dari kolonial hingga nasional 4
By arwahx.blogspot. com at Januari 26, 2024
dari kolonial hingga nasional 4
over De Theorie Van Een Stelling Staadrecht, yakni bahwa
keberadaan negara bertujuan untuk menyelenggarakan dan mengatur
warga yang dilengkapi dengan kekuasaan tertingi. Definisi itu
menempatkan negara sebagai organisasi kekuasaan
bahwa negara adalah
suatu organisasi kekuasaan dari pada manusia-manusia (warga ) dan
merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam pengertian luas, negara merupakan kesatuan sosial yang diatur secara
konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Dapat disimpulkan bahwa negara merupakan suatu organisasi yang di
dalamnya harus ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintahan yang
berdaulat (baik ke dalam maupun ke luar). Dalam konsep negara sebagai
organisasi kekuasaan, di dalam negara ada suatu mekanisme atau tata
hubungan kerja yang mengatur suatu kelompok manusia atau rakyat agar
berdaulat atau bersikap sesuai dengan kehendak negara. Untuk dapat mengatur
rakyatnya, maka negara diberi kekuasaan (authority) yang dapat memaksa seluruh
angotanya untuk mematuhi segala peraturan atau ketentuan yang telah
ditetapkan oleh negara. Untuk menghindari adanya kekuasaan yang sewenang-
wenang, di sisi lain negara juga menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di
mana kekuasaan itu dapat dipakai dalam kehidupan bersama, baik oleh
individu, golongan, organisasi maupun oleh negara itu sendiri.
saat di dalam bahasa Indonesia kita hanya mengenal satu pengertian
tentang negara, maka tidak demikian halnya dalam sejarah bernegara di Eropa.
Analisis ini diperlukan agar kita tidak tergelincir ke pengertian negara yang tidak
sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia. Semenjak bangsa-bangsa di
Eropa sudah menetap dan tidak mengembara (nomaden) lagi, maka bernegara
biasanya diartikan memilki atau menguasai sebidang tanah atau wilayah
tertentu (Padmo Wahyono, 1992: 92). Dengan lain kata, penguasaan atas tanah
yang menumbuhkan kewenangan kenegaraan (teori patrimonial) di mana struktur
sosial yang di hasilkan disebut feodalisme atau landlordisme. Negara dalam keadaan
demikian disebut sebagai tanah (land) dan hal ini nampak pada sebutan England,
Holland, dan lain sebagainya.
Definisi ini lalu berkembang, yaitu bahwa tanah ini
mendatangkan kemakmuran atau kekayaan (reichrijkdom), di mana negara
lalu diartikan sebagai rijk (Belanda) atau reich (Jerman) yang artinya
kekayaan kelompok manusia (dinasti) misalnya frankrijk, Oostenrijk dan
sebagainya. Kondisi pra-liberal ini berakhir dengan tumbuhnya teori liberalisme
yang dipelopori oleh John Locke, Thomas Hobbes dan Jean Jaque Rousseau.
Dalam konsepsi itu, negara tidak lagi diartikan sebagai tanah maupun kekayaan
(land atau reich) melainkan sebagai suatu status hukum (state-staat), suatu
warga hukum (legal society) sebagai hasil dari suatu perjanjian berwarga
(social contract). Jadi negara merupakan hasil perjanjian berwarga (ver trag-ver-
drag) dari pada individu-individu yang bebas, sehingga hak-hak orang seorang
(hak asasi) adalah lebih tinggi kedudukannya ketimbang negara yang merupakan
hasil bentukan individu-individu bebas ini .
Cara pandang individualstik ini sebagaimana dijelaskan oleh Soepomo
di dalam rapat BPUPKI, tidak kita pilih atau kita ikuti, sekalipun di dalam
lembaga-lembaga pendidkan di Indonesia masih di “indoktrinasikan”. Faham
individualistik ini mendapat pertentangan dalam sejarah kenegaraan di Eropa
dari kelompok sosialis-komunis yang dipelopori oleh Marx, Engels, Lenin yang
berangapan berdasar teori kelas bahwa negara adalah alat dari mereka yang
ekonominya kuat untuk menindas yang lemah. Cara pandang seperti itu juga
bukan cara pandang bangsa Indonesia tentang negara.
Selain kedua cara pandang ini , soepomo menguraikan adanya cara
pandang yang ketiga yang dikenal sebagai cara pandang inegralistk, yang melihat
negara sebagai suatu kesatuan organis, seperti yang dikemukakan oleh Hegel,
Adam Muller, dan Spinoza. Faham integralistik ini berbeda dengan cara
pandang individualistik dari Rousseau dan kolektivisme Rusia. Dalam pada itu,
Hatta menentang faham integralistik Jerman ini, sebab dianggap dapat
menumbuhkan negara kekuasaan, sekalipun ada kemiripan dengan cara
pandang Indonesia tentang satunya makro dan mikrokosmos. Hatta
mengusulkan dilengkapinya cara pandang integralistik ini dengen
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan - pendapat. Dengan
diterimanya usul Muhhamad Hatta, maka terbentuklah integralistik Indonesia
yang berbeda dengan cara pandang integralistk Jerman , Dapat diidentifikasi bahwa di dalam individualisme Rousseau,
individu lebih diutamakan ketimbang warga . sedang di dalam
integralistik Jerman, warga lebih diutamakan ketimbang individu, dan di
dalam integralistik Indonesia, kemakmuran warga diutamakan, namun
harkat dan martabat manusia tetap dihargai.
Oleh sebab itu cara pandang Indonesia, tidak sekedar melihat negara
secara organis, melainkan sebagaimana disepakati yang lalu dirumuskan
dalam alinea ketiga UUD 1945, yaitu bahwa negara adalah suatu keadaan
kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rakhmat Allah
Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur bangsa Indonesia
untuk berkehidupan berkebangsaan yang bebas. Dengan demikian sekalipun
semenjak Rousseau, analisa bernegara berkisar pada masalah hukum, yaitu
pembentukan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, namun analisa ini di
Indonesia harus tetap didasarkan pada cara pandang integralistik.
K. Terjadinya Negara Nasional, Tujuan dan Fungsi
1. Terjadinya Negara
Suatu negara tidak serta-merta begitu saja muncul, namun ada
latarbelakang pendorongnya. ada beberapa teori tentang terjadinya suatu
negara, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Teori fakta
Dalam teori ini, terjadinya suatu negara adalah suatu fakta . saat
unsur-unsur negara (pemerintahan yang berdaulat, bangsa dan wilayah) ada,
maka pada saat itu juga suatu negara sudah menjadi fakta .
2. Teori Ketuhanan
Terjadinya suatu negara adalah kehendak Tuhan. Menurut teori ini segala
sesuatu tidak akan terjadi apabila Tuhan tidak menghendakinya. Kalimat-
kalimat seperti “Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa”...”by the
grace of God...” menunjuk ke arah teori ini.
3. Teori Perjanjian
berdasar teori ini, terjadinya negara disebab kan oleh adanya perjanjian
yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas
satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diselenggarakan agar
kepentingan bersama terpelihara dan terjamin, agar orang yang satu tidak
merupakan binatang buas bagi orang yang lain (homo homini lupus, menurut
Hobbes). Perjanjian itu disebut perjanjian warga (social contract menurut
ajaran Rousseau). Dapat pula terjadi suatu perjanjian antara area jajahan,
misalnya kemerdekaan Filifina pada tahun 1946 dan India pada tahun 1947.
4. Teori Penaklukan
berdasar teori ini, terjadinya negara disebabkan oleh sekelompok
manusia menaklukan area kelomok lain. Agar area itu tetap dapat
dikuasai, maka dibentuklah suatu organisasi yang berupa negara. Selain itu
terjadinya negara dapat pula disebabkan oleh adanya:
a. Pemberontakan terhadap negara lain yang menjajah,
seperti: Amerika Serikat terhadap Inggris pada tahun
1776-1783.
b. Peleburan (fusi) antara beberapa negara manjadi satu
negara baru, misalnya: Jerman bersatu pada tahun 1871.
c. Suatu area yang belum ada rakyatnya atau pemerintahannya
diduduki/dikuasai oleh bangsa/negara lain.
106
d. Suatu area tertentu melepaskan diri dari yang tadinya menguasainya
dan - dirinya sebagai suatu negara baru (misalnya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945).
Secara teoritis, suatu negara dianggap ada apabila telah dipenuhi
ketiga unsur negara yaitu: pemerintahan yang berdaulat, bangsa, dan wilayah.
Konsepsi seperti ini mempengaruhi pula perdebatan di dalam PPKI, baik di
dalam membahas wilayah negara maupun di dalam merumuskan Pembukaan
yang sebenarnya direncanakan sebagai naskah Proklamasi. Suatu fakta pula
bahwa tidak satupun warga negara Indonesia yang tidak mengangap bahwa
terjadinya NKRI adalah pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945, sekalipun ada
pihak-pihak (terutama luar negeri) yang berangapan berbeda dengan dalih teori
yang universal. Oleh sebab itu sekalipun pemerintah belum terbentuk, bahkan
hukum dasarnya pun belum disahkan, namun bangsa Indonesia beranggapan
bahwa NKRI sudah ada semenjak di Proklamasikan. Bahkan apabila kita kaji
rumusan pada alinea ke dua Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia
beranggapan bahwa terjadinya negara merupakan suatu proses atau rangkaian
tahap-tahap yang berkesinambungan. Adapun rincian ini adalah: (1)
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia; (2) proklamasi atau pintu
gerbang kemerdekaan, dan (3) keadaan bernegara yang nilai-nilai dasarnya
adalah merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam menterjemahkan
perkembangan teori kenegaraan tentang terjadinya NKRI sangat terperinci. Hal
ini dapat kita amati tentang unsur terjadinya NKRI adalah sebagai berikut:
a. Terjadinya negara merupakan suatu proses yang tidak sekedar dimulai dari
proklamasi, melainkan bahwa perjuangan kemerdekaan pun memiliki
peran khususnya dalam pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan.
b. sesudah Proklamasi barulah “mengantarkan bangsa Indonesia” ke depan
pintu gerbang kemerdekaan, jadi tidak berarti bahwa dengan proklamasi
telah selesai kita bernegara
c. Keadaan bernegara yang kita cita-citakan bukanlah sekedar adanya
pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus kita isi menuju
keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur.
d. Terjadinya negara adalah kehendak seluruh bangsa, dan bukan sekedar
keinginan golongan yang kaya dan yang pandai atau golongan yang
ekonomi lemah untuk menentang yang ekonomi kuat seperti dalam teori
kelas.
e. Unsur religieusitas dalam terjadinya negara menunjukkan kepercayaan bangsa
Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Unsur terakhir inilah yang lalu diterjemahkan menjadi pokok
pikiran keempat yang terkandung di dalam pembukaan bahwa: Indonesia
bernegara mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang di dasarkan pada
kemanusiaan yang adil dan beadab. Oleh sebab itu Undang-Undang Dasar
harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur.
2. Tujuan dan Fungsi Negara
Dalam sistem feodal, tujuan negara adalah penguasaan atas tanah.
Oleh sebab itu, pemupukan kekayaan oleh penguasa menjadi tujuan utama dan
kekayaan yang melimpah pada penguasa (negara) akan “tertumpah” pada
rakyatnya. Rakyat cukup menyerahkan diri pada penguasa apabila ingin
makmur. Itulah tujuan bernegara yang feodalistik atau yang sering kali terjelma
pula dalam sistem perekonomian “merkantilistik” bahkan etatisme. Secara
kiasan sering diungkapkan bahwa rakyat harus menunggu “membesarnya kue”
yang akan dibagi.
Cara pandang demokrasi modern semenjak Rousseau maka tujuan
bernegara adalah persamaan dan kebebasan (man are born free and equal). Gagasan
ini bahkan menjadi mitos di Eropa dengan nuansa penekanan yang berbeda-
beda. Misalnya di Eropa Barat orang mengutamakan kebebasannya sedang
persamaannya cukup dalam hukum, sedang di Eropa Timur (menurut
Eropa Barat) yang diutamakan persamaan materinya, sedang kebebasannya
dinomorduakan. Mitos persamaan dan kebebasan ini lalu dituangkan ke
dalam konsep negara hukum yang demokratis dengan pelbagai variasinya,
sehinga oleh Carl Schmitt disimpulkan bahwa Ide al Begrif derverfassung atau
pengertian ideal di dalam konstitusi adalah Demokratischen Rechtsstaat. Mitos ini
pernah diterapkan pula di dalam konstitusi RIS dan UUD S 1950 dengan
rumusan negara hukum yang demokratis. Di negara-negara Anglo Saxon kita
kenal konsep Rule of Low and not of men, sedang negara-negara Eropa Timur
cenderung pada konsep Socialist Legality.
lalu bagaimana tujuan bernegara Indonesia. Sesungguhnya
merupakan konsep yang lebi tua dari pada negara hukum (modern) ialah bahwa
konsep negara bertujuan untuk memenuhi kepentingan umum atau res publica.
Ini dibakukan dalam konsep negara Republik, sehingga asumsinya setiap negara
yang berbentuk Republik, adalah untuk kepentingan umum dan bukan untuk
kepentingan dinasti (monarchie) atau untuk kepentingan golongan (aristokrasi).
Konsep kepentingan umum menurut bangsa Indonesia secara
ketatanegaraan, sering kali diungkapkan sebagai warga adil dan makmur
berdasar Pancasila. Di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945
dirumuskan unsur-unsur warga adil makmur berdasar pancasila
ini secara dinamis dan tidak terminal utopistis. Unsur-unsur ini
adalah: (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar perdamaian
abadi, kemerdekaan, dan keadilan sosial. Dengan demikian konsepsi warga
adil dan makmur berdasar Pancasila adalah secara ketatanegaraan tidak lain
yakni terselenggaranya keempat unsur ini secara dinamis
berkesinambungan.
Operasionalisasinya pencapaian tujuan bernegara menurut penjelasan
UUD 1945, maka pertama di-“ciptakan” pokok-pokok pikiran dalam
Pembukaan ini ke dalam pasal-pasal sebagai instruksi bagi penyelenggara negara
untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan menyelengarakan kesejaheraan
sosial. Penjabaran ini lebih lanjut ialah ke dalam unang-undang, demikianlah
sistem undang-undang dasar kita. Penciptaan ke dalam pasal-pasal adalah dalam
bentuk ke dalam tatanan-tatanan kehidupan yang dijabarkan nilai-nilai dasarnya.
sedang mengenai fungsi negara, mengisyaratkan bahwa setiap
negara menyelenggarakan fungsinya sebagai negara. Adapun fungsi negara
adalah sebagai berikut: (1) melaksanakan penertiban dan keamanan negara,
dimana untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah terjadinya disintegrasi
bangsa maka negara harus berperan melaksanakan penertiban; (2)
mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (3) pertahanan; dan (4)
menegakkan keadilan yang dilaksanakan melalui badan peradilan. Menurut Mac
Iver, fungsi negara dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: (1) ketertiban,
(2) perlindungan, dan (3) pemeliharaan dan perkembangan.
H. Bentuk dan Unsur Negara
1. Bentuk Negara
Bentuk negara adalah penjelmaan dari pada organisasi negara secara
nyata di warga . Ia mencerminkan suatu pola tertentu atau dengan orientasi
sistemik, merupakan suatu sistem berorganisasi atau puncaknya manusia dalam
kehidupan berkelompok. berdasar teori-teori modern, bentuk negara yang
terpenting adalah Negara Kesatuan (Unitarisme) dan Negara Serikat (Federasi). Di
lihat dari segi ini maka bentuk organisasi negara bukan lagi masalah republik
atau monarkhi, aristokrasi, melainkan negara kesatuan dan negara serikat.
1. Negara Kesatuan adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat di mana
diseluruh negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah pusat yang mengatur
seluruh area . Di dalam negara kesatuan, pemerintah pusat memiliki
wewenang untuk mengatur seluruh wilayahnya melalui pembentukan area -
area dalam wilayah negara. Dalam negara kesatuan pelaksanaan
pemerintahan negara dapat dilaksanakan dengan sistem sentralisasi dan
desentralisasi. Pertama, sistem sentralisasi adalah segala sesuatu dalam negara itu
langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedang area -area
tinggal melaksanakannya. Kedua, sistem desentralisasi di mana kepada area
diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya
sendiri (otonomi area ) yang dinamakan area otonom. Bentuk negara kesatuan
biasanya memiliki sifat-sifat seperti: (1) kedaulatan negara mencakup
ke dalam dan ke luar yang ditangani pemerintah pusat; (2) negara hanya
memiliki satu undang-undang dasar, satu kepala negara, satu dewan menteri,
dan satu Dewan Perwakilan Rakyat; (3) hanya ada satu kebijakan yang
menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan
keamanan.
2. Negara Sereikat (Federasi) adalah suatu negara yang merupakan gabungan
beberapa negara, yang menjadi negara-negara bagian dan negara serikat itu.
Negara-negara bagian itu semula merupakan suatu negara yang merdeka dan
berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara
serikat, maka negara yang tadinya berdiri sendiri itu dan lalu menjadi
negara bagian, melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkan
kepada negara serikat. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan satu demi satu
(liminatif), dan hanya kekuasaan yang disebutkan itulah yang deserahkan kepada
negara serikat (delegated powers). Kekuasaan asli ada pada negara bagian, dan
negara itu berhubungan langsung dengan rakyatnya. Kekuasaan dari negara
serikat adalah kekuasaan yang dterimanya dari negara bagian. Biasanya yang
diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara serikat ialah hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan luar negeri, pertahanan negara, keuangan dan
urusan pos dan telekomunikasi.
3. Unsur Negara
biasanya , dapat dikatakan bahwa suatu negara itu harus memenuhi
syarat-syarat : (1) rakyat yang bersatu, (2) area atau wilayah, (3) pemerintah
yang berdaulat, dan mendapat pengakuan dari negara lain (Budiyanto, 1997).
Konvensi Montevideo pada tahun 1933 menyebutkan unsur-unsur berdirinya suatu
negara antara lain berupa rakyat, wilayah yang tetap, dan pemerintah yang
mampu mengadakan hubungan internasional. Dari pendapat ini , unsur
rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat merupakan unsur konstitutif
sebab keberadaannya mutlak harus ada. sedang pengakuan dari negara lain
merupakan unsur deklaratif yang bersifat formalitas, sebab diperlukan dalam
rangka memenuhi unsur tata aturan pergaulan internasional.
- bahwa biasanya negara itu harus memenuhi unsur-unsur
atau syarat: (a) harus ada wilayahnya; (b) harus ada rakyatnya; (c) harus ada
pemerintahan yang berkuasa terhadap seluruh area dan rakyatnya, dan (d)
harus ada tujuannya.
112
BAB VII
TUMBUHNYA NASIONALISME MODERN
F. Kajian Nasionalisme
Membahas sejarah nasionalisme baik secara makro maupun mikro,
berarti masuk ke kawasan politik. sedang wilayah politik itu sendiri dapat
dikaji dari segi: sejarah politik, sosiologi politik, antropologi politik, dan ilmu
politik. Dimensi ini saling mengoreksi dan melengkapi dalam pembahasannya,
sehingga ditemukan fenomena yang utuh tentang konsep sejarah tata negara.
Oleh sebab itu dalam pembahasannya, sejarah tata negara tidak dapat bediri
sendiri, sehingga memerlukan suatu terminologi yang lebih multidimensional
dalam pendekatannya.
Pertama sejarah politik. Dari segi efistomologis sejak Thucydides
menulis Perang Peloponesianya sebagai sejarah politik, tradisi sejarah sangat
didominasi oleh sejarah politik. Lebih-lebih dalam abad ke-19 sebagai abad
nasionalsme dan formasi negara nasional di Eropa Barat, sejarah politik-lah yang
sangat menonjol. Dalam konsep itu, sejarah diplomasi dan perang sangat
menonjol di suatu pihak, dan di lain pihak peranan para raja, panglima perang,
dan negarawan memegang peranan sentral. Fenomena ini masih kuat
pengaruhnya sampai sekarang. Hai ini disebabkan oleh adanya angapan bahwa
jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian plitik, diplomasi, perang, dan aktivitas
militer. Di samping itu ada pula teori orang besar, yang mengatakan bahwa
orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah. Fenomena ini terbukti dari
banyaknya karya biografi tokoh-tokoh sampai pada Perang Dunia II.
Perkembangan itu sejajar dengan berkembangnya sejarah nasional yang pada
masa ini sedang mengalami pertumbuhan yang pesat.
Mempelajari sejarah politik, tidak dapat dilepaskan dari sejarah sosial.
Tulisan dengan dimensi itu dapat dilihat pada tulisan Akira Nagazumi,
“Bangkitnya Nasionalisme Indonesia” dalam edisi bahasa Indonesia. Demikian pula
sebaliknya, sejarah sosial tidak dapat dilepaskan dengan sejarah politik. Lihat
tulisan Sartono Kartodirdjo, 1966, Pemberontakan Petani Banten 1888. lalu
apakah yang dibahas oleh sejarah politik. Secara konvensional, sejarah politik
113
membahas sejarah perang, sejarah parlementer, sejarah kerajaan; dan sejarah
modern dalam arti teori dan metodologisnya sejarah politik membahas tema-
tema yang luas misalnya biografi politik, partai politik, birokrasi, struktur politik
suatu warga atau negara, pemberontakan, hubungan sivil-militer dan lain
sebagainya. Sejarah modern ini lebih bersifat tematis sehingga temanya
sangat luas. Di Indonesia ada dua contoh tentang biografi politik yang dikemas
menjadi sejarah politik misalnya tulisan L.D.Legge dan Dahm yang sama-sama
menulis Tentang Soekarno. Oleh sebab itu, membicarakan biografi politik sebagai
tema mikro, dapat dimasukkan sebagai bagian dari sejarah tata negara.
Kedua sosiologi politik, yang merupakan interdisiplin sosiologi yang
pernah dikembangkan secara metodologis oleh Max Weber abad ke-19.
Sosiologi politik dapat membicarakan tipe kepemimpinan yang menurut teori
Weber ada tiga yaitu: (1) otoritas tradisional yang dimiliki berdasar pewarisan
atau turun temurun; (2) otoritas karismatik, yaitu berdasar pengaruh dan
kewibawaan pribadi; dan (3) otoritas legal rasional yang dimiliki berdasar
jabatan serta kemampuannya. Di negara-negara berkembang, tipe kepemimpinan
rasional dan kharismatik sering digabungkan menjadi satu. Contohnya sebagai
refleksi, dalam diskusi mengenai korupsi di Indonesia yang diselenggarakan oleh
Dewan Pertahanan Nasional tahun 2000 antara lain dibahas mengenai “Merit
Sistem”, yang artinya bahwa kedudukan atau jabatan harus didasarkan pada
prestasi, sehingga praktek KKN tidak terjadi. Ini berarti bahwa Merit Sistem
didasarkan pada tipe kepemimpinan rasional. Di samping itu sosiologi politik,
selain membahas tipe kepemimpinan baik formal maupun in formal, juga
membahas struktur politik, partai politik, partisipasi politik, hubungan sivil-
militer, tokoh politik, dan peranan serta fungsi kelembagaan politik.
Adapun perbedaan antara pemimpin formal dan informal adalah pada
otoritas yang dimilikinya. Pemimpin tipe formal memperoleh kekuasaan dari
jabatan atau pemimpin formal, sedang tipe informal adalah pemimpin
informal, dan pada dia ada kekuasaan karismatis. Dalam konteks Indonesia, tipe
formal biasanya juga memiliki otoritas tradisional, ialah golongan
aristokrasi yang masih memiliki hak mewariskan jabatan, terutama yang
memangku jabatan pamong praja. biasanya pelbagai tipe kepemimpinan
menduduki lokasi sosial-historis dengan orientasi nilai yang berbeda-beda,
sehingga berbeda pula reaksinya terhadap inovasi, yaitu penolakan, adaptasi, dan
asimilasi. Konflik politik dapat dikembalikan kepada faktor sosiokultural dengan
kepentingan ideologi atau nilai tertentu.
Dalam konsepsi ini, ahli ilmu sosiologi politik telah mengambil sistem
kategorisasi jenis sistem politiknya sekaligus merupakan studi perbandingan.
Analisis strukturalnya membahas status dan peranan perbagai elite, hubungan
dan perbandingan kekuasaan antara mereka, kesemuanya dalam kerangka
hirarkis suatu sistem feodal. Struktur kekuasaan sangat menentukan struktur
sosial dengan kedudukan birokrasi yang sangat sentral fungsinya. Dalam
hubungan ini sangatlah relevan menelaah kehidupan sosial antara golongan
sosial, terutama dalam konteks kepentingan, status sosial, ideologi, serta sistem
nilai-nilainya. Tidak dapat diabaikan fakta bahwa tindakan dan interaksi
politik tidak dapat berjalan di luar kerangka kebudayaan politik (political culture).
Di sini tindakan, kelakukan, serta sikap perlu dilembagakan.
Suatu determinisme sosial sudah barang tentu berpendapat bahwa
seluruh peranan seorang tokoh ditentukan oleh struktur warga , atau paling
tidak peranannya dijalankan dalam batas-batas struktural warga . Pelaku
tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ikatan atau subjektivitas itu,
khususnya berkaitan dengan pandangan dunia. Sebaliknya, perlu diakui bahwa
tokoh sejarah acapkali lebih jauh memandang ke depan atau berperan sebagai
perintis atau protagonis. Protagonisme atau inovasi sering menuntut perubahan
evolusioner sehingga pelaksanaannya menuntut kepribadian atau kepemimpinan
yang kuat. Tepatlah kiranya apabila dikatakan bahwa tokoh menjadi orang
marginal dan pencipta sub-kultur, akhirnya dapat menciptakan kultur dominan
dalam kajian sosiologi politik.
Ketiga antropologi politik. Pada awalnya, antropologi politik
membicarakan perkembangan warga kesukuan, hal ini sebab antropologi
lebih menekankan pada sistem kekerabatan. lalu antropologi politik
berkembang pengkajiannya pada simbol-simbol politik, satrategi politik,
hubungan kebudayaan politik, serta adat-istiadat setempat dalam hubungannya
dengan politik. Antropologi politik, sangat erat hubunganya dengan antropologi
sosial. Sebagai permisalan, kolusi dan korupsi yang terjadi dalam pemerintah
politik, akan lebih tajam pembahasannya jika dikaji dengan antropologi politik.
Hal ini sebab menyangkut masalah kebudayaan politik dalam hubungannya
dengan korupsi.
Untuk membahas kerajaan tradisional, sebagai contoh lain, tepatlah
kiranya analisis antropologi politik dipakai untuk mengupas sistem politiknya,
yang mencakup otoritas kharismatis atau tradisional, patrionalisme, feodalisme,
birokrasi tradisional, dan lain sebagainya. Banyak antropolog semacam itu
misalnya Cunningham, Schorl, dan Schulte-Nordholt. Pada hakikatnya yang
mereka hasilkan lebih merupakan sejarah struktural dengan pendekatan
sinkronis. Maka dari itu, tepatlah kiranya apabila sejarawan menggarap tema yang
sama secara diakronis, meskipun tanpa mengabaikan pendekatan strukturalnya.
Keempat ilmu politik. Dalam studi ilmu politik, bidang ketatanegaraan
konsentrasinya hanya negara-negara modern, yaitu negara-negara yang muncul
menjelang Perang Dunia I terutama kerajaan-kerajaan yang mulai meninggalkan
tradisi monarkhi, dan pembahasannya dteruskan pada negara-negara sesudah
Perang Dunia II. Dalam hubungan ini, skenario politik baik di tingkat makro
maupun mikro, dapat digambarkan secara rinci berdasar analisis ilmu sosial
sedemikian rupa, sehingga dapat diekstrapolasikan, antara lain, (1) gejala atau
pola umum perjuangan politik, (2) kecenderungan dalam proses politik yang
menunjukkan keteraturan (regularities). Kedua gejala ini akan menambah makna
kejadian-kejadian serta memberi kemungkinan untuk membuat suatu
perbandingan serta generalisasi.
Dimensi sosial dari proses politik mencakup status dan peranan elite
politik: bangsawan, aristokrasi, birokrat, kaum intelegensia, elite religius,
meritokrasi, teknokrasi, elite desa, dan lain sebagainya. Otoritas yang mereka
miliki antara lain otoritas karismatis, termasuk pula yang sudah mengalami
rutinisasi, otoritas tradisional, otoritas legal dan rasional. Bagaimana interaksi
dalam proses perjuangan kekuasaan, terutama dalam periode transisi (abad ke-19
dan ke-20) sewaktu orientasi nilai-nilai bergeser sebagai dampak proses penetrasi
pengaruh Barat dan modernisasi. Posisi sosial kultural elite masing-masing
menimbulkan konflik, yang menimbulkan fenomena yang bernuansa dari proses
sosial dan politik yang selalu berkesinambungan. Lebih jauh hal ini akan di bahas
pada bab-bab berikutnya dari kajian sejarah tata negara ini.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa kajian ilmu politik, berarti
memasuki wilayah kekuasaan. sebab dalam hal ini, ilmu politik berarti ilmu
yang membahas tentang bagaimana cara untuk mendapatkan kekuasaan baik
dalam konsep yang bersahaja maupun modern, dan bagaimana cara-cara untuk
mempertahankannya. Konsep ini tampak sederhana, namun sesudah memasuki
wilayah kajiannya, maka akan ditemukan fenomena-fenomena yang sangat
kompleks, yang mewarnai kajian ilmu politik, dan memperkaya kajian sejarah
ketatanegaraan yang akan dibahas dalam buku ini.
B. Pembentukan Kesadaran Sejarah
Apabila suatu kepribadian turut membentuk identitas seorang individu
atau suatu komunitas, kiranya tidak sulit dipahami bahwa kepribadian berakar
pada sejarah pertumbuhannya. Di sini, kesadaran sejarah amat esensial bagi
pembentukan kepribadian. Analog dengan sosiogenesis individu, kepribadian
bangsa juga secara inhern memuat kesadaran sejarah itu. Implikasi hal ini di
atas bagi national building ialah tak lain bahwa sejarah dan pendidikan memiliki
hubungan yang erat dalam proses pembentukan kesadaran sejarah. Dalam
rangka nation building pembentukan solidaritas, inspirasi dan aspirasi mengambil
peranan yang penting, di satu pihak untuk system-maintenance negara nasion, dan
dipihak lain memperkuat orientasi atau tujuan negara ini . Tanpa kesdaran
sejarah, kedua fungsi ini sulit kiranya untuk dipacu, dengan perkataan lain
semangat nasionalisme tidak dapat ditumbuhkan tanpa kesadaran sejarah
(Kartodirdjo, 1993: 53).
Apabila sudah disadari hubungan erat antara sejarah dengan pendidikan,
memang belum ada jaminan bahwa makna dasar dari sejarah telah bias
diwujudkan untuk menunjang proses pendidikan itu. Masih diperlukan proses
aktualisasi nilai-nilai sejarah dalam kehidupan yang nyata. Dengan kata lain,
sejarah tidak akan berfungsi bagi proses pendidikan yang menjurus ke arah
pertumbuhan dan pengembangan karakter bangsa apabila nilai-nilai sejarah
ini belum terwujud dalam pola-pola perilaku yang nyata.
Untuk sampai pada taraf wujud perilaku ini, perlu ditumbuhkan
kesadaran, bahwa:
“…Suatu orientasi intelektual, suatu sikap jiwa yang perlu memahami
secara tepat faham kepribadian nasional. Kesadaran sejarah ini menuntun
manusia pada pengertian mengenal diri sendiri sebagai bangsa, kepada self
understanding of nation, kepada sangkan paran suatu bangsa, kepada
persoalan what we are, what we are what we are…”
Dengan demikian, kesadaran sejarah tidak lain daripada kondisi kejiwaan
yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah bagi
masa kini dan bagi masa yang akan datang, menyadari dasar pokok bagi
berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan.
Untuk mengembangkan manusia seperti itu, dengan sendirinya
diperlukan motivasi yang kuat sebagai factor penggerak dari dalam diri manusia
sendiri. Ini tidak lain daripada nilai-nilai, yang kalau dihubungkan dengan sejarah,
merupakan nilai-nilai masa lampau yang telah teruji oleh jaman. Di sinilah
bertemu antara pendidikan dan sejarah. Sejarah dalam salah satu fungsi utamanya
adalah mengabdikan pengalaman-pengalaman warga di waktu yang lampau,
yang sewaktu-waktu dapat menjadi bahan pertimbangan bagi warga itu
dalam memecahkan problema-problema yang dihadapinya. Melalui sejarahlah
nilai-nilai masa lampau dapat dipetik dan dipakai untuk menghadapi masa
kini. Oleh sebab itu, tanpa sejarah orang tidak akan mampu membangun ide-ide
tentang konsekuensi dari apa yang dia lakukan dalam realitas kehidupannya pada
masa kini dan masa yang akan dating, dalam sebuah kesadaran historis. Dalam
kaitan ini, - sebagai berikut:
mengenal diri sendiri itu berarti mengenal apa yang dapat seseorang lakukan, dan
sebab tidak seorang pun mengetahui apa yang bisa dia lakukan sampai dia
mencobanya, maka satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang dia bisa
perbuat seseorang adalah apa yang telah diperbuat. Dengan demikian nilai dari
sejarah adalah bahwa sejarah telah mengjarkan tentang apa yang telah manusia
kerjakan, dan selanjutnya apa sebenarnya manusia itu.
Menurut Suyatno Kartodirdjo (1989: 1-7), kesadaran sejarah pada
manusia sangat penting artinya bagi pembinaan budaya bangsa. Kesadaran
sejarah dalam konteks ini bukan hanya sekedar memperluas pengatahuan,
melainkan harus diarahkan pula kepada kesadaran penghayatan nilai-nilai budaya
yang relevan dengan usaha pengembangan kebudayaan itu sendiri. Kesadaran
sejarah dalam konteks pembinaan budaya bangsa dalam pembangkitan kesadaran
bahwa bangsa itu merupakan suatu kesatuan sosial yang terwujud melalui suatu
proses sejarah, yang akhirnya mempersatukan beberapa nasion kecil dalam suatu
nasion besar yaitu bangsa. Dengan demikian indikator-indikator kesadaran
sejarah ini dapat dirumuskan mencakup: menghayati makna dan hakekat
sejarah bagi masa kini dan masa yang akan dating; mengenal diri sendiri dan
bangsanya; membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa; dan menjaga
peninggalan sejarah bangsa.
C. Substansi Nasionalisme
Dalam pembelajaran sejarah, nasioanlisme merupakan tujuan
pembelajaran yang sangat penting dalam rangka membangun karakter bangsa.
Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006, mata pelajaran sejarah telah diberikan
pada tingkat pendidikan dasar sebagai bagian integral dari mata pelajaran IPS,
sedang pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran
tersendiri. Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan
watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan
manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi
sejarah mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan,
patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari
proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; memuat khasanah
mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia.
Materi ini merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses
pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk
menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; sarat
dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis
multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; dan berguna untuk
menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Nasionalisme dalam dimensi historisitas dan normativitas, merupakan
sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah
manusia, paling kurang dalam dasa warsa seratus tahun terakhir. Tidak ada satu
pun ruang geografis-sosial di muka bumi yang lepas sepenuhnya dari pengaruh
ideologi ini. Tanpa ideologi nasionalisme, dinamika sejarah manusia akan
berbeda sama sekali. Berakhirnya Perang Dingin dan semakin merebaknya
konsepsi dan arus globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga
sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang
berkembang dengan sangat pesat, tidak dengan serta-merta membawa
keruntuhan bagi nasionalisme. Sebaliknya, medan-medan ekspresi konsepsi
nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan komunikasi
sosial, politik, kultur, dan bahkan ekonomi internasional, baik di kalangan negara
maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara
Dunia Ketiga, seperti India, China, Malaysia, dan Indonesia. Nasionalisme tetap
menjadi payung social-kultur negara-negara manapun untuk mengukuhkan
integritasnya.
Sebagai suatu faham kebangsaan, nasionalisme merupakan “ruh” social-
kultur untuk membentuk dan memperkokoh identitas nasional sebagai jati diri
bangsa yang telah memiliki martabat kemerdekaan. Meskipun telah sering
dianggap usang untuk dikaji dan diperdebatkan dalam komunikasi ilmiah, namun
sejatinya nasionalisme tidak sekedar cukup untuk diperbincangkan dan
dipertentangkan sebagaimana konsepsinya yang sering dianggap bias, melainkan
perlu suatu penghayatan yang tulus untuk ditanamkan dalam kehidupan
berbangsa, dan terinternalisasi serta terintegrasi dalam kultur kehidupan
bernegara. Apalagi dalam konteks kebangsaan Indonesia yang plural atau
heterogen, maka diperlukan ikatan ideologis yang menjadi rasa milik bersama
yang bersifat kolektif.
Nasionalisme sebagai gejala historis memiliki peranan urgent pada abad
XX dalam proses nation formation negara-negara nasional modern di Asia dan
Afrika. Ideologi kolektif nasionalisme ini memiliki fungsi teleologis serta
memberi orientasi bagi suatu warga sehingga terbentuk solidaritas yang
menjadi landasan bagi proses pengintegrasiannya sebagai nasion atau komunitas
politik. Sebagai ideologi kebangsaan, nasionalisme terbentuk counter-ideology
terhadap kolonialisme dan imperialisme yang sanggup menawarkan realitas
tandingan serta menyajikan orientasi tujuan bagi gerakan politik yang berjuang
untuk mewujudkan realitas substantive ini . Dalam konsepsi ini,
pengalaman kolektif yang serba destruktif masa penjajahan menawarkan fungsi
sejati nasionalisme sebagai penyatu solidaritas baru, yang jauh melampaui fungsi
ikatan primordialnya. Nasionalisme adalah tawaran, sekaligus harapan bagi
bangsa yang menghendaki kokohnya bangunan integrasi dan kedaulatan di atas
fondasi moral humanistik.
namun , dalam perjalanan sejarah panjang bangsa teridentifikasi
bahwa cita-cita kolektif kebangsaan ini masih jauh dari apa yang
diharapkan. Sebenarnya kesadaran kolektif nasionalisme ini merupakan
perwujudan bangunan konsep persatuan Indonesia, sebagaimana amanat sila
ketiga Pancasila, tempat kebersamaan segenap bangsa Indonesia dengan asal-
usul bangsa atau ras, agama, etnik, adapt-istiadat, social-ekonomi, social-budaya,
dan ideology politiknya yang pluralistic. Asas pluralism yang dahulu menjadi
sumber kekuatan hebat masa kolonialisme dan imperialisme, ruhnya perjuangan
merebut kemerdekaan, ternyata pada saat bangsa ini dihadapkan pada degradasi
kebangsaan, tak urung asas pluralisme ini menjadi medan ekspresi
kekecewaan dan sumber kerawanan konflik.
Nasionalisme dalam konsepsi sosial-kultural, kelahirannya tidak muncul
begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Secara etimologis,
kata nasionalisme berasal dari kata nationalism dan nation dalam bahasa Inggris,
kata nation ini berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor yang
bermakna ’saya lahir’, atau dari kata natus sum, yang berarti ‘saya dilahirkan’.
Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-
olok orang asing. Beberapa ratus tahun lalu pada Abad Pertengahan, kata
nation dipakai sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas
(seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang) Kata renaisans dalam bahasa Italia, renaissance, juga berasal
dari akar kata latin yang sama, yakni dari renascor atau renatus sum, yang berarti
saya lahir kembali dan saya dilahirkan kembali.
Konsep nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi
umum dipakai sesudah abad ke-18 di Prancis. saat itu Parlemen Revolusi
Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai
transformasi institusi politik ini , dari sifat eksklusif yang hanya
diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas
meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Jika pada masa
Abad Pertengahan (Abadke-5-15), kebebasan individu dan kebebasan berpikir
banyak didominasi oleh kekuasaan dan otoritas agama (gereja), maka sesudah
renaisans timbullah cita-cita kemerdekaan, lepas dari segala bentuk dominasi, dan
pula dari dominasi dogma agama, Dari sinilah makna
kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok
manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Dinamika nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan
sebuah politik, bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik
yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat
ilmuwan sekaliber Max Weber pun nyaris frustrasi manakala harus memberikan
terminologi sosiologis tentang makna nasionalisme. Pada sebuah artikel singkat
yang ditulis Weber pada 1948, menunjukkan adanya sikap pesimistis bahwa
sebuah teori yang konsisten tentang konsepsi nasionalisme dapat dibangun.
Tidak tersedianya rujukan mapan yang dapat dijadikan dasar dan pegangan
dalam memahami nasionalisme hanya akan menghasilkan persepsi yang dangkal.
Bagaimanapun bentuk penjelasan tentang nasionalisme, baik itu dari dimensi
kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai kultur, menurut
Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif.
Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap epistemologi
modernisme yang mencari pengetahuan universal. Termasuk dua bapak ilmu
sosial Karl Marx dan Emile Durkheim pun tidak menaruh perhatian serius pada
isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami
penjelasan tentang fenomena nasionalisme . namun , itu tak
berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi
sosial mengundang para sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati
secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun
besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja usaha
memecahkan teka-teki nasionalisme tidak mudah mengingat, seperti yang
dikatakan Weber, begitu beragam faktor yang membentuk bangunan
nasionalisme, sehingga indikatornya tidak dapat diidentifikasi secara pasti.
Hans Kohn, seorang sejarawan yang cukup terkenal dan paling banyak
karya tulisnya mengenai nasionalisme, memberikan terminologi yang sampai saat
ini masih tetap dipakai secara relevan dalam pembelajaran di sekolah, yakni:
“nationalism is a state of mind in which the supreme loyalty of individual is felt to be due the
nation state”. Bahwa nasionalisme merupakan suatu faham yang memandang
bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan ,Konsep nasionalisme ini menunjukkan bahwa
selama berabad-abad silam kesetiaan orang tidak ditujukan kepada nation state
atau negara kebangsaan, melainkan kepada pelbagai bentuk kekuasaan sosial,
organisasi politik, raja feodal, suku, negara kota, kerajaan dinasti, golongan
keagamaan atau gereja.
Menurut Muhammad Imarah (1998: 281), cinta tanah air atau
nasionalisme adalah fitrah asli manusia dan sama dengan kehidupan, sedang
kehilangan rasa cinta tanah air sama dengan kematian. , berbicara tentang nasionalisme serta
kedudukannya pada kebangkitan Islam modern mengemukakan:
“…sesungguhnya Ikhwanul Muslimin mencintai negeri mereka;
menginginkan persatuan dan kesatuan; tidak menghalangi sispapun untuk
loyal kepada negerinya, lebur dalam cita-cita bangsanya, dan
mengharapkan kemakmuran dan kejayaan negerinya. Kita bersama para
pendukung nasionalisme, bahkan juga bersama mereka yang berhaluan
nasionalis ekstrim sejauh menyangkut kemaslahatan bagi negeri ini dan
rakyatnya…”
Pandangan Hasan al-Banna ini mengisyaratkan bahwa pada
hakikatnya substansi nasionalisme itu sama meskipun dengan kriteria yang
berbeda seperti aqidah, batas-batas peta bumi, dan letak geografis. Pendapat ini
menetralisir pertentangan konsepsi nasionalisme Islam dan Barat dalam konsepsi
yang lebih substantif. Tentunya gagasan ini tidak sependapat dengan pandangan mengenai cinta bangsa dan tanah air.
sedang dalam konsepsi politik, terminologi nasionalisme sebagai
ideologi yang mencakup prinsip kebebasan, kesatuan, kesamarataan, serta
kepribadian selaku orientasi nilai kehidupan kolektif suatu kelompok dalam
usahanya merealisasikan tujuan politik yakni pembentukan dan pelestarian
negara nasional. Dengan demikian pembahasan masalah nasionalisme pada awal
pergerakan nasional dapat difokuskan pada masalah kesadaran identitas,
pembentukan solidaritas melalui proses integrasi dan mobilisasi lewat organisasi
. Hal ini sejalan dengan konsepsi Wikipedia
Bahasa Melayu dalam Ensiklopedi Bebas yang mengidentifikasi bahwa
nasionalisme merupakan suatu ideologi yang mencipta dan mempertahankan
kedaulatan sesebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan
mewujudkan suatu konsep identiti bersama untuk sekumpulan manusia
D. Hubungan Nasionalisme dan Nation State
Hubungan antara nasionalisme dan nation state, sangat erat tidak
dipisahkan satu sama lain. Nasionalisme merupakan semangat, kesadaran, dan
kesetiaan bahwa suatu bangsa itu adalah suatu keluarga dan atas dasar rasa
sebagai suatu keluarga bangsa, dan oleh sebab itu dibentuklah negara. Dalam
konsepsi ini berarti negara merupakan nasionalisme yang melembaga. Oleh
sebab itu pada dasarnya nasionalisme merupakan dasar universal bagi setiap
negara. Bangsa lebih menunjuk pada penduduk suatu negeri yang dipersatukan
di bawah suatu pemerintahan tunggal yang disebut negara. Sedang negara lebih
menunjuk kepada suatu badan politik dari rakyat atau atau bangsa yang
menempati wilayah tertentu yang terorganisir secara politis di bawah suatu
pemerintah yang berdaulat, dan atau tidak tunduk kepada kekuasaan dari luar
Nasionalisme sebagai sebuah produk modernitas, perkembangannya
berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial.
namun nasionalisme tidak sekedar dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke
bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam
pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Ini berarti bahwa
pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas
hanya dapat dilakukan tentunya juga dengan melihat apa yang terjadi pada
warga di lapisan paling bawah saat asumsi, harapan, kebutuhan, dan
kepentingan warga biasanya terhadap ideologi nasionalisme
memungkinkan ideologi ini meresap dan berakar secara kuat Pada tingkat inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan
sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan
nasionalisme.
memandang nasionalisme sebagai sebuah ide
atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan sebab
setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak
mengenal seluruh anggota dari bangsa ini . Nasionalisme hidup dari
bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota
bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang
dianut Anderson menarik sebab meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil
imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas
yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-
mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan .
Konsep Anderson sangat unik dan selanjutnya dapat ditarik lebih jauh
untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial.
Tidaklah suatu hal yang kebetulan apabila konsep Anderson sebagian besar
didasarkan atas pengamatan terhadap dinamika sejarah pertumbuhan dan
perkembangan nasionalisme di Indonesia. namun , karya Anderson
yang dapat menjadi sumber kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh
Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan
warga non-Barat . Dalam bukunya, Imagined
Communities, Anderson berpendapat bahwa nasionalisme warga
pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah
disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di warga
pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di
sini letak problematika dari pandangan Anderson sebab menafikan proses-
proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh warga
pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan
Eropa.
Anderson juga mengikuti perkembangan nasionalisme pasca Perang
Dunia II yang melanda negara-negara jajahan di Asia dan Afrika, yang
karakternya ditandai oleh penyebaran nasionalisme melalui bahasa penjajah baik
di sekolah-sekolah, media massa, maupun birokrasi yang menghasilkan
golongan terpelajar putera, kesatuan administrasi pemerintahan; dan sebab
kemajuan di bidang transportasi dan komunikasi membentuk kecenderungan
sentralisasi pada pemerintahan pusat di ibukota, yang sedang berkembang
menjadi metropolitan (Benedict Anderson, 1983: 49). berdasar hal itu dapat
ditesiskan bahwa nasionalisme merupakan penemuan bangsa Eropa yang
diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam warga
modern. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi
massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas.
Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri saat
urbanisasi dalam skala besar memaksa warga pada saat itu untuk
membentuk sebuah identitas bersama Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk
oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya
dalam warga . Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada
satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau
warga yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan
negaranya ,namun
secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana definisi itu, melainkan selalu
dialektis dan interpretatif, sebab nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak
lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan
hidupnya. Dalam sejarah Indonesia dibuktikan bahwa kebangkitan rasa
nasionalisme didaur ulang kembali oleh para generasi muda, sebab mereka
merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya. Dalam
konsepsi ini, paling kurang ada lima fase pertumbuhan nasionalisme di Indonesia
yakni sebagai berikut.
Pertama gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam dinamika
sejarah diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para
mahasiswa kedokteran Stovia, sekolahan anak para priyayi Jawa, di sekolah yang
disediakan Belanda di Jakarta. Mengenai tahun dan nama organisasi sebagai
tonggak kebangkitan nasional Indonesia, masih menjadi obyek perdebatan para
ahli sejarah, sebab Boedi Oetomo, tidaklah menasional organisasinya, namun
hanya melingkupi Jawa saja. Jadi patut dipertanyakan sebagai tonggak
kebangkitan nasional Indonesia,
lalu pasca Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan
mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa negara jajahan
yang belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu banyak memengaruhi
kalangan terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo saat merumuskan konsep
negara integralistik banyak menyerap pikiran Hegel. Bahkan, Soepomo terang-
terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip persatuan antara
pimpinan dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya. Begitu pula pada
masa kini banyak diciptakan lagu-lagu kebangsaan yang sarat dengan muatan
semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke,
Padamu Negeri, dan sebagainya
Tokoh nasional lain selain Soepomo, Hatta, Sutan Syahrir pun sudah
aktif berdiskusi tentang masa depan negaranya, saat mereka masih belajar di
benua Eropa, atas beasiswa politic-etis balas budi-nya penjajah Belanda. sesudah
selesai di PHS selesai 1921, lalu Hatta meneruskan studi ke Belanda,
masuk Handels Hooge School (Sekolah Tinggi Ekonomi) Refterdam. Selama di
Belanda inilah Bung Hatta memegang peranan vital dalam sejarah pergerakan
nasional Indonesia. Masuknya Bung Hatta ke dalam perhimpunan Indonesia
menjadikan organisasi ini semakin kuat pengaruhnya dan semakin radikal. Bung
Hatta dan mereka yang menempuh pendidikan Barat inilah di masa pra &
pascakemerdekaan yang nantinya banyak aktif berkiprah menentukan arah masa
depan Indonesia ,sedang Bung Karno sejak remaja, masa
mahasiswa bahkan sesudah tamat studinya, terus aktif menyerukan tuntutan
kemerdekaan Indonesia melalui organisasi-organisasi yang tumbuh pada awal
abad ke-20 ,
Kedua kebangkitan nasionalisme tahun 1928, yakni 20 tahun pasca
kebangkitan nasional, di mana kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan
bahasa ke dalam satu negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh
para pemuda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi kearea an
seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan lain sebagainya, lalu
diwujudkan secara nyata dengan menyelenggarakan Sumpah Pemoeda di tahun
1928.
Ketiga masa revolusi fisik kemerdekaan. Peranan nyata para pemuda pada
masa revolusi fisik kemerdekaan, nampak saat mereka menyandra Soekarno-
Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Mereka sangat bersemangat untuk mewujudkan nation state yang
berdaulat dalam kerangka kemerdekaan. Hasrat dan cita-cita mengisi
kemerdekaan yang sudah banyak didiskusikan oleh Soekarno, Hatta, Soepomo,
Syahrir, dan lain sebagainya sejak mereka masih berstatus mahasiswa, harus
mengalami pembelokan implementasi di lapangan, sebab Soekarno yang
semakin otoriter dan keras kepala dengan cita-cita dan cara yang diyakininya.
Akhirnya Soekarno banyak ditinggalkan teman-teman seperjuangan yang masih
memegang idealismenya, dan mencapai puncaknya saat Hatta, sebagai salah
seorang proklamator, harus mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden,
sebab tidak kuat menahan diri untuk terus menyetujui sikap dan kebijakan
Presiden Soekarno yang semakin otoriter.
Keempat, perkembangan nasionalisme tahun 1966 yang menandai tatanan
baru dalam kepemerintahan Indonesia. Selama 20 tahun pasca kemerdekaan,
terjadi huru-hara pemberontakan Gestapu dan eksesnya. Tampaknya tanpa
peran besar mahasiswa dan organisasi pemuda serta organisasi sosial
kewarga an di tahun 1966, Soeharto dan para tentara sulit bisa memperoleh
kekuasaan dari penguasa orde-lama Soekarno.namun sayang, penguasa Orde
Baru mencampakan para pemuda dan mahasiswa yang telah menjadi motor
utama pendorong terbentuknya NKRI ini dideskriditkan, dan bahkan sejak
akhir tahun 1970-an para mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan
dikungkung ke dalam ruang-ruang kuliah di kampus. sedang para tentara
diguritakan ke dalam tatatan warga sipil lewat dwifungsi ABRI. Kelima
perkembangan nasionalisme masa reformasi. Nasionalisme tidak selesai sebatas
masa pemerintahan soeharto, melainkan terus bergulir saat reformasi menjadi
sumber inspirasi perjuangan bangsa meskipun melalui perjalanan sejarah yang
cukup panjang.
Dalam pembangunan ekonomi dewasa ini, kita tampaknya perlu
menimba pengalaman-pengalaman masa lampau, misalnya, bagaimana sistem
ekonomi modern memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap
sistem ekonomi subsistensi. Sumbangan pemikiran sejarah dalam kajian ekonomi
Indonesia abad ke-19 dapat memberikan sebagia jawaban untuk kepentingan
yang berarti pada masa sekarang. Demikianlah, sejarah akan menemukan
kegunaannya melalui tiga dimensi waktu yakni masa lampau, masa sekarang, dan
masa yang akan datang. Konsepsi ini sangat relevan dengan terminologi Allan
Nevin yang menegaskan bahwa sejarah adalah jembatan penghubung antara masa
lampau, masa sekarang, dan sebagai petunjuk arah ke masa depan. Sejarah dalam
bentuknya yang seperti apapun juga, hendaknya janganlah dianggap hanya
sebagai kenangan masa lalu yang tiada guna, melainkan menjadikannya suatu
peristiwa bermakna bagi kehidupan riil umat manusia.
Tidak salah lagi Sistem Tanam Paksa yang diterapkan di Hindia Belanda
telah mendatangkan perubahan sosial warga baik secara makro maupun
mikro. Pada pokoknya, Sistem Tanam Paksa merupakan penghisapan dan
pemerasan secara brutal yang dikelola oleh orang-orang yang tamak dan haus
akan kekuasaan, yang nilai-nilainya dibentuk oleh latarbelakang kebudayaan
masing-masing. Sistem Tanam Paksa menjalankan suatu tipu muslihat pada
lingkungan sosio-ekonomi secara lebih canggih dan rumit. Dalam membahas
Sistem Tanam paksa, akan lebih komprehensif apabila dikaji tidak secara
tradisional, agar berbagai aspek yang menyertai dilaksanakannya sistem dapat
teungkap. sebab jika tidak, maka gambaran utuh dari sistem ini tidak akan
ditemukan. namun secara riil adalah tidak dapat diabaikan bahwa
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa mengkondisikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, Adanya pembentukan modal. Aspek ini tidak dapat disangkal
oleh peneliti manapun bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa telah
menimbulkan permodalan di Hindia Belanda. Pembentukan modal yang
merupakan aspek dari sejarah kolonial yang terutama melibatkan orang-orang
Eropa dan Cina, ketimbang bangsa Indonesia sendiri, bahwa modal perusahaan
di Eropalah yang memicu terpecah-pecahnya Sistem Tanam Paksa yang
diawasi oleh pemerintah itu. Pembentukan modal yang utama, yang bedampak
pada meluasnya tanam paksa di Jawa, terjadi di Jawa sendiri, dan kondisi ini
terjadi selama berjalannya Sistem Tanam Paksa dan merupakan bagian dari
Sistem Tanam Paksa ini . Kontraktor-kontraktor gula pemerintah
merupakan pemimpin-pemimpin dalam pembentukan modal ini , namun
demikian kantor-kantor perwakilan yang selalu ada di Jawa yang hidup makmur
di bawah Sistem Tanam Paksa, juga sanggup bekerja sama dengan para pegawai
pemerintah yang telah pensiun, melebarkan sayapnya ke dalam derah-area di
mana pemerintah bersama perwakilan resminya, yaitu “The Netherlands Trading
Company” (Nederlandsche Handel Maatschappij) tidak berhasil memperoleh
keuntungan. Sistem Tanam Paksa melalui semacam oerasi bootstrap yang
dibenarkan serta ditunjang oleh pemerintah, berhasil mendapatkan modal yang
dahulunya tidak ada, atau ada tepi masih terbatas. Para kontrolir modal ini (dan
ada beberapa injeksi swasta dari Eropa) akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa
mereka dapat melakukan pekerjaan itu secara lebih baik dengan menuruti
peraturan-peraturan swasta yang liberal, ketimbang dengan bekerja melalui
sistem pemerintah yang berbelit-belit dan untuk hal ini mereka memperoleh
dukungan dalam Parlemen di Negeri Belanda. Masukan-masukan modal yang
besar dari Eropa ke Jawa hanya terjadi sesudah tahun 1880, saat Sistem tanam
Paksa benar-benar sudah dalam proses pembubaran secara resmi. Dengan
demikian tentunya pembentukan modal secara besar-besaran lebih kentara saat
Sistem Liberal mulai diterapkan. namun ini bukan berarti bahwa pada
masa penerapan Sistem Tanam Paksa tidak ada pembentukan modal, namun
dalam skala yang tidak terlalu besar seperti pada masa Sistem Liberal.
Dengan demikian bagaimana dampak pembentukan modal pada Sistem
Tanam Paksa terhadap perkembangan ekonomi Jawa selanjutnya. Dengan realitas
bahwa pembentukan modal lebih banyak terjadi pada sesudah tahun 1880, maka
pertanyaan yang sederhana adalah apa yang telah dilakukan oleh Sistem Tanam
Paksa adalah memperlihatkan secara jelas, bahwa Jawa dapat menghasilkan
komoditas ekspor dengan cara-cara yang sangat murah untuk dapat bersaing di
pasaran dunia. Begitu Jawa maupun luar Jawa menampakkan hasil komoditi yang
menjanjikan, maka Indonesia menjadi lahan yang menarik bagi penanaman
modal. namun para pengusaha yang berada di Pulau Jawa-lah yang
paling pertama mengetahui hal ini , dan mengetahui bagaimana cara-cara
yang dipakai oleh pemerintah kolonial untuk memungkinkannya. Oleh sebab itu
tidaklah mengherankan kalau pertumbuhan penanaman modal dalam bidang
pertanian di Jawa berasal dari antara kelompok pengusaha yang hubungannya
satu sama lain sangat erat, para pegawai dan kantor-kantor perwakilan yang ada
dan bekerja di Jawa. Jalan yang dirintis oleh mereka pada akhir abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20 meluas menjadi jalan besar untuk penanaman modal
seluruh dunia di Jawa dan lalu di bagian-bagian lainnya dari Kepulauan
Nusantara. Dengan pembentukan modal ini , kedudukan Jawa menjadi
semakin penting bagi komoditas ekspor dunia, terutama bagi pemerintah
kolonialisme Belanda maupun pengusaha-pengusaha swasta Eropa.
Kedua adanya tenaga buruh yang murah yang menandai kehidupan di
Jawa yang telah lama berlangsung jauh sebelum Sistem Tanam Paksa diterapkan.
Rakyat kelas bawah sudah menjadi tradisi bekerja wajib untuk para pemimpin
tradisional yang memiliki otoritas tradisional sebagai pemimpin dalam
masyarkatnya. hubungan ketergantungan di samping adanya
perbudakan dalam kebanyakan hal, merupakan kunci yang menentukan dari
perbedaan-perbedaan sosial dalam warga . saat Belanda menguasai Pantai
Utara Jawa pada abad ke-18, maka Belanda merasa beruntung sebab dapat
memakai tenaga-tenaga buruh yang sangat murah, dan menerima penyerahan-
penyerahan produk tanpa pembayaran atau dengan pembayaran yang jauh dari
biaya yang dikeluarkannya. Hal demikian tentunya adalah hasil pekerjaan yang
dihasilkan oleh para petani Jawa untuk para atasan dengan biaya yang sangat
murah sekali, dan produk-produk yang dihasilkan tentu didapatkan tanpa
pembayaran upah dalam bentuk uang. warga Jawa kelas menengah dan
tinggi sebenarnya tahu cara-cara kolonial dalam mengeksploitasi warga Jawa,
namun dalam hal ini tidak dapat berbuat banyak. sebab tidak ada
peraturan-peraturan yang mantap mengenai tenaga buruh, maka tidaklah
mungkin untuk memprediksikan jumlah hari kerja wajib yang harus dijalankan,
namun diperkirakan jumlah ini terus meningkat selama penerapan
Sistem Tanam Paksa.
Pada awal abad ke-19, ada beberapa orang yang selama setengah
tahun mempekerjakan buruh yang diperuntukan bagi mereka sendiri dan orang-
orang lain dengan tingkat pembayaran yang sangat rendah, namun seringkali
dengan semacam cara pengaturan mata pencaharian. Petani miskin tidak punya
kekuatan untuk melakukan penolakan terhadap kerja wajib meskipun upah yang
diberikan tidak sebanding dengan beban kerja yang harus dikerjakan, namun
sebab kebutuhan yang mendesak bagi keluarganya, maka mereka tetap
menjalankan pekerjaan ini . Terlebih bagi mereka yang tidak memilikii lahan
garapan, sehingga bekerja pada mereka kelas atas itulah sebagai mata
pencahariannya. sedang pelayanan wajib untuk pemerintah corvee sudah lama
ada sebelum Sistem Tanam Paksa diperkenalkan, sebab orang Eropa yang
berkuasa selalu menganggap bahwa mereka berhak paling besar atas buruh
yang berada di wilayah-wilayah pengawasan mereka. Sistem Tanam Paksa
mempertahankan corvee dan menambahkan padanya sesuatu apa yang disebut
cultivation service (pelaynan pada tanam paksa) yang merupakan pekerjaan pada
tanam paksa untuk pemerintah. Pada dasarnya pelayanan terhadap tanam paksa
ini diimbangi dengan bentuk pembayaran hasil panen, namun lebih sering orang-
orang yang benar-benar melakukan pekerjaan ini tidak mandapat bayaran.
Menyangkut golongan-golongan di tingkat rendah ini, mereka menganggap
bekerja dalam tanam paksa untuk pemerintah adalah sebagai apa yang mereka
kerjakan untuk para pemimpin tradisionalnya. namun bagi golongan
miskin penerapan Sistem tanam paksa iini menjadi lebih tergantung pada
penguasaan tradisional, meskipun mereka bekerja dengan upah yang tidak
sebanding dengan beban pekerkaannya. Dengan begitu maka terjadilah apa yang
disebut sebagai hubungan simbiosis antara tenaga buruh yang murah dan syarat
mata mencaharian pokok untuk membiayai kehidupannya, manjadi semakin kuat,
sedang konsep bekerja untuk mendapatkan upah yang diperlukan agar dapat
bertahan hidup tidak pernah berhasil di antara kaum tani Jawa yang lebih miskin.
Ketergantungan penduduk miskin terhadap Sistem Tanam Paksa inilah yang
memicu tenaga buruh dihargai dengan upah yang sangat rendah, di
samping adanya sistem tradisional yang selalu mengkondisikan tenaga buruh yang
mau bekerja wajib untuk atasannya.
Ketiga ekonomi pedesaan yang berubah selama penerapan Sistem Tanam
Paksa dan sesudahnya. Struktur politik dan ekonomi pedesaan yang selama abad
ke-19 menunjukkan fakta -fakta sosial-ekonomi dari kehidupan orang-
orang Jawa, dengan mengubah hasil panen dan tenaga buruh yang murah
menjadi pengaturan fungsional. Desa-desa merupakan sumber dari mana tenaga
buruh dan hasil pertanian ditarik, walaupun hanya dari beberapa penduduk desa.
Pada awal abad ke-19, golongan atas di pedesaan Jawa menjadi lebih kuat sebab
penunjukkan tugas-tugas dan kewenangan-kewenangan baru yang
memungkinkan para kepala desa dan para kroninya yang memiliki otoritas atas
pengawasan lahan, tenaga buruh dan hasil pertanian sampai ke tingkat yang lebih
besar daripada yang yang pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah kolonial
semakin banyak berhubungan dengan para pemimpin tradisional Jawa untuk
mencapai sasaran produksi yang telah ditetapkan. Dengan demikian otoritas
golongan atas desa semakin besar dengan kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah kolonial. Namun di luar itu golongan rendah tetap miskin dan
semakin bertambah tertindas sebab harus melayani padagolongan atas desa dan
pemerintah kolonial dengan tingkat kesejahteraan yang tetap rendah. Dengan
demikian Sistem tanam Paksa melanjutkan proses untuk membuat desa di Jawa
menjadi unit paling rendah dalam suatu sistem organisasi terpusat; di mana
proses ini masih ditambah pula dengan manjadikan desa sebagai basis produksi
dan unit mata pencaharian yang utama dari masuknya Jawa ke dalam
perekonomian pasaran dunia. Fungsi ini terus berlanjut sesudah Sistem
Tanam Paksa ini memudar dan tetap merupakan dasar kehidupan ekonomi
di Jawa selama masa kolonial. Jawa tetap dijadikan sumber eksploitasi oleh
pemerintah kolonial sampai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda yang
lalu digantikan oleh pendudukan Jepang.
Semangat nasionalisme dalam negara kebangsaan dijiwai oleh lima
prinsip nasionalisme, yakni: 1) kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial,
bangsa, bahasa, ideologi, dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau
pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan, dan policy
kebudayan; 2) kebebasan (liberty, freedom, independence), dalam beragama,
berbicara dan berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi;
3) kesamaan (equality), dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban; 4)
kepribadian (personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri
(self estreem), rasa bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap
kepribadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan
sejarah dan kebudayaannya; 5) prestasi (achievement), yaitu cita-cita untuk
mewujudkan kesejahteraan (welfare) serta kebesaran dan kemanusiaan (the
greatnees and the glorification) dari bangsanya. Dengan demikian, sikap
nasionalisme dapat dirumuskan melalui sikap dan perilaku sebagai berikut:
bangga sebagai bangsa Indonesia; cinta tanah air dan bangsa; rela berkorban
demi bangsa; menerima kemajemukan; bangga pada budaya yang beraneka
ragam; menghargai jasa para pahlawan; dan mengutamakan kepentingan
umum.