hukum pertanahan belanda 5

 







il tanah yang bersangkutan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengambilalihan hanya 

mungkin sesudah  menyelesaikan prosedur yang cukup komprehensif. 

Prosedur ini dijelaskan dalam Undang-Undang tentang Pengambilalihan 

Belanda. Selain itu, konstitusi Belanda mengatur bahwa pada 

prinsipnya tanah tidak dapat diambil alih. Pengecualian untuk aturan 

ini hanya mungkin, masih menurut konstitusi Belanda, jika pemerintah 

yang mengambil alih itu akan memberikan kompensasi penuh atas 

semua kerugian yang disebabkan oleh pengambilalihan itu dan, 

persyaratan kedua, jika pengambilalihan diperlukan untuk kepentingan 

umum. Keputusan untuk mengambil alih harus memenuhi kedua 

persyaratan serta persyaratan yang disebutkan dalam Undang-Undang 

Pengambilalihan agar sah. Persyaratan yang paling penting dari Undang-

Undang Pengambilalihan akan disebutkan nanti. Persyaratan untuk 

tindakan ini berfokus terutama pada kebutuhan kedua yang disebutkan 

dalam konstitusi Belanda, yaitu bahwa semua pengambilalihan harus 

diperlukan dalam kaitannya dengan kepentingan umum. Persyaratan 

lain dalam tindakan ini yaitu  bahwa pengambil alihan hanya sah secara 

hukum jika orang yang kehilangan kepemilikan mereka, hak sewa, hak 

mereka atas pengabdian pekarangan, dan sebagainya, akan diberikan 

kompensasi secara penuh. Menurut hukum Belanda, orang dikompensasi 

dengan uang. Pemerintah Belanda harus membayar semua kerugian yang 



disebabkan oleh tindakan pengambilalihan ini . Ini lebih dari hanya 

sekadar nilai tanah yang diambil alih; biaya untuk pindah ke tempat lain 

misalnya harus dikompensasi juga.


Bagian berikut ini berfokus pada pengambilalihan tanah oleh 

pemerintah Kota untuk tujuan perencanaan tata ruang.


Prosedur: bagian administratif dan judisial

Undang-Undang Pengambilalihan membagi prosedur untuk mengambil 

alih menjadi dua bagian yang berbeda. Bagian pertama yaitu  bagian 

administratif, dengan fokus pada menjaga pengambilalihan yang hanya 

akan terjadi jika itu diperlukan dalam kepentingan umum. Bagian kedua 

dari prosedur itu, yang merupakan bagian judisial/peradilan, berfokus 

pada perlindungan yang sama. Namun, selain itu bagian dari prosedur 

ini berfokus pada kebutuhan lain, yaitu bahwa pemilik properti harus 

menerima kompensasi penuh jika terjadi pengambilalihan.

5.1.2 Kepentingan umum vs. kepentingan pribadi

Setiap pengambilalihan menjadi hal yang niscaya atau diperlukan 

dalam hal kepentingan umum. Persyaratan ini sesuai dengan ketentuan 

dari Undang-Undang Pengambilalihan. Apa artinya ini? Pertama, 

pengambilalihan tidak diperbolehkan jika alasan utama untuk mengambil 

alih tidak dapat dianggap sebagai kepentingan bersama. Rencana zonasi, 

di mana keputusan untuk mengambil alih didasarkan, harus dibuat 

dengan maksud untuk suatu perencanaan tata ruang yang efektif. 

Perencanaan tata ruang yang efektif seperti itu tentu saja terutama harus 

memperhatikan kepentingan publik. Namun demikian, yaitu  mungkin 

bahwa beberapa ketentuan dalam rencana zonasi tidak benar-benar 

berfokus pada kepentingan-kepentingan publik tertentu. Terkadang, 

pihak swasta meminta perubahan rencana zonasi, misalnya agar dapat 

memperbesar kebun mereka. Bila tidak ada kepentingan umum yang 

dirugikan oleh pemberlakuan kelonggaran seperti itu, pemerintah Kota 

mungkin mau mengubah rencana zonasi atas permintaan seperti itu. Tentu 

saja, tidak ada yang salah dengan pemberian kelonggaran seperti itu, 

selama kepen tingan umum tidak dirugikan oleh keputusan itu. Namun 

demikian, tidak ada kepentingan publik untuk mewujudkan jenis rencana 

zonasi seperti ini, sebab  ia telah disusun hanya untuk hal-hal pribadi. 

Jika diperlukan untuk mengambil alih tanah dalam rangka mewujudkan 

rencana ini , itu tidak akan diizinkan. Hanya jika ada kepentingan 

publik yang masuk akal, pengambilalihan dapat dimungkinkan.

Dalam beberapa kasus memang agak sulit untuk menilai apakah ada 

kepentingan umum atau hanya kepentingan pribadi yang membenarkan 

pengambilalihan, sebab  kepentingan pribadi dan publik sering datang 

bersama-sama. Misalnya jika pemilik pabrik ingin memperbesar 

pabriknya, yang akan kemudian memberikan kemungkinan lebih 

besar untuk beberapa pekerjaan tambahan. Kepentingan utama yang 

terlibat, yaitu mungkin kepentingan pemilik pabrik untuk memperbesar 

pabriknya, namun demikian, ada kepentingan publik yang terlibat juga 

yaitu penambahan penyerapan tenaga kerja. Apakah ini alasan yang 

cukup untuk mengambil alih? Mungkin tidak, sebab  kepentingan pribadi 

membayangi kepentingan umum. Namun, dalam setiap kasus tunggal 

pada akhirnya hakim harus menilai apakah ada kepentingan umum yang 

memerlukan pengambilalihan. Hal ini dapat menjadi kasus misalnya jika 

pabrik ini terletak di sebuah tempat di mana hal itu menyebabkan banyak 

ketidaknyamanan dan pemerintah kota ingin mengganti pabrik ini ke 

tempat lain. Mungkin dalam keadaan seperti itu, bisa ada kepentingan 

umum untuk mengambil alih tempat lain untuk menggantikan pabrik 

itu. Dalam setiap kasus, pada akhirnya hakim harus menilai apakah ada 

kepentingan publik yang penting yang memberikan alasan yang cukup 

dan perlu untuk pengambilalihan tanah.

Bagaimana kalau pemerintah kota ingin mewujudkan sebuah 

kawasan perumahan baru? Tentu saja, ada kepentingan pribadi yang 

terlibat juga dalam masalah seperti itu, yaitu kepentingan rakyat yang 

ingin hidup di kawasan baru. Namun demikian, sebagian besar akan 

ada kepentingan publik yang cukup terlibat dalam kasus ini , 

sebab  hukum Belanda mengatur tentang pengambilalihan untuk 

kepentingan perumahan rakyat secara eksplisit dalam Undang-Undang 

Pengambilalihan.

5.1.3 Pengambilalihan haruslah bersifat urgen/mendesak

Persyaratan kedua yang ditetapkan oleh Undang-Undang Pengambilalih-

an yaitu  pengambilalihan harus bersifat urgen atau mendesak. Dengan 

persyaratan ini berarti bahwa pemerintah kota hanya diperbolehkan 

113

Pengambilalihan:  Kepentingan publik  yang wajar dan kompensasi yang adil ...

untuk mengambil alih jika kebutuhan untuk mewujudkan rencana 

zonasi cukup menekan. Ini bukan aturan yang sangat keras. Satu-satunya 

persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Pengambilalihan, me-

ngenai aturan bahwa setiap pengambilalihan harus mendesak, yaitu  

bahwa harus ada rencana konkret yang dapat direalisasikan dengan cukup 

segera. Pada peta dalam rencana zonasi seperti yang ditampilkan di atas, 

Anda telah melihat rencana konkret seperti itu. Selain hal ini, pemerintah 

kota berkewajiban untuk memulai dengan realisasi rencananya itu agak 

lebih cepat sesudah  aksi pengambilalihan ini . Jika mereka tidak 

mengajukan permohonan untuk persyaratan itu, pengambilalihan 

kemudian dapat dibatalkan oleh hakim.

5.1.4 Pengambilalihan harus bersifat niscaya atau sangat diperlukan

Dalam praktiknya, persyaratan yang paling penting yang ditetapkan oleh 

Undang-Undang Pengambilalihan yaitu  bahwa setiap pengambilalih-

an harus diperlukan dalam rangka mewujudkan rencana spesifik dari 

pemerintah kota. Ini yaitu  sebuah syarat penting, sebab  menyiratkan 

bahwa tidak ada pengambilalihan yang sah jika pemilik terdahulu dari 

tanah ini  sekarang mau mewujudkan rencana ini  sendiri, 

dengan cara yang persis sama dengan yang pemerintah Kota inginkan. 

Jika se seorang mampu mewujudkan rencana pemerintah Kota juga, 

pengambil alihan tidak diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan 

penggunaan yang disebutkan dalam rencana zonasi, sehingga tidak akan 

diizinkan untuk dilakukan pengambilalihan.

Dalam banyak kasus, pengambilalihan tidak mungkin sebab  

alasan ini. Apa yang terjadi yaitu  bahwa orang yang memiliki tanah 

yang terancam akan diambil alih, menjual tanah dan bangunan mereka 

ke pengembang perumahan saat proses pengambilalihan belum dimulai 

atau setidaknya belum selesai. Untuk pemilik properti, ini cukup menjadi 

cara yang menarik untuk kehilangan kepemilikan atas tanah mereka, 

sebab  jika mereka menjualnya ke pengembang, mereka tidak harus 

menyelesaikan proses pengambilalihan atas diri mereka sendiri, dan yang 

lebih penting, sebab  biasanya pengembang perumahan akan membayar 

mereka dengan uang yang cukup banyak untuk membeli tanah dan 

bangunan mereka yang baru di tempat lain.

Jika seorang pengembang perumahan mampu membeli tanah 

sebelum pemerintah kota mengambil alih, pengambilalihan tidak 

diperbolehkan lagi, sebab  pemilik baru –yaitu pengembang perumahan 

itu – bersedia dan mampu mewujudkan sendiri semua rencana kota. 

Untuk itu, pengambilalihan tidak diperlukan dalam rangka mewujudkan 

peraturan ini  dalam rencana zonasi dan sebab  itu, pengambilalihan 

tidak diperbolehkan lagi.


Kemudian, pengembang perumahan yang membeli tanah itu 

harus memastikan bahwa tidak ada pengembang lainnya yang akan 

mendapatkan pekerjaan untuk mewujudkan kawasan baru itu. Dia bisa 

membangun kawasan yang diinginkan oleh pemerintah kota, menjual 

rumah-rumah dan mendapatkan keuntungan. Perilaku semacam ini 

sangat bermasalah bagi pemerintah Kota, sebab  pendirian daerah 

pemukiman baru menghabiskan biaya yang cukup banyak bagi mereka.

Seperti dijelaskan sebelumnya, pemerintah kota berkewajiban 

untuk membayar kerugian yang disebabkan oleh perubahan tujuan 

penggunaan rencana zonasi.

Rencana zonasi yang ditunjukkan di atas, memberikan kemungkinan 

untuk membangun jalan di tempat yang dicat merah. Ini berarti bahwa 

setidaknya mungkin dua rumah yang ada  dalam wilayah yang 

dicat dengan warna merah pastel akan berkurang nilainya. Sebelum 

perubahan rencana zonasi, tidak ada hal apa pun selain beberapa pohon 

di antara rumah mereka, dan sesudah  perubahan dari rencana zonasi, 

 


Pengambilalihan:  Kepentingan publik  yang wajar dan kompensasi yang adil ...

yaitu  mungkin bahwa sebuah jalan, yang menarik banyak lalu lintas 

yang bising dari dan ke kawasan perumahan baru, akan diletakkan di 

sana. Perkembangan seperti itu mungkin akan mengurangi nilai dari dua 

ba ngunan itu. Pemerintah kota berkewajiban untuk mengkompensasi 

kerugian semacam ini. Biaya-biaya itu tidak dapat bergeser ke orang-

orang yang membeli rumah di daerah baru, jika rumah-rumah itu dijual 

oleh seorang pengembang perumahan dan bukan oleh pemerintah kota. 

Se perti yang Anda lihat, biaya pembangunan sebuah kawasan pemukiman 

baru tidak hanya menghabiskan biaya yang dibuat oleh pengembang 

perumahan itu. Namun demikian, jika seorang pengembang memiliki 

tanah yang dimaksudkan untuk digunakan sebagai kawasan pemukiman 

baru, ia akan dapat memperoleh semua keuntungan yang terlibat dalam 

pengembangan itu.


Seperti yang bisa kita bayangkan, ini cukup bermasalah untuk pemerintah 

Kota. Oleh sebab  itu, hukum Belanda memberikan dua kemungkin an 

yang berbeda untuk mengatasi masalah ini. Yang pertama yaitu  hak beli-

pertama untuk pemerintah kota. Dalam beberapa kasus, pemerintah kota 

diperbolehkan untuk menetapkan hak beli pertama ini atas tanah yang 

mereka ingin miliki. Jika hak beli-pertama semacam itu telah ditetapkan 

di atas sebuah persil tertentu, pemilik wajib memberikan tanahnya ke 

pemerintah Kota, jika ia ingin menjualnya. Kemudian, sangat sulit untuk 

menjual tanah itu kepada pengembang kawasan pemukiman.

Cara kedua untuk mengatasi permasalahan ini  yaitu  sebagai 

berikut. Jika sebuah kawasan perumahan baru akan dibangun sebagian 

atau seluruhnya oleh pemilik tanah swasta, pemerintah kota diperboleh-

kan untuk memberlakukan sebuah aturan. Aturan ini menggambarkan 

jumlah biaya yang telah mereka buat dalam mendukung kawasan baru 

se perti itu. Jadi, misalnya biaya untuk membangun jalan baru yang 

berwarna merah seperti yang Anda dapat lihat pada peta di atas, termasuk 

kerugian yang pemerintah harus bayar kepada pemilik rumah-rumah di 

kawasan yang berwarna merah pastel dalam peta di atas.

Dalam aturan ini, biaya ini akan tersebar di antara semua persil 

tanah di kawasan baru itu. Sebuah bagian dari biaya akan dialokasikan 

untuk tiap bidang di kawasan baru itu. Jika pemilik tanah ingin 

mewujudkan kawasan perumahan, tentu saja ia harus membangun di 

atas tanah itu. Oleh sebab  itu, ia akan membutuhkan izin bangunan. Jika 

pemerintah kota memberlakukan aturan ini, walikota dan anggota dewan 

senior berhak untuk menolak izin mendirikan bangunan jika pemohon 

izin itu tidak membayar jumlah uang yang dialokasikan untuk parsel 

yang di atasnya dia ingin membangun perumahan. Melalui tuntutan 

ini, pemerintah Kota mampu mengalihkan biaya sehubungan dengan 


kawasan baru kepada para pengembang kawasan pemukiman yang 

lebih lanjut bisa mengalihkan biaya ini   kepada orang-orang yang 

membeli rumah di kawasan baru itu.


Setiap prosedur pengambilalihan dimulai dengan negosiasi antara 

pemerintah kota dan pemilik tanah dan bangunan. Pada prinsipnya, 

bagian selanjutnya dari prosedur ini tidak boleh dimulai jika pemerintah 

kota tidak/belum melakukan upaya yang wajar untuk membeli tanah 

dan bangunan dengan cara yang normal. Jika upaya pemerintah kota itu 

tidak berhasil, baru prosedur pengambilalihan yang nyata akan mulai. 

Prosedur ini, seperti yang disebutkan sebelumnya, dibagi menjadi dua 

bagian yang berbeda, menjadi bagian administratif dan bagian judisial.

5.2.2 Bagian administratif

Prosedur ini dimulai dengan bagian administratif. Tidak perlu menunggu 

perubahan rencana zonasi sebelum memulai bagian prosedur ini. Namun, 

tentu saja tidak mungkin untuk menyelesaikan prosedur ini sebelum 

rencana zonasi baru sudah siap.

Bagian administratif dari prosedur pengambilalihan dimulai 

dengan membuat rencana pengambilalihan. Ini yaitu  sebuah konsep 

keputusan untuk mengambil alih, yang dibuat oleh dewan kota. Dewan ini 

akan mengambil keputusan pengambilalihan yang definitif juga. Dalam 

draft ini mereka menggambarkan dengan cukup tepat untuk alasan apa 

mereka ingin mengambil alih sebuah persil atau bidang tanah. Rencana 

konsep harus cukup tepat, untuk memungkinkan pemilik tanah untuk 

menilai apakah mereka sendiri ingin mewujudkan rencana itu. Dalam 

contoh rencana zonasi yang disebutkan sebelumnya, dapat dilihat  bahwa 

dewan kota sudah membuat sebuah rencana tertentu ketika mereka 

membuat rencana zonasi. Dalam hal ini, rencana zonasi telah diubah ka-

rena dewan kota ingin mewujudkan atau membangun kawasan baru ini. 

Jadi, sebenarnya, rencana zonasi telah diubah agar dapat mendasarkan 

pengambilalihan di atas rencana zonasi baru. Dalam kasus ini , lebih 

mudah untuk memberlakukan rencana zonasi tertentu dengan segera 

dan bukannya pertama-tama membuat rencana yang cukup global.

Selanjutnya, konsep rencana menggambarkan secara persis persil 

yang mana yang dimaksudkan untuk diambil alih dan siapa yang 

memiliki   hak kebendaan untuk persil-persil ini. Informasi ini mereka 

temukan dalam catatan Kadaster. Orang-orang juga akan menerima 

surat dari pemerintah kota yang menginformasikan mereka tentang 

pengambilalihan yang direncanakan itu. Pengambilalihan ini  juga 

117

Pengambilalihan:  Kepentingan publik  yang wajar dan kompensasi yang adil ...

akan diumumkan di koran lokal.

Kemudian, konsep keputusan pengambilalihan akan disimpan 

untuk penyelidikan di kantor pemerintah Kota. Di sana, setiap orang 

diperbolehkan untuk menyelidiki rencana-rencana ini . Namun, 

hanya orang-orang yang memiliki kepentingan khusus mengenai tindakan 

pengambilalihan ini  yang dapat diterima untuk menyampaikan 

keluhan mereka. sesudah  ini, dewan kota akan mengambil keputusan akhir 

dengan memperhatikan keluhan yang diajukan selama masa penyelidikan. 

Mereka tidak harus mengikuti semua keluhan itu, tapi setidaknya mereka 

harus memperhatikan keluhan-keluhan itu ketika mereka terdorong 

untuk mengambil keputusan untuk melakukan pengambilalihan. Dewan 

kota akan me ngirimkan keputusannya kepada orang-orang yang telah 

menyampaikan keluhan selama periode investigasi. Mereka juga akan 

menyelenggarakan pengumuman di surat kabar lokal.

5.2.3 Persetujuan

Dewan kota juga akan mengirimkan keputusannya kepada pemerintah 

nasional Belanda. Orang yang telah menyampaikan keluhan mereka pada 

periode penyelidikan sebelumnya, diterima lagi untuk menyampaikan 

keluhan mereka, sekarang kepada pemerintah nasional. Sebuah 

pengambilalihan tidak mungkin tanpa persetujuan dari pemerintah 

nasional. Mereka akan menilai apakah dewan kota telah memenuhi tugas 

mereka sesuai dengan Undang-Undang Pengambilalihan dan menurut 

konstitusi Belanda.

Sebelum pemerintah nasional memutuskan apakah mereka akan 

menye tujui pengambilalihan atau tidak, mereka harus mendapatkan 

nasihat dari dewan penasehat mereka yang paling penting, yaitu Dewan 

Negara [Council of State; Di Belanda namanya yaitu  Raad van State, yaitu 

sebuah dewan yang kepalanya yaitu  Ratu sendiri, dan anggotanya 

yaitu  keluarga Kerajaan dan orang-orang yang ditunjuk oleh Ratu; 

Dewan ini merupakan sebuah badan penasihat yang harus dirujuk oleh 

peme rintah Belanda dalam setiap pengambilan keputusan dan legislasi 

sebelum legislasi itu diajukan ke parlemen; Dewan ini juga sering kali 

menjadi badan di mana rakyat dapat mengajukan keluhan atas kebijakan 

atau tindakan pemerintah Belanda. Penrj.]. Dewan Negara juga akan 

menilai apakah pemerintah kota telah memenuhi tugasnya atau tidak.

5.3 Pengambilalihan: Prosedur (judisial)

5.3.1 Pengantar

Ketika pemerintah pusat menyetujui pengambilalihan, bagian judisial 

dari prosedur ini pun dimulai. Dalam bagian prosedur ini, seorang 

hakim independen akan menilai kembali apakah keputusan yang 

118


diambil untuk mengambil alih telah memenuhi persyaratan Undang-

Undang Pengambilalihan. Bahkan, hakim ini akan melakukan pekerjaan 

yang cukup sama seperti pemerintah nasional dan dewan negara sudah 

lakukan.

5.3.2 Mendapatkan properti dengan cara yang normal

Sebelum memulai bagian judisial pemerintah kota harus mencoba untuk 

membeli properti dengan cara yang normal lagi. Ini berarti, mereka harus 

memulai negosiasi tentang harga. Jika tidak mungkin untuk mencapai 

kesepakatan, bagian dari prosedur judisial dimulai. Seperti disebutkan 

sebelumnya, hakim akan menilai juga apakah pemerintah kota telah 

memenuhi tugasnya sesuai dengan Undang-Undang Pengambilalihan 

atau tidak. Selanjutnya, jumlah kompensasi akan ditetapkan dalam 

prosedur judisial ini. Menurut Undang-Undang Pengambilalihan, 

pemerintah kota harus membayar semua kerugian yang disebabkan oleh 

tindakan pengambilalihan ini .

Hakim akan menunjuk sebuah panel ahli, sebagian besar tiga 

penilai, yang akan memperkirakan kerugian yang akan disebabkan oleh 

tindakan pengambilalihan ini . Kemudian, hakim akan menetapkan 

jumlah kompensasi. Semua kerugian harus dikompensasikan sepenuhnya, 

sebelum tindakan pengambilalihan ini  dapat terjadi. sesudah  

membayar kompensasi, pemerintah kota diperbolehkan untuk mendaftar 

pengambil alihan dalam arsip publik. Dengan bertindak demikian, 

pemerintah kota telah memperoleh kepemilikan atas tanah.

5.3.3 Pengambilalihan mengakhiri semua hak kebendaan

Sebagai hasil dari pendaftaran ini, semua hak kebendaan mengenai tanah 

akan berakhir, termasuk hak-hak yang tidak diketahui oleh pemerintah kota 

dan tidak terlibat dalam prosedur pengambilalihan. Seperti disebutkan 

sebelumnya, ketika prosedur pengambilalihan dimulai, pemerintah kota 

harus mengumumkan pengambilalihan yang direncanakan dalam suatu 

surat pribadi kepada setiap orang yang, menurut arsip publik, berhak atas 

hak kebendaan dari tanah yang bersangkutan. Namun demikian, tidak 

semua orang yang berhak atas hak kebendaan atas tanah dan bangunan 

disebutkan dalam arsip publik. Jika tanah diperoleh dengan kepemilikan 

berdasarkan itikad baik sesudah  jangka waktu tertentu, pendaftaran tidak 

diperlukan untuk jenis pemerolehan ini. Tentu saja, pemerintah kota 

wajib mencoba yang terbaik, untuk bisa mengetahui siapa yang berhak 

atas tanah dan bangunan, tetapi masih ada kemungkinan bahwa mereka 

tidak menemukan semua itu.

Namun demikian, sesudah  akta pengambilalihan telah terdaftar 

dalam arsip publik, hak-hak ini akan berakhir juga. Jadi, di Belanda sangat 

119

Pengambilalihan:  Kepentingan publik  yang wajar dan kompensasi yang adil ...

penting untuk memastikan bahwa hak-hak kebendaan yang terhadapnya 

Anda berhak disebutkan dalam arsip publik. Jika itu tidak terjadi, Anda 

harus membaca koran dengan cukup cermat dan teliti untuk memastikan 

bahwa properti anda tidak akan diambil alih.

5.4 Hak beli-pertama untuk pemerintah Kota

5.4.1 Pengantar

Orang yang terancam oleh pengambilalihan cenderung untuk menjual 

properti mereka lebih dahulu/cepat kepada pengembang kawasan 

pemukiman. sebab  para pengembang kawasan pemukiman mampu dan 

mau untuk mewujudkan rencana tata ruang dari pemerintah kota sen-

diri, tanah yang sudah berada di bawah kekuasaan/kepemilikan mereka 

tidak dapat diambil alih. Dalam situasi itu, pemerintah kota tidak mampu 

mengalihkan biaya kepada orang yang menerima keuntungan dari biaya 

ini , yaitu orang yang membeli rumah di kawasan pemukiman 

baru ini . Salah satu langkah yang mungkin yaitu  seperti yang 

telah di sebutkan sebelumnya. Walikota dan anggota dewan senior 

diizinkan untuk membebani pengembang kawasan pemukiman saat ia 

mengajukan permohonan untuk mendapatkan IMB. Tindakan kedua 

yaitu  menetapkan apa yang disebut sebagai hak beli-pertama untuk 

pemerintah kota.

5.4.2 Hak beli pertama untuk pemerintah kota

Hak beli-pertama untuk pemerintah kota dapat ditetapkan di atas 

sebidang tanah oleh pemerintah kota. sesudah  pembentukan hak beli-

pertama untuk pemerintah kota, orang yang memiliki hak kebendaan 

pada tanah itu berkewajiban untuk menawarkan hak kebendaan mereka 

pertama-tama ke pemerintah kota, jika mereka ingin menjualnya.

Jadi mereka tidak harus menjualnya kepada pemerintah, tetapi 

jika me reka ingin menjualnya, mereka diwajibkan untuk pertama-tama 

menjualnya ke pemerintah kota. Hanya jika pemerintah kota tidak mau 

membeli tanah itu, mereka berhak untuk menjualnya kepada orang lain. 

Hak beli-pertama untuk pemerintah kota seperti itu dapat dibentuk pada 

tanah dan bangunan sejak sebelum rencana zonasi berlaku. Namun jika 

itu terjadi, hak beli-pertama yang sudah dibentuk itu tidak dapat berlaku 

untuk jangka waktu lebih dari dua tahun. Selanjutnya, hak beli-pertama 

untuk pemerintah kota semacam ini – jadi yang ditetapkan sebelum 

rencana zonasi dibuat – harus datang bersama-sama dengan peta yang 

rinci, yang menggambarkan rencana spesifik untuk kawasan itu. Tentu 

saja, hak beli-pertama untuk pemerintah kota dapat ditetapkan juga, jika 

didasarkan pada rencana zonasi saat ini. Kemudian, hak-hak yang sah 

dapat ditetapkan untuk jangka waktu yang lebih lama. Pada prinsipnya 

120


hak beli-pertama untuk pemerintah kota akan berlaku sampai rencana 

zonasi telah terealisasi.

5.4.3 Hak beli-pertama untuk pemerintah kota: Fungsi

Apa fungsi dari hak beli-pertama untuk pemerintah kota? Pertama, itu 

dimaksudkan untuk mewujudkan rencana tata ruang dengan cara yang 

tidak terlalu berbahaya bagi para pemilik tanah dan bangunan. Pemilik 

tidak diwajibkan untuk menjual properti mereka, tetapi jika mereka ingin 

menjualnya, mereka harus pertama-tama menjualnya ke pemerintah 

kota. Hak beli pertama ini tidak seberat tindakan pengambilalihan dalam 

hal dampaknya, tetapi masih dapat efektif dalam rangka mewujudkan 

rencana tata ruang kota. Selanjutnya, kadang-kadang pengambilalihan 

tidak mungkin. Misalnya jika tidak dirasa terlalu mendesak atau urgen 

lagi, sebab  pemerintah kota tidak berencana untuk mewujudkan rencana 

zonasi dengan segera. Dalam kasus ini  hak beli-pertama untuk 

pemerintah kota dapat berguna juga untuk membeli tanah dan bangunan 

dengan cara yang sudah cukup mudah. Hal ini mencegah pengambil-

alihan menjadi tindakan yang niscaya atau sangat diperlukan pada saat 

kemudian.

Bagaimanapun, alasan yang paling penting untuk membentuk hak 

beli-pertama untuk pemerintah kota yaitu  mendapatkan keamanan 

selama prosedur pengambilalihan. Kota ingin mencegah orang menjual 

pro perti mereka ke pengembang kawasan pemukiman, pada saat 

pemerintah kota belum mampu memenuhi prosedur pengambilalihan. 

Kebanyakan pemerintah Kota sangat mempertimbangkan jenis pengalihan 

seperti ini (pengambilalihan oleh pengembang) sebagai penyalahgunaan 

hak untuk mewujudkan rencana zonasi Anda sendiri. Mereka ingin 

menghindari itu.

Pada masa-masa awal, hak beli-pertama untuk pemerintah kota 

merupakan satu-satunya cara untuk memastikan bahwa kota ini mampu 

meng alihkan biaya kepada pengguna tanah. Menurut hukum yang berlaku 

saat ini, masih lebih mudah untuk membentuk dan melaksanakan hak 

beli-pertama untuk pemerintah kota. Ini lebih mudah daripada membuat 

sebuah keputusan yang diperlukan untuk mengalihkan biaya kepada 

orang-orang yang mengajukan permohonan IMB.

Hak beli-pertama untuk pemerintah kota dapat dibentuk pada 

semua jenis hak kebendaan atas tanah. Bukan hanya pemilik tanah 

yang wajib menempatkan tanahnya untuk dijual ke kota sebelum dia 

diperbolehkan untuk mengalihkan atau menjualnya ke orang lain. Para 

penyewa dan pemegang hak guna bangunan juga harus melakukannya, 

misalnya.

Pembentukan hak beli-pertama tidak diperbolehkan dalam dua 

121

Pengambilalihan:  Kepentingan publik  yang wajar dan kompensasi yang adil ...

kasus tertentu. Pertama, tujuan penggunaan tanah haruslah untuk 

selain-pertanian. Kedua, tidaklah mungkin untuk menetapkan hak beli-

pertama untuk pemerintah kota jika rencana yang menjadi dasar bagi 

pembentukan hak beli-pertama telah diwujudkan. Kemudian, tentu saja, 

tidak ada kebutuhan untuk membentuk hak beli-pertama.

5.4.4 Hak beli-pertama untuk pemerintah kota: Pembentukan

Meskipun pembentukan hak beli-pertama untuk pemerintah kota tidak 

terlalu berat seperti misalnya pengambilalihan, hak beli pertama itu tetap 

mengakibatkan pembatasan kekuasaan rakyat yang memiliki  hak 

kebendaan atas tanah. Untuk itu, prosedur yang cukup komprehensif harus 

dipenuhi dalam rangka mewujudkan hak beli-pertama itu. Pemerintah 

kota berkewajiban menimbang-nimbang semua kepentingan yang re-

levan secara amat hati-hati. Jadi, jika kepentingan mereka untuk membeli 

properti yang relevan hampir seluruhnya tak ada dan jika pembentukan 

hanya demi berjaga-jaga misalnya, pemerintah kota tidak diperbolehkan 

untuk membuat hak beli-pertama itu untuk dirinya. Mereka harus 

menyeimbangkan kepentingan mereka dengan kepentingan rakyat yang 

berhak atas tanah secara hati-hati dan pada akhirnya, hakim akan diberi 

kesempatan untuk menilai apakah mereka telah melakukan tugas mereka 

dengan baik atau tidak.

Prosedur untuk menetapkan hak beli-pertama tidaklah terlalu 

komprehensif di bagian pertamanya. Prosedur yang komprehensif 

memerlukan banyak waktu dan selama waktu itu orang-orang yang 

berhak atas tanah dan bangunan harus sudah dapat menjual tanah 

mereka. Sebuah prosedur yang komprehensif akan memungkinkan 

mereka untuk menghindari hak beli-pertama untuk pemerintah kota. 

Jadi, prosedur pembentukan hak beli-pertama dimulai dengan keputusan 

persiapan walikota dan anggota dewan. Pemilik dari tanah dan bangunan 

yang berkepentingan tidak terlibat dalam bagian prosedur ini. Keputusan 

ini sudah menetapkan hak beli-pertama, tapi itu berlaku sah hanya untuk 

jangka waktu terbatas.

Pemerintah kota berkewajiban untuk memastikan bahwa setiap 

orang yang memiliki  hak kebendaan atas tanah dan bangunan yang 

berkepentingan akan menerima pemberitahuan tentang putusan yang 

diambil segera. Mereka mencari informasi mereka dalam arsip publik. 

Pembentukan hak beli-pertama untuk pemerintah kota harus terdaftar di 

sana dan juga di lembaran resmi pemerintah. Ini dalam rangka memastikan 

bahwa setiap orang sudah dapat mengetahui tentang keberadaan hak 

beli-pertama. Keputusan walikota dan anggota dewan sudah bisa digugat 

di pengadilan. Bagaimanapun, kebanyakan hal itu tidak terjadi, sebab  

keputusan itu hanya berlaku selama delapan minggu.

122


sesudah  walikota dan anggota dewan mengambil keputusan 

persiapan mereka, dewan kota memulai prosedur untuk menetapkan 

sebuah keputusan yang definitif. Keputusan ini berlaku sampai rencana 

yang disebutkan dalam rencana zonasi yang relevan diwujudkan. Jika 

rencana zonasi yang relevan tidak berlaku lagi, maka ia berlaku selama 

paling lama dua tahun.

Sebelum mereka mengambil keputusan mereka, orang-orang 

yang berhak atas tanah yang berkepentingan diperbolehkan untuk 

menyampaikan keluhan mereka terhadap pembentukan hak beli-

pertama untuk pemerintah kota. Kemudian dewan kota mengambil 

keputusan apakah mereka akan membentuk sebuah hak beli-pertama 

untuk pemerintah kota atau tidak. Keputusan ini harus diambil dengan 

memperhatikan keluhan ini . Tentu saja, keputusan ini akan diambil 

sebelum keputusan persiapan walikota dan anggota dewan ini  

berakhir. Orang-orang yang berhak atas tanah yang berkepentingan 

sekarang akan menerima pemberitahuan lagi dan hak beli-pertama 

definitif juga akan didaftarkan di arsip publik. Orang-orang yang berhak 

atas tanah yang berkepentingan juga diperbolehkan untuk menggugat 

keputusan ini di pengadilan.

5.4.5 Hak beli-pertama untuk pemerintah Kota: Pelaksanaan

Pelaksanaan hak beli-pertama hanya mungkin jika pemilik tanah ingin 

menjual tanah miliknya. Meskipun ia tidak berkewajiban untuk menjual 

tanah kepada pemerintah Kota, jika ia ingin menjualnya kepada orang lain, 

ia wajib memasangnya untuk pertama-tama dijual ke pemerintah kota. 

Jika orang yang ingin menjual propertinya memasangnya untuk pertama-

tama dijual kepada pemerintah kota, walikota dan anggota dewan harus 

memutuskan apakah mereka memiliki niat untuk membelinya. Mereka 

harus mengambil keputusan ini dalam waktu delapan minggu. Jika, pada 

bagian prosedur ini, mereka menyebutkan bahwa mereka tidak ingin 

membeli properti itu, pemilik properti diperbolehkan untuk menjualnya 

kepada orang lain. Dalam hal ia menjual tanah itu dalam waktu tiga tahun 

sesudah  keputusan pemerintah untuk tidak membeli properti itu, dia tidak 

harus memasang tanahnya itu untuk pertama-tama dijual ke pemerintah 

kota lagi. Jadi, pemerintah kota tidak diperbolehkan untuk surut dari 

penolakannya dalam waktu tiga tahun.

Namun, jika walikota dan anggota dewan bersedia untuk membeli 

tanah ini , negosiasi atas harga akan dimulai. Jika kedua belah pihak 

mencapai kesepakatan, properti akan dialihkan ke pemerintah Kota pada 

harga yang telah disepakati itu. Namun, jika mereka tidak mencapai 

ke sepakatan, kedua belah pihak diperbolehkan untuk meminta hakim 

untuk menentukan harga yang wajar.

Dalam prosedur itu, hakim akan menunjuk tiga ahli yang harus 

123

Pengambilalihan:  Kepentingan publik  yang wajar dan kompensasi yang adil ...

mersurvei nilai properti itu. Pemerintah kota dan pemilik tanah dan 

bangunan sekarang sama-sama bisa memutuskan apakah mereka ingin 

menjual dan membeli properti berdasarkan nilai estimasi ini . Jika 

pemerintah kota memutuskan untuk tidak membeli tanah dengan harga 

itu, pemilik tanah diperbolehkan untuk menjual tanahnya itu kepada 

orang lain. Sekali lagi, pemerintah kota tidak diperbolehkan kemudian 

surut lagi dari keputusannya itu dalam waktu tiga tahun ke depan. 

Namun, jika pemilik tanah dan bangunan memutuskan untuk tidak 

menjual tanahnya itu kepada pemerintah kota dengan harga ini , dia 

tidak diperbolehkan juga untuk mengalihkan atau menjualnya kepada 

orang lain.

5.4.6 Mengatasi hak beli-pertama untuk pemerintah Kota

Kadang-kadang, orang yang berhak atas tanah dan bangunan tidak 

bersedia untuk mengalihkan tanah mereka kepada pemerintah kota. 

Mereka ingin menghindari hak beli-pertama untuk pemerintah kota, 

misalnya sebab  mereka dapat menjual tanah mereka ke pengembang 

kawasan pemukiman dengan harga lebih tinggi. Ukuran yang paling 

penting untuk menjaga bahwa orang tidak dapat mengalihkan tanahnya 

dengan cara ini yaitu  pendaftaran hak beli-pertama untuk pemerintah 

kota dalam arsip publik. sesudah  notaris diminta untuk mengalihkan 

tanah dan bangunan, ia akan selalu memeriksa apakah hak beli-pertama 

untuk pemerintah kota telah dibentuk atas tanah yang bersangkutan. 

Jika itu yang terjadi, ia tidak akan dapat bekerja sama dalam pengalihan 

untuk siapa pun kecuali kepada pemerintah kota, kecuali penjual dapat 

menunjukkan penolakan atas keputusan terhadap tanahnya itu yang 

telah ditetapkan oleh walikota dan anggota dewan senior Kota ini .

Namun, kadang-kadang, pemilik tanah dan bangunan mencoba untuk 

mengalihkan tanah mereka tanpa melibatkan notaris. Pengalihan hak 

kekayaan yang sah secara hukum tanpa bantuan notaris tidak mungkin 

menurut hukum Belanda. Namun demikian, yaitu  mungkin untuk 

memberikan semua kekuasaan dan kepentingan yang Anda miliki terkait 

dengan kepemilikan Anda atas tanah yang bersangkutan kepada orang 

lain dengan sebuah perjanjian biasa. Kemudian, secara hukum Anda tidak 

kehilangan kepemilikan Anda, tetapi situasi yang sebenarnya memang 

sangat dekat dengan itu. sebab  kontrak atau perjanjian biasa itu, pemilik 

yang sah menjadi tidak lebih dari sebuah “boneka” dari orang lain. Jenis-

jenis perjanjian ini bisa digugat oleh pemerintah kota di pengadilan. Jika 

tidak ada pengalihan yang nyata atas tanah, tetapi sebuah perjanjian telah 

dibuat yang mengandung makna hampir sama dengan pengalihan tanah, 

maka hakim akan memutuskan bahwa perjanjian ini  tidak sah.

124

125

BAGIAN II

HUKUM INDONESIA

Arie S. Hutagalung 

Suparjo Sujadi 

Hendriani Parwitasari

Marliesa Qadariani

126

127

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP 

HUKUM AGRARIA

Istilah 'agraria' memiliki pengertian yang bermacam-macam. Dalam 

bahasa Latin, ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius 

berarti perladangan, persawahan, pertanian (Prent K. Adisubrata, J. 

Poerwadarminta, W.J.S., 1960, Kamus Latin Indonesia, Yayasan Kanisius, 

Semarang).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan 

Ketiga, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 

agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan 

pemilikan tanah. Sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian 

selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian (Black's 

Law Dictionary, 1983, West Publishing Co, St. Paul, Minn). Sebutan agrari-

an laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat 

peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian 

tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan 

pemilikannya.

Di Indonesia, sebutan agraria di lingkungan Administrasi 

Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun 

non-pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan 

Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan 

perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa 

dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat 

hukum ini  merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara.

Sebutan Agrarische Wet, Agrarisch Besluit, Agrarische Inspectie pada 

Departemen Van Binnenlandsch Bestuur, Agrarische Regelingan dalam 

"Himpunan Engelbrecht." Bagian Agraria pada Kementerian Dalam Ne-

geri, Menteri Agraria, Kementerian Agraria, Departemen Agraria, Menteri 

Pertanian dan Agraria, Departemen Pertanian dan Agraria, Direktur 

Jenderal Agraria, Direktorat Jenderal Agraria pada Departemen Dalam 

Ne geri, semuanya menunjukkan pengertian demikian.

Dalam tahun 1988 dibentuk Badan Pertanahan Nasional dengan 

Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga 

Pemerintah Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam 

mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian 

6

128


sebutan pertanahan sebagai nama badan ini  tidak mengubah 

ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya 

ada pada Departemen dan Direktorat Jenderal Agraria. Sebaliknya justru 

memberikan kejelas an dan penegasan mengenai lingkup pengertian 

agraria yang dipakai di lingkungan Administrasi Pemerintahan. Adapun 

"administrasi pertanah an" meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun 

yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.

Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan 

Nasional dalam Kabinet Pembangunan VI, juga tidak mengubah lingkup 

pengertian agraria. Sebutan jabatan ini  tampaknya dimaksudkan 

untuk menunjukkan bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria 

yaitu  lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai 

Kepala Badan Pertanahan Nasional yang disebut dalam Keppres No. 

26 Tahun 1988 di atas (Keppres No. 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, 

Tugas Pokok, Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara).

Dalam Keppres No. 44 Tahun 1993 ditentukan bahwa Menteri Negara 

Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan 

keagrariaan dan menyelenggarakan antara lain fungsi: c. mengkoordinasi 

kegiatan seluruh instansi pemerintah yang berhubungan dengan keagrari-

aan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. 

Dengan adanya fungsi koordinasi ini  kewenangan Menteri Negara 

Agraria lebih luas dari fungsi Menteri Agraria dulu yang memimpin 

Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembangunan VI 

ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Pada tahun 2006 Pemerintah telah menerbitkan ketentuan mengenai 

Badan Pertanahan Nasional yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 10 

Tahun 2006 yang mengatur secara rinci mengenai tugas pokok dan fungsi 

dari Badan Pertanahan Nasional.

Pengertian Hukum Agraria yaitu  seperangkat hukum yang 

mengatur hak penguasaan atas sumber daya alam (natural resources) yang 

meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, 

bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga termasuk ruang 

angkasa.

Di dalam kaidah hukum positif, yaitu Undang-undang Nomor 

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang 

lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), disebutkan 

bahwa unsur-unsur keagrarian meliputi:

a.  Bumi (Pasal 1 ayat 4 UUPA) yang meliputi:

- permukaan bumi (tanah);

- tubuh bumi yang ada  di bawah tanah dan di bawah air.

b. Air (Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 47 UUPA) termasuk di dalamnya 

perairan pedalaman (inland waters) seperti sungai, danau, rawa dan 

129

Pengertian dan ruang lingkup hukum agraria

di laut wilayah/laut teritorial Indonesia.

c. Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air (Pasal 1 

ayat 2 UUPA) seperti bahan-bahan galian/barang tambang, ikan, 

mutiara dan hasil laut lainnya.

d. Unsur-unsur dalam ruang angkasa (Pasal 48 UUPA).

 Dengan melihat unsur-unsur agraria ini , maka dapat kita 

ambil dua pengertian hukum agraria, yaitu Hukum Agraria dalam 

arti luas dan Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah).

a. Hukum Agraria dalam arti luas yaitu  seperangkat hukum 

yang mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber alam 

(natural resources), yang meliputi bumi, air dan kekayaan alam 

yang terkandung di dalamnya termasuk ruang angkasa.

 Berdasarkan pengertian ini , maka ruang lingkup Hukum 

Agraria meliputi:

1) Hukum Tanah (Hukum Agraria dalam arti sempit), diatur 

dalam UUPA;

2) Hukum Air, diatur dalam UU No. 11 Tahun 1974, sebagaimana 

diubah dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya 

Air;

3) Hukum Pertambangan, diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967 

yang telah dirubah dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang 

Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No. 22 Tahun 

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pengganti UU No. 44/

Prp/1960; 

4) Hukum Perikanan, diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 

sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009;

5) Hukum Kehutanan, diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 

(jo. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 

1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang);

6) Hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas unsur-

unsur dalam ruang angkasa. Hukum ruang angkasa dipelajari 

sebab  unsur-unsur dalam ruang angkasa diperlukan untuk 

kehidupan manusia. Perlu diketahui bahwa hukum ruang 

angkasa disini tidak sama dengan “space law”.

b. Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah) yaitu  

seperangkat hukum yang mengatur penguasaan atas 

permukaan tanah.

Sesuai dengan sistem perkuliahan di Fakultas Hukum, maka untuk mata 

kuliah Hukum Agraria dikhususkan mempelajari Hukum Agraria dalam 

arti sempit, yaitu Hukum Tanah. Untuk selanjutnya istilah untuk Hukum 

Agraria dalam tulisan ini dibaca sebagai Hukum Tanah.

130


Sebagai titik tolak pembahasan Hukum Agraria dalam buku ini 

yaitu  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang diundangkan 

dalam Lembaran Negara No. 104 tahun 1960 dan mulai berlaku sejak 

tanggal 24 September 1960. UUPA merupakan sumber utama Hukum 

Agraria terutama Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah), 

ini dapat dilihat dari Konsideran dan sebagian besar isi (pasal-pasalnya) 

serta penjelasannya yang mengatur Hak Penguasaan atas Tanah.

Disamping adanya perbedaan pengertian antara Hukum Agraria 

dalam arti luas dan dalam arti sempit, jika  kita menyimak pendapat 

Prof. E Utrecht dalam buku-buku yang ditulisnya, beliau menyamakan 

arti Hukum Agraria dengan Hukum Tanah dan menempatkannya 

sebagai bagian dari Hukum Administrasi Negara sebagaimana kelaziman 

penggunaannya di Indonesia dahulu. Jadi, sebab  dianggap sebagai bagian 

dari Hukum Administrasi Negara, maka Hukum Agraria pada masa itu 

diartikan sebagai keseluruhan peraturan yang memberikan landasan 

hukum kepada penguasa untuk melaksanakan politik pertanahannya 

sesuai dengan "kebijaksanaan" pemerintah kolonial Hindia Belanda di 

bidang pertanahan yang bersumber pada Agrarische Wet 1870. jika  kita 

hendak melihatnya dari latar belakang sejarah kepentingan pemerintah 

kolonial, tentu saja sangat logis kalau Hukum Tanah Administrasi ini 

memiliki  peranan penting sebab dengan peraturan ini  penguasa 

memperoleh legalitas dan wewenang-wewenang khusus untuk mengambil 

tindakan-tindakan yang dikehendakinya mengenai pengaturan masalah 

pertanahan.

Berdasarkan latar belakang ini  maka Hukum Tanah itu sendiri 

terbagi dalam dua bagian, yaitu:

 Hukum Tanah Administrasi; dan

 Hukum Tanah Perdata,  yakni  peraturan-peraturan  Hukum Tanah 

yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang subjeknya 

manusia (perorangan) ataupun badan hukum.

Di Indonesia, Hukum Tanah Administrasi merupakan bagian 

yang sangat penting dari Hukum Tanah sebab  walaupun secara teoritis 

memiliki  perbedaan, tetapi secara praktis unsur-unsur Hukum Tanah 

Administrasi itu dapat kita jumpai dalam seluruh peraturan Hukum 

Tanah.

Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, tetapi dari Konsiderans 

serta Pasal-pasal dan Penjelasannya dapat disimpulkan bahwa pengertian 

Hukum Agraria dalam UUPA mengandung arti yang luas dan mencakup 

objek yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam 

yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 dan 2 UUPA), yaitu yang lazim 

disebut sumber-sumber alam. Jadi, Hukum Agraria yang dibicarakan 

disini yaitu  segi-segi hukumnya, yakni hak-hak penguasaan atas unsur-

131

Pengertian dan ruang lingkup hukum agraria

unsur sumber alam atau agraria dalam arti luas. Hak penguasaan ini  

ada pada subjek hukum manusia pribadi dan/atau badan hukum. Oleh 

sebab  itu, fokus pembicaraan Hukum Agraria disini yaitu  hubungan 

hukum antara subjek hukum dengan objeknya, yaitu unsur-unsur sumber 

alam. Dalam pengertian yang luas itu Hukum Agraria merupakan suatu 

kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan 

atas sumber-sumber alam Indonesia.

sebab  memiliki  arti yang luas, dengan sendirinya termasuk 

pula di dalamnya arti yang sempit pula, yakni agraria dalam arti tanah 

atau Hukum Tanah, sebagai bagian hukum positif di Indonesia yang 

mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak-

hak penguasaan atas tanah ini yaitu  hubungan hukum antara subjek 

(manusia/badan hukum) dengan objek (tanah) yang dikuasainya; dan 

dari hubungan hukum ini timbul kewenangan bagi subjek hukum untuk 

berbuat sesuatu terhadap tanah sebagai objek hukum ini .

132

133

GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN 

HUKUM TANAH DI INDONESIA

Hukum Tanah di Indonesia mengalami perombakan pada saat 

diberlakukan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada 

tanggal 24 September 1960, sehingga dapat dikatakan bahwa pada 

tanggal ini  muncul pembaharuan Hukum Tanah yang berlaku di 

Indonesia. Pembahasan pada bab ini juga dibagi menjadi dua bagian yaitu 

perkembangan Hukum Tanah lama yaitu sebelum berlakunya UUPA dan 

Hukum Tanah baru sesudah berlakunya UUPA.

7.1. Hukum tanah lama (Sebelum UUPA, 24 September 1960)

Sebelum berlakunya UUPA No. 5 Tahun 1960, pengaturan mengenai 

hukum tanah di Indonesia tidak hanya ada  dalam satu macam 

hukum. Peraturan dalam arti kaedah-kaedah ini  dapat dijumpai di 

dalam berbagai macam bidang hukum, yaitu.

a. Hukum tanah Adat

Hukum Tanah Adat merupakan hukum tidak tertulis dan sejak semula 

berlaku dikalangan warga  asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-

bangsa Portugis, Belanda, Inggris dan sebagainya.

b. Hukum tanah Barat

Dalam perkembangan selanjutnya bersamaan dengan datangnya Belanda 

di Indonesia, mereka membawa perangkat Hukum Belanda tentang tanah 

yang mula-mula masih merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan 

pada hukum kebiasaan yang tidak tertulis, misalnya Bataviasche Grondhuur, 

dan hukum tertulis seperti Overschrijvings Ordonnantie, Stbl. 1834-27.

Kemudian pada tahun 1848 mulailah diberlakukan suatu ketentuan 

hukum barat yang tertulis, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai 

sekarang masih kita kenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 

BW secara formal memang dinyatakan mulai berlaku sejak tahun 1848, 

sebagian berlaku kemudian. Disamping memuat ketentuan-ketentuan 

perdata pada umumnya, BW juga memuat perangkat hukum tanah Barat 

yang dapat kita jumpai dalam:

7

134


Hukum Tanah Adat

Hukum Tanah Barat

Dualistis

Hukum Tanah 

Antargolongan

Hukum Tanah Administrasi

Hukum Tanah Swapraja

 Buku II, dengan judul Hak-hak atas tanah dan hak jaminan atas 

tanah;

 Buku III, dengan judul Perihal jual beli;

 Buku IV, dengan judul Perihal daluwarsa.

 Perlu dijelaskan disini, bahwa motivasi yang mendorong timbulnya 

Hukum Tanah Barat ini , antara lain, banyaknya orang Belanda 

yang memerlukan tanah, misalnya untuk:

 Perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan (bungalow) di 

luar kota dengan Hak Erfpacht (Pasal 720 BW);

 Rumah tinggal atau tempat usaha di dalam kota dengan Hak 

Eigendom dan Hak Opstal.

Jadi, kita kenal dua macam perangkat Hukum Tanah, yaitu Hukum 

Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat. Oleh sebab nya, hukum tanah yang 

berlaku pada waktu itu dikatakan bersifat dualistis.

Selain kedua macam Hukum Tanah ini  di atas yang merupakan 

ketentuan-ketentuan pokok, masih ada pula hukum tanah lain sebagai 

ketentuan pelengkap, yaitu apa yang kita kenal dengan:

 Hukum Tanah Antargolongan;

 Hukum Tanah Administrasi;

 Hukum Tanah Swapraja

Ketiga perangkat hukum ini  lahir akibat adanya dualisme di 

bidang hukum tanah.

Dengan demikan Hukum Tanah Lama (sebelum UUPA berlaku) 

meliputi:

        Ketentuan Pokok 

PLURALISTIS

        Ketentuan Pelengkap

c. Hukum Tanah Antargolongan

Hukum Tanah Antargolongan ini kaedah-kaedahnya tidak dalam 

peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi berupa putusan-

putusan pengadilan yang menjadi yurisprudensi dan pendapat para ahli 

135

Garis-garis besar perkembangan hukum tanah di Indonesia

atau sarjana hukum. Namun demikian, ada juga peraturan-peraturan 

tertulis yang diciptakan untuk rnengatur hal-hal yang berhubungan 

dengan Hukum Tanah Antar Golongan.

Kaedah-kaedah dari Hukum Tanah Antar Golongan ini diciptakan 

dengan maksud untuk menyelesaikan hubungan antar golongan yang 

menyangkut masalah tanah sesuai dengan pembagian golongan penduduk 

Indonesia yang pada waktu itu tunduk pada hukum yang berbeda, atas 

dasar ketentuan Pasal 131 jo 163 IS, dimana bagi:

 Golongan Eropa dan Timur Asing, berlaku Hukum Barat;

 Golongan Bumiputera (Indonesia Asli), berlaku Hukum Adat.

 Timbulnya Hukum Tanah Antar Golongan sebab :

 Sifat dualisme dalam Hukum Tanah yang berlaku semasa 

pemerintahan Hindia Belanda, dimana adanya hubungan-

hubungan serta peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi antara 

orang-orang Indonesia Asli dengan orang-orang bukan Indonesia 

Asli;

 Tanah-tanah Eropa tidak hanya dipunyai oleh orang-orang bukan 

Indonesia (yang tunduk pada Hukum Barat), demikian pula tanah-

tanah Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang-orang Indonesia 

Asli (yang tunduk pada Hukum Adat). Namun demikian perlu 

dicatat bahwa tanah-tanah Hak Barat tidak akan berubah status 

hukumnya menjadi tanah hak golongan lain, sekalipun dipunyai 

oleh subjek-subjek yang tunduk pada hukum yang berlainan (status 

hukum tidak mempengaruhi status tanah yang dipunyainya).

d. Hukum Tanah Administrasi

Hukum Tanah Administrasi yaitu  keseluruhan peraturan yang 

memberikan landasan hukum bagi penguasa atau negara untuk 

melaksanakan politik pertanahan dan memberikan wewenang khusus 

kepada penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan di bidang 

pertanahan.

Hukum Tanah Administrasi yang berlaku sebelum UUPA tentunya 

yaitu  Hukum Tanah Administrasi ciptaan pemerintah kolonial Belanda, 

yang terkenal dengan nama Agrarische Wet 1870. Sebelumnya berlaku 

Cultuur Stelsel (sistem tanam paksa) yang juga merupakan politik 

pertanahan yang dilancarkan Pemerintah Hindia Belanda, dimana rakyat 

Indonesia dipaksa untuk menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa. 

Perbedaannya, Agrarische Wet terbuka bagi pengusaha asing/swasta, 

sedangkan Cultuur Stelsel merupakan monopoli pemerintah.

e. Hukum Tanah Swapraja

Hukum Tanah Swapraja yaitu  keseluruhan peraturan tentang pertanahan 

yang khusus berlaku di daerah swapraja, seperti Kesultanan Yogyakarta, 

136


Surakarta, Cirebon, dan Deli. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya 

yaitu  hukum tanah adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja 

dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Mi salnya, 

Stbl. 1915-474 yang intinya memberi wewenang pada penguasa swapraja 

untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak Barat.

Dalam Konsiderans Stbl. 1915-474 ditegaskan bahwa di atas tanah-

tanah yang terletak dalam wilayah hukum swapraja dapat didirikan 

hak-hak kebendaan yang diatur dalam BW, seperti Hak Eigendom, 

Hak Erfpacht, Hak Opstal, dan sebagainya. Dimungkinkan pula untuk 

memberi tanah-tanah swapraja ini  dengan hak-hak Barat, terbatas 

pada orang-orang yang tunduk pada BW saja. sesudah  UUPA berlaku, 

hukum tanah swapraja dihapus.

Dengan adanya lima macam hukum tanah seperti yang diuraikan 

di atas sebagai hukum tanah lama (sebelum berlakunya UUPA), maka 

dapat dikatakan bahwa hukum tanah di Indonesia pada masa itu bersifat 

pluralistis.

Dengan demikian kita mengenal :

1) Hukum Tanah Barat yang bersumber pada Hukum Perdata Barat 

dan peraturan-peraturan lainnya;

2) Hukum Tanah Adat yang bersumber pada Hukum Adat;

3) Hukum Tanah Antargolongan yang bersumber pada HATAH yaitu 

yurisprudensi dan pendapat para sarjana;

4) Hukum Tanah Administrasi yang bersumber pada Hukum Admi-

nistrasi Negara;

5) Hukum Tanah Swapraja yang bersumber pada Hukum Tata Negara 

atau Hukum Administrasi Negara.

Namun seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa yang 

menjadi ketentuan pokok yaitu  Hukum Tanah Barat dan Hukum Tanah 

Adat, lainnya hanya sebagai pelengkap saja sebagaimana dapat dilihat 

dalam skema berikut:

137

Garis-garis besar perkembangan hukum tanah di Indonesia

7.2. Macam Hak atas Tanah di Indonesia dan Kaedah Pengaturan-

nya dalam Sistem Hukum Tanah Sebelum UUPA 

Seperti telah diuraikan di atas, hukum tanah yang berlaku sebelum UUPA 

yaitu  hukum tanah lama yang bersifat pluralisme, sebab  terdiri dari: 

Hukum Tanah Adat, Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Antar Golongan, 

Hukum Tanah Administrasi dan Hukum Tanah Swapraja. Namun yang 

merupakan ketentuan pokok dari macam-macam Hukum Tanah ini  

hanya dua yaitu Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat. Selebihnya 

hanya merupakan pelengkap saja.

138


Oleh sebab  ada dua macam hukum tanah yang berkedudukan sebagai 

ketentuan pokok, maka konsekuensinya ada dua macam pula tanah-

tanah hak di Indonesia, yaitu:

a. Tanah hak Indonesia, yang diatur menurut Hukum Tanah Adat 

dalam arti luas dimana kaedah-kaedahnya sebagian besar tidak 

tertulis dan sebagian kecil tertulis, yang diciptakan oleh Pemerintah 

Hindia Belanda dan Pemerintah Swapraja, yang semula berlaku 

bagi orang-orang Indonesia.

Pada dasarnya tanah hak Indonesia meliputi semua tanah yang tidak 

diatur oleh Hukum Tanah Barat.

1) Kaedah tidak tertulis, yang berlaku di Indonesia bagi penduduk 

asli sejak semula; 

2) Kaedah tertulis, yang diciptakan oleh:

 Pemerintah Swapraja,   misalnya   peraturan   mengenai 

tanah di daerah Kesultanan Yogyakarta, Surakarta atau 

Sumatra Timur.

 Pemerintah Hindia Belanda, misalnya:

(1) Hak Agrarisch Eigendom, Stbl. 1872-117 (Koninklijk Besluit) 

dan Stbl. 1873-38;

(2) Grand Vervreemdings Verbod (larangan pengasingan tanah), 

Stbl. 1875-179.

Mengenai peraturan tanah swapraja di daerah Sumatra Timur, 

kita jumpai apa yang dinamakan "hak grant sultan”, yakni suatu hak 

yang diberikan kepada kawula swapraja yang mirip dengan hak milik 

adat. Penggunaan istilah "grant" yang berasal dari bahasa Inggris ini 

diperkirakan sebab  latar belakang historis dimana ada  hubungan 

kekeluargaan yang erat antara Sultan Sumatra Timur dengan Sultan di 

Malaysia yang dulunya merupakan tanah jajahan Inggris.

Peraturan tertulis ciptaan pemerintah Swapraja ini  di atas 

kita namakan Hukum Tanah Swapraja, dan Hukum Tanah Swapraja ini 

merupakan bagian dari Hukum Tanah Adat yang tertulis.

Ternyata Hukum Tanah Swapraja (sebagai bagian dari Hukum 

Tanah Adat yang tertulis) tidak hanya diciptakan oleh Pemerintah 

Swapraja saja, tetapi ada juga yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda 

yang mengatur agar Pemerintah Swapraja memberikan tanahnya dengan 

Hak Barat, berdasarkan peraturan berbentuk Koninklijk Besluit yang 

diundangkan dalam Stbl. 1915-474. Peraturan ini dalam konsideransnya 

menegaskan, bahwa tanah-tanah yang terletak di daerah swapraja dapat 

dibebani hak-hak kebendaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang 

Hukum Perdata. Sebagai contoh, di daerah Swapraja Yogyakarta sampai 

sekarang masih dijumpai tanah-tanah swapraja (seperti di daerah 

Malioboro dan sekitarnya) yang diberikan dengan hak barat berdasarkan 

Stbl. 1915-474 ciptaan pemerintah Belanda.

139

Garis-garis besar perkembangan hukum tanah di Indonesia

Walaupun pada prinsipnya tanah-tanah hak Indonesia tunduk 

pada hukum adat, tetapi tidak semua tanah Indonesia dibebani dengan 

hak-hak asli yang berasal atau bersumber dari hukum adat Indonesia. 

Buktinya selain apa yang kita kenal sebagai hak ulayat, hak pakai, hak 

milik dalam warga  tradisional, ada pula hak grant sultan dan grant 

controleur ciptaan pemerintah swapraja, atau hak agrarisch eigendom 

ciptaan pemerintah Hindia Belanda, yaitu hak yang diperoleh atas dasar 

Pasal 51 ayat (7) IS dan lebih lanjut diatur dalam Koninklijk Besluit yang 

diundangkan dalam Stbl. 1872-117 serta Ordonnantie yang diundangkan 

dalam Stbl. 1873-38. Dengan perkataan lain, tanah-tanah Indonesia 

tunduk pada hukum agraria adat, sepanjang tidak ada ketentuan yang 

khusus untuk hak-hak tertentu, misalnya Hak Agrarisch Eigendom berlaku 

ketentuan yang dimuat dalam Stbl. 1872-117 ini  di atas.

Selanjutnya dapat ditambahkan penjelasan Pasal 51 IS yang 

sepintas telah disinggung di atas. Pasal 51 IS ini  sebenarnya yaitu  

penjelmaan dari Pasal 62 RR 1854 yang mengalami proses sebagai berikut. 

Pada awalnya Pasal 62 RR ini terdiri dari 3 ayat, yang ditambah dengan 

ketentuan Agrarische Wet sebanyak 5 ayat baru pada tahun 1870, yaitu 

ayat 4 s/d 8. Pasal 62 RR ini selanjutnya menjadi Pasal 51 IS, yang ayat 

7-nya berbunyi:

"Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia Asli dengan 

hak pakai perorangan turun temurun, atas permintaan pemiliknya yang 

sah diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-

pembatasan seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan 

dicantumkan di dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajiban-

kewajibannya terhadap negara dan desa, serta kewenangannya untuk 

menjual kepada bukan orang Indonesia Asli."

Kembali mengenai swapraja, khusus untuk Daerah Istimewa 

Yogyakarta, dengan berlakunya UUPA sejak 24 September 1960, ternyata 

sebab  kedudukannya yang istimewa, daerah ini mendapat pengecualian 

sehingga UUPA diberlakukan agak lambat. Baru pada tanggal 2 Februari 

1984 Sri Sultan HB IX secara resmi menyatakan bahwa UUPA juga berlaku 

di D.I. Yogyakarta.

Menurut Hukum Tanah Adat yang tidak tertulis, tanah yaitu  

kepunyaan bersama dari seluruh warga warga . Wilayahnya 

terbatas pada lingkungan-lingkungan tertentu, misalnya desa di Jawa, 

huta di Tapanuli atau negara di Minangkabau. Dengan berlakunya 

Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pemerintah Desa, 

penggunaan istilah-istilah ini  kemudian diseragamkan dengan 

memakai istilah "desa" sebagai kesatuan wilayah yang terkecil/terendah 

dibawah kecamatan.

Tanah di wilayah warga  hukum adat (desa) yaitu  kepunyaan 

warganya dan merupakan hak bersama yang disebut Hak Ulayat. Oleh 

140


sebab  itu setiap warga warga  desa boleh memakai  tanah 

ini  dengan izin penguasa desa, yang dulu dinamakan kepala adat. 

Penguasa desalah yang menentukan syarat-syarat dan tanah-tanah kosong 

mana yang dapat dipakai oleh warga yang berkepentingan. Biasanya 

diberikan tanah hutan yang akan dibuka dengan cara membabati atau 

membakar semak belukar.

Yang perlu ditanyakan sekarang, apakah hak bersama warga 

warga  hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat itu masih ada 

di Indonesia? 

Hak ulayat di luar Jawa masih tampak/ada, tetapi di Jawa sudah 

hampir hilang. Tanah-tanah di Jawa pada umumnya sudah dibagi-bagikan 

kepada dan dikuasai oleh individu-individu, sehingga dengan demikian 

hak ulayat semakin tak terasa. sebab  makin kuatnya hak perseorangan, 

maka makin lemahlah hak bersama. Lain halnya dengan daerah-daerah 

yang penduduknya masih jarang dan tanahnya pun masih luas, seperti 

Sumatra, hak ulayat sebagai perwujudan dari asas kebersamaan para 

warga warga  adat masih dapat kita rasakan.

Hak ulayat merupakan hak tertinggi dari warga  hukum adat 

yang tidak hanya mengenai tanah tetapi juga meliputi air, ikan dalam 

danau, hasil hutan dan lain-lain. Semua hak perseorangan timbul dan dan 

berasal dari hak ulayat. Jadi berdasarkan hak ulayat itu seseorang boleh 

memiliki tanah, mengambil hutan, menangkap ikan, dan sebagainya, baik 

langsung untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk dijual.

Yang melaksanakan hak ulayat yaitu  kepala desa serta pembantu-

pembantunya. Sebagai orang kuat, kepala desa memiliki  bermacam-

macam fungsi, yakni sebagai legislator, sebagai hakim dan sekaligus 

sebagai kepala pemerintahan.

Hak milik perseorangan atas tanah tidak langsung timbul begitu 

saja, tetapi melalui hak pakai dulu yang dalam proses selanjutnya menjadi 

hak milik. Hak milik ini baru muncul jika  si pemegang hak pakai itu 

terus menerus mengusahakan dan memelihara tanahnya.

Pengusahaan tanah untuk sawah atau tambak yang memerlukan 

irigasi (air) sangatlah berbeda dengan pengusahaan tanah untuk ladang 

kering tanpa irigasi. Penggarapan tanah untuk sawah atau tambak 

memerlukan dana dan keterampilan khusus. Dana dan keterampilan 

khusus ini merupakan suatu investasi. Dengan demikian sungguh wajar 

jika  tanah ini  di kemudian hari menjadi hak milik para ahli waris 

dari yang menggarapnya.

Hukum Tanah Adat hanya mengenal dua macam hak sebagai 

bentuk umum, yaitu hak pakai dan hak milik. Dari kedua bentuk umum 

itu (genusnya), muncullah bentuk-bentuk khusus, misalnya hak bagi hasil, 

hak numpang rumah atau numpang pekarangan. Justru bentuk-bentuk 

khusus inilah yang paling banyak dikenal di kalangan warga .

141

Garis-garis besar perkembangan hukum tanah di Indonesia

Tanah-tanah dalam lingkungan warga  hukum adat tidak 

didaftar sebagaimana tanah-tanah hak barat, sebab  warga  hukum 

adat yaitu  warga  yang masih sederhana dan tertutup, wilayahnya 

terbatas, jumlah penduduknya pun sedikit. Walau tidak didaftarkan 

secara tertulis, tanah dalam warga  hukum adat diketahui jelas batas-

batasnya; dan hak-hak atas tanah dihargai setiap warga, kepentingan 

hukum terjamin. jika  ada yang melanggarnya, sanksinya yaitu  

sanksi sosial yang datang dari warga  itu sendiri.

jika  kita meninjau tanah-tanah di daerah swapraja, maka yang 

menjadi pemilik tanah di wilayah swapraja yaitu  praja, dalam hal ini 

raja/ratu/sultan. Sedangkan rakyat hanya memiliki  hak pakai saja yang 

disebut hak anggaduh kagungan dalem (di Jawa), dengan syarat bahwa 

mereka diwajibkan menyerahkan sebagian (seperdua atau sepertiga) dari 

hasil tanahnya kepada raja (jika tanah pertanian) atau melakukan kerja 

paksa (jika tanah pekarangan).

Hak anggaduh ini  ada yang turun temurun dalam arti dapat 

beralih pada ahli warisnya. sebab  sifatnya yang turun temurun ini, pada 

hakikatnya hak anggaduh mirip dengan hak milik. Akan tetapi tidaklah 

dapat disebut hak milik sebab bila sang raja menghendaki sewaktu-waktu 

ia dapat mencabutnya kembali.

Kecuali itu, dalam tanah swapraja kita kenal pula suatu lembaga yang 

dinamakan apanase stelsel, yakni suatu stelsel dimana raja memberikan 

tanah-tanah sebagai hadiah kepada anggota keluarga atau kawula-

kawulanya yang berjasa atau setia, untuk nafkah mereka. Pemberian ini 

disertai pula dengan pelimpahan hak raja kepada pemegang apanase 

untuk menarik/memungut bagian dari hasil pertanian dari rakyat yang 

menggarapnya berikut hak untuk menuntut kerja paksa.

Dalam hukum tanah adat yang tidak tertulis dikenal pula tanah 

gogolan atau pekulen, yaitu tanah kepunyaan bersama dari warga 

desa yang pertama-tama menduduki lingkungan tanah ini  

serta keturunannya (communal bezitrecht). Sejarahnya dimulai dengan 

pembukaan hutan oleh warga warga  desa untuk wilayah 

pemukiman baru. Tanah itu kemudian berkembang menjadi suatu desa 

yang berdiri sendiri dan dianggap sebagai milik bersama dari warga 

desa yang sebelumnya memelopori pembukaan tanah. Oleh sebab  itu, 

tanah gogolan tidak boleh dijual kepada orang lain. Yang memiliki  hak 

utama untuk memilikinya yaitu  keturunan dari para pelopor yang mula-

mula membuka tanah ini . Tanah semacam ini dapat kita jumpai di 

Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian utara. Adapun di Minahasa dikenal 

dengan tanah kelakeran, di Minangkabau orang menyebutnya dengan 

tanah pusako.

b. Tanah Hak Barat

Berbeda dengan hukum tanah adat tidak tertulis yang konsepsinya yaitu  

142


tanah milik warga , maka norma/kaedah pengatur tanah hak barat 

ini bersifat individualistis. Hal ini diambil alih dari hukum Prancis oleh 

Belanda, yang dibawa ke Indonesia berdasarkan asas konkordasi. Hukum 

Tanah Barat mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1848 yang tertuang di 

dalam BW. Sebelum itu dikenal Hukum Tanah Barat yang berlaku semasa 

VOC yang disebut sebagai hukum Belanda Kuno. Hukum Belanda Kuno 

ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis.

                  

Buku II BW, antara lain mengatur lembaga-lembaga:

-  eigendom (Pasal 571);

-  opstal (Pasal 711);

-  erfpacht (Pasal 720);

-  gebruik (Pasal 818).

     

Buku III  BW, mengatur

1. masalah jual beli tanah yang terdiri dari 2 tahap (Pasal 1457 & 

1458):

 Tahap perjanjian, yang belum berarti hak atas tanah 

berpindah;

 Tahap jurisdische levering, tahap terjadinya pemindahan hak atas 

tanah yaitu balik nama di kantor kadaster.

2. masalah sewa menyewa tanah (Pasal 1588-1600). Ketentuan 

sewa menyewa ini dengan adanya UUPA sekarang tidak berlaku 

lagi.

 

Buku IV BW, mengatur lembaga daluwarsa (aquisitive verjaring) 

sebagai upaya hukum untuk dinyatakan sebagai eigenaar (Pasal 

610-1955 jo 1963). Acaranya disebut “eigendom-uitwijzing”  (Pasal 

621, 622 dan 623).

Selain itu, hak eigendom dapat diperoleh melalui lembaga 

daluwarsa (Pasal 584).

Mis. Overschrijvings Ord. Stbl. 1834-

27

Peraturan tentang sewa menyewa 

tanah partikelir, mis. zaman VOC 

dulu sebagian tanah di Jakarta ada-

lah milik partikelir yang disewa-kan 

untuk mendirikan bangunan. Lem-

baga ini diatur menurut  hukum ke-

biasaan dan dikenal sebagai “Batavi-

asche Grondhuur”

  Tertulis                                    

Hukum 

Belanda 

Kuno               

                          

                      Tidak Tertulis 

Se

su

da

18

48

143

Garis-garis besar perkembangan hukum tanah di Indonesia

Perlu ditambahkan bahwa lembaga acquisitive verjaring yaitu  

perangkat hukum tanah barat dimana seseorang mendapatkan hak milik 

(eigendom) tidak dengan cara perolehan, tetapi dengan cara menggugat. 

Demikian pula hapusnya hak ini .

Dalam hukum adat pun dapat kita jumpai cara semacam ini, 

hanya jangka waktu saja tidak ditentukan secara matematik, tetapi cukup 

jika  orang yang menguasai tanah itu mengusahakan tanah ini  

secara terus menerus, lama kelamaan oleh warga  diakui sebagai hak 

milik yang bersangkutan.

Di dalam hukum tanah barat, menurut ketentuan bahwa hak-hak 

opstal, erfpacht dan gebruik (sebagai hak-hak yang primer/orisinal) bisa 

dibebankan atas t