• www.coklatx.blogspot.com

    www.coklatx.blogspot.com

  • www.kacangx.blogspot.com

    www.kacangx.blogspot.com

  • www.berasx.blogspot.com

    www.berasx.blogspot.com

Sapiens 15


 nyebaran imperium-imperium 

Eropa meningkatkan sangat besar kekuatan kolektif manusia, 

dengan penyebaran ide-ide, teknologi, dan panen, serta membuka 

jalan-jalan baru bagi perdagangan. Namun, ini nyaris bukan 

berita bagus bagi jutaan orang Afrika, pribumi Amerika, dan 

Aborigin Australia.

Kalau melihat kecenderungan manusia yang sudah terbukti 

untuk menyalahgunakan kekuatannya, tampaknya naif untuk 

percaya bahwa semakin besar pengaruh yang dimiliki manusia, 

semakin bahagia mereka.

Sebagian penentang pandangan ini mengambil posisi yang 

berlawanan secara diametris. Mereka mengemukakan korelasi 

terbaik antara kapabilitas manusia dan kebahagiaan. Kekuasaan 

itu korup, kata mereka, dan saat  manusia mendapatkan semakin 

banyak kekuasaan, hal itu menciptakan dunia mekanistik dingin 

yang kurang cocok dengan kebutuhan-kebutuhan riil kita. Evolusi 

membentuk pikiran dan tubuh kita untuk kehidupan pemburu-

penjelajah. Transisi pertama pada agrikultur dan kemudian pada 

industri telah mengutuk kita untuk hidup secara tidak alamiah 

yang tidak bisa memberi ruang penuh inklinasi inheren dan 

naluri sehingga kita tidak bisa memuaskan kerinduan-kerinduan 

yang paling dalam. Tidak ada dalam kehidupan yang nyaman 

kelas menengah urban yang bisa mendekati kegembiraan 

dan kesenangan lepas yang dialami satu kawanan penjelajah 

saat  berhasil memburu mamut. Setiap penemuan baru hanya 

membentangkan satu mil jarak antara kita dan Surga Eden.

namun  penekanan romantik ini untuk melihat bayangan 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

449

gelap di balik setiap penemuan yaitu  sedogmatik keyakinan 

pada tidak terelakkannya kemajuan. Mungkin kita kehilangan 

rasa pada sisi dalam pemburu-penjelajah kita, namun  itu tidak 

buruk. Misalnya, selama dua abad terakhir, kedokteran modern 

telah menurunkan angka kematian anak dari 33 persen menjadi 

di bawah 5 persen. Bisakah orang meragukan bahwa ini memberi 

kontribusi besar bagi kebahagiaan tidak hanya bagi anak-anak 

itu yang jika tidak terjadi kamajuan sudah mati, namun  juga pada 

keluarga dan kerabat mereka?

Posisi yang lebih bernuansa mengambil jalan tengah. Hingga 

masa Revolusi Saintifik tidak ada korelasi yang jelas antara 

kekuasaan dan kebahagiaan. Para petani abad pertengahan 

benar-benar lebih merana ketimbang pendahulu mereka, para 

pemburu-penjelajah. Namun, dalam beberapa abad terakhir ini 

manusia sudah tahu bagaimana memakai  kapasitas mereka 

secara lebih bijaksana. Kemenangan-kemenangan kedokteran 

modern hanyalah salah satu contoh. Prestasi-prestasi lain yang 

tanpa preseden mencakup menurunnya kekerasan secara drastis, 

hilangnya perang-perang internasional, dan hampir punahnya 

bencana kelaparan berskala besar.

namun  ini pun sebuah penyederhanaan yang berlebihan. 

Pertama-tama, pandangan itu mendasarkan penilaian optimistisnya 

pada sampel tahun-tahun yang sangat sedikit. Mayoritas manusia 

mulai menikmati buah dari kedokteran modern tidak lebih awal 

dari tahun 1850, dan drastisnya penurunan angka kematian 

anak yaitu  fenomena abad ke-20. Kelaparan-kelaparan massal 

terus melanda banyak manusia sampai pertengahan abad ke-20. 

Selama Lompatan Besar Maju Komunis China tahun 1958–1961, 

antara 10 sampai 50 juta manusia kelaparan sampai mati. Perang-

perang internasional menjadi jarang terjadi baru setelah 1945, 

terutama berkat ancaman baru pemusnahan oleh nuklir. Oleh 

sebab  itu, meskipun beberapa dekade terakhir ini telah menjadi 

masa keemasan yang belum ada presedennya bagi kemanusiaan, 

terlalu dini untuk mengetahui apakah ini merepresentasi peralihan 

fundamental arus sejarah atau hanya sebuah pusaran nasib baik 

yang fana. saat  menilai modernitas, terlalu menggoda untuk 

mengambil sudut pandang kelas menengah abad ke-21 di kalangan 


 

450

orang Barat. Kita tidak boleh melupakan sudut pandang dari 

abad ke-19. Para penambang batubara Wales, pecandu opium 

China, atau aborigin Tasmania. Truganini tidak kurang pentingnya 

ketimbang Homer Simpson.

Kedua, bahkan masa keemasan singkat setengah abad 

terakhir terbukti bisa menanam bibit-bibit bencana masa depan. 

Selama beberapa dekade terakhir ini, kita telah mengganggu 

keseimbangan ekologis planet kita dalam banyak sekali cara-

cara baru, yang tampaknya akan disertai akibat-akibat buruk. 

Banyak bukti menunjukkan bahwa kita sedang menghancurkan 

fondasi kesejahteraan manusia dalam sebuah pesta pora konsumsi 

ceroboh. 

Akhirnya, kita bisa membanggakan diri atas pencapaian-

pencapaian tanpa preseden Sapiens modern hanya jika kita benar-

benar mengabaikan nasib seluruh binatang lain. Banyak kekayaan 

material membanggakan yang melindungi kita dari penyakit dan 

kelaparan diakumulasi dengan mengorbankan monyet-monyet 

laboratorium, sapi-sapi perah, dan ayam-ayam sabuk pengukur. 

Puluhan juta binatang itu telah menjadi sasaran selama dua abad 

terakhir ini bagi rezim eksploitasi industri, yang kejahatannya 

tidak ada preseden dalam sejarah Planet Bumi. Jika kita menerima 

hanya sepersepuluh saja dari apa yang diklaim oleh para aktivis 

hak-hak binatang, maka agrikultur industri modern mungkin 

menjadi kejahatan terbesar dalam sejarah. saat  mengevaluasi 

kebahagiaan global, maka salah kalau memperhitungkan 

kebahagiaan hanya pada kelas atas, kebahagiaan orang Eropa, 

atau kebahagiaan kaum laki-laki. Mungkin salah juga kalau hanya 

mempertimbangkan kebahagiaan manusia.

Menghitung Kebahagiaan

Sejauh ini kita telah membahas kebahagiaan seakan-akan ia hanya 

produk dari faktor-faktor material, seperti kesehatan, diet, dan 

kekayaan. Jika orang yang lebih kaya dan lebih sehat, maka 

mereka pasti juga lebih bahagia. Namun, apakah hal itu benar-

benar jelas? Para filsuf, pendeta, dan penyair telah merenungkan 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

451

sifat kebahagiaan selama beribu-ribu tahun, dan banyak yang 

menyimpulkan bahwa faktor-faktor sosial, etik, dan spiritual 

memiliki dampak yang sama besarnya pada kebahagiaan dengan 

kondisi-kondisi material. Mungkin orang-orang di warga -

warga  modern yang makmur sangat menderita akibat 

keterasingan dan ketidakbermaknaan walaupun mereka makmur. 

Dan, mungkin para leluhur yang kurang sejahtera menemukan 

banyak kebahagiaan dalam warga , agama, dan keterikatan 

pada alam. 

Dalam beberapa dekade terakhir ini, para psikolog dan 

ahli biologi mengambil tantangan mempelajari secara saintifik 

apa yang benar-benar membuat orang bahagia. Apakah uang, 

keluarga, genetika, atau mungkin kebijaksanaan? Langkah pertama 

yaitu  mendefinisikan apa yang harus diukur. Definisi yang 

diterima secara umum tentang kebahagiaan yaitu  “kesejahteraan 

subjektif ”. Kebahagiaan, menurut pandangan ini, yaitu  sesuatu 

yang saya rasakan di dalam diri saya sendiri, suatu perasaan 

entah itu kesenangan sesaat  atau kesenangan jangka panjang 

dengan keadaan yang berlangsung dalam hidup saya. Jika itu 

sesuatu yang dirasakan di dalam, bagaimana bisa diukur dari 

luar? Mungkin saja, kita bisa melakukannya dengan meminta 

orang mengatakan kepada kita bagaimana perasaan mereka. 

Maka, para ahli psikologi dan biologi yang ingin menilai seberapa 

orang merasa bahagia memberi mereka kuesioner untuk diisi 

dan hasil-hasilnya dihitung.

Kuesioner tentang kesejahteraan subjektif biasanya meminta 

responden untuk memberi nilai dengan rentang angka nol 

sampai sepuluh sesuai dengan jawaban yang mereka pilih, seperti 

“Saya merasa bahagia dengan keadaan saya”, “Saya merasa 

kehidupan saya sangat membahagiakan”, “Saya optimistik tentang 

masa depan” dan “Kehidupan ini baik”. Peneliti kemudian 

menjumlahkan semua jawaban dan mengalkulasi tingkat umum 

kesejahteraan subjektif responden.

Kuesioner-kuesioner semacam itu dipakai  dalam rangka 

mengorelasikan kebahagiaan dengan berbagai faktor objektif. 

Satu studi mungkin membandingkan 1.000 orang yang 

berpenghasilan $100.000 setahun dengan 1.000 orang yang 

berpenghasilan $50.000. Jika studi menemukan bahwa kelompok 

pertama memiliki rata-rata level kesejahteraan subjektif level 

8,7, sedang  kelompok kedua memiliki rata-rata hanya 7,3, 

maka peneliti bisa menyimpulkan secara layak bahwa ada 

korelasi positif antara kekayaan dan kesejahteraan subjektif. 

Maka, dalam ungkapan bahasa Inggris sederhana bisa dikatakan, 

uang membawa kebahagiaan. Metode yang sama bisa dipakai  

untuk menguji apakah orang-orang yang hidup dalam negara 

demokrasi lebih bahagia daripada orang-orang yang hidup dalam 

kediktatoran, dan apakah orang yang menikah lebih bahagia 

ketimbang orang yang masih lajang, duda, atau janda.

Ini memberi dasar bagi para sejarawan, yang bisa menguji 

kekayaan, kebebasan politik, dan angka perceraian pada masa 

lalu. Jika orang lebih bahagia dalam demokrasi, dan orang 

menikah lebih bahagia daripada yang cerai, seorang sejarawan 

punya basis untuk mengemukakan bahwa proses demokratisasi 

dalam beberapa dekade terakhir berkontribusi pada kebahagiaan 

manusia, sedang  naiknya angka perceraian menunjukkan 

kecenderungan sebaliknya. Cara berpikir seperti ini bukan tanpa 

cacat, namun  sebelum menunjuk lubang-lubang itu, ada baiknya 

mempertimbangkan temuan-temuan itu.

Satu kesimpulan yang menarik yaitu  bahwa uang memang 

membawa kebahagiaan. Namun, hanya pada suatu titik dan 

di luar titik itu signifikansinya kecil. Bagi orang-orang yang 

terjebak di tangga ekonomi terbawah, semakin banyak berarti 

semakin besar kebahagiaan. Jika Anda seorang ibu tunggal di 

Amerika dengan pendapatan $12.000 setahun sebagai tukang 

bersih-bersih rumah, dan Anda tiba-tiba menang lotre $500.000, 

Anda mungkin mengalami sebuah lonjakan signifikan dan 

jangka panjang dalam hal kesejahteraan subjektif. Anda akan 

bisa memberi makan dan membeli pakaian untuk anak-anak 

tanpa tenggelam lebih jauh ke dalam lilitan utang. Namun, jika 

Anda seorang eksekutif kelas atas dengan pendapatan $250.000 

setahun dan Anda menang lotre $1 juta, atau dewan komisaris 

perusahaan Anda tiba-tiba memutuskan melipatgandakan gaji 

Anda, lompatan Anda mungkin berlangsung hanya beberapa 

pekan. Menurut temuan-temuan empiris, hampir pasti keadaan 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya


seperti itu tidak akan mendatangkan perubahan besar perasaan 

Anda dalam jangka panjang. Anda akan membeli mobil yang 

lebih mentereng, pindah ke rumah megah, terbiasa minum 

Chateau Pétrus dan tidak lagi California Cabernet, namun  itu 

segera terasa menjadi rutinitas dan tidak istimewa.

Temuan menarik lainnya yaitu  bahwa sakit menurunkan 

kebahagiaan dalam jangka panjang, namun  menjadi sumber tekanan 

jangka panjang hanya jika kondisi seseorang terus memburuk 

atau jika penyakit itu melibatkan rasa nyeri terus-terusan dan 

melemahkan. Orang-orang yang didiagnosis sakit kronis seperti 

diabetes biasanya tertekan sejenak, namun  jika sakitnya tidak 

memburuk, mereka menyesuaikan diri ke kondisi baru dan tingkat 

kebahagiaan mereka masih sama tingginya dengan orang sehat. 

Bayangkan bahwa Lucy dan Luke yaitu  kembar kelas menengah, 

yang setuju ikut ambil bagian dalam sebuah studi kesejahteraan 

subjektif. Dalam perjalanan pulang dari laboratorium psikologi, 

mobil Lucy tertabrak bus, memicu  sejumlah tulang Lucy 

patah dan kaki lumpuh permanen. Tepat setelah regu penyelamat 

mengangkat dia dari dalam rongsokan, telepon berdering dan 

Luke berteriak bahwa dia menang jackpot $10.000.000. Dua 

tahun kemudian Lucy jalan pincang dan Luke menjadi semakin 

kaya raya, namun  saat  psikolog datang untuk lanjutan studi, 

mereka berdua mungkin memberi  jawaban yang sama saat 

mereka menjawab pada pagi itu.

Keluarga dan komunitas tampaknya memiliki dampak lebih 

besar pada kebahagiaan ketimbang uang dan kesehatan. Orang-

orang yang hidup dalam ikatan kuat keluarga dalam komunitas 

yang erat dan suportif secara signifikan lebih bahagia ketimbang 

orang-orang yang keluarganya mengalami disfungsi dan yang tidak 

pernah menemukan (atau tidak pernah berusaha menjadi bagian 

dari) komunitas. Pernikahan terutama sangat penting. Berulang-

ulang studi telah menemukan bahwa ada korelasi yang sangat 

erat antara pernikahan yang baik dan kesejahteraan subjektif, 

dan antara pernikahan yang buruk dan penderitaan. Ini berlaku 

terlepas dari kondisi ekonomi atau bahkan fisik. Seorang cacat 

melarat yang dikelilingi pasangan penuh cinta, sebuah keluarga 

yang pengasih dan komunitas yang hangat bisa merasa lebih baik 


 

454

ketimbang seorang miliuner terasing, asalkan kemiskinan orang 

cacat itu tidak terlalu parah dan bahwa sakitnya tidak merusak 

dan tidak menyakitkan.

Ini memunculkan kemungkinan bahwa perbaikan besar 

kondisi material dalam dua abad terakhir ini terimbangi oleh 

runtuhnya keluarga dan komunitas. Jika demikian, rata-rata 

orang kini mungkin tidak lebih bahagia ketimbang tahun 1800. 

Bahkan, kebebasan yang kita hargai begitu tinggi mungkin 

justru merugikan kita. Kita bisa memilih pasangan, sahabat, 

dan tetangga, namun  mereka bisa memilih untuk meninggalkan 

kita. Dengan pengerahan individual kekuatan yang tak pernah 

ada sebelumnya bagi pasangan kita untuk memutuskan hidup 

sendiri, kita tahu bahwa semakin sulit untuk membuat komitmen 

lagi. Maka, kita hidup dalam dunia yang semakin sunyi akibat 

bubarnya komunitas dan keluarga.

namun  temuan yang paling penting yaitu  bahwa 

kebahagiaan tidak benar-benar bergantung pada kondisi-kondisi 

objektif, entah kekayaan, kesehatan, atau bahkan komunitas. 

Namun, ia tergantung pada korelasi antara kondisi-kondisi 

objektif dan ekspektasi-ekspektasi subjektif. Jika Anda ingin 

sebuah pedati lembu dan dapat pedati lembu, Anda bahagia. 

Jika Anda ingin Ferrari terbaru dan hanya dapat Fiat bekas, 

Anda merasa kecewa. Inilah kenapa menang lotre selalu memiliki 

dampak yang sama pada kebahagiaan orang sebagaimana 

kecelakaan mobil yang melumpuhkan. saat  keadaan membaik, 

ekspektasi-ekspektasi menggelembung, dan akibatnya bahkan 

perbaikan-perbaikan dramatis dalam hal kondisi-kondisi objektif 

membuat kita tetap tidak puas. saat  keadaan memburuk, 

ekspektasi-ekspektasi surut, dan akibatnya bahkan sakit parah 

mungkin membuat Anda tetap bahagia sebagaimana sebelumnya.

Anda mungkin mengatakan kita tidak membutuhkan 

segerombol psikolog dan kuesioner-kuensionernya untuk 

menemukan ini. Para nabi, penyair, dan filsuf mengetahui ribuan 

tahun lalu bahwa puas dengan apa yang sudah Anda dapatkan 

jauh lebih penting ketimbang mendapatkan lebih banyak dari 

yang Anda inginkan. Tetap saja bagus kalau riset modern—yang 

didukung banyak angka dan bagan-bagan—mencapai kesimpulan 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

yang sama dengan orang-orang kuno.

Makna krusial dari ekspektasi-ekspektasi manusia memiliki 

implikasi yang jauh dalam memahami sejarah kebahagiaan. Jika 

kebahagiaan bergantung hanya pada kondisi-kondisi objektif 

seperti kekayaan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial, mestinya 

relatif mudah untuk menelusuri sejarahnya. Temuan bahwa ia 

bergantung pada ekspektasi-ekspektasi subjektif membuat tugas 

para sejarawan menjadi jauh lebih sulit. Kita orang-orang modern 

memiliki segudang obat penenang dan pereda rasa sakit, namun  

ekspektasi-ekspektasi kita akan kemudahan dan kesenangan, 

dan intoleransi kita pada ketidakenakan dan ketidaknyamanan, 

meningkat sampai ke titik yang bisa membuat kita sangat 

menderita akibat sakit lebih dari yang dirasakan oleh para 

leluhur kita.

Sulit untuk menerima garis pemikiran ini. Problemnya 

yaitu  kekeliruan nalar yang melekat nun di dasar sanubari 

kita. saat  kita berusaha menerka atau membayangkan betapa 

bahagia orang lain saat ini, atau betapa bahagia orang pada 

masa lampau, tak terelakkan kita pun membayangkan diri kita 

dalam sepatu mereka. Namun, itu tidak akan berhasil sebab  

kita menempatkan ekspektasi pada kondisi-kondisi material orang 

lain. Dalam warga -warga  makmur modern lazim mandi 

dan berganti pakaian setiap hari. Para petani abad pertengahan 

tidak mencuci baju berbulan-bulan, dan hampir tidak berganti 

pakaian. Pemikiran tentang hidup seperti itu, kotor dan bau 

sampai menusuk tulang, membuat kita merasa jijik. Namun, 

para petani abad pertengahan tampaknya tidak hirau. Mereka 

biasa merasakan dan mencium aroma baju yang tak dicuci. 

Yang terjadi bukan mereka tidak ingin ganti baju, melainkan 

tak punya—mereka bisa dapatkan apa yang mereka inginkan. 

Jadi, sekurang-kurangnya dalam urusan berpakaian ini, mereka 

senang-senang saja.

Itu tidak mengejutkan saat  Anda memikirkannya. Lagi 

pula, simpanse sepupu kita jarang mandi dan tidak pernah ganti 

baju. Kita pun tidak jengkel dengan fakta bahwa piaraan kita, 

anjing dan kucing, tidak mandi atau ganti jubah setiap hari. Kita 

tepuk, peluk, dan cium mereka tidak apa-apa. Anak-anak kecil di 


 

456

warga  makmur sering tidak suka mandi, dan butuh waktu 

bertahun-tahun pendidikan dan disiplin keorangtuaan untuk 

mengadopsi ini sebagai kebiasaan yang dipandang menarik. Itu 

semua hanya masalah ekspektasi.

Jika kebahagiaan ditentukan oleh ekspektasi-ekspektasi, 

maka dua pilar warga  kita—media massa dan industri 

periklanan—mungkin secara tidak sadar menipiskan cadangan 

kebahagiaan dunia. Jika Anda seorang pemuda berusia 18 tahun 

di sebuah desa 5.000 tahun lalu, Anda mungkin berpikir Anda 

berpenampilan menarik sebab  hanya ada 50 pria di desa Anda 

dan sebagian besar dari mereka kalau bukan tua, bergores dan 

keriput, atau masih anak-anak kecil. Namun, jika Anda seorang 

remaja masa kini, sangat mungkin Anda merasa tidak pantas. 

Sekalipun pemuda-pemuda lain di sekolah lebih buruk, Anda 

tidak mengukur diri dengan mereka, tapi dengan bintang film, 

atlet, dan supermodel yang Anda lihat sepanjang hari di televisi, 

Facebook, dan papan-papan iklan raksasa.

Maka, mungkin ketidakbahagiaan Dunia Ketiga tidak 

disebabkan semata-mata oleh kemiskinan, penyakit, korupsi, 

dan penindasan politik, namun  juga oleh hanya paparan standar-

standar Dunia Kesatu. Rata-rata orang Mesir jauh lebih kecil 

kemungkinan mati akibat kelaparan, wabah, atau kekerasan 

di bawah Hosni Mubarak ketimbang di bawah Ramses II atau 

Cleopatra. Belum pernah kondisi Mesir begitu bagus. Anda akan 

berpikir mereka mestinya menari di jalan-jalan pada tahun 2011, 

bersyukur kepada Allah atas nasib baik mereka. Namun, mereka 

bangkit dengan marah untuk menggulingkan Mubarak. Mereka 

tidak membandingkan diri mereka dengan para leluhur di bawah 

Fir’aun, namun  pada sesama di Amerikanya Obama. Jika demikian 

halnya, bahkan imortalitas bisa mengarah pada ketidakbahagiaan. 

Taruhlah sains datang dengan pengobatan untuk semua penyakit, 

terapi-terapi antipenuaan yang efektif, dan perawatan-perawatan 

regeneratif yang membuat orang tetap muda tanpa batas. Dalam 

semua kemungkinan itu, hasil langsungnya yaitu  epidemi 

kemarahan dan kecemasan yang tak ada presedennya.

Mereka yang tak sanggup membeli perawatan-perawatan ajaib 

itu—mayoritas orang—akan memendam kemarahan. Sepanjang 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

457

sejarah, orang miskin dan tertindas menghibur diri dengan 

pikiran bahwa setidak-tidaknya kematian itu adil—bahwa orang 

kaya dan kuat juga akan mati. Orang miskin tidak akan nyaman 

dengan pikiran bahwa mereka akan mati, sementara orang kaya 

akan tetap muda dan cantik selamanya.

namun  minoritas mungil yang mampu menjangkau 

perawatan-perawatan baru itu pun tidak akan euforia. Mereka 

akan memiliki banyak hal untuk dicemaskan. Meskipun bisa 

memperlama kehidupan dan masa muda, terapi-terapi baru tidak 

menghidupkan mayat. Betapa mengerikannya berpikir bahwa 

saya dan orang-orang tercinta bisa hidup selamanya, namun  

hanya jika kita tidak ditabrak truk atau diledakkan menjadi 

serpihan-serpihan oleh seorang teroris! Secara potensial orang-

orang a-mortal akan semakin takut mengambil risiko paling 

kecil sekalipun, dan penderitaan kehilangan pasangan, anak, 

atau teman dekat akan tak tertanggungkan.

46. Revolusi Mesir, 2011. Rakyat memberontak Melawan rezim 

Mubarak sekalipun ia menyediakan kehidupan yang lebih aman 

dan lebih langgeng ketimbang rezim sebelumnya yang mana pun 

dalam sejarah Lembah Nil itu.


 

458

Kebahagiaan Kimiawi

Para ilmuwan sosial mendistribusikan kuesioner-kuesioner 

kesejahteraan subjektif dan mengorelasikan hasil-hasilnya dengan 

faktor-faktor sosio-ekonomi seperti kekayaan, kesehatan, dan 

kebebasan politik. Para ahli biologi memakai  kuesioner-

kuesioner yang sama, namun  mengorelasikan jawaban yang 

diberikan responden dengan faktor-faktor biokimia dan genetika. 

Temuan-temuan mereka mengejutkan.

Para ahli Biologi berpendirian bahwa dunia mental dan 

emosional kita diatur oleh mekanisme-mekanisme biokimiawi 

yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi. Sebagaimana keadaan-

keadaan mental lainnya, kesejahteraan subjektif kita tidak 

ditentukan oleh parameter-parameter eksternal seperti gaji, relasi-

relasi sosial, atau hak-hak politik. Namun, ia ditentukan oleh 

suatu sistem yang kompleks seperti saraf, neuron, synapse, dan 

berbagai zat biokimiawi seperti seretonin, dopamin, dan oxytocin.

Tak ada orang yang pernah dibuat bahagia oleh menang 

lotre, membeli rumah, mendapatkan promosi, atau bahkan 

menemukan cinta sejati. Orang-orang dibuat bahagia oleh satu 

hal dan hanya satu hal—sensasi-sensasi kesenangan dalam tubuh 

mereka. Seseorang yang baru saja menang lotre atau menemukan 

cinta baru dan melompat kegirangan sesungguhnya tidak sedang 

bereaksi pada uang atau cinta. Dia sedang bereaksi pada berbagai 

hormon yang sedang pesta pora di sekujur aliran darahnya dan 

ke badai sinyal elektrik yang memancar di antara bagian-bagian 

yang berbeda dari otaknya.

Sayangnya, untuk semua harapan akan terciptanya surga 

di Bumi, sistem biokimiawi internal kita tampaknya harus 

diprogram untuk menjaga kebahagiaan agar berada pada level 

yang relatif konstan. Tidak ada seleksi alam untuk kebahagiaan 

seperti itu—garis genetika pendeta bahagia akan punah saat  

gen-gen dari sepasang orangtua yang cemas diturunkan ke 

generasi berikutnya. Kebahagiaan dan penderitaan memainkan 

peran dalam evolusi hanya pada tingkat di mana keduanya 

mendorong atau melemahkan daya tahan hidup dan reproduksi. 

Oleh sebab  itu, mungkin tidak mengejutkan bahwa evolusi 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

459

membentuk kita bukan untuk menjadi terlalu menderita atau 

terlalu bahagia. Ia memungkinkan kita untuk menikmati serbuan 

sensasi-sensasi kesenangan sementara, namun  ini tidak pernah 

berlangsung selamanya. Cepat atau lambat ia akan surut dan 

memberi tempat bagi sensasi-sensasi tidak menyenangkan.

Misalnya, evolusi menyediakan perasaan-perasaan menyenang-

kan sebagai imbalan bagi pejantan yang menyebarkan gen-gen 

mereka melalui hubungan seks dengan betina yang subur. Jika 

seks tidak disertai kesenangan semacam itu, sedikit pejantan yang 

mau peduli. Pada saat yang sama, evolusi memastikan bahwa 

perasaan-perasaan kesenangan ini cepat surut. Jika orgasme 

berlangsung selamanya, para pejantan yang sangat bahagia akan 

mati kelaparan sebab  kurang tertarik pada makanan, dan tidak 

akan mau repot mencari betina-betina yang subur.

Sebagian ahli membandingkan biokimia manusia dengan 

sistem pengatur suhu udara yang menjaga suhu menjadi konstan 

walaupun ada gelombang panas atau badai salju. Peristiwa-

peristiwa bisa mengubah sementara suhu udara, namun  sistem 

pengatur suhu udara selalu mengembalikan suhu ke titik yang 

sudah disetel.

Sebagian sistem pengatur suhu udara disetel pada angka 25 

derajat Celsius. Yang lain disetel pada angka 20 derajat. Sistem 

pengatur kebahagiaan manusia juga berbeda-beda antara satu 

orang dengan orang lainnya. Pada skala dari satu sampai sepuluh, 

sebagian orang dilahirkan dengan sistem biokimia yang ceria 

sehingga memungkinkan suasana hati berkisar pada angka enam 

sampai sepuluh, yang stabil seiring waktu pada angka delapan. 

Orang seperti itu cukup bahagia sekalipun dia hidup dalam 

sebuah kota besar yang terasing, kehilangan semua uangnya saat 

bursa saham ambruk, dan didiagnosis mengidap diabetes. Orang 

lain dikutuk dengan biokimia yang suram sehingga angkanya 

berkisar antara tiga sampai tujuh dan stabil pada angka lima. 

Orang yang tidak bahagia semacam itu tetap tertekan, bahkan 

saat  dia mendapat dukungan dari komunitas yang sangat 

peduli, menang lotre jutaan dolar, dan kondisinya sesehat atlet 

Olimpiade. Malah, sekalipun rekan suram kita itu menang lotre 

$50.000.000 pada pagi hari, menemukan pengobatan untuk 


 

460

AIDS dan kanker pada siang hari, menciptakan perdamaian 

antara Israel dan Palestina sore harinya, dan kemudian pada 

malam hari bersatu kembali dengan anaknya yang sudah hilang 

bertahun-tahun lalu, dia tetap tidak mampu mengalami apa pun 

di luar level tujuh kebahagiaan. Otaknya memang tidak dibangun 

untuk kesenangan, apa pun yang didapatnya.

Renungkan sejenak tentang keluarga dan sahabat-sahabat 

Anda. Anda tahu sebagian orang tetap relatif gembira, apa pun 

yang menimpa mereka. Kemudian, ada yang selalu menggerutu 

walau segala pemberian dunia berada di kakinya. Kita cenderung 

percaya bahwa jika kita bisa mengubah tempat kerja, menikah, 

merampungkan penulisan novel, membeli mobil baru, atau 

melunasi hipotek, kita akan berada di puncak dunia. Namun, 

saat  kita mendapatkan apa yang kita inginkan, ternyata tidak 

lebih bahagia. Membeli mobil dan menulis novel tidak mengubah 

biokimia kita. Semua itu memang bisa mengguncang sejenak, 

namun  segera kembali pada titik yang sudah disetel.

Bagaimana bisa ini disejajarkan dengan temuan-temuan 

bidang psikologi dan sosiologi yang disebutkan di atas bahwa, 

misalnya, orang yang menikah lebih bahagia secara rata-rata 

ketimbang orang yang melajang? Pertama, temuan-temuan 

ini yaitu  korelasi-korelasi—arah hubungan sebab-akibatnya 

mungkin berlawanan dengan apa yang sudah diasumsikan oleh 

para peneliti. Memang benar bahwa orang yang menikah lebih 

bahagia daripada orang yang melajang atau yang bercerai, 

namun  itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa pernikahan 

menghasilkan kebahagiaan. Bisa jadi kebahagiaanlah yang 

memicu  pernikahan. Atau lebih tepatnya, bahwa seretonin, 

dopamin, dan oxytocin melahirkan dan memelihara pernikahan. 

Orang yang dilahirkan dengan biokimia ceria umumnya bahagia 

dan gembira. Orang-orang seperti itu merupakan pasangan yang 

lebih menarik sehingga mereka memiliki peluang lebih besar untuk 

menikah. Mereka juga kecil kemungkinannya untuk bercerai 

sebab  jauh lebih mudah untuk hidup dengan pasangan yang 

bahagia dan gembira ketimbang dengan orang yang tertekan 

dan kecewa. Akibatnya, benar bahwa orang yang menikah lebih 

bahagia secara rata-rata ketimbang bujangan, namun  perempuan 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

461

lajang cenderung murung sebab  biokimianya tidak dengan 

sendirinya menjadi lebih bahagia jika dia berhubungan dengan 

seorang suami.

Selain itu, sebagian besar ahli biologi tidaklah fanatik. Mereka 

berpandangan bahwa kebahagiaan ditentukan terutama oleh 

biokimia, namun  mereka setuju bahwa faktor-faktor psikologis 

dan sosiologis juga punya tempat. Sistem pengatur udara mental 

kita memiliki keleluasaan bergerak dalam batas-batas yang sudah 

ditentukan. Hampir mustahil untuk melampaui batas-batas 

emosional atas dan bawah, namun  pernikahan dan perceraian bisa 

memiliki dampak pada area di antara keduanya. Seseorang yang 

dilahirkan dengan rata-rata kebahagiaan level lima tidak akan 

pernah menari liar di jalan-jalan. Namun, sebuah pernikahan 

yang baik seharusnya memungkinkan dia untuk menikmati 

level kebahagiaan tujuh dari waktu ke waktu, dan menghindari 

kesedihan level tiga.

Jika kita menerima pendekatan biologis atas kebahagiaan, 

maka sejarah ternyata kecil maknanya sebab  sebagian besar 

peristiwa-peristiwa sejarah tidak memiliki dampak pada biokimia 

kita. Sejarah bisa mengubah stimulus eksternal yang memicu  

serotonin dikeluarkan, namun  ia tidak mengubah level serotonin 

yang dihasilkan sehingga tidak bisa membuat orang menjadi 

lebih bahagia.

Bandingkan seorang petani abad pertengahan Prancis dengan 

bankir Paris modern. Petani itu hidup di sebuah gubuk tanah 

liat yang tak dipanaskan menghadap kandang babi setempat, 

sedang  bankir pulang ke sebuah kamar di puncak apartemen 

megah dengan semua gawai teknologi terbaru dan pemandangan 

menghadap ke Champs-Elysées. Secara intuitif, kita akan berharap 

bankir jauh lebih bahagia ketimbang petani. Namun, gubuk tanah 

liat, apartemen mewah, dan Champs-Elysées sesungguhnya tidak 

menentukan suasana hati kita. Serotonin-lah yang menentukan. 

saat  petani abad pertengahan merampungkan pembangunan 

gubuk tanah liatnya, neuron-neuron di otaknya melepaskan 

serotonin, membawanya ke level kesepuluh. saat  pada 2013 

bankir itu melakukan pembayaran cicilan terakhir apartemennya, 

neuron-neuron dalam otaknya melepaskan serotonin dalam 


 

462

jumlah yang sama, membawanya ke level kesepuluh juga. Maka, 

tidak ada perbedaan pada otak yang membuat apartemen mewah 

jauh lebih nyaman ketimbang gubuk tanah liat. Satu-satunya hal 

yang berarti yaitu  bahwa saat ini serotonin mencapai level 

kesepuluh. Akibatnya bankir tidak akan lebih bahagia sedikit pun 

ketimbang kakek moyangnya, si petani miskin abad pertengahan.

Ini berlaku tidak hanya pada kehidupan privat, namun  juga 

pada peristiwa-peristiwa kolektif besar. Ambil contoh, misalnya, 

Revolusi Prancis. Kaum revolusioner sibuk: mereka mengeksekusi 

raja, memberi  lahan kepada para petani, mendeklarasikan 

hak-hak asasi manusia, menanggalkan hak-hak istimewa kaum 

bangsawan, dan melancarkan perang terhadap seluruh Eropa. 

Namun, tak satu pun yang mengubah biokimia Prancis. 

Akibatnya, terlepas dari gejolak-gejolak politik, sosial, ideologis, 

dan ekonomis yang dihadirkan oleh revolusi, dampaknya pada 

kebahagiaan Prancis kecil. Mereka yang mendapat biokimia 

ceria dalam undian genetika sama bahagianya dengan sebelum 

dan sesudah revolusi. Mereka yang memiliki biokimia suram 

mengeluh tentang Robespierre dan Napoleon dengan kepahitan 

yang sama dengan yang mereka alami sebelumnya terhadap Louis 

XVI dan Marie Antoinette.

Jika demikian, apanya yang bagus dari Revolusi Prancis? 

Jika orang-orang tidak menjadi lebih bahagia, lalu apa makna 

dari semua kekacauan, ketakutan, darah, dan perang? Para 

ahli biologi tidak akan pernah menyerbu Bastille. Orang-orang 

berpikir bahwa revolusi politik atau reformasi sosial akan 

membuat mereka bahagia, namun  biokimia mereka memperdaya 

mereka dari waktu ke waktu.

Hanya ada satu perkembangan historis yang memiliki 

signifikansi riil. Kini, saat  kita akhirnya menyadari bahwa 

kunci kebahagiaan ada di tangan sistem biokimia, kita bisa 

berhenti menyia-nyiakan waktu pada politik dan reformasi sosial, 

pemberontakan-pemberontakan, dan ideologi-ideologi, dan fokus 

saja pada satu-satunya hal yang bisa membuat kita benar-benar 

bahagia: memanipulasi biokimia kita. Jika kita menginvestasikan 

miliaran dolar dalam memahami kimia otak dan mengembangkan 

penanganan-penanganan yang tepat, kita bisa membuat orang 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

463

jauh lebih bahagia ketimbang sebelumnya, tanpa memerlukan 

revolusi-revolusi. Prozac, misalnya memang tidak mengubah 

rezim, namun  dengan menaikkan level serotonin, ia mengangkat 

orang keluar dari depresi.

Tak ada yang bisa menangkap argumen biologis yang lebih 

bagus ketimbang slogan terkenal Abad Baru: “Kebahagiaan 

Dimulai dari Dalam”. Uang, status sosial, operasi plastik, rumah-

rumah indah, posisi-posisi kuat—tak satu pun dari semua ini 

akan membawakan kebahagiaan kepada Anda. Bahagia yang awet 

hanya datang dari serotonin, dopamin, dan oxytocin.1

Dalam novel distopia Aldous Huxley berjudul Brave New 

World, yang diterbitkan pada 1932 di tengah memuncaknya 

Depresi Besar, kebahagiaan yaitu  nilai tertinggi dan obat 

psikiatris menggantikan polisi dan pemungutan suara menjadi 

fondasi politik. Setiap hari, setiap orang meminum satu dosis 

“soma”, satu obat sintetis yang membuat orang bahagia tanpa 

merusak produktivitas dan efisiensi mereka. Negara Dunia yang 

memerintah seluruh Bumi tidak pernah terancam oleh perang, 

revolusi, serangan, atau demonstrasi sebab  semua rakyat sangat 

bahagia dengan kondisi yang sedang mereka rasakan, apa pun 

itu. Visi Huxley tentang masa depan jauh lebih mengganggu 

ketimbang Nineteen Eighty-Four -nya George Orwell. Dunia 

Huxley tampaknya mengerikan bagi sebagian besar pembaca, 

namun  sulit untuk menjelaskan alasannya. Setiap orang bahagia 

sepanjang waktu—apanya yang salah dengan itu?

Makna Kehidupan

Dunia Huxley yang membingungkan didasarkan pada asumsi 

biologis bahwa kebahagiaan sama dengan kesenangan. Untuk 

menjadi bahagia tidak kurang dan tidak lebih yaitu  mengalami 

kesenangan sensasi-sensasi ragawi. sebab  biokimia kita membatasi 

volume dan durasi sensasi-sensasi ini, satu-saunya cara agar orang 

mengalami kebahagiaan tingkat tinggi dalam rentang waktu yang 

panjang yaitu  memanipulasi sistem biokimia mereka.

namun  definisi kebahagiaan itu ditentang oleh sebagian 


 

464

ahli. Dalam satu studi yang terkenal, Daniel Kahneman, pemenang 

Hadiah Nobel di bidang ekonomi, meminta orang untuk 

menceritakan hari kerja biasa, menguraikannya episode demi 

episode, dan mengevaluasi seberapa besar mereka menikmati atau 

tidak menyukai setiap momen. Dia menemukan apa yang tampak 

sebagai paradoks dalam sebagian besar pandangan orang tentang 

kehidupan mereka. Ambil contoh pekerjaan yang mencakup 

kegiatan mengasuh seorang anak. Kahneman menemukan bahwa 

saat  menghitung momen-momen kegembiraan dan momen-

momen membosankan, membesarkan anak ternyata merupakan 

urusan yang agak kurang menyenangkan. Pekerjaan itu meliputi 

terutama mengganti popok, mencuci alat-alat makan, dan 

mengatasi gejolak tantrum, yang tak seorang pun menyukainya. 

Namun, sebagian besar orangtua menyatakan anak-anak mereka 

yaitu  sumber utama kebahagiaan. Apakah itu berarti bahwa 

sesungguhnya orang tidak tahu apa yang baik bagi mereka?

Itu satu opsi. Satunya lagi bahwa temuan-temuan ini  

menunjukkan kebahagiaan bukanlah surplus momen kesenangan 

atas momen tidak menyenangkan. Namun, kebahagiaan terdiri 

dari pemandangan kehidupan secara menyeluruh sebagai hal yang 

bermakna dan berharga. Ada satu komponen kognitif dan etik 

yang penting pada kebahagiaan. Nilai-nilai kita merupakan hal 

yang paling berarti dalam hal apakah kita memandang diri kita 

“budak-budak yang menderita bagi bayi diktator” atau “pengasuh 

penuh cinta bagi makhluk hidup baru”.2 Sebagaimana dijelaskan 

Nietzsche, jika Anda punya jawaban untuk pertanyaan mengapa 

harus hidup, Anda pasti mampu mengatasi hampir semua urusan 

terkait pertanyaan “bagaimana”-nya. Sebuah kehidupan yang 

bermakna bisa sangat memuaskan, bahkan saat berada di tengah 

kesulitan, sedang  kehidupan yang tidak bermakna yaitu  

siksaan berat, betapa pun nyamannya.

Meskipun orang-orang di semua kultur dan era merasakan 

jenis kesenangan dan sakit yang sama, makna yang mereka 

pandang sebagai asal muasal dari pengalaman-pengalaman mereka 

mungkin sangat beragam. Jika demikian, sejarah kebahagiaan 

mungkin jauh lebih rumit ketimbang yang dibayangkan para 

ahli biologi. Itu yaitu  sebuah kesimpulan yang tidak dengan 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

465

sendirinya mendukung modernitas. Kalau kehidupan dinilai menit 

demi menit, maka orang-orang abad pertengahan pasti berat. 

Namun, jika mereka percaya janji kebahagiaan abadi di akhirat, 

mereka tentu memandang kehidupan mereka jauh lebih bermakna 

dan berharga ketimbang orang-orang sekuler modern, yang dalam 

jangka panjang tidak bisa berharap apa pun kecuali kesunyian 

yang sempurna dan tak bermakna. Kalau ditanya “Apakah kamu 

puas dengan kehidupanmu secara keseluruhan?”, orang pada 

abad pertengahan mungkin memberi  angka kuesioner yang 

sangat tinggi untuk kesejahteraan subjektif. 

Jadi, para leluhur abad pertengahan kita bahagia sebab  

mereka menemukan makna kehidupan dalam delusi-delusi 

kolektif tentang kehidupan akhirat? Ya. Sepanjang tidak ada 

seorang pun yang mengusik fantasi-fantasi mereka, mengapa 

tidak? Sejauh yang bisa kita ketahui, dari sudut pandang yang 

murni saintifik, kehidupan manusia sama sekali tidak punya 

makna. Manusia yaitu  hasil dari proses buta evolusi yang 

beroperasi tanpa tujuan dan sasaran. Tindakan-tindakan kita 

bukanlah bagian dari rencana kosmis ilahiah, dan jika Planet 

Bumi harus meledak besok pagi, alam semesta mungkin tetap 

berjalan sebagaimana biasanya. Sejauh yang bisa kita ketahui pada 

titik ini, subjektivitas manusia tidak akan terjawab. Oleh sebab  

itu, setiap makna yang dipandang orang sebagai asal muasal 

kehidupan mereka hanyalah delusi. Makna-makna duniawi lain 

yang ditemukan warga  abad pertengahan dalam kehidupan 

mereka tidak lebih delusional ketimbang makna-makna yang 

ditemukan humanis, nasionalis, dan kapitalis modern. Para 

ilmuwan yang mengatakan kehidupannya bermakna sebab  dia 

meningkatkan tumpukan pengetahuan manusia, tentara yang 

mendeklarasikan kehidupannya bermakna sebab  dia berjuang 

untuk membela tanah air, dan pengusaha menemukan makna 

dalam membangun sebuah perusahaan baru tak kurang delusional 

dibandingkan dengan timpalannya pada abad pertengahan, 

menemukan makna dalam membaca kitab-kitab suci, berjuang 

di Perang Salib, atau membangun katedral baru.

Jadi, mungkin kebahagiaan mensinkronkan delusi-delusi 

personal seseorang akan makna dengan delusi-delusi yang bertakan 


secara kolektif. Sepanjang narasi personal saya sejalan dengan 

narasi orang-orang di sekitar saya, saya bisa meyakinkan diri 

bahwa kehidupan saya bermakna, dan menemukan kebahagiaan 

dalam keyakinan itu.

Ini kesimpulan yang sangat berat. Apakah kebahagiaan benar-

benar bergantung pada delusi-pribadi?

Kenali Dirimu Sendiri

Jika kebahagiaan didasakan pada perasaan sensasi-sensasi 

kesenangan, maka untuk menjadi lebih bahagia kita perlu 

merekayasa kembali sistem biokimia kita. Jika kebahagiaan 

didasarkan pada perasaan bahwa kehidupan itu bermakna, maka 

untuk menjadi lebih bahagia, kita perlu mendelusi diri secara 

lebih efektif. Adakah alternatif ketiga?

Kedua pandangan di atas memiliki kesamaan asumsi bahwa 

kebahagiaan yaitu  sebentuk perasaan subjektif (entah itu 

kesenangan atau makna), dan bahwa untuk menilai kebahagiaan 

seseorang, yang kita butuhkan hanyalah bertanya bagaimana 

perasaan mereka. Bagi banyak orang di antara kita, itu tampak 

logis sebab  agama dominan dalam masa kita yaitu  liberalisme. 

Liberalisme memuja perasaan subjektif individu-individu. Ia 

memandang perasaan-perasaan ini  sebagai sumber otoritas 

tertinggi. Apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang indah 

dan apa yang buruk, apa yang harus dan apa yang tidak boleh, 

semuanya ditentukan oleh apa yang dirasakan setiap orang dari 

kita. 

Politik liberal didasarkan pada ide bahwa para pemberi 

suaralah yang paling tahu, dan tidak dibutuhkan “Saudara Tua” 

yang mengajari kita apa yang bagus buat kita. Ekonomi liberal 

didasarkan pada ide bahwa pelanggan selalu benar. Seni liberal 

mendeklarasikan bahwa keindahan ada di mata penonton. Para 

pelajar di sekolah-sekolah dan universitas-universitas liberal 

diajari untuk berpikir bagi diri mereka sendiri. Iklan-iklan 

mendesak kita “Lakukan saja!” Film-film laga, drama-drama 

panggung, opera-opera sabun, novel, dan lagu-lagu pop ringan 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

mengindoktrinasi kita terus menerus: “Jadilah diri sendiri”, 

“Dengarlah dirimu sendiri”, “Ikuti kata hatimu”. Jean-Jacques 

Rousseau menyatakan pandangan ini dengan cara yang paling 

klasik: “Apa yang saya rasakan bagus yaitu  bagus. Apa yang 

saya rasakan jelek yaitu  jelek”.

Orang yang dibesarkan sejak bayi dengan diet dari slogan-

slogan semacam itu cenderung percaya bahwa kebahagiaan yaitu  

perasaan subjektif dan bahwa setiap individu yaitu  yang paling 

tahu apakah dia bahagia atau menderita. Namun, pandangan 

ini unik pada liberalisme. Sebagian besar agama dan ideologi 

sepanjang sejarah menyatakan bahwa ada garis pengukur objektif 

untuk kebaikan dan keindahan, dan untuk masalah bagaimana 

keadaan yang seharusnya. Mereka mencurigai perasaan dan 

pilihan orang biasa. Di gerbang kuil Apollo di Delphi, para 

peziarah disambut prasasti berbunyi: “Kenali dirimu sendiri!” 

Implikasinya yaitu  bahwa rata-rata orang tidak mengenal dirinya 

yang sejati, dan sebab  itu kemungkinan tidak tahu kebahagiaan 

yang sejati. Freud mungkin akan setuju.*

Demikian pula para teolog Kristen. St. Paulus dan St. 

Augustinus tahu sepenuhnya bahwa jika Anda bertanya kepada 

orang-orang tentang ini, sebagian besar dari mereka akan memilih 

untuk berhubungan seks ketimbang berdoa kepada Tuhan. 

Apakah itu membuktikan bahwa berhubungan seks yaitu  kunci 

kebahagiaan? Tidak, menurut Paulus dan Augustinus. Itu hanya 

membuktikan bahwa manusia memang berdosa secara alamiah, 

dan bahwa orang dengan mudah tergoda oleh Setan. Dari sudut 

pandang Kristen, mayoritas besar orang kurang lebih ada dalam 

situasi yang sama seperti para pencandu heroin. Bayangkan 

seorang psikolog memulai sebuah studi tentang kebahagiaan di 

kalangan para pengguna obat bius. Dia meneliti mereka dan 

menemukan mereka menyatakan, setiap orang dari mereka, bahwa 

*  Secara paradoks, sementara studi-studi psikologi tentang kesejahteraan subjektif 

bergantung pada kemampuan orang untuk mendiagnosis kebahagiaan mereka 

dengan benar, raison d’etre dasar dari psikoterapi yaitu  bahwa orang sesungguhnya 

tidak tahu diri mereka sendiri dan bahwa mereka terkadang membutuhkan bantuan 

profesional untuk membebaskan diri mereka dari perilaku-perilaku yang merusak 

diri. 


 

468

mereka hanya bahagia saat  dalam keadaan melayang. Apakah 

para psikolog akan menerbitkan makalah yang menyatakan bahwa 

heroin merupakan kunci kebahagiaan?

Ide bahwa perasaan-perasaan bukan untuk dipercaya tidak 

hanya terbatas pada Kristen. Paling tidak saat  berurusan dengan 

nilai perasaan-perasaan, bahkan Darwin dan Dawkins mungkin 

menemukan dasar yang sama dengan St. Paulus dan St. Augustinus. 

Menurut teori Gen Egois, seleksi alam membuat orang, seperti 

organisme-organisme lainnya, memilih apa yang baik untuk 

reproduksi dari gen mereka, sekalipun buruk bagi mereka sendiri 

sebagai individu. Sebagian besar pejantan menghabiskan hidup 

mereka untuk bekerja keras, gelisah, bersaing, dan berkelahi, 

bukan menikmati kesenangan yang damai sebab  DNA mereka 

memanipulasi untuk tujuan egoisnya sendiri. Seperti Setan, DNA 

memakai  kesenangan-kesenangan sekejap untuk menggoda 

orang dan menempatkan mereka dalam kekuasaannya.

Sebagian besar agama dan filsafat sebagai akibatnya 

telah mengambil pendekatan yang sangat berbeda ketimbang 

liberalisme.3 Posisi Buddhis sangat menarik. Buddhisme 

menempatkan masalah kebahagiaan lebih penting ketimbang 

mungkin semua kredo lain manusia. Selama 2.500 tahun, umat 

Buddha mempelajari secara sistematis esensi dan penyebab-

penyebab kebahagiaan, yang menjadi penyebab mengapa ada 

minat yang tumbuh di kalangan komunitas saintifik pada filosofi 

dan praktik-praktik meditasi mereka.

Buddhisme memiliki kesamaan pandangan dasar dengan 

pendekatan biologis untuk masalah kebahagiaan, yakni bahwa 

kebahagiaan merupakan hasil dari proses-proses yang terjadi 

dalam tubuh seseorang, dan bukan dari peristiwa-peristiwa di 

dunia luar. Meskipun demikian, dari kesamaan pandangan itu, 

Buddhisme mencapai konklusi-konklusi yang sangat berbeda.

Menurut Buddhisme, sebagian besar orang mengidentifikasi 

kebahagiaan dengan perasaan-perasaan gembira dan meng-

identifikasi penderitaan dengan perasaan-perasaan tidak senang. 

Akibat nya, orang menganggap apa yang dirasakannya sebagai 

sumber makna yang besar, dengan bernafsu untuk mengalami 

terus-menerus kesenangan, seraya menghindari rasa sakit. Apa 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

469

pun yang kita lakukan dalam hidup, entah itu merentangkan 

kaki, gelisah di atas kursi, atau berperang di perang dunia, kita 

hanya berusaha mendapatkan perasaan senang.

Problemnya, menurut Buddhisme, yaitu  perasaan-perasaan 

kita tidak lebih dari getaran-getaran sementara, yang berubah 

setiap saat, seperti gelombang samudra. Jika 5 menit lalu saya 

merasakan kegembiraan membuncah, kini perasaan-perasaan itu 

hilang, dan saya mungkin merasa sedih dan kesal. Jadi, jika saya 

ingin mengalami perasaan-perasaan senang, saya harus terus-

menerus memburunya, sambil menyingkirkan perasaan-perasaan 

yang tidak menyenangkan. Kalaupun berhasil, saya segera harus 

memulai dari awal lagi, tanpa pernah mendapatkan imbalan yang 

langgeng untuk kesulitan-kesulitan saya.

Apa yang membuat pengejaran imbalan kekal seperti itu 

menjadi begitu penting? Mengapa berjuang begitu keras untuk 

mencapai sesuatu yang hilang hampir sesaat  saat diraih? 

Menurut Buddhisme, akar penderitaan bukanlah perasaan sakit, 

juga bukan kesedihan, bahkan ketidakbermaknaan. Namun, 

akar sesungguhnya dari penderitaan yaitu  pengejaran tanpa 

akhir dan tanpa makna perasaan-perasaan kekekalan, yang 

memicu  kita terus berada dalam keadaan tegang, gelisah, 

dan kecewa. sebab  pengejaran ini, pikiran tidak pernah puas. 

Bahkan, saat  mengalami kesenangan, itu bukan kebahagiaan 

sebab  ada kekhawatiran perasaan ini akan segera hilang, dan 

bernafsu agar perasaan ini terus ada dan membesar.

Orang-orang dibebaskan dari penderitaan bukan saat  

mereka mengalami kesenangan ini-itu, namun  lebih saat  mereka 

memahami sifat tidak permanen dari segala perasaan mereka, 

dan berhenti bernafsu padanya. Inilah tujuan praktik-praktik 

meditasi Buddha. Dalam meditasi, Anda diharuskan menelusuri 

secara dekat pikiran dan tubuh Anda, menyaksikan pasang-

surut tiada henti semua perasaan Anda, dan menyadari betapa 

tidak bermaknanya memburu itu semua. saat  pengejaran 

berhenti, pikiran menjadi sangat santai, jernih, dan puas. Semua 

jenis perasaan terus pasang dan surut—kegembiraan, amarah, 

kejemuan, berahi—namun  begitu Anda berhenti bernafsu pada 

perasaan-perasaan tertentu, Anda bisa menerimanya sesuai dengan 


 

470

tujuannya yang hakiki. Anda hidup dalam masa sekarang, bukan 

berfantasi tentang apa yang seharusnya terjadi.

Ketenangan yang dihasilkan begitu mendalam sehingga 

mereka yang menghabiskan waktu hidup mereka dalam 

pengejaran gila-gilaan perasaan-perasaan kesenangan nyaris tidak 

mungkin mampu membayangkannya. Ini seperti seorang yang 

berdiri selama beberapa dekade di pantai, memeluk ombak-ombak 

tertentu yang “bagus” dan berusaha mencegahnya terpecah, sambil 

secara simultan mendorong mundur ombak-ombak yang jelek 

untuk mencegahnya kembali mendekatinya lagi. Hari demi hari 

berlalu, orang itu berdiri di pantai, membuat dirinya gila dengan 

upaya sia-sia. Akhirnya, dia duduk di atas pasir dan membiarkan 

saja ombak datang dan pergi sesukanya. Alangkah damainya!

Ide ini begitu asing bagi kultur liberal modern sehingga 

saat  gerakan-gerakan New Age di Barat bertemu dengan 

pandangan Buddha, mereka menerjemahkannya ke dalam 

terminologi liberal, kemudian menyalakannya di kepala mereka. 

Kultus-kultus New Age sering menyatakan: “Kebahagiaan tidak 

bergantung pada kondisi-kondisi eksternal. Ia bergantung hanya 

pada apa yang kita rasakan di dalam. Orang harus berhenti 

mengejar pencapaian-pencapaian eksternal seperti kekayaan dan 

status, dan menghubungkannya dengan perasaan di dalam hati”. 

Atau ringkasnya, “Kebahagiaan Dimulai dari Dalam”. Inilah 

tepatnya yang dikemukakan para ahli biologi, namun  kurang lebih 

bertentangan dengan apa yang dikatakan Buddha. 

Buddha setuju dengan biologi modern dan gerakan-gerakan 

New Age bahwa kebahagiaan independen dari kondisi-kondisi 

eksternal. Namun, pandangannya yang lebih penting dan jauh 

lebih mendalam yaitu  bahwa kebahagiaan sejati juga independen 

dari perasaan-perasaan hati kita. Sungguh, semakin besar kita 

mementingkan perasaan kita, semakin besar kita bernafsu pada-

nya, dan semakin berat kita menderita.

Rekomendasi Buddha yaitu  menghentikan tidak hanya 

pengejaran pencapaian-pencapaian eksternal, namun  juga 

pengejaran perasaan-perasaan dalam hati. Untuk meringkasnya, 

kuesioner-kuesioner kesejahteraan subjektif mengidentifikasi 


Dan, Mereka Hidup Bahagia Selamanya

471

kesejahteraan kita dengan perasaan-perasaan subjektif kita, dan 

mengidentifikasi pengejaran kebahagiaan dengan pengejaran 

keadaan-keadaan emosional tertentu. Sebaliknya, bagi banyak 

filosofi dan agama tradisional seperti Buddhisme, kunci 

kebahagiaan yaitu  mengetahui kebenaran tentang diri sendiri—

untuk memahami siapa, atau apa, sesungguhnya Anda. Sebagian 

besar orang salah mengidentifikasi diri dengan perasaan-perasaan 

mereka, pikiran-pikiran mereka, kesukaan dan ketidaksukaan 

mereka. saat  mereka merasakan amarah, mereka pikir, “Saya 

marah. Ini marah saya”. Akibatnya, mereka menghabiskan hidup 

untuk menghindari jenis-jenis perasaan tertentu, dan pengejaran 

tiada henti itu memerangkap mereka dalam penderitaan.

Jika memang demikian, maka seluruh pemahaman kita 

tentang sejarah kebahagiaan mungkin tersesat. Mungkin tidak 

begitu penting apakah ekspektasi orang-orang terpenuhi dan 

apakah mereka menikmati perasaan-perasaan senang. Pertanyaan 

utamanya yaitu  apakah orang tahu kebenaran tentang diri 

mereka sendiri. Apa bukti yang kita punyai bahwa orang saat ini 

memahami kebenaran ini lebih baik daripada para pengembara 

kuno atau petani abad pertengahan?

Para ahli baru mulai mempelajari sejarah kebahagiaan 

beberapa tahun lalu, dan kita masih merumuskan hipotesis-

hipotesis awal dan mencari metode riset yang tepat. Terlalu dini 

untuk mengadopsi kesimpulan-kesimpulan kaku dan mengakhiri 

perdebatan yang sesungguhnya bahkan belum dimulai. Yang 

penting yaitu  untuk mengetahui sebanyak mungkin pendekatan 

yang berbeda dan menanyakan pertanyaan yang tepat.

Sebagian besar Artikel  sejarah fokus pada ide-ide para pemikir 

besar, para jagoan perang pemberani, para santa dermawan, dan 

kreativitas para seniman. Mereka memang sudah menceritakan 

banyak tentang terjalinnya dan bubarnya struktur-struktur 

sosial, tentang bangkut dan runtuhnya imperium-imperium, 

tentang penemuan dan penyebaran teknologi-teknologi. Namun, 

mereka tidak menceritakan apa-apa tentang bagaimana semua 

ini memengaruhi kebahagiaan dan penderitaan individu. Inilah 

kekosongan terbesar dalam pemahaman kita tentang sejarah. 

Kita sebaikn ya mulai mengisi kekosongan itu.


 

Artikel  ini dimulai dengan menyajikan sejarah sebagai tahap 

selanjutnya dalam kontinuum fisika ke kimia dan ke biologi. 

Sapiens yaitu  subjek kekuatan fisik yang sama, reaksi-reaksi 

kimia yang sama dan proses-proses seleksi alam yang sama yang 

mengatur semua makhluk hidup. Seleksi alam mungkin telah 

memberi Homo sapiens ladang permainan yang jauh lebih besar 

ketimbang yang diberikan kepada organisme-organisme lain 

mana pun, namun  ladang permainan itu masih memiliki batas-

batasnya sendiri. Implikasinya yaitu  bahwa, tak peduli apa 

pun upaya dan pencapaian-pencapaian mereka, Sapiens tidak 

mampu menerobos untuk bebas dari batasan-batasan biologis 

mereka yang sudah ditentukan.

namun  pada awal abad ke-21, ini tidak lagi benar: 

Homo sapiens sedang menembus batas-batas itu. Ia kini sedang 

mulai menerobos hukum seleksi alam, menggantinya dengan 

hukum desain inteligen.

Selama hampir 4 miliar tahun, setiap organisme tunggal di 

muka Bumi berevolusi sesuai kehendak seleksi alam. Bahkan, tak 

satu pun yang dirancang oleh satu pencipta inteligen. Jerapah, 

misalnya, mendapatkan leher panjang berkat kompetisi di antara 

jerapah-jerapah kuno, bukan kehendak makhluk super-inteligen. 

Proto-jerapah yang punya leher-leher lebih panjang punya akses 

pada makanan lebih banyak sehingga menghasilkan lebih banyak 

keturunan ketimbang jerapah yang berleher pendek. Tidak ada 

satu pun, tentu saja jerapah juga tidak, yang berkata, “Leher 

jenjang memungkinkan jerapah menjangkau daun-daun di puncak 

pohon. Ayo panjangkan lehernya.” Keindahan teori Darwin 

yaitu  bahwa teori itu tidak membutuhkan asumsi suatu desainer 

pintar untuk menjelaskan bagaimana jerapah akhirnya memiliki 

leher-leher jenjang.

Selama miliaran tahun, desain inteligen bahkan tidak menjadi 

opsi sebab  memang tidak ada inteligensia yang bisa mendesain 

sesuatu. Mikroorganisme, yang hingga masa mutakhir yaitu  

satu-satunya makhluk hidup yang mampu mencapai prestasi-

prestasi luar biasa. Satu mikroorganisme dalam satu spesies 

bisa memasukkan kode-kode genetika dari satu spesies yang 

berbeda sama sekali ke dalam selnya dan sebab  itu mendapatkan 

kapabilitas baru, seperti resistensi pada antibiotik. Meskipun 

demikian, sejauh yang bisa kita ketahui, mikroorganisme tidak 

punya kesadaran, tidak punya tujuan hidup, dan tidak punya 

kemampuan untuk merencanakan ke depan.

Pada tahap tertentu, organisme seperti jerapah, lumba-lumba, 

simpanse, dan Neanderthal berevolusi dalam hal kesadaran dan 

kemampuan untuk merencanakan ke depan. Namun, kalaupun 

Neanderthal berfantasi tentang unggas yang sangat gemuk dan 

bergerak lambat sehingga dia bisa langsung mencaplok kapan 

pun dia lapar, dia tidak punya cara untuk mengubah fantasi 

itu menjadi realitas. Dia harus memburu burung yang sudah 

diseleksi secara alamiah.

Rekahan pertama dalam rezim lama muncul sekitar 10.000 

tahun lalu, saat Revolusi Agrikultur. Sapiens yang mengimpikan 

ayam gemuk bergerak lambat menemukan bahwa jika mereka 

mampu mengawinkan ayam jantan paling gemuk dengan ayam 

betina paling lamban, sebagian dari keturunannya akan gemuk 

dan lamban. Jika Anda mengawinkan sesama keturunannya, 

Anda bisa menghasilkan satu garis keturunan unggas yang gemuk 

dan lamban. Itu yaitu  ras ayam yang tak dikenal alam, yang 

diproduksi dengan desain inteligen bukan dari Tuhan, melainkan 

dari manusia.

Tetap saja, dibandingkan dengan semua dewa yang superkuat, 

Homo sapiens memiliki keterampilan rancang terbatas. Sapiens 

bisa memakai  pembiakan selektif untuk mengambil jalan 

memutar dan mengakselerasi proses-proses seleksi alam yang 

secara normal memengaruhi ayam, namun  mereka tidak bisa 

memunculkan secara sempurna sifat -sifat  baru 

 

yang absen dari lubuk genetik ayam liar. Dalam satu hal, 

hubungan antara Homo sapiens dan ayam serupa dengan banyak 

hubungan simbiosis lain yang begitu sering muncul sendiri di 

alam. Sapiens memakai  tekanan-tekanan selektif pada ayam 

sehingga memicu  ayam yang gemuk dan lamban berbiak, 

sebagaimana lebah-lebah penyerbuk memilih bunga sehingga 

memicu  bunga-bunga berwarna cerah yang berbiak.

Kini, rezim 4 miliar tahun seleksi alam menghadapi tantangan 

yang sama sekali berbeda. Dalam laboratorium-laboratorium 

di seluruh dunia, para ilmuwan sedang merekayasa makhluk 

hidup. Mereka menabrak hukum-hukum seleksi alam dengan 

kekebalan, yang bahkan tak bisa dikendalikan oleh sifat  

asli organisme. Eduardo Kac, seorang seniman biologi Brasil, 

memutuskan pada tahun 2000 untuk menciptakan satu karya 

seni baru: seekor kelinci hijau berpijar. Kac mengontak 

sebuah laboratorium Prancis dan menawarkannya upah untuk 

merekayasa kelinci yang gemerlap sesuai spesifikasi-spesifikasi 

yang ditentukannya. Para ilmuwan Prancis mengambil embrio 

kelinci putih biasa-biasa saja, menanam ke dalam DNA-nya 

satu gen yang diambil dari ubur-ubur hijau gemerlap, dan 

voilà! Seekor kelinci hijau gemerlap untuk le monsieur. Kac 

menamainya kelinci Alba.

Mustahil untuk menjelaskan eksistensi Alba dalam hukum 

seleksi alam. Ia yaitu  produk desain inteligen. Ia juga pelopor 

binatang-binatang yang akan muncul. Jika potensi yang 

ditunjukkan Alba terwujud sepenuhnya—dan jika manusia tidak 

melenyapkan dirinya—Revolusi Saintifik mungkin membuktikan 

diri jauh lebih hebat dari sekadar revolusi historis. Ia mungkin 

akan muncul sebagai revolusi biologis paling penting sejak 

munculnya kehidupan di Bumi. Setelah 4 miliar tahun seleksi 

alam, Alba berdiri di ambang sebuah era kosmis baru, yang di 

dalamnya kehidupan akan diatur oleh desain inteligen. Jika ini 

terjadi, seluruh sejarah manusia sampai titik itu bisa jadi, dengan 

melihat kembali ke belakang, akan direinterpretasi sebagai 

proses eksperimentasi dan magang yang merevolusi permainan 

kehidupan. Proses semacam itu harus dipahami dari perspektif 

kosmis miliaran tahun, bukan dari perspektif milenium manusia.

Para ahli biologi di seluruh dunia terkunci dalam pertempuran 

dengan gerakan desain inteligen, yang menentang ajaran evolusi 

Darwinian di sekolah-sekolah dan mengklaim bahwa kompleksitas 

biologi membuktikan pasti ada satu pencipta yang memikirkan 

seluruh detail biologis sebelumnya. Para ahli biologi benar 

tentang masa lalu, namun  para pendukung desain inteligen bisa 

jadi, ironisnya, benar tentang masa depan.

Pada saat penulisan ini, penggantian seleksi alam oleh desain 

inteligen bisa terjadi dalam satu di antara tiga cara ini: melalui 

rekayasa biologi, rekayasa cyborg (makhluk yang menggabungkan 

bagian-bagian organik dan non-organik) atau rekayasa kehidupan 

in-organik.

Tentang Tikus dan Manusia

Rekayasa biol ogi yaitu  intervensi secara sengaja oleh manusia 

pada level biologis (misalnya penanaman suatu gen) yang 

ditujukan untuk memodifikasi bentuk organisme, kemampuannya, 

kebutuhan-kebutuhan atau hasratnya, dalam rangka mewujudkan 

suatu ide kultural yang diprakonsepsi, sebagaimana keinginan 

Eduardo Kac.

Tidak ada yang baru tentang rekayasa biologi, yang ada di 

dalamnya. Orang-orang sudah memakai nya selama ribuan 

tahun dalam rangka membentuk ulang diri mereka dan organisme 

lain. Satu contoh sederhana yaitu  pengebirian. Manusia sudah 

mengebiri banteng-banteng mungkin selama 10.000 tahun dalam 

rangka menciptakan sapi. Sapi yaitu  binatang yang kurang 

agresif sehingga lebih mudah dilatih menarik bajak. Manusia 

juga mengebiri laki-laki muda mereka sendiri untuk menciptakan 

penyanyi-penyanyi soprano dengan suara-suara memesona dan 

orang kasim yang bisa dengan aman dipercaya mengawasi harem 

sultan.

namun  kemajuan-kemajuan belakangan ini dalam 

memahami bagaimana organisme-organisme bekerja, sampai ke 

level sel dan nuklir, telah membuka kemungkinan-kemungkinan 

yang sebelumnya tak terbayangkan. Misalnya, kita kini bisa tidak 

hanya mengebiri pria, namun  juga mengubah jenis kelaminnya 

melalui operasi dan perawatan hormon. Namun, tidak hanya 

sampai di situ. Lihat kejutan, sesuatu yang menjijikkan dan 

mencemaskan yang terjadi saat , pada 1996, foto ini muncul 

di koran-koran dan televisi:

Tidak ada keterlibatan Photoshop. Itu foto tanpa sentuhan 

apa pun dari tikus nyata yang pada punggungnya ditanami 

sel-sel tulang rawan sapi oleh para ilmuwan. Para ilmuwan 

mampu mengendalikan pertumbuhan jaringan daging baru itu, 

membentuknya dalam hal ini untuk sesuatu yang tampak seperti 

telinga manusia. Proses ini mungkin segera memungkinkan para 

ilmuwan memproduksi telinga artifisial, yang kemudian bisa 

ditanam di manusia.1

Bahkan, keajaiban yang lebih nyata bisa dilakukan dengan 

rekayasa genetika, yang memancing munculnya banyak isu etis, 

47. Seekor tikus yang punggungnya ditanami “telinga” oleh para 

ilmuwan, terbuat dari sel tulang rawan sapi. Ini benar-benar 

sebuah gema yang mengerikan patung singa-manusia dari Gua 

Stadel. Tiga puluh ribu tahun lalu, manusia sudah berfantasi 

tentang menggabungkan beberapa spesies. Kini, mereka benar-

benar mewujudkan gagasan tak masuk akal semacam itu.


477

politis, dan ideologis. Bukan hanya kaum monotheis taat yang 

menolak, bahwa tidak boleh merebut peran Tuhan. Banyak 

atheis yang sudah pasti menyatakan terguncang oleh ide bahwa 

para ilmuwan sedang menuju sepatu alam. Para aktivis hak-

hak binatang meneriakkan penderitaan yang ditimbulkan pada 

binatang-binatang lab dalam eksperimen-eksperimen rekayasa 

genetik, dan pada binatang-binatang peternakan yang direkayasa 

dalam pengabaian total kebutuhan dan hasrat mereka. Para 

aktivis hak asasi manusia takut rekayasa genetika bisa dipakai  

untuk menciptakan manusia super yang akan menjadikan kita 

semua, manusia yang lain, sebagai budak. Jeremiah menawarkan 

visi apokaliptik kediktatoran biologi yang akan mengklon 

tentara tanpa rasa takut dan pekerja yang patuh. Perasaan yang 

berkembang yaitu  bahwa terlalu banyak peluang terbuka terlalu 

cepat dan bahwa kemampuan kita untuk memodifikasi gen 

melampaui kapasitas kita memanfaatkan kemampuan itu secara 

bijaksana dan berpandangan jauh.

Hasilnya yaitu  bahwa kita saat ini hanya memakai  satu 

fraksi dari potensi rekayasa genetika. Sebagian besar organisme 

yang kini sedang direkayasa yaitu  organisme dengan lobi 

politik paling rendah—tumbuhan, jamur, bakteri, dan serangga. 

Misalnya, galur-galur E. Coli, satu bakteri yang hidup secara 

simbiosis dalam usus manusia (dan yang menjadi judul berita 

saat  keluar dari usus dan memicu  infeksi mematikan), 

telah direkayasa secara genetik untuk menghasilkan biofuel.2 

E. Coli dan beberapa spesies jamur juga telah direkayasa untuk 

memproduksi insulin sehingga menurunkan biaya perawatan 

diabetes.3 Satu gen yang diekstrak dari ikan Arktik sudah 

dimasukkan ke dalam kentang, menjadikannya tumbuhan yang 

lebih tahan beku.4

Beberapa mamalia juga sudah menjadi sasaran rekayasa 

genetika. Setiap tahun industri susu menderita kerugian miliaran 

dolar akibat mastitis, sebuah penyakit yang menyerang ambing sapi 

perah. Para ilmuwan kini sedang bereksperiman dengan sapi-sapi 

yang sudah direkayasa yang susunya mengandung lysoptaphin, 

satu zat biokimia dengan kemampuan menyerang bakteri yang 

memicu  penyakit.5 Industri babi, yang menderita akibat 

turunnya penjualan sebab  konsumen waspada dengan lemak tak 

sehat dalam daging babi, memiliki harapan galur babi yang masih 

dieksperimen dicangkoki dengan material genetik dari cacing. 

Gen-gen baru itu memicu  babi mengubah asam lemak 

omega 6 yang buruk menjadi sepupunya yang sehat, omega 3.6

Generasi berikutnya rekayasa genetika akan menjadikan babi 

yang memiliki lemak bagus tampak seperti mainan anak-anak. 

Para ahli genetika telah berhasil tidak hanya memperbesar 6 

kali lipat rata-rata harapan hidup cacing, namun  juga merekayasa 

tikus genius yang menunjukkan memori yang jauh lebih bagus 

dan kemampuan belajar.7 Vole yaitu  binatang kecil dalam ordo 

rodentia menyerupai tikus, dan sebagian varietasnya campur 

aduk. Namun, ada satu spesies yang di dalamnya pejantan dan 

betinanya membentuk hubungan monogami dan awet. Para ahli 

genetika mengklaim telah mengisolasi gen-gen yang bertanggung 

jawab atas monogami vole. Jika penambahan satu gen bisa 

mengubah seekor vole Don Juan menjadi suami yang loyal dan 

pencinta, apakah kita masih jauh dari kemampuan merekayasa 

secara genetika tidak hanya kemampuan individual binatang 

pengerat (dan manusia), namun  juga struktur-struktur sosialnya?8

Kembalinya Neanderthal

namun  para ahli genetika tidak hanya ingin mentransformasi 

garis keturunan makhluk hidup. Mereka bermaksud menghidupkan 

kembali makhluk yang sudah punah juga. Dan, bukan hanya 

dinosaurus, seperti dalam Jurassic Park. Satu tim ilmuwan Rusia, 

Jepang, dan Korea belum lama ini telah memetakan genom 

mamut kuno, yang ditemukan membeku di es Siberia. Mereka 

kini berencana mengambil satu sel telur yang sudah difertilisasi 

dari gajah masa kini, menggantikan DNA gajah dengan DNA 

mamut yang sudah direkonstruksi, dan menanam sel telur itu 

dalam rahim seekor gajah. Setelah sekitar 22 bulan, mereka 

berharap mamut pertama setelah 5.000 tahun akan lahir.9

namun  kenapa harus berhenti pada mamut? Profesor 

George Church dari Universitas Harvard baru-baru ini me-

nge muka kan bahwa, dengan rampungnya Proyek Genom 

Neanderthal, kita kini bisa menanam DNA Neanderthal yang 

sudah direkonstruksi ke dalam sel telur Sapiens sehingga mem-

produksi anak Neanderthal pertama dalam 30.000 tahun. Church 

mengklaim bahwa dia bisa melakukan pekerjaan itu untuk recehan 

$30 juta. Beberapa perempuan sudah siap menjadi relawati 

sebagai ibu pengganti.10

Untuk apa kita butuh Neanderthal? Sebagian berpendapat 

bahwa jika kita bisa mempelajari kehidupan Neanderthal, kita 

bisa menjawab sebagian pertanyaan paling menggelitik tentang 

asal-usul dan keunikan Homo sapiens.

Dengan membandingkan Neanderthal dengan otak manusia, 

dan memetakan di mana perbedaan strukturnya, mungkin kita 

bisa mengidentifikasi perubahan biologis apa yang menghasilkan 

kesadaran sebagaimana yang kita alami. Ada alasan etis juga—

sebagian berpandangan bahwa, jika Homo sapiens bertanggung 

jawab atas punahnya Neanderthal, maka Sapiens juga punya 

tugas moral untuk membangkitkannya kembali. Dan, keberadaan 

Neanderthal di sekeliling kita mungkin berguna juga. Banyak 

kalangan industri yang akan dengan senang hati membayar satu 

Neanderthal untuk melakukan pekerjaan kasar Sapiens.

namun  mengapa berhenti pada Neanderthal? Mengapa 

tidak kembali pada papan tulis dan Tuhan dan mendesain 

Sapiens yang lebih bagus? Kemampuan, kebutuhan, dan hasrat 

Homo sapiens memiliki basis genetika, dan genom Sapiens tidak 

lebih rumit ketimbang vole* dan tikus. (Genom tikus terdiri 

dari sekitar 2,5 miliar basis nukleo, genom Sapiens sekitar 2,9 

miliar basis—berarti yang kedua hanya 14 persen lebih besar.)11 

Dalam jangka menengah—mungkin beberapa dekade—rekayasa 

genetika dan bentuk-bentuk lain rekayasa biologi bisa jadi akan 

memungkinkan kita untuk membuat perubahan-perubahan yang 

berdampak jauh tidak hanya pada psikologi, sistem kekebalan, 

dan harapan hidup, namun  juga pada kapasitas intelektual dan 

emosional. Jika rekayasa genetika bisa menciptakan tikus genius, 

*  Hewan pengerat kecil menyerupai tikus, namun  memiliki tubuh lebih gemuk, 

ekor lebih pendek, kepala lebih bundar, serta mata dan telinga lebih kecil. Kadang 

disebut tikus ladang atau tikus padang rumput.—peny.

mengapa tidak manusia genius? Jika kita bisa menciptakan vole 

monogami, mengapa tidak manusia yang terprogram untuk tetap 

setia pada pasangan mereka?

Revolusi Kognitif yang mengubah Homo sapiens dari kera 

yang tidak signifikan menjadi penguasa dunia tidak mengharuskan 

perubahan apa pun yang berarti dalam psikologi, atau bahkan 

dalam ukuran dan bentuk eksternal otak Sapiens. Tampaknya 

yang dibutuhkan tak lebih dari beberapa perubahan kecil pada 

struktur otak internal. Mungkin perubahan kecil lainnya sudah 

cukup untuk memantik Revolusi Kognitif Kedua, menciptakan 

satu jenis kesadaran yang sama sekali baru, dan mentransformasi 

Homo sapiens menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali.

Benar, kita masih belum punya kecerdasan untuk mencapai 

ini, namun  tampaknya tidak ada hambatan teknis yang tak teratasi, 

yang mencegah kita menghasilkan manusia super. Hambatan 

utamanya yaitu  penolakan etis dan politis yang memperlambat 

riset pada manusia. Dan tak peduli betapa meyakinkan argumen-

argumen etis itu, sulit untuk melihat bagaimana mereka bisa 

bertahan lebih lama lagi untuk tidak maju ke langkah berikutnya, 

terutama jika taruhannya yaitu  kemungkinan memperpanjang 

kehidupan manusia tanpa batas, menaklukkan penyakit-penyakit 

yang tak bisa disembuhkan, dan menaikkan tingkat kemampuan 

kognitif dan emosional kita.

Apa yang terjadi, misalnya, jika kita mengembangkan suatu 

pengobatan penyakit Alzheimer yang, sebagai keuntungan 

sampingannya, bisa secara dramatis memperbaiki memori 

orang-orang yang sehat? Apakah ada orang yang akan mampu 

menghentikan riset yang relevan? Dan, saat  pengobatan itu 

dikembangkan, bisakah institusi penegakan hukum mana pun 

membatasi ini pada pasien Alzheimer dan mencegah orang sehat 

memakai nya untuk memperoleh memori super?

Belum jelas apakah rekayasa biologi bisa benar-benar 

membangkitkan kembali Neanderthal, namun  itu akan sangat 

mungkin menyibak tabir pada Homo sapiens. Bermain-main 

dengan gen kita tidak dengan sendirinya membunuh kita. Namun, 

kita mungkin menggesek biola bersama Homo sapiens sampai 

ke tingkat bahwa kita tidak akan lagi menjadi Homo sapiens.


Kehidupan Bionic 

Ada teknologi baru lain yang bisa mengubah hukum kehidupan: 

rekayasa cyborg. Cyborg yaitu  makhluk yang menggabungkan 

bagian-bagian organik dan in-organik, seperti satu manusia 

dengan tangan besi. Dalam satu pengertian, hampir semua kita 

yaitu  bionic masa sekarang sebab  indra dan fungsi-fungsi 

alamiah kita diperkuat oleh alat-alat seperti kacamata, alat pacu 

jantung, ortotik, dan bahkan komputer dan telepon mobile (yang 

membebaskan otak kita dari penyimpanan dan pemrosesan data). 

Kita sudah berdiri di ambang menjadi cyborg yang sesungguhnya, 

memiliki fitur-fitur in-organik yang tak terpisahkan dari tubuh 

kita, fitur-fitur yang memodifikasi kemampuan kita, hasrat-hasrat, 

personalitas, dan identitas kita.

The Defence Advanced Research Projects Agency (DARPA), 

sebuah badan riset militer Amerika Serikat sedang mengembangkan 

cyborg dari serangga. Idenya yaitu  menanam chip, detektor, 

dan prosesor elektronik dalam tubuh lalat atau kecoak, yang 

akan mamungkinkan seorang manusia atau operator otomatis 

mengendalikan gerakan serangga itu dari jauh dan menyerap 

serta mentransmisi informasi. Lalat semacam itu bisa hinggap 

di tembok markas besar musuh, menguping rahasia percakapan 

yang paling rahasia, dan jika tidak tertangkap oleh laba-laba, lalat 

itu bisa menginformasikan secara tepat apa yang direncanakan 

oleh musuh.12 Pada 2006, Pusat Pertempuran Bawah Laut 

Angkatan Laut Amerika Serikat (NUWC) melaporkan niatnya 

untuk mengembangkan cyborg hiu, dengan mendeklarasikan, 

“NUWC sedang mengembangkan suatu penanda ikan dengan 

tujuan mengontrol perilaku binatang yang ditandai via penanaman 

neuron”. Para pengembang berharap bisa mengidentifikasi ladang-

ladang elektromagnetik yang ditimbulkan oleh kapal selam 

dan ranjau, yang mengeksploitasi kapabilitas deteksi magnetik 

alamiah atas hiu-hiu, yang unggul di atas semua detektor buatan 

manusia mana pun.13

Sapiens juga sedang diubah menjadi cyborg. Generasi 

terbaru alat bantu dengar terkadang disebut sebagai “telinga 

bionic”. Alat itu terdiri dari satu cangkokan yang menyerap 

suara melalui mikrofon yang ditempatkan di bagian luar telinga. 

Cangkokan itu menyaring suara, mengidentifikasi suara manusia, 

dan menerjemahkannya ke dalam sinyal elektrik yang dikirim 

langsung ke saraf auditori pusat dan dari sana ke otak.14

Cangkokan retina, sebuah perusahaan Jerman yang disponsori 

pemerintah, sedang mengembangkan retina buatan yang bakal 

memungkinkan orang buta mendapatkan penglihatan parsial. 

Prosesnya mencakup pencangkokan sebuah microchip dalam mata 

pasien. Sel-sel foto menangkap cahaya yang jatuh di mata dan 

mentransformasikan ke energi listrik, yang menstimulasi sel-sel 

saraf dalam retina yang masih utuh. Impuls-impuls saraf dari sel-

sel ini menstimulasi otak, di sana impuls-impuls itu diterjemahkan 

menjadi pandangan. Saat ini teknologi ini  memungkinkan 

pasien mengorientasi diri dalam ruang, mengidentifikasi huruf, 

dan bahkan mengenali wajah.15 Jesse Sullivan, seorang tukang 

listrik Amerika, kehilangan kedua tangannya sampai bahu dalam 

kecelakaan pada 2001. Kini, dia memakai  dua tangan bionic, 

hadiah dari Institut Rehabilitasi Chicago. Fitur istimewa tangan 

baru Jesse yaitu  bahwa keduanya dioperasikan dengan pikiran 

saja. Sinyal-sinyal neuron yang tiba dari otak Jesse diterjemahkan 

dengan mikro-komputer menjadi perintah elektrik, dan tangan 

bergerak. saat  Jesse ingin mengangkat tangan, dia melakukan 

apa yang dilakukan tanpa sadar oleh orang normal—tangan naik. 

Kedua tangan ini bisa melakukan gerakan yang jauh lebih terbatas 

ketimbang tangan organik, namun  memungkinkan Jesse untuk 

melakukan fungsi-fungsi harian yang sederhana. Tangan bionic 

serupa belum lama ini sudah dipasang untuk Claudia Mitchell, 

tentara Amerika yang kehilangan tangan dalam kecelakaan 

sepeda motor. Para ilmuwan percaya bahwa kita akan segera 

memiliki tangan bionic yang tidak hanya akan bergerak kalau 

diperintahkan untuk bergerak, namun  juga akan mampu mengirim 

sinyal kembali ke otak sehingga memungkinkan orang yang 

diamputasi mendapatkan kembali sensasi sentuhan!16

Saat ini tangan-tangan bionic yaitu  pengganti buruk untuk 

tangan orisinal organik, namun  ada potensi untuk pengembangan 

tak terbatas. Tangan-tangan bionic, misalnya, bisa dibuat jauh 

lebih kuat ketimbang tangan organik sehingga membuat bahkan

seorang juara tinju merasa seperti seorang yang lemah. Lebih dari 

itu, tangan-tangan bionic memiliki keunggulan bahwa tangan-

tangan itu bisa diganti setiap beberapa tahun, atau dilepas dari 

tubuh dan dioperasikan dari jauh.

Para ilmuwan dari Universitas Duke di North Carolina belum 

lama ini mendemonstrasikan ini dengan kera rhesus yang otaknya 

sudah dicangkoki sejumlah elektroda. Elektroda-elektroda itu 

mengumpulkan sinyal dari otak dan mentransmisinya ke alat-alat 

eksternal. Monyet itu sudah dilatih untuk mengontrol tangan 

dan kaki bionic lepas melalui pikiran saja. Satu kera bernama 

Aurora, belajar untuk mengontrol dengan pikiran satu tangan 

bionic lepas sambil secara simultan menggerakkan kedua tangan 

organiknya. Seperti dewi Hindu, Aurora kini memiliki tiga 

tangan, dan semua tangannya bisa diletakkan di ruang-ruang 

berbeda—atau bahkan di kota yang berbeda. Dia bisa duduk di 

lab North Carolina, menggaruk punggung dengan satu tangan, 

menggaruk kepala dengan tangan kedua, dan secara simultan 

mencuri sebuah pisang di New York (meskipun kemampuan untuk 

8. Jesse Sullivan dan Claudia Mitchell berpegangan tangan. Hal 

yang mengagumkan dari tangan bionic mereka yaitu  bahwa 

tangan-tangan itu bisa dioperasikan dengan pikiran.

makan buah curian dari jarak jauh masih mimpi). Kera rhesus 

lainnya, Idoya, meraih ketenaran di seluruh dunia pada tahun 

2008 saat  dia mengontrol dengan pikirannya sepasang dua 

kaki bionic di Kyoto, Jepang, dari kursinya di North Carolina. 

Kedua kaki itu memiliki berat 20 kali berat Idoya.17

Sindrom terkunci-di-dalam yaitu  kondisi saat  seseorang 

kehilangan semua atau hampir semua kemampuannya untuk 

menggerakkan bagian mana pun tubuhnya, sedang  

kemampuan kognisinya tetap utuh. Para pasien yang menderita 

sindrom ini sampai sekarang mampu berkomunikasi dengan 

dunia luar hanya melalui gerakan kecil mata. Namun, beberapa 

pasien sudah memiliki elektroda-elektroda pengumpul sinyal otak 

yang dicangkokkan dalam otak mereka. Upaya-upaya sedang 

dilakukan untuk menerjemahkan sinyal-sinyal ini  tidak 

semata-mata menjadi gerakan, namun  juga menjadi kata-kata. 

Jika eksperimen-eksperimen ini sukses, pasien terkunci-di-dalam 

pada akhirnya akan bisa berbicara langsung dengan dunia luar, 

dan kita mungkin pada akhirnya akan mampu memakai  

teknologi itu untuk membaca pikiran orang lain.18

Meskipun demikian, dari semua proyek yang sedang 

dikembangkan, yang paling revolusioner yaitu  upaya untuk 

merancang antarmuka komputer-otak dua arah yang akan 

memungkinkan komputer membaca sinyal-sinyal elektrik otak 

manusia, dengan mentransmisi secara simultan sinyal-sinyal 

yang bisa dibaca otak. Bagaimana jika antarmuka semacam itu 

dipakai  untuk menghubungkan secara langsung satu otak 

dengan internet, atau untuk menghubungkan secara langsung 

beberapa otak sehingga menciptakan suatu bentuk inter-

brain-net? Apa yang mungkin terjadi pada memori manusia, 

kesadaran manusia, dan identitas manusia jika otak memiliki 

akses langsung ke memori kolektif bank? Dalam situasi seperti 

itu, satu cyborg bisa, misalnya, menarik memori dari cyborg 

lain—tidak mendengar tentang mereka, tidak membaca tentang 

mereka dalam sebuah otobiografi, tidak membayangkan mereka, 

namun  langsung mengingatnya seakan-akan memori itu yaitu  

memorinya sendiri. Apa yang terjadi dengan konsep-konsep 

seperti diri dan identitas gender saat  pikiran menjadi kolektif? 

Bagaimana Anda bisa tahu diri Anda sendiri atau mengikuti 

impian Anda jika impian tidak dalam pikiran Anda, namun  dalam 

suatu penampungan aspirasi kolektif?

Cyborg seperti itu tidak lagi menjadi manusia, atau bahkan 

organik. Ia akan menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda. Ia 

akan menjadi suatu jenis makhluk yang begitu berbeda secara 

fundamental sehingga kita tidak bisa membayangkan dampak 

filosofis, psikologis, atau politisnya.

Kehidupan Lain

Cara ketiga untuk mengubah hukum-hukum kehidupan yaitu  

merekayasa makhluk-makhluk in-organik sepenuhnya. Contoh-

contoh yang paling jelas yaitu  program-program komputer dan 

virus-virus komputer yang bisa menjalani evolusi independen. 

Bidang pemrograman genetika kini menjadi salah satu titik yang 

paling menarik dalam dunia sains komputer. Bidang ini mencoba 

meniru metode-metode evolusi genetika. Banyak pemrogram 

mengimpikan penciptaan sebuah program yang dapat belajar dan 

berevolusi secara sempurna independen dari penciptanya. Dalam 

hal ini, pemrogram akan menjadi primum mobile, penggerak 

pertama, namun  ciptaannya akan menjadi bebas berevolusi ke 

arah yang tidak dirancang oleh pembuatnya maupun oleh siapa 

pun manusia lain.

Sebuah prototipe program semacam itu sudah ada—ia disebut 

virus komputer. Saat menyebar di internet, virus mereplikasi 

diri berjuta-juta kali, sementara sedang diburu oleh program-

program predator antivirus dan bersaing dengan virus-virus 

lain untuk mendapatkan tempat di ruang cyber. Suatu hari 

saat virus mereplikasi diri sebuah kesalahan terjadi—sebuah 

mutasi terkomputerisasi. Mungkin mutasi terjadi sebab  insinyur 

manusianya memprogram virus itu untuk sesekali melakukan 

kesalahan replikasi acak. Mungkin mutasi itu disebabkan oleh 

kesalahan acak. Jika, secara kebetulan, virus hasil modifikasi 

lebih ahli dalam menginvasi komputer lain, ia akan menyebar ke 

seluruh ruang cyber. Jika demikian, mutan-mutan akan bertahan 

dan bereproduksi. Seiring waktu berjalan, ruang cyber akan 

penuh dengan virus baru yang tidak dirancang oleh siapa pun, 

dan yang mengalami evolusi non-organik. 

Apakah semua ini makhluk hidup? Tergantung pada apa 

yang Anda maksud “makhluk hidup”. Virus-virus itu sudah 

pasti diproduksi oleh satu proses evolusi baru, yang sepenuhnya 

independen dari hukum dan batasan evolusi organik.

Bayangkan kemungkinan lain—anggaplah Anda bisa mem-

back-up otak Anda ke satu hard-drive portabel dan kemudian 

menjalankannya pada laptop. Apakah laptop Anda mampu 

berpikir dan merasa seperti Sapiens? Jika demikian, apakah 

itu akan menjadi Anda atau orang lain? Bagaimana jika para 

pemrogram bisa menciptakan pikiran yang sepenuhnya baru 

namun  digital, yang terdiri atas kode komputer, dilengkapi 

dengan perasaan akan diri, kesadaran, dan memori? Jika Anda 

menjalankan program itu di komputer Anda, apakah ia menjadi 

person? Jika Anda menghapusnya, bisakah Anda dituduh 

membunuh?

Kita mungkin akan segera mendapat jawaban atas pertanyaan 

semacam itu. Human Brain Project, yang didirikan pada 2005, 

berharap menciptakan kembali satu otak manusia lengkap dalam 

sebuah komputer, dengan sirkuit elektronik dalam komputer 

meniru jaringan sel saraf di dalam otak. Direktur proyek itu 

mengklaim bahwa, jika didanai secara memadai, dalam satu atau 

dua dekade, kita bisa memiliki satu otak manusia artifisial dalam 

sebuah komputer yang bisa berbicara dan berperilaku sangat mirip 

dengan manusia. Jika berhasil, itu akan bermakna bahwa setelah 4 

miliar tahun berkeliaran di dalam dunia kecil lingkungan organik, 

kehidupan akan tiba-tiba menyeruak ke alam in-organik yang 

sangat besar, siap untuk mengambil bentuk-bentuk di luar impian 

kita yang paling liar. Tak semua ahli setuju, memang, bahwa 

pikiran bekerja dalam cara analog dengan komputer-komputer 

digital masa kini—dan jika memang tidak, komputer-komputer 

masa kini tidak akan mampu menstimulasinya. Namun, bodoh 

kalau kita menolak secara kategoris kemungkinan itu sebelum 

membiarkannya untuk dicoba. Pada 2013 proyek itu menerima 

bantuan €1 miliar dari Uni Eropa.

Singularitas

Saat ini, memang baru fraksi mungil dari peluang-peluang baru 

ini  yang sudah terealisasi. Namun, dunia 2013 sudah menjadi 

sebuah dunia yang di dalamnya kultur melepaskan diri dari 

belenggu-belenggu biologi. Kemampuan kita untuk merekayasa 

tidak semata-mata dunia di sekitar kita, namun  yang paling penting 

dunia di dalam tubuh dan pikiran kita, sedang berkembang dalam 

kecepatan yang mencengangkan. Semakin banyak dan semakin 

banyak bidang aktivitas sedang diguncang dengan cara-cara di luar 

kewajaran. Para pengacara perlu memikirkan ulang isu-isu privasi 

dan identitas; pemerintah-pemerintah menghadapi persoalan-

persoalan pemikiran ulang perawatan kesehatan dan kesetaraan; 

asosiasi-asosiasi olahraga dan institusi-institusi pendidikan perlu 

mendefinisi ulang permainan adil dan prestasi; lembaga-lembaga 

dana pensiun dan pasar buru harus menyesuaikan ulang dengan 

sebuah dunia yang di dalamnya 60 mungkin menjadi 30 yang 

baru. Mereka semua harus berurusan dengan teka-teki rekayasa 

biologi, cyborg, dan kehidupan in-organik. 

Pemetaan pertama genom manusia membutuhkan waktu 15 

tahun dan $ 3 miliar. Kini Anda bisa memetakan DNA satu orang 

dalam beberapa pekan dan dengan biaya beberapa ratus dolar.20 

Era personalisasi kedokteran—kedokteran yang mencocokkan 

perawatan dengan DNA—sudah dimulai. Dokter keluarga bisa 

segera memberi tahu Anda dengan kepastian yang lebih besar 

bahwa Anda menghadapi risiko kanker hati, sementara Anda 

tidak perlu khawatir terlalu banyak tentang serangan jantung. 

Dokter bisa memastikan bahwa sebuah medikasi populer yang 

membantu 92 persen orang tidak berguna bagi Anda, dan Anda 

harus mengambil pil lain, yang fatal bagi banyak orang lain namun  

tepat untuk Anda. Jalan menuju kedokteran nyaris-sempurna 

sudah berada di depan kita.

Meskipun demikian, bersama perbaikan-perbaikan dalam 

pengetahuan medis akan datang juga teka-teki etik baru. Para 

ahli etika dan hukum sudah bergulat dengan isu pelik privasi 

berkaitan dengan DNA. Apakah perusahaan-perusahaan asuransi 

akan berhak meminta pindai DNA kita dan menaikkan preminya 

jika mereka menemukan kecenderungan genetika pada perilaku 

sembrono? Apakah kita akan diharuskan mengirim melalui faks 

DNA kita, bukan biodata kita, ke para calon majikan? Bisakah 

seorang majikan memilih kandidat sebab  DNA-nya terlihat 

lebih bagus? Atau, bisakah kita menggugat dalam kasus-kasus 

semacam itu atas tuduhan “diskriminasi genetika”? Bisakah 

sebuah perusahaan yang mengembangkan makhluk baru atau 

organ baru mendaftarkan paten atas deretan DNA-nya? Jelas 

bahwa orang bisa memiliki ayam khas, namun  bisakah memiliki 

spesies secara keseluruhan?

Dilema semacam itu tidak ada apa-apanya dengan implikasi-

implikasi etis, sosial, dan politis dari Project Gilgamesh dan 

potensi kemampuan-kemampuan baru kita untuk menciptakan 

manusia super. Deklarasi Hak Asasi Manusia, program medis 

pemerintah di seluruh dunia, program-program asuransi kesehatan 

nasional, dan konstitusi nasional di seluruh dunia mengakui 

bahwa satu warga  manusia harus memberi semua anggotanya 

perawatan medis yang adil dan menjaga mereka dalam kondisi 

kesehatan yang relatif baik. Itu semua baik-baik saja sepanjang 

kedokteran berurusan terutama pada pencegahan dan pengobatan 

sakit. Apa yang mungkin terjadi saat  kedokteran menjadi 

sibuk dengan penguatan kemampuan manusia? Akankah semua 

manusia berhak mendapatkan kemampuan-kemampuan yang 

sudah diperkuat semacam itu, atau akankan ada suatu elite baru 

manusia super?

Dunia modern akhir kita membanggakan diri pada peng-

akuan, untuk kali pertama dalam sejarah, kesetaraan dasar 

semua manusia, namun  ia mungkin terdorong untuk menciptakan 

warga  yang paling tidak setara di antara semua warga . 

Sepanjang sejarah, kelas-kelas atas selalu mengklaim sebagai lebih 

pintar, lebih kuat, dan umumnya lebih baik ketimbang kelas 

bawah. Mereka biasanya mendelusi diri. Seorang bayi yang lahir 

dalam keluarga petani miskin berkemungkinan menjadi sama 

pintarnya dengan putra mahkota. Dengan bantuan kapabilitas 

baru kedokteran, kehendak kelas-kelas atas mungkin segera 

menjadi realitas objektif.

Ini bukan fiksi sains. Sebagian besar plot fiksi sains meng-

gambarkan suatu dunia yang di dalamnya Sapiens—yang identik 

dengan kita—menikmati teknologi superior seperti pesawat 

ruang angkasa berkecepatan cahaya dan senjata-senjata laser. 

Dilema etik dan politik yang pokok pada plot-plot ini diambil 

dari dunia kita sendiri, dan semata-mata hanya menciptakan 

ketegangan emosional dan sosial terhadap latar futuristik. Namun, 

potensi riil teknologi-teknologi masa depan yaitu  mengubah 

Homo sapiens itu sendiri, termasuk emosi dan hasrat kita, dan 

bukan semata-mata kendaraan-kendaraan dan senjata-senjata 

kita. Apalah artinya pesawat ruang angkasa kalau dibandingkan 

dengan cyborg yang muda selamanya, yang tidak berbiak dan 

tidak punya seksualitas, yang bisa membagi pikiran langsung 

kepada makhluk lain, yang kemampuan-kemampuannya untuk 

fokus dan mengingat ribuan kali lebih besar daripada kemampuan 

kita, dan yang tidak pernah marah atau sedih, namun  memiliki 

emosi dan hasrat yang belum bisa kita bayangkan?

Fiksi sains jarang menggambarkan masa depan semacam itu 

sebab  sebuah deskripsi akurat per definisi tak bisa dipahami. 

Menghasilkan sebuah film tentang kehidupan super-cyborg 

mirip dengan memproduksi Hamlet untuk audiens Neanderthal. 

Sungguh, para penguasa masa depan dunia mungkin semakin 

berbeda dari kita ketimbang Neanderthal. Sementara kita dan 

Neanderthal kurang lebih yaitu  manusia, sedang  para pewaris 

kita akan seperti dewa.

Para ahli fisika mendefinisikan Big Bang sebagai sebuah 

singularitas. Itu yaitu  sebuah titik yang padanya semua hukum 

alam yang sudah diketahui tidak ada. Waktu juga tidak ada. Jadi, 

tak bermakna mengatakan ada sesuatu “sebelum” Big Bang. Kita 

mungkin cepat mendekati sebuah singularitas baru, saat  semua 

konsep yang memberi makna pada dunia kita—saya, Anda, laki-

laki, perempuan, cinta dan benci—akan segera tidak relevan. 

Segala yang terjadi di luar titik itu tidak punya makna bagi kita.

 


Nubuat Frankenstein

Pada 1818, Mary Shelley menerbitkan Frankenstein, kisah 

tentang seorang ilmuwan yang menciptakan makhluk artifisial 

yang tak terkendali dan membuat kekacauan. Dalam 2 abad 

terakhir, cerita yang sama telah diceritakan berulang-ulang 

dalam versi-versi yang tak terhitung jumlahnya. Ia telah menjadi 

pilar utama mitologi saintifik baru kita. Pada mulanya, cerita 

Frankenstein tampaknya mengingatkan kepada kita bahwa jika 

kita mencoba bermain menjadi Tuhan dan insinyur kehidupan, 

kita akan menerima hukuman yang sangat hebat. Namun, kisah 

itu memiliki makna yang lebih dalam.

Mitos Frankenstein menghadapkan Homo sapiens pada 

fakta bahwa hari-hari akhir sedang mendekat. Jika tidak ada 

intervensi nuklir atau bencana ekologis, demikian menurut cerita 

itu, kecepatan perkembangan teknologi akan segera menuju 

penggantian Homo sapiens dengan makhluk yang sama sekali 

berbeda, yang memiliki tidak hanya jiwa yang berbeda, namun  juga 

sesuatu yang bakal membingungkan sebagian besar Sapiens. Kita 

suka memercayai bahwa pada masa depan orang-orang seperti 

kita akan bepergian dari planet ke planet dengan pesawat ruang 

angkasa. Kita tidak suka berkontemplasi tentang kemungkinan 

bahwa pada masa depan, makhluk-makhluk dengan emosi-emosi 

dan identitas-identitas seperti kita tidak akan ada lagi, dan tempat 

kita akan digantikan oleh bentuk-bentuk kehidupan alien, yang 

kemampuannya membuat kemampuan kita tidak ada apa-apanya.

Bisa saja kita menemukan kenyamanan dengan ide bahwa 

Dr. Frankenstein menciptakan sebuah monster mengerikan, yang 

harus kita hancurkan dalam rangka menyelamatkan diri. Kita suka 

mengisahkan cerita dengan cara itu sebab  itu mengimplikasikan 

bahwa kita yaitu  yang terbaik di antara semua makhluk, 

bahwa tidak pernah dan tidak akan pernah ada sesuatu yang 

lebih baik dari kita. Setiap upaya untuk memperbaiki kita akan 

gagal dengan sendirinya sebab  sekalipun tubuh kita mungkin 

membaik, Anda tidak bisa menyentuh jiwa manusia.

Kita akan kesulitan menelan fakta bahwa para ilmuwan bisa 

merekayasa jiwa sebagaimana tubuh sehingga Dr. Frankenstein 

masa depan bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar superior 

di atas kita, sesuatu yang akan memandang rendah kita 

sebagaimana kita memandang rendah Neanderthal.

Kita tidak bisa yakin apakah Frankenstein masa kini benar-

benar akan mengisi nubuat ini. Masa depan tidak diketahui, dan 

akan mengejutkan jika ramalan-ramalan dari beberapa halaman 

terakhir terwujud sepenuhnya. Sejarah mengajarkan kepada kita 

apa yang tampak hanya berada di sudut terpencil mungkin tidak 

pernah terwujud sebab  hambatan-hambatan yang tak terlihat, 

dan bahwa skenario lain yang tak terbayangkan akan benar-

benar datang. saat  abad nuklir meletus pada 1940-an, banyak 

ramalan yang dibuat tentang masa depan dunia nuklir pada 

2000. saat  Sputnik dan Apollo 11 menembakkan imajinasi 

dunia, semua orang mulai meramal bahwa pada akhir abad, 

orang akan hidup di koloni-koloni ruang angkasa di Mars dan 

Pluto. Beberapa dari ramalan-ramalan ini terwujud. Di sisi lain, 

tak seorang pun meramalkan Internet.

Maka, jangan hanya berpkir membeli asuransi liabilitas 

untuk mengganti rugi Anda melawan gugatan-gugatan yang 

diajukan makhluk-makhluk digital. Fantasi di atas—atau mimpi 

buruk—barulah stimulan untuk imajinasi Anda. Yang harus kita 

pikirkan dengan serius yaitu  ide bahwa tahap selanjutnya dari 

sejarah akan mencakup tidak hanya transformasi teknologis 

dan organisasional, namun  juga transformasi fundamental dalam 

kesadaran dan identitas manusia. Dan, ini semua bisa berupa 

transformasi-transformasi yang begitu fundamental sehingga 

membuat istilah “manusia” itu sendiri dipertanyakan. Berapa 

lama waktu yang kita punya? Tak seorang pun benar-benar 

tahu. Sebagaimana sudah disebutkan, sebagian orang mengatakan 

bahwa pada tahun 2050 beberapa manusia sudah akan a-mortal. 

Ramalan-ramalan yang agak kurang radikal berbicara tentang abad 

berikutnya atau milenium berikutnya. Namun, dari perspektif 

70.000 tahun sejarah Sapiens, apalah arti beberapa milenium?

Jika tabir itu benar-bener segera tersibak pada sejarah Sapiens, 

kita para anggota salah satu generasi terakhir harus mencurahkan 

waktu untuk menjawab salah satu pertanyaan terakhir: kita ingin 

menjadi apa? Pertanyaan ini, terkadang dikenal sebagai pertanyaan 

 

Penguatan Manusia, mengerdilkan perdebatan-perdebatan yang 

kini menyibukkan para politisi, filsuf, sarjana, dan warga  

biasa. Lagi pula, perdebatan masa kini antara agama, ideologi, 

negara, dan kelas-kelas masa kini dalam semua skenario akan 

lenyap bersama Homo sapiens. Jika para pengganti kita benar-

benar berfungsi pada level kesadaran yang berbeda (atau mungkin 

memiliki sesuatu di luar kesadaran yang bahkan tidak bisa kita 

bayangkan), tampaknya meragukan bahwa Kristen atau Islam 

akan menarik minat mereka, bahwa organisasi sosial mereka 

bisa menjadi Komunis atau Kapitalis, atau bahwa gender-gender 

mereka mungkin laki-laki atau perempuan.

Dan lagi, perdebatan-perdebatan besar tentang sejarah penting 

sebab  sekurang-kurangnya generasi pertama tuhan-tuhan ini akan 

dibentuk oleh ide-ide kultural para perancang manusia mereka. 

Akankah mereka diciptakan dalam gambaran kapitalisme, Islam, 

atau feminisme? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan 

melenceng ke arah-arah yang sama sekali berbeda.

Sebagian besar orang lebih suka tidak memikirkannya. 

Bahkan, bidang biotetik lebih suka membahas masalah lain, 

“Apa yang terlarang untuk dilakukan?” Apakah bisa diterima 

menciptakan eksperimen genetika pada makhluk manusia yang 

hidup? Pada janin yang diaborsi? Pada sel induk? Apakah etis 

untuk mengklon domba? Dan, simpanse? Lalu, bagaimana dengan 

manusia? Semua ini memang pertanyaan-pertanyaan penting, 

namun  naif untuk membayangkan bahwa kita bisa begitu saja 

menginjak rem dan menghentikan proyek-proyek saintifik yang 

sedang meng-upgrade Homo sapiens menjadi jenis makhluk yang 

berbeda. Sebab, proyek-proyek ini tak terpisahkan, menyatu 

dengan Proyek Gilgamesh. Tanyalah para ilmuwan mengapa 

mereka mempelajari genom, atau berusaha menghubungkan 

otak dengan komputer, atau berusaha menciptakan pikiran 

dalam sebuah komputer. Sembilan dari sepuluh kali Anda akan 

mendapat jawaban standar yang sama: kami sedang melakukannya 

untuk mengobati penyakit dan menyelamatkan kehidupan 

manusia. Sekalipun implikasi-implikasi dari penciptaan pikiran 

dalam komputer jauh lebih dramatis dari pengobatan penyakit 

psikiatris, ini yaitu  justifikasi standar yang diberikan sebab  tak 

seorang pun bisa melawannya. Itulah kenapa Proyek Gilgamesh 

yaitu  andalan sains. Ia berfungsi menjustifikasi segala hal yang 

dilakukan sains. Punggung babi Dr. Frankenstein di atas pundak 

Gilgamesh. sebab  mustahil untuk menghentikan Gilgamesh, 

tidak mungkin pula menghentikan Dr. Frankenstein.

Satu-satunya hal yang bisa kita coba lakukan yaitu  me-

mengaruhi arah yang sedang mereka tempuh. sebab  kita 

mungkin akan segera mampu merekayasa hasrat-hasrat kita juga, 

mungkin pertanyaan riilnya yang kita hadapi bukanlah “Kita 

ingin menjadi apa?”, namun  “Kita menginginkan apa?” Mereka 

yang tidak tergugah oleh pertanyaan ini mungkin memang belum 

pernah cukup memikirkannya.

 


Sesudah itu

Binatang yang Menjadi Tuhan

Tujuh puluh ribu tahun lalu, Homo sapiens yaitu  binatang yang 

tak signifikan, yang mengurusi urusannya sendiri di satu sudut 

Afrika. Dalam milenium-milenium berikutnya, ia bertransformasi 

menjadi penguasa segenap planet dan meneror ekosistem. Kini ia 

berdiri di ambang menjadi Tuhan, tergerak untuk meraih tidak 

hanya kemudaan abadi, namun  juga kemampuan ketuhanan untuk 

menciptakan dan menghancurkan.

Sayang sekali, rezim Sapiens di Bumi sejauh ini menghasilkan 

sedikit yang bisa kita banggakan. Kita telah menguasai alam se-

kitar, meningkatkan produksi makanan, membangun kota-kota, 

mendirikan imperium-imperium, dan menciptakan jaringan-

jaringan perdagangan yang jauh. Namun, apakah kita menurun-

kan jumlah penderitaan di dunia? Dari waktu ke waktu, 

peningkatan masif kekuatan manusia tidak dengan sendirinya 

memperbaiki kesejahteraan individual Sapiens, dan biasanya 

malah memicu  penderitaan besar bagi binatang-binatang 

lain.

Dalam beberapa dekade terakhir, kita akhirnya membuat 

sejumlah kemajuan riil dalam hal kondisi manusia, dengan 

pengurangan kelaparan, wabah, dan perang. Namun, situasi 

binatang-binatang lain memburuk lebih cepat ketimbang sebelum-

sebelumnya, dan perbaikan di banyak kemanusiaan juga terlalu 

baru dan ringkih untuk dipastikan.

Lebih dari itu, terlepas dari hal-hal yang mencengangkan 

yang mampu dilakukan oleh manusia, kita tetap tidak pasti 

tentang tujuan-tujuan kita dan kita tampak tetap tidak bahagia 

sebagaimana yang sudah-sudah. Kita sudah maju dari kano ke 

perahu sampai kapal uap, bahkan sampai pesawat ulang-alik—

namun  tak seorang pun tahu ke mana kita akan menuju. Kita lebih 

kuat dari sebelum-sebelumnya, namun  sangat sedikit yang kita 

tahu tentang apa yang seharusnya kita lakukan dengan semua 

kekuatan itu. Lebih parah lagi, manusia tampaknya menjadi 

semakin tidak bertanggung jawab dari sebelum-sebelumnya. 

Tuhan-tuhan buatan sendiri dengan hanya hukum-hukum fisika 

yang menemani, kita tidak bertanggung jawab atas satu pun. 

Akibatnya kita membuat kekacauan pada sesama makhluk, 

yakni binatang-binatang, dan pada ekosistem di sekeliling kita, 

berusaha memburu lebih dari kenyamanan dan kesenangan kita, 

namun  tidak pernah menemukan kepuasan.

Apakah ada sesuatu yang lebih berbahaya ketimbang tuhan-

tuhan yang tidak puas dan tidak bertanggung jawab yang tidak 

tahu apa yang mereka inginkan?