Daftar Singkatan
ABC : Anoa Breeding Center
APL : Areal penggunaan lain
AZA : Association of Zoos and Aquarium
BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BZG : Bandung Zoological Garden
CA : Cagar Alam
CITES : Convention on International Trade in Endangered Species
CSR : Corporate social responsibility
DAS : Daerah aliran sungai
EAZA : American, European Association of Zoos and Aquaria
EKF : Evaluasi kesesuaian fungsi
GSMP : Global Species Management Plan
HCPSN : Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
HCV : High conservation value
HGU : Hak Guna Usaha
HPH : Hak Pengusahaan Hutan
384 .
FORMATA: Forum Macan Tutul Jawa
HHBK : Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu
HPT : Hutan Produksi Terbatas
HP : Hutan Produksi
HTI : Hutan Tanaman Industri
IAS : Invasive Alien Species
IB : Inseminasi Buatan
IUCN : International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources
IUPHHK: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
KBKT : Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi
KHDTK : Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
KEE : Kawasan Ekosistem Esensial
KPPN : Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah
KSM : Kelompok Swadaya Masyarakat
KSPN : Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PHVA : Population and Habitat Viability Assessment
Polhut : Polisi Kehutanan
PM : Petkuq Mehuey
P3H : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
RIL : Reduced Impact Logging
RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah
SDG’s : Sustainable Development Goals
SDM : Sumber Daya Manusia
SM : Suaka Margasatwa
SRAK : Strategi dan Rencana Aksi Konservasi
TFCA : Tropical Forest Conservation Action
TN : Taman Nasional
TNC : The Nature Conservancy
TPTI : Tebang Pilih Tanam Indonesia
TR : Tebang Rumpang
TSI : Taman Safari Indonesia
TWA : Taman Wisata Alam
Indonesia adalah negara negara megabiodisersity. Meskipun luas wilayah-
nya hanya 1,3% dari luas muka bumi, namun Indonesia memiliki 12% ma-
malia, 16% reptilia, 10% tumbuhan, 25% ikan dan 17% burung yang ada di
dunia. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya perlindungan, penga-
wetan dan pelestarian keanekaragaman hayati, antara lain melalui pen-
cadangan kawasan hutan sebagai hutan konservasi seperti taman nasio-
nal, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, taman hutan raya,
dan taman buru. Disamping itu, pemerintah juga menetapkan jenis-jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/ 2018. Upaya
konservasi satwa juga dilakukan melalui penyusunan Strategi dan Rencana
Aksi Konservasi spesies yang terancam punah serta penetapan 25 spesies
prioritas.
Peningkatan populasi 25 spesies prioritas sebesar 10% dari baseline data
2013 merupakan salah satu yang akan dicapai pemerintah. Upaya pening-
katan populasi tersebut antara lain dilakukan melalui pembinaan populasi,
penanggulangan konflik, perlindungan dan pengamanan, penyadartahuan,
rehabilitasi dan pelepasliaran, pengelolaan dan pengem- bangan pangkalan
data.
Indonesia dengan luas daratan 1,9 juta km2 memiliki kekayaan hayati
tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Khusus untuk fauna terdapat
setidaknya 720 spesies mamalia, 1.600 spesies burung, 385 spesies
amfibi, dan 723 spesies reptil (Abdulhadi dkk., 2014). Hampir satu
setengah abad yang lampau Alfred Russel Wallace telah membagi
dunia menjadi enam wilayah zoogeografi dan Indonesia termasuk
dalam wilayah Oriental dan Australian (Wallace, 1976). Kekayaan
jenis tersebut tidak lepas dari posisi Indonesia yang berada pada zona
peralihan zoogeografi. Zoogeografi adalah pengelompokan wilayah
sebaran satwa secara global pada masa lalu maupun saat ini.
Seiring dengan perkembangan informasi filogenetik dan sebaran
berbagai satwa di dunia saat ini, wilayah sebaran zoogeografi telah
diperbarui berdasarkan kelompok mamalia, burung, herpetofauna,
dan tetrapoda vertebrata menjadi 11 region (Proches & Ramdhani,
2012). Berdasarkan pengelompokan yang baru tersebut wilayah
Indonesia meliputi tiga region, yaitu Indo-Malaysian (Sumatra,
Kalimantan, Jawa, Bali), Wallacea (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara),
dan New Guinean (Papua) (Gambar 1.1).
Gambar 1.1 Peta Pembagian Wilayah Zoogeografi Indonesia
Selain itu, kekayaan jenis fauna juga ditunjukkan oleh tingkat
endemisitasnya yang tinggi. Endemisitas satwa didukung oleh ke-
beradaan ribuan pulau yang dimiliki, baik pulau kecil maupun pulau
besar. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 17 ribu pulau
yang menyebar dari Sabang sampai Merauke. Beberapa pulau di
Indonesia merupakan habitat dari jenis-jenis fauna endemik. Sebagai
contoh, Pulau Sumatra merupakan habitat orang utan endemik Pongo
abelii dan P. tapanuliensis, sedangkan Pulau Kalimantan menjadi
habitat endemik bagi P. pygmaeus dan bekantan (Nasalis larvatus)
(Supriatna, 2016). Indonesia bagian tengah atau sering dikenal dengan
wilayah Wallacea dengan Pulau Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara
sebagai pulau utama dan ribuan pulau kecil di sekitarnya, juga kaya
akan satwa endemik. Sebanyak 16 jenis Tarsius spp. adalah satwa
endemik di wilayah ini, bahkan beberapa jenis adalah endemik pada
pulau-pulau kecil (Shekelle dkk., 2019).
3
Satwa liar memiliki nilai ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Secara ekologi setiap satwa memiliki perannya masing-masing
dalam keseimbangan rantai makanan, seperti sebagai penyebar biji
tumbuhan, membantu penyerbukan, mempercepat perkecambahan,
atau membuka tajuk hutan untuk pertumbuhan semai dan pancang
di lantai hutan. Hilangnya salah satu spesies dalam ekosistem akan
berpengaruh terhadap keseimbangan alam. Secara ekonomi berbagai
satwa liar merupakan sumber dari proses domestikasi berbagai hewan
ternak yang penting bagi kehidupan manusia. Jenis satwa liar me-
miliki potensi dikembangkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
manusia maupun untuk tujuan estetika. Sebagai contoh, rusa memiliki
potensi didomestikasi untuk memenuhi kebutuhan protein hewani
bagi masyarakat melalui mekanisme penangkaran. Selain itu, keunik-
an dan keindahan berbagai satwa liar dapat dimanfaatkan secara tidak
langsung sebagai objek daya tarik ekowisata, seperti orang utan,
bekantan, dan gajah. Sosok berbagai satwa juga sangat lekat dengan
budaya masyarakat berbagai suku di Indonesia. Satwa-satwa tertentu
sering kali menjadi simbol kebijaksanaan, kekuatan, kelembutan, dan
keindahan dalam kehidupan budaya masyarakat lokal.
Kekayaan jenis satwa liar di Indonesia saat ini menghadapi ber-
bagai ancaman terhadap kelestariannya. Ancaman utamanya adalah
hilang dan rusaknya habitat, kebakaran hutan, perburuan liar, dan
perdagangan ilegal. Peningkatan populasi penduduk dapat ber im-
plikasi pada meningkatnya kebutuhan akan pangan, sandang, dan
papan. Habitat satwa liar makin terbatas dan mengalami kerusakan
akibat pembukaan areal hutan menjadi permukiman, perkebunan,
ladang, dan berbagai kepentingan lainnya. Pergerakan mamalia, se-
perti banteng, anoa, rusa makin terbatas dan hanya tersisa di beberapa
kawasan-kawasan konservasi. Sering kali satwa keluar dari kawasan
hutan dan masuk ke areal perkebunan dan permukiman penduduk.
Hal tersebut memicu terjadinya konflik antara satwa dengan manusia.
Buku ini terdiri dari 3 bagian besar mewakili Region Indo-
Malaysian, Region Wallacea, dan Region New Guinean. Tiap region
meliputi satu atau lebih gugusan pulau besar di Indonesia dan be-
.4
berapa bab. Setiap bab terdiri dari beberapa judul pembahasan terkait
spesies yang ada di bioregionnya. Setiap pembahasan menyampaikan
satu topik tertentu terkait satu spesies satwa, terutama satwa yang
dilindungi, terancam punah, atau memiliki potensi nilai ekonomi
tinggi.
Bagian 1. Region Indo-Malaysian
Pulau Sumatra
Pulau Sumatra memiliki luas 473,6 ribu km2, dengan luas tutupan
hutannya 129,9 ribu km2. Namun, laju deforestasi yang terjadi pada
tahun 2017–2018 mencapai 89.694,9 km2 (Kementerian LHK, 2019).
Pulau Sumatra memiliki keanekaragaman satwa primata yang tinggi,
dua di antaranya akan dibahas oleh Wanda Kuswanda dan Sriyanti
Puspita Barus. Kedua satwa ordo primata tersebut termasuk kelompok
kera besar dan kera kecil, yaitu orang utan tapanuli dan siamang.
Kedua jenis kera arboreal tersebut memerlukan habitat dengan
kondisi hutan yang bagus dengan tajuk yang saling terhubung. Sa-
yangnya, hutan di Pulau Sumatra telah banyak mengalami kerusakan
dan telah dikonversi menjadi berbagai penggunaan lain. Kerusakan
hutan juga berpengaruh terhadap mamalia besar, yaitu gajah sumatra.
Pada topik ketiga dalam bioregion Sumatra ini, R. Garsetiasih dkk.
akan membahas tentang areal hutan yang awalnya merupakan habitat
gajah kemudian berubah menjadi areal perkebunan sawit, hutan
tanaman industri, dan permukiman masyarakat. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya konflik antara satwa dengan manusia.
Pulau Jawa-Bali
Pulau Jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia. Berdasarkan
data tahun 2019 kepadatan penduduk di pulau seluas 129.438 km2
ini berkisar antara 831–15.900 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik, 2020).
Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan tekanan terhadap
areal hutan yang menjadi habitat berbagai satwa liar menjadi tinggi.
Areal hutan dibuka dan diubah menjadi areal permukiman, perke-
bunan, serta berbagai sarana dan prasarana umum. Areal berhutan
5
di Pulau Jawa hanya tersisa 32,1 ribu km2 (Kementerian LHK, 2019)
dan menjadi habitat potensial bagi berbagai satwa liar yang tersisa.
Keberadaan banteng pada habitatnya di Pulau Jawa terdesak dan
sebagian besar hanya tersisa di kawasan konservasi di ujung Pulau
Jawa. Bagaimana kondisi genetik banteng dan bagaimana strategi
dalam upaya untuk menyelamatkannya melalui pembangunan sanc-
tuary akan dibahas oleh Maryatul Qiptiyah, R. Garsetiasih, AYPBC
Widyatmoko, ILG Nurtjahjaningsih, Reny Sawitri, dan Mariana
Takandjandji. Sementara itu, Vivi Yuskianti akan membahas berbagai
ancaman dan upaya konservasi elang jawa yang merupakan satwa
inspirasi lambang negara. Selain satwa-satwa tersebut, berbagai
jenis satwa herbivor juga terancam akan kehilangan habitatnya dan
berujung pada penurunan populasi. Penurunan populasi satwa
herbivor yang merupakan mang sa utama macan tutul berpotensi
menimbulkan konflik. Macan tutul akan sering masuk ke permukim-
an dan memangsa ternak penduduk. Resolusi penanganan macan
tutul pascakonflik akan dibahas oleh Hendra Gunawan. Di sisi lain,
kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa juga menimbulkan
berbagai permasalahan ekonomi yang memicu kegiatan perburuan
liar dan perdagangan satwa ilegal, seperti rusa dan trenggiling. Se-
berapa besar ancaman perdagangan liar trenggiling dan bagaimana
kesuksesan penangkaran rusa timor akan dibahas pada akhir bagian
ini oleh Mariana Takandjandji dan Reny Sawitri.
Pulau Kalimantan
Pulau Borneo adalah pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland
dan Papua. Sebagian besar pulau tersebut, tepatnya seluas 533.659 km2
atau 73% di antaranya adalah wilayah Indonesia (Badan Pusat Statistik,
2020). Posisinya yang tepat berada di garis khatulistiwa membuatnya
memiliki hutan hujan tropis yang luas dengan luas areal yang berhutan
adalah 265,6 ribu km2 (Kementerian LHK, 2019). Berbagai perubahan
tutupan hutan banyak terjadi untuk dikonversi menjadi permukiman,
perkebunan, dan pertambangan. Bagian pertama akan membahas
tentang upaya pelestarian kera besar orang utan kalimantan subspesies
.6
morio dalam skala bentang alam oleh Tri Atmoko dan pentingnya
koridor satwa bagi orang utan oleh Tri Sayektiningsih.
Pulau Kalimantan secara geomorfologi terbentuk oleh banyak
sungai besar dan kecil yang mengalir mulai dari pedalaman hingga
tepi laut. Kondisi tersebut membentuk ekosistem hutan riparian yang
merupakan habitat utama bekantan. Tri Atmoko, Sofian Iskandar,
dan Endang Karlina akan membahas bagaimana pentingnya hutan
riparian bagi kehidupan bekantan, serta tantangan dan peluang
upaya konservasi demi masa depan bekantan. Topik selanjutnya
oleh Rozza Tri Kwatrina akan membahas tentang pelestarian sigung
dalam lanskap mosaik perkebunan kelapa sawit. Pulau Kalimantan
juga merupakan salah satu wilayah sebaran ular sanca. Keberadaannya
sangat penting dalam rantai makanan di alam. Vivin S. Sihombing
akan mendiskusikan beberapa hal terkait ular sanca, antara lain sejauh
mana satwa liar yang sering dianggap menakutkan tersebut memiliki
nilai potensial yang tinggi dan sudah banyak ditangkarkan sebagai
satwa pet. Selain ular sanca, burung berkicau juga banyak yang mulai
ditangkarkan. Namun, masih banyak burung yang langsung ditangkap
di alam sehingga populasinya makin menurun. Mukhlisi dkk. akan
mendiskusikan tentang hutan yang mulai sunyi dari kicauan burung
cica daun atau sering dikenal cucak ijo.
Bagian 2. Region Wallacea
Pulau Sulawesi
Luas bioregion Sulawesi adalah 184.981 km2 yang menjadikan-
nya sebagai pulau terbesar di wilayah Wallacea dengan areal yang
berhutan seluas 91,6 ribu km2 (Kementerian LHK, 2019). Sebagai
bagian dari wilayah zoogeografi Wallacea, Pulau Sulawesi memiliki
keanekaragaman satwa unik yang berbeda dengan Pulau Kalimantan
dan Papua. Pulau ini dapat dikatakan sebagai pusat penyebaran pen-
ting dari tarsius dan maleo. Keunikan tarsius akan dijelaskan oleh
Indra ASLP Putri, sedangkan nasib burung maleo dalam lanskap yang
terus mengalami perubahan akan dibahas oleh Hendra Gunawan.
Pulau Sulawesi juga memiliki keindahan dibalik keunikan dan
7
warna-warni burung paruh bengkoknya. Bagaimana kehidupannya
dan sejauh mana burung cantik, nuri talaud dan perkici dora, menjadi
incaran para pemburu satwa akan dibahas oleh Diah ID Arini, Indra
ASLP Putri, dan Fajri Ansari. Tidak hanya satwa kecil, Pulau Sulawesi
juga memiliki satwa mamalia besar, salah satunya anoa. Margaretta
Christita dan Diah ID Arini pada akhir bagian ini akan menjelaskan
bagaimana strategi Anoa Breeding Center dalam melakukan kon-
servasi anoa secara ex situ.
Kepulauan Maluku
Wilayah Bioregion Maluku memiliki luasan sebesar 77.792 km2,
dan merupakan bagian dari wilayah Wallace, berupa kepulauan
dengan luas tutupan hutan 77.520 km2 (Kementerian LHK, 2019).
Bioregion Maluku, meliputi pulau-pulau yang berada di antara Pulau
Sulawesi dan Papua. Secara umum, wilayah ini terbagi menjadi dua
kelompok utama, yaitu Maluku Utara (Morotai, Halmahera, Bacan,
Obi), dan Maluku Selatan (Buru, Ambon, Seram) (Coates & Bishop,
2000). Meskipun berupa pulau-pulau berukuran sedang dan kecil,
Kepulauan Maluku memiliki satwa mamalia besar yang khas, yaitu
babirusa maluku. Tidak mudah bagi babirusa untuk bertahan hidup
pada pulau-pulau kecil. Bayu W Broto dkk. akan membahas tentang
harapan baru upaya konservasi babirusa maluku dengan ditemukan
indikasi keberadaannya di Cagar Alam Masbait.
Kepulauan Nusa Tenggara
Luas bioregion Bali dan Nusa Tenggara adalah 71.686 km2 dengan
luasan pulau utama di Nusa Tenggara sebesar 67.290 km2 dan
memiliki 28,4 km2 areal yang berhutan (Kementerian LHK, 2019).
Sebagian besar wilayah Nusa Tenggara terdiri atas sebagian kecil areal
hutan dan sisanya berupa padang rumput dan perdu dengan pohon-
pohon yang jarang (Coates & Bishop, 2000). Meskipun demikian,
wilayah ini merupakan habitat dari beberapa jenis satwa endemik
yang penting. Oki Hidayat akan membahas tentang salah satu elang
paling terancam punah di dunia, yaitu elang flores. Sementara itu,
.8
Kayat akan menyampaikan bagaimana upaya yang telah dilakukan
dalam konservasi ex situ kura-kura leher ular rote.
Bagian 3. Region New Guinean
Pulau Papua
Luas wilayah bioregion Papua adalah 411.563 km2 dengan 337,4
ribu km2 areal yang berhutan (Kementerian LHK, 2019). Ekosistem
di Papua sangat bervariasi, mulai dari lahan basah mangrove yang
luas sampai ekosistem pegunungan di puncak tertinggi Pegunungan
Jayawijaya. Ekosistem tersebut menjadi habitat berbagai satwa liar.
Salah satunya adalah reptil langka kura-kura moncong babi yang
ba-nyak diburu baik telur maupun dagingnya. Kondisi satwa ini di
alam liar akan dibahas oleh Richard Gatot Nugroho Triantoro pada
tema bioregion Papua.
PULAU SUMATERA
Orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah kera besar yang
sangat terancam punah karena habitatnya terbatas hanya di Hutan
Batangtoru, Tapanuli (Kuswanda, 2014). Orang utan memiliki kesa-
maan genetik yang tinggi dengan manusia. Seperti halnya manusia,
orang utan sangat menyukai buah durian dan petai yang ditanam
masyarakat sehingga menimbulkan konflik. Ironisnya, muncul feno-
mena konflik karena manusia merasa dirugikan dan gagal panen.
Sebagai khalifah di bumi, seharusnya manusia bisa berbagi tempat
“koeksistensi” dengan orang utan. Melalui penerapan teknologi mo-
dern untuk mencari sumber ekonomi baru, hidup bijaksana dengan
berlandaskan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan
dan menerapkan kerja sama antar stakeholder, kita bisa berdampingan
hidup dengan orang utan tapanuli.
Sebagai kera besar, orang utan memiliki 97% kesamaan genetik
dengan manusia (Meijaard dkk., 2001). Tingkah lakunya juga hampir
mirip dengan manusia. Hanya mereka tidak memiliki akal dan pikiran
yang sempurna, seperti yang Tuhan anugerahkan kepada manusia.
Ironisnya, orang utan malah menjadi salah satu hewan peliharaan
favorit bagi sebagian manusia. Orang utan telah banyak diburu untuk
diperdagangkan secara ilegal dan dijadikan binatang peliharaan.
Populasi orang utan di alam makin menurun karena laju kelahirannya
yang lambat. Orang utan hanya melahirkan 8–9 tahun sekali dan itu
pun pada kondisi habitat yang bagus, seperti hutan primer (Wich
dkk., 2004, 2009).
Secara umum, habitat alami dua jenis orang utan di Pulau
Sumatra hanya tersisa di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Sebaran
orang utan di Provinsi Aceh banyak ditemukan di Kawasan Ekosistem
Leuser, Taman Nasional Gunung Leuser, Hutan Rawa Tripa sampai
Trumon-Singkil, dan daerah Tapanuli. Sebaran orang utan di Sumatra
Utara sudah terpisah pada beberapa lanskap alam, seperti di Kabu-
paten Langkat, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Blok Hutan Batangtoru
di Tapanuli (Kuswanda, 2014). Habitat orang utan tapanuli sudah
terfragmentasi oleh berbagai aktivitas manusia sehingga kemungkinan
kepunahan lokal sangat tinggi.
Pertumbuhan dan jangka melahirkan orang utan tapanuli yang
berada dan tinggal di lahan masyarakat atau lahan perusahaan diduga
akan makin lambat karena kehidupannya terganggu oleh manusia.
Kerusakan habitat, perburuan untuk peliharaan, dan jarak kelahiran
yang panjang mengakibatkan kera besar ini makin langka di alam. Pa-
dahal, orang utan sangat membantu kita dalam menjaga keseimbang-
an alam. Orang utan dapat membantu proses regenerasi tumbuhan
di hutan sebagai “petani” alam. Saat membuang kotoran, orang utan
mengeluarkan biji-biji tanaman yang akan tumbuh menjadi benih
dan tumbuhan baru di dalam hutan. Namun, sangat disayangkan kera
besar ini kepunahannya sudah berada di ambang mata, apabila tidak
dibantu untuk kegiatan pelestariannya, terutama orang utan tapanuli.
17
A. Orang Utan Tapanuli, Warisan Hutan Batangtoru
Orang utan di Pulau Sumatra pada akhir tahun 2017 telah ditetap-
kan menjadi dua spesies yang berbeda, yaitu Pongo abelii dan P.
tapanuliensis (Gambar 2.1). Orang utan tapanuli hanya tersisa di
hutan Batangtoru yang meliputi tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara,
Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara.
Hutan Batangtoru memiliki kekayaan hayati yang tinggi dan tipe
ekosistem yang beragam. Luasan lanskap Batangtoru diperkirakan
seluas 240–280 ribu dengan berbagai tipe tutupan lahan, mulai dari
hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran/agroforestri, lading,
sampai lahan pertanian (Gambar 2.2). Tidak semua kawasan tersebut
menjadi habitat orang utan, hanya sekitar 138.435 ha (49%) dan
terpisah dalam tiga blok habitat
Hutan Batangtoru adalah salah satu kawasan yang sangat penting
karena juga memiliki nilai jasa lingkungan yang tinggi. Kawasan ini
secara administratif termasuk pada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten
Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan sebagian Tapanuli Utara yang
merupakan habitat tersisa bagi beragam jenis flora dan fauna yang
berada di sebelah selatan Danau Toba.
Hutan Batangtoru juga telah menjadi sumber penghidupan bagi
masyarakat Tapanuli sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat mengelola
dan memanfaatkan sumber daya hutan yang juga merupakan habitat
satwa liar untuk mendapatkan sumber makanan, obat-obatan, dan
kebutuhan rumah tangga lainnya. Masyarakat mengambil kayu, buah-
buahan, daun, dan hasil hutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan dijual untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarga.
Masyarakat memasuki habitat orang utan hampir setiap hari, baik un-
tuk memelihara tanamannya maupun mengambil sumber daya hutan.
Berbagai jenis tanaman yang banyak dibudidayakan masyarakat di
Foto: Wanda Kuswanda (2019)
Gambar 2.2 Lahan Pertanian dan Permukiman Masyarakat di Hutan Batangtoru
19
antaranya karet, sawit, salak, coklat, kayu manis, durian, kopi, kemiri,
dan kayu manis.
Keberadaan hutan Batangtoru sangat penting. Hancurnya hutan
Batangtoru akan menyebabkan orang utan tapanuli punah di alam dan
Indonesia akan dianggap gagal dalam melindungi hutan dan meles-
tarikan orang utan. Orang utan tapanuli saat ini telah menjadi warisan
yang sangat berharga bagi masyarakat Batangtoru dan Indonesia pada
umumnya. Namun, warisan tersebut tidak akan berarti apa-apa apa-
bila tidak mendatangkan sumber pendapatan bagi masyarakat lokal
maupun negara. Berbagai kegiatan konservasi orang utan tapanuli
turut meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya
melalui pendanaan dunia internasional maupun corporate social
responsibility (CSR) perusahaan. Orang utan tapanuli bisa “dijual”
sebagai objek ekowisata dunia dan mengajak masyarakat internasional
untuk berpartisipasi dalam program pelestariannya.
B. Konflik Manusia-Orang Utan Tapanuli
Hobi orang utan mengonsumsi buah durian dan petai ternyata
berdampak terhadap timbulnya konflik antara manusia dan orang
utan tapanuli. Bagi orang utan, adanya pohon durian dan petai yang
terdapat di wilayah jelajah mereka adalah anugerah untuk mereka
konsumsi tanpa akan “bertanya” pohon itu milik siapa dan tumbuh
di status hutan apa? Di sisi lain, manusia yang memelihara dan me-
nunggu hasil panen buah durian dan petai akan merasa kecewa dan
marah ketika tanaman peliharaannya rusak dan buahnya habis oleh
orang utan. Manusia merasa gagal panen dan menderita kerugian
karena tanpa ada hasil dari pekerjaannya.
Pada kondisi tersebut, masyarakat cenderung akan menyalahkan
orang utan. Mereka mengusir dengan teriakan, membuat bakaran
api dibawah pohon atau memukul-mukul batang pohon agar orang
utan tersebut pergi dari pohon durian atau petai mereka. Bahkan,
saat ini sebagian masyarakat pemilik pohon menggunakan senapan,
meskipun tidak ditembakkan secara langsung terhadap orang utan.
.20
Rusaknya tanaman oleh satwa liar telah mendorong mening-
katnya konflik antara satwa dengan manusia terutama di Indonesia
yang sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor
pertanian. Konflik manusia dan orang utan juga diduga akan terus
terjadi karena pertumbuhan manusia di Kabupaten Tapanuli Selatan
yang terus meningkat dengan kepadatan penduduk telah mencapai
64,35 jiwa per km2 dengan sebagian besar masih bermata pencaharian
sebagai petani (BPS Kabupaten Tapsel, 2019).
Upaya mitigasi konflik manusia dan orang utan tapanuli harus
menjadi prioritas para pihak. Prinsip dasar dalam mitigasi konflik
adalah keselamatan bagi manusia dan satwa liar, termasuk pada
konflik dengan orang utan. Mitigasi konflik dapat dilakukan untuk
mengurangi dan/atau menghapus risiko kerugian dan korban manusia
yang mungkin terjadi akibat gangguan satwa liar. Program yang
harus dikembangkan dapat diarahkan untuk mengurangi efek negatif
terhadap kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan kon-
servasi satwa liar di daerah konflik, termasuk di wilayah Kabupaten
Tapanuli Selatan. Pendekatan multi pihak harus dikembangkan karena
dalam penanganan konflik tidak ada solusi tunggal, melibatkan skala
yang luas (lanskap), dan merupakan tanggung jawab banyak pihak
(Dephut, 2008).
C. Berbagi Ruang dengan Orang Utan Tapanuli
Hubungan antara manusia dan satwa liar telah berevolusi sejak
peradaban manusia di bumi dengan segala bentuk kompleksitas
dan keragamannya. Manusia akan selalu mencari kesempatan dan
pengetahuan untuk berinteraksi dan memanfaatkan alam maupun
satwa liar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, karena
keserakahannya, manusia memanfaatkan sumber daya alam secara
berlebihan tanpa memperhatikan aspek perlindungan dan kebutuh-
an bagi makhluk hidup lainnya. Beragam aktivitas manusia telah
mengakibatkan kepunahan dan konflik pemanfaatan sumber daya
hutan antara manusia dan satwa liar (Alikodra, 2019). Manusia yang
dianugerahi Sang Pencipta menjadi khalifah di bumi tidak berhak un-
21
tuk memanfaatkan sumber daya alam semaunya, melainkan memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola alam secara bijaksana
dan berkelanjutan. Ribuan makhluk hidup lainnya, seperti orang utan
juga memiliki hak untuk hidup dan manusia diberi tanggung jawab
untuk melindunginya. Punahnya orang utan sebagai bagian dari rantai
ekosistem akan menimbulkan bencana bagi manusia sendiri.
Sebagai makhluk sosial, manusia diperintahkan untuk hidup
berbagi dengan makhluk lainnya, bukan hanya antarmanusia sendiri,
tetapi dengan seluruh makhluk yang ada di bumi. Berkembangnya
konsep koeksistensi dapat menjadi landasan bagi manusia untuk
mampu berdampingan dan berbagi tempat dengan makhluk lainnya,
termasuk orang utan. Penerapan koeksistensi atau ‘hidup berdam-
pingan antara manusia dan satwa liar’ diharapkan dapat menumbuhkan
sikap toleransi, peningkatan populasi satwa liar, dan keberlangsungan
legitimasi kehidupan sosial ekonomi.
Manusia yang hidup di era modern, kiranya harus bercermin
kembali kepada kehidupan masyarakat lokal. Mereka mampu hidup
harmonis dengan alam dan kebutuhan hidupnya tercukupi tanpa
harus berkonflik dan mengorbankan habitat orang utan seperti di
lanskap Batangtoru. Warisan kearifan lokal dari leluhur Etnis Angkola,
seperti menjaga hutan larangan, melindungi mual ‘sumber air’, dan
tidak boleh menebang jenis pohon tertentu adalah bentuk nyata
bagaimana mereka telah menyisakan sebagian hutan di daerahnya un-
tuk kehidupan makhluk lainnya. Mereka tidak mengganggu kawasan
yang dianggap keramat sebagai ‘tempat mahluk gaib’ yang sebenarnya
dapat juga diperuntukan sebagai ruang kehidupan satwa liar.
D. Berbagi Durian dan Petai dengan Orang Utan
Tapanuli
Orang utan tapanuli, seperti jenis lainnya, merupakan satwa yang
mengonsumsi beragam jenis tumbuhan. Orang utan akan selalu
bergerak mencari habitat yang memiliki ketersediaan pakan me-
limpah, terutama buah-buahan yang merupakan makanan utama.
Lebih dari 190 jenis pakan orang utan tapanuli telah teridentifikasi,
.22
baik kelompok pohon maupun liana (tumbuhan merambat) (Putro
dkk., 2019). Orang utan membutuhkan variasi jenis tumbuhan
pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jenis-jenis tumbuh-
an yang disukai di antaranya adalah gala-gala (Ficus racemosa),
medang nangka (Elaeocarpus obtusus), beringin (F. benjamina),
hoteng (Quercus maingayi), teurep (Artocarpus elasticus), motung
(F. toxicaria), dongdong (F. fistulosa), dan asam hing (Dracontomelon
dao). Selain tanaman hutan, orang utan tapanuli juga sangat menyukai
buah tanaman yang sangat disukai oleh masyarakat, seperti durian
(Durio zibethinus), petai (Parkia speciosa), dan aren (Arenga pinnata).
Durian dan petai merupakan salah satu makanan favorit
bagi orang utan sehingga banyak orang utan yang turun ke lahan
masyarakat ketika musim buah durian. Mengamati orang utan saat
mengkonsumsi buah durian dan petai merupakan kejadian langka dan
sangat menarik (Gambar 2.3). Orang utan kadang tidak memedulikan
gangguan ketika sedang berada di pohon durian.
(a) (b)
Keterangan: (a) Makan Petai (b) Makan Durian
Foto: Wanda Kuswanda (2018)
Gambar 2.3 Aktivitas Makan Orang Utan Tapanuli
23
Dalam satu hari, orang utan bisa mengonsumsi 20–30 durian.
Bahkan, mereka dapat tinggal beberapa hari sampai buah durian
hampir habis apabila tidak diusir oleh pemilik tanaman. Durian yang
dikonsumsi oleh orang utan bukan hanya durian yang sudah masak,
tetapi yang masih mentah ‘mangkal’ pun tetap mereka konsumsi.
Lebih menarik lagi ketika mereka mengambil durian, yaitu dengan
cara mengangkat dan menekan batang pohon sampai durian terlepas
dari tangkainya. Mereka lalu membuka durian dengan cara mengigit,
kemudian membuka buah dengan kedua tangannya. Rata-rata hanya
sebagian buah durian yang mereka makan dan sisanya dijatuhkan ke
tanah. Kita akan sangat beruntung ketika menemukan orang utan
sedang makan durian karena biasanya mereka tidak memakan habis
isi dari buah durian sehingga dapat mengambil sisa durian yang
dikonsumsi oleh orang utan.
Begitu juga ketika memakan buah petai. Orang utan hanya
mengonsumsi buah petainya saja. Buah petai dipegang oleh tangan
atau dibuka oleh giginya kemudian dimakan. Bahkan seperti manusia,
orang utan bisa membuka buah petai dengan menggunakan kedua
tangannya dan kemudian buahnya dikonsumsi. Orang utan mengon-
sumsi buah petai dengan sangat cepat dan mampu menghabiskan satu
tandan dalam waktu kurang dari satu jam. Dalam satu hari, beberapa
tandan buah petai sanggup dihabiskan oleh orang utan.
E. Penutup
Masa depan kehidupan orang utan ada di tangan manusia. Meng-
gunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia bisa menciptakan
berbagai sumber ekonomi alternatif, namun tidak bagi orang utan.
Manusia bisa mengintensifkan lahan yang sudah dikelola secara
bijaksana dan menyisakan tempat hidup bagi orang utan dan satwa
liar lainnya. Hidup berdampingan dengan orang utan tapanuli di era
modern, PASTI BISA!! Asal kita mampu mengembangkan amanah
bahwa manusia diutus sebagai “khalifah” di muka bumi.
Apabila di Bali terkenal dengan Sangeh yang memiliki ratusan monyet
sebagai atraksi wisatanya, Sumatra Utara memiliki taman primata
kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Aek Nauli dengan
atraksi siamang. Siamang merupakan ikon wisata ilmiah di KHDTK
Aek Nauli yang dapat dipanggil dengan cara meniup terompet yang
terbuat dari tanduk kerbau. Neli adalah nama siamang betina yang
menjadi primadona di taman primata KHDTK Aek Nauli. Taman
primata ini terletak di jalur Medan menuju Parapat yang dapat ditem-
puh dalam waktu empat jam perjalanan menggunakan transportasi
darat dari Kota Medan. Di lokasi ini, pengunjung dapat menyaksikan
siamang, primata endemik Pulau Sumatra bersama ratusan ekor beruk
dan monyet ekor panjang.
A. Mengenal Siamang, kera endemik Pulau
Sumatra
Siamang (Symphalangus syndactylus) adalah kera hitam tidak bere-
kor, memiliki lengan panjang, dan hidup di atas pepohonan. Secara
taksonomi, siamang termasuk dalam famili Hylobatidae yang terdiri
dari dua subspesies, S. s. syndactylus dan S. s. continensis
Tubuhnya ditutupi oleh rambut yang panjang dan seluruhnya
berwarna hitam, kecuali rambut di sekitar mulut dan dagu yang
berwarna lebih muda. Siamang memiliki dua keunikan yang khas,
yaitu dua jari pada setiap kakinya disatukan oleh sebuah membran
dan kantung suara yang membuat tenggorokan siamang dapat
mengembang sampai sebesar kepalanya sehingga dapat menghasilkan
suara yang keras dan beresonansi (Palombit, 1997). Suara yang khas
mengalun dan saling bersahutan antarkelompok, membuat siamang
mudah untuk dideteksi keberadaannya. Saat pagi hari, biasanya
siamang akan saling memanggil dengan suara khasnya yang memecah
keheningan hutan.
Siamang dapat ditemukan pada sebagian besar hutan tropis Asia
Tenggara, mulai dari semenanjung Malaysia dan Thailand hingga ke
Indonesia (Mubarok, 2012). Siamang merupakan salah satu jenis satwa
primata endemik Pulau Sumatra dengan sebaran di Indonesia hanya
terdapat di Pulau Sumatra, yaitu dari Aceh sampai Lampung. Khusus
di Sumatra Utara, yaitu di Kabupaten Tapanuli Selatan, siamang lebih
dikenal dengan nama imboh.
Siamang merupakan satwa yang sebagian besar aktivitasnya be-
rada di tajuk pepohonan (Nijman & Geissman, 2008). Siamang sangat
menyukai hidup di hutan yang rapat dan tajuknya saling berhubungan
sehingga sangat jarang turun ke tanah (Sultan dkk., 2009). Tajuk
pohon yang saling berhubungan sangat membantu siamang untuk
berpindah dalam mencari makan dan berlindung dari pemangsa atau
ancaman lainnya. Siamang hidup dalam kelompok-kelompok sosial
kecil, terdiri dari jantan dan betina dewasa dengan 1–6 ekor anak. Di
tempat yang alami, ukuran kelompok siamang rata-rata 4 ekor (Gittins
Neli, Siamang Primadona ... 27
& Raemaekers, 1980). Kelompok siamang membutuhkan wilayah
jelajah yang luas sekitar 15–30 ha untuk memenuhi kebutuhan hidup
(Chivers, 1977).
Habitat utama siamang adalah hutan tropis pegunungan. Siamang
dapat ditemukan di hutan primer, hutan sekunder, dan hutan rawa.
Siamang umumnya dijumpai pada ketinggian di atas 300 mdpl,
namun dapat hidup juga di hutan dataran rendah dan sangat jarang
dijumpai daerah dengan ketinggian lebih dari 1.500 mdpl, meskipun
dapat hidup sampai di ketinggian 1.828,8 m (Gron, 2008; Kuswanda
& Garsetiasih, 2016).
Jenis pakan utama siamang adalah buah-buahan dan daun-
daunan. Menurut Permatasari dkk. (2018), tumbuhan yang dimakan
oleh siamang, antara lain aren (Arenga pinnata), walek angin (Mallotus
paniculatus), kemiri (Aleurites moluccana), jengkol (Pithecellobium
lobatum), rambutan hutan (Cryptocarya nitens), petai cina (Leu-
caena leucocephala), matoa (Pometia pinnata), dan gondang (Ficus
variegata). Keberadaan siamang berperan penting dalam ekosistem
hutan karena membantu proses regenerasi dan suksesi hutan. Melalui
perilaku makannya, siamang berperan sebagai polinator dan penyebar
biji tumbuh-tumbuhan sehingga memegang peran sebagai spesies
kunci (key species) dalam sebuah ekosistem hutan.
Siamang termasuk satwa yang dikategorikan endangered atau
genting berdasarkan International Union for Conservation of Nature
(IUCN) Red List of Threatened Spesies (Nijman dkk. 2020). Peme-
rintah Indonesia telah melindungi satwa dan tumbuhan berdasarkan
UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa
setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, me-
nyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi. Lebih lanjut Pemerintah Indonesia menerbitkan
PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa
yang lampirannya diperbarui melalui Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018,
di mana siamang ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi. Mencegah
.28
punahnya siamang, diperlukan campur tangan pemerintah dan semua
lapisan masyarakat dalam mengimplementasikan program perlin-
dungan maupun pemanfaatan secara lestari.
B. KHDTK Aek Nauli sebagai Habitat Siamang
Salah satu habitat siamang yang tersisa di Sumatra Utara adalah di
KHDTK Aek Nauli. Secara umum, KHDTK adalah kawasan hutan
yang bisa berupa hutan konservasi, hutan lindung, atau hutan produksi
yang ditunjuk secara khusus oleh Menteri untuk keperluan penelitian
dan pengembangan, pendidikan, dan latihan, serta untuk kepen-
tingan sosial, religi, dan budaya dengan tidak mengubah fungsi pokok
kawasan hutan yang bersangkutan. KHDTK Aek Nauli merupakan
salah satu KHDTK yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 39/Menhut-II/2005 tanggal 7 Februari
2005 dengan luas 1.900 ha sebagai hutan penelitian. Secara geografis,
KHDTK Aek Nauli terletak pada koordinat 2°41’–2°44’ Lintang Utara
(LU) dan 98°57’–98°58’ Bujur Timur (BT). Berdasarkan administratif
pemerintahan, kawasan ini termasuk dalam Desa Sibaganding, Ke-
camatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Provinsi
Sumatra Utara. Berdasarkan sejarah fungsi hutan, KHDTK Aek
Nauli berasal dari Hutan Lindung Sibatuloting. KHDTK Aek Nauli
berfungsi sebagai wilayah tangkapan air bagi kawasan di bawahnya,
termasuk Danau Toba. KHDTK ini merupakan habitat dari berbagai
jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi sekaligus sebagai
kawasan ekowisata (Kuswanda & Pratiara, 2017).
Sekitar 60% dari wilayah KHDTK Aek Nauli masih merupakan
hutan primer dan sekunder yang menjadi salah satu habitat yang
tersisa bagi siamang di sekitar Danau Toba. Keberadaan siamang di
sekitar Danau Toba dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata ilmiah
pendukung pariwisata di Danau Toba. Manajemen wisata ilmiah di
KHDTK Aek Nauli akan menjamin kelestarian fungsi hutan secara
terpadu, meliputi fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya dengan
menggunakan konsep edutainment yang memiliki fungsi penting
sebagai wahana pendidikan sekaligus pertunjukan dan/atau peragaan
Neli, Siamang Primadona ... 29
wisata bagi kepuasan pengunjung (wisatawan). Hal ini sangat penting
untuk mendukung wisata ilmiah yang memberikan pengetahuan dan
kesan positif kepada pengunjung (Kuswanda & Pratiara, 2017).
Salah satu potensi wisata ilmiah di KHDTK Aek Nauli adalah
taman primata yang dikenal dengan nama Monkey Forest Sibaganding
yang merupakan salah satu objek wisata alam di Kawasan Strategis Pa-
riwisata Nasional (KSPN) Danau Toba. Primata merupakan kelompok
mamalia yang memiliki sifat arboreal, yaitu menghabiskan sebagian
besar hidupnya berada di tajuk pepohonan. Selain siamang, di lokasi
ini terdapat berbagai jenis primata lain, seperti monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan simpai (Presbytis
sp.).
Untuk menuju taman primata dapat ditempuh dengan meng-
gunakan berbagai moda transportasi darat baik dari arah Medan,
Pematang Siantar, maupun Parapat karena akses menuju ke lokasi ini
sudah memadai (Gambar 3.1). Di area taman primata, pengunjung
dapat berinteraksi langsung dengan siamang dan kawanan primata
lainnya. Beragam jenis primata yang terdapat di KHDTK Aek Nauli
memiliki daya tarik tersendiri sebagai objek wisata ilmiah. Salah satu
jenis primata yang dijadikan icon wisata ilmiah KHDTK Aek Nauli
adalah siamang. Siamang dipilih menjadi flag species sebagai objek
wisata ilmiah dengan pertimbangan merupakan spesies endemik
pulau Sumatra, langka, dan menarik karena mengeluarkan suara yang
khas sehingga mudah dikenali oleh pengunjung.
.30
Sumber: Google (t.t)
Gambar 3.1 Peta Lokasi Taman Primata Sibaganding
C. Atraksi Memanggil Siamang
Memasuki lokasi Taman Primata Sibaganding, pengunjung dapat
menikmati suasana hutan lindung yang masih asri dengan udaranya
yang sejuk dan segar. Lokasi ini sangat cocok untuk wisata petua-
langan, menikmati flora dan fauna, serta mengenal keanekaragaman
lainnya. Waktu yang di butuhkan untuk sampai ke tempat atraksi
siamang, pengunjung harus menempuh perjalanan selama 7–10 menit
dari jalan raya. Pengunjung akan didampingi oleh seorang pemandu
bernama Abdul Rahman Manik yang telah menjadi pemandu taman
primata sejak tahun 2012, menggantikan ayahnya, Almarhum Umar
Malik.
Teknik yang digunakan Manik untuk memanggil primata adalah
dengan meniup terompet yang terbuat dari tanduk kerbau yang
mengeluarkan suara nyaring “Tottrowtrowuet!'' (Gambar 3.2). Ketika
mendengar suara terompet tanduk kerbau tersebut, monyet-monyet
Neli, Siamang Primadona ... 31
dan kelompok beruk mulai berdatangan. Ada yang datang turun
dari pepohonan dan ada juga yang lewat jalan setapak. Lengkingan
suara dari terompet tanduk kerbau itu bergaung di kawasan Hutan
Sibatuloting, seakan menyuruh siamang dan monyet-monyet itu
untuk berkumpul. Pengunjung tidak perlu takut terhadap monyet-
monyet liar tersebut karena mereka tidak mengganggu apalagi
mencuri barang-barang pengunjung. Namun, monyet memiliki indra
penciuman yang tajam dan tertarik dengan benda-benda yang berbau
tajam, seperti parfum, permen, dan tisu.
Seiring dengan berdatangannya beruk atau yang dalam bahasa
lokal disebut bodat dan monyet ekor panjang, biasanya ada seekor
primata berambut hitam bergelantungan turun dari atas pohon ke
arah pengunjung. Dia adalah siamang yang bernama Neli (Gambar
3.3), sedangkan yang tidak mau turun adalah jantan pasangannya.
Dia tidak akan turun karena menjaga anaknya Neli. Hal itu kebiasaan
mereka, yang jantan menjaga anaknya. ''Neli sini kau cepat datang ada
pisang ini”, Manik memanggilnya. Setelah Neli datang, pengunjung
bisa memberi makan siamang dan kawanan kera lain dengan kacang
atau pisang yang sudah disediakan petugas.
Memanggil siamang merupakan salah satu atraksi wisata yang
menarik. Dengan bahasa tertentu yang terekam dalam memori,
siamang dapat dipanggil untuk datang, menyapa, dan berinteraksi
dengan pengunjung. Neli merupakan siamang betina berumur ± 30
tahun dan telah memiliki empat anak. Saat ini kelompok Neli terdiri
dari empat ekor siamang, yaitu siamang betina dewasa (Neli), siamang
jantan dewasa berumur 20 tahun, dan dua ekor anak siamang. Dua
Neli, Siamang Primadona ... 33
ekor siamang anak Neli yang telah remaja telah keluar dari kelompok
untuk membentuk kelompok baru. Area jelajah kelompok Neli juga
tidak jauh hanya sekitar 200–500 m dari lokasi atraksi taman primata
ke arah hutan lindung karena Neli masih mengawasi anaknya yang
masih kecil yang sekarang sudah mulai belajar mencari makan sendiri.
Oleh karena itu, ketika terompet ditiup, Neli bisa segera mendatangi
Manik dengan cepat karena lokasinya mencari makan tidak jauh.
Pengunjung taman primata dapat menyaksikan Abdul Rahman
Manik menunjukkan kepiawaian dan kedekatannya dengan hewan
primata (Gambar 3.4). Ini yang bisa menjadi atraksi sekaligus edukasi.
Beberapa pengunjung juga terlihat takjub melihat Neli dan anaknya
karena sebelumnya mereka belum pernah melihat siamang. Neli
terlihat sangat lincah bergelantungan untuk berpindah dari dahan
ke dahan dan tidak takut menerima makanan yang diberikan oleh
pengunjung. Pengunjung terlihat antusias dan senang dapat berin-
teraksi dan berfoto dengan Neli. Meskipun demikian, pengunjung
dilarang bersentuhan langsung dengan siamang untuk menghindari
hal yang dapat merugikan, baik untuk siamang maupun manusia,
seperti gigitan dan penularan penyakit.
Abdul Rahman Manik sangat berkeinginan untuk serius me-
ngurus siamang dan primata yang ada di taman primata ini. Taman
Primata Sibaganding masuk ke dalam Geopark Kaldera Toba sehingga
pembenahan berbagai fasilitas perlu terus dilakukan agar pengun-
jung dapat merasa aman dan nyaman saat berada di taman primata.
Masyarakat sekitar taman primata juga dapat dilibatkan dalam hal
penyediaan pakan primata.
D
Taman Primata dipandang memiliki sumber daya alam yang memadai
untuk mewujudkan unsur belajar dan pengayaan pengetahuan melalui
wisata ilmiah. Taman Primata Sibaganding memiliki bentang alam
dan aktivitas wisata yang mampu menambah pengetahuan, seperti
proses pemanggilan siamang, kera endemik di KHDTK Aek Nauli.
.34
Pengembangan prinsip edutainment yang memiliki fungsi penting
sebagai wahana pendidikan sekaligus pertunjukan dan/atau peragaan
wisata bagi kepuasan pengunjung (wisatawan), sangat penting untuk
mendukung wisata ilmiah yang memberikan kesan positif dan pe-
ngetahuan kepada pengunjung. Melalui kegiatan memanggil siamang,
pengunjung diajak untuk lebih dekat dengan siamang sehingga
dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut melestarikan
siamang. Pengembangan wisata ilmiah siamang diharapkan dapat
menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar dan menumbuhkan
kesadaran masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam upaya
konservasi siamang. Dengan berkunjung ke Taman Primata KHDTK
Aek Nauli tentunya pengunjung akan mendapatkan pengetahuan,
pengalaman, dan sensasi tersendiri karena dapat berdekatan langsung
dengan satwa langka di alam liar yang hanya ditemukan di Pulau
Sumatra.
Raden Garsetiasih, Anita Rianti, & Nur M. Heriyanto
Beberapa kelompok gajah saat ini habitatnya berada di luar kawasan
konservasi, di antaranya di kawasan hutan tanaman industri (HTI)
dan perkebunan sawit yang letaknya berdekatan dengan permukiman.
Gajah-gajah tersebut terisolir dan berpotensi menimbulkan konflik.
Konflik dipicu karena gangguan gajah terhadap tanaman HTI beru-
mur muda, tanaman kelapa sawit yang baru ditanam, serta kebun
masyarakat. Konflik tersebut menimbulkan kerugian ekonomi bagi
masyarakat serta menyebabkan kematian gajah maupun manusia.
Untuk meminimalisir terjadinya konflik yang berkepanjangan antara
gajah dengan masyarakat, perusahaan HTI, dan perkebunan sawit,
perlu dilakukan pengelolaan habitat melalui pembangunan koridor
satwa. Koridor satwa tersebut mengintegrasikan antar kawasan/
wilayah yang dikelola perusahaan serta pengayaan jenis-jenis pakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup gajah.
R.
Meningkatnya populasi manusia berdampak pada pembangunan
berbagai sektor termasuk sektor kehutanan. Pembangunan sektor
kehutanan berakibat pada penerbitan izin hak pengusahaan hutan
(HPH) yang merupakan salah satu penyebab terjadinya deforestasi
dan degradasi hutan. Kawasan HPH yang asalnya adalah kawasan
hutan alam yang merupakan habitat satwa liar akhirnya menjadi
terganggu karena adanya aktivitas penebangan kayu (logging). Kondisi
tersebut menyebabkan banyak satwa liar keluar dari kawasan hutan,
termasuk ke permukiman. Selain adanya HPH, Pembangunan HTI
menyebabkan perubahan hutan yang awalnya heterokultur menjadi
monokultur sehingga terjadi penurunan fungsi habitat satwa (Syahri
dkk., 2015). Akibatnya ada beberapa satwa liar yang habitatnya berada
pada kawasan HTI dan areal perkebunan, khususnya perkebunan
sawit. Saat ini, luas kebun sawit diperkirakan mencapai 11,3 juta ha
dan sekitar 50% terjadi pada lahan hutan yang telah terdeforestasi
(Kementerian LHK, 2017). Moestrup dkk. (2012) menyatakan bahwa
penyusutan hutan dapat menimbulkan kompetisi pemanfaatan ruang
antara manusia dengan satwa liar. Salah satu satwa liar yang saat ini
habitatnya banyak dijumpai di dalam kawasan HTI dan perkebunan
sawit di Sumatra adalah gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus).
B. Karakteristik Ekologi dan Habitat Gajah Sumatra
Gajah dikelompokan ke dalam dua kelompok, yaitu gajah asia dan ga-
jah afrika. Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) merupakan
gajah asia dan termasuk satwa langka yang dilindungi undang-undang
sejak jaman Belanda dengan Peraturan Perlindungan Binatang Liar
Tahun 1931 No 134 dan 266 (Jajak, 2004) dan saat ini masuk dalam
daftar satwa yang dilindungi berdasarkan PP 7 Tahun 1999 dan Per-
men LHK No 106 tahun 2018.
Gajah sumatra tidak menetap di habitat yang luasannya terbatas.
Luas home range-nya tergantung pada kecukupan dalam mendapat-
kan pakan. Hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke
Potensi Konflik Gajah ... 39
tempat lain karena berhubungan dengan pemenuhan ketersediaan
pakan. Jika ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempatinya
tidak mencukupi, gajah akan bergerak mencari makanan ke tempat
lain di sekitar habitatnya. Saat gajah keluar dari kawasan hutan dan
masuk ke permukiman serta kebun masyarakat maka akan berpotensi
menimbulkan konflik dengan masyarakat (Febriani, 2009).
Habitat gajah sumatra meliputi seluruh hutan di pulau Sumatra
mulai dari Provinsi Lampung sampai Aceh, mulai dari hutan basah
berlembah dan hutan payau di dekat pantai sampai hutan pegunungan
pada ketinggian sekitar 2000 mdpl. Populasi saat ini diperkirakan
tersebar di 16 kantong habitat yang terus mengalami kerusakan baik
penyempitan maupun fragmentasi. Salah satu penyebab tergang-
gunya habitat gajah adalah peningkatan konversi kawasan hutan
untuk perkebunan dan hutan tanaman industri yang menyebabkan
berkurangnya tutupan lahan dan mengakibatkan terjadinya fragmen-
tasi habitat (Yoza, 2003).
Kelangsungan hidup gajah sumatra makin terancam karena ting-
ginya tekanan dan gangguan, serta kurangnya pengetahuan tentang
perilaku ekologi gajah. Pengetahuan perilaku tentang bagaimana
strategi gajah menggunakan habitat dan sumber daya untuk kepen-
tingan hidupnya masih sangat terbatas (Abdullah dkk., 2012). Perilaku
gajah dalam memenuhi kebutuhan pakan selalu mempertimbangkan
kenyamanan dirinya di antaranya dengan menghindari terik matahari.
Oleh karena itu, gajah umumnya mencari makan di hutan primer
karena menyediakan tempat berlindung terutama pada siang hari, se-
dangkan pada saat teduh gajah memanfaatkan hutan sekunder dalam
aktivitas makannya (Soeriatmadja, 1982 dalam Abdullah dkk., 2012).
C. Vegetasi Tumbuhan Bawah dan Daya Dukung
Habitat
Gajah lebih banyak memanfaatkan kawasan HTI karena keragaman
jenis vegetasi tumbuhan bawah sebagai sumber pakan lebih tinggi
dibandingkan hutan milik masyarakat desa yang vegetasi pohonnya
lebih sedikit. Selain itu, pada kawasan HTI masih terdapat areal yang
.40
belum digunakan secara optimal sebagai hutan produksi. Berdasarkan
hasil penelitian di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatra
Selatan, jenis tumbuhan bawah yang ada di areal HTI mencapai 21
jenis dan kerapatan pohonnya tinggi sehingga dapat dijadikan tempat
beristirahat dan tidur oleh gajah, sedangkan di hutan masyarakat
desa tumbuhan bawahnya hanya ada 14 jenis. Namun, pada hutan
masyarakat terdapat tanaman semusim dan buah-buahan yang lebih
beragam sehingga sering digunakan sebagai tempat mencari makan.
Potensi tumbuhan bawah sebagai hijauan pakan gajah di kawasan
HTI jenis akasia di Kabupaten OKI, umumnya didominasi oleh
alang-alang (Imperata cylindrica), kolonjono (Brachiaria mutica),
dan pakis (Nephrolepis biserrata). Produktivitas tumbuhan bawah
di areal HTI jenis akasia cukup tinggi sehingga dapat mencukupi
kebutuhan pakan gajah untuk keberlangsungan hidupnya. Namun,
nilai kandungan nutrisi jenis-jenis tumbuhan yang ada di areal kebun
masyarakat umumnya lebih tinggi dibanding dengan hijauan pakan
yang terdapat di areal HTI (Garsetiasih, Rianti dkk., 2018). Kondisi
tersebut menyebabkan gajah sering makan tanaman yang ada di kebun
masyarakat. Jenis-jenis tumbuhan yang biasa dimakan gajah yang
ditemukan di wilayah Sumatra Selatan disajikan pada Tabel 4.1.
Daerah jelajah gajah di Kabupaten OKI dan OKUS Provinsi Sumatra
Selatan berada di kawasan HTI dan areal perkebunan sawit termasuk
permukiman masyarakat pada beberapa kecamatan. Daerah jelajah
gajah di kawasan HTI terdeteksi melalui pengamatan pada beberapa
petak vegetasi di areal HTI PT Paramitra Mulya Langgeng (PT
PML). Daerah jelajah ditunjukkan oleh pertemuan langsung, jejak
renggutan, kotoran, kerusakan pohon karena kulitnya dimakan gajah,
dan bekas tanaman yang dimakan gajah. Kelompok gajah di areal PT
PML diperkirakan merupakan kelompok yang sama hanya jalurnya
yang berubah setiap bulan dalam satu tahunnya. Gajah tersebut se-
ring masuk ke kebun dan hutan masyarakat Desa Sinar Danau dan
Desa Durian Sembilan Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten OKUS
(Gambar 4.1). Kawasan hutan yang utamanya dimanfaatkan gajah
ialah hutan tanaman Acacia crassicarpa berumur 2–3 tahun (Gambar
4.2) dan kebun masyarakat.
Jumlah kelompok gajah di sekitar kawasan HTI, hutan, dan
kebun masyarakat Desa Durian Sembilan dan Sinar Danau Ka-
bupaten OKUS diperkirakan berkisar 5–6 ekor. Gajah tersebut
sebagian besar memanfaatkan hutan tanaman akasia yang berumur
Potensi Konflik Gajah ... 43
muda sebagai sumber pakan, terutama bagian kulit batang pohon.
Kelompok gajah ini diperkirakan terpisah dari kelompok lainnya saat
pemindahan/translokasi gajah tahun 1982 dari Hutan Villa Masin
Way Kawat.
Foto: Garsetiasih (2017)
Gambar 4.1 Kebun Masyarakat yang Menjadi Daerah Lintasan Gajah di
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS)
Foto: Garsetiasih (2017)
Gambar 4.2 Tanaman Akasia yang Dirusak Gajah di Kawasan HTI
Pada saat musim hujan, gajah menetap di kawasan hutan tanaman
karena ketersediaan pakan berupa tumbuhan bawah mencukupi serta
adanya tanaman akasia berumur muda yang dapat dijadikan sumber
pakannya. Hutan tanaman berumur muda memiliki penutupan tajuk
yang tidak terlalu rapat sehingga cahaya matahari masih bisa masuk
ke lantai hutan dan menyediakan jenis-jenis tumbuhan bawah dengan
.44
biomassa yang cukup tinggi ,yaitu 2.209,83 kg/ha (Garsetiasih, Rianti
dkk. (2018)). Aktivitas gajah di dalam kawasan HTI akan berpindah
ke hutan dan kebun milik masyarakat saat musim panen dan musim
kemarau karena kurangnya ketersediaan pakan di kawasan hutan
tanaman (Gambar 4.3).
Foto: PT Bumi Mekar Hijau Distrik Sungai Ketupak (2017)
Gambar 4.3 Aktivitas Gajah di Kawasan HTI Kabupaten OKI
E. Dampak Adanya Gajah di Areal Konsesi
Meningkatnya konversi kawasan hutan menjadi perkebunan, pertam-
bangan, HTI (perubahan hutan alam yang heterogen menjadi hutan
homogen), dan permukiman berdampak pada menurunnya luas dan
fungsi habitat satwa. Banyak kasus konflik terjadi di lahan-lahan yang
sudah dikonversi dari kawasan hutan menjadi kebun sawit (Yoza,
2009). Konflik meningkat setelah adanya alih fungsi kawasan hutan
alam yang merupakan habitat gajah menjadi perkebunan sawit atau
HTI. Alih fungsi kawasan hutan tersebut menyebabkan terjadinya
fragmentasi habitat yang berdampak terhadap kehidupan satwa
termasuk gajah (Yoza, 1995).
Sekitar 80–90% hutan di Sumatra yang berfungsi sebagai habitat
gajah telah diokupasi oleh perusahaan pengelola sumber daya hutan
Potensi Konflik Gajah ... 45
dan masyarakat. Hal ini mengakibatkan konflik antara gajah dengan
manusia di sekitar permukiman, areal perkebunan, dan HTI karena
daya dukung habitat menurun. Daya dukung habitat dalam kawasan
menjadi rendah karena manusia dan satwa liar menggunakan sumber
daya dari sumber yang sama sehingga laju produktivitas sumber pa-
kan secara kualitas maupun kuantitas tidak mencukupi. Di samping
itu, tidak semua tumbuhan dalam kawasan dimakan satwa termasuk
gajah (Garsetiasih, Heriyanto dkk., 2018; Kuswanda & Garsetiasih,
2016). Dampak dari konflik antara masyarakat dan gajah ditunjukkan
pada satu dekade terakhir, yaitu sekitar 129 individu gajah dibunuh
di Sumatra, khususnya di Provinsi Riau. Sebanyak 59% diindikasikan
diracun, 13% konflik langsung dengan masyarakat, dan 5% dibunuh
dengan menggunakan senjata api untuk diambil gadingnya (WWF-
Indonesia, 2017).
Perkebunan sawit di Sumatra bagian selatan, yang arealnya
digunakan oleh gajah sebagai salah satu habitat dan daerah jelajah,
di antaranya PT Sampoerna Agro, Tbk. dan HTI PT Bumi Mekar
Hijau (BMH). Selain dua perusahaan tersebut, areal usaha PT
Sampoerna Jaya Permai, PT Sawit Selatan, dan PT Rusellindo Prima
Putra (PT RPP) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), serta HTI
PT Paramitra Mulya Langgeng (PML) di Kecamatan Buay Pemaca,
OKUS, Provinsi Sumatra Selatan juga digunakan sebagai habitat gajah.
Di sekitar kawasan perusahaan-perusahaan tersebut terdapat kebun
masyarakat yang tanamannya disukai gajah. Daerah jelajah gajah yang
melewati permukiman masyarakat menyebabkan terjadinya konflik
dengan masyarakat karena kebun masyarakat mendapat gangguan
gajah (Tabel 4.3).
Gajah sumatra sering beraktivitas di sekitar permukiman
masyarakat maupun lokasi transmigrasi sehingga gajah sering meng-
ganggu kebun masyarakat dan berakhir dengan terjadinya konflik
antara gajah dengan masyarakat (Garsetiasih, Heriyanto dkk., 2018).
Kerugian yang dialami manusia dapat berupa kerugian harta dan
jiwa. Kerugian harta, seperti rusaknya kebun, tanaman pertanian
dan rumah, sedangkan kerugian jiwa, seperti adanya luka, cacat fisik,
maupun kematian. Di sisi lain, dampak konflik terhadap gajah antara
lain, kematian, pengusiran, dan cacat fisik (Nuryasin dkk., 2014).
Gajah memiliki kepentingan dalam memenuhi kebutuhan pakan dan
kelangsungan hidupnya di lahan yang juga dikelola manusia. Hal ini
Potensi Konflik Gajah ... 47
menyebabkan terjadinya kompetisi dalam pemanfaatan lahan baik
oleh gajah maupun manusia.
F. Penutup
Populasi gajah di Sumatra Selatan makin menurun karena beberapa
faktor, di antaranya adanya alih fungsi kawasan hutan alam men-
jadi HTI, perkebunan sawit, lahan pertanian, dan permukiman
masyarakat. Alih fungsi tersebut kurang mempertimbangkan aspek
keberlangsungan lingkungan ekosistem sehingga menyebabkan
terjadinya deforestasi dan degradasi lahan yang berdampak pada
terjadinya fragmentasi habitat dan terganggunya populasi satwa liar
yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu, untuk mengatasi fragmentasi habitat serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas habitat gajah, perlu dibangun
suatu koridor satwa di daerah lintasan gajah dengan penanaman
dan pengayaan jenis terutama jenis hijauan pakan yang disukai
oleh gajah. Selain itu, perlu dilakukan restorasi serta perluasan dan
pengayaan jenis pohon di areal high conservation value (HCV) atau
kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN). Pengelolaan areal HCV
antarperusahaan dalam satu bentangan harus terintegrasi sehingga
tidak terfragmentasi. Selain itu, suatu kelembagaan dalam bentuk
forum kolaborasi stakeholder terkait yang bersifat profit rising perlu
dibangun untuk meminimalisir terjadinya konflik antara gajah dan
masyarakat yang mengakibatkan kerugian kedua belah pihak. Forum
kolaborasi ini harus membuat aturan, mekanisme, dan komitmen
bersama yang kuat untuk me-nangani konflik gajah dengan manusia.
---
‘Si Abah’ adalah julukan bagi macan tutul jantan, salah satu penguasa
teritori di Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Seiring de-
ngan usianya yang menua dan kondisi fisiknya yang tidak lagi prima,
si Abah sering masuk kampung dan memangsa ternak. Sementara itu,
di wilayah jelajahnya sudah terfoto seekor macan tutul jantan muda
oleh camera trap. Pada tanggal 25 Juni 2020 si Abah ditangkap oleh
masyarakat menggunakan kandang perangkap karena dianggap sangat
mengganggu dan mengancam. Tim Balai Besar Konservasi Sumber
Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat Wilayah III Ciamis kemudian
mengevakuasi si Abah ke Kebun Binatang Bandung untuk diperiksa
kesehatannya guna penanganan lebih lanjut.
.52
A. Macan Tutul Jawa
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) merupakan satu-satunya
kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa. Populasinya yang berkem-
bang namun habitatnya menyusut, terfragmentasi, dan terdegradasi,
membuat satwa ini makin terdesak dan terancam kepunahan lokal.
Hal ini juga diperparah oleh konflik yang terus meningkat dalam
dua dekade terakhir. Sejak tahun 1993 hingga kini, konflik macan
tutul jawa telah terjadi di 26 kabupaten dan yang terbanyak terjadi
di sekitar Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sejak tahun
2001, hampir setiap tahun terjadi konflik antara macan tutul dan
manusia di sekitar Gunung Sawal yang sering berakhir dengan
penangkapan macan tutul, baik oleh masyarakat maupun petugas
penyelamat (Gunawan, 2020). Penangkapan macan tutul yang terlibat
konflik di sekitar Gunung Sawal, baru-baru ini terjadi di Desa Cikupa,
Kecamatan Lumbung, Kabupaten Ciamis pada tanggal 25 Juni 2020.
B. Habitat Macan Tutul di Gunung Sawal
Gunung Sawal merupakan salah satu habitat penting macan tutul
di Jawa Barat. Kawasan hutan Gunung Sawal memiliki luas total
10.515,56 ha yang terbagi dalam suaka margasatwa (SM) 5.583,38
ha (53%), hutan produksi terbatas (HPT) 3.308,93 ha, hutan produksi
(HP) 714,34 ha, dan hutan pangonan 908,91 ha. Kawasan hutan
Gunung Sawal secara keseluruhan merupakan satu kesatuan eko-
sistem lanskap hutan yang dikelilingi oleh tujuh kecamatan, yaitu
Panjalu, Kawali, Cipaku, Cikoneng, Cihaurbeuti, Sadananya, dan
Panumbangan (Gunawan dkk., 2016, 2017).
Investigasi konflik macan tutul di Gunung Sawal yang dilaku-
kan Tim kolaboratif BBKSDA Jawa Barat, Forum Macan Tutul
Jawa (FORMATA), Taman Safari Indonesia (TSI), Pemkab Ciamis,
dan Kader Konservasi Ciamis pada tahun 2017 mendeteksi ada
penggarap an kawasan hutan seluas 2.094,67 ha yang melibatkan
penebangan pohon. Hal ini menyebabkan penurunan daya dukung
Gunung Sawal untuk macan tutul karena telah menghilangkan pakan
herbivor sampai 98,69% di areal yang digarap dan hanya tersisa 1,31%
Menakar Manfaat dan ... 53
sehingga satwa herbivor yang menjadi mangsa macan tutul banyak
yang pergi dari kawasan yang terdegradasi tersebut (Gunawan dkk.,
2017).
Jika kondisi hutan seluruh kawasan hutan Gunung Sawal
(mencakup SM, HPT, HP, dan hutan pangonan) dalam kondisi baik,
diperkirakan dapat mendukung kehidupan macan tutul sampai 17
ekor. Namun, saat ini hutan yang kondisinya terlindungi hanya di
suaka margasatwa dengan luasan sekitar 54 km2. Hasil investigasi
tim kolaboratif tahun 2017 menemukan bahwa seekor macan tutul
membutuhkan ruang sekitar 6,4 km2. Dengan demikian, SM Gunung
Sawal diperkirakan hanya mampu mendukung hingga delapan ekor
macan tutul (Gunawan dkk., 2017).
C. Populasi Macan Tutul di Gunung Sawal
Macan tutul memiliki daya reproduksi yang baik, seperti halnya
bangsa kucing pada umumnya. Kemampuan reproduksi yang cepat
didukung oleh sistem perkawinannya yang promiscuity (jantan dan
betina kawin dengan lebih dari satu pasangan dan tidak ada ikatan
jangka panjang) menyebabkan populasinya terus berkembang
dengan cepat. Populasi macan tutul di Gunung Sawal yang terekam
oleh camera trap menunjukkan perkembangan yang ditandai oleh
hadirnya beberapa macan tutul muda. Sifatnya yang teritorial, setiap
ada penambahan individu jantan pada kelahiran baru, menyebabkan
terjadinya perebutan teritori. Macan tutul yang kalah dalam berkom-
petisi ruang, biasanya keluar untuk mencari teritori baru. Fenomena
ini telah terjadi di Gunung Sawal yang dibuktikan dengan tertangkap-
nya macan tutul jantan muda di permukiman sekitar Gunung Sawal
yang diduga sebagai individu yang kalah dalam perebutan teritori.
Fenomena masuknya macan tutul jantan muda atau jantan tua yang
kalah ke permukiman menjadi indikasi adanya “penguasa baru”
sebagai pengganti penguasa yang lama. Di sisi lain, dapat dipandang
bahwa kapasitas daya dukung Gunung Sawal sebagai habitat macan
tutul telah terlampaui.
.54
Macan tutul jantan dewasa si Abah pernah menjadi salah satu
penguasa di Gunung Sawal dengan beberapa betina di dalam home
range-nya (Gambar 5.1). Seiring dengan usia si Abah yang makin
tua dan diduga juga menurun kemampuannya, terekam jantan muda
masuk di dalam wilayah jelajahnya. Ini dapat menunjukkan bahwa
sedang ada proses suksesi dalam penguasaan wilayah oleh macan
tutul jantan muda. Diduga kuat si Abah sudah menjadi individu yang
tersingkir karena kondisinya menua dan melemah sehingga dalam
setahun belakangan sering keluar dan memasuki permukiman.
Foto: BKSDA Wil. III Ciamis (2020)
Gambar 5.1 Si Abah Tertangkap camera trap
D. Konflik Macan Tutul-Manusia di Gunung Sawal
Konflik antara manusia dan macan tutul di sekitar Gunung Sawal
sudah tercatat sejak tahun 2001 (Gunawan dkk., 2017). Dari tahun
ke tahun konflik cenderung meningkat hingga secara kumulatif telah
mencapai 58 kasus sampai April tahun 2020. Jumlah macan tutul yang
tertangkap lalu diselamatkan ke lembaga konservasi akibat konflik
Menakar Manfaat dan ... 55
di sekitar Gunung Sawal pun terus bertambah hingga mencapai 10
ekor, termasuk si Abah (Gambar 5.2). Sebanyak 9 ekor di antaranya
adalah jantan dan 1 ekor betina tua dengan mata katarak. Fenomena
ini mengindikasikan bahwa keluarnya macan tutul jantan dari hutan
diduga kuat karena perebutan teritori dan kalah (Gunawan, 2019,
2020).
Foto: BKSDA Jawa Barat Wilayah III Ciamis (2020)
Gambar 5.2 Si Abah masuk perangkap yang
dipasang warga
Melihat pertumbuhan populasi macan tutul di Gunung Sawal
sementara daya dukung tidak bertambah bahkan mungkin menurun
maka kemungkinan konflik macan tutul dengan manusia masih
akan terus berlanjut apabila tidak ada upaya pengendalian populasi
melalui translokasi/introduksi dan/atau peningkatan daya dukung.
Berdasarkan analisis kerawanan habitat, SM Gunung Sawal termasuk
.56
kategori aman namun hutan produksi di sekitarnya berkategori se-
dang, sedangkan pinggiran kawasan hutan sisi selatan dan tenggara
termasuk kategori rawan terhadap konflik dengan manusia (Gunawan
& Wienanto, 2016; Gunawan dkk., 2017).
Foto: BKSDA Jawa Barat (2020)
Gambar 5.3 Ternak yang Diduga Telah Dimangsa Si
Abah
E. Kondisi vitalitas si Abah
Berdasarkan pemeriksaan Bandung Zoological Garden (BZG), si
Abah berumur 12 tahun. Hal ini merupakan umur yang tua untuk
macan tutul di alam, mengingat di alam umur tertuanya antara 12–15
tahun. Namun, di kebun binatang macan tutul dapat berumur sampai
23 tahun (Bandung Zoological Garden, 2020).
Kondisi taring si Abah menunjukkan bagian kiri bawah patah
dari pangkal; gigi carnassial kiri atas (premolar dan molar) tanggal;
gigi carnassial kanan atas (molar) satu tanggal; Gigi incisor atas
hanya di bagian kanan, bagian kiri tanggal; Gigi incisor bawah patah/
Menakar Manfaat dan ... 57
pengikisan gigi; dan beberapa sudah tanggal (Gambar 5.4) (Bandung
Zoological Garden, 2020). Taring merupakan salah satu alat berburu
yang berfungsi untuk mengunci dan mematikan mangsa. Kehilangan
satu taring dan tanggalnya beberapa gigi lainnya akan mengurangi
kemampuannya membunuh mangsanya. Gigi carnassial berfungsi
untuk mengiris-iris daging sebelum ditelan (Gunawan & Alikodra,
2013). Oleh karena itu, gigi carnassial sangat penting bagi karnivor
yang sepanjang hidupnya memakan daging. Tanpa gigi carnassial
proses makan si Abah akan terganggu. Dengan kondisi taring dan
gigi carnassial seperti tersebut maka si Abah diduga akan cenderung
berburu mangsa yang mudah ditangkap dan dikunyah, misalnya
hewan ternak, seperti ayam dan kelinci. Untuk berburu di alam liar,
diperkirakan si Abah akan menemui kesulitan, apalagi jika harus
berkompetisi dengan jantan lain yang lebih kuat.
Foto: Bandung Zoological Garden (2020)
Gambar 5.4 Kondisi Taring Si Abah
.58
F. Peluang dan Risiko Pelepasliaran si Abah ke Alam
Proses lepas liar satwa memiliki kaidah teknis, protokol, dan aturan
yang harus diikuti. Salah satu protokol adalah International Union
for Conservation of Nature (IUCN) Guidelines for the Placement
of Confiscated Animals (IUCN, 2000, 2019). Pada kasus si Abah,
pelepasannya kembali ke alam perlu mempertimbangkan empat hal
pokok, yaitu kesejahteraan satwa, nilai konservasi, penyakit, dan biaya.
Beberapa pertanyaan sebagai skrining sebelum pelepasliaran
perlu dijawab dengan meyakinkan, seperti 1) apakah mengembalikan
si Abah ke alam akan memberikan kontribusi yang signifikan terha-
dap konservasi macan tutul di area tersebut?; 2) apakah sudah lolos
skrining kelayakan kesehatan?; 3) apakah si Abah bebas dari segala
penyakit yang dapat membahayakan sesama spesies atau spesies lain
di alam; 4) apakah ada kelainan perilaku yang membuatnya tidak
layak kembali ke alam?; 5) dapatkah si Abah dikembalikan cepat ke
lokasi khusus yang dapat memberikan manfaat bagi konservasi; dan 6)
apakah apakah sudah ada program konservasi macan tutul yang juga
meliputi release individu ke alam termasuk monitoringnya? (IUCN,
2000).
Mengembalikan satwa sitaan ke habitat asalnya lebih mengun-
tungkan, namun dengan catatan telah memenuhi syarat kesehatan
dan dilakukan monitoring sesudahnya. Kegiatan ini umumnya
mendapat dukungan politik dan moral dari pemerintah setempat,
penggiat konservasi, dan masyarakat lokal, serta dapat memberikan
edukasi kepada masyarakat tentang konservasi satwa tersebut seka-
ligus menjadi promosi program konservasi secara umum di daerah
tersebut. Di samping itu, satwa sitaan yang dikembalikan ke asalnya
dapat kembali memainkan perannya dalam ekosistem yang menjadi
habitatnya (IUCN, 2000).
Mengembalikan si Abah ke Gunung Sawal juga memiliki be-
berapa risiko dengan melihat penjelasan-penjelasan yang ada. Jika
pelepasan kembali dilakukan di Gunung Sawal, perlu mempertim-
bangkan bahwa tapak dan area pelepasan bukan merupakan area
rawan konflik. Saat populasi asalnya dalam keadaan tertekan maka
Menakar Manfaat dan ... 59
reintroduksi dan translokasi lebih potensial bagi upaya konservasi
jangka panjang terhadap spesies tersebut. Namun, prosedurnya perlu
mengindahkan IUCN Guidelines for Reintroductions and Other Con-
servation Translocations (IUCN/SSC, 2013).
Beberapa aspek yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan,
antara lain kesesuaian habitat, kesejahteraan satwa, penyakit dan
parasit, kelayakan sosial, analisis risiko, pemilihan tapak release dan
area release, strategi release, monitoring, dan pemberitaan (sosialisasi)
yang meningkatkan kepedulian/ dukungan. Melepas satwa sitaan ke
lokasi lain dianggap baik jika kehadirannya memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap konservasi spesies tersebut atau populasi
lainnya yang berinteraksi dengan spesies tersebut, atau dapat mem-
berikan dukungan langsung upaya konservasi dan pengelolaan spesies
atau ekosistem di lokasi pelepasan (IUCN/SSC, 2013). Di samping
itu, Indonesia juga telah memiliki beberapa peraturan dan pedoman
yang harus diikuti dalam penanggulangan konflik satwa dan manusia,
upaya rehabilitasinya di lembaga konservasi, hingga pengangkutannya
dari alam ke lembaga konservasi, dan sebaliknya.
Mengingat keberadaan populasi besar cenderung tidak punah,
pelepasan satwa sitaan ke lokasi yang memiliki populasi kecil berpo-
tensi mengurangi kemungkinan kepunahan. Melepas satwa sitaan ke
lokasi dengan