hukum pertanahan belanda 6





 anah-tanah hak eigendom dan domein negara.

Hak erfpacht yaitu  hak untuk mengusahakan atau memakai  

tanah milik orang lain. Milik orang lain disini memiliki  dua pengertian, 

yaitu sebagai tanah eigendom orang atau sebagai tanah eigendom negara 

(tanah domein negara).

Selain apa yang telah diuraikan di atas, sebetulnya kaedah-kaedah 

pengatur tanah hak barat bukanlah cuma Hukum Belanda Kuno dan 

Hukum Perdata (BW) saja, tetapi juga Hukum Administrasi.

Hukum tanah barat yang merupakan hukum tanah administratif 

yaitu  peraturan yang memberi wewenang kepada penguasa/pemerintah 

kolonial Belanda untuk melaksanakan politik pertanahannya, yang 

diwujudkan dalam Agrarische Wet 1870 sebagai ketentuan dasar, dengan 

peraturan pelaksananya, yakni Agrarische Besluit Stbl. 1870-118. Agrarische 

Besluit ini dalam Pasal 1 diatur tentang "domein verklaring" yang intinya 

menyatakan, bahwa semua tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan hak 

eigendomnya yaitu  milik negara.

Domein verklaring menyimpulkan bahwa tanah di sini bukanlah 

merupakan bagian dari hukum publik melainkan bagian hukum perdata, 

dimana negara boleh memiliki hak milik dan bahkan hak milik negara ini 

justru diutamakan.

(Catatan: istilah "hak milik negara" itu sampai sekarang masih 

sering terdengar, padahal menurut UUD 1945 dan UUPA bahwa negara 

hanya "menguasai" bukan "memiliki").

Jadi berdasarkan Pasal 1 Agrarische Besluit tentang domein 

verklaring, maka pembagian tanah-tanah di Indonesia (sebelum UUPA) 

dapat dilukiskan sebagai berikut:

                                      Tanah Domein Negara

Tanah          Tanah          Tanah                 Tanah                   Tanah

Daerah        Hak              Hak Barat         Hak Adat            Kosong

Swapraja     Eigendom   Lainnya 

144


Keterangan:

1) Tanah Daerah Swapraja

 Pada hakikatnya yaitu  tanah adat yang dikuasai Pemerintah 

Swapraja.

2) Tanah Domein Negara

a) Tanah domein negara yang bebas (vrijlandsdomein)

 yaitu  semua tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh warga -

warga  hukum adat sebagai milik bersama (= hak ulayat), 

yang menurut kenyataannya ada dan berlaku dalam warga  

tradisional Indonesia serta diperhatikan juga di dalam keputusan-

keputusan pengadilan, tetapi tidak diakui eksistensinya oleh 

domein verklaring dan harus dimasukkan sebagai tanah-tanah 

negara yang disebut "vrijlandsdomein”. 

b) Tanah domein tidak bebas (onvrijlandsdomein)

 yaitu  semua tanah yang dipunyai oleh perorangan warga 

warga  dengan hak milik, hak usaha dan lain-lainnya. Golongan 

tanah macam ini termasuk "onvrijlandsdomein", yang meliputi 

semua tanah yang langsung berada di bawah pemerintahan Hindia 

Belanda, kecuali tanah-tanah hak eigendom dan hak agrarisch 

eigendom.

3) Tanah Hak Eigendom

 yaitu  tanah yang dimiliki oleh perseorangan berdasarkan 

ketentuan BW yang memberikan hak mutlak kepada pemiliknya.

4) Tanah Hak Barat lainnya, meliputi: tanah-tanah dengan hak erfpacht, 

opstal, gebruik sebagai hak primer/orisinal.

5) Tanah Hak Adat

 yaitu  tanah-tanah milik warga  hukum adat (hak ulayat) dan 

tanah-tanah perorangan warga  hukum adat (hak milik, hak 

usaha, hak utama, dan sebagainya).

Kalau kita menengok sepintas latar belakang sejarah timbulnya Agrarische 

Wet 1870 yang merupakan landasan hukum bagi pemerintah Belanda 

di dalam pelaksanaan politik pertanahannya, hal ini dapat kita kaitkan 

dengan perkembangan liberalisme dunia barat. Dengan Agrarische Wet 

ini  terbukalah kemungkinan bagi swasta asing untuk menanamkan 

modalnya di Indonesia, berbeda dengan Cultuur Stelsel yang tadinya 

hanya memberikan hak monopoli kepada negara.

Adapun Agrarische Besluit Stbl. 1870-118 yang merupakan peraturan 

pelaksana Agrarische Wet, memuat Domein Verklaring (Pasal 1), yakni suatu 

konstruksi hukum perdata dimana seseorang harus memberi suatu benda 

dan yang lain harus memiliki benda ini  (=hukum administratif tidak 

murni), sedangkan fungsi Domein Verklaring yaitu :

a) Sebagai landasan hukum bagi pemerintah Hindia Belanda untuk 

memberikan tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendomnya 

145

Garis-garis besar perkembangan hukum tanah di Indonesia

kepada orang-orang Belanda, Timur Asing, dan swasta asing 

umumnya yang akan mengusahakan tanah, misalnya bagi 

perkebunan dengan hak erfpacht selama 75 tahun atau keperluan 

lainnya yang pelaksanaannya melalui:

 Erfpacht Ordonnantie;

 Grondhuur Ordonnantie;

 Vorstenland Grondhuur Ordonnantie;

 Grand Vervreemding Verbod, Stbl. 1875-179.

b) Keperluan pembuktian (di sini yang berlaku yaitu  pembuktian 

terbalik)

 Domein Verklaring berlaku di daerah-daerah pemerintahan langsung, 

yaitu di Jawa dan Madura. Kemudian sesudah  tahun 1875 berlaku 

pula di luar Jawa dan Madura (Algemene Domein Verklaring).

 Perlu ditambahkan bahwa melalui Stbl. 1915-474, pemerintah 

swapraja berwenang untuk memberikan tanah-tanah swapraja 

dengan hak-hak barat.

Sebagai kesimpulan dari uraian di atas, dapat diproyeksikan dalam 

bentuk skema sebagai berikut:

                                                  

     

                                                   

              

                                    

Selain pernyataan domein (domein verklaring) bidang tanah dan 

pertanian. Menurut teorinya, semua tanah-tanah yang berada di bawah 

kekuasaannya yaitu  milik para Raja Jawa. Akan tetapi, sebab  kekuasaan 

telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat 

hukumnya, hak pemilikan atas tanah-tanah ini  dengan sendirinya 

beralih kepada Raja Inggris. Dengan demikian, yang berkuasa atas tanah 

yaitu  kaum bangsawan di Inggris (Lord) dan orang biasa hanya dapat 

menjadi penyewanya (tenant). Teori ini dikenal sebagai “Teori Domein 

Raffles."

Berdasarkan pada konsep di atas, Raffles memperkenalkan land 

rente. Semua subjek yang memakai atau mengambil keuntungan dari 

tanah harus membayar pajak kepada Pemerintah Inggris. Pajak tanah tidak 

Diatur oleh Hukum 

Tanah Adat

Belum didaftar

Sudah didaftar

Diatur oleh Hukum 

Tanah Barat

Semua Tanah 

di Indonesia 

sebelum UUPA

Tanah 

Hak Indonesia

Tanah Hak Barat

146


dikumpulkan langsung dari para petani, tetapi melalui kepala kampung 

yang diberi kekuasaan untuk menentukan harga sewa. Pada saat seorang 

petani tidak mau atau tidak dapat memberi sisa pajak ini , kepala 

kampung memiliki  kekuasaan untuk mengambil alih dan menyita 

beberapa atau semua tanah dan memberikan tanah ini kepada lainnya 

yang dapat membayar pajak.

Banyak petani menderita selama pelaksanaan land rente ini terutama 

sekali disebabkan adanya kekuasaan kepala kampung yang tidak terbatas. 

Pemungutan tidak tergantung pada luas tanah, tetapi pada luas tanah 

yang dapat dipakai. Suatu saat Raffles mendapatkan informasi mengenai 

situasi-situasi yang menyedihkan di kalangan warga . la kemudian 

mengurangi kekuasaan kepala kampung dan menjual beberapa tanah 

menjadi tanah-tanah pribadi seperti yang pernah dilakukan selama 

kekuasaan Belanda pada awal abad ke-19.

Inggris ditaklukkan pada tahun 1816, dan Indonesia dikembalikan 

pada kekuasaan Belanda. Dasar utama peraturan agraria yaitu  mencapai 

keuntungan maksimum dari koloni (Hindia Belanda) untuk Pemerintah 

Belanda.

Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch memperkenalkan 

kebiiaksanaan baru di bidang pertanian yang disebut cultuurstelsel. 

Gubernur Van den Bosch meniru teori Raffles yang berdasarkan pada 

pemilikan yang ditetapkan atas tanah. Tujuan utama cultuurstelsel, 

seorang petani tidak harus membayar pajak tanah, tetapi hampir seperlima 

bagian dari tanahnya harus ditanami dengan hasil-hasil terpilih yang 

memiliki  pasaran baik di Belanda.

Peraturan ini dapat menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda 

dan mencukupi anggaran negara. Di lain pihak peraturan ini menimbulkan 

kekecewaan yang mendalam pada kaum kapitalis di Indonesia, terutama 

sekali di Jawa. Untuk mengamankan para pengusaha ini , pemenntah 

memperkenalkan kebijaksanaan baru, yang terkenal dengan nama 

Agrarische Wet sebagaimana telah diuraikan diatas.

7.3. Hukum tanah baru (Hukum tanah nasional)

Hukum tanah yang baru atau hukum tanah nasional mulai berlaku sejak 

24 September 1960, dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia 

Nomor 5 Tahun 1960 dengan judul resmi "Peraturan Dasar Pokok-pokok 

Agraria", atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok 

Agraria (UUPA).

UUPA mengakhiri berlakunya peraturan-peraturan hukum tanah 

kolonial, dan sekaligus mengakhiri dualisme atau pluralisme hukum 

tanah di Indonesia, serta menciptakan dasar-dasar bagi pembangunan 

hukum tanah nasional yang tunggal berdasarkan hukum adat sebagai 

147

Garis-garis besar perkembangan hukum tanah di Indonesia

hukum nasional Indonesia yang asli.

Dalam rangka menyempurnakan UUPA, berdasarkan TAP MPR 

RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan 

Sumber Daya Alam dan Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 2003, telah 

dipersiapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) konsep Rancangan 

Undang-undang tentang Sumber Daya Agraria dan Rancangan Undang-

undang Hak-hak atas Tanah.) yang diatur dalam Pasal 1 Agrarische Besluit, 

sebelum berlakunya Agrarische Wet dikenal dua teori domein, yaitu teori 

domein BW dan teori domein Raffles pada masa pendudukan Inggris 

di Indonesia. Pada waktu itu, Indonesia, terutama kepulauan Jawa dan 

Madura pernah dikuasai oleh Inggris dari tahun 1811 sampai dengan 1816. 

Sir Stamford Raffles menerapkan konsep feodal dalam melaksanakan 

kebijaksanaan di bidang tanah dan pertanian. Menurut teorinya, semua 

tanah-tanah yang berada di bawah kekuasaannya yaitu  milik para Raja 

Jawa. Akan tetapi sebab  kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah 

Inggris, maka sebagai akibat hukumnya, hak pemilikan atas tanah-tanah 

ini  dengan sendirinya beralih kepada Raja Inggris. Dengan demikian, 

yang berkuasa atas tanah yaitu  kaum bangsawan di Inggris (Lord) dan 

orang biasa hanya dapat menjadi penyewanya (tenant). Teori ini dikenal 

sebagai “Teori Domein Raffles."

Berdasarkan pada konsep di atas, Raffles memperkenalkan land 

rente. Semua subjek yang memakai atau mengambil keuntungan dari 

tanah harus membayar pajak kepada Pemerintah Inggris. Pajak tanah tidak 

dikumpulkan langsung dari para petani, tetapi melalui kepala kampung 

yang diberi kekuasaan untuk menentukan harga sewa. Pada saat seorang 

petani tidak mau atau tidak dapat memberi sisa pajak ini , kepala 

kampung memiliki  kekuasaan untuk mengambil alih dan menyita 

beberapa atau semua tanah dan memberikan tanah ini kepada lainnya 

yang dapat membayar pajak.

Banyak petani menderita selama pelaksanaan land rente ini 

terutama sekali disebabkan adanya kekuasaan kepala kampung yang 

tidak terbatas. Pemungutan tidak tergantung pada luas tanah, tetapi pada 

luas tanah yang dapat dipakai. Suatu saat Raffles mendapatkan informasi 

mengenai situasi-situasi yang menyedihkan di kalangan warga . la 

kemudian mengurangi kekuasaan kepala kampung dan menjual beberapa 

tanah menjadi tanah-tanah pribadi seperti yang pernah dilakukan selama 

kekuasaan Belanda pada awal abad ke-19.

Inggris ditaklukkan pada tahun 1816, dan Indonesia dikembalikan 

pada kekuasaan Belanda. Dasar utama peraturan agraria yaitu  mencapai 

keuntungan maksimum dari koloni (Hindia Belanda) untuk Pemerintah 

Belanda.

Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch memperkenal-

kan kebiiaksanaan baru di bidang pertanian yang disebut cultuurstelsel. 

148


Gubernur Van den Bosch meniru teori Raffles yang berdasarkan pada 

pemilikan yang ditetapkan atas tanah. Tujuan utama cultuurstelsel, 

seorang petani tidak harus membayar pajak tanah, tetapi hampir seperlima 

bagian dari tanahnya harus ditanami dengan hasil-hasil terpilih yang 

memiliki  pasaran baik di Belanda.

Peraturan ini dapat menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda 

dan mencukupi anggaran negara. Di lain pihak peraturan ini menimbulkan 

kekecewaan yang mendalam pada kaum kapitalis di Indonesia, terutama 

sekali di Jawa. Untuk mengamankan para pengusaha ini , pemenntah 

memperkenalkan kebijaksanaan baru, yang terkenal dengan nama 

Agrarische Wet sebagaimana telah diuraikan diatas.

7.4. Hukum Tanah Baru (Hukum Tanah Nasional)

Hukum tanah yang baru atau hukum tanah nasional mulai berlaku sejak 

24 September 1960, dimuat dalam Undang-undang Republik Indonesia 

Nomor 5 Tahun 1960 dengan judul resmi "Peraturan Dasar Pokok-pokok 

Agraria", atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok 

Agraria (UUPA).

UUPA mengakhiri berlakunya peraturan-peraturan hukum tanah 

kolonial, dan sekaligus mengakhiri dualisme atau pluralisme hukum 

tanah di Indonesia, serta menciptakan dasar-dasar bagi pembangunan 

hukum tanah nasional yang tunggal berdasarkan hukum adat sebagai 

hukum nasional Indonesia yang asli.

Dalam rangka menyempurnakan UUPA, berdasarkan TAP MPR 

RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan 

Sumber Daya Alam dan Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 2003, telah 

dipersiapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) konsep Rancangan 

Undang-undang tentang Sumber Daya Agraria dan Rancangan Undang-

undang Hak-hak atas Tanah.

149

PEMBENTUKAN UUPA 

DAN PEMBANGUNAN 

HUKUM TANAH NASIONAL

8.1 Fungsi UUPA

a. Menghapuskan dualisme hukum tanah yang lama dan menciptakan 

unifikasi serta kodifikasi Hukum Agraria (Tanah) Nasional yang 

didasarkan pada Hukum (Tanah) Adat.

 Penghapusan dualisme Hukum Tanah yang lama ini  

dilakukan dengan cara sebagaimana yang tertuang di dalam 

diktum "Memutuskan" dari UUPA, yakni mencabut:

1) Seluruh Pasal 51 Indische Staatsregeling yang didalamnya 

termasuk juga ayat-ayat yang merupakan Agrarische Wet 

(stbl. 1870-55);

2) Semua Domein Verklaring dari pemerintah Hindia Belanda 

baik yang umum maupun yang khusus;

3) Peraturan mengenai Agrarische Eigendom yang dituangkan ke 

dalam Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stbl. 

1872-117 jo. Stbl. 1873-38);

4) Buku Kedua KUHPerdata sepanjang yang mengenai bumi, 

air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 

kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.

 Dalam hal ini secara implisit ikut terhapus juga ketentuan-ketentuan 

tentang larangan pengasingan tanah (Grond Vervreemding Verbod 

Stbl. 1875-179).

b. Mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas 

tanah melalui ketentuan-ketentuan konversi (Diktum ke-2 UUPA).

c.  Meletakkan landasan hukum untuk pembangunan Hukum Agraria 

(Tanah) Nasional, misalnya Pasal 17 UUPA mengenai Landreform.

8.2. Tujuan UUPA

a. Menciptakan unifikasi Hukum Agraria dengan cara:

1) Menyatakan tidak berlaku lagi (mencabut/menghapus) 

peraturan-peraturan hukum tanah yang lama seperti ini  

di atas.

8

150


2) Menyatakan berlakunya Hukum Tanah Nasional berdasarkan 

Hukum yang tidak tertulis, sebagai bahan penyusunan 

hukum tanah nasional

b. Menciptakan unifikasi hak-hak penguasaan atas tanah (hak-hak 

atas tanah dan hak jaminan atas tanah) melalui ketentuan konversi:

1) Tanah-tanah hak barat maupun tanah-tanah hak Indonesia 

sebagai hubungan konkrit, dikonversi (diubah) menjadi 

hak-hak atas tanah menurut UUPA secara serentak dan demi 

hukum (rechtswege), terhitung mulai tanggal 24 September 

1960.

2) Hak-hak jaminan atas tanah, yaitu hipotik dan credietverband 

(Pasal 1162 KUHPerdata Pasal 15 Stbl. 1908-542) diubah demi 

hukum terhitung mulai tanggal 24 September I960, menjadi 

Hak Tanggungan (Pasal 51 UUPA & Pasal IV Ketentuan 

Konversi UUPA jo. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak 

Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan 

Dengan Tanah).

8.3.  Hubungan fungsional UUPA sebagai Hukum Tanah 

Nasional dengan Tanah Adat

Arti kata "nasional" di sini bahwa:

secara formal:

- dibuat di Indonesia;

- dalam bahasa Indonesia;

- berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

secara materil:

- isinya merupakan perwujudan dari Pancasila;

- disusun berdasarkan/dengan memakai  bahan-bahan Hukum 

Tanah Adat (Hukum Adat).

Jadi, jika  dilihat dari segi materinya, maka hubungan fungsional 

ini  dapat kita jumpai pada pernyataan-pernyataan di dalam UUPA 

sendiri, yaitu:

a. Konsiderans "Berpendapat", huruf "a":

 "Bahwa perlu adanya Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan 

Hukum Adat tentang tanah".

b. Pasal 5:

 "Bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang 

angkasa ialah Hukum Adat".

c. Penjelasan Umum III/l:

 “Bahwa Hukum Agraria yang baru didasarkan pada ketentuan-

ketentuan Hukum Adat, sebagai hukum yang asli, yang 

disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan warga  

151

Pembentukan UUPA dan pembangunan hukum tanah nasional

dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia 

Internasional, dan seterusnya....".

Dalam penjelasan umum III/l ada  istilah Hukum Adat sebagai hukum 

yang asli, hal mana  ditekankan   sebab    Hukum  Adat sebagai  hukum 

yang  tidak tertulis pun  masih dipengaruhi/dimasuki  oleh   unsur-

unsur  dari   luar,   misalnya   pengaruh   hukum   kolonial, swapraja, dan 

sebagainya.

Sampai sekarang masih ada orang yang mempermasalahkan dan 

mempertanyakan hubungan Hukum Adat dengan UUPA, yakni Hukum 

Adat manakah yang dimaksud oleh UUPA ini ? 

Ada beberapa pengertian tentang Hukum Adat menurut pada sarjana:

a. Van Vollenhoven:

 Membedakan adanya "hukum adat golongan pribumi" dan "hukum 

adat golongan timur asing".

b. Kusumadi Pudjosewojo:

 memakai  sebutan "hukum adat" sebagai keseluruhan 

peraturan hukum yang tidak tertulis. Hukum adat dalam pengertian 

ini bukan merupakan lapangan hukum tersendiri disamping 

lapangan-lapangan hukum yang ada. ,

Termasuk pengertian yang manakah Hukum Adat yang dimaksud dalam 

UUPA itu? Pengertian Hukum Adat menurut UUPA bukanlah Hukum 

Adat menurut pengertian kedua sarjana di atas.

Hukum Adat yang dimaksud UUPA yaitu :

- Formal:

 "... bagian dari hukum positif Indonesia yang berlaku sebagai 

hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis di kalangan orang-

orang Indonesia asli yang mengandung ciri-ciri nasional, yaitu ..."

- Materil:

 "... sifat kewarga an yang berasaskan keseimbangan dan 

diliputi suasana keagamaan".

Dengan pengertian yang demikian, maka apa yang disebut Hukum Adat 

tidak harus diartikan semata-mata sebagai rangkaian norma-norma 

hukum saja, akan tetapi meliputi juga: -

a. Konsepsi (ajaran, teori);

b. Asas-asas (yang merupakan perwujudan dari konsepsi);

c. Lembaga-lembaga hukum;

d. Sistem (tata susunan yang teratur).

Konsepsi dan asas-asas hukum yang merupakan perwujudan kesadaran 

hukum para warga warga  dalam penerapannya ditentukan oleh 

suasana dan keadaan rnasyarakat yang bersangkutan, serta nilai-nilai yang 

dianut oleh para warganya. Walaupun konsepsi dan asas-asasnya sama, 

akan tetapi norma-norma hukum yang merupakan hasil penerapannya 

bisa berbeda di suatu warga  dengan warga  lainnya. Demikian 

152


pula perubahan-perubahan pada suasana, keadaan dan nilai-nilai dalam 

warga  yang sama dalam pertumbuhannya, dapat mengakibatkan 

perubahan dalam norma-norma hukum yang berlaku, sungguhpun 

konsepsi dan asas-asasnya tidak berubah. Kemudian norma-norma 

ini  disusun dalam suatu sistem yang teratur, termasuk lembaga-

lembaga hukumnya.

Sebagai kesatuan pengertian yang meliputi konsepsi, asas-asas, 

lembaga-lembaga hukum, dan sistem dari norma-norma yang berlaku, 

maka Hukum Adat merupakan perangkat hukum yang berbeda dengan 

perangkat-perangkat hukum positif lainnya, dan menjadikan Hukum 

Adat sebagai hukum yang khas Indonesia.

Jadi, kalau kita berbicara tentang hubungan fungsional antara 

Hukum Tanah Nasional dengan Hukum Tanah Adat, intinya terletak 

pada 2 (dua) fungsi pokok Hukum (Tanah) Adat, yaitu:

a. Sebagai sumber utama bagi pembangunan Hukum Tanah Nasional 

(UUPA);

b. Sebagai pelengkap Hukum Tanah Nasional yang tertulis.

Hubungan fungsional ini dapat kita lihat dari:   

a. Konsiderans & Penjelasan UUPA, yang menunjuk pada fungsi 

Hukum Adat sebagai sumber utama bagi pembangunan Hukum 

Tanah Nasional; dan Pasal 5 UUPA yang juga menunjukkan fungsi 

Hukum Adat sebagai sumber utama serta sekaligus pelengkap 

bahan-bahan yang diperlukan bagi Hukum Tanah Nasional.

 Melalui pembangunan Hukum Tanah Nasional, berarti makin 

lengkapnya Hukum Tanah Nasional maka makin berkurangnya 

peranan norma-norma Hukum Tanah Adat sebagai pelengkap. 

Untuk mengantar kearah suatu pengertian secara global, harap 

perhatikan skema penyusunan UUPA yang didasarkan Hukum 

Adat sebagai berikut:

Hukum  Adat Sebelum 24 September 1960

Konsepsi + Asas-asas +    Norma-norma

Lembaga-lembaga Hukum    (Lokal)   

                                                                                                     

  UUPA    Pelengkap bagi

       Hukum Tanah Nasional

                Berupa norma-norma   Catatan: 

                Hukum Tanah Nasional  norma-norma Hukum  

      Tanah dibiarkan tetap  

      berlaku sebagai hukum  

 Disusun dalam satu SISTEM  yang hidup

153

Pembentukan UUPA dan pembangunan hukum tanah nasional

b. Bentuk Hukum Tanah Nasional

1) Tertulis; 

2) Tidak tertulis, untuk mengisi kekosongan hukum sebagai 

pelengkap, yaitu:

- Hukum Tanah Adat yang sudah disaneer (Pasal 5 UUPA);

- Hukum kebiasaan lainnya yang timbul dari kebijaksanaan 

dalam pelaksanaan Hukum Tanah yang baru (UUPA) ber upa 

yurisprudensi dan doktrin.

Pengertian fungsi kedua dari Hukum Adat sebagai pelengkap Hukum 

Tanah Nasional dapat kita ketahui dari pernyataan UUPA, bahwa norma-

norma hukum tanah adat setempat dapat dipergunakan sebagai pelengkap 

hukum tanah positif. Lalu dipertanyakan, norma-norma hukum yang 

mana? Tentunya norma-norma Hukum Tanah Adat yang masih berlaku 

pada saat diperlukan sebagai pelengkap untuk menyelesaikan masalah. 

Lebih lanjut dipermasalahkan lagi, apakah norma-norma Hukum Adat 

itu bisa langsung dijadikan pelengkap? Kadang-kadang tidak begitu saja 

langsung dipakai, oleh sebab  berlakunya Hukum Tanah Adat masih 

diperlukan syarat: "... sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan 

nasional dan Negara..." (Pasal 5 UUPA).

Oleh sebab  itu, jika  suatu masalah telah diatur oleh UUPA 

dalam bentuk hukum tertulis (hukum positif) maka norma-norma hukum 

adat itu tidak berlaku lagi. Sebagai contoh:

- Sebelum berlakunya UUPA (24 September 1960) dikenal adanya hak 

usaha bagi hasil. Kemudian menjelang berlakunya UUPA keluar 

suatu peraturan yakni UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi 

Hasil (UUPBH);

- Hak gadai atas tanah pertanian, semula diatur oleh Hukum Tanah 

Adat yang tidak tertulis, kemudian khusus untuk tanah pertanian 

itu diatur dalam Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960 yang terkenal dengan 

nama UU Landreform, dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 

1961.

Selain norma-norma hukum adat setempat sebagaimana telah diuraikan 

diatas, dalam melengkapi Hukum Tanah Nasional ini sangat penting pe-

ranan dari:

a) Yurisprudensi, misalnya Keputusan Makamah Agung No. 123/K/

Sip/1970 yang menegaskan antara lain: 

1) pengertian jual beli tanah; 

2) prosedur serta pelaksanaan jual beli tanah, dan seterusnya.

b) Doktrin, yaitu pendapat atau tafsiran para ahli, misalnya penerap-

an asas horizontal yang kita jumpai dalam sistem Hukum Adat, 

dimana orang bisa memiliki tanah tanpa memiliki bangunan/

tanam an yang ada diatasnya begitu pula sebaliknya orang bisa 

memiliki bangunan/tanaman tanpa memiliki tanah di atas mana 

bangunan/tanaman ini  berada.

154


8.4. Konsepsi Hukum Tanah Nasional 

Sebelum UUPA berlaku, kita mengenal Hukum Tanah Adat yang 

memakai  konsepsi Hukum Adat dan ada pula Hukum Tanah Barat 

yang memakai  konsepsi Hukum Tanah Barat. 

Sebelum kita membicarakan konsepsi Hukum Tanah Nasionai, 

terlebih dahulu kita meninjau bagaimana wujud konsepsi Hukum Tanah 

Barat sebagai bahan perbandingan.

a. Konsepsi Hukum Tanah Barat

Konsepsi Hukum Tanah Barat bertitik tolak dari konsepsi yang liberal 

individualistis, bahwa tanah (bumi) ini diciptakan oleh Tuhan dan 

diperuntukkan bagi kesejahteraan umat manusia. Pada mulanya tanah-

tanah di muka bumi merupakan tanah yang belum ada pemiliknya 

(res nullius), oleh sebab  itu, sebagai res nullius tanah dapat diduduki 

(occupatie) dan dimanfaatkan oleh siapa saja yang memerlukan. Dengan 

menduduki atau menguasai tanah ini , jadilah ia selaku pemiliknya, 

dan menjelma suatu hubungan hukum yang disebut "Hak Eigendom".

Hak eigendom menurut konsepsi liberal individualistis barat 

yaitu  hak yang tertinggi. Dikatakan sebagai hak yang tertinggi sebab  

hak eigendom muncul atas dasar suatu anggapan bahwa setiap individu 

selaku pribadi bebas memiliki dan melakukan apa saja yang dikehendaki. 

Puncak dari kebebasan individu itu tercermin perwujudannya dalam hak 

eigendom, yang kemudian dikenal dengan sebutan "hak asasi" seperti 

yang tertera dalam Deklarasi Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia 

oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1548. Jadi, sumber hak atas 

tanah menurut konsepsi Hukum Tanah Barat pada hakikatnya ialah hak 

asasi. Hak asasi manusia inilah merupakan sumber dari segala hak-hak 

perorangan atas tanah.

Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan konsepsi yang 

mendewakan kebebasan individu ini  telah membawa akibat 

timbulnya konflik-konflik sosial yang tak terelakkan, misalnya saja 

konflik-konflik yang terjadi antara kelompok-kelompok pendatang 

berkulit putih dengan penduduk asli benua Amerika dan Australia. 

Untuk mengendalikan keadaan sebab  adanya konflik ini  maka 

perlu diadakan penertiban, yakni campur tangan dari penguasa berupa 

penguasaan tanah-tanah yang masih kosong dan dijadikan milik negara. 

Dengan demikian lahirlah apa yang dinamakan tanah domein negara. Jadi 

sesuai dengan konsepsi Hukum Tanah Barat bahwa semua tanah dapat 

dibagi habis ke dalam dua kelompok, yaitu tanah-tanah hak eigendom 

dan tanah domein negara. Dari dua kelompok tanah hak ini  dapat 

dibebani/diberikan hak-hak lainnya, yakni hak-hak yang derivatif atau 

sekunder. (Lihat skema di bawah ini).

155

Pembentukan UUPA dan pembangunan hukum tanah nasional

Menurut Pasal 584 BW, hak eigendom dapat diperoleh dengan cara-cara:

- okupasi;

- daluwarsa;

- pewarisan;

- pemindahan hak.

Dengan demikian sebagaimana yang digambarkan dalam skema 

di atas, bahwa melalui pemindahan hak/jual beli dapat diperoleh hak 

eigendom dari pihak yang memiliki  hak eigendomnya atau dari tanah 

domein negara. Sedangkan untuk mendapatkan hak-hak sekunder (hak 

opstal, erfpacht, sewa dan gebruik) dari tanah hak eigendom atau tanah 

domein negara ialah melalui perjanjian.

b. Konsepsi Hukum Tanah Feodal

Selain konsepsi Hukum Tanah Barat yang liberal individualistis dalam 

Hukum Tanah Barat dikenal pula konsepsi Hukum Tanah Feodal, 

misalnya yang berlaku di Inggris dan negeri-negeri jajahannya. Demikian 

pula pernah kita jumpai di Indonesia (sebelum UUPA) pada tanah-tanah 

swapraja yang tunduk pada Hukum Tanah Swapraja.

Menurut konsepsi Hukum Tanah Feodal, semua tanah yaitu  hak 

milik raja sedangkan rakyat hanya dapat diberikan Hak Pakai atau Hak 

Sewa saja. Hak Pakai ini bisa turun-temurun yang hampir sama dengan 

Hak Milik, tetapi tidak dapat disebut Hak Milik sebab  sewaktu-waktu 

dapat dicabut jika  raja menghendakinya. Hak-hak ini  di Inggris 

atau di Singapura biasa dikenal dengan istilah "estate in fee simple" 

(=Hak Pakai) dan "lease hold estate" (=Hak Sewa). Kalau di Indonesia kita 

mengenalnya dengan istilah "hak anggaduh" dan sebagainya.

c. Konsepsi Hukum Tanah Adat/Nasional

sesudah  kita memahami konsepsi liberal individualistis dan konsepsi feodal, 

jelas bahwa kedua macam konsepsi ini  tidak cocok dengan struktur 

Tanah

Hak

Eigendom

Hak 

Eigendom

Tanah 

Domein

Negara

Hak Opstal

Hak Erfpacht

Hak Sewa

Hak Gebruik

Hak Opstal

Hak Erfpacht

Hak Sewa

Hak Gebruik

156


warga  dan nilai-nilai yang berlaku di alam Indonesia merdeka.

Dalam alam demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat 

tujuan bangsa kita membentuk pemerintahan negara Republik Indonesia 

(se perti tertera pada Pembukaan UUD alinea ke-4), yakni untuk: 

- Memajukan kesejahteraan umum;

- Mencerdaskan kehidupan bangsa;

- Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum ini , maka 

Pasal 33 (3) UUD 1945 menegaskan bahwa: "Bumi, air dan kekayaan alam 

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan 

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Berdasarkan apa yang telah dirumuskan dalam UUD 1945 sebagai 

pencerminan kehendak dari segenap bangsa Indonesia, maka lebih lanjut 

oleh UUPA dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa semua tanah yang ada di 

seluruh wilayah Republik Indoensia yaitu  "Hak Bangsa Indonesia". 

Kata "yaitu " disini berarti "kepunyaan".

Dikatakan sebagai Hak Bangsa Indonesia, tiada lain yaitu  hak 

yang ber akar dari “Hak Ulayat” berdasarkan Hukum Adat yang diangkat 

pada tingkat paling atas; dan Hak Ulayat inilah yang dipakai oleh UUPA 

sebagai konsepsi bagi Hukum Tanah Nasional Indonesia.

Dalam sistem Hukum Adat, Hak Ulayat merupakan hak yang 

tertinggi dalam warga  hukum adat atas seluruh lingkungan tanah 

yang ber ada di wilayah warga  hukumnya. Penggunaan tanah oleh 

warga warga  hukum adat yang dilandasi berbagai hak penguasaan 

atas tanah yang bersumber pada hak bersama yang disebut Hak Ulayat itu.

Pengangkatan Hak Ulayat pada tingkat paling atas sehingga 

menjadi Hak Bangsa Indonesia memiliki  pengertian, bahwa seluruh 

tanah di wilayah Republik Indonesia yaitu  kepunyaan bangsa 

Indonesia. Namun perlu diingat, bahwa hubungan kepunyaan dengan 

tanah di seluruh wilayah Indonesia itu tidaklah sama dengan hubungan 

pemilikan, sebab  tetap masih diakui hak milik perorangan atas tanah 

yang bersumber pada hak bersama (Pasal 4 UUPA). Sebagai perwujudan 

dari sifat kewarga  an hak-hak perorangan atas tanah ini /maka 

dirumuskanlah sifat itu dalam Pasal 6 UUPA bahwa hak atas tanah 

memiliki  fungsi sosial.

Darimanakah berasalnya tanah-tanah ini ? Berasal dari Tuhan. 

Jadi, sumbernya yaitu  karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat 2 

UUPA). 

Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya yaitu  

hubungan yang bersifat abadi, dan pada tingkatan tertinggi dikuasakan 

pelaksanaannya kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh 

rakyat (Pasal 1 ayat 3 jo. Pasal 2 ayat 1 UUPA). Pengalaman sejarah telah 

157

Pembentukan UUPA dan pembangunan hukum tanah nasional

membuktikan bahwa sekalipun 350 tahun kita dijajah Belanda, ternyata 

hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya tidak pernah 

terputus dan tidak pernah diserahkan kepada siapapun. Juga tidak 

pernah diserahkan kepada Negara, sebab  Negara hanyalah merupakan 

organisasi kekuasaan seluruh bangsa atau wadah dari bangsa Indonesia 

untuk melaksanakan apa yang menjadi kehendak bangsa Indonesia 

itu sendiri. Jadi, negara hanya memiliki  hak menguasai dan bukan 

memiliki tanah.

Hak menguasai dari negara ini yaitu  tugas kewenangan yang 

dilimpahkan oleh bangsa Indonesia kepada negara untuk:

a. Mengatur penguasaan dan penggunaan tanah melalui peraturan 

perundang-undangan;

b. Merencanakan peruntukkan dari penggunaan tanah; dan

c. Memelihara.

Dari semua yang telah diuraikan di atas serta ketentuan-ketentuan 

Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 UUPA, jelaslah bahwa Hukum Tanah Nasional 

kita memakai  konsepsi dan sistem Hukum Adat, hal mana dapat 

dilihat dalam kerangka sebagai berikut:

HAK 

MENGUASAI

NEGARA

PASAL 1 AYAT 1 UUPA

PS. 33 (3) UUD 1945

PS. 2 (1) UUPA

PASAL 1 AYAT 3 

UUPA

“NEGARA” SEBA-

GAI BADAN PEN-

GUASA (PUBLIK)

PEMERINTAH 

PUSAT

(EKSEKUTIF)

Subjek

TANAH DI 

WILAYAH

REPUBLIK 

INDONESIA

HAK BANGSA

INDONESIA

PASAL 1 

UUPA

= BANGSA INDONESIA

SUMBER: KARUNIA 

TUHAN YME

(PASAL 1 AYAT 2 UUPA)

BENTUK: 

Semua 

Tanah di 

Wilayah 

Negara RI: 

Kepunyaan 

bangsa 

SIFAT: 

Hubungan 

yang abadi

DUA UNSUR:

1. Unsur 

Kepunyaan 

(Perdata)

2. Unsur tugas 

kewenangan

PRESIDEN DAN 

PARA MENTERI

KHUSUS DI BID. PERTANA-

HAN: KEPALA DAERAH 

PROVINSI GUBERNUR CQ. 

KEPALA KANWIL BPN 

PROVINSI

DAERAH KABUPATEN/

KOTA: BUPATI/WALIKOTA 

CQ. KEPALA KANTOR

 PERTANAHAN

158


Kerangka ini  memperlihatkan suatu sistem bagaimana timbulnya 

Hak Bangsa Indonesia dan Hak Menguasai Negara atas tanah di seluruh 

wilayah Republik Indonesia, serta hubungannya satu dengan yang lain.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hak bangsa 

Indonesia atas tanah di seluruh wilayah Indonesia ini meliputi:

1. Unsur kepunyaan;

2. Unsur tugas kewenangan.

Pengertian "unsur kepunyaan"

Sama halnya dengan Hak Ulayat warga  hukum adat, unsur 

kepunyaan yang terkandung di dalam Hak Bangsa Indonesia ini berarti 

bahwa seluruh tanah di Indonesia yaitu  kepunyaan bersama dari 

seluruh rakyat Indonesia. Hak Bangsa Indonesia ini  yaitu  hak 

yang tertinggi.

Pada Hak Bangsa Indonesia itulah bersumber hak-hak penguasaan 

atas tanah yang disediakan bagi perorangan, yakni:

a. Secara langsung, berupa hak-hak atas tanah yang primer;

b. Secara tidak langsung, berupa: 

-  hak-hak atas tanah yang sekunder dan;

-  hak jaminan atas tanah 

Unsur kepunyaan yang terkandung di dalam hak bangsa termasuk bidang 

hukumperdata.

Pengertian "unsur tugas kewenangan”

Seperti halnya tanah ulayat warga  hukum adat, tanah bangsa 

Indonesia itupun harus dikelola dengan baik: 

a. Diatur, melalui peraturan perundang-undangan tentang 

penguasaan dan penggunaannya;

b. Direncanakan peruntukkan serta penggunaannya, melalui:

- Perencanaan umum oleh Pemerintah Pusat (Pasal 14 ayat 1 

UUPA);

- Perencanaan khusus peruntukkan dan penggunaan tanah 

dilimpahkan kepada Peraturan Daerah (Pasal 14 ayat 2 

UUPA). Disini Pemda tidak berwenang membuat peraturan 

tentang tanah, wewenangnya hanya terbatas pada pembuatan 

planologi kota (Rencana Tata Guna Tanah) sesuai dengan 

keadaan daerahnya. 

Ini merupakan unsur tugas kewenangan kedua dari hak bangsa 

yang termasuk bidang hukum publik, dan dalam pelaksanaannya tugas 

kewenangan ini  oleh Bangsa Indonesia dilimpahkan kepada Negara 

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia.

Jelas kiranya dari ketentuan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa 

pelimpahan tugas kewenangan kepada Negara itu terbatas pada unsur 

159

Pembentukan UUPA dan pembangunan hukum tanah nasional

yang bersifat Hukum Publik, dan tidak meliputi unsur kepunyaan yang 

bersifat perdata. Tanah di wilayah Republik Indonesia yaitu  tanah 

kepunyaan Bangsa Indonesia yaitu tanah kepunyaan bersama rakyat 

Indonesia, para warga negara Indonesia, dan bukan kepunyaan Negara. 

Bahwa Negara memberikan tanah kepada rakyat yang memerlukan 

dengan berbagai hak atas tanah yang disediakan dalam Hukum Tanah 

kita, bukan dalam kedudukannya sebagai yang memiliki  tanah, 

melainkan sebagai petugas Bangsa Indonesia, sebagai Badan Penguasa 

yang diberi kewenangan untuk berbuat demikian.

Hak-hak atas tanah yang primer yaitu  hak-hak yang langsung 

bersumber pada Hak Bangsa Indonesia, yang diberikan oleh Negara 

melalui permohonan hak.

Dengan demikian keadaan seluruh tanah di Indonesia dapat 

digambarkan sebagai berikut:

Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Tanah 

Negara yaitu  tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, sedangkan Tanah 

Hak yaitu  semua tanah-tanah yang sudah dikuasai oleh seseorang 

dengan sesuatu hak.

Jadi, di dalam sistem dan konsepsi Hukum Tanah di Indonesia, 

tidak dikenal “res nullius” seperti dalam Hukum Tanah Barat. Misalnya 

dalam Pasal 520 BW dikatakan bahwa bilamana tanah yang tidak ada 

pemiliknya, harus ditempatkan dibawah pengampuan Balai Harta 

Peninggalan dan menjadi tanah domein Negara. Di negara Indonesia 

jika  hak atas tanah hapus maka tanah itu kembali menjadi tanah Hak 

Bangsa atau Tanah Negara.

Asas-asas Dasar Hukum Tanah Nasional

a. Asas religiositas, yang memperhatikan unsur-unsur yang bersandar 

ada hukum agama (Konsiderans Berpendapat, Pasal 1 dan 49 

UUPA); 

b. Asas kebangsaan, yang mendahulukan kepentingan nasional, 

dengan memberi kesempatan kepada pihak asing menguasai dan 

memakai  tanah untuk keperluan usahanya, yang bermanfaat 

bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara (Pasal 9, 20 

 Hak Bangsa Indonesia 

Hak Menguasai Negara 

Tanah Hak 

Tanah Negara 

160


dan 55 UUPA) 

c. Asas demokrasi, dengan tidak mengadakan perbedaan antar 

gender, suku, agama dan wilayah (Pasal 4 dan 9 UUPA); 

d. Asas pemerataan, pembatasan dan keadilan dalam penguasaan 

dan pemanfaatan tanah yang tersedia (Pasal 7, 11 dan 17 UUPA); 

e. Asas kebersamaan dan kemitraan dalam penguasaan dan 

penggunaan tanah dengan memberdayakan golongan ekonomi 

lemah, terutama para petani (Pasal 11 dan 12 UUPA); 

f. Asas kepastian hukum dan keterbukaan dalam penguasaan dan 

penggunaan tanah serta perlindungan hukum bagi golongan 

ekonomi lemah terutama, para petani (Pasal 11, 13 dan 19 UUPA); 

g. Asas penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai sumber daya alam 

strategis secara berencana, optimal, efisien dan berkelanjutan, dalam 

rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, 

dengan menjaga kelestarian kemampuan dan lingkungannya (Pasal 

13 dan 14 UUPA); 

h. Asas kemanusiaan yang adil dan beradab dalam penyelesaian 

masalah-masalah pertanahan sesuai dengan sila kedua Pancasila.

161

HAK PENGUASAAN ATAS TANAH 

MENURUT HUKUM NASIONAL

9.1. Pengertian

Hak penguasaan atas tanah yaitu  suatu hubungan hukum yang 

memberi wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subjek hukum 

(orang/badan hukum) terhadap objek hukumnya, yaitu tanah yang 

dikuasainya.

9.2. Macam Hak Penguasaan atas Tanah

Berdasarkan kewenangannya, hak penguasaan tanah menurut UUPA 

dibagi menjadi :

a. Hak Penguasaan atas tanah yang memiliki  kewenangan  khusus 

yaitu  kewenangan yang bersifat publik dan perdata, dan meliputi:

1).  Hak Bangsa Indonesia (pasal 1 UUPA)

 Ini menunjukkan suatu hubungan yang bersifat abadi antara 

bangsa Indonesia dengan tanah di seluruh wilayah Indonesia 

dengan subjeknya bangsa Indonesia.

 Hak Bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas 

tanah yang tertinggi di Indonesia.

2).  Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA)

 Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh 

rakyat melaksanakan tugas untuk memimpin dan mengatur 

kewenangan bangsa Indonesia (kewenangan publik).

 Melalui hak menguasai negara, negara akan dapat senantiasa 

mengendalikan atau mengarahkan fungsi bumi, air, ruang angkasa 

sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Negara dalam hal ini 

tidak menjadi pemegang hak, melainkan sebagai badan penguasa, 

yang memiliki  hak-hak sebagai berikut.

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan 

dan pemeliharaan;

2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai 

oleh subjek hukum tanah;

3) Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang 

dan perbuatan hukum yang mengenai tanah.

9

162


b. Hak Ulayat warga  Hukum Adat (pasal 3 UUPA)

Hubungan hukum yang ada  antara warga  hukum adat dengan 

tanah lingkungannya. Hak Ulayat oleh pasal 3 UUPA diakui dengan 

ketentuan :

1) Sepanjang menurut kenyataannya masih ada;

2) Peelaksanaannya tidak bertentangan dengan pembangunan 

nasional.

Pada tanggal 24 Juni 1999 pemerintah mengeluarkan  kebijakan 

mengenai  hak ulayat yaitu dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999, tentang 

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat warga  Hukum Adat. 

Bahkan perkembangan terhadap pengakuan dan penghormatan terhadap 

Hak Ulayat warga  hukum adat ini  dikukuhkan di dalam 

perubahan ke dua UUD 1945 oleh MPR-RI, para tanggal 18 Agustus 2000 

di dalam  Pasal 18B ayat (2)  disebutkan bahwa “Negara mengakui dan 

menghormati kesatuan-kesatuan warga  hukum adat beserta hak-

hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan 

warga  dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur 

dalam undang-undang”.       

Hal itu tentunya akan  memiliki implikasi yuridis  dimasa 

mendatang terhadap  pengaturan mengenai tindakan, perbuatan hukum 

yang berkaitan dengan tanah Hak Ulayat  agar tidak  berlanjut dampak-

dampak negatif  selama ini seperti dalam berbagai kasus  pelanggaran 

terhadap tanah Hak Ulayat di berbagai  tempat.

b.  Hak Penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan  yang 

bersifat umum yaitu kewenangan di bidang perdata dalam 

penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan jenis-jenis hak 

atas tanah yang diberikan (Hak Perorangan atas Tanah).

Hak Perorangan atas Tanah terdiri dari : 

1).  Hak atas tanah:

yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya 

untuk memakai  tanah yang dikuasainya.

Hak atas tanah terdiri atas :

a) Hak atas tanah Orisinal atau Primer

 yaitu hak atas tanah yang bersumber pada Hak Bangsa Indonesia 

dan yang diberikan oleh Negara dengan cara memperolehnya 

melalui permohonan hak.

 Hak atas tanah yang termasuk hak primer yaitu :

 Hak Milik

 Hak Guna Bangunan

 Hak Guna Usaha

 Hak Pakai

 Hak Pengelolaan.

163

Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional

 b. Hak atas tanah Derivatif atau Sekunder

 yaitu hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada 

Hak Bangsa Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara 

memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara pemilik 

tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan.

 Hak atas tanah yang termasuk dalam hal ini, yaitu:

 Hak Guna Bangunan

Hak Pakai

 Hak Sewa

 Hak Usaha Bagi Hasil

 Hak Gadai

 Hak Menumpang.

2). Hak Jaminan atas Tanah

yaitu hak penguasaan atas tanah yang tidak memberikan wewenang 

kepada pemegangnya untuk memakai  tanah yang dikuasainya tetapi 

memberikan wewenang untuk menjual lelang tanah ini  jika  

pemilik tanah ini  (debitur) melakukan wanprestasi.

Hak-hak jaminan atas tanah menurut hukum tanah nasional yaitu  

Hak Tanggungan yang diatur dengan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang 

Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan 

Tanah.

Mengenai hak jaminan atas tanah akan diuraikan secara tersendiri 

dalam Bab VIII mengenai Tanah sebagai Jaminan Kredit.

9.3. Uraian Mengenai Hak atas Tanah

a.  HAK MILIK

1).  Peraturan (dasar hukumnya)

          (1) UUPA: 

  -      Pasal 20 s/d 27; pasal 50 ayat (1) dan pasal 56;

  -      Ketentuan Konversi pasal I, II, dan VII.

 (2) Luar UUPA:

- Yang  diatur  dalam  UUPA  hanya  merupakan  ketentuan 

pokok, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik belum 

diatur. Sebagai dasar hukum pemberian Hak Milik selain 

UUPA yaitu :

- UU No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah 

Pertanian;

- PP No 24/1997 pengganti PP No. 10/1961 tentang Pendaftaran 

Tanah;

- Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan 

No. 9 Tahun 1999, tentang Tata cara Pemberian dan 

164


Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan

- UU No. 41/2004 tentang wakaf jo PP No. 28/1977 tentang 

Perwakafan Hak Milik;

- UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun;

- Peraturan Kepala Badan Pertanahan No.1/2011, tentang 

Pelimpahan Kewenangan  Pemberian Hak atas Tanah dan 

Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu jo. Keppres No. 26/1988 

tentang Badan Pertanahan Nasional;

- UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah 

Beserta Benda-benda Yang  Berkaitan Dengan Tanah.

2). Pengertian

Hak Milik yaitu  hak atas tanah yang turun temurun, terkuat dan 

terpenuh. Kata “terkuat” dan “terpenuh” tidak berarti bahwa hak milik 

itu merupakan hak yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat dan tidak 

terbatas seperti Hak Eigendom, akan tetapi kata terkuat dan terpenuh itu 

dimaksudkan untuk membedakan dengan hak-hak lainnya, yaitu untuk 

menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah maka Hak Milik yang 

terkuat dan terpenuh.

a) merupakan  hak  yang  terkuat,  artinya  Hak  Milik  tidak mudah 

hapus dan musnah  serta mudah dipertahankan terhadap hak pihak 

lain, oleh sebab  itu harus didaftarkan menurut PP No. 24/1997.

b) terpenuh,  ini  menandakan  kewenangan pemegang  hak milik  itu 

paling penuh dengan dibatasi ketentuan pasal 6 UUPA tentung 

fungsi sosial tanah.

c) turun temurun,  berarti  jangka  waktunya  tidak terbatas, dapat 

beralih sebab  perbuatan  hukum dan peristiwa hukum.

Hak Milik yaitu  hak atas tanah, sebab  itu tidak meliputi pemilikan 

kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi dan yang ada 

di bawah/di dalamnya.

3).  Subjek Hak Milik

a) Menganut asas kewarganegaraan dan asas persamarataan bagi pria 

dan wanita (pasal 9 UUPA);

b) Asas umum: Perorangan (pasal 20 ayat 1 UUPA);

c) Warganegara Indonesia merupakan pelaksana  asas  kebangsaaan 

sebagai  salah  satu  dasar UUPA (pasal 21 ayat 1 UUPA);

d) WNI  Tunggal (asas khusus).  UUPA memandang seorang yang 

memiliki   2 kewarga-negaraan (dwikewarganegaraan/bipatride) 

sebagai orang asing (pasal 21 ayat 4 UUPA), sebab  pada saat 

lahirnya UUPA masih dikenal dwi-kewarganegaraan.

e) Badan-badan Hukum  tertentu  (pasal  21 ayat  2 UUPA) yang 

berdasarkan PP  38/1963  dapat memiliki  Hak Milik, yaitu:

165

Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional

 Bank-bank Pemerintah;

 Badan-badan Koperasi Pertanian;

 Badan-badan Sosial;

 Badan-badan Keagamaan.

4).  Permasalahan Hukum

 Larangan pemindahan Hak  Milik  kepada  warga negara asing, 

badan hukum Indonesia (kecuali  yang ditetapkan dalam PP No. 

38/1963) dan badan hukum asing (pasal 26 ayat 2 UUPA);

 Peristiwa hukum  yang menyebabkan beralihnya Hak Milik kepada 

pihak-pihak yang tidak berwenang sebagai pemegang Hak Milik 

seperti warga negara asing, masih diakui/diperbolehkan oleh 

UUPA dengan syarat orang asing ini  tidak boleh memegang 

Hak Milik itu lebih dari 1 tahun dan harus mengalihkannya kepada 

pihak yang memenuhi syarat.

Peristiwa hukum yang menyebabkan berakhirnya Hak Milik kepada 

WNA yaitu :

 Percampuran harta sebab  perkawinan campuran;

 Pewarisan tanpa wasiat (pewarisan ab intestato);

 WNI kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya (peralihan 

dari WNI menjadi WNA).

5).  Isi (hubungan hukum)

(1)  Wewenang penuh dibandingkan dengan hak-hak  lain, objeknya 

dapat  berupa tanah bangunan atau tanah pertanian, untuk 

itu dapat digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk 

mendirikan bangunan. Sedangkan Hak Guna Bangunan hanya 

untuk mendirikan bangunan dan Hak Guna Usaha untuk pertanian, 

perikanan dan peternakan.

(2)  Walaupun memiliki  wewenang  penuh tetapi masih ada 

pembatasan, yaitu tetap terikat pada ketentuan master plan 

(Rencana Induk) atau detail plan (Rencana Terperinci) dari Pemda 

Tingkat I, kecuali untuk daerah pertanian tidak dapat digunakan 

untuk real estate, begitu sebaliknya.

6).   Kewenangan Pemegang Hak

(1)  Dapat memakai ;

(2)  Dapat memungut hasil;

(3)  Dapat melakukan tindakan-tindakan hukum lainnya.

7).  Sifat dan Ciri-ciri

(1)  Tergolong hak yang wajib  didaftarkan menurut PP 10/1961;

166


(2)  Dapat beralih kepada ahli waris;

(3)  Dapat dialihkan;

(4)  Dapat diwakafkan;

(5)  Turun temurun;

(6)  Dapat dilepaskan;

(7)  Dapat dijadikan induk hak-hak lain;

(8)  Dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

8).  Jangka waktu

Tidak terbatas, mengingat sifatnya yang turun temurun.

9).   Terjadinya

Menurut pasal 22 UUPA, Hak Milik dapat terjadi sebab :

(1) Hukum Adat, misalnya:

a.  Pembukaan tanah bagian tanah Ulayat;

b.  Aanslibbing (lidah tanah).

(2) Penetapan Pemerintah, misalnya:

a.  Pemberian hak baru;

b.  Perubahan dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik.

(3) sebab  Undang-undang (melalui ketentuan konversi UUPA pada 

tanggal 24 September 1960).

j.   Hapusnya

Hak Milik hapus bila :

(1) Tanah menjadi tanah negara, sebab :

-  pencabutan hak;

-  dilepaskan secara suka rela;

-  dicabut untuk kepentingan umum;

-  tanahnya ditelantarkan;

-  tanahnya dialihkan kepada warga negara asing.

(2) Tanah musnah.

b.  HAK GUNA USAHA

1). Peraturan (dasar hukumnya)

(1) UUPA: 

-  pasal  28 s/d 34; pasal 50 jo. 52, pasal 51 dan 52

- Ketentuan Konversi pasal II, IV dan VII.

(2) Diluar UUPA:

 UU No. 4/1996  tentang  Hak  Tanggungan  atas  Tanah 

Beserta  Benda-benda   Yang   Berkaitan Dengan Tanah;

 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna 

Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara;

167

Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional

 PP No. 24/1997 pengganti PP No. 10/1961 tentang Pendaftaran 

Tanah;

 Keppres Nomor 32/1979  tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan 

Dalam Rangka Pemberian Hak  Baru atas Tanah Asal Konversi 

Hak Barat;

 Keppres Nomor  34/1992  tentang Pemanfaatan  Tanah 

Hak Guna Usaha Untuk Usaha  Patungan Dalam Rangka 

Penanaman Modal Asing;

 PMNA/Ka. BPN No. 2/1999, tentang Izin Lokasi yang 

menggantikan PMNA/Kepala BPN No.2/1993,  tentang Tata 

Cara Memperoleh  Izin  Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi 

Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal;

 Peraturan Kepala Badan Pertanahan No. 1/2011, tentang 

Pelimpahan Kewenangan  Pemberian Hak atas Tanah dan 

Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu jo. Keppres No. 26/1988 

tentang Badan Pertanahan Nasional

2).  Pengertian             

Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara 

selama jangka waktu tertentu guna usaha pertanian, perikanan, 

perkebunan dan peternakan.

3.  Sifat dan Ciri-ciri

(1)  Tergolong hak yang wajib  didaftarkan menurut PP no. 24/1997;

(2)  Dapat beralih kepada ahli waris;

(3)  Dapat dialihkan;

(4)  Jangka waktunya terbatas

(5)  Dapat dilepaskan oleh pemegang HGU sehingga menjadi tanah 

Negara;

(6)  Dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

4.  Jangka waktu

(1)  Tanaman keras: 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun lagi;

(2)  Tanaman muda: 25 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun lagi.

 Sesudah jangka waktu dan perpanjangan ini  berakhir, 

pemegang hak dapat mengajukan pembaharuan HGU di atas tanah 

yang sama.

Syarat permohonan perpanjangan dan pembaharuan HGU:

(1) tanahnya masih  diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, 

sifat dan tujuan pemberian hak ini ;

(2)  syarat-syarat pemberian hak ini  masih dipenuhi dengan baik 

oleh pemegang hak;

(3)  pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGU;

168


(4) diajukan  selambat-lambatnya  dua   tahun  sebelum  berakhirnya 

jangka  waktu   HGU ini .

5).  Subjek

(1)  Warganegara Indonesia;

(2)  Badan Hukum Indonesia;

(3)  Untuk  meningkatkan  penanaman  modal  asing  dalam  sektor 

perkebunan  ditetapkan berdasarkan Keppres No. 23/1980, bahwa 

Hak Guna Usaha dapat langsung diberikan kepada perusahaan 

PMA yang berbentuk Perusahaan Patungan yang didirikan menurut 

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

6).   Kewajiban dan Hak Pemegang HGU

Pemegang HGU berkewajiban untuk :

(1)  Membayar uang pemasukan kepada Negara;

(2)  Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau 

peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana 

ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;

(3)  Mengusahakan sendiri tanah  HGU dengan  baik sesuai dengan 

kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi 

teknis;

(4)  Membangun dan  memelihara  prasarana lingkungan dan fasilitas 

tanah yang ada dalam lingkungan areal HGU;

(5)  Memelihara  kesuburan  tanah,  mencegah  kerusakan  sumber 

daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup 

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(6)  Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai 

penggunaan HGU;

(7)  Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada 

Negara sesudah HGU ini  hapus;

(8)  Menyerahkan sertipikat HGU yang telah hapus kepada Kepala 

Kantor Pertanahan.

Pemegang HGU berhak untuk :

(1)  Menguasai  dan mempergunakan  tanahnya  untuk  melaksanakan 

usaha di bidang pertanian, perikanan dan atau peternakan;

(2)  Penguasaan dan  penggunaan  sumber  air dan sumber daya alam 

lainnya di atas tanah HGU untuk mendukung pelaksanaan usaha 

pada nomor (1).

7).  Luas Tanah

(1)  Minimum 5 hektar (pasal 28 UUPA jo. Pasal 5 PP 40/1996);

(2)  Maksimum :

169

Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional

-   untuk perorangan: 25 hektar;

-  untuk badan hukum: ditetapkan oleh Menteri Agraria 

dengan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dan luas 

tanah yang diperlukan untuk usaha ini .

8).  Terjadinya

-  Jika asal tanah yaitu  Tanah Negara, maka terjadinya yaitu  

melalui permohonan hak;

-  Jika   berasal  dari  tanah  yang   telah  dikuasai  dengan hak tertentu, 

terlebih dahulu harusmelakukan pelepasan hak ini  dengan 

diikuti permohonan hak.

 Bila di atas tanah yang akan diberikan HGU itu ada  tanaman 

dan/atau bangunan milik pihak lain dengan alas hak yang sah, 

pemegang HGU baru harus membayar ganti rugi.

9.   Peralihan Hak Guna Usaha

(1)  jual beli;

(2)  tukar menukar;

(3)  penyertaan dalam modal;

(4)  hibah;

(5)  pewarisan.

Peralihan ini  harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 

Peralihan sebab  jual beli kecuali melalui lelang, tukar menukar, 

penyertaan dalam modal dan hibah dilakukan dengan akta PPAT.( PPAT 

HGU yaitu  Direktur Pendafataran Tanah BPN Pusat).

Sedangkan jual beli melalui lelang dibuktikan dengan Berita Acara 

Lelang, dan peralihan sebab  pewarisan dibuktikan dengan surat wasiat 

atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

10).   Hapusnya

(1)  Jangka waktunya berakhir;

(2)  Dibatalkan sebab  syarat tidak terpenuhi;

(3)  Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya sebelum jangka 

waktu berakhir;

(4)  Dicabut untuk kepentingan umum (UU No. 20/1961);

(5)  Tanahnya ditelantarkan;

(6)  Tanahnya musnah;

(7)  Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HGU. 

c.  HAK GUNA BANGUNAN

1). Peraturan (dasar hukumnya)

 (1) UUPA: 

170


  -  pasal  35 s/d 40,  pasal  50 jo. 52, pasal 55;

  -  Ketentuan Konversi pasal I (3) dan (4),  pasal II, V dan pasal 

VIII  (1).

(2) Luar UUPA:

 PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah;

 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan 

No. 9 Tahun 1999, tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan 

Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang 

menggantikan PMDN No. 5/1973  tentang Ketentuan Mengenai 

Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah;

 PMDN No. 2/1984  tentang  Penyediaan dan Pemberian Hak 

Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan 

Perumahan dengan Fasilitas KPR dari Bank Tabungan Negara;

 PMNA/Ka. BPN No. 2/1999, tentang Izin Lokasi yang 

menggantikan PMNA/Kepala BPN No.2/1993,  tentang Tata 

Cara Memperoleh  Izin  Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi 

Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal;

 PP  No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna 

Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara.

 UU Nomor  4/1996  tentang  Hak Tanggungan  atas  Tanah 

Beserta Benda-benda Yang Berkaitan  Dengan Tanah.

 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1/2011 

tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah 

dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu jo. Keppres No. 

26/1998 tentang Badan Pertanahan Nasional.

2).  Pengertian             

Hak Guna Bangunan (HGB) yaitu  hak untuk mendirikan dan memiliki  

bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu 

tertentu (pasal 35 ayat 1 UUPA).

3).  Sifat dan Ciri-ciri

(1)  Tergolong hak yang wajib  didaftarkan menurut PP 24/1997;

(2)  Dapat  beralih;  

 terjadi  sebab   peristiwa hukum, misalnya pewarisan tanpa wasiat 

atau  percampuran harta sebab  perkawinan campuran.

(3)  Dapat  dialihkan; 

 terjadi  sebab   subjek  hukum  melakukan  suatu  perbuatan 

hukum, misalnya melakukan perjanjian jual beli, hibah, penukaran, 

pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang 

bermaksud untuk memindahkan hak penguasaan atas tanah.

(4)  Jangka waktunya terbatas

(5)  Dapat dilepaskan oleh pemegang HGB sehingga menjadi tanah 

Negara;

171

Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional

(6)  Dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

4).  Jangka waktu

-  Untuk  HGB  di atas  Tanah  Negara  atau  tanah  Hak  Pengelolaan, 

maksimum  30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi (pasal 

35 ayat 1 UUPA jo. Pasal 25 PP 40/1996);

-  Sedangkan  untuk HGB  di atas tanah Hak Milik, paling lama 30 

tahun (pasal 29 ayat 1 PP 40/1996).

 Atas kesepakatan pemegang Hak Milik dan pemegang HGB, maka 

HGB atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui  dengan akta PPAT 

dan didaftar di Kantor pertanahan.

 Sesudah jangka waktu dan perpanjangan ini  berakhir, 

pemegang HGB di atas tanah Negara dapat mengajukan 

pembaharuan hak.

Adapun syarat permohonan perpanjangan dan pembaharuan HGB:

(1) tanahnya  masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, 

sifat dan tujuan pemberian hak ini ;

(2)  syarat-syarat pemberian hak ini  masih dipenuhi dengan baik 

oleh pemegang hak;

(3)  pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB;

(4)  tanah ini  masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah 

yang bersangkutan;

(5)  permohonan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum 

berakhirnya jangka waktu HGB  ini .

Untuk perpanjangan atau pembaharuan HGB atas tanah Hak Pengelolaan, 

selain dengan syarat ini  di atas, harus dengan persetujuan dari 

pemegang Hak Pengelolaan.

5).  Subjek 

(1)  Warganegara Indonesia;

(2)  Badan Hukum Indonesia;

(3)  Perusahaan Patungan (PMA), jika  memerlukan tanah untuk 

keperluan emplasemen, bangunan pabrik, dan lain-lain (Keppres 

No. 34/1992)

6).   Kewajiban dan Hak Pemegang HGB

Pemegang HGB berkewajiban untuk :

(1)  Membayar uang pemasukan kepada Negara;

(2)  memakai  tanah sesuai dengan peruntukkan;

(3)  Memelihara dengan  baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya 

serta menjaga kelestarian hidup;

(4)  Memberikan  jalan  keluar  atau  jalan  air  atau  kemudahan  lain 

bagi  pekarangan atau bidang tanah yang terkurung sebab  keadaan 

geografis atau sebab lain;

172


(5)  Menyerahkan  kembali  tanah yang  diberikan  dengan HGB  kepada 

Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik 

sesudah HGB ini  hapus;

(6)  Menyerahkan sertipikat HGB yang telah hapus kepada Kepala 

Kantor Pertanahan.

Pemegang HGB berhak untuk :

(1)  Menguasai  dan mempergunakan tanahnya selama waktu tertentu 

untuk mendirikan dan memiliki  bangunan untuk keperluan 

pribadi atau usahanya; serta

(2)  Mengalihkan hak ini  kepada pihak lain dan membebaninya.

7).  Luas Tanah

Tidak ada pembatasan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan hanya 

ada ketentuan bahwa jika  satu keluarga telah memiliki   5 (lima) 

sertipikat tanah maka untuk setiap perubahannya harus mendapat izin 

dari BPN.

8).  Terjadinya

-  Jika asal tanah yaitu  Tanah Negara, maka terjadinya yaitu  

melalui permohonan hak;

-  Jika berasal dari tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu (Hak 

Milik dan Hak Pengelolaan) maka terjadinya melalui perjanjian 

antara pemilik tanah ini  dengan pihak yang akan memperoleh 

HGB.

9).   Peralihan Hak Guna Bangunan

(1)  jual beli;

(2)  tukar menukar;

(3)  penyertaan dalam modal;

(4) hibah;

(5)  pewarisan.

10).   Hapusnya

(1)  Jangka waktunya berakhir;

(2)  Dibatalkan sebab  syarat tidak terpenuhi;

(3)  Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya sebelum jangka 

waktu berakhir;

(4)  Dicabut untuk kepentingan umum (UU No. 20/1961);

(5)  Tanahnya ditelantarkan;

(6)  Tanahnya musnah;

(7)  Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HGB.

173

Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional

d.   HAK PAKAI

1). Peraturan (dasar hukumnya)

(1)  UUPA: 

  -  pasal  41 s/d 43,  pasal 49 ayat 1, pasal 50 ayat 2 jo. Pasal 52;

(2) Luar UUPA:

 UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta 

Benda-benda Yang   Berkaitan Dengan Tanah;

 PP No. 40 Tahun 1996  tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna 

Bangunan dan Hak Pakai atas  Tanah Negara;

 PP No. 41 Tahun 1996  tentang  Pemilikan  Rumah Tempat 

Tinggal  atau  Hunian  oleh Orang  Asing Yang Berkedudukan 

di Indonesia;

 Pasal 1 PMA No. 9/1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak 

atas Tanah dan Ketentuan -ketentuan tentang Kebijaksanaan 

selanjutnya;

 PMA No. 1/1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak 

Pengelolaan;

 PP no. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah

 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan 

No. 9 Tahun 1999, tentang Tata cara Pemberian dan 

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan; 

 UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun;

 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1/2011 

tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas 

Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu jo. Keppres 

No. 26/1998 tentang Badan Pertanahan Nasional.

2).  Pengertian dan Isi             

Hak Pakai (pasal 41 UUPA) yaitu  hak untuk memakai  dan/atau 

memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau 

tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang 

ditentukan dalam surat keputusan pemberian haknya (tanah negara) atau 

dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa 

menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (tanah milik orang lain).

Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Pakai yaitu  

hak atas tanah bangunan dan tanah pertanian.

-  Kata “memakai ”,  menunjukkan  bahwa  tanah  itu dapat 

digunakan untuk  bangunan (sebagai  wadah);

-  kata “memungut hasil” menunjukkan bahwa tanah dapat 

digunakan untuk usaha pertanian (sebagai  faktor produksi).

3).  Sifat dan Ciri-ciri

(1)  Tergolong hak yang wajib  didaftarkan;

174


(2)  Dapat dialihkan;

 Menurut  pasal 43 UUPA, Hak Pakai dapat dialihkan kepada pihak 

lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak Pakai atas tanah 

Hak Milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain jika hal itu 

dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

 sesudah  berlakunya PMA no. 9/1965 jo. PMA no. 1/1966 yang 

menetapkan bahwa Hak Pakai atas tanah negara termasuk hak 

yang wajib  didaftarkan, maka Hak Pakai boleh dialihkan kepada 

pihak lain; 

(3)  Dapat diberikan dengan cuma-cuma,  dengan  pembayaran atau 

pemberian jasa berupa apapun (pasal 41 ayat 2 UUPA)

(4)  Dapat dilepaskan;

(5)  Dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

4).  Jangka waktu

(1)  Untuk penggunaan umum

-  atas  tanah  Negara  dan tanah Hak Pengelolaan yaitu   25 tahun, 

dapat   diperpanjang  20 tahun  dan dapat diperbaharui

-  atas tanah Hak Milik yaitu  25 tahun dan tidak dapat 

diperpanjang.

 Dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan 

akta PPAT dan didaftar di Kantor Pertanahan.

(2)  Hak  Pakai  dapat  diberikan selama dipergunakan untuk keperluan 

khusus, yaitu kepentingan instansi pemerintah, keagamaan, sosial 

serta perwakilan negara asing dan badan internasional.

5).  Subjek 

(1)  Warganegara Indonesia;

(2)  Badan Hukum Indonesia;

(3)  Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan 

Pemerintah Daerah;

(4)  Badan-badan keagamaan dan sosial;

(5)  Warganegara asing yang berkedudukan di Indonesia;

(6)  Badan hukum asing yang memiliki  perwakilan di Indonesia;

(7)  Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.

6).   Kewajiban dan Hak  Pemegang Hak Pakai

Pemegang Hak Pakai berkewajiban untuk :

(1)  Membayar uang pemasukan kepada Negara;

(2)  memakai  tanah sesuai dengan peruntukkan dan persyaratan;

(3)  Memelihara  dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya 

serta menjaga kelestarian hidup;

(4)  Memberikan   jalan   keluar   atau   jalan  air atau kemudahan lain 

175

Hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional

bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung sebab  keadaan 

geografis atau sebab lain;

(5)  Menyerahkan kembali  tanah  yang  diberikan dengan  Hak Pakai 

kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak 

Milik  sesudah Hak Pakai ini  hapus;

(6)  Menyerahkan sertipikat Hak Pakai  yang telah hapus kepada Kepala 

Kantor Pertanahan.

Pemegang Hak Pakai berhak untuk :

(1)  Menguasai dan mempergunakan tanahnya  selama waktu tertentu 

untuk mendirikan dan memiliki  bangunan untuk keperluan 

pribadi atau usahanya; serta

(2)  Mengalihkan hak ini  kepada pihak lain dan membebaninya.

7).  Luas Tanah

(1)  Untuk tanah bangunan : tidak terbatas;

(2)  Untuk tanah pertanian : dibatasi dengan UU No. 56/Prp/1960.

8).  Terjadinya (pasal 41 ayat 1)

-  Jika asal tanah  yaitu   Tanah  Negara,  maka  terjadinya  yaitu  

melalui permohonan hak dengan Surat Keputusan Pemberian Hak 

(SKPH);

-  Jika   berasal  dari   tanah   yang   telah  dikuasai  dengan  hak 

tertentu (Hak Milik dan Hak Pengelolaan) maka terjadinya melalui 

perjanjian antara pemilik tanah ini  dengan pihak yang akan 

memperoleh Hak Pakai;

-  Berasal dari konversi hak-hak lama pada tanggap 24 September 

1960.

9).   Hapusnya

(1)  Jangka waktunya berakhir;

(2)  Dibatalkan sebab  syarat tidak terpenuhi;

(3)  Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya sebelum jangka 

waktu berakhir;

(4)  Dicabut untuk kepentingan umum (UU No. 20/1961);

(5)  Tanahnya ditelantarkan;

(6)  Tanahnya musnah;

(7)  Pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HGB. 

e.  HAK PENGELOLAAN

1). Peraturan (dasar hukumnya)

(1) UUPA: 

 Di  dalam UUPA  tidak  dituliskan  secara  tegas, hanya  disinggung 

176


dalam Penjelasan Umum bagian  A II (2).

(2) Luar UUPA:

 PP No. 8/1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara;

 PMA Nomor  9/1965  tentang  Pelaksanaan  Konversi  Hak 

atas Tanah dan Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan 

selanjutnya;

 PMDN No. 5/1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai 

Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan 

Perusahaan;

 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan 

No. 9 Tahun 1999, tentang Tata cara Pemberian dan 

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;

 PMA No. 1/1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak 

Pengelolaan;

 PMDN No. 3/1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak 

Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan 

Perumahan

 PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha,