negara abad pertengahan
berdasar pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Abad
Pertengahan dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15
Masehi. Abad Pertengahan bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.
Zaman abad pertengahan ini terbagi menjadi 2 (dua) periode yaitu, sebelum perang
salib dan sesudah perang salib. Ciri utama abad pertengahan yaitu theosentris,
dominasi gereja, dan feodalistik. Pada masa ini, seluruh tatanan kehidupan
warga diatur sepenuhnya oleh agama (dogma) atau gereja. Sehingga Eropa
mengalami masa kegelapan. Pemikir pada masa ini ialah Augustinus, Thomas
Aquinas di masa pra Perang Salib dan Machiavelli di masa Pasca Perang Salib. Pada
masa Pra Perang Salib, aliran hukum yang berkembang ialah aliran hukum
Tuhan/teologis, sehingga sumber kedaulatan negara berasal dari Tuhan. Adapun
pasca perang salib menekankan pada kekuasaan akibat dari perpecahan setelah
Perang Salib dan dominasi kekuasaan monarki kala itu.
Pemikiran negara di masa pertengahan menjadi salah satu peletak atau dasar
bagi pemikiran negara modern. Pengaruh masa pertengahan membentuk pandangan
politik yang akan berkembang di masa-masa berikutnya, termasuk pada era
pencerahan dan pembentukan negara-bangsa modern. Terjadi pergeseran dari
kedaulatan Tuhan atau kedaulatan Raja di masa pertengahan ke kedaulatan rakyat
dan kedaulatan hukum sebagaimana di era negara modern. Oleh sebab itu,
seyogyanya kajian-kajian negara pada masa abad pertengahan tersebut harus menjadi
bahan pembelajaran bagi generasi saat ini agar hal-hal yang menyebabkan rusaknya
negara ataupun hal-hal negatif yang terjadi dalam proses bernegara di abad
pertengahan tidak terulang kembali di masa negara modern seperti saat ini.
Ilmu Negara yaitu mata kuliah yang memberi kemampuan analisis kepada
mahasiswa mengenai asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang
negara pada umumnya.1 Kajian dalam Ilmu Negara tidak terikat pada waktu dan tempat,
sehingga objek studinya bisa negara pada masa kini, masa lampau dan bahkan di
masa yang akan datang.
Negara sebagai sebuah organisasi sosial, yaitu sesuatu yang lahir dan
berkembang bersama dengan peradaban manusia.2 Masa Yunani kuno sering dijadikan
sebagai titik awal sejarah manusia dan pengetahuan modern. Hal ini tidak berarti bahwa
sebelum masa itu tidak ada peradaban atau tidak ada sesuatu organisasi yang
dapat disebut dengan negara. Yunani Kuno dijadikan sebagai titik awal sejarah manusia
karena pada masa itulah mulai ada tulisan-tulisan yang masih dapat dipelajari
hingga saat ini.
Seiring dengan perkembangan masa ke masa, pemahaman terkait kenegaraan
juga mengalami perkembangan. Dari masa Yunani Kuno hingga akhirnya berkembang ke masa Romawi Kuno hingga pada masa abad pertengahan.
Abad pertengahan merupakan objek kajian mengenai negara yang masih sering
dibahas hingga saat ini. Kemunduran Romawi merupakan awal masa abad
pertengahan. Pada abad ini ditandai dengan ketidakbebasan pemikiran manusia dalam
bingkai agama kristen ortodoks yang sangat dominan. Masa ini memiliki ciri yang khas,
bahkan disebut sebagai masa kegelapan bagi perkembangan peradaban manusia (the
dark ages).
Zaman abad pertengahan ini umurnya tergolong panjang, yaitu dimulai dari abad
ke V sampai abad ke XV. Zaman ini berbarengan dengan timbul dan berkembangnya
agama Kristen, maka sudah barang tentu kalau pada jaman ini perkembangan ilmu
pengetahuannya sedikit banyak terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama, sehingga
menimbulkan paham teokratis. Zaman abad pertengahan ini terbagi menjadi 2 periode
yaitu, sebelum perang salib (abad V-XII dengan Augustinus dan Thomas Aquinas
sebagai pemikir besarnya) dan sesudah perang salib (abad XII-XV dengan Marsilius
sebagai pemikir besarnya).
berdasar latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam artikel ini
akan membahas mengenai :
1.) Bagaimana kajian pemikiran negara di masa abad pertengahan?, dan
2.) Bagaimana pengaruhnya terhadap pemikiran negara di masa sekarang?
1. Sekilas Mengenai Abad Pertengahan
Abad Pertengahan dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 sampai
abad ke-15 Masehi. Abad Pertengahan bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi
Barat dan masih berlanjut manakala Eropa mulai memasuki Abad Pembaharuan dan
Abad Penjelajahan. Sejarah Dunia Barat secara tradisional dibagi menjadi tiga kurun
waktu, yakni Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Dengan kata lain,
Abad Pertengahan yaitu kurun waktu peralihan dari Abad Kuno ke Zaman Modern.
Abad Pertengahan masih terbagi lagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Awal Abad
Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan.
Zaman abad pertengahan ini terbagi menjadi 2 (dua) periode yaitu, sebelum
perang salib (abad V-XII dengan Augustinus dan Thomas Aquinas sebagai pemikir
besarnya) dan sesudah perang salib (abad XII-XV dengan Marsilius sebagai pemikir
besarnya). Dalam kedua jaman ini ada ajaran-ajaran tentang negara dan hukum
yang saling berbeda. Pada jaman pertengahan sebelum perang salib, ajarannya
bersifat sangat teokratis. Segala sesuatu didasarkan atas kehendak Tuhan. Hal ini
terjadi karena diakuinya agama Kristen sebagai agama resmi dari negara. Akibatnya
tidak banyak pandangan-pandangan kritis terhadap segala sesuatu yang terjadi,
segala perbuatan ditujukan untuk membela kepentingan gereja.
Sedangkan pada jaman pertengahan sesudah perang salib ajaran-ajaran
kenegaraan dan hukum banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Yunani. Hal ini
dikarenakan banyak penganut-penganut Kristen yang pergi ke Timur Tengah dan
Palestina untuk membela dan menyelamatkan makan-makan Kristen yang terancam.
Disinilah mereka belajar ajaran-ajaran pemikir Yunani, yang mana setelah perang salib
selesai mereka kembali ke negaranya dan membawa ajaran dan kebudayaan Yunani
Kuno tadi yang sebelumnya tidak dikenal di dunia barat.4
Ciri utama abad pertengahan yaitu theosentris, dominasi gereja, dan
feodalistik. Pada masa ini, seluruh tatanan kehidupan warga diatur sepenuhnya
oleh agama (dogma) atau gereja. Oleh karenanya, akal dan rasionalitas ditekan
bahkan dibungkam agar tidak berseberangan dengan gereja. Kondisi inilah yang
kemudian mengantarkan Eropa ke arah kemunduran, atau lebih dikenal sebagai “masa
kegelapan”.
2. Pemikiran Tentang Negara di Abad Pertengahan
ada sejumlah tokoh di masa Abad pertengahan yang membahas terkait
dengan eksistensi negara. Di antaranya yaitu sebagai berikut :
a. Agustinus (354-430)
Agustinus merupakan penganut taat agama Kristen yang diangkat menjadi uskup
di Hippo Regius di Afrika Utara. Dia menerbitkan dua buah buku yaitu Civitas Dei
(negara Tuhan) dan Civitas Terrena (negara setan). Civitas Terrena merupakan
kerajaan keduniawian yang penuh dengan perilaku setan. Sedangkan Civitas Dei
yaitu kerajaan Tuhan yang langgeng dan abadi. Agar kerajaan di dunia, yang
merupakan bentuk Civitas Terrena, menjadi baik, maka harus mendapatkan ampunan
dari gereja Kristus dan mengabdi kepada Civitas Dei. Kerajaan Romawi dipandang
sebagai bentuk Civitas Terrena oleh Agustinus, dan agar menjadi baik maka pemimpin
negara harus memerintah dengan semangat Civitas Dei.6
Pada karya Augustinus De Civitate Dei atau The City of God, bagian sejarah
dijelaskan pada bagian paroh kedua yakni di bagian XI-XXIII. Pada bagian ini,
Augustinus menjelaskan asal mula atau munculnya negara manusia dan negara
Tuhan. Ia mencoba menelusuri sejarah dunia melalui sejarah suci dalam Alkitab.
Dijelaskan pada mulanya Allah menciptakan dunia. Ia menciptakan ruang dan waktu
sebagai elemen-elemen dasar dari sejarah. Oleh karena ia menjelaskan sejarah
melalui Alkitab maka Allah di dalam Kristus tetap bekerja dan berkuasa di dalam kedua
sejarah itu. Ia berkuasa atas kota surgawi dan datang ke kota duniawi untuk
menyelamatkan orang-orang berdosa sehingga orang berdosa dapat masuk dan hidup
di dalam kota Allah.
Penciptaan sejarah yang demikian berimplikasi pada pengertian bahwa waktu
memiliki awal atau permulaan. Prinsip ini dinyatakan sebagai argumentasi terhadap
pandangan yang berkembang sebelum dan pada waktu itu, yakni sejarah berpola
siklus. Pemahaman waktu merupakan suatu keharusan. Hal ini berarti bahwa dunia
tidak berada di dalam waktu melainkan secara simultan berada bersama-sama dengan
waktu, sesudahnya berarti masa lalu dan sebelumnya berarti masa depan. Di dalam
ruang dan waktu, pengaruh dosa sangat besar dan fatal.
Dosa telah memisahkan dua kota, yakni kota manusia dan kota Allah. Augustinus
menjelaskan bahwa kota manusia telah dibangun oleh Kain pada awal sejarah ras
manusia dan ini berkembang sampai ke masa kerajaan Romawi. Sementara itu, Habel
telah membangun kota Allah, yang kemudian diteruskan kepada Abraham dan
keturunannya. Ditekankan juga bahwa orang-orang yang hidup di kota Allah telah
dipredestinasikan oleh anugerah untuk berada di tempat itu. Kota manusia dan kota
Allah memiliki bentuk dan karakteristiknya sendiri-sendiri.
Bentuk dan karakter ini berakar pada kondisi manusia sejak awalnya manusia
yang berdosa dan manusia berdosa tetapi telah memperoleh anugerah pengampunan
dari Allah. Kondisi inilah yang telah membedakan keduanya. Kota manusia bercirikan
kehidupan yang sangat mengasihi dan memuliakan diri sendiri, sedangkan kota Allah,
di sisi lain, bercirikan hidup yang mengasihi dan memuliakan Allah. Kedua perbedaan
ini terus ada dan berkembang dalam lintasan sejarah dan semua perbedaan yang
berkembang ini akan menjadi sangat jelas pada akhir zaman.
b. Thomas Aquinas (1225 – 1274)
Saint Thomas Aquinas OP (bahasa Italia: Tommaso d'Aquino; 1225 – 1274)
yaitu seorang frater Dominikan Italia, imam Katolik, dan Doktor Gereja (Pujangga
Gereja). Ia yaitu seorang yuris, teolog, dan filsuf yang sangat berpengaruh dalam
tradisi skolastisisme, yang di dalamnya ia juga dikenal sebagai Doctor Angelicus dan
Doctor Communis.
Thomas Aquinas yaitu seorang teolog dan filsuf Katolik yang penting dalam
sejarah pemikiran Barat. Pemikirannya mencakup berbagai bidang, termasuk teologi,
filsafat alam, metafisika, dan pengetahuan teologis. Aquinas berusaha menyatukan
iman Kristen dengan penalaran rasional, menggabungkan ajaran agama Kristen
dengan filsafat Aristoteles. Karyanya, terutama Summa Theologica, telah memberi
sumbangan penting bagi berbagai bidang, termasuk teologi, metafisika, etika, dan
filsafat politik. Walaupun Aquinas hidup pada zaman yang berbeda, pemikirannya
masih relevan dalam konteks kontemporer.
Thomas Aquinas juga memberi sumbangsih pemikirannya terkait dengan
konsep negara. Sebelum membahas tentang negara, kita harus membahas
bagaimana pandangan Thomas Aquinas tentang kebenaran dan hukum. Mengapa
demikian? karena kebenaran dan hukum yaitu hal yang penting untuk berjalannya
sebuah negara.
Kebenaran menurut Thomas Aquinas yaitu segala sesuatu yang jika ingin
diketahui manusia membutuhkan pertolongan ilahi. Hukum menurut Thomas Aquinas
dibagi empat yaitu hukum kekal/abadi, kodrat, manusia, dan ilahi.9 Hukum abadi
yaitu keputusan Allah yang mengatur semua ciptaan, yaitu “Hukum yang yaitu
daya pikir tertinggi, yang tampak tiada dapat berubah dan abadi bagi siapa saja yang
memahaminya.” Hukum kodrat yaitu partisipasi manusia dalam hukum abadi dan
didapati dengan akal atau daya pikir. Hukum manusia yaitu hukum positif: hukum
kodrat yang diaplikasikan pemerintah kepada warga . Hukum ilahi yaitu hukum
yang diwahyukan secara khusus di dalam kitab suci.
Thomas Aquinas beranggapan bahwa negara memiliki sistem mekanis seperti
alam semesta.10 Maka dari itu negara memiliki sifat dan karakter dasar yang sama
dengan alam semesta. Beda halnya dengan pemikiran Saint Agustinus yang
beranggapan bahwa negara pasti bisa mati. Thomas Aquinas lebih beranggapan
bahwa negara tidak lain yaitu suatu sistem yang bertujuan untuk memiliki tatanan
hierarkis dimana yang berada diatas dan lebih tinggi dapat memerintah yang lebih
rendah. Oleh karena itu Thomas Aquinas memiliki pandangan bahwa penguasa dan
negara memerlukan suatu hukum yang dirumuskan oleh penguasa yang berdasar
prinsip-prinsip dalam kodrati dan sangat tidak dianjurkan untuk melanggar peraturan
mutlak dari Tuhan. Akibat dari tindakan diatas. Akan muncul persentase munculnya
kekuasaan negara yang tirani. Oleh karena itu, senjata yang dianggap paling pas untuk
menghadapi penguasa yang tirani, Thomas Aquinas berpendapat bahwa hendaklah
berdoa demi mengubah hati para tirani melalui cara lain yakni keyakinan dari berdoa
kepada Tuhan.
Thomas Aquinas berpendapat bahwa eksistensi negara bersumber dari sifat
alamiah manusia. Salah satu sifat alamiah manusia. Salah satu sifat alamiah manusia
yaitu wataknya yang bersifat sosial dan politis. Menurut Thomas Aquinas, negara
merupakan lembaga sosial manusia yang paling tinggi dan luas yang berfungsi
menjamin manusia memenuhi kebutuhan fisiknya yang melampaui kemampuan
lingkungan sosial lebih kecil seperti desa dan kota. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Thomas Aquinas menjelaskan bahwa negara merupakan bagian integral
alam semesta, memiliki sifat dan karakter dasar yang mirip dengan mekanisme kerja
alam semesta pula. Negara merupakan suatu sistem tujuan yang memiliki tatanan
hirarki, dimana yang berada di atas memiliki fungsi untuk memerintah, menata,
membimbing dan mengatur yang berada di bawah atau lebih rendah.
Perhatian Thomas Aquinas, tertuju pada pembatasan moral terhadap perilaku
para penguasa. Sehingga pembahasannya terhadap negara dikaitkan dengan
filosofinya. Negara harus tunduk dengan alam bila sebaliknya hanya akan membawa
kehancuran. Pandangan penguasa dan negara memerlukan suatu hukum yang
dirumuskan penguasa yang berdasar hukum kudrat dan tidak boleh bertentangan
dengan hukum abdi Tuhan. Thomas Aquinas merumuskan bahwa bagaimana
seharusnya kekuasaan dipergunakan dan tujuan-tujuan, serta tugas-tugas penguasa
politik ditetapkan. Karena kekuasaan berasal dari Tuhan, haruslah dipergunakan demi
kebaikan bersama dan tidak dibenarkan, karena itu berarti pengingkaran terhadap
anugerah Tuhan.12 Pemikiran-pemikiran filsafat politik Thomas Aquinas sangat
memberi pengaruh yang positif bagi perkembangan ilmu politik. Aquinas dapat
dianggap telah mengembangkan sebuah pandangan politik sebagai kekuasaan positif
dalam kehidupan manusia.
Kedudukan Negara di dalam warga berpangkal pada manusia sebagai
makhluk warga (animal social), di samping manusia sebagai makhluk politik
(animal politicum). Manusia sebagai makhluk warga menurut kodratnya, tidak
bisa hidup dalam suatu pergaulan warga dan senantiasa mencari warga itu.
warga yang memiliki kewibawaan yaitu manusia yang menurut kodratnya
dianugerahi oleh Tuhan. Tugas Negara yaitu menyempurnakan tertib hukum kodrat.
Selain bertugas menyempurnakan tertib hukum, Negara juga harus menyelenggarakan
kesejahteraan umum warga negaranya.
Selanjutnya, menurut Thomas Aquinas negara yaitu kebutuhan kodrati
manusia. Negara terbentuk karena manusia memiliki sifat alami yaitu yang bersifat
sosial dan politis maka keberadaan negara yaitu tidak terlepas dari hukum alam.
Tugas negara menurut Thomas Aquinas yaitu menyempurnakan hukum kodrat dan
juga menyelenggarakan kesejahteraan umum. Menurut Thomas Aquinas negara tidak
boleh mencampuri urusan perseorangan kecuali kepentingan umum dirugikan. Hal ini
disebut sebagai asas subsidair.
Negara menurut Thomas Aquinas bertujuan untuk memberi kebahagiaan
kepada manusia, yaitu untuk mencapai kesempurnaan abadi sesuai dengan syarat- syarat agama. Agar tujuan ini dicapai, diperlukan persatuan dan perdamaian yang
dapat terwujud dalam kepemimpinan satu orang. Maka bentuk negara yang sesuai
yaitu monarki. Kalau menurut Agustinus antara gereja dan negara terpisah sama
sekali, maka menurut Thomas Aquinas negara berada di bawah gereja. Negara
didukung dan dilindungi oleh gereja demi tercapainya Civitas Dei. Teori ini kemudian
dikenal dengan istilah tweezwaarden theorie (teori dua pedang). Satu pedang yaitu
pedang kerohanian dan pedang yang lain yaitu pedang duniawi. Menurut Paus
kedua pedang ini diberikan kepada Paus untuk melindungi agama, kemudian Paus
memberi pedang duniawi kepada Raja. Sehingga Kaisar berkedudukan di bawah
Paus. Namun Kaisar memiliki penafsiran sendiri. Menurutnya Kaisar langsung
mendapatkan pedang duniawi dari Tuhan tidak dari gereja, sehingga kedudukan
Kaisar sejajar dengan Paus.
c. Marsiglio di Padua (1270 – 1340)
Marsiglio di Padua, atau yang lebih sering disebut dengan Marsilius dari Padua
yaitu anggota golongan Gibellin pendukung kaisar Louis Bavaria yang bertentangan
dengan paus Johannes XXII. Negara, menurut Marsilius, yaitu badan yang hidup
bebas dan mempunyai tujuan untuk mempertahankan perdamaian, memajukan
kemakmuran dan memberi kesempatan pada rakyatnya untuk berkembang bebas.13
Tugas utama negara untuk itu yaitu membuat undang-undang demi kepentingan
kesejahteraan rakyat. Kekuasaan tertinggi dalam negara terletak pada lembaga
pembuatan undang-undang (legislator). Pembuatan undang-undang yaitu rakyat.
Jadi kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Pemerintah harus bertanggung jawab
kepada rakyat. Paus juga harus dipilih oleh rakyat.
d. Pasca Perang Salib / Masa Rennaissance
Kekuasaan gereja yang besar pada abad pertengahan mendapat berbagai kritik
dan tentangan. Muncullah gerakan teologi pembebasan yang dipelopori oleh Martin
Luther dengan gerakan reformasinya. Runtuhnya dominasi gereja yaitu berakhirnya
abad kegelapan. Manusia mendapatkan keebasannya lagi untuk berpikir. Masa ini
dikenal dengan masa Renaissance.
Masa Renaissance muncul berlandaskan pada pemikiran Yunani yang diperoleh
eropa dari orang-orang Islam dalam Perang Salib. Renaissance juga dapat disebut
zaman kebangkitan di Eropa. Namun akibat dari Perang Salib tersebut membuat
bangsa-bangsa eks Romawi berantakan dan terpecah-pecah. Keinginan untuk adanya
kedamaian dan persatuan kembali muncul. Niccolo Machiavelli (1469-1527) yaitu
pemikir yang melihat situasi saat itu sebagai pertentangan kekuatan. Sehingga untuk
menciptakan persatuan maka seorang pemimpin harus kuat dan menghalalkan segala
cara.
Dalam bukunya Il Principe dikatakan bahwa Pemimpin harus menjadi seekor
kancil untuk mencari lubang jaring, dan menjadi seekor singa untuk mengejutkan
serigala. (A prince being thus obliged to know well how to act as a best must imitate
the fox and the lion, for the lion cannot protect himself from traps and the fox cannot
defend himself from wolves. One must therefore be a fox to recognize traps, and a lion
to frighten wolves).14
Ajaran Machiavelli dengan tegas memisahkan antara asas-asas kesusilaan atau
moral dengan asas-asas kenegaraan, bahwa orang dalam lapangan ilmu kenegaraan
tidak perlu menghiraukan atau memperhatikan asas-asas kesusilaan atau moral.
Orang, bahkan negara kepentingannya akan terugikan apabila tidak berbuat demikian.
Ajaran Machiavelli sangat dipengaruhi keadaan Italia yang pada waktu itu mengalami
kekacauan dan perpecahan, Machiavelli menginginkan terbentuknya Zentral Gewalt
(sistem pemerintahan sentral) untuk mengembalikan keadaan menjadi tenteram
kembali. Ajaran Machiavelli meninggalkan sifat-sifat teologis jaman pertengahan,
berganti menjadi ajaran yang bersifat kosmis naturalis, realisme modern berdasar
atas ajaran-ajaran kuno, khususnya praktek pemerintahan bangsa Romawi.
Tujuan negara menurut Machiavelli yaitu mengusahakan ketertiban,
keamanan, dan ketentraman yang hanya dapat dicapai oleh pemerintah seorang raja
yang mempunyai kekuasaan absolut. Kepentingan negara menjadi hal yang paling
sentral atau ukuran tertinggi dalam pelaksanaan pemerintahan, negara itu adanya
untuk kepentingan negaranya sendiri, dan seharusnya negara itu mengejar tujuan dan
kepentingannya sendiri dengan cara yang dianggapnya paling tepat, meskipun dengan
cara licik sekalipun.
Perkembangan masa renaisance terjadi di seluruh wilayah daratan eropa pada
tiap-tiap negara. Salah satunya terjadi di Prancis dengan tokohnya ialah Jean Bodin
(1530 – 1596). Jean Bodin hidup pada masa kekuasaan raja Prancis semakin besar
dan kuat. Dasar kekuasaan yang absolut tersebut diberikan olehnya dengan
mengamati kecenderungan perkembangan kekuasaan raja. Dasar pemerintahan
absolut yaitu kedaulatan raja. Namun kekuasaan yang absolut ini tetap harus
mengandung moral yang tidak boleh diabaikan. Negara merupakan keseluruhan dari
keluarga-keluarga dengan segala kepemilikannya yang dipimpin oleh akal penguasa
yang berdaulat. Sedangkan kedaulatan adah kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh
raja dan tidak dibatasi dengan undang-undang. Bentuk negara terbaik yaitu monarki.
Bukunya yang berjudul “Les Six Livres de la Republique” (1576) menegaskan
dan membenarkan sekaligus memberi landasan yuridis bagi sebuah sistem
pemerintahan monarki absolut yang sifatnya turun temurun, dimana hanya orang lakilaki sajalah yang boleh memerintah. Tujuan negara yaitu kekuasaan, hal ini yang
mendorong Jean Bodin merumuskan pengertian kedaulatan untuk memperkuat
pendapatnya. Kedaulatan menurut Jean Bodin yaitu “la puissance absolue et
perpetuelle d’une republique” (terjemahan bebas: “kekuasaan absolut dan berlangsung
terus menerus dalam sebuah republik), maksudnya kedaulatan ialah kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara yang tidak boleh dibatasi oleh konstitusi, tetapi boleh oleh
hukum ilahi dan hukum alamiah, kedaulatan ialah piranti dalam tangan seorang raja
dalam bentukan monarki atau berada dalam genggaman tangan rakyat dalam suatu
negara berdasar demokrasi.
Di samping itu, ada pula ajaran dari John Calvin yang menyatakan bahwa ia
mendasarkan ajarannya pada Kedaulatan Tuhan, dan mengembalikan semua
kekuasaan pada Tuhan. Aliran ini tidak mengakui Gereja sebagai perantara Tuhan dan
tidak mengakui kekuasaan Paus. Kekuasaan Negara merupakan pemberian Tuhan
yang dipegang oleh Raja. Negara tidak boleh campur tangan dalam urusan keluarga
dan warga . Asas yang dianut yaitu kedaulatan di dalam lingkungannya sendiri.
Ajaran Calvinis ini bertentangan dengan paham otoriter.
3. Analisis Terhadap Pemikiran Negara Masa Abad Pertengahan
Sebagaimana yang telah dijabarkan bahwa pemikiran negara pada masa Abad
Pertengahan memiliki ciri khas tersendiri. Pada masa abad pertengahan, pemikiran
tentang negara sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti agama, feodalisme, dan
struktur sosial yang kaku.16 Berikut yaitu beberapa poin penting dalam analisis
pemikiran tentang negara pada masa ini:
a. Dominasi Agama
Agama, terutama Kekristenan di Eropa, memiliki pengaruh besar terhadap
pemikiran politik. Gereja Katolik tidak hanya menjadi lembaga spiritual tetapi juga
berperan dalam urusan politik. Pemimpin gereja sering kali berinteraksi langsung
dengan penguasa sekuler, dan banyak pemikir, seperti Santo Agustinus, Thomas
Aquinas mengembangkan teori tentang negara sebagai bagian dari rencana ilahi.
b. Feodalisme
Struktur feodal membentuk cara pandang warga tentang kekuasaan dan
loyalitas. Negara pada masa itu tidak bersifat terpusat, melainkan terdiri dari berbagai
lord yang memiliki kekuasaan atas wilayah tertentu. Kesetiaan kepada lord atau tuan
tanah lebih diutamakan daripada kesetiaan kepada negara sebagai suatu kesatuan.
c. Teori Kontrak Sosial Awal
Meskipun konsep kontrak sosial belum berkembang sepenuhnya seperti di
zaman pencerahan, beberapa pemikir awal, seperti Thomas Aquinas, mulai
membahas hubungan antara penguasa dan rakyat. Konsep keadilan dan
kesejahteraan warga mulai muncul, meskipun dalam konteks yang sangat
berbeda dibandingkan dengan pemikiran modern.
d. Persaingan Antara Penguasa Sekuler dan Gereja
Pertikaian antara kekuasaan gereja dan negara sering kali mengarah pada
ketidakstabilan politik. Contohnya yaitu konflik antara raja dan paus, yang
mencerminkan pergeseran kekuasaan dan bagaimana legitimasi penguasa bisa
dipertanyakan.
e. Pandangan Regional dan Etnis
warga abad pertengahan cenderung terikat pada identitas lokal dan etnis,
yang membatasi pemikiran tentang negara dalam konteks nasional. Banyak wilayah
lebih cenderung diorganisir berdasar komunitas lokal daripada kesatuan politik
yang lebih besar.
Pemikiran pada saat era tersebut mungkin tidak cocok dengan pemikiran
kenegaraan modern seperti saat ini, khususnya pemikiran semacam Machiavelli.
Namun pemikiran tersebut dapat dipahami latar belakang mengapa lahirnya pemikiran
semacam itu dikarenakan situasi dan kondisi negaranya yang membuat pemikiran
tersebut lahir, di mana demi bersatunya kembali Italia yang tercerai berai, maka
dibutuhkan satu pemimpin yang kuat, disegani demi bersatunya kembali negara- negara di Italia. Hal ini juga pernah terjadi ketika negara kita pada masa Orde Lama dan
Orde Baru yang mengalami masa otoritarianisme. Pada sisi demokrasi dan HAM, hal
tersebut menjadi kritik oleh akademisi Hukum Tata Negara. Namun pada sisi lain, hal
tersebut juga dapat dipahami, sebab pada masa itu, negara kita masih baru mengalami
kemerdekaan, menghadapi perpecahan akibat adanya wilayah yang ingin melepaskan
diri dari negara kita dan bahkan kejadian G30S-PKI yang sempat menimbulkan huru
hara di negara kita . Globalisasi yang melahirkan demokratisasi di negara kita pada era
90’an dan berpuncak pada Reformasi 1998 menunjukkan bahwa cara-cara atau
pemikiran pada Abad Pertengahan tersebut tidak cocok dalam situasi negara
negara kita saat ini. Terlebih negara kita saat ini merupakan negara hukum dan bukan
merupakan negara kekuasaan.
Secara keseluruhan, pemikiran tentang negara pada abad pertengahan
merupakan campuran antara dominasi agama, sistem feodal, dan pengembangan
awal konsep keadilan sosial. Pengaruh ini membentuk pandangan politik yang akan
berkembang di masa-masa berikutnya, termasuk pada era pencerahan dan
pembentukan negara-bangsa modern. Dengan demikian, hal-hal yang terjadi di masa
Abad Pertengahan menjadi pembelajaran agar hal-hal yang negatif tersebut tidak
terjadi di masa negara modern seperti saat ini.
Salah satu masa dalam pemikiran terkait negara ialah masa Abad Pertengahan. Abad
Pertengahan, yang berlangsung dari abad ke-5 hingga ke-15, ditandai dengan dominasi gereja,
sistem feodal, dan pemikiran teokratis, di mana pemikiran politik sangat dipengaruhi oleh ajaran
agama. Artikel ini membahas pemikiran tentang negara pada masa Abad Pertengahan, dengan
fokus pada perkembangan pemahaman kenegaraan dari perspektif berbagai tokoh, seperti
Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius dari Padua. Penelitian ini menggunakan studi
kepustakaan yang bersumber dari buku serta jurnal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Agustinus mengontraskan dua jenis negara: Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas Terrena
(negara duniawi), sementara Aquinas menekankan pentingnya hukum alam dan moralitas
dalam pemerintahan. Marsilius, di sisi lain, menekankan kekuasaan rakyat dan pembuatan
undang-undang sebagai inti dari pemerintahan yang baik. Makalah ini juga membandingkan
pemikiran tersebut dengan konteks kenegaraan modern, menyoroti transisi dari dominasi
agama menuju konsep negara-bangsa yang lebih sekuler dan demokratis. Melalui analisis ini,
pemikiran kenegaraan di Abad Pertengahan diidentifikasi sebagai landasan penting yang
mempengaruhi perkembangan teori politik selanjutnya, serta sebagai refleksi dari kondisi sosial
dan politik pada zamannya.