dari kolonial hingga nasional 4





over De Theorie Van Een Stelling Staadrecht, yakni bahwa 
keberadaan negara bertujuan untuk menyelenggarakan dan mengatur 
warga  yang dilengkapi dengan kekuasaan tertingi. Definisi itu 
menempatkan negara sebagai organisasi kekuasaan 
  bahwa negara adalah 
suatu organisasi kekuasaan dari pada manusia-manusia (warga ) dan 
merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama. 
Dalam pengertian luas, negara merupakan kesatuan sosial yang diatur secara 
konstitusional untuk mewujudkan kepentingan bersama. 
Dapat disimpulkan bahwa negara merupakan suatu organisasi  yang di 
dalamnya harus ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintahan yang 
berdaulat (baik ke dalam maupun ke luar). Dalam konsep negara sebagai 
organisasi kekuasaan, di dalam negara ada suatu mekanisme atau tata 
hubungan kerja yang mengatur suatu kelompok manusia atau rakyat agar 
berdaulat atau bersikap sesuai dengan kehendak negara. Untuk dapat mengatur 
rakyatnya, maka negara diberi kekuasaan (authority) yang dapat memaksa seluruh 
angotanya untuk mematuhi segala peraturan atau ketentuan yang telah 
ditetapkan oleh negara. Untuk menghindari adanya kekuasaan yang sewenang-
wenang,  di sisi lain negara juga menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di 
mana kekuasaan itu dapat dipakai  dalam kehidupan bersama, baik oleh 
individu, golongan, organisasi maupun oleh negara itu sendiri. 
saat  di dalam bahasa Indonesia kita hanya mengenal satu pengertian 
tentang negara, maka tidak demikian halnya dalam sejarah bernegara di Eropa. 
Analisis ini diperlukan agar kita tidak tergelincir ke pengertian negara yang tidak 
sesuai dengan cara pandang bangsa Indonesia. Semenjak bangsa-bangsa di 
Eropa sudah menetap dan tidak mengembara (nomaden) lagi, maka bernegara 
biasanya  diartikan memilki atau menguasai sebidang tanah atau wilayah 
tertentu (Padmo Wahyono, 1992: 92). Dengan lain kata, penguasaan atas tanah 
yang menumbuhkan kewenangan kenegaraan (teori patrimonial) di mana struktur 
sosial yang di hasilkan disebut feodalisme atau landlordisme. Negara dalam keadaan 
demikian disebut sebagai tanah (land) dan hal ini nampak pada sebutan England, 
Holland, dan lain sebagainya. 
Definisi ini  lalu  berkembang, yaitu bahwa tanah ini  
mendatangkan kemakmuran atau kekayaan (reichrijkdom), di mana negara 
lalu  diartikan sebagai rijk (Belanda) atau reich (Jerman) yang artinya 
kekayaan kelompok manusia (dinasti) misalnya frankrijk, Oostenrijk dan 
sebagainya. Kondisi pra-liberal ini berakhir dengan tumbuhnya teori liberalisme 
yang dipelopori oleh John Locke, Thomas Hobbes dan Jean Jaque Rousseau. 
Dalam konsepsi itu, negara tidak lagi diartikan sebagai tanah maupun kekayaan 
(land atau reich) melainkan sebagai suatu status hukum (state-staat), suatu 
warga  hukum (legal society) sebagai hasil dari suatu perjanjian berwarga  
(social contract). Jadi negara merupakan hasil perjanjian berwarga  (ver trag-ver-
drag) dari pada individu-individu yang bebas, sehingga hak-hak orang seorang 
(hak asasi) adalah lebih tinggi kedudukannya ketimbang negara yang merupakan 
hasil bentukan individu-individu bebas ini . 
Cara pandang individualstik ini sebagaimana dijelaskan oleh Soepomo 
di dalam rapat BPUPKI, tidak kita pilih atau kita ikuti, sekalipun di dalam 
lembaga-lembaga pendidkan di Indonesia masih di “indoktrinasikan”. Faham 
individualistik ini mendapat pertentangan dalam sejarah kenegaraan di Eropa 
dari kelompok sosialis-komunis yang dipelopori oleh Marx, Engels, Lenin yang 
berangapan berdasar  teori kelas bahwa negara adalah alat dari mereka yang 
ekonominya kuat untuk menindas yang lemah. Cara pandang seperti itu juga 
bukan cara pandang bangsa Indonesia tentang negara.  
Selain kedua cara pandang ini , soepomo menguraikan adanya cara 
pandang yang ketiga yang dikenal sebagai cara pandang inegralistk, yang melihat 
negara sebagai suatu kesatuan organis, seperti yang dikemukakan oleh Hegel, 
Adam Muller, dan Spinoza. Faham integralistik ini berbeda dengan cara 
pandang individualistik dari Rousseau dan kolektivisme Rusia. Dalam pada itu, 
Hatta menentang faham integralistik Jerman ini, sebab  dianggap dapat 
menumbuhkan negara kekuasaan, sekalipun ada kemiripan dengan cara 
pandang Indonesia tentang satunya makro dan mikrokosmos. Hatta 
mengusulkan  dilengkapinya cara pandang integralistik ini  dengen 
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan -  pendapat. Dengan 
diterimanya usul Muhhamad Hatta, maka terbentuklah integralistik Indonesia 
yang berbeda dengan cara pandang integralistk Jerman , Dapat diidentifikasi bahwa di dalam individualisme Rousseau, 
individu lebih diutamakan ketimbang warga . sedang  di dalam 
integralistik Jerman, warga  lebih diutamakan ketimbang individu, dan di 
dalam integralistik Indonesia, kemakmuran warga  diutamakan, namun 
harkat dan martabat manusia tetap dihargai.  
Oleh sebab  itu cara pandang Indonesia, tidak sekedar melihat negara 
secara organis, melainkan sebagaimana disepakati yang lalu  dirumuskan 
dalam alinea ketiga UUD 1945, yaitu bahwa negara adalah suatu keadaan 
kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rakhmat Allah 
Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur bangsa Indonesia 
untuk berkehidupan berkebangsaan yang bebas. Dengan demikian sekalipun 
semenjak Rousseau, analisa bernegara berkisar pada masalah hukum, yaitu 
pembentukan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, namun analisa ini  di 
Indonesia harus tetap didasarkan pada cara pandang integralistik. 
 
K. Terjadinya Negara Nasional, Tujuan dan Fungsi 
  1. Terjadinya Negara 
Suatu negara tidak serta-merta begitu saja muncul, namun  ada 
latarbelakang pendorongnya. ada beberapa teori tentang terjadinya suatu 
negara, antara lain adalah sebagai berikut: 
 
 
1.    Teori fakta  
Dalam teori ini, terjadinya suatu negara adalah suatu fakta . saat  
unsur-unsur negara (pemerintahan yang berdaulat, bangsa dan wilayah) ada, 
maka pada saat itu juga suatu negara sudah menjadi fakta .  
2.   Teori Ketuhanan 
     Terjadinya suatu negara adalah kehendak Tuhan. Menurut teori ini segala 
sesuatu tidak akan terjadi apabila Tuhan tidak menghendakinya. Kalimat-
kalimat seperti “Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa”...”by the 
grace of God...” menunjuk ke arah teori ini. 
3.  Teori Perjanjian 
     berdasar  teori ini, terjadinya negara disebab kan oleh adanya perjanjian 
yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas merdeka, terlepas 
satu sama lain tanpa ikatan kenegaraan. Perjanjian ini diselenggarakan agar 
kepentingan bersama terpelihara dan terjamin, agar orang yang satu tidak 
merupakan binatang buas bagi orang yang lain (homo homini lupus, menurut 
Hobbes). Perjanjian itu disebut perjanjian warga  (social contract menurut 
ajaran Rousseau). Dapat pula terjadi suatu perjanjian antara area  jajahan, 
misalnya kemerdekaan Filifina pada tahun 1946 dan India pada tahun 1947. 
4. Teori Penaklukan 
      berdasar  teori ini, terjadinya negara disebabkan oleh sekelompok 
manusia menaklukan area  kelomok lain. Agar area  itu tetap dapat 
dikuasai, maka dibentuklah suatu organisasi yang berupa negara. Selain itu 
terjadinya negara dapat pula disebabkan oleh adanya: 
   a.  Pemberontakan terhadap negara lain yang menjajah,   
        seperti: Amerika Serikat terhadap Inggris pada tahun  
       1776-1783. 
b. Peleburan (fusi) antara beberapa negara manjadi satu     
     negara baru, misalnya: Jerman bersatu pada tahun 1871. 
c. Suatu area  yang belum ada rakyatnya atau pemerintahannya 
diduduki/dikuasai oleh bangsa/negara lain. 
106 
 
d. Suatu area  tertentu melepaskan diri dari yang tadinya menguasainya 
dan -  dirinya sebagai suatu negara baru (misalnya 
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945).  
Secara teoritis, suatu negara dianggap ada apabila telah dipenuhi 
ketiga unsur negara yaitu: pemerintahan yang berdaulat, bangsa, dan wilayah.  
Konsepsi seperti ini mempengaruhi pula perdebatan di dalam  PPKI, baik di 
dalam membahas wilayah negara maupun di dalam merumuskan Pembukaan 
yang sebenarnya direncanakan sebagai naskah Proklamasi. Suatu fakta  pula 
bahwa tidak satupun warga negara Indonesia yang tidak mengangap bahwa 
terjadinya NKRI adalah pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945, sekalipun ada 
pihak-pihak (terutama luar negeri) yang berangapan berbeda dengan dalih teori 
yang universal. Oleh sebab  itu sekalipun pemerintah belum terbentuk, bahkan 
hukum dasarnya pun belum disahkan, namun  bangsa Indonesia beranggapan 
bahwa NKRI sudah ada semenjak di Proklamasikan. Bahkan apabila kita kaji 
rumusan  pada alinea ke dua Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia 
beranggapan bahwa  terjadinya negara merupakan suatu proses atau rangkaian 
tahap-tahap yang berkesinambungan. Adapun rincian ini  adalah: (1) 
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia; (2) proklamasi atau pintu 
gerbang kemerdekaan, dan (3) keadaan bernegara yang nilai-nilai dasarnya 
adalah merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam menterjemahkan 
perkembangan teori kenegaraan tentang terjadinya NKRI sangat terperinci. Hal 
ini dapat kita amati tentang  unsur terjadinya NKRI adalah sebagai berikut: 
a. Terjadinya negara merupakan suatu proses yang tidak sekedar dimulai dari 
proklamasi, melainkan bahwa perjuangan kemerdekaan pun memiliki  
peran khususnya dalam pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan. 
b. sesudah  Proklamasi barulah “mengantarkan bangsa Indonesia” ke depan 
pintu gerbang kemerdekaan, jadi tidak berarti bahwa dengan proklamasi 
telah selesai kita bernegara  
 
c. Keadaan bernegara yang kita cita-citakan bukanlah sekedar adanya 
pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus kita isi menuju 
keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur. 
d. Terjadinya negara adalah kehendak seluruh bangsa, dan bukan sekedar 
keinginan golongan yang kaya dan yang pandai atau golongan yang 
ekonomi lemah untuk menentang yang ekonomi kuat seperti dalam teori 
kelas. 
e. Unsur religieusitas dalam terjadinya negara menunjukkan kepercayaan bangsa 
Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.  
           Unsur terakhir inilah yang lalu  diterjemahkan menjadi pokok 
pikiran keempat yang terkandung di dalam pembukaan bahwa:  Indonesia 
bernegara mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang di dasarkan pada 
kemanusiaan yang adil dan beadab. Oleh sebab  itu Undang-Undang Dasar 
harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara 
negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita 
moral rakyat yang luhur. 
 
2. Tujuan dan Fungsi Negara 
Dalam sistem feodal, tujuan negara adalah penguasaan atas tanah. 
Oleh sebab  itu, pemupukan kekayaan oleh penguasa menjadi tujuan utama dan 
kekayaan yang melimpah pada penguasa (negara) akan “tertumpah” pada 
rakyatnya. Rakyat cukup menyerahkan diri pada penguasa apabila ingin 
makmur. Itulah tujuan bernegara yang feodalistik atau yang sering kali terjelma 
pula dalam sistem perekonomian “merkantilistik” bahkan etatisme. Secara 
kiasan sering diungkapkan bahwa rakyat harus menunggu “membesarnya kue” 
yang akan dibagi. 
Cara pandang demokrasi modern semenjak Rousseau maka tujuan 
bernegara adalah persamaan dan kebebasan (man are born free and equal). Gagasan 
ini bahkan menjadi mitos di Eropa dengan nuansa penekanan yang berbeda-
beda. Misalnya di Eropa Barat orang mengutamakan kebebasannya sedang  
persamaannya cukup dalam hukum, sedang  di Eropa Timur (menurut
Eropa Barat) yang diutamakan persamaan materinya, sedang  kebebasannya 
dinomorduakan. Mitos persamaan dan kebebasan ini lalu  dituangkan ke 
dalam konsep negara hukum yang demokratis dengan pelbagai variasinya, 
sehinga oleh Carl Schmitt disimpulkan bahwa  Ide al Begrif derverfassung  atau 
pengertian ideal  di dalam konstitusi adalah Demokratischen Rechtsstaat. Mitos ini 
pernah diterapkan pula di dalam konstitusi RIS dan UUD S 1950 dengan 
rumusan negara hukum yang demokratis. Di negara-negara Anglo Saxon kita 
kenal konsep Rule of Low and not of men, sedang  negara-negara Eropa Timur 
cenderung pada konsep Socialist Legality. 
lalu  bagaimana tujuan bernegara Indonesia. Sesungguhnya 
merupakan konsep yang lebi tua dari pada negara hukum (modern) ialah bahwa 
konsep negara bertujuan untuk memenuhi kepentingan umum atau res publica. 
Ini dibakukan dalam konsep negara Republik, sehingga asumsinya setiap negara 
yang berbentuk Republik, adalah untuk kepentingan umum dan bukan untuk 
kepentingan dinasti (monarchie) atau untuk kepentingan golongan (aristokrasi). 
Konsep kepentingan umum menurut bangsa Indonesia secara 
ketatanegaraan, sering kali diungkapkan sebagai warga  adil dan makmur 
berdasar  Pancasila. Di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 
dirumuskan unsur-unsur  warga  adil makmur berdasar  pancasila 
ini  secara dinamis dan tidak terminal utopistis. Unsur-unsur ini  
adalah: (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah 
Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan 
bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar  perdamaian 
abadi, kemerdekaan, dan keadilan sosial. Dengan demikian konsepsi warga  
adil dan makmur berdasar  Pancasila adalah secara ketatanegaraan  tidak lain 
yakni terselenggaranya keempat unsur ini  secara dinamis 
berkesinambungan. 
Operasionalisasinya pencapaian tujuan bernegara menurut penjelasan 
UUD 1945, maka pertama di-“ciptakan” pokok-pokok pikiran dalam 
Pembukaan ini ke dalam pasal-pasal sebagai instruksi bagi penyelenggara negara 
untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan menyelengarakan kesejaheraan 
sosial. Penjabaran ini lebih lanjut ialah ke dalam unang-undang, demikianlah 
sistem undang-undang dasar kita. Penciptaan ke dalam pasal-pasal adalah dalam 
bentuk ke dalam tatanan-tatanan kehidupan yang dijabarkan nilai-nilai dasarnya. 
            sedang  mengenai fungsi negara, mengisyaratkan bahwa setiap 
negara menyelenggarakan fungsinya sebagai negara. Adapun fungsi negara 
adalah sebagai berikut: (1) melaksanakan penertiban dan keamanan negara, 
dimana untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah terjadinya disintegrasi 
bangsa maka negara harus berperan melaksanakan penertiban; (2) 
mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (3) pertahanan; dan (4) 
menegakkan keadilan yang dilaksanakan melalui badan peradilan. Menurut Mac 
Iver, fungsi negara dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: (1) ketertiban, 
(2) perlindungan, dan (3) pemeliharaan dan perkembangan.  
         
H.  Bentuk dan Unsur Negara 
1. Bentuk Negara 
 Bentuk negara adalah penjelmaan dari pada organisasi negara secara 
nyata di warga . Ia mencerminkan suatu pola tertentu atau dengan orientasi 
sistemik, merupakan suatu sistem berorganisasi atau puncaknya manusia dalam 
kehidupan berkelompok. berdasar  teori-teori modern,  bentuk negara yang 
terpenting adalah Negara Kesatuan (Unitarisme) dan Negara Serikat (Federasi). Di 
lihat dari segi ini maka bentuk organisasi negara bukan lagi masalah republik 
atau monarkhi, aristokrasi, melainkan negara kesatuan dan negara serikat. 
1. Negara Kesatuan adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat di mana 
diseluruh negara yang berkuasa hanya ada satu pemerintah pusat yang mengatur 
seluruh area . Di dalam negara kesatuan, pemerintah pusat memiliki  
wewenang untuk mengatur seluruh wilayahnya melalui pembentukan area -
area  dalam wilayah negara. Dalam negara kesatuan pelaksanaan 
pemerintahan negara dapat dilaksanakan dengan sistem sentralisasi dan 
desentralisasi. Pertama, sistem sentralisasi adalah segala sesuatu dalam negara itu 
langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedang  area -area  
tinggal melaksanakannya. Kedua, sistem desentralisasi di mana kepada area  
diberikan kesempatan dan kewenangan untuk  mengurus rumah tangganya 
sendiri (otonomi area ) yang dinamakan area  otonom. Bentuk negara kesatuan 
biasanya  memiliki  sifat-sifat seperti: (1) kedaulatan negara mencakup 
ke dalam dan ke luar yang ditangani pemerintah pusat; (2) negara hanya 
memiliki  satu undang-undang dasar, satu kepala negara, satu dewan menteri, 
dan satu Dewan Perwakilan Rakyat; (3) hanya ada satu kebijakan yang 
menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan 
keamanan.  
2. Negara Sereikat (Federasi) adalah suatu negara yang merupakan gabungan 
beberapa negara, yang menjadi negara-negara bagian dan negara serikat itu. 
Negara-negara bagian itu semula merupakan suatu negara yang merdeka dan 
berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara 
serikat, maka negara yang tadinya berdiri sendiri itu dan lalu  menjadi 
negara bagian, melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkan 
kepada negara serikat. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan satu demi satu 
(liminatif), dan hanya kekuasaan yang disebutkan itulah yang deserahkan kepada 
negara serikat (delegated powers). Kekuasaan asli ada pada negara bagian, dan 
negara itu berhubungan langsung dengan rakyatnya. Kekuasaan dari negara 
serikat adalah kekuasaan yang dterimanya dari negara bagian. Biasanya yang 
diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara serikat ialah hal-hal yang 
berkaitan dengan hubungan luar negeri, pertahanan negara, keuangan dan 
urusan pos dan telekomunikasi. 
 
3. Unsur Negara 
            biasanya , dapat dikatakan bahwa suatu negara itu harus memenuhi 
syarat-syarat : (1) rakyat yang bersatu, (2) area  atau wilayah, (3) pemerintah 
yang berdaulat, dan mendapat pengakuan dari negara lain (Budiyanto, 1997). 
Konvensi Montevideo pada tahun 1933 menyebutkan unsur-unsur berdirinya suatu 
negara antara lain berupa rakyat, wilayah yang tetap, dan pemerintah yang 
mampu mengadakan hubungan internasional. Dari pendapat ini , unsur 
rakyat, wilayah, dan pemerintah yang berdaulat merupakan unsur konstitutif 
sebab  keberadaannya mutlak harus ada. sedang  pengakuan dari negara lain 
merupakan unsur deklaratif yang bersifat formalitas, sebab  diperlukan dalam 
rangka memenuhi unsur tata aturan pergaulan internasional. 
-  bahwa biasanya  negara itu harus memenuhi unsur-unsur 
atau syarat: (a) harus ada wilayahnya; (b) harus ada rakyatnya; (c)  harus ada 
pemerintahan yang berkuasa terhadap seluruh area  dan rakyatnya, dan (d) 
harus ada tujuannya.         
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
112 
 
BAB VII 
TUMBUHNYA NASIONALISME MODERN 
 
F. Kajian Nasionalisme 
Membahas sejarah nasionalisme baik secara makro maupun mikro, 
berarti masuk ke kawasan politik. sedang  wilayah politik itu sendiri dapat 
dikaji dari segi: sejarah politik, sosiologi politik, antropologi politik, dan ilmu 
politik. Dimensi ini saling mengoreksi dan melengkapi dalam pembahasannya, 
sehingga ditemukan fenomena yang utuh  tentang konsep sejarah tata negara. 
Oleh sebab  itu dalam pembahasannya, sejarah tata negara tidak dapat bediri 
sendiri, sehingga memerlukan suatu terminologi yang lebih multidimensional 
dalam pendekatannya.   
Pertama sejarah politik. Dari segi  efistomologis sejak Thucydides 
menulis Perang Peloponesianya sebagai sejarah politik, tradisi sejarah sangat 
didominasi oleh sejarah politik. Lebih-lebih dalam abad ke-19 sebagai abad 
nasionalsme dan formasi negara nasional di Eropa Barat, sejarah politik-lah yang 
sangat menonjol. Dalam konsep itu, sejarah diplomasi dan perang sangat 
menonjol di suatu pihak, dan di lain pihak peranan para raja, panglima perang, 
dan negarawan memegang peranan sentral. Fenomena ini masih kuat 
pengaruhnya sampai sekarang. Hai ini disebabkan oleh adanya angapan bahwa 
jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian plitik, diplomasi, perang, dan aktivitas 
militer.  Di samping itu ada pula teori orang besar, yang mengatakan bahwa 
orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah. Fenomena ini terbukti dari 
banyaknya karya biografi tokoh-tokoh sampai pada Perang Dunia II. 
Perkembangan itu sejajar dengan berkembangnya sejarah nasional yang pada 
masa ini  sedang mengalami pertumbuhan yang pesat. 
Mempelajari sejarah politik, tidak dapat dilepaskan dari sejarah sosial. 
Tulisan dengan dimensi itu dapat dilihat pada tulisan Akira Nagazumi, 
“Bangkitnya Nasionalisme Indonesia” dalam edisi bahasa Indonesia. Demikian pula 
sebaliknya, sejarah sosial tidak dapat dilepaskan dengan sejarah politik. Lihat 
tulisan Sartono Kartodirdjo, 1966, Pemberontakan Petani Banten 1888. lalu  
apakah yang dibahas oleh sejarah politik. Secara konvensional, sejarah politik 
113 
 
membahas sejarah perang, sejarah parlementer, sejarah kerajaan; dan sejarah 
modern dalam arti teori dan metodologisnya sejarah politik membahas tema-
tema yang luas misalnya biografi politik, partai politik, birokrasi, struktur politik 
suatu warga  atau negara, pemberontakan, hubungan sivil-militer dan lain 
sebagainya. Sejarah modern ini  lebih bersifat tematis sehingga temanya 
sangat luas. Di Indonesia ada dua contoh tentang biografi politik yang dikemas 
menjadi sejarah politik misalnya tulisan L.D.Legge dan Dahm yang sama-sama 
menulis Tentang Soekarno. Oleh sebab  itu, membicarakan biografi politik sebagai 
tema mikro, dapat dimasukkan sebagai bagian dari sejarah tata negara. 
Kedua sosiologi politik, yang merupakan interdisiplin sosiologi yang 
pernah dikembangkan secara metodologis oleh Max Weber abad ke-19. 
Sosiologi politik dapat membicarakan tipe kepemimpinan yang menurut teori 
Weber ada tiga yaitu: (1) otoritas tradisional yang dimiliki berdasar  pewarisan 
atau turun temurun; (2) otoritas karismatik, yaitu berdasar  pengaruh dan 
kewibawaan pribadi; dan (3) otoritas legal rasional yang dimiliki berdasar  
jabatan serta kemampuannya. Di negara-negara berkembang, tipe kepemimpinan 
rasional dan kharismatik sering digabungkan menjadi satu. Contohnya sebagai 
refleksi, dalam diskusi mengenai korupsi di Indonesia yang diselenggarakan oleh 
Dewan Pertahanan Nasional tahun 2000 antara lain dibahas mengenai “Merit 
Sistem”, yang artinya bahwa kedudukan atau jabatan harus didasarkan pada 
prestasi, sehingga praktek KKN tidak terjadi. Ini berarti bahwa Merit Sistem 
didasarkan pada tipe kepemimpinan rasional. Di samping itu sosiologi politik, 
selain membahas tipe kepemimpinan baik formal maupun in formal, juga 
membahas struktur politik, partai politik, partisipasi politik, hubungan sivil-
militer, tokoh politik, dan peranan serta fungsi kelembagaan politik. 
Adapun perbedaan antara pemimpin formal dan informal adalah pada 
otoritas yang dimilikinya. Pemimpin tipe formal memperoleh kekuasaan dari 
jabatan atau pemimpin formal, sedang  tipe informal adalah pemimpin 
informal, dan pada dia ada kekuasaan karismatis. Dalam konteks Indonesia, tipe 
formal biasanya  juga memiliki otoritas tradisional, ialah golongan 
aristokrasi yang masih memiliki  hak mewariskan jabatan, terutama yang 
memangku jabatan pamong praja. biasanya  pelbagai tipe kepemimpinan 
menduduki lokasi sosial-historis dengan orientasi nilai yang berbeda-beda, 
sehingga berbeda pula reaksinya terhadap inovasi, yaitu penolakan, adaptasi, dan 
asimilasi. Konflik politik dapat dikembalikan kepada faktor sosiokultural dengan 
kepentingan ideologi atau nilai tertentu. 
Dalam konsepsi ini, ahli ilmu sosiologi politik telah mengambil sistem 
kategorisasi jenis sistem politiknya sekaligus merupakan studi perbandingan. 
Analisis strukturalnya membahas status dan peranan perbagai elite, hubungan 
dan perbandingan kekuasaan antara mereka, kesemuanya dalam kerangka 
hirarkis suatu sistem feodal. Struktur kekuasaan sangat menentukan struktur 
sosial dengan kedudukan birokrasi yang sangat sentral fungsinya.  Dalam 
hubungan ini sangatlah relevan menelaah kehidupan sosial antara golongan 
sosial, terutama dalam konteks kepentingan, status sosial, ideologi, serta sistem 
nilai-nilainya. Tidak dapat diabaikan fakta  bahwa tindakan dan interaksi 
politik tidak dapat berjalan di luar kerangka kebudayaan politik (political culture). 
Di sini tindakan, kelakukan, serta sikap perlu dilembagakan. 
Suatu determinisme sosial sudah barang tentu berpendapat bahwa 
seluruh peranan seorang tokoh ditentukan oleh struktur warga , atau paling 
tidak peranannya dijalankan dalam batas-batas struktural warga .  Pelaku 
tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ikatan atau subjektivitas itu, 
khususnya berkaitan dengan pandangan dunia. Sebaliknya, perlu diakui bahwa 
tokoh sejarah acapkali lebih jauh memandang ke depan atau berperan sebagai 
perintis atau protagonis. Protagonisme atau inovasi sering menuntut perubahan 
evolusioner sehingga pelaksanaannya menuntut kepribadian atau kepemimpinan 
yang kuat. Tepatlah kiranya apabila dikatakan bahwa tokoh menjadi orang 
marginal dan pencipta sub-kultur, akhirnya dapat menciptakan kultur dominan 
dalam kajian sosiologi politik. 
Ketiga antropologi politik. Pada awalnya, antropologi politik 
membicarakan perkembangan warga  kesukuan, hal ini sebab  antropologi 
lebih menekankan pada sistem kekerabatan. lalu  antropologi politik 
berkembang pengkajiannya  pada simbol-simbol politik, satrategi politik, 
hubungan kebudayaan politik, serta adat-istiadat setempat dalam hubungannya 
dengan politik. Antropologi politik, sangat erat hubunganya dengan antropologi 
sosial. Sebagai permisalan, kolusi dan korupsi yang terjadi dalam pemerintah 
politik, akan lebih tajam pembahasannya jika dikaji dengan antropologi politik. 
Hal ini sebab  menyangkut masalah kebudayaan politik dalam hubungannya 
dengan korupsi. 
Untuk membahas kerajaan tradisional, sebagai contoh lain, tepatlah 
kiranya analisis antropologi politik dipakai untuk mengupas sistem politiknya, 
yang mencakup otoritas kharismatis atau tradisional, patrionalisme, feodalisme, 
birokrasi tradisional, dan lain sebagainya. Banyak antropolog semacam itu 
misalnya Cunningham, Schorl, dan Schulte-Nordholt. Pada hakikatnya yang 
mereka hasilkan lebih merupakan sejarah struktural dengan pendekatan 
sinkronis. Maka dari itu, tepatlah kiranya apabila sejarawan menggarap tema yang 
sama secara diakronis, meskipun tanpa mengabaikan pendekatan strukturalnya.  
Keempat ilmu politik. Dalam studi ilmu politik, bidang ketatanegaraan 
konsentrasinya hanya negara-negara modern, yaitu negara-negara yang muncul 
menjelang Perang Dunia I terutama kerajaan-kerajaan yang mulai meninggalkan 
tradisi monarkhi, dan pembahasannya dteruskan pada negara-negara sesudah  
Perang      Dunia II. Dalam hubungan ini, skenario politik  baik di tingkat makro 
maupun mikro, dapat digambarkan secara rinci berdasar  analisis ilmu sosial 
sedemikian rupa, sehingga dapat diekstrapolasikan, antara lain, (1) gejala atau 
pola umum perjuangan politik, (2) kecenderungan dalam proses politik yang 
menunjukkan keteraturan (regularities). Kedua gejala ini akan menambah makna 
kejadian-kejadian serta memberi kemungkinan untuk membuat suatu 
perbandingan  serta generalisasi. 
Dimensi sosial dari proses politik mencakup status dan peranan elite 
politik: bangsawan, aristokrasi, birokrat, kaum intelegensia, elite religius, 
meritokrasi, teknokrasi, elite desa, dan lain sebagainya. Otoritas yang mereka 
miliki antara lain otoritas karismatis, termasuk pula yang sudah mengalami 
rutinisasi, otoritas tradisional, otoritas legal dan rasional. Bagaimana interaksi 
dalam proses perjuangan kekuasaan, terutama dalam periode transisi (abad ke-19 
dan ke-20) sewaktu orientasi nilai-nilai bergeser sebagai dampak proses penetrasi 
pengaruh Barat dan modernisasi. Posisi sosial kultural elite masing-masing 
menimbulkan konflik, yang menimbulkan fenomena yang bernuansa dari proses
sosial dan politik yang selalu berkesinambungan. Lebih jauh hal ini akan di bahas 
pada bab-bab berikutnya dari kajian sejarah tata negara ini. 
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa  kajian ilmu politik, berarti 
memasuki wilayah kekuasaan. sebab  dalam hal ini, ilmu politik berarti ilmu 
yang membahas tentang bagaimana cara untuk mendapatkan kekuasaan baik 
dalam konsep yang bersahaja maupun modern, dan bagaimana cara-cara  untuk 
mempertahankannya. Konsep ini tampak sederhana, namun  sesudah  memasuki 
wilayah kajiannya, maka akan ditemukan fenomena-fenomena yang sangat 
kompleks, yang mewarnai kajian ilmu politik, dan memperkaya kajian sejarah 
ketatanegaraan yang akan dibahas dalam buku ini.  
 
B.  Pembentukan Kesadaran Sejarah 
Apabila suatu kepribadian turut membentuk identitas seorang individu 
atau suatu komunitas, kiranya tidak sulit dipahami bahwa kepribadian berakar 
pada sejarah pertumbuhannya. Di sini, kesadaran sejarah amat esensial bagi 
pembentukan kepribadian. Analog dengan sosiogenesis individu, kepribadian 
bangsa juga secara inhern memuat kesadaran sejarah itu. Implikasi hal ini  di 
atas bagi national building ialah tak lain bahwa sejarah dan pendidikan memiliki 
hubungan yang erat dalam proses pembentukan kesadaran sejarah. Dalam 
rangka nation building pembentukan solidaritas, inspirasi dan aspirasi mengambil 
peranan yang penting, di satu pihak untuk system-maintenance negara nasion, dan 
dipihak lain memperkuat orientasi atau tujuan negara ini . Tanpa kesdaran 
sejarah, kedua fungsi ini  sulit kiranya untuk dipacu, dengan perkataan lain 
semangat nasionalisme tidak dapat ditumbuhkan tanpa kesadaran sejarah 
(Kartodirdjo, 1993: 53). 
Apabila sudah disadari hubungan erat antara sejarah dengan pendidikan, 
memang belum ada jaminan bahwa makna dasar dari sejarah telah bias 
diwujudkan untuk menunjang proses pendidikan itu. Masih diperlukan proses 
aktualisasi nilai-nilai sejarah dalam kehidupan yang nyata. Dengan kata lain, 
sejarah tidak akan berfungsi bagi proses pendidikan yang menjurus ke arah 
pertumbuhan dan pengembangan karakter bangsa apabila nilai-nilai sejarah 
ini  belum terwujud dalam pola-pola perilaku yang nyata. 
Untuk sampai pada taraf wujud perilaku ini, perlu ditumbuhkan 
kesadaran, bahwa: 
“…Suatu orientasi intelektual, suatu sikap jiwa yang perlu memahami 
secara tepat faham kepribadian nasional. Kesadaran sejarah ini menuntun 
manusia pada pengertian mengenal diri sendiri sebagai bangsa, kepada self 
understanding of nation, kepada sangkan paran suatu bangsa, kepada 
persoalan what we are, what we are what we are…” 
 
Dengan demikian, kesadaran sejarah tidak lain daripada kondisi kejiwaan 
yang menunjukkan tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah bagi 
masa kini dan bagi masa yang akan datang, menyadari dasar pokok bagi 
berfungsinya makna sejarah dalam proses pendidikan. 
Untuk mengembangkan manusia seperti itu, dengan sendirinya 
diperlukan motivasi yang kuat sebagai factor penggerak dari dalam diri manusia 
sendiri. Ini tidak lain daripada nilai-nilai, yang kalau dihubungkan dengan sejarah, 
merupakan nilai-nilai masa lampau yang telah teruji oleh jaman. Di sinilah 
bertemu antara pendidikan dan sejarah. Sejarah dalam salah satu fungsi utamanya 
adalah mengabdikan pengalaman-pengalaman warga  di waktu yang lampau, 
yang sewaktu-waktu dapat menjadi bahan pertimbangan bagi warga  itu 
dalam memecahkan problema-problema yang dihadapinya. Melalui sejarahlah 
nilai-nilai masa lampau dapat dipetik dan dipakai  untuk menghadapi masa 
kini. Oleh sebab  itu, tanpa sejarah orang tidak akan mampu membangun ide-ide 
tentang konsekuensi dari apa yang dia lakukan dalam realitas kehidupannya pada 
masa kini dan masa yang akan dating, dalam sebuah kesadaran historis. Dalam 
kaitan ini, -  sebagai berikut: 
mengenal diri sendiri itu berarti mengenal apa yang dapat seseorang lakukan, dan 
sebab  tidak seorang pun mengetahui apa yang bisa dia lakukan sampai dia 
mencobanya, maka satu-satunya kunci untuk mengetahui apa yang dia bisa 
perbuat seseorang adalah apa yang telah diperbuat. Dengan demikian nilai dari 
sejarah adalah bahwa sejarah telah mengjarkan tentang apa yang telah manusia 
kerjakan, dan selanjutnya apa sebenarnya manusia itu. 
Menurut Suyatno Kartodirdjo (1989: 1-7), kesadaran sejarah pada 
manusia sangat penting artinya bagi pembinaan budaya bangsa. Kesadaran 
sejarah dalam konteks ini bukan hanya sekedar memperluas pengatahuan, 
melainkan harus diarahkan pula kepada kesadaran penghayatan nilai-nilai budaya 
yang relevan dengan usaha pengembangan kebudayaan itu sendiri. Kesadaran 
sejarah dalam konteks pembinaan budaya bangsa dalam pembangkitan kesadaran 
bahwa bangsa itu merupakan suatu kesatuan sosial yang terwujud melalui suatu 
proses sejarah, yang akhirnya mempersatukan beberapa  nasion kecil dalam suatu 
nasion besar yaitu bangsa. Dengan demikian indikator-indikator kesadaran 
sejarah ini  dapat dirumuskan mencakup: menghayati makna dan hakekat 
sejarah bagi masa kini dan masa yang akan dating; mengenal diri sendiri dan 
bangsanya; membudayakan sejarah bagi pembinaan budaya bangsa; dan menjaga 
peninggalan sejarah bangsa. 
 
C. Substansi Nasionalisme 
Dalam pembelajaran sejarah, nasioanlisme merupakan tujuan 
pembelajaran yang sangat penting dalam rangka membangun karakter bangsa. 
Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006, mata pelajaran sejarah telah diberikan 
pada tingkat pendidikan dasar sebagai bagian integral dari mata pelajaran IPS, 
sedang  pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran 
tersendiri. Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan 
watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan 
manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi 
sejarah mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, 
patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari 
proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; memuat khasanah 
mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. 
Materi ini  merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses 
pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan; 
menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk 
menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; sarat 
dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis 
multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; dan berguna untuk 
menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara 
keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. 
Nasionalisme dalam dimensi historisitas dan normativitas, merupakan 
sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah 
manusia, paling kurang dalam dasa warsa seratus tahun terakhir. Tidak ada satu 
pun ruang geografis-sosial di muka bumi yang lepas sepenuhnya dari pengaruh 
ideologi ini. Tanpa ideologi nasionalisme, dinamika  sejarah manusia akan 
berbeda sama sekali. Berakhirnya Perang Dingin dan semakin merebaknya 
konsepsi dan arus globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga 
sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang 
berkembang dengan sangat pesat, tidak dengan serta-merta membawa 
keruntuhan bagi nasionalisme. Sebaliknya, medan-medan ekspresi konsepsi 
nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan komunikasi 
sosial, politik, kultur, dan bahkan ekonomi internasional, baik di kalangan negara 
maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Perancis, maupun di kalangan negara 
Dunia Ketiga, seperti India, China, Malaysia, dan Indonesia. Nasionalisme tetap 
menjadi payung social-kultur negara-negara manapun untuk mengukuhkan 
integritasnya. 
Sebagai suatu faham kebangsaan, nasionalisme merupakan “ruh” social-
kultur untuk membentuk dan memperkokoh identitas nasional sebagai jati diri 
bangsa yang telah memiliki martabat kemerdekaan. Meskipun telah sering 
dianggap usang untuk dikaji dan diperdebatkan dalam komunikasi ilmiah, namun 
sejatinya nasionalisme tidak sekedar cukup untuk diperbincangkan dan 
dipertentangkan sebagaimana konsepsinya yang sering dianggap bias, melainkan 
perlu suatu penghayatan yang tulus untuk ditanamkan dalam kehidupan 
berbangsa, dan terinternalisasi serta terintegrasi dalam kultur kehidupan 
bernegara. Apalagi dalam konteks kebangsaan Indonesia yang plural atau 
heterogen, maka diperlukan ikatan ideologis yang menjadi rasa milik bersama 
yang bersifat kolektif. 
Nasionalisme sebagai gejala historis memiliki peranan urgent  pada abad 
XX dalam proses nation formation  negara-negara nasional modern di Asia dan 
Afrika. Ideologi kolektif nasionalisme ini  memiliki fungsi teleologis serta 
memberi orientasi bagi suatu warga  sehingga terbentuk solidaritas yang 
menjadi landasan bagi proses pengintegrasiannya sebagai nasion atau komunitas 
politik. Sebagai ideologi kebangsaan, nasionalisme terbentuk counter-ideology 
terhadap kolonialisme dan imperialisme yang sanggup menawarkan realitas 
tandingan serta menyajikan orientasi tujuan bagi gerakan politik yang berjuang 
untuk mewujudkan realitas substantive ini . Dalam konsepsi ini, 
pengalaman kolektif yang serba destruktif masa penjajahan menawarkan fungsi 
sejati nasionalisme sebagai penyatu solidaritas baru, yang jauh melampaui fungsi 
ikatan primordialnya. Nasionalisme adalah tawaran, sekaligus harapan bagi 
bangsa yang menghendaki kokohnya bangunan integrasi dan kedaulatan di atas 
fondasi moral humanistik. 
namun , dalam perjalanan sejarah panjang bangsa teridentifikasi 
bahwa cita-cita kolektif kebangsaan ini  masih jauh dari apa yang 
diharapkan. Sebenarnya kesadaran kolektif nasionalisme ini  merupakan 
perwujudan bangunan konsep persatuan Indonesia, sebagaimana amanat sila 
ketiga Pancasila, tempat kebersamaan segenap bangsa Indonesia dengan asal-
usul bangsa atau ras, agama, etnik, adapt-istiadat, social-ekonomi, social-budaya, 
dan ideology politiknya yang pluralistic. Asas pluralism yang dahulu menjadi 
sumber kekuatan hebat masa kolonialisme dan imperialisme, ruhnya perjuangan 
merebut kemerdekaan, ternyata pada saat bangsa ini dihadapkan pada degradasi 
kebangsaan, tak urung asas pluralisme ini  menjadi medan ekspresi 
kekecewaan dan sumber kerawanan konflik. 
Nasionalisme dalam konsepsi sosial-kultural, kelahirannya tidak muncul 
begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Secara etimologis, 
kata nasionalisme berasal dari kata nationalism dan nation dalam bahasa Inggris, 
kata nation ini  berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor yang 
bermakna ’saya lahir’, atau dari kata natus sum, yang berarti ‘saya dilahirkan’.  
Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-
olok orang asing. Beberapa ratus tahun lalu  pada Abad Pertengahan, kata 
nation dipakai  sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas 
(seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat sekarang)  Kata renaisans dalam bahasa Italia, renaissance, juga berasal 
dari akar kata latin yang sama, yakni dari renascor atau renatus sum, yang berarti 
saya lahir kembali dan saya dilahirkan kembali.
Konsep nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi 
umum dipakai sesudah  abad ke-18 di Prancis. saat  itu Parlemen Revolusi 
Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai 
transformasi institusi politik ini , dari sifat eksklusif yang hanya 
diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas 
meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Jika pada masa 
Abad Pertengahan (Abadke-5-15), kebebasan individu dan kebebasan berpikir 
banyak didominasi oleh kekuasaan dan otoritas agama (gereja), maka sesudah 
renaisans timbullah cita-cita kemerdekaan, lepas dari segala bentuk dominasi, dan 
pula dari dominasi dogma agama,  Dari sinilah makna 
kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok 
manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara. 
Dinamika nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan 
sebuah politik, bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik 
yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat 
ilmuwan sekaliber Max Weber pun nyaris frustrasi manakala harus memberikan 
terminologi sosiologis tentang makna nasionalisme. Pada sebuah artikel singkat 
yang ditulis Weber pada 1948, menunjukkan adanya sikap pesimistis bahwa 
sebuah teori yang konsisten tentang konsepsi nasionalisme dapat dibangun. 
Tidak tersedianya rujukan mapan yang dapat dijadikan dasar dan pegangan 
dalam memahami nasionalisme hanya akan menghasilkan persepsi yang dangkal. 
Bagaimanapun bentuk penjelasan tentang nasionalisme, baik itu dari dimensi 
kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai kultur, menurut 
Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif. 
Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap epistemologi 
modernisme yang mencari pengetahuan universal. Termasuk dua bapak ilmu 
sosial Karl Marx dan Emile Durkheim pun tidak menaruh perhatian serius pada 
isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami 
penjelasan tentang fenomena nasionalisme . namun , itu tak 
berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi 
sosial mengundang para sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati 
secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun 
besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya. Tentu saja usaha  
memecahkan teka-teki nasionalisme tidak mudah mengingat, seperti yang 
dikatakan Weber, begitu beragam faktor yang membentuk bangunan 
nasionalisme, sehingga indikatornya tidak dapat diidentifikasi secara pasti. 
Hans Kohn, seorang sejarawan yang cukup terkenal dan paling banyak 
karya tulisnya mengenai nasionalisme, memberikan terminologi yang sampai saat 
ini masih tetap dipakai  secara relevan dalam pembelajaran di sekolah, yakni: 
“nationalism is a state of mind in which the supreme loyalty of individual is felt to be due the 
nation state”. Bahwa nasionalisme merupakan suatu faham yang memandang 
bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan ,Konsep nasionalisme ini  menunjukkan bahwa 
selama berabad-abad silam kesetiaan orang tidak ditujukan kepada nation state 
atau negara kebangsaan, melainkan kepada pelbagai bentuk kekuasaan sosial, 
organisasi politik, raja feodal, suku, negara kota, kerajaan dinasti, golongan 
keagamaan atau gereja. 
Menurut Muhammad Imarah (1998: 281), cinta tanah air atau 
nasionalisme adalah fitrah asli manusia dan sama dengan kehidupan, sedang  
kehilangan rasa cinta tanah air sama dengan kematian. , berbicara tentang nasionalisme serta 
kedudukannya pada kebangkitan Islam modern mengemukakan:
“…sesungguhnya Ikhwanul Muslimin mencintai negeri mereka; 
menginginkan persatuan dan kesatuan; tidak menghalangi sispapun untuk 
loyal kepada negerinya, lebur dalam cita-cita bangsanya, dan 
mengharapkan kemakmuran dan kejayaan negerinya. Kita bersama para 
pendukung nasionalisme, bahkan juga bersama mereka yang berhaluan 
nasionalis ekstrim sejauh menyangkut kemaslahatan bagi negeri ini dan 
rakyatnya…” 
 
Pandangan Hasan al-Banna ini  mengisyaratkan bahwa pada 
hakikatnya substansi nasionalisme itu sama meskipun dengan kriteria yang 
berbeda seperti aqidah, batas-batas peta bumi, dan letak geografis. Pendapat ini 
menetralisir pertentangan konsepsi nasionalisme Islam dan Barat dalam konsepsi 
yang lebih substantif. Tentunya gagasan ini tidak sependapat dengan pandangan mengenai cinta bangsa dan tanah air. 
sedang  dalam konsepsi politik, terminologi nasionalisme sebagai 
ideologi yang mencakup prinsip kebebasan, kesatuan, kesamarataan, serta 
kepribadian selaku orientasi nilai kehidupan kolektif suatu kelompok dalam 
usahanya merealisasikan tujuan politik yakni pembentukan dan pelestarian 
negara nasional. Dengan demikian pembahasan masalah nasionalisme pada awal 
pergerakan nasional dapat difokuskan pada masalah kesadaran identitas, 
pembentukan solidaritas melalui proses integrasi dan mobilisasi lewat organisasi 
. Hal ini sejalan dengan konsepsi Wikipedia 
Bahasa Melayu dalam Ensiklopedi Bebas yang mengidentifikasi bahwa 
nasionalisme merupakan suatu ideologi yang mencipta dan mempertahankan 
kedaulatan sesebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan 
mewujudkan suatu konsep identiti bersama untuk sekumpulan manusia 
D.  Hubungan Nasionalisme dan Nation State 
Hubungan antara nasionalisme dan nation state, sangat erat tidak 
dipisahkan satu sama lain. Nasionalisme merupakan semangat, kesadaran, dan 
kesetiaan bahwa suatu bangsa itu adalah suatu keluarga dan atas dasar rasa 
sebagai suatu keluarga bangsa, dan oleh sebab  itu dibentuklah negara. Dalam 
konsepsi ini berarti negara merupakan nasionalisme yang melembaga. Oleh 
sebab  itu pada dasarnya nasionalisme merupakan dasar universal bagi setiap 
negara. Bangsa lebih menunjuk pada penduduk suatu negeri yang dipersatukan 
di bawah suatu pemerintahan tunggal yang disebut negara. Sedang negara lebih 
menunjuk kepada suatu badan politik dari rakyat atau atau bangsa yang 
menempati wilayah tertentu yang terorganisir secara politis di bawah suatu 
pemerintah yang berdaulat, dan atau tidak tunduk kepada kekuasaan dari luar 
Nasionalisme sebagai sebuah produk modernitas, perkembangannya 
berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial.  
namun  nasionalisme tidak sekedar dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke 
bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam 
pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Ini berarti bahwa 
pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas 
hanya dapat dilakukan tentunya juga dengan melihat apa yang terjadi pada 
warga  di lapisan paling bawah saat  asumsi, harapan, kebutuhan, dan 
kepentingan warga  biasanya  terhadap ideologi nasionalisme 
memungkinkan ideologi ini  meresap dan berakar secara kuat Pada tingkat inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan 
sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan 
nasionalisme. 
memandang nasionalisme sebagai sebuah ide 
atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan sebab  
setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak 
mengenal seluruh anggota dari bangsa ini . Nasionalisme hidup dari 
bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota 
bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan konstruktivis yang 
dianut Anderson menarik sebab  meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil 
imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas 
yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-
mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan .
Konsep Anderson sangat unik dan selanjutnya dapat ditarik lebih jauh 
untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial. 
Tidaklah suatu hal yang kebetulan apabila konsep Anderson sebagian besar 
didasarkan atas pengamatan terhadap dinamika sejarah pertumbuhan dan 
perkembangan nasionalisme di Indonesia. namun , karya Anderson 
yang dapat menjadi sumber kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh 
Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan 
warga  non-Barat . Dalam bukunya, Imagined 
Communities, Anderson berpendapat bahwa nasionalisme warga  
pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah 
disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di warga  
pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di 
sini letak problematika dari pandangan Anderson sebab  menafikan proses-
proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh warga  
pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan 
Eropa.  
Anderson juga mengikuti perkembangan nasionalisme pasca Perang 
Dunia II yang melanda negara-negara jajahan di Asia dan Afrika, yang 
karakternya ditandai oleh penyebaran nasionalisme melalui bahasa penjajah baik 
di sekolah-sekolah, media massa, maupun  birokrasi yang menghasilkan 
golongan terpelajar putera, kesatuan administrasi pemerintahan; dan sebab  
kemajuan di bidang transportasi dan komunikasi membentuk kecenderungan 
sentralisasi pada pemerintahan pusat di ibukota, yang sedang berkembang 
menjadi metropolitan (Benedict Anderson, 1983: 49). berdasar  hal itu dapat 
ditesiskan bahwa nasionalisme merupakan penemuan bangsa Eropa yang 
diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam warga  
modern. Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi 
massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. 
Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri saat  
urbanisasi dalam skala besar memaksa warga  pada saat itu untuk 
membentuk sebuah identitas bersama Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk 
oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya 
dalam warga . Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada 
satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya 
Nasionalisme merupakan sikap dan tingkah laku individu atau 
warga  yang merujuk pada loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa dan 
negaranya ,namun  
secara empiris, nasionalisme tidak sesederhana definisi itu, melainkan selalu 
dialektis dan interpretatif, sebab  nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak 
lahir, melainkan sebagai hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan 
hidupnya. Dalam sejarah Indonesia dibuktikan bahwa kebangkitan rasa 
nasionalisme didaur ulang kembali oleh para generasi muda, sebab  mereka 
merasa ada yang menyimpang dari perjalanan nasionalisme bangsanya. Dalam 
konsepsi ini, paling kurang ada lima fase pertumbuhan nasionalisme di Indonesia 
yakni sebagai berikut. 
Pertama gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam dinamika 
sejarah diawali oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para 
mahasiswa kedokteran Stovia, sekolahan anak para priyayi Jawa, di sekolah yang 
disediakan Belanda di Jakarta. Mengenai tahun dan nama organisasi sebagai 
tonggak kebangkitan nasional Indonesia, masih menjadi obyek perdebatan para 
ahli sejarah, sebab  Boedi Oetomo, tidaklah menasional organisasinya, namun  
hanya melingkupi Jawa saja. Jadi patut dipertanyakan sebagai tonggak 
kebangkitan nasional Indonesia,
lalu  pasca Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan 
mulai merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa negara jajahan 
yang belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu banyak memengaruhi 
kalangan terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo saat  merumuskan konsep 
negara integralistik banyak menyerap pikiran Hegel. Bahkan, Soepomo terang-
terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip persatuan antara 
pimpinan dan rakyat dan persatuan dalam negara seluruhnya. Begitu pula pada 
masa kini banyak diciptakan lagu-lagu kebangsaan yang sarat dengan muatan 
semangat nasionalisme seperti Indonesia Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, 
Padamu Negeri, dan sebagainya 
Tokoh nasional lain selain Soepomo, Hatta, Sutan Syahrir pun sudah 
aktif berdiskusi tentang masa depan negaranya, saat  mereka masih belajar di 
benua Eropa, atas beasiswa politic-etis balas budi-nya penjajah Belanda. sesudah  
selesai di PHS selesai 1921, lalu  Hatta meneruskan studi ke Belanda, 
masuk Handels Hooge School (Sekolah Tinggi Ekonomi) Refterdam. Selama di 
Belanda inilah Bung Hatta memegang peranan vital dalam sejarah pergerakan 
nasional Indonesia. Masuknya Bung Hatta ke dalam perhimpunan Indonesia 
menjadikan organisasi ini semakin kuat pengaruhnya dan semakin radikal. Bung 
Hatta dan mereka yang menempuh pendidikan Barat inilah di masa pra & 
pascakemerdekaan yang nantinya banyak aktif berkiprah menentukan arah masa 
depan Indonesia ,sedang Bung Karno sejak remaja, masa 
mahasiswa bahkan sesudah  tamat studinya, terus aktif menyerukan tuntutan 
kemerdekaan Indonesia melalui organisasi-organisasi yang tumbuh pada awal 
abad ke-20 ,
Kedua kebangkitan nasionalisme tahun 1928, yakni 20 tahun pasca 
kebangkitan nasional, di mana kesadaran untuk menyatukan negara, bangsa dan 
bahasa ke dalam satu negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah disadari oleh 
para pemuda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi kearea an 
seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan lain sebagainya, lalu  
diwujudkan secara nyata dengan menyelenggarakan Sumpah Pemoeda di tahun 
1928.  
Ketiga masa revolusi fisik kemerdekaan. Peranan nyata para pemuda pada 
masa revolusi fisik kemerdekaan, nampak saat  mereka menyandra Soekarno-
Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamirkan kemerdekaan 
Indonesia. Mereka sangat bersemangat untuk mewujudkan nation state yang 
berdaulat dalam kerangka kemerdekaan. Hasrat dan cita-cita mengisi 
kemerdekaan yang sudah banyak didiskusikan oleh Soekarno, Hatta, Soepomo, 
Syahrir, dan lain sebagainya sejak mereka masih berstatus mahasiswa, harus 
mengalami pembelokan implementasi di lapangan, sebab  Soekarno yang 
semakin otoriter dan keras kepala dengan cita-cita dan cara yang diyakininya. 
Akhirnya Soekarno banyak ditinggalkan teman-teman seperjuangan yang masih 
memegang idealismenya, dan mencapai puncaknya saat  Hatta, sebagai salah 
seorang proklamator, harus mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, 
sebab  tidak kuat menahan diri untuk terus menyetujui sikap dan kebijakan 
Presiden Soekarno yang semakin otoriter.  
Keempat,  perkembangan nasionalisme tahun 1966 yang menandai tatanan 
baru dalam kepemerintahan Indonesia. Selama 20 tahun pasca kemerdekaan, 
terjadi huru-hara pemberontakan Gestapu dan eksesnya. Tampaknya tanpa 
peran besar mahasiswa dan organisasi pemuda serta organisasi sosial 
kewarga an di tahun 1966, Soeharto dan para tentara sulit bisa memperoleh 
kekuasaan dari penguasa orde-lama Soekarno.namun  sayang, penguasa Orde 
Baru mencampakan para pemuda dan mahasiswa yang telah menjadi motor 
utama pendorong terbentuknya NKRI ini  dideskriditkan, dan bahkan sejak 
akhir tahun 1970-an para mahasiswa dibatasi geraknya dalam berpolitik dan 
dikungkung ke dalam ruang-ruang kuliah di kampus. sedang para tentara 
diguritakan ke dalam tatatan warga  sipil lewat dwifungsi ABRI. Kelima 
perkembangan nasionalisme masa reformasi. Nasionalisme tidak selesai sebatas 
masa pemerintahan soeharto, melainkan terus bergulir saat  reformasi menjadi 
sumber inspirasi perjuangan bangsa meskipun melalui perjalanan sejarah yang 
cukup panjang.  
Dalam pembangunan ekonomi dewasa ini, kita tampaknya perlu 
menimba pengalaman-pengalaman masa lampau, misalnya, bagaimana sistem 
ekonomi modern memiliki  dampak baik positif maupun negatif terhadap 
sistem ekonomi subsistensi. Sumbangan pemikiran sejarah dalam kajian ekonomi 
Indonesia abad ke-19 dapat memberikan sebagia jawaban untuk kepentingan 
yang berarti pada masa sekarang. Demikianlah, sejarah akan menemukan 
kegunaannya melalui tiga dimensi waktu yakni masa lampau, masa sekarang, dan 
masa yang akan datang. Konsepsi ini sangat relevan dengan terminologi  Allan 
Nevin yang menegaskan bahwa sejarah adalah jembatan penghubung antara masa 
lampau, masa sekarang, dan sebagai petunjuk arah ke masa depan. Sejarah dalam 
bentuknya yang seperti apapun juga, hendaknya janganlah dianggap hanya 
sebagai kenangan masa lalu yang tiada guna, melainkan menjadikannya suatu 
peristiwa bermakna bagi kehidupan riil umat manusia. 
Tidak salah lagi Sistem Tanam Paksa yang diterapkan di Hindia Belanda 
telah mendatangkan perubahan sosial warga  baik secara makro maupun 
mikro.  Pada pokoknya, Sistem Tanam Paksa merupakan penghisapan dan 
pemerasan secara brutal yang dikelola oleh orang-orang yang tamak dan haus 
akan kekuasaan, yang nilai-nilainya dibentuk oleh latarbelakang kebudayaan 
masing-masing.  Sistem Tanam Paksa menjalankan suatu tipu muslihat pada 
lingkungan sosio-ekonomi secara lebih canggih dan rumit. Dalam membahas 
Sistem Tanam paksa, akan lebih komprehensif apabila dikaji tidak secara 
tradisional, agar berbagai aspek yang menyertai dilaksanakannya sistem dapat 
teungkap. sebab  jika tidak, maka gambaran utuh dari sistem ini tidak akan 
ditemukan. namun  secara riil adalah tidak dapat diabaikan bahwa 
pelaksanaan Sistem Tanam Paksa mengkondisikan hal-hal sebagai berikut.  
Pertama, Adanya pembentukan modal. Aspek ini tidak dapat disangkal 
oleh peneliti manapun bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa telah 
menimbulkan permodalan di Hindia Belanda. Pembentukan modal yang 
merupakan aspek dari sejarah kolonial yang terutama melibatkan orang-orang 
Eropa dan Cina, ketimbang bangsa Indonesia sendiri, bahwa modal perusahaan 
di Eropalah yang memicu  terpecah-pecahnya Sistem Tanam Paksa yang 
diawasi oleh pemerintah itu.  Pembentukan modal yang utama, yang bedampak 
pada meluasnya  tanam paksa di Jawa, terjadi di Jawa sendiri, dan kondisi ini  
terjadi selama berjalannya Sistem Tanam Paksa dan merupakan bagian dari 
Sistem Tanam Paksa ini . Kontraktor-kontraktor gula pemerintah 
merupakan pemimpin-pemimpin dalam pembentukan modal ini , namun 
demikian kantor-kantor perwakilan  yang selalu ada di Jawa yang hidup makmur 
di bawah Sistem Tanam Paksa, juga sanggup bekerja sama dengan para pegawai 
pemerintah yang telah pensiun,  melebarkan sayapnya ke dalam derah-area  di 
mana pemerintah bersama perwakilan resminya, yaitu “The Netherlands Trading 
Company” (Nederlandsche Handel Maatschappij) tidak berhasil memperoleh 
keuntungan. Sistem Tanam Paksa melalui semacam oerasi bootstrap yang 
dibenarkan serta ditunjang oleh pemerintah, berhasil mendapatkan  modal yang 
dahulunya tidak ada, atau ada tepi masih terbatas. Para kontrolir modal ini (dan 
ada beberapa injeksi swasta dari Eropa) akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa 
mereka dapat melakukan pekerjaan itu secara lebih baik  dengan menuruti 
peraturan-peraturan swasta yang liberal, ketimbang dengan bekerja  melalui 
sistem pemerintah yang berbelit-belit dan untuk hal ini  mereka memperoleh 
dukungan dalam Parlemen di Negeri Belanda. Masukan-masukan modal yang 
besar dari Eropa ke Jawa hanya terjadi sesudah tahun 1880, saat  Sistem tanam 
Paksa benar-benar sudah dalam proses pembubaran secara resmi.  Dengan 
demikian tentunya pembentukan modal secara besar-besaran lebih kentara saat  
Sistem Liberal mulai diterapkan. namun  ini bukan berarti bahwa pada 
masa penerapan Sistem Tanam Paksa tidak ada pembentukan modal, namun 
dalam skala yang tidak terlalu besar seperti pada masa Sistem Liberal. 
Dengan demikian bagaimana dampak pembentukan modal pada Sistem 
Tanam Paksa terhadap perkembangan ekonomi Jawa selanjutnya. Dengan realitas 
bahwa pembentukan modal lebih banyak terjadi pada sesudah tahun 1880, maka 
pertanyaan yang sederhana adalah apa yang telah dilakukan  oleh Sistem Tanam 
Paksa adalah memperlihatkan secara jelas, bahwa Jawa dapat menghasilkan 
komoditas ekspor dengan cara-cara yang sangat murah untuk dapat bersaing di 
pasaran dunia. Begitu Jawa maupun luar Jawa menampakkan hasil komoditi yang 
menjanjikan, maka Indonesia menjadi lahan yang menarik bagi penanaman 
modal. namun  para pengusaha yang berada di Pulau Jawa-lah yang 
paling pertama mengetahui hal ini , dan mengetahui bagaimana cara-cara 
yang dipakai oleh pemerintah kolonial untuk memungkinkannya. Oleh sebab  itu 
tidaklah mengherankan kalau pertumbuhan penanaman modal dalam bidang 
pertanian di Jawa berasal dari antara kelompok pengusaha yang hubungannya 
satu sama lain sangat erat, para pegawai dan kantor-kantor perwakilan yang ada 
dan bekerja di Jawa. Jalan yang dirintis oleh mereka pada akhir abad ke-19 dan 
permulaan abad ke-20 meluas menjadi jalan besar untuk penanaman modal 
seluruh dunia di Jawa dan lalu  di bagian-bagian lainnya dari Kepulauan 
Nusantara.  Dengan pembentukan modal ini , kedudukan Jawa menjadi 
semakin penting bagi komoditas ekspor dunia, terutama bagi pemerintah 
kolonialisme Belanda maupun pengusaha-pengusaha swasta Eropa. 
Kedua adanya tenaga buruh yang murah yang menandai kehidupan di 
Jawa yang telah lama berlangsung jauh sebelum Sistem Tanam Paksa diterapkan. 
Rakyat kelas bawah sudah menjadi tradisi bekerja wajib untuk para pemimpin 
tradisional yang memiliki otoritas tradisional sebagai pemimpin dalam 
masyarkatnya. hubungan  ketergantungan di samping adanya 
perbudakan dalam kebanyakan hal, merupakan kunci yang menentukan dari 
perbedaan-perbedaan sosial dalam warga .  saat  Belanda menguasai Pantai 
Utara Jawa pada abad ke-18, maka Belanda merasa beruntung sebab  dapat 
memakai tenaga-tenaga buruh yang sangat murah, dan menerima penyerahan-
penyerahan produk tanpa pembayaran atau dengan pembayaran yang jauh dari 
biaya yang dikeluarkannya. Hal demikian tentunya adalah hasil pekerjaan yang 
dihasilkan oleh para petani Jawa untuk para atasan dengan biaya yang sangat 
murah sekali, dan produk-produk yang dihasilkan tentu didapatkan tanpa 
pembayaran upah dalam bentuk uang. warga  Jawa kelas menengah dan 
tinggi sebenarnya tahu cara-cara kolonial dalam mengeksploitasi warga  Jawa, 
namun dalam hal ini  tidak dapat berbuat banyak. sebab  tidak ada 
peraturan-peraturan yang mantap mengenai tenaga buruh, maka tidaklah 
mungkin untuk memprediksikan jumlah hari kerja wajib yang harus dijalankan, 
namun  diperkirakan jumlah ini  terus meningkat selama penerapan 
Sistem Tanam Paksa. 
Pada awal abad ke-19, ada beberapa orang yang selama setengah 
tahun mempekerjakan buruh yang diperuntukan bagi mereka sendiri dan orang-
orang lain dengan tingkat pembayaran yang sangat rendah, namun  seringkali 
dengan semacam cara pengaturan mata pencaharian.  Petani miskin tidak punya 
kekuatan untuk melakukan penolakan terhadap kerja wajib meskipun upah yang 
diberikan tidak sebanding dengan beban kerja yang harus dikerjakan, namun 
sebab  kebutuhan yang mendesak bagi keluarganya, maka mereka tetap 
menjalankan pekerjaan ini . Terlebih bagi mereka yang tidak memilikii lahan 
garapan, sehingga bekerja pada mereka kelas atas itulah sebagai mata 
pencahariannya. sedang pelayanan wajib untuk pemerintah corvee  sudah lama 
ada sebelum Sistem Tanam Paksa  diperkenalkan, sebab  orang Eropa yang 
berkuasa selalu menganggap bahwa mereka berhak paling besar atas buruh 
yang berada di wilayah-wilayah pengawasan mereka. Sistem Tanam Paksa 
mempertahankan corvee   dan menambahkan padanya  sesuatu apa yang disebut 
cultivation service  (pelaynan pada tanam paksa) yang merupakan pekerjaan pada 
tanam paksa untuk pemerintah.  Pada dasarnya pelayanan terhadap tanam paksa 
ini diimbangi dengan bentuk pembayaran hasil panen, namun lebih sering orang-
orang yang benar-benar melakukan pekerjaan ini  tidak mandapat bayaran. 
Menyangkut golongan-golongan di tingkat rendah ini, mereka menganggap 
bekerja dalam tanam paksa untuk pemerintah adalah sebagai apa yang mereka 
kerjakan untuk para pemimpin tradisionalnya. namun  bagi golongan 
miskin penerapan Sistem tanam paksa iini menjadi lebih tergantung pada 
penguasaan tradisional, meskipun mereka bekerja dengan upah yang tidak 
sebanding dengan beban pekerkaannya.  Dengan begitu maka terjadilah apa yang 
disebut sebagai hubungan simbiosis antara tenaga buruh yang murah dan syarat 
mata mencaharian pokok untuk membiayai kehidupannya, manjadi semakin kuat, 
sedang  konsep bekerja untuk mendapatkan upah yang diperlukan agar dapat 
bertahan hidup tidak pernah berhasil di antara kaum tani Jawa yang lebih miskin. 
Ketergantungan penduduk miskin terhadap Sistem Tanam Paksa inilah yang 
memicu  tenaga buruh dihargai dengan upah yang sangat rendah, di 
samping adanya sistem tradisional yang selalu mengkondisikan tenaga buruh yang 
mau bekerja wajib untuk atasannya. 
Ketiga ekonomi pedesaan yang berubah selama penerapan Sistem Tanam 
Paksa dan sesudahnya.  Struktur politik dan ekonomi pedesaan yang selama abad 
ke-19 menunjukkan fakta -fakta  sosial-ekonomi dari kehidupan orang-
orang Jawa, dengan mengubah hasil panen dan tenaga buruh yang murah 
menjadi pengaturan fungsional. Desa-desa merupakan sumber dari mana tenaga 
buruh dan hasil pertanian ditarik, walaupun hanya dari beberapa penduduk desa. 
Pada awal abad ke-19, golongan atas di pedesaan Jawa menjadi lebih kuat sebab  
penunjukkan tugas-tugas dan kewenangan-kewenangan baru yang 
memungkinkan  para kepala desa dan para kroninya yang memiliki otoritas atas 
pengawasan lahan, tenaga buruh dan hasil pertanian sampai ke tingkat yang lebih 
besar daripada yang yang pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah kolonial 
semakin banyak berhubungan dengan para pemimpin tradisional Jawa untuk 
mencapai sasaran produksi yang telah ditetapkan. Dengan demikian otoritas 
golongan atas desa semakin besar dengan kewenangan yang diberikan oleh 
pemerintah kolonial.  Namun di luar itu golongan rendah tetap miskin dan 
semakin bertambah tertindas sebab  harus melayani padagolongan atas desa dan 
pemerintah kolonial dengan tingkat kesejahteraan yang tetap rendah.  Dengan 
demikian Sistem tanam Paksa melanjutkan proses untuk membuat desa di Jawa 
menjadi unit paling rendah dalam suatu sistem organisasi terpusat; di mana 
proses ini masih ditambah pula dengan manjadikan desa sebagai basis produksi 
dan unit mata pencaharian yang utama dari masuknya Jawa ke dalam 
perekonomian pasaran dunia. Fungsi ini  terus berlanjut sesudah  Sistem 
Tanam Paksa ini  memudar dan tetap merupakan dasar kehidupan ekonomi 
di Jawa selama masa kolonial. Jawa tetap dijadikan sumber eksploitasi oleh 
pemerintah kolonial sampai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda yang 
lalu  digantikan oleh pendudukan Jepang. 
Semangat nasionalisme dalam negara kebangsaan dijiwai oleh lima 
prinsip nasionalisme, yakni: 1) kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial, 
bangsa, bahasa, ideologi, dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau 
pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan, dan policy 
kebudayan; 2) kebebasan (liberty, freedom, independence), dalam beragama, 
berbicara dan berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi; 
3) kesamaan (equality), dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban; 4) 
kepribadian (personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri 
(self estreem), rasa bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap 
kepribadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan 
sejarah dan kebudayaannya; 5) prestasi (achievement), yaitu cita-cita untuk 
mewujudkan kesejahteraan (welfare) serta kebesaran dan kemanusiaan (the 
greatnees and the glorification) dari bangsanya. Dengan demikian, sikap 
nasionalisme dapat dirumuskan melalui sikap dan perilaku sebagai berikut: 
bangga sebagai bangsa Indonesia; cinta tanah air dan bangsa; rela berkorban 
demi bangsa; menerima kemajemukan; bangga pada budaya yang beraneka 
ragam; menghargai jasa para pahlawan; dan mengutamakan kepentingan 
umum.