dari kolonial hingga nasional 3
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
dari kolonial hingga nasional 3
Pemerintah (Regeerings Reglement: RR) 1830 yang dirancang oleh Van Den Bosch
dan raja. berdasar pasal ini , kegiatan tebang pohon (blandong) yang
selama itu dilakukan sebagai kerja wajib dengan memperoleh imbalan sekarang
dipakai sebagai contoh kerja paksa yang di perluas di bidang penanaman lain.
Peraturan-peraturan dasar pemerintah terdahulu memasukkan kegiatan tebang
pohon, pengumpulan sarang burung di lereng terjal, pencetakan garam,
penanaman kopi Priangan, dan perkebunan rempah-rempah ke dalam peraturan
husus sebab pemerintah menganggap kegiatan-kegiatan ini memiliki
nilai penting. Peraturan Dasar Pemerintah 1830 (Pasal 80) menyebut bahwa
kegiatan tebang pohon dijalankan atas tanggungan pemerintah dengan membayar
upah atau mengurangi sebagian sewa tanah. Selanjutnya disebutkan bahwa aturan
semacam itu dapat diberlakukan untuk pelayanan kerja lainnya bagi pemerintah
dan untuk penanaman khusus yang dianggap penting.
Berhubungan dengan lamanya pelayanan tanam yang dihitung oleh Van
den Bosch adalah 66 hari per tahun untuk setiap orang. Tidak jelas bagaimana
Bosch mendapatkan angka ini . Suatu interpretasi historis bahwa Bosch
menganggap setiap desa harus menanami seperlima dari tanah desa dengan
tanaman ekspor yang ditentukan oleh pemerintah, maka logikanya untuk tenaga
kerja juga seperlima dari tenaga kerja yang harus disediakan untuk kepentingan
pemerintah.
Permasalahan yang seringkali muncul dalam budi daya tanam ini
adalah bila pelayanan tanam ini dihubungkan dengan kerja rodi (corvee;
herendiensten) yang sudah ada sejak dulu. Hubungan yang tudak jelas ini
dibiarkan berlarut-larut dalam peraturan-peraturan pemerintah dalam waktu yang
relatif cukup lama, sehingga masalah ini menjadi suatu sumber
kesimpangsiuran. Baru dengan RR 1854 dilakukan usaha pembenahan untuk
menjernihkan persoalan ini , namun sebab hanya dijelaskan sepotong-
sepotong, sehingga membuat kerancuan terus berlanjut hingga awal abad ke-20.
Van den Bosch tampaknya sudah membedakan secara jelas antara corvee (kerja
rodi) dengan pelayanan kerja lain, dan pembedaan itu didasarkan pada fakta
sederhana apakah kerja ini mendapat imbalan atau tidak. Corvee tidak
mendapat imbalan, meskipun beberapa orang yang bekerja dalam dinas
pemerintahan, mungkin menerima jatah garam dan beras. sedang kerja
lainnya, seperti pelayanan tanam, blandong, dan sebagainya mendapat imbalan
berupa uang atau pengurangan sewa tanah. Jika masalahnya dilihat secara ini,
maka jelas pelayanan tanam berbeda dengan corvee. Bila dipandang seperti itu,
maka akan menjadi jelas pula mengapa beban kerja yang ditanggung oleh
penduduk Jawa meningkat secara tajam sesudah tahun 1830.
Pengerahan tenaga kerja berdasar corvee tradisional Jawa pada
umumnya didasarkan pada hak-hak kepemilikan tanah. Kerja menurut
pengaturan semacam itu, dihitung berdasar suatu sistem yang dikenal dengan
cacah rumah tangga, kepala rumah tangga yang memiliki hak-hak atas tanah
juga diwajibkan melaksanakan corvee (tidak menjadi masalah, apakah pekerjaan
ini dikerjakan sendiri atau menyuruh seorang anggota keluarga untuk
melaksanakannya). Sistem cacah masih berlaku pada 1830, dan lambat laun sistem
cacah dihapus oleh Van den Bosch sebab sesudah tahun 1838 tidak ada lagi
rujukan dengan sistem ini . Alasannya cukup jelas, di mana untuk
pengadaann tenaga kerja sebanyak-banyaknya maka perlu diterapkan pelayan
kerja berdasar perorangan, bukan atas dasar rumah tangga. Dampaknya,
banyak orang yang terlibat dalam pelayanan tanam tidak lagi memiliki hak atas
tanah. Banyak desa merasa perlu melakukan penyesuaian dengan menyerahkan
hak penggunaan sebidang tanah kepada beberapa orang sehingga tenaga mereka
dapat diikutsertakan dalam pengaturan kerja yang dibutuhkan oleh Sistem Tanam
Paksa.
F. Perubahan Ekonomi Pedesaan
Pelaksanaan Siatem Tanam Paksa dalam prakteknya mengikuti pola
tradisional yang berlaku dalam warga Jawa, sehingga dapat mengerakkan
para petani di area -area terentu agar mau bekerja dalam menghasilkan
tanaman untuk ekspor. Harapan pemerintah adalah dengan memakai
otoritas kepala desa, maka dapat menggerakan penduduk untuk mau
menyerahkan sebagian tanah untuk kepentingan tanam paksa, dan juga mau
bekerja untuk tanaman ekspor. Sikap ini juga dimaksudkan untuk
mengkondisikan agar warga Jawa tetap statis. Namun dalam fakta nya
hal ini tidak terjadi sebab dampak ekonomi sistem ini justru telah
menggerakan perubahan-perubahan dan mempercepat kecenderunan-
kecenderungan yang sudah ada. Pola-pola tradisional kalangan atas di tingkat
desa sudah kocar-kacir pada permulaan abad ke-19 sehingga Sistem Tanam Paksa
hanya dapat memakai pola-pola itu dengan cara-cara yang tidak rasional dan
alamiah. Tokoh-tokoh penguasa mengalami tekanan-tekanan yang semakin berat
sebab tuntutan-tuntutan sistem ini terhadap mereka. Di area -area
tempat untuk penanaman ekspor pemerintah dilaksanakan, orang-orang Jawa di
atas tingkat desa dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan baru dari sistem
tanam paksa, yang lama kelamaan menurunkan popularitas mereka di mata
sebagian besar penduduk (Sutherland, 1979, dan Van Niel, 1981). Antara tempat
yang satu dengan tempat yang lain berbeda-beda proses perubahannya, sehingga
orang tidak dengan sungguh-sunguh mengatakan bahwa kelompok-kelompok ini
telah kehilanan kekuasaan sampai awal abad ke-20. Namun bagaimanapun juga,
ada perubahan-perubahan, baik dalam tubuh pemerintahan di atas tingkat
desa maupun dalam hubungannya dengan desa-desa. Bahkan ada beebrapa
tulisan yang mengatakan bahwa Sistem tanam Paksa telah menghancurkan desa-
desa di Jawa.
Sistem Tanam Paksa dianggap telah memaksa mengubah hak-hak
pemilikan tanah dari milik perseorangan menjadi milik bersama, yang tentunya
telah merusak hak-hak perseorangan atas tanah yang sebelumnya telah ada. Hak-
hak pemilikan tanah merupakan kepentingan subjektif bagi kelompok-kelompok
pengusaha swasta yang hendak mengganti sistem ini dengan bentuk
eksploitasi mereka sendiri. Penyelidikan mengenai hak-hak tanah yang dimulai
pada dasawarsa 1960-an dimaksudkan untuk memberikan data-data baku yang
dipakai untuk mendukung argumentasi seputar kepemilikan tanah secara lebih
tajam dengan mengusut evolusi hak-hak tanah asli dan mengungkapkan betapa
kebijakan-kebijakan pemerintah suatu kecenderungan evolusioner terhadap hak
guna partikulir. Para penulis tahun 1920-an dan 1930-an memakai bukti
ini untuk menerangkan proses disintegrasi ekonomi dan sosial desa menjadi
semacam egaliterianisme yang diperlemah, di bawah dampak imperialisme Eropa.
sedang Furnival dan Burger merupakan penulis yang fanatik mendukung
kecenderungan ini , pembentangan paling jernih dari argumen ini dalam
bahasa Ingris didapati pada penelitian Clifford Geertz mengenai involusi
pertanian (Geertz, 1963). Dengan memintakan perhatian terhadap bukti-bukti
dan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu,
dalam menjelaskan perkembangan-perkembangan semenjak diperkenalkanya
Sistem Tanam Paksa, mereka mendapati bahwa telah terjadi homogenisasi sosial
di desa-desa Jawa yang memicu “kemiskinan bersama”.
Jauh sebelum Sistem Tanam Paksa dilaksanakan, kaum tani Jawa telah
menyesuaikan diri secara pleksibel pada kebutuhan-kebtuuhan setempat, tempat
di mana mereka berada. Sifat-sifat seperti bersedia bekerja keras, kemampuan
perorangan, dan penyesuaian lentur kepada perubahan, banyak serupa dengan
apa yang telah dikemukakan oleh Selo Soemardjan pada tahun-tahun 1960-an
(Selo Soemardjan, 1968). Para pengusaha di atas tingkat desa mengetahui
semuanya itu, lalu mengolahnya secara terinci dengan para kepala cacah mereka,
yang oleh Hoadley, yang meneliti wilayah Cirebon dan Priangan, dipandang
sebagai abdi-abdi para penguasa yang lebih tinggi. Penyesuaian demikian
memungkinkan para kepala di atas tinkat desa memenuhi kebutuhan pemerintah
akan hasil-hasil pertanian dan tenaga buruh, sambil juga memenuhi kebutuhan
mereka sendiri yang meningkat akan tenaga butuh, serta akan lahan penanaman
yang lebih luas. Di bawah pengarahan mereka, pemakaian lahan yang tersedia
dapat diatur dan penyesuaian-penyesuaian dapat diadakan. Hak-hak milik atau
hak-hak pengawasan atas lahan berada di tangan para kepala cacah dan golongan
elite lokal lainnya. Tekanan-tekanan baru yang dikenakan pada kaum tani
memaksa diadakannya perubahan atau perbaikan hak-hak kaum tani, namun tidak
banyak pengaruhnya atas hak-hak cacah atau hak-hak kepala pemerintahan di atas
tingkat desa. Namun di dalam desa, para penduduk inti tetap memegang
pengawasan atas sebagian besar lahan, dan beberapa orang petani kecil-tapi yang
mandiri-terus mengendalikan lahan-lahan tradisional mereka. Kekuatan yang
sebenarnya di tingkat desa jelas berada di tangan kelompok inti ini .
berdasar fakta sistem agraris ini, maka Sistem Tanam Paksa
diperkenalkan pada tahun 1830. Tujuannya adalah untuk mendapatkan komoditi-
komoditi yang akan dapat dijual di pasaran dunia, dan untuk tujuan ini
Sistem Tanam Paksa memakai lahan dan tenaga kerja dari orang-orang desa di
Jawa yang dibujuk atau dipaksa oleh para kepala di atas tingkat desa. Hal ini
harus dilakukan dalam batas-batas Sistem Sewa Tanah (Van Niel, 1964). Menarik
untuk dikaji adalah bahwa an den Bosch masih berbicara tentang cacah barangkali
sisa pengalamannya sebelum itu di Jawa pada tahun-tahun pertama abad ke-19,
dan ia rupanya sadar bahwa ikatan-ikatan vertikal dalam warga Jawa. Seperti
sudah dinyatakan, Van den Bosch merencanakan untuk mempergunakan hal-hal
ini , namun ternyata caranya telah diputarbalikan sehingga keluar selama
tahun-tahun sistemnya dijalankan. Hubungan dengan cacah berlanjut sampai
akhir tahun 1830, sesudah mana konsep ini ditinggalkan untuk
mengutamakan urusan dengan rumah-rumah tangga agar lebih banyak dapat
menyerap tenaga kerja. Banyaknya kebutuhan tenaga kerja menjadikan perlunya
penerapan suatu sistem yang dapat mengikatnya.
Akhir-akhir ini penelitian sejarah mengetengahkan informasi mengenai
apa yang terjadi di desa-desa sesudah tahun 1830, saat pemerintah mulai
menyusun pola-pola produksi baru, informasi ini memberikan interpretasi
yang berbeda atas kejadian-kejadian, berbeda dengan apa yang telah dikemukakan
dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Bukti-bukti fisik dari Cirebon, Pekalongan,
Jepara, dan Pasuruan-semua area dimana penanaman untuk pemerintah telah
diperkenalkan, dan memperlihatkan bahwa kepemimpinan desa telah berhasil
menarik keuntungan dari kebutuhan-kebutuhan pemerintah itu dan memperkuat
kekuasannya dan melakukan pendekatan pribadi di lingkungan struktur
pedesaannya (Elson, 1979). Dengan memakai hak-hak tanah mereka, baik
secara perorangan maupun kolektif resmi, dan terutama dengan
menyalahgunakan tenaga kerja paksa yang berada di bawah pengawasan mereka,
memungkinkan bagi mereka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ke
dalam. Dengan cara demikian, mereka mendapatkan keuntungan berlipat ganda,
yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemerintah di atru pihak, dan menjadikan
dirinya makmur dari hasil pembayaran yang masuk ke desa di lain pihak.
Kewenangan pendistribusiannya sangat tergantung dari kehendak para pemimpin
tradisional. Selagi sistem ini berjalan terus, para pegawai negeri bangsa
Belanda tidak henti-hentinya untuk mengatur dan mengawasi keuangan yang
masuk ke desa demi keikutsertaan desa dalam sistem. Biasanya usaha-usaha
menghadapi siasat yang dipakai para pemimpin desa untuk menguasai
sebagian besar dari keuntungan-keuntungan itu tidak berhasil.
Dalam prakteknya, tidak semua desa mengadakan reaksi yang sama, tidak
semua peraturan penanaman sama, dan tidak semua perubahan itu terjadi pada
waktu yang bersamaan (Fernando, 1982). Jika diamati secara mendalam, maka
penelitian-penelitian yang baru memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih
dapat dipahami, ketimbang terhadap pandangan-pandangan lama tentang
pengaturan-pengaturan rumah tangga desa di Jawa sekarang. Dengan
memakai istilah yang lebih sederhana, maka desa-desa di Jawa masa kini
menunjukkan perbedaan sosial yang tegas serta riil antara penduduk desa yang
kaya dengan penduduk desa yang miskin. Mereka biasanya tidak
memperlihatkan pemerataan tingkat sosial maupun homogenitas sosial, yang
disangka telah disebabkan oleh penerapan Sistem Tanam Paksa, berdasar
tulusan-tulusan sejarah sosial sebelumnya. Di samping itu, desa-desa masa kini
73
juga menunjukkan suatu kohesi yang kuat, sesuatu yang biasanya tidak akan
dilukiskan sebagai suatu pengaruh disintegrasi yang terasa lalu .
Apabila suatu pandangan mengenai perbedaan sosial dan kekuatan
ketahanan ekonomi desa kedua-duanya ada manfaatnya, maka dua masalah yang
berhubungan dengan hal ini harus dipertimbangkan. Masalah-masalah
ini merupakan masalah hak-hak kepemilikan tanah di dalam suatu desa dan
berkesinambungan dengan tradisi-tradisi serta ikatan-ikatan sosial di antara para
penduduk desa, dalam menghadapi perbedaan-perbedaan perekonomian yang
lebih tajam. Dalam penulisan-penulisan sebelumnya, hak kepemilikan tanah
mendapat perhatian besar, meskipun dalam konteks Eropa-centris, dan bukannya
Jawa-centris. Masuknya lahan-lahan pedesaan ke dalam kekuasaan bersama,
dalam artian bahwa penduduk desa yang jumlahnya semakin bertambah ini
meiliki hak untuk memiliki dan menggarap sebidang lahan, maka pasti terjadi baik
sebelum maupun selama Sistem Tanam Paksa dijalankan. Oleh sebab itu
dikebanyakan bagian di Jawa, hak untuk memakai sebidang lahan pedesaan
dan kewajiban guna melakukan pelayanan kerja dengan segala variasinya saling
terkait, maka pembagian hak yang lebih luas untuk menggarap sebidang lahan,
merupakan cara yang wajar untuk memperbesar wadah tenaga kerja, yang
diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan akan tenaga kerja rodi dan pelayanan
untuk penanaman. Namun bukti yang menunjukkan bahwa, kerja wajib juga
dikenakan kepada orang-orang yang tidak memiliki hak atas lahan sepanjang
abad itu. Bagi pengamat Barat terutama pada akhir abad ke-19, penguasaan
bersama yang semakin meningkat dari pemilikan lahan itu secara sosial merusak
ketertiban desa. Kondisi ini menimbulkan kesukaran bagi pengaturan
kontrak-kontrak perorangan untuk menyewa tanah atau lahan. sedang
pengaturan penguasaan bersama seringkali tidak meliputi hak penuh atas lahan
ini , hanya terbatas pada penggunaannya dan juga sama atas hasilnya. Para
pemimpin desa, yang hampir tidak pernah secara langsung menggarap lahan,
dapat mempertahankan pengawasan sepenuhnya atas sebagian besar lahan-lahan
pedesaan ini . Pengaturan-pengaturan kontrak dalam berbagai bentuk yang
luas, tersedia bagi mereka dalam mempertahankan apa yang telah mereka miliki,
sedang membiarkan orang lain menjalankan pekerjaan di ladang atau di mana
74
saja. Para petani kecil yang mandiri, yang bukan merupakan bagian dari lingkaran
dalam desa itu atau yang telah melawan kemauan para pemimpin desa, barangkali
telah memicu hidup mereka tersiksa. Secara ekonomis, orang-orang
demikian telah mengalami kerugian bahkan dapat dilakukan pemaksaan untuk
meninggalkan lahan dan desa mereka. sedang rumah tangga-rumah tangga
dan tenaga kerja yang tidak pernah memiliki tanah, tidak begitu terpengaruh oleh
otoritas kepala desa, sebab mereka dimanapun selalu bekerja untuk orang lain.
Oleh sebab itu penguasaan-penguasaan bersama ini tampak seolah-olah
menghilangkan perbedaan-perbedaan sosial di desa, meskipun sebenarnya
tidaklah demikian. Begitu juga keadaan ini tidak menimbulkan kesulitan
yang berarti bagi para pengusaha perkebunan swasta yang ingin menyewa lahan-
lahan pedesaan. Dalam hal ini, sekali lagi biasanya kepala desa menguasai keadaan
dan sesuatu persetujuan selalu dapat dicapai.
Dalam struktur golongan sosial dan ekonomi desa ini, peralihan tidak
secara keseluruhan mengubah ikatan yang menyatukan desa sebagai suatu
kesatuan sosial dan sebagai suatu unit yang produktif. Meskipun para penduduk
desa memahami perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi, desa juga tetap
merupakan pusat sistem penghidupan bagi sebagian besar penduduk. Benar,
orang-orang berpindah ke kota dan menjabat pekerjaan bukan jenis pertanian,
sedang yang lain-lain menggabungkan diri dengan perusahaan-perusahaan
yang bergerak di bidang ekspor. namun sebagian besar orang Jawa, namun tinggal
di desanya. Bahkan sebagian dari mereka yang tampaknya sama sekali terpisah,
memelihara ikatan dengan desanya dalam berbagai cara. Pengaturan yang sedikit
banyaknya bersifat ganda ini, ternyata merupakan salah satu batu-batu fondasi
dari cara pengaturan tenaga buruh murah yang menguntungkan bagi sektor
ekspor dari perekonomian. Desa, yang mengumpulkan dan mengelola
penyediaan tenaga buruh murah ini, harus mempertahankan ikatan-ikatan dan
hubungan tradisional agar dapat memenuhi fungsi yang tidak
dihapuskan ini dengan cara mengubah buruh-paksa menjadi buruh yang diberi
upah, sebab tingkat upah yang rendah tergantung pada simbiose yang
berkesinambungan antara ekspor swasta dengan ekonomi pedesaan. Dalam
konteks inilah para pemimpin desa harus membangun dan memperluas
75
kekuasaan mereka. fakta -fakta itu tidak memicu mereka menjadi
petani mandiri yang berorientasi pada pasar, walaupun dalam bidang ini mereka
memang melakukan fungsi-fungsi sebagai perantara. Mereka tidak dapat
mengabaikan hubungan sosial desa, sebab desalah satu-satunya yang
merupakan tumpuan mereka sebagai basis kelembagaan yang tunggal untuk
memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang berkesinambungan. Dalam kaitan
suatu sistem ekonomi yang padat karya, maka para pemimpin desa, untuk
kemajuan ekonomi mereka sendiri baik di desa maupun dengan sektor yang
berorientasi pada ekspor, harus mempertahankan ikatan-ikatan tradisional dan
kewajiban-kewajiban sosial. sebab dengan dipertahankannya sistem sosial
tradisional, maka para pemimpin desa akan mudah memperoleh tenaga kerja baik
untuk kepentingannya sendiri, maupun untuk pengabdian atau melayani
pemerintah kolonial. Akhirnya yang menjadi objek pemerasan adalah penduduk,
yakni disamping harus memenuhi tuntutan pemerintah kolonial, di lain sisi harus
tunduk pada para kepala desa sebagai pemimpin tradisional mereka. Tidak heran
apabila saat terjadi resistensi yang dilakukan oleh warga yang merasa
tertindas, maka yang paling pertama menjadi sasaran adalah para pemimpin
tradisional. Fenomena ini dapat dimafhumi mengingat merekalah para pemimpin
tradisional yang dirasa secara langsung melakukan politik eksploitasi terhadap
rakyat, baik berkenaan dengan masalah tanah, maupun yang berhubungan dengan
tenaga kerja. Memang ada tesis yang mengatakan bahwa para pemimpin
tradisional juga sebenarnya merasa tertekan oleh tindakan pemerintah kolonial,
sehingga mereka terpaksa harus melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah
dan rasional terhadap penduduk. Tesis ini tampaknya tidak dapat
seluruhnya dapat digeneralisasikan mengingat banyak penduduk yang hidupnya
tertekan di bawah payung birokrat yang selama itu sangat menyengsarakan.
Sistem Tanam Paksa jelas-jelas telah mendatangkan kesengsaraan
berkesinambungan terhadap hidup rakyat, meskipun tidak secara menyeluruh
seperti halnya yang terjadi di luar Pulau Jawa. Sebagaimana yang telah dibahas
dimuka, maka pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Luar Jawa, dampaknya bagi
warga tidak separah sebagaimana halnya yang terjadi di Jawa, kalau tidak
dikatakan hampir tidak berdampak sama sekali. Hal ini disebab kan di luar
76
Pulau Jawa tanam paksa telah berjalan sebelum di Jawa di berlakukan, dan
diterapkan di lahan-lahan tidur yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk.
Meskipun dalam hal ikatan tradisional di luar Jawa juga terjadi kerja paksa
berdasar ikatan-ikaan tradisional, namun dampaknya tidak separah di Jawa.
77
BAB V
DIMENSI-DIMENSI KOLONIALISME DI HINDIA BELANDA
A. Pengaruh Kolonial di Berbagai area
1. Latar Belakang Terjadinya Pengaruh Kekuasaan Kolonial
Kebijakan pemerintah kolonial antar berbagai area di Indonesia
memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya:
a. sebab perbedaan alam
Kondisi alam baik geografis, topografis, maupun demografis sangat
mempengaruhi pola kebijakan pemerintah kolonial. Untuk area
pertanian, pemerintah kolonial menerapkan sistem pemerintahan dengan
mengutamakan pengembangan hasil-hasil pertanian. Untuk area
perkebunan, di situlah pemerintah akan menerapkan system ekonomi yang
berlandasakan perkebunan.
b. Perbedaan letak/nilai strategis
Letak suatu area sangat menentukan pengaruh kekuasaan
kolonial. Pada dasarnya tidak seluruh area Indonesia mampu tersentuh
kekuasaan kolonial. Pemerintah kolonial mengutamakan pantai sebagai
Bandar perdagangan untuk memperlancar arus sirkulasi bahan ekspor.
c. Perbedaan pendekatan kaum kolonial
Setiap wilayah memiliki reaksi atau tanggapan yang berbeda
dengan kedatangan kolonial. saat kekuatan kolonial muncul, ada yang
langsung menunjukan sikap kooperatif, ada pula yang langsung
menganggapnya sebagai musuh. Kaum kolonial harus melakukan strategi
dalam menghadapi berbagai keadaan ini.
d. Kekuasaan/kekuatan politik
Pendekatan kaum kolonial juga berdasar oleh kekuatan
kekuasaan politik wilayah setempat. Terhadap kerajaan yang masih kuat dan
besar, kaum kolonial akan berhati-hati dalam menanamkan pengaruhnya.
78
3. Perbedaan Pengaruh Antar area di Indonesia
sebab latar belakang di atas, maka terjadi perbedaan pengaruh antar
area di Indonesia. Pada masa awal, kaum kolonial lebih mudah menanamkan
kekuasaan politiknya di area Indonesia timur, seperti Maluku dan Sulawesi.
Dalam hal politik kaum kolonial diuntungkan oleh persaingan antar kerajaan
kecil, sehingga dengan mudah kaum kolonial mampu menanamkan hegemoni.
Wilayah Indonesia bagian timur merupakan area perkebunan
rempah-rempah, sehingga eksploitasi kaum kolonial-pun dalam komoditas
rempah-rempah. Hal demikian juga mirip yang terjadi di area Sulawesi dan
sekitarnya.Fenomena ini berbeda dengan keadaan di Jawa sebagai area agraris
pertanian. Belanda-pun melakukan eksploitasi memakai lahan pertanian
ini . Walaupun lalu pola ini berubah, sebab Belanda
lalu mengubah pola pertanian pangan menjadi perkebunan. Akibatnya
rakyat Jawa sangat menderita.
Eksploitasi sumber daya alam bagi warga Jawa merupakan yang
terberat disbanding area -area lain di luar Jawa. Rakyat Jawa merupakan
penduduk yang paling menderita disbanding area lain, mengapa? Sebab Jawa
adalah wilayah yang paling padat penduduknya, dan sistem politknya relatif
lebih mapan dibandingkan area lain. Belanda dengan mudah memanfaatkan
sistem administrasi dan politik yang telah ada untuk melakukan eksploitasi.
Jawa juga merupakan pusat politk kekuasaan kolonial Belanda. Pada
awalnya, kekusaan politik dan ekonomi ada di area timur (Maluku). Seiring
perkembangan politik, Belanda mengalihkan pusat kekuasaan ke Jawa (Batavia).
Selain untuk mengamankan area barat dari ancaman Portugis di Malaka.
Belanda juga memandang bahwa Jawa lebih strategis untuk lalu-lintas
perdagangan.
Perluasan penguasaan VOC ke luar Jawa terutama sesudah masuknya
investasi perkebunan swasta terutama di Sumatera. Keadaan ini
mendorong Belanda semakin meningkatkan eksploitasi di luar Jawa pada abad
XIX. Sebelumnya VOC kurang serius menguasai area luar pulau Jawa.
Sangat wajar apabila warga Jawa lebih dahulu hancur dibandingkan area
luar Jawa. Perluasan pengusaan semakin tegas memasuki abad XX dengan
79
munculnya politik ethis. Kebijakan ini telah membuka pintu semakin lebar
dalam mengeksploitasi area luar Jawa. Apalagi pada awal abad XX seluruh
Indonesia telah menjadi kekuasaan Belanda.
B. Perlawanan bangsa Indonesia Terhadap Hindia Belanda Abad XIX
Sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda rakyat Indonesia telah
melakukan perlawanan di berbagai area . Pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, perlawanan rakyat semakin besar. Berbagai peristiwa perang besar terjadi
pada abad XIX. Hal ini tidak lepas dari semakin besarnya nafsu Belanda
menguasai Indonesia dan semakin beratnya penderitaan bangsa Indonesia.
Hingga akhir abad XVIII, Belanda belum berhasil menguasai Indonesia
secara keseluruhan. Masih banyak kerajaan-kerajaan besar yang didukung
kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi ancaman Belanda. Perlawanan abad XIX
benar-benar membutuhkan tenaga dan biaya yang sangat besar. Bahkan beberapa
kali Belanda mengalami krisis keuangan sebab menghadapi perlawanan-
perlawanan ini .
9. Perang Saparua di Ambon
Kalian masih ingat dengan kekuasaan Inggris yang menggantikan
Belanda 1811-1816? Peralihan kekuasaan ini menyadarkan rakyat,
bahwa Belanda bukanlah kekuatan yang paling hebat. saat Belanda kembali
berkuasa di Indonesia tahun 1817, rakyat Ambon mengadakan perlawanan
dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Pattimura memimpin pemberontakan di
Saparua, dan berhasil merebut benteng Belanda serta membunuh Residen
van den Berg. Pemberontakan Pattimura dapat dikalahkan sesudah bantuan
Belanda dari Batavia datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap
dan dihukum gantung.
Tokohnya adalah Haji Miskin, Haji Malik, dan Haji Piabang. Kelompok
pembaharu Islam di Smatera Barat ini Kaum Padri disebut Kaum Putih,
sebab selalu mengenakan jubah putih, sedang Kaum Adat disebut Kaum
Hitam, sebab selalu mengenakan jubah hitam. Simbol pakaian ini yang
memperuncing perselisihan. Gerakan Padri menentang perjudian, dan aspek
hukum garis keturunan/hukum adat disebut sebagai Kaum Padri.
Ide pembaharuan Kaum Paderi berbenturan dengan kelompok
adat/Kaum Penghulu. Belanda memanfaatkan perselisihan ini dengan
mendukung Kaum Adat yang posisinya sudah terjepit. Pada bulan Februari
1821 Kaum Penghulu (Adat) menandatangi perjanjian yang menyerahkan
kekuasaan Minangkabau kepada Belanda sebagai imbalan bantuan Belanda
untuk membantu Kaum Adat melawan Kaum Padri.
a. Perlawanan Padri Tahap I (1821-1825)
Perlawanan kaum Padri berubah dengan sasaran utama Belanda
meletus tahun 1821. Kaum Padri dipimpin Tuanku Imam Bonjol (M
Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan Alahan.
Perlawanan kaum Padri berhasil mendesak benteng-benteng Belanda.
sebab di Jawa Belanda menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro
(1825-1830), Belanda akhirnya melakukan perdamaian di Bonjol tanggal
15 Nopember 1825.
b. Perang Padri Tahap II (1825-1837)
Belanda menitikberatkan menghadapi perlawanan Diponegoro
hingga tahun 1830. sesudah itu Belanda kembali melakukan penyerangan
terhadap kedudukan Padri. Kaum Adat yang semula bermusuhan dengan
kaum Padri akhirnya banyak yang mendukung perjuangan Padri. Bantuan
dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Padri.
sesudah berhasil memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro di
Jawa, Belanda kembali konsentrasi menghadapi perang Padri. Belanda
bahkan berhasil memanfaatkan Sentot Ali Basyah Prawiryodirjo salah
satu pimpinan pasukan Diponegoro yang telah menyerah kepada Belanda
81
untuk turut memperkuat pasukan Belanda. Kekuatan Belanda benar-
benar pulih, apalagi dengan banyaknya tentara sewaan dari orang pribumi.
Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort
de Kock di Bukittinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua
benteng pertahanan Dengan siasat ini akhirnya Belanda menang ditandai
jatuhnya benteng pertahanan terakhir Padri di Bonjol tahun 1837.
Tuanku Imam Bonjol ditangkap, lalu diasingkan ke Priangan,
lalu ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.
Berakhirnya Perang Padri, membuat kekuasaan Belanda di Minangkabau
semakin besar. Keadaan ini lalu mendukung usaha Belanda untuk
menguasai wilayah Sumatera yang lain.
11. Perang Diponegoro di Jawa Tengah (Yogyakarta) 1825-1830
Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari
campur tangan Belanda dalam urusan politik kerajaan Yogyakarta
Meninggalnya Hamengkubuwono IV tahun 1822 menimbulkan
perselisihan tentang penggantinya. Saat itu putra mahkota baru berumur 3
tahun. Penderitaan rakyat semakin menjadi, terutama kegagalan panen
pada tahun 1820-an. Di samping itu, rakyat sudah jenuh dengan
perlakuan Belanda yang tidak pernah menghormati hak-hak rakyat.
Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825, dengan
memasang patok-patok pada tanah leluhur Diponegoro. Terjadi
perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti
patok-patok ini . Belanda segera mengutus serdadu untuk
menangkap Pangeran Diponegoro. Tanggal 20 Juli Tegalrejo direbut dan
dibakar Belanda.
Diponegoro berhasil meloloskan diri dan segera
mengumandangkan Perang Jawa (1825-1830). Pemberontakan ini
menjalar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun pusat perlawanan di
kawasan Yogyakarta. Limabelas dari 29 pangeran bergabung mendukung
Diponegoro. Belanda benar-benar terjepit. Belanda berusaha membujuk
pemberontak dengan memulangkan Hamengkubuwono II dari
82
pengasingannya di Ambon. namun langkah ini gagal. lalu Belanda
mencoba menerapkan siasat benteng-stelsel. Dengan sistem ini Belanda
mampu memecah belah jumlah pasukan musuh.
Pada tahun 1829 Kyai Maja ditangkap Belanda. lalu disusul
Pangeran Mangkubumi, dan panglima Sentot Ali Basyah Prawiryodirjo.
sesudah kekalahan ini, Sentot Ali Basyah terpaksa menjalankan tugas
membantu Belanda dalam menumpas perang Padri di Sumatera Barat.
Pada bulan Maret 1830 Diponegoro akhirnya mau mengadakan
perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan
ini hanya sebagai jalan tipu muslihat. sebab lalu Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Manado, lalu ke Makasar hingga wafat
tahun 1855. Dengan berakhirnya Perang Jawa (Diponegoro), tidak lagi
muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa. Perang Diponegoro adalah
perlawanan besar. Sebanyak 8000 serdadu Belanda, dan 7000 tentara
sewaan Belanda mati . Lebih dari 200.000 penduduk Jawa Tengah dan
Yogyakarta tewas. Sehingga penduduk Yogyakarta hanya tinggal
setengahnya. Betapa gigihnya bangsa kita untuk menegakan keadilan dan
mempertahankan harga diri!
4. Perang Aceh (1873-1904)
Pada tahun 1871 diadakan Traktat London, dimana Belanda
menyerahkan Sri Lanka kepada Inggris, dan Belanda mendapat hak di
Aceh. berdasar traktat ini , Belanda memiliki alasan untuk
menyerang istana Aceh tahun 1873. Saat itu Aceh masih merupakan negara
merdeka. Belanda juga membakar Masjid Baiturrahim sebagai benteng
pertahanan Aceh14 April 1873. Dengan semangat jihad (perang membela
agama Islam) rakyat mengadakan perlawanan. Jendral Kohler terbunuh.
Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh
Belanda tidak berhasil. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar,
dan keuangan terus terkuras.
Belanda sama sekali tidak mampu menghadapi secara fisik
perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal ini , akhirnya Belanda
83
mengutus Dr Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar
seorang ahli bahasa, sejarah dan sosial Islam untuk mencari kelemahan
rakyat Aceh. sesudah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan
saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh.
Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab
karakter orang Aceh tidak akan pernah menyerah. Jiwa jihad orang Aceh
sangat tinggi. Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba
antara golongan eleebalang (bangsawan) dengan ulama. Belanda menjanjikan
kedudukan pada uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, dimana
banyak uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda
memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila Kaum
Ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin
terdesak.
Para tokohnya banyak yang gugur. Teuku Umar gugur di
pertempuran Meulaboh 1899. Sultan Aceh Mohammad Daudsyah dapat
ditawan tahun 1903 dan diasingkan hingga meninggal di Batavia. Panglima
Polem Mohammad Daud juga menyerah tahun 1903. Cut Nyak Dien,
tokoh pemimpin perempuan ditangkap tahun 1905 lalu diasingkan ke
Sumedang. Gugurnya pahlawan perempuan Cut Meutia tahun 1910,
perlawanan Aceh terus menyusut. Hingga tahun 1917 Belanda masih
melakukan pengejaran, sebagai tanda bahwa perlawanan Aceh tidak pernah
padam. Belanda sendiri telah mengumumkan perang Aceh selesai tahun
1904.
5. Perlawanan Sisingamangaraja Sumatera Utara (1878-1907)
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Utara dilakukan
Sisingamangaraja XII. Perlawanan di Sumatera Utara berlangsung selama 24
tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan
Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di
Sumatera Utara), Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan
Sisingamangaraja dapat dikalahkan sesudah Kapten Christoffel berhasil
mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra
84
beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur, sehingga seluruh
Tapanuli dapat dikuasai Belanda.
6. Perang Banjar (1858-1866)
Perang Banjar berawal saat Belanda campur tangan dalam urusan
pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan
kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai rakyat. Pemberontakan
dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859,
Pangeran Antasari memimpin perlawanan sesudah Prabu Anom tertangkap
Belanda. Dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran
Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah, dan
berakhirlah perlawanan Banjar di pulau Kalilmantan. Pemberontakan
benar-benar dapat dipadamkan tahun 1866.
7. Perang Jagaraga di Bali (1849-1906)
Perang Jagaraga berawal saat Belanda dan kerajaan di Bali
bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi bahwa
setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di
area ini . Pemerintah Belanda memprotes raja Buleleng yang
menyita 2 kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak menerima tuntutan
Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya. Persengketaan ini
memicu Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng
tahun 1846. Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sedang Raja
Buleleng menyingkir ke Jagaraga dibantu oleh Kerajaan Karangasem.
sesudah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Belanda melanjutkan
ekspedisi militer tahun 1849. Dua kerajaan Bali Gianyar dan Klungkung
menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906 seluruh kerajaan di Bali jatuh ke
pihak Belanda sesudah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati,
yang dikenal dengan perang puputan.
Perlawanan Penting hingga awal abad XX
8. Perlawanan Gerakan Sosial
Gerakan sosial adalah gerakan protes berupa perlawanan yang
dilakukan oleh petani, gerakan ratu adil, dan gerakan keagamaan atau
kepercayaan. Banyak sekali perlawanan yang tidak dilakukan oleh
bangsawan/kerajaan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan petani biasanya
dilakukan oleh petani sebab kesewenang-wenangan penguasa. Benturan
deengan hukum adat dan masalah upah sebagai pemicu perlawanan
petani. Pelopornya biasanya orang yang berpengaruh di lingkungan
ini . Gerakan ini bersifat sedang, sebab biasanya berhenti sesudah
pemimpinnya menyerah atau mati. Contoh gerakan petani adalah
perlawanan petani di Ciomas Jawa Barat tahun 1886, perlawananan
Condet (Jakarta) tahun 1916 dipimpin Entong Gendut, dan sebagainya.
Gerakan Ratu Adil adalah gerakan yang muncul sebagai akibat
keyakinan akan datangnya ratu adil. Ratu adil dianggap yang akan
menyelamatkan rakyat dari belenggu penindasan. Pemimpinnya biasanya
mengaku mendapat wahyu untuk menyelamatkan rakyat. Gerakan
keagamaan, adalah gerakan yang muncul sebagai dasar keagamaan terutama
untuk menegakan syari’at yang benar/pembaharuan. Ketiga gerakan sosial
ini sangat mempengaruhi perang-perang besar yang terjadi di Indonesia. Di
samping itu mereka juga sering melakukan perlawanan-perlawanan kecil,
yang biasanya sangat mudah dipatahkan Belanda.
D. Perkembangan Agama-agama pada masa Kolonial
Sebagaimana sudah disebutkan, salah satu pendorong misi kedatangan
bangsa Eropa ke Indonesia adalah Gospel yaitu menyebarkan agama Nasrani.
Secara garis besar, Agama Nasrani dibedakan dalam agama Katholik dan agama
Kristen Protestan. Para penyebar agama Katolik disebut misionaris. Para
misionaris ini umumnya dibantu oleh para pastor, bruder, dan suster. sedang
zending adalah sebutan para penyebar agama Kristen Protestan. Zending berasal
dari bahasa Belanda yang artinya penyebar.
2. Perkembangan Agama Katolik di Berbagai area Indonesia
Pada akhir abad 13 telah ada beberapa pastor datang ke kawasan
Nusantara. Bukti paling awal menunjukkan bahwa pada tahun 1291, Pastor J.
de Monte Corvio OFM telah mengunjungi pantai timur Sumatera. Corvio
singgah dalam misinya menuju China. Kedatangan Pastor ini lalu
disusul Rohaniawan Fransiskan bernama Odorico de Pordonone. Ia singgah
di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa pada tahun 1321.
a. Perkembangan di Maluku
Bukti keberadaan agama Katolik di Maluku paling awal dikaitkan
dengan pembangunan Benteng Sao Paulo milik Portugis di Maluku. Pada
acara peletakan batu pertama benteng tanggal 24 Juni 1522, banyak orang
Maluku yang dipermandikan untuk menjadi Katolik. Proses perkembangan
agama Katolik semakin intensif saat pada tahun 1545-1546 armada
Spanyol berlabuh di Maluku. Didalam rombongan ini ada 4
orang imam dari ordo Santo Augustinus. Keempat imam ini bertemu
dengan Pastor Fransiskus Xaverius di Ambon. Fransiskus Xaverius (1546-
1547) adalah misionaris yang gigih dalam menyebarkan agama Katolik di
Ambon, Ternate, dan Halmahera. Pada saat itu di Ambon telah berhasil
didirikan 4 gereja Katolik, dengan pemeluk 16.000 orang. Pada saat itu
kerajan-kerajaan di Maluku seperti Ternate, Tidore, Hitu di Ambon sudah
memeluk Islam.
Agama Katolik nampaknya kurang dapat berkembang lebih jauh di
Maluku. Hal ini disebabkan panglima Benteng Sao Paulo Tristao d’Atayde
kurang bisa membina persahabatan dengan penduduk asli. Muncul
lalu kebencian dan pemberontakan kepada Portugis. Kebencian
ini berpengaruh pada keberadaan agama Katolik. Agama Katolik
diidentikkan sebagai agama kaum penjajah. Beberapa orang Portugis mati,
dan Pastor Simon vaz dibunuh di Pulau Morotai.
b. Perkembangan di Sumatera
Usaha penyebaran agama Katolik di Aceh dimulai sejak tahun 1600.
Penyebaran ini dilakukan oleh Pastor Amaro. Pada tahun 1638 datang
gelombang misionaris kedua. sebab pertentangan Aceh dengan Portugis,
para misionaris ikut terbunuh. Usaha penyebaran agama Katolik dilakukan
kembali antara tahun 1668-1788. Penyebaran ini dapat dilakukan sebab
hubungan Aceh Portugis telah membaik. Para misionaris dikirim dari Goa,
dan membangun gereja serta pastoran di Aceh. Kegiatan mereka masih
terfokus untuk melayani orang-orang Eropa.
c. Perkembangan di Jawa
Antara tahun 1569-1599, para imam Fransiskan berhasil melakukan
penyebaran agama Katolik di area Blambangan. Keberhasilan ini
mendorong para misionaris untuk datang ke Jawa. Pada tahun 1622-1783
para misionaris telah melakukan kunjungan di pantai utara Jawa. Mereka
berhasil mendirikan pos-pos misi Katolik di Cirebon, Magelang, Bogor,
Malang, dan Madiun.
Pusat misi Katolik di Jawa Tengah adalah Muntilan dan Mendud
(Magelang). Salah seorang perintis Gereja Katolik terkenal Jawa Tengah
adalah Pastor Fransiskus Van Lith SJ(1863-1926). Ia giat melakukan
penyebaran agama Katolik melalui media pendidikan dan sosial. Untuk itu
didirikanlah sekolah-sekolah. Pada akhir tahun 1923, telah berdiri kurang
lebih 52 sekolah Katolik, dengan 5840 murid.
d. Perkembangan di Flores
Perkembangan agama Katolik yang tergolong cepat di samping di
wilayah Muntilan, Magelang, juga terjadi di wilayah Flores. Antara tahun
1569-1599 agama Katolik telah berkembang di wilayah ini. Tokoh terkenal
dalam penyebaran ini adalah Pastor Antonia Taveira. Pada abad XVIII
para misionaris hanya memuusatkan penyebaran agama Katolik di Dilli,
Timor Leste(Timor Loro Sae). Sampai sekitar tahun 1900 jumlah
keseluruhan umat Katolik di Indonesia adalah 50.300 orang. Adapun
bangunan sekolah Katolik yang didirikan mencapai 69, dengan rincian 12 di
Jakarta, 10 di Semarang, 22 di Sulawesi Utara, dan 5 di Flores Timur.
4. Perkembangan Agama Kristen Protestan di Berbagai area
Indonesia
Di samping agama Katolik, pada jaman kolonial juga berkembang
agama Kristen Protestan. Penyebaran agama Kristen Protestan banyak
dilakukan oleh para pendeta Belanda.
a. Perkembangan di Sulawesi
Agama Kristen Protestan masuk ke Minahasa pada tahun 1831.
Agama ini disebarkan oleh Zending dibawah pimpinan Pendeta Riedel
dan Schar. Untuk mengintesifkan penyebaran agama Kristen Protestan
mereka mendirikan sekolah pendidikan guru (Kweekschool) tahun 1850.
lalu pada tahun 1868 dirikanlah Sekolah Guru Injil di Tomohon.
Penyebaran agama Kristen Protestan ini dapat berjalan baik sebab
mendapat sponsor dari Nederlandsch Zendelings Genootschap (NZG) yang
berkedudukan di Rotterdam.
b. Maluku
Penyebar agama Kristen Protestan di Maluku yang terkenal adalah
Joseph Kam. Di Maluku ia aktif menyebarkan agama Kristen Protesan.
Untuk memperlancar dan mengefektifkan penyebaran agama ia
mendirikan kegiatan pendidikan untuk pribumi.
c. Jawa
Antara abad ke-17 dan ke-18 kurang lebih ada 154 pendeta
yang aktif dalam penyebaran agama Kristen di Jawa. Pada masa Inggris,
untuk menyebarkan agama Kristen Protestan Nederlandsch Zendelings
Genootschap (NZG) bekerjasama dengan London Mission Society. Dengan
kerjasama ini penyebaran agama menjadi lebih efektif.
Perkembangan Kristen di Jawa semakin pesat. Hal ini ditandai
dengan berdirinya Sinode GKJ (Gereja Kristen Jawa). Untuk
memperingati berdirinya Sinode GKJ tanggal 17 Februari dijadikan
sebagai hari lahir Sinode GKJ. Untuk wilayah Jawa Barat dan Jakarta
didirikan GKP (Gereja Kristen Pasundan). Peristiwa itu terjadi pada
tanggal 14 Nopember 1934 berdiri.
d. Sumatera
Penyebaran agama Kristen Protestan di Sumatera dipelopori
oleh Dr Nomensen. Penyebaran itu terjadi kurang lebih pada tahun 1860.
Saat itu tanah Batak dipimpin Sisingamangaraja XI. Penyebaran agama
Kristen Protestan di wilayah ini memang cukup berhasil. Dalam
perkembangan selanjutnya, agama Kristen menjadi salah satu agama yang
banyak dianut warga di Sumatera Utara. Dalam penyebaran agama
Kristen protestan wilayah ini memang memegang peranan yang penting.
Dari area ini agama Kristen selanjutnya disebarkan ke area
Kalimantan bagian barat.
5. Perkembangan Agama Islam di berbagai area Indonesia Pada Masa
Kolonial
Tujuan misionaris dengan tujuan ekonomi dan politik bangsa-
bangsa Barat ke Indonesia berbeda. Namun sebab keberadaan mereka yang
beriringan baik waktu dating maupun tempat tinggal yang mereka tempati,
sering memicu persepsi sebagian warga Indonesia pada saat itu
bahwa misionaris identik dengan penjajahan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan ekonomi dan politik yang ada diantara keduanya.
Peristiwa yang menjadi momentum berubahnya peta Islamisasi di
Indonesia, adalah kejatuhan Malaka tahun 1511, dan Ternate 1522 oleh
Portugis. Pada saat itu Malaka dan Maluku merupakan pusat-pusat
persebaran Islam di Nusantara. Dampak negatif yang timbul adalah bahwa
pintu masuk Islamisasi melalui selat Malaka terhambat oleh kekuasaan
Portugis. Selain itu, bahwa kekuasaan politik Islam mulai terancam oleh
keberadaan Portugis. namun , penguasaan Malaka juga memberikan
dampak positif bagi perkembangan Islam di Nusantara.
a. Dengan jatuhnya Malaka, para saudagar dan penyebar agama Islam
mencari jalan lain, yakni pantai barat Sumatera, sehingga Islam semakin
merasuk di wilayah Nusantara. sesudah Malaka jatuh, maka saudagar-
saudagar Islam memusatkan perhatian pada pusat-pusat perdagangan di
Aceh, Sumatera Utara, Banten, Demak, melalui selat Sunda. Dari lokasi
ini mereka terus melakukan perjalanan ke timur hingga Borneo dan
Maluku.
b. Tumbuhnya Islam sebagai kekuatan politik di wilayah Nusantara. Pada
masa awal kedatangan bangsa Barat, Islam telah tumbuh dengan suburnya
di Nusantara. Perkembangan pendidikan, pusat perdagangan dan politik
yang kuat. Pada abad XVI, di Jawa tumbuh dua kerajaan besar dan kuat,
yakni Mataram dan Banten. Demikian juga dengan area -area lain
seperti Aceh, Padang, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Kerajaan-
kerajaan Islam inilah yang pada masa penjajahan berikutnya banyak
berperan dalam mengusir penajajah.
Perkembangan agama lain selain Islam dan Kristen di Indonesia
tidaklah terlalu menonjol. Agama Hindu dan Buda telah mengalami
kemunduran sejak berkembangnya agama Islam dan munculnya Islam
sebagai kekuatan politik. Hanya pulau Bali dan Jawa bagian timur yang masih
besar penganut Hindu dan Buda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda
mulai awal abad XIX, bangsa Indonesia tidak semakin berkurang
penderitaannya. Bahkan Pemerintah Belanda semakin luas menguasai wilayah
Indonesia. Berbagai kerajaan Islam yang telah lama berkembang mulai runtuh
atau semakin berkurang kekuasaannya. Kondisi ini memicu berbagai
perlawanan rakyat Indonesia di berbagai area .
Perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda dipimpin oleh
para tokoh kerajaan didukung sebagian besar warga . Perang Padri di
Sumatera Barat, Perang Diponegoro di Yogyakarta dan Jawa Tengah, perang
Aceh, adalah contoh perlawanan terbesar yang menyita kekuatan Belanda.
Dengan berbagai tipu muslihat, akhirnya Belanda mampu mematahkan
berbagai perlawanan ini . Pelajaran berharga dari kegagalan perjuangan
bangsa Indonesia di berbagai area untuk mengusir Belanda adalah
perlawanan yang sendiri-sendiri. Dengan perlawanan sendiri-sendiri, Belanda
lebih mudah mematahkan, apalagi dengan strategi adu domba. Akhirnya pada
akhir abad XIX sebagian besar wilayah Indonesia telah berhasil dikuasai
Belanda.
Akibat kolonialisme Belanda di Indonesia, penderitaan rakyat
semakin bertambah. Kondisi sosial dan ekonomi bangsa Indonesia sangat
memprihatinkan. Secara politik, kerajaan-kerajaan di Indonesia telah berada
di bawah kendali Belanda. Masuknya budaya Barat ke Indonesia merupakan
dampak lain seperti dalam berpakaian, bergaul, dan sistem ekonomi. Di sisi
lain, perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia
bersamaan dengan penyebaran agama Kristen dan Ketholik di tanah air.
Penyebaran agama Kristen dan Katholik tidak identik dengan penjajahan.
Sebab misionaris yang datang ke Indonesia memilki tujuan khusus dalam
menyebarkan agama.
Jika membahas perkembangan negara dari suatu organisasi yang sangat
sederhana sampai yang modern, biasanya ahli-ahli ilmu politik selalu
berpijak dalam bidang antropologi. Dua bidang antropologi ini dalam
hubungannya dengan negara membahas organisasi, pemimpin, tradisi, dan
kebudayaan. Oleh sebab itu bidang antropologi politik sebagai pendekatan
untuk menjelaskan sejarah ketatanegaraan, tidak terlepas dari kerangka politik
yang mendukungnya.
Ada satu buku yang berjudul Antropologi Sosial: Sebuah Pengantar,
karangan Huizinga, salah satu babnya membahas bentuk-bentuk negara yang
primitif. Dalam buku ini dijelaskan bahwa bentuk yang paling umum dari
sistem politik di antara warga -warga yang dipelajari oleh ahli
antropologi ternyata warga ini sudah dapat dinamakan state,
meskipun warga ini tergolong primitif yang tinggal secara terisolasi di
pedalaman. warga kesukuan atau primitif ini oleh ahli antropologi di
namakan tribe. Dari pendekatan antropologi sosial dan politik tribe sedah
memiliki sistem politik. warga kesukuan berdasar kajian antropologi
memiliki ciri-ciri: (1) jumlah penduduk biasanya sedikit dibandingkan dengan
warga modern ini, hanya ada beberapa keluarga yang mendiami wilayah-
wilayah kesukuan; (2) warga kesukuan sangat tergantung pada alam, bahkan
warga ini mengisolasi di alam.
berdasar teori antropologi, yang dibangun oleh para ahli antropologi
Eropa Barat yang mempelajari masalah warga di Asia sebagai tanah koloni,
antara lain dijelaskan bahwa warga -warga kesukuan sebenarnya
merupakan warga yang sudah memiliki sistem kekuasaan, dan hal ini
dapat dilihat dari pemimpin-pemimpin sukunya. Adapun ciri-ciri pemimpin atau
kepala warga kesukuan antara lain: (1) memiliki kelebihan dari
kemampuan rata-rata anggota suku, misalnya keberanian, melindungi warga suku
dari suku lain, yang oleh ahli antropologi disebut “primus inter pares”, yang artinya
satu-satunya primus inter class; (2) memiliki pengetahuan dalam hal adat-istiadat,
memimpin ritual, dan penyerbuan; (3) seorang pemimpin kesukuan mampu
menciptakan suasana kekerabatan yang baik, sehingga unsur-unsur dendam dapat
dihilangkan. Oleh sebab itu pemimpin kesukuan harus kerja sama dalam warga
kesukuan.
warga kesukuan yang primitif termasuk budayanya mencakup tahap
ontologi, yaitu tahap dimana hakekat dasar hidupnya sangat tergantung pada
alam. Tahap ini diperkuat dengan tahap mistis, yaitu tahap memitoskan alam
dengan berbagai ritual seperti ritual . sedang dalam warga modern,
tahapannya sudah memasuki tahap fungsional, di mana logika, nalar, pikiran,
mulai dipakai untuk menguasai alam, dan tidak tergantung pada alam. namun
dalam beberapa kasus mesyarakat modern seringkali lari pada tahap mistis.
Terbentuknya kepemimpinan warga kesukuan, dapat dimulai dari
Indonesia dan membandingkannya dengan suku lain di dunia terutama Afrika
dan Amerika Latin. Untuk Indonesia dapat dipilih tentang warga kesukuan
yang ada di Irian Jaya. Adapun alasannya adalah: (1) di Irian Jaya hingga saat ini,
warga kesukuan masih dapat dilacak ciri-ciri aslinya; (2) Ada sebagian
warga kesukuan di Irian Jaya, misalnya di Jaya Wijaya yang merupakan
wilayah perbatasan dengan Papua Nugini, yang meninggalkan zaman neolitikum
baru sekitar dua dekade atau 20 tahun. Ini berarti bahwa warga kesukuan
dapat direkam ciri-ciri kepemimpinan kesukuan yang dalam beberapa literatur
disebut primus interpares, yaitu satu-satunya tokoh dari sekian banyak orang. Salah
satu buku yang menjelaskan primus interpares dalam warga internasional
adalah Indonesian Sociologikal Studies, karangan B.Schrieke terbitan tahun 1960
Sumur Bandung, Bandung. Dalam konsep primus interpares ini, maka
membahas warga kesukuan ini, masih sangat relevan. Dan biasanya
konsep kepemimpinan primus interpares tidak dianut dalam warga
demokratis dan warga modern. (3) Suku-suku Irian Jaya, dibandingkan
dengan suku-suku lain di Indonesia masih dapat menunjukkan hubungan yang
erat dengan lingkunan sekitarnya, sehingga tahap pemikirannya dapat dimasukkan
dalam tahap mistis dan ontologis. sedang suku bangsa lainnya yang sudah
modern, dapat digolongkan dalam tahap fungsional.
94
Buku yang merupakan sumber informasi tentang Irian Jaya telah banyak
ditulis oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Profesor Koentjaraningrat 1964,
menerbitkan buku tebal tentang Penduduk Irian Jaya, di samping artikel-artikel
kecil tentang Irian Jaya yang sangat bermanfaat untuk ditelaah lebih lanjut. Di
samping itu banyak pula sarjana-sarjana asing menulis tentang Irian Jaya. Dari
beberapa karangan itu, dapat diambil kesimpulan tentang ciri-ciri warga
kesukuan, yakni: (1) warga sangat terikat pada lingkungan sekitarnya, sebab
berada pada tahap mistis dan ontologis; (2) orientasi pada nenek moyang.
Kebiasaan menghiasi badan sebagai bagian dari ritualistik kepercayaan. Banyak
yang menghias badannya dengan kayu, daun, dan beberapa anggota tubuh hewan.
Biasanya ritualistik ini dibedakan menjadi tiga bagian yaitu untuk laki-laki,
perempuan, dan anak-anak. Hiasan ini membedakan ritual status sosial yang
dijalankan oleh kelompok warga kesukuan.
B. Tribe Communities dan Feudal Society
Perkembangan negara dilihat dari keanekaragaman perkembangan
warga kesukuan “tribe communities dan “feudal society, nampaknya agak sulit
untuk melangkah suatu hubungan linear bahwa warga feodal merupakan
perkembangan dari “tribe communities”. Dalam fakta nya, ada “tribe communities”
yang selamanya menjadi komunitas kesukuan. namun dibeberapa warga di
dunia, warga kesukuan berkembang menjadi warga kerajaan, misalnya
warga kesukuan di Benua Afrika. Di Indonesia, pengertian warga
kerajaan bukan merupakan perkembangan langsung dari warga kesukuan,
misalnya pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan
bergeser ke Jawa Timur, tidak dapat disebut sebagai perkembangan warga
kesukuan. Hingga saat ini keragaman suku di Irian Jaya, meskipun dalam era
modern, tidak membentuk warga kerajaan. Berpuluh-puluh suku di Irian
Jaya, dengan bahasa lokalnya yang berbeda-beda tetap menjadi warga
kesukuan dengan ciri-cirinya berburu, beternak, dan sebagian ada yang
berpindah-pindah. Itulah sebabnya diperlukan teori-teori secara empiris tentang
munculnya warga feodal, yang dinamikanya ada di dalam birokrasi kerajaan.
Ada sebuah buku yang berjudul social society, karangan March Block Vol. I,
Chaniago, The University of Chaniago Press, 1961. Buku ini aslinya dalam
bahasa Perancis, lalu diterbitkan dalam bahasa Inggris. Buku ini
banyak membahas perkembangan warga feodal di Eropa. Perkembangan
feodal di Eropa sebagai warga negara, berbeda dengan perkembangan
warga kerajaan di Asia. Mungkin March Block kekurangan informasi
tentang feodalisme di Asia, sehingga pembahasannya tidak secara mendalam
tentang foedalisme Asia. Ia hanya sekedar membandingkan lahirnya warga
feodal di Timur Tengah dan Eropa Barat, atau lahirnya foedalisme dalam
warga Islam dan Kristiani. Ia memakai pendekatan ikatan
ketergantungan. Dari pendekatan itulah Block memakai pihak penguasa dan
pihak yang dikuasai. Ini berarti bahwa dalam warga Islam dan Eropa Barat,
ada kelompok sosial yang dikuasai. Di Eropa Barat kelompok yang dikuasai
adalah rakyat yang dalam ikatan khusus adalah para petani. Sedang penguasa
adalah tuan-tuan tanah. Di Inggris, tuan-tuan tanah ini biasa melakukan
pertemuan-pertemuan, dan mengangkat tuan tanah senior yang lalu
manjadi raja. Proses itu berlangsung sejak masa sebelum masehi hingga lahirnya
kerajaan-kerajaan di Inggris.
Di Afrika, berbeda halnya dengan di Inggris, warga suku yang
beraneka ragam, lalu mengembangkan dirinya dengan suatu birokrasi
dengan kriteria persamaan suku, adat-istiadat, yang akhirnya menjadi komunitas
kerajaan kecil. Komunitas ini saling melakukan invasi, penyerangan, penguasaan,
sehingga ada komunitas-komunitas yang dikuasai. Komunitas-komunitas yang
dikuasai ini adalah raja-raja kecil yang oleh Block disebut homage, yaitu rasa
hormat yang disertai dengan pemberian upeti kepada komunitas kerajaan.
Di Indonesia, pengertian warga feodal agak lain dengan di Eropa. Jika
mendasarkan pada sumber-sumber arkeologi, sangat jelas bahwa warga
kerajaan muncul begitu saja dari tingkat komunitas yang kecil dan dibimbing oleh
seorang raja, dan lalu berkembang secara invasi ke area -area dan para
pegawainya digaji dengan tanah. Dalam perkembangannya yang terakhir dari
warga kerajaan di Jawa, pegawai kerajaan yang mendapat gaji itu
memakai sistem apanage. Ada sebuah buku yang merupakan hasil studi ilmiah
berjudul Vorstenlanden karangan G.P. Rouffaer yang sangat khas membicarakan
dan membahas struktur birokrasi kerajaan Jawa dengan sistem apanage. Makin
tinggi jabatan seseorang dalam birokrasi ini , maka gaji yang berupa tanah
akan semakin luas. Tanah ini dikerjakan oleh petani dengan sistem pengabdian
sosial. Lihat D.H. Burger dalam buku Sejarah Sosiologis Ekonomis Indonesia terbitan
tahun 1960.
Di Jawa, para raja untuk mengokohkan dirinya secara hukum dan secara
religius, maka raja-raja itu banyak melakukan ritual -ritual keagamaan. Sistem
ritual yang mereka jalankan adalah sistem kebudayaan Hindu dan Budha.
ritual itu tampaknya merupakan gejala umum di Asia Tenggara. Lihat
G.Goedes dalam buku Indianized States of Southeast Asia terbitan tahun 1970.
ritual -ritual dikemas menurut aturan-aturan agama Hindu dan Budha
sehingga raja sebagai penguasa dianggap bukan orang biasa oleh rakyat. Rakyat
mengangap bahwa mereka adalah utusan para dewa, untuk memerintah di bumi,
sehingga muncul konsep dewa raja. Ini berarti berbeda dengan di Eropa, dimana
pemahaman agama-agama lebih bersifat birokratis. Pada abad pertengahan
misalnya, pendeta nasrani lebih merupakan figur birokratis-politis, sebab ia
bersama-sama raja selalu membuat keputusan-keputusan politik, sehingga
keputusan atau kekuatan gereja sangat disegani oleh rakyat. Gereja juga memiliki
wilayah administrasi, penduduk, dan aspek sosial ekonomi yang lain. Bahkan
gereja memiliki keputusan politik di samping birokrasi Baru pada abad ke-17
dimulai gerakan pemisahan antara birokrasi gereja dan birokrasi negara.
C. Patronase dan Paternalistik warga Kesukuan di Afrika
Paternalistik dan patronase warga kesukuan di Afrika, memiliki
karakteristik yang unik dan menarik. Keterbelakangan warga Afrika sebagai
benua, berlangsung sampai akhir abad ke-19. Dalam konsepsi ini, orang Barat
memberinya predikat sebagai The Dark Continent, suatu sebutan yang cukup
menyakitkan bagi orang-orang Afrika. Mereka menyebut sebagai benua gelap
sebab Afrika secara keseluruhan baru mengenal tulisan pada akhir abad ke-19.
Padahal jika mengkaji sejarah Afrika Utara, maka disitu ada Mesir yang pada
abad 5000 tahun Sebelum Masehi sudah mengenal tulisan. Itu artinya ada suatu
kekecualian bahwa Mesir sudah memasuki jaman sejarah sejak Sebelum Masehi.
Bahkan pada jaman ini Mesir sudah dapat dikatakan sebagai state.
Ada sebuah buku yang berjudul Inside Africa karangan John Gunther tahun
1955 terbitan Hamiston Hamilton, London yang cukup menarik untuk dijadikan
referensi. Dalam buku ini , penulis telah mengumpulkan data sejarah dan
antropologi warga Benua Afrika pada akhir tahun 1920-an hingga tahun
1930-an. Gunther telah memakai lebih dari 100 sampel yang terdiri dari
wilayah dan kota yang dikunjunginya di benua ini . Menurut dia, keunikan
Afrika bersumber dari keadaan sosiologis, historis, antropologis, dan geografisnya.
Dari segi itu ternyata warga -warga Afrika pedalaman, tumbuh dan
berkembang dari kelompok-kelompok kesukuan dan sub-kesukuan. Itulah
sebabnya saat terjadi kolonialisme Afrika seperti Perancis, Inggris, Belanda,
Belgia mulai mengeksploitasi ekonomi Afrika, mereka kebanyakan sembari
mengumpulkan informasi historis-antropologis warga kesukuan ini .
Dari kajian historis-antropologis itu, ditemukan unsur budaya dari warga
primitif hingga warga modern. Dalam warga Afrika, ternyata yang
masih tetap kuat adalah unsur patronase dan paternalistik.
Afrika juga memiliki keunikan dari sudut geografi, yang menempatkan
Afrika sebagai benua sendiri di dunia. Keunikan itu adalah terbentuknya gurun
pasir yang oleh para pakar Barat disebut Laut Patih. sedang di pedalaman
Afrika, diwarnai dengan kekayaan flora dan fauna yang memberikan sumbangan
besar terhadap kajian antropologi, sejarah, dan akhir-akhir ini kajian mengenai
lingkungan hidup.
Kedua keunikan itulah yang membentuk warga Afrika secara khusus,
dan penting untuk dikaji secara ilmiah. Tentang pentingnya Afrika sebagai kajian
ilmiah, ternyata berdasar pada jurnal-jurnal ilmiah yang terbit selama beberapa
dekade, dan oleh sebab nya kajian Afrika di mata sarjana Barat telah melahirkan
Africa Studies. Jurnal ilmiah yang paling banyak adalah bidang antropologi tentang
Afrika. Secara khusus ada universitas di Inggris, yang dinamakan “Universitas
Bidang Ketimuran” yang mempelajari tentang Asia dan Afrika.
Munculnya kajian Afrika di universitas-universitas Eropa Barat
dilatarbelakangi oleh beberapa kondisi yaitu: pertama, didorong oleh kebijakan-
kebijakan kolonial saat Afrika menjadi tanah koloni Afrika Barat. Atas dasar ini,
maka kajian Afrika telah dimulai sejak Afrika menjadi tanah koloni. Kedua, kajian
Afrika didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa Barat sejak
revolusi industri di Inggris, yang menempatkan bidang ilmu dan teknologi
prioritas utama untuk kemajuan industri. sesudah Perang Dunia II, kajian Afrika
semakin berkembang pesat, terutama di kampus-kampus Eropa Barat.
Perkembangan yang pesat ini sebab dorongan perkembangan teori dan
metodologi ilmu sosial yang menempatkan cara-cara kualitatif yang diagungkan
tahun 1930-an. Dalam pada itu Amerika Serikat menjadi pelopor perkembangan
secara kualitatif dalam ilmu sosial. Dilihat dari segi pembagian wilayah kajian,
meskipun pembagian itu semu, tampaknya Perguruan Tinggi di Eropa Barat lebih
memusatkan kajiannya pada wilayah-wilayah Afrika, sedang Amerika Serikat
lebih memusatkan pada kajian Asia Tenggara, Southeast Asian Programs.
D. Patront-Client
Membahas patront-client berarti membahas dua bidang yaitu: (1) membahas
teori Barat yang berhubungan dengan patront-client, (2) membahas pengalaman
warga dalam mengembangkan kebudayaannya, sehingga terbentuk struktur
warga . Dari segi teori-teori Barat, hubungan patront-client, berarti membahas
teori-teori kepemimpinan R.Bendik dan Max Weber. Bendix adalah seorang
pemikir Italia, yang menjelaskan bahwa dalam warga dunia selalu terdiri dari
pemimpin dan orang yang dipimpin. Yang dipimpin adalah rakyat yang selalu
didominasi oleh para kaum kolonial. Itulah sebabnya Bendik menyebut istilah sub-
ordinasi, yaitu sebagai warga yang dikuasai. Oleh sebab itu menurut Bendix,
pemimpin selalu memiliki dua hal yaitu power dan authority. Dalam kajiannya,
Bendix lebih banyak menjelaskan power dan authority warga foedal di Eropa.
lalu Weber pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga menjelaskan
hubungan patront-client melalui teorinya yaitu: (1) teori yang tradisional, (2)
kharismatik, dan (3) rasional. Pada hubungan yang tradisional, seorang patront
memperoleh kedudukannya melalui secara turun temurun. Kekuasaan yang
diperoleh secara turun temurun ini dibahas oleh Bendix namun kurang membahas
tentang patront-client pada kepemimpinan rasional. Ia sedikit menyinggung
kharismatik seorang penguasa. Pada hubungan kharismatik, seorang patront
memiliki client yang banyak, diikuti oleh rakyat banyak sebab kharismanya,
misalnya tokoh-tokoh keagamaan, pendeta, pastor, dan kiai. Pembahasan Weber
mengenai kharismatik ini merupakan pembahasan argumentatif-komparatif yaitu
pengalaman warga keagamaan di dunia.
Pada abad Tengah di Eropa Barat yang dimulai pada abad ke-13, hingga
menjelang revolusi industri, ternyata para pendeta sangat memiliki kewibawaan
dalam agama, sosial, politik, ekonomi, sehingga membentuk nilai kharisma. Di
Indonesia pada abad ke-19, kharisma tokoh-tokoh agama Islam yaitu para kiai
menduduki kepemimpinan yang kharismatik. Ada dua hal yang mendorong yaitu:
pertama, kiai-kiai mengembangkan pesantren-pesantren seperti tampak di Jawa
sebagai akibat dari modernisasi Barat dan masuknya ekonomi uang. Maka cara
melawannya adalah dengan mendirikan pesantren-pesanteren. Jika mempelajari
sejarah pesantren atau tradisi pesantren, tampak bahwa seorang kiai memiliki
kharisma yang sangat dikagumi oleh para santri pondok serta alumninya. Itulah
sebabnya para kiai memiliki hubungan patront-klient yang kharismatik hingga
saat ini telah banyak kajian studi tentang pesantren di Indonesia. Jika dipelajari
hubungan kiai dengan para santrinya menunjukkan corak yang kharismatik. Ada
teori yang - bahwa perkembangan Islam diikuti ajaran sufisme yaitu
gerakan yang dipimpin oleh para sufi/kiai yang mempelajari tasawuf. Dalam
konsep yang sufistik, ada hubungan patront-client yang kharismatik.
Kedua adalah kebijakan kolonial yang berupa pemberian tugas kepada aparat
birokrasi kolonial untuk mengawasi kegiatan-kegiatan orang Islam, dan harus
memberikan laporan, dan atas dasar itulah maka para kiai sangat dipatuhi oleh
pengikutnya sebagai patront. Dalam konsep tradisi kiai sebagai patront memiliki
kewajiban: (1) membimbing para santri untuk dapat menjalankan syariat Islam
secara baik; (2) melindungi para santri dari ancaman-ancaman baik yang bersifat
fisik maupun non-fisik sehingga ajaran seorang kiai pada suatu pesantren sangat
dipatuhi sebagai benteng untuk melawan segalanya. Di sini biasanya seorang kiai
mengembangkan tarekat atau tasawuf dengan aliran masing-masing.
Pemimpin yang rasional menurut Weber, berdasar patront-client di mana
ukurannya adalah prestasi, sehingga mengembangkan “merit sistem”, yaitu sistem
jabatan berdasar keahlian, sehingga lebih mengembangkan rasio atau nalar.
Kebudayaan Barat sejak abad ke-16 mulai dengan “merit sistem” terutama di
Inggris meskipun di Inggris pada abad ke-15, feodalisme masih kuat. sesudah
revolusi industri abad ke-18, sistem keahlian berkembang pesat, sehingga dunia
perdagangan, birokrasi, ekonomi, politik, industri berkembang pesat sebab
dorongan merit sistem (keahlian atau prestasi).
Kebudayaan Islam di Indonesia yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan
Islam pada abad ke-17 saat ada potensi ekonomi yang luar biasa di bidang
perdagangan, ternyata hubungan patront-client mulai berubah ke arah yang
egalitarian yang lalu disebut demokrasi, menurut konsep warga
modern. Abad ke-17 adalah abad Islam dalam sejarah Indonesia, sebab potensi
ekonomi perdagangannya. Hubungan patront-client, dalam hal ini dapat diambil
contoh kerajaan Aceh. Di Aceh, kerajaan Aceh memiliki dua kitab undang-
undang yaitu Tajusalatin dan Bustanu Salatin. Dua buku ini merupakan dua sumber
untuk menatur warga Islam Aceh dalam hal hubungan antara raja dengan
rakyat (patront-client). Ada perbedaan raja sebagai patront antara kebudayan Islam
dengan kebudayaan Hindu. Dalam kebudayaan Islam patront adalah: (1) raja dalam
konsep Islam dianggap sebagai orang biasa yang memiliki kelebihan; (2) dalam
kebudayaan Islam, patront atau raja, sultan, harus mampu mengemban keadilan
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Oleh sebab itu, menurut adat Aceh, seperti
yang terungkap dalam dua kitab ini , raja dtuntut oleh klient-nya: (a) bertindak
adil pada orang yang mencuri, memberikan hukuman berat pada orang yang
mencuri; (b) raja harus menghidupkan yang mati, dan mematikan yang hidup.
Artinya yang salah harus dihukum dan yang benar harus dibebaskan; (c) raja-raja
Islam Aceh, dituntut oleh client untuk memberikan sebagian hartanya pada rakyat.
sedang dalam kebudayaan Hindu, patront dituntut bahwa: (a) raja sebagai
patront dianggap sebagai orang yang luar biasa, sebab ia mengandung unsur magis
dan sakral. Dunia giri raja sebagai patront, digambarkan sebagai mikrokosmos, di
mana client/rakyat beranggapan dan percaya bahwa hubungan mikrokosmos/alam
raya harus serasi dan seimbang. Jika terganggu akan menimbulkan malapetaka bagi
kehidupan manusia. Untuk itu patront harus disakralkan dengan berbagai ritual
dan ritual. (b) pada masa kejayaan Majapahit, kepala perang area , pada waktu
ritual bulan purnama setahun sekali harus menghadap raja bersama upetinya
berupa emas dan hasil bumi. sebab raja dianggap sebagai sakral, maka
mekanisme ini tidak mengalami kesulitan.
Selain sebagai makhluk Tuhan dan makhluk individu, manusia juga
memiliki kodrati sebagai makhluk sosial. Oleh sebab itu, sejak dahulu manusia
selalu hidup bersama-sama dalam suatu kelompok untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya seperti: mencari makan, menghadapi masalah,
mengatasi gangguan dan ancaman, serta melanjutkan keturunan,. Semula kelompok manusia itu hidup berpindah-pindah tempat, lalu
sebab perkembangan peradaban, mereka mulai hidup menetap pada suatu
tempat tertentu misalnya untuk beternak dan bercocok tanam.
Dalam usaha mempertahankan kelangsunan hidupnya pada tempat
tinggal tertentu yang diangap baik sebagai sumber penghidupan bagi
kelompoknya, diperlukan seorang atau sekelompok kecil orang-orang yang
ditugaskan untuk mengatur dan memimpin kelompoknya. Dalam pada itu,
pemimpin kelompok diberi kekuasaan dan kewenangan tertentu dan anggota
kelompok diwajibkan untuk mentaati peraturan atau perintah dari
pemimpinnya. Dengan demikian, maka timbullah dalam kelompok itu suatu
kekuasaan “pemerintahan yang sangat sederhana” ,Setiap
anggota kelompok itu dengan sadar mengetahui atau mendukung tata hidup
dan peraturan-peraturan yang ditetapkan pemimpin mereka. Tata dan peraturan
hidup tertentu itu mula-mula tidak tertulis yang batasan-batasannya tidak jelas
dan merupakan adat kebiasaan saja. namun , lambat laun peraturan
itu mereka tuliskan dan menjadi peraturan-peraturan tertulis yang dilaksanakan
dan ditaati.
Berkaitan dengan bertambah luasnya kepentingan sekelompok-
sekelompok itu dan untuk mengatasi segala kesulitan yang timbul baik internal
maupun eksternal, maka dianggap perlu dibentuk suatu organisasi yang lebih
teratur dan memiliki legitimasi kekuasaan yang memadai. Organisasi itu sangat
diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan
hidup agar dapat berjalan secara tertib. Organisasi yang memiliki legitimasi
kekuasaan itulah yang lalu dinamakan Negara.
Secara etimologis, konsep “negara” muncul dari terjemahan bahasa
asing Staat (Jerman dan Belanda) dan State (bahasa Inggris). Dua konsep itu,
baik Staat maupun State berakar dari bahasa Latin, yaitu statum atau status, yang
berarti menempatkan dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, dan
menempatkan. Kata status juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang
menunjukkan sifat atau keadaan tegak dan tetap.
Konsep negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori oleh J.H.H.
Logemaan dalam buku Over De Theorie Van Een Stelling Staadrecht