Satwa langka Indonesia 1

 















Daftar Singkatan

ABC   : Anoa Breeding Center

APL   : Areal penggunaan lain 

AZA   : Association of Zoos and Aquarium 

BKSDA  : Balai Konservasi Sumber Daya Alam

BUMN : Badan Usaha Milik Negara 

BZG   : Bandung Zoological Garden 

CA  : Cagar Alam 

CITES  : Convention on International Trade in Endangered Species

CSR   : Corporate social responsibility

DAS   : Daerah aliran sungai

EAZA  : American, European Association of Zoos and Aquaria 

EKF  : Evaluasi kesesuaian fungsi 

GSMP  : Global Species Management Plan 

HCPSN : Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 

HCV   : High conservation value

HGU   : Hak Guna Usaha 

HPH   : Hak Pengusahaan Hutan 

384 .

FORMATA: Forum Macan Tutul Jawa 

HHBK  : Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu 

HPT  : Hutan Produksi Terbatas 

HP   : Hutan Produksi 

HTI   : Hutan Tanaman Industri

IAS   : Invasive Alien Species 

IB   : Inseminasi Buatan 

IUCN   : International Union for Conservation of Nature and Natural   

     Resources

IUPHHK: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

KBKT   : Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi 

KHDTK : Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus

KEE   : Kawasan Ekosistem Esensial 

KPPN   : Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah 

KSM   : Kelompok Swadaya Masyarakat 

KSPN   : Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

LSM   : Lembaga Swadaya Masyarakat 

PAD  : Pendapatan Asli Daerah 

PHVA  : Population and Habitat Viability Assessment

Polhut  : Polisi Kehutanan

PM  : Petkuq Mehuey 

P3H   : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

RIL  : Reduced Impact Logging 

RTRW  : Rencana Tata Ruang Wilayah 

SDG’s   : Sustainable Development Goals 

SDM  : Sumber Daya Manusia

SM   : Suaka Margasatwa 

SRAK   : Strategi dan Rencana Aksi Konservasi 

TFCA   : Tropical Forest Conservation Action 

TN   : Taman Nasional

TNC   : The Nature Conservancy 

TPTI   : Tebang Pilih Tanam Indonesia

TR   : Tebang Rumpang

TSI  : Taman Safari Indonesia

TWA  : Taman Wisata Alam 






Indonesia adalah negara negara megabiodisersity.  Meskipun luas wilayah- 

nya hanya 1,3%  dari luas muka bumi, namun Indonesia memiliki 12% ma- 

malia, 16% reptilia, 10% tumbuhan, 25% ikan dan 17% burung yang ada di 

dunia. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya perlindungan, penga- 

wetan dan pelestarian keanekaragaman hayati, antara lain melalui pen- 

cadangan kawasan hutan sebagai hutan konservasi seperti taman nasio- 

nal, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, taman hutan raya, 

dan taman buru. Disamping itu, pemerintah juga menetapkan jenis-jenis 

tumbuhan dan satwa yang dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan 

Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/ 2018. Upaya 

konservasi satwa juga dilakukan melalui penyusunan Strategi dan Rencana 

Aksi Konservasi spesies yang terancam punah serta penetapan 25 spesies 

prioritas.

Peningkatan populasi 25 spesies prioritas sebesar 10% dari baseline data 

2013 merupakan salah satu yang akan dicapai pemerintah. Upaya pening- 

katan populasi tersebut antara lain dilakukan melalui pembinaan populasi, 

penanggulangan konflik, perlindungan dan pengamanan, penyadartahuan, 

rehabilitasi dan pelepasliaran, pengelolaan dan pengem- bangan pangkalan 

data. 



Indonesia dengan luas daratan 1,9 juta km2 memiliki kekayaan hayati 

tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Khusus untuk fauna terdapat 

setidaknya 720 spesies mamalia, 1.600 spesies burung, 385 spesies 

amfibi, dan 723 spesies reptil (Abdulhadi dkk., 2014). Hampir satu 

setengah abad yang lampau Alfred Russel Wallace telah membagi 

dunia menjadi enam wilayah zoogeografi dan Indonesia termasuk 

dalam wilayah Oriental dan Australian (Wallace, 1976). Kekayaan 

jenis tersebut tidak lepas dari posisi Indonesia yang berada pada zona 

peralihan zoogeografi. Zoogeografi adalah pengelompokan wilayah 

sebaran satwa secara global pada masa lalu maupun saat ini.

Seiring dengan perkembangan informasi filogenetik dan sebaran 

berbagai satwa di dunia saat ini, wilayah sebaran zoogeografi telah 

diperbarui berdasarkan kelompok mamalia, burung, herpetofauna, 

dan tetrapoda vertebrata menjadi 11 region (Proches & Ramdhani, 

2012). Berdasarkan pengelompokan yang baru tersebut wilayah 

Indonesia meliputi tiga region, yaitu Indo-Malaysian (Sumatra,    

Kalimantan, Jawa, Bali), Wallacea (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara), 

dan New Guinean (Papua) (Gambar 1.1).

    


Gambar 1.1 Peta Pembagian Wilayah Zoogeografi Indonesia

Selain itu, kekayaan jenis fauna juga ditunjukkan oleh tingkat 

endemisitasnya yang tinggi. Endemisitas satwa didukung oleh ke-

beradaan ribuan pulau yang dimiliki, baik pulau kecil maupun pulau 

besar. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 17 ribu pulau 

yang menyebar dari Sabang sampai Merauke. Beberapa pulau di 

Indonesia merupakan habitat dari jenis-jenis fauna endemik. Sebagai 

contoh, Pulau Sumatra merupakan habitat orang utan endemik Pongo 

abelii dan P. tapanuliensis, sedangkan Pulau Kalimantan menjadi 

habitat endemik bagi P. pygmaeus dan bekantan (Nasalis larvatus) 

(Supriatna, 2016). Indonesia bagian tengah atau sering dikenal dengan 

wilayah Wallacea dengan Pulau Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara 

sebagai pulau utama dan ribuan pulau kecil di sekitarnya, juga kaya 

akan satwa endemik. Sebanyak 16 jenis Tarsius spp. adalah satwa 

endemik di wilayah ini, bahkan beberapa jenis adalah endemik pada 

pulau-pulau kecil (Shekelle dkk., 2019). 

 3

Satwa liar memiliki nilai ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. 

Secara ekologi setiap satwa memiliki perannya masing-masing 

dalam keseimbangan rantai makanan, seperti sebagai penyebar biji 

tumbuhan, membantu penyerbukan, mempercepat perkecambahan, 

atau membuka tajuk hutan untuk pertumbuhan semai dan pancang 

di lantai hutan. Hilangnya salah satu spesies dalam ekosistem akan 

berpengaruh terhadap keseimbangan alam. Secara ekonomi berbagai 

satwa liar merupakan sumber dari proses domestikasi berbagai hewan 

ternak yang penting bagi kehidupan manusia. Jenis satwa liar me-

miliki potensi dikembangkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan 

manusia maupun untuk tujuan estetika. Sebagai contoh, rusa memiliki 

potensi didomestikasi untuk memenuhi kebutuhan protein hewani 

bagi masyarakat melalui mekanisme penangkaran. Selain itu, keunik-

an dan keindahan berbagai satwa liar dapat dimanfaatkan secara tidak 

langsung sebagai objek daya tarik ekowisata, seperti orang utan, 

bekantan, dan gajah. Sosok berbagai satwa juga sangat lekat dengan 

budaya masyarakat berbagai suku di Indonesia. Satwa-satwa tertentu 

sering kali menjadi simbol kebijaksanaan, kekuatan, kelembutan, dan 

keindahan dalam kehidupan budaya masyarakat lokal. 

Kekayaan jenis satwa liar di Indonesia saat ini menghadapi ber-

bagai ancaman terhadap kelestariannya. Ancaman utamanya adalah 

hilang dan rusaknya habitat, kebakaran hutan, perburuan liar, dan 

perdagangan ilegal. Peningkatan populasi penduduk dapat ber im-

plikasi pada meningkatnya kebutuhan akan pangan, sandang, dan 

papan. Habitat satwa liar makin terbatas dan mengalami kerusakan 

akibat pembukaan areal hutan menjadi permukiman, perkebunan, 

ladang, dan berbagai kepentingan lainnya. Pergerakan mamalia, se-

perti banteng, anoa, rusa makin terbatas dan hanya tersisa di beberapa 

kawasan-kawasan konservasi. Sering kali satwa keluar dari kawasan 

hutan dan masuk ke areal perkebunan dan permukiman penduduk. 

Hal tersebut memicu terjadinya konflik antara satwa dengan manusia.

Buku ini terdiri dari 3 bagian besar mewakili Region Indo-    

Malaysian, Region Wallacea, dan Region New Guinean. Tiap region 

meliputi satu atau lebih gugusan pulau besar di Indonesia dan be-

.4

berapa bab. Setiap bab terdiri dari beberapa judul pembahasan terkait 

spesies yang ada di bioregionnya. Setiap pembahasan menyampaikan 

satu topik tertentu terkait satu spesies satwa, terutama satwa yang 

dilindungi, terancam punah, atau memiliki potensi nilai ekonomi 

tinggi.

Bagian 1. Region Indo-Malaysian

Pulau Sumatra 

Pulau Sumatra memiliki luas 473,6 ribu km2, dengan luas tutupan 

hutannya 129,9 ribu km2. Namun, laju deforestasi yang terjadi pada 

tahun 2017–2018 mencapai 89.694,9 km2 (Kementerian LHK, 2019). 

Pulau Sumatra memiliki keanekaragaman satwa primata yang tinggi, 

dua di antaranya akan dibahas oleh Wanda Kuswanda dan Sriyanti 

Puspita Barus. Kedua satwa ordo primata tersebut termasuk kelompok 

kera besar dan kera kecil, yaitu orang utan tapanuli dan siamang. 

Kedua jenis kera arboreal tersebut memerlukan habitat dengan 

kondisi hutan yang bagus dengan tajuk yang saling terhubung. Sa-

yangnya, hutan di Pulau Sumatra telah banyak mengalami kerusakan 

dan telah dikonversi menjadi berbagai penggunaan lain. Kerusakan 

hutan juga berpengaruh terhadap mamalia besar, yaitu gajah sumatra. 

Pada topik ketiga dalam bioregion Sumatra ini, R. Garsetiasih dkk. 

akan membahas tentang areal hutan yang awalnya merupakan habitat 

gajah kemudian berubah menjadi areal perkebunan sawit, hutan 

tanaman industri, dan permukiman masyarakat. Kondisi tersebut 

mengakibatkan terjadinya konflik antara satwa dengan manusia.

Pulau Jawa-Bali 

Pulau Jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia. Berdasarkan 

data tahun 2019 kepadatan penduduk di pulau seluas 129.438 km2 

ini berkisar antara 831–15.900 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik, 2020). 

Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan tekanan terhadap 

areal hutan yang menjadi habitat berbagai satwa liar menjadi tinggi. 

Areal hutan dibuka dan diubah menjadi areal permukiman, perke-

bunan, serta  berbagai sarana dan prasarana umum. Areal berhutan 

 5

di Pulau Jawa hanya tersisa 32,1 ribu km2 (Kementerian LHK, 2019) 

dan menjadi habitat potensial bagi berbagai satwa liar yang tersisa. 

Keberadaan banteng pada habitatnya di Pulau Jawa terdesak dan 

sebagian besar hanya tersisa di kawasan konservasi di ujung Pulau 

Jawa. Bagaimana kondisi genetik banteng dan bagaimana strategi 

dalam upaya untuk menyelamatkannya melalui pembangunan sanc-

tuary akan dibahas oleh Maryatul Qiptiyah, R. Garsetiasih, AYPBC 

 Widyatmoko, ILG Nurtjahjaningsih, Reny Sawitri, dan Mariana 

Takandjandji. Sementara itu, Vivi Yuskianti akan membahas berbagai 

ancaman dan upaya konservasi elang jawa yang merupakan satwa 

inspirasi lambang negara. Selain satwa-satwa tersebut, berbagai 

jenis satwa herbivor juga terancam akan kehilangan habitatnya dan 

 berujung pada penurunan populasi. Penurunan populasi satwa 

herbivor yang merupakan mang sa utama macan tutul berpotensi 

menimbulkan konflik. Macan tutul akan sering masuk ke permukim-

an dan memangsa ternak penduduk. Resolusi penanganan macan 

tutul pascakonflik akan dibahas oleh Hendra Gunawan. Di sisi lain, 

kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Jawa juga menimbulkan 

berbagai permasalahan ekonomi yang memicu kegiatan perburuan 

liar dan perdagangan satwa ilegal, seperti rusa dan trenggiling. Se-

berapa besar ancaman perdagangan liar trenggiling dan bagaimana 

kesuksesan penangkaran rusa timor akan dibahas pada akhir bagian 

ini oleh Mariana Takandjandji dan Reny Sawitri. 

Pulau Kalimantan 

Pulau Borneo adalah pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland 

dan Papua. Sebagian besar pulau tersebut, tepatnya seluas 533.659 km2 

atau 73% di antaranya adalah wilayah Indonesia (Badan Pusat Statistik, 

2020). Posisinya yang tepat berada di garis khatulistiwa membuatnya 

memiliki hutan hujan tropis yang luas dengan luas areal yang berhutan 

adalah 265,6 ribu km2 (Kementerian LHK, 2019). Berbagai perubahan 

tutupan hutan banyak terjadi untuk dikonversi menjadi permukiman, 

perkebunan, dan pertambangan. Bagian pertama akan membahas 

tentang upaya pelestarian kera besar orang utan kalimantan subspesies 

.6

morio dalam skala bentang alam oleh Tri Atmoko dan pentingnya 

koridor satwa bagi orang utan oleh Tri Sayektiningsih. 

Pulau Kalimantan secara geomorfologi terbentuk oleh banyak 

sungai besar dan kecil yang mengalir mulai dari pedalaman hingga 

tepi laut. Kondisi tersebut membentuk ekosistem hutan riparian yang 

merupakan habitat utama bekantan. Tri Atmoko, Sofian Iskandar, 

dan Endang Karlina akan membahas bagaimana pentingnya hutan 

riparian bagi kehidupan bekantan, serta tantangan dan peluang 

upaya konservasi demi masa depan bekantan. Topik selanjutnya 

oleh Rozza Tri Kwatrina akan membahas tentang pelestarian sigung 

dalam lanskap mosaik perkebunan kelapa sawit. Pulau Kalimantan 

juga merupakan salah satu wilayah sebaran ular sanca. Keberadaannya 

sangat penting dalam rantai makanan di alam. Vivin S. Sihombing 

akan mendiskusikan beberapa hal terkait ular sanca, antara lain sejauh 

mana satwa liar yang sering dianggap menakutkan tersebut memiliki 

nilai potensial yang tinggi dan sudah banyak ditangkarkan sebagai 

satwa pet. Selain ular sanca, burung berkicau juga banyak yang mulai 

ditangkarkan. Namun, masih banyak burung yang langsung ditangkap 

di alam sehingga populasinya makin menurun. Mukhlisi dkk. akan 

mendiskusikan tentang hutan yang mulai sunyi dari kicauan burung 

cica daun atau sering dikenal cucak ijo.

Bagian 2. Region Wallacea

Pulau Sulawesi 

Luas bioregion Sulawesi adalah 184.981 km2 yang menjadikan-

nya sebagai pulau terbesar di wilayah Wallacea dengan areal yang 

berhutan seluas 91,6 ribu km2 (Kementerian LHK, 2019). Sebagai 

bagian dari wilayah zoogeografi Wallacea, Pulau Sulawesi memiliki 

keanekaragaman satwa unik yang berbeda dengan Pulau Kalimantan 

dan Papua. Pulau ini dapat dikatakan sebagai pusat penyebaran pen-

ting dari tarsius dan maleo. Keunikan tarsius akan dijelaskan oleh 

Indra ASLP Putri, sedangkan nasib burung maleo dalam lanskap yang 

terus mengalami perubahan akan dibahas oleh Hendra Gunawan. 

Pulau Sulawesi juga memiliki keindahan dibalik keunikan dan 

 7

warna-warni burung paruh bengkoknya. Bagaimana kehidupannya 

dan sejauh mana burung cantik, nuri talaud dan perkici dora, menjadi 

incaran para pemburu satwa akan dibahas oleh Diah ID Arini, Indra 

ASLP Putri, dan Fajri Ansari. Tidak hanya satwa kecil, Pulau Sulawesi 

juga memiliki satwa mamalia besar, salah satunya anoa. Margaretta 

Christita dan Diah ID Arini pada akhir bagian ini akan menjelaskan 

bagaimana strategi Anoa Breeding Center dalam melakukan kon-

servasi anoa secara ex situ.

Kepulauan Maluku

Wilayah Bioregion Maluku memiliki luasan sebesar  77.792 km2, 

dan merupakan bagian dari wilayah Wallace, berupa kepulauan 

dengan luas tutupan hutan 77.520 km2 (Kementerian LHK, 2019). 

Bioregion Maluku, meliputi pulau-pulau yang berada di antara Pulau 

Sulawesi dan Papua. Secara umum, wilayah ini terbagi menjadi dua 

kelompok utama, yaitu Maluku Utara (Morotai, Halmahera, Bacan, 

Obi), dan Maluku Selatan (Buru, Ambon, Seram) (Coates & Bishop, 

2000). Meskipun berupa pulau-pulau berukuran sedang dan kecil, 

Kepulauan Maluku memiliki satwa mamalia besar yang khas, yaitu 

babirusa maluku. Tidak mudah bagi babirusa untuk bertahan hidup 

pada pulau-pulau kecil. Bayu W Broto dkk. akan membahas tentang 

harapan baru upaya konservasi babirusa maluku dengan ditemukan 

indikasi keberadaannya di Cagar Alam Masbait.  

Kepulauan Nusa Tenggara

Luas bioregion Bali dan Nusa Tenggara adalah 71.686 km2 dengan 

luasan pulau utama di Nusa Tenggara sebesar 67.290 km2 dan 

memiliki 28,4 km2 areal yang berhutan (Kementerian LHK, 2019). 

Sebagian besar wilayah Nusa Tenggara terdiri atas sebagian kecil areal 

hutan dan sisanya berupa padang rumput dan perdu dengan pohon-

pohon yang jarang (Coates & Bishop, 2000). Meskipun demikian, 

wilayah ini merupakan habitat dari beberapa jenis satwa endemik 

yang penting. Oki Hidayat akan membahas tentang salah satu elang 

paling terancam punah di dunia, yaitu elang flores. Sementara itu, 

.8

Kayat akan  menyampaikan bagaimana upaya yang telah dilakukan 

dalam konservasi ex situ kura-kura leher ular rote.

Bagian 3. Region New Guinean

Pulau Papua 

Luas wilayah bioregion Papua adalah 411.563 km2 dengan 337,4 

ribu km2 areal yang berhutan (Kementerian LHK, 2019). Ekosistem 

di Papua sangat bervariasi, mulai dari lahan basah mangrove yang 

luas sampai ekosistem pegunungan di puncak tertinggi Pegunungan 

Jayawijaya. Ekosistem tersebut menjadi habitat berbagai satwa liar. 

Salah satunya adalah reptil langka kura-kura moncong babi yang 

ba-nyak diburu baik telur maupun dagingnya. Kondisi satwa ini di 

alam liar akan dibahas oleh Richard Gatot Nugroho Triantoro pada 

tema bioregion Papua.





PULAU SUMATERA


Orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah kera besar yang 

sangat terancam punah karena habitatnya terbatas hanya di Hutan 

Batangtoru, Tapanuli (Kuswanda, 2014). Orang utan memiliki kesa-

maan genetik yang tinggi dengan manusia. Seperti halnya manusia, 

orang utan sangat menyukai buah durian dan petai yang ditanam 

masyarakat sehingga menimbulkan konflik. Ironisnya, muncul feno-

mena konflik karena manusia merasa dirugikan dan gagal panen. 

Sebagai khalifah di bumi, seharusnya manusia bisa berbagi tempat 

“koeksistensi” dengan orang utan. Melalui penerapan teknologi mo-

dern untuk mencari sumber ekonomi baru, hidup bijaksana dengan 

berlandaskan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan 

dan menerapkan kerja sama antar stakeholder, kita bisa berdampingan 

hidup dengan orang utan tapanuli.

Sebagai kera besar, orang utan memiliki 97% kesamaan genetik 

dengan manusia (Meijaard dkk., 2001). Tingkah lakunya juga hampir 

mirip dengan manusia. Hanya mereka tidak memiliki akal dan pikiran 

yang sempurna, seperti yang Tuhan anugerahkan kepada manusia. 

Ironisnya, orang utan malah menjadi salah satu hewan peliharaan 

favorit bagi sebagian manusia. Orang utan telah banyak diburu untuk 

diperdagangkan secara ilegal dan dijadikan binatang peliharaan. 

Populasi orang utan di alam makin menurun karena laju kelahirannya 

yang lambat. Orang utan hanya melahirkan 8–9 tahun sekali dan itu 

pun pada kondisi habitat yang bagus, seperti hutan primer (Wich 

dkk., 2004, 2009). 

Secara umum, habitat alami dua jenis orang utan di Pulau 

Sumatra hanya tersisa di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Sebaran 

orang utan di Provinsi Aceh banyak ditemukan di Kawasan Ekosistem 

Leuser, Taman Nasional Gunung Leuser, Hutan Rawa Tripa sampai 

Trumon-Singkil, dan daerah Tapanuli. Sebaran orang utan di Sumatra 

Utara sudah terpisah pada beberapa lanskap alam, seperti di Kabu-

paten Langkat, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Blok Hutan Batangtoru 

di Tapanuli (Kuswanda, 2014). Habitat orang utan tapanuli sudah 

terfragmentasi oleh berbagai aktivitas manusia sehingga kemungkinan 

kepunahan lokal sangat tinggi.

Pertumbuhan dan jangka melahirkan orang utan tapanuli yang 

berada dan tinggal di lahan masyarakat atau lahan perusahaan diduga 

akan makin lambat karena kehidupannya terganggu oleh manusia. 

Kerusakan habitat, perburuan untuk peliharaan, dan jarak kelahiran 

yang panjang mengakibatkan kera besar ini makin langka di alam. Pa-

dahal, orang utan sangat membantu kita dalam menjaga keseimbang-

an alam. Orang utan dapat membantu proses regenerasi tumbuhan 

di hutan sebagai “petani” alam. Saat membuang kotoran, orang utan 

mengeluarkan biji-biji tanaman yang akan tumbuh menjadi benih 

dan tumbuhan baru di dalam hutan. Namun, sangat disayangkan kera 

besar ini kepunahannya sudah berada di ambang mata, apabila tidak 

dibantu untuk kegiatan pelestariannya, terutama orang utan tapanuli.

 17

A. Orang Utan Tapanuli, Warisan Hutan Batangtoru

Orang utan di Pulau Sumatra pada akhir tahun 2017 telah ditetap-

kan menjadi dua spesies yang berbeda, yaitu Pongo abelii dan P.                  

tapanuliensis (Gambar 2.1). Orang utan tapanuli hanya tersisa di 

hutan Batangtoru yang meliputi tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, 

Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara. 

Hutan Batangtoru memiliki kekayaan hayati yang tinggi dan tipe 

ekosistem yang beragam. Luasan lanskap Batangtoru diperkirakan 

seluas 240–280 ribu dengan berbagai tipe tutupan lahan, mulai dari 

hutan primer, hutan sekunder, kebun campuran/agroforestri, lading, 

sampai lahan pertanian (Gambar 2.2). Tidak semua kawasan tersebut 

menjadi habitat orang utan, hanya sekitar 138.435 ha (49%) dan 

terpisah dalam tiga blok habitat 


Hutan Batangtoru adalah salah satu kawasan yang sangat penting 

karena juga memiliki nilai jasa lingkungan yang tinggi. Kawasan ini 

secara administratif termasuk pada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten 

Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan sebagian Tapanuli Utara yang 

merupakan habitat tersisa bagi beragam jenis flora dan fauna yang 

berada di sebelah selatan Danau Toba. 

Hutan Batangtoru juga telah menjadi sumber penghidupan bagi 

masyarakat Tapanuli sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat mengelola 

dan memanfaatkan sumber daya hutan yang juga merupakan habitat 

satwa liar untuk mendapatkan sumber makanan, obat-obatan, dan 

kebutuhan rumah tangga lainnya. Masyarakat mengambil kayu, buah-

buahan, daun, dan hasil hutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan 

hidup dan dijual untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarga. 

Masyarakat memasuki habitat orang utan hampir setiap hari, baik un-

tuk memelihara tanamannya maupun mengambil sumber daya hutan. 

Berbagai jenis tanaman yang banyak dibudidayakan masyarakat di 

Foto: Wanda Kuswanda (2019)

Gambar 2.2 Lahan Pertanian dan Permukiman Masyarakat di Hutan Batangtoru

 19

antaranya karet, sawit, salak, coklat, kayu manis, durian, kopi, kemiri, 

dan kayu manis.

Keberadaan hutan Batangtoru sangat penting. Hancurnya hutan 

Batangtoru akan menyebabkan orang utan tapanuli punah di alam dan 

Indonesia akan dianggap gagal dalam melindungi hutan dan meles-

tarikan orang utan. Orang utan tapanuli saat ini telah menjadi warisan 

yang sangat berharga bagi masyarakat Batangtoru dan Indonesia pada 

umumnya. Namun, warisan tersebut tidak akan berarti apa-apa apa-

bila tidak mendatangkan sumber pendapatan bagi masyarakat lokal 

maupun negara. Berbagai kegiatan konservasi orang utan tapanuli 

turut meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya 

melalui pendanaan dunia internasional maupun corporate social 

responsibility (CSR) perusahaan. Orang utan tapanuli bisa “dijual” 

sebagai objek ekowisata dunia dan mengajak masyarakat internasional 

untuk berpartisipasi dalam program pelestariannya.

B. Konflik Manusia-Orang Utan Tapanuli

Hobi orang utan mengonsumsi buah durian dan petai ternyata 

berdampak terhadap timbulnya konflik antara manusia dan orang 

utan tapanuli. Bagi orang utan, adanya pohon durian dan petai yang 

terdapat di wilayah jelajah mereka adalah anugerah untuk mereka 

konsumsi tanpa akan “bertanya” pohon itu milik siapa dan tumbuh 

di status hutan apa? Di sisi lain, manusia yang memelihara dan me-

nunggu hasil panen buah durian dan petai akan merasa kecewa dan 

marah ketika tanaman peliharaannya rusak dan buahnya habis oleh 

orang utan. Manusia merasa gagal panen dan menderita kerugian 

karena tanpa ada hasil dari pekerjaannya.

Pada kondisi tersebut, masyarakat cenderung akan menyalahkan 

orang utan. Mereka mengusir dengan teriakan, membuat bakaran 

api dibawah pohon atau memukul-mukul batang pohon agar orang 

utan tersebut pergi dari pohon durian atau petai mereka. Bahkan, 

saat ini sebagian masyarakat pemilik pohon menggunakan senapan, 

meskipun tidak ditembakkan secara langsung terhadap orang utan. 

.20

Rusaknya tanaman oleh satwa liar telah mendorong mening-

katnya konflik antara satwa dengan manusia terutama di Indonesia 

yang sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor 

pertanian. Konflik manusia dan orang utan juga diduga akan terus 

terjadi karena pertumbuhan manusia di Kabupaten Tapanuli Selatan 

yang terus meningkat dengan kepadatan penduduk telah mencapai 

64,35 jiwa per km2 dengan sebagian besar masih bermata pencaharian 

sebagai petani (BPS Kabupaten Tapsel, 2019). 

Upaya mitigasi konflik manusia dan orang utan tapanuli harus 

menjadi prioritas para pihak. Prinsip dasar dalam mitigasi konflik 

adalah keselamatan bagi manusia dan satwa liar, termasuk pada 

konflik dengan orang utan. Mitigasi konflik dapat dilakukan untuk 

mengurangi dan/atau menghapus risiko kerugian dan korban manusia 

yang mungkin terjadi akibat gangguan satwa liar. Program yang 

harus dikembangkan dapat diarahkan untuk mengurangi efek negatif 

terhadap kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan kon-

servasi satwa liar di daerah konflik, termasuk di wilayah Kabupaten 

Tapanuli Selatan. Pendekatan multi pihak harus dikembangkan karena 

dalam penanganan konflik tidak ada solusi tunggal, melibatkan skala 

yang luas (lanskap), dan merupakan tanggung jawab banyak pihak 

(Dephut, 2008).

C. Berbagi Ruang dengan Orang Utan Tapanuli

Hubungan antara manusia dan satwa liar telah berevolusi sejak 

peradaban manusia di bumi dengan segala bentuk kompleksitas 

dan keragamannya. Manusia akan selalu mencari kesempatan dan 

pengetahuan untuk berinteraksi dan memanfaatkan alam maupun 

satwa liar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, karena 

keserakahannya, manusia memanfaatkan sumber daya alam secara 

berlebihan tanpa memperhatikan aspek perlindungan dan kebutuh-

an bagi makhluk hidup lainnya. Beragam aktivitas manusia telah 

mengakibatkan kepunahan dan konflik pemanfaatan sumber daya 

hutan antara manusia dan satwa liar (Alikodra, 2019). Manusia yang 

dianugerahi Sang Pencipta menjadi khalifah di bumi tidak berhak un-

 21

tuk memanfaatkan sumber daya alam semaunya, melainkan memiliki 

kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola alam secara bijaksana 

dan berkelanjutan. Ribuan makhluk hidup lainnya, seperti orang utan 

juga memiliki hak untuk hidup dan manusia diberi tanggung jawab 

untuk melindunginya. Punahnya orang utan sebagai bagian dari rantai 

ekosistem akan menimbulkan bencana bagi manusia sendiri.

Sebagai makhluk sosial, manusia diperintahkan untuk hidup 

berbagi dengan makhluk lainnya, bukan hanya antarmanusia sendiri, 

tetapi dengan seluruh makhluk yang ada di bumi. Berkembangnya 

konsep koeksistensi dapat menjadi landasan bagi manusia untuk 

mampu berdampingan dan berbagi tempat dengan makhluk lainnya, 

termasuk orang utan. Penerapan koeksistensi atau ‘hidup berdam-                                                                                                               

pingan antara manusia dan satwa liar’ diharapkan dapat menumbuhkan 

sikap toleransi, peningkatan populasi satwa liar, dan keberlangsungan 

legitimasi kehidupan sosial ekonomi. 

Manusia yang hidup di era modern, kiranya harus bercermin 

kembali kepada kehidupan masyarakat lokal. Mereka mampu hidup 

harmonis dengan alam dan kebutuhan hidupnya tercukupi tanpa 

harus berkonflik dan mengorbankan habitat orang utan seperti di 

lanskap Batangtoru. Warisan kearifan lokal dari leluhur Etnis Angkola, 

seperti menjaga hutan larangan, melindungi mual ‘sumber air’, dan 

tidak boleh menebang jenis pohon tertentu adalah bentuk nyata 

bagaimana mereka telah menyisakan sebagian hutan di daerahnya un-

tuk kehidupan makhluk lainnya. Mereka tidak mengganggu kawasan 

yang dianggap keramat sebagai ‘tempat mahluk gaib’ yang sebenarnya 

dapat juga diperuntukan sebagai ruang kehidupan satwa liar.

D. Berbagi Durian dan Petai dengan Orang Utan  

Tapanuli 

Orang utan tapanuli, seperti jenis lainnya, merupakan satwa yang 

mengonsumsi beragam jenis tumbuhan. Orang utan akan selalu 

bergerak mencari habitat yang memiliki ketersediaan pakan me-

limpah, terutama buah-buahan yang merupakan makanan utama. 

Lebih dari 190 jenis pakan orang utan tapanuli telah teridentifikasi, 

.22

baik kelompok pohon maupun liana (tumbuhan merambat) (Putro 

dkk., 2019). Orang utan membutuhkan variasi jenis tumbuhan 

pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jenis-jenis tumbuh-

an yang disukai di antaranya adalah gala-gala (Ficus racemosa), 

medang nangka (Elaeocarpus obtusus), beringin (F. benjamina), 

hoteng (Quercus maingayi), teurep (Artocarpus elasticus), motung                                                                                                 

(F. toxicaria), dongdong (F. fistulosa), dan asam hing (Dracontomelon 

dao). Selain tanaman hutan, orang utan tapanuli juga sangat menyukai 

buah tanaman yang sangat disukai oleh masyarakat, seperti durian 

(Durio zibethinus), petai (Parkia speciosa), dan aren (Arenga pinnata). 

Durian dan petai merupakan salah satu makanan favorit 

bagi orang utan sehingga banyak orang utan yang turun ke lahan 

masyarakat ketika musim buah durian. Mengamati orang utan saat 

mengkonsumsi buah durian dan petai merupakan kejadian langka dan 

sangat menarik (Gambar 2.3). Orang utan kadang tidak memedulikan 

gangguan ketika sedang berada di pohon durian.

     

(a)    (b)

Keterangan: (a) Makan Petai (b) Makan Durian

Foto: Wanda Kuswanda (2018)

Gambar 2.3 Aktivitas Makan Orang Utan Tapanuli

 23

Dalam satu hari, orang utan bisa mengonsumsi 20–30 durian. 

Bahkan, mereka dapat tinggal beberapa hari sampai buah durian 

hampir habis apabila tidak diusir oleh pemilik tanaman. Durian yang 

dikonsumsi oleh orang utan bukan hanya durian yang sudah masak, 

tetapi yang masih mentah ‘mangkal’ pun tetap mereka konsumsi. 

Lebih menarik lagi ketika mereka mengambil durian, yaitu dengan 

cara mengangkat dan menekan batang pohon sampai durian terlepas 

dari tangkainya. Mereka lalu membuka durian dengan cara mengigit, 

kemudian membuka buah dengan kedua tangannya. Rata-rata hanya 

sebagian buah durian yang mereka makan dan sisanya dijatuhkan ke 

tanah. Kita akan sangat beruntung ketika menemukan orang utan 

sedang makan durian karena biasanya mereka tidak memakan habis 

isi dari buah durian sehingga dapat mengambil sisa durian yang 

dikonsumsi oleh orang utan. 

Begitu juga ketika memakan buah petai. Orang utan hanya 

mengonsumsi buah petainya saja. Buah petai dipegang oleh tangan 

atau dibuka oleh giginya kemudian dimakan. Bahkan seperti manusia, 

orang utan bisa membuka buah petai dengan menggunakan kedua 

tangannya dan kemudian buahnya dikonsumsi. Orang utan mengon-

sumsi buah petai dengan sangat cepat dan mampu menghabiskan satu 

tandan dalam waktu kurang dari satu jam. Dalam satu hari, beberapa 

tandan buah petai sanggup dihabiskan oleh orang utan.

E. Penutup

Masa depan kehidupan orang utan ada di tangan manusia. Meng-

gunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia bisa menciptakan 

berbagai sumber ekonomi alternatif, namun tidak bagi orang utan. 

Manusia bisa mengintensifkan lahan yang sudah dikelola secara 

bijaksana dan menyisakan tempat hidup bagi orang utan dan satwa 

liar lainnya. Hidup berdampingan dengan orang utan tapanuli di era 

modern, PASTI BISA!! Asal kita mampu mengembangkan amanah 

bahwa manusia diutus sebagai “khalifah” di muka bumi.


Apabila di Bali terkenal dengan Sangeh yang memiliki ratusan monyet 

sebagai atraksi wisatanya, Sumatra Utara memiliki taman primata 

kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Aek Nauli dengan 

atraksi siamang. Siamang merupakan ikon wisata ilmiah di KHDTK 

Aek Nauli yang dapat dipanggil dengan cara meniup terompet yang 

terbuat dari tanduk kerbau. Neli adalah nama siamang betina yang 

menjadi primadona di taman primata KHDTK Aek Nauli. Taman 

primata ini terletak di jalur Medan menuju Parapat yang dapat ditem-

puh dalam waktu empat jam perjalanan menggunakan transportasi 

darat dari Kota Medan. Di lokasi ini, pengunjung dapat menyaksikan 

siamang, primata endemik Pulau Sumatra bersama ratusan ekor beruk 

dan monyet ekor panjang. 




A. Mengenal Siamang, kera endemik Pulau   

Sumatra

Siamang (Symphalangus syndactylus) adalah kera hitam tidak bere-

kor, memiliki lengan panjang, dan hidup di atas pepohonan. Secara 

taksonomi, siamang termasuk dalam famili Hylobatidae yang terdiri 

dari dua subspesies, S. s. syndactylus dan S. s. continensis 

Tubuhnya ditutupi oleh rambut yang panjang dan seluruhnya 

berwarna hitam, kecuali rambut di sekitar mulut dan dagu yang 

berwarna lebih muda. Siamang memiliki dua keunikan yang khas, 

yaitu dua jari pada setiap kakinya disatukan oleh sebuah membran 

dan kantung suara yang membuat tenggorokan siamang dapat 

mengembang sampai sebesar kepalanya sehingga dapat menghasilkan 

suara yang keras dan beresonansi (Palombit, 1997). Suara yang khas 

mengalun dan saling bersahutan antarkelompok, membuat siamang 

mudah untuk dideteksi keberadaannya. Saat pagi hari, biasanya       

siamang akan saling memanggil dengan suara khasnya yang memecah 

keheningan hutan. 

Siamang dapat ditemukan pada sebagian besar hutan tropis Asia 

Tenggara, mulai dari semenanjung Malaysia dan Thailand hingga ke 

Indonesia (Mubarok, 2012). Siamang merupakan salah satu jenis satwa 

primata endemik Pulau Sumatra dengan sebaran di Indonesia hanya 

terdapat di Pulau Sumatra, yaitu dari Aceh sampai Lampung. Khusus 

di Sumatra Utara, yaitu di Kabupaten Tapanuli Selatan, siamang lebih 

dikenal dengan nama imboh. 

Siamang merupakan satwa yang sebagian besar aktivitasnya be-

rada di tajuk pepohonan (Nijman & Geissman, 2008). Siamang sangat 

menyukai hidup di hutan yang rapat dan tajuknya saling berhubungan 

sehingga sangat jarang turun ke tanah (Sultan dkk., 2009). Tajuk 

pohon yang saling berhubungan sangat membantu siamang untuk 

berpindah dalam mencari makan dan berlindung dari pemangsa atau 

ancaman lainnya. Siamang hidup dalam kelompok-kelompok sosial 

kecil, terdiri dari jantan dan betina dewasa dengan 1–6 ekor anak. Di 

tempat yang alami, ukuran kelompok siamang rata-rata 4 ekor (Gittins 

Neli, Siamang Primadona ... 27

& Raemaekers, 1980). Kelompok siamang membutuhkan wilayah 

jelajah yang luas sekitar 15–30 ha untuk memenuhi kebutuhan hidup 

(Chivers, 1977). 

Habitat utama siamang adalah hutan tropis pegunungan. Siamang 

dapat ditemukan di hutan primer, hutan sekunder, dan hutan rawa. 

Siamang umumnya dijumpai pada ketinggian di atas 300 mdpl, 

namun dapat hidup juga di hutan dataran rendah dan sangat jarang 

dijumpai daerah dengan ketinggian lebih dari 1.500 mdpl, meskipun 

dapat hidup sampai di ketinggian 1.828,8 m (Gron, 2008; Kuswanda 

& Garsetiasih, 2016). 

Jenis pakan utama siamang adalah buah-buahan dan daun-

daunan. Menurut Permatasari dkk. (2018), tumbuhan yang dimakan 

oleh siamang, antara lain aren (Arenga pinnata), walek angin (Mallotus 

paniculatus), kemiri (Aleurites moluccana), jengkol (Pithecellobium 

lobatum), rambutan hutan (Cryptocarya nitens), petai cina (Leu-

caena leucocephala), matoa (Pometia pinnata), dan gondang (Ficus 

variegata). Keberadaan siamang berperan penting dalam ekosistem 

hutan karena membantu proses regenerasi dan suksesi hutan. Melalui 

perilaku makannya, siamang berperan sebagai polinator dan penyebar 

biji tumbuh-tumbuhan sehingga memegang peran sebagai spesies 

kunci (key species) dalam sebuah ekosistem hutan. 

Siamang termasuk satwa yang dikategorikan endangered atau 

genting berdasarkan International Union for Conservation of Nature 

(IUCN) Red List of Threatened Spesies (Nijman dkk. 2020). Peme-

rintah Indonesia telah melindungi satwa dan tumbuhan berdasarkan 

UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan 

Ekosistemnya. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa 

setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, me-

nyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan 

satwa yang dilindungi. Lebih lanjut Pemerintah Indonesia menerbitkan 

PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa 

yang lampirannya diperbarui melalui Peraturan Menteri Lingkungan 

Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018, 

di mana siamang ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi. Mencegah 

.28

punahnya siamang, diperlukan campur tangan pemerintah dan semua 

lapisan masyarakat dalam mengimplementasikan program perlin-

dungan maupun pemanfaatan secara lestari. 

B. KHDTK Aek Nauli sebagai Habitat Siamang

Salah satu habitat siamang yang tersisa di Sumatra Utara adalah di 

KHDTK Aek Nauli. Secara umum, KHDTK adalah kawasan hutan 

yang bisa berupa hutan konservasi, hutan lindung, atau hutan produksi 

yang ditunjuk secara khusus oleh Menteri untuk keperluan penelitian 

dan pengembangan, pendidikan, dan latihan, serta untuk kepen-

tingan sosial, religi, dan budaya dengan tidak mengubah fungsi pokok 

kawasan hutan yang bersangkutan. KHDTK Aek Nauli merupakan 

salah satu KHDTK yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan 

Menteri Kehutanan Nomor 39/Menhut-II/2005 tanggal 7 Februari 

2005 dengan luas 1.900 ha sebagai hutan penelitian. Secara geografis, 

KHDTK Aek Nauli terletak pada koordinat 2°41’–2°44’ Lintang Utara 

(LU) dan 98°57’–98°58’ Bujur Timur (BT). Berdasarkan administratif 

pemerintahan, kawasan ini termasuk dalam Desa Sibaganding, Ke-

camatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Provinsi 

Sumatra Utara. Berdasarkan sejarah fungsi hutan, KHDTK Aek 

Nauli berasal dari Hutan Lindung Sibatuloting. KHDTK Aek Nauli 

berfungsi sebagai wilayah tangkapan air bagi kawasan di bawahnya, 

termasuk Danau Toba. KHDTK ini merupakan habitat dari berbagai 

jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi sekaligus sebagai 

kawasan ekowisata (Kuswanda & Pratiara, 2017). 

Sekitar 60% dari wilayah KHDTK Aek Nauli masih merupakan 

hutan primer dan sekunder yang menjadi salah satu habitat yang 

tersisa bagi siamang di sekitar Danau Toba. Keberadaan siamang di 

sekitar Danau Toba dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata ilmiah 

pendukung pariwisata di Danau Toba. Manajemen wisata ilmiah di 

KHDTK Aek Nauli akan menjamin kelestarian fungsi hutan secara 

terpadu, meliputi fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya dengan 

menggunakan konsep edutainment yang memiliki fungsi penting 

sebagai wahana pendidikan sekaligus pertunjukan dan/atau peragaan 

Neli, Siamang Primadona ... 29

wisata bagi kepuasan pengunjung (wisatawan). Hal ini sangat penting 

untuk mendukung wisata ilmiah yang memberikan pengetahuan dan 

kesan positif kepada pengunjung (Kuswanda & Pratiara, 2017).

Salah satu potensi wisata ilmiah di KHDTK Aek Nauli adalah 

taman primata yang dikenal dengan nama Monkey Forest Sibaganding 

yang merupakan salah satu objek wisata alam di Kawasan Strategis Pa-

riwisata Nasional (KSPN) Danau Toba. Primata merupakan kelompok 

mamalia yang memiliki sifat arboreal, yaitu menghabiskan sebagian 

besar hidupnya berada di tajuk pepohonan. Selain siamang, di lokasi 

ini terdapat berbagai jenis primata lain, seperti monyet ekor panjang 

(Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), dan simpai (Presbytis 

sp.). 

Untuk menuju taman primata dapat ditempuh dengan meng-

gunakan berbagai moda transportasi darat baik dari arah Medan, 

Pematang Siantar, maupun Parapat karena akses menuju ke lokasi ini 

sudah memadai (Gambar 3.1). Di area taman primata, pengunjung 

dapat berinteraksi langsung dengan siamang dan kawanan primata 

lainnya. Beragam jenis primata yang terdapat di KHDTK Aek Nauli 

memiliki daya tarik tersendiri sebagai objek wisata ilmiah. Salah satu 

jenis primata yang dijadikan icon wisata ilmiah KHDTK Aek Nauli 

adalah siamang. Siamang dipilih menjadi flag species sebagai objek 

wisata ilmiah dengan pertimbangan merupakan spesies endemik 

pulau Sumatra, langka, dan menarik karena mengeluarkan suara yang 

khas sehingga mudah dikenali oleh pengunjung. 

.30

Sumber: Google (t.t)

Gambar 3.1 Peta Lokasi Taman Primata Sibaganding

C. Atraksi Memanggil Siamang

Memasuki lokasi Taman Primata Sibaganding, pengunjung dapat 

menikmati suasana hutan lindung yang masih asri dengan udaranya 

yang sejuk dan segar. Lokasi ini sangat cocok untuk wisata petua-

langan, menikmati flora dan fauna, serta mengenal keanekaragaman 

lainnya. Waktu yang di butuhkan untuk sampai ke tempat atraksi 

siamang, pengunjung harus menempuh perjalanan selama 7–10 menit 

dari jalan raya. Pengunjung akan didampingi oleh seorang pemandu 

bernama Abdul Rahman Manik yang telah menjadi pemandu taman 

primata sejak tahun 2012, menggantikan ayahnya, Almarhum Umar 

Malik. 

Teknik yang digunakan Manik untuk memanggil primata adalah 

dengan meniup terompet yang terbuat dari tanduk kerbau yang 

mengeluarkan suara nyaring “Tottrowtrowuet!'' (Gambar 3.2). Ketika 

mendengar suara terompet tanduk kerbau tersebut, monyet-monyet 

Neli, Siamang Primadona ... 31

dan kelompok beruk mulai berdatangan. Ada yang datang turun 

dari pepohonan dan ada juga yang lewat jalan setapak. Lengkingan 

suara dari terompet tanduk kerbau itu bergaung di kawasan Hutan 

Sibatuloting, seakan menyuruh siamang dan monyet-monyet itu 

untuk berkumpul. Pengunjung tidak perlu takut terhadap monyet-

monyet liar tersebut karena mereka tidak mengganggu apalagi 

mencuri barang-barang pengunjung. Namun, monyet memiliki indra 

penciuman yang tajam dan tertarik dengan benda-benda yang berbau 

tajam, seperti parfum, permen, dan tisu.


Seiring dengan berdatangannya beruk atau yang dalam bahasa 

lokal disebut bodat dan monyet ekor panjang, biasanya ada seekor 

primata berambut hitam bergelantungan turun dari atas pohon ke 

arah pengunjung. Dia adalah siamang yang bernama Neli (Gambar 

3.3), sedangkan yang tidak mau turun adalah jantan pasangannya. 

Dia tidak akan turun karena menjaga anaknya Neli. Hal itu kebiasaan 

mereka, yang jantan menjaga anaknya. ''Neli sini kau cepat datang ada 

pisang ini”, Manik memanggilnya. Setelah Neli datang, pengunjung 

bisa memberi makan siamang dan kawanan kera lain dengan kacang 

atau pisang yang sudah disediakan petugas. 

Memanggil siamang merupakan salah satu atraksi wisata yang 

menarik. Dengan bahasa tertentu yang terekam dalam memori, 

siamang dapat dipanggil untuk datang, menyapa, dan berinteraksi 

dengan pengunjung. Neli merupakan siamang betina berumur ± 30 

tahun dan telah memiliki empat anak. Saat ini kelompok Neli terdiri 

dari empat ekor siamang, yaitu siamang betina dewasa (Neli), siamang 

jantan dewasa berumur 20 tahun, dan dua ekor anak siamang. Dua 

Neli, Siamang Primadona ... 33

ekor siamang anak Neli yang telah remaja telah keluar dari kelompok 

untuk membentuk kelompok baru. Area jelajah kelompok Neli juga 

tidak jauh hanya sekitar 200–500 m dari lokasi atraksi taman primata 

ke arah hutan lindung karena Neli masih mengawasi anaknya yang 

masih kecil yang sekarang sudah mulai belajar mencari makan sendiri. 

Oleh karena itu, ketika terompet ditiup, Neli bisa segera mendatangi 

Manik dengan cepat karena lokasinya mencari makan tidak jauh.  

Pengunjung taman primata dapat menyaksikan Abdul Rahman 

Manik menunjukkan kepiawaian dan kedekatannya dengan hewan 

primata (Gambar 3.4). Ini yang bisa menjadi atraksi sekaligus edukasi. 

Beberapa pengunjung juga terlihat takjub melihat Neli dan anaknya 

karena sebelumnya mereka belum pernah melihat siamang. Neli 

terlihat sangat lincah bergelantungan untuk berpindah dari dahan 

ke dahan dan tidak takut menerima makanan yang diberikan oleh 

pengunjung. Pengunjung terlihat antusias dan senang dapat berin-

teraksi dan berfoto dengan Neli. Meskipun demikian, pengunjung 

dilarang bersentuhan langsung dengan siamang untuk menghindari 

hal yang dapat merugikan, baik untuk siamang maupun manusia, 

seperti gigitan dan penularan penyakit. 

Abdul Rahman Manik sangat berkeinginan untuk serius me-

ngurus siamang dan primata yang ada di taman primata ini. Taman 

Primata Sibaganding masuk ke dalam Geopark Kaldera Toba sehingga 

pembenahan berbagai fasilitas perlu terus dilakukan agar pengun-

jung dapat merasa aman dan nyaman saat berada di taman primata. 

Masyarakat sekitar taman primata juga dapat dilibatkan dalam hal 

penyediaan pakan primata. 

D

Taman Primata dipandang memiliki sumber daya alam yang memadai 

untuk mewujudkan unsur belajar dan pengayaan pengetahuan melalui 

wisata ilmiah. Taman Primata Sibaganding memiliki bentang alam 

dan aktivitas wisata yang mampu menambah pengetahuan, seperti 

proses pemanggilan siamang, kera endemik di KHDTK Aek Nauli. 

.34

Pengembangan prinsip edutainment yang memiliki fungsi penting 

sebagai wahana pendidikan sekaligus pertunjukan dan/atau peragaan 

wisata bagi kepuasan pengunjung (wisatawan), sangat penting untuk 

mendukung wisata ilmiah yang memberikan kesan positif dan pe-

ngetahuan kepada pengunjung. Melalui kegiatan memanggil siamang, 

pengunjung diajak untuk lebih dekat dengan siamang sehingga 

dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut melestarikan 

 siamang. Pengembangan wisata ilmiah siamang diharapkan dapat 

menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar dan menumbuhkan 

kesadaran masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam upaya 

konservasi siamang. Dengan berkunjung ke Taman Primata KHDTK 

Aek Nauli tentunya pengunjung akan mendapatkan pengetahuan, 

pengalaman, dan sensasi tersendiri karena dapat berdekatan langsung 

dengan satwa langka di alam liar yang hanya ditemukan di Pulau 

Sumatra. 





Raden Garsetiasih, Anita Rianti, & Nur M. Heriyanto

Beberapa kelompok gajah saat ini habitatnya berada di luar kawasan 

konservasi, di antaranya di kawasan hutan tanaman industri (HTI) 

dan perkebunan sawit yang letaknya berdekatan dengan permukiman. 

Gajah-gajah tersebut terisolir dan berpotensi menimbulkan konflik. 

Konflik dipicu karena gangguan gajah terhadap tanaman HTI beru-

mur muda, tanaman kelapa sawit yang baru ditanam, serta kebun 

masyarakat. Konflik tersebut menimbulkan kerugian ekonomi bagi 

masyarakat serta menyebabkan kematian gajah maupun manusia. 

Untuk meminimalisir terjadinya konflik yang berkepanjangan antara 

gajah dengan masyarakat, perusahaan HTI, dan perkebunan sawit, 

perlu dilakukan pengelolaan habitat melalui pembangunan koridor 

satwa. Koridor satwa tersebut mengintegrasikan antar kawasan/

wilayah yang dikelola perusahaan serta pengayaan jenis-jenis pakan 

untuk memenuhi kebutuhan hidup gajah.

R. 

Meningkatnya populasi manusia berdampak pada pembangunan 

berbagai sektor termasuk sektor kehutanan. Pembangunan sektor 

kehutanan berakibat pada penerbitan izin hak pengusahaan hutan 

(HPH) yang merupakan salah satu penyebab terjadinya deforestasi 

dan degradasi hutan. Kawasan HPH yang asalnya adalah kawasan 

hutan alam yang merupakan habitat satwa liar akhirnya menjadi 

terganggu karena adanya aktivitas penebangan kayu (logging). Kondisi 

tersebut menyebabkan banyak satwa liar keluar dari kawasan hutan, 

termasuk ke permukiman. Selain adanya HPH, Pembangunan HTI 

menyebabkan perubahan hutan yang awalnya heterokultur menjadi 

monokultur sehingga terjadi penurunan fungsi habitat satwa (Syahri 

dkk., 2015). Akibatnya ada beberapa satwa liar yang habitatnya berada 

pada kawasan HTI dan areal perkebunan, khususnya perkebunan 

sawit. Saat ini, luas kebun sawit diperkirakan mencapai 11,3 juta ha 

dan sekitar 50% terjadi pada lahan hutan yang telah terdeforestasi 

(Kementerian LHK, 2017). Moestrup dkk. (2012) menyatakan bahwa 

penyusutan hutan dapat menimbulkan kompetisi pemanfaatan ruang 

antara manusia dengan satwa liar. Salah satu satwa liar yang saat ini 

habitatnya banyak dijumpai di dalam kawasan HTI dan perkebunan 

sawit di Sumatra adalah gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus). 

B. Karakteristik Ekologi dan Habitat Gajah Sumatra

Gajah dikelompokan ke dalam dua kelompok, yaitu gajah asia dan ga-

jah afrika. Gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) merupakan 

gajah asia dan termasuk satwa langka yang dilindungi undang-undang 

sejak jaman Belanda dengan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 

Tahun 1931 No 134 dan 266 (Jajak, 2004) dan saat ini masuk dalam 

daftar satwa yang dilindungi berdasarkan PP 7 Tahun 1999 dan Per-

men LHK No 106 tahun 2018.

Gajah sumatra tidak menetap di habitat yang luasannya terbatas. 

Luas home range-nya tergantung pada kecukupan dalam mendapat-

kan pakan. Hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke 

Potensi Konflik Gajah ... 39

tempat lain karena berhubungan dengan pemenuhan ketersediaan 

pakan. Jika ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempatinya 

tidak mencukupi, gajah akan bergerak mencari makanan ke tempat 

lain di sekitar habitatnya. Saat gajah keluar dari kawasan hutan dan 

masuk ke permukiman serta kebun masyarakat maka akan berpotensi 

menimbulkan konflik dengan masyarakat (Febriani, 2009).

Habitat gajah sumatra meliputi seluruh hutan di pulau Sumatra 

mulai dari Provinsi Lampung sampai Aceh, mulai dari hutan basah 

berlembah dan hutan payau di dekat pantai sampai hutan pegunungan 

pada ketinggian sekitar 2000 mdpl. Populasi saat ini diperkirakan 

tersebar di 16 kantong habitat yang terus mengalami kerusakan baik 

penyempitan maupun fragmentasi. Salah satu penyebab tergang-

gunya habitat gajah adalah peningkatan konversi kawasan hutan 

untuk perkebunan dan hutan tanaman industri yang menyebabkan 

berkurangnya tutupan lahan dan mengakibatkan terjadinya fragmen-

tasi habitat (Yoza, 2003).

Kelangsungan hidup gajah sumatra makin terancam karena ting-

ginya tekanan dan gangguan, serta kurangnya pengetahuan tentang 

perilaku ekologi gajah. Pengetahuan perilaku tentang bagaimana 

strategi gajah menggunakan habitat dan sumber daya untuk kepen-

tingan hidupnya masih sangat terbatas (Abdullah dkk., 2012). Perilaku 

gajah dalam memenuhi kebutuhan pakan selalu mempertimbangkan 

kenyamanan dirinya di antaranya dengan menghindari terik matahari. 

Oleh karena itu, gajah umumnya mencari makan di hutan primer 

karena menyediakan tempat berlindung terutama pada siang hari, se-

dangkan pada saat teduh gajah memanfaatkan hutan sekunder dalam 

aktivitas makannya (Soeriatmadja, 1982 dalam Abdullah dkk., 2012).

C. Vegetasi Tumbuhan Bawah dan Daya Dukung 

 Habitat 

Gajah lebih banyak memanfaatkan kawasan HTI karena keragaman 

jenis vegetasi tumbuhan bawah sebagai sumber pakan lebih tinggi 

dibandingkan hutan milik masyarakat desa yang vegetasi pohonnya 

lebih sedikit. Selain itu, pada kawasan HTI masih terdapat areal yang 

.40

belum digunakan secara optimal sebagai hutan produksi. Berdasarkan 

hasil penelitian di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatra 

Selatan, jenis tumbuhan bawah yang ada di areal HTI mencapai 21 

jenis dan kerapatan pohonnya tinggi sehingga dapat dijadikan tempat 

beristirahat dan tidur oleh gajah, sedangkan di hutan masyarakat 

desa tumbuhan bawahnya hanya ada 14 jenis. Namun, pada hutan 

masyarakat terdapat tanaman semusim dan buah-buahan yang lebih 

beragam sehingga sering digunakan sebagai tempat mencari makan.

Potensi tumbuhan bawah sebagai hijauan pakan gajah di kawasan 

HTI jenis akasia di Kabupaten OKI, umumnya didominasi oleh 

alang-alang (Imperata cylindrica), kolonjono (Brachiaria mutica), 

dan pakis (Nephrolepis biserrata). Produktivitas tumbuhan bawah 

di areal HTI jenis akasia cukup tinggi sehingga dapat mencukupi 

kebutuhan pakan gajah untuk keberlangsungan hidupnya. Namun, 

nilai kandungan nutrisi jenis-jenis tumbuhan yang ada di areal kebun 

masyarakat umumnya lebih tinggi dibanding dengan hijauan pakan 

yang terdapat di areal HTI (Garsetiasih, Rianti dkk., 2018). Kondisi 

tersebut menyebabkan gajah sering makan tanaman yang ada di kebun 

masyarakat. Jenis-jenis tumbuhan yang biasa dimakan gajah yang 

ditemukan di wilayah Sumatra Selatan disajikan pada Tabel 4.1.






Daerah jelajah gajah di Kabupaten OKI dan OKUS Provinsi Sumatra 

Selatan berada di kawasan HTI dan areal perkebunan sawit termasuk 

permukiman masyarakat pada beberapa kecamatan. Daerah jelajah 

gajah di kawasan HTI terdeteksi melalui pengamatan pada beberapa 

petak vegetasi di areal HTI PT Paramitra Mulya Langgeng (PT 

PML). Daerah jelajah ditunjukkan oleh pertemuan langsung, jejak 

renggutan, kotoran, kerusakan pohon karena kulitnya dimakan gajah, 

dan bekas tanaman yang dimakan gajah. Kelompok gajah di areal PT 

PML diperkirakan merupakan kelompok yang sama hanya jalurnya 

yang berubah setiap bulan dalam satu tahunnya. Gajah tersebut se-

ring masuk ke kebun dan hutan masyarakat Desa Sinar Danau dan 

Desa Durian Sembilan Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten OKUS 

(Gambar 4.1). Kawasan hutan yang utamanya dimanfaatkan gajah 

ialah hutan tanaman Acacia crassicarpa berumur 2–3 tahun (Gambar 

4.2) dan kebun masyarakat. 

Jumlah kelompok gajah di sekitar kawasan HTI, hutan, dan 

kebun masyarakat Desa Durian Sembilan dan Sinar Danau Ka-

bupaten OKUS diperkirakan berkisar 5–6 ekor. Gajah tersebut 

sebagian besar memanfaatkan hutan tanaman akasia yang berumur 

Potensi Konflik Gajah ... 43

muda sebagai sumber pakan, terutama bagian kulit batang pohon. 

Kelompok gajah ini diperkirakan terpisah dari kelompok lainnya saat 

pemindahan/translokasi gajah tahun 1982 dari Hutan Villa Masin 

Way Kawat. 

Foto: Garsetiasih (2017)

Gambar 4.1 Kebun Masyarakat yang Menjadi Daerah Lintasan Gajah di 

Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS)

Foto: Garsetiasih (2017) 

Gambar 4.2 Tanaman Akasia yang Dirusak Gajah di Kawasan HTI

                                                            

Pada saat musim hujan, gajah menetap di kawasan hutan tanaman 

karena ketersediaan pakan berupa tumbuhan bawah mencukupi serta 

adanya tanaman akasia berumur muda yang dapat dijadikan sumber 

pakannya. Hutan tanaman berumur muda memiliki penutupan tajuk 

yang tidak terlalu rapat sehingga cahaya matahari masih bisa masuk 

ke lantai hutan dan menyediakan jenis-jenis tumbuhan bawah dengan 

.44

biomassa yang cukup tinggi ,yaitu 2.209,83 kg/ha (Garsetiasih, Rianti 

dkk. (2018)). Aktivitas gajah di dalam kawasan HTI akan berpindah 

ke hutan dan kebun milik masyarakat saat musim panen dan musim 

kemarau karena kurangnya ketersediaan pakan di kawasan hutan 

tanaman (Gambar 4.3).  

Foto: PT Bumi Mekar Hijau Distrik Sungai Ketupak (2017)

Gambar 4.3 Aktivitas Gajah di Kawasan HTI Kabupaten OKI

E. Dampak Adanya Gajah di Areal Konsesi

Meningkatnya konversi kawasan hutan menjadi perkebunan, pertam-

bangan, HTI (perubahan hutan alam yang heterogen menjadi hutan 

homogen), dan permukiman berdampak pada menurunnya luas dan 

fungsi habitat satwa. Banyak kasus konflik terjadi di lahan-lahan yang 

sudah dikonversi dari kawasan hutan menjadi kebun sawit (Yoza, 

2009). Konflik meningkat setelah adanya alih fungsi kawasan hutan 

alam yang merupakan habitat gajah menjadi perkebunan sawit atau 

HTI. Alih fungsi kawasan hutan tersebut menyebabkan terjadinya 

fragmentasi habitat yang berdampak terhadap kehidupan satwa 

termasuk gajah (Yoza, 1995). 

Sekitar 80–90% hutan di Sumatra yang berfungsi sebagai habitat 

gajah telah diokupasi oleh perusahaan pengelola sumber daya hutan 

Potensi Konflik Gajah ... 45

dan masyarakat. Hal ini mengakibatkan konflik antara gajah dengan 

manusia di sekitar permukiman, areal perkebunan, dan HTI karena 

daya dukung habitat menurun. Daya dukung habitat dalam kawasan 

menjadi rendah karena manusia dan satwa liar menggunakan sumber 

daya dari sumber yang sama sehingga laju produktivitas sumber pa-

kan secara kualitas maupun kuantitas tidak mencukupi. Di samping 

itu, tidak semua tumbuhan dalam kawasan dimakan satwa termasuk 

gajah (Garsetiasih, Heriyanto dkk., 2018; Kuswanda & Garsetiasih, 

2016). Dampak dari konflik antara masyarakat dan gajah ditunjukkan 

pada satu dekade terakhir, yaitu sekitar 129 individu gajah dibunuh 

di Sumatra, khususnya di Provinsi Riau. Sebanyak 59% diindikasikan  

diracun, 13% konflik langsung dengan masyarakat, dan 5% dibunuh 

dengan menggunakan senjata api untuk diambil gadingnya (WWF-

Indonesia, 2017).

Perkebunan sawit di Sumatra bagian selatan, yang arealnya 

digunakan oleh gajah sebagai salah satu habitat dan daerah jelajah, 

di antaranya PT Sampoerna Agro, Tbk. dan HTI PT Bumi Mekar 

Hijau (BMH). Selain dua perusahaan tersebut, areal usaha PT 

Sampoerna Jaya Permai, PT Sawit Selatan, dan PT Rusellindo Prima 

Putra (PT RPP) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), serta HTI 

PT Paramitra Mulya Langgeng (PML) di Kecamatan Buay Pemaca, 

OKUS, Provinsi Sumatra Selatan juga digunakan sebagai habitat gajah. 

Di sekitar kawasan perusahaan-perusahaan tersebut terdapat kebun 

masyarakat yang tanamannya disukai gajah. Daerah jelajah gajah yang 

melewati permukiman masyarakat menyebabkan terjadinya konflik 

dengan masyarakat karena kebun masyarakat mendapat gangguan 

gajah (Tabel 4.3).


Gajah sumatra sering beraktivitas di sekitar permukiman 

masyarakat maupun lokasi transmigrasi sehingga gajah sering meng-

ganggu kebun masyarakat dan berakhir dengan terjadinya konflik 

antara gajah dengan masyarakat (Garsetiasih, Heriyanto dkk., 2018). 

Kerugian yang dialami manusia dapat berupa kerugian harta dan 

jiwa. Kerugian harta, seperti rusaknya kebun, tanaman pertanian 

dan rumah, sedangkan kerugian jiwa, seperti adanya luka, cacat fisik, 

maupun kematian. Di sisi lain, dampak konflik terhadap gajah antara 

lain, kematian, pengusiran, dan cacat fisik (Nuryasin dkk., 2014). 

Gajah memiliki kepentingan dalam memenuhi kebutuhan pakan dan 

kelangsungan hidupnya di lahan yang juga dikelola manusia. Hal ini 

Potensi Konflik Gajah ... 47

menyebabkan terjadinya kompetisi dalam pemanfaatan lahan baik 

oleh gajah maupun manusia. 

F. Penutup

Populasi gajah di Sumatra Selatan makin menurun karena beberapa 

faktor, di antaranya adanya alih fungsi kawasan hutan alam men-

jadi HTI, perkebunan sawit, lahan pertanian, dan permukiman 

masyarakat. Alih fungsi tersebut kurang mempertimbangkan aspek 

keberlangsungan lingkungan ekosistem sehingga menyebabkan 

terjadinya deforestasi dan degradasi lahan yang berdampak pada 

terjadinya fragmentasi habitat dan terganggunya populasi satwa liar 

yang ada di dalamnya.

Oleh karena itu, untuk mengatasi fragmentasi habitat serta 

meningkatkan kualitas dan kuantitas habitat gajah, perlu dibangun 

suatu koridor satwa di daerah lintasan gajah dengan penanaman 

dan pengayaan jenis terutama jenis hijauan pakan yang disukai 

oleh gajah. Selain itu, perlu dilakukan restorasi serta perluasan dan 

pengayaan jenis pohon di areal high conservation value (HCV) atau 

kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN). Pengelolaan areal HCV 

antarperusahaan dalam satu bentangan  harus terintegrasi sehingga 

tidak terfragmentasi. Selain itu, suatu kelembagaan dalam bentuk 

forum kolaborasi stakeholder terkait yang bersifat profit rising perlu 

dibangun untuk meminimalisir terjadinya konflik antara gajah dan 

masyarakat yang mengakibatkan kerugian kedua belah pihak. Forum 

kolaborasi ini harus membuat aturan, mekanisme, dan komitmen 

bersama yang kuat untuk me-nangani konflik gajah dengan manusia.

---

‘Si Abah’ adalah julukan bagi macan tutul jantan, salah satu penguasa 

teritori di Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Seiring de-

ngan usianya yang menua dan kondisi fisiknya yang tidak lagi prima, 

si Abah sering masuk kampung dan memangsa ternak. Sementara itu, 

di wilayah jelajahnya sudah terfoto seekor macan tutul jantan muda 

oleh camera trap. Pada tanggal 25 Juni 2020 si Abah ditangkap oleh 

masyarakat menggunakan kandang perangkap karena dianggap sangat 

mengganggu dan mengancam. Tim Balai Besar Konservasi Sumber 

Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat Wilayah III Ciamis kemudian 

mengevakuasi si Abah ke Kebun Binatang Bandung untuk diperiksa 

kesehatannya guna penanganan lebih lanjut.

.52

A. Macan Tutul Jawa

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) merupakan satu-satunya 

kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa. Populasinya yang berkem-

bang namun habitatnya menyusut, terfragmentasi, dan terdegradasi, 

membuat satwa ini makin terdesak dan terancam kepunahan lokal. 

Hal ini juga diperparah oleh konflik yang terus meningkat dalam 

dua dekade terakhir. Sejak tahun 1993 hingga kini, konflik macan 

tutul jawa telah terjadi di 26 kabupaten dan yang terbanyak terjadi 

di sekitar Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sejak tahun 

2001, hampir setiap tahun terjadi konflik antara macan tutul dan 

manusia di sekitar  Gunung Sawal yang sering berakhir dengan 

penangkapan macan tutul, baik oleh masyarakat maupun petugas 

penyelamat (Gunawan, 2020). Penangkapan macan tutul yang terlibat 

konflik di sekitar Gunung Sawal, baru-baru ini terjadi di Desa Cikupa, 

Kecamatan Lumbung, Kabupaten Ciamis pada tanggal 25 Juni 2020.

B. Habitat Macan Tutul di Gunung Sawal

Gunung Sawal merupakan salah satu habitat penting macan tutul 

di Jawa Barat. Kawasan hutan Gunung Sawal memiliki luas total 

10.515,56 ha yang terbagi dalam suaka margasatwa (SM) 5.583,38 

ha (53%), hutan produksi terbatas (HPT) 3.308,93 ha, hutan produksi 

(HP) 714,34 ha, dan hutan pangonan 908,91 ha. Kawasan hutan 

Gunung Sawal secara keseluruhan merupakan satu kesatuan eko-

sistem lanskap hutan yang dikelilingi oleh tujuh kecamatan, yaitu 

Panjalu, Kawali, Cipaku, Cikoneng, Cihaurbeuti, Sadananya, dan                                

Panumbangan (Gunawan dkk., 2016, 2017).

Investigasi konflik macan tutul di Gunung Sawal yang dilaku-

kan Tim kolaboratif BBKSDA Jawa Barat, Forum Macan Tutul 

Jawa  (FORMATA), Taman Safari Indonesia (TSI), Pemkab Ciamis, 

dan Kader Konservasi Ciamis pada tahun 2017 mendeteksi ada 

penggarap an kawasan hutan seluas 2.094,67 ha yang melibatkan 

penebangan pohon. Hal ini menyebabkan penurunan daya dukung 

Gunung Sawal untuk macan tutul karena telah menghilangkan pakan 

herbivor sampai 98,69% di areal yang digarap dan hanya tersisa 1,31% 

Menakar Manfaat dan ... 53

sehingga satwa herbivor yang menjadi mangsa macan tutul banyak 

yang pergi dari kawasan yang terdegradasi tersebut (Gunawan dkk., 

2017).

Jika kondisi hutan seluruh kawasan hutan Gunung Sawal 

(mencakup SM, HPT, HP, dan hutan pangonan) dalam kondisi baik, 

diperkirakan dapat mendukung kehidupan macan tutul sampai 17 

ekor. Namun, saat ini hutan yang kondisinya terlindungi hanya di 

suaka margasatwa dengan luasan sekitar 54 km2. Hasil investigasi 

tim kolaboratif tahun 2017 menemukan bahwa seekor macan tutul 

membutuhkan ruang sekitar 6,4 km2. Dengan demikian, SM Gunung 

Sawal diperkirakan hanya mampu mendukung hingga delapan ekor 

macan tutul (Gunawan dkk., 2017).

C. Populasi Macan Tutul di Gunung Sawal

Macan tutul memiliki daya reproduksi yang baik, seperti halnya 

bangsa kucing pada umumnya. Kemampuan reproduksi yang cepat 

didukung oleh sistem perkawinannya yang promiscuity (jantan dan 

betina kawin dengan lebih dari satu pasangan dan tidak ada ikatan 

jangka panjang) menyebabkan populasinya terus berkembang 

dengan cepat. Populasi macan tutul di Gunung Sawal yang terekam 

oleh camera trap menunjukkan perkembangan yang ditandai oleh 

hadirnya beberapa macan tutul muda. Sifatnya yang teritorial, setiap 

ada penambahan individu jantan pada kelahiran baru, menyebabkan 

terjadinya perebutan teritori. Macan tutul yang kalah dalam berkom-

petisi ruang, biasanya keluar untuk mencari teritori baru. Fenomena 

ini telah terjadi di Gunung Sawal yang dibuktikan dengan tertangkap-

nya macan tutul jantan muda di permukiman sekitar Gunung Sawal 

yang diduga sebagai individu yang kalah dalam perebutan teritori. 

Fenomena masuknya macan tutul jantan muda atau jantan tua yang 

kalah ke permukiman menjadi indikasi adanya “penguasa baru” 

sebagai pengganti penguasa yang lama. Di sisi lain, dapat dipandang 

bahwa kapasitas daya dukung Gunung Sawal sebagai habitat macan 

tutul telah terlampaui. 

.54

Macan tutul jantan dewasa si Abah pernah menjadi salah satu 

penguasa di Gunung Sawal dengan beberapa betina di dalam home 

range-nya (Gambar 5.1). Seiring dengan usia si Abah yang makin 

tua dan diduga juga menurun kemampuannya, terekam jantan muda 

masuk di dalam wilayah jelajahnya. Ini dapat menunjukkan bahwa 

sedang ada proses suksesi dalam penguasaan wilayah oleh macan 

tutul jantan muda. Diduga kuat si Abah sudah menjadi individu yang 

tersingkir karena kondisinya menua dan melemah sehingga dalam 

setahun belakangan sering keluar dan memasuki permukiman. 

Foto: BKSDA Wil. III Ciamis (2020)

Gambar 5.1 Si Abah Tertangkap camera trap

D. Konflik Macan Tutul-Manusia di Gunung Sawal

Konflik antara manusia dan macan tutul di sekitar Gunung Sawal 

sudah tercatat sejak tahun 2001 (Gunawan dkk., 2017). Dari tahun 

ke tahun konflik cenderung meningkat hingga secara kumulatif telah 

mencapai 58 kasus sampai April tahun 2020. Jumlah macan tutul yang 

tertangkap lalu diselamatkan ke lembaga konservasi akibat konflik 

Menakar Manfaat dan ... 55

di sekitar Gunung Sawal pun terus bertambah hingga mencapai 10 

ekor, termasuk si Abah (Gambar 5.2). Sebanyak 9 ekor di antaranya 

adalah jantan dan 1 ekor betina tua dengan mata katarak. Fenomena 

ini mengindikasikan bahwa keluarnya macan tutul jantan dari hutan 

diduga kuat karena perebutan teritori dan kalah (Gunawan, 2019, 

2020).

Foto: BKSDA Jawa Barat Wilayah III Ciamis (2020)

Gambar 5.2 Si Abah masuk perangkap yang 

dipasang warga

Melihat pertumbuhan populasi macan tutul di Gunung Sawal 

sementara daya dukung tidak bertambah bahkan mungkin menurun 

maka kemungkinan konflik macan tutul dengan manusia masih 

akan terus berlanjut apabila tidak ada upaya pengendalian populasi 

melalui translokasi/introduksi dan/atau peningkatan daya dukung. 

Berdasarkan analisis kerawanan habitat, SM Gunung Sawal termasuk 

.56

kategori aman namun hutan produksi di sekitarnya berkategori se-

dang, sedangkan pinggiran kawasan hutan sisi selatan dan tenggara 

termasuk kategori rawan terhadap konflik dengan manusia (Gunawan 

& Wienanto, 2016; Gunawan dkk., 2017).

Foto: BKSDA Jawa Barat (2020)

Gambar 5.3 Ternak yang Diduga Telah Dimangsa Si 

Abah

E. Kondisi vitalitas si Abah 

Berdasarkan pemeriksaan Bandung Zoological Garden (BZG), si 

Abah berumur 12 tahun. Hal ini merupakan umur yang tua untuk 

macan tutul di alam, mengingat di alam umur tertuanya antara 12–15 

tahun. Namun, di kebun binatang macan tutul dapat berumur sampai 

23 tahun (Bandung Zoological Garden, 2020). 

Kondisi taring si Abah menunjukkan bagian kiri bawah patah 

dari pangkal; gigi carnassial kiri atas (premolar dan molar) tanggal; 

gigi carnassial kanan atas (molar) satu tanggal; Gigi incisor atas 

hanya di bagian kanan, bagian kiri tanggal; Gigi incisor bawah patah/

Menakar Manfaat dan ... 57

pengikisan gigi; dan beberapa sudah tanggal (Gambar 5.4) (Bandung 

Zoological Garden, 2020). Taring merupakan salah satu alat berburu 

yang berfungsi untuk mengunci dan mematikan mangsa. Kehilangan 

satu taring dan tanggalnya beberapa gigi lainnya akan mengurangi 

kemampuannya membunuh mangsanya. Gigi carnassial berfungsi 

untuk mengiris-iris daging sebelum ditelan (Gunawan & Alikodra, 

2013). Oleh karena itu, gigi carnassial sangat penting bagi karnivor 

yang sepanjang hidupnya memakan daging. Tanpa gigi carnassial 

proses makan si Abah akan terganggu. Dengan kondisi taring dan 

gigi carnassial seperti tersebut maka si Abah diduga akan cenderung 

berburu mangsa yang mudah ditangkap dan dikunyah, misalnya 

hewan ternak, seperti ayam dan kelinci. Untuk berburu di alam liar, 

diperkirakan si Abah akan menemui kesulitan, apalagi jika harus 

berkompetisi dengan jantan lain yang lebih kuat.

Foto: Bandung Zoological Garden (2020)

Gambar 5.4 Kondisi Taring Si Abah 

.58

F. Peluang dan Risiko Pelepasliaran si Abah ke Alam

Proses lepas liar satwa memiliki kaidah teknis, protokol, dan aturan 

yang harus diikuti. Salah satu protokol adalah International Union 

for Conservation of Nature (IUCN) Guidelines for the Placement 

of Confiscated Animals (IUCN, 2000, 2019). Pada kasus si Abah, 

pelepasannya kembali ke alam perlu mempertimbangkan empat hal 

pokok, yaitu kesejahteraan satwa, nilai konservasi, penyakit, dan biaya. 

Beberapa pertanyaan sebagai skrining sebelum pelepasliaran 

perlu dijawab dengan meyakinkan, seperti 1) apakah mengembalikan 

si Abah ke alam akan memberikan kontribusi yang signifikan terha-

dap konservasi macan tutul di area tersebut?; 2) apakah sudah lolos 

skrining kelayakan kesehatan?; 3) apakah si Abah bebas dari segala 

penyakit yang dapat membahayakan sesama spesies atau spesies lain 

di alam; 4) apakah ada kelainan perilaku yang membuatnya tidak 

layak kembali ke alam?; 5) dapatkah si Abah dikembalikan cepat ke 

lokasi khusus yang dapat memberikan manfaat bagi konservasi; dan 6) 

apakah apakah sudah ada program konservasi macan tutul yang juga 

meliputi release individu ke alam termasuk monitoringnya? (IUCN, 

2000). 

Mengembalikan satwa sitaan ke habitat asalnya lebih mengun-

tungkan, namun dengan catatan telah memenuhi syarat kesehatan 

dan dilakukan monitoring sesudahnya. Kegiatan ini umumnya 

mendapat dukungan politik dan moral dari pemerintah setempat, 

penggiat konservasi, dan masyarakat lokal, serta dapat memberikan 

edukasi kepada masyarakat tentang konservasi satwa tersebut seka-

ligus menjadi promosi program konservasi secara umum di daerah 

tersebut. Di samping itu, satwa sitaan yang dikembalikan ke asalnya 

dapat kembali memainkan perannya dalam ekosistem yang menjadi 

habitatnya (IUCN, 2000).

Mengembalikan si Abah ke Gunung Sawal juga memiliki be-

berapa risiko dengan melihat penjelasan-penjelasan yang ada. Jika 

pelepasan kembali dilakukan di Gunung Sawal, perlu mempertim-

bangkan bahwa tapak dan area pelepasan bukan merupakan area 

rawan konflik. Saat populasi asalnya dalam keadaan tertekan maka 

Menakar Manfaat dan ... 59

reintroduksi dan translokasi lebih potensial bagi upaya konservasi 

jangka panjang terhadap spesies tersebut. Namun, prosedurnya perlu 

mengindahkan IUCN Guidelines for Reintroductions and Other Con-

servation Translocations (IUCN/SSC, 2013). 

Beberapa aspek yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan, 

antara lain kesesuaian habitat, kesejahteraan satwa, penyakit dan 

parasit, kelayakan sosial, analisis risiko, pemilihan tapak release dan 

area release, strategi release, monitoring, dan pemberitaan (sosialisasi) 

yang meningkatkan kepedulian/ dukungan. Melepas satwa sitaan ke 

lokasi lain dianggap baik jika kehadirannya memberikan kontribusi 

yang signifikan terhadap konservasi spesies tersebut atau populasi 

lainnya yang berinteraksi dengan spesies tersebut, atau dapat mem-

berikan dukungan langsung upaya konservasi dan pengelolaan spesies 

atau ekosistem di lokasi pelepasan (IUCN/SSC, 2013). Di samping 

itu, Indonesia juga telah memiliki beberapa peraturan dan pedoman 

yang harus diikuti dalam penanggulangan konflik satwa dan manusia, 

upaya rehabilitasinya di lembaga konservasi, hingga pengangkutannya 

dari alam ke lembaga konservasi, dan sebaliknya.

Mengingat keberadaan populasi besar cenderung tidak punah, 

pelepasan satwa sitaan ke lokasi yang memiliki populasi kecil berpo-

tensi mengurangi kemungkinan kepunahan. Melepas satwa sitaan ke 

lokasi dengan