan  sosial desa, sebab  desalah satu-satunya yang 
merupakan tumpuan mereka sebagai basis kelembagaan yang tunggal untuk 
memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang berkesinambungan. Dalam kaitan 
suatu sistem ekonomi yang padat karya, maka para pemimpin desa, untuk 
kemajuan ekonomi mereka sendiri baik di desa maupun dengan sektor yang 
berorientasi pada ekspor, harus mempertahankan ikatan-ikatan tradisional dan 
kewajiban-kewajiban sosial.  sebab  dengan dipertahankannya sistem sosial 
tradisional, maka para pemimpin desa akan mudah memperoleh tenaga kerja baik 
untuk kepentingannya sendiri, maupun untuk pengabdian atau melayani 
pemerintah kolonial. Akhirnya yang menjadi objek pemerasan adalah penduduk, 
yakni disamping harus memenuhi tuntutan pemerintah kolonial, di lain sisi harus 
tunduk pada para kepala desa sebagai pemimpin tradisional mereka. Tidak heran 
apabila saat  terjadi resistensi yang dilakukan oleh warga  yang merasa 
tertindas, maka yang paling pertama menjadi sasaran adalah para pemimpin 
tradisional. Fenomena ini dapat dimafhumi mengingat merekalah para pemimpin 
tradisional yang dirasa secara langsung melakukan politik eksploitasi terhadap 
rakyat, baik berkenaan dengan masalah tanah, maupun yang berhubungan dengan 
tenaga kerja. Memang ada tesis yang mengatakan bahwa para pemimpin 
tradisional juga sebenarnya merasa tertekan oleh tindakan pemerintah kolonial, 
sehingga mereka terpaksa harus melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah 
dan rasional terhadap penduduk. Tesis ini  tampaknya tidak dapat 
seluruhnya dapat digeneralisasikan mengingat banyak penduduk yang hidupnya 
tertekan di bawah payung birokrat yang selama itu sangat menyengsarakan. 
Sistem Tanam Paksa jelas-jelas telah mendatangkan kesengsaraan 
berkesinambungan terhadap hidup rakyat, meskipun tidak secara menyeluruh 
seperti halnya yang terjadi di luar Pulau Jawa. Sebagaimana yang telah dibahas 
dimuka, maka pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Luar Jawa, dampaknya bagi 
warga  tidak separah sebagaimana halnya yang terjadi di Jawa, kalau tidak 
dikatakan hampir tidak berdampak sama sekali. Hal ini  disebab kan di luar 
76 
 
Pulau Jawa tanam paksa telah berjalan sebelum di Jawa di berlakukan, dan 
diterapkan di lahan-lahan tidur yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk. 
Meskipun dalam hal ikatan tradisional di luar Jawa juga terjadi kerja paksa 
berdasar  ikatan-ikaan tradisional, namun  dampaknya tidak separah di Jawa. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
77 
 
BAB V 
DIMENSI-DIMENSI KOLONIALISME DI HINDIA BELANDA 
 
 
A. Pengaruh Kolonial di Berbagai area  
     1. Latar Belakang Terjadinya Pengaruh Kekuasaan Kolonial 
Kebijakan pemerintah kolonial antar berbagai area  di Indonesia 
memiliki  karakteristik yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, 
diantaranya: 
a. sebab  perbedaan alam 
Kondisi alam baik geografis, topografis, maupun demografis sangat 
mempengaruhi pola kebijakan pemerintah kolonial. Untuk area  
pertanian, pemerintah kolonial menerapkan sistem pemerintahan dengan 
mengutamakan pengembangan hasil-hasil pertanian.  Untuk area  
perkebunan, di situlah pemerintah akan menerapkan system ekonomi yang 
berlandasakan perkebunan. 
b. Perbedaan letak/nilai strategis 
Letak suatu area  sangat menentukan pengaruh kekuasaan 
kolonial. Pada dasarnya tidak seluruh area  Indonesia mampu tersentuh 
kekuasaan kolonial. Pemerintah kolonial mengutamakan pantai sebagai 
Bandar perdagangan untuk memperlancar arus sirkulasi bahan ekspor.  
c. Perbedaan pendekatan kaum kolonial 
Setiap wilayah memiliki  reaksi atau tanggapan yang berbeda 
dengan kedatangan kolonial. saat  kekuatan kolonial muncul, ada yang 
langsung menunjukan sikap kooperatif, ada pula yang langsung 
menganggapnya sebagai musuh. Kaum kolonial harus melakukan strategi 
dalam menghadapi berbagai keadaan  ini. 
d. Kekuasaan/kekuatan politik  
Pendekatan kaum kolonial juga berdasar  oleh kekuatan 
kekuasaan politik wilayah setempat. Terhadap kerajaan yang masih kuat dan 
besar, kaum kolonial akan berhati-hati dalam menanamkan pengaruhnya. 
 
78 
 
3. Perbedaan Pengaruh Antar area  di Indonesia 
sebab  latar belakang di atas, maka terjadi perbedaan pengaruh antar 
area  di Indonesia. Pada masa awal, kaum kolonial lebih mudah menanamkan 
kekuasaan politiknya di area  Indonesia timur, seperti Maluku dan Sulawesi. 
Dalam hal politik kaum kolonial diuntungkan oleh persaingan antar kerajaan 
kecil, sehingga dengan mudah kaum kolonial mampu menanamkan hegemoni. 
Wilayah Indonesia bagian timur merupakan area  perkebunan 
rempah-rempah, sehingga eksploitasi kaum kolonial-pun dalam komoditas 
rempah-rempah. Hal demikian juga mirip yang terjadi di area  Sulawesi dan 
sekitarnya.Fenomena ini berbeda dengan keadaan di Jawa sebagai area  agraris 
pertanian.  Belanda-pun melakukan eksploitasi memakai  lahan pertanian 
ini . Walaupun lalu   pola ini  berubah, sebab  Belanda 
lalu  mengubah pola pertanian pangan menjadi perkebunan. Akibatnya 
rakyat Jawa sangat menderita.  
Eksploitasi sumber daya alam bagi warga  Jawa merupakan yang 
terberat disbanding area -area  lain di luar Jawa. Rakyat Jawa merupakan 
penduduk yang paling menderita disbanding area  lain, mengapa? Sebab Jawa 
adalah wilayah yang paling padat penduduknya, dan sistem  politknya relatif 
lebih mapan dibandingkan area  lain. Belanda dengan mudah memanfaatkan 
sistem  administrasi dan politik yang telah ada untuk melakukan eksploitasi. 
Jawa juga merupakan pusat politk kekuasaan kolonial Belanda. Pada 
awalnya, kekusaan politik dan ekonomi ada di area   timur (Maluku). Seiring 
perkembangan politik, Belanda mengalihkan pusat kekuasaan ke Jawa (Batavia). 
Selain untuk mengamankan area  barat dari ancaman Portugis di Malaka. 
Belanda juga memandang bahwa Jawa lebih strategis untuk lalu-lintas 
perdagangan. 
Perluasan penguasaan VOC ke luar Jawa terutama sesudah  masuknya 
investasi perkebunan swasta terutama di Sumatera. Keadaan ini  
mendorong Belanda semakin meningkatkan eksploitasi di luar Jawa pada abad 
XIX. Sebelumnya VOC kurang serius menguasai area  luar pulau Jawa.  
Sangat wajar apabila warga  Jawa lebih dahulu hancur dibandingkan area  
luar Jawa. Perluasan pengusaan semakin tegas memasuki abad XX dengan 
79 
 
munculnya politik ethis. Kebijakan ini telah membuka pintu semakin lebar 
dalam mengeksploitasi area  luar Jawa. Apalagi pada awal abad XX seluruh 
Indonesia telah menjadi kekuasaan Belanda. 
 
B.  Perlawanan bangsa Indonesia Terhadap Hindia Belanda Abad XIX 
Sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda rakyat Indonesia telah 
melakukan perlawanan di berbagai area . Pada masa pemerintahan Hindia 
Belanda, perlawanan rakyat semakin besar. Berbagai peristiwa perang besar terjadi 
pada abad XIX. Hal ini tidak lepas dari semakin besarnya nafsu Belanda 
menguasai Indonesia dan semakin beratnya penderitaan bangsa Indonesia. 
Hingga akhir abad XVIII, Belanda belum berhasil menguasai Indonesia 
secara keseluruhan. Masih banyak kerajaan-kerajaan besar yang didukung 
kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi ancaman Belanda. Perlawanan abad XIX 
benar-benar membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar. Bahkan beberapa 
kali Belanda mengalami krisis keuangan sebab  menghadapi perlawanan-
perlawanan ini . 
 
9. Perang Saparua di Ambon 
Kalian masih ingat dengan kekuasaan Inggris yang menggantikan 
Belanda  1811-1816? Peralihan kekuasaan ini  menyadarkan rakyat, 
bahwa Belanda bukanlah kekuatan yang paling hebat. saat  Belanda kembali 
berkuasa di Indonesia tahun 1817,  rakyat Ambon mengadakan perlawanan  
dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Pattimura memimpin pemberontakan di 
Saparua, dan berhasil merebut benteng Belanda serta membunuh Residen 
van den Berg. Pemberontakan Pattimura dapat dikalahkan sesudah  bantuan 
Belanda dari Batavia datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap 
dan dihukum gantung. 
Tokohnya adalah Haji Miskin, Haji Malik, dan Haji Piabang. Kelompok 
pembaharu Islam di Smatera Barat ini Kaum Padri disebut Kaum Putih, 
sebab  selalu mengenakan jubah putih, sedang  Kaum Adat disebut Kaum 
Hitam, sebab  selalu mengenakan jubah hitam. Simbol pakaian ini yang 
memperuncing perselisihan. Gerakan Padri menentang perjudian,  dan aspek 
hukum garis keturunan/hukum adat disebut sebagai Kaum Padri. 
Ide pembaharuan Kaum Paderi berbenturan dengan kelompok 
adat/Kaum  Penghulu. Belanda memanfaatkan perselisihan ini  dengan 
mendukung Kaum Adat yang posisinya sudah terjepit. Pada bulan Februari 
1821 Kaum Penghulu (Adat) menandatangi perjanjian yang menyerahkan 
kekuasaan Minangkabau kepada Belanda sebagai imbalan bantuan Belanda 
untuk membantu Kaum Adat melawan Kaum Padri. 
 
   a.  Perlawanan  Padri Tahap I (1821-1825) 
Perlawanan kaum Padri berubah dengan sasaran utama Belanda 
meletus tahun 1821. Kaum Padri  dipimpin Tuanku Imam Bonjol (M 
Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan Alahan. 
Perlawanan kaum Padri berhasil mendesak benteng-benteng Belanda. 
sebab  di Jawa Belanda menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro 
(1825-1830), Belanda akhirnya melakukan perdamaian di Bonjol tanggal 
15 Nopember 1825. 
 
  b.  Perang Padri Tahap II (1825-1837)  
Belanda menitikberatkan menghadapi perlawanan Diponegoro 
hingga tahun 1830. sesudah  itu Belanda kembali melakukan penyerangan 
terhadap kedudukan Padri. Kaum Adat yang semula bermusuhan dengan 
kaum Padri akhirnya banyak yang mendukung perjuangan Padri. Bantuan 
dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Padri. 
sesudah  berhasil memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro di 
Jawa, Belanda kembali konsentrasi menghadapi perang Padri. Belanda 
bahkan berhasil memanfaatkan Sentot Ali Basyah Prawiryodirjo  salah 
satu pimpinan pasukan Diponegoro yang telah menyerah kepada Belanda 
81 
 
untuk turut memperkuat pasukan Belanda. Kekuatan Belanda benar-
benar pulih, apalagi dengan banyaknya tentara sewaan dari orang pribumi. 
Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort 
de Kock di Bukittinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua 
benteng pertahanan  Dengan siasat ini akhirnya Belanda menang ditandai 
jatuhnya benteng pertahanan terakhir Padri di Bonjol tahun 1837.  
Tuanku Imam Bonjol ditangkap, lalu  diasingkan ke Priangan, 
lalu  ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864. 
Berakhirnya Perang Padri, membuat kekuasaan Belanda di Minangkabau 
semakin besar. Keadaan ini lalu  mendukung usaha Belanda untuk 
menguasai wilayah Sumatera yang lain. 
 
11.  Perang Diponegoro di Jawa Tengah (Yogyakarta) 1825-1830 
Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari 
campur tangan Belanda dalam urusan politik kerajaan Yogyakarta 
Meninggalnya Hamengkubuwono IV tahun 1822 menimbulkan 
perselisihan tentang penggantinya. Saat itu putra mahkota baru berumur 3 
tahun. Penderitaan rakyat semakin  menjadi, terutama kegagalan panen 
pada tahun 1820-an. Di samping itu, rakyat sudah  jenuh dengan  
perlakuan Belanda yang tidak pernah menghormati hak-hak rakyat. 
Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825, dengan 
memasang patok-patok pada tanah leluhur Diponegoro. Terjadi 
perselisihan  saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti 
patok-patok ini . Belanda segera mengutus serdadu untuk 
menangkap Pangeran Diponegoro. Tanggal 20 Juli Tegalrejo direbut dan 
dibakar Belanda.  
Diponegoro berhasil meloloskan diri dan segera 
mengumandangkan Perang Jawa (1825-1830). Pemberontakan ini  
menjalar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun pusat perlawanan di  
kawasan Yogyakarta. Limabelas dari 29 pangeran bergabung mendukung 
Diponegoro. Belanda benar-benar terjepit. Belanda berusaha membujuk 
pemberontak dengan memulangkan Hamengkubuwono II dari 
82 
 
pengasingannya di Ambon. namun  langkah ini gagal. lalu  Belanda 
mencoba menerapkan siasat benteng-stelsel. Dengan sistem ini Belanda 
mampu memecah belah  jumlah pasukan musuh. 
Pada tahun 1829 Kyai Maja ditangkap Belanda. lalu  disusul 
Pangeran Mangkubumi, dan panglima Sentot Ali Basyah Prawiryodirjo. 
sesudah  kekalahan ini, Sentot Ali Basyah terpaksa menjalankan tugas 
membantu Belanda dalam menumpas perang Padri di Sumatera Barat. 
Pada bulan Maret 1830 Diponegoro akhirnya mau mengadakan 
perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan 
ini  hanya sebagai jalan tipu muslihat. sebab  lalu  Diponegoro 
ditangkap dan diasingkan  ke Manado, lalu  ke Makasar hingga wafat 
tahun 1855. Dengan berakhirnya Perang Jawa (Diponegoro), tidak lagi 
muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa. Perang Diponegoro adalah 
perlawanan besar. Sebanyak 8000 serdadu Belanda, dan 7000 tentara 
sewaan Belanda mati . Lebih dari 200.000 penduduk Jawa Tengah dan 
Yogyakarta tewas. Sehingga penduduk Yogyakarta hanya tinggal 
setengahnya. Betapa gigihnya bangsa kita untuk menegakan keadilan dan 
mempertahankan harga diri! 
 
4.  Perang Aceh (1873-1904) 
Pada tahun 1871 diadakan Traktat London, dimana Belanda 
menyerahkan Sri Lanka kepada Inggris, dan Belanda mendapat hak di 
Aceh. berdasar  traktat ini , Belanda memiliki  alasan untuk 
menyerang istana Aceh tahun 1873. Saat itu Aceh masih merupakan negara 
merdeka. Belanda juga membakar Masjid Baiturrahim sebagai benteng 
pertahanan Aceh14 April 1873. Dengan semangat jihad (perang membela 
agama Islam) rakyat mengadakan perlawanan. Jendral Kohler terbunuh. 
Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh 
Belanda tidak berhasil. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, 
dan keuangan terus terkuras.   
Belanda sama sekali tidak mampu menghadapi secara fisik 
perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal ini , akhirnya Belanda  
83 
 
mengutus Dr Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar 
seorang ahli bahasa, sejarah dan sosial Islam untuk mencari kelemahan 
rakyat Aceh. sesudah  lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan 
saran-saran kepada Belanda mengenai cara  mengalahkan orang Aceh. 
Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab 
karakter orang Aceh tidak akan pernah menyerah. Jiwa jihad orang Aceh 
sangat tinggi. Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba 
antara golongan eleebalang (bangsawan)  dengan ulama. Belanda menjanjikan 
kedudukan pada uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, dimana 
banyak uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda 
memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila Kaum 
Ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin 
terdesak.  
Para tokohnya banyak yang gugur. Teuku Umar gugur di 
pertempuran Meulaboh 1899. Sultan Aceh Mohammad Daudsyah dapat 
ditawan tahun 1903 dan diasingkan hingga meninggal di Batavia. Panglima 
Polem Mohammad Daud juga menyerah tahun 1903. Cut Nyak Dien, 
tokoh pemimpin perempuan ditangkap tahun 1905 lalu  diasingkan ke 
Sumedang. Gugurnya pahlawan perempuan Cut Meutia tahun 1910,  
perlawanan Aceh terus menyusut. Hingga tahun 1917 Belanda masih 
melakukan pengejaran, sebagai tanda bahwa perlawanan Aceh tidak pernah 
padam. Belanda sendiri telah mengumumkan perang Aceh selesai tahun 
1904. 
 
5. Perlawanan Sisingamangaraja Sumatera Utara (1878-1907) 
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Utara dilakukan 
Sisingamangaraja XII. Perlawanan di Sumatera Utara berlangsung selama 24 
tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan 
Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di 
Sumatera Utara), Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan 
Sisingamangaraja dapat dikalahkan sesudah  Kapten Christoffel berhasil 
mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra 
84 
 
beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur, sehingga seluruh 
Tapanuli dapat dikuasai Belanda. 
 
6. Perang Banjar (1858-1866) 
Perang Banjar berawal saat  Belanda campur tangan dalam urusan 
pergantian  raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan 
kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai rakyat. Pemberontakan 
dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, 
Pangeran Antasari memimpin perlawanan sesudah  Prabu Anom tertangkap 
Belanda.  Dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran 
Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah, dan 
berakhirlah perlawanan Banjar di pulau Kalilmantan. Pemberontakan 
benar-benar dapat dipadamkan tahun 1866. 
 
7.  Perang Jagaraga di Bali (1849-1906) 
Perang Jagaraga berawal saat  Belanda dan kerajaan di Bali 
bersengketa tentang hak tawan karang.  Hak tawan karang berisi bahwa 
setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di 
area  ini . Pemerintah Belanda memprotes raja Buleleng yang 
menyita 2 kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak menerima tuntutan 
Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya. Persengketaan ini 
memicu Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng 
tahun 1846. Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sedang Raja 
Buleleng menyingkir ke Jagaraga dibantu oleh Kerajaan Karangasem. 
sesudah  berhasil merebut Benteng Jagaraga, Belanda melanjutkan 
ekspedisi militer tahun 1849. Dua kerajaan Bali Gianyar dan Klungkung 
menjadi sasaran Belanda.  Tahun 1906 seluruh kerajaan di Bali jatuh ke 
pihak Belanda sesudah  rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati, 
yang dikenal dengan perang puputan. 

Perlawanan Penting hingga awal abad XX 
 
8.  Perlawanan Gerakan Sosial 
Gerakan sosial adalah gerakan protes berupa perlawanan yang 
dilakukan oleh petani, gerakan ratu adil,  dan gerakan keagamaan atau 
kepercayaan. Banyak sekali perlawanan yang tidak dilakukan oleh 
bangsawan/kerajaan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan petani biasanya 
dilakukan  oleh petani sebab  kesewenang-wenangan penguasa. Benturan 
deengan hukum adat dan masalah upah sebagai pemicu  perlawanan 
petani. Pelopornya biasanya orang yang berpengaruh di lingkungan 
ini . Gerakan ini bersifat sedang, sebab  biasanya berhenti sesudah  
pemimpinnya menyerah atau mati. Contoh gerakan petani adalah 
perlawanan  petani di Ciomas Jawa Barat tahun 1886, perlawananan  
Condet (Jakarta) tahun 1916 dipimpin Entong Gendut, dan sebagainya. 
Gerakan Ratu Adil adalah gerakan yang muncul sebagai akibat 
keyakinan akan datangnya ratu adil. Ratu adil dianggap yang akan 
menyelamatkan rakyat dari belenggu penindasan. Pemimpinnya biasanya 
mengaku mendapat wahyu untuk menyelamatkan rakyat. Gerakan 
keagamaan, adalah gerakan yang muncul sebagai dasar keagamaan terutama 
untuk menegakan syari’at yang benar/pembaharuan. Ketiga gerakan sosial 
ini sangat mempengaruhi perang-perang besar yang terjadi di Indonesia. Di 
samping itu mereka juga sering melakukan perlawanan-perlawanan kecil, 
yang biasanya sangat mudah dipatahkan Belanda. 

D. Perkembangan Agama-agama pada masa Kolonial  
Sebagaimana sudah disebutkan, salah satu pendorong misi kedatangan 
bangsa Eropa ke Indonesia adalah Gospel yaitu menyebarkan agama Nasrani. 
Secara garis besar, Agama Nasrani dibedakan dalam agama Katholik dan agama 
Kristen Protestan. Para penyebar agama Katolik disebut misionaris. Para 
misionaris ini umumnya dibantu oleh para pastor, bruder, dan suster.  sedang  
zending adalah sebutan para penyebar agama Kristen Protestan.  Zending berasal 
dari bahasa Belanda yang artinya penyebar. 
 
2. Perkembangan Agama  Katolik di Berbagai area  Indonesia 
Pada akhir abad 13 telah ada beberapa pastor datang ke kawasan 
Nusantara.  Bukti paling awal menunjukkan bahwa pada tahun 1291, Pastor J. 
de Monte Corvio OFM telah mengunjungi pantai timur Sumatera.  Corvio 
singgah dalam misinya menuju China. Kedatangan Pastor ini lalu  
disusul Rohaniawan Fransiskan bernama Odorico de Pordonone. Ia singgah 
di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa pada tahun 1321.  
 
a. Perkembangan di Maluku 
Bukti keberadaan agama Katolik di Maluku paling awal dikaitkan 
dengan pembangunan Benteng Sao Paulo milik Portugis di Maluku.  Pada 
acara peletakan batu pertama benteng tanggal 24 Juni 1522,  banyak orang 
Maluku yang dipermandikan untuk menjadi Katolik. Proses perkembangan 
agama Katolik semakin intensif  saat  pada tahun 1545-1546 armada 
Spanyol berlabuh di Maluku. Didalam rombongan ini  ada 4 
orang imam dari ordo Santo Augustinus.  Keempat imam ini bertemu 
dengan Pastor Fransiskus Xaverius di Ambon. Fransiskus Xaverius (1546-
1547) adalah misionaris yang gigih dalam menyebarkan agama Katolik di 
Ambon, Ternate, dan Halmahera. Pada saat itu di Ambon telah berhasil  
didirikan 4 gereja Katolik, dengan pemeluk 16.000 orang. Pada saat itu 
kerajan-kerajaan di Maluku seperti Ternate, Tidore, Hitu di Ambon sudah 
memeluk Islam.  
Agama Katolik nampaknya kurang dapat berkembang lebih jauh di 
Maluku. Hal ini disebabkan panglima Benteng Sao Paulo Tristao d’Atayde 
kurang bisa membina persahabatan dengan penduduk asli. Muncul 
lalu  kebencian dan pemberontakan kepada Portugis.  Kebencian 
ini  berpengaruh pada keberadaan agama Katolik. Agama Katolik 
diidentikkan sebagai agama kaum penjajah.  Beberapa orang Portugis mati, 
dan Pastor Simon vaz dibunuh di Pulau Morotai. 
 
b. Perkembangan di Sumatera 
Usaha penyebaran agama Katolik di Aceh dimulai sejak tahun 1600. 
Penyebaran ini dilakukan oleh Pastor Amaro. Pada tahun 1638 datang 
gelombang misionaris kedua. sebab  pertentangan Aceh dengan Portugis, 
para misionaris ikut terbunuh. Usaha penyebaran agama Katolik dilakukan 
kembali antara tahun 1668-1788.  Penyebaran ini dapat dilakukan sebab  
hubungan Aceh Portugis telah membaik. Para misionaris dikirim dari Goa, 
dan membangun gereja serta pastoran di Aceh. Kegiatan mereka masih 
terfokus untuk melayani orang-orang Eropa. 
 
c. Perkembangan di Jawa 
Antara tahun 1569-1599, para imam Fransiskan berhasil melakukan 
penyebaran agama Katolik di area  Blambangan.  Keberhasilan ini 
mendorong para misionaris untuk datang ke Jawa. Pada tahun 1622-1783 
para misionaris telah  melakukan kunjungan di pantai utara Jawa. Mereka 
berhasil mendirikan pos-pos misi Katolik di Cirebon, Magelang, Bogor, 
Malang, dan Madiun. 
Pusat misi Katolik di Jawa Tengah adalah Muntilan dan Mendud 
(Magelang). Salah seorang perintis Gereja Katolik terkenal Jawa Tengah 
adalah Pastor Fransiskus Van Lith SJ(1863-1926). Ia giat melakukan 
penyebaran agama Katolik melalui media pendidikan dan sosial. Untuk itu 
didirikanlah sekolah-sekolah. Pada akhir tahun 1923, telah berdiri kurang 
lebih 52 sekolah Katolik, dengan 5840 murid. 
d.  Perkembangan di Flores 
Perkembangan agama Katolik yang tergolong cepat di samping di 
wilayah Muntilan, Magelang, juga terjadi di wilayah Flores. Antara tahun 
1569-1599 agama Katolik telah berkembang di wilayah ini. Tokoh terkenal 
dalam penyebaran ini adalah Pastor Antonia Taveira.  Pada abad XVIII 
para misionaris hanya memuusatkan penyebaran agama Katolik di Dilli, 
Timor Leste(Timor Loro Sae). Sampai sekitar tahun 1900 jumlah 
keseluruhan umat Katolik di Indonesia adalah 50.300 orang. Adapun 
bangunan sekolah Katolik yang didirikan mencapai 69, dengan rincian 12 di 
Jakarta, 10 di Semarang, 22 di Sulawesi Utara, dan 5 di Flores Timur. 
 
4. Perkembangan Agama Kristen  Protestan di Berbagai area  
Indonesia 
Di samping agama Katolik, pada jaman kolonial juga berkembang 
agama Kristen Protestan. Penyebaran agama Kristen Protestan banyak 
dilakukan oleh para pendeta Belanda.   
 
a. Perkembangan di Sulawesi  
Agama Kristen Protestan masuk ke Minahasa pada tahun 1831. 
Agama ini disebarkan oleh Zending dibawah pimpinan Pendeta Riedel 
dan Schar. Untuk mengintesifkan penyebaran agama Kristen Protestan 
mereka mendirikan sekolah pendidikan guru (Kweekschool) tahun 1850. 
lalu  pada tahun 1868 dirikanlah Sekolah Guru Injil  di Tomohon. 
Penyebaran agama Kristen Protestan ini dapat berjalan baik sebab  
mendapat sponsor dari Nederlandsch Zendelings Genootschap (NZG) yang 
berkedudukan di Rotterdam. 
b. Maluku 
Penyebar agama Kristen Protestan di Maluku yang terkenal adalah 
Joseph Kam. Di Maluku ia aktif menyebarkan agama Kristen Protesan. 
Untuk memperlancar dan mengefektifkan penyebaran agama ia 
mendirikan kegiatan pendidikan untuk pribumi. 
c. Jawa 
Antara abad ke-17 dan ke-18 kurang lebih ada 154 pendeta 
yang aktif dalam penyebaran agama  Kristen di Jawa. Pada masa Inggris, 
untuk menyebarkan agama Kristen Protestan Nederlandsch Zendelings 
Genootschap (NZG) bekerjasama dengan London Mission Society. Dengan 
kerjasama ini penyebaran agama menjadi lebih efektif.  
Perkembangan Kristen  di Jawa semakin pesat.  Hal ini ditandai 
dengan berdirinya Sinode GKJ (Gereja Kristen Jawa). Untuk 
memperingati berdirinya Sinode GKJ tanggal 17 Februari dijadikan 
sebagai hari lahir Sinode GKJ. Untuk wilayah Jawa Barat dan Jakarta 
didirikan GKP (Gereja Kristen Pasundan). Peristiwa itu terjadi pada 
tanggal 14 Nopember 1934 berdiri. 
 
d. Sumatera 
Penyebaran agama Kristen Protestan di Sumatera dipelopori 
oleh Dr Nomensen. Penyebaran itu terjadi kurang lebih pada tahun 1860. 
Saat itu tanah Batak dipimpin Sisingamangaraja XI. Penyebaran agama 
Kristen Protestan di wilayah ini memang cukup berhasil. Dalam 
perkembangan selanjutnya, agama Kristen menjadi salah satu agama yang 
banyak dianut warga  di Sumatera Utara.  Dalam penyebaran agama 
Kristen protestan wilayah ini memang memegang peranan yang penting. 
Dari  area  ini agama Kristen selanjutnya disebarkan ke area  
Kalimantan bagian barat. 
 
5. Perkembangan Agama Islam di berbagai area  Indonesia Pada Masa 
Kolonial 
Tujuan misionaris dengan tujuan ekonomi dan politik bangsa-
bangsa Barat ke Indonesia berbeda. Namun sebab  keberadaan mereka yang 
beriringan baik waktu dating maupun tempat tinggal yang mereka tempati, 
sering memicu persepsi sebagian warga  Indonesia pada saat itu 
bahwa misionaris identik dengan penjajahan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari 
kepentingan ekonomi dan politik yang ada diantara keduanya. 
Peristiwa yang menjadi momentum berubahnya peta Islamisasi di 
Indonesia, adalah kejatuhan Malaka tahun 1511, dan Ternate 1522 oleh 
Portugis. Pada saat itu Malaka dan Maluku merupakan pusat-pusat 
persebaran Islam di Nusantara. Dampak negatif yang timbul adalah bahwa 
pintu masuk Islamisasi melalui selat Malaka terhambat oleh kekuasaan 
Portugis. Selain itu, bahwa kekuasaan politik Islam mulai terancam oleh 
keberadaan Portugis. namun , penguasaan Malaka juga memberikan 
dampak positif bagi perkembangan Islam di Nusantara.  
a. Dengan jatuhnya Malaka, para saudagar dan penyebar agama Islam 
mencari jalan lain, yakni pantai barat Sumatera, sehingga Islam semakin 
merasuk di wilayah Nusantara. sesudah  Malaka jatuh, maka saudagar-
saudagar Islam memusatkan perhatian pada pusat-pusat perdagangan di 
Aceh, Sumatera Utara, Banten, Demak, melalui selat Sunda. Dari lokasi 
ini  mereka terus melakukan perjalanan ke timur hingga Borneo dan 
Maluku. 
b. Tumbuhnya Islam sebagai kekuatan politik di wilayah Nusantara. Pada 
masa awal kedatangan bangsa Barat, Islam telah tumbuh dengan suburnya 
di Nusantara. Perkembangan pendidikan, pusat perdagangan dan politik 
yang kuat. Pada abad XVI, di Jawa tumbuh dua kerajaan besar dan kuat, 
yakni Mataram dan Banten. Demikian juga dengan area -area  lain 
seperti Aceh, Padang, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Kerajaan-
kerajaan Islam inilah yang pada masa penjajahan berikutnya banyak 
berperan dalam mengusir penajajah. 
 
Perkembangan agama lain selain Islam dan Kristen di Indonesia 
tidaklah terlalu menonjol. Agama Hindu dan Buda telah mengalami 
kemunduran sejak berkembangnya agama  Islam dan munculnya Islam 
sebagai kekuatan politik. Hanya pulau Bali dan Jawa bagian timur yang masih 
besar penganut Hindu dan Buda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda 
mulai awal abad XIX, bangsa Indonesia tidak semakin berkurang 
penderitaannya. Bahkan Pemerintah Belanda semakin luas menguasai wilayah 
Indonesia. Berbagai kerajaan Islam yang telah lama berkembang mulai runtuh 
atau semakin berkurang kekuasaannya. Kondisi ini memicu berbagai 
perlawanan rakyat Indonesia di berbagai area . 
Perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda dipimpin oleh 
para tokoh kerajaan didukung sebagian besar warga . Perang Padri di 
Sumatera Barat, Perang Diponegoro di Yogyakarta dan Jawa Tengah, perang 
Aceh,  adalah contoh perlawanan terbesar yang menyita kekuatan Belanda. 
Dengan berbagai tipu muslihat, akhirnya Belanda mampu mematahkan 
berbagai perlawanan ini . Pelajaran berharga dari kegagalan perjuangan 
bangsa Indonesia di berbagai area  untuk mengusir Belanda adalah 
perlawanan yang sendiri-sendiri. Dengan perlawanan sendiri-sendiri, Belanda 
lebih mudah mematahkan, apalagi dengan strategi adu domba. Akhirnya pada 
akhir abad XIX sebagian besar wilayah Indonesia telah berhasil dikuasai 
Belanda. 
Akibat kolonialisme Belanda di Indonesia, penderitaan rakyat 
semakin bertambah. Kondisi sosial dan ekonomi bangsa Indonesia sangat 
memprihatinkan. Secara politik, kerajaan-kerajaan di Indonesia telah berada 
di bawah kendali Belanda. Masuknya budaya Barat ke Indonesia merupakan 
dampak lain seperti dalam berpakaian, bergaul, dan sistem ekonomi. Di sisi 
lain, perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia 
bersamaan dengan penyebaran agama Kristen dan Ketholik di tanah air. 
Penyebaran agama Kristen dan Katholik tidak identik dengan penjajahan. 
Sebab misionaris yang datang ke Indonesia memilki tujuan khusus dalam 
menyebarkan agama.  
 
 
Jika membahas perkembangan negara dari suatu organisasi yang sangat 
sederhana sampai yang modern, biasanya  ahli-ahli ilmu politik selalu 
berpijak dalam bidang antropologi. Dua bidang antropologi ini dalam 
hubungannya dengan negara membahas organisasi, pemimpin, tradisi, dan 
kebudayaan. Oleh sebab  itu bidang antropologi politik sebagai pendekatan 
untuk menjelaskan sejarah ketatanegaraan, tidak terlepas dari kerangka politik 
yang mendukungnya. 
Ada satu buku yang berjudul  Antropologi Sosial: Sebuah Pengantar, 
karangan Huizinga, salah satu babnya membahas bentuk-bentuk negara yang 
primitif. Dalam buku ini  dijelaskan bahwa bentuk yang paling umum dari 
sistem politik di antara warga -warga  yang dipelajari oleh ahli 
antropologi ternyata warga  ini  sudah dapat dinamakan state, 
meskipun warga  ini  tergolong primitif yang tinggal secara terisolasi di 
pedalaman. warga  kesukuan atau primitif ini oleh ahli antropologi di 
namakan tribe. Dari pendekatan antropologi sosial dan politik tribe  sedah 
memiliki  sistem politik. warga  kesukuan berdasar  kajian antropologi 
memiliki  ciri-ciri: (1) jumlah penduduk biasanya sedikit dibandingkan dengan 
warga  modern ini, hanya ada beberapa keluarga yang mendiami wilayah-
wilayah kesukuan; (2) warga  kesukuan sangat tergantung pada alam, bahkan 
warga  ini  mengisolasi di alam. 
berdasar  teori antropologi, yang dibangun oleh para ahli antropologi 
Eropa Barat yang mempelajari masalah warga  di Asia sebagai tanah koloni, 
antara lain dijelaskan bahwa warga -warga  kesukuan sebenarnya 
merupakan warga  yang sudah memiliki  sistem kekuasaan, dan hal ini 
dapat dilihat dari pemimpin-pemimpin sukunya. Adapun ciri-ciri pemimpin atau 
kepala warga  kesukuan  antara lain: (1) memiliki  kelebihan dari 
kemampuan rata-rata anggota suku, misalnya keberanian, melindungi warga suku 
dari suku lain, yang oleh ahli antropologi disebut “primus inter pares”, yang  artinya 
satu-satunya primus inter class; (2) memiliki  pengetahuan dalam hal adat-istiadat, 
memimpin ritual, dan penyerbuan; (3) seorang pemimpin kesukuan mampu 
menciptakan suasana kekerabatan yang baik, sehingga unsur-unsur dendam dapat 
dihilangkan. Oleh sebab  itu pemimpin kesukuan harus kerja sama dalam warga 
kesukuan. 
warga  kesukuan yang primitif termasuk budayanya mencakup tahap 
ontologi, yaitu tahap dimana hakekat dasar hidupnya sangat tergantung pada 
alam. Tahap ini diperkuat dengan tahap mistis, yaitu tahap memitoskan alam 
dengan berbagai ritual seperti ritual . sedang  dalam warga  modern, 
tahapannya sudah memasuki tahap fungsional, di mana logika, nalar, pikiran, 
mulai dipakai  untuk menguasai alam, dan tidak tergantung pada alam. namun  
dalam beberapa kasus mesyarakat modern seringkali lari pada tahap mistis. 
Terbentuknya kepemimpinan warga  kesukuan, dapat dimulai dari 
Indonesia dan membandingkannya dengan suku lain di dunia terutama Afrika 
dan Amerika Latin. Untuk Indonesia dapat dipilih tentang warga  kesukuan 
yang ada di Irian Jaya. Adapun alasannya adalah: (1) di Irian Jaya hingga saat ini, 
warga  kesukuan masih dapat dilacak ciri-ciri aslinya; (2) Ada sebagian 
warga  kesukuan di Irian Jaya, misalnya di Jaya Wijaya yang merupakan 
wilayah perbatasan dengan Papua Nugini, yang meninggalkan zaman neolitikum 
baru sekitar dua dekade atau 20 tahun. Ini berarti bahwa warga  kesukuan 
dapat direkam ciri-ciri kepemimpinan kesukuan yang dalam beberapa literatur 
disebut primus interpares, yaitu satu-satunya tokoh dari sekian banyak orang. Salah 
satu buku yang menjelaskan primus interpares dalam warga  internasional 
adalah Indonesian Sociologikal Studies, karangan B.Schrieke terbitan tahun 1960 
Sumur Bandung, Bandung.  Dalam konsep primus interpares ini, maka 
membahas warga  kesukuan ini,  masih sangat relevan. Dan biasanya  
konsep kepemimpinan primus interpares tidak dianut dalam warga  
demokratis dan warga  modern. (3) Suku-suku  Irian Jaya, dibandingkan 
dengan suku-suku lain di Indonesia masih dapat menunjukkan hubungan yang 
erat dengan lingkunan sekitarnya, sehingga tahap pemikirannya dapat dimasukkan 
dalam tahap mistis dan ontologis. sedang  suku bangsa lainnya yang sudah 
modern, dapat digolongkan dalam tahap fungsional. 
94 
 
Buku yang merupakan sumber informasi tentang Irian Jaya telah banyak 
ditulis oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Profesor Koentjaraningrat 1964, 
menerbitkan buku tebal tentang Penduduk Irian Jaya, di samping  artikel-artikel 
kecil tentang Irian Jaya yang sangat bermanfaat untuk ditelaah lebih lanjut. Di 
samping itu banyak pula sarjana-sarjana asing menulis tentang Irian Jaya. Dari 
beberapa  karangan itu, dapat diambil kesimpulan tentang ciri-ciri warga  
kesukuan, yakni: (1) warga  sangat terikat pada lingkungan sekitarnya, sebab  
berada pada tahap mistis dan ontologis; (2) orientasi pada nenek moyang. 
Kebiasaan menghiasi badan sebagai bagian dari ritualistik kepercayaan. Banyak 
yang menghias badannya dengan kayu, daun, dan beberapa anggota tubuh hewan. 
Biasanya ritualistik ini dibedakan menjadi tiga bagian yaitu untuk laki-laki, 
perempuan, dan anak-anak. Hiasan ini membedakan ritual status sosial yang 
dijalankan oleh kelompok warga  kesukuan. 
 
B.  Tribe Communities dan Feudal Society 
Perkembangan negara dilihat dari keanekaragaman perkembangan 
warga  kesukuan “tribe communities dan “feudal society, nampaknya agak sulit 
untuk melangkah suatu hubungan linear bahwa warga  feodal merupakan 
perkembangan dari “tribe communities”. Dalam fakta nya, ada “tribe communities” 
yang selamanya menjadi komunitas kesukuan. namun  dibeberapa warga  di 
dunia, warga  kesukuan berkembang menjadi warga  kerajaan, misalnya 
warga  kesukuan di Benua Afrika. Di Indonesia, pengertian warga  
kerajaan bukan merupakan perkembangan langsung dari warga  kesukuan, 
misalnya pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan 
bergeser ke Jawa Timur, tidak dapat disebut  sebagai perkembangan warga  
kesukuan.  Hingga saat ini keragaman suku di Irian Jaya, meskipun dalam era 
modern, tidak membentuk warga  kerajaan. Berpuluh-puluh suku di Irian 
Jaya, dengan bahasa lokalnya yang berbeda-beda tetap menjadi warga  
kesukuan dengan ciri-cirinya berburu, beternak, dan sebagian ada yang 
berpindah-pindah. Itulah sebabnya diperlukan teori-teori secara empiris tentang 
munculnya warga  feodal, yang dinamikanya ada di dalam birokrasi kerajaan.  
Ada sebuah buku yang berjudul social society,  karangan March Block Vol. I, 
Chaniago, The University of Chaniago Press, 1961. Buku ini  aslinya dalam 
bahasa Perancis, lalu  diterbitkan dalam bahasa Inggris. Buku ini  
banyak membahas perkembangan warga  feodal di Eropa. Perkembangan 
feodal di Eropa sebagai warga  negara, berbeda dengan perkembangan 
warga  kerajaan di Asia. Mungkin March Block kekurangan informasi 
tentang feodalisme di Asia, sehingga pembahasannya tidak secara mendalam 
tentang foedalisme Asia. Ia hanya sekedar membandingkan lahirnya warga  
feodal di Timur Tengah dan Eropa Barat, atau lahirnya foedalisme dalam 
warga  Islam dan Kristiani. Ia memakai  pendekatan ikatan 
ketergantungan. Dari pendekatan itulah Block memakai  pihak penguasa dan 
pihak yang dikuasai. Ini berarti bahwa dalam warga  Islam dan Eropa Barat, 
ada kelompok sosial yang dikuasai. Di Eropa Barat kelompok yang dikuasai 
adalah rakyat yang dalam ikatan khusus adalah para petani. Sedang penguasa 
adalah tuan-tuan tanah. Di Inggris, tuan-tuan tanah ini biasa melakukan 
pertemuan-pertemuan, dan mengangkat tuan tanah senior yang lalu  
manjadi raja. Proses itu berlangsung sejak masa sebelum masehi hingga lahirnya 
kerajaan-kerajaan di Inggris. 
Di Afrika, berbeda halnya dengan di Inggris, warga  suku yang 
beraneka ragam, lalu  mengembangkan dirinya dengan suatu birokrasi 
dengan kriteria persamaan suku, adat-istiadat, yang akhirnya menjadi komunitas 
kerajaan kecil. Komunitas ini saling melakukan invasi, penyerangan, penguasaan, 
sehingga ada komunitas-komunitas yang dikuasai. Komunitas-komunitas yang 
dikuasai ini adalah raja-raja kecil yang oleh Block disebut homage, yaitu rasa 
hormat yang disertai dengan pemberian upeti kepada komunitas kerajaan. 
Di Indonesia, pengertian warga  feodal agak lain dengan di Eropa. Jika 
mendasarkan pada sumber-sumber arkeologi, sangat jelas bahwa warga  
kerajaan muncul begitu saja dari tingkat komunitas yang kecil dan dibimbing oleh 
seorang raja, dan lalu  berkembang secara invasi ke area -area  dan para 
pegawainya digaji dengan tanah. Dalam perkembangannya yang terakhir dari 
warga  kerajaan di Jawa, pegawai kerajaan yang mendapat gaji itu 
memakai  sistem apanage. Ada sebuah buku yang merupakan hasil studi ilmiah 
berjudul Vorstenlanden karangan G.P. Rouffaer yang sangat khas  membicarakan 
dan membahas struktur birokrasi kerajaan Jawa dengan sistem apanage. Makin 
tinggi jabatan seseorang dalam birokrasi ini , maka gaji yang berupa tanah 
akan semakin luas. Tanah ini dikerjakan oleh petani dengan sistem pengabdian 
sosial. Lihat D.H. Burger dalam buku Sejarah Sosiologis Ekonomis Indonesia terbitan 
tahun 1960.  
Di Jawa, para raja untuk mengokohkan dirinya secara hukum dan secara 
religius, maka raja-raja  itu banyak melakukan ritual -ritual  keagamaan. Sistem 
ritual  yang mereka jalankan adalah sistem kebudayaan Hindu dan Budha. 
ritual  itu tampaknya merupakan gejala umum di Asia Tenggara. Lihat 
G.Goedes dalam buku Indianized States of Southeast Asia terbitan tahun 1970. 
ritual -ritual  dikemas menurut aturan-aturan agama Hindu dan Budha 
sehingga raja sebagai penguasa dianggap bukan orang biasa oleh rakyat. Rakyat 
mengangap bahwa mereka adalah utusan para dewa, untuk memerintah di bumi, 
sehingga muncul konsep dewa raja. Ini berarti berbeda dengan di Eropa, dimana 
pemahaman agama-agama lebih bersifat birokratis. Pada abad pertengahan 
misalnya, pendeta nasrani lebih merupakan figur birokratis-politis, sebab  ia 
bersama-sama raja selalu membuat keputusan-keputusan politik, sehingga 
keputusan atau kekuatan gereja sangat disegani oleh rakyat. Gereja juga memiliki 
wilayah administrasi, penduduk, dan aspek sosial ekonomi yang lain. Bahkan 
gereja memiliki keputusan politik di samping birokrasi Baru pada abad ke-17 
dimulai gerakan pemisahan antara birokrasi gereja dan birokrasi negara. 
 
C. Patronase dan Paternalistik warga  Kesukuan di Afrika 
Paternalistik dan patronase warga  kesukuan di Afrika, memiliki 
karakteristik yang unik dan menarik. Keterbelakangan warga  Afrika sebagai 
benua, berlangsung sampai akhir abad    ke-19. Dalam konsepsi ini, orang Barat 
memberinya predikat sebagai The Dark Continent, suatu sebutan yang cukup 
menyakitkan bagi orang-orang Afrika. Mereka menyebut sebagai benua gelap 
sebab  Afrika secara keseluruhan baru mengenal tulisan pada akhir abad    ke-19. 
Padahal jika mengkaji sejarah Afrika Utara, maka disitu ada Mesir yang pada 
abad 5000 tahun Sebelum Masehi sudah mengenal tulisan. Itu artinya ada suatu 
kekecualian bahwa Mesir sudah memasuki jaman sejarah sejak Sebelum Masehi. 
Bahkan pada jaman ini  Mesir sudah dapat dikatakan sebagai state.   
Ada sebuah buku yang berjudul Inside Africa karangan John Gunther tahun 
1955 terbitan Hamiston Hamilton, London yang cukup menarik untuk dijadikan 
referensi. Dalam buku ini , penulis telah mengumpulkan data sejarah dan 
antropologi warga  Benua Afrika pada akhir tahun 1920-an hingga tahun 
1930-an. Gunther telah memakai  lebih dari 100 sampel yang terdiri dari 
wilayah dan kota yang dikunjunginya di benua ini . Menurut dia, keunikan 
Afrika bersumber dari keadaan sosiologis, historis, antropologis, dan geografisnya. 
Dari segi itu ternyata warga -warga  Afrika pedalaman, tumbuh dan 
berkembang dari kelompok-kelompok kesukuan dan sub-kesukuan. Itulah 
sebabnya saat  terjadi kolonialisme Afrika seperti Perancis, Inggris, Belanda, 
Belgia mulai mengeksploitasi ekonomi Afrika, mereka kebanyakan sembari 
mengumpulkan informasi historis-antropologis warga  kesukuan ini . 
Dari kajian historis-antropologis itu, ditemukan unsur budaya dari warga  
primitif hingga warga  modern. Dalam warga  Afrika, ternyata yang 
masih tetap kuat adalah unsur patronase dan paternalistik. 
Afrika juga memiliki  keunikan dari sudut geografi, yang menempatkan 
Afrika sebagai benua sendiri di dunia. Keunikan itu adalah terbentuknya gurun 
pasir yang oleh para pakar Barat disebut Laut Patih.  sedang  di pedalaman 
Afrika, diwarnai dengan kekayaan flora dan fauna yang memberikan sumbangan 
besar terhadap kajian antropologi, sejarah, dan akhir-akhir ini kajian mengenai 
lingkungan hidup. 
Kedua keunikan itulah yang membentuk warga  Afrika secara khusus, 
dan penting untuk dikaji secara ilmiah. Tentang pentingnya Afrika sebagai kajian 
ilmiah, ternyata berdasar  pada jurnal-jurnal ilmiah yang terbit selama beberapa 
dekade, dan oleh sebab nya kajian Afrika di mata sarjana Barat telah melahirkan 
Africa Studies. Jurnal ilmiah yang paling banyak adalah bidang antropologi tentang 
Afrika. Secara khusus ada universitas di Inggris, yang dinamakan “Universitas 
Bidang Ketimuran” yang mempelajari tentang Asia dan Afrika.  
Munculnya kajian Afrika di universitas-universitas Eropa Barat 
dilatarbelakangi oleh beberapa kondisi yaitu: pertama, didorong oleh kebijakan-
kebijakan kolonial saat  Afrika menjadi tanah koloni Afrika Barat. Atas dasar ini, 
maka kajian Afrika  telah dimulai sejak Afrika menjadi tanah koloni. Kedua, kajian 
Afrika didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa Barat sejak 
revolusi industri di Inggris, yang menempatkan bidang ilmu dan teknologi 
prioritas utama untuk kemajuan industri. sesudah  Perang Dunia II, kajian Afrika 
semakin berkembang pesat, terutama di kampus-kampus Eropa Barat. 
Perkembangan yang pesat ini sebab  dorongan perkembangan teori dan 
metodologi ilmu sosial yang menempatkan cara-cara kualitatif yang diagungkan 
tahun 1930-an. Dalam pada itu Amerika Serikat menjadi pelopor perkembangan 
secara kualitatif dalam ilmu sosial. Dilihat dari segi pembagian wilayah kajian, 
meskipun pembagian itu semu, tampaknya Perguruan Tinggi di Eropa Barat lebih 
memusatkan kajiannya pada wilayah-wilayah Afrika, sedang  Amerika Serikat 
lebih memusatkan pada kajian Asia Tenggara, Southeast Asian Programs. 
 
D. Patront-Client 
Membahas patront-client berarti membahas dua bidang yaitu: (1) membahas 
teori Barat yang berhubungan dengan patront-client, (2) membahas pengalaman 
warga  dalam mengembangkan kebudayaannya, sehingga terbentuk struktur 
warga . Dari segi teori-teori Barat, hubungan patront-client, berarti membahas 
teori-teori kepemimpinan R.Bendik dan Max Weber. Bendix adalah seorang 
pemikir Italia, yang menjelaskan bahwa dalam warga  dunia selalu terdiri dari 
pemimpin dan orang yang dipimpin. Yang dipimpin adalah rakyat yang selalu 
didominasi oleh para kaum kolonial. Itulah sebabnya Bendik menyebut istilah sub-
ordinasi, yaitu sebagai warga  yang dikuasai. Oleh sebab  itu menurut Bendix, 
pemimpin selalu memiliki  dua hal yaitu power dan authority. Dalam kajiannya, 
Bendix lebih banyak menjelaskan power dan authority warga  foedal di Eropa. 
lalu  Weber pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga menjelaskan 
hubungan patront-client melalui teorinya yaitu: (1) teori yang tradisional, (2) 
kharismatik,  dan (3) rasional. Pada hubungan yang tradisional, seorang patront 
memperoleh kedudukannya melalui secara turun temurun. Kekuasaan yang 
diperoleh secara turun temurun  ini dibahas oleh Bendix namun  kurang membahas 
tentang patront-client pada kepemimpinan rasional. Ia sedikit menyinggung 
kharismatik seorang penguasa. Pada hubungan kharismatik, seorang patront  
memiliki  client yang banyak, diikuti oleh rakyat banyak sebab  kharismanya, 
misalnya tokoh-tokoh keagamaan, pendeta, pastor, dan kiai. Pembahasan Weber 
mengenai kharismatik ini merupakan pembahasan argumentatif-komparatif yaitu 
pengalaman warga  keagamaan di dunia. 
Pada abad Tengah di Eropa Barat yang dimulai pada abad    ke-13, hingga 
menjelang revolusi industri, ternyata para pendeta sangat memiliki  kewibawaan 
dalam agama, sosial, politik, ekonomi, sehingga membentuk nilai kharisma. Di 
Indonesia pada abad ke-19, kharisma tokoh-tokoh agama Islam yaitu para kiai 
menduduki kepemimpinan yang kharismatik. Ada dua hal yang mendorong yaitu: 
pertama, kiai-kiai mengembangkan pesantren-pesantren seperti tampak di Jawa  
sebagai akibat dari modernisasi Barat dan masuknya ekonomi uang. Maka cara 
melawannya adalah dengan mendirikan pesantren-pesanteren. Jika mempelajari 
sejarah pesantren atau tradisi pesantren, tampak bahwa seorang kiai memiliki  
kharisma yang sangat dikagumi oleh para santri pondok serta alumninya. Itulah 
sebabnya para kiai memiliki  hubungan patront-klient yang kharismatik hingga 
saat ini telah banyak kajian studi tentang pesantren di Indonesia. Jika dipelajari 
hubungan kiai dengan para santrinya  menunjukkan corak yang kharismatik. Ada 
teori yang -  bahwa perkembangan Islam diikuti ajaran sufisme yaitu 
gerakan yang dipimpin oleh para sufi/kiai yang mempelajari tasawuf. Dalam 
konsep yang sufistik, ada hubungan patront-client yang kharismatik. 
Kedua adalah kebijakan kolonial yang berupa pemberian tugas kepada aparat 
birokrasi kolonial untuk mengawasi kegiatan-kegiatan orang Islam, dan harus 
memberikan laporan, dan atas dasar itulah maka para kiai sangat dipatuhi  oleh 
pengikutnya sebagai patront. Dalam konsep tradisi  kiai sebagai patront memiliki  
kewajiban: (1) membimbing para santri untuk dapat menjalankan syariat Islam 
secara baik; (2) melindungi para santri dari ancaman-ancaman baik yang bersifat 
fisik maupun non-fisik sehingga ajaran seorang kiai pada suatu pesantren sangat 
dipatuhi sebagai benteng untuk melawan segalanya. Di sini biasanya seorang kiai 
mengembangkan tarekat atau tasawuf dengan aliran masing-masing. 
Pemimpin yang rasional menurut Weber, berdasar  patront-client di mana 
ukurannya adalah prestasi, sehingga mengembangkan “merit sistem”, yaitu sistem 
jabatan berdasar  keahlian, sehingga lebih mengembangkan rasio atau nalar. 
Kebudayaan Barat  sejak abad ke-16 mulai dengan “merit sistem”  terutama di 
Inggris meskipun di Inggris pada abad ke-15, feodalisme masih kuat. sesudah  
revolusi industri abad ke-18, sistem keahlian berkembang pesat, sehingga dunia 
perdagangan, birokrasi, ekonomi, politik, industri berkembang pesat sebab  
dorongan merit sistem (keahlian atau prestasi). 
Kebudayaan Islam di Indonesia yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan 
Islam pada abad ke-17 saat  ada potensi ekonomi yang luar biasa di bidang 
perdagangan, ternyata hubungan patront-client mulai berubah ke arah yang 
egalitarian yang lalu  disebut demokrasi, menurut konsep warga  
modern. Abad ke-17 adalah abad Islam dalam sejarah Indonesia, sebab  potensi 
ekonomi perdagangannya. Hubungan patront-client, dalam hal ini dapat diambil 
contoh kerajaan Aceh. Di Aceh, kerajaan Aceh memiliki  dua kitab undang-
undang yaitu Tajusalatin dan Bustanu Salatin. Dua buku  ini merupakan dua sumber 
untuk menatur warga  Islam Aceh dalam hal hubungan antara raja dengan 
rakyat (patront-client). Ada perbedaan raja sebagai patront antara kebudayan Islam 
dengan kebudayaan Hindu. Dalam kebudayaan Islam patront adalah: (1) raja dalam 
konsep Islam dianggap sebagai orang biasa yang memiliki  kelebihan; (2) dalam 
kebudayaan Islam, patront atau raja, sultan, harus mampu mengemban keadilan 
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Oleh sebab  itu, menurut adat Aceh, seperti 
yang terungkap dalam dua kitab ini , raja dtuntut oleh klient-nya: (a) bertindak 
adil pada orang yang mencuri, memberikan hukuman berat pada orang yang 
mencuri; (b) raja harus menghidupkan yang mati, dan mematikan yang hidup. 
Artinya yang salah harus dihukum dan yang benar harus dibebaskan; (c) raja-raja 
Islam Aceh, dituntut oleh client untuk memberikan sebagian hartanya pada rakyat. 
sedang  dalam kebudayaan Hindu, patront dituntut bahwa: (a) raja sebagai 
patront dianggap sebagai orang yang luar biasa, sebab  ia mengandung unsur magis 
dan sakral. Dunia giri raja sebagai patront, digambarkan sebagai mikrokosmos, di 
mana client/rakyat beranggapan dan percaya bahwa hubungan mikrokosmos/alam 
raya harus serasi dan seimbang. Jika terganggu akan menimbulkan malapetaka bagi 
kehidupan manusia. Untuk itu patront harus disakralkan dengan berbagai ritual  
dan ritual. (b) pada masa kejayaan Majapahit, kepala perang area , pada waktu 
 
ritual  bulan purnama setahun sekali harus menghadap raja bersama upetinya 
berupa emas dan hasil bumi. sebab  raja dianggap sebagai sakral, maka 
mekanisme ini tidak mengalami kesulitan. 
Selain sebagai makhluk Tuhan dan makhluk individu, manusia juga 
memiliki kodrati sebagai makhluk sosial. Oleh sebab  itu, sejak dahulu manusia 
selalu hidup bersama-sama dalam suatu kelompok untuk mempertahankan 
kelangsungan hidupnya seperti: mencari makan, menghadapi masalah, 
mengatasi gangguan dan ancaman, serta melanjutkan keturunan,. Semula kelompok manusia itu hidup berpindah-pindah tempat, lalu  
sebab  perkembangan peradaban, mereka mulai hidup menetap pada suatu 
tempat tertentu misalnya untuk beternak dan bercocok tanam. 
Dalam usaha  mempertahankan kelangsunan hidupnya pada tempat 
tinggal tertentu yang diangap baik sebagai sumber penghidupan bagi 
kelompoknya, diperlukan seorang atau sekelompok kecil orang-orang yang 
ditugaskan untuk mengatur dan memimpin kelompoknya. Dalam pada itu, 
pemimpin kelompok diberi kekuasaan dan kewenangan tertentu dan anggota 
kelompok diwajibkan untuk mentaati peraturan atau perintah dari 
pemimpinnya. Dengan demikian, maka timbullah dalam kelompok itu suatu 
kekuasaan “pemerintahan yang sangat sederhana” ,Setiap 
anggota kelompok itu dengan sadar mengetahui atau mendukung tata hidup 
dan peraturan-peraturan yang ditetapkan pemimpin mereka. Tata dan peraturan 
hidup tertentu itu mula-mula tidak tertulis yang batasan-batasannya tidak jelas 
dan merupakan adat kebiasaan saja. namun , lambat laun peraturan 
itu mereka tuliskan dan menjadi peraturan-peraturan tertulis yang dilaksanakan 
dan ditaati. 
Berkaitan dengan bertambah luasnya kepentingan sekelompok-
sekelompok itu dan untuk mengatasi segala kesulitan yang timbul baik internal 
maupun eksternal, maka dianggap perlu dibentuk suatu organisasi yang lebih 
teratur dan memiliki legitimasi kekuasaan yang memadai. Organisasi itu sangat 
diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan 
hidup agar dapat berjalan secara tertib. Organisasi yang memiliki legitimasi 
kekuasaan itulah yang lalu  dinamakan Negara. 
Secara etimologis, konsep “negara”  muncul dari terjemahan bahasa 
asing Staat (Jerman dan Belanda) dan State (bahasa Inggris). Dua konsep itu, 
baik Staat maupun State berakar dari bahasa Latin, yaitu statum atau status, yang 
berarti menempatkan dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, dan 
menempatkan. Kata status juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang 
menunjukkan sifat atau keadaan tegak dan tetap.  
Konsep negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori oleh J.H.H. 
Logemaan dalam buku Over  De Theorie Van Een Stelling Staadrecht